Daster Farfis Percobaan IV Emulsifikasi
description
Transcript of Daster Farfis Percobaan IV Emulsifikasi
PERCOBAAN IV
EMULSIFIKASI
A. Tujuan
1. Menghitung jumlah emulgator golongan surfaktan yang digunakan dalam
pembuatan emulsi
2. Membuat emulsi dengan menggunakan emulgator golongan surfaktan
3. Mengevaluasi ketidakstabilan emulsi
4. Menentukan HLB butuh minyak yang digunakan dalam pembuatan emulsi
B. Dasar Teori
Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau larutan obat,
terdispersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan zat pengemulsi atau
surfaktan yang cocok (Ditjen POM, 1979).
Emulsi merupakan sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispersi
dalam cairan lain dalam bentuk tetesan kecil (globul) yang stabil dengan adanya
penambahan emulgator. Sebagai emulgator, gelatin mengelilingi tetesan fase
dalam sebagai suatu lapisan tipis atau film yang diad-sorpsi pada permukaan dari
tetesan fase terdis-persi. Lapisan tersebut mencegah terjadinya kontak atau
berkumpulnya kembali globul atau fase terdispersi, sehingga kestabilan emulsi
terjaga (Marzuki, 2011).
Tujuan emulsi adalah untuk membuat suatu sediaan yang stabil dan rata dari
dua cairan yang tidak dapat bercampur, untuk pemberian obat yang mempunyai
rasa lebih enak, serta memudahkan absorpsi obat (Ansel, 1989).
Salah satu cara yang diterapkan oleh industri farmasi saat ini untuk
meningkatkan kelarutan suatu obat yang bersifat lipofilik atau hidrofobik adalah
dengan membuat sediaan emulsi. Penerimaan oleh pasien menjadi alasan yang
paling penting mengapa emulsi menjadi bentuk sediaan farmasi yang terkenal.
Untuk obat yang mempunyai rasa tidak menyenangkan dapat dibuat lebih enak
pada pemberian oral bila diformulasikan menjadi emulsi. Sebagai contoh minyak
mineral yang mempunyai efek sebagai laksatif, vitamin yang larut dalam minyak,
dan preparat- preparat makanan yang berkadar lemak tinggi dapat diberikan dalam
bentuk emulsi m/a. Penggunaan sediaan emulsi dapat meningkatkan absorpsi dari
obat tersebut (Jufri, 2004).
Cairan yang terkandung dalam emulsi umumnya tidak terlarut. Sepertiga dari
bahan ditambahkan untuk memastikan keseragaman dispersi dan untuk
memberikan kestabilan pada campuran bahan. Ketiga bahan tersebut diketahui
sebagai agen pengemulsi. Emulsi sendiri mempunyai tiga bagian yaitu fase
internal, fase kontinu atau fase luar dan agen pengemulsi (Jeanskins, 1956).
Agen pengemulsi adalah sebuah agen pengaktif permukaan yang secara nyata
menurunkan tegangan permukaan dan secara bersamaan meempertahankan bentuk
lapisan tipis dari globul terdispersi. Pengawet dalam farmasi digunakan untuk
melawan pertumbuhan mikroorganisme. Efektifitas pengawet bergantung pada
unsur dari produk tersebut serta kehadiran berbagai jenis mikroorganisme.
(Parrot, 1971)
Emulsi dapat distabilkan dengan penambahan bahan pengemulsi yang disebut
emulgator (emulsyifing agent) atau surfaktan yang dapat mencegah koalesensi,
yaitu penyatuan globul kecil menjadi globul besar dan akhirnya menjadi satu fase
tunggal yang memisah. Surfaktan menstabilkan emulsi dengan cara menempati
antar-permukaan globul dan fase eksternal, dan dengan membuat batas fisik
disekeliling globul yang akan berkoalesensi. Surfaktan juga mengurangi tegangan
permukaan antarfase sehingga meningkatkan proses emulsifikasi selama
pencampuran.
Surfaktan dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu kationik, anionik,
nonionik dan amfoter. Surfaktan anionik memiliki kepala yang bermuatan negatif.
Surfaktan kationik memiliki kepala yang bermuatan positif di dalam air. Surfaktan
nonionik tidak memiliki muatan, sehingga menjadi penghambat bagi dekativasi
kesadahan air. Kebanyakan surfaktan nonionik berasal dari ester alkohol lemak.
Contoh surfaktan ini adalah ester gliserin asam lemak dan ester sorbitan asam
lemak atau Tween dan Span. Surfaktan ini memiliki muatan positif dan negatif. Ia
dapat berupa anionik, kationik atau nonionik dalam suatu larutan tergantung pada
pH air yang digunakan. Surfaktan amfoter bisa terdiri dari dua gugus muatan
dengan tanda yang berbeda. Contoh dari surfaktan amfoter adalah alkil betain.
Surfaktan ionik banyak digunakan karena surfaktan ini stabil, baik dalam
kondisi basa, asam, pH tinggi maupun pada kondisi netral. Surfaktan nonionik
juga dapat menurunkan tegangan antar muka yang kaku dan sebagai penghambat
mekanisme terjadinya koalesensi yaitu penggabungan partikel. Selain itu,
surfaktan nonionik stabil pada pembekuan, tidak toksik serta cocok dengan
banyak bahan. sedangkan surfaktan anionik kurang stabil pada kondisi basa dan
surfaktan kationik hanya stabil pada kondisi asam. Selain itu surfaktan kationik
adalah emulgator yang lemah dan umumnya digunakan sebagai emulgator
pembantu.
(Syamsuni, 2006)
Berdasarkan jenisnya, emulsi dibagi dalam 2 golongan, yaitu:
1. Emulsi jenis m/a
Emulsi yang terbentuk jika fase dalam berupa minyak dan fase luarnya air,
disebut emulsi minyak dalam air (m/a).
2. Emulsi jenis a/m
Emulsi yang terbentuk jika fase dalamnya air dan fase luar berupa minyak,
disebut emulsi air dalam minyak (a/m).
Pembuatan emulsi minyak lemak biasanya dibuat dengan emulgator gom
arab, dengan perbandingan untuk 10 bagian minyak lemak dibuat 100 bagian
emulsi. Gom arab yang digunakan adalah separo jumlah minyak lemak.
Sedangkan air yang digunakan adalah 1,5 x berat PGA.
Pemberian lemak-lemak atau minyak-minyak secara peroral, baik sebagai
obat yang diberikan tersendiri atau sebagai pembawa untuk obat-obat yang larut
dalam minyak dapat diformulasikan sebagai emulsi minyak dalam air (m/a).
Emulsi untuk pemberian intravena dapat dalam bentuk m/a, sedangkan untuk
pemberian intramuskular dapat diformulasikan dalam bentuk a/m jika obat yang
larut air dibutuhkan untuk depot terapi. Untuk penggunaan luar dapat digunakan
tipe m/a atau a/m (Aulton, 1988).
Beberapa teori emulsifikasi berikut menjelaskan bagaimana zat pengemulsi
bekerja dalam menjaga stabilitas dari dua zat yang tidak saling bercampur:
1. Teori tegangan permukaan
Emulsi terjadi bila ditambahkan suatu zat yang dapat menurunkan tegangan
antarmuka di antara dua cairan yang tidak tercampurkan, sehingga mengurangi
tolak-menolak antara kedua cairan tersebut dan mengurangi tarik-menarik
antarmolekul dari masing-masing cairan, atau menyebabkan cairan menjadi
tetesan-tetesan yang lebih kecil.
2. Teori orientasi bentuk baji
Emulsi terjadi bila ditambahkan suatu zat yang terdiri dari bagian polar dan
non polar. Karena kedua cairan yang akan dibuat emulsi berbeda pula muatannya,
maka zat ini akan menempatkan dirinya sesuai dengan kepolarannya.
3. Teori film plastik
Emulsi terjadi bila ditambahkan zat yang dapat mengelilingi antarmuka kedua
cairan, mengelilingi tetesan fase dalam sebagai suatu lapisan tipis atau film yang
diadsorpsi pada permukaan dari tetesan tersebut. Semakin kuat dan semakin lunak
lapisan tersebut maka emulsi yang terbentuk akan semakin stabil.
Emulsi dapat dibuat dengan berbagai macam metode, diantaranya adalah
1. Metode Gom Kering (metode kontinental /metode 4:2:1)
Metode ini khusus untuk emulsi dengan zat pengemulsi gom kering. Basis
emulsi (corpus emuls) dibuat dengan 4 bagian minyak, 2 bagian air dan 1 bagian
gom, lalu sisa air dan bahan lain ditambahkan kemudian. Caranya, minyak dan
gom dicampur, dua bagian air kemudian ditambahkan sekaligus dan campuran
tersebut digerus dengan segera dan dengan cepat serta terus-menerus hingga
terdengar bunyi “lengket”, bahan lainnya ditambahkan kemudian dengan
pengadukan.
2. Metode Gom Basah (metode inggris)
Metode ini digunakan untuk membuat emulsi dengan musilago atau gom
yang dilarutkan sebagai zat pengemulsi. Dalam metode ini digunakan proporsi
minyak, air dan gom yang sama seperti pada metode gom kering. Caranya, dibuat
musilago kental dengan sedikit air, minyak ditambahkan sedikit demi sedikit
dengan diaduk cepat. Bila emulsi terlalu kental, air ditambahkan lagi sedikit agar
mudah diaduk dan bila semua minyak sudah masuk, ditambahkan air sampai
volume yang dikehendaki.
3. Metode Botol
Metode ini digunakan untuk membuat emulsi dari minyak-minyak menguap
yang juga mempunyai viskositas rendah. Caranya, serbuk gom arab dimasukkan
ke dalam suatu botol kering, ditambahkan dua bagian air kemudian campuran
tersebut dikocok dengan kuat dalam wadah tertutup. Minyak ditambahkan sedikit
demi sedikit sambil terus mengocok campuran tersebut setiap kali ditambahkan
air. Jika semua air telah ditambahkan, basis emulsi yang terbentuk bisa diencerkan
sampai mencapai volume yang dikehendaki.
(Anief, 1999)
Evaluasi sediaan emulsi dilakukan untuk mengetahui kestabilan dari suatu
sediaan emulsi pada penyimpanan. Evaluasi ini dapat dilakukan melalui
pengamatan secara organoleptis (rasa, bau, warna, konsistensi), pengamatan
secara fisika (rasio pemisahan fase, viskositas, redispersibilitas, uji tipe emulsi,
ukuran globul fase dalam, sifat aliran), pengamatan secara kimia (pengukuran
pH), secara biologi (angka cemaran mikroba).
Beberapa hal yang dapat menyebabkan ketidakstabilan emulsi secara fisika
diantaranya:
a. Creaming
Creaming adalah terpisahnya emulsi menjadi dua lapisan, dimana lapisan
yang satu mengandung butir-butir tetesan (fase terdispersi) lebih banyak daripada
lapisan yang lain dibandingkan keadaan emulsi awal. Walaupun masih boleh,
terbentuknya cream tidak baik dilihat dari nilai estetika sediaan, sehingga sebisa
mungkin harus dicegah.
b. Koalesensi (breaking)
Koalesensi adalah peristiwa penggabungan globul-globul minyak sebagai fase
dalam menjadi lebih besar yang menyebabkan emulsi tidak terbentuk kembali
(pecah). Hal ini dikarenakan koalesensi bersifat ireversibel
c. Inversi
Inversi adalah peristiwa berubahnya jenis emulsi dari m/a menjadi a/m atau
sebaliknya
(Gennaro, 1990)
Mikroemulsi merupakan suatu sistem dispersi yang dikembangkan dari
sediaan emulsi. Tetapi karakteristik sediaan mikroemulsi memiliki banyak
kelebihan dibandingkan dengan emulsi biasa. Karakteristik tersebut antara lain
bersifat stabil secara termodinamika, jernih, transparan atau translucent,
viskositasnya rendah, serta mempunyai tingkat solubilisasi yang tinggi sehingga
dapat meningkatkan bioavailabilitas obat tersebut di dalam tubuh.
Selain bermanfaat sebagai pembawa dalam penghantaran obat, mikroemulsi
juga bermanfaat sebagai lubrikan, cutting oils, penghambat korosi, textile
finishing, pembawa bahan bakar, membran liquid, dan berbagai manfaat lainnya.
Sebagai sistem penghantaran obat, mikroemulsi dapat digunakan untuk pemberian
secara oral, intradermal, intramuskular, okular, maupun pulmonal (Jufri, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M..1999. Sistem Dispersi, Formulasi Suspensi dan Emulsi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Ansel, H. C.1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi Keempat. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Aulton, M. E. 1988. Pharmaceutics, The Science of Dosage Form Design. Churchill Livingstone. London.
Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Depkes R. Jakarta.
Gennaro, A. R. 1990. Remington’s Pharmaceutical Science, Volume 2 Easton. Mack Publishing Company. Pennsylvania.
Jufri, Mahdi., dkk. 2004. Formulasi Gameksan Dalam Bentuk Mikroemulsi. Jurnal Ilmu Kefarmasian Volume I Nomor III.
Jufri, Mahdi., dkk. 2006. Uji Stabilitas Sediaan Mikroemulsi Menggunakan Hidrolisa Pati (DE 35–40) Sebagai Stabilizer. Jurnal Ilmu Kefarmasian Volume III Nomor I.
Marzuki, Asnah., dkk. 2011. Ekstraksi dan Penggunaan Gelatin Dari Limbah Tulang Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal) Sebagai Emulgator Dalam Formulasi Sediaan Emulsi. Jurnal Farmasi dan Farmakologi Volume 15 Nomor 2.
Parrot, E.L. 1971. Pharmaceutical Technology. Burgess Publishing. USA.
Syamsuni, H. A., 2006. Ilmu Resep. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.