DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - DPRD Provinsi DKI...
Transcript of DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN - DPRD Provinsi DKI...
DAFTAR ISI
BAB 1 BAB 2 BAB 3 BAB 4
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1.2. Landasan Hukum
1.3. Maksud dan Tujuan
1.4. Sasaran
1.5. Hasil Yang Diharapkan
1.6. Ruang Lingkup
METODE PELAKSANAAN 2.1. Konsepsi Dasar
2.2. Metode Pendekatan
2.3. Metode Pengumpulan Data dan Informasi
2.4. Metode Analisis
GAMBARAN UMUM 3.1. Perekonomian Provinsi DKI Jakarta
3.2. Perkembangan Industri Kecil dan Menengah
3.3. Perkembangan Industri Kreatif
3.4. Kebutuhan Lahan Industri
HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 4.1. Maksud dan Tujuan Penyelenggaraan Perindustrian
4.2. Jenis Kegiatan Industri
4.3. Tugas dan Wewenang Pemerintah Daerah
4.4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
4.5. Kawasan Industri dan Sentra Industri Kecil dan
Menengah
Hal
I-1
I-1
I-7
I-9
I-9
1-10
1-10
2-1
2-1
2-10
2-20
2-21
3-1
3-1
3-7
3-10
3-20
4-1
4-1
4-3
4-12
4-41
4-45
BAB 5 BAB 6
4.6. Pengembangan Sumber Daya Manusia
4.7. Pemberdayaan Industri Kecil, Menengah dan Kreatif
4.8. Insentif dan Disinsentif
4.9. Kemitraan
4.10. Perizinan
4.11. Sistem Informasi Industri Daerah
4.12. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau CSR
4.13. Peran serta Masyarakat
4.14. Pembinaan
4.15. Pengawasan dan Pengendalian
4.16. Sanksi
4.17. Penyidikan
MATERI MUATAN RAPERDA 5.1. Judul Rancangan Peraturan Daerah
5.2. Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis
5.3. Dasar Hukum
5.4. Batang Tubuh Raperda
PENUTUP DAFTAR PUSTAKA RAPERDA PERINDUSTRIAN
4-64
4-69
4-73
4-77
4-85
4-93
4-96
4-100
4-101
4-104
4-109
4-120
5-1
5-1
5-2
5-4
5-17
6-1
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 1
Bab 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kedudukan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun
2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai
Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, memiliki peran dan fungsi sebagai
tempat penyelenggaraan pemerintahan dan tempat kedudukan perwakilan negara
asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional, sehingga peran dan fungsi
Provinsi DKI Jakarta sangat luas dalam lingkup internasional, nasional, regional,
dan lokal. Sebagai daerah otonom pada lingkup provinsi,1 berdasarkan UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta
mempunyai tugas dan kewajiban menyelenggarakan pembangunan di berbagai
bidang termasuk bidang industri untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Jakarta sekaligus mewujudkan citra bangsa Indonesia.
Konsekuensi kedudukan, peran, dan fungsi Provinsi DKI Jakarta sebagai
Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, pembangunan di Provinsi DKI
Jakarta terus mengalami perkembangan sangat dinamis dalam berbagai bidang,
sehingga berpengaruh kepada sistem dan struktur ekonomi, sosial, dan politik
lokal dan nasional yang berakibat pada perkembangan industri baik lingkup
daerah maupun nasional. Di samping itu, masuknya globalisasi membawa
dinamika perubahan sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian
daerah dan nasional. Pengaruh paling dirasakan, terjadi persaingan usaha yang
semakin ketat, namun di sisi lain membuka peluang kolaborasi sehingga dalam
penyelenggaraan perindustrian diperlukan berbagai dukungan dalam bentuk
1 Lihat Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 2
perangkat kebijakan yang tepat, perencanaan yang terpadu, dan pengelolaan
sumber daya yang efisien dengan memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola yang
baik. Oleh sebab itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama-sama Pemerintah
Pusat dan pelaku usaha bidang industri berupaya untuk mewujudkan tujuan
penyelenggaraan perindustrian sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun
2014 tentang Perindustrian dengan menempatkan bidang industri menjadi salah
satu pilar dan penggerak perekonomian daerah.
Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki sumber daya alam seperti daerah lain di
Indonesia, karena itu pembangunan industri dimasa mendatang sesuai ketentuan
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dan Pasal 7 ayat (3) huruf a Peraturan Daerah
Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, diarahkan
pada peningkatan pertumbuhan ekonomi berbasis ekonomi pada industri kreatif
dan industri yang menggunakan teknologi tinggi,2 dengan strategi meningkatkan
kapasitas dan intensitas pusat kegiatan primer dan sekunder untuk mewadahi
aktivitas industri kreatif berskala regional, nasional, dan internasional.
Keterbatasan lahan dimiliki Provinsi DKI Jakarta menyebabkan Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta memperketat penyelenggaraan perindustrian di DKI Jakarta.
Kegiatan industri yang ada saat ini sesuai ketentuan Pasal 78 ayat (2) Peraturan
Daerah Nomor 1 Tahun 2012, sebagai berikut: (a) industri di luar kawasan tidak
berada pada kawasan rawan bencana; (b) tidak berada di kawasan cekungan air;
(c) tersedia rencana pengelolaan air limbah dan air limbah tidak diperkenankan
untuk dialirkan langsung ke drainase publik; (d) tidak menambah beban saat debit
puncak saluran drainase publik; (e) tidak mengganggu fungsi lindung; (f) tidak
mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam; (g) sesuai
dengan daya dukung lahan setempat; (h) memiliki kelengkapan prasarana,
sarana, dan utilitas.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
melakukan penataan dan pengembangan industri sesuai Pasal 89 Peraturan
2 Yang dimaksud dengan industri kreatif menurut penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2014 tentang Perindustrian, adalah industri yang mentransformasi dan memanfaatkan kreativitas, keterampilan, dan kekayaan intelektual untuk menghasilkan barang dan jasa. Sedangkan yang dimaksud industri teknologi tinggi menurut penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf c Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, adalah industri yang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 3
Daerah Nomor 1 Tahun 2012, melalui: (a) penataan kawasan industri sebagai
bagian integral dari penataan kawasan pelabuhan melalui koordinasi dan
kerjasama dengan kawasan Bodetabekpunjur; (b) mengembangkan kawasan
industri dibatasi untuk industri hemat penggunaan lahan, hemat air dan energi,
tidak berpolusi, memperhatikan aspek lingkungan dan menggunakan teknologi
tinggi; (c) pengembangan industri perakitan di kawasan sekitar Bandara Soekarno
Hatta dan Pelabuhan Tanjung Priok; (d) mengembangkan Kawasan Ekonomi
Strategis di Marunda sebagai bagian integral dari pengembangan pelabuhan
Tanjung Priok; (e) penataan dan relokasi industri kecil dan menengah yang
berada di kawasan permukiman ke kawasan industri di bagian barat dan timur
Jakarta; (f) pengembangan kawasan industri dengan memperhatikan daya
dukung transportasi dan infrastruktur lainnya.
Kebijakan dan strategi penyelenggaraan industri tersebut di atas, merupakan
bagian dari penyelenggaraan perindustrian yang secara nasional bertujuan
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 UU No. 3 Tahun 2014, yaitu: (a)
mewujudkan industri nasional sebagai pilar dan penggerak perekonomian
nasional; (b) mewujudkan ke dalaman dan kekuatan struktur industri; (c)
mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta industri hijau;3
(d) mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta mencegah
pemusatan atau penguasaan industri satu kelompok atau perseorangan yang
merugikan masyarakat; (e) membuka kesempatan berusaha dan perluasan
kesempatan kerja; (f) mewujudkan pemerataan pembangunan industri ke seluruh
wilayah Indonesia guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan nasional; (g)
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan.
Untuk memberikan kepastian berusaha, persaingan usaha yang sehat, serta
mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau
perseorangan yang dapat merugikan masyarakat serta membuka kesempatan
berusaha dan perluasan kesempatan kerja, maka diperlukan suatu produk hukum
dalam bentuk Peraturan Daerah yang mengatur penyelenggaraan perindustrian di 3 Yang dimaksud dengan industri hijau menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian, adalah Industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan Industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 4
Provinsi DKI Jakarta. Keberadaan Peraturan Daerah tersebut diharapkan mampu
mewujudkan penyelenggaraan perindustrian dalam rangka memperkuat dan
memperkukuh ketahanan industri daerah dan nasional,4 serta meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan.5 Selain itu,
dapat menjawab berbagai kebutuhan dan perkembangan akibat perubahan
lingkungan strategis dan sekaligus menjadi landasan hukum bagi tumbuh
berkembang dan kemajuan industri di Provinsi DKI Jakarta baik saat ini maupun
akan datang.
Kewenangan Pemerintahan Daerah dalam penyelenggaraan perindustrian
berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, termasuk
urusan pilihan, yaitu urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan daerah
sesuai potensi dimiliki daerah.6 Pemerintah Daerah bersama-sama Pemerintah
Pusat diberi tugas dan wewenang oleh negara menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perindustrian melalui UU No. 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian,7 sebagai berikut: (a) percepatan penyebaran dan pemerataan
pembangunan industri melalui kawasan industri;8 (b) pembangunan sumber daya
manusia industri untuk menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten guna
meningkatkan peran sumber daya manusia di bidang industri;9 (c) memfasilitasi
penyediaan pusat pendidikan dan pelatihan industri di pusat pertumbuhan
industri;10 (d) mendorong pengembangan industri pengolahan berwawasan
lingkungan; (e) menjamin ketersediaan, penyaluran, dan pemanfaatan sumber
daya alam untuk industri dalam negeri melalui kerja sama antar daerah;11 (f)
pengembangan, peningkatan penguasaan, dan pengoptimalan pemanfaatan
4 Yang dimaksud dengan “ketahanan Industri” menurut penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014
tentang Perindustrian, adalah industri yang berdaya saing, efisien, berkelanjutan, bersih, dan berwawasan lingkungan. 5 Yang dimaksud dengan “kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan”, sesuai penjelasan Pasal 3
huruf g Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, adalah pembangunan di bidang industri sebagai penggerak ekonomi daerah harus dinikmati oleh seluruh rakyat Jakarta terutama golongan ekonomi lemah atau kelompok yang berpenghasilan di bawah tingkat rata-rata pendapatan per kapita. Tujuan utama pembangunan di bidang industri bermuara pada segala upaya untuk mewujudkan tatanan ekonomi yang berpihak kepada kepentingan rakyat dan keadilan sosial, kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat, bukan kepentingan individu, golongan atau kelompok tertentu, dengan proses produksi yang melibatkan semua orang dan hasilnya bisa dinikmati oleh semua warga masyarakat.
6 Lihat Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 7 Lihat Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 8 Lihat Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 9 Lihat Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 10 Lihat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 11 Lihat Pasal 33 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 5
teknologi industri;12 (g) memfasilitasi kerja sama penelitian dan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang industri antara perusahaan industri dan
perguruan tinggi atau lembaga penelitian dan pengembangan industri dalam
negeri dan luar negeri;13 (h) memfasilitasi promosi alih teknologi dari industri
besar, lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, dan/atau
lembaga lain ke industri kecil dan industri menengah;14 (i) memfasilitasi lembaga
penelitian dan pengembangan dalam negeri dan/atau perusahaan industri dalam
negeri yang mengembangkan teknologi di bidang industri;15 (j) memfasilitasi
pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat dalam
pembangunan industri;16 (k) memfasilitasi ketersediaan pembiayaan yang
kompetitif untuk pembangunan industri;17 (l) menjamin tersedia infrastruktur
industri;18 (m) membangun sistem informasi industri dan menyampaikan data
industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala melalui sistem
informasi industri yang terintegrasi;19 (n) melakukan pembangunan dan
pemberdayaan industri kecil dan industri menengah;20 (o) pemberian izin usaha
industri;21 (p) mendorong penanaman modal di bidang industri untuk memperoleh
nilai tambah yang sebesar-besarnya dalam pemanfaatan sumber daya daerah
dan/atau nasional dalam rangka pendalaman struktur industri dan peningkatan
daya saing industri;22 (q) memberikan fasilitas industri untuk mempercepat
pembangunan industri;23 (r) mengawasi dan mengendalikan pembangunan
industri;24 (s) memberikan sanksi kepada yang melakukan pelanggaran.25
Sehubungan tugas dan wewenang tersebut, bahwa keberadaan Peraturan
12 Lihat Pasal 36 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 13 Lihat Pasal 42 huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 14 Lihat Pasal 42 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 15 Lihat Pasal 42 huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 16 Lihat Pasal 43 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 17 Lihat Pasal 44 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 18 Lihat Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 19 Lihat Pasal 64 ayat (3), Pasal 65 ayat (3), dan Pasal 68 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian. 20 Lihat Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 21 Lihat Pasal 101 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 22 Lihat Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 23 Lihat Pasal 110 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 24 Lihat Pasal 117 ayat (5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 25 Lihat Pasal 118 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 6
Daerah tentang Perindustrian merupakan pelaksanaan tugas dan wewenang
Pemerintah Daerah yang ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun 2014.26
Sejalan dengan tugas dan wewenang Pemerintah Daerah tersebut di atas,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Pemerintah Daerah memiliki tanggung
jawab untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan perindustrian. Dalam lingkup
daerah tujuan penyelenggaraan perindustrian antara lain sebagai berikut: (a)
mewujudkan industri sebagai pilar dan penggerak perekonomian daerah; (b)
mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta industri hijau;
(c) mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta mencegah
pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan
yang merugikan masyarakat; (d) membuka kesempatan berusaha dan perluasan
kesempatan kerja; (e) mewujudkan pemerataan pembangunan industri guna
memperkuat dan memperkukuh ketahanan industri daerah; (f) meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, kebutuhan (urgensi) Peraturan Daerah
tentang Perindustrian karena ada tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang
diberikan negara kepada Pemerintah Daerah melalui UU No. 3 Tahun 2014.
Selain itu, keberadaan Peraturan Daerah tersebut memberikan kepastian hukum
bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pelaku industri, dan masyarakat dalam
penyelenggaraan industri di Provinsi DKI Jakarta, yang selama ini belum memiliki
Peraturan Daerah. Atas dasar itu, Dinas Perindustrian dan Energi memprakarsai
menyusun Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian. Untuk itu, harus
dilengkapi dengan Naskah Akademik sebagaimana diatur dalam Pasal 22
Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010 tentang Pembentukan Peraturan Daerah,
yang menyatakan SKPD/UKPD pemrakarsa dalam penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah menyiapkan terlebih dahulu Naskah Akademik mengenai
materi yang diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah.27 Naskah akademik
26 Menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
27 Yang dimaksud dengan Naskah Akademik menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 7
tersebut paling sedikit memuat dasar filosofis, sosiologis, yuridis, pokok-pokok
pikiran dan lingkup materi yang akan diatur.28
1.2. Landasan Hukum
Peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum dalam
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang
Perindustrian ini, antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tidak hanya menjadi pedoman dalam
penyusunan Raperda dan Naskah Akademik, melainkan juga sebagai dasar
hukum bagi Pemerintahan Daerah, bahwa Peraturan Daerah bagian dari
peraturan perundang-undangan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat
(1) UU No. 12 Tahun 2011 dan mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi
setiap orang. Oleh sebab itu, UU tersebut menjadi dasar hukum kedudukan
Peraturan Daerah.
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, mengatur hak dan kewajiban serta
wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Daerah (dalam hal ini Gubernur
dan Perangkat Daerah) sebagai eksekutif dan DPRD sebagai legislatif dalam
rangka pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan.
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
28 Hal yang sama juga diatur dalam Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa Rancangan Peraturan Daerah Provinsi disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 8
c. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4744);
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 menjadi dasar hukum dalam
pembentukan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta, karena pelaksanaan
otonomi berada pada lingkup provinsi sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 9
ayat (1). Artinya, di Provinsi DKI Jakarta hanya ada satu jenis Peraturan
Daerah, yaitu Peraturan Daerah Provinsi.
d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5492);
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 merupakan dasar hukum utama dalam
pelaksanaan penyusunan Naskah Akademik ini. Selain undang-undang
tersebut, peraturan perundang-undangan terkait dengan perindustrian yang
merupakan pelaksanaan dari UU No. 3 Tahun 2014, antara lain Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 2015 tentang Pembangunan Sumber Daya
Industri, Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk
Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015-2035.
e. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pembentukan Peraturan
Daerah;
Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010 menjadi pedoman dalam penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah. Selain itu, peraturan pelaksanaan dari
Peraturan Daerah tersebut adalah Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2009
tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik, menjadi pedoman dalam
penyusunan Naskah Akademik.
f. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Organisasi Perangkat
Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun
2014 Nomor 201, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 2004).
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 9
Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2014 menjadi dasar bagi Dinas Perindustrian
dan Energi dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengembangan industri
mulai perencanaan, pelaksanaan, sampai pembinaan dan pengawasan, yang
secara operasional diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 231 Tahun 2014
tentang Organisasi Tata Kerja Dinas Perindustrian dan Energi.
1.3. Maksud dan Tujuan
Maksud penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah
(Raperda) tentang Perindustrian adalah memberikan justifikasi ilmiah dan
pemahaman diperlukan Peraturan Daerah mengenai perindustrian berdasarkan
referensi yang ada saat ini dan kondisi yang berkembang dalam masyarakat
dan/atau dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan
Provinsi DKI Jakarta yang menjadi dasar pertimbangan dan/atau bahan masukan
materi muatan Raperda tentang Perindustrian, sehingga materi muatan Raperda
tersebut serasi dan selaras atau harmonis dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang ada.
Tujuannya adalah sebagai bahan pertimbangan yang dapat dijadikan pokok-
pokok pemikiran atau gagasan dan aspirasi aktual yang berkembang, baik dalam
kehidupan masyarakat termasuk pelaku usaha maupun dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah dalam rangka penyusunan atau perumusan dan pembahasan Raperda
tentang Perindustrian.
1.4. Sasaran
Tersusunnya dasar-dasar pemikiran dan prinsip-prinsip dasar terhadap
materi muatan Raperda tentang Perindustrian berdasarkan naskah akademik
yang dilandasi kajian ilmiah.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 10
1.5. Hasil Yang Diharapkan
Mencermati latar belakang disusunnya Naskah Akademik Raperda tentang
Perindustrian dengan memperhatikan maksud dan tujuan dilaksanakan kegiatan
ini, maka hasil yang diharapkan sebagai berikut:
a. Tersedianya Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang
Perindustrian yang memuat pokok-pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan
diatur serta jangkauan dan arah pengaturan sehingga materi muatan
Rancangan Peraturan Daerah memenuhi rasa keadilan dan menjamin
kepastian hukum, serta disusun secara sistematis sesuai kaidah-kaidah
hukum dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
b. Tersusunnya Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian sesuai
kaidah-kaidah hukum dan/atau prinsip-prinsip pembentukan peraturan
perundang-undangan, yang dirumuskan dalam pasal per pasal sesuai dengan
teknis pembentukan peraturan perundang-undangan. 1.6. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Raperda tentang
Perindustrian, sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,
pelaku usaha, dan masyarakat dalam penyelenggaraan perindustrian ditinjau
dari filosofis, yuridis, sosiologis, dan teknis operasional secara umum disertai
dengan beberapa hal yang melatar-belakangi atau urgensi diperlukan kebijakan
daerah dalam bentuk Peraturan Daerah.
b. Memberikan justifikasi ilmiah dan pemahaman pengaturan berdasarkan referensi
yang ada saat ini serta hasil-hasil penelitian mengenai dinamika yang berkembang
dalam kehidupan masyarakat termasuk pelaku usaha dan penyelenggaraan
Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah, guna membantu perumusan dan pembahasan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Perindustrian.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 11
c. Melakukan analisis aspek filosofis bahwa norma-norma penyelenggaraan
perindustrian yang termuat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
ditinjau dari kondisi saat ini dan masa mendatang.
d. Melakukan analisis aspek yuridis bahwa norma-norma penyelenggaraan
perindustrian yang termuat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
dan bentuk pelaksanaannya di daerah sebagai bahan materi muatan
Rancangan Peraturan Daerah, dengan cara menggali berbagai dinamika dan
realita dari berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan
aspek teori hukum antara lain: (1) prinsip-prinsip dalam pembentukan norma
hukum termasuk perumusan sanksi administrasi dan pidana atau bentuk-
bentuk pelanggaran; (2) konstruksi bentuk sanksi baik administrasi maupun
pidana termasuk besarnya. Selain itu, aspek bahasa hukum, bahwa bahasa
Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian disusun sesuai kaidah
bahasa hukum, namun mudah dipahami setiap orang tanpa mengabaikan
kaidah bahasa Indonesia.
e. Melakukan analisis aspek sosiologis, yaitu norma-norma yang hidup dan
berkembang di masyarakat dalam penyelenggaraan perindustrian saat ini dan
akan datang.
f. Melakukan analisis aspek teknis operasional, yaitu penyelenggaraan
perindustrian berdasarkan UU No. 3 Tahun 2014 dan peraturan perundang-
undangan lain yang terkait.
g. Menyusun naskah akademik berdasarkan analisis yang dilakukan, yang
mencerminkan sekurang-kurangnya pokok-pokok pikiran, lingkup atau objek
yang akan diatur, serta jangkauan dan arah pengaturan sehingga materi
muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian memenuhi rasa
keadilan dan menjamin kepastian hukum, disusun secara sistematis sesuai
kaidah-kaidah hukum dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 1
Bab 2 METODE PELAKSANAAN
2.1. Konsepsi Dasar
Untuk memberikan pemahaman yang sama dalam penyusunan Naskah
Akademik dan Rancangan Peraturan Daerah, diberikut ini disampaikan konsepsi
dasar mengenai Peraturan Daerah dan Naskah Akademik.
1. Peraturan Daerah
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa Peraturan Daerah
salah satu jenis peraturan perundang-undangan.27 Peraturan Daerah
dimaksud selain melaksanakan ketentuan lebih lanjut dari peraturan
perundang-undangan lebih tinggi dalam hal ini UU No. 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian khususnya dan undang-undang lain pada umumnya, juga
dapat mengatur aspek khusus yang terdapat atau dibutuhkan daerah
dan/atau masyarakat. Sehubungan hal tersebut, secara umum materi
muatan Peraturan Daerah sebagai berikut:
a. pengaturan lebih lanjut dengan cara menjabarkan asas dan/atau prinsip
dan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ke
dalam ketentuan lebih operasional. Konsep penjabaran mengandung
makna adanya upaya untuk merinci atau menguraikan norma-norma
yang terkandung dalam setiap asas, prinsip, dan ketentuan mengenai
struktur untuk dinormakan lebih lanjut atau distrukturkan kembali yang
perlu dan/atau yang layak untuk dikembangkan sesuai kebutuhan daerah
dan masyarakat. 27 Yang dimaksud dengan peraturan peraturan perundang-undangan sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 2
Materi muatan Peraturan Daerah bukan pengulangan yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan lebih tinggi secara menyeluruh
melainkan penjabaran atau operasionalisasinya. Tanpa dilakukan
perumusan ulang menjadi materi muatan Peraturan Daerah, asas,
prinsip-prinsip dan ketentuan atau norma yang termuat dalam peraturan
perundang-undangan lebih tinggi secara otomatis tetap berlaku dan
sifatnya mengikat bagi daerah. Walaupun demikian, kadangkala saat
merumuskan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah lebih
operasional seringkali mengalami kesulitan, antara lain disebabkan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi telah mengatur rinci,
sementara peraturan perundang-undangan tersebut memberikan mandat
untuk diatur dengan Peraturan Daerah.
b. peraturan bersifat teknis operasional namun masih bersifat regulatif
umum. Bersifat teknis operasional dimaksud adalah materi muatan
Rancangan Peraturan Daerah lebih mengkonkretkan, karena itu materi
muatan Rancangan Peraturan Daerah dapat dilaksanakan baik
Pemerintah Daerah atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku
pelaksana pemerintahan di daerah maupun oleh masyarakat termasuk
pelaku usaha. Sedangkan bersifat regulasi umum, mengandung makna
materi muatan yang diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah
memberikan kepastian mengenai hak dan kewajiban dari subjek hukum.
Selain itu mengandung norma yang terkandung bersifat mengatur
dengan konsekuensi mempunyai daya pemaksa/pengikat atau sanksi.
c. sebagai media hukum bagi Gubernur dalam rangka mewujudkan
komitmen atau aspirasi atau keinginan atau harapan yang disampaikan
masyarakat, dalam rangka mewujudkan visi dan misi pembangunan
daerah, dan melaksanakan kebijakan nasional. Hal tersebut tidak
terlepas dari anggaran. Besar kecil anggaran pembangunan industri di
DKI Jakarta sangat ditentukan oleh Dewan Perwakilan Rayat Daerah
(DPRD) Provinsi DKI Jakarta, karena anggaran merupakan wewenang
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 3
DPRD berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD
dan DPRD. Sehubungan itu, keberhasilan penyelenggaraan perindustrian
di Provinsi DKI Jakarta selain ditentukan komitmen Gubernur sebagai
Kepala Daerah, peran aktif masyarakat, dan juga ditentukan oleh DPRD
berkaitan dengan anggaran.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, materi muatan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Perindustrian diharapkan memuat ketentuan lebih kongkret,
sehingga mudah dipahami dan dilaksanakan. Selain itu, tidak menimbulkan
penafsiran ganda (multi-tafsir) yang dapat merugikan masyarakat. Jika
memungkinkan bersifat teknis untuk menghindari penafsiran yang berbeda
dan dapat dioperasionalkan, serta mudah dipahami, atau sekurang-
kurangnya diberikan dalam penjelasan.
Prinsip utama yang dipegang teguh dalam merumuskan materi muatan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian ini adalah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi.28 Artinya,
materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tersebut lebih teknis dari UU,
PP, dan/atau Peraturan Presiden yang mendelegasikan atau sekurang-
kurangnya sama dengan materi muatan Peraturan Menteri yang terkait bila
ada.
Mencermati ketentuan Pasal 236 ayat (3) huruf b UU No. 23 Tahun 2014,
UU No. 12 Tahun 2011, dan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010 tentang
Pembentukan Peraturan Daerah, bahwa Peraturan Daerah merupakan
penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama dengan
Kepala Daerah (dalam hal ini Gubernur). Dalam pembentukan Rancangan
Peraturan Daerah menurut Pasal 22 Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010,
28 Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, bahwa yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 4
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam hal ini Dinas Perindustrian
dan Energi sebagai pemrakarsa menyiapkan terlebih dahulu Naskah
Akademik mengenai materi yang diatur dalam Rancangan Peraturan
Daerah.
2. Naskah Akademik
Naskah akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang dibentuknya suatu
Peraturan Daerah, tujuan, sasaran yang ingin diwujudkan, dan lingkup
pengaturan, jangkauan, objek, atau arah pengaturan dari suatu Rancangan
Peraturan Daerah.29 Naskah akademik memuat hal-hal sebagai berikut: (a)
latar belakang, tujuan penyusunan; (b) landasan filosofis, sosiologis, politis,
dan yuridis;30 (c) sasaran ingin diwujudkan; (d) pokok-pokok pikiran, lingkup
atau objek yang akan diatur; (e) jangkauan dan arah pengaturan.
Berdasarkan uraian di atas, naskah akademik bagian tidak terpisahkan
dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah, karena memuat
gagasan pengaturan materi yang akan diatur dan telah ditinjau secara
sistematik, holistik, dan futuristik dari berbagai aspek terkait, dilengkapi
referensi yang memuat urgensi, konsepsi, landasan, alasan hukum, dan
prinsip-prinsip yang digunakan serta pemikiran tentang norma-norma yang
akan dituangkan ke dalam bentuk pasal-pasal dengan mengajukan
beberapa alternatif bila ada, serta disajikan secara sistematis dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
29 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
30 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 170-172, landasan filosofis mencerminkan keinginan atau harapan yang hendak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui pelaksanaan undang-undang yang bersangkutan dalam kenyataan. Landasan sosiologis mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Sedangkan landasan politis mengambarkan adanya sumber hukum yang melandasi pembentukan undang-undang.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 5
Dalam lampiran UU No. 12 Tahun 2011 ditetapkan sistimatika Naskah
Akademik, sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan memuat latar belakang, sasaran yang akan diwujudkan, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode penelitian. a. Latar Belakang
Latar belakang memuat pemikiran dan alasan perlunya penyusunan Naskah Akademik sebagai acuan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah. Latar belakang tersebut menjelaskan mengapa pembentukan Rancangan Peraturan Daerah memerlukan suatu kajian mendalam dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah tersebut mengarah kepada penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya penyusunan Rancangan Peraturan Daerah.
b. Identifikasi Masalah Identifikasi masalah memuat rumusan mengenai masalah apa yang akan ditemukan dan diuraikan dalam Naskah Akademik tersebut. Pada dasarnya identifikasi masalah dalam suatu Naskah Akademik mencakup 4 (empat) pokok masalah, yaitu: (1) permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi; (2) mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan masalah tersebut, yang berarti membenarkan pelibatan negara dalam penyelesaian masalah tersebut; (3) apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah; (4) apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan.
c. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut: (1) merumuskan permasalahan dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara mengatasi permasalahan; (2) merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat; (3) merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah; (4) merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah. Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah.
d. Metode Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan penelitian sehingga digunakan metode penyusunan Naskah Akademik yang berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain. Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 6
Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan (normatif) dilanjutkan observasi mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait dan berpengaruh terhadap peraturan perundang-undangan yang diteliti.
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
Bab ini memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik, perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi, keuangan negara dari pengaturan dalam suatu Peraturan Daerah. Bab ini dapat diuraikan dalam beberapa sub bab berikut: a. Kajian teoritis. b. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma.
Analisis terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan berbagai aspek bidang kehidupan terkait dengan Peraturan Daerah yang akan dibuat, yang berasal dari hasil penelitian.
c. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat.
d. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara.
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT Bab ini memuat hasil kajian terhadap peraturan perundang-undangan terkait yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan Peraturan Daerah baru dengan peraturan perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta status dari peraturan perundang-undangan yang ada, termasuk peraturan perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta peraturan perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Kajian terhadap peraturan perundang-undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari Peraturan Daerah yang baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi peraturan perundang-undangan yang ada serta posisi dari Peraturan Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan Peraturan Daerah yang akan dibentuk.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 7
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS a. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Landasan Sosiologis Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
c. Landasan Yuridis Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Daerah yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturan sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH Naskah Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan ruang lingkup materi muatan Rancangan Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Dalam Bab ini, sebelum menguraikan ruang lingkup materi muatan, dirumuskan sasaran yang akan diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan. Materi didasarkan pada ulasan yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya. Selanjutnya mengenai ruang lingkup materi pada dasarnya mencakup: a. ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian
istilah, dan frasa; b. materi yang akan diatur; c. ketentuan sanksi; dan d. ketentuan peralihan.
BAB VI PENUTUP
Bab penutup terdiri atas sub bab kesimpulan dan saran. a. Kesimpulan
Kesimpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan asas yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 8
b. Saran Saran memuat antara lain: (1) perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu peraturan perundang-undangan atau peraturan perundang-undangan di bawahnya; (2) rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan rancangan peraturan daerah dalam program legislasi daerah; (3) kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan penyusunan Naskah Akademik lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka memuat buku, Peraturan Perundang-undangan, dan jurnal yang menjadi sumber bahan penyusunan Naskah Akademik.
LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Berdasarkan uraian sistimatika Naskah Akademik tersebut di atas, secara
umum memberikan pedoman dalam penyusunan Naskah Akademik ini, bahwa
sekurang-kurangnya memuat hal-hal yang termuat dalam Lampiran UU No. 12
Tahun 2011. Untuk pembentukan UU, PP, dan Peraturan Presiden dapat
mengikuti sistematika yang termuat dalam UU No. 12 Tahun 2011, namun untuk
penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tidak tepat, karena
Peraturan Daerah merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan lebih
tinggi, yang materi muatannya disesuaikan kebutuhan daerah dan masyarakat.
Artinya dalam penyusunan Naskah Akademik tidak melakukan evaluasi terhadap
UU, PP, Perpres dan/atau Peraturan Menteri melainkan materi muatan UU, PP,
Perpres dan/atau Peraturan Menteri menjadi bahan materi muatan Raperda. Oleh
sebab itu, yang dilakukan kegiatan ini adalah harmonisasi peraturan perundang-
undangan yaitu menselaraskan dan menserasikan asas, prinsip, dan norma yang
termuat dalam peraturan perundang-undangan baik secara vertikal maupun
horizontal yang dilengkapi dengan berbagai teori dan referensi yang berhubungan
dengan penyelenggaraan perindustrian, sehingga menghasilkan kesatuan sistem
hukum yang harmonis menjadi bahan materi muatan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Perindustrian.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 9
Walaupun demikian tetap merujuk pada pedoman yang ditetapkan dalam
UU No. 12 Tahun 2011. Oleh sebab itu, Sistematika Naskah Akademik
Rancangan Peraturan Daerah ini, sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan, memuat latar belakang diperlukan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Perindustrian, maksud dan tujuan, sasaran yang ingin
dicapai, hasil yang diharapkan, dan ruang lingkup kegiatan.
Bab 2 Metode Pelaksanaan, memuat metode pendekatan yang digunakan
dalam penyusunan Naskah Akademik dan penyusunan Raperda, metode
pengumpulan data dan informasi, dan metode analisis.
Bab 3 Gambaran Umum, memuat kondisi empiris perkembangan industri dan
permasalahan yang dihadapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai
pertimbangan atau alasan dibentuknya Rancangan Peraturan Daerah
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek dan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Bab 4 Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan, memuat mengenai tugas,
wewenang, dan tanggung jawab Pemerintah Daerah berdasarkan
peraturan perundang-undangan serta hak dan kewajiban masyarakat
terkait dengan penyelenggaraan perindustrian. Memuat materi muatan
lain menjadi sasaran untuk diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah
sesuai wewenang yang diberikan oleh UU berdasarkan No. 3 Tahun
2014 kepada Pemerintah Daerah dan/atau Gubernur sebagai Kepala
Daerah.
Bab 5 Meteri Muatan Rancangan Peraturan Daerah, muat landasan filosofis,
sosialogis, dan yuridis termasuk dasar hukum disertai norma-norma yang
akan diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 10
Bab 6 Penutup, memuat Kesimpulan dan Saran/rekomendasi Daftar Bacaaan
Lampiran Konsep Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian
2.2. Metode Pendekatan
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, salah satu proses yang dilakukan
dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undang termasuk di dalamnya
Peraturan Daerah adalah harmonisasi, yaitu upaya untuk menyelaraskan suatu
peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain baik
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun sederajat atau sama
(Peraturan Daerah), sehingga Peraturan Daerah tersusun secara sistematis, tidak
saling bertentangan atau tumpang tindih (overlaping). Hal tersebut merupakan
konsekuensi kedudukan Peraturan Daerah dalam hierarki peraturan perundang-
undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011.
Pengharmonisasian terhadap materi muatan Konsep Rancangan Peraturan
Daerah tentang Perindustrian agar tidak tumpang tindih dan saling bertentangan,
sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan ambiguitas dalam
penerapannya. Pelaksanaan harmonisasi secara horizonal, berbagai Peraturan
Daerah yang berlaku di Provinsi DKI Jakarta terkait dengan perindustrian baik
langsung maupun tidak langsung dipelajari secara cermat agar konsepsi materi
muatan Konsep Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian satu sama
lain selaras melalui koordinasi dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
terkait yang secara substansial menguasai materi muatan peraturan perundang-
undangan dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lain.
Di dalam pelaksanaan harmonisasi, ada 2 (dua) aspek dilakukan. Pertama,
harmonisasi vertikal, yakni harmonisasi peraturan perundang-undangan terhadap
peraturan perundang-undangan yang lain dalam hierarki berbeda atau lebih tinggi
dari Peraturan Daerah. Kedua, hormonisasi horizontal, yaitu harmonisasi dengan
Peraturan Daerah yang ada sehingga Konsep Rancangan Peraturan Daerah
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 11
yang disusun saling isi mengisi dan tidak tumpang tindih dengan peraturan
daerah yang telah ada.
Harmonisasi horizontal berangkat dari asas lex posterior delogat legi priori
yang artinya peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan atau
mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lama dan asas lex specialist
delogat legi generalis yang berarti suatu peraturan perundang-undangan yang
bersifat khusus mengenyampingkan peraturan perundang-undangan bersifat
umum. Harmonisasi horizontal dilandasi kedua asas tersebut dalam penyusunan
Peraturan Daerah dikarenakan penyelenggaraan perindustrian pada hakikatnya
lintas urusan pemerintahan dan tidak dapat berdiri sendiri atau dilaksanakan oleh
Dinas Perindustrian dan Energi saja melainkan juga terkait dengan Perangkat
Daerah lain, seperti:
1. Dinas Penataan Kota dalam merumuskan kebijakan pemanfaatan ruang untuk
penyelenggaraan industri khususnya industri kecil dan menengah;
2. Bapeda dalam merumuskan dokumen perencanaan pembangunan baik
RPJPD maupun RPJMD serta mengakomodir usulan kegiatan pembinaan
yang disampaikan oleh Dinas Perindustrian dan Energi dan SKPD terkait;
3. Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) merumuskan kebijakan insentif
berupa keringanan retribusi bagi pelaku usaha di bidang industri kecil dan
menangah;
4. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) merumuskan
berbagai kebijakan yang menjadi persyaratan dalam rangka mewujudkan
industri yang berwawasan lingkungan.
5. Dinas Pelayanan Pajak merumuskan kebijakan insentif berupa keringanan
pajak daerah bagi industri kecil dan menengah.
Sehubungan itu, materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Perindustrian terdapat tugas dan tanggung jawab Pemerintah Daerah yang di
dalamnya sudah termasuk SKPD lain selain Dinas Perindustrian dan Energi, yang
juga memiliki dasar hukum yang berbeda-beda namun saling mengkait dan/atau
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 12
terhubung satu sama lain sehingga dibutuhkan suatu pengaturan yang
komprehensif.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, metode pendekatan yang digunakan
dalam Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian adalah
harmonisasi berdasarkan peraturan perundang-undangan. Melalui pendekatan
tersebut diharapkan terwujud harmonis materi muatan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Perindustrian baik secara vertikal maupun horizontal dengan
peraturan perundang-undangan yang ada. Demikian halnya pendekatan yang
digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik adalah peraturan perundang-
undangan (statue approach).31 Hal tersebut didasarkan atas kedudukan
Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, yang
dibuat oleh DPRD bersama-sama Kepala Daerah dalam hal ini Gubernur, dan
diakui keberadaannya serta mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Atas dasar
ketentuan tersebut, Peraturan Daerah bagian sistem hukum nasional, maka
ketentuan yang mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan nasional
(UU, PP, Peraturan Presiden) berlaku juga dalam pembentukan Peraturan
Daerah sepanjang belum diatur secara khusus.
Peraturan Daerah sebagai sub sistem dalam kerangka sistem hukum
nasional, maka dalam pembentukan harus memperhatikan asas dan/atau prinsip-
prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam
Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 dan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010, yaitu:
1. kejelasan tujuan, bahwa dalam setiap pembentukan peraturan harus
mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Berdasarkan asas tersebut,
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Perindustrian dimaksudkan untuk
mewujudkan struktur industri yang mandiri, sehat dan kukuh dengan
menempatkan pembangunan industri menjadi salah satu pilar dan penggerak
utama perekonomian berdasarkan peraturan perundang-undangan.
31 Valerine, J.L.K. Modul Metode Penelitian Hukum Edisi Revisi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, 2009, hal. 409.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 13
2. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, bahwa dalam setiap jenis
peraturan perundang-undangan harus dibuat lembaga atau pejabat
pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan
perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum
apabila dibuat lembaga/pejabat yang tidak berwenang. Atas dasar asas
tersebut, Rancangan Peraturan Daerah Perindustrian disiapkan oleh Dinas
Perindustrian dan Energi selaku Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang
diberi tugas dan fungsi oleh Gubernur berdasarkan Peraturan Daerah Nomor
12 Tahun 2014 tentang Organisasi Perangkat Daerah untuk merumuskan
kebijakan di bidang perindustrian. Rancangan Peraturan Daerah tersebut
disampaikan kepada Gubernur untuk selanjutnya dibahas dan ditetapkan
bersama-sama dengan DPRD Provinsi DKI Jakarta.
3. kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang
tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan. Asas tersebut menjadi
perhatian dalam penyusunan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah
tentang Perindustrian sesuai kedudukan Peraturan Daerah, yaitu penjabaran
lebih lanjut dari UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian sesuai wewenang
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Pemerintahan Daerah sebagaimana
diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No.
29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta peraturan perundang-undangan
lain yang terkait dengan perindustrian, seperti: UU No. 31 tahun 2000 tentang
Desain Industri, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
4. dapat dilaksanakan, setiap pembentukan peraturan perundang-undangan
harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di
dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Asas
tersebut menjadi perhatian pada saat penyusunan materi muatan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Perindustrian. Dengan disusunnya naskah akademik
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 14
memberikan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis dibentuknya Rancangan
Peraturan Daerah tentang Perindustrian.
5. kedayagunaan dan kehasilgunaan, setiap peraturan perundang-undangan
dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berdasarkan
asas tersebut keberadaan Peraturan Daerah tentang Perindustrian menjadi
dasar hukum bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Masyarakat termasuk
pelaku usaha serta organisasi masyarakat di bidang industri dalam memenuhi
tuntutan dan kebutuhan saat ini dan mendatang.
6. kejelasan rumusan, setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika
dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah
dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya. Asas tersebut menjadi perhatian pada saat penyusunan
konsep Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana disampaikan sebelumnya.
Oleh sebab itu, Konsep Rancangan Peraturan Daerah yang disusun dilakukan
uji publik melalui kegiatan workshop untuk menghindari kata-kata atau
terminologi serta bahasa hukumnya yang tidak jelas dan tidak dimengerti, serta
tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi.
7. keterbukaan, dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan
mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat
transparan dan terbuka. Sejalan dengan asas tersebut, dalam proses
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian dilakukan
secara transparan dan terbuka, antara lain pendekatan yang digunakan
konsultasi publik dan/atau temu pakar dihadiri oleh komponen pelaku industri.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 15
Asas lain yang juga diperhatikan dalam penyusunan materi muatan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian sebagaimana diatur dalam
Pasal 6 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 dan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010
berikut penjelasannya, antara lain:
1. pengayoman, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan
ketentraman masyarakat. Berdasarkan asas tersebut, kebedaraan Peraturan
Daerah tentang Perindustrian diharapkan dapat memberikan perlindungan
hukum bagi pelaku usaha di bidang industri dan bagi Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta dalam melakukan pembinaan dan pengawasan;
2. kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia
serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional;
3. kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan;
4. kenusantaraan, setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi
muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan
bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila;
5. bhinneka tunggal ika, materi muatan peraturan perundang-undangan harus
memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi
khusus daerah, dan budaya khususnya menyangkut masalah sensitif dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
6. keadilan, setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa
kecuali;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 16
7. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras,
golongan, gender, atau status sosial;
8. ketertiban dan kepastian hukum, materi muatan peraturan perundang-
undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan adanya kepastian hukum;
9. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan
bangsa dan negara;
10. prinsip lainnya sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan, antara lain dalam hukum pidana, misalnya, asas legalitas,
asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas
praduga tak bersalah; serta dalam hukum perdata, misalnya, dalam hukum
perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad
baik.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, secara garis besar ada 2 (dua) asas
yang harus diperhatikan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan
(dalam hal ini Peraturan Daerah), yakni:32
1. asas material, meliputi: (a) dibentuk oleh pejabat atau lembaga pembentuk
peraturan hukum yang berwenang untuk itu; (b) dibentuk melalui mekanisme,
prosedur atau tata tertib yang berlaku untuk itu; (c) materi muatannya memiliki
asas-asas hukum yang jelas, tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau dengan
peraturan perundang-undangan lain yang sederajat/mengatur perihal yang
sama; (d) isi peraturan harus jelas, mengandung kebenaran, keadilan dan
kepastian hukum; (e) dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan baik, untuk
32 Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara:
Suatu Studi Analisis Mengenai Keputuan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Fakultas Pascasarjana, 1990, hlm 336-343.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 17
menyelesaikan kasus pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan
dimaksud.
2. asas formal, meliputi: (a) memiliki tujuan yang jelas, maksud yang ingin
diwujudkan dengan dibentuk suatu peraturan perundang-undangan; (b)
memiliki dasar-dasar pertimbangan yang pasti pada konsideran menimbang;
(c) memiliki dasar-dasar peraturan hukum yang jelas pada konsideran
mengingat; (d) memiliki sistematika yang logis dan tidak saling bertentangan
antara bab, bagian, pasal, ayat, dan sub ayat; (e) dapat dikenali melalui
pengundangan ke dalam lembaran negara serta disosialisasikan atau
penyebarluasan.
Di dalam sistem hukum nasional memiliki asas filosofis yang terdapat dalam
Pancasila, dan asas konstitusional yang terdapat dalam UUD 1945. Di antara
asas tersebut terdapat hubungan yang harmonis. Bila hubungan diantara asas
tersebut tidak harmonis dapat dikatakan tidak ada suatu tatanan yang secara
teoritis tidak dalam satu sistem hukum, yaitu dalam kesatuan sistem hukum
nasional. Naskah Akademik salah satu upaya mewujudkan harmonisasi peraturan
perundang-undangan baik secara vertikal atau peraturan perundang-undangan
diatasnya (UU, PP, dan Peraturan Presiden) maupun secara horizontal atau
Peraturan Daerah yang ada, seperti Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2014
tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam penyusunan Naskah
Akademik agar hasilnya dapat terpenuhi nilai-nilai dasar hukum sebagai materi
muatan suatu Rancangan Peraturan Daerah, yaitu kepastian hukum, menjamin
keadilan, dan kemanfaatan, serta tercapainya maksud dan tujuan dibentuknya
Rancangan Peraturan Daerah itu sendiri. Secara teoritis, yang diperhatikan
sebagai berikut:
1. ditinjau dari teori hukum, ada 2 (dua) fungsi hukum (dalam hal ini Peraturan
Daerah) yang menuntut pengembangan substansi hukum atau peraturan
perundang-undangan, yaitu sebagai alat kontrol sosial dan alat rekayasa
sosial. Kedua fungsi tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Sebagai
fungsi kontrol sosial, Peraturan Daerah bertujuan memelihara pola hubungan
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 18
sosial dan mengembalikan hubungan sosial yang terganggu karena terjadi
penyimpangan. Dalam hal ini hukum berfungsi menyelesaikan penyimpangan
yang terjadi atau pelanggaran, dengan mekanisme penilaian perilaku
menyimpang/melanggar dan pemberian sanksi berdasarkan norma yang ada,
sehingga tercipta hubungan sosial yang tertib dan harmonis. Sedangkan
fungsi kedua, bertujuan menciptakan kondisi sosial ekonomi, dan politik baru
dengan meninggalkan pola yang lama, dengan cara mendorong terjadinya
perubahan perilaku dari yang lama ke yang baru. Mekanisme yang digunakan
penekanan pada pelayanan optimal atau prima, pemberian insentif/fasilitas,
dan pengenaan sanksi dalam rangka menciptakan kondisi yang diinginkan.
2. Peraturan Daerah mengatur suatu bidang tertentu harus menetapkan objek
yang diatur jelas. Hal tersebut dimaksudkan agar substansinya tidak saling
tumpang-tindih dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang saling
berkaitan. Di samping itu, kejelasan objek akan memberikan kontribusi
terhadap penetapan perilaku subjek yang diatur, sehingga lebih terarah pada
efektivitas pencapaian maksud dan tujuan dibentuk Rancangan Peraturan
Daerah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, bahwa Rancangan Peraturan Daerah
tentang Perindustrian memuat ketentuan yang lebih kongkret sehingga dapat
memberikan dasar hukum dalam pembangunan industri di Provinsi DKI Jakarta
dan mudah dipahami dan dilaksanakan baik oleh aparat Pemerintah Daerah
maupun masyarakat termasuk pelaku usaha. Warga masyarakat Jakarta yang
majemuk dengan kondisi sosial ekonomi yang beragam tidak mempunyai
kemampuan yang sama untuk memahami atau menafsirkan norma atau aturan
yang termuat dalam Peraturan Daerah, apalagi peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, materi muatan Rancangan Peraturan Daerah
tentang Prindustrian tidak memberikan penafsiran berbeda yang dapat merugikan
masyarakat, organisasi perindustrian, dan Pemerintah Daerah. Rancangan
Peraturan Daerah tentang Perindustrian sedapat mungkin bersifat teknis
operasional tapi regulatif dan tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda dan
mudah dipahami.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 19
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, salah satu sasaran ingin dicapai
dalam menyusunan Naskah Akademik ini adalah harmonisasi baik secara vertikal
maupun horizontal dan sesuai kebutuhan. Prinsip harmonis tersebut merupakan
salah satu prinsip utama yang diperhatikan dalam penyusunan materi muatan dari
suatu peraturan perundang-undangan termasuk Peraturan Daerah sebagaimana
diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011.
Mencermati uraian di atas, Penyusunan Naskah Akademik Rancangan
Peraturan Daerah tentang Perindustrian ini sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya menggunakan metode pendekatan peraturan perundang-undangan
(statue approach). Pendekatan tersebut dilakukan pengkajian berbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan industri dengan cara penafsiran, yaitu
mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam
peraturan perundang-undangan sesuai yang dikehendaki dan yang dimaksud
oleh pembuat undang-undang. Di dalam teori hukum, ada beberapa penafsiran,
yaitu:
1. penafsiran tata bahasa (gramatikal), yaitu cara penafsiran berdasarkan pada
filosofis dan sosiologis peraturan perundang-undangan dengan berpedoman
pada arti perkataan dalam hubungan satu sama lain dalam kalimat yang
dipakai peraturan perundang-undangan;
2. penafsiran sahih (autentik/resmi), yaitu penafsiran terhadap arti kata-kata
sebagaimana yang diberikan pembentuk peraturan perundang-undangan;
3. penafsiran historis, yaitu sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya
berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut, dan sejarah peraturan
perundang-undangan, yang diselidiki atau diteliti maksud dari pembentuk
peraturan perundang-undangan pada waktu membuat peraturan perundang-
undangan itu;
4. penafsiran sistematis (dogmatis), yaitu penafsiran susunan yang berhubungan
dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan maupun dengan peraturan perundang-undangan lain;
5. penafsiran nasional, yaitu penafsiran memiliki sesuai tindakannya dengan
sistem hukum yang berlaku;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 20
6. penafsiran teleologis (sosiologis), yaitu penafsiran dengan mengingat maksud
dan tujuan peraturan perundang-undangan itu;
7. penafsiran ekstensif, yaitu penafsiran dengan memperluas arti kata-kata
dalam peraturan perundang-undangan sehingga dapat dimaksudkan;
8. penafsiran restriktif, yaitu penafsiran dengan membatasi atau mem-persempit
arti kata-kata yang terkadung dalam peraturan perundang-undangan;
9. penafsiran analogis, yaitu memberi tafsiran pada sesuatu peraturan
perundang-undangan dengan memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut
sesuai azas hukumnya, sehingga sesuatu yang sebenarnya tidak dimasukkan
lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.
Beberapa metode penafsiran tersebut di atas digunakan dalam penyusunan
naskah akademik ini.
2.3. Metode Pengumpulan Data dan Informasi
Kegiatan penyusunan naskah akademik termasuk penelitian hukum
normatif, maka diperlukan data dan informasi dari bahan hukum primer, sekunder,
dan tertier.33
1. bahan hukum primer, yakni peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan kedudukan, peran, dan fungsi Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta
sebagaimana diatur dalam UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan
Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia
beserta peraturan pelaksanaannya seperti Peraturan Daerah No. 12 Tahun
2014 tentang Organisasi Perangkat Daerah, dan UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan perundang-undangan lain yang
terkait dengan perindustrian, antara lain UU No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
33 Soekanto, Suryono, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, 2006,
hlm 12
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 21
2. bahan hukum sekunder, yakni bahan bacaan atau literatur yang dapat
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti: hasil-hasil
penelitian dan literatur berkaitan dengan asas penyelenggaraan pemerintahan
daerah, perindustrian, penegakan pelanggaran atas Peraturan Daerah,
penyidikan, dan sebagainya.
3. bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang berupa kamus hukum dan
ensiklopedi ilmu hukum bila diperlukan.
Untuk mendapatkan data dan informasi sebagaimana dimaksud di atas,
metode yang digunakan, sebagai berikut:
1. Studi kepustakaan
Melalui studi kepustakaan diharapkan dapat menggali data dan informasi yang
diperlukan berhubungan dengan substansi naskah akademik ini dengan
prinsip-prinsip rasional, kritis, objektif, dan impersonal dari berbagai sumber.
2. Pengumpulan data sekunder
Data sekunder diperoleh selain melalui diskusi berkaitan aspek yang harus
diperhatikan dalam penyusunan substansi atau materi muatan Rancangan
Peraturan Daerah dan naskah akademik.
Berdasarkan metode pengumpulan data dan informasi sebagaimana
diuraian di atas, diharapkan maksud dan tujuan penyusunan naskah akademik ini
tercapai sehingga alasan (urgensi) dibentuknya Rancangan Peraturan Daerah
tentang Perindustrian dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
2.4. Metode Analisis
Memperhatikan kompleksitas permasalahan yang dihadapi dan prinsip yang
perlu diperhatikan agar penyusunan naskah akademik dapat memberikan
landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis untuk materi muatan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Perindustrian sejalan asas dan prinsip dalam
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 22
pembentukan peraturan perundang-udangan, maka analisis penyusunan naskah
akademik ini menggunakan pendekatan sebagai berikut:
1. empiris, yaitu norma-norma yang harus diperhatikan dalam penyusunan suatu
peraturan perundang-undangan (dalam hal ini Rancangan Peraturan Daerah
tentang Perindustrian). Di dalam analisis ini disampaikan hak, kewajiban, dan
tanggung jawab pelaku usaha dan masyarakat serta tugas, wewenang, dan
tanggung jawab Pemerintah Daerah termasuk pembinaan secara umum
terkait dengan aspek kelembagaan;
2. yuridis, yaitu aspek yang perlu diperhatikan dalam perumusan muatan materi
Peraturan Daerah berdasarkan analisis yang disampaikan dalam naskah
akademik. Metode digunakan context of justification dengan cara menggali
peraturan perundang-undangan terkait dan penyusunan naskah akademik ini.
3. teori hukum, dimasudkan agar naskah akademik memenuhi teori hukum,
antara lain: (a) aspek yang perlu diperhatikan di dalam pembentukan norma
termasuk perumusan sanksi administrasi dan pidana atau bentuk-bentuk
pelanggaran; (b) konstruksi bentuk sanksi baik sanksi administrasi; (c)
mekanisme pengendalian.
4 bahasa hukum, pendekatan ini dimaksudkan agar bahasa Rancangan
Peraturan Daerah sesuai kaidah bahasa hukum namun mudah dipahami
setiap orang tanpa mengabaikan kaidah Bahasa Indonesia. Salah satu
muatan materi Rancangan Peraturan Daerah termasuk penyusunan naskah
akademik ini, yang diperhatikan, meliputi: (a) kalimat merupakan suatu beban
kewajiban substansial; (b) pemenuhan peran, hak dan kewajiban berdasarkan
tatanan prosedur, mekanisme, dan kelembagaan yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan; (c) penerapan aspek yuridis mengisyaratkan
diberlakukan suatu kewajiban dan/atau wewenang beserta kewajiban hukum;
(d) susunan kalimat mengancu berbagai gaya bahasa hukum, yaitu: gaya
bahasa denotatif yang memberikan makna konseptual, gaya bahasa
referensial yang memberikan makna petunjuk denotasional, dan gaya bahasa
yang menunjukan adanya suatu ironi kritik yang bersifat etis terhadap keadaan
dan/atau peristiwa hukum tertentu.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2 - 23
Melalui pendekatan tersebut di atas, diharapkan naskah akademik ini dapat
menjadi acuan dalam penyusunan dan/atau pembahasan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Perindustrian, sehingga dapat memenuhi maksud dan tujuan
yang diharapkan dari kegiatan penyusunan naskah akademik ini, dan sesuai
diharapkan masyarakat, pelaku usaha di bidang industri, dan Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 1
Bab 3 GAMBARAN UMUM
3.1. Perekonomian Provinsi DKI Jakarta Kedudukan dan fungsi Provinsi DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan
ekonomi, pemerintahan, dan sosial, sehingga Provinsi DKI Jakarta selama ini
berperan sebagai indikator perekonomian nasional. Dalam RTRW 2030 dijelaskan
bahwa struktur perekonomian DKI Jakarta dibentuk oleh sektor keuangan,
persewaan, dan jasa perusahaan sebagai unggulan, kemudian diikuti oleh sektor
perdagangan, hotel, dan restoran; dan industri pengolahan. Berdasarkan struktur
perekonomian tersebut mempertegas peran DKI Jakarta sebagai pusat jasa,
keuangan, dan perdagangan pada skala nasional. Kondisi tersebut tercermin dari
laju pertumbuhan terbesar selama tahun 2013 adalah sektor angkutan dan
telekomunikasi, sedangkan perdagangan pertumbuhan terbesar, sektor ekonomi
lain tetap menjadi penyumbang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI
Jakarta meskipun pertumbuhan sektor bersangkutan relatif kecil, demikian pula
sebaliknya. Tabel-3.1
Struktur PDRB menurut Lapangan Usaha, Tahun 2013
No. Lapangan Usaha Distribusi (dalam %) PDRB PDRB 2000
1. Pertanian 0.08 0,07 2. Pertambangan 0,44 0,20 3. Industri Pengolahan 15,23 13,65 4. Listrik, Gas, Air Minum 0,88 0,60 5. Konstruksi 11,16 10,44 6. Perdagangan, Hotel & Restoran 21,11 22,08 7. Angkutan dan Telekomunikasi 10,49 13,82 8. Keuangan 27,75 27,21 9. Jasa Lainnya 12,85 11,94
Sumber : BPS, 2013
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 2
Ditinjau dari penyerapan tenaga kerja, sektor yang menjadi penyerap tenaga
kerja terbesar perdagangan (34,81 persen), industri pengolahan (14,65 persen),
dan jasa-jasa (23,96 persen). Selama tahun 2010 sampai tahun 2014 sektor
keuangan menyerap tenaga kerja lebih besar dibandingkan sektor lainnya.
Perubahan jumlah tenaga kerja yang meningkat di sektor keuangan dikarenakan
DKI Jakarta merupakan pusat kegiatan ekonomi di Indonesia. Selain itu kegiatan
di sektor keuangan akan semakin meningkat seiring meningkatnya sektor
ekonomi yang mendukung perdagangan dan bisnis.
Tabel-3-2 Jumlah Orang yang Bekerja menurut Lapangan Usaha, Tahun 2014
No. Lapangan Usaha 2010 2014 Perubahan
1. Pertanian 17.643 10.707 -6.936 2. Pertambangan 603.903 685.494 81.591 3. Industri Pengolahan 14.407 15.551 1.144 4. Listrik, Gas, Air Minum 165.481 199.594 34.113 5. Konstruksi 1.458.969 1.628.861 169.892 6. Perdagangan, Hotel & Restoran 399.272 420.223 20.951 7. Angkutan dan Telekomunikasi 296.373 495.850 199.477 8. Keuangan 1.229.166 1.120.981 -108.185 9. Jasa Lainnya 4.208.905 4.679.838 643.574 Sumber : BPS, 2015
Berdasarkan jumlah perusahaan industri pengolahan di DKI Jakarta dalam
beberapa tahun terakhir mengalami pengurangan. Tahun 2011 berkurang dari 8,6
persen (137 perusahaan) dibandingkan tahun 2010. Sementara tahun 2010
berkurang sebanyak 111 perusahaan. Berdasarkan jenis perusahaan, tahun 2011
industri yang bergerak di bidang pakaian jadi mendominasi sebesar 24 persen
dari seluruh industri pengolahan yang ada, kemudian diikuti industri makanan
sebesar 12 persen dan industri barang dari karet dan plastik sebesar 11,03
persen. Selama kurun waktu 2009-2011 berturut-turut jenis industri tersebut
menunjukan posisi yang sama.
Pengurangan industri pengolahan di Provinsi DKI Jakarta konsekuensi dari
kebijakan kawasan industri sebagaimana ditetapkan dalam PP No. 24 Tahun
2009 tentang Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4987,
yang menyatakan dalam Pasal 7 sebagai berikut:
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 3
Perusahaan industri yang akan menjalankan industri wajib berlokasi di Kawasan Industri, kecualikan bagi: (a) industri menggunakan bahan baku dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus; (b) industri mikro, kecil, dan menengah; (c) industri yang akan menjalankan industri dan berlokasi di daerah kabupaten/kota yang belum memiliki kawasan industri atau yang telah memiliki kawasan industri namun seluruh kaveling industri dalam kawasan industrinya telah habis.
Keterbatasan lahan dimiliki Provinsi DKI Jakarta menyebabkan Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta tidak dapat memfasilitasi penyediaan lahan untuk kawasan
industri dengan luas paling rendah 50 (lima puluh) hektar dalam satu hamparan
dan luas lahan kawasan industri tertentu untuk usaha mikro, kecil, dan menengah
paling rendah 5 (lima) hektar dalam satu hamparan sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 10 PP No. 24 Tahun 2009. Sementara Pemerintah Daerah di sekitar
DKI Jakarta (Bogor, Tanggerang, dan Bekasi) masih memiliki lahan yang luas,
sehingga kawasan industri lebih banyak di daerah tersebut. Kondisi tersebut
menyebabkan jumlah industri pengolahan di daerah sekitar Provinsi DKI Jakarta
(Bogor, Tanggerang, dan Bekasi) terus mengalami peningkatan.
Tabel 3.3 Laju Pertumbuhan Tahunan Rata-rata Sektor
di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2001 – 2011 (%)
No. Sektor 2001- 2007 (%/Tahun)
2007 - 2011 (%/Tahun)
1. Pertanian -1,08 14,45
2. Pertambangan dan Penggalian -3.90 19,30
3. Industri Pengolahan 5,29 14,05
4. Listrik dan Air Bersih 6,00 13,07
5. Konstruksi 6,50 15,14 6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 7,47 15,38
7. Pengangkutan dan Komunikasi 16,16 18,22
8. Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 4,26 13,06
9. Jasa-jasa 5,61 14,54
Sumber : Penghitungan data BPS DKI Jakarta
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 4
Dengan mempertimbangkan kontribusi sektor tersier secara keseluruhan
signifikan dan relatif tidak mengalami fluktuasi yang besar, maka pada masa
mendatang pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta tetap bertumpu pada sektor
keuangan, perdagangan, dan jasa sebagai sektor basis. Oleh sebab itu, dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Tahun 2005-2025
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2012, Provinsi
DKI Jakarta diarahkan sebagai kota jasa (service city). Sedangkan sektor lain
yang memberikan kontribusi terhadap perekonomian DKI Jakarta adalah industri
pengolahan, walaupun demikian tendensinya menurun secara signifikan dari
tahun ke tahun. Pada tahun 2005 kontribusinya tercatat sekitar 27,88% dan
menurun sekitar 15% pada periode 2007 - 2011. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
menetapkan kebijakan pengembangan industri yang hemat energi, hemat air,
ramah lingkungan, dan padat inovasi dan teknologi, masa mendatang kegiatan
usaha industri diarahkan pengembangannya di Kawasan Ekonomi Strategis
(KES) Marunda di bagian Utara Jakarta.
Jumlah industri di Provinsi DKI Jakarta akan terus mengalami penurunan
sebagai konseksuensi kebijakan penataan ruang yang ditetapkan Pemerintahan
Provinsi DKI Jakarta dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 dan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014
tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi. Arah pengembangan
industri yang ditetapkan dalam produk hukum daerah tersebut, pada peningkatan
pertumbuhan ekonomi berbasis ekonomi pada industri kreatif dan industri
menggunakan teknologi tinggi,34 dengan strategi meningkatkan kapasitas dan
intensitas pusat kegiatan primer dan sekunder untuk mewadahi aktivitas industri
kreatif berskala regional, nasional, dan internasional.
34 Yang dimaksud dengan industri kreatif menurut penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2014 tentang Perindustrian, adalah industri yang mentransformasi dan memanfaatkan kreativitas, keterampilan, dan kekayaan intelektual untuk menghasilkan barang dan jasa. Sedangkan yang dimaksud industri teknologi tinggi menurut penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf c Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, adalah industri yang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 5
Sasaran yang hendak dicapai berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah (RPJPD) Tahun 2005-2025 sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2012, antara lain pengembangan industri
kreatif serta industri kecil dan menengah yang mandiri dan berwawasan
lingkungan.
Jumlah perusahaan untuk industri besar dan sedang sebanyak 1.699
perusahaan, dengan tenaga kerja untuk produksi sebanyak 253.666 jiwa dan
tenaga kerja untuk lainnya sebesar 63.784 jiwa. Jumlah perusahaan, tenaga kerja
dan nilai produksi Industri Besar dan Sedang menurut Kota Administrasi di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009 dilihat pada Tabel 4.7, dimana Kota Administrasi
Jakarta Utara perusahaan terbanyak yaitu 686 perusahaan dengan menyerap
tenaga kerja mencapai 156.789 jiwa dan nilai produksi Rp. 114.285.772.858.000,.
Sedangkan untuk Provinsi DKI Jakarta sendiri pada tahun 2009 memiliki 1.699
perusahaan dengan jumlah tenaga kerja yang terserap sebanyak 317.450 jiwa
dan nilai produksi sebesar Rp. 230.085.293.426.000,-
Tabel 3.4 Jumlah Perusahaan, Tenaga Kerja, dan Nilai Produksi
Industri Besar dan Sedang Menurut Kota Administrasi, Tahun 2009
Kota Adm Perusahaan Tenaga Kerja Nilai Produksi
(000 Rp.)
Jakarta Pusat 64 5.594 1.348.077.371
Jakarta Selatan 92 8.152 2.250.491.297
Jakarta Barat 537 51.581 15.024.895.037
Jakarta Utara 686 156.749 114.285.772.858
Jakarta Timur 320 95.374 97.176.056.863
Total 1.699 317.450 230.085.293.426
2008 1.866 351.084 215.648.073.413
2007 2.566 378.668 177.831.755.291
2006 2.955 407.859 167.187.683.108
2005 1.955 371.573 138.651.230.808
2004 1.842 360.816 127.374.241.943 Sumber : Jakarta Dalam Angka, 2012
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 6
Perkembangan industri besar dan sedang di Provinsi DKI Jakarta menurut
klasifikasi industri dapat dilihat pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5. Jumlah Perusahaan dan Tenaga Kerja Industri Besar dan Sedang
menurut Klasifikasi Industri, Tahun 2009
Kode
Klasifikasi Industri
Perusahaan
Tenaga Kerja Jumlah
Produksi Lainnya
15 Makanan dan Minuman 208 18.548 7.873 26.421
17 Tekstil 137 16.584 2.067 18.651
18 Pakaian Jadi 382 67.072 7.711 74.783
19 Kulit dan Barang Dari Kulit 63 4.537 685 5.222
20 Kayu, Barang Dari Kayu (Tidak Termasuk Furnitur) dan Barang-Barang Anyaman
23 1.495 360 1.855
21 Kertas dan Barang Dari Kertas 40 1.525 335 1.860
22 Penerbitan, Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman 163 11.980 3.240 15.220
23
Batubara, Pengilangan Minyak Bumi, Pengolahan Gas Bumi, Barang-Barang Dari Hasil Pengilangan Minyak Bumi dan Bahan Bakar Nuklir
2 182 52 234
24 Kimia dan Barang-Barang Dari Bahan Kimia 105 20.943 17.233 38.176
25 Barang Dari Karet dan Plastik 183 16.395 3.002 19.397
26 Barang Galian Bukan Logam 21 7.320 2.817 10.137
27 Logam Dasar 29 5.060 1.339 6.399
28 Barang-Barang Dari Logam Kecuali Mesin dan Peralatannya 96 10.849 2.966 13.815
29 Mesin dan Perlengkapannya 35 5.677 2.522 8.199
31 Mesin Listrik Lainnya dan Perlengkapannya 35 9.433 1.477 10.910
32 Radio, Televisi dan Peralatan Komunikasi Serta Perlengkapannya
7
413 58 471
33 Peralatan Kedokteran, Alat-Alat Ukur, Peralatan Navigasi, Peralatan Optik, Jam dan Lonceng
9
1.056 232 1.288
34 Kendaraan Bermotor Roda 4 atau Lebih
35
22.820 3.621 26.441
35 Alat Angkutan, Selain Kendaraan Bermotor Roda 4 atau Lebih
21
14.540 3.791 18.331
36 Furnitur dan Industri Pengolahan Lainnya
92
16.612 2.333 18.945
37 Daur Ulang 13
625 70 695
Jumlah/Total 1.699 253.666 63.784 317.450
Sumber : Jakarta Dalam Angka, 2012
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 7
Menurut jenis industri, dari 1.699 unit industri besar dan sedang di DKI
Jakarta pada tahun 2009 menunjukkan dominasi industri pakaian jadi dengan 382
unit dan industri makanan minuman dengan 208 unit. Sedangkan jumlah unit
usaha pada jenis usaha industri lain sebagaimana disajikan tabel berikut ini.
Tabel 3.6
Jumlah Industri Menurut Jenis di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009
No. Jenis Industri Jumlah Industri (Unit)
Jumlah Tenaga Kerja (Orang)
1. Makanan dan Minuman 208 26.421 2. Tekstil 137 18.651 3. Pakaian Jadi 382 74.783 4. Kulit dan Alas Kaki 63 5.222 5. Kayu, Rotan, dan Bambu 23 1.855 6. Kertas dan Sejenisnya 40 1.860 7. Penerbitan dan Percetakan 163 15.220 8. Batubara dan Pengolahan Minyak Bumi 2 234 9. Kimia dan Barang dari Bahan Kimia 105 38.176
10. Karet, Barang dari Karet, dan Plastik` 183 19.397 11. Barang Galian Bukan Logam 21 10.137 12. Logam Dasar 29 6.399 13. Barang dari Logam, kecuali Mesin dan Peralatannya 96 13.815 14. Mesin dan Peralatannya 35 8.199 15. Mesin Lainnya dan Perlengkapannya 35 10.910 16. Radio, TV, dan Peralatan Komunikasi 7 471 17. Peralatan Kedokteran 9 1.288 18. Kendaraan Bermotor 35 26.441 19. Alat Angkutan, selain Kendaraan Roda Empat 21 18.331 20. Furniture dan Pengolahan Lainnya 92 18.945 21. Daur Ulang 13 695
Jumlah 1.699 317.450
Sumber : DKI Jakarta Dalam Angka, BPS DKI Jakarta, 2011
3.2. Perkembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM)
Tidak dapat dipungkiri sejak dicanangkan industrialisasi pada Pelita I hingga
saat ini telah memberikan kontribusi dalam berbagai bidang pembangunan.
Industri Kecil dan Menengah (IKM) terbukti bertahan dalam menghadapi berbagai
krisis yang terjadi di Indonesia dan IKM merupakan lapangan pekerjaan yang
penampung/penyerap tenaga kerja terbesar. Pada saat terjadi krisis moneter
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 8
tahun 1997-1998, IKM bertahan dan menjadi tulang punggung perekonomian
Provinsi DKI Jakarta pada saat itu, sementara industri besar mengalami
rasionalisasi karyawan bahkan menutup perusahaan. Berdasarkan hal tersebut
sudah sewajarnya kalau pemerintah berpihak dalam membantu para pengusaha
IKM agar dapat bersaing dan menjadi salah satu penggerak roda perekonomian
Provinsi DKI Jakarta.
Tabel 3.7 Jumlah Industri Kecil dan Menengah di Provinsi DKI Jakarta, Tahun 2012
No Wilayah Jumlah Unit Usaha Tenaga Kerja Investasi
(Milyar)
1 Jakarta Pusat 4.329 9.109 422,350
2 Jakarta Selatan 3.481 8.500 3.689,000
3 Jakarta Barat 7.200 197.898 1.046,400
4 Jakarta Utara 7.178 18.578 1.273,000
5 Jakarta Timur 6.989 103.897 4.265,000
6 Kepulauan Seribu 3 11 0,035
Jumlah 29.180 337.993 10.695,785
Sumber : Diolah Dinas Perindustrian dan Energi, 2012
Jumlah Industri Kecil dan Menengah (IKM) di Provinsi DKI Jakarta sebesar
29.180 unit usaha industri dengan jumlah seluruh tenaga kerja IKM sebanyak
337.993 jiwa dan nilai investasi sebesar Rp. 10. 695,785 Milyar. Berdasarkan
Kota Administrasi, Jakarta Pusat terdapat 4.329 uni usaha IKM, dengan jumlah
tenaga kerja 9.109 jiwa dan nilai investasi sebesar Rp. 422,350 Milyar. Jakarta
Barat terdapat 7.200 unit usaha IKM dengan jumlah tenaga kerja 197.898 jiwa
dan nilai investai Rp. 1.046,400 Milyar. Jakarta Selatan terdapat 3.481 unit usaha
IKM, dengan jumlah tenaga kerja 8.500 jiwa dan nilai investai Rp. 3.689 Milyar.
Jakarta Utara terdapat 7.178 unit usaha IKM, dengan jumlah tenaga kerja 18.578
jiwa dan nilai investai Rp. 1.273 Milyar. Kota Administrasi Jakarta Timur terdapat
6.989 unit usaha IKM, dengan jumlah tenaga kerja 103.897 jiwa dan nilai investai
Rp. 4.265 Milyar. Kota Administratif Kepulauan Seribu terdapat 3 unit usaha IKM
dengan jumlah tenaga kerja sebesar 11 orang dan nilai investasi Rp. 0,035 Milyar.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 9
Mencermati peranan IKM tersebut di atas, Pemerintah membuat kebijakan
yang dapat mendukung pengembangan IKM pada masa akan datang seperti
peningkatan mutu produksi, membantu dalam menembus pasar domestik dan
global serta memfasilitasi dalam pengembangan jaringan diantara sesama
pengusaha IKM. Sehubungan itu, perhatian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
menumbuhkembangkan IKM tidak berlebihan, karena IKM menyerap banyak
tenaga kerja, menggunakan sumberdaya lokal, dan hemat penggunaan lahan
atau ruang, dan ramah lingkungan. Walaupun demikian masih ada kendala yang
dapat menghambat tumbuh berkembangnya IKM. Kendala tersebut dapat
dijadikan sebagai kebijakan dan strategi dalam pembinaan dan pengembangan
IKM dimasa mendatang.
Kendala yang dihadapi IKM antara lain belum mampu bersaing dengan
kompetitor besar dan/atau asing, keterbatasan akses pasar, permodalan, dan
manajemen. Di lain pihak sejak dilaksanakan otonomi daerah berasaskan
desentralisasi, daerah diberikan wewenang menetapkan kebijakan berdasarkan
urusan pemerintahan yang menjadi wewenangnya, sehingga berbagai kebijakan
yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah cenderung bersifat sektoral dan turut
mewarnai perkembangan IKM. Hal tersebut menjadi tantangan bagi Dinas
Perindustrian dan Energi Provinsi DKI Jakarta dalam memberdayakan IKM dalam
rangka mendukung pertumbuhan perekonomian Provinsi DKI Jakarta sekaligus
penciptaan lapangan kerja. Untuk itu, produk IKM selain mampu bersaing dengan
produk dari luar negeri (globalisasi) dan Asean China Free Trade Agreement
(ACFTA). Tantangan lain yang dihadapi Dinas Perindustrian dan Energi Provinsi
DKI Jakarta dalam memberdayakan industri, menurut Pasal 26 ayat (4) huruf d
UU No. 29 Tahun 2007, bahwa urusan pemerintahan di bidang industri menjadi
kewenangan Gubernur untuk melakukan koordinasi dengan Pemerintah Pusat
dan Daerah lain terutama dengan daerah sekitar Provinsi DKI Jakarta.
Dari beberapa hasil pengamatan dan isu yang berkembang dalam berbagai
perspektif yang perlu diperhatikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta baik dalam
pembinaan IKM yang sudah dilakukan maupun yang akan dilakukan, antara lain:
(1) perlu dilakukan harmonisasi kebijakan yang menghambat pertumbuhan IKM.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 10
Dalam arti ketidaksesuaian antara komitmen politik untuk mengembangkan IKM
secara nyata ditataran operasional, seperti dukungan sumber daya, prasarana
dan sarana penunjang, bantuan teknik, insentif, dan sebagainya; (2) banyak pola
bantuan teknis yang kurang efektif baik dari Pemerintah Pusat langsung maupun
peran serta pelaku usaha dan pelaku indusri yang penerapannya belum
mempertimbangkan aspek kelayakan, tidak didasarkan kondisi spesifik obyek
binaan, serta kurang konsisten dukungan sumber daya yang diberikan; (3)
pendekatan pembinaan dan pengembangan belum komprehensif atau terpadu
dalam pelaksanaan atau masih rendahnya koordinasi antar sektor; (4) banyaknya
program pemberdayaan IKM dalam bentuk program dan kegiatan penyuluhan dan
pelatihan akan tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan nyata dari obyek
binaan; (5) peranserta Pemerintah Pusat termasuk sistem insentif belum
menyentuh kebutuhan sektor riil dari objek binaan. Pengembangan sistem insentif
mengalami hambatan karena cara pandang berbeda dan untuk kepentingan
jangka pendek, serta lemahnya pengawasan; (6) masih ada keenganan sebagian
pelaku IKM untuk melakukan perubahan yang bersifat modernisasi dikarenakan
faktor sosial dan budaya; (7) pola pikir konseptual belum komprehensif dalam
penyusunan strategi dan program dengan masalah dihadapi, sehingga
pembinaan kurang berdayaguna dan berhasilguna.
3.3. Perkembangan Industri Kreatif
Definisi industri kreatif menurut Kementerian Perdagangan, adalah industri
yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, ketrampilan serta bakat individu untuk
menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan
mengeskploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Sementara ekonomi
kreatif didefinisikan sebagai sistem kegiatan manusia berkaitan dengan produksi,
distribusi, pertukaran serta konsumsi barang dan jasa yang bernilai kultural,
artistik dan hiburan. Ekonomi kreatif bersumber pada kegiatan ekonomi dari
industri kreatif. Dari definisi tersebut, nilai ekonomi dari suatu produk atau jasa
dimasa mendatang (era kreatif) tidak lagi ditentukan oleh bahan baku atau sistem
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 11
produksi seperti pada era industri, tetapi pada pemanfaatan kreativitas dan
inovasi. Industri tidak dapat lagi bersaing di pasar global hanya mengandalkan
harga atau mutu produk saja melainkan bersaing berbasiskan inovasi, kreativitas,
dan imajinasi.
Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia tidak memiliki sumber
daya alam seperti daerah lain, namun memiliki potensi dalam pengembangan
industri kreatif, karena memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memadai,
dengan mobilitas yang tinggi, suasana kota Jakarta yang torelan dan
multibudaya, serta atmosfer kerja yang kondusif oleh wirausaha muda dengan
inovasi baru, menjadikan industri kreatif dapat tumbuhberkembang dan
memberikan kontribusi berarti bagi pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta.
Daya tarik kota Jakarta bagi pendatang muda dari luar daerah DKI Jakarta,
keberadaan berbagai perguruan tinggi secara tidak langsung memberikan
dukungan pengadaan calon pekerja berpengetahuan dan berketerampilan tinggi,
sekaligus potensi bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadikan kota Jakarta
sebagai salah satu kota kreatif di Indonesia. Kemitraan dengan perguruan tinggi
untuk menyiapkan SDM yang kreatif dengan fokus pada penyiapan wirausaha
muda yang inovatif dan profesional.
Menurut Richard Florida dalam bukunya The Creative Class Theory, bahwa
keberhasilan suatu kota menjadi kota kreatif ditentukan oleh 3 (tiga) faktor, yaitu
talenta, toleransi, dan teknologi (3T). Faktor talenta meliputi aspek pekerja kreatif,
aspek budaya meneliti, dan aspek modal, sumber daya manusia (SDM).
Kreativitas merupakan jantungnya inovasi, maka pekerja kreatif menentukan
kelangsungan industri kreatif. Pekerja dibagi ke dalam dua kategori, yaitu pekerja
kreatif (creative class) dan pekerja biasa (working class) yaitu pekerja di bidang
pelayanan dan pekerja di bidang pertanian. Semakin tinggi proporsi pekerja "inti
superkreatif", semakin tinggi kinerja ekonomi industri kreatif dari kota kreatif. Akan
tetapi, Richard mengingatkan, sekalipun pekerja kreatif pengendali pertumbuhan
utama, kelas-kelas pekerja lain juga dibutuhkan. Faktor toleransi meliputi aspek
sikap, aspek nilai, dan aspek ekspresi diri. Aspek sikap dinilai dari sikap terhadap
minoritas, keterbukaan orang-orang asalnya berbeda, kesempatan pekerjaan
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 12
yang tersedia bagi warga bukan putra daerah. Aspek nilai diukur dari sejauh
mana nilai-nilai tradisional asli daerah bisa hidup berdampingan secara harmonis
dengan nilai-nilai modern dan sekuler. Aspek ekspresi diri diukur dari sejauh
mana suatu kota menghormati hak individu dan kebebasan mengekspresikan
dirinya. Aspek tersebut dimiliki Provinsi DKI Jakarta.
Industri kreatif cocok bagi wirausaha inovatif muda dari perguruan tinggi
mengawali kariernya di dunia usaha, namun berdasarkan data Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional lebih dari 80% lulusan S-1
memilih bekerja dan hanya 4% memilih memulai usaha, bahkan cenderung dalam
beberapa tahun terakhir lebih memilih menjadi pengawai negeri sipil (PNS).
Kenyataan tersebut diperkuat hasil riset Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan Nasional salah satu kesimpulannya, semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang semakin rendah kemandiriannya. Hal tersebut
dapat dipahami mengapa lulusan perguruan tinggi kurang tertarik berkarier
menjadi wirausaha karena dituntut kemandirian yang tinggi.
Di masa mendatang diperlukan pekerjaan yang memiliki keahlian atau
keterampilan tertentu. Pekerja kontrak yang fleksibel dan mobile, self-employed,
dan freelances, semakin meluas pada usaha mikro, kecil, dan menengah, serta
usaha besar membutuhkan spesialisasi operasi/produksi untuk menghasilkan
suatu jenis barang/jasa tertentu. Prospek industri kreatif menjanjikan kesempatan
kerja, kesejahteraan, dan pertumbuhan ekonomi daerah. Dengan demikian,
pembelajaran life skills seperti pendidikan kewirausahaan inovatif menjadi arah
dan strategi dalam pengembangan sumber daya manusia di bidang industri dalam
rangka menunjang terwujudnya tujuan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa setiap daerah perlu
berkompetisi secara positif dengan daerah lain dalam meraih perhatian
(attention), pengaruh (influence), pasar (market), tujuan bisnis dan investasi.
Di beberapa negara saat ini sedang berkompetisi mengembangan industri
kreatif dengan cara masing-masing sesuai kemampuan yang ada pada negara
bersangkutan, seperti Singapura memasang iklan dalam surat kabar Indonesia
edisi bahasa Inggris beberapa tahun lalu, mengundang generasi muda Indonesia
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 13
yang memiliki bakat menjadi warga negara Singapura asal memiliki konsep bisnis
yang kuat dan dituangkan dalam rencana bisnis yang komprehensif. Contoh lain,
iklan salah satu televisi di Australia mengundang orang muda dari negara
manapun berimigrasi ke kota Adelaide Australia Selatan sebagai wirausaha
inovatif dengan menjanjikan berbagai kemudahan dan dukungan menggiurkan.
Ada yang menitikberatkan pada industri usaha kreatif dan budaya (creative
cultural industry), ada yang menitikberatkan pada lapangan usaha kreatif (creative
industry), dan juga hak kekayaan intelektual seperti hak cipta (copyright industry).
Indonesia mengembangkan industri kreatif dengan pendekatan ekonomi
kreatif sebagaimana termuat dalam buku ”Pengembangan Ekonomi Kreatif
Indonesia 2025: Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2015”,
antara lain menyatakan bahwa “industri kreatif merupakan bagian tak terpisahkan
dari ekonomi kreatif”. Dengan kata lain ekonomi kreatif adalah ekonomi yang
ditopang antara lain industri kreatif. Pengembangan ekonomi kreatif tidak hanya
menekankan pada pengembangan industri yang termasuk dalam kelompok
industri kreatif, melainkan juga pada pengembangan berbagai faktor yang
signifikan dalam ekonomi kreatif, yaitu sumber daya manusia, bahan baku,
teknologi, tatanan institusi, dan lembaga pembiayaan menjadi komponen
pengembangan.
Begitu besarnya dampak positif dari industri kreatif terhadap perekonomian,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan perhatian khusus dan memajukan
industri kreatif di DKI Jakarta. Selain alasan tersebut potensi industri kreatif
sangat besar dan membutuhkan sentuhan kreatif dari generasi muda agar dapat
tereksploitasi dan terkelola dengan baik. Penduduk DKI Jakarta ± 9,5 juta jiwa
(BPS, 2010) memiliki potensi industri kreatif yang sangat besar, karena sebagian
besar penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja berpendidikan
menengah ke atas.
Pada Tahun 2007, nilai PDRB Industri Kreatif DKI Jakarta sebesar Rp
89,813 trilyun rupiah dan memberikan kontribusi kepada perekonomian sebesar
15,51% dari PDRB DKI Jakarta. Dengan membandingkan nilai industri kreatif DKI
Jakarta tahun 2007 dengan industri kreatif nasional pada tahun 2002-2006,
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 14
nilainya mencapai Rp 104,637 trilyun, dan memberikan kontribusi kepada PDB
sebesar 6,28%, maka nilai industri kreatif di DKI Jakarta adalah besar.
Tabel 3.8
Kontribusi Industri Kreatif terhadap PDRB DKI Jakarta Tahun 2007 Menurut Sektor Primer, Sekunder dan Tersier
PDRB Rata-rata
No. Sektor (Jutaan Rp) Kontribusi Thd PDRB
1. Primer: Tidak ada industri kreatif yang masuk dalam golongan industri kreatif
-
-
2. Sekunde: Industri pengolahan
6.627.358
11,45
3. Tersier: Perdagangan produk industri
20.726.802
35,81
Jasa Kreatif 62.458.888 10,79
JUMLAH 89.813.048 15,51 Sumber: Hasil Pengolahan
Struktur perekonomian DKI Jakarta mengarah pada jasa, maka industri
kreatif di DKI Jakarta lebih dominan pada sektor yang bersifat tersier. Kontribusi
tersebut juga terlihat dari nilai PDB yang dihasilkan oleh masing-masing sektor.
Selain itu dengan membandingkan nilai tambah industri kreatif terhadap PDRB
atau PDB suatu wilayahnya, maka perekonomian di DKI Jakarta terdapat industri
kreatif yang besar pula. Namun, bila dibandingkan seluruh sektor di dalam
perekonomian, nilai kontribusi industri kreatif di DKI Jakarta menempati peringkat
kedua setelah sektor jasa keuangan seperti bank, non bank dan jasa penunjang
keuangan lainnya sebesar 19,52% bagi PDRB DKI Jakarta. Pada peringkat
ketiga, kontribusi terhadap perekonomian diberikan oleh sektor kontruksi yang
memberikan kontribusi terhadap PDRB sebesar 11,88%
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 15
Tabel 3.9 Industri Kreatif Yang Penyerapan Tenaga Kerja dan
Produktivitas Di Atas Rata-rata Perekonomian DKI Jakarta
Tenaga Kontribusi Indeks Sektor Kerja Penyerapan Jml TK Jenis Industri Produktivitas Indeks
(TK) TK Perdagangan bersar, fesyen, kerajinan dan kreatif lain
243.426 6.871 3.916 Jasa riset dan pengembangan
534.049 2,877
Jasa multimedia dan komputer
455,252 2,452
Perdagangan eceran fesyen, kerajinan dan kreatif lain
103.738 2.928 1,669 Jasa kegiatan radio dan televisi
447,169 2,509
Jasa kegiatan drama, musik, bioskop dan hiburan lainnya
376,336 2,027
Jasa impresariat 376,336 2,027 Jasa konsultan
arsitek 375,979 2,025
Jasa periklanan 302,941 1,632 Jasa riset pemasaran 271,468 1,462 Industri macam-
macam wadah dari logam
264,224 1,423
Industri alat-alat musik
244,424 1,317
Industri kemasan dari gelas
212,232 1,143
Sumber: BPS, Hasil Pengolahan
Dalam penyerapan tenaga kerja, jumlah seluruh tenaga kerja yang terserap
dalam industri kreatif mencapai 616.605 orang, sedangkan jumlah tenaga kerja
seluruh DKI Jakarta sebanyak 3.543.028 orang, penyerapan tenaga kerja pada
indusri kreati di DKI Jakarta sebesar 17,40%. Penyerapan tenaga industri kreatif
dan produktivitas yang dihasilkan industri kreatif terbesar atau di atas angka
indeks satu.
Jika diperhatikan perkembangan industri kreatif saat ini di Provinsi DKI
Jakarta menjadi pilar utama dalam mengembangkan ekonomi kreatif daerah,
karena memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat Jakarta dan
pendapatan daerah. Oleh sebab itu, potensi industri kreatif memiliki peluang
besar bagi Provinsi DKI Jakarta untuk dikembangkan baik di pasar domestik
maupun internasional merupakan modal bagi eksistensi industri tersebut. Industri
kreatif memberikan harapan baru akan muncul suatu usaha atau kegiatan
ekonomi yang lebih banyak mengandalkan sentuhan kreatif individu yang akan
membawa ke level kehidupan masyarakat Jakarta yang lebih baik. Produktivitas
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 16
sektor industri kreatif lebih tinggi dari keseluruhan produktivitas tenaga kerja,
karena ekonomi kreatif membawa segenap talenta, bakat, dan hasrat individu
menciptakan “nilai tambah” melalui hadirnya produk/jasa yang kreatif.
Kemajuan industri kreatif dapat didorong antara lain dengan 5 (lima) cara.
Pertama, promosi industri kreatif akan mendorong membesarnya pasar bagi
pelaku industri kreatif. Konsumen semakin sadar akan kemampuan industri kreatif
Jakarta untuk memenuhi kebutuhannya. Potensi pasar ekspor hasil industri kreatif
masyarakat Jakarta di pasar internasional terbuka lebar. Mendayagunakan staf
diplomatik negara sahabat yang ada di Jakarta atau pimpinan kantor perusahaan
Indonesia yang ada di luar negeri sebagai pemasar, salah satu cara untuk
memperbesar pasar bisnis kreatif Jakarta. Kedua, peningkatan daya saing.
Pengembangan teknologi, ide kreatif, kebijakan dan lingkungan bisnis yang
kondusif termasuk “perlindungan bagi personel kreatif” serta peningkatan
kompetensi pelaku bisnis terus dilakukan untuk meningkatkan daya saing. Ketiga,
penambahan pengalaman. Pengalaman merupakan sumber daya yang tidak bisa
ditukar dengan pengetahuan yang didapat secara instan. Melalui proses
pembelajaran dari hasil kreasi akan memberi modal bagi penambahan
pengalaman berkreasi pelaku bisnis kreatif. Keempat, peningkatan nilai tambah.
Kemajuan bisnis industri kreatif akan mendorong peningkatan nilai tambah
perekonomian dan bisnis pada umumnya. Kelima, pengembangan kreativitas.
Pelaku usaha industri kreatif membutuhkan kreativitas dan inovasi, maka dari itu
harus dapat mengeksplorasi potensi kreatif yang dimilikinya untuk menghasilkan
karya terbaik.
Pemerintah Pusat telah mengembangkan 14 (empat belas) jenis industri
kreatif yang menjadi prioritas untuk menjadi perhatian, yaitu:
1. Periklanan
Industri periklanan didefinisikan sebagai industri jasa yang mengemas bentuk
komunikasi tentang suatu produk, jasa, ide, bentuk promosi, informasi:
layanan masyarakat, individu maupun organisasi yang diminta pemasang iklan
(individu, organisasi swasta/pemerintah) melalui media tertentu (misal: televisi,
radio, cetak, digital signage, internet) bertujuan untuk mempengaruhi,
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 17
membujuk target individu/masyarakat untuk membeli, mendukung atau
sepakat atas hal yang ingin dikomunikasikan.
Jenis pekerjaan periklanan merupakan jenis pekerjaan yang mem-butuhkan
serta menuntut pengetahuan serta kreativitas yang tinggi. Secara umum
klasifikasi pekerja subsektor ini dibedakan dalam 2 (dua) kelompok utama,
yaitu: pekerja kreatif serta pekerja pendukung (services). Dalam sebuah biro
iklan, umumnya akan memiliki departemen sebagai berikut: account services,
creative & interactive, media & public relations dan traffic. Pada perusahaan
besar, setiap fungsi dapat dilakukan individu berbeda, tetapi di perusahaan
kecil tidak menutup karena beberapa fungsi dapat dilakukan oleh individu
yang sama.
Kegiatan kreatif yang berkaitan jasa periklanan (komunikasi satu arah dengan
menggunakan medium tertentu), meliputi proses kreasi, produksi dan distribusi
dari iklan yang dihasilkan, misalnya: riset pasar, perencanaan komunikasi
iklan, iklan luar ruang, produksi material iklan, promosi, kampanye relasi
publik, tampilan iklan di media cetak (surat kabar, majalah) dan elektronik
(televisi dan radio), pemasangan berbagai poster dan gambar, penyebaran
selebaran, pamflet, edaran, brosur dan reklame sejenis, distribusi dan delivery
advertising materials atau samples, serta penyewaan kolom untuk iklan.
2. Film/Video dan Fotografi
Industri kreatif film/video dan forografi merupakan kegiatan kreatif yang
berkaitan dengan jasa fotografi, produksi film (termasuk penulisan skenario,
sinematografi, dan lain-lain).
3. Musik
Semua aktivitas yang menyangkut proses produksi album lagu, rekaman
suara, komposisi musik termasuk pertunjukan musik.
4. Arsitektur
Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan jasa desain bangunan, perencanaan
biaya konstruksi, konservasi bangunan warisan, pengawasan konstruksi baik
secara menyeluruh dari level makro (town planning, urban design, landscape
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 18
architecture) sampai pada level mikro (detail konstruksi, misalnya: arsitektur
taman, desain interior).
5. Pasar Seni dan Barang Antik
Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan perdagangan barang-barang asli, unik
dan langka serta memiliki nilai estetika seni yang tinggi melalui lelang, galeri,
toko, pasar swalayan, dan internet, misalnya: alat musik, percetakan,
kerajinan, automobile, film, seni rupa dan lukisan. Industri kreatif pasar seni
dan barang antik berkaitan dengan pengerjaan maupun perdagangan produk-
produk antik termasuk di dalamnya hiasan.
6. Kerajinan
Industri kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, dan distribusi produk
yang dibuat dihasilkan oleh pengrajin yang berawal dari desain awal sampai
dengan proses penyelesaian produknya, antara lain meliputi barang kerajinan
yang terbuat dari batu berharga, serat alam maupun buatan, kulit, rotan,
bambu, kayu, logam (emas, perak, tembaga, perunggu, besi) kayu, kaca,
porselin, kain, marmer, tanah liat, dan kapur. Produk kerajinan pada umum-
nya diproduksi dalam jumlah yang relatif kecil (bukan produksi massal).
7. Desain
Industri kreatif yang terkait dengan kreasi desain grafis, desain interior, desain
produk, desain industri, konsultasi identitas perusahaan dan jasa riset
pemasaran serta produksi kemasan dan jasa pengepakan.
8. Desain Fashion
Kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain pakaian, desain alas kaki,
dan desain aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode dan aksesorisnya,
konsultansi lini produk fesyen, serta distribusi produk fesyen.
9. Permainan Interaktif
Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, dan distribusi
permainan komputer dan video yang bersifat hiburan, ketangkasan, dan
edukasi. Subsektor permainan interaktif bukan didominasi sebagai hiburan
semata-mata tetapi juga sebagai alat bantu pembelajaran atau edukasi.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 19
10. Seni Pertunjukan
Kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi produksi video, film, dan jasa
fotografi, serta distribusi rekaman video dan film. Termasuk di dalamnya
penulisan skrip, dubbing film, sinematografi, sinetron, dan eksibisi film,
pertunjukan tarian tradisional, kontemporer, drama, musik tradisional, teater,
opera, dan lain-lain.
11. Penerbitan dan Percetakan
Kegiatan kreatif yang terkait dengan dengan penulisan konten dan penerbitan
buku, jurnal, koran, majalah, tabloid, dan konten digital serta kegiatan kantor
berita dan pencari berita. Subsektor ini juga mencakup penerbitan perangko,
materai, uang kertas, blanko cek, giro, surat andil, obligasi surat saham, surat
berharga lainnya, passport, tiket pesawat terbang, dan terbitan khusus lainnya.
Juga mencakup penerbitan foto-foto, grafir (engraving) dan kartu pos, formulir,
poster, reproduksi, percetakan lukisan, dan barang cetakan lainnya, termasuk
rekaman mikro film.
12. Layanan Komputer dan Piranti Lunak
Kegiatan kreatif yang terkait dengan pengembangan teknologi informasi
termasuk jasa layanan komputer, pengolahan data, pengembangan database,
pengembangan piranti lunak, integrasi sistem, desain dan analisis sistem,
desain arsitektur piranti lunak, desain prasarana piranti lunak dan piranti keras,
serta desain portal termasuk perawatannya.
13. Televisi dan Radio
Kegiatan kreatif berkaitan dengan usaha kreasi, produksi dan pengemasan
acara televisi (seperti games, kuis, reality show, infotainment, dan lainnya),
penyiaran, dan transmisi konten acara televisi dan radio, termasuk kegiatan
pemancar kembali (station relay) siaran radio dan televisi.
14. Riset dan Pengembangan
Kegiatan kreatif terkait dengan usaha inovatif yang menawarkan penemuan
ilmu dan teknologi dan penerapan ilmu dan pengetahuan tersebut untuk
perbaikan produk dan kreasi produk baru, proses baru, material baru, alat
baru, metode baru, dan teknologi baru yang dapat memenuhi kebutuhan
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 20
pasar; termasuk dengan humaniora seperti penelitian dan pengembangan
bahasa, sastra, dan seni; serta jasa konsultansi bisnis dan manajemen
Ke-14 kelompok industri kreatif tersebut di atas, ada yang membutuhkan
bahan baku (resources) yang secara langsung berasal dari atau menggunakan
objek sumber daya alam, yakni industri kerajinan (crafts), barang seni (arts), serta
riset dan pengembangan apabila diarahkan pengembangan dengan objek sumber
daya alam. Industri kreatif memiliki potensi yang cukup besar untuk
dikembangkan di DKI Jakarta, namun masih banyak kendala yang dihadapi oleh
industri, antara lain regulasi belum ada aturan yang rinci guna mendorong pelaku
industri kreatif menjual hasil karyanya. Minimnya infrastruktur dan kelembagaan
seperti hak cipta intelektual berikut perangkat hukum dan penanganan
pembajakan.
Perlindungan Hak Cipta35 merupakan kunci peningkatan insentif untuk
berkarya serta memberi hak kepada para pelaku industri kreatif untuk
menciptakan nilai ekonomi dari karyanya. Masalah utama yang dihadapi pelaku
usaha industri kreatif adalah modal, industri kreatif termasuk sektor yang kurang
dilirik perbankan karena tidak ada jaminan. Hingga saat ini belum ada lembaga
penjamin bagi industri tersebut untuk mendapat pembiayaan dari perbankan. Hal
lain yang dihadapi pelaku usaha industri kreatif adalah harga dan kualitas.
Kualitas industri kreatif seringkali tidak konsisten seperti pengemasan tidak sesuai
dengan standar mutu. Ketidaktepatan dalam memenuhi order terutama dalam
jumlah besar dan dalam waktu singkat juga menjadi kendala.
3.4. Kebutuhan Lahan Industri di DKI Jakarta
Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik, lahan di
DKI Jakarta pada tahun 2011 dengan luas 67,165 Ha, Kecamatan Kalideres
mempunyai luas lahan untuk industri paling luas mencapai 392.22 ha dengan 35 Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu
ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 21
jumlah unit 182 unit industri, dan Kecamatan Menteng dengan luas lahan untuk
industri terendah mencapai 0,22 ha dengan jumlah 32 unit usaha. Berikut
merupakan tabel jumlah luas lahan dan jumlah unit per Kota administrasi di DKI
Jakarta.
Tabel 3-10 Jumlah Lahan Industri dan Pergudangan Tahun 2011
No Kecamatan Industri Pergudangan Jumlah
1 Cengkareng 326.08 0 326.08
2 Grogol Petamburan 5.19 1.14 6.33
3 Kalideres 392.22 392.22
4 Kebon Jeruk 0.39 6.1 6.49
5 Kembangan 3.47 0 3.47
6 Palmerah 11.76 0 11.76
7 Taman Sari 969.74 964.48 1934.22
8 Tambora 1.15 0 1.15 Jakarta Barat 1,710.00 971.72 2681.72
1 Cempaka Putih 0.42 0 0.42
2 Gambir 0.46 0 0.46
3 Johar Baru 0 0 0
4 Kemayoran 1.21 1.17 2.38
5 Menteng 0 0.22 0.22
6 Sawah Besar 0.25 15.87 16.12
7 Senen 0 0 0
8 Tanah Abang 0.67 0 0.67 Jakarta Pusat 3.01 17.26 20.27
1 Cilandak 0 0 0
2 Jagakarsa 4.85 0 4.85
3 Kebayoran Baru 0 0 0
4 Kebayoran Lama 3.45 0 3.45
5 Mampang 2.32 0 2.32
6 Pancoran 24.08 24.08
7 Pasar Minggu 0 0.66 0.66
8 Pesanggrahan 1.98 0 1.98
9 Setiabudi 0 0 0
10 Tebet 41.81 0 41.81 Jakarta Selatan 78.49 0.66 79.15
1 Cakung 969.74 964.48 1934.22
2 Cipayung 0.24 0 0.24
3 Ciracas 0 0 0
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3 - 22
No Kecamatan Industri Pergudangan Jumlah
4 Duren Sawit 11.59 11.59
5 Jatinegara 4.09 0.49 4.58
6 Kramat Jati 12.55 0.33 12.88
7 Makasar 12.81 7.34 20.15
8 Matraman 1.15 1.15 2.3
9 Pasar Rebo 969.74 964.48 1934.22
10 Pulo Gadung 9.42 19.89 29.31 Jakarta Timur 1,991.33 1,958.16 3949.49
1 Cilincing 797.17 4.5 801.67
2 Kelapa Gading 206.24 57.22 263.46
3 Koja 129.08 174.41 303.49
4 Pademangan 147.56 12.56 160.12
5 Penjaringan 322.98 52.97 375.95
6 Tanjung Priok 239.34 264.28 503.62 Jakarta Utara 1,842.37 565.94 2408.31
Sumber : Kecamatan Dalam Angka DKI Jakarta 2011
Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang RTRW 2030,
lahan peruntukan industri diarahkan bagi pengembangan industri beserta fasiilitas
penunjangnya dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) maksimal 50% dengan
prosentase luas kawasan di setiap wilayah mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan dan kecenderungan pengembangan yang terjadi. Arah
kebijakan sebagai berikut: (a) penataan kawasan industri dan pergudangan serta
perniagaan sebagai bagian integral dari penataan kawasan pelabuhan; (b)
pengembangan kawasan industri dibatasi untuk jenis industri hemat penggunaan
lahan, air, dan energi, tidak berpolusi, memperhatikan aspek lingkungan dan
industri yang menggunakan teknologi tinggi; (c) pengembangan kawasan industri
memperhatikan daya dukung transportasi dan infrastruktur lain; (d) yang berada
di luar kawasan bukan pada kawasan rawan bencana; (e) tidak menambah beban
saat debit puncak saluran drainase publik; (f) tidak mengganggu fungsi lindung;
(g) sesuai dengan daya dukung lahan setempat.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 1
Bab 4 HARMONISASI PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
4.1. Maksud dan Tujuan Penyelenggaraan Perindustrian
Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian meletakkan
industri sebagai salah satu pilar ekonomi dan memberikan peran yang cukup
besar kepada pemerintah untuk mendorong kemajuan industri nasional secara
terencana. Peran tersebut diperlukan dalam rangka mengarahkan perekonomian
nasional untuk tumbuh lebih cepat dan mengejar ketertinggalan dari negara lain
yang lebih dahulu maju. Maksud diselenggarakan pembangunan nasional35 di
bidang industri termuat dalam Konsideran Menimbang huruf b dan huruf c dalam
UU No. 3 Tahun 2014 berikut ini:
b. bahwa pembangunan nasional di bidang ekonomi dilaksanakan dalam
rangka menciptakan struktur ekonomi yang kukuh melalui pembangunan industri yang maju sebagai motor penggerak ekonomi yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan sumber daya yang tangguh;
c. bahwa pembangunan industri yang maju diwujudkan melalui penguatan
struktur industri yang mandiri, sehat, dan berdaya saing, dengan mendayagunakan sumber daya secara optimal dan efisien, serta mendorong perkembangan industri ke seluruh wilayah Indonesia dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional yang berlandaskan pada kerakyatan, keadilan, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan mengutamakan kepentingan nasional.
Mencermati maksud pembangunan industri secara nasional tersebut di atas,
memberikan pandangan kepada Pemerintah Daerah, bahwa penyelenggaraan
perindustrian dalam satu kesatuan sistem yang terarah dan terpadu untuk
mewujudkan struktur ekonomi yang kokoh melalui pembangunan industri yang
maju sebagai motor penggerak ekonomi yang didukung dengan kekuatan dan 35 Yang dimaksud dengan pembangunan nasional menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 2
kemampuan sumber daya yang tangguh melalui penguatan struktur industri yang
mandiri, sehat, dan berdaya saing, dengan mendayagunakan sumber daya
secara optimal dan efisien dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional yang berlandaskan pada kerakyatan, keadilan, dan
nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan mengutamakan kepentingan nasional.
Tujuan penyelenggaraan perindustrian ditetapkan dalam Pasal 3 UU No. 3 Tahun
2014 sebagai berikut:
a. mewujudkan industri nasional sebagai pilar dan penggerak
perekonomian nasional; b. mewujudkan ke dalaman dan kekuatan struktur industri; c. mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta
industri hijau; d. mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta
mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan masyarakat;
e. membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja; f. mewujudkan pemerataan pembangunan industri ke seluruh wilayah
indonesia guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan nasional; dan
g. meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan.
Berdasarkan tujuan penyelenggaraan perindustrian tersebut di atas, bahwa
penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta bertujuan untuk: (a)
mewujudkan industri sebagai pilar dan penggerak perekonomian daerah; (b)
mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju; (c) mewujudkan
kepastian berusaha, persaingan usaha yang sehat,36 serta mencegah pemusatan
atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan
masyarakat;37 (d) membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan
kerja; (e) mewujudkan industri guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan
industri daerah dan nasional; (f) meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat secara berkeadilan.
36 Apabila pelaku usaha di bidang industri melakukan persaingan tidak sehat, maka tindakan tersebut termasuk dilarang
menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
37 Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang dimaksud dengan pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 3
4.2. Jenis Kegiatan Industri
Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian tidak menetapkan
jenis industri secara tegas. Meskipun demikian, Pasal 101 ayat (2) menyatakan
bahwa kegiatan usaha industri meliputi: (a) industri kecil; (b) industri menengah;
(c) industri besar. Atas dasar itu, dapat ditafsirkan bahwa pembagian industri
berdasarkan kegiatan yang dilakukan usaha industri. Selanjutnya dalam Pasal
102 menyatakan sebagai berikut: (1) Industri kecil ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai
investasi tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. (2) Industri menengah ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja
dan/atau nilai investasi. (3) Industri besar ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau
nilai investasi. (4) Besaran jumlah tenaga kerja dan nilai investasi untuk Industri kecil,
Industri menengah, dan Industri besar ditetapkan oleh Menteri.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, UU No. 3 Tahun 2014 definisi
industri kecil, industri menengah, dan industri besar didelegasikan kepada Menteri
Perindustrian. Menurut Peraturan Menteri Perindustrian No 37/M-IND/PER/6/2006
tentang Pengembangan Jasa Konsultansi Industri Kecil dan Menengah (IKM),
besaran jumlah tenaga kerja dan nilai investasi untuk Industri kecil, industri
menengah, dan industri besar, sebagai berikut:
1. Industri kecil adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang
industri dengan nilai investasi paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
2. Industri menengah adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di
bidang industri dengan nilai investasi lebih besar dari Rp 200.000.000,- (dua
ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,- (sepuluh
milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
3. Industri besar adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang
industri dengan nilai investasi lebih besar dari Rp. 10.000.000.000 (sepuluh
milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 4
Berdasarkan definisi tersebut di atas, dapat ditafsirkan bahwa Industri Kecil
dan Menengah (IKM) berbentuk badan hukum (perusahaan).38 Untuk menghindari
tumpang-tindih dalam pembinaan antara IKM dengan UKM, dalam Rancangan
Peraturan Daerah seyogyanya menggunakan nomenklatur badan usaha industri,
karena badan usaha merupakan kesatuan yuridis dan ekonomis dari faktor-faktor
produksi yang dilakukan industri dengan tujuan mencari laba atau memberi
layanan kepada masyarakat. Kesatuan yuridis dimaksud badan usaha industri
pada umumnya berbadan hukum. Sedangkan yang dimaksud kesatuan ekonomis
karena faktor produksi yang terdiri dari sumber daya alam, modal, dan tenaga
kerja untuk mendapat barang dan/atau jasa yang diperlukan oleh masyarakat.
Dengan demikian pengertian badan usaha industri adalah badan usaha yang
kegiatannya mengolah dari bahan mentah menjadi barang jadi untuk siap
digunakan. Contohnya: perusahaan tekstil, industri logam, kerajinan tangan, dan
sebagainya.
Ditinjau dari kepemilikan modal, badan usaha dapat dibedakan menjadi tiga
jenis, yaitu: (a) badan usaha milik swasta, yaitu badan usaha yang seluruh
modalnya dimiliki swasta, dapat berbentuk perseorangan atau persekutuan.
Contoh: firma, persekutuan komanditer, perseroan terbatas, koperasi, dan
sebagainya; (b) Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D), yaitu badan usaha
yang seluruh atau sebagian besar modalnya milik negara atau daerah, yang
berasal dari kekayaan negara/daerah yang dipisahkan. BUMN atau BUMD
bergerak di bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak; (c) badan usaha
campuran, yaitu badan usaha yang modalnya sebagian milik pemerintah dan
sebagian milik swasta. Contohnya Persero dimana modal yang dimiliki oleh badan
usaha ini adalah 51% atau lebih dimiliki pemerintah dan paling banyak 49%
dimiliki oleh swasta atau investor.
38 Dalam berbagai literatur menyatakan bahwa dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia menggunakan
barang dan jasa yang merupakan hasil kegiatan produksi. Kegiatan produksi tersebut yang dilakukan secara terorganisir dengan menggunakan faktor-faktor produksi umumnya dilakukan oleh perusahaan. Dengan demikian perusahaan diartikan sebagai bagian teknis dari kesatuan organisasi modal dan tenaga kerja yang bertujuan menghasilkan barang atau jasa. Sedangkan usaha adalah kegiatan yang dilakukan manusia untuk mendapatkan penghasilan baik berupa uang, barang mapun jasa yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup guna mencapai kemakmuran.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 5
Jenis badan usaha berdasarkan jumlah pekerjanya, abdan usaha dapat
menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: (a) badan usaha kecil, yaitu badan usaha yang
mempekerjakan kurang dari 5 orang pekerja; (b) badan usaha sedang, yaitu
badan usaha yang mempekerjakan lebih dari 5 orang pekerja dan kurang dari 51
orang pekerja; (c) badan usaha besar, yaitu badan usaha yang mempekerjan
lebih dari 50 orang pekerja.
Pengelompokan badan usaha menurut bentuk hukum atau yuridis berkaitan
dengan tanggung jawab pemilik badan usaha tersebut terhadap kewajiban atau
utang-utang badan usaha, dikelompok dalam 5 (lima) jenis, yaitu: (a) badan
usaha perseorangan (Po), yaitu perusahaan yang didirikan, dimiliki, dipimpin, dan
dipertanggungjawabkan oleh perseorangan; (b) firma (Fa), yaitu badan usaha
yang didirikan dua orang atau lebih yang menjalankan kegiatan usaha dengan
satu nama. Masing-masing sekutu (firmant) ikut memimpin perusahaan dan
bertanggungjawab penuh terhadap hutang perusahaan; (c) persekutuan
komanditer (CV), yaitu badan usaha yang terdiri dari satu atau beberapa sekutu
komanditer. Sekutu komanditer adalah sekutu yang hanya menyerahkan atau
menyertakan modal, dan tidak turut campur dalam pengelolaan perusahaan.
Pada CV dikenal dua macam sekutu yaitu: Sekutu aktif, yaitu sekutu yang ikut
menyertakan modal sekaligus aktif mengelola jalannya usaha. Sekutu pasif atau
sekutu komanditer, yaitu sekutu yang hanya menyertakan modal saja dan tidak
terlibat dalam pengelolaan usaha; (d) perseroan terbatas (PT), yaitu badan usaha
yang dari persekutuan antara dua orang atau lebih yang modalnya diperoleh
dengan cara menjual saham. Pemilik saham disebut juga persero, yang memiliki
tanggung jawab terbatas terhadap perusahaan. Tanggung jawab terbatas artinya
bertanggungjawab sebatas modal yang disetor (saham yang dimiliki). Saham
adalah surat berharga dengan nilai nominal tertentu sebagai bukti kepemilikan
perusahaan. Saham dapat diperjualbelikan/dipindahtangankan melalui bursa/
pasar saham sesuai dengan besar kecilnya permintaan dan penawaran. Pemilik
saham memperoleh pembagian keuntungan perusahaan yang disebut deviden;
(e) koperasi.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 6
Dengan menggunakan badan usaha industri termasuk untuk kecil dan
menengah membedakan dengan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dilakukan
oleh orang perorang atau badan usaha dengan pendekatan koperasi.39
Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah,
pengertian UKM sebagai berikut: Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar,40 dengan kriteria sebagai berikut:41 a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan,42 dengan kriteria sebagai berikut:43 a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
Sesuai perkembangan industri kecil dan menengah, Pemerintah melalui
Kementerian Perindustrian melakukan retruknisasi sarana yang dimiliki industri
kecil dan menengah sehingga berpengaruh terhadap nilai investasi pada industri
tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Perindustrian No.
11/M-IND/PER/3/2014 tentang Program Retrukturisasi Mesin dan/atau Peralatan
Industri Kecil dan Menengah, sebagai berikut:
39 Yang dimaksud dengan koperasi menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Koperasi,
adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi.
40 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah 41 Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah 42 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah 43 Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 7
Kriteria industri kecil dan industri menengah sebagai berikut: a. Industri kecil yaitu industri dengan nilai investasi paling banyak
Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan
b. Industri menengah yaitu industri dengan nilai investasi paling besar dari Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian No. 11/M-IND/PER/3/2014
tersebut di atas, nilai investasi pada kecil dan menengah mengalami perubahan.
Dengan demikian definisi industri kecil dan menengah sebagai berikut:
a. Industri Kecil adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang
industri dengan nilai investasi paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
b. Industri Menengah adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di
bidang industri dengan nilai investasi paling besar dari Rp. 500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar
rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
Sedangkan industri besar tidak mengalami perubahan, yaitu perusahaan
yang melakukan kegiatan usaha di bidang industri dengan nilai investasi lebih besar
dari Rp. 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha.
Tugas dan kewenangan Pemerintah Daerah dalam pembinaan industri
sesuai Peraturan Menteri Perindustrian No. 64/M/IND/PER/7/2011 tentang Jenis-
Jenis Industri Dalam Pembinaan Direktorat Jenderal dan Badan Di Lingkungan
Kementerian Perindustrian, tidak sepenuhnya jenis industri kecil dan industri
menengah menjadi tugas dan wewenang Pemerintah Daerah. Jenis industri kecil
dan menengah yang menjadi tugas dan wewenang Pemerintah Pusat melalui
Kementerian Perindustrian sebagai berikut:
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 8
Tabel-4.1 Jenis Industri Kecil dan Menengah Pembinaannya Sepenuhnya
Dilakukan oleh Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah dan Badan Pengkajian Kebijakan, Iklim, dan Mutu Industri
KBLI44 Kelompok Industri 10211 Industri Penggaraman/Pengeringan Ikan 10214 Industri Pemindangan Ikan 10291 Industri Penggaraman/Pengeringan Biota Air Lainnya 10294 Industri Pemindangan Biota Air Lainnya 10311 Industri Pengasinan/Pemanisasi Buah-Buahan dan Sayuran 10391 Industri Tempe Kedelai 10392 Industri Tahu Kedelai 10615 Industri Pengupasan dan Pembersihan dan Kecang2-an 10616 Industri Pengupasan dan Pembersihan Umbi-Umbian
termasuk Rizoma 10722 Industri Gula Merah 13122 Industri Kain Tenun Ikat 13133 Industri Pencetakan Kain terutama motif batik dan tradisional 13134 Industri Batik untuk batik tulis 13911 Industri Kain Rajutan Khususnya Renda 13912 Industri Kain Sulaman/Bordir 14111 Industri Pakian Jadi (Konveksi) dari Tekstil terutama mukena,
selendang, kerudung, dan pakaian tradisional lainnya 16103 Industri Pengawetan Rotan, Bambu, dan Sejenisnya 16292 Industri Barang Anyaman Dari Tanaman Bukan Rotan dan
Bambu, yang memiliki kekayaan khas khasana budaya daerah, nilai seni yang menggunakan bahan baku alamiah dan imitasi
16293 Industri Kerajinan Ukiran Dari Kayu Bukan Mebeller, yang memiliki kekayaan khas khasanah budaya daerah, nilai seni yang menggunakan bahan baku alamian dan imitasi
16294 Industri Alat Dapur Dari Kayu, Rotan dan Bambu, yang memiliki kekayaan khas khasanah budaya daerah, nilai seni yang menggunakan bahan baku alamian dan imitasi
16299 Industri Barang Dari Kayu, Rotan, Gabus Lainnya Yang Tidak Diklasifikasikan Di Tempat Lain, yang memiliki kekayaan khas khasanah budaya daerah, nilai seni yang menggunakan bahan baku alamian dan imitasi.
23932 Industri Perlengkapan Rumah Tangga Dari Tanah Liat/Kramik Untuk Gerabah
44 KBLI Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Kepala Badan Pusat
Statistik Nomor 57 Tahun 2009
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 9
KBLI44 Kelompok Industri 25931 Industri Perkakas Tangan Untuk Pertanian, yang diperlukan
untuk persiapan lahan, proses produksi, permanen, pasca panen, dan pengolahan kecuali cangkul dan sekop
25932 Industri Perkakas Tangan Pertukangan, Untuk yang diproses secara manual atau semi mekanik untuk pertukangan dan pemotongan
25933 Industri Perkakas Tangan Yang Digunakan Dalam Rmhan Tangga, yang diproses secara manual atau semi mekanik untuk pertukangan dan pemotongan
25934 Industri Peralatan Umum, Untuk industri perkakas tangan yang diproses secara manual atau semi mekanik untuk pertukangan dan pemotongan
32201 Industri Alat Musik Tradisional, yang memiliki kekayaan khas khasanah budaya daerah, nilai seni yang menggunakan bahan baku alamian dan imitasi.
33119 Jasa Reparasi Produk Logam Pabrikasi Lainnya 45407 Reparasi dan Perawatan Sepeda Motor, Khusus industri jasa
pemeliharaan dan perbaikan sepeda moto kecuali yang terintegrasi dengan bidang usaha penjualan sepeda motor (agen/distributor) dan industri reparasi barang-barang keperlian pribadi dan rumah tangga
95220 Jasa Reparasi Peralatan Rumah Tangga dan Peralatan Rumah dan Kebun, khususnya industri jasa pemeliharaan dan perbaikan sepeda motor kecuali yang terintegrasi dengan bidang usaha penjualan sepeda motor (agen/distributor) dan industri reparasi barang-barang keperlian pribadi dan rumah tangga
95230 Jasa Reparasi Alas Kaki dan Barang Dari Kulit, khususnya industri jasa pemeliharaan dan perbaikan sepeda motor kecuali yang terintegrasi dengan bidang usaha penjualan sepeda motor (agen/distributor) dan industri reparasi barang-barang keperlian pribadi dan rumah tangga
95240 Jasa Reparasi Furnitur dan Perlengkapan Rumah Tangga 95290 Jasa Reparasi Barang Rumah Tangga dan Pribadi Lainnya. 71201 Jasa Sertifikasi 71202 Jasa Pengujian Laboratorium 71203 Jasa Inspeksi
Sumber : Peraturan Menteri Perindustrian No. 64/M/IND/PER/7/2011
Jenis industri lain yang termuat dalam UU No. 3 Tahun 2014 adalah Industri
Kreatif. Pengertian industri kreatif sebagaimana termuat dalam penjelasan Pasal
43 ayat (3) huruf b UU No. 3 Tahun 2014, adalah industri yang mentransformasi
dan memanfaatkan kreativitas, keterampilan, dan kekayaan intelektual untuk
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 10
menghasilkan barang dan jasa. Pengembangan industri kreatif sangat dibutuhkan
dalam persaingan global karena memberikan kontribusi terhadap ekonomi yang
signifikan, menciptakan iklim bisnis yang positif, membangun citra dan identitas
bangsa, berbasis pada sumber daya yang terbarukan, menciptakan inovasi dan
kreativitas merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa, serta memberikan
dampak sosial yang positif.
Dalam rangka mendorong pengembangan industri kreatif Pemerintah Pusat
melalui Kementerian Perindustrian telah mengembangan jenis industri kreatif di
Provinsi Bali dengan membentuk Unit Pelaksana Teknis Industri Kreatif dibawah
Kementerian Perindustrian sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri
Perindustrian No. 72/M-IND/PER/9/2015 tentang Peta Panduan Pengembangan
Pusat Pengembangan Industri Kreatif (Bali Creative Industry Center) Tahun 2015-
2019. Jenis industri kreatif dimaksud sebagaimana disajikan dalam Tabel berikut
ini.
Tabel-4.2.
Jenis Industri Kreatif menjadi Bali Creative Industry Center (BCIC) Yang Dikembangkan oleh Kementerian Perindustrian
Berdasarkan KBLI 2009
KODE JENIS INDUSTRI KOMODITI/CABANG INDUSTRI
13121 Industri Pertenunan (Bukan Pertenunan Karung Goni dan Karung Lainnya)
Kerajinan
13122 Industri Kain Tenunan Ikat Kerajinan/Fesyen 13123 Industri Bulu Tiruan Tenunan Kerajinan/Fesyen 13133 Industri Percetakan Kain Kerajinan/Fesyen 13134 Industri Batik Fesyen 13911 Industri Kain Rajutan Kerajinan/Fesyen 13912 Industri Kain Sulaman/Bordir Kerajinan/Fesyen 13913 Industri Bulu Tiruan Rajutan Fesyen 13922 Industri Barang Jadi Tekstil Sulaman Fesyen 13924 Industri Barang Jadi Rajutan dan Sulaman Fesyen 13930 Industri Karpen dan Permadani Kerajinan 14111 Industri Pakain Jadi (Konveksi) dari Tekstil Fesyen 14112 Industri Pakaian Jadi (Konveksi) dari Kulit Fesyen 14120 Penjahitan dan Pembuatan Pakaian sesuai Pesanan Fesyen 14131 Industri Perlengkapan Pakian dari Tekstil Fesyen 14132 Industri Perlengkapan Pakaian dari Kulit Fesyen 14200 Industri Pakaian Jadi dan Barang dari Kulit Fesyen 14301 Industri Pakaian Jadi Rajutan Kerajinan/Fesyen 14302 Industri Pakaian Jadi Sulaman/Bordir Kerajinan/Fesyen 14303 Industri Rajutan Kaos Kaki dan Sejenisnya Fesyen
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 11
KODE JENIS INDUSTRI KOMODITI/CABANG INDUSTRI
15121 Industri Barang dari Kulit dan Kulit Buatan untuk Keperluan Pribadi
Fesyen
15123 Industri Barang dari Kulit dan Kulit Buatan untuk Teknik/Industri
Fesyen
15129 Industri Barang dari Kulit dan Kulit Buatan untuk Keperluan Hewan
Fesyen
Industri Barang dari Kulit dan Kulit Buatan untuk Keperluan Lainnya
Kerajinan
15201 Industri Alas Kali untuk Keperluan sehari-hari Fesyen 15202 Industri Sepatu Olahraga Fesyen 15203 Industri Sepatu Teknik Lapangan/Keperluan Industri Fesyen 15209 Industri Alas Kaki Lainnya Fesyen 16291 Industri Barang Anyaman dari Rotan dan Bambu Kerajinan 16292 Industri Barang Anyaman dari Tanaman Bukan Rotan
dan Bambu Kerajinan
16293 Industri Barang Anyaman dari Kayu Bukan Mebeller Kerajinan 23932 Industri Perlengkapan Rumah Tangga dari Tanah
Liat/Keramik Kerajinan
32111 Industri Permata Kerajinan 32112 Industri Barang Perhiasan dari Logam Mulia untuk
Keperluan Pribadi Kerajinan
32115 Industri Perhiasan Mutiara Kerajinan 32119 Industri Barang Lainnya dari Logam Mulia untuk
Keperluan Pribadi Kerajinan
32903 Industri Kerajinan YTDL Kerajinan 59111 Produk Film, Video dan Program Televisi oleh
Pemerintah Animasi, Games, Perangkat Lunak
59112 Produksi Film, Video dan Program Televisi oleh Swasta Animasi, Games, Perangkat Lunak
59121 Pasca Produksi Film, Video dan Program Televisi oleh Pemerintah
Animasi, Games, Perangkat Lunak
59122 Pasca Produksi Film, Video dan Program Televisi oleh Swasta
Animasi, Games, Perangkat Lunak
62010 Kegiatan Pemrograman Komputer Animasi, Games, Perangkat Lunak
74100 Jasa Perancangan Khusus Kerajinan Sumber : Peraturan Menteri Perindustrian No. 72/M-IND/PER/9/2015
Industri kreatif di Indonesia terdiri dari 14 subsektor, yaitu periklanan;
arsitektur; pasar barang seni; kerajinan; desain; fesyen; video, film, dan fotografi;
permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan
komputer dan perangkat lunak; televisi dan radio; riset dan pengembangan; serta
kuliner. Dari 14 subsektor tersebut, terdapat 3 (tiga) subsektor yang memberikan
kontribusi atau Nilai Tambah Bruto yang dominan, yaitu subsektor kuliner; fesyen;
dan kerajinan. Oleh sebab itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 12
Perindustrian dan Energi Provinsi DKI Jakarta dapat mengembangkan industri
kreatif sebagaimana dilakukan oleh Kementerian Perindustrian di Provinsi Bali.
Berdasarkan Peraturan Gubernur No. 267 Tahun 2016 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perindustrian dan Energi, pengembangan
industri kreatif menjadi tugas dan fungsi Seksi Industri Kecil, Menengah, dan
Kreatif pada Bidang Industri. Pemerintah telah menetapkan berbagai program
pengembangan industri kreatif dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 72/M-
IND/PER/9/2015. Program tersebut, dapat dijadikan rujukan atau pedoman oleh
Dinas.
4.3. Tugas dan Wewenang Pemerintah Daerah
Berdasarkan penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut Pasal 12 ayat
(3) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan perindustrian
termasuk urusan pemerintahan pilihan yang wajib diselenggarakan oleh Daerah
sesuai potensi yang dimiliki Daerah.45 Meskipun Daerah memiliki kewenangan
mengatur dan/atau mengurus urusan pemerintahan di bidang perindustrian yang
menjadi wewenangnya, bukan berarti Pemerintah Pusat tidak memiliki wewenang
dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan perindustrian. Pembagian
kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah (provinsi
dan kabupaten/kota) termuat dalam Lampiran UU No. 23 Tahun 2014 disesuaikan
penyelenggaraan otonomi pada lingkup provinsi sebagaimana ditetapkan dalam
UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia,46 sebagai berikut:
1. Sub Urusan Perencanaan Pembangunan Industri
a. Pemerintah Pusat dalam sub urusan perencanaan pembangunan industri
kewenangannya menetapkan rencana induk pembangunan industri
nasional.
45 Lihat Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 46 Pasal 9 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 13
b. Pemerintahan Daerah dalam sub urusan perencanaan pembangunan
industri kewenangannya menetapkan rencana pembangunan industri
daerah.
Penetapan rencana induk pembangunan industri oleh Pemerintah Pusat
menurut Pasal 8 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2014, untuk mewujudkan tujuan
penyelenggaraan perindustrian. Rencana induk pembangunan industri
nasional menurut Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 3 Tahun 2014,
merupakan pedoman bagi Pemerintah dan pelaku Industri dalam perencanaan
dan pembangunan industri, disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun
dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun.
Kewenangan Pemerintahan Daerah dalam perencanaan pembangunan
industri adalah menetapkan rencana pembangunan industri daerah menurut
Pasal 10 dan Pasal 11 UU No. 3 Tahun 2014 menjadi tugas dan wewenang
Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota). Selengkapnya Pasal 10 dan
Pasal 11 sebagai berikut: Pasal 10 (1) Setiap Gubernur menyusun rencana pembangunan industri provinsi. (2) Rencana pembangunan industri provinsi mengacu kepada Rencana
Induk Pembangunan Industri Nasional dan Kebijakan Industri Nasional.
(3) Rencana pembangunan industri provinsi disusun paling sedikit
memperhatikan: a. potensi sumber daya Industri daerah; b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan/atau Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; dan c. keserasian dan keseimbangan dengan kebijakan pembangunan
Industri di kabupaten/kota serta kegiatan sosial ekonomi dan daya dukung lingkungan.
(4) Rencana Pembangunan Industri Provinsi ditetapkan dengan
Peraturan Daerah Provinsi setelah dievaluasi oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 14
Pasal 11 (1) Setiap bupati/walikota menyusun Rencana Pembangunan Industri
Kabupaten/Kota. (2) Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota disusun dengan
mengacu pada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional dan Kebijakan Industri Nasional.
(3) Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota disusun dengan
paling sedikit memperhatikan: a. potensi sumber daya Industri daerah; b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten/Kota; dan c. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan sosial ekonomi
serta daya dukung lingkungan. (4) Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota ditetapkan dengan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota setelah dievaluasi oleh gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, negara melalui UU No. 3 Tahun 2014
memberikan perintah kepada Kepala Daerah (dalam hal ini Gubernur) untuk
menyusun dan merumuskan Rencana Pembangunan Industri Daerah
(Provinsi DKI Jakarta) dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana
Pembangunan Industri Daerah untuk selanjutnya dibahas dan ditetapkan
bersama-sama dengan DPRD menjadi Peraturan Daerah setelah dilakukan
evaluasi oleh Pemerintah.
Dalam penyusunan rencana pembangunan industri provinsi mengacu kepada
rencana induk pembangunan industri nasional dan kebijakan industri nasional.
Rencana induk pembangunan industri nasional sebagaimana ditetapkan
dalam PP No. 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri
Nasional Tahun 2015-2035. Sedangkan kebijakan industri nasional
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 12 UU No. 3 Tahun 2014 sebagai
berikut:
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 15
Pasal 12 (1) Kebijakan Industri Nasional merupakan arah dan tindakan untuk
melaksanakan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional. (2) Kebijakan Industri Nasional paling sedikit meliputi:
a. sasaran pembangunan Industri; b. fokus pengembangan Industri; c. tahapan capaian pembangunan Industri; d. pengembangan sumber daya Industri; e. pengembangan sarana dan prasarana; f. pengembangan perwilayahan Industri; dan g. fasilitas fiskal dan nonfiskal.
(3) Kebijakan Industri Nasional disusun untuk jangka waktu 5 (lima)
tahun. (4) Kebijakan Industri Nasional disusun oleh Menteri berkoordinasi
dengan instansi terkait dan mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan terkait.
(5) Kebijakan Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Presiden. Mencermati ketentuan di atas, bahwa rencana industri pembangunan industri
nasional dan kebijakan industri nasional harus dipedomani oleh Pemerintahan
Daerah dalam menyusun, merumuskan, dan menetapkan Peraturan Daerah
tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Daerah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dalam rencana induk pembangunan
industri daerah menjadi satu kesatuan sistem dengan rencana pembangunan
industri nasional. Demikian halnya dalam penyelenggaraan perindustrian baik
nasional maupun daerah untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan
perindustrian sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 UU No. 3 Tahun 2014.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 16
Gambar 4.1 Kedudukan Rencana Induk Pembangunan Industri Daerah dan
Keterkaitan dengan Rencana Pembangunan Daerah serta Tata Ruang
2. Sub Urusan Perizinan
Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penyelenggaraan sub
urusan perizinan berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014, sebagai berikut:
a. Pemerintah Pusat
Dalam urusan perizinan yang menjadi tugas dan wewenang Pemerintah
Pusat menurut Lampiran UU No. 23 Tahun 2014 meliputi: (a) penerbitan
Izin Usaha Industri (IUI) Kecil, IUI Menengah dan IUI Besar untuk industri
yang berdampak besar pada lingkungan, industri minuman beralkohol, dan
industri strategis; (b) penerbitan izin perluasan usaha industri (IPUI) bagi
industri berdampak besar pada lingkungan, industri minuman beralkohol,
RENCANAN TATA RUANG WILAYAH
2013-2030
PERDA
RENCANA INDUK PEMBANGUNAN
INDUSTRI DAERAH
RAPERDA
RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA MENENGAH
DAERAH
PERDA
RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN
PERATURAN ZONASI
PERDA
RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA PANJANG DAERAH
PERDA
RENCANA STRATEGIS
DINAS PERINDUSTRIAN
DAN ENERGI
PER
KADIS
RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA PANJANG NASIONAL
UU
RENCANA TATA
RUANG NASIONAL
PP
RENCANA INDUK PEMBANGUNAN
INDUSTRI NASIONAL
PP
RENCANA KERJA TAHUNAN
DINAS PERINDUSTRIAN
DAN ENERGI
PER
KADIS
RENCANA
ANGGARAN PEMBANGUNAN
DAERAH
PERDA
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 17
indutri strategis; (c) penerbitan IUKI dan IPKI yang lokasinya lintas provinsi;
(d) penerbitan IUI/IUKI dan IPUI/IPKI yang merupakan penanaman modal
asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal
dari pemerintah negara lain, didasarkan perjanjian yang dibuat Pemerintah
Pusat dan pemerintah negara lain.
b. Pemerintahan Daerah
Tugas dan wewenang Pemerintahan Daerah dalam urusan perizinan,
meliputi: (a) penerbitan IUI Besar, Menengah, dan Kecil; (b) penerbitan
IPUI bagi industri besar, industri kecil dan menengah; (c) penerbitan IUKI
dan IPKI yang lokasinya dalam 1 (satu) Daerah.
Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan
Daerah dalam perizinan tersebut di atas, berdasarkan Pasal 101 dan Pasal
102 UU No 3 Tahun 2014 menyatakan, setiap kegiatan usaha industri wajib
memiliki izin usaha industri. Kegiatan usaha Industri dimaksud meliputi: (a)
industri kecil, ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai investasi
tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; (b) industri menengah,
ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasi; (c)
industri besar, ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai
investasi. Izin usaha industri diberikan oleh Menteri, dan dapat melimpahkan
sebagian kewenangan pemberian izin usaha industri kepada Kepala Daerah
(Gubernur dan Bupati/Walikota).
Perlimpahan wewenang pemberian izin usaha industri kepada Gubernur
sebagai Kepala Daerah diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor
41/M-IND/PER/6/2008 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha
Industri, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Perindustrian No. 81/M-IND/PER/10/2014. Secara
rinci mengenai perizinan dalam Bab tersendiri.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 18
3. Sub Urusan Sistem Informasi Industri Nasional
Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penyelenggaraan sub
urusan sistem informasi industri nasional berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014,
Pemerintah Pusat membangun dan mengembangkan sistem informasi industri
nasional. Kewenangan Pemerintahan Daerah penyampaian laporan informasi
industri untuk Izin Usaha Industri (IUI) Besar dan Izin perluasannya; IUI Kecil
dan Izin Perluasannya; IUI Menengah dan Izin Perluasannya; dan IUKI dan
IPKI yang lokasinya Daerah.
Tugas dan wewenang Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan
di bidang perindustrian menjadi tanggung jawab Kepala Daerah (dalam hal ini
Gubernur, dan secara operasional berdasarkan Peraturan Daerah No. 18 Tahun
2016 tentang Organisasi Perangkat Daerah menjadi tugas dan fungsi Kepala
Dinas Perindustrian dan Energi dalam perencanaan, pelaksanaan (pembangunan
dan pengelolaan), serta pembinaan, pengembangan, pengawasan, dan
pengendalian. Sedangkan dalam pengendalian melalui perizinan menjadi tugas
dan fungsi Kepala Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 267 Tahun 2016 tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perindustrian dan Energi, bahwa Dinas
Perindustrian dan Energi tugasnya melaksanakan perencanaan, pembangunan,
pengelolaan, pembinaan, pengembangan, pengawasan, pengendalian, evaluasi
perindustrian, energi dan sarana jaringan utilitas. Untuk melaksanakan tugas
tersebut, Dinas Perindustrian dan Energi menyelenggarakan fungsi sebagai
berikut:
a. penyusunan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran Dinas
Perindustrian dan Energi;
b. pelaksanaan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran Dinas
Perindustrian dan Energi;
c. penyusunan kebijakan, pedoman dan standar teknis bidang perindustrian,
energi dan energi;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 19
d. perencanaan, pembangunan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi
perindustrian dan energi;
e. pembinaan dan pengembangan perindustrian dan energi;
f. pengembangan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian mutu,
standardisasi hasil industri dan energi;
g. fasilitasi prasarana, sarana, produksi, promosi, dan pemasaran hasil usaha
industri dan energi;
h. pembinaan tenaga fungsional di bidang industri dan energi;
i. fasilitasi pengembangan kerja sama antar usaha industri dan energi;
j. penyuluhan, bimbingan, inovasi, dan kreativitas, teknis industri dan energi;
k. pemasangan lampu penerangan pasokan bagi masyarakat dalam keadaan
darurat, bencana alam dan/atau kekurangan pasokan;
l. penyusunan kebijakan, pedoman dan standar teknis bidang pencahayaan
kota;
m. perencanaan, pembangunan/peningkatan kualitas, pemeliharaan dan
pengembangan bidang pencahayaan kota;
n. pengelolaan dan verifikasi penggunaan daya listrik penerangan jalan umum;
o. penyusunan kebijakan, pedoman, dan standar teknis perencanaan,
pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, perawatan, pengawasan,
pengendalian, pemantauan, evaluasi, penelitian pengembangan di bidang
geologi dan air tanah;
p. perencanaan, pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, perawatan,
pengendalian, pemantauan, pengawasan, evaluasi, penelitian,
pengembangan bidang geologi dan air tanah;
q. pelaksanaan konservasi air tanah;
r. penyediaan, penatausahaan, penggunaan, pemeliharaan, dan perawatan
prasarana dan sarana bidang geologi dan air tanah;
s. pemberian dukungan teknis kepada masyarakat dan Perangkat Daerah untuk
bidang geologi dan air tanah;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 20
t. penyusunan kebijakan, pedoman, dan standar teknis perencanaan,
pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, perawatan, pengawasan,
pengendalian, pemantauan, evaluasi, penelitian pengembangan di bidang
energi dan ketenagalistrikan;
u. perencanaan, pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, dan perawatan
prasarana dan sarana bidang energi dan ketenagalistrikan;
v. penyediaan, penatausahaan, penggunaan, pemeliharaan, dan perawatan
prasarana dan sarana bidang energi dan ketenagalistrikan;
w. pemberian dukungan teknis kepada masyarakat dan perangkat daerah untuk
bidang energi dan ketenagalistrikan;
x. pemungutan, penatausahaan, penyetoran, pelaporan, dan
pertanggungjawaban penerimaan retribusi di bidang perindustrian dan energi;
y. penegakan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian dan
energi;
z. pemberian dukungan teknis kepada masyarakat dan perangkat daerah di
bidang perindustrian dan energi;
aa. pengawasan dan pengendalian izin di bidang perindustrian dan energi;
bb. penyediaan, penatausahaan, penggunaan, pemeliharaan, dan perawatan
prasarana dan sarana kerja di bidang perindustrian dan energi;
cc. pengelolaan kepegawaian, keuangan dan barang Dinas Perindustrian dan
Energi;
dd. pengelolaan ketatausahaan dan kerumahtanggaan Dinas Perindustrian dan
Energi;
ee. pengelolaan kearsipan, data dan informasi Dinas Perindustrian dan Energi;
dan
ff. pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas
Perindustrian dan Energi.
Berdasarkan organisasi dan tata kerja Dinas Perindustrian dan Energi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah No. 18 Tahun 2016 dan Peraturan
Gubernur No. 267 Tahun 2016, bahwa urusan pemerintahan di bidang industri
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 21
dilaksanakan satu bidang, yaitu Bidang Industri. Bidang Industri terdiri dari 3 (tiga)
Seksi, yaitu Seksi Pengembangan Industri, Seksi Industri Kecil, Menengah dan
Kreatif , dan Seksi Kerjasama dan Kemitraan Industri.
Bidang Industri mempunyai tugas melaksanakan pembinaan dan
pengembangan industri. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Bidang Industri
menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
a. penyusunan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran Bidang
Industri;
b. pelaksanaan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran Bidang
Industri;
c. penyusunan kebijakan, pedoman dan standar teknis pembinaan industri;
d. pelaksanaan bimbingan, konsultasi, fasilitasi, pendidikan dan pelatihan,
pendampingan, pengembangan serta evaluasi kegiatan industri;
e. pengelolaan data dan informasi industri;
f. pelaksanaan koordinasi, pengawasan dan pengendalian kegiatan industri;
g. pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat;
h. penyusunan kebijakan teknis standar industri;
i. pelaksanaan koordinasi pembinaan dan pengembangan industri;
j. penataan dan pengembangan kawasan sentra industri;
k. pengembangan kerja sama dan hubungan kemitraan antar industri dengan
sektor ekonomi dan non-ekonomi yang saling menguntungkan;
l. pemberian fasilitas bantuan informasi pasar, promosi, dan pemasaran
industri;
m. penelitian, pengembangan, dan pengoptimalan pemanfaatan teknologi tepat
guna di bidang industri;
n. penyusunan bahan rekomendasi kepada penyelenggara perizinan dan non-
perizinan dalam penetapan dan pemberian perizinan dan non-perizinan
industri sesuai kebutuhan;
o. peningkatan penggunaan produk dalam negeri;
p. pelaksanaan sosialisasi perundang-undangan di bidang industri;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 22
q. pelaksanaan penindakan atas pelanggaran kegiatan industri; dan
r. pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi bidang
industri.
Bidang Industri dalam melaksanakan tugas dan fungsi dibantu 3 (tiga)
Seksi, yaitu:
1. Seksi Pengembagan Industri
Seksi Pengembangan Industri merupakan Satuan Kerja Bidang Industri dalam
pelaksanaan kegiatan pembinaan dan pengembangan industri yang
mencakup pengembangan industri di Provinsi DKI Jakarta. Seksi
Pengembangan Industri mempunyai tugas sebagai berikut:
a. menyusun bahan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran
sesuai dengan Iingkup tugasnya;
b. melaksanakan dokumen pelaksanaan anggaran sesuai dengan lingkup
tugasnya;
c. menyusun bahan kebijakan, pedoman dan standar teknis pelaksanaan
pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana industri;
d. melaksanakan penataan dan pengembangan kawasan sentra industri;
e. melaksanakan koordinasi pembinaan dan pengembangan industri;
f. memfasilitasi sarana produksi bagi para pelaku industri;
g. melaksanakan pengelolaan data dan informasi industri;
h. menyusun peraturan-peraturan yang berhubungan dengan industri;
i. melaksanakan penataan kawasan industri dan/atau sentra industri serta
penyediaan ruang untuk masyarakat dalam berkreativitas;
j. menyiapkan sarana promosi hasil proses produksi industri;
k. memberikan rekomendasi perizinan dan non-perizinan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
l. melakukan koordinasi terkait pengembangan industri;
m. melakukan koordinasi penyusunan bahan rencana strategis dan rencana
kerja sesuai dengan lingkup tugasnya;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 23
n. melakukan koordinasi penyusunan laporan keuangan, kinerja, kegiatan,
dan akuntabilitas bidang industri;
o. melakukan koordinasi, pengawasan, pengendalian kegiatan industri dan
penindakan atas pelanggaran terhadap kegiatan industri;
p. menyiapkan bahan laporan bidang industri terkait dengan tugas Seksi
Pengembangan Industri yang telah dilaksanakan sebagai bahan evaluasi
pimpinan; dan
q. melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas Seksi
Pengembangan Industri.
2. Seksi Industri Kecil, Menengah dan Kreatif
Seksi Industri Kecil, Menengah dan Kreatif merupakan Satuan Kerja Bidang
Industri dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan dan pengembangan industri
kecil menengah dan kreatif. Tugas Seksi Industri Kecil, Menengah dan Kreatif
sebagai berikut:
a. menyusun bahan rencana kerja strategis dan rencana kerja dan anggaran
sesuai dengan lingkup tugasnya;
b. melaksanakan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran
sesuai dengan lingkup tugasnya;
c. menyusun bahan kebijakan, pedoman, dan standar teknis Industri Kecil
Menengah dan Kreatif;
d. mengumpulkan dan mengolah bahan penyusunan pedoman pembinaan,
bimbingan teknis, dan manajemen bagi industri kecil menengah dan kreatif;
e. melaksanakan pembinaan, pelatihan/bimbingan teknis, pengembangan
industri dan manajemen bagi industri kecil menengah dan kreatif;
f. memberikan konsultasi dan fasilitasi perlindungan hak kekayaan intelektual
khususnya bagi industri kecil, menengah dan industri kreatif;
g. melaksanakan bantuan sertifikasi produk-produk industri kecil, menengah,
dan kreatif;
h. melakukan analisis permasalahan industri kecil menengah dan kreatif guna
peningkatan daya saing industri;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 24
i. melakukan analisis pengembangan sentra industri dan sentra industri
kreatif
j. memberikan fasilitas bantuan informasi pasar, promosi dan pemasaran
proses produk industri kecil, menengah dan industri kreatif di dalam dan
luar negeri
k. meningkatkan pertumbuhan wirausaha baru;
l. memfasilitasi pemberian penghargaan kepada pelaku industri kecil,
menengah, dan kreatif;
m. melaksanakan penyusunan bahan rencana strategis dan rencana kerja
sesuai dengan lingkup tugasnya;
n. melaksanakan penyusunan laporan keuangan, kinerja, kegiatan dan
akuntabilitas bidang industri;
o. melaksanakan evaluasi pengawasan dan pengendalian kegiatan Seksi Industri
Kecil, Menengah, dan Kreatif; dan
p. melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas Seksi Industri
Kecil, Menengah dan Kreatif
3. Seksi Kerjasama dan Kemitraan Industri
Seksi Manufaktur dan Agro merupakan Satuan Kerja Bidang Industri dalam
pelaksanaan kegiatan pembinaan, kerjasama dan kemitraan industri. Tugas
Seksi Kerjasama dan Kemitraan Industri sebagai berikut:
a. menyusun bahan rencana kerja strategis dan rencana kerja dan anggaran
sesuai dengan lingkup tugasnya;
b. melaksanakan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran
sesuai dengan lingkup tugasnya;
c. menyusun bahan kebijakan, pedoman, dan standar teknis Kerjasama dan
Kemitraan industri;
d. melaksanakan kerja sama dan kemitraan antara industri kecil menengah
dan kreatif dengan industri besar;
e. melaksanakan kerja sama dan kemitraan antara industri kecil menengah
dan kreatif dengan lembaga keuangan di bidang permodalan;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 25
f. melaksanakan kerja sama dan kemitraan antara industri kecil menengah
dan kreatif dengan pasar modern di bidang pemasaran produk;
g. melaksanakan kerja sama dan kemitraan antara industri kecil menengah
dan kreatif dengan perguruan tinggi dalam hal penelitian dan
pengembangan teknologi tepat guna di bidang industri;
h. melaksanakan kerja sama dan kemitraan antara industri kecil menengah
dan kreatif dengan asosiasi industri dan lembaga lain dalam rangka
pengembangan daya saing industri;
i. memfasilitasi kemitraan antara industri kecil menengah dan kreatif dengan
BUMN/D dan swasta dalam Pemanfaatan Program Kemitraan Bina
Lingkungan dan CSR;
j. memfasilitasi pembentukan asosiasi industri;
k. memfasilitasi peningkatan penggunaan produk dalam negeri;
l. melaksanakan analisis iklim usaha dan peningkatan kerjasama industri;
m. melakukan kerjasama antara pemerintah daerah dengan pemerintah dan
antar pemerintah daerah serta kerja sama luar negeri di bidang industri;
n. mengkoordinasikan penyusunan bahan rencana strategis dan rencana
kerja sesuai dengan lingkup tugasnya;
o. mengkoordinasikan penyusunan laporan keuangan, kinerja, kegiatan dan
akuntabilitas bidang industri;
p. melaksanakan evaluasi pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan
Seksi Kerjasama dan Kemitraan Industri;
q. menyiapkan bahan laporan Bidang Industri yang terkait dengan tugas
Seksi Kerjasama dan Kemitraan industri yang telah dilaksanakan sebagai
bahan evaluasi pimpinan; dan
r. melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas Seksi
Kerjasama dan Kemitraan Industri.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 26
Pada lingkup Kota dan Kabupaten Administrasi urusan pemerintahan bidang
perindustrian dilaksanakan oleh Suku Dinas Kota dan Suku Dinas Kabupaten
yang secara operasional menjadi tugas Seksi Industri dan Energi Sumber Daya
Mineral. Tugas Seksi Industri dan Energi Sumber Daya Mineral Suku Dinas Kota
sebagai berikut:
a. menyusun bahan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran Suku
Dinas Kota Administrasi sesuai dengan Iingkup tugasnya;
b. melaksanakan dokumen pelaksanaan anggaran Suku Dinas Kota
Administrasi sesuai dengan Iingkup tugasnya;
c. melaksanaan bimbingan, konsultasi, fasilitasi, pendidikan dan pelatihan,
pendampingan, serta pengembangan usaha industri kecil lingkup Kota
Administrasi;
d. melaksanakan pembinaan dan penumbuhan wirausaha industri baru di
wilayah Kota Administrasi;
e. melaksanakan pendataan industri kecil, genset, agen dan pangkalan LPG
bersubsidi, sumur resapan dangkal, sumur dalam, pendistribusian BBM, BBG
dan LPG di wilayah Kota Administrasi;
f. melaksanakan pembangunan, pengawasan, dan pemeliharaan sumur
resapan air tanah dangkal di wilayah Kota Administrasi;
g. melaksanakan pencatatan, pengawasan dan pengendalian pemanfaatan air
tanah;
h. melaksanakan pengawasan, dan pengendalian pengambilan bahan galian
pasir laut dan terumbu karang di wilayah Kota Administrasi;
i. melaksanakan pembangunan, pengawasan dan pengendalian dan
pemeliharaan energi baru terbarukan dan konservasi energi di wilayah Kota
Administrasi;
j. melaksanakan pembangunan, pengawasan, dan pemeliharaan pembangkit,
jaringan transmisi dan distribusi listrik di wilayah Kota Administrasi;
k. melaksanakan pembinaan dan pengembangan industri kecil di wilayah Kota
Administrasi;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 27
l. melaksanakan koordinasi, monitoring, evaluasi industri kecil, energi dan
sumber daya mineral di wilayah Kota administrasi;
m. melaksanakan koordinasi dan kemitraan dengan instansi terkait dan pelaku
usaha industri kecil di tingkat wilayah Kota administrasi;
n. melaksanakanpemberian rekomendasi izin usaha industri kecil, agen LPG
bersubsidi; dan
o. melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan fungsi
Seksi Industri dan Energi Sumber Daya Mineral.
Sedangkan tugas Seksi Industri lingkup Suku Dinas Kabupaten sebagai berikut: a. menyusun bahan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran Suku
Dinas Kabupaten sesuai dengan Iingkup tugasnya;
b. melaksanakan dokumen pelaksanaan anggaran Suku Dinas Kabupaten
Administrasi sesuai dengan Iingkup tugasnya;
c. melaksanaan bimbingan, konsultasi, fasilitasi, pendidikan dan pelatihan,
pendampingan, serta pengembangan usaha industri kecil lingkup Kabupaten
Administrasi;
d. melaksanakan penumbuhan wirausaha industri baru di wilayah Kabupaten
Administrasi;
e. melaksanakan pendataan industri kecil, genset, agen dan pangkalan
LPGbersubsidi, sumur resapan dangkal, sumur dalam, pendistribusian BBM,
BBG dan LPG di wilayah kabupaten administrasi;
f. melaksanakan pembangunan,pengawasan, dan pemeliharaan sumur resapan
air tanah dangkal di wilayah kabupaten administrasi;
g. melaksanakan pencatatan, pengawasan dan pengendalian pemanfaatan air
tanah;
h. melaksanakan pengawasan, dan pengendalian pengambilan bahan galian
pasir laut dan terumbu karang di wilayah kabupaten administrasi;
i. melaksanakan pembangunan, pengawasan dan pengendalian dan
pemeliharaan energi baru terbarukan dan konservasi energi di wilayah
kabupaten administrasi;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 28
j. melaksanakan pembangunan, pengawasan, dan pemeliharaan pembangkit,
jaringan transmisi dan distribusi listrik di wilayah kabupaten administrasi;
k. melaksanakan pembinaan dan pengembangan industri kecildi wilayah
kabupaten administrasi;
l. melaksanakan koordinasi, monitoring, evaluasi industri kecil, energi dan
sumber daya mineral di wilayah kabupaten administrasi;
m. melaksanakan koordinasi dan kemitraan dengan instansi terkait dan pelaku
usaha industri kecil di tingkat wilayah kabupaten administrasi;
n. melaksanakanpemberian rekomendasi izin industri kecil, agen LPG
bersubsidi; dan
o. melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan fungsi
Seksi Industri dan Energi Sumber Daya Mineral;
Mencermati tugas dan fungsi Dinas Perindustrian dan Energi di bidang
perindustrian, secara umum wewenang yang diberikan negara kepada Gubernur
melalui UU No. 3 Tahun 2014 dilaksanakan oleh Kepala Dinas Perindustrian dan
Energi yang secara operasional menjadi tugas Kepala Bidang Industri, yaitu: (a)
penyiapan konsep pengaturan dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah,
Rancangan Peraturan/Keputusan Gubernur; (b) menyusun konsep rencana
pembangnan industri; (c) pelakukan pengembangan industri; (d) membina; (e)
mengawasi; (f) pengendalian sebagian dilaksanakan oleh Kepala Badan/Kantor
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTST) dalam bentuk perizinan dan non perizinan
di bidang perindustrian sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 12
Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
Selain Dinas sebagai pelaksana urusan pemerintahan di bidang
perindustrian, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki beberapa Unit Pelaksana
Teknis Dinas (UPTD), antara lain: Unit Industri Kerajinan dan Tekstil
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Gubernur Nomor 281 Tahun 2014.
Tugas Unit Industri Kerajinan dan Tekstil adalah melaksanakan pengujian,
pengelolaan laboratorium pengujian dan pengembangan desain produk kerajinan.
Sedangkan fungsinya sebagai berikut: (a) penyusunan rencana strategis dan
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 29
rencana kerja dan anggaran Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (b) pelaksanaan
rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran Unit Industri Kerajinan
dan Tekstil; (c) penyusunan pedoman, standar dan prosedur teknis pengujian
hasil industri kerajinan dan tekstil; (d) penyusunan rencana kebutuhan
penyediaan, pemeliharaan dan perawatan prasarana dan sarana teknis pengujian
industri kerajinan dan tekstil; (e) pengujian mutu bahan baku dan produk industri
kerajinan dan tekstil; (f) pelaksanaan bimbingan dan konsultasi teknis untuk
peningkatan dan pengawasan mutu, bahan baku, proses, peralatan dan hasil
produksi industri kerajinan dan tekstil; (g) penyelenggaraan pelatihan
pengembangan industri kerajinan dan tekstil; (h) pelaksanaan peningkatan
kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) melalui keikutsertaan dalam
pendidikan dan pelatihan teknis dan non teknis Unit Industri Kerajinan dan Tekstil;
(i) pelaksanaan fasilitasi pemasaran dan promosi; (j) pelaksanaan fasilitasi proses
standardisasi; (k) pelaksanaan pengujian sertifikasi produk dan sertifikasi sistem
mutu; (l) pelaksanaan jasa inspeksi teknis dan pengambilan contoh; (m)
pelaksanaan kerja sama dengan instansi terkait dalam rangka pengembangan
industri kerajinan dan tekstil dan produk kerajinan dan tekstil kreatif; (n)
penyediaan, pemeliharaan dan perawatan prasarana dan sarana teknis Unit
Industri dan Kerajinan Tekstil; (o) pengelolaan kepegawaian, keuangan dan
barang Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (p) pelaksanaan kegiatan kerumah
tanggaan dan ketatausahaan Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (q) pelaksanaan
publikasi kegiatan dan pengaturan acara Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (r)
pelaksanaan pengelolaan teknologi informasi Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (s)
pengelolaan kearsipan Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (t) penyiapan bahan
laporan Dinas Perindustrian dan Energi yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan
fungsi Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (u) pelaporan dan pertanggungjawaban
pelaksanaan tugas dan fungsi Unit Industri Kerajinan dan Tektil.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 30
Secara teori terdapat 3 (tiga) wewenang menurut cara memperoleh, yaitu
atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah
oleh pembuat undang-undang. Delegasi47 adalah pelimpahan wewenang
pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lain,
sedangkan mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangan-
nya dijalankan oleh organ lain atas namanya.
Ada dua cara organ pemerintahan memperoleh wewenang atribusi dan
delegasi.48 Wewenang atribusi berkenaan penyerahan wewenang, sedangkan
delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang
telah memperoleh wewenang secara atribusi kepada organ lain), jadi delegasi
secara logis selalui didahului oleh atribusi. Mandat tidak dibicarakan penyerahan
wewenang, tidak ada pula pelimpahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi
perubahan wewenang apapun (setidak-tidaknya dalam arti yuridis formal). Yang
ada hanya hubungan internal, sebagai contoh Gubernur dengan Kepala Dinas,
Kepala Dinas mengambil keputusan tertentu atas nama Gubernur, sementara
secara yuridis wewenang dan tanggung jawab tetap berada pada Gubernur.
Pegawai memutuskan secara faktual, Gubernur secara yuridis).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, wewenang Pemerintah Daerah dalam
penyelenggaraan perindustrian diberikan oleh negara melalui UU No. 3 Tahun
2014 tentang Perindustrian, termasuk wewenang atribusi dan asas legalitas bagi
Pemerintahan Daerah untuk mengatur penyelenggaraan perindustrian dengan
Peraturan Daerah. Wewenang delegasi adalah wewenang Pemerintah Daerah
yang diperoleh atas dasar pelimpahan wewenang dari badan/organ pemerintahan
lain. Sifat wewenang delegasi, pelimpahan yang bersumber dari wewenang
atribusi. Sebagai contoh, Menteri Perindustrian mendelegasikan kepada Gubernur
dalam pemberian izin usaha industri. Akibat hukum ketika wewenang delegasi
dijalankan menjadi tanggung jawab penerima delegasi (delegataris), wewenang
tersebut tidak dapat digunakan lagi oleh pemberi wewenang kecuali pemberi
wewenang (delegans) menilai terjadi penyimpangan atau pertentangan dalam
47 H.D. van Wijk/Willem Konijnenbel, dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2008, hlm. 104-105. 48 van Wijk F. A. M Stroink dan J.G. Steenbeek dalam Ridwan HR, Op. Cit., hlm. 105.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 31
menjalankan wewenang tersebut, sehingga wewenang dicabut kembali oleh
pemberi delegasi. Sedangkan wewenang mandat adalah pelimpahan wewenang
yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan,
kecuali dilarang secara tegas oleh peraturan perundang-undangan. Tanggung
jawab dan tanggung gugat, wewenang mandat tanggung jawab dan tanggung
gugat tetap berada pada pemberi mandat (mandans), sementara penerima
mandat (mandataris) tidak dibebani tanggung jawab dan tanggung gugat atas
wewenang yang dijalankan. Setiap saat wewenang mandat dapat digunakan atau
ditarik kembali oleh pemberi mandat (mandans).
Matrik-4.1 Perbedaan Cara Perolehan Wewenang dan Tanggung Jawab49
Atribusi Delegasi Mandat Cara perolehan Peraturan perundang-
undangan Pelimpahan Pelimpahan
Kekuatan mengikatnya
Tetap melekat sebelum ada perubahan peraturan perundang-undangan
Dapat dicabut atau ditarik kembali apabila ada pertentangan atau penyimpangan
Dapat ditarik atau digunakan sewaktu-waktu oleh pemberi wewenang
Tanggung jawab dan tanggung gugat
Penerima wewenang bertanggungjawab mutlak akibat yang ditimbulkan dari wewenang
Pemberi wewenang melimpahkan tanggung jawab dan tanggung gugat kepada penerima wewenang
Berada pada pemberi mandat
Hubungan wewenang Hubungan hukum pembentuk undang-undang dengan organ pemerintahan
Berdasarkan atas wewenang atribusi yang dilimpahkan
Hubungan yang bersifat internal antara bahawan dengan atasan.
Matrik-4.1 menampilkan perbedaan mendasar wewenang (atribusi, delegasi,
dan mandat) baik prosedur atau cara perolehan, kekuatan mengikat, tanggung
jawab, dan tanggung gugat, maupun hubungan antara pemberi wewenang
dengan penerima wewenang. Dalam wewenang baik diperoleh berdasarkan
atribusi maupun pelimpahan, sama-sama harus terlebih dahulu dipastikan yang
melimpahkan memiliki wewenang dan wewenang tersebut benar-benar ada
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pemberian wewenang delegasi dapat terjadi diantara organ pemerintah
sederajat atau antar lembaga yang tidak sederajat atau dari pemerintah atasan
kepada pemerintah bawahan. Delegasi juga dapat dilakukan dari Gubernur 49 Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, 2008., hlm. 61
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 32
kepada Kepala Daerah Kabupaten/Kota daerah otonom atau Bupati/Walikota.
Artinya, pendelegasian wewenang dapat dilakukan secara bertingkat atau
bertahap dalam arti yang diberikan delegator atau pemberi delegasi kepada
penerima delegasi untuk kemudian mendelegasikan lagi untuk diatur pada tahap
berikutnya kepada lembaga lain atau lembaga yang lebih rendah.
Prosedur pemberian wewenang dalam pengaturan harus memenuhi 3 (tiga)
syarat dan salah satunya harus ada.50 Pertama, adanya perintah mengenai
subjek lembaga pelaksana diberi delegasi, dan bentuk peraturan pelaksanaan
untuk menuangkan ke dalam materi pengaturan didelegasikan. Kedua, ada
perintah membentuk pengaturan yang dituangkan ke dalam materi pengaturan
yang didelegasikan. Ketiga, ada perintah pendelegasian dari peraturan
perundang-undangan membentuk peraturan perundang-undangan (dalam hal ini
Peraturan Daerah) kepada lembaga penerima delegasi (Pemerintah Daerah)
tanpa penyebutan bentuk peraturannya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, ada perintah bersifat tegas dan ada
perintah bersifat tidak tegas. Dalam hal ”perintah tidak tegas” dikarenakan ada 3
(tiga) kemungkinan.51 Pertama, perintah pengaturan memang ada tetapi tidak
tegas menentukan bentuk pengaturan yang dipilih sebagai tempat penuangan
materi ketentuan yang didelegasikan pengaturannya. Kedua, perintah pengaturan
memang ada, tetapi tidak ditentukan secara jelas lembaga yang diberi delegasi
kewenangan atau bentuk pengaturan yang harus ditetapkan untuk menuangkan
materi yang didelegasikan. Ketiga, perintah pengaturan sama sekali tidak disebut
atau tidak ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, tetapi dibutuhkan
daerah dan/atau tidak terelakkan dalam rangka pelaksanaan undang-undang itu
sendiri.
Di dalam UU No. 3 Tahun 2014 ada perintah bersifat tegas dan ada perintah
bersifat tidak tegas diberikan kepada Pemerintah Daerah dan/atau Kepala Daerah
dalam hal ini Gubernur. Perintah tersebut, sebagai berikut:
Pasal 7
50 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006. hal. 381 51 Ibid, hal. 385
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 33
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota secara bersama-sama atau sesuai kewenangan masing-masing menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 10 (1) Setiap Gubernur menyusun Rencana Pembangunan Industri Provinsi.
(2) Rencana Pembangunan Industri Provinsi mengacu kepada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional dan Kebijakan Industri Nasional.
(3) Rencana Pembangunan Industri Provinsi disusun dengan paling sedikit
memperhatikan: a. potensi sumber daya Industri daerah; b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan/atau Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten/Kota; dan c. keserasian dan keseimbangan dengan kebijakan pembangunan
Industri di kabupaten/kota serta kegiatan sosial ekonomi dan daya dukung lingkungan.
(4) Rencana Pembangunan Industri Provinsi ditetapkan dengan Peraturan
Daerah Provinsi setelah dievaluasi oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 14 (1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan percepatan
penyebaran dan pemerataan pembangunan Industri ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui perwilayahan Industri.
(2) Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan paling sedikit memperhatikan: a. rencana tata ruang wilayah; b. pendayagunaan potensi sumber daya wilayah secara nasional; c. peningkatan daya saing Industri berlandaskan keunggulan sumber
daya yang dimiliki daerah; dan d. peningkatan nilai tambah sepanjang rantai nilai.
(3) Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
melalui: a. pengembangan wilayah pusat pertumbuhan Industri; b. pengembangan kawasan peruntukan Industri; c. pembangunan Kawasan Industri; dan d. pengembangan sentra Industri kecil dan Industri menengah.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 34
Pasal 16 (2) Pembangunan sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku Industri, dan masyarakat.52
(3) Pembangunan sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memperhatikan penyebaran dan pemerataan ketersediaan sumber daya manusia Industri yang kompeten untuk setiap wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
(4) Sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi: a. wirausaha Industri; b. tenaga kerja Industri; c. pembina Industri; dan d. konsultan Industri.
Pasal 20 Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memfasilitasi pembangunan pusat pendidikan dan pelatihan Industri di wilayah pusat pertumbuhan Industri
Pasal 33 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin ketersediaan dan
penyaluran sumber daya alam untuk Industri dalam negeri.
(2) Guna menjamin ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam untuk Industri dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengatur pemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan Industri dalam negeri.
Pasal 36 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam
pengembangan, peningkatan penguasaan, dan pengoptimalan pemanfaatan Teknologi Industri.
(2) Pengembangan, peningkatan penguasaan, dan pengoptimalan
pemanfaatan Teknologi Industri dilakukan untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, nilai tambah, daya saing, dan kemandirian bidang Industri.
Pasal 42 Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi: a. kerja sama penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
di bidang Industri antara Perusahaan Industri dan perguruan tinggi atau lembaga penelitian dan pengembangan Industri dalam negeri dan luar negeri;
b. promosi alih teknologi dari Industri besar, lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, dan/atau lembaga lainnya ke Industri kecil dan Industri menengah; dan/atau
52 Pasal 16 ayat (1) menyatakan Pembangunan sumber daya manusia Industri dilakukan untuk menghasilkan sumber
daya manusia yang kompeten guna meningkatkan peran sumber daya manusia Indonesia di bidang Industri.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 35
c. lembaga penelitian dan pengembangan dalam negeri dan/atau Perusahaan Industri dalam negeri yang mengembangkan teknologi di bidang Industri.
Pasal 43 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan dan
pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat dalam pembangunan Industri.
(2) Pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memberdayakan budaya Industri dan/atau kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat.
(3) Dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan: a. penyediaan ruang dan wilayah untuk masyarakat dalam berkreativitas
dan berinovasi; b. pengembangan sentra Industri kreatif; c. pelatihan teknologi dan desain; d. konsultasi, bimbingan, advokasi, dan fasilitasi perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual khususnya bagi Industri kecil; dan e. fasilitasi promosi dan pemasaran produk Industri kreatif di dalam dan
luar negeri
Pasal 44 (2) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari
Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan usaha, dan/atau orang perseorangan.53
(3) Pembiayaan yang berasal dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diberikan kepada Perusahaan Industri yang berbentuk badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah.
(4) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan dalam
bentuk: a. pemberian pinjaman; b. hibah; dan/atau c. penyertaan modal.
Pasal 62 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin tersedianya infrastruktur
Industri.
(2) Penyediaan infrastruktur Industri dilakukan di dalam dan/atau di luar kawasan peruntukan Industri.
53 Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, Pemerintah memfasilitasi
ketersediaan pembiayaan yang kompetitif untuk pembangunan Industri.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 36
(3) Infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi: a. lahan Industri berupa Kawasan Industri dan/atau kawasan peruntukan
Industri; b. fasilitas jaringan energi dan kelistrikan; c. fasilitas jaringan telekomunikasi; d. fasilitas jaringan sumber daya air; e. fasilitas sanitasi; dan f. fasilitas jaringan transportasi.
(4) Penyediaan infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan melalui: a. pengadaan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang
pembiayaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah;
b. pola kerja sama antara Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan swasta, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dan swasta; atau
c. pengadaan yang dibiayai sepenuhnya oleh swasta.
Pasal 64 (1) Setiap Perusahaan Industri wajib menyampaikan Data Industri yang
akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota.
(3) Gubernur dan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
secara berkala harus menyampaikan hasil pengolahan Data Industri sebagai Informasi Industri kepada Menteri melalui Sistem Informasi Industri Nasional.
(4) Menteri, Gubernur, dan bupati/walikota memberikan kemudahan kepada
Perusahaan Industri dalam menyampaikan Data Industri dan mengakses informasi.
Pasal 65 (1) Setiap Perusahaan Kawasan Industri wajib menyampaikan Data Kawasan
Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, Gubernur, dan bupati/walikota.
(2) Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
melalui Sistem Informasi Industri Nasional. (3) Gubernur dan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
secara berkala harus menyampaikan hasil pengolahan Data Kawasan Industri sebagai Informasi Industri kepada Menteri melalui Sistem Informasi Industri Nasional.
(4) Menteri, Gubernur, dan bupati/walikota memberikan kemudahan kepada
Perusahaan Kawasan Industri dalam menyampaikan Data Kawasan Industri dan mengakses informasi.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 37
Pasal 68 (3) Sistem Informasi Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terkoneksi dengan sistem informasi yang dikembangkan oleh kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota, serta dapat berinteraksi dengan sistem informasi di negara lain atau organisasi internasional.54
(4) Untuk menjamin koneksi Sistem Informasi Industri Nasional dengan
sistem informasi di daerah, Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota membangun sistem Informasi Industri di provinsi dan kabupaten/kota.
Pasal 69 Pejabat dari instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dilarang menyampaikan dan/atau mengumumkan Data Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) yang dapat merugikan kepentingan perusahaan dalam hal perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 70 (2) Pejabat dari instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang
menyampaikan dan/atau mengumumkan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembebasan dari jabatan; c. penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling
lama 1 (satu) tahun; d. penurunan pangkat pada pangkat setingkat lebih rendah untuk paling
lama 1 (satu) tahun; e. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri; dan/atau f. pemberhentian dengan tidak hormat
Pasal 72 (1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembangunan dan
pemberdayaan Industri kecil dan Industri menengah untuk mewujudkan Industri kecil dan Industri menengah yang: a. berdaya saing; b. berperan signifikan dalam penguatan struktur Industri nasional; c. berperan dalam pengentasan kemiskinan melalui perluasan
kesempatan kerja; dan d. menghasilkan barang dan/atau Jasa Industri untuk diekspor.
(2) Untuk mewujudkan Industri kecil dan Industri menengah sebagai-mana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan: a. perumusan kebijakan; b. penguatan kapasitas kelembagaan; dan c. pemberian fasilitas.
54 Pasal 68 ayat (1) Menteri membangun dan mengembangkan Sistem Informasi Industri Nasional.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 38
Pasal 74 (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya
melaksanakan penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).55
Pasal 75 (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya
melaksanakan pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1).56
Pasal 78 (2) Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Menteri berkoordinasi dengan menteri terkait, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait, dan Pemerintah Daerah, serta mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan terkait.
Pasal 86 (1) Produk dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 wajib
digunakan oleh: a. lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian,
dan satuan kerja perangkat daerah dalam pengadaan barang/jasa apabila sumber pembiayaannya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, termasuk pinjaman atau hibah dari dalam negeri atau luar negeri; dan
b. badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha swasta dalam pengadaan barang/jasa yang pembiayaannya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah dan/atau pekerjaannya dilakukan melalui pola kerja sama antara Pemerintah dengan badan usaha swasta dan/atau mengusahakan sumber daya yang dikuasai negara.
Pasal 101 (4) Menteri dapat melimpahkan sebagian kewenangan pemberian izin usaha
Industri kepada gubernur dan bupati/walikota.
Pasal 105 (3) Menteri dapat melimpahkan sebagian kewenangan pemberian izin usaha
Kawasan Industri kepada gubernur dan bupati/walikota.
55 Pasal 74 ayat (1), Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf b paling
sedikit dilakukan melalui: a. peningkatan kemampuan sentra, unit pelayanan teknis, tenaga penyuluh lapangan, serta konsultan Industri kecil dan Industri menengah; dan b. kerja sama dengan lembaga pendidikan, lembaga penelitian dan pengembangan, serta asosiasi Industri dan asosiasi profesi terkait.
56 Pasal 75 ayat (1) Pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf c diberikan dalam bentuk: a. peningkatan kompetensi sumber daya manusia dan sertifikasi kompetensi; b. bantuan dan bimbingan teknis; c. bantuan bahan baku dan bahan penolong; d. bantuan mesin atau peralatan; e. pengembangan produk; f. bantuan pencegahan pencemaran lingkungan hidup untuk mewujudkan Industri Hijau; g. bantuan informasi pasar, promosi, dan pemasaran; h. akses pembiayaan, termasuk mengusahakan penyediaan modal awal bagi wirausaha baru; i. penyediaan Kawasan Industri untuk Industri kecil dan Industri menengah yang berpotensi mencemari lingkungan; dan/atau j. pengembangan, penguatan keterkaitan, dan hubungan kemitraan antara Industri kecil dengan Industri menengah, Industri kecil dengan Industri besar, dan Industri menengah dengan Industri besar, serta Industri kecil dan Industri menengah dengan sektor ekonomi lainnya dengan prinsip saling menguntungkan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 39
Pasal 109 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong penanaman modal di
bidang Industri untuk memperoleh nilai tambah sebesar-besarnya atas pemanfaatan sumber daya nasional dalam rangka pendalaman struktur Industri nasional dan peningkatan daya saing Industri.
Pasal 110 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan fasilitas untuk
mempercepat pembangunan Industri. (2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
a. Perusahaan Industri yang melakukan penanaman modal untuk memperoleh dan meningkatkan nilai tambah sebesar-besarnya atas pemanfaatan sumber daya nasional dalam rangka pendalaman struktur Industri dan peningkatan daya saing Industri;
b. Perusahaan Industri yang melakukan penelitian dan pengembangan Teknologi Industri dan produk;
c. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang berada di wilayah perbatasan atau daerah tertinggal;
d. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang mengoptimalkan penggunaan barang dan/atau jasa dalam negeri;
e. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang mengembangkan sumber daya manusia di bidang Industri;
f. Perusahaan Industri yang berorientasi ekspor; g. Perusahaan Industri kecil dan Industri menengah yang menerapkan
SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib;
h. Perusahaan Industri kecil dan Industri menengah yang memanfaatkan sumber daya alam secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan;
i. Perusahaan Industri yang melaksanakan upaya untuk mewujudkan Industri Hijau; dan
j. Perusahaan Industri yang mengutamakan penggunaan produk Industri kecil sebagai komponen dalam proses produksi.
Pasal 117 (5) Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota secara bersama-sama atau sesuai dengan kewenangan masing-masing melaksanakan pengawasan dan pengendalian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 40
Tidak ada wewenang tanpa tanggung jawab,57 karena itu sudah menjadi
tanggung jawab Pemerintah Daerah untuk melaksanakan perintah yang diberikan
UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Wewenang tersebut diberikan
kepada Pemerintah Daerah, yaitu Kepala Daerah dan Perangkat Daerah selaku
unsur penyelenggara urusan pemerintahan. Di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan
UU No. 29 Tahun 2007, yang diberi wewenang dan tanggung jawab dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang industri adalah Gubernur dan
secara operasional menurut Peraturan Daerah No. 18 Tahun 2016 tentang
Organisasi Perangkat Daerah sebagaimana diuraikan sebelumnya menjadi tugas
Kepala Dinas Perindustrian dan Energi. Kepala Dinas dalam melaksanakan tugas
bertanggungjawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Gubernur Nomor 267 Tahun 2016 tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perindustrian dan Energi.
Berdasarkan inventarisasi wewenang yang diberikan oleh negara melalui UU
No. 3 Tahun 2014 kepada Pemerintah Daerah dan Gubernur penyelenggaraan
perindustrian. dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah
Daerah berwenang menetapkan kebijakan daerah untuk kelancaran dalam
pelaksanaan tugas sesuai urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab
dan wewenang yang diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah dan/atau
Peraturan Kepala Daerah.
Di Provinsi DKI Jakarta, Peraturan Kepala Daerah dalam bentuk Peraturan
Gubernur karena pelaksanaan otonomi berada pada lingkup provinsi
sebagaimana diatur dalam UU No. 29 Tahun 2007.58 Pelaksanaan otonomi
tersebut berimplikasi pada pendelegasian atau pelimpahan wewenang. Gubernur
tidak dapat melimpahkan wewenang kepada Walikota/Bupati melainkan
pendelegasian tugas, karena kedudukan Walikota/Bupati di Provinsi DKI Jakarta
sebagai Kepala Perangkat Daerah bukan Kepala Daerah, kecuali Peraturan
Daerah memberikan wewenang kepada Kepala Perangkat Daerah dalam hal
57 Philipus M. Hardjon, Wewenang, Makalah pada Penataran Hukum Administrasi, Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya, 1998, hlm. 9-10. 58 Menurut Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahwa otonomi Provinsi DKI Jakarta diletakkan pada tingkat provinsi.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 41
tertentu, maka urusan tersebut menjadi tanggung jawab Kepala Perangkat
Daerah bersangkutan, bukan lagi menjadi tanggung jawab Gubernur. Jika dalam
Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian ditetapkan tugas dan
wewenang Kepala Perangkat Daerah, maka Rancangan Peraturan Daerah
tersebut tidak harmonis dengan Peraturan Daerah tentang Organisasi Perangkat
Daerah. Di samping itu, secara politis Kepala Perangkat Daerah yang
mendapatkan tugas dan wewenang melalui Peraturan Daerah mempunyai
kewajiban menyampaikan laporan atas tugas yang dilaksanakan tidak hanya
kepada Gubernur melainkan juga kepada DPRD.
Untuk melaksanakan wewenang yang didelegasikan UU No. 3 Tahun 2014,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membutuhkan dana dan peran pelaku usaha di
bidang industri dan masyarakat secara aktif. Oleh sebab itu, legalitas dari DPRD
yang diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah sangat diperlukan.
4.4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak pelaku usaha di bidang industri dalam UU No. 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian tidak diatur secara tegas. Sementara salah satu tujuan dibentuknya
Peraturan Daerah dalam rangka mewujudkan hak masyarakat melakukan usaha
di bidang industri serta memfasilitasi kewajiban pelaku usaha dalam melakukan
kegiatan usaha di bidang industri. Meskipun demikian, berdasarkan definisi industri
sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 3 Tahun 2014, dapat
ditafsirkan bahwa kegiatan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha di bidang
industri menghasilkan “barang” yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih
tinggi, termasuk “jasa” industri. Barang dan/atau jasa dimaksud dapat berupa
benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak
bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat
diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Berdasarkan penafsiran tersebut di atas, pengertian pelaku usaha adalah
setiap orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 42
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha bidang
industri. Makna pelaku usaha berbentuk “badan hukum” maupun “bukan badan
hukum” berupa korporasi, yaitu kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.59
Atas dasar uraian tersebut di atas, hak pelaku usaha industri dalam UU No.
3 Tahun 2013 tidak diatur secara tegas, namun dapat indentifikasi, antara lain: (a)
mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum dalam melakukan usaha.
Perlindungan hukum dimaksud antara lain pelaku usaha yang telah mendapat
legalitas atau izin dari Pemerintah Daerah untuk melakukan usaha penyediaan
kawasan industri, karena perkembangan perkotaan menyebabkan kawasan
industri terkena pelebaran jalan. Kondisi tersebut, memberikan gambaran tidak
ada kepastian hukum dalam melakukan usaha; (b) memperoleh data dan
informasi yang benar dan akurat serta tepat waktu dalam melakukan kegiatan
usaha; (c) mendapatkan lingkungan yang bersih, indah, nyaman dan sehat dari
Pemerintah Daerah dan/atau pengelola kawasan; (d) mendapatkan pelayanan
secara baik dan berwawasan lingkungan dari Pemerintah Daerah dan/atau
pengelola kawasan industri; (e) berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan terkait dengan kegiatan usaha industri; (f) memperoleh pembinaan
dalam penyelenggaraan kegiatan usaha industri dari Pemerintah Daerah dan/atau
pengelola kawasan; (g) hak-hak lain yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan hak masyarakat antara lain mendapatkan
perlindungan dari dampak negatif kegiatan usaha industri sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 116 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2014.
Kewajiban pelaku usaha berdasarkan UU No. 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian antara lain: Pasal 64 (1) Setiap Perusahaan Industri wajib menyampaikan Data Industri yang
akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota
59 Lihat Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 43
Pasal 65 (1) Setiap Perusahaan Kawasan Industri wajib menyampaikan Data
Kawasan Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota.
(2) Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan melalui Sistem Informasi Industri Nasional.
Pasal 105 (1) Setiap kegiatan usaha Kawasan Industri wajib memiliki izin usaha
Kawasan Industri. (5) Setiap Perusahaan Kawasan Industri yang melakukan perluasan wajib
memiliki izin perluasan Kawasan Industri
Pasal 106 (1) Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri wajib berlokasi di
Kawasan Industri.
Berdasarkan kewajiban perusahaan industri tersebut di atas, secara umum
kewajiban pelaku usaha di bidang industri sebagai berikut: (a) memberikan data
dan informasi yang benar dan akurat serta tepat waktu mengenai kegiatan usaha
yang dilakukan; (b) jaminan barang dan/atau jasa yang dihasilkan sesuai standar
mutu barang dan/atau jasa dan memberikan penjelasan penggunaan barang
dihasilkan; (c) memberikan kesempatan kepada pengguna barang dan/atau jasa
untuk menguji barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang dan/atau jasa diproduksi dan/atau dihasilkan; (d) memberikan
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang produksi dan/atau
dihasilkan; (e) melakukan pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan
melalui pilihan jenis proses, yang akrab lingkungan, minimisasi limbah, analisis
daur hidup dan teknologi; (f) tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Dalam hal kewajiban pelaku usaha pencegahan pencemaran dan perusakan
lingkungan melalui pilihan jenis proses, yang akrab lingkungan, minimisasi limbah,
analisis daur hidup dan teknologi bersih dilakukan melalui produksi bersih.
Menurut Peraturan Menteri Perindustrian No. 75/M-IND/PER/7/2010 tentang
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 44
Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan Yang Baik (Good Manufacturing Practices) atau disingkat dengan CPPOB, bahwa penerapan CPPOB bertujuan
untuk: (a) mencegah tercemarnya pangan olahan dari cemaran biologi, kimia/fisik
yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia; (b)
membunuh atau mencegah berkembangbiak jasad renik patogen serta
mengurangi jumlah jasad renik lain yang tidak dikehendaki; (c) mengendalikan
produksi melalui pemilihan bahan baku, penggunaan bahan penolong,
penggunaan bahan pangan lainnya, penggunaan bahan tambahan pangan (BTP),
pengolahan, pengemasan, dan penyimpangan/pengangkutan. Selain itu, produksi
bersih sebagai upaya mengurangi limbah baik limbah padat maupun limbah cair
dari sumbernya, melalui eliminasi yang merupakan metode pengurangan limbah
secara total, bila perlu tidak mengeluarkan limbah sama sekali (zero discharge). Di dalam konsep penerapan produksi bersih termasuk metode pencegahan
pencemaran; (b) minimisasi limbah (mengurangi sumber limbah), strategi
pengurangannya menjaga limbah tidak terbentuk pada tahap awal. Pencegahan
limbah memerlukan beberapa perubahan penting terhadap proses; (c) daur ulang
(recycle), apabila timbul limbah tidak dapat dihindarkan dalam suatu proses, maka
strategi untuk meminimkan limbah sampai batas tertinggi yang mungkin dilakukan
harus antara lain daur ulang dan/atau penggunaan kembali (re-use). Jika limbah
tidak dapat dicegah, pengolahan limbah dapat dilakukan; (d) pengendalian
pencemaran, jika terpaksa dilakukan karena dalam proses perancangan produksi
belum dapat mengantisipasi adanya teknologi baru yang sudah bebas terjadinya
limbah; (e) pengolahan dan pembuangan, merupakan suatu komponen penting
dari keseluruhan program manajemen lingkungan; (f) remediasi, penggunaan
kembali bahan yang terbuang bersama limbah dengan tujuan mengurangi kadar
peracunan dan kuantitas limbah yang ada.
Sesuai tujuan produksi bersih sebagaimana diuraikan di atas terkait juga
dengan minimisasi limbah padat atau sampah sebagaimana diatur dalam UU No.
18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Menurut Pasal 15 undang-undang
tersebut, produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang diproduksinya
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 45
yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.60 Atas dasar ketentuan
tersebut pelaku usaha di bidang industri yang menimbulkan sampah yang alami
proses penguraian sampah sulit dilakukan menjadi tanggung jawab pelaku usaha
untuk membiayai seluruh proses pengelolaan sampah. Oleh sebab itu, pelaku
usaha di bidang industri harus berupaya menggunakan bahan produksi (bahan
baku, bahan penolong, bahan tambahan, atau kemasan produk) menimbulkan
sampah sesedikit mungkin, dapat diguna ulang, dapat didaur ulang, dan/atau
mudah diurai oleh proses alam.61 Demikian halnya dengan pengelola kawasan
industri memiliki kewajiban antara lain menyediakan fasilitas pemilihan sampah,
menyediakan tempat penampungan sampah sementara (TPS) terpilah atau
disebut TPS-3R.62
Kewajiban lain pelaku usaha di bidang industri tidak melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan, antara lain: larangan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999.
Praktek monopoli dimaksud adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau
lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau
pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan
usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sedangkan yang
dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan
atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha.
60 Yang dimaksud dengan produsen menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, adalah pelaku usaha yang memroduksi barang yang menggunakan kemasan, mendistribusikan barang yang menggunakan kemasan dan berasal dari impor, atau menjual barang dengan menggunakan wadah yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.
61 Lihat Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. 62 Tempat pengolahan sampah dengan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) atau TPS 3R adalah tempat dilaksanakannya
kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, dan pendauran ulang skala kawasan sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 188,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5347).
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 46
4.5. Kawasan Industri dan Sentra Industri Kecil dan Menengah (IKM)
Pengertian kawasan industri menurut Pasal 1 angka 11 UU No. 3 Tahun
2014, adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri yang dilengkapi
dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh
Perusahaan Kawasan Industri. Sedangkan pengertian sentra IKM UU No. 3
Tahun 2014 tidak mendefinisikan. Meskipun demikian, dalam Peraturan Menteri
Perindustrian Nomor 78/M-IND/PER/9/2007 tentang Peningkatan Efektifitas
Pengembangan Industri Kecil dan Menengah Melalui Pendekatan Satu Desa
Produk (One Village One Product – OVOP) di Sentra, yang dimaksud dengan
sentra adalah suatu wilayah atau kawasan tertentu tempat sekelompok
perusahaan IKM yang menghasilkan produk sejenis, menggunakan bahan baku
sejenis, atau melakukan proses pengerjaannya sama. Dengan demikian yang
dimaksud dengan Sentra IKM adalah kawasan tempat sekelompok perusahaan
IKM yang menghasilkan produk sejenis, menggunakan bahan baku sejenis, atau
melakukan proses pengerjaannya sama.
Dalam rangka peningkatan daya saing dan daya tarik investasi yakni
terciptanya iklim usaha yang kondusif, efisiensi, kepastian hukum, dan pemberian
fasilitas serta kemudahan lain dalam melakukan kegiatan usaha industri, antara
lain tersedianya prasarana industri yang memadai berupa Kawasan Industri yang
dikelola oleh Pengertian kawasan industri yaitu perusahaan yang mengusahakan
pengembangan dan pengelolaan kawasan Industri.63
Berdasarkan PP No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4987), tujuan penyediaan kawasan industri untuk: (a)
mengendalikan pemanfaatan ruang; (b) meningkatkan upaya pembangunan
industri yang berwawasan lingkungan; (c) meningkatkan daya saing industri; (d)
meningkatkan daya saing investasi; (e) memberikan kepastian lokasi dalam
perencanaan dan pembangunan infrastruktur, yang terkoordinasi antar sektor
terkait.
63 Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 47
Menurut Pasal 7 PP No. 24 Tahun 2009 bahwa perusahaan industri yang
akan menjalankan industri wajib berlokasi di Kawasan Industri, kecualikan bagi:
(a) perusahaan industri menggunakan bahan baku dan/atau proses produksinya
memerlukan lokasi khusus; (b) industri mikro, kecil, dan menengah; (c)
perusahaan industri yang akan menjalankan industri dan berlokasi di daerah
kabupaten/kota yang belum memiliki kawasan industri atau yang telah memiliki
kawasan industri namun seluruh kaveling industri dalam kawasan industrinya
telah habis.
Kewajiban Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyediakan kawasan industri
dan sentra industri kecil dan menengah sesuai dengan kondisi wilayah Provinsi
DKI Jakarta sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UU No. 3 Tahun 2014,
memperhatikan sekurang-kurangnya rencana tata ruang wilayah (RTRW)
sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2012 tentang RTRW
2030 serta Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2014 tentang RDTR dan Peraturan
Zonasi. Kawasan industri yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tersebut,
sebagai berikut:
1. Kota Administrasi Jakarta Utara
Rencana pengembangan kawasan industri di Kota Administrasi Jakarta Utara
dengan ketentuan: (a) pembatasan kegiatan industri di kawasan yang sudah
ada di Penjaringan, Kelapa Gading, dan Cilincing; (b) pengembangan industri
selektif di Marunda dan Cilincing. Pemanfaatan ruang kawasan industri
dilaksanakan berdasarkan arahan sebagai berikut: (a) penataan industri kecil
termasuk penyediaan pengelolaan limbah di Cilincing dan Kali Baru; (b)
peningkatan teknologi guna mengurangi polusi pada kegiatan industri
menengah dan besar di Ancol Barat, Marunda, dan Cilincing.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 48
2. Kota Administrasi Jakarta Barat
Rencana pengembangan kawasan industri di Kota Administrasi Jakarta Barat
dilaksanakan berdasarkan arahan sebagai berikut: (a) pembangunan kawasan
industri di Cengkareng, Kalideres dan sepanjang koridor Sungai Mookervart;
(b) pengembangan industri selektif dan ramah lingkungan di Cengkareng dan
Kalideres; (c) pengembangan kawasan industri di Kapuk dan Kalideres untuk
menampung kegiatan industri yang berkembang; (d) pengembangan pusat
Pengembangan Industri Kecil dan Menengah di Semanan secara terbatas.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 49
3. Kota Administrasi Jakarta Selatan
Rencana pengembangan kawasan industri di Kota Administrasi Jakarta
Selatan dilaksanakan pada kawasan industri di sebelah selatan jalan lingkar
luar (outer ring road) dengan pembatasan pengembangan industri baru,
peningkatan daya resap air, dan mengembangkan pengelolaan limbah agar
tidak mencemari sungai/kali/waduk/situ.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 50
4. Kota Administrasi Jakarta Timur
Rencana pengembangan kawasan industri di Kota Administrasi Jakarta Timur
dilaksanakan berdasarkan arahan sebagai berikut: (a) pengembangan industri
besar di Kawasan Industri Pulo Gadung, Kecamatan Cakung, Kecamatan
Ciracas dan Kecamatan Pasar Rebo; (b) pengembangan industri berteknologi
tinggi yang tidak menggangu lingkungan dengan bangunan bertingkat tinggi di
Kawasan Industri Pulo Gadung; (c) pengembangan kegiatan industri kecil
yang tidak polutif terutama di Kelurahan Penggilingan dan Kramatjati; (d)
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 51
penataan kawasan industri sebagai kawasan industri selektif di Kawasan
Industri Pulo Gadung, Kecamatan Cakung, Kecamatan Ciracas, dan
Kecamatan Pasar Rebo; (e) penataan industri berlokasi dekat permukiman
dengan penyediaan fasilitas pengolahan limbah terpadu di Kelurahan
Penggilingan, Pondok Bambu, Duren Sawit, dan Kelurahan Kramatjati.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 52
Berdasarkan kebijakan tata ruang dalam penetapan lahan kawasan industri
sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2012 dan Peraturan
Daerah No. 1 Tahun 2014, memberikan makna perusahaan kawasan industri
berbentuk badan hukum (Badan usaha milik negara atau badan usaha milik
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 53
daerah, Koperasi, atau Badan usaha swasta),64 dapat melakukan usaha
penyediaan kawasan industri sesuai persyaratan yang ditetapkan dalam PP No.
24 Tahun 2009, antara lain harus mendapatkan izin Usaha Kawasan Industri.
Untuk mendapatkan Izin Usaha Kawasan Industri tersebut, Perusahaan
Kawasan Industri wajib memperoleh Persetujuan Prinsip sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Perusahaan yang telah memperoleh
Persetujuan Prinsip dalam batas waktu 2 (dua) tahun wajib melaksanakan: (a)
penyediaan/penguasaan tanah; (b) penyusunan rencana tapak tanah; (c)
pematangan tanah; (d) penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan
mendapatkan pengesahan; (e) perencanaan dan pembangunan prasarana dan
sarana penunjang termasuk pemasangan instalasi/peralatan yang diperlukan; (f)
penyusunan Tata Tertib Kawasan Industri; (g) pemasaran kaveling industri; (h)
penyediaan, pengoperasian, dan/atau pemeliharaan pelayanan jasa bagi
Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri. Dalam batas waktu untuk
mempersiapkan pembangunan Kawasan Industri hanya dapat diperpanjang
untuk satu kali dengan batas waktu paling lama 2 (dua) tahun.
Perusahaan kawasan industri yang telah memperoleh Persetujuan Prinsip
wajib memperoleh Izin Lokasi Kawasan Industri dengan mengajukan permohonan
kepada Gubernur. Pemberian Izin Lokasi Kawasan Industri kepada Perusahaan
Kawasan Industri dilakukan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
DKI Jakarta, saat ini RTRW 2030 sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah
Nomor 1 Tahun 2012.
Perusahaan Kawasan Industri wajib memiliki tata tertib kawasan industri
sebagaimana diatur dalam Pasal 21 PP No. 24 Tahun 2009. Tata Tertib Kawasan
Industri dimaksud paling sedikit memuat informasi mengenai:
(a) hak dan kewajiban masing-masing pihak; (b) ketentuan yang berkaitan pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup sesuai hasil studi Analisis Dampak Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan;
(c) ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait; (d) ketentuan lain yang ditetapkan oleh pengelola Kawasan Industri.
64 Pasal 15 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 54
Selain itu, perusahaan kawasan industri wajib memfasilitasi perizinan dan
hubungan industrial bagi perusahaan industri yang berada di kawasan industri
dan wajib memenuhi pedoman teknis kawasan industri sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 35/V-IND/PER/3/2010 tentang Pedoman
Teknis Kawasan Industri.
Kawasan industri berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup
sehingga kewajiban Perusahaan Kawasan Industri melakukan upaya pencegahan
pencemaran air sesuai baku mutu air limbah sesuai ketentuan yang ditetapkan
dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2010 tentang Baku
Mutu Air Limbah Bagi Kawasan Industri. Yang dimaksud baku mutu air limbah
adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan/atau jumlah unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang
atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha dan/atau kegiatan. Menurut
Permen Lingkungan Hidup tersebut, bahwa setiap kawasan industri yang telah
mempunyai IPAL terpusat wajib menaati baku mutu air limbah ditetapkan
berdasarkan kadar dan kuantitas air limbah Maksimum. Sedangkan kawasan
industri belum mempunyai IPAL terpusat, berlaku baku mutu air limbah bagi jenis
usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan peraturan menteri yang mengatur
mengenai baku mutu air limbah.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas bahwa setiap kawasan industri wajib
memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah Terpusat (IPAL) terpusat, yaitu instalasi
yang digunakan untuk mengolah air limbah yang berasal dari seluruh industri dan
aktivitas pendukungnya yang ada dalam kawasan industri. Atas dasar itu,
Penanggung jawab kawasan industri memiliki kewajiban sebagai berikut:
(a) menaati baku mutu air limbah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
(b) melakukan pengelolaan air limbah sehingga mutu air limbah yang dibuang ke sumber air tidak melampaui baku mutu air limbah yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
(c) menggunakan saluran pembuangan air limbah yang kedap air sehingga tidak terjadi perembesan air limbah ke lingkungan;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 55
(d) tidak melakukan pengenceran air limbah, termasuk mencampur buangan air bekas pendingin ke dalam aliran buangan air limbah yang berasal dari IPAL terpusat;
(e) memisahkan saluran buangan air limbah dengan saluran limpasan air hujan;
(f) menetapkan titik penaatan untuk pengambilan contoh uji; (g) memasang alat ukur debit atau laju alir air limbah dan melakukan
pencatatan debit harian air limbah tersebut; (h) melakukan pemantauan harian kadar parameter baku mutu air
limbah, untuk parameter pH dan COD; (i) memeriksakan kadar parameter baku mutu air limbah secara
berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan ke laboratorium yang telah terakreditasi dan teregistrasi di Kementerian Lingkungan Hidup;
(j) menyampaikan laporan debit harian air limbah, pemantauan harian kadar parameter air limbah, dan hasil analisa laboratorium terhadap baku mutu air limbah secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan kepada Gubernur dengan tembusan Meteri Lingkungan Hidup dan Badan Lingkungan Hidup Daerah sesuai dengan peraturan perundangan-undangan;
(k) melaporkan kepada Gubernur dengan tembusan Menteri Lingkungan Hidup mengenai terjadinya keadaan darurat dan/atau kejadian tidak normal yang mengakibatkan baku mutu air limbah dilampaui serta upaya penanggulangannya paling lama 2 x 24 jam.
Tabel-4.3
Baku Mutu Air Limbah Kawasan Industri
No. Parameter Satuan Kadar Max 1. pH - 6-9 2. TSS mg/L 150 3. BOD mg/L 50 4. COD mg/L 100 5. Sulfida mg/L 1 6. Amonia (NH3-N) mg/L 20 7. Fenol mg/L 1 8. Minyak dan Lemak mg/L 15 9. MBAS mg/L 10
10. Kadmium mg/L 0,1 11. Krom Heksavalen (Cr6+) mg/L 0,5 12. Krom total (Cr) mg/L 1 13. Tembaga (Cu) mg/L 2 14. Timbal (Pb) mg/L 1
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 56
No. Parameter Satuan Kadar Max 15. Nikel (Ni) mg/L 0,5 16. Seng (Zn) mg/L 10 17. Kuantitas Air Limbah
Maksimum 0,8 L perdetik per Ha Lahan
Kawasan Terpakai Sumber : Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2010
Perusahaan industri yang berada di dalam Kawasan industri wajib memiliki
Upaya Pengelolaan Lingkungan, dan Upaya Pemantauan Lingkungan. Bagi
perusahaan industri di dalam kawasan industri yang mengelola atau
memanfaatkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) wajib menyusun
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan mendapat pengesahan. Perusahaan
industri di dalam Kawasan Industri dikecualikan dari perizinan yang menyangkut
Gangguan, Lokasi, dan pengesahan rencana tapak tanah. Kewajiban Perusahaan
Industri di kawasan Industri sebagai berikut: (a) memenuhi semua ketentuan
perizinan dan tata tertib kawasan industri; (b) memelihara daya dukung
lingkungan di sekitar kawasan termasuk tidak melakukan pengambilan air tanah;
(c) melakukan pembangunan pabrik dalam batas waktu paling lama 4 (empat)
tahun sejak pembelian lahan; (d) mengembalikan kaveling Industri kepada
Perusahaan Kawasan Industri apabila dalam batas waktu yang ditentukan sudah
berakhir bagi tidak melakukan pembangunan pabrik. tata cara pengembalian
kaveling industri diatur lebih lanjut dalam tata tertib kawasan industri masing-
masing kawasan industri.
Penyediaan kawasan industri dan sentra IKM dapat dilakukan Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta melalui kerjasama dengan pihak swasta sesuai ketentuan
yang ditetapkan PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja
Sama Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 112,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4761). Menurut PP
tersebut, yang dimaksud kerjasama daerah adalah kesepakatan antara gubernur
dengan gubernur atau gubernur dengan bupati/walikota atau antara bupati/
walikota dengan bupati/walikota lain, dan/atau gubernur, bupati/walikota dengan
pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban.
Pelaksanaan kerjasama berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No.
22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerjasama Daerah.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 57
Bentuk kerjasama yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta dengan swasta (badan hukum) dalam penyediaan kawasan industri dan
sentra IKM berdasarkan peraturan perundang-undangan, sebagai berikut:
1. Kerja sama Pemanfaatan (KSP)
Kerjasama pemanfaatan (KSP) berupa pendayagunaan barang milik daerah
oleh “pihak lain” dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan
penerimaan daerah dan sumber pembiayaan lain.65 Beberapa ahli kontrak
bahwa KSP disebut kerjasama operasi, yaitu perikatan antara pemerintah
daerah dengan pihak ketiga dengan ketentuan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta menyediakan barang milik daerah (misalnya lahan) dan pihak ketiga
menamankan modal yang dimilikinya dalam salah satu usaha, selanjutnya
kedua belah pihak secara bersama-sama atau bergantian mengelola
manajemen dan proses operasionalnya, keuntungan dibagi sesuai dengan
besarnya sharing masing-masing.66
Barang milik daerah yang dapat dikerjasamakan menurut Pasal 25 PP No. 6
Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, berupa tanah
dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada
Gubernur dan dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat
persetujuan Gubernur, dan/atau sebagian tanah dan/atau bangunan yang
masih digunakan oleh pengguna barang, atau kerjasama pemanfaatan atas
barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan dan dilaksanakan oleh
pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang (Sekretaris
Daerah).
65 Pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah,
dan Pasal 1 angka 21 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.
66 Sri Gambir Melati Hatta, Klausul-Klausul Dalam Perjanjian Kerjasama – MOU Pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta: Telahaan dari Segi Hukum. Makalah Dalam Bimbingan Teknis Perjanjian Kerjasama / MOU yang diselenggarakan oleh Biro Hukum Setda Provinsi DKI Jakarta, di Hotel Nikko, tanggal 26 s/d 29 November 2007.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 58
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas kerjasama pemanfaatan barang milik
daerah berupa tanah dan/atau bangunan dapat dilakukan dengan ketentuan,
(a) tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh Pengguna Barang
(Kepala SKPD) kepada Pengelola Barang (Sekretaris Daerah). Kerja sama
tersebut dapat dilaksanakan Pengelola Barang (Sekretaris Daerah); (b) tanah
dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh Pengguna Barang (Kepala
SKPD) kepada Gubernur dan dilaksanakan oleh Pengelola Barang (Sekretaris
Daerah) setelah mendapat persetujuan dari Gubernur; (c) tanah dan/atau
bangunan yang masih digunakan Pengguna Barang (Kepala SKPD); (d) selain
tanah dan/atau bangunan, kerjasama dapat dilaksanakan oleh Pengguna
Barang (Kepala SKPD) setelah mendapat persetujuan Pengelola Barang
(Sekretaris Daerah).
Meskipun Sekretaris Daerah diberi wewenang untuk melaksanakan kerjasama
pemanfaatan/penggunaan barang milik daerah (tanah dan/atau bangunan),
namun tanggung jawab tetap berada pada Gubernur. Oleh sebab itu, setiap
pelaksanaan kerjasama penggunaan barang milik daerah dengan pihak lain
(swasta) harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Gubernur sesuai
persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 PP No. 6 Tahun 2006,
meliputi :
a) tidak tersedianya atau tidak cukup tersedianya dana dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi biaya
operasional/pemeliharaan/perbaikan yang diperlukan terhadap barang milik
daerah dimaksud;
b) mitra kerjasama pemanfaatan ditetapkan melalui tender dengan
mengikutsertakan sekurang-kurangnya 5 (lima) peserta/peminat. Apabila
setelah 2 kali berturut-turut diumumkan peminatnya kurang dari 5 (lima)
dapat dilakukan proses pemilihan langsung atau penunjukan langsung
melalui negosiasi baik teknis maupun harga, kecuali untuk barang milik
daerah yang bersifat khusus dapat dilakukan penunjukan langsung seperti
penggunaan tanah dan/atau bangunan antara lain pengelolaan limbah atau
sampah;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 59
c) mitra kerjasama pemanfaatan harus membayar kontribusi tetap ke
rekening kas umum daerah setiap tahun selama jangka waktu
pengoperasian yang ditetapkan dan pembagian keuntungan hasil
kerjasama pemanfaatan.67
Penetapan besar kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil kerjasama
ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan Tim Penilai yang
dibentuk dengan Keputusan Gubernur, dengan memperhatikan ketentuan
sebagai berikut: (a) nilai tanah dan/atau bangunan sebagai objek kerjasama
ditetapkan sesuai nilai jual objek pajak (NJOP) dan/atau harga pasaran umum.
Apabila dalam satu lokasi terdapat nilai NJOP dan/atau pasaran umum yang
berbeda dilakukan penjumlahan dan dibagi sesuai jumlah yang ada; (b)
kegiatan kerjasama pemanfaatan untuk kepentingan umum dan/atau kegiatan
perdagangan; (c) besaran investasi dari mitra kerja; (d) penyerapan tenaga
kerja dan peningkatan PAD. 68
Jangka waktu kerjasama pemanfaatan barang milik daerah paling lama 30
(tiga puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang
sesuai Pasal 26 huruf g PP No. 6 Tahun 2006 dan Pasal 38 ayat (5)
Permendagri No. 17 Tahun 2007.69 Setelah berakhirnya jangka waktu kerja
sama pemanfaatan menurut Pasal 39 Permendagri No. 17 Tahun 2007,
Gubernur menetapkan status penggunaan atas tanah dan/atau bangunan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Surat perjanjian kerjasama pemanfatan barang milik daerah menurut
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 17 Tahun 2007, sekurang-kurangnya
memuat hal-hal sebagai berikut: (a) pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian;
67 Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik
Daerah. 68 Ibid 69 Menurut Pasal 26 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah, jangka waktu kerjasama pemanfaatan infrastruktur paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani. Infrastruktur dimaksud meliputi: (a) infrastruktur transportasi meliputi pelabuhan laut, sungai atau danau, bandar udara, jaringan rel dan stasiun kereta api; (b) infrastruktur jalan meliputi jalan tol dan jembatan; (c) infrastruktur sumber daya air meliputi saluran pembawa air baku dan waduk/bendungan; (d) infrastruktur air minum meliputi bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi, dan instalasi pengolahan air minum; (e) infrastruktur air limbah meliputi instalasi pengolahan air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkutan dan tempat pembuangan; (f) infrastruktur telekomunikasi meliputi jaringan telekomunikasi; (g) infrastruktur ketenagalistrikan meliputi pembangkit, transmisi, atau distribusi tenaga listrik; (h) infrastruktur minyak dan gas bumi meliputi pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, transmisi, dan distribusi minyak dan gas bumi.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 60
(b) objek kerjasama pemanfaatan; (c) jangka waktu kerjasama pemanfaatan;
(d) pokok-pokok mengenai kerjasama pemanfaatan; (e) data barang milik
daerah menjadi objek kerjasama pemanfaatan; (f) hak dan kewajiban para
pihak yang terikat dalam perjanjian; (g) besarnya kontribusi tetap dan
pembagian hasil keuntungan ditetapkan dengan Keputusan Gubernur dan
dicantumkan dalam surat perjanjian kerjasama pemanfaatan; (h) sanksi; dan
(i) persyaratan lain yang dianggap perlu. 70
2. Bangun Guna Serah (BGS) dan Bangun Serah Guna (BSG)
BGS adalah pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah oleh pihak lain
dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, yang
kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu
yang telah disepakati untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta
bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka
waktu.71 Berdasarkan pengertian tersebut, Pemerintah Daerah memiliki tanah
dan/atau bangunan siap pakai dan/atau menyediakan, menambah sarana lain
berikut fasilitas di atas tanah dan/atau bangunan dan mendayagunakan
selama kurun waktu tertentu untuk kemudian setelah jangka waktu berakhir
menyerahkan kembali tanah dan/atau bangunan dan/atau sarana lain berikut
fasilitasnya kepada Pemerintah Daerah.
Pengertian BSG adalah pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah oleh
pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitas-
nya dan setelah selesai pembangunan diserahkan untuk didayagunakan pihak
lain dalam jangka waktu tertentu.72 Berdasarkan pengertian tersebut, BSG
salah satu bentuk pemanfaatan tanah dan/atau bangunan milik Pemerintah
Daerah oleh Pihak Ketiga. Pihak Ketiga membangun bangunan siap pakai
dan/atau menyediakan/menambah sarana lain berikut fasilitas di atas tanah
dan/atau bangunan tersebut dan setelah selesai pembangunannya diserahkan
70 Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik
Daerah. 71 Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, dan
Pasal 1 angka 22 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.
72 Pasal 1 angka 13 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah, dan Pasal 1 angka 24 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 61
kepada Pemerintah Daerah untuk kemudian oleh Pemerintah Daerah tanah
dan/atau bangunan siap pakai dan/atau sarana lain berikut fasilitasnya
diserahkan kembali kepada pihak lain untuk didayagunakan selama kurun
waktu tertentu.
Wewenang pelaksanaan BGS dan BSG menurut Pasal 27 ayat (3) PP No. 6
Tahun 2006, dilaksanakan Pengelola Barang (Sekretaris Daerah) setelah
mendapat persetujuan dari Gubernur. Persyaratan pelaksanaan BGS
sebagaimana termuat dalam lampiran Permendagri No. 17 Tahun 2007,
sebagai berikut: (a) gedung yang dibangun berikut fasilitas harus sesuai
kebutuhan Pemerintah Daerah dan sesuai dengan tugas dan fungsi; (b)
Pemerintah Daerah memiliki tanah yang belum dimanfaatkan; (c) dana untuk
pembangunan berikut penyelesaian fasilitasnya tidak membebani APBD; (d)
bangunan hasil guna serah harus dapat dimanfaatkan secara langsung oleh
Pihak Ketiga; (e) mitra BGS harus mempunyai kemampuan dan keahlian; (f)
objek BGS berupa sertfikat tanah hak pengelolaan milik Pemerintah Daerah
tidak boleh dijaminkan, digadaikan dan dipindah tangankan; (g) pihak ketiga
akan memperoleh hak guna bangunan (HGB) di atas HPL milik Pemerintah
Daerah; (h) HGB di atas HPL milik Pemerintah Daerah dapat dijadikan
jaminan, diagunkan dengan dibebani hak tanggungan dan hak tanggungunan
dimaksud akan hapus dengan habisnya HGB; (i) izin mendirikan bangunan
(IMB) atas nama Pemerintah Daerah; (j) objek pemeliharaan meliputi tanah
beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya; (k) mitra kerja BGS
membayar kontribusi ke kas daerah setiap tahun selama jangka waktu
pengoperasian.
Sedangkan persyaran pelaksanaan BSG sebagaimana diatur dalam Pasal 44
Permendagri No. 17 Tahun 2007, sebagai berikut: (a) mitra BSG harus
menyerahkan hasil BSG kepada Gubernur setelah selesai pembangunan; (b)
mitra BSG dapat mendayagunakan barang milik daerah tersebut sesuai
jangka waktu yang ditetapkan dalam surat perjanjian; (c) setelah jangka waktu
pendayagunaan berakhir, objek BSG terlebih dahulu diaudit oleh aparat
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 62
pengawasan fungsional pemerintah daerah sebelum penggunaannya
ditetapkan oleh Gubernur.
Besaran kontribusi ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan oleh Tim yang
dibentuk dengan Keputusan Gubernur. Kewajiban lain yang menjadi beban
Pemerintah Daerah adalah biaya penelitian, pengkajian, penaksiran, dan
pengumuman lelang, sedangkan kewajiban lain yang menjadi beban pihak
ketiga adalah biaya persiapan dan pelaksanaan penyusunan surat perjanjian,
konsultan pelaksanaan/pengawas.
Prosedur pelaksanaan BSG, permohonan pengguna pusahaan ditujukan
kepada Panitia tender/lelang yang dilengkapi dengan data perusahaan dan
data teknis sebagai berikut: (a) akta pendirian; (b) memiliki SIUP sesuai
bidangnya; (c) telah melakukan kegiatan usaha sesuai bidangnya; (d)
mengajukan proposal; (e) memiliki keahlian di bidangnya; (f) memiliki modal
kerja yang cukup. Data teknis yang diperlukan, meliputi : (a) tanah
lokasi/alamat, luas, status, penggunaan saat ini; (b) bangunan : lokasi/alamat,
luas, status kepemilikan; (c) rencana pembangunan gedung dengan mem-
perhatikan KDB (koefisien dasar bangunan), KLB (koefisien luas bangunan),
dan rencna pembangunan, dan sebagainya.73
Surat Perjanjian pelaksanaan BGS dan BGS atas barang milik daerah
menurut Pasal 41 ayat (7) dan Pasal 43 ayat (7) Permendagri No. 17 Tahun
2007, bahwa surat perjanjian BGS sekurang-kurang-nya memuat: (a) pihak-
pihak terikat dalam perjanjian; (b) objek BGS; (c) jangka waktu BGS; (d)
pokok-pokok mengenai BGS; (d) data barang milik daerah yang menjadi objek
BGS; (e) hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian; (f)
jumlah / besarannya kontribusi yang harus dibayar oleh Pihak Ketiga; (h)
sanksi; (i) persyaratan lain yang dianggap perlu.
Sedangkan surat perjanjian BSG sekurang-kurangnya memuat: pihak-pihak
yang terikat dalam perjanjian; objek bangun serah guna; jangka waktu bangun
serah guna; hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian; dan
persyaratan lain yang dianggap perlu. Surat perjanjian tersebut ditandatangani 73 Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik
Daerah.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 63
oleh Pengelola Barang (Sekretaris Daerah) atas nama Gubernur dan mitra
kerjasama.
Kerjasama dapat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam
penyediaan infrastruktur industri di luar kawasan peruntukan industri sebagai-
mana ditetapkan dalam Pasal 62 UU No. 3 Tahun 2014 berikut ini: (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin tersedianya infrastruktur
Industri.
(2) Penyediaan infrastruktur Industri dilakukan di dalam dan/atau di luar kawasan peruntukan Industri.
(3) Infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit
meliputi: a. lahan Industri berupa Kawasan Industri dan/atau kawasan peruntukan
Industri; b. fasilitas jaringan energi dan kelistrikan; c. fasilitas jaringan telekomunikasi; d. fasilitas jaringan sumber daya air; e. fasilitas sanitasi; dan f. fasilitas jaringan transportasi.
(4) Penyediaan infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan melalui: a. pengadaan oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah yang pembiayaan-
nya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah;
b. pola kerja sama antara Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan swasta, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dan swasta; atau
c. pengadaan yang dibiayai sepenuhnya oleh swasta.
Demikian halnya dalam penyediaan infrastruktur industri, Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta dalam bekerjasama dengan badan usaha sebagaimana
diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 64
4.6. Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri
Sumber Daya Manusia (SDM) faktor penting untuk pendorong pertumbuhan
ekonomi termasuk bidang industri. Oleh sebab itu, ketersediaan SDM yang
bermutu merupakan salah satu syarat bagi peningkatan dan keberlanjutan
pertumbuhan industri baik di daerah Provinsi DKI Jakarta maupun nasional di
masa datang. Menurut hasil kajian yang dilakukan Kementerian Perindustrian,
ada 4 (empat) permasalahan dihadapi pelaku usaha di bidang industri dalam
pemenuhan kebutuhan SDM, yaitu: (1) persoalan hukum atau peraturan
perundang-perundangan terutama berkaitan dengan upah minimum dan
kewajiban pembayaran pesangon yang tidak sesuai dengan kemampuan
perusahaan; (2) kualitas SDM lulusan sekolah menengah (umum maupun
kejuruan) secara umum masih belum memenuhi atau tidak sesuai kebutuhan
industri, terutama untuk mengisi posisi pekerja tingkat menengah; (3) kelangkaan
pasokan SDM ahli (profesional di bidang manufacturing dan pendukung kegiatan
industri lainnya); (4) tidak ada insentif bagi pelaku industri untuk melatih pekerja.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi peningkatan kualitas SDM
di bidang industri melalui pendidikan formal diatur dalam peraturan perundang-
perundangan yang ada saat ini, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2006 tentang
Sistem Pelatihan Kerja Nasional sebagai aturan pelaksanaan UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada lingkup daerah Provinsi DKI Jakarta diatur 2
(dua) produk hukum daerah, yaitu Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004
tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Tahun 2004 Nomor 60) dan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2006
tentang Sistem Pendidikan (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Tahun 2006 Nomor 8). Pasokan SDM industri sebagian besar berasal dari
lembaga pendidikan dan/atau pelatihan yang dikelola pemerintah (Pemerintah
Pusat dan/atau Pemerintah Daerah) dan swasta yang pembinaan dan
pengawasan pada lingkup daerah berada pada Dinas Pendidikan serta Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk pelatihan kerja yang secara operasional
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 65
dilakukan oleh Pusat Pelatihan Kerja Daerah yang dulu disebut dengan Balai
Latihan Kerja Daerah.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan, secara
umum pendidikan dibagi ke dalam tujuh jenis, yaitu pendidikan umum, kejuruan,
akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Ketujuh jenis pendidikan
tersebut memiliki peran masing-masing dalam membangun mutu SDM, termasuk
SDM yang diperlukan oleh dunia industri. Dari ketujuh jenis tersebut, dua jenis
diantaranya berkaitan erat dengan SDM industri, yaitu jenis pendidikan kejuruan
dan vokasi. Pada dua jenis pendidikan tersebut terdapat jurusan yang terkait
dengan industri atau yang biasa disebut dengan technical vocational education
(TVE).
Berkaitan peran lembaga pendidikan dalam memasok SDM berkualitas
dalam jumlah yang cukup bagi kebutuhan sektor industri, pendidikan kejuruan
dan vokasi menghadapi berbagai persoalan antara lain: (1) program pendidikan
kejuruan dan vokasi dirasakan bersifat kaku dan tidak lentur terhadap perubahan
kebutuhan lapangan kerja. Jenis program studi, materi pendidikan, cara
mengajar, media belajar, evaluasi dan sertifikasi lebih banyak ditentukan oleh
Pemerintah; (b) jumlah dan kapasitas pendidikan kejuruan dan vokasi bidang
industri relatif kecil dibandingkan jumlah kapasitas total jenis pendidikan tersebut;
(c) kualitas pendidikan kejuruan dan vokasi bidang industri masih perlu
ditingkatkan terutama berkaitan dengan kualitas, kuantitas peralatan praktek, guru
dan infrastruktur pendukung lainnya; (d) pendidikan kejuruan dan vokasi bidang
industri perlu lebih disesuaikan dengan kebutuhan nyata dunia industri dan
berorientasi kepada kebutuhan pasar kerja yang berubah (demand driven).
Berdasarkan Sistem Pelatihan Kerja Nasional Pelatihan kerja sebagaimana
diatur dalam PP No. 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional
(SISLATKERNAS) bahwa pelatihan kerja harus berorientasi pada kebutuhan,
berbasis pada kompetensi, merupakan tanggung jawab bersama dunia usaha,
pemerintah dan masyarakat, dan bagian dari pengembangan profesionalisme
sepanjang hayat.74 SISLATKERNAS mengatur berbagai hal mengenai pelatihan,
74 Lihat Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 66
diantaranya tentang standardisasi kegiatan pelatihan, kualifikasi pelatihan,
akreditasi lembaga pelatihan, dan sertifikasi bagi peserta yang berhasil.
SISLATKERNAS juga memungkinkan penyelenggaraan pelatihan dengan sistem
magang.
Berkaitan standardisasi penyelenggaraan pelatihan kerja, SISLATKERNAS
mengamanatkan disusunnya standar kompetensi masing-masing bidang keahlian
kerja. Program pelatihan dan materi uji kompetensi mengacu kepada Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Adapun standar tersebut memiliki
syarat berikut: (1) disusun berdasarkan kebutuhan lapangan usaha sekurang-
kurangnya memuat kompetensi teknis pengetahuan dan sikap kerja; (2)
dikelompokkan berdasarkan jenjang kualifikasi dengan mengacu pada KKNI
dan/atau jenjang jabatan; (3) pengelompokkan berdasarkan jenjang kualifikasi
dilakukan berdasarkan tingkat kesulitan pelaksanaan pekerjaan sifat pekerjaan
dan tanggung jawab pekerjaan; (4) rancangan dibakukan melalui forum konvensi
antar asosiasi profesi pakar dan praktisi untuk sektor sub sektor dan bidang
tertentu dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Peran Pusat Pelatihan Kerja Daerah atau Balai Latihan Kerja (BLK) yang
dikelola Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DKI Jakarta, menjadi
ujung tombak pembangunan mutu SDM industri melalui jalur pelatihan. Akan
tetapi Pusat Pelatihan Kerja Daerah yang ada di lima 5 (lima) wilayah Kota tidak
memadai baik kualitas maupun kuantitasnya. Untuk meningkatkan kapasitas
Pusat Pelatihan Kerja Daerah sesuai kebutuhan pelaku industri membutuhkan
biaya besar terutama bagi penyediaan sarana kegiatan praktikum. Sementara
peran masyarakat dalam penyelenggaraan pelatihan kerja rendah dalam
penyelenggaraan pelatihan di bidang industri. Pelatihan kerja dapat dilaksanakan di tempat pelatihan atau di tempat kerja.
Pelatihan di tempat kerja berbentuk pemagangan (apprenticeship). Pelatihan
dengan sistem magang diatur cukup rinci dalam UU No. 3 Tahun 2013 tentang
Ketenagakerjaan.75 Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau
75 Pengertian pemagangan menurut UU No. 3 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, sebagai sistem pelatihan kerja
yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 67
perusahaan lain, di dalam maupun di luar wilayah Indonesia selama jangka waktu
6 sampai 9 bulan.76 Peserta pemagangan minimal berusia 15 tahun, dilaksanakan
berdasarkan perjanjian antara peserta magang dengan perusahaan pemerintah.
Agar menjadi pelaksana program magang, perusahaan atau pusat pelatihan kerja
harus terdaftar. Sesungguhnya magang memiliki beberapa keuntungan, namun
sering menimbulkan kekhawatiran bahwa program tersebut disalahgunakan untuk
mendapatkan tenaga kerja murah.
Pembangunan SDM industri melalui jalur pelatihan menghadapi kendala dan
persoalan diantaranya jumlah dan kapasitas lembaga pelatihan bidang industri
relatif sedikit. Hal ini disebabkan karena keterbatasan anggaran pemerintahan
rendahnya peran swasta dalam penyelenggaraan lembaga pelatihan di bidang
industri. Selain itu, penyelenggaraan lembaga pelatihan kerja bidang industri
memerlukan biaya besar sementara kemampuan pembiayaan pelatihan oleh
individu relatif terbatas. Penyelenggaraan program pelatihan kerja bidang industri
memerlukan subsidi lebih besar dibandingkan program pelatihan bidang lain.
Berkaitan dengan standardisasi dan sertifikasi kompetensi, masih menjadi
kendala antara lain penyusunan SKKNI terhambat karena tidak semua industri
memiliki asosiasi pengusaha dan tidak semua profesi memiliki wadah (asosiasi
profesi), sehingga sampai saat ini baru 16 bidang profesi yang memiliki Lembaga
Sertifikasi Profesi (LSP), dan keterbatasan fasilitas dimana tidak semua Pusat
Pelatihan Kerja Daerah memiliki fasilitas memadai sehingga dapat menjadi
Tempat Uji Kompetensi (TUK) kecuali Pusat Pelatihan Kerja Las.
Selain lembaga pendidikan dan pelatihan di atas sebelumnya, pembangunan
SDM industri juga dilakukan oleh Pusat Pelatihan Kerja Pengembangan Industri
sebagaimana diatur dengan Peraturan Gubernur No. 115 Tahun 2010 sebagai
Unit Kerja Perangkat Daerah (UKPD) Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi.
Pusat Pelatihan Kerja Pengembangan Industri tersebut menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan, antara lain: teknologi mekanik (konvensional), teknologi
mekanik (CNC), teknik pendingin (tata udara), teknik pendingin (lemari pendingin),
bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu
76 Dengan alasan tertentu jangka waktu pemagangan dapat diperpanjang menjadi selama setahun
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 68
las listrik, otomotif (mobil diesel), otomotif (mobil bensin), otomotif (sepeda motor),
gambar konstruksi (autocad), tata busana, administrasi kantor, dan sekretaris
kantor.
Pengembangan SDM di bidang industri tersebut di atas dalam rangka
melaksanakan kewajiban yang diberikan oleh negara kepada Pemerintah Daerah
sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU No. 3 Tahun 2014 berikut ini: Pasal 16 (2) Pembangunan sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku Industri, dan masyarakat.77
(3) Pembangunan sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memperhatikan penyebaran dan pemerataan ketersediaan sumber daya manusia Industri yang kompeten untuk setiap wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
(4) Sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi: a. wirausaha Industri; b. tenaga kerja Industri; c. pembina Industri; dan d. konsultan Industri. Dalam penjelasan: Yang dimaksud “wirausaha Industri” adalah pelaku usaha Industri. Yang dimaksud “tenaga kerja Industri” adalah tenaga kerja profesional di bidang Industri. Yang dimaksud “pembina Industri” adalah aparatur yang memiliki kompetensi di bidang Industri di pusat dan di daerah. Yang dimaksud “konsultan Industri” adalah orang atau perusahaan yang memberikan layanan konsultasi, advokasi, pemecahan masalah bagi Industri.
Peran Dinas Perindustrian dan Energi dalam pembangunan SDM di bidang
industri sesuai tugas dan fungsi yang diberikan Gubernur sebagai “pengguna”
atau “user”. Sebagai pembina di bidang industri, Dinas Perindustrian dan Energi
lebih banyak berkoordinasi dengan pelaku industri, termasuk mengenai persoalan
SDM. Meskipun wewenang dimiliki Dinas Perindustrian dan Energi terbatas,
77 Pasal 16 ayat (1) menyatakan Pembangunan sumber daya manusia Industri dilakukan untuk
menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten guna meningkatkan peran sumber daya manusia Indonesia di bidang Industri.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 69
Dinas Perindustrian dan Energi berupaya untuk memenuhi kebutuhan SDM di
bidang industri yang kebutuhannya belum terpenuhi oleh pihak lain. Oleh sebab
itu, Dinas Perindustrian dan Energi melaksanakan berbagai program pelatihan
untuk mengakomodasikan kebutuhan SDM industri yang ada di DKI Jakarta.
4.7. Pemberdayaan Industri Kecil, Menengah, dan Kreatif
Pemberdayaan industri kecil dan menengah tidak hanya menjadi kewajiban
Pemerintah Daerah melainkan juga Pemerintah Pusat sebagaimana diatur dalam
Pasal 72 UU No. 3 Tahun 2014, bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
melakukan pembangunan dan pemberdayaan industri kecil dan industri
menengah untuk mewujudkan industri kecil dan industri menengah yang berdaya
saing, berperan signifikan dalam penguatan struktur industri, berperan dalam
pengentasan kemiskinan melalui perluasan kesempatan kerja, dan menghasilkan
barang dan/atau jasa industri untuk diekspor, maka dilakukan perumusan
kebijakan, penguatan kapasitas kelembagaan, dan pemberian fasilitas.
Penguatan kapasitas kelembagaan pada industri kecil dan industri
menengah menurut Pasal 72 UU No. 3 Tahun 2014, dilakukan melalui: (a)
peningkatan kemampuan sentra, unit pelayanan teknis, tenaga penyuluh
lapangan, serta konsultan Industri kecil dan Industri menengah; (b) kerja sama
dengan lembaga pendidikan, lembaga penelitian dan pengembangan, serta
asosiasi Industri dan asosiasi profesi terkait.
Pemberian fasilitas kepada industri kecil dan menengah menurut Pasal 75
UU No. 3 Tahun 2014, dalam bentuk: (a) peningkatan kompetensi sumber daya
manusia dan sertifikasi kompetensi; (b) bantuan dan bimbingan teknis; (c)
bantuan Bahan Baku dan bahan penolong; (d) bantuan mesin atau peralatan; (e)
pengembangan produk; (f) bantuan pencegahan pencemaran lingkungan hidup
untuk mewujudkan industri hijau; (g) bantuan informasi pasar, promosi, dan
pemasaran; (h) akses pembiayaan, termasuk mengusahakan penyediaan modal
awal bagi wirausaha baru; (i) penyediaan kawasan industri untuk Industri kecil
dan Industri menengah yang berpotensi mencemari lingkungan; dan/atau (j)
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 70
pengembangan, penguatan keterkaitan, dan hubungan kemitraan antara Industri
kecil dengan Industri menengah, Industri kecil dengan Industri besar, dan Industri
menengah dengan Industri besar, serta Industri kecil dan Industri menengah
dengan sektor ekonomi lainnya dengan prinsip saling menguntungkan.
Dalam pengembangan industri kreatif menurut Pasal 43 UU No. 3 Tahun
2014, bahwa Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat sesuai kewenangannya
memfasilitasi pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi
masyarakat dalam pembangunan industri dilakukan dengan memberdayakan
budaya Industri dan/atau kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat. Sehubungan
itu, dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi
masyarakat tersebut, Pemerintah Daerah melakukan: (a) penyediaan ruang dan
wilayah bagi masyarakat dalam berkreativitas dan berinovasi; (b) pengembangan
sentra Industri kreatif; (c) pelatihan teknologi dan desain; (d) konsultasi,
bimbingan, advokasi, dan fasilitasi perlindungan Hak Kekayaan Intelektual
khususnya bagi Industri kecil; (e) fasilitasi promosi dan pemasaran produk Industri
kreatif di dalam dan luar negeri.
Pembiayaan pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi
masyarakat tersebut di atas, menurut Pasal 44 UU No. 3 Tahun 2014 dari
Pemerintah Daerah, badan usaha dan/atau masyarakat (orang perseorangan)78.
Pembiayaan yang berasal dari Pemerintah Daerah hanya dapat diberikan kepada
perusahaan industri yang berbentuk badan usaha milik negara dan badan usaha
milik daerah dalam bentuk pemberian pinjaman, hibah dan/atau penyertaan
modal.
Pemberdayaan IKM sesuai anjuran Pemerintah Pusat melalui Menteri
Perindustrian dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 142/M-IND/PER/10/2009 tentang
Pedoman Pengelolaan Unit Pelaksana Teknis Industri Kecil dan Menengah.
Pembentukan UPT IKM tersebut bertujuan sebagai berikut: (a) membangun,
mengerakkan dan mengembangkan kelompok usaha dan/atau perusahaan IKM
78 Pasal 44 ayat (1) Pemerintah memfasilitasi ketersediaan pembiayaan yang kompetitif untuk
pembangunan Industri.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 71
serta calon usaha baru; (b) mengembangkan kemampuan daya saing dan
produktivitas kelompok usaha dan/atau perusahaan IKM melalui layanan
keteknikan dan inovasi teknologi atau peralatan; (c) mengembangan sarana
produksi dalam rangka perkuatan usaha IKM.
Peran UPT IKM menurut Peraturan Menteri 142/M-IND/PER/10/2009
sebagai berikut: (a) sebagai agen pembangunan sarana pembinaan dan
pelatihan, pelayanan masyarakat IKM dalam mendukung produktivitas kerja IKM,
serta menggali sumber dana pembiayaan operasional; (b) sebagai fasilitator,
inovator, dinamisator, dan motivator pengembangan potensi produksi serta
pemecahan masalah kewirausahaan bagi kelompok usaha dan/atau perusahaan
IKM.
Jenis layanan yang diberikan oleh UPT IKM meliputi: (a) pengembangan
kopetensi sumber daya manusia, meliputi: pendidikan dan pelatihan industri dan
kewirausahaan baik secara klasikal, praktek, magang maupun workshop;
percontohan mesin/peralatan dan teknologi produksi; pengorganisasian, dan
pengembangan wawasan; (b) dukungan produksi, meliputi: bantuan dan layanan
produksi; jasa pemeliharaan dan reperasi kerusakan alat produksi; bimbingan
teknis bidang permesinan/alat produksi; bimbingan teknis bidang proses produksi;
(c) dukungan pemasaran dan layanan bisnis lainnya, berupa penyediaan show
room atau fasilitas pameran produk; penerbitan brosur, leaflet dan sejenisnya;
publikasi film dan media masa; fasilitasi temu bisnis; mediasi dengan sumber
daya produktif lainnya; (d) jasa konsultasi pengembangan usaha, berupa: jasa
pendampingan usaha atau manajemen; jasa konsultasi (diagnosa makro dan
mikro); jasa studi kelayakan untuk investasi; bimbingan teknis dan menajemen;
dan fasilitasi layanan hak kekayaan intelektual (HKI); (e) jasa penelitian dan
pengembangan, berupa penelitian dan pengembangan untuk inovasi teknologi
(produk, desain, dan teknis produksi); inkubator usaha untuk pengujian hasil
penelitian dan pengambangan skala UPT IKM; pemberian layanan pengujian atau
laboratorium uji sederhana bagi produk IKM.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 72
Kelembagaan UPT IKM minimal terdiri dari: (a) Kepala UPT dengan tugas
mengoordinasikan seluruh operasionalisasi atau kegiatan pelayanan; (b) Kepala
Bagian Tata Usaha, tugasnya melaksanakan urusan ketatausahaan guna
menunjang kelancaran kegiatan pelayanan UPT IKM; (c) Sub Bidang Konsultasi
dengan tugas memberikan layanan konsultasi, mediasi, atau fasilitasi yang
diperlukan IKM bindaan dalam mengatasi permasalahan usahanya; (d) operator
dengan tugas memberikan layanan teknis melalui pengoperasian mesin dan
peralatan.
Pembentukan UPT IKM sebagaimana dianjurkan Kementerian Perindustrian
tersebut di atas, diharapkan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh IKM
selama ini dapat diatasi, sehingga IKM memiliki berdaya saing, berperan
signifikan dalam pembangunan daerah dan pengentasan kemiskinan melalui
perluasan kesempatan kerja, serta mampu menghasilkan barang dan/atau jasa
industri untuk diekspor yang berkualitas. Demikian halnya dengan Industri Kreatif,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat membentuk UPT Industri Kreatif dalam
rangka memberikan pelayanan yang optimal dan pemberdayaan industri kreatif di
Provinsi DKI Jakarta.
4.8. Insentif dan Disinsentif
Pengertian insentif merujuk pada Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 64 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberian Insentif dan
Pemberian Kemudahan Penanaman Modal Di Daerah, adalah dukungan dari
Pemerintah Daerah kepada pelaku usaha dalam rangka mendorong peningkatan
industri di daerah (dalam hal ini Provinsi DKI Jakarta). Bentuk insentif yang
diberikan dapat berbentuk: (a) pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak
daerah; (b) pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi daerah; (c)
pemberian dana stimulan; dan/atau (c) pemberian bantuan modal; dan/atau (d)
pemberian kemudahan.
Pemberian insentif berupa pengurangan, keringanan, atau pembebasan
pajak daerah dan/atau pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 73
daerah disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Pemberian insentif
tersebut di Provinsi DKI Jakarta telah ditetapkan kebijakan Gubernur melalui
Peraturan Gubernur. Pemberian dana stimulan ditujukan kepada pelaku industri
kecil dan menengah untuk perkuatan modal dalam keberlangsungan dan
pengembangan industri tersebut. Sedangkan pemberian insentif dalam bentuk
pemberian bantuan modal dapat berupa penyertaan modal dan aset pada Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemberian insentif berupa pemberian kemudahan kepada pelaku usaha di
bidang industri sebagai berikut:
a. penyediaan data dan informasi peluang usaha
Pemberian kemudahan dalam bentuk penyediaan data dan informasi peluang
usaha, antara lain: (1) peta potensi ekonomi daerah; (2) rencana tata ruang
wilayah; (c) rencana strategis dan skala prioritas daerah. Dalam memberikan
kemudahan tersebut Pemerintah Daerah memberikan berbagai kemudahan
akses dalam memperoleh data dan informasi melalui prasarana dan sarana
yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sesuai kemampuan daerah.
b. penyediaan prasarana dan sarana
Pemberian kemudahan dalam bentuk penyediaan prasarana dan sarana,
antara lain: jaringan listrik, jalan, transportasi, jaringan telekomunikasi dan
jaringan air bersih.
c. penyediaan lahan atau lokasi
Pemberian kemudahan dalam bentuk penyediaan lahan atau lokasi diarahkan
kepada kawasan yang menjadi prioritas pengembangan ekonomi daerah dan
peeyediaan lahan atau lokasi industri sesuai peruntukannya. Pemberian
Kemudahan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
d. pemberian bantuan teknis
Pemberian kemudahan kepada industri kecil dan menengah dalam bentuk
penyediaan bantuan teknis antara lain dapat berupa bimbingan teknis,
pelatihan, tenaga ahli, kajian dan/atau studi kelayakan.
Pemberian insentif berupa kemudahan diberikan kepada pelaku usaha
industri yang memenuhi kriteria sekurang-kurangnya salah satu kriteria berikut ini:
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 74
a. memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan masyarakat bagi pelaku
usaha industri yang menimbulkan dampak pengganda.
b. menyerap banyak tenaga kerja lokal, dengan perbandingan antara jumlah
tenaga kerja lokal dengan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan.
c. menggunakan sebagian besar sumber daya lokal, dengan perbandingan
antara bahan baku lokal dan bahan baku yang diambil dari luar daerah yang
digunakan dalam kegiatan usaha.
d. memberikan kontribusi bagi peningkatan pelayanan publik sebagai bentuk
pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan dalam penyediaan pelayanan
publik.
e. memberikan kontribusi dalam peningkatan Produk Domestik Regional Bruto
kepada pelaku usaha yang kegiatan usahanya mengoptimalkan pemanfaatan
potensi sumber daya alam lokal.
f. berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, berlaku bagi pelaku usaha yang
memiliki dokumen analisis dampak lingkungan dan menerapkan prinsip-prinsip
keseimbangan dan keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam serta taat
pada rencana tata ruang wilayah.
g. termasuk skala prioritas tinggi, diberlakukan kepada pelaku usaha industri
yang usahanya berada dan/atau sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah,
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah; dan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh.
h. termasuk pembangunan infrastruktur bagi pelaku usaha industri yang kegiatan
usahanya mendukung Pemerintah Daerah dalam penyediaan infrastruktur
atau sarana dan prasarana yang dibutuhkan
i. melakukan alih teknologi kepada pelaku usaha industri yang kegiatan
usahanya memberikan kesempatan kepada Pemerintah Daerah dan
masyarakat dalam menerapkan teknologi
j. melakukan industri pionir bagi pelaku usaha yang membuka jenis usaha baru
dengan keterkaitan kegiatan usaha yang luas, memberi nilai tambah dan
memperhitungkan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 75
dan memiliki nilai strategis dalam mendukung pengembangan produk
unggulan daerah.
k. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi bagi pelaku
usaha industri yang kegiatan usahanya bergerak di bidang penelitian dan
pengembangan, inovasi teknologi dalam mengelola potensi daerah
l. bermitra dengan industri kecil dan menengah bagi pelaku usaha industri yang
kegiatan usahanya melakukan kemitraan dengan pengusaha industri kecil dan
menengah.
m. industri yang menggunakan barang modal, mesin, atau peralatan yang
diproduksi di dalam negeri dengan kandungan lokal dan diproduksi di dalam
negeri.
Pemberian insentif diberikan kepada pelaku usaha industri sebagaimana
diatur dalam Pasal 110 UU No. 3 Tahun 2014 berikut ini: Pasal 110 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan fasilitas untuk
mempercepat pembangunan Industri. (2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
a. Perusahaan Industri yang melakukan penanaman modal untuk memperoleh dan meningkatkan nilai tambah sebesar-besarnya atas pemanfaatan sumber daya nasional dalam rangka pendalaman struktur Industri dan peningkatan daya saing Industri;
b. Perusahaan Industri yang melakukan penelitian dan pengembangan Teknologi Industri dan produk;
c. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang berada di wilayah perbatasan atau daerah tertinggal;
d. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang mengoptimalkan penggunaan barang dan/atau jasa dalam negeri;
e. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang mengembangkan sumber daya manusia di bidang Industri;
f. Perusahaan Industri yang berorientasi ekspor; g. Perusahaan Industri kecil dan Industri menengah yang menerapkan
SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib;
h. Perusahaan Industri kecil dan Industri menengah yang memanfaatkan sumber daya alam secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan;
i. Perusahaan Industri yang melaksanakan upaya untuk mewujudkan Industri Hijau; dan
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 76
j. Perusahaan Industri yang mengutamakan penggunaan produk Industri kecil sebagai komponen dalam proses produksi.
Sedangkan disinsentif diberikan pada pelaku usaha yang tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud di atas. Pemberian disinsentif dapat juga
dilakukan dalam bentuk pemberian pajak daerah dan restribusi daerah yang
tinggi. Dengan demikian, pelaku usaha industri akan berupaya mendapatkan
insentif sesuai persyaratan yang ditetapkan.
4.9. Kemitraan
Terdapat perbedaan mengenai pengertian kemitraan. Untuk menambah
dan memperkaya pemahaman mengenai kemitraan, beberapa pengertian
kemitraan menurut berbagai literatur, diantaranya menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia arti kata mitra adalah teman, kawan kerja, pasangan kerja, rekan.
Kemitraan artinya perihal hubungan atau jalinan kerjasama sebagai mitra.79
Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih
dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip
saling membutuhkan dan saling membesarkan. Karena merupakan strategi bisnis
maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara
yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis.80
Kesemua definisi tersebut di atas, belum ada satu definisi yang memberikan
definisi secara lengkap tentang kemitraan. Hal tersebut disebabkan karena
mempunyai titik fokus yang berbeda dalam memberikan definisi tentang
kemitraan dengan adanya perbedaan pendapat diantara para sarjana ini maka
akan saling melengkapi diantara pendapat sarjana yang satu dengan yang
lainnya, dan apabila dipadukan maka akan menghasilkan definisi yang lebih
sempurna, bahwa kemitraan merupakan jalinan kerjasama usaha yang
merupakan strategi bisnis yang dilakukan antara dua pihak atau lebih dengan
prinsip saling membutuhkan, saling memperbesar dan saling menguntungkan.
79 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1991, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 80 Muhammad Jafar Hafsah, 1999, Kemitraan Usaha, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 43.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 77
Dalam kerjasama tersebut tersirat adanya satu pembinaan dan pengembangan,
hal ini dapat terlihat karena pada dasarnya masing-masing pihak pasti
mempunyai kelemahan dan kelebihan, justru dengan kelemahan dan kelebihan
masing-masing pihak akan saling melengkapi dalam arti pihak yang satu akan
mengisi dengan cara melakukan pembinaan terhadap kelemahan yang lain dan
sebaliknya.
Definisi menurut UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 1 angka
8, kemitraan adalah kerja sama usaha antara usaha kecil dengan usaha
menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan
oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperlihatkan prinsip saling
memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Menurut PP No. 44
Tahun 1997 tentang kemitraan, Pasal 1 angka 1, Kemitraan adalah kerja sama
usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah dan atau usaha besar dengan
memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling
menguntungkan.
Pada dasarnya kemitraan merupakan suatu kegiatan saling menguntungkan
dengan pelbagai macam bentuk kerjasama dalam menghadapi dan memperkuat
satu sama lainnya. Tujuan utama kemitraan untuk mengembangkan
pembangunan yang mandiri dan berkelanjutan (Self-Propelling Growth Scheme) dengan landasan dan struktur perekonomian yang kukuh dan berkeadilan dengan
ekonomi rakyat sebagai tulang punggung utamanya.81
Berkaitan dengan kemitraan seperti yang telah disebut di atas, maka
kemitraan itu mengandung beberapa unsur pokok yang merupakan kerjasama
usaha dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling
memerlukan yaitu :
1. Kerjasama Usaha
Dalam konsep kerjasama usaha melalui kemitraan ini, jalinan kerjasama yang
dilakukan antara usaha besar atau menengah dengan usaha kecil didasarkan
pada kesejajaran kedudukan atau mempunyai derajat yang sama terhadap
kedua belah pihak yang bermitra. Ini berarti bahwa hubungan kerjasama yang
81 Julius Bobo, 2003, Transformasi Ekonomi Rakyat, PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta, hal. 182
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 78
dilakukan antara pengusaha besar atau menengah dengan pengusaha kecil
mempunyai kedudukan yang setara dengan hak dan kewajiban timbal balik
sehingga tidak ada pihak dirugikan, tidak ada yang saling mengekspoitasi satu
sama lain dan tumbuh berkembangnya rasa saling percaya diantara para
pihak dalam mengembangkan usahanya.
2. Antara pengusaha besar atau menengah dengan pengusaha kecil
Hubungan kerjasama melalui kemitraan ini diharapkan pengusaha besar atau
menengah dapat menjalin hubungan kerjasama yang saling menguntungkan
dengan pengusaha kecil atau pelaku ekonomi lainnya, sehingga pengusaha
kecil akan lebih berdaya dan tangguh didalam berusaha demi tercapainya
kesejahteraan.
3. Pembinaan dan pengembangan
Pada dasarnya yang membedakan hubungan kemitraan dengan hubungan
dagang biasa oleh pengusaha kecil dengan pengusaha besar adanya bentuk
pembinaan dari pengusaha besar terhadap pengusaha kecil yang tidak
ditemukan pada hubungan dagang biasa. Bentuk pembinaan dalam kemitraan
antara lain pembinaan didalam mengakses modal, pembinaan manajemen
usaha, pembinaan peningkatan sumber daya manusia (SDM), pembinaan
manajemen produksi, pembinaan mutu produksi serta pembinaan di dalam
pengembangan aspek institusi kelembagaan, fasilitas alokasi serta investasi.
4. Prinsip Kemitraan
a. Prinsip saling memerlukan
Kemitraan merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai mengenal
calon mitranya, mengetahui posisi keunggulan dan kelemahan usahanya.82
Pemahaman keunggulan yang ada menghasilkan sinergi yang berdampak
pada efisiensi, turunnya biaya produksi dan sebagainya. Penerapannya
dalam kemitraan, perusahaan besar dapat menghemat tenaga dalam
mencapai target tertentu dengan menggunakan tenaga kerja dimiliki
perusahaan kecil. Sebaliknya perusahaan kecil, umumnya relatif lemah
dalam hal kemampuan teknologi, permodalan dan sarana produksi melalui
82 John L. Mariotti dalam Muhammad Jafar Hafsah, 1999, Kemitraan Usaha, Pustaka Sinar Harapan , Jakarta, hal. 51.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 79
teknologi dan sarana produksi yang dimiliki oleh perusahaan besar.
Dengan demikian ada saling memerlukan atau ketergantungan diantara
kedua belah pihak yang bermitra.
b. Prinsip Saling Memperkuat
Dalam kemitraan usaha, sebelum kedua belah pihak memulai bekerja
sama, maka pasti ada sesuatu nilai tambah yang ingin diraih oleh masing-
masing pihak yang bermitra. Nilai tambah ini selain diwujudkan dalam
bentuk nilai ekonomi seperti peningkatan modal dan keuntungan,
perluasan pangsa pasar, juga ada nilai tambah non ekonomi seperti
peningkatan kemapuan manajemen, penguasaan teknologi dan kepuasan
tertentu. Keinginan ini merupakan konsekwensi logis dan alamiah dari
kemitraan. Keinginan tersebut didasari sampai sejauh mana kemampuan
memanfaatkan keinginan dan memperkuat keunggulan dimilikinya,
sehingga dengan bermitra terjadi suatu sinergi antara para pelaku yang
bermitra, sehingga nilai tambah yang diterima akan lebih besar. Dengan
demikian terjadi saling isi mengisi atau saling memperkuat dari kekurangan
masing-masing pihak yang bermitra.
Dengan motivasi ekonomi tersebut, prinsip kemitraan dapat didasarkan
pada saling memperkuat. Kemitraan juga mengandung makna sebagai
tanggung jawab moral, bagaimana pengusaha besar atau menengah
mampu untuk membimbing dan membina pengusaha kecil mitranya
mampu (berdaya) mengembangkan usahanya sehingga menjadi mitra
yang handal dan tangguh didalam meraih keuntungan untuk kesejahteraan
bersama. Hal ini harus disadari juga masing-masing pihak yang bermitra
yaitu harus memahami bahwa mereka memiliki perbedaan, menyadari
keterbatasan masing-masing, baik yang berkaitan dengan manajemen,
penguasaan ilmu pengetahuan maupun penguasaan sumber daya, baik
sumber daya alam maupun sumber daya manusia (SDM). Dengan
demikian mereka harus mampu untuk saling isi mengisi serta melengkapi
kekurangan yang ada.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 80
c. Prinsip Saling Menguntungkan
Salah satu tujuan kemitraan usaha adalah “win-win solution partnership”
kesadaran dan saling menguntungkan. Kemitraan tidak berarti para
partisipan harus memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama, tetapi
yang essensi dan lebih utama adalah adanya posisi tawar yang setara
berdasarkan peran masing-masing. Pada kemitraan usaha terutama sekali
tehadap hubungan timbal balik, bukan seperti kedudukan antara buruh dan
majikan, atau terhadap atasan kepada bawahan sebagai adanya
pembagian resiko dan keuntungan proporsional, disini letak kekhasan dan
karakter dari kemitraan usaha tersebut.
Berpedoman pada kesejajaran kedudukan atau memiliki derajat yang setara
bagi masing-masing pihak bermitra, maka tidak ada pihak yang tereksploitasi
dan dirugikan tetapi justru terciptanya rasa saling percaya diantara para pihak
sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan keuntungan atau pendapatan
melalui pengembangan usahanya.
5. Tujuan Kemitraan
Kenyataan menunjukkan bahwa Industri Kecil masih belum dapat mewujudkan
kemampuan dan peranannya secara optimal dalam perekonomian nasional.
Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa industri kecil masih menghadapi
berbagai hambatan dan kendala, baik yang bersifat eksternal maupun internal,
dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber
daya manusia, dan teknologi, serta iklim usaha yang belum mendukung bagi
perkembangannya.
Pemberdayaan industri kecil dilakukan antara lain melalui : penumbuhan iklim
usaha yang mendukung bagi pengembangan industri kecil, pembinaan dan
pengembangan industri kecil serta kemitraan usaha. Sehubungan dengan hal
tersebut di atas, untuk menghasilkan tingkat efisiensi83 dan produktivitas84
83 Efisiensi menurut Gregory Grossman dalam bukunya Sistem-Sistem Ekonomi, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 1995,
hal. 9-10, mengenal tiga jenis efisiensi diantaranya yaitu pertama, efisiensi teknis adalah cara yang paling efektif dalam menggunakan suatu sumber yang langka (tenaga kerja, bahan baku, mesin dan lain sebagainya) atau sejumlah sumber dalam suatu pekerjaan tertentu. Kedua, efisiensi statis meliputi efisiensi teknis yang mencerminkan alokasi sumber-sumber yang ada dalam rangkaian waktu tertentu, dengan kata lain, efisiensi ekonomi diperoleh bila tak ada kemungkinan realokasi sumber lain yang dapat meningkatkan output produk lainnya. Ketiga, efisiensi dinamis, pada pihak lain menghubungkan pertumbuhn ekonomi dengan kenaikan sumber yang seharusnya menyebabkan pertumbuhan ini. Jadi walaupun dua perekonomian mungkin telah meningkatkan persediaan modal
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 81
yang optimal diperlukan sinergi antara pihak yang memiliki modal kuat,
teknologi maju, manajemen modern dengan pihak yang memiliki bahan baku,
tenaga kerja dan lahan. Sinergi ini dikenal dengan kemitraan. Kemitraan yang
dihasilkan merupakan suatu proses yang dibutuhkan bersama oleh pihak yang
bermitra dengan tujuan memperoleh nilai tambah. Hanya dengan kemitraan
yang saling menguntungkan, saling membutuhkan dan saling memperkuat,
dunia usaha baik kecil maupun menengah akan mampu bersaing.
Secara lebih rinci tujuan kemitraan meliputi beberapa aspek, antara lain:
a. aspek ekonomi
Dalam kondisi yang ideal, tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan
kemitraan secara lebih kongkrit meliputi: (1) meningkatkan pendapataan
industri kecil dan masyarakat; (2) meningkatkan perolehan nilai tambah
bagi pelaku kemitraan; (3) meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan
masyarakat dan industri kecil; (4) meningkatkan pertumbuhan ekonomi
daerah dan nasional; (5) memperluas kesempatan kerja; (6) meningkatkan
ketahanan ekonomi baik daerah maupun nasional;85
b. aspek sosial dan budaya
Kemitraan usaha dirancang sebagai bagian dari upaya pemberdayaan
industri kecil. Pengusaha besar berperan sebagaai faktor percepatan
pemberdayaan industri kecil sesuai kemampuan dan kompetensinya dalam
mendukung mitra usahanya menuju kemandirian usaha atau dengan
perkataan lain kemitraan yang dilakukan oleh pengusaha besar yang telah
mapan dengan pengusaha kecil sekaligus sebagai tanggung jawab sosial
pengusaha besar untuk ikut memberdayakan usaha kecil agar tumbuh
menjadi pengusaha yang tangguh dan mandiri.
Adapun sebagai wujud tanggung jawab sosial itu dapat berupa pemberian
pembinaan dan pembimbingan kepada pengusaha industri kecil, dengan
dan tenaga kerja mereka dengan persentase yang sama, tapi tingkat pertumbuhan nasional dalam kedua kasus ini mungkin sangat berlainan.
84 Menurut Muhammad Jafar Hafsah, 1999, hal. 54, secara umum produktivitas didefinisikan dalam model ekonomi sebagai output dibagi dengan input. Dengan kata lain produktivitas akan meningkat apabila dengan output yang sama dapat diperoleh hasil yang lebih tinggi atau sebaliknya dengan tingkat hasil yang sama hanya membutuhkan input yang lebih rendah.
85 Mohammad Jafar Hafsah, Op. Cit, hal. 63.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 82
pembinaan dan bimbingan yang terus menerus diharapkan pengusaha
industri kecil dapat tumbuh berkembang sebagai komponen ekonomi yng
tangguh dan mandiri sebagaimana tujuan penyelenggaraan perindustrian.
Di pihak lain dengan tumbuh berkembang kemitraan usaha diharapkan
disertai tumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru sekaligus dapat upaya
pemerataan pendapatan sehingga dapat mencegah kesenjangan sosial.
Kesenjangan itu diakibatkan oleh pemilikan sumberdaya produksi dan
produktivitas yang tidak sama di antara pelaku ekonomi. Oleh karena itu,
kelompok masyarakat dengan kepemilikan faktor produksi terbatas dan
produktivitas rendah biasanya akan menghasilkan tingkat kesejahteraan
yang rendah pula.
c. aspek teknologi
Secara faktual, industri kecil biasanya mempunyai skala usaha yang kecil
dari sisi modal, penggunaan tenaga kerja, maupun orientasi pasarnya.
Demikian pula status usahanya yang bersifat pribadi atau keluarga; tenaga
kerja berasal dari lingkungan keluarga atau setempat; kemampuan
mengadopsi teknologi, manajemen, dan diministratif sangat sederhana;
dan struktur permodalan sangat bergantung pada modal tetap.
Keterbatasan teknologi pada industri kecil, industri besar dalam
pembinaan dan pengembangan terhadap pengusaha kecil meliputi juga
memberikan bimbingan teknologi. Teknologi86 dimaksud dalam arti kata
adalah ilmu yang berkenaan dengan teknik. Oleh karena itu bimbingan
teknologi yang dimaksud adalah berkenaan dengan teknik berproduksi
untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi.
d. aspek manajemen
Manajemen merupakan proses yang dilakukan oleh satu atau lebih individu
untuk mengkoordinasikan berbagai aktivitas lain untuk mencapai hasil yang
tidak bisa dicapai apabila satu individu bertindak sendiri. Ada 2 (dua) hal
yang menjadi pusat perhatian. Pertama, peningkatan produktivitas individu
yang melaksnakan kerja. Kedua, peningkatan produktivitas organisasi di
86 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Op. Cit, hal. 524
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 83
dalam kerja yang dilaksanakan. Pengusaha industri kecil pada umumnya
tingkat manajemen usaha rendah, dengan kemitraan usaha diharapkan
ada pembenahan manajemen, peningkatan kualitas sumber daya manusia
serta pemantapan organisasi.
4.10. Perizinan
Perizinan merupakan kebijakan pemerintah yang dapat menjadi alat untuk
menggerakkan perkembangan industri untuk mendukung pembangunan Industri
dan sekaligus sebagai alat pengendali penyenggaraan kegiatan usaha di bidang
perindustrian. Oleh karena itu, perizinan dapat dimanfaatkan antara lain untuk
pemerataan persebaran industri, pendayagunaan potensi sumber daya industri
secara efisien dan optimal, dan pendataan industri. Atas izin yang diberikan,
pemerintah berkewajiban memberikan pembinaan dan pengembangan terhadap
pertumbuhan industri serta menciptakan iklim usaha industri yang sehat bagi
perkembangan pelaku usaha. Di sisi lain, pelaku usaha perlu memberikan respon
positif dengan mengembangkan industri yang inovatif, efisien, ramah lingkungan
dan berkelanjutan sehingga memiliki daya saing di tingkat global.
Melalui pembinaan dan pengembangan industri yang dilakukan baik oleh
Pemerintah Pusat maupun Daerah, diharapkan penyelenggaraan usaha di bidang
industri mengarahkan untuk penciptaan iklim usaha industri secara sehat dan
mantap. Dengan iklim usaha industri yang demikian, diharapkan industri dapat
memberikan umpan balik dalam menciptakan lapangan kerja yang luas,
menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan dan kekuatan
sendiri dalam membangun industri.
Pencapaian pertumbuhan Industri membutuhkan kepastian berusaha melalui
perizinan baik izin usaha industri maupun izin usaha kawasan industri. Menyadari
akan peranan tersebut, perizinan harus mampu memberikan motivasi yang dapat
mendorong dan menarik minat para investor untuk menanamkan modalnya di
sektor Industri.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 84
Perizinan adalah dokumen dan bukti legalitas yang membolehkan perbuatan
hukum oleh seseorang atau sekelompok orang dalam ranah hukum administrasi
negara atas sesuatu perbuatan yang dilarang berdasarkan peraturan perundang-
undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan non perizinan adalah dokumen
dan bukti legaltias atas sahnya sesuatu kepada seseorang atau sekelompok
orang dalam ranah hukum administrasi negara.
Perizinan dan non perizinan berfungsi untuk: (a) mengatur tindakan
penerima perizinan dan non perizinan sesuai tujuan dan syarat-syarat pemberian
perizinan dan non perizinan; (b) merekayasa pembangunan dalam rangka
memberikan insentif dan efek berganda untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi; (c) membina dan memberdayakan masyarakat; (d) membina, meng-
awasi, memberikan perlindungan dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan
perindustrian. Berdasarkan fungsinya tersebut, penyelenggaraan perizinan dan
non perizinan harus memperhatikan keseimbangan antara fungsi pengaturan,
rekayasa pembangunan dan pembinaan, pengawasan, pengendalian serta
kepastian hukum.
Perizinan penyelenggaraan perindustrian berdasarkan UU No. 3 Tahun 2014
merupakan wewenang Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 101 ayat (3) UU
No. 3 Tahun 2014, bahwa izin usaha industri diberikan oleh Menteri. Akan tetapi
wewenang tersebut dilimpahkan kepada Kepala Daerah (Gubernur dan
Bupati/Walikota) sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 101 ayat (4) UU No. 3
Tahun 2014, Menteri dapat melimpahkan sebagian kewenangan pemberian izin
usaha Industri kepada Gubernur dan Bupati/Walikota sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri No. 41/M-IND/PER/2008 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 13). Menurut Pasal 2 Peraturan
Menteri tersebut menyatakan sebagai berikut: (1) Setiap pendirian Perusahaan Industri wajib memiliki Izin Usaha
Industri (IUI), kecuali bagi Industri Kecil. (2) Industri Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki
Tanda Daftar Industri (TDI), yang diberlakukan sama dengan IUI.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 85
Pemberian IUI dilakukan melalui persetujuan prinsip atau tanpa persetujuan
prinsip. IUI tanpa persetujuan prinsip diberikan kepada Perusahaan Industri
berlokasi di Kawasan Industri/Kawasan Berikat atau jenis industrinya tercantum
dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 148/M/SK/7/1995 dan/atau
perubahannya. Sedangkan IUI melalui persetujuan prinsip diberikan kepada
Perusahaan Industri sebagai berikut: (a) berlokasi di luar Kawasan Industri/
Kawasan Berikat; (b) jenis industri tidak tercantum dalam Surat Keputusan
Menteri Perindustrian No. 148/M/SK/7/1995 dan atau perubahannya; (c) jenis
industri tercantum dalam Lampiran I huruf G Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 dan/atau perubahannya; (d) lokasi
industrinya berbatasan langsung dengan kawasan lindung sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
11 Tahun 2006 dan/atau perubahannya.
IUI melalui Persetujuan Prinsip diberikan kepada Perusahaan Industri yang
telah memenuhi persyaratan sebagai berikut : (a) memiliki IMB; (b) memiliki Izin
Lokasi; (c) Izin Undang-Undang Gangguan (Ho); (d) memiliki Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Lingkungan (UPL); (e) telah selesai
membangun pabrik dan sarana produksi. Persetujuan Prinsip diberikan kepada
Perusahaan Industri untuk melakukan persiapan dan usaha pembangunan,
pengadaan, pemasangan/instalasi peralatan dan kesiapan lain yang diperlukan.
Persetujuan Prinsip bukan merupakan izin untuk melakukan produksi komersial.
Perusahaan Industri yang telah memiliki IUI atau TDI, dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan terhitung mulai tanggal diterbitkan IUI/TDI wajib mendaftarkan dalam
Daftar Perusahaan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982
tentang Wajib Daftar Perusahaan. Perusahaan Industri melakukan perluasan
melebihi 30% (tiga puluh persen) dari kapasitas produksi yang telah diizinkan,
wajib memiliki Izin Perluasan.
a. Pemberian IUI Melalui Persetujuan Prinsip
Permohonan Persetujuan Prinsip diajukan dengan menggunakan Formulir
Model Pm-I (Lampiran Peraturan Menteri No. 41/M-IND/PER/2008) dan
melampirkan dokumen sebagai berikut: (a) Copy Izin Undang-Undang
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 86
Gangguan; (b) Copy Akte Pendirian Perusahaan dan atau perubahannya
khusus bagi Perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas akte tersebut
telah disahkan Menteri Hukum dan HAM; (c) dokumen yang dipersyaratkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan bagi industri tertentu.
Terhadap permohonan Persetujuan Prinsip yang telah lengkap dan benar,
selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima, Kepala Badan/Kantor
PTSP sesuai lingkup tugasnya wajib mengeluarkan Persetujuan Prinsip
dengan menggunakan Formulir Model Pi-I dengan tembusan disampaikan
kepada Direktur Jenderal Pembina Industri dan Kepala Dinas Perindustrian
dan Energi.
Terhadap permohonan Persetujuan Prinsip yang persyaratannya belum
lengkap dan benar atau jenis industri termasuk dalam bidang usaha yang
tertutup bagi penanaman modal, selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak
diterima permohonan Persetujuan Prinsip, Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai
lingkup tugasnya mengeluarkan Surat Penolakan dengan menggunakan
Formulir Model Pi-VI.
Persetujuan Prinsip dapat diubah berdasarkan permintaan dari perusahaan
yang bersangkutan.
Dalam melaksanakan Persetujuan Prinsip, Perusahaan Industri bersangkutan
wajib menyampaikan informasi mengenai kemajuan pembangunan pabrik dan
sarana produksi kepada Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya
dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri/Kepala Dinas
Perindustrian dan Energi sesuai Persetujuan Prinsip yang bersangkutan,
setiap 1 (satu) tahun sekali paling lambat pada tanggal 31 Januari pada tahun
berikutnya dengan menggunakan Formulir Model Pm-II.
Pemegang Persetujuan Prinsip tidak dapat menyelesaikan pembangunan
pabrik dan sarana produksinya dalam waktu 3 (tiga) tahun dapat mengajukan
permintaan perpanjangan Persetujuan Prinsip untuk 1 (satu) kali selama-
selamanya 1 (satu) tahun.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 87
Perusahaan industri telah menyelesaikan pembangunan pabrik dan sarana
produksinya serta telah memenuhi semua ketentuan peraturan perundang-
undangan, wajib mengajukan permintaan IUI kepada Kepala Badan/Kantor
PTSP sesuai lingkup tugasnya menggunakan Formulir Model Pm-III dengan
dilengkapi dokumen sebagai berikut : (a) Copy Akte Pendirian Perusahaan
dan atau perubahannya, khusus bagi Perusahaan yang berbentuk Perseroan
Terbatas akte yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM; (b) Copy
Izin Mendirikan Bangunan (IMB); (c) Copy Surat Persetujuan Prinsip (Model
Pi-I); (d) Copy Formulir Model Pm-II tentang Informasi Kemajuan Pembangun-
an Pabrik dan Sarana Produksi (Proyek); (e) Copy Izin Undang-Undang
Gangguan (Ho); (f) Copy Izin Lokasi; (g) Copy dokumen penyajian informasi
tentang Usaha Pelestarian Lingkungan yang meliputi: Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)
dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) serta dokumen dipersyaratkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan bagi industri tertentu. Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya selambat-lambatnya 5
(lima) hari kerja sejak diterima Formulir Model Pm-III, sudah mengadakan
pemeriksaan ke lokasi pabrik guna memastikan bahwa pembangunan pabrik
dan sarana produksi telah selesai. Hasil pemeriksaan dituangkan dalam Berita
Acara Pemeriksaan (BAP) dengan menggunakan Formulir Model Pi-II yang
ditandatangani oleh Petugas Pemeriksa yang ditunjuk oleh Kepala Dinas
Kabupaten/Kota yang bersangkutan (dalam hal ini Dinas Perindustrian dan
Energi). Kepala Dinas dalam waktu selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja
sejak penandatanganan BAP, menyampaikan BAP kepada Kepala Badan/
Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya.
Apabila pemeriksaan tidak dilaksanakan, perusahaan yang bersangkutan
dapat membuat Surat Pernyataan siap berproduksi komersial disampaikan
kepada Guberur melalui Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya.
Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima hasil BAP atau Surat
Pernyataan, Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya harus
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 88
mengeluarkan IUI dengan menggunakan Formulir Model Pi-III atau menunda
dengan keterangan tertulis berdasarkan pertimbangan pembangunan pabrik
dan sarana produksi belum selesai dan/atau belum memenuhi persyaratan
yang ditetapkan dengan menggunakan Formulir Model Pi-VI;
b. Pemberian IUI Tanpa Persetujuan Prinsip
Permohonan IUI dilakukan dengan menggunakan Formulir Model SP-I dan
Formulir Model SP-II sebagaimana termuat dalam Lampiran Peraturan Menteri
No. 41/M-IND/PER/2008. Permohonan Izin Perluasan dilakukan dengan
menggunakan Formulir Model SP-III.
Permohonan IUI bagi jenis industri pemberian IUI Tanpa Persetujuan Prinsip,
dilakukan dengan membuat Surat Pernyataan sesuai Formulir Model SP-I, dan
bagi perusahaan industri yang akan berlokasi di Kawasan Industri/Kawasan
Berikat melampirkan Surat Keterangan dari Pengelola Kawasan Industri/
Kawasan Berikat tentang rencana lokasi perusahaan.
Pemohon IUI mengisi Daftar Isian Permintaan IUI dengan menggunakan
Formulir Model SP-II yang diserahkan bersama Formulir Model SP-I dengan
dilengkapi dokumen sebagai berikut: (a) Copy Akte Pendirian Perusahaan dan
atau perubahannya khusus perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas,
akte tersebut telah disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM; (b) Copy Izin
Undang-Undang Gangguan (Ho) bagi jenis industri yang tercantum pada Surat
Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 148/M/SK/7/1995 yang berlokasi di
luar Kawasan Industri/Kawasan Berikat; (c) Copy Izin Lokasi bagi jenis industri
yang tercantum pada Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor
148/M/SK/7/1995 yang berlokasi di dalam Kawasan Industri/Kawasan Berikat;
(d) Copy Izin Mendirikan Bangunan (IMB); (e) Surat Keterangan dari
Pengelola Kawasan Industri/Kawasan Berikat bagi yang berlokasi di Kawasan
Industri/Kawasan Berikat; (f) dokumen yang dipersyaratkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan bagi industri tertentu.
Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterima Formulir Model
SP-I dan SP-II yang lengkap dan benar, Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 89
lingkup tugasnya harus mengeluarkan IUI dengan menggunakan Formulir
Model SP-VI dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal
Pembina Industri dan Kepala Dinas Perindustrian dan Energi.
Bagi perusahaan industri telah memiliki IUI wajib menyampaikan informasi
kemajuan pembangunan pabrik dan sarana produksi setiap tahun paling
lambat pada tanggal 31 Januari pada tahun berikutnya dengan menggunakan
Formulir Model Pm-II kepada Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup
tugasnya dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri,
Kepala Dinas Perindustrian dan Energi.
IUI dinyatakan batal demi hukum apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak
diterbitkan, pemegang IUI sebagai berikut: tidak menyelesaikan pembangunan
pabrik dan sarana produksi; belum memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan/atau tidak melampirkan dokumen dipersyaratkan bagi industri
tertentu sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan.
c. Pemberian Izin Perluasan Industri
Setiap Perusahaan Industri yang melakukan perluasan wajib memberitahukan
secara tertulis kenaikan produksinya sebagai akibat dari kegiatan perluasan
kepada Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai tercantum dalam IUI, selambat-
lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal dimulai kegiatan perluasan. Permohonan Izin Perluasan bagi Perusahaan Industri yang telah memiliki IUI
melalui Persetujuan Prinsip dilakukan dengan menggunakan Formulir Model
Pm-IV dan melampirkan dokumen rencana perluasan industri serta dokumen
penyajian informasi tentang usaha-usaha pelestarian lingkungan yang
meliputi: Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL); atau Upaya
Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).
Permohonan Izin Perluasan bagi Perusahaan Industri yang telah memiliki IUI
Tanpa Persetujuan Prinsip dilakukan dengan menggunakan Formulir Model
SP-III dan melampirkan dokumen rencana perluasan industri.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 90
d. Pemberian Tanda Daftar Industri (TDI)
Perusahaan Industri Kecil untuk memiliki TDI tidak perlu Persetujuan Prinsip
dengan cara mengajukan Permohonan TDI kepada Kepala Badan/Kantor
PTSP sesuai lingkup tugasnya dengan mengisi Formulir Model Pdf.I-IK dan
melampirkan Copy Izin Undang-Undang Gangguan (Ho) dan Copy Izin Lokasi.
Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya dalam waktu selambat-
lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima permohonan TDI wajib mengeluar-
kan TDI dengan menggunakan Formulir Model Pdf.II-IK dengan tembusan
disampaikan kepada Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah serta
Kepala Dinas Perindustrian dan Energi.
Selain kewajiban memiliki izin, pelaku usaha industri wajib melakukan
perubahan izin apabila pemindahan lokasi industri; perubahan nama, alamat dan
atau penanggungjawab; serta IUI, Izin Perluasan, dan TDI hilang atau rusak.
Kewajiban industri telah memiliki IUI atau Izin Perluasan wajib
menyampaikan Informasi Industri secara berkala kepada Menteri dan Gubernur,
sesuai dengan Izin Usaha Industri yang diterbitkan mengenai kegiatan usahanya
menurut jadwal. Pertama, 6 (enam) bulan pertama tahun yang bersangkutan
selambat-lambatnya setiap tanggal 31 Juli dengan menggunakan Formulir Model
Pm-V untuk Informasi Industri melalui Persetujuan Prinsip atau SP-IV untuk
Informasi Industri Tanpa Persetujuan Prinsip dengan tembusan kepada Direktur
Jenderal Pembina Industri dan Kepala Dinas Perindustrian dan Energi. Kedua, 1
(satu) tahun selambat-lambatnya setiap tanggal 31 Januari pada tahun berikutnya
dengan menggunakan Formulir Model Pm-VI untuk Industri Melalui Persetujuan
Prinsip atau SP-V untuk Industri Tanpa Persetujuan Prinsip dengan tembusan
kepada Direktur Jenderal Pembina Industri, Kepala Dinas Perindustrian dan
Energi.
Sedangkan perusahaan Industri telah memiliki TDI wajib menyampaikan
Informasi Industri kepada Gubernur setiap tahun selambat-lambatnya tanggal 31
Januari pada tahun berikutnya dengan menggunakan Formulir Model Pdf.III-IK
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 91
dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal Industri Kecil dan
Menengah dan Kepala Dinas Perindustrian dan Energi.
4.11. Sistem Informasi Industri Daerah
Kewajiban membentuk sistem informasi industri tidak hanya Pemerintah
Daerah, melainkan juga Pemerintah Pusat yang dilaksanakan oleh Menteri
Perindustrian sebagaimana diatur dalam UU No. 3 Tahun 2014.87 Secara
nasional, yang dimaksud Sistem Informasi Industri Nasional adalah tatanan
prosedur dan mekanisme kerja yang terintegrasi meliputi unsur institusi, sumber
daya manusia, basis data, perangkat keras dan lunak, serta jaringan komunikasi
data yang terkait satu sama lain dengan tujuan untuk penyampaian, pengelolaan,
penyajian, pelayanan serta penyebarluasan data dan/atau Informasi Industri.88
Merujuk pada pengertian tersebut, yang dimaksud dengan Sistem Informasik
Industri Daerah, sebagai berikut: tatanan prosedur dan mekanisme kerja yang terintegrasi meliputi unsur institusi, sumber daya manusia, basis data, perangkat keras dan lunak, serta jaringan komunikasi data yang terkait satu sama lain dengan tujuan untuk penyampaian, pengelolaan, penyajian, pelayanan serta penyebarluasan data dan/atau informasi industri di daerah.
Secara nasional, tujuan sistem informasi industri sebagai berikut: (a)
menjamin ketersediaan, kualitas, kerahasiaan dan akses terhadap data dan/atau
informasi; (b) mempercepat pengumpulan, penyampaian/pengadaan, pengolah-
an/pemrosesan, analisis, penyimpanan, dan penyajian, termasuk penyebarluasan
data dan/atau informasi yang akurat, lengkap, dan tepat waktu; (c) mewujudkan
penyelenggaraan Sistem Informasi Industri Nasional yang meningkatkan efisiensi
dan efektivitas, inovasi, dan pelayanan publik, dalam mendukung pembangunan
Industri nasional.89
87 Pasal 68 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, menyatakan bahwa untuk menjamin
koneksi Sistem Informasi Industri Nasional dengan sistem informasi di daerah, Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota membangun sistem Informasi Industri di provinsi dan kabupaten/kota.
88 Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 89 Pasal 63 Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pembangunan Sarana Dan Prasarana Industri, versi bulan
Agustus 2014.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 92
Sistem informasi industri daerah sekurang-kurangnya memuat data industri
sebagai berikut:90
a. data industri terdiri dari:
1. data industri pada tahap pembangunan proyek, meliputi: identitas dan
legalitas perusahaan, kelompok industri sesuai klasifikasi baku lapangan
usaha indonesia, kapasitas produksi, nvestasi dan sumber pembiayaan,
dan tenaga kerja;
2. data Industri pada tahap produksi komersial, meliputi: identitas dan
legalitas perusahaan, kelompok Industri sesuai klasifikasi baku lapangan
usaha Indonesia, kapasitas produksi, investasi dan sumber pembiayaan,
tenaga kerja, mesin dan peralatan, bahan baku dan bahan penolong,
energi, air baku, produksi, pemasaran, dan pengelolaan lingkungan.
b. data kawasan industri, terdiri dari:
1. Data kawasan industri pada tahap pembangunan, sekurang-kurangnya
memuat: identitas dan legalitas perusahaan, investasi dan sumber
pembiayaan, lahan/kaveling, dan sarana dan prasarana.
2. Data kawasan industri pada tahap komersial, sekurang-kurangnya
memuat: identitas dan legalitas perusahaan, investasi dan sumber
pembiayaan, lahan/kavling, sarana dan prasarana, dan perusahaan
Industri dalam Kawasan Industri.
c. data perkembangan dan peluang pasar, sekurang-kurangnya memuat data
sebagai berikut: ekspor dan impor, konsumsi produk industri, permintaan
(inquiry) dari pembeli (buyer), kebijakan industri dan perdagangan di negara
mitra, dan agenda pameran internasional utama di negara mitra.
d. data perkembangan teknologi industri, sekurang-kurangnya memuat data
sebagai berikut: hasil riset terapan yang terkait bidang industri; Hak Kekayaan
Intelektual; rancang bangun dan perekayasaan industri; usaha bersama (joint venture), pengalihan/pembelian hak melalui lisensi, akuisisi teknologi, atau
putar kunci (turn key) project, dan kerjasama teknologi; hasil audit teknologi
industri; jenis, negara asal, dan tahun pembuatan teknologi
90 Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pembangunan Sarana Dan Prasarana Industri, versi bulan Agustus 2014
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 93
Data dan/atau informasi industri dalam Sistem Informasi Industri Daerah
bersumber dari perusahaan industri dan perusahaan kawasan industri secara
langsung, serta dapat bersumber dari perguruan tinggi, asosiasi atau KADINDA,
masyarakat, dan sumber lain. Oleh sebab itu, UU No. 3 Tahun 2014 memberikan
kewajiban kepada pelaku usaha industri untuk menyampaikan data industri
sebagaimana diatur dalam pasal berikut ini:
Pasal 64 (1) Setiap Perusahaan Industri wajib menyampaikan Data Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota.
Pasal 65 (1) Setiap Perusahaan Kawasan Industri wajib menyampaikan Data Kawasan Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota.
4.12. Tanggung jawab Sosial Perusahaan (TJSP) atau CSR
Istilah tanggung jawab sosial perusahaan/Corporate Social Responsibility
(CSR) masih menjadi pedebatan para pendukung dan para penentangnya. Kedua
kutup berbeda pandangan, masing-masing mempunyai argumentasi yang
bertentangan satu terhadap yang lain sesuai kedudukan dan kepentingannya.
Salah satu perbedaan tajam antara lain bahwa tanggung jawab sosial
perusahaan berada pada ranah etika (etika bisnis) atau harus berada pada ranah
hukum, sehubungan itu apa perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan
termasuk peraturan daerah disertai dengan sanksi. Pendukung dan penentang
janggung jawab sosial perusahaan pada dasarnya mempunyai alasan masing-
masing, karena latar belakang pencapaian tujuan dan sasaran yang berbeda
dalam kepentingan yang berhadapan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 94
CSR pada dasarnya berawal dari rasa bertanggungjawab secara personal
pada lingkungan dunia usaha, yang muncul dari pribadi yang peka kepada
sesama. Rasa tersebut timbul dan berkembang sebagai suatu yang harus
dilakukan mengingat adanya kesenjangan keadaan sosial ekonomi yang tajam,
antara unsur tenaga kerja dengan unsur pemilik dan pengurus dalam dunia usaha
tersebut. Berangkat dari keadaan tersebut, lahirnya konsep CSR yang berada
pada sasaran kewajiban moral, yang bergerak antara kesejahteraan pada
lingkungan tertentu, menimbulkan pula suatu konsep bahwa yang harus
diwujudkan adalah kesejahteraan bersama pada lingkungan perusahaan.
Kesejahteraan yang bersifat terbatas makin meluas yang diikuti gerakan yang
sama sehingga menjadi suatu konsep positif yang menjadi tanggung jawab
institusional. Konsep tersebut menjadi sangat manusiawi baik bagi tenaga kerja
maupun masa depan perusahaan, kemudian berkembang atas kesadaran
mengenai alam dan lingkungan.
Konsep sebagaimana diuraikan di atas selanjutnya menjadi sesuatu hal
yang berdasarkan kearifan manusia, tidak hanya menjadi kewajiban moral, tetapi
menjadi kewajiban yang bertujuan menuju pencapaian kesejahteraan warga
negaranya, secara sadar pasti mengatur hal-hal yang berkaitan dengan CSR.
Sumber daya alam yang dieksploitasi perusahaan makin lama menjadi makin
berkurang daya dukungnya, karena sifatnya yang terbatas dan tidak terbarukan.
Hal ini mulai disadari sehingga konsep tanggung jawab terhadap lingkungan juga
berkembang. Manusia secara pribadi dalam institusi dan negara secara serentak
sadar bahwa lingkungan dan sumber daya alam perlu dilindungi untuk
kepentingan manusia dan kemanusiaan dimasa yang akan datang.
Sehubungan itu, CSR bila dilaksanakan dengan baik dan benar, akan
memberikan dampak positif bagi perusahaan, lingkungan termasuk sampah.
Perusahaan harus memiliki kepedulian tinggi terhadap lingkungan seperti
pengelolaan limbah padat dan cair. Jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh
sesuai ketentuan Pasal 15 UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,
bahwa produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya
yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam, maka tidak terlalu sulit untuk
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 95
mengelola sampah. Demikian halnya dengan ketentuan Pasal 20 ayat (3) UU No.
18 Tahun 2008, bahwa pelaku usaha yang menggunakan bahan produksi yang
menimbulkan sampah sesedikit mungkin, dapat diguna ulang, dapat didaur ulang,
dan/atau mudah diurai oleh proses alam.
Pada dasarnya kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan yang berhubungan
dengan sumber daya alam, pasti mengandung nilai positif, baik bagi internal
perusahaan maupun bagi eksternal perusahaan dan pemangku kepentingan lain.
Meskipun demikian nilai positif dapat mendorong terjadinya tindakan dan
perbuatan yang mempunyai nilai negatif, karena merugikan lingkungan dan
masyarakat sekitar. Nilai negatif dimaksud seberapa jauh kegiatan perusahaan
bersangkutan mempunyai potensi merugikan kesehatan dan lingkungan, dengan
kata lain seberapa luas kerusakan lingkungan sebagai akibat langsung dari
kegiatan perusahaan.
Perusahaan yang pada satu sisi pada suatu waktu menjadi pusat kegiatan
yang membawa kesejahteraan bahkan kemakmuran bagi masyarakat, pada satu
saat yang sama dapat menjadi sumber petaka pada lingkungan yang sama pula.
Misalnya terjadi pencemaran lingkungan atau kerusakan alam dan lingkungan
yang lebih luas.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, perusahaan akan mempunyai dampak
positif bagi kehidupan pada masa yang akan datang dengan terpeliharanya
lingkungan dan semua kepentingan pada pemangku kepentingan sehingga akan
menghasilkan tata kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi juga mempunyai satu
sisi negatif terhadap kesehatan dan lingkungan.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa secara formal CSR diatur
dalam Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, menyatakan
Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan (TJSL) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perseroan yang tidak melaksanakan
kewajiban TJSL dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 96
Di dalam penjelasan TJSL bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan
Perseroan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma,
dan budaya masyarakat setempat.
Mencermati ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 40 Tahun 2007 istilah
tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) terjemahan dari istilah Corporate Social Responsibility (CSR) untuk konteks perusahaan dalam masyarakat
Indonesia, dan mengartikannya sebagai "komitmen perseroan untuk berperan
serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas
kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan, komunitas
setempat maupun masyarakat pada umumnya".
Dalam berbagai literatur manajemen perusahaan banyak sekali ditemukan
tulisan tentang CSR atau TJSL baik untuk konteks masyarakat Indonesia maupun
asing. Pada tingkat paling dasar namun sekaligus sangat luas, CSR dapat
dipahami sebagai sebuah relasi atau interkoneksi antara perusahaan dengan
para pemangku kepentingan perusahaan tersebut, termasuk pelanggan,
pemasok, kreditur, karyawan, hingga masyarakat khususnya yang berdomisili di
wilayah perusahaan tersebut dalam menjalankan aktivitasnya. Perusahaan
bertanggungjawab menjamin kegiatan operasional mampu menghasilkan barang
dan/atau jasa secara ekonomis, efisien, dan bermutu untuk kepuasan pelanggan
di samping untuk memperoleh keuntungan. Perusahaan juga berkewajiban
mematuhi hukum dan seluruh peraturan perundang-undangan nasional dan
daerah di dalam wilayah negara seperti misalnya mematuhi aturan hukum
perlindungan konsumen, kesehatan, lingkungan, pengelolaan sampah, dan
sebagainya.
Konsep CSR merupakan kewajiban perusahaan peduli terhadap lingkungan,
kesejahteraan masyarakat di mana perusahaan berdomisili atau menjalankan
aktivitas operasionalnya. Kewajiban terakhir dapat dilakukan perusahaan melalui
berbagai bentuk kegiatan yang idealnya cocok dengan strategi dan business core
dari perusahaan itu sendiri. Misalnya, pemberdayaan ekonomi rakyat berupa
membina industri kecil dan menengah; penyediaan pelayanan kesehatan dan
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 97
pendidikan masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana pengelolan sampah,
dan sebagainya.
Mencermati uraian tersebut di atas, pada prinsipnya CSR bertujuan agar
perusahaan dapat memberi kontribusi untuk kemajuan atau peningkatan
kesejahteraan masyarakat setempat. Pada poin inilah tampak nyata bahwa
pelaku usaha melalui berbagai badan usaha yang berbadan hukum maupun yang
bukan berbadan hukum ‘diminta’ bersama-sama pemerintah mewujudkan
lingkungan yang sehat dan/atau berwawasan lingkungan. Tanggung jawab
perusahaan tersebut secara etis moral dinilai memiliki tanggung jawab sosial
terhadap lingkungan. Di sisi lain, CSR juga memberi manfaat bagi perusahaan
yang melaksanakan, seperti CSR mampu menciptakan brand image perusahaan
di tengah pasar yang kompetitif pada gilirannya akan mampu menciptakan
customer loyalty dan membangun/mempertahankan reputasi bisnis. CSR dapat
membantu perusahaan untuk mendapatkan atau melanjutkan license to operate
dari pemerintah maupun dari publik sebab perusahaan akan dinilai telah
memenuhi standar tertentu dan memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Singkat
kata, CSR dapat menjadi iklan bagi produk perusahaan yang bersangkutan.
4.13. Peran serta Masyarakat
Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perindustrian diatur dalam
Pasal 115 dan Pasal 116 UU No. 3 Tahun 2014. Secara lengkap Pasal 115 dan
Pasal 116 sebagai berikut: Pasal 115 (1) Masyarakat dapat berperan serta dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan Industri. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diwujudkan dalam bentuk: a. pemberian saran, pendapat, dan usul; dan/atau b. penyampaian informasi dan/atau laporan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat dalam pembangunan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 98
Pasal 116 (1) Masyarakat berhak mendapatkan perlindungan dari dampak
negatif kegiatan usaha Industri. (2) Ketentuan mengenai perlindungan masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4.14. Pembinaan Untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan perindustrian perindustrian di
Provinsi DKI Jakarta sebagaimana termuat dalam Pasal 3 UU No. 3 Tahun 2014,
dilakukan pembinaan yang terarah dan terpadu mulai perencanaan, pelaksanaan
atau penerapan sampai pengawasan. Berdasarkan PP No. 79 Tahun 2005
tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah, yang dimaksud pembinaan adalah upaya yang dilakukan Pemerintah
dan/atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah di daerah dalam rangka mewujudkan
tujuan penyelenggaraan otonomi daerah.
Lingkup pembinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 PP No. 79 Tahun
2005, meliputi: (a) koordinasi; (b) pemberian pedoman dan standar pelaksanaan
urusan pemerintahan; (c) pemberian bimbingan dan konsultasi pelaksanaan
urusan pemerintahan; (d) pendidikan dan pelatihan; (e) perencanaan, penelitian,
pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan.
Lingkup pembinaan tersebut secara rinci sebagai berikut:
a. Koordinasi
Dalam manajemen, koordinasi merupakan suatu usaha untuk meng-
harmonisasikan atau menserasikan seluruh kegiatan, sehingga dapat
mencapai tujuan yang diharapkan.91 Keharmonisan dan keserasian dilakukan
baik terhadap tugas bersifat teknis, finansial, kepegawaian maupun
administrasi. Dengan terciptanya koordinasi, beban tugas antar satuan kerja
menjadi seimbang, dan tercipta keseimbangan keadaan atau suasana
kelembagaan secara keseluruhan menjadi harmonis dan selaras. Keselarasan
91 Gitosudarmo Indriyo dan Mulyon Agus, Prinsip Dasar Manajemen : Edisi 3, BPFE Jogyakarta, 1996.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 99
akan membawa akibat terjadinya kewajiban di dalam melaksanakan tugas
dalam mencapai tujuannya.
Oleh karena itu, koordinasi merupakan usaha menciptakan keadaan yang
disebut “3S”, singkatan dari “serasi, selaras, dan seimbang”. Dalam
penyelenggaraan perindustrian, yang dimaksud dengan “3S”, adalah : (1)
serasi, adanya suatu perbandingan sesuai antara beban tugas dengan
pelaksanaan tugas guna merealisasikan maksud tujuan penyelenggaraan
pembangunan perindustrian, sehingga terwujud pemuda sebagai generasi
penerus bangsa dan negara; (b) selaras, yaitu sinkronisasi antara kebijakan
dengan operasional dalam melaksanakan program dan kegiatan dan/atau
upaya yang dilakukan dalam memberikan pelayanan kepada pemuda sesuai
tugas dan fungsi masing-masing SKPD terkait guna mewujudkan maksud dan
tujuan pembangunan perindustrian; (c) seimbang, yaitu adanya pembebanan
yang proporsional dalam pelaksanaan tugas baik di Dinas Perindustrian dan
Energi maupun SKPD lain guna merealisasikan tujuan penyelenggaran
pembangunan perindustrian.
Dalam pelaksanaan teknis operasional, makna koordinasi dapat dikelengkapi
dengan 2S sehingga menjadi 5S, yaitu “seragam dan serentak”. Seragam,
adanya kesamaan pandang atau persepsi atau prinsip di dalam
penyelenggaraan pembangunan perindustrian. Keseragaman memberikan
kemudahan dalam pelaksanaan tugas. Oleh sebab itu, koordinasi tingkat
pimpinan dan staf diperlukan selain bertujuan memudahkan pelaksanaan
operasional di lapangan juga untuk meningkatkan efisiensi. Serentak, yang
dimaksud dengan serentak adalah dalam upaya memberikan perlindungan
baik kepada remaja dan pemuda secara bersama-sama dalam arti saling
menjaga dan menghormati. Hal ini membuat penyelenggaraan pembangunan
perindustrian bergerak searah untuk mencapai tujuan yang sama, dan
memudahkan untuk digerakkan searah dan sejalan dengan usaha yang
dilakukan untuk merealisasikan tujuan yang ditetapkan dan/atau diinginkan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 100
Berdasarkan uraian di atas, secara garis besar memberikan gambaran bahwa
tujuan koordinasi untuk mewujudkan satu visi, misi, dan tujuan melalui
program dan kegiatan yang ditetapkan. Karena visi, misi dan tujuan
merupakan salah satu komponen dari kebijakan, maka dengan koordinasi
terwujud kesatuan tindakan untuk mencapai visi dan misi, serta maksud dan
tujuan pembangunan perindustrian.
Suatu program yang direncanakan secara terpusat dalam hal ini menjadi tugas
dan fungsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), sehingga
ada unsur pengendalian untuk menjamin harmonisasi dalam pelaksanaan
program dan kegiatan baik yang dilakukan Dinas maupun SKPD lain. Tanpa
adanya pengendalian bisa berakibat Dinas (Dinas Perindustrian dan Energi)
dan SKPD lain bergerak sendiri-sendiri, sehingga terjadi penyimpangan dari
tujuan yang ingin dicapai.
Keterpaduan menunjukkan adanya keadaan yang saling mengisi dalam
melaksanakan tugas. Dengan prinsip saling isi-mengisi, saling memberi dan
saling menerima, maka tugas menjadi semakin efektif dan efisien serta
pencerminan dari keterpaduan.
Sarana koordinasi antara lain komunikasi. Pendekatan komunikasi dilakukan
untuk mengarahkan, menyatukan tindakan, mewujudkan, menciptakan disiplin
untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan yang ditentukan. Keterpaduan antar
SKPD/UKPD, instansi vertikal terkait (seperti Kepolisian), dan asosiasi dalam
penyelenggaraan pembangunan perindustrian menjadi penting. Fungsi
koordinasi tersebut, menjadi tugas Biro Perekonomian Sekretariat Daerah
Provinsi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, untuk mewujudkan visi, misi, serta
maksud dan tujuan pembangunan perindustrian, koordinasi menjadi salah satu
tokok ukur keberhasilan, maka peran dan fungsi Gubernur dalam koordinasi
yang secara teknis menjadi tugas Sekretaris Daerah menjadi penting dalam
pembangunan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 101
b. Pemberian pedoman dan standar
Dalam pemberian pedoman dan standar, mulai perencanaan, pelaksanaan,
tata laksana, pendanaan, kualitas, pengendalian, dan pengawasan. Pedoman
dan standar tersebut disusun dan ditetapkan Gubernur dengan Peraturan
Gubernur sesuai pedoman atau aturan yang ditetapkan Pemerintah Pusat,
menjadi acuan bagi Dinas dan SKPD lain di dalam penyelenggaraan
pembangunan perindustrian, bagi masyarakat dan pelaku usaha.
c. Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi
Bimbingan, supervisi, dan konsultasi, mencakup perencanaan, pelaksanaan,
tata laksana, pendanaan, kualitas, pengendalian, dan pengawasan
merupakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab Kepala Dinas sebagai
SKPD pembina yang diberi tugas oleh Gubernur melalui Peraturan Gubernur
No. 267 Tahun 2016 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dinas
Perindustrian Dan Energi. Selain itu, Dinas Perindustrian dan Energi juga
sebagai pelaksana teknis dapat melakukan pembinaan sesuai kebutuhan
kepada pelaku usaha di bidang industri dan anggota masyarakat. Pembinaan
yang dilakukan dalam rangka pemberdayaan pelaku usaha di bidang industri.
d. Pemantauan dan evaluasi
Pemantauan dan evaluasi dilaksanakan sesuai fungsi dan kewenangan
Daerah. Pelaksanaan kegiatan pemantauan dan evaluasi dilakukan sesuai
pedoman yang ditetapkan oleh Gubernur. Jika tidak ada Kepala Dinas dapat
menyusun pedoman pemantauan dan evaluasi pembangunan perindustrian
sebagai bahan perumusan kebijakan oleh Gubernur atau Kepala Dinas.
4.15. Pengawasan dan Pengendalian
Kata "pengawasan" berasal dari kata "awas", berarti antara lain "penjagaan".
Istilah pengawasan dikenal dalam ilmu manajemen dan ilmu administrasi sebagai
salah satu unsur dalam kegiatan pengelolaan.92 Istilah pengawasan dalam
bahasa Inggris disebut dengan controlling diterjemahkan dengan pengawasan
92 Anton M. Moeliono, dkk., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm. 68
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 102
dan pengendalian, sehingga istilah controlling lebih luas artinya daripada
pengawasan. Beberapa ahli manajemen memberikan pemahaman yang sama
terhadap pengertian controlling dengan pengawasan. Dengan demikian, dalam
pengawasan termasuk pengendalian.93
Menurut George T. Terry dalam Winardi, “control is to determine what is
accomplished, evaluate it, and apply corrective measures is needed to ensure result in keeping with the plan”.94 Lembaga Administrasi Negara (2003),
menjelaskan bahwa pengawasan adalah suatu kegiatan untuk memperoleh
kepastian apakah pelaksanaan pekerjaan/kegiatan telah dilakukan sesuai dengan
rencana. Dalam pengawasan pada dasarnya membandingkan kondisi yang ada
bila terjadi penyimpangan atau hambatan segara diambil tindakan koreksi.
Menurut Sarundajang fungsi pengawasan untuk membantu manajemen
dalam 3 (tiga) hal, yaitu: (a) meningkatkan kinerja organisasi; (b) memberikan
opini atas kinerja organisasi; (c) mengarahkan manajemen untuk melakukan
koreksi atas permasalahan dalam pencapaian kinerja yang ada.95 Ketiga hal
tersebut dilakukan dengan cara memberikan informasi yang dibutuhkan secara
cepat dan memberikan tingkat kenyakinan akan pencapaian rencana yang telah
ditetapkan. Sementara Sondang P. Siagian mendefinisikan pengawasan adalah
proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk
menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai
dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.96
Definisi tersebut di atas secara materiil sama, menitikberatkan pada tindakan
pengawasan pada suatu proses yang sedang berjalan atau dilaksanakan.
Pengawasan tidak ditempatkan pada akhir suatu kegiatan, justru pengawasan
akan menilai dan memberi warna terhadap hasil yang akan dicapai oleh kegiatan
yang sedang dilaksanakan tersebut.
93 Victor M. Situmarang dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat Dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah,
Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 18. 94 George R. Terry, Asas-asas Manajemen, diterjemahkan oleh Winardi, Alumni, Bandung, 1986. 95 Sarundajang, Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah, Pustaka, Jakarta, 2005, hlm 240. 96 S. P. Siagian, Filsafat Aministrasi, Gunung Agung, Jakarta, 1990, hlm. 107.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 103
Menurut Sujamto pengawasan adalah "segala usaha atau kegiatan untuk
mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan
tugas dan kegiatan, sudah sesuai dengan yang semestinya atau tidak". Adapun
batasan pengendalian sebagai "segala usaha atau kegiatan untuk menjamin dan
mengarahkan agar pekerjaan yang sedang dilaksanakan dapat berjalan dengan
semestinya".97 Jadi, baik pengawasan maupun pengendalian, kedua-duanya
adalah berupa usaha atau kegiatan. Sementara menurut Prayudi, pengawasan
adalah proses kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan,
atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau
diperintahkan. Hasil pengawasan harus dapat menunjukkan sampai di mana
terdapat kecocokan atau ketidakcocokan, dan apa sebab-sebabnya.98
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, pengawasan dapat bersifat (a)
politik, bilamana menjadi ukuran atau sasaran adalah efektivitas dan/atau
legitimasi; (b) yuridis (hukum), bilamana bertujuan menegakkan yuridiksitas dan
atau legalitas, (c) ekonomis, bilamana yang menjadi sasaran adalah efisiensi dan
teknologi, (d) moril dan susila, bilamana yang menjadi sasaran atau tujuan
mengetahui keadaan moralitas. Mencermati batasan beberapa pengertian pengawasan tersebut di atas,
pengawasan dapat diartikan secara luas sebagai salah satu aktivitas atau
kegiatan fungsi manajemen untuk menentukan, menilai dan mengoreksi
penyimpangan yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi berdasarkan standar
yang tetapkan peraturan perundang-undangan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pengawasan ditujukan untuk
menciptakan pemerintahan yang efisien, efektif, berorientasi pada pencapaian visi
dan misi institusi. Melalui pengawasan diperoleh: (a) menghentikan atau meniada-
kan kesalahan, penyimpangan, pemborosan, dan ketidakadilan; (b) mencegah
terulang kembali kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan,
hambatan, dan ketidak-adilan; (c) mendapatkan cara-cara yang lebih baik untuk
97 Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Gralia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 19. Lihat juga Sujamto,
Aspek-aspek Pengawasan Di Indonesia, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm. 42. 98 S. Prayudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kesepuluh, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 84.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 104
mencapai tujuan dalm melaksanakan tugas dan fungsi dan dalam rangka
pencapaian visi dan misi.
Sehubungan itu, pengawasan merupakan salah satu aspek yang sangat vital
dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Aspek pengawasan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah termasuk aspek hubungan pengawasan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan antara Pemerintah Provinsi dengan
Kota/Kabupaten Administrasi terlebih dahulu diketahui pengertian dari
pengawasan.
Pengawasan terhadap pemerintahan yang lebih rendah sesuatu yang tidak
dapat dielakkan. Dalam banyak hal, pengawasan merupakan syarat untuk dapat
mengambil kebijakan dan sebagai cara pertanggungjawaban pelaksanaan tugas
dan fungsi sesuai wewenang yang diberikan. Oleh sebab itu, pengawasan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi tanggung jawab Gubernur selaku
Kepala Daerah atas penyelenggaraan urusan pemerintahan termasuk urusan
pemerintahan di bidang perindustrian sesuai peraturan perundang-undangan
termasuk Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, dan Keputusan Gubernur.
Tanggung jawab pengawasan ada bersifat keuangan dan administratif yang
secara operasional diberikan mandat kepada Kepala SKPD/UKPD sebagaimana
diatur dalam Peraturan Daerah No. 18 Tahun 2016 tentang Organisasi Perangkat
Daerah berikut peraturan pelaksanaannya.
Pengawasan erat kaitannya dengan perencanaan, oleh karena itu dapat
dikatakan rencana menjadi tolok ukur atau alat di dalam melakukan pengawasan.
Demikian pula dalam pemberian perintah atau amanat erat kaitannya dengan
pengawasan. Oleh karenanya pengawasan merupakan “follow up” dari perintah
atau amanat yang sudah dikeluarkan atau diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana
diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014, serta ketentuan peraturan pelaksanaannya
seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan atau Keputusan Presiden,
Peraturan Menteri/Keputusan Menteri, Peraturan Daerah, Peraturan/Keputusan
Gubernur, dan Instruksi Gubernur.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 105
Berdasarkan uraian di atas, pengawasan salah satu fungsi manajemen
pemerintahan yang merupakan proses kegiatan untuk memastikan dan menjamin
tujuan dan sasaran pembangunan perindustrian tercapai. Hakikat pengawasan
dalam penyelenggaraan perindustrian mencegah sedini mungkin penyimpangan,
pemborosan, kesalahan dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran
serta pelaksanaan program dan kegiatan dalam pembangunan perindustrian baik
yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Energi maupun SKPD lain. Sasaran
pengawasan untuk mewujudkan dan meningkatkan efisiensi, efektivitas,
rasionalitas, dan kelancaran dalam pencapaian maksud dan tujuan pembangunan
perindustrian.
Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan perindustrian berdasarkan
UU No. 3 Tahun 2014, ditujukan untuk mengetahui pemenuhan dan kepatuhan
perusahaan industri dan perusahaan kawasan industri terhadap peraturan
perundang-undangan di bidang perindustrian. Pelaksanaan pengawasan dan
pengendalian tersebut diberikan kepada Menteri Perindustrian dan kepada
Pemerintah Daerah. Pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan di bidang
Perindustrian yang dilaksanakan oleh perusahaan industri dan perusahaan
kawasan industri dimaksud menurut Pasal 117 ayat (3) UU No. 3 Tahun 2014,
paling sedikit meliputi: (a) sumber daya manusia Industri; (b) pemanfaatan
sumber daya alam; (c) manajemen energi; (d) manajemen air; (e) SNI, spesifikasi
teknis, dan/atau pedoman tata cara; (f) data industri dan data kawasan industri;
(g) standar industri hijau; (h) standar kawasan industri; (i) perizinan Industri dan
perizinan Kawasan Industri; (j) keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil
produksi, penyimpanan, dan pengangkutan. Dalam hal pelaksanaan pengawasan
dan pengendalian ditemukan dugaan telah terjadi tindak pidana, maka pejabat
yang diberi tugas melaksanakan pengawasan melapor kepada Penyidik Pegawai
Negeri Sipil bidang Perindustrian. Sehubungan itu, Dinas Perindustrian dan
Energi selain memiliki tugas dan fungsi pengawasan, juga harus tersedia Penyidik
Pegawai Negeri Sipil bidang Perindustrian.
Hasil pengawasan menjadi masukan dalam pengambilan kebijakan, untuk:
(a) menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, dan hambatan
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 106
yang terjadi dalam pembangunan perindustrian; (b) mencegah terulang kembali
kesalahan dan/atau penyimpangan dari rencana yang ditetapkan; (c) mencari
cara-cara yang lebih baik atau membina yang telah baik untuk mencapai maksud
dan tujuan. Pengawasan akan bermakna, manakala diikuti dengan langkah-
langkah atau upaya tindak lanjut yang nyata dan tepat, yaitu merevisi kebijakan
yang tidak tepat dan/atau yang belum ada atau diperlukan segera ditetapkan.
Pengawasan dapat dilakukan masyarakat sebagai kontrol sosial, dan dalam
mewujudkan efisien dan efektif pembangunan perindustrian. Meningkatnya peran
aktif masyarakat dalam pengawasan mencerminkan makin tumbuh dan
meningkatnya tanggung jawab masyarakat dan/atau kepedulian masyarakat
terhadap perindustrian. Oleh karena itu, baik Dinas Perindustrian dan Energi
maupun SKPD lain yang terkait berkewajiban untuk membina masyarakat agar
peran aktif masyarakat berjalan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan. Bagaimanapun kecilnya peran masyarakat harus diperhatikan dan
dihargai.
Beberapa hal pokok yang diperlukan terhadap peran masyarakat dalam
pengawasan penyelenggaraan perindustrian, antara lain: (a) secepatnya
memberikan tanggapan dengan menjelaskan tindakan yang telah diambil, atau
menjelaskan duduk persoalan atau kebenarannya, apabila isi hasil pengawasain
tidak atau kurang benar; (b) dalam hal tanggapan belum dapat dilakukan, karena
masih memerlukan penelitian dan pengusutan, tanggapan dilakukan bertahap; (c)
mengambil langkah tindak lanjut yang tepat dalam bentuk usaha penertiban,
peningkatan, dan pembinaan untuk merehabilitasi, meningkatkan, dan membina
citra.
4.16. Sanksi
Peraturan perundang-undangan baik nasional maupun daerah merupakan
peraturan tertulis yang mengikat subjek hukum dengan hak dan kewajiban hukum
dalam bentuk kebolehan (permittere), perintah (obligattere), dan larangan
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 107
(prohibere),99 yang disusun secara sistematis sesuai asas dan prinsip-prinsip,
serta teknis pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur
dalam UU No. 12 Tahun 2011 dan sesuai kewenangan sebagaimana ditetapkan
dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 3
Tahun 2014 tentang Perindustrian.
Sanksi tidak hanya ditujukan kepada pelaku usaha di bidang industri atau
masyarakat sebagai objek hukum melainkan juga kepada pejabat dan aparatur
yang perbuatan atau tindakan bertentangan dengan norma hukum dalam
menjalankan tugas atau diluar batas wewenangnya atau dil uar prosedur
merupakan perbuatan melawan hukum,100 baik dilakukan secara sengaja maupun
akibat kelalaian, sehingga menimbulkan kewajiban secara hukum administrasi
pemerintahan, hukum perdata, dan/atau hukum pidana. Seseorang dikatakan
melakukan perbuatan melawan hukum, apabila perbuatan yang dilakukan
bertentangan dengan subjek hukum atau bertentangan dengan kewajibannya
sendiri menurut undang-undang.101 Bentuk pelanggaran tersebut dalam peraturan
perundang-undangan disebut sanksi merupakan bagian penutup yang penting
dalam hukum.102
Setiap aturan hukum di Indonesia pada umum selalu ada sanksi pada akhir aturan tersebut. Pembebanan sanksi tidak hanya terdapat dalam undang-undang dan peraturan daerah,103 melainkan juga terdapat dalam peraturan perundang-undangan lain, seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri atau bentuk lain di bawah undang-undang dan peraturan daerah, namun jenisnya berbeda dengan undang-undang dan peraturan daerah yaitu sanksi administratif. Pencantuman sanksi dalam peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban yang harus dicantumkan dalam setiap aturan hukum. Artinya kepada siapa saja yang melanggar aturan hukum tersebut akan dijatuhi sanksi administrasi, perdata, dan pidana, maka kepada pelanggar dapat dijatuhi sanksi secara kumulatif.104
99 Jimly Asshiddiqie, Op. cit, hlm. 1-2, dan hlm. 6. 100 Hartono Soenaryati, Panduan Investigasi untuk Ombudsmen Indonesia, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 2003,
hlml. 6 101 Emong Komariah Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Material Dalam Hukum Pidana Indonesia, PT. Alumni,
Bandung, Ed. 1, Cet. 1, 2003, hlm. 35. 102 Philipus M. Hardjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to The Indonesia Administrative
Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, hlm. 245. 103 Dalam Lampiran No. 90 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undang, bahwa ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan daerah. 104 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris : sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung,
2008, hlm. 90.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 108
Aturan hukum tidak dapat ditegakkan atau tidak akan dipatuhi jika pada
bagian akhir tidak mencantumkan sanksi. Tidak ada gunanya memberlakukan
kaidah-kaidah hukum manakala kaidah-kaidah tersebut tidak dapat dipaksakan
melalui sanksi dan menegakkan kaidah-kaidah dimaksud secara prosedural atau
hukum acara.105 Oleh sebab itu, sanksi selalu ada pada aturan hukum yang
dikualifikasikan sebagai aturan hukum memaksa. Ketidaktaatan atau pelanggaran
terhadap suatu kewajiban yang tercantum dalam aturan hukum mengakibatkan
terjadinya ketidak teraturan, yang sebenarnya tidak diinginkan oleh aturan hukum
bersangkutan. Hal tersebut sesuai fungsi sanksi yang dipakai untuk penegakkan
hukum terhadap ketentuan biasanya berisi suatu “perintah” dan “larangan” atau
“mewajibkan”.106 Dengan demikian, sanksi pada hakikatnya merupakan instrumen
yuridis yang biasanya diberikan apabila kewajiban atau larangan atau perintah
yang ada dalam ketentuan hukum dilanggar,107 dan dibalik ketentuan perintah
dan larangan tersedia sanksi untuk memaksa kepatuhan.108
Penerapan sanksi dalam Peraturan Daerah pada umumnya terdiri atas
sanksi administratif, dan sanksi pidana. Dengan memahami teori sanksi akan
memudahkan pengaturan sanksi dalam Rancangan Peraturan Daerah baik
kepada pelaku maupun kepada pejabat yang diberi tugas dalam kaitannya
dengan pengelolan sampah. Penjatuhan sanksi administratif, perdata, dan pidana
mempunyai sasaran, sifat, dan prosedur berbeda.109
Sanksi administratif dan sanksi perdata dengan sasaran yaitu perbuatan
yang dilakukan bersangkutan, sedangkan sanksi pidana dengan sasaran adalah
pelaku (orang) yang melakukan tindakan hukum tersebut. Sifat sanksi
administratif dan sanksi perdata reparatoir atau korektif, yaitu untuk memperbaiki
suatu keadaan agar tidak dilakukan lagi yang bersangkutan. Regresif dimaksud
adalah segala sesuatunya dikembalikan kepada suatu keadaan ketika sebelum
terjadinya pelanggaran. Dalam aturan tertentu, di samping dijatuhi sanksi
105 Philipus M. Hardjon, dkk, op cit, hlm. 262. 106 Philipus M. Hardjon, Pemerintahan menurut Hukum, Yuridika, Surabaya, 1992 hlm. 6. 107 Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Industri di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Airlangga,
Surabaya, 2004, hlm. 82. 108 Philipus M. Hardjon, op cit, hlm. 5. 109 Philipus M. Hadjon, Penegakkan Hukum Administrasi Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (Paparan dan kajian
Hukum Administrasi Positif), Makalah Lokakarya Penengakan Hukum Lingkungan, PPLH Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya, Univivesitas Airlangga, Surabaya, 1996, hlm. 12.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 109
administratif juga dapat dijatuhi sanksi pidana secara kumulatif yang bersifat
condermnator (punitif) atau menghukum.
Matrik-4.2 Perbandingan Sanksi Administratif, Perdata, dan Pidana110
Sanksi Administratif Sanksi Perdata Sanksi Pidana
Sasaran Perbuatan Perbuatan Pelaku Sifat x Reparator/Korektif
x Regresif x Condemnatoir/Punit
if (sebagai kumulasi sanksi jika diatur dalam aturan hukum yang bersangkutan).
x Reparatoir/Korektif (pemulihan/perbaikan)
x Regresif (pengembalian kepada keadaan semula)
Condemnatoir/Punitif (penghukuman / pidana)
Prosedur Langsung Gugatan perdata (pengadilan)
Pengadilan
Memahami sasaran, sifat, dan prosedur sanksi sebagaimana dikemukakan
di atas, penerapan sanksi kepada pelaku usaha dalam perindustrian tidak sulit,
karena UU No. 3 Tahun 2014 telah diatur secara tegas. Sanksi tidak saja
ditujukan kepada masyarakat melainkan juga kepada pejabat yang diberi tugas,
wewenang, dan tanggung jawab meskipun undang-undang tidak mengatur secara
tegas. Penggunaan kata “setiap orang” dalam undang-undang dapat ditafsirkan
termasuk pejabat diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab di bidangnya.
4.16.1. Sanksi Administratif
Dalam beberapa kepustakaan hukum administrasi dikenal beberapa jenis
sanksi administratif, meliputi: 111
a) Paksaan pemerintah Paksaan pemerintah sebagai tindakan nyata dari pemerintah guna mengakhiri
suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum atau bila masih
110 Habib Adjie, op. cit. hlm. 123 111 Philipus M. Hadjon, dkk, op. cit., hlm. 245, dan Habib Adjie, op. cit. hlm. 108
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 110
melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh warga masyarakat karena
bertentangan dengan undang-undang.
b) Penarikan kembali keputusan
Sanksi ini digunakan dengan mencabut atau menarik kembali suatu keputusan
atau ketetapan dengan mengeluarkan ketetap-an baru. Sanksi ini diterapkan
dalam hal terjadi pada penetapan tertulis yang telah diberikan, juga terjadi
pada pelanggaran berkaitan dengan izin yang dipegang oleh si pelanggar.112
Dalam keadaan tertentu sanksi ini tidak terlalu perlu didasarkan pada
peraturan perundang-undangan, apabila keputusan atau ketetapan untuk
waktu yang tidak tertentu dan menurut sifatnya dapat diakhiri atau ditarik
kembali izin, dan penarikan kembali tidak dapat diadakan secara berlaku
surut.113 Pencabutan atau penarikan kebijakan atau keputusan merupakan
suatu sanksi situatif yaitu sanksi yang dikeluarkan bukan dimaksudkan
sebagai reaksi terhadap perbuatan tercela dari segi moral, melainkan untuk
mengakhiri keadaan yang secara objektif tidak dapat dibenarkan lagi.114
c) Pengenaan denda administratif
Sanksi pengenaan denda administratif ditujukan kepada yang melanggar
peraturan perundang-undangan tertentu, dan kepada pelanggar dikenakan
sejumlah uang tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan
kepada pemerintah diberikan wewenang untuk menerapkan sanksi tersebut.
d) Pengenaan uang paksa oleh pemerintah
Sanksi pengenaan uang paksa oleh pemerintah ditujukan untuk menambah
hukuman, di samping denda yang telah disebutkan dengan tegas dalam
peraturan perundang-undangan bersangkutan.
Menurut Pasal 238 ayat (5) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, bahwa Peraturan Daerah dapat memuat sanksi administratif, berupa: (a)
teguran lisan; (b) teguran tertulis; (c) penghentian sementara kegiatan; (d)
penghentian tetap kegiatan; (e) pencabutan sementara izin; (f) pencabutan tetap 112 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I, Beberapa Pengertian
Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hlm. 242. 113 Philipus M. Hadjon, dkk, op. cit., hlm. 247. 114 Indroharto, op. cit. hlm. 243.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 111
izin; (g) denda administratif; dan/atau (h) sanksi administratif lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Di dalam UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian terdapat beberapa
pasal menerapkan sanksi administratif. Sanksi administratif dimaksud antara lain
sebagai berikut: Pasal 25 (5) Untuk jenis pekerjaan tertentu di bidang Industri, Menteri menetapkan
pemberlakuan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia secara wajib.
(6) Dalam hal Menteri menetapkan pemberlakuan Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri wajib menggunakan tenaga kerja Industri yang memenuhi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia.
(7) Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang tidak
menggunakan tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara; d. pembekuan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri;
dan/atau e. pencabutan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri.
Pasal 30 (1) Sumber daya alam diolah dan dimanfaatkan secara efisien, ramah
lingkungan, dan berkelanjutan. (2) Pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilakukan oleh: a. Perusahaan Industri pada tahap perancangan produk, perancangan
proses produksi, tahap produksi, optimalisasi sisa produk, dan pengelolaan limbah; dan
b. Perusahaan Kawasan Industri pada tahap perancangan, pembangunan, dan pengelolaan Kawasan Industri, termasuk pengelolaan limbah.
(5) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 112
d. pembekuan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri; dan/atau
e. pencabutan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri.
Pasal 39 (1) Dalam keadaan tertentu, Pemerintah dapat melakukan pengadaan
Teknologi Industri melalui proyek putar kunci. (2) Penyedia teknologi dalam proyek putar kunci wajib melakukan alih
teknologi kepada pihak domestik. (4) Penyedia teknologi dalam proyek putar kunci yang tidak melakukan alih
teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; dan/atau c. penghentian sementara.
Pasal 60 (1) Setiap Orang yang membubuhkan tanda SNI atau tanda kesesuaian
pada barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi ketentuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a dikenai sanksi administratif.
(2) Pelaku usaha atau pemilik barang dan/atau Jasa Industri yang tidak
menarik barang dan/atau menghentikan kegiatan Jasa Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dikenai sanksi administratif.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara; d. pembekuan izin usaha Industri; dan/atau e. pencabutan izin usaha Industri.
Pasal 70 (1) Setiap Perusahaan Industri yang tidak menyampaikan Data Industri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dan Perusahaan Kawasan Industri yang tidak menyampaikan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1), Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memberikan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 113
d. pembekuan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri; dan/atau
e. pencabutan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri. (2) Pejabat dari instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang
menyampaikan dan/atau mengumumkan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembebasan dari jabatan; c. penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling
lama 1 (satu) tahun; d. penurunan pangkat pada pangkat setingkat lebih rendah untuk paling
lama 1 (satu) tahun; e. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri;
dan/atau f. pemberhentian dengan tidak hormat.
Pemberian sanksi administratif yang ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun 2014
ada yang dilakukan oleh Menteri dan Kepala Daerah sesuai kewenangannya.
Tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam PP No. 41 Tahun 2015
tentang Pembangunan Sumber Daya Industri sebagai berikut: Pasal 40 Setiap Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang menggunakan Tenaga Kerja Industri yang tidak memenuhi SKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara; d. pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri;
dan/atau e. pencabutan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri. Pasal 12 (1) Untuk jenis pekerjaan tertentu di bidang Industri, Menteri menetapkan
pemberlakuan SKKNI secara wajib. (3) Dalam hal Menteri menetapkan pemberlakuan SKKNI secara wajib
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri wajib menggunakan Tenaga Kerja Industri yang memenuhi SKKNI.
Pasal 41 Setiap Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang tidak melaksanakan Pemanfaatan Sumber Daya Alam secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 114
a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara; d. pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri;
dan/atau e. pencabutan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri. Pasal 19 ayat (1) dimaksud sebagai berikut: Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri wajib memanfaatkan Sumber Daya Alam secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Pasal 42 (1) Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan-
nya mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41 kepada Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan berdasarkan hasil pemeriksaan atas laporan yang berasal dari: a. pengaduan; dan/atau b. tindak lanjut hasil pengawasan.
Dalam penjelasan Laporan berdasarkan pengaduan dapat dilakukan oleh warga masyarakat, baik perorangan maupun kelompok, atau lembaga kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
Pasal 43 (1) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan ditemukan bahwa Perusahaan
Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) atau Pasal 19 ayat (1), Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling
banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari.
Pasal 44 (1) Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang telah
dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan tidak memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa denda administratif.
(2) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan
paling banyak:
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 115
a. 1% (satu persen) dari nilai investasi bagi Perusahaan Industri; dan b. 1 o/oo (satu per mil) dari nilai investasi bagi Perusahaan Kawasan
Industri. (3) Pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak surat pengenaan denda administratif diterima.
(4) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
penerimaan negara bukan pajak atau penerimaan daerah. Pasal 45 (1) Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang tidak
memenuhi kewajibannya dan tidak membayar denda administratif dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara.
(2) Dalam hal Perusahaan Industri dan/atau Perusahan Kawasan Industri
telah membayar denda administratif tetapi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal batas waktu pembayaran denda administratif tidak memenuhi kewajibannya, dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara.
(3) Penutupan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat penutupan sementara diterima.
(4) Perusahaan Industri yang berada dalam Kawasan Industri yang dikelola
oleh Perusahaan Kawasan Industri yang dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara, tetap dapat menjalankan kegiatan produksinya sesuai dengan izin yang dimilikinya.
Pasal 46 (1) Dalam hal Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri
sejak tanggal berakhirnya sanksi administratif berupa penutupan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) tidak memenuhi kewajibannya dan/atau tidak membayar denda administratif, dikenai sanksi administratif berupa pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri.
(2) Pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterbitkan Surat Penetapan Pembekuan.
(3) Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri yang telah
memenuhi kewajiban membayar denda administratif dan memenuhi kewajibannya dapat mengajukan permohonan pemulihan status pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industrinya.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin
Usaha Kawasan Industri diatur dengan Peraturan Menteri.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 116
Pasal 47 (1) Dalam hal Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri
sejak tanggal berakhirnya sanksi administratif berupa pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) tidak memenuhi kewajibannya dan/atau tidak membayar denda administratif, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pencabutan Izin Usaha Industri atau Izin
Usaha Kawasan Industri diatur oleh Menteri. Pasal 48 Dalam hal pelanggaran terhadap Pasal 12 ayat (3) atau Pasal 19 ayat (1) telah menimbulkan bahaya keamanan, keselamatan, kesehatan, dan/atau lingkungan terhadap Tenaga Kerja Industri dan/atau produk yang dihasilkan, Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri dikenai sanksi administratif tanpa melalui tahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41. Pasal 49 Gubernur dan bupati/walikota wajib menyampaikan laporan pembekuan, pemulihan status pembekuan, dan pencabutan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri kepada Menteri.
4.16.2. Sanksi Ketentuan Pidana
Ketentuan pidana di dalam Peraturan Daerah sesuai Pasal 238 UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa Perda dapat
memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan
Perda seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan
paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah). Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan atau
pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sanksi pidana yang ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun 2014 terhadap
pelanggaran ketentuan Pasal 53 ayat (1) bahwa setiap Orang dilarang: (a)
membubuhkan tanda SNI atau tanda kesesuaian pada barang dan/atau Jasa
Industri yang tidak memenuhi ketentuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 117
pedoman tata cara; atau (b) memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan
barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis,
dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib. Bentuk sanksi
pidana atas pelanggaran tersebut dalam UU No. 3 Tahun 2014 sebagai berikut:
Pasal 120 (1) Setiap Orang yang dengan sengaja memproduksi, mengimpor, dan/atau
mengedarkan barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 120 (2) Setiap Orang yang karena kelalaiannya memproduksi, mengimpor,
dan/atau mengedarkan barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Meskipun Pemerintah Daerah diberikan wewenang oleh undang-undang
memberikan sanksi pidana atas pelanggaran sebagian atau seluruh ketentuan
yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah, namun hal tersebut sulit dilakukan
karena dalam pelaksanaannya Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya memiliki
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bidang industri bertugas melakukan
penyidikan atas pelanggaran Peraturan Daerah dan memiliki kurungan. Pada saat
Hakim menetapkan keputusan kepada pelanggar berupa denda dalam jumlah
tertentu, si penanggar tidak memiliki uang, maka Hakim memutuskan berupa
kurungan dalam waktu tertentu, sementara Pemerintah Daerah tidak memiliki
kuruangan. Oleh sebab itu, Ketentuan Pidana dalam Peraturan Daerah sesuai
yang ditetapkan dalam undang-undang.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 118
4.17. Penyidikan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka. Penyidikan
tersebut merupakan tugas dan wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
bidang perindustrian. Tata cara penyidikan diatur dalam Pasal 106 sampai
dengan Pasal 136 UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP).
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981, dan Pasal 4
ayat (1) Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah,
bahwa penyidik (PPNS) dalam melaksanakan tugas penyidikan atas pelanggaran
Peraturan Daerah mempunyai wewenang sebagai berikut: (a) menerima laporan
atau pengaduan dari seseorang mengenai adanya tindak pidana atas
pelanggaran Peraturan Daerah; (b) melakukan tindak pertama dan pemeriksaan
di tempat kejadian; (c) menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka; (d) melakukan penyiataan benda atau surat; (e)
mengambil sidik jari dan memotret seseorang; (f) memanggil orang untuk
didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (g) mendatangkan orang
ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; (i)
mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik
bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak
pidana dan selanjutnya melalui penyidik memberitahukan hal tersebut kepada
penuntut umu, tersangka atau keluarganya; (i) mengadakan tindakan lain menurut
hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Lebih jauh menurut Pasal 4 ayat (2),
bahwa PPNS tidak berwenang melakukan penangkapan atau penahanan.
PPNS mempunyai kewajiban sesuai dengan bidang tugasnya, meliputi: (a)
melakukan penyidikan, menerima laporan, dan pengaduan mengenai terjadinya
pelanggaran atas Peraturan Daerah; (b) menyerahkan hasil penyidikan kepada
Penuntut Umum melalui Penyidik POLRI dalam wilayah hukum yang sama; (c)
membuat Berita Acara setiap tindakan. Berita Acara yang dimaksud adalah
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 119
pemeriksaan tersangka, pemasukan rumah, penyitaan barang, pemeriksaan
saksi, dan pemeriksaan tempat kejadian.
Atas laporan dan/atau pengaduan menurut Pasal 108 UU No. 8 Tahun 1981,
menentukan bahwa : (a) setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan
atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk
mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyidik baik lisan maupun tertulis;
(b) setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau
terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada
penyidik; (c) setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang
mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib
segera melaporkan hal itu kepada penyidik; (d) laporan/pengaduan yang diajukan
secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu; (e) laporan atau
pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan ditanda-
tangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik; (f) setelah menerima laporan
atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda
penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.
Sesuai ketentuan tersebut di atas, secara umum mengatur hak dan
kewajiban setiap orang, kewajiban setiap pegawai negeri sipil, dan kewajiban
PPNS.
1. setiap orang berhak mengajukan laporan atau pengaduan, dan berkewajiban
untuk seketika itu melaporkan permufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana (dalam hal ini pelanggaran atas ketentuan Peraturan Daerah yang
menjadi bidang tugas PPNS), yang diketahui, menandatangani laporan atau
pengaduan;
2. PPNS wajib melaporkan terjadinya peristiwa pidana yang diketahui dalam
rangka pelaksanaan tugasnya;
3. PPNS wajib menerima laporan atau pengaduan, wajib mencatat atau
membuat berita acara laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan
serta menanda tangani berita acara tersebut, dan wajib memberikan surat
pemerimaan laporan atau pengaduan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 120
Selain menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diuraikan di atas,
PPNS wajib melakukan tindakan apabila tindakan pidana tertangkap tangan oleh
PPNS sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 111 UU No. 8 Tahun 1981, setiap
orang yang mempunyai wewenang dalam tugas di bidang kebersihan wajib
menangkap tersangka guna diserahkan berserta atau tanpa barang bukti kepada
penyelidik atau penyidik. Dari ketentuan tersebut, kata-kata berhak berarti orang
yang melihat atau mempergokinya, boleh menggunakan haknya menangkap.
Mengingat PPNS tidak berwenang menangkap, maka tersangka langsung
diserahkan kepada Penyidik POLRI beserta barang buktinya atau tanpa barang
bukti. Di samping itu, dari ketentuan tersebut bahwa setiap orang atau aparat
yang bertugas di bidang perindustrian wajib menangkap tersangka dan segera
menyerahkan kepada Penyidik POLRI beserta barang bukti atau tanpa barang
bukti.
Tata cara pemeriksaan dan proses penyidikan terhadap tindak pidana baik
yang tertangkap tangan maupun tidak tertangkap tangan, diawali dengan
pemanggilan saksi dan tersangka untuk tidak tertangkap tangan. Untuk
kepentingan pemeriksaan, PPNS memiliki wewenang melakukan pemanggilan
terhadap tersangka dan/atau saksi. Pengertian tersangka adalah orang yang
berdasarkan bukti permulaan cukup patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Sedangkan pengertian saksi adalah mereka yang dianggap perlu diperiksa untuk
membuktikan tindak pidana yang dipersangkaan kepada tersangka.
Dalam melakukan pemanggilan saksi hendaknya diperhatikan kriteria
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 26 UU No. 8 Tahun 1981, yaitu mereka
yang mendengar sendiri, mereka yang melihat sendiri, mereka yang mengalami
sendiri peristiwa pidanaan, dan mereka yang dapat menjelaskan sumber
pengetahuannya tentang apa yang di dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri.
Bentuk pemanggilan tidak dapat dilakukan melalui telepon, melain secara
tertulis memuat : (a) nama dan alamat yang jelas dari orang yang dipanggil; (b)
nama PPNS yang harus ditemui; (c) tempat atau alamat kantor dimana panggilan
harus memenuhi; (d) waktu (hari, tanggal, bulan, tahun, dan jam) panggilan harus
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 121
dihadiri; (e) status orang yang dipanggil, apakah sebagai tersangka atau sebagai
saksi; (f) uraian singkat kasus tindak pidana yang terjadi dan pasal tindak
pidananya sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah. Dalam menentukan
waktu, yang harus diperhatikan tenggang waktu pemanggilan yang wajar dan
layak dengan memperhatikan tempat tinggal yang dipanggil dengan alamat kantor
PPNS sebagaimana diatur dalam Pasal 227 UU No. 8 Tahun 1981.
Mekanisme pemanggilan dapat dilakukan PPNS, dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. surat panggilan disampaikan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum
tanggal hadir yang ditentukan (Pasal 227 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981);
2. surat panggilan disampaikan langsung di tempat tinggal orang yang dipanggil,
PPNS harus mendatangi sendiri, bertemu dan berbicara langsung dengan
orang yang dipanggil (Pasal 227 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981);
3. apabila tempat tinggal tidak diketahui dengan pasti atau PPNS tidak
menjumpai alamat tempat tinggal tersangkat, panggilan disampaikan di tempat
kediaman mereka yang terakhir (Pasal 227 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981);
4. PPNS yang menjalankan panggilan diwajibkan membuat catatan yang
menerangkan bahwa panggilan telah diterima oleh yang bersangkutan, dan
kedua belah membubuhkan tanggal dan tanda tangannya. Apabila yang
dipanggil tidak mau menanda tangani maka PPNS harus mencatat alasannya
(Pasal 227 ayat (3) UU No. 8 tahun 1981);
5. Apabila yang dipanggil tidak dijumpai alamat atau salah alamat, maka surat
panggilan dapat disampaikan melalui Lurah atau pejabat lain (misalnya Ketua
RT atau Ketua RW) di tempat yang dipanggil beralamat, untuk selanjutnya
PPNS menempelkan surat panggilan di papan pengumuman (Pasal 227 ayat
(1) UU No. 8 Tahun 1981).
Memenuhi panggilan merupakan kewajiban bagi setiap orang baik sebagai
tersangka maupun saksi atau ahli. Hal tersebut diatur dalam Pasal 112 ayat (2)
UU No. 8 Tahun 1981, bahwa orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik
dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 122
petugas membawa kepadanya. Panggilan tidak dapat diwakilkan kepada orang
lain karena asas atau prinsip pemeriksaan langsung kecuali tindak pidana
pelanggaran lalu lintas tersangka dapat menunjuk orang lain dengan surat kuasa
khusus untuk mewakilinya.
Apabila yang dipanggil tidak datang tanpa alasan, PPNS memanggil sekali
lagi (panggilan kedua kalinya). Bila panggilan kedua juga tidak dipatuhi tanpa
alasan yang sah, PPNS memerintahkan kepada Petugas Polisi untuk membawa
ke hadapan PPNS. (Pasal 112 UU No. 8 Tahun 1981). Dalam hal tersangka atau
saksi yang dipanggil tidak dapat hadir dengan alasan yang patut dan wajar bahwa
yang bersangkutan tidak dapat datang kepada PPNS, maka PPNS datang ke
tempat kediamannya (Pasal 113 UU No. 8 Tahun 1981).
Pada saat dilakukan pemeriksaan tersangka, PPNS wajib memberitahu-kan
kepada tersangka tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau
apabila dalam perkaranya wajib didampingi oleh penasihat hukum sebagaimana
diatur dalam Pasal 56 dan Pasal 114 UU No. 8 Tahun 1981, bahwa penyidik wajib
menunjuk penasihat hukkum bagi tersangka. Kepada tersangka diberikan
penjelasan singkat mengenai maksud dan tujuan dilakukan pemeriksaan dan
tindak pidana yang dilakukan. Selain itu, kepada tersangka ditanyakan mengenai
kesehatan dan kesiapannya untuk diperiksa. Hal tersebut dimaksudkan untuk
memberikan kesempatan kepada tersangka mempersiapkan diri untuk pembelaan
sejak dilakukan penyidikan sebagai penerapan prinsip praduga tak bersalah.
Keterangan atau jawaban yang diberikan tersangka kepada penyidik (PPNS)
harus disampaikan dalam keadaan bebas, tidak boleh ada tekanan dari siapapun
juga dan dalam bentuk apapun juga (Pasal 117 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981).
Dalam memberikan keterangan harus bebas berdasar kehendak dan kesadaran
nuraninya, tidak boleh memungkiri perbuatan yang dipersangkaan. Tidak boleh
ada paksaan dengan cara apapun baik penekanan fisik dengan kekerasan atau
penganiayaan atau tekanan dan paksaan batin berupa ancaman intimidasi atau
intrik-intrik yang berasal dari penyidik (PPNS) maupun dari luar.
Dalam pemeriksaan, kepada tersangka ditanyakan apakah yang
bersangkutan menghendaki saksi, dicatat dalam berita acara pemeriksaan, untuk
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 123
selanjutnya PPNS wajib memanggil dan memeriksa saksi sebagaimana diatur
dalam Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 8 Tahun 1981.
Keterangan tersangka mengenai apa yang dilakukan sehubungan tindakan
pidana yang dipersangkakan, dicatat oleh PPNS dalam berita acara sesuai apa
yang disampaikan tersangka sebagaimana diatur dalam Pasal 117 ayat (2) UU
No. 8 Tahun 1981. Setelah selesai, keterangan yang dicatat dalam berita acara
dinyatakan dan dimintakan persetujuan tersangka mengenai kebenaran isi berita
acara. Persetujuan dapat dilakukan PPNS dengan cara membaca kembali isi
berita acara atau tersangka membaca sendiri. Apabila tersangka menyetujui dan
tidak ada perubahan isi berita acara, selanjutnya tersangka dan PPNS masing-
masing membubuhkan tanda tangan dalam berita acara pemeriksaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 118 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981. Untuk
menghindari dan kemungkinan dikemudian hari tersangka memungkiri isi berita
acara, biasanya dalam pemeriksaan pihak tersangka dimina menulis sendiri
jawaban-nya dengan tulisan tangan.
Dalam hal tersangka tidak mau menandatangani berita acara pemeriksaan,
PPNS mencatat dalam berita acara dengan menyebutkan alasan sebagaimana
diatur dalam Pasal 118 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981.
Pemeriksaan saksi dengan “tidak disumpah” kecuali ada cukup alasan untuk
diduga bahwa saksi tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan
(Pasal 116 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981). Pemeriksaan saksi tanpa disumpah
merupakan salah satu prinsip pemeriksaan dalam tahapan penyidikan. Berbeda
halnya dengan pemeriksaan saksi di muka persidangan pengadilan, dimana saksi
di sumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan kepada Hakim.
Berdasarkan ketentuan Pasal 116 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 selain
menegaskan prinsip tersebut di atas, juga mengatur pengecualian prinsip
pemeriksaan saksi tanpa di sumpah. Apabila ada cukup alasan untuk menduga
bahwa saksi tidak akan dapat hadir nantinya di persidangan pengadilan, maka
saksi dapat disumpah untuk menguatkan keterangannya yang diberikan atau
disampaikan dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan saksi yang diberikan
dibawah sumpah menurut Pasal 162 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981, sama nilai
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 124
kekuatan buktinya dengan keterangan saksi yang diberikan di sidang pengadilan
dengan di bawah sumpah. Alasan yang dimaksud misalnya seorang saksi warga
negara asing, tidak lama tinggal di Indonesia atau segera pulang negaranya,
dianggap cukup alasan bersangkutan tidak akan dapat hadir di persidangan, oleh
karenanya dapat di sumpah atau mengucapkan janji dalam pemeriksaan
penyidikan bahwa keterangan yang sebanar-benarnya. Penyumpahan harus
dituangkan dalam berita acara sumpah. Keterangan saksi yang disumpah dalam
tahap penyidikan ternyata di persidangan yang bersangkutan tidak dapat hadir,
maka keterangan tersebut dapat dibacakan dan nilai pembuktian sama dengan
keterangan saksi yang diberikan di bawah sumpah pemeriksaan di pengadilan
(Pasal 162 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981).
Dalam hal pemeriksaan terhadap seorang ahli tidaklah mutlak, tidak seperti
pemeriksaan saksi. Apabila PPNS “menganggap perlu”, dapat diminta pendapat
orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus sebagaimana diatur dalam
Pasal 120 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981. Keterangan ahli merupakan salah satu
alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981.
Pengertian keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
suatu perkara guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 angka 28 UU No. 8 Tahun
1981).
Pemeriksaan ahli berbeda dengan pemeriksaan saksi sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya, dimana dalam pemeriksaan ahli, PPNS terlebih dahulu
mengambil sumpah atau janji kepada ahli tersebut bahwa ahli tersebut
memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya (Pasal
120 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981). Ahli tersebut dapat menolak memberikan
keterangan yang diminta apabila disebabkan karena harkat, serta martabat,
pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia jabatannya.
Keterangan ahli yang diberikan oleh ahli dalam dalam bentuk lisan dan bersifat
langsung kepada penyidik (PPNS). Dalam pemeriksaan terhadap alat bukti surat
atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh PPNS, untuk
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 125
kepentingan penyidikan, PPNS dapat meminta keterangan ahli mengenal hal
tersebut dapat dalam bentuk tertulis.
PPNS setelah melakukan tindakan penyidikan atau melakukan serangkaian
tindakan mencari dan mengumpulkan bukti, antara lain melakukan pemeriksaan
saksi, pemeriksaan tersangka, melakukan penggeledahan, penyitaan, serta
tindakan lain sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
termasuk Peraturan Daerah, selanjutnya PPNS menganalisa dan mengambil
kesimpulan serta pendapat atas hasil penyidikan yang dilakukan. Semua tindakan
yang dilakukan dituangkan dalam Berita Acara untuk kemudian disusun dan
dihimpun menjadi satu berkas hasil penyidikan.
Pendapat PPNS atas hasil penyidikan pelanggaran atas ketentuan
Peraturan Daerah, ada dua kemungkinan. Pertama, hasil penyidikan tidak layak
menurut hukum untuk diteruskan kepada penuntut umum sehingga oleh
karenanya penyidikan dihentikan sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2)
UU No. 8 Tahun 1981. Kedua, hasil penyidikan memenuhi syarat dan cukup bukti
perbuatan tersangka melakukan tindakan pidana, sehingga layak menurut hukum
untuk diserahkan kepada penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 110
ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981.
Dalam hal penghentian penyidikan, apabila hasil penyidikan tidak layak
menurut hukum untuk diteruskan kepada penuntut umum, meliputi: (a) perbuatan
tersangka tidak cukup bukti; (b) peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan
tindakan pidana; (c) penyidikan dihentikan demi hukum. Berdasarkan alasan-
alasan tersebut, PPNS menghentikan penyidikannya sebagaimana diatur dalam
Pasal 109 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981, yang dalam praktek dilakukan dengan
membuat Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), untuk selanjutnya
diberitahu kepada penuntut umum melalui Penyidik POLRI, dan tersangka, atau
keluarganya. Berdasarkan Pasal 80 UU No. 8 Tahun 1981, SP3 disampaikan
kepada saksi pelapor sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Dengan
penyampaian SP3 kepada saksi pelapor, maka yang bersangkutan mengetahui
penyelesaian dari perkara yang dilaporkan. Apabila tidak puas yang bersang-
kutan memiliki upaya hukum untuk mengajukan pra peradilan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 126
Penghentian penyidikan yang didasarkan pada alasan tidak cukup bukti
misalnya tersangka memungkiri atas perbuatan pidana yang dipersangkakan
dengan memberikan alibi, bukti bahwa tersangka berada di tempat lain ketika
terjadinya tindak pidana. Kemungkinan lain juga karena alat bukti yang
diungkapkan tidak memenuhi minimum pembuktian, yaitu kurang dari 2 (dua) alat
bukti.
Penghentian penyidikan yang didasarkan pada alasan bahwa peristiwa
tersebut bukan merupakan tindak pidana, adalah perbuatannya terbukti akan
tetapi perbuatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata atau
perbuatan tersebut bukan kejahatan maupun bukan pelanggaran. Sedangkan
penghentian penyidikan yang didasarkan alasan demi hukum adalah karena
berdasarkan hukum dalam hal ini peraturan perundang-undangan pidana, hasil
penyidikan yang dilakukan tidak mengkin diteruskan kepada penuntut umum
maupun dilimpahkan ke pengadilan negeri.
Sesuai ketentuan Pasal 110 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981, bilamana
penyidik (dalam hal ini PPNS) telah selesai melakukan penyidikan, penyidik
(dalam hal ini PPNS) wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut
umum. Mengingat PPNS dibawah koordinasi dan pengawasan Penyidik POLRI,
maka penyampaikan berkas kepada penuntut umum melalui Penyidik POLRI.
Apabila penuntut umum berpendapat hasil penyidikan yang dilakukan PPNS
masih kurang lengkap, dalam waktu 7 (tujuh) hari memberitahukan kepada
penyidik (Pasal 138 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981), dan dalam waktu 14 (empat
belas) hari sejak tanggal penerimaan berkas perkara, mengembalikan berkas
perkara tersebut kepada penyidik (dalam hal ini PPNS) disertai petunjuk tentang
hal yang dilakukan untuk dilengkapi (Pasal 110 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981).
PPNS wajib melakukan penyidikan tambahan sesuai petunjuk penuntut
umum dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal penerimaan berkas.
PPNS harus sudah penyampaikan kembali berkas perkara kepada penuntut
umum melalui Penyidik POLRI sebagaimana diatur dalam Pasal 110 ayat (3) dan
Pasal 138 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 127
PPNS dianggap selesai melakukan tugasnya, apabila penuntut umum telah
memberitahukan kepada PPNS bahwa hasil penyidikan sudah lengkap serta
tersangka dan barang bukti diserahkan oleh PPNS kepada penuntut umum
melalui Penyidik POLRI (Pasal 138 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (3) UU No. 8 Tahun
1981. Selain itu, dalam waktu 14 (empat belas) hari penuntut umum tidak
mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut
berakhir telah ada pemberintahuan tentang lengkapnya hasil penyidikan dari
penuntut umum kepada PPNS, diikuti dengan penyerahan tanggung jawab
tersangka dan barang bukti dari PPNS kepada penuntut umum sebagaimana
diatur dalam Pasal 110 ayat (4) dan Pasal 8 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1981.
Dari uraian tersebut di atas, yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh
PPNS dalam melakukan penyidikan di bidang industri, sebagai berikut:
1. Teliti identitas tersangka agar tidak terjadi kekeliruan dengan cara
pengecekan/pemeriksaan kartu identitas yang dibawa (misalnya KTP, SIM,
atau lainnya);
2. Tunjukan hak-hak tersangka untuk mendapatkan Bantuan Hukum (Penasehat
Hukum/Pengacara) atas tuduhan pelanggaran yang dilakukan;
3. Setelah melakukan wawancara/interview, kemudian dilakukan interogasi
dengan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersangka seperti yang
telah dipersiapkan sebelumnya;
4. Setelah selesai pembuatan BAP tersangka diperintahkan untuk meneliti dan
membaca/dibacakan dengan bahasa yang mudah dimengerti, selanjutnya
ditandatangani, serta membuat Surat Pernyataan yang dapat dipergunakan
sebagai bukti/dasar untuk diajukan ke Pengadilan Negeri setempat;
5. Apabila dalam pelaksanaan operasional ada penyitaan barang, jika pemeriksa
dianggap cukup selesai barang bukti harus segera dikembalikan lagi kepada
tersangka dengan dibuatkan Berita Acara Pengembalian Barang Bukti.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, pelanggaran pidana yang ditetapkan di
dalam Peraturan Daerah tidak dapat dilaksanakan oleh PPNS sendiri harus
disertai aparat Kepolisian dan Hakim apabila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4 - 128
melakukan operasi yustisi penyelenggaraan perindustrian. Pada dasarnya operasi
yustisi dilakukan dengan sistem peradilan di tempat dan pada saat itu pula
kepada tersangka yang terbukti telah melakukan pelanggaran diputus/diadili
Hakim yang mengadili perkara tersebut.
Mencermati uraian tersebut di atas, sanksi pidana di dalam Peraturan
Daerah sulit dilaksanakan oleh Dinas Perindustrian dan Energi, karena jumlah
PPNS tidak memadai. Meskipun demikian, dapat dilakukan oleh PPNS yang
berada di Satpol PP sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 bahwa
untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah dan
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan
Polisi Pamong Praja. Anggota Satuan Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai
penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Polisi Pamong Praja diberikan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 6
PP No. 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja antara lain sebagai
berikut: (a) melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga
masyarakat, aparatur, atau badan hukum melakukan pelanggaran atas Peraturan
Daerah dan/atau Peraturan Gubernur; (b) melakukan tindakan penyelidikan
terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan
pelanggaran atas Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Gubernur; (c) melakukan
tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum
yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan/atau Peraturan
Gubernur.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 1
Bab 5 MATERI MUATAN RAPERDA
5.1. Judul Rancangan Peraturan Daerah
Merujuk pada ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undang, bahwa judul suatu peraturan perundang-undangan
mencerminkan materi muatan atau substansi yang diatur dengan ketentuan
sebagai berikut:
Nama peraturan perundang-undangan dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi peraturan perundang-undangan.
Sehubungan ketentuan tersebut di atas, maka Judul Rancangan Peraturan
Daerah sebagai berikut:
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH
KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TENTANG
PERINDUSTRIAN
Makna “Perindustrian” pada judul sesuai dengan pengertian perindustrian
sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 3 Tahun 2014, adalah
tatanan dan segala kegiatan yang bertalian dengan kegiatan industri. Makna kata
“kegiatan” industri pada definisi tersebut, dapat ditafsirkan sebagai suatu proses.
Kegiatan industri terjadi karena ada sumber produksi seperti bahan baku/
penolong, tenaga kerja, prasarana dan sarana (peralatan), serta teknik produksi
untuk menghasilkan barang dan/atau jasa tertentu. Dengan demikian kegiatan
industri ditandai dengan adanya suatu input, suatu proses produksi, dan suatu
output.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 2
5.2. Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis
Menurut UU No. 12 Tahun 2011, landasan filosofis merupakan pertimbangan
atau alasan menggambarkan Peraturan Daerah dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan
serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejalan
pengertian tersebut, landasan filosofis Rancangan Peraturan Daerah tentang
Perindustrian, sebagai berikut:
bahwa perindustrian diselenggarakan berdasarkan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi daerah dan nasional, maka diperlukan industri yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Industri yang kokoh sebagai penggerak perekonomian daerah dengan ciri
sebagai berikut: (a) mempunyai kaitan (linkage) yang kuat dan sinergis antar sub
bidang industri dan dengan berbagai bidang ekonomi lainnya; (b) memiliki
kandungan lokal yang tinggi; (c) menguasai pasar domestik; (d) memiliki produk
unggulan industri masa depan; (e) dapat tumbuh secara berkelanjutan; (f)
mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap berbagai gejolak perekonomian.
Selain itu, sinergitas yang kuat antara industri kecil, menengah, dan besar yang
menjalankan perannya sebagai sebuah rantai pasok (supply chain), dibangun
melalui hubungan saling menguntungkan dan saling membutuhkan antar usaha
bidang industri baik lingkup daerah maupun nasional.
Landasan sosiologis menurut UU No. 12 Tahun 2011, merupakan
pertimbangan atau alasan menggambarkan Peraturan Daerah dibentuk untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan
kebutuhan masyarakat dan Pemerintah Daerah. Atas dasar pengertian tersebut,
landasan sosiologis perlu diatur perindustrian dan/atau dibentuk Rancangan
Peraturan Daerah tentang Perindustrian, sebagai berikut:
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 3
Alternatif 1 bahwa dalam rangka menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa mendatang, diperlukan Peraturan Daerah untuk memberikan kepastian hukum agar terselenggaranya iklim usaha yang kondusif, sehingga perindustrian dapat memperkuat dan memperkukuh ketahanan industri daerah dan nasional serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Alternatif 2
bahwa kedudukan dan peran Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, penyelenggaraan perindustrian diarahkan pada industri yang menggunakan teknologi tinggi dan industri kreatif, dengan strategi meningkatkan kapasitas dan intensitas pusat kegiatan primer dan sekunder untuk mewadahi industri berskala regional, nasional, dan internasional.
Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki sumber daya alam seperti daerah lain,
karena itu modal dasar yang dimiliki untuk menghasilkan barang dan jasa melalui
kegiatan industri dan dalam penciptaan nilai tambah atau manfaat yang tinggi,
berupa: (a) sumber daya manusia yang memiliki kompetensi kerja (pengetahuan,
keterampilan, dan sikap) yang sesuai di bidang industri; (b) pengembangan,
penguasaan, dan pemanfaatan teknologi industri, kreativitas serta inovasi untuk
meningkatkan efisiensi, produktivitas, nilai tambah, daya saing, dan kemandirian.
Landasan yuridis menurut UU No. 12 Tahun 2011 merupakan pertimbangan
atau alasan menggambarkan bahwa Peraturan Daerah yang dibentuk untuk
mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi
atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Daerah. Atas dasar
pengertian tersebut, Provinsi DKI Jakarta belum memiliki Peraturan Daerah yang
mengatur perindustrian, ada perintah yang diberikan negara melalui UU No. 3
Tahun 2014 tentang Perindustrian (wewenang atribusi) kepada Gubernur selaku
Kepala Daerah, ada kewajiban pelaku usaha industri yang harus dipenuhi, maka
dengan adanya Peraturan Daerah tentang Perindustrian Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta dapat mewujudkan hak pelaku usaha dan memfasilitasi kewajiban pelaku
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 4
usaha di bidang industri. Landasan yuridis dibentuknya Rancangan Peraturan
Daerah tentang Perindustrian sebagai berikut:
bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang Pemerintah Daerah yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian serta mewujudkan hak dan kewajiban masyarakat dalam penyelenggaraan industri, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Perindustrian.
Agar maksud penyelenggaraan perindustrian dapat tercapai sebagaimana
tertuang dalam landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis tersebut di atas,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan arah dan kebijakan dalam
penyelenggaraan industri di Provinsi DKI Jakarta, antara lain penyediaan
infrastruktur industri di dalam dan di luar kawasan industri dan/atau di dalam
kawasan peruntukan industri, penyediaan alokasi dan kemudahan pembiayaan
untuk pengembangan industri, serta penetapan kebijakan yang mendukung iklim
usaha yang kondusif bagi industri.
5.3. Dasar Hukum
Beberapa peraturan perundang-undangan baik nasional maupun daerah
yang dapat dijadikan dasar hukum dibentuknya Rancangan Peraturan Daerah
tentang Perindustrian dan sebagai dasar hukum atas materi muatan yang termuat
dalam Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana telah diuraikan dalam bab
sebelumnya, meliputi:
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupakan dasar hukum konstitusional
bagi Pemerintahan Daerah membentuk Peraturan Daerah sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 18 ayat (6), menyatakan Pemerintahan Daerah
berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Rancangan Peraturan
Daerah tentang Perindustrian dibentuk dalam rangka pelaksanaan otonomi
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 5
daerah, karena perindustrian termasuk urusan pemerintahan pilihan yang
wajib diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki
Daerah menurut Pasal 12 ayat (3) huruf g UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan uraian di atas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atas
persetujuan DPRD Provinsi DKI Jakarta berhak dan berwewenang mengatur
urusan pemerintahan bidang perindustrian sesuai tugas, wewenang, dan
kewajiban yang ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian untuk kepentingan masyarakat dan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta.
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3209).
Pelanggaran atas ketentuan pindana yang termuat dalam Peraturan Daerah
menjadi tugas dan wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang
perindustrian. PPNS dalam melaksanakan tugas harus sesuai ketentuan
yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana. Jika dalam Peraturan Daerah tidak termuat ketentuan
pidana, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tidak diperlukan.
Tugas dan wewenang PPNS bidang perindustrian melakukan penyidikan
pelanggaran dalam penyelenggaraan perindustrian diatur dalam Pasal 119
ayat (1), selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, pejabat
pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perindustrian diberi wewenang
khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
sesuai dengan Undang-Undang ini.
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3817).
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 6
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur berbagai larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam rangka mewujudkan
tujuan penyelenggaraan perindustrian sebagaimana termuat dalam Pasal 3
huruf d UU No. 3 Tahun 2014, menyatakan mewujudkan kepastian
berusaha, “persaingan yang sehat, serta mencegah pemusatan atau
penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan
masyarakat”. Apabila pelaku usaha bidang industri melakukan persaingan
yang tidak sehat dan melakukan praktek monopoli (pemusatan atau
penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan), berarti
melanggar ketentuan yang termuat dalam UU No. 5 Tahun 1999. Yang
dimaksud persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang
dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum
atau menghambat persaingan usaha.1 Sedangkan yang dimaksud dengan
praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih
pelaku usaha mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran
atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha
tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.2 Berdasarkan uraian
tersebut, UU No. 5 Tahun 1999 harus termuat dalam Konsiderans Mengingat
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) atau menjadi dasar hukum dalam
penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta.
4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4279).
Tenaga kerja faktor penting dalam penyelenggaraan perindustrian, Oleh
sebab itu, ketersediaan tenaga kerja yang bermutu merupakan salah satu
syarat bagi peningkatan dan keberlanjutan pertumbuhan industri di Provinsi
DKI Jakarta di masa datang. Berbagai permasalahan dihadapi pelaku usaha
bidang industri antara lain, berkaitan dengan upah minimum dan kewajiban 1 Lihat Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. 2 Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 7
pembayaran pesangon tidak sesuai kemampuan perusahaan. Ketentuan
kewajiban pelaku usaha bidang industri kepada tenaga kerja tersebut sesuai
ketentuan yang ditetapkan dalam UU No. 13 Tahun 2003. Sehubungan itu,
UU No. 13 Tahun 2003 harus termuat dalam Konsiderans Mengingat
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) atau menjadi dasar hukum dalam
penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta
5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301).
Permasalahan yang dihadapi pelaku usaha di bidang industri antara lain: (a)
kualitas sumber daya manusia (SDM) lulusan sekolah menengah baik umum
maupun kejuruan secara umum masih belum memenuhi atau tidak sesuai
kebutuhan industri, terutama untuk mengisi posisi pekerja tingkat menengah;
(b) kelangkaan pasokan SDM ahli (profesional di bidang manufacturing dan
pendukung kegiatan industri lainnya). Untuk mengatasi permasalahan
tersebut pelaku usaha bidang industri menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas SDM baik melalui pendidikan
formal maupun non formal harus sesuai ketentuan yang termuat dalam UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Demikian halnya,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan kerja harus sesuai kebutuhan pelaku usaha industri. Sehubungan
itu, UU No. 20 Tahun 2003 harus termuat dalam Konsiderans Mengingat
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) atau menjadi dasar hukum dalam
penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta.
6. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
Dalam penyediaan prasarana industri termasuk infrastrukturnya harus sesuai
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi yang tertuang dalam
Rencana Induk Penyelenggaraan Perindustrian Provinsi sebagaimana diatur
dalam Pasal 10 ayat (3) huruf b UU No. 3 Tahun 2014. Permasalahan yang
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 8
terjadi di Provinsi DKI Jakarta, banyak industri khususnya industri kecil dan
menengah berada di kawasan permukiman, yang menurut UU No. 26 Tahun
2007 termasuk pelanggaran karena tidak sesuai peruntukan. Sehubungan
itu, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang harus termuat dalam
Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) atau
menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI
Jakarta.
7. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4744).
Kedudukan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota NKRI dan pelaksanaan
otonomi pada lingkup provinsi ditetapkan dalam UU No. 29 Tahun 2007.
Sehubungan itu, UU No. 29 Tahun 2007 harus termuat dalam Konsiderans
Mengingat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda). Selain itu, implikasi
kedudukan Provinsi DKI Jakarta, arah dan kebijakan Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta dalam penyelenggaraan perindustrian dimasa mendatang pada
industri kreatif dan industri yang menggunakan teknologi tinggi, industri yang
hemat lahan dan air serta industri yang berwawasan lingkungan atau industri
hijau, yaitu industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya
efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan
sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian
fungsi lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.3
8. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756).
Di dalam UU No. 40 Tahun 2007 mengatur Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan, yaitu komitmen Perseroan Terbatas (PT) untuk berperan serta
dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas
kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri,
3 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 9
komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Sehubungan itu,
UU No. 40 Tahun 2007 harus termuat dalam Konsiderans Mengingat
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) atau menjadi dasar hukum dalam
penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta.
9. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851).
Di dalam UU No. 18 Tahun 2008 ada kewajiban yang harus dilaksanakan
Pengelola Kawasan Industri dan pelaku usaha industri sebagai produsen.
Kewajiban Pengelola Kawasan Industri menurut Pasal 13 wajib menyediakan
fasilitas pemilihan sampah, sedangkan kewajiban pelaku usaha industri
sebagai produsen menurut Pasal 14 dan Pasal 15 berikut ini:
Pasal 14 Setiap produsen harus mencantumkan label atau tanda yang berhubungan dengan pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan dan/atau produknya. Pasal 15 Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini dalam menghadapi permasalahan
sampah terutama sampah kemasan dan/atau barang yang dihasilkan industri
yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. Penyelenggaraan
perindustrian di Provinsi DKI Jakarta harus mampu meminimisasi timbulan
sampah dari kegiatan industri sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun
2008. Sehubungan itu, UU Nol 18 Tahun 2008 menjadi dasar hukum dalam
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian.
10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5059).
Penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta harus memenuhi
aspek lingkungan hidup sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 10
Undang Nomor 32 Tahun 2009, seperti: dalam pengelolaan kawasan industri
harus memenuhi ketentuan berkaitan dengan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup sesuai hasil studi Analisis Dampak Lingkungan, Rencana
Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan, dan penyediaan
fasilitas pengelolaan limbah yang dihasilkan. Oleh sebab itu, UU No. 32 Tahun
2009 menjadi dasar hukum dalam pembentukan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Perindustrian.
11. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan tidak hanya menjadi pedoman dalam penyusunan
Raperda melainkan juga sebagai dasar hukum bagi Pemerintahan Daerah
bahwa Peraturan Daerah merupakan bagian dari peraturan perundang-
undangan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011
dan mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi setiap orang. Oleh sebab
itu, UU tersebut menjadi dasar hukum kedudukan Peraturan Daerah bagian
dari peraturan perundang-undangan sifatnya mengikat dan harus dipatuhi.
12. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5492).
Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 menjadi dasar hukum utama dalam
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian, karena
dalam Undang-Undang tersebut mengatur tugas, wewenang, dan tanggung
jawab Pemerintah Daerah serta kewajiban pelaku usaha di bidang industri.
13. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 120,Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5317) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679).
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 11
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, mengatur hak dan kewajiban serta
wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Daerah (dalam hal ini Gubernur
dan Perangkat Daerah) sebagai eksekutif dan DPRD sebagai legislatif dalam
rangka pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Oleh sebab itu,
UU tersebut harus termuat dalam Konsiderans Mengingat.
14. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 89,Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5305).
Peran serta Perseroan Terbatas dalam mengatasi berbagai persoalan sosial
dan lingkungan di DKI Jakarta menjadi penting melalui program Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan atau corporate social responsibility (CSR)
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012.
Tidak hanya masalah sosial melalui program CSR, melainkan lingkungan
seperti sampah yang dihasilkan atas produk yang dihasilkan industri menjadi
tanggung jawab pelaku usaha industri atau disebut Extended Producer
Responsibility (EPR). EPR salah satu strategi yang ditetapkan dalam UU No.
18 Tahun 2008 dalam mengurangi timbulan sampah. Strategi EPR dimaksud
produsen bertanggungjawab terhadap seluruh life cycle produk dan/atau
kemasan dari produk dihasilkan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 dan
Pasal 15 UU No. 18 Tahun 2008. Oleh sebab itu, PP tersebut menjadi dasar
hukum terhadap materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Perindustrian. Oleh sebab itu termuat dalam Konsiderans Mengingat.
15. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Kerja Sama Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4761).
Dalam penyediaan prasarana dan sarana perindustrian Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta dapat melakukan melalui kerjasama dengan pihak swasta dalam
seperti penyediaan kawasan industri dan sentra industri kecil dan menengah
dengan cara: (a) kerja sama pemanfaatan (KSP) barang milik daerah oleh
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 12
pihak swasta dalam jangka waktu tertentu; (b) Bangun Guna Serah (BGS)
dan Bangun Serah Guna (BSG). Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
dapat bekerjasama dengan Pemerintah Daerah lain yang memiliki potensi
sumber daya alam untuk kebutuhan bahan baku atau bahan penolong
industri kecil dan menengah. Mekanisme bentuk kerja sama diatur dalam PP
No. 50 Tahun 2007. Oleh sebab itu, PP No. 50 Tahun 2007 menjadi dasar
hukum dalam penyelenggaraan perindustrian di DKI Jakarta, maka PP
tersebut harus termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan
Daerah.
16. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4987).
PP No. 24 Tahun 2009 memberikan tugas dan wewanang kepada Gubernur
selaku Kepala Daerah dalam rangka optimalisasi pemanfaatan Kawasan Industri,
antara lain memberikan: (a) insentif dan kemudahan lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; (b) kemudahan dalam
perolehan/pembebasan lahan pada wilayah yang diperuntukkan bagi Kawasan
Industri; (c) pengarahan kegiatan Industri ke dalam Kawasan Industri. Oleh sebab
itu, PP No. 24 Tahun 2009 menjadi dasar hukum dalam materi muatan Rancangan
Peraturan Daerah, maka harus termuat dalam Konsiderans Mengingat
Rancangan Peraturan Daerah.
17. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285).
Menurut Pasal 2 PP No. 27 Tahun 2012, menyatakan bahwa setiap usaha
dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL atau UKL-UPL wajib memiliki
Izin Lingkungan yang diperoleh melalui tahapan kegiatan yang meliputi: (a)
penyusunan AMDAL dan UKL-UPL; (b) penilaian AMDAL dan pemeriksaan
UKL-UPL; (c) permohonan dan penerbitan Izin Lingkungan. Persyaratan
tersebut, menjadi persyaratan dalam mendapatkan izin usaha industri di DKI
Jakarta. Oleh sebab itu, PP No. 27 Tahun 2012 menjadi dasar hukum
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 13
terhadap materi muatan Rancangan Peraturan Daerah, maka Peraturan
Pemerintah tersebut harus termuat dalam Konsiderans Mengingat
Rancangan Peraturan Daerah.
18. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 89,Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5305).
Berbagai kebijakan Daerah telah menetapkan tanggung jawab sosial dan
lingkungan Perseroan Terbatas baik dalam bentuk Peraturan Daerah
maupun Peraturan Gubernur, antara lain Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun
2013 tentang Pengelolaan Sampah, Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2013
tentang Kesejahteraan Sosial, dan Peraturan Gubernur Nomor 112 Tahun
2013 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Dunia Usaha. Agar
Rancangan Peraturan Daerah selaras dengan kebijakan yang ada, maka
tanggung jawab sosial dan lingkungan menjadi bagian yang harus dilakukan
oleh pelaku usaha di bidang industri dan menjadi materi muatan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Perindustrian. Sehubungan itu, PP No. 47 Tahun
2012 harus termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan
Daerah.
19. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 333, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5617).
Gubernur telah menetapkan Peraturan Gubernur No. 76 Tahun 2009 tentang
Pelaksanaan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, antara
lain berasal dari kegiatan industri dan kegiatan industri yang memafaatkan
Limbah B3, harus mendapatkan izin dari Gubernur. Sehubungan itu,
pengelolaan limbah B3 menjadi bagian dari materi muatan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Perindustrian. Oleh sebab itu, PP No. 101 Tahun
2014 harus termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan
Daerah.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 14
20. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk
Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015-2035 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5671).
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 UU No. 3 Tahun 2014, menyatakan
Gubernur menyusun Rencana Pembangunan Industri Provinsi (dalam hal ini
Rencana Induk Penyelenggaraan Perindustrian) mengacu kepada Rencana
Induk Pembangunan Industri Nasional dan Kebijakan Industri Nasional.
Rencana Induk Penyelenggaraan Perindustrian merupakan bagian dari
materi muatan Raperda Penyelenggaraan Perindustrian, maka PP No. 14
Tahun 2015 termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan
Daerah.
21. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2015 tentang Pembangunan
Sumber Daya Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5708).
Sumber daya Industri menjadi materi muatan Raperda, maka PP No. 41
Tahun 2015 termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan
Daerah.
22. Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah
Dengan Badan Usaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 62).
Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 mengatur kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur yang diperlukan dalam
penyelenggaraan perindustrian. Dengan demikian, dapat mempercepat
penyediaan infrastruktur yang dibutuhkan industri, guna menciptakan iklim
investasi, untuk mendorong keikutsertaan badan usaha dalam penyediaan
infrastruktur industri dan layanan berdasarkan prinsip-prinsip usaha yang
sehat.
23. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1986 tentang Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Di Lingkungan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Lembaran
Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 1986 Nomor 86).
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 15
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan kebijakan mengenai
PPNS Daerah diantaranya bidang industri, maka PPNS Daerah Provinsi DKI
Jakarta dalam melakukan penyidikan sesuai ketentuan yang ditetapkan
dalam Peraturan Daerah No. 3 Tahun 1986. Oleh sebab itu, Perda No. 3
Tahun 1986 termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan
Daerah.
24. Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perizinan Tempat Usaha
Berdasarkan Undang-Undang Gangguan (Lembaran Daerah Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 28);
Persyaratan mendapatkan Persetujuan Prinsip Izin Usaha Industri (IUI)
antara lain Izin Undang-Undang Gangguan (Ho) sebagaimana diatur dalam
Peraturan Daerah No. 15 Tahun 2011, karena itu Perda tersebut harus
termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah.
25. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah 2030 (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Tahun 2012 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 28).
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU No. 3 Tahun 2014 menyatakan
bahwa rencana pembangunan industri (dalam hal ini penyelenggaraan
perindustrian) paling sedikit memperhatikan: Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi. Sehubungan itu, Perda No. 1 Tahun 2013 menjadi dasar hukum
materi muatan Raperda dan harus termuat dalam Konsiderans Mengingat
Rancangan Peraturan Daerah.
26. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah
(Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2013
Nomor 401, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Nomor 4001).
Kewajiban Perusahaan Kawasan Industri dan pelaku industri mengurangi
timbulan sampah yang dihasil dari hasil produksi industrinya. Hal tersebut
diatur dalam Perda No. 3 Tahun 2013. Agar materi muatan Raperda tentang
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 16
Perindustrian harmonis dengan Peraturan Daerah yang ada, maka Perda
tersebut harus termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan
Daerah.
27. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Tahun 2013 Nomor 203, Tambahan Lembaran Daerah
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2003).
Izin Usaha Industri (IUI) dan Tanda Daftar Industri (TDI) menjadi tugas dan
fungsi Badan/Kantor PTSP sebagaimana diatur dalam Perda No. 12 Tahun
2013, karena itu Perda tersebut menjadi dasar hukum dalam pemberian Izin
Usaha Industri. Agar materi muatan Raperda tentang Perindustrian harmonis
dengan Peraturan Daerah yang ada, maka Perda No. 12 Tahun 2013 harus
termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah.
28. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang
dan Peraturan Zonasi (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Tahun 2014 Nomor 301, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3001).
Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2014 merupakan operasionalisasi dari
Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2012. Sehubungan itu, harus termuat dalam
Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah.
29. Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Organisasi Perangkat
Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun
2016 Nomor 201, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 2004).
Penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta menjadi tugas dan
fungsi Dinas Perindustrian dan Energi sebagai Perangkat Daerah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang perindustrian. Oleh sebab
itu, Perda No. 18 Tahun 2016 harus termuat dalam onsiderans Mengingat
Rancangan Peraturan Daerah.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 17
Peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dalam Konsiderans
Mengingat menjadi dasar hukum materi muatan Rancangan Peraturan Daerah
tentang Perindustrian yang secara rinci telah diuraikan dalam Bab sebelumnya.
5.4. Batang Tubuh Raperda Batang tubuh Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perindustrian
memuat materi muatan yang akan dirumuskan dalam pasal per pasal dalam
Raperda. Batang tubuh Raperda dimaksud, sebagai berikut:
a. Pengertian/Batasan
Pengertian/batasan atau definisi dalam peraturan perundang-undangan
termuat dalam Ketentuan Umum. Menurut UU No. 12 Tahun 2011 Ketentuan
Umum berisi batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang
dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi dan/atau hal-hal lain yang
bersifat umum yang berlaku. Kata atau istilah yang dimuat dalam Ketentuan
Umum hanya kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal
atau beberapa pasal selanjutnya. Apabila rumusan definisi dari peraturan
perundang-undangan dirumuskan kembali dalam peraturan perundang-
undangan yang akan dibentuk, rumusan definisi tersebut harus sama dengan
rumusan definisi dalam peraturan perundang-undangan yang telah berlaku
tersebut.
Berdasarkan pedoman tersebut di atas, definisi atau batasan yang lazim
digunakan dalam Peraturan Daerah di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan
peraturan perundang-undangan serta beberapa definisi yang ditetapkan dalam
UU No. 3 Tahun 2014 dan peraturan perundang-undangan lain, antara lain
sebagai berikut:
1. Perindustrian adalah tatanan dan segala kegiatan yang bertalian dengan
kegiatan industri. (Pasal 1 angka 1 UU No. 3 Tahun 2014).
2. Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan
baku dan/atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasil-
kan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi,
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 18
termasuk jasa industri. (Pasal 1 angka 2 UU No. 3 Tahun 2014).
3. Industri Kecil adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di
bidang industri dengan nilai investasi paling banyak Rp. 500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha. (Peraturan Menteri Perindustrian No. 11/M-IND/PER/3/2014).
4. Industri Menengah adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha
di bidang industri dengan nilai investasi paling besar dari Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp.
10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah), tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha. (Peraturan Menteri Perindustrian No. 11/M-
IND/PER/3/2014).
5. Industri besar adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di
bidang industri dengan nilai investasi lebih besar dari Rp. 10.000.000.000
(sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha. (Peraturan Menteri Perindustrian No. 11/M-IND/PER/3/2014).
6. Industri hijau adalah industri yang dalam proses produksinya
mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya
secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan
industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat. (Pasal 1 angka 3 UU No. 3 Tahun
2014).
7. Industri kreatif adalah industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas,
ketrampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta
lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi
dan daya cipta individu tersebut. (Penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf b
UU No. 3 Tahun 2014).
8. Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri
yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang
dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri. (Pasal 1
angka 9 UU No. 3 Tahun 2014).
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 19
9. Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang mengusahakan
pengembangan dan pengelolaan kawasan Industri. (Pasal 1 angka 8 UU
No. 3 Tahun 2014).
10. Teknologi Industri adalah hasil pengembangan, perbaikan, invensi,
dan/atau inovasi dalam bentuk teknologi proses dan teknologi produk
termasuk rancang bangun dan perekayasaan, metode, dan/atau sistem
yang diterapkan dalam kegiatan Industri. (Pasal 1 angka 10 UU No. 3
Tahun 2014)
11. Data Industri adalah fakta yang dicatat atau direkam dalam bentuk angka,
huruf, gambar, peta, dan/atau sejenisnya yang menunjukkan keadaan
sebenarnya untuk waktu tertentu, bersifat bebas nilai, dan belum diolah
terkait dengan kegiatan Perusahaan Industri. (Pasal 1 angka 11 UU No. 3
Tahun 2014).
12. Data Kawasan Industri adalah fakta yang dicatat atau direkam dalam
bentuk angka, huruf, gambar, peta, dan/atau sejenisnya yang
menunjukkan keadaan sebenarnya untuk waktu tertentu, bersifat bebas
nilai, dan belum diolah terkait dengan kegiatan Perusahaan Kawasan
Industri. (Pasal 1 angka 14 UU No. 3 Tahun 2014).
13. Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk
berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna
meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik
bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada
umumnya. (Pasal 1 angka 3 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas).
14. Badan usaha industri yang selanjutnya disebut pelaku usaha industri,
adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
melakukan usaha industri meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau nama dan dalam bentuk
apapun, firma, kongsi, koperasi, persekutuan, dan bentuk badan lain yang
melakukan usaha industri secara tetap. (Analisis Bab 4).
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 20
15. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. (Pasal 1 angka 5
UU No. 3 Tahun 2014)
16. Masyarakat adalah perorangan atau kelompok orang atau badan usaha
atau lembaga/organisasi kemasyarakatan yang mempunyai perhatian dan
peranan dalam penyelenggaraan perindustrian.
b. Asas Penyelenggaraan Perindustrian
Asas penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan asas
yang termuat dalam Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2014 disesuaikan dengan
kepentingan daerah Provinsi DKI Jakarta. Dengan demikian, Perindustrian
diselenggarakan berdasarkan asas: (1) kepentingan daerah dan nasional,
bahwa perindustrian diselenggarakan untuk kepentingan daerah dan bangsa,
negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan melalui kerja sama seluruh
elemen bangsa; (2) demokrasi ekonomi, bahwa perindustrian diselenggarakan
dengan semangat kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, dan kemandirian serta menjaga keseimbangan
kemajuan dalam kesatuan ekonomi daerah dan nasional; (3) kepastian
berusaha, bahwa perindustrian diselenggarakan agar terwujud iklim usaha
kondusif yang dibentuk melalui sistem hukum yang menjamin konsistensi
antara peraturan perundang-undangan dengan pelaksanaannya; (4)
persaingan usaha yang sehat, bahwa perindustrian diselenggarakan dalam
upaya untuk mewujudkan persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan
produksi, distribusi, pemasaran barang, dan/atau jasa yang dilakukan dengan
cara yang jujur dan taat terhadap hukum; (5) keterkaitan industri, bahwa
hubungan antar-industri dalam mata rantai pertambahan atau penciptaan nilai
untuk mewujudkan industri daerah dan nasional yang sehat dan kokoh.
Keterkaitan Industri dapat berupa keterkaitan yang dimulai dari penyediaan
bahan baku, proses manufaktur, jasa pendukung industri, sampai distribusi ke
pasar dan pelanggan, dan/atau keterkaitan yang melibatkan industri kecil,
industri menengah, dan industri besar.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 21
c. Tujuan Penyelenggaraan Perindustrian
Perindustrian diselenggarakan dengan tujuan: (1) mewujudkan industri
sebagai pilar dan penggerak perekonomian daerah; (2) mewujudkan industri
yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta industri hijau; (3) mewujudkan
kepastian berusaha, persaingan usaha yang sehat, serta mencegah
pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan
yang merugikan masyarakat; (4) membuka kesempatan berusaha dan
perluasan kesempatan kerja; (5) mewujudkan pemerataan pembangunan
industri guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan industri daerah dan
nasional. Yang dimaksud dengan “ketahanan industri daerah” adalah industri
yang berdaya saing, efisien, berkelanjutan, bersih, dan berwawasan
lingkungan; (6) meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat
secara berkeadilan. Yang dimaksud dengan “kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat secara berkeadilan” adalah industri sebagai penggerak ekonomi
daerah dan nasional harus dinikmati oleh seluruh masyarakat terutama
golongan ekonomi lemah atau kelompok yang berpenghasilan di bawah
tingkat rata-rata pendapatan per kapita. Tujuan utama penyelenggaraan
perindustrian bermuara pada segala upaya untuk mewujudkan tatanan
ekonomi yang berpihak kepada kepentingan rakyat dan keadilan sosial,
kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat, bukan kepentingan
individu, golongan atau kelompok tertentu, dengan proses produksi yang
melibatkan semua orang dan hasilnya bisa dinikmati oleh semua warga
masyarakat baik daerah maupun nasional.
d. Tugas dan Wewenang Pemerintah Daerah
1. Tugas Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan perindustrian sebagai
berikut: (a) menetapkan kebijakan penyelenggaraan perindustrian sesuai
peraturan perundang-undangan; (b) penyediaan prasarana dan sarana
industri; (c) pengembangan sumber daya manusia industri untuk
menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten guna meningkatkan
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 22
peran sumber daya manusia daerah di bidang industri; (d) mendorong
pengembangan industri berwawasan lingkungan; (e) memfasilitasi
ketersediaan, penyaluran, dan pemanfaatan sumber daya alam untuk
industri melalui kerja sama antar daerah; (f) mengembangan, peningkatan
penguasaan, dan pemanfaatan teknologi industri; (g) memfasilitasi kerja
sama penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang industri; (h) memfasilitasi promosi produk hasil industri dan aralih
teknologi dari industri besar, lembaga penelitian dan pengembangan,
perguruan tinggi, dan/atau lembaga lain ke industri kecil dan menengah; (i)
memfasilitasi lembaga penelitian dan pengembangan dan/atau perusahaan
industri dalam negeri yang mengembangkan teknologi bidang industri; (j)
memfasilitasi pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi
masyarakat dalam pembangunan industri; (k) memfasilitasi ketersediaan
pembiayaan untuk pemberdayaan industri kecil dan menengah; (l)
penyediaan data industri yang akurat dan lengkap melalui sistem informasi
industri daerah yang terintegrasi; (m) pemberdayaan industri kecil dan
industri menengah serta industri kreatif; (n) pemberian izin usaha industri;
(o) mendorong penanaman modal di bidang industri untuk memperoleh
nilai tambah sebesar-besarnya dalam pemanfaatan sumber daya daerah
dan/atau nasional dalam rangka peningkatan daya saing industri daerah;
(p) memberikan insentif dan disinsentif dalam penyelenggaraan
perindustrian; (q) mengawasi dan mengendalikan penyelenggaraan
industri; (r) memberikan sanksi kepada pelaku usaha industri yang
melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan.
2. Wewenang Pemerintah Daerah
Dalam menyelenggarakan perindustrian, Pemerintah Daerah mempunyai
wewenang sebagai berikut: (a) merumuskan dan menetapkan arah,
kebijakan dan strategi penyelenggaraan perindustrian berdasarkan
kebijakan nasional; (b) menyelenggarakan perindustrian sesuai dengan
norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah; (c)
melakukan kerja sama antardaerah dan pelaku industri dalam
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 23
penyelenggaraan perindustrian; (d) melakukan membina dan mengawasi
penyelenggaraan industri, kawasan industri dan sentra industri sesuai
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sesuai dengan kewenangannya.
Tugas dan wewenang Pemerintah Daerah tersebut di atas menjadi tanggung
jawab Gubernur yang secara operasional menjadi tugas Kepala Dinas dan
Kepala SKPD sesuai lingkup tugas dan fungsinya dengan berkoordinasi
dengan instansi terkait berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Untuk mencapai tujuan penyelenggaraan perindustrian sesuai tugas dan
wewenang Pemerintah Daerah, Gubernur menyusun rencana induk
penyelenggaraan perindustrian daerah berpedoman pada rencana induk
pembangunan industri nasional dan kebijakan industri nasional. Rencana
pembangunan industri tersebut, disusun paling sedikit memperhatikan: (a)
potensi sumber daya industri yang dimiliki daerah; (b) Rencana Tata Ruang
Wilayah serta Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi; (c) Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD); (d) keserasian dan
keseimbangan dengan kegiatan sosial ekonomi dan daya dukung lingkungan.
Rencana induk penyelenggaraan perindustrian daerah ditetapkan dengan
Peraturan Daerah setelah dievaluasi oleh Pemerintah sesuai peraturan
perundang-undangan. Rencana Induk Penyelenggaraan Perindustrian yang
telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah tersebut dituangkan ke dalam : (a)
Rencana Aksi Daerah (RAD) Penyelenggaraan Industri Kecil dan Menengah
sebagai wujud koordinasi yang dilakukan oleh Dinas dan SKPD terkait untuk
jangka waktu 5 (lima) tahun; (b) Rencana Strategis (Renstra) Dinas dan SKPD
terkait.
e. Hak dan Kewajiban
1. Hak dan Kewajiban Pelaku Industri
Setiap pelaku industri berhak: (a) mendapatkan pelayanan yang baik dan
lingkungan industri yang berwawasan lingkungan dari Pemerintah Daerah
dan/atau pengelola kawasan dan sentra industri; (b) berpartisipasi dalam
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 24
proses pengambilan keputusan terkait penyelenggaraan perindustrian dan
pengawasan perindustrian; (c) memperoleh informasi yang benar, akurat,
dan tepat waktu mengenai penyelenggaraan perindustrian; (d) memperoleh
pembinaan agar dapat melaksanakan usaha secara baik dan berwawasan
lingkungan.
Kewajiban pelaku industri meliputi: (a) menaati ketentuan peraturan
perundang-undangan; (b) mengolah air limbah industri yang dihasilkan dan
tidak diperkenankan untuk dialirkan langsung ke drainase publik; (c) tidak
melanggar larangan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan.
2. Hak dan kewajiban Masyarakat
Hak masyarakat dalam penyelenggaraan perindustrian sebagai berikut: (a)
mendapatkan pelindungan dan kompensasi karena dampak negatif dari
kegiatan industri; (b) berperan serta dalam penyelenggaraan perindustrian.
Sedangkan kewajiban masyarakat, berperan serta dalam pengawasan
penyelenggaraan perindustrian dengan cara melaporkan kegiatan usaha
industri yang melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan.
Bentuk pelaksanaan kewajiban pelaku industri dan masyarakat dilaksanakan
dengan mematuhi dan menerapkan ketentuan, kaidah, baku mutu, dan aturan
penyelenggaraan industri.
f. Prasarana dan Sarana Industri
Pengertian prasarana adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang
utama terselenggaranya suatu proses. Sedangkan sarana adalah segala
sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud atau tujuan.
1. Kawasan Industri
Pelaku usaha dapat menyediakan dan mengelola kawasan industri dengan
bertujuan untuk: (a) mengendalikan pemanfaatan ruang; (b) meningkatkan
penyelenggaraan industri yang berwawasan lingkungan; (c) mempercepat
pertumbuhan industri; (d) meningkatkan daya saing industri; (e)
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 25
meningkatkan daya saing investasi; (f) memberikan kepastian lokasi dalam
perencanaan dan penyediaan infrastruktur industri yang terkoordinasi antar
sektor terkait.
Penyediaan kawasan industri tersebut di atas, Pemerintah Daerah
menyediakan ruang untuk Kawasan Industri sesuai Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW). Luas lahan Kawasan Industri paling rendah 50 (lima
puluh) hektar dalam satu hamparan. Pengembangan dan pengelolaan
kawasan industri dilakukan oleh perusahaan kawasan industri yang telah
mendapatkan izin dari Gubernur.
Perusahaan Kawasan Industri dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan
pengelolaan Kawasan Industri dan wajib melaporkan kepada Gubernur.
Penunjukkan pengelolaan Kawasan Industri kepada pihak lain tidak tidak
mengurangi tanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri yang
bersangkutan sesuai izin yang diberikan oleh Gubernur.
Perusahaan industri yang akan menjalankan industri setelah Peraturan
Daerah ini mulai berlakukan, wajib berlokasi di Kawasan Industri kecuali
bagi: (a) industri yang menggunakan bahan baku khusus dan/atau proses
produksinya memerlukan lokasi khusus; (b) industri kecil, industri
menengah, dan industri kreatif yang tidak berpotensi menimbulkan
pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas.
Pembangunan Kawasan Industri merupakan bagian dari pengembangan
infrastruktur industri. Oleh sebab itu, kawasan industri wajib dilengkapi
dengan infrastruktur industri baik di dalam kawasan industri maupun di luar
kawasan. Perusahaan Kawasan Industri wajib menyediakan lahan bagi
kegiatan Industri Kecil dan industri menengah.
Penanggung jawab kawasan industri wajib mentaati ketentuan sebagai
berikut: (a) baku mutu air limbah sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan; (b) melakukan pengelolaan air limbah sehingga mutu air limbah
yang dibuang ke sumber air tidak melampaui baku mutu air limbah yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; (c) menggunakan
saluran pembuangan air limbah yang kedap air sehingga tidak terjadi
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 26
perembesan air limbah ke lingkungan; (d) tidak melakukan pengenceran air
limbah, termasuk mencampur buangan air bekas pendingin ke dalam aliran
buangan air limbah yang berasal dari IPAL terpusat; (e) memisahkan
saluran buangan air limbah dengan saluran limpasan air hujan; (f)
menetapkan titik penaatan untuk pengambilan contoh uji; (g) memasang
alat ukur debit atau laju alir air limbah dan melakukan pencatatan debit
harian air limbah tersebut; (h) melakukan pemantauan harian kadar
parameter baku mutu air limbah, untuk parameter pH dan COD; (i)
memeriksakan kadar parameter baku mutu air limbah secara berkala paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan ke laboratorium yang telah
terakreditasi dan teregistrasi di Kementerian Lingkungan Hidup; (j)
menyampaikan laporan debit harian air limbah, pemantauan harian kadar
parameter air limbah, dan hasil analisa laboratorium terhadap baku mutu
air limbah secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan
kepada Gubernur dengan tembusan Meteri Lingkungan Hidup sesuai
peraturan perundangan-undangan; (K) melaporkan kepada Gubernur
dengan tembusan kepada Menteri Lingkungan Hidup mengenai terjadinya
keadaan darurat dan/atau kejadian tidak normal mengakibatkan baku mutu
air limbah dilampaui serta upaya penanggulangan paling lama 2 x 24 jam.
Perusahaan Industri di dalam Kawasan industri wajib memiliki: (a) Upaya
Pengelolaan Lingkungan; (b) Upaya Pemantauan Lingkungan. Perusahaan
Industri di dalam Kawasan Industri yang mengelola atau memanfaatkan
limbah bahan berbahaya dan beracun, wajib menyusun Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan dan mendapat pengesahan, kecuali AMDAL yang
dimiliki oleh Kawasan Industri telah mencakup/memenuhi kebutuhan
terhadap kegiatan B3.
Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri dikecualikan dari perizinan
yang menyangkut persetujuan prinsip, gangguan, lingkungan, lokasi,
peruntukan penggunaan tanah, dan pengesahan rencana tapak tanah.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 27
2. Sentra Industri Kecil dan Menengah (IKM)
Pengertian Sentra IKM adalah kawasan tempat sekelompok perusahaan
IKM yang menghasilkan produk sejenis, menggunakan bahan baku sejenis,
atau melakukan proses pengerjaannya sama. Pemerintah Daerah dan/
atau badan usaha dapat menyediakan Sentra Industri Kecil dan Menengah
sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Pemerintah Daerah dalam
penyediaan Sentra IKM dapat dilakukan melalui kerjasama dengan pihak
swasta yang pelaksanaannya sesuai peraturan perundang-undangan,
antara lain PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja
Sama Daerah.
g. Sumber Daya Manusia Industri/Tenaga Kerja Industri
Pemerintah Daerah, pelaku industri, dan masyarakat mengembangkan sumber
daya manusia industri dengan memperhatikan penyebaran dan pemerataan
ketersediaan sumber daya manusia (SDM) industri yang kompeten. SDM
Industri dimaksud meliputi: (a) wirausaha Industri; (b) tenaga kerja industri; (c)
pembina industri; (d) konsultan Industri. Yang dimaksud “pembina industri”
adalah aparatur yang memiliki kompetensi di bidang industri di daerah. Yang
dimaksud “konsultan industri” adalah orang atau perusahaan yang mem-
berikan layanan konsultasi, advokasi, pemecahan masalah bagi Industri.
Pengertian, tenaga kerja industri adalah tenaga teknis dan tenaga manajerial
yang bekerja pada perusahaan industri dan/atau perusahaan kawasan
industri. Tenaga kerja industri terdiri dari:
1) Tenaga teknis
Tenaga teknis adalah tenaga kerja industri yang menangani pekerjaan di
bidang teknis pada perusahaan industri dan/atau perusahaan kawasan
industri. Tenaga teknis paling sedikit memiliki: (a) kompetensi teknis sesuai
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) di bidang industri.
Yang dimaksud SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup
aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang
relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 28
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (b) pengetahuan
manajerial. Kompetensi dan pengetahuan tenaga teknis melalui pendidikan
vokasi industri berbasis kompetensi; pelatihan industri berbasis kompetensi
dan/atau pemagangan industri. Tenaga teknis tidak melalui pendidikan dan
pelatihan dinyatakan kompeten setelah melalui Sertifikasi Kompetensi yang
dilakukan oleh LSP. Yang dimaksud dengan Sertifikasi Kompetensi adalah
proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis
dan objektif melalui uji kompetensi sesuai SKKNI, standar internasional,
dan/atau standar khusus.
Penyelenggaraan pendidikan vokasi industri dan pelatihan industri harus
dilengkapi Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), pabrik pada tempat
penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan pemagangan, serta Tempat
Uji Kompetensi (TUK). Dalam hal belum dilengkapi LSP, penyelenggara
bekerjasama dengan LSP yang bidangnya sejenis. Demikian halnya belum
dilengkapi pabrik dalam sekolah dan/atau TUK, penyelenggara harus
melakukan kerja sama dengan perusahaan industri dan/atau lembaga
penelitian dan pengembangan.
Penyelenggara pendidikan vokasi dan pelatihan industri dapat bekerja
sama dengan perusahaan industri dan/atau perusahaan kawasan industri
berupa pengembangan kurikulum, praktik kerja, dan/atau penempatan
lulusan. Kamar dagang dan industri, asosiasi Industri, perusahaan industri,
dan/atau perusahaan kawasan industri memfasilitasi penyelenggaraan
pendidikan vokasi dan/atau pelatihan industri.
(a) Pendidikan vokasi industri berbasis kompetensi
Pemerintah Daerah, pelaku industri, dan/atau masyarakat dapat
menyelenggarakan pendidikan vokasi industri berbasis kompetensi
yang diperuntukan bagi calon tenaga kerja industri dan tenaga kerja
industri. Yang dimaksud dengan pendidikan vokasi industri adalah
pendidikan tinggi dan pendidikan menengah kejuruan yang diarahkan
pada penguasaan keahlian terapan tertentu di bidang Industri.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 29
Penyelenggaraan pendidikan vokasi industri berbasis kompetensi
harus mengacu pada SKKNI di bidang Industri dan memperhatikan
kebutuhan perusahaan industri dan/atau perusahaan kawasan industri
atas tenaga kerja industri.
Pendidikan vokasi industri berbasis kompetensi meliputi: (a)
pendidikan menengah kejuruan; (b) program diploma satu; (c)
program diploma dua; (d) program diploma tiga; (e) program diploma
empat; (f) program magister terapan; (g) program doktor terapan.
Persyaratan penyelenggaraan pendidikan vokasi industri berbasis
kompetensi tersebut sesuai peraturan perundang-undangan.
(b) Pelatihan industri berbasis kompetensi
Pelatihan Industri berbasis kompetensi adalah pelatihan kerja yang
menitikberatkan pada penguasaan kemampuan kerja yang mencakup
pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan standar
kompetensi bidang industri. Penyelenggaraan Pelatihan Industri
dilaksanakan oleh Balai Pendidikan dan Pelatihan Industri, Balai
Latihan Kerja (Pusat Pelatihan Kerja Daerah) serta lembaga pelatihan
lain. Penyelenggara pelatihan tersebut harus mendapatkan akreditasi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(c) Pemagangan industri
Pemagangan industri adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang
terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara
langsung dibawah bimbingan dan pengawasan pembimbing, dalam
rangka menguasai keterampilan atau keahlian di bidang Industri.
Pemagangan industri dilaksanakan di perusahaan industri dan/atau
perusahaan kawasan industri yang menyediakan fasilitas untuk
pemagangan industri. Pemagangan industri dilaksanakan atas dasar
perjanjian pemagangan antara peserta magang dengan perusahaan
industri dan/atau perusahaan kawasan industri yang dibuat secara
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 30
tertulis. Perjanjian pemagangan tersebut paling sedikit memuat
ketentuan hak dan kewajiban peserta, hak dan kewajiban perusahaan
industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri, serta jangka waktu
pemagangan. Kamar dagang dan industri dan asosiasi industri
memfasilitasi pelaksanaan pemagangan di perusahaan industri
dan/atau perusahaan kawasan industri bagi calon tenaga kerja
industri dan tenaga kerja industri. Pemerintah Daerah dapat
memberikan insentif bagi perusahaan industri dan/atau perusahaan
kawasan industri yang menerima pemagangan industri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Calon tenaga kerja industri dan tenaga kerja industri yang telah
mengikuti pemagangan Industri dinyatakan memiliki kompetensi kerja
setelah lulus Sertifikasi Kompetensi oleh LSP.
2) Tenaga manajerial
Tenaga manajerial adalah tenaga industri yang menangani pekerjaan di
bidang manajemen pada perusahaan industri dan/atau perusahaan
kawasan industri. Tenaga manajerial paling sedikit memiliki: (a) kompetensi
manajerial sesuai dengan SKKNI di bidang industri; (b) pengetahuan
teknis. Kompetensi dan pengetahuan tenaga manajerial tersebut
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan
di bidang pendidikan dan ketenagakerjaan.
Sertifikasi Kompetensi dilaksanakan untuk : (a) memastikan kualitas Tenaga
Kerja Industri sesuai kebutuhan dan persyaratan kerja; (b) mewujudkan
kesesuaian antara sistem pengupahan dengan produktivitas kerja guna
memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi Tenaga Kerja Industri.
Sertifikasi Kompetensi dilaksanakan melalui uji kompetensi oleh LSP yang
telah memperoleh lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Untuk
mewujudkan tujuan sertifikasi kompetensi tenaga industri, Gubernur, kamar
dagang dan industri, dan asosiasi industri memfasilitasi pelaksanaan
Sertifikasi Kompetensi Tenaga Kerja Industri. LPS dilakukan oleh asosiasi
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 31
profesi, asosiasi Industri, pelaku usaha Industri, lembaga pendidikan, dan/atau
lembaga pelatihan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perusahaan industri dan/atau perusahaan kawasan industri yang
menggunakan tenaga kerja industri asing dan/atau konsultan industri asing
harus melakukan alih pengetahuan dan keterampilan kepada tenaga kerja
industri dan/atau konsultan industri. Pelaksanaan alih pengetahuan dan
keterampilan tersebut dilakukan dengan cara: (a) menunjuk Tenaga kerja
industri dan/atau konsultan industri nasional sebagai tenaga pendamping dari
Tenaga Kerja Industri Asing dan/atau konsultan Industri asing; (b) pendidikan
dan/atau pelatihan kepada tenaga kerja industri dan/atau konsultan industri
nasional, baik di dalam maupun di luar negeri. Bagi perusahaan industri
dan/atau perusahaan kawasan industri yang menggunakan tenaga kerja
industri asing dan/atau konsultan industri asing tidak melakukan alih
pengetahuan dan keterampilan dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
h. Pemberdayaan Industri Kecil, Menengah, dan Kreatif.
1) Pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah
Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan IKM untuk mewujudkan IKM
yang berdaya saing, berperan signifikan dalam penguatan IKM, berperan
dalam pengentasan kemiskinan melalui perluasan kesempatan kerja, dan
menghasilkan barang dan/atau jasa industri untuk diekspor.
Pemerintah Daerah merumuskan kebijakan, penguatan kapasitas
kelembagaan, dan pemberian fasilitas dengan mengacu paling sedikit
kepada sumber daya industri daerah, dan perkembangan ekonomi nasional
dan global.
Penguatan kapasitas kelembagaan IKM dilakukan melalui: (a) peningkatan
kemampuan sentra, unit pelayanan teknis, tenaga penyuluh lapangan,
serta konsultan industri kecil dan menengah; (b) kerja sama dengan
lembaga pendidikan, lembaga penelitian dan pengembangan, serta
asosiasi Industri dan asosiasi profesi terkait.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 32
Pemberian fasilitas kepada IKM dalam bentuk: (a) peningkatan kompetensi
SDM dan sertifikasi kompetensi; (b) bantuan dan bimbingan teknis; (c)
bantuan bahan baku dan bahan penolong melaku kerjasama antardaerah;
(d) bantuan mesin atau peralatan; (e) pengembangan produk; (f) bantuan
pencegahan pencemaran lingkungan hidup; (g) bantuan informasi pasar,
promosi, dan pemasaran; (h) akses pembiayaan, termasuk mengusahakan
penyediaan modal awal bagi wirausaha baru; (i) penyediaan sentra IKM
yang berpotensi mencemari lingkungan; (j) pengembangan, penguatan
keterkaitan, dan hubungan kemitraan antara Industri kecil dengan industri
menengah, industri kecil dengan industri besar, dan industri menengah
dengan industri besar, serta industri kecil dan industri menengah dengan
sektor ekonomi lainnya dengan prinsip saling menguntungkan.
2) Industri Kreatif
Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Pemerintah Pusat sesuai
kewenangannya memfasilitasi pengembangan dan pemanfaatan kreativitas
dan inovasi masyarakat dalam pembangunan industri dilakukan dengan
memberdayakan budaya industri dan/atau kearifan lokal yang tumbuh di
masyarakat. Dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan kreativitas
dan inovasi masyarakat tersebut, Pemerintah Daerah melakukan: (a)
penyediaan ruang dan wilayah bagi masyarakat dalam berkreativitas dan
berinovasi; (b) pengembangan sentra industri kreatif; (c) pelatihan teknologi
dan desain; (d) konsultasi, bimbingan, advokasi, dan fasilitasi perlindungan
Hak Kekayaan Intelektual bagi industri kecil; (e) fasilitasi promosi dan
pemasaran produk Industri kreatif di dalam dan luar negeri.
Pemberdayaan IKM dan Industri Kreatif di Daerah, Gubernur pembentukan
UPTD IKM dan Industri Kreatif dengan bertujuan sebagai berikut: (a)
mengerakkan dan mengembangkan kelompok usaha dan/atau perusahaan
IKM dan Industri Kreatif serta calon usaha baru; (b) mengembangkan
kemampuan daya saing dan produktivitas kelompok usaha dan/atau
perusahaan IKM dan Industri Kreatif melalui layanan keteknikan dan inovasi
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 33
teknologi atau peralatan; (c) mengembangan sarana produksi dalam rangka
perkuatan usaha IKM dan Industri Kreatif.
Peran UPT IKM dan Industri Kreatif sebagai berikut: (a) sebagai agen
pembangunan sarana pembinaan dan pelatihan, pelayanan masyarakat IKM
dan Industri Kreatif dalam mendukung produktivitas kerja IKM dan Industri
Kreatif, serta menggali sumber dana pembiayaan operasional; (b) sebagai
fasilitator, inovator, dinamisator, dan motivator pengembangan potensi
produksi serta pemecahan masalah kewirausahaan bagi kelompok usaha
dan/atau perusahaan IKM dan Industri Kreatif.
Jenis layanan yang diberikan oleh UPT IKM dan Industri Kreatif meliputi: (a)
pengembangan kopetensi sumber daya manusia, meliputi: pendidikan dan
pelatihan industri dan kewirausahaan baik secara klasikal, praktek, magang
maupun workshop; percontohan mesin/peralatan dan teknologi produksi;
pengorganisasian, dan pengembangan wawasan; (b) dukungan produksi,
meliputi: bantuan dan layanan produksi; jasa pemeliharaan dan reperasi
kerusakan alat produksi; bimbingan teknis bidang permesinan/alat produksi;
bimbingan teknis bidang proses produksi; (c) dukungan pemasaran dan
layanan bisnis lainnya, berupa penyediaan show room atau fasilitas pameran
produk; penerbitan brosur, leaflet dan sejenisnya; publikasi film dan media
masa; fasilitasi temu bisnis; mediasi dengan sumber daya produktif lainnya; (d)
jasa konsultasi pengembangan usaha, berupa: jasa pendampingan usaha atau
manajemen; jasa konsultasi (diagnosa makro dan mikro); jasa studi kelayakan
untuk investasi; bimbingan teknis dan menajemen; dan fasilitasi layanan hak
kekayaan intelektual (HKI); (e) jasa penelitian dan pengembangan, berupa
penelitian dan pengembangan untuk inovasi teknologi (produk, desain, dan
teknis produksi); inkubator usaha untuk pengujian hasil penelitian dan
pengambangan skala UPT IKM dan Industri Kreatif; pemberian layanan
pengujian atau laboratorium uji sederhana bagi produk IKM dan Industri
Kreatif.
Kelembagaan UPT IKM dan Industri Kreatif minimal terdiri dari: (a) Kepala
UPT dengan tugas mengoordinasikan seluruh operasionalisasi atau kegiatan
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 34
pelayanan; (b) Kepala Bagian Tata Usaha, tugasnya melaksanakan urusan
ketatausahaan guna menunjang kelancaran kegiatan pelayanan UPT IKM dan
Industri Kreatif; (c) Sub Bidang Konsultasi dengan tugas memberikan layanan
konsultasi, mediasi, atau fasilitasi yang diperlukan IKM dan Industri Kreatif
binaan dalam mengatasi permasalahan usahanya; (d) operator dengan tugas
memberikan layanan teknis melalui pengoperasian mesin dan peralatan.
Keberadaan UPT IKM dan Industri Kreatif, diharapkan berbagai permasalahan
yang dihadapi IKM dan Industri Kreatif selama ini dapat diatasi, sehingga IKM
dan Industri Kreatif memiliki berdaya saing, berperan signifikan dalam
pembangunan daerah dan pengentasan kemiskinan melalui perluasan
kesempatan kerja, serta mampu menghasilkan barang dan/atau jasa industri
untuk diekspor yang berkualitas.
i. Perizinan
Perizinan adalah dokumen dan bukti legalitas yang membolehkan perbuatan
hukum oleh seseorang atau sekelompok orang dalam ranah hukum
administrasi negara atas sesuatu perbuatan yang dilarang berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Setiap pendirian perusahaan industri wajib
memiliki Izin Usaha Industri (IUI), kecuali bagi industri kecil wajib memiliki
Tanda Daftar Industri (TDI), yang diberlakukan sama dengan IUI. IUI dan TDI
diberikan oleh Gubernur yang secara operasional dilakukan oleh SKPD/UKPD
yang tugas dan fungsinya dalam pelayanan perizinan. IUI diberikan melalui
persetujuan prinsip atau tanpa persetujuan prinsip diberikan kepada
perusahaan industri berlokasi di kawasan industri atau jenisnya.
Persetujuan Prinsip diberikan kepada Perusahaan Industri untuk melakukan
persiapan dan usaha pembangunan, pengadaan, pemasangan/instalasi
peralatan dan kesiapan lain yang diperlukan. Persetujuan Prinsip bukan
merupakan izin untuk melakukan produksi komersial.
1) Pemberian IUI Melalui Persetujuan Prinsip
Permohonan Persetujuan Prinsip diajukan dengan menggunakan formulir
yang disediakan oleh Gubernur dan melampirkan dokumen sebagai
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 35
berikut: (a) Copy Izin Undang-Undang Gangguan (Ho); (b) Copy Akte
pendirian perusahaan dan atau perubahannya khusus bagi perusahaan
yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) akte tersebut telah disahkan
Menteri Hukum dan HAM; (c) memiliki IMB; (d) memiliki Izin Lokasi; (e)
memiliki Izin Lingkungan; (f) Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) atau Lingkungan (UPL); (g) telah selesai membangun pabrik dan
sarana produksi; (h) dokumen lain yang dipersyaratkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan bagi industri tertentu.
Terhadap permohonan Persetujuan Prinsip yang telah lengkap dan benar,
selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima, Kepala SKPD/UKPD
yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya wajib
mengeluarkan Persetujuan Prinsip dengan tembusan disampaikan kepada
Direktur Jenderal Pembina Industri dan Kepala Dinas Perindustrian dan
Energi.
Permohonan Persetujuan Prinsip yang persyaratannya belum lengkap dan
benar atau jenis industri termasuk dalam bidang usaha yang tertutup bagi
penanaman modal, selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima
permohonan Persetujuan Prinsip, Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan
fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya mengeluarkan Surat
Penolakan.
Persetujuan Prinsip dapat diubah berdasarkan permintaan dari perusahaan
yang bersangkutan.
Dalam melaksanakan Persetujuan Prinsip, Perusahaan Industri sebagai
pemohon wajib menyampaikan data dan informasi mengenai kemajuan
pembangunan pabrik dan sarana produksi kepada Kepala SKPD/UKPD
yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya dengan
tembusan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri dan Kepala Dinas
Perindustrian dan Energi sesuai Persetujuan Prinsip yang bersangkutan,
setiap 1 (satu) tahun sekali paling lambat pada tanggal 31 Januari pada
tahun berikutnya.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 36
Pemegang Persetujuan Prinsip tidak dapat menyelesaikan pembangunan
pabrik dan sarana produksinya dalam waktu 3 (tiga) tahun dapat
mengajukan permintaan perpanjangan Persetujuan Prinsip untuk 1 (satu)
kali selama-selamanya 1 (satu) tahun.
Perusahaan industri telah menyelesaikan pembangunan pabrik dan sarana
produksinya serta telah memenuhi semua ketentuan peraturan perundang-
undangan, wajib mengajukan permohonan IUI kepada Gubernur melalui
Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup
tugasnya dengan dilengkapi dokumen sebagai berikut: (a) Copy Akte
Pendirian Perusahaan dan atau perubahannya, khusus bagi Perusahaan
yang berbentuk Perseroan Terbatas akte yang telah disahkan oleh Menteri
Hukum dan HAM; (b) Copy Izin Mendirikan Bangunan (IMB); (c) Copy
Surat Persetujuan Prinsip; (d) Informasi Kemajuan Pembangunan Pabrik
dan Sarana Produksi (Proyek); (e) Copy Izin Undang-Undang Gangguan
(Ho); (f) Copy Izin Lokasi; (g) Copy Izin Lingkungan termasuk dokumen
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan
Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) serta
dokumen dipersyaratkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bagi
industri tertentu. Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup
tugasnya selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima
permohonan IUI, sudah mengadakan pemeriksaan ke lokasi pabrik guna
memastikan pembangunan pabrik dan sarana produksi telah selesai. Hasil
pemeriksaan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang
ditandatangani oleh Petugas Pemeriksa yang ditunjuk oleh Kepala
Dinas/Suku Dinas Perindustrian dan Energi sesuai lingkup tugasnya.
Kepala Dinas/Suku Dinas dalam waktu selambat-lambatnya 5 (lima) hari
kerja sejak penandatanganan BAP, menyampaikan BAP kepada Kepala
SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 37
Apabila pemeriksaan tidak dilaksanakan, perusahaan yang bersangkutan
dapat membuat Surat Pernyataan siap berproduksi komersial disampaikan
kepada Gubernur melalui Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya
perizinan sesuai lingkup tugasnya.
Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima hasil BAP atau Surat
Pernyataan, Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya perizinan
sesuai lingkup tugasnya harus mengeluarkan IUI atau menunda dengan
keterangan tertulis berdasarkan pertimbangan pembangunan pabrik dan
sarana produksi belum selesai dan/atau belum memenuhi persyaratan
yang ditetapkan.
2) Pemberian IUI Tanpa Persetujuan Prinsip
Permohonan disampaikan kepada Gubernur melalui Kepala SKPD/UKPD
yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya. Permohonan
disertai dengan Surat Pernyataan, dan bagi perusahaan industri yang akan
berlokasi di Kawasan Industri melampirkan Surat Keterangan dari
Pengelola Kawasan Industri tentang rencana lokasi perusahaan serta
dengan dilengkapi dokumen sebagai berikut: (a) Copy Akte Pendirian
Perusahaan dan atau perubahannya khusus perusahaan yang berbentuk
Perseroan Terbatas, akte tersebut telah disahkan oleh Menteri Hukum dan
HAM; (b) Copy Izin Undang-Undang Gangguan (Ho) bagi industri yang
berlokasi di luar Kawasan Industri; (c) Copy Izin Lokasi bagi jenis industri
yang berlokasi di dalam Kawasan Industri; (d) Copy Izin Mendirikan
Bangunan (IMB); (e) Surat Keterangan dari Pengelola Kawasan Industri
bagi yang berlokasi di Kawasan Industri; (f) dokumen yang dipersyaratkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan bagi industri tertentu.
Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterima
permohonan IUI yang lengkap dan benar, Kepala SKPD/UKPD yang tugas
dan fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya harus mengeluarkan IUI
dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri
dan Kepala Dinas Perindustrian dan Energi.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 38
3) Izin Perluasan Industri
Setiap Perusahaan Industri yang akan melakukan perluasan wajib
memberitahukan secara tertulis kenaikan produksinya sebagai akibat dari
kegiatan perluasan kepada Gubernur melalui Kepala SKPD/UKPD yang
tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya sesuai tercantum
dalam IUI, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal dimulai
kegiatan perluasan. Permohonan Izin Perluasan bagi Perusahaan Industri yang telah memiliki
IUI melalui Persetujuan Prinsip melampirkan dokumen rencana perluasan
industri serta foto kopi Izin Lingkungan disertai dengan dokumen Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL); atau Upaya Pengelolaan
Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).
Permohonan Izin Perluasan bagi Perusahaan Industri yang telah memiliki
IUI Tanpa Persetujuan Prinsip melampirkan dokumen rencana perluasan
industri.
4) Tanda Daftar Industri (TDI)
Perusahaan industri kecil untuk memiliki TDI tidak perlu Persetujuan
Prinsip dengan cara mengajukan Permohonan TDI kepada Gubernur
melalui Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai
lingkup tugasnya dengan melampirkan Copy Izin Undang-Undang
Gangguan (Ho) dan Copy Izin Lokasi. Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan
fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya dalam waktu selambat-
lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima permohonan TDI wajib
mengeluar-kan TDI dengan tembusan disampaikan kepada Direktur
Jenderal Industri Kecil dan Menengah serta Kepala Dinas Perindustrian
dan Energi.
Bagi perusahaan industri telah memiliki IUI wajib menyampaikan informasi
kemajuan pembangunan pabrik dan sarana produksi setiap tahun paling
lambat pada tanggal 31 Januari pada tahun berikutnya kepada Kepala
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 39
Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya dengan tembusan kepada
Direktur Jenderal Pembina Industri, Kepala Dinas Perindustrian dan Energi.
IUI dinyatakan batal demi hukum apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak
diterbitkan, pemegang IUI sebagai berikut: tidak menyelesaikan pembangunan
pabrik dan sarana produksi; belum memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan/atau tidak melampirkan dokumen dipersyaratkan bagi industri
tertentu sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Perusahaan Industri yang telah memiliki IUI atau TDI, dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan terhitung mulai tanggal diterbitkan IUI/TDI wajib mendaftarkan
dalam Daftar Perusahaan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. Perusahaan Industri melakukan
perluasan melebihi 30% (tiga puluh persen) dari kapasitas produksi yang telah
diizinkan, wajib memiliki Izin Perluasan.
Selain kewajiban memiliki izin, pelaku usaha industri wajib melakukan
perubahan izin apabila pemindahan lokasi industri; perubahan nama, alamat
dan atau penanggungjawab; serta IUI, Izin Perluasan, dan TDI hilang atau
rusak.
Kewajiban industri telah memiliki IUI atau Izin Perluasan wajib menyampaikan
Informasi Industri secara berkala kepada Menteri dan Gubernur, sesuai
dengan IUI yang diterbitkan mengenai kegiatan usahanya menurut jadwal.
Pertama, 6 (enam) bulan pertama tahun yang bersangkutan selambat-
lambatnya setiap tanggal 31 Juli dengan tembusan kepada Direktur Jenderal
Pembina Industri dan Kepala Dinas Perindustrian dan Energi. Kedua, 1 (satu)
tahun selambat-lambatnya setiap tanggal 31 Januari pada tahun berikutnya
dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri, Kepala Dinas
Perindustrian dan Energi.
Sedangkan perusahaan Industri telah memiliki TDI wajib menyampaikan
Informasi Industri kepada Gubernur setiap tahun selambat-lambatnya tanggal
31 Januari pada tahun berikutnya dengan tembusan disampaikan kepada
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 40
Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah dan Kepala Dinas Perindustrian
dan Energi.
j. Insentif dan Disinsentif
Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif berupa pemberian kemudahan
kepada pelaku usaha di bidang industri sebagai berikut:
1) Kemudahaan penyediaan data dan informasi peluang usaha
Pemberian kemudahan dalam bentuk penyediaan data dan informasi
peluang usaha, antara lain: (a) peta potensi ekonomi daerah; (b) rencana
tata ruang wilayah; (c) rencana strategis dan skala prioritas daerah. Dalam
memberikan kemudahan tersebut Pemerintah Daerah memberikan
berbagai kemudahan akses dalam memperoleh data dan informasi melalui
prasarana dan sarana yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sesuai
kemampuan daerah.
2) Kemudahan penyediaan sarana
Pemberian kemudahan dalam bentuk penyediaan sarana, antara lain:
jaringan energi, jalan, transportasi, jaringan air bersih.
3) Kemudahan penyediaan lahan atau lokasi
Pemberian kemudahan dalam bentuk penyediaan lahan atau lokasi
diarahkan kepada kawasan yang menjadi prioritas pengembangan
ekonomi daerah dan peeyediaan lahan atau lokasi industri sesuai
peruntukannya. Pemberian Kemudahan berpedoman pada ketentuan
peraturan perundang-undangan.
4) Kemudahaan pemberian bantuan teknis
Pemberian kemudahan kepada IKM dalam bentuk penyediaan bantuan
teknis antara lain dapat berupa bimbingan teknis, pelatihan, tenaga ahli,
kajian dan/atau studi kelayakan.
Pemberian insentif berupa kemudahan diberikan kepada pelaku usaha industri
yang memenuhi kriteria sekurang-kurangnya salah satu kriteria berikut ini: (a)
memberikan kontribusi peningkatan pendapatan masyarakat bagi pelaku
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 41
usaha industri yang menimbulkan dampak pengganda; (b) menyerap banyak
tenaga kerja daerah atau lokal, dengan perbandingan antara jumlah tenaga
kerja lokal dengan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan; (c) menggunakan
sebagian besar sumber daya lokal, dengan perbandingan antara bahan baku
lokal dan bahan baku yang diambil dari luar daerah yang digunakan dalam
kegiatan usaha; (d) memberikan kontribusi bagi peningkatan pelayanan publik
sebagai bentuk pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan
perusahaan; (e) berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, berlaku bagi
pelaku usaha yang memiliki dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL)
dan menerapkan prinsip-prinsip keseimbangan dan keadilan dalam
pemanfaatan sumber daya alam serta taat pada rencana tata ruang wilayah;
(f) termasuk industri skala prioritas tinggi, diberlakukan kepada pelaku usaha
industri yang usahanya berada dan/atau sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD); dan Kawasan Strategis
Cepat Tumbuh (prioritas) sesuai Rencana Detail Tata Ruang (RDTR); (g)
termasuk pembangunan infrastruktur bagi pelaku usaha industri yang kegiatan
usahanya mendukung Pemerintah Daerah dalam penyediaan infrastruktur
atau sarana dan prasarana yang dibutuhkan; (h) melakukan alih teknologi
kepada tenaga kerja lokal dan pelaku usaha industri yang kegiatan usahanya
memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam menerapkan teknologi
berwawasan lingkungan; (i) melakukan industri pionir bagi pelaku usaha yang
membuka jenis usaha industri baru dengan keterkaitan kegiatan usaha yang
luas, memberi nilai tambah dan memperhitungkan eksternalitas yang tinggi,
memperkenalkan teknologi baru; dan memiliki nilai strategis dalam mendukung
pengembangan produk unggulan daerah; (j) melaksanakan kegiatan
penelitian, pengembangan, dan inovasi bagi pelaku usaha industri yang
kegiatan usahanya bergerak di bidang penelitian dan pengembangan, inovasi
teknologi dalam mengelola potensi daerah; (k) bermitra dengan IKM bagi
pelaku usaha industri yang kegiatan usahanya melakukan kemitraan dengan
pengusaha IKM; (l) industri yang menggunakan barang modal, mesin, atau
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 42
peralatan yang diproduksi di dalam negeri dengan kandungan lokal dan
diproduksi di dalam negeri.
Disinsentif diberikan pada pelaku usaha industri yang tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud di atas. Pemberian disinsentif dapat juga
dilakukan dalam bentuk pemberian pajak daerah dan restribusi daerah yang
tinggi.
k. Sistem Informasi Industri Daerah
Sistem Informasi Industri Daerah adalah tatanan prosedur dan mekanisme
kerja yang terintegrasi meliputi unsur institusi, sumber daya manusia, basis
data, perangkat keras dan lunak, serta jaringan komunikasi data yang terkait
satu sama lain dengan tujuan untuk penyampaian, pengelolaan, penyajian,
pelayanan serta penyebarluasan data dan/atau informasi Industri.
Tujuan diselenggarakan Sistem Informasi Industri Daerah untuk: (a) menjamin
ketersediaan, kualitas, kerahasiaan dan akses terhadap data dan/atau
informasi; (b) mempercepat pengumpulan, penyampaian atau pengadaan,
pengolahan/pemrosesan, analisis, penyimpanan, dan penyajian, termasuk
penyebarluasan data dan/atau informasi yang akurat, lengkap, dan tepat
waktu; (c) mewujudkan penyelenggaraan Sistem Informasi Industri Daerah
yang meningkatkan efisiensi dan efektivitas, inovasi, dan pelayanan publik,
dalam mendukung penyelenggaraan industri di DKI Jakarta.
Sistem Informasi Industri Daerah paling sedikit memuat:
a. data Industri, paling sedikit memuat data sebagai berikut: identitas dan
legalitas perusahaan; kelompok industri sesuai klasifikasi baku lapangan
usaha indonesia (KBLI); kapasitas produksi; investasi dan sumber
pembiayaan; tenaga kerja; mesin dan peralatan; bahan baku dan bahan
penolong; energi; air baku; produksi; pemasaran; dan pengelolaan
lingkungan.
b. data Kawasan Industri, paling sedikit memuat data sebagai berikut:
identitas dan legalitas perusahaan; investasi dan sumber pembiayaan;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 43
lahan/kavling; prasarana dan sarana; dan Perusahaan Industri dalam
Kawasan Industri.
c. data perkembangan dan peluang pasar, paling sedikit memuat data
sebagai berikut: ekspor dan impor; konsumsi produk industri; permintaan
(inquiry) dari pembeli (buyer); kebijakan industri dan perdagangan di
negara mitra; dan agenda pameran internasional utama di negara mitra.
d. data perkembangan Teknologi Industri, paling sedikit memuat: Hasil riset
terapan yang terkait bidang industri; Hak Kekayaan Intelektual; Rancang
bangun dan perekayasaan industri; usaha bersama (joint venture),
pengalihan/pembelian hak melalui lisensi, akuisisi teknologi, atau putar
kunci (turn key) project, dan kerjasama teknologi; hasil audit Teknologi
Industri; dan jenis, negara asal, dan tahun pembuatan teknologi.
Sistem Informasi Industri Daerah paling sedikit memuat informasi:
a. perkembangan Industri;
b. perkembangan dan peluang pasar;
c. perkembangan Teknologi Industri;
d. perkembangan investasi dan sumber pembiayaan Industri;
e. kawasan Industri;
f. prasarana dan sarana Industri;
g. sumber daya Industri; dan
h. kebijakan Industri dan fasilitas Industri.
Data dan/atau informasi industri dalam sistem informasi industri daerah
bersumber dari perusahaan industri dan perusahaan kawasan industri secara
langsung, dan dapat bersumber dari instansi pemerintah terkait, perguruan
tinggi, asosiasi/KADINDA, masyarakat, dan sumber lain dari instansi dan/atau
lembaga terkait di luar negeri.
Perusahaan Industri yang telah memperoleh Izin Prinsip Industri atau Izin
Usaha Industri (IUI) wajib menyampaikan Data Industri yang akurat, lengkap,
dan tepat waktu kepada Gubernur. Demikian halnya dengan perusahaan
kawasan industri yang telah memperoleh Izin Prinsip Kawasan Industri atau
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 44
Izin Usaha Kawasan Industri (IUKI) wajib menyampaikan Data Kawasan
Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu kepada Gubernur.
Penyampaian data industri atau data kawasan industri dilakukan secara on-
line melalui Sistem Informasi Industri Daerah. Asosiasi dan/atau Kadinda
dapat membantu perusahaan industri atau perusahaan kawasan industri
dalam menyampaikan Data Industri atau data Kawasan Industri.
Berdasarkan permintaan Gubernur, perusahaan industri atau perusahaan
kawasan industri wajib memberikan data yang terkait dengan data tambahan,
klarifikasi data, kejadian luar biasa di Perusahaan Industri atau Perusahaan
Kawasan Industri, selain data industri dan data kawasan industri.
Sistem Informasi Industri Daerah diselenggarakan berdasarkan prinsip: (a)
konektivitas; (b) kemudahan penyampaian dan akses pelayanan informasi; (c)
perlindungan atas hak kekayaan intelektual; (d) menjaga kerahasiaan dan
keamanan data dan informasi.
Sistem Informasi Industri Daerah meliputi aspek: (a) pengelola sistem
informasi; (b) perangkat keras dan perangkat lunak; (c) jaringan komunikasi
data; (d) sumber daya manusia; (e) pengumpulan data dan/atau informasi; (f)
pengolahan data dan/atau informasi; (g) penyebarluasan data dan/atau
informasi.
l. Kerjasama dan Kemitraan
Pemerintah Daerah dalam infrastruktur industri dapat dilakukan melalui
kerjasama dengan pihak swasta. Yang dimaksud infrastruktur industri meliputi:
(a) lahan Industri berupa Kawasan Industri dan/atau kawasan peruntukan
industri dan/atau sentra IKM dan Industri Kreatif; (b) fasilitas jaringan energi
dan kelistrikan; (c) fasilitas jaringan telekomunikasi; (d) fasilitas jaringan
sumber daya air; (e) fasilitas sanitasi; (f) fasilitas jaringan transportasi. Bentuk
kerjasama yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan
swasta (badan hukum) berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 5 - 45
Pelaku usaha industri besar dapat melakukan kemitraan dengan pelaku usaha
industri kecil dan menengah sesuai bidangnya dan dilaksanakan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan sesuai
bidangnya, antara lain menyediaan bahan baku, manajemen, teknologi, sumbe
daya manusia.
m. Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian
Gubernur melakukan pembinaan penyelenggaraan perindustrian melalui: (a)
koordinasi; (b) sosialisasi; (c) pemberian pedoman dan standar; (d) bimbingan,
supervisi, dan konsultasi; (e) penelitian dan pengembangan; (f) penyebaran
informasi; (g) pengembangan kesadaran dan tanggung jawab Perusahaan
Industri masyarakat.
Gubernur melakukan pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan
perindustrian dengan tujuan untuk: (a) menjamin tercapainya tujuan
penyelenggaraan perindustrian; (b) menjamin terlaksananya peraturan
perundang-undangan di bidang perindustrian; (c) meningkatkan kualitas
penyelenggaraan perindustrian. Pengawasan dan pengendalian tersebut
ditujukan pada kegiatan usaha industri dan kegiatan usaha industri di kawasan
industri dengan maksud untuk mengetahui pemenuhan dan kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan oleh perusahaan
industri dan perusahaan kawasan industri, antara lain: sumber daya manusia
industri; pemanfaatan sumber daya alam; manajemen energi; manajemen air;
SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara; data industri dan data
kawasan industri; standar industri hijau; standar kawasan industri; perizinan
industri dan perizinan kawasan industri; dan keamanan dan keselamatan alat,
proses, hasil produksi, penyimpanan, dan pengangkutan. Pelaksanaan
pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan perindustrian menjadi tugas
Kepala Dinas Perindustrian dan Energi, dilaksanakan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 6 - 1
Bab 6PENUTUP
Berdasarkan hasil penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Daerah tentang Perindustrian, secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Kebutuhan (urgensi) diperlukan Peraturan Daerah tentang Perindustrian di
Provinsi DKI Jakarta, sebagai berikut:
1. ada perintah (berupa tugas dan wewenang) yang diberikan oleh negara
melalui UU No. 3 Tahun 2014 tengang Perindustrian kepada Gubernur
selaku Kepala Daerah dalam penyelenggaraan perindustrian untuk
mewujudkan tujuan penyelenggaraan perindustrian sebagaimana ditetap-
kan dalam Pasal 3 UU No. 3 Tahun 2014;
2. urusan pemerintahan bidang perindustrian merupakan urusan pemerintah-
an pilihan, yaitu urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan daerah
sesuai potensi yang dimiliki Daerah, dan Provinsi DKI Jakarta memiliki
potensi dalam penyelenggaraan industri kecil, industri menengah, dan
industri kreatif, karena itu diperlukan Peraturan Daerah sebagai dasar
hukum bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mewujudkan hak
pelaku usaha di bidang industri dan masyarakat serta memfasilitasi
kewajiban pelaku usaha di bidang industri baik industri kecil, industri
menengah, industri kreatif maupun industri besar.
3. Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki sumber daya alam seperti daerah lain di
Indonesia, karena itu pembangunan industri dimasa mendatang diarahkan
pada peningkatan pertumbuhan ekonomi berbasis ekonomi pada industri
kreatif dan industri baik industri kecil dan industri menengah maupun
industri besar yang menggunakan teknologi tinggi, dengan strategi
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 6 - 2
meningkatkan kapasitas dan intensitas pusat kegiatan primer dan sekunder
untuk mewadahi kegiatan industri berskala daerah, regional, nasional, dan
internasional.
4. Keberadaan Peraturan Daerah tentang Perindustrian diharapkan mampu
mewujudkan penyelenggaraan perindustrian dalam rangka memperkuat
dan memperkukuh ketahanan industri daerah dan nasional, serta
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara ber-
keadilan. Selain itu, dapat menjawab berbagai kebutuhan dan per-
kembangan akibat perubahan lingkungan strategis dan sekaligus menjadi
landasan hukum bagi tumbuh berkembang dan kemajuan industri di
Provinsi DKI Jakarta baik saat ini maupun akan datang.
5. keberadaan Peraturan Daerah tentang Perindustrian akan memberikan
kepastian hukum bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pelaku industri,
dan masyarakat dalam penyelenggaraan industri di Provinsi DKI Jakarta,
yang selama ini belum memiliki Peraturan Daerah.
b. Materi muatan Konsep Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian,
meliputi: (a) tugas dan wewenang Pemerintah Daerah; (b) hak dan kewajiban
pelaku usaha dan masyarakat; (c) penyelenggaraan perindustrian mengatur
prasarana dan sarana industri serta sumber daya industri; (d) pemberdayaan
industri pada industri kecil, industri menengah, industri kreatif, industri hijau
daerah, serta penggunaan produk dalam negeri; (e) perizinan; (f) kerjasama
dan kemitraan; (g) tanggung jawab sosial dan lingkungan; (h) penanaman
modal bidang industri dan fasilitas; (i) pembinaan, pengawasan, dan
pengendalian penyelenggaraan perindustrian; (j) sanksi.