Defenisi Maturity
Transcript of Defenisi Maturity
1.1 Defenisi Maturity (Pematangan)
Maturity atau pametangan adalah proses perubahan zat-zat organic
menjadi hidrokarbon.
Pengertian pematangan atau pendewasaan minyak bumi (oil maturation)
erat hubungannya dengan masalah waktu pembentukan dan pengertian batuan
induk. Banyak ahli geologi minyak bumi salah satunya yaitu Dott dan Reynold,
1969 berpendapat bahwa “langkah dalam sejarah pembentukan minyak bumi
terjadi dalam atau dekat reservior pada waktu atau setelah migrasi primer
selesai, dan terdiri dari suatu urutan perubahan purna-diagenesa yang
menghasilkan hidrokarbon dari senyawa yang lebih berat dengan molekul
rendah”, proses ini disebut pematangan atau pendewasaan (maturation) dan
hasilnya adalah minyak bumi yang sebenarnya.
Maturity atau pematangan di bagi atas 3 yaitu :
a. Immature adalah sourcerock yang belum mengalami perubahan menjadi
hidrokarbon.
b. Mature adalah source rock yang sedang mengalami perubahan menjadi
hidrokarbon.
c. Overmature adalah source rock yang telah mengalami pematangan
menjadi hidrokarbon.
1.2 Proses Maturity (Pematangan)
Proses maturasi berawal sejak endapan sedimen yang kaya bahan organik
terendapkan. Pada tahapan ini, terjadi reaksi pada temperatur rendah yang
melibatkan bakteri anaerobik yang mereduksi oksigen, nitrogen dan belerang
sehingga menghasilkan konsentrasi hidrokarbon.
Proses pematangan di akibatkan kenaikan suhu di dalam permukaan bumi.
Proses ini terus berlangsung sampai suhu batuan mencapai 50 derajat celcius.
Selanjutnya, efek peningkatan temperatur menjadi sangat berpengaruh sejalan
dengan tingkat reaksi dari bahan-bahan organik kerogen. Karena temperatur terus
mengingkat sejalan dengan bertambahnya kedalaman, efek pemanasan secara
alamiah ditentukan oleh seberapa dalam batuan sumber tertimbun (gradien
geothermal).
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa proses pemasakantergantung suhunya
dan karena suhu ini tergantung dari besarnya gradien geothermalnya maka setiap
daerah tidak sama tingkat kematangannya.
Dalam gambar diatas ini terlihat bahwa minyak terbentuk pada suhu antara
50-180 derajat Celsius. Tetapi puncak atau kematangan terbagus akan tercapai
bila suhunya mencapai 100 derajat Celsius. Ketika suhu terus bertambah karena
cekungan itu semakin turun dalam yang juga diikuti penambahan batuan
penimbun, maka suhu tinggi ini akan memasak karbon yang ada menjadi gas.
Ada 5 tahapan zonasi pematangan minyak bumi menurut Bissada (1986)
adalah :
a. Zona I : dimana gas dapat terbentuk sebagai akibat bakteri tidak ada
minyak yang dapat dideteksi kecuali minyak bumi tersebut merupakan zat
pengotor atau hasil suatu migrasi.
b. Zona II : merupakan awal pembentukan minyak bumi. Hasil utama yang
terbentuk pada zona ini adalah gas kering basah dan sedikit kondesat.
Adanya pertambahan konsentrasi minyak akan menyebabkan minyak
bumi terus mangalami pengenceran, tetapi belum dapat terbebaskan dari
batuan induknya. Begitu titik kritis kemampuan menyimpan terlampaui,
proses perlepasan minyak bumi sebagai senyawa yang telah matang
dimulai.
c. Zona III : merupakan zona puncak pembentukan dan pelepasan minyak
bumi dari batuan induk. Bentuk utama yang dihasilkan berupa gas dan
minyak bumi. Dengan bertambahnya tingkat pematangan maka minyak
yang berjenis ringan akan terbentuk.
d. Zona IV : merupakan zona peningkatan pembentukan kondesat gas basah.
e. Zona V : merupakan zona teraksir, dicirikan dengan suhu yang tinggi
sehingga zat organik akan terurai menjadi gas kering (metana) sebagai
akibat karbonisasi. Perubahan yang terjadi sebagai akibat penambahan
panas dan lamanya pemanasan pada kerogen atau batu bara dapat bersifat
kimia dan fisika, seperti yang diuraikan oleh Bissada (1980) sebagai ber
ikut :
Daya pantul cahaya daari partikel vitrinit akan meningkat secara
eksponensial.
Warna kerogen akan berubah menjadi lebih gelap.
Adanya peningkatan mutu batu bara, dengan kandungan volatile
akan berkurang.
1.3 Hipotesa Proses Pematangan
Untuk proses pematangan ini diajukan berbagai macam hipotesa.
1. Teori Perbandingan Karbon ('carbon - ratio').
White (1915) menghubungkan terjadinya perubahan minyak bumi dengan
metamorfisme regional, sebagaiman diperlihatkan pada perubahan batubara.
Berdasarkan penelitiannya di pegunungan Appalachia disimpulkannya bahwa
minyak bumi yang bertingkat paling rendah ditemukan di daerah dengan formasi
yang mengandung endapan karbonan yang paling sedikit terubah. Minyak bumi
yang lebih tinggi tingkatannya ditemukan di daerah dengan perubahan zat
organik yang lebih lanjut, seperti misalnya, batubara sub-bitumina. Di daerah
batubara - bitumina tingkatan minyak buminya akan lebih tinggi lagi. Jika
perubahan residu karbon melampui 65 persen atau mungkin 75 persen dari
karbon tetap dalam batubara murni, maka distilat minyak bumi terdapat berbagai
gas pada temperatur batuan. Teori ini kembali lagi diungkapkan oleh Landes
(1967) yang mengkorelasikan langsung antara cara terdapatnya jenis minyak
serta gas bumi dengan tingkatan batubara (coal ranks) dan menyebutnya sebagai
proses eometamorfisma.
2. Fraksi Minyak Dalam Batuan
Day, 1916, Teori ini mengemukakan bahwa pendewasaan disebabkan
karena fraksinasi minyak bumi dalam serpih lempung/batuan induknya. pada
waktu migrasi, hidrokarbon yang tidak jenuh (naften, aromat) akan melekat pada
lempung karena kapilaritas. dengan demikian minyak bumi yang bermigrasi akan
lebih matang.
3. Hubungan Berat Jenis Minyak Bumi Terhadap Umur Dan Kedalaman.
Barton (1934) menemukan dari beberapa penelitiannya di daerah
Gulfcoast, bahwa untuk umur yang sama, maka dalam terdapatnya minyak bumi
makin meningkat kadar fraksi ringan dan derajat API-nya. Demikian pula untuk
kedalaman yang sama, makin tua umurnya makin ringan minyak buminya. Hal
yang sama ditemukan oleh McNab, Smith, dan Betts (1952).
Kesimpulan Yang Dapat Diambil :
Makin dalam terdapatnya minyak bumi dan makin tua umurnya minyak
bumi makin meningkatlah perbandingan hidrogen/karbon. Namun dalam hal gas,
maka ditemukan keadaan sebaliknya, makin dalam dan makin tua gas tersebut,
perbandingan hidrogen/karbon makin menurun.
Berbagai proses pendewasaan karena kedalaman dan umur yang telah
diusulkan, yaitu :
a. Hidrogenasi dan Metilisasi
Dalam proses ini hidrokarbon yang tidak jenuh dijenuhi dengan
hidrogen atau metil, dan merubah hidrokarbon siklis menjadi alifat.
sebagai kemungkinan sumber hidrogen bebas diusulkan oleh Whitehead
dan Breger (1960) cara iradiasi partikel alpa, sebagaimana tersirat dalam
teorinya mengenai transformasi zat organik minyak bumi. Sumber lain
adalah hasil aktivitas bakteri seperti dikemukakan oleh Zobell (1947).
b. Reaksi Katalitis dan 'Cracking'.
Peninggian temperatur dan pengaktifan katalisator akan
mematahkan hidrokarbon berat menjadi hidrokarbon ringan/parafin.
c. Aromatisasi.
Erdman (1965) mengajukan proses konversi yang terjadi karena
penurunan progresif dalam daya larut minyak bumi dari zat aspal, yang
khas merupakan penyusunan minyak muda atau minyak primitif. Hal ini
merupakan suatu polimerisasi senyawa aromatik menjadi kompleks aspal.
Dengan demikian zat naften dan aromat akan ketinggalan, dan minyak
yang bermigrasi akan menjadi lebih bersifat parafin. Pada proses ini atom
hidrogen akan dilepaskan.
d. Migrasi Pemisahan Dari Fasa
Silverman, 1965, Konsepsi ini meliputi pemisahan secara fisik
satu fasa dari sistem reservoir minyak bumi berfasa dua, yang kemudian
yang diikuti oleh migrasi dari fasa yang telah dipisahkan dari reservoir
asalnya. Hal ini meliputi pula penurunan tekanan untuk mendapatkan dua
fasa (cairan dan uap).
1.3.1 Konsepsi Pematangan Phillipi (1965)
Phillipi (1965) berdasarkan pekerjaannya di Sumatera Selatan,
Venezuela (1957) dan cekungan Ventura dan Los Angeles, menunjukkan
bahwa pematangan (matiration) minyak bumi yang berhubungan dengan
pembentukannya sendiri terjadi dalam batuan induk.
Pendewasaan minyak bumi merupakan hasil degradasi termal zat
organik, sehingga merupakan fungsi gradien geotemal. Hasil analisa
hidrokarbon batuan induk pada batuan sedimen miosen dalam cekungan
yang sama, menunjukkan terdapatnya peningkatan progresif daripada
jumlah dan perubahan susunan kimia hidrokarbon minyak bumi dalam
reservoir. Makin dalam letak batuan dan makin tua umur batuan tersebut,
maka kesamaan susunan kimianya dengan minyak bumi tercapai. Hal ini
menurut Phillipi (1965) adalah proses pematangan.
1. Dalam analisanya dari jenis hidrokarbon dalam batuan induk terhadap
kedalaman didapatkan: Kadar hidrokarbon bersama dengan
perbandingannya hidrokarbon/karbon non karbonat meningkat kuat.
2. Peningkatan ini lambat pada permulaan, tetapi sangat menyolok dalam
serpih Miosen Atas (15 juta tahun).
3. Susunan secara keseluruhan daripada hidrokarbon dengan titik didih di
atas 325 derajat celcius tidak kelihatan berubah dalam proses
pembentukan minyak bumi, tetapi sangat menyolok dan bersistem
dalam susunan detailnya, antara lain lelebihan nomor atom karbon
ganjil dalam kisaran C27 - C33 makin menghilang, dan parafin normal
dalam kisaran C18 - C22 terbentuk.
4. Konsentrasi total hidrokarbon dengan titik didih diatas 325 derajat
celcius meningkat dengan kedalaman dan umur, disertai pula
peningkatan parafin normal dalam batuan serpih. Pada permulaan,
jumlah hidrokarbon yang terbentuk jauh lebih sedikit daripada daya
penyerapan zat organik non hidrokarbon, sehingga minyak (yang
belum dewasa) yang mula-mula terbentuk akan tinggal ditempat
terbentuknya (dalam zat organik) sampai stadium proses pembentukan
minyak berikutnya. Jika jumlah minyak yang terbentuk melebihi daya
penyerapan zat organik, barulah minyak bumi akan dikeluarkan, dan
minyak yang dikeluarkan telah matang.
Pendapat Phillipi (1965) ini menerangkan mengapa dalam lapisan semuda
pliosen muda seperti minyak yang didapatkan di California telah matang.
Keberatan terhadap teori ini adalah, bahwa minyak harus bermigrasi secara
vertikal melalui serpih tebal yang rapat.
1.4 Analisa Kematangan Minyak Bumi
Perubahan thermal zat organik mungkin akan dimulai pada kondisi
temperatur sebesara 1000 C. perubahan temperatur yang terjadi dapat
menyebabkan terjadinya proses metamorfasa dan ini akan sangat berpengaruh
pada kondisi zat organik yang terkandung dalam sedimen. Sehingga saat ini
berkembang suatu cara pengidentifikasian pematangan berdasarkan data geokimia
organik yaitu dengan cara:
1. Analisa Pantulan Vitrinit
Analisa ini berdasarkan pada kemampuan daya pantul cahaya vitrinit.
Besarnya pantulan vitrinit merupakan petunjuk langsung untuk tingkat
kematangan zat organic, terutama humus yang cenderung membentuk gas dan
merupakan petunjuk tidak langsung untuk sapronel kerogen yang cenderung
membentuk minyak (Cooper, 1977). Kemampuan daya pantul ini merupakan
fungsi temperature artinya dengan perubahan waktu pemanasan dan
temperature akan menyebabkanwarna vitrinit berubah dibawah sinar pantul.
Cara penganalisaan pantul vitrinit ini yaitu dengan mengambil
contoh batuan dari kedalaman tertentu diletakkan diatas kaca preparat dan
direkatkan dengan epoxyresin. Kemudian digosokkan dengan kertas
korondum kasar sampaihalus dan terakhir dengan menggunakan alumina.
Selanjutnya contoh batuantersebut diuji dalam minyak immerse (indeks bias =
1,516) dengan menggunakan mikroskop dan suatu micro photomultiplier dan
digital voltmeter attachment. Kemudian dilakukan kalibrasi terhadap vitrinit
berdasarkan suatu standart yang terbuat dari gelas.
Table 1. Hubungan Antara Nilai Pantulan Vitrinit Dengan Tingkat Kematangan
Hidrokarbon (Tissot And Welte 1978).
2. Analisa Indeks Warna Spora
Analisa ini untuk mengetahui tingkat kematangan zat organik
denganmenggunakan mikro fosil dari sekelompok spora dengan serbuk sari.
Analisa inidilakukan dengan cara contoh kerogen yang diperlukan dari keratin
bor diuraikan dengan cairan asam kemudian contoh spora atau tepung sari ini
diletakkan pada kaca preparat dan diamati tingkat warnanya dengan suatu
skalawaena melalui mikroskop.
Kesulitan dalam analisa indeks warna spora ini terkadang timbul
dalam haldalam membanfingkan tingkat warna dari suatu contoh spora atau
tepung saridengan warna stndart tertentu. Keterbatasan lainnya adalah
bahwasanya tingkat warna spora akan sangat tergantung pada ketebalan
dindingnya, pada beberapa jenis sporaefek panas yang mengenainya terkadang
tidak selalu tercermin dari perubahan warnanya.
Tabel 2. Hubungan Antara Warna I Spora Atau Tepung Sari Dengan Tingkat Kematangannya
3. Indeks Pengubahan Thermal
Metode ini menggunakan penentuan warna secara visual dari pollen
(sebuk kepala putik) dari zat organik lainnya, dari warna kuning, coklat
sampai hitam.Klasifikasi ini dihubungkan langsung dengan pembentukan atau
pematangan minyak dan gas bumi
1.4.1 Identifikasi Kematangan Berdasarkan Pyrolisis
1. Metode Analisis
Alat yang dipergunakan untuk ini adalah rock – eval.
Didalam pyrolisis, sejumlah kecil bubuk sample (biasanya sekitar 5 – 100 mg)
dipanasi secara perlahan tanpa adanya oksigen dari suatu temperatur awal
2500C ke temperatur maksimum 5500C. Selama pemanasan berlangsung dua
jenis hidrokarbon dikeluarkan dari batuan. Hidrokarbon pertama, yang keluar
sekitar 2500C, merupakan hidrokarbon yang sudah ada dalam batuan.
Hidrokarbon ini setara dengan bitumen yang dapat diekstraksi dengan
mempergunakan pelarut. Detector pada rock – eval akan merekam hal ini dan
dapat menggambarkannya dalam bentuk S1 pada kertas pencatat. Dengan
menerusnya pemanasan, aliran hidrokarbon yang sudah ada didalam batuan
mulai berkurang. Pada temperature 3500C jenis hidrokarbon jenis kedua mulai
muncul. Aliran kedua ini mencapai 4200C dan 4600C, yang kemudian
menurun sampai akhir pyrolisis. Hidrokarbon kedua ini disebut S2,
merupakan hidrokarbon yang terbentuk dari kerogen didalam rock – eval
karena penguraian bahan kerogen. S2 dianggap sebagai indikator penting
tentang kemampuan kerogen memproduksi hidrokarbon saat ini.
Selama pyrolisis, karbon dioksida juga dikeluarkan dari kerogen.
Karbondioksida ini ditangkap oleh suatu perangkap selama pyrolisis
berlangsung dan kemudian dilepas pada detector kedua (direkam sebagai S3)
setelah semua pengukuran hidrokarbon selesai. Jumlah karbon dioksida yang
didapat darikerogen yang dikorelasaikan dengan jumlah oksigen yang tinggi
berkaitan dengan material yang berasal dari kayu selulosa atau oksida tinggi
selama diagenesis, maka kandungan oksigen tinggi didalam kerogen
merupakan indicator negative potensial sumber hidrokarbon.
Pyrolisis Tmax
Parameter Tmax adalah temperatur puncak S2 mencapai maksimum.
Temperatur pyrolisis dibunakan sebagai indicator kematangan, sebab
jikakemtangan kerogen meningkat, temperature yang menunjukkan laju
maksimum pyrolisis terjadi juga meningkat atau dengan kata lain jika Tmax
makin tinggi batuan semakin matang. Demikin pula halnya dengan ratio S1 / (S2
+ S3) yang disebut juga transportation ratio atau OPI (Oil Production Index) dan
juga parameter Tmax. Untuk hubunagn antara transportation ratio dan Tmax
dengan kematangan dapat dilihat pada table dibawah ini.