Daster Farfis Percobaan IV Emulsifikasi

12
PERCOBAAN IV EMULSIFIKASI A. Tujuan 1. Menghitung jumlah emulgator golongan surfaktan yang digunakan dalam pembuatan emulsi 2. Membuat emulsi dengan menggunakan emulgator golongan surfaktan 3. Mengevaluasi ketidakstabilan emulsi 4. Menentukan HLB butuh minyak yang digunakan dalam pembuatan emulsi B. Dasar Teori Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau larutan obat, terdispersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan zat pengemulsi atau surfaktan yang cocok (Ditjen POM, 1979). Emulsi merupakan sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispersi dalam cairan lain dalam bentuk tetesan kecil (globul) yang stabil dengan adanya penambahan emulgator. Sebagai emulgator, gelatin mengelilingi tetesan fase dalam sebagai suatu lapisan tipis atau film yang diad-sorpsi pada permukaan dari tetesan fase terdis-persi. Lapisan tersebut mencegah terjadinya kontak atau berkumpulnya kembali globul atau

description

Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau larutan obat, terdispersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan zat pengemulsi atau surfaktan yang cocok (Ditjen POM, 1979).Emulsi merupakan sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispersi dalam cairan lain dalam bentuk tetesan kecil (globul) yang stabil dengan adanya penambahan emulgator. Sebagai emulgator, gelatin mengelilingi tetesan fase dalam sebagai suatu lapisan tipis atau film yang diad-sorpsi pada permukaan dari tetesan fase terdis-persi. Lapisan tersebut mencegah terjadinya kontak atau berkumpulnya kembali globul atau fase terdispersi, sehingga kestabilan emulsi terjaga (Marzuki, 2011).

Transcript of Daster Farfis Percobaan IV Emulsifikasi

Page 1: Daster Farfis Percobaan IV Emulsifikasi

PERCOBAAN IV

EMULSIFIKASI

A. Tujuan

1. Menghitung jumlah emulgator golongan surfaktan yang digunakan dalam

pembuatan emulsi

2. Membuat emulsi dengan menggunakan emulgator golongan surfaktan

3. Mengevaluasi ketidakstabilan emulsi

4. Menentukan HLB butuh minyak yang digunakan dalam pembuatan emulsi

B. Dasar Teori

Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau larutan obat,

terdispersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan zat pengemulsi atau

surfaktan yang cocok (Ditjen POM, 1979).

Emulsi merupakan sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispersi

dalam cairan lain dalam bentuk tetesan kecil (globul) yang stabil dengan adanya

penambahan emulgator. Sebagai emulgator, gelatin mengelilingi tetesan fase

dalam sebagai suatu lapisan tipis atau film yang diad-sorpsi pada permukaan dari

tetesan fase terdis-persi. Lapisan tersebut mencegah terjadinya kontak atau

berkumpulnya kembali globul atau fase terdispersi, sehingga kestabilan emulsi

terjaga (Marzuki, 2011).

Tujuan emulsi adalah untuk membuat suatu sediaan yang stabil dan rata dari

dua cairan yang tidak dapat bercampur, untuk pemberian obat yang mempunyai

rasa lebih enak, serta memudahkan absorpsi obat (Ansel, 1989).

Salah satu cara yang diterapkan oleh industri farmasi saat ini untuk

meningkatkan kelarutan suatu obat yang bersifat lipofilik atau hidrofobik adalah

dengan membuat sediaan emulsi. Penerimaan oleh pasien menjadi alasan yang

paling penting mengapa emulsi menjadi bentuk sediaan farmasi yang terkenal.

Untuk obat yang mempunyai rasa tidak menyenangkan dapat dibuat lebih enak

pada pemberian oral bila diformulasikan menjadi emulsi. Sebagai contoh minyak

mineral yang mempunyai efek sebagai laksatif, vitamin yang larut dalam minyak,

Page 2: Daster Farfis Percobaan IV Emulsifikasi

dan preparat- preparat makanan yang berkadar lemak tinggi dapat diberikan dalam

bentuk emulsi m/a. Penggunaan sediaan emulsi dapat meningkatkan absorpsi dari

obat tersebut (Jufri, 2004).

Cairan yang terkandung dalam emulsi umumnya tidak terlarut. Sepertiga dari

bahan ditambahkan untuk memastikan keseragaman dispersi dan untuk

memberikan kestabilan pada campuran bahan. Ketiga bahan tersebut diketahui

sebagai agen pengemulsi. Emulsi sendiri mempunyai tiga bagian yaitu fase

internal, fase kontinu atau fase luar dan agen pengemulsi (Jeanskins, 1956).

Agen pengemulsi adalah sebuah agen pengaktif permukaan yang secara nyata

menurunkan tegangan permukaan dan secara bersamaan meempertahankan bentuk

lapisan tipis dari globul terdispersi. Pengawet dalam farmasi digunakan untuk

melawan pertumbuhan mikroorganisme. Efektifitas pengawet bergantung pada

unsur dari produk tersebut serta kehadiran berbagai jenis mikroorganisme.

(Parrot, 1971)

Emulsi dapat distabilkan dengan penambahan bahan pengemulsi yang disebut

emulgator (emulsyifing agent) atau surfaktan yang dapat mencegah koalesensi,

yaitu penyatuan globul kecil menjadi globul besar dan akhirnya menjadi satu fase

tunggal yang memisah. Surfaktan menstabilkan emulsi dengan cara menempati

antar-permukaan globul dan fase eksternal, dan dengan membuat batas fisik

disekeliling globul yang akan berkoalesensi. Surfaktan juga mengurangi tegangan

permukaan antarfase sehingga meningkatkan proses emulsifikasi selama

pencampuran.

Surfaktan dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu kationik, anionik,

nonionik dan amfoter. Surfaktan anionik memiliki kepala yang bermuatan negatif.

Surfaktan kationik memiliki kepala yang bermuatan positif di dalam air. Surfaktan

nonionik tidak memiliki muatan, sehingga menjadi penghambat bagi dekativasi

kesadahan air. Kebanyakan surfaktan nonionik berasal dari ester alkohol lemak.

Contoh surfaktan ini adalah ester gliserin asam lemak dan ester sorbitan asam

lemak atau Tween dan Span. Surfaktan ini memiliki muatan positif dan negatif. Ia

dapat berupa anionik, kationik atau nonionik dalam suatu larutan tergantung pada

Page 3: Daster Farfis Percobaan IV Emulsifikasi

pH air yang digunakan. Surfaktan amfoter bisa terdiri dari dua gugus muatan

dengan tanda yang berbeda. Contoh dari surfaktan amfoter adalah alkil betain.

Surfaktan ionik banyak digunakan karena surfaktan ini stabil, baik dalam

kondisi basa, asam, pH tinggi maupun pada kondisi netral. Surfaktan nonionik

juga dapat menurunkan tegangan antar muka yang kaku dan sebagai penghambat

mekanisme terjadinya koalesensi yaitu penggabungan partikel. Selain itu,

surfaktan nonionik stabil pada pembekuan, tidak toksik serta cocok dengan

banyak bahan. sedangkan surfaktan anionik kurang stabil pada kondisi basa dan

surfaktan kationik hanya stabil pada kondisi asam. Selain itu surfaktan kationik

adalah emulgator yang lemah dan umumnya digunakan sebagai emulgator

pembantu.

(Syamsuni, 2006)

Berdasarkan jenisnya, emulsi dibagi dalam 2 golongan, yaitu:

1. Emulsi jenis m/a

Emulsi yang terbentuk jika fase dalam berupa minyak dan fase luarnya air,

disebut emulsi minyak dalam air (m/a).

2. Emulsi jenis a/m

Emulsi yang terbentuk jika fase dalamnya air dan fase luar berupa minyak,

disebut emulsi air dalam minyak (a/m).

Pembuatan emulsi minyak lemak biasanya dibuat dengan emulgator gom

arab, dengan perbandingan untuk 10 bagian minyak lemak dibuat 100 bagian

emulsi. Gom arab yang digunakan adalah separo jumlah minyak lemak.

Sedangkan air yang digunakan adalah 1,5 x berat PGA.

Pemberian lemak-lemak atau minyak-minyak secara peroral, baik sebagai

obat yang diberikan tersendiri atau sebagai pembawa untuk obat-obat yang larut

dalam minyak dapat diformulasikan sebagai emulsi minyak dalam air (m/a).

Emulsi untuk pemberian intravena dapat dalam bentuk m/a, sedangkan untuk

pemberian intramuskular dapat diformulasikan dalam bentuk a/m jika obat yang

larut air dibutuhkan untuk depot terapi. Untuk penggunaan luar dapat digunakan

tipe m/a atau a/m (Aulton, 1988).

Page 4: Daster Farfis Percobaan IV Emulsifikasi

Beberapa teori emulsifikasi berikut menjelaskan bagaimana zat pengemulsi

bekerja dalam menjaga stabilitas dari dua zat yang tidak saling bercampur:

1. Teori tegangan permukaan

Emulsi terjadi bila ditambahkan suatu zat yang dapat menurunkan tegangan

antarmuka di antara dua cairan yang tidak tercampurkan, sehingga mengurangi

tolak-menolak antara kedua cairan tersebut dan mengurangi tarik-menarik

antarmolekul dari masing-masing cairan, atau menyebabkan cairan menjadi

tetesan-tetesan yang lebih kecil.

2. Teori orientasi bentuk baji

Emulsi terjadi bila ditambahkan suatu zat yang terdiri dari bagian polar dan

non polar. Karena kedua cairan yang akan dibuat emulsi berbeda pula muatannya,

maka zat ini akan menempatkan dirinya sesuai dengan kepolarannya.

3. Teori film plastik

Emulsi terjadi bila ditambahkan zat yang dapat mengelilingi antarmuka kedua

cairan, mengelilingi tetesan fase dalam sebagai suatu lapisan tipis atau film yang

diadsorpsi pada permukaan dari tetesan tersebut. Semakin kuat dan semakin lunak

lapisan tersebut maka emulsi yang terbentuk akan semakin stabil.

Emulsi dapat dibuat dengan berbagai macam metode, diantaranya adalah

1. Metode Gom Kering (metode kontinental /metode 4:2:1)

Metode ini khusus untuk emulsi dengan zat pengemulsi gom kering. Basis

emulsi (corpus emuls) dibuat dengan 4 bagian minyak, 2 bagian air dan 1 bagian

gom, lalu sisa air dan bahan lain ditambahkan kemudian. Caranya, minyak dan

gom dicampur, dua bagian air kemudian ditambahkan sekaligus dan campuran

tersebut digerus dengan segera dan dengan cepat serta terus-menerus hingga

terdengar bunyi “lengket”, bahan lainnya ditambahkan kemudian dengan

pengadukan.

2. Metode Gom Basah (metode inggris)

Metode ini digunakan untuk membuat emulsi dengan musilago atau gom

yang dilarutkan sebagai zat pengemulsi. Dalam metode ini digunakan proporsi

minyak, air dan gom yang sama seperti pada metode gom kering. Caranya, dibuat

musilago kental dengan sedikit air, minyak ditambahkan sedikit demi sedikit

Page 5: Daster Farfis Percobaan IV Emulsifikasi

dengan diaduk cepat. Bila emulsi terlalu kental, air ditambahkan lagi sedikit agar

mudah diaduk dan bila semua minyak sudah masuk, ditambahkan air sampai

volume yang dikehendaki.

3. Metode Botol

Metode ini digunakan untuk membuat emulsi dari minyak-minyak menguap

yang juga mempunyai viskositas rendah. Caranya, serbuk gom arab dimasukkan

ke dalam suatu botol kering, ditambahkan dua bagian air kemudian campuran

tersebut dikocok dengan kuat dalam wadah tertutup. Minyak ditambahkan sedikit

demi sedikit sambil terus mengocok campuran tersebut setiap kali ditambahkan

air. Jika semua air telah ditambahkan, basis emulsi yang terbentuk bisa diencerkan

sampai mencapai volume yang dikehendaki.

(Anief, 1999)

Evaluasi sediaan emulsi dilakukan untuk mengetahui kestabilan dari suatu

sediaan emulsi pada penyimpanan. Evaluasi ini dapat dilakukan melalui

pengamatan secara organoleptis (rasa, bau, warna, konsistensi), pengamatan

secara fisika (rasio pemisahan fase, viskositas, redispersibilitas, uji tipe emulsi,

ukuran globul fase dalam, sifat aliran), pengamatan secara kimia (pengukuran

pH), secara biologi (angka cemaran mikroba).

Beberapa hal yang dapat menyebabkan ketidakstabilan emulsi secara fisika

diantaranya:

a. Creaming

Creaming adalah terpisahnya emulsi menjadi dua lapisan, dimana lapisan

yang satu mengandung butir-butir tetesan (fase terdispersi) lebih banyak daripada

lapisan yang lain dibandingkan keadaan emulsi awal. Walaupun masih boleh,

terbentuknya cream tidak baik dilihat dari nilai estetika sediaan, sehingga sebisa

mungkin harus dicegah.

b. Koalesensi (breaking)

Koalesensi adalah peristiwa penggabungan globul-globul minyak sebagai fase

dalam menjadi lebih besar yang menyebabkan emulsi tidak terbentuk kembali

(pecah). Hal ini dikarenakan koalesensi bersifat ireversibel

Page 6: Daster Farfis Percobaan IV Emulsifikasi

c. Inversi

Inversi adalah peristiwa berubahnya jenis emulsi dari m/a menjadi a/m atau

sebaliknya

(Gennaro, 1990)

Mikroemulsi merupakan suatu sistem dispersi yang dikembangkan dari

sediaan emulsi. Tetapi karakteristik sediaan mikroemulsi memiliki banyak

kelebihan dibandingkan dengan emulsi biasa. Karakteristik tersebut antara lain

bersifat stabil secara termodinamika, jernih, transparan atau translucent,

viskositasnya rendah, serta mempunyai tingkat solubilisasi yang tinggi sehingga

dapat meningkatkan bioavailabilitas obat tersebut di dalam tubuh.

Selain bermanfaat sebagai pembawa dalam penghantaran obat, mikroemulsi

juga bermanfaat sebagai lubrikan, cutting oils, penghambat korosi, textile

finishing, pembawa bahan bakar, membran liquid, dan berbagai manfaat lainnya.

Sebagai sistem penghantaran obat, mikroemulsi dapat digunakan untuk pemberian

secara oral, intradermal, intramuskular, okular, maupun pulmonal (Jufri, 2006).

Page 7: Daster Farfis Percobaan IV Emulsifikasi

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M..1999. Sistem Dispersi, Formulasi Suspensi dan Emulsi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Ansel, H. C.1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi Keempat. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Aulton, M. E. 1988. Pharmaceutics, The Science of Dosage Form Design. Churchill Livingstone. London.

Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Depkes R. Jakarta.

Gennaro, A. R. 1990. Remington’s Pharmaceutical Science, Volume 2 Easton. Mack Publishing Company. Pennsylvania.

Jufri, Mahdi., dkk. 2004. Formulasi Gameksan Dalam Bentuk Mikroemulsi. Jurnal Ilmu Kefarmasian Volume I Nomor III.

Jufri, Mahdi., dkk. 2006. Uji Stabilitas Sediaan Mikroemulsi Menggunakan Hidrolisa Pati (DE 35–40) Sebagai Stabilizer. Jurnal Ilmu Kefarmasian Volume III Nomor I.

Marzuki, Asnah., dkk. 2011. Ekstraksi dan Penggunaan Gelatin Dari Limbah Tulang Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal) Sebagai Emulgator Dalam Formulasi Sediaan Emulsi. Jurnal Farmasi dan Farmakologi Volume 15 Nomor 2.

Parrot, E.L. 1971. Pharmaceutical Technology. Burgess Publishing. USA.

Syamsuni, H. A., 2006. Ilmu Resep. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.