Contoh Makalah Pendewasaan Iman
-
Upload
juniorfernandoo1 -
Category
Documents
-
view
602 -
download
2
Transcript of Contoh Makalah Pendewasaan Iman
Bab 4: Peranan Pendidikan Kristen Dalam Kedewasaan
Submitted by Denny Teguh Sutandio on Sun, 30/11/2008 - 15:00
IV. PERANAN PENDIDIKAN KRISTEN DALAM KEDEWASAAN
Setelah kita mengerti dua macam prinsip kedewasaan yang Alkitab ajarkan, maka sekarang kita beralih
kepada pembahasan bagaimana menumbuhkan kedewasaan itu di dalam diri seseorang, khususnya sejak
kecil. Tidak ada jalan lain, pendidikan Kristen harus bersumbangsih membentuk kedewasaan seorang anak
sejak kecil, agar kelak mereka menjadi orang dewasa secara menyeluruh, baik iman, karakter, pemikiran,
sikap, perkataan, dan perbuatan. Pendidikan Kristen yang kita akan soroti adalah pendidikan orangtua dan
pendidikan sekolah/gereja.
A. Pendidikan Orangtua
Pendidikan Kristen pertama yang seharusnya mengajar dan mendidik kedewasaan seorang anak sejak kecil
adalah pendidikan orangtua, karena Tuhan mempercayakan anak-anak pada orangtua mereka untuk dididik
dan diajar. Dari sini, kita mendapatkan pengertian bahwa orangtua adalah satu-satunya oknum yang harus
bertanggungjawab kepada Tuhan atas apa yang mereka ajarkan pada anak-anak mereka. Jika yang mereka
didik dan ajarkan sejak kecil itu salah, itu mungkin akan mempengaruhi kehidupan anak mereka waktu
mereka dewasa. Tidak heran, banyak anak hasil didikan orangtua yang masih memegang kepercayaan dan
filsafat dunia Timur susah bertobat dan menerima serta mengikut Kristus sungguh-sungguh waktu mereka
dewasa. Sudah terlalu banyak contoh realitas akan hal ini. Semuanya dipengaruhi oleh pengajaran dan
pendidikan dari orangtua yang keliru yang antroposentris (berpusat kepada manusia). Oleh karena itu,
marilah kita melihat dua hal yang harus diperhatikan dalam pendidikan orangtua kepada anak secara
Kristiani.
1. Mengajar dan Mendidik Iman Kristen Sejak Kecil
Hal pertama yang harus diperhatikan orangtua Kristen ketika mengajar dan mendidik anak-anak mereka
sejak kecil adalah mengajar dan mendidik iman Kristen sejak kecil. Banyak orangtua “Kristen” di abad
postmodern MALAS mendidik tentang iman Kristen kepada anak-anak mereka sejak kecil. Mengapa? Karena
bagi mereka, tugas mengajar dan mendidik iman Kristen adalah tugas sekolah minggu/gereja atau sekolah
Kristen. Ini jelas salah. Pengajaran dan pendidikan iman Kristen kepada anak kecil dimulai dari orangtua. Di
Perjanjian Lama, Musa mengajar kita, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!
Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau
mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di
rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.”
(Ul. 6:4-7) “Mengajarkannya berulang-ulang” dalam KJV diterjemahkan teach them diligently (ajarkanlah
kepada mereka dengan tekun/rajin). Bahasa Ibrani yang dipakai adalah shanan bisa berarti to
point(menunjuk, menekankan, memberikan nasihat secara paksa). Di sini, kita beroleh pengertian bahwa
mengajarkan iman Kristen bukan mengajar sambil lalu atau sembarangan, tetapi mengajar dengan
menekankannya berulang-ulang, bahkan bisa dibilang memberikan nasihat secara paksa. Mengapa harus
secara paksa? Karena anak kita dari kecil harus mendapatkan pendidikan pertama (Pdt. Sutjipto Subeno
menyebutnya dekrit pertama/first decree) yang solid terlebih dahulu, agar mereka tidak terpengaruh oleh
budaya/pemikiran luar. Jika pada waktu kecil saja, anak-anak sudah dibiarkan oleh orangtuanya untuk
memilih jalan hidupnya sendiri, orangtua tersebut adalah orangtua GILA, karena mereka tidak mengerti
bahwa anak kecil belum mampu memilih jalan hidup sendiri. Tidak heran, banyak orangtua “Kristen” di
postmodern (banyak terpengaruh oleh filsafat dunia Timur yang materialis—mendewakan materi dan
utilitarianis—menekankan asas manfaat) membuat titahnya sendiri dalam mengajar anak bertolak belakang
dari Ulangan 6:4-7 di atas, mereka mengajarkan berulang-ulang kepada anak-anak mereka untuk
mengerjakan segala sesuatu harus dilihat dari untung ruginya, sehingga: kalau mau melayani Tuhan pun
harus dilihat untung ruginya, kalau banyak ruginya, tidak usah melayani Tuhan, lebih baik membantu usaha
orangtua, lebih untung. Lalu, mereka juga mengajar anak-anak mereka untuk tidak memberikan
persepuluhan, karena itu membuat rugi. Daripada memberikan persepuluhan, lebih baik membeli emas,
saham, dll, lebih untung. Jelas, ini ciri banyak orangtua “Kristen” keturunan Tionghoa (matrenya kelihatan
jelas), kecuali mereka yang sudah sungguh-sungguh menyerahkan hidup dan hatinya hanya untuk Tuhan
saja, mereka pasti memiliki paradigma yang berbeda total (yaitu Theosentris = berpusat kepada Allah).
Saya harap orangtua yang sungguh-sungguh Kristen TIDAK mengikuti ide gila tersebut. Saya harap juga
orangtua Kristen jangan sekadar mengerti secara teori bahwa itu salah, tetapi mereka HARUS
mengaplikasikannya dengan bertanggungjawab. Orangtua yang tahu secara teori akan kebenaran ini sama
dengan orangtua yang TIDAK dewasa, meskipun secara fenomenal, mereka dewasa. Camkanlah! Lalu,
bagaimana mengajar dan mendidik iman Kristen sejak kecil? Saya membagikan dua prinsip.
a) Mengarahkan arti dan panggilan hidup: memuliakan Tuhan
Prinsip pertama mengajar dan mendidik iman Kristen sejak kecil adalah mengarahkan mereka akan
pentingnya arti dan panggilan hidup masing-masing pribadi yaitu memuliakan Tuhan. Ada dua hal: arti dan
panggilan hidup. Belajarlah hai para orangtua Kristen untuk mengajar dan mendidik dari kecil (sejak balita)
bahwa arti hidup mereka TIDAK ditentukan oleh orangtuanya atau saudara atau teman/rekan, dll, tetapi oleh
Tuhan Allah yang menciptakan mereka. Dari kecil, ajarkanlah konsep penciptaan kepada anak-anak,
sehingga mereka dari kecil mengerti bahwa hidup mereka baru memiliki arti ketika mereka kembali kepada
Pencipta mereka. Jika mereka dari kecil sudah mengerti hal ini, percayalah, ketika mereka dewasa, mereka
tidak akan lagi kebingungan akan arah dan arti hidup mereka. Dewasa ini, mengapa banyak orang dewasa
kebingungan mencari jati diri? Karena mereka dari kecil tidak diajar akan arti hidup mereka di hadapan
Allah. Selain tentang konsep penciptaan, kita sebagai orangtua Kristen perlu mengajar mereka tentang
konsep dosa dan penebusan. Setelah Allah menciptakan manusia, manusia memberontak dan melawan-Nya,
itulah dosa. Ajarkanlah bahwa dosa bukan sekadar membunuh, mencuri, dll, tetapi inti dosa adalah melawan
ketetapan-Nya. Ajarkanlah pula bahwa sebagai orangtua Kristen pun jika kita melawan ketetapan-Nya, kita
tetap berdosa. Jangan biarkan anak dari kecil menganggap orangtua mereka sempurna seperti Allah! Itu
penghujatan dan penghinaan kepada Pribadi Allah. Kembali, ajarkan kepada mereka bahwa dosa itu tidak
bisa diselesaikan oleh manusia siapa pun, kecuali oleh Tuhan Allah. Karena kasih-Nya, Ia mengutus Putra
Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa-dosa manusia pilihan-Nya. IA mati di salib demi
menggantikan dosa-dosa kita. Tentu, ketika kita mengajar konsep dosa dan penebusan, kita tidak perlu
memakai bahasa-bahasa tingkat theolog, tetapi kita bisa memakai bahasa-bahasa yang sederhana dan alat-
alat peraga yang memadai supaya anak-anak dari kecil bisa mengerti. Setelah mengajar dan mendidik
konsep penciptaan, dosa, dan penebusan, kita sudah mulai menanamkan konsep dasar iman Kristen yang
mengakibatkan anak dari kecil sudah tahu tentang siapa yang mencipta mereka, bahwa mereka berdosa
dengan melawan ketetapan-Nya, dan bahwa mereka sudah ditebus oleh Kristus.
Poin kedua yang harus kita mengerti selain arti hidup, yaitu tentang panggilan hidup. Setelah diajar dan
dididik tentang arah hidup yang berpaut kepada Allah sebagai Pencipta, lalu diajar tentang dosa dan
penebusan di dalam Kristus, anak-anak perlu diajar dan dididik juga tentang respons mereka akan apa yang
sudah Allah perbuat bagi mereka yaitu panggilan hidup mereka dari Allah. Karena mereka telah dicipta dan
ditebus oleh Kristus, maka sudah seharusnya orangtua Kristen harus mengajar anak-anak mereka untuk
HANYA menaati apa yang menjadi panggilan Allah bagi setiap pribadi mereka yang unik. Ini bukan sekadar
teori, tetapi harus kita aplikasikan. Panggilan Allah ini bukan hanya berlaku bagi mereka yang menyerahkan
diri secara penuh waktu menjadi hamba Tuhan, tetapi juga bagi kita yang melayani Tuhan “di dunia luar.”
Artinya, di dalam pekerjaan mana yang harus kita geluti pun, Tuhan memanggil setiap kita berbeda
berdasarkan talenta yang Tuhan berikan kepada kita masing-masing SECARA BERBEDA. Mandat kita hanya
satu yaitu memuliakan Tuhan sesuai dengan talenta yang Tuhan percayakan kepada kita. JANGAN ada
pemaksaan! Pemaksaan atau apalah namanya dari pihak orangtua sebenarnya mungkin menghina Allah
yang telah memanggil setiap pribadi anak secara berbeda! Tuhan mungkin memakai orangtua sebagai
sarana panggilan Allah bagi anak-anak, tetapi itu bukan hal mutlak! Hal ini jangan sekali-kali dimutlakkan!
Memutlakkan cara ini berarti dosa, karena bagi orangtua, tidak ada sarana lain yang Allah pergunakan bagi
anak-anak selain melalui orangtua, padahal Allah yang Mahadahsyat bisa memakai segala cara di luar
orangtua!
Sayang, konsep ini tidak dimengerti oleh banyak orangtua “Kristen” abad postmodern apalagi banyak
orangtua “Kristen” keturunan Tionghoa (yang banyak dipengaruhi oleh filsafat Timur)! Saya adalah
keturunan Tionghoa dan sudah melihat banyak realitas ini. Secara tidak sadar, mereka mengajar bahwa
panggilan hidup anak-anak mereka ditentukan oleh diri mereka sendiri (yaitu orangtua). Jika di Roma 11:36,
Paulus mengajar bahwa segala sesuatu adalah dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah, bagi Allah kemuliaan
selama-lamanya, maka banyak orangtua “Kristen” yang dipengaruhi oleh filsafat Timur mengajar bahwa
segala sesuatu dari orangtua, oleh orangtua, dan untuk orangtua, bagi orangtualah, kemuliaan selama-
lamanya. Mereka mungkin tidak sampai mengatakan hal itu secara eksplisit, karena “malu.” Tetapi secara
implisit, saya pribadi telah menemukan fakta-fakta nyata akan hal ini. Karena konsep mereka yang
mendewakan diri mereka sendiri sebagai orangtua yang tidak pernah salah (“infallibility and inerrancy” of
the parents), maka anak-anak mereka pun diajar dan dididik untuk HANYA mengikuti apa yang orangtua
ajarkan dan tidak usah mendengarkan perkataan siapa pun, entah dari teman, saudara, bahkan hamba
Tuhan yang bertanggungjawab (bahkan yang paling ekstrim, Allah sendiri tidak perlu digubris). Alasan
mereka cukup “logis”, yaitu karena HANYA orangtua sajalah yang mengerti anak-anaknya. Benarkah HANYA
orangtua yang mengerti anak? Ada sedikit benarnya, tetapi tidak semua. Satu-satunya yang HANYA
mengerti pribadi anak tentu Allah sebagai Pencipta mereka. Mengapa konsep ini dihilangkan oleh banyak
orangtua “Kristen” yang dipengaruhi oleh filsafat Timur? Karena bagi mereka, secara PRAKTIS, Allah sudah
mati! Itulah atheis praktis. Secara fenomenal, mereka percaya kepada Allah, pergi ke gereja, bahkan suka
menguliahi orang lain dengan iman Kristen, tetapi sayang secara praktis, mereka meniadakan Allah, karena
bagi mereka, Allah hanya berdiam dan berkuasa di gereja, tidak di dunia luar. Jadi, hari Minggu, mereka ikut
Tuhan, hari Senin s/d Sabtu, mereka ikut setan (meskipun di mulut berkata, “Tuhan”), nanti pas hari Minggu,
balik lagi ikut Tuhan, setelah itu Senin s/d Sabtu, mereka memenuhi tuntutan setan lagi, begitu terus siklus
hidup keseharian seorang atheis praktis. Sungguh mengerikan! Selain “HARUS” mengikuti apa yang
orangtua ajarkan, anak-anak mereka pun dididik untuk mengikuti apa yang orangtua sudah gariskan bagi
mereka. Jika di dalam theologi Reformed, kita mengenal istilah: ketetapan Allah (God’s decree), maka di
dalam “theologi” atheis praktis ala banyak orangtua “Kristen” yang dipengaruhi oleh filsafat Timur, mereka
memperkenalkan istilah: ketetapan orangtua (the parents’ decrees)! Jika di dalam theologi Reformed, kita
mengenal bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu, maka banyak orangtua “Kristen” yang dipengaruhi
oleh filsafat Timur pun memiliki konsep (secara implisit) bahwa orangtua telah menetapkan segala sesuatu
dari pasangan hidup bahkan teman-teman bagi anak-anak mereka. Jika ada anak-anak mereka yang tidak
menaati apa yang telah mereka tetapkan “dari semula”, maka mereka akan menganggap anak-anak mereka
“durhaka atau tidak taat.” Padahal sering kali konsep-konsep yang mereka telah tetapkan “dari semula” itu
belum tentu sesuai dengan ketetapan Allah, tetapi dengan bangganya mereka berani mengatakan dan
menetapkan hal tersebut. Sungguh antik ya... Memang tidak ada salahnya jika ada orangtua yang
menasihatkan anak-anaknya untuk memilih teman-teman dan pasangan hidupnya, tetapi JANGAN pernah
MEMAKSA apalagi paksaan itu ditambahi unsur-unsur sekuler yang sebenarnya tidak sesuai dengan Alkitab.
b) Mengarahkan motivasi hidup
Selain arti dan panggilan hidup, orangtua Kristen harus mengajar dan mendidik anak-anak mereka tentang
motivasi. Artinya, orangtua Kristen harus mengajar dan mendidik anak-anak mereka tentang motivasi
sebelum anak-anak mereka melakukan segala sesuatu. Ketika mereka mau bertindak sesuatu, mereka harus
diajar bagaimana memiliki motivasi yang murni terlebih dahulu, sehingga ketika mereka bertindak, bukan
kehendak mereka yang diutamakan, tetapi kehendak Tuhan bagi orang lain. Di sini, perlu kepekaan rohani
yang tinggi terlebih dari orangtua Kristen. Sebelum mengajar anak-anak mereka, hendaklah orangtua
Kristen terlebih dahulu mengintrospeksi diri tentang motivasi hidup. Setelah mereka mengintrospeksi diri
tentang motivasi hidup, barulah mereka layak membimbing para anak mereka. Anak yang dari kecil sudah
diajar dan dididik untuk memiliki motivasi yang murni ketika melakukan segala sesuatu, maka anak itu pasti
tumbuh dewasa dengan beriman, berkarakter, dan bermental dewasa pula, bukan hanya secara fisiknya
dewasa. Mengapa? Karena mereka sudah peka mengintrospeksi diri mereka. Kedewasaan salah satunya
ditandai dengan kemampuan menguji diri (lih. pemaparan saya pada Kedewasaan Internal bagian Peka
Membedakan yang Baik daripada yang Jahat pada subbagian Berlaku bagi diri). Adalah suatu kekonyolan jika
orangtua Kristen belum memiliki motivasi yang murni sudah pintar mengajari anak-anak mereka.
Tetapi sayangnya, pendidikan semacam ini hampir tidak diajarkan oleh banyak orangtua Kristen. Apa sebab?
Karena orangtua Kristen pun hampir tidak ada yang mau menguji motivasi mereka sebelum melakukan
sesuatu. Akibatnya, banyak orangtua “Kristen” mengajar anak-anak mereka tidak usah memikirkan masalah
motivasi, yang penting anak-anak mereka menyukainya. Kalau anak-anak mereka menyukainya, para
orangtua “Kristen” sibuk menggenjot anak untuk mendapatkan apa yang anak-anak mereka inginkan.
Akibatnya, cara-cara curang lah yang mereka pergunakan agar anak-anak mereka sukses sesuai dengan
keinginan anak-anaknya tersebut. Di sisi lain, ada orangtua “Kristen” yang tidak memikirkan apa yang
diinginkan anak-anak mereka, lalu mengambil alih semua kebebasan mereka untuk menggenapkan
keinginan para orangtua, mulai dari memilih jurusan perkuliahan, pekerjaan, bahkan pasangan hidup. Anak-
anak mereka seperti robot yang tidak memiliki keinginan dan motivasi murni lagi. Akibatnya, ketika mereka
menikah kelak (di mana pasangan mereka pun ditetapkan oleh orangtua), mereka tidak akan pernah
berbahagia dan tidak mampu mengajar anak-anak mereka untuk memiliki motivasi murni, karena
pengalaman pahit yang mereka alami. Pada akhirnya, terciptalah suatu generasi yang cuek dengan
motivasi, itulah dunia kita. Mereka masa bodoh apakah Tuhan dipermuliakan atau tidak, karena bagi
mereka, Tuhan itu hanya berlaku di dalam kebaktian gereja dan tidak di dalam kehidupan sehari-hari. Inilah
wujud dualisme di dalam pendidikan “Kristen” di dalam keluarga.
2. Membentuk Kemandirian
Setelah mengajar dan mendidik iman Kristen sejak kecil, para orangtua Kristen harus membentuk
kemandirian anak-anak mereka. Ini adalah wujud kedewasaan eksternal yang diaplikasikan di dalam wilayah
pendidikan Kristen dalam keluarga. Membentuk kemandirian tidak berarti kita mengajar mereka individualis,
tetapi mengajar dan mendidik anak-anak untuk hidup berdikari. Apa yang perlu diperhatikan untuk
membentuk kemandirian tersebut?
a) Mengajar etika dan moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu
Setelah mengajar tentang arti, panggilan, dan motivasi hidup secara Kristiani, para orangtua Kristen harus
mengajar hal-hal lain, misalnya: etika, moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu lain. Ini untuk membentuk
keseimbangan antara pengertian iman dengan kehidupan sehari-hari sebagai wujud aplikasinya. Banyak
orangtua “Kristen” yang melupakan aspek pengajaran iman dan hanya menekankan aspek pendidikan
kognitif semata, akibatnya, sampai dewasa, anak-anak mereka tidak memiliki iman yang beres. Pendidikan
kognitif (akademis) tanpa iman akan menciptakan para bajingan dan teroris masa depan, karena tidak
dibarengi dengan pengertian iman, etika, moralitas, dan karakter. Oleh karena itu, sudah seharusnya para
orangtua Kristen mengajar iman Kristen terlebih dahulu kepada anak-anak mereka, baru setelah itu hal-hal
lain, seperti: etika, moralitas, karakter, dll, sehingga struktur pikiran anak-anak Kristen dari kecil mulai
terbentuk mulai dari takut akan Tuhan, lalu mulai menguasai banyak hal untuk memuliakan-Nya. Hal-hal
itulah yang akan kita uraikan di sini. Sesuatu hal yang sedang kita gumulkan di sini adalah mengajar: etika
dan moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu.
(1) Mengajar etika dan moralitas
Setelah mengajar iman, para orangtua Kristen harus mengajar para anak mereka dengan etika dan
moralitas. Etika dan moralitas berbicara mengenai apa yang baik dan tidak yang berkaitan dengan nilai
hidup. Etika dan moralitas dipelajari bukan karena kita adalah orang Timur. Alkitab sudah mengajar hal ini.
Etika dan moralitas Alkitabiah adalah etika dan moralitas yang theosentris, itulah yang kita taati. Sedangkan
etika-etika dan moralitas duniawi yang MELAWAN Alkitab tidak boleh kita taati. Hal ini tidak berarti kita anti-
duniawi. Yang saya maksud adalah jika ada etika-etika (dan moralitas) sekuler yang tidak melawan Alkitab,
kita ikuti, tetapi yang melawan Alkitab, hal tersebut tidak boleh kita ikuti. Dengan kata lain, saya
menggabungkan 2 macam etika dan moralitas: Alkitabiah dan duniawi. Etika Alkitabiah adalah wahyu
khusus dari Allah (yang 100% benar), sedangkan etika duniawi adalah respons manusia berdosa terhadap
wahyu umum Allah (yang bisa benar dan bisa salah). Apa wujud kedua macam etika dan moralitas itu? Mari
kita kaji dan coba bandingkan serta analisa.
Etika dan moralitas Alkitabiah mengajarkan untuk menghormati orangtua (Kel. 20:12). Hal yang mirip juga
diajarkan oleh etika dunia Timur khususnya dari filsafat Tionghoa yang menganut kepercayaan Budha dan
Kong Hu Cu. Tetapi bedanya, filsafat Tionghoa tentang menghormati orangtua itu diekstrimkan, sehingga
menghormati orangtua tidak ada bedanya dengan menyembah orangtua. Tidak heran, ketika orangtua
meninggal, anak-anak mereka (bahkan ada yang sudah “Kristen”) masih ikut-ikutan sembahyang di depan
foto orangtua mereka, bahkan ada yang membeli roti, mobil-mobilan, dan hal-hal lain untuk diletakkan di
depan foto orangtua mereka. Beberapa saudara dan rekan saya yang beragama Kristen Katolik yang saya
tanyai, mereka katanya hanya menghormati orangtua ketika mereka ikut sembahyang di depan orangtua.
Mereka berkata bahwa itu tradisi leluhur dan tidak ada hubungannya dengan agama atau penyembahan. Itu
SALAH! Alkitab mengajar kita untuk menghormati orangtua, bukan untuk menyembah orangtua.
Menghormati orangtua dilakukan ketika orangtua masih hidup, bukan ketika orangtua sudah meninggal.
Ketika orangtua kita meninggal, lalu kita sembahyang, itu tandanya kita tidak lagi menghormati, tetapi
sudah menyembah, karena yang kita hormati sudah meninggal. Dan lagi, Alkitab mengecam keras bahwa
barangsiapa yang menyembah ilah-ilah lain di luar Allah, mereka akan dihukum Allah sampai keturunan
yang ketiga dan keempat (Kel. 20:4-5).
Etika dan moralitas Alkitabiah yang lain mengajarkan agar kita tidak membunuh (Kel. 20:13). Sedangkan
dalam etika dan moralitas ala Budha dan Kong Hu Cu yang mempengaruhi filsafat Tionghoa, hal ini
diekstrimkan, lalu mengajar bahwa membunuh binatang pun tidak boleh. Padahal Alkitab mengajar bahwa
kita tidak boleh membunuh manusia (bdk. Kej. 9:6), bukan tidak boleh membunuh binatang. Tidak ada satu
ayat Alkitab pun yang mengajar kita untuk tidak boleh membunuh binatang. Mengapa? Karena Alkitab
mengajar bahwa Allah menciptakan binatang untuk manusia. Hal ini tidak berarti manusia bisa menyiksa
binatang. Pdt. Dr. Stephen Tong mengutip perkataan hamba Tuhan lain mengajar bahwa kita sebagai
manusia boleh membunuh binatang untuk dimakan dagingnya, tetapi kita TIDAK boleh menyiksa binatang,
misalnya kita memelintir dan menggunting kaki semut/nyamuk, dll. Berarti, tetap ada batas etikanya.
Wujud etika dan moralitas Alkitabiah lainnya dapat kita pelajari sendiri di dalam Dasa Titah (Kel. 20:1-17)
dan Peraturan Emas yang Tuhan Yesus ajarkan di Matius 7:12.
(2) Mengajar karakter
Setelah selesai mengajar etika dan moralitas, para orangtua Kristen harus mengajar karakter kepada anak-
anak mereka. Karakter ini berbicara mengenai sifat, kepribadian, dll dari seorang manusia. Nah, masalahnya
adalah manusia sering menyembunyikan karakter mereka, seolah-olah mereka itu baik, apalagi kalau di
gereja. Karakter kita akan nampak jelas ketika kita berhadapan dengan kesulitan. Orang yang memiliki
karakter dewasa ketika menghadapi kesulitan, ia tidak mudah mengomel/bersungut-sungut atau meminta
orang lain memperhatikan dirinya, tetapi orang yang karakternya dewasa akan berusaha menahan dan
menyangkal diri di dalam kesulitan itu, lalu berusaha mencari jalan keluarnya serta berharap kepada Tuhan.
Ini menjadi pelajaran berharga bagi saya pribadi yang sangat lemah dalam hal ini. Orangtua Kristen harus
mengajar anak-anak mereka untuk memiliki karakter Kristen yang dewasa, yaitu dengan:
Pertama, belajar menyangkal diri di dalam kesulitan. Ketika ada kesulitan menghimpit, para orangtua Kristen
harus mengajar anak-anak mereka untuk tidak membicarakannya kepada orang lain terlebih dahulu,
melainkan harus menyangkal diri. Belajarlah untuk menanggung kesulitan itu sendiri, baru kalau memang
kesulitan itu benar-benar tidak bisa kita atasi, kita boleh mensharekan kepada orang lain. Jika memang tetap
tidak bisa, berdoalah kepada Tuhan dan percayalah Ia akan memberikan kekuatan ekstra kepada kita untuk
menghadapi kesulitan itu.
Kedua, belajar memperhatikan orang lain. Di dalam kesulitan dan dalam segala hal, biasakan untuk tidak
mencari perhatian dari orang lain, tetapi justru memberi perhatian kepada orang lain. Orang yang
karakternya dewasa segera tanggap ketika mereka mengetahui orang lain sedang kesusahan, misalnya
dengan memperhatikan mereka baik dari segi kesehatan, dana, dll. Sedangkan orang yang karakternya
tidak dewasa terus-menerus mencari perhatian dari orang lain, misalnya dengan keantikan pribadinya,
misalnya berbicara sendiri ketika khotbah disampaikan, dll.
), tetapi ketika di luar gereja, mereka lebih mirip seperti setan, licik, jahat, menipu, dll. Ketika membantu
seseorang di gereja, orang Kristen bisKetiga, belajar tidak memiliki kepribadian ganda. Setelah belajar
memperhatikan orang lain, kita harus belajar juga untuk tidak berkepribadian ganda. Saya pribadi sangat
ngeri melihat banyak orang Kristen di era postmodern ini. Mereka menampilkan kepribadian ganda. Ketika di
gereja, muka mereka tampak alim dan “rohani” seperti malaikat kurang dua sayap (hehehea tampak sangat
agresif, menolong sini sana, dll, tetapi ketika keluar dari gereja, orang Kristen yang sama membicarakan
kejelekan orang yang ditolongnya. Bukan hanya itu saja, kepribadian ganda orang Kristen ditandai dengan
kemunafikan mereka. Kepada orang lain, mereka mengajar bahwa kita tidak boleh meniru kejelekan orang
lain, tetapi anehnya, ketika mereka sendiri terlambat datang beribadah di gereja, mereka berdalih bahwa
jemaat lain juga ada yang telat. Nah, masa kekonsistenan pengajaran orang ini? Bukankah ini suatu
kepribadian ganda atau kemunafikan seorang Kristen? Biarlah kita bertobat. Apa yang kita ajarkan dan
katakan, hendaklah kita sendiri yang mempraktikannya sendiri.
(3) Mengajar ilmu-ilmu
Setelah mengajar etika dan moralitas ditambah karakter, barulah para orangtua Kristen mulai mengajar
anak-anak mereka dengan ilmu. Saya meletakkan ilmu di bagian terakhir, karena itu adalah bagian yang
paling tidak penting. Seperti yang telah saya paparkan di atas, seorang yang berilmu tetapi tidak beriman,
tidak beretika, dan tidak berkarakter beres akan menghasilkan para bajingan, atheis, dan teroris masa
depan. Oleh karena itulah, saya meletakkan mengajar ilmu di bagian terakhir. Mengajar ilmu dari kecil itu
penting. Misalnya, mengajar 1+1=2, lalu mengajar nama benda-benda, binatang, dll. Setelah mengajar ilmu
tersebut, jangan lupa untuk mengaitkannya dengan Allah sebagai Pencipta. Misalnya, ketika orangtua
mengajar anak kecil bahwa ini jerapah, ini gajah, dll, lalu mereka harus segera mengaitkannya bahwa semua
binatang ini diciptakan oleh Tuhan. Ilmu yang diintegrasikan dengan iman mengakibatkan anak dari kecil
langsung mengerti aplikasi iman di dalam kehidupan sehari-hari khususnya di dalam bidang pengetahuan,
sehingga ketika dewasa, mereka memiliki paradigma yang theosentris, yaitu takut akan Tuhan adalah
permulaan pengetahuan (Ams. 1:7), bukan mendewakan pengetahuan sebagai segala-galanya. Mengapa
banyak orangtua “Kristen” dan siswa/mahasiswa “Kristen” saat ini menjadi atheis praktis? Karena mereka
tidak pernah diajar oleh para orangtua mereka dahulu bahwa Tuhan itu sumber pengetahuan. Akibatnya,
mereka pun tidak pernah takut akan Tuhan ketika berada di sekolah/universitas. Biarlah hal ini jangan
sampai menimpa kita sebagai anak didik Kristen dan orangtua Kristen.
b) Mengajar bijaksana
Setelah mengajar etika dan moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu, para orangtua Kristen dituntut untuk
mengajar anak-anak mereka tentang kebijaksanaan. Kepandaian dan akhlak itu perlu dan penting, tetapi
harus disertai dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang harus diajarkan oleh para orangtua Kristen
meliputi dua hal:
(1) Bijaksana dalam mengambil keputusan
Sejak kecil, hendaklah orangtua Kristen mengajar anak-anak mereka untuk bijaksana dalam mengambil
keputusan. Hal ini harus dibiasakan dari hal-hal sepele/kecil. Lalu, setelah itu, ketika anak sudah mulai
remaja, ajarlah mereka untuk bijaksana memikirkan sesuatu dari perspektif jangka panjang dan terlebih
penting kaitkan itu dengan rencana dan kehendak Allah di dalam hidup mereka. Ketika sesuatu dilihat dari
perspektif kedaulatan Allah dan jangka panjang, maka kita bisa memiliki pandangan yang luas dalam
menggenapkan rencana dan kehendak-Nya. Misalnya di dalam memilih pasangan hidup dan pekerjaan. Hal
yang akan saya soroti di sini hanya untuk memilih pasangan hidup, sedangkan memilih pekerjaan sudah
saya jelaskan di atas di bagian Kedewasaan Eksternal di subbagian Bijaksana.
Di dalam memilih pasangan hidup, Alkitab sudah menegaskan bahwa orang Kristen harus mencari pasangan
yang seiman (2Kor. 6:14). Ini adalah prinsip terpenting. Bagaimana kita mengerti bahwa pasangan kita
benar-benar seiman? Kita bisa melihatnya dari keseriusan pasangan kita dalam mengikut Kristus. Adakah ia
bermain-main di dalam mengikut Kristus, misalnya sambil ke gereja, sambil percaya dukun, peramal, dan
selamatan (slametan)? Itu jelas bukan Kristen dan dengan pengertian iman yang bertanggungjawab, ia
TIDAK usah dijadikan pasangan hidup kita. Selain itu, seiman atau mengikut Kristus kedua ditandai dengan
taatnya seseorang hanya kepada Allah. Ketaatan umat Tuhan kepada Allahnya ditandai dengan
mengorbankan dan memberikan apa pun demi kehendak-Nya terlaksana, termasuk memberikan
persepuluhan, dll. Tetapi ingatlah, memberi persepuluhan pun TIDAK didasari oleh motivasi agar kita
diberkati berkali-kali lipat ganda, tetapi kita memberi persepuluhan tulus dari hati kita yang terdalam (2Kor.
9:6-8). Jika pasangan hidup kita yang katanya “Kristen” tetapi melarang kita memberi persepuluhan dengan
alasan irit, tidak perlu, dll, berhentilah memilih dirinya sebagai pasangan hidup kita!
Selain beriman sungguh-sungguh kepada Kristus, kita tetap memperhatikan juga kesepadanan di dalam
memilih pasangan hidup. Apa arti sepadan? Pdt. Sutjipto Subeno mengajar bahwa sepadan itu BUKAN sama,
tetapi sepadan itu adalah dua hal yang berbeda bahkan bertolak belakang, namun saling melengkapi,
seperti dua roda gigi yang saling masuk. Lebih lanjut, sepadan dalam arti apa? Apakah kalau si cewek suka
tepat waktu (on time), maka si cowok harus suka telat? Apakah kalau si cewek perhatian, maka si cowok
tidak perlu terlalu perhatian? Apakah kalau si cewek jujur, maka si cowok tidak jujur? Itu BUKAN
kesepadanan! Perhatikan! Cowok/cewek yang suka telat, tidak terlalu memperhatikan pasangannya (bahkan
berani membandingkan pacar/pasangannya dengan orang lain di depan orang lain itu, meskipun dengan
alasan bergurau), apalagi yang tidak jujur, dll itu TIDAK mengandung unsur positif sedikitpun! Bahkan jika
ada cowok/cewek seperti itu, dengan bijaksana dari Tuhan, kita TIDAK perlu memilih orang itu sebagai
pasangan hidup kita apalagi menikah dengannya. Itu sangat berbahaya. Ingatlah, kesepadanan TIDAK
berlaku untuk hal-hal negatif, tetapi untuk hal-hal positif yang saling melengkapi. Misalnya, kalau si cewek
orangnya agak lambat bekerja, sedangkan si cowok lebih cepat bekerja. Dua-duanya memberikan
sumbangsih, yaitu jika si cowok bekerja, si cewek sebagai pasangannya akan meneliti kembali pekerjaan si
cowok supaya tidak terjadi kesalahan. Sebaliknya, jika ceweknya bekerja dan terlalu memperhatikan hal-hal
detil yang tidak signifikan, maka si cowok akan cepat mengobrak-abrik si cewek supaya segera
menyelesaikan pekerjaannya dan tidak terlalu memperhatikan hal-hal detil yang tidak signifikan itu.
Prinsip ketiga di dalam memilih pasangan hidup tentunya adalah mencintai kita apa adanya dan orangtua.
Pasangan hidup yang beres adalah orang yang mencintai pasangannya dengan tulus, bukan dengan
bermain-main. Ketulusan di dalam membina hubungan pacaran, tunangan, dan pernikahan itu sangat
diperlukan di tengah zaman postmodern yang serba tidak tulus ini. Ketulusan itu ditandai dengan mencintai
pasangan kita apa adanya bukan pada hal-hal fenomenal (superficial) seperti fisik, tetapi pada hal-hal
esensial, yaitu iman, karakter, etika, dll. Keanehan yang terjadi yang saya perhatikan baru-baru ini adalah
ada seorang cewek (X) yang sudah bertunangan dengan seorang cowok (Y). Cewek ini memiliki seorang
rekan cewek juga (B) dan rekan ini suatu saat mengunjungi X dan Y ini. Tiba-tiba waktu mau pulang, B
bercerita kepada saya bahwa Y dengan bergurau mengatakan kepada B bahwa B tambah gemuk saja, tidak
seperti ceweknya (X), alhasil si X diam-diam saja. Mengapa diam? Cinta itu “buta,” tetapi tidak sadar,
gurauan cowoknya itu pelan namun pasti akan menunjukkan keseriusan dan kasihan si cewek ini waktu
menikah terus menerima perlakuan perbandingan dari si cowok yang menuntut si cewek.
Tanda ketulusan yang lain adalah memperhatikan pasangan kita, bukan malahan merusak pasangan kita.
Saya memiliki contoh konkrit akan hal ini. Ini mengenai teman saya yang cewek yang saya ceritakan di atas
yang memiliki seorang pacar. Dia berkata bahwa cowoknya itu orangnya sayang kepadanya. Bagaimana
membuktikannya? Dia berkata bahwa cowoknya selalu membelikan makanan kecil kepadanya. Ketika saya
mendengar itu, saya langsung geleng-geleng kepala. Itu namanya mencintai atau sayang? BUKAN! Itu
merusak. Dia tidak tahu akan bahaya penyakit lemak, kolesterol, dll. Dia pikir bahwa memberi itu selalu
diidentikkan dengan baik dan sayang. Puji Tuhan, Alkitab mengajar bahwa Tuhan TIDAK selalu memberi apa
yang kita minta, karena apa yang kita minta berbeda dengan kehendak-Nya (Yes. 55:8).
Tanda ketulusan ketiga adalah tidak menuntut dan membelenggu pasangan kita. Ketulusan kita mencintai
pasangan kita ditandai dengan TIDAK menuntut apalagi membelenggu pasangan kita seolah-olah pasangan
kita itu seperti maling/pencuri yang perlu diburu setiap waktu. Pdt. Sutjipto Subeno pernah berujar bahwa
Christian marriage is not to get something, but to give something to another (pernikahan Kristen bukan
untuk mendapat sesuatu, tetapi untuk memberi sesuatu kepada pasangan kita). Lagi-lagi, realitas yang saya
pakai adalah teman saya yang cewek yang saya ceritakan di atas. Dia menceritakan bahwa cowoknya itu
over-protective, bahkan cowoknya sempat meminta kepadanya alamat e-mail dan Yahoo Messenger (YM)
untuk mengecek dengan siapa saja ceweknya chat. Spontan saja, saya agak tertawa melihat tingkah
kekanak-kanakan cowok ini. Dan anehnya, si cewek ini sebelumnya berkata bahwa dia memilih cowok bukan
karena tampangnya, tetapi karakternya. Saya berpikir, dari sisi sebelah mana karakter cowok ini baik?
Hehehe. Untungnya, kata teman saya ini, cowoknya berubah, tetapi berubahnya berapa lama itu yang saya
tidak tahu?
Tanda ketulusan terakhir adalah belajar bersama-sama tentang kelebihan masing-masing pasangan. Jika
Pdt. Sutjipto tadi mengatakan bahwa pernikahan itu bukan mendapat sesuatu, tetapi memberi sesuatu,
maka saya menambahkan bahwa di dalam masa pacaran, tunangan, dan pernikahan, masing-masing
pasangan perlu belajar satu sama lain. Artinya, jika si cowok memiliki iman dan karakter yang baik, si cewek
harus belajar darinya, begitu sebaliknya. Proses pembelajaran ini bukan untuk rebutan saling mendapat
manfaat, tetapi sebagai sarana yang berguna juga bagi pertumbuhan masing-masing pasangan dan bagi
pendidikan anak-anak mereka kelak. Jika masing-masing pasangan tidak mau belajar satu sama lain,
melainkan hanya salah satunya saja yang memiliki kelebihan, misalnya dalam iman dan ketaatan, maka
bagaimana mereka bisa mendidik anak dengan beres? Misalnya, si cowok/suami taat dan cinta Tuhan: rajin
memberi persepuluhan, suka membaca Alkitab, berdoa, memberitakan Injil, dan dari segi karakter juga baik,
sedangkan si cewek/istri katanya “Kristen”, tetapi mengajari suami untuk tidak usah memberi persepuluhan,
karakternya juga egois (mau menang sendiri), merasa diri berjasa (kalau tidak ada dirinya, dunia akan
runtuh), dll, silahkan pikir sendiri, jika kedua orang ini menikah dan memiliki anak, bagaimana mereka bisa
mendidik anak-anak mereka? Lalu, teladan yang mana yang harus diikuti oleh anak-anak mereka? Si ayah
itu cinta Tuhan dan baik, sedangkan si ibu berjiwa materialis dan atheis praktis, tetapi dibungkus dengan
nama “Kristen.”
Selain tulus mencintai kita, pasangan kita juga harus mencintai orangtua kita. Adalah suatu kekonyolan jika
pasangan kita hanya mencintai kita dan bukan orangtua kita. Ada contoh fakta dari sebuah keluarga di
mana istri menelantarkan ibu suaminya (ibu mertuanya) yang sudah tua dan sakit-sakitan, lalu akibatnya si
ibu ini akhirnya meninggal karena pada waktu sakit, si ibu ini dipaksa bekerja oleh istri (menantu) ini.
Sungguh tragis. Biarlah Roh Kudus memimpin kita memiliki kebijaksanaan khususnya dalam memilih
pasangan hidup dan pekerjaan dari perspektif kedaulatan Allah, bukan dari perspektif keinginan manusia
sekuler.
(2) Bijaksana dalam mengelola: waktu, keuangan, dll
Bijaksana bukan hanya dalam mengambil keputusan, tetapi juga dalam mengelola: waktu, keuangan, dll.
Mengapa banyak orang Kristen hari-hari ini hidupnya kacau? Karena banyak orangtua Kristen kurang
mendidik pentingnya pengelolaan waktu, keuangan, dll. Banyak orangtua Kristen membiarkan anak-anaknya
terlalu banyak memakai waktu untuk hal-hal yang tidak penting, misalnya jalan-jalan ke mal. Jalan-jalan ke
mal itu tidak salah, karena itu suatu refreshing, tetapi hal tersebut tidak boleh kita lakukan hampir setiap
hari. Ketika kita hampir setiap hari jalan-jalan ke mal, itu membuang waktu, apalagi kalau kita jalan-jalan ke
mal Sabtu malam sampai larut malam, lalu besok Minggunya kita tidak bisa pergi ke gereja karena
kecapekan. Hal-hal tersebut harus kita kurangi. Belajarlah mengelola waktu kita dengan memilah-milah
aktivitas yang terpenting dengan yang tidak penting. Untuk aktivitas yang penting bahkan terpenting,
sediakanlah waktu yang paling banyak, sedangkan untuk aktivitas yang kurang atau bahkan tidak penting,
luangkan waktu sedikit. Misalnya, waktu ke gereja, saat teduh, berdoa, dll, sediakanlah waktu yang paling
banyak, sedangkan untuk pergi ke mal, dll, luangkan waktu sedikit. Itulah wujud kedewasaan Kristiani yang
sehat yang harus diajarkan oleh para orangtua Kristen kepada anak-anak mereka sejak kecil.
Kedua, banyak orangtua Kristen juga membiarkan anak-anak mereka menghambur-hamburkan uang untuk
hal-hal yang tidak penting, terutama banyak anak cewek yang suka membeli baju yang mahal. Mereka
memperhatikan dandanan luar (fenomenal). Hal ini tidak berarti para cewek tidak boleh tampil cantik, lalu
tidak boleh membeli baju. TIDAK. Mereka boleh membeli baju, tetapi usahakan jangan terlalu sering dan
jangan membeli baju yang mahal. Sesuaikan budget kemampuan kita dengan daya beli kita. Orangtua
Kristen harus mengajari anak-anak mereka akan hal ini, yaitu bagaimana menyesuaikan kemampuan
finansial mereka dengan daya beli mereka, sehingga tidak terjadi pemborosan yang berlebihan. Sebelum
mengajari anak-anak, hendaklah para orangtua Kristen pun harus memberi teladan terlebih dahulu. Biarlah
para orangtua Kristen juga bijaksana dalam mengelola keuangan mereka, sehingga tidak boros. Hal ini juga
berlaku di dalam memberi persepuluhan. Orang Kristen yang didorong oleh cinta kasih Tuhan harus
memberi persepuluhan sebagai wujud rasa syukur kepada-Nya. Tuhan tidak melihat jumlah persepuluhan
yang kita berikan, karena Ia lebih melihat hati kita. Sehingga kita pun tetap harus menyesuaikan
kemampuan kita dengan persepuluhan yang kita berikan. Dengan alasan ini, TIDAK berarti kita memberi
persepuluhan sedikit saja, karena yang terpenting Tuhan melihat hati. TIDAK, ini pun salah. Yang benar
adalah berikan persepuluhan sesuai dorongan Roh Kudus di dalam hati kita dan kemampuan yang kita miliki.
Selanjutnya, kita tetap harus memperhatikan ke gereja seperti apa kita memberikan persepuluhan. Jika
gereja itu tidak layak menjadi tempat kita memberi persepuluhan, karena banyak dikorupsi oleh
“pendeta”nya, maka kita tidak perlu memberi persepuluhan di tempat tersebut. Ingatlah, persepuluhan
adalah bukti iman kita yang tidak melihat kepentingan kita dahulu, tetapi kepentingan Tuhan.
c) Mengajar bertanggungjawab
Setelah mengajar anak untuk bijaksana, para orangtua Kristen harus mengajar mereka untuk
bertanggungjawab. Bertanggungjawab ini berarti bertanggungjawab atas: segala sesuatu dan segala
sesuatu yang mereka telah putuskan.
Pertama, bertanggungjawab atas segala sesuatu. Di titik pertama, para orangtua Kristen harus mengajar
anak-anak mereka dari kecil untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang telah mereka perbuat
atau katakan. Misalnya, ketika seorang anak kecil tersandung ketika berjalan, biasanya orangtua langsung
menyalahkan kursinya yang membuat anaknya tersandung. Itu pendidikan yang salah. Jika ini dilakukan,
maka anak dari kecil sudah diajar bahwa dirinya tidak bersalah, tetapi orang lain yang salah. Akhirnya,
ketika mereka beranjak remaja, pemuda, bahkan dewasa, mereka akan membangun semangat mencintai
diri secara berlebihan dan menganggap diri lebih hebat, pandai, bijak, dll dari orang lain. Jangan salah,
orang-orang ini akan sangat sulit ditegur kesalahannya, apalagi disuruh bertobat.
Di sisi lain, pendidikan seperti ini mengakibatkan anak yang bersalah akan cuek seumur hidupnya akan apa
yang mereka lakukan dan katakan. Jika mereka salah, mereka tidak pernah benar-benar memperhatikan
kesalahannya, karena dari kecil, mereka sudah dibiarkan tidak bersalah. Akibatnya, ketika sudah beranjak
remaja, pemuda, bahkan dewasa, mereka akan susah diajar untuk mempertanggungjawabkan apa yang
telah mereka lakukan dan katakan. Sudah terlalu banyak realitas yang terjadi sebagai contoh praktis akan
konsep ini. Ada seorang dewasa “Kristen” kalau melakukan sesuatu selalu tidak mau bertanggungjawab.
Contoh sederhana, ketika dia meminjam atau melihat-lihat barang milik orang lain, dia tidak pernah
mengembalikannya di tempat asalnya, melainkan dia menaruhnya sembarangan, sehingga pemilik barang
tersebut kebingungan mencarinya. Lalu, ketika pemilik barang ini menanyakan kepada orang ini di mana
barang yang dipinjamnya sebentar, orang ini mengajukan argumentasi “logis”, misalnya: “Sori, saya lupa
menaruhnya di mana”, dll. Kalau memang lupa sekali, harap dimaklumi, tetapi realitas yang terjadi,
kelupaannya ini terjadi hampir berkali-kali, apa ini lupa? Tentu tidak, ini namanya TIDAK
BERTANGGUNGJAWAB! Selanjutnya, bukankah kita cukup sering melihat orang dewasa (bahkan “Kristen”)
kalau mengatakan sesuatu selalu sembrono dan tidak bertanggungjawab, lalu ketika dirinya ditegur, dia
akan memakai ribuan argumentasi “logis” bahkan “religius” untuk melarikan dari apa yang telah mereka
katakan yang sebenarnya salah? Semua perkataannya dipelintir, supaya orang lain tidak menemukan
kesalahan perkataannya. Bukan hanya orang “Kristen” biasa yang melakukan hal ini, ada juga “pendeta”
yang katanya studi program doktoral di Amerika pun melakukan hal yang memalukan. Oleh karena itulah,
jika anak kita dari kecil sudah salah, misalnya, tersandung, biasakan kita sebagai para orangtua Kristen
mengingatkan dia untuk berhati-hati ketika jalan. Ketika para orangtua Kristen mendidik mereka seperti ini,
percayalah, mereka akan memiliki kerendahan hati untuk terus-menerus diingatkan dan ditegur serta
mereka memiliki tanggung jawab setelah mereka mengatakan atau melakukan sesuatu.
Kedua, bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah mereka putuskan. Hal ini berkait dengan poin b.
Dengan kata lain, setelah mengajar mereka untuk bijaksana baik dalam mengambil keputusan dan
mengelola: waktu, keuangan, dll, para orangtua Kristen harus mengajar anak-anak mereka untuk
mempertanggungjawabkannya. Misalnya, setelah anak mereka bijaksana memilih pasangan hidup mereka,
mereka harus mempertanggungjawabkan segala risikonya. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengutip
perkataan ibu beliau yang mengajar kepada anak-anaknya ketika sudah beranjak dewasa bahwa mereka
memilih pasangan hidup: lihat sendiri, pilih sendiri, kalau baik: untung sendiri, kalau jahat/tidak baik: rugi
sendiri, semua serba sendiri. Ini namanya bertanggungjawab. Jangan sampai setelah kita salah memilih
pasangan hidup, kita mengomel, menyalahkan orangtua, apalagi menyalahkan Tuhan. Itu kesalahan kita
sendiri yang harus kita pertanggungjawabkan. Oleh karena itulah, sebagai anak-anak Tuhan, kita harus
memiliki hati dan pola pikir yang bijaksana yang melihat segala sesuatu dari perspektif kedaulatan Allah
ketika memilih pasangan hidup maupun pekerjaan. Jangan sekali-kali memakai pola pikir duniawi, karena itu
bertentangan dengan pola pikir Kerajaan Sorga. Jika Anda masih bebal juga dan menggunakan pola pikir
duniawi, silahkan tanggung sendiri hidup pernikahan dan masa depan Anda yang jauh dari kehendak dan
rencana Allah.
d) Melatih anak untuk hidup susah
Hal terakhir yang harus diperhatikan adalah melatih anak untuk hidup susah. Setelah bertanggungjawab,
para orangtua Kristen harus melatih anak-anak mereka untuk menerima risiko untuk hidup susah
sesudahnya entah akibat salah pilih atau hal lain. Menerima risiko ini berarti anak-anak dilatih untuk belajar
hidup susah. Buat apa? Bukankah zaman yang serba enak ini menuntut segala sesuatu harus enak? Bahkan
khotbah-khotbah di banyak gereja kontemporer yang pop mengajarkan bahwa orang “Kristen” pasti kaya,
sukses, sehat, dll? Lagu sekuler pun mengajarkan, “Buat apa susah? Susah itu tiada gunanya.” Konsep inilah
yang sering dilakukan oleh banyak orangtua yang kaya kepada anak-anak mereka. Mereka memanjakan
mereka dengan adanya supir yang mengantarkan mereka ke sekolah. Lalu, sejak kecil, mereka sudah
menjadi bos kecil di rumah, mau memasang kaos kaki pun menyuruh 2 pembantu untuk memasangkannya.
Bahkan Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa ketika anak kita masih kecil (bayi), kita
memanjakan mereka, yaitu ketika mereka tidur, kita memasang pengumuman, “Baby sleeps here.” (=bayi
tidur di sini) dengan tujuan agar orang lain tidak menganggu ketenangan tidur sang bayi. Lalu, kalau si bayi
ini sudah beranjak dewasa, bayi ini akan kaget setengah mati ketika mendengar anjing “kentut.” Hehehe...
Benarkah konsep bahwa susah itu tidak ada gunanya? TIDAK! Alkitab mengajarkan bahwa penderitaan,
kesusahan, dll (BUKAN karena kesalahan kita) itu berguna untuk mendewasakan iman dan karakter kita.
Orang yang tidak pernah mengalami kesusahan tidak akan mengerti hidup. Lalu, bagaimana kita bisa
mengerti konsep kesusahan yang Alkitabiah?
Pdt. Yohan Candawasa, S.Th. di dalam bukunya Mendapatkan-Mu dalam Kehilanganku mensharekan banyak
berkat tentang hal ini. Daftar isi buku ini pun disusun dengan sangat sistematis, yaitu mulai dari pemahaman
bahwa Allah itu Kasih, konsep kelegaan ada di mana, lalu mulai masuk ke inti masalah yaitu problematika
kesusahan, kemudian kita diajar agar kita melihat seperti Allah melihat di dalam kesusahan itu ditambah
dengan kesimpulan bahwa susah itu ada gunanya. Dari alur pikir di daftar isi buku ini, kita dipimpin untuk
mengerti bahwa sebelum kita mengerti kesusahan hidup, kita harus mengerti konsep Allah itu Kasih dan
sebagai Sumber Kelegaan kita. Setelah kita mengerti konsep tersebut, kita baru memiliki kesiapan hati
untuk menghadapi kesusahan, lalu ditutup dengan pengertian bahwa di dalam kesusahan, kita harus melihat
seperti Allah melihat sehingga kesusahan itu memiliki signifikansi penting bagi kedewasaan iman dan
karakter kita.
Dalam melatih anak-anak pun, konsep ini harus ditanamkan. Dari kecil, tanamkanlah konsep kepada anak-
anak bahwa Allah itu Kasih. Allah yang adalah Kasih itu TIDAK berarti Ia akan memberikan kita kelancaran,
kesehatan, kesuksesan, dll. Allah yang adalah Kasih adalah Allah yang mengasihi, memelihara kita, bahkan
menginginkan kita untuk tumbuh dewasa baik secara iman, karakter, dll. Agar kita dewasa, Ia tentu
menginginkan kita menerima segala bentuk kesusahan agar iman dan karakter kita ditumbuhkan dan makin
matang. Ketika mengalami kesusahan itulah, para orangtua Kristen harus mengarahkan anak-anaknya untuk
memiliki pola pikir yang melihat segala sesuatu bukan dari perspektif diri manusia yang berdosa, tetapi dari
perspektif kedaulatan Allah. Ketika kita melihat sesuatu dari perspektif kedaulatan Allah, maka kita akan
menemukan signifikansi kesusahan yang kita alami di dalam kerangka kehendak-Nya bagi kita. Hal ini akan
menuntun kita kepada kesimpulan terakhir bahwa kita akan bersyukur dan mengatakan, “Susah itu ada
gunanya.” Lalu, bagaimana caranya orangtua Kristen melatih anak-anak untuk hidup susah?
Pertama, tidak memanjakan anak-anak. Biasakan dari kecil, anak-anak tidak dimanja dengan menyediakan
semua fasilitas, termasuk pembantu untuk melayani mereka. Ajarkan kepada anak-anak dari kecil untuk
memasang sepatu dan kaos kaki sendiri. Setelah waktu kecil mereka sudah bisa mandiri melakukan hal-hal
tersebut, maka ketika dewasa, mereka akan juga mandiri melakukan hal-hal yang lebih kompleks dan tidak
akan mengomel. Saya pribadi memiliki banyak kelemahan di dalam hal ini dan sedang ada di dalam proses
untuk bisa menguasai banyak hal.
Kedua, tidak selalu menuruti kemauan anak-anak. Tidak memanjakan anak-anak diikuti dengan sikap tidak
selalu menuruti kemauan anak-anak. Ketika anak-anak mau sesuatu, biasakan untuk tidak selalu menuruti
kemauannya. Ini TIDAK berarti kita tidak menuruti sama sekali kemauan anak-anak. Yang dimaksud di sini
adalah orangtua Kristen TIDAK SELALU menuruti kemauan anak-anak, bukan tidak menuruti sama sekali.
Tidak selalu berarti jarang. Dengan kata lain, kita boleh mengabulkan permintaan anak-anak kita, misalnya
membeli mainan yang harganya murah, tetapi jika anak-anak kita menginginkan mainan yang harganya
mahal, misalnya hampir ratusan ribu bahkan jutaan, kita tidak perlu membelikannya, meskipun anak-anak
kita menangis. Lalu, dengan standar apa kita menuruti atau tidak menuruti kemauan anak-anak kita?
Standarnya tetap adalah kebenaran baik dari segi iman maupun pembentukan karakter anak-anak kita. Jika
sesuatu itu membangun iman dan karakter anak-anak Anda serta disesuaikan dengan usia dan kemampuan
anak-anak, sebagai orangtua, kita harus menuruti kemauannya. Misalnya, jika anak-anak kita ingin pergi ke
Sekolah Minggu, ya, turuti kemauannya. Itu adalah hal yang baik (meskipun kita menyadari bahwa banyak
anak di zaman postmodern jarang memiliki keinginan ini, hehehe).
Ketiga, berani melepaskan anak-anak yang sudah besar untuk hidup mandiri. Tidak memanjakan anak-anak
juga diikuti dengan sikap berani melepaskan anak-anak yang sudah besar untuk hidup mandiri (tidak banyak
tergantung pada orangtua). Inilah kegagalan banyak orangtua Kristen termasuk saya sebagai akibatnya.
Banyak orangtua Kristen apalagi yang memiliki anak tunggal merasa bahwa anaknya itu seperti malaikat,
selalu dijaga supaya tidak lecet kakinya, tidak mengalami kecelakaan, dll. Hal tersebut tidak salah, tetapi
juga tidak benar. Mengapa? Karena kasih sayang orangtua Kristen ini di satu sisi baik, tetapi di sisi lain
berakibat buruk, yaitu anak yang sudah beranjak dewasa tidak memiliki kemandirian. Dari kecil, seorang
anak tunggal sudah ditanamkan konsep bahwa pandangan orangtua lah yang benar, lalu ketika sudah besar
dan dewasa, konsep ini tidak berubah bahkan tambah ekstrim, termasuk hal-hal sepele, misalnya baju, dll,
orangtua sangat berpartisipasi aktif menentukan mana yang harus dipakai dan mana yang tidak dipakai.
Akibatnya, kalau si anak tunggal yang sudah besar ini memilih sendiri baju yang ia sukai, orangtua
(khususnya pihak cewek yang kebanyakan cerewet untuk hal-hal yang tidak perlu) akan marah-marah
karena yang anaknya pilih tidak sesuai dengan selera ibunya. Lucu bukan? Yang memakai baju itu anaknya,
tetapi yang tidak suka itu ibunya. Jadi, yang pakai baju itu sebenarnya siapa: anaknya atau ibunya?? Inilah
akibat pendidikan kuno yang egois! Bukan hanya mengenai masalah baju, masalah lain seperti pergi sendiri
pun menjadi masalah. Ada orangtua “Kristen” yang memiliki anak tunggal sangat over-protective terhadap
anaknya yang sudah beranjak dewasa dengan tidak mengizinkannya pergi sendiri. Mau tahu alasannya?
Sangat irasional! Katanya, takut, kalau di tengah jalan, ada orang jahat yang berbuat jahat kepada anaknya,
sedangkan kalau pergi dengan orangtua kan aman. Hehehe. Ketika saya share konsep ini kepada teman-
teman saya, teman-teman saya langsung tertawa, memangnya, kalau orang jahat itu jumlahnya 5-6 orang,
apakah dengan hadirnya orangtua, orang jahat itu bisa kabur? Hehehe... Saya pribadi takut dengan konsep
tidak bertanggungjawab ini, di mana konsep ini pelan namun pasti mengakibatkan si anak ketika berpacaran
mutlak bersama orangtuanya atau pun jika tidak bersama orangtuanya, minimal orangtuanya akan seperti
“polisi” menelpon anaknya hampir setiap menit dan jam untuk memantau keadaan anak tunggalnya ini. Dan
percayalah, waktu anaknya menikah pun, orangtua ini akan terus mencampuri urusan rumah tangga
anaknya yang terus dianggap kurang dewasa (padahal sebenarnya, orangtua ini pun belum tentu bisa
dikategorikan sebagai orangtua yang dewasa, meskipun sudah menganggap diri sebagai “orangtua,”
hehehe). Di sisi lain, jika anaknya mau pergi melayani di gereja harus didampingi orangtuanya ketika
menyetir mobil. Akibatnya, orang-orang di gereja akan menyangka anaknya tidak bisa mandiri, padahal
sebenarnya, orangtua inilah yang sangat amat kuatir dan tidak pernah mau mendewasakan anaknya yang
sudah besar, karena anaknya itu anak tunggal.
Sudah saatnya para orangtua Kristen BERTOBAT dari kekeliruan konsep di atas. Belajarlah berani untuk
melepaskan anak-anak yang sudah besar untuk mandiri. Anak yang sudah besar ini usianya mungkin di atas
18 tahun. Sebelum melepas anak-anak yang usianya di atas 18 tahun itu, sebagai orangtua Kristen, kita
harus memantau tingkat pertumbuhan iman dan karakter anaknya. Jika sudah bisa dikategorikan cukup
dewasa, baru boleh dilepas. Tetapi bagaimana jika belum bisa dikategorikan dewasa, apa belum boleh
dilepas? Tidak juga. Sekali lagi, kedewasaan adalah sebuah proses, bukan karena ia belum dewasa, orangtua
belum boleh melepas. Bagaimana kita bisa mengetahui anak kita dewasa jika kita tidak berani melepas
mereka untuk hidup mandiri? Yang dipentingkan di sini adalah kedewasaan iman. Ketika seorang anak yang
sudah dewasa imannya sudah beres dan kuat, maka kedewasaan iman ini mengakibatkan si anak memiliki
kedewasaan karakter, dll di dalam proses. Dengan demikian, sebagai orangtua Kristen yang waras beranilah
melepas anak-anak ini untuk hidup mandiri, supaya anak-anak mereka kelak ketika sudah beranjak dewasa
mampu hidup mandiri. Jika orangtua terus mengatakan (menceramahi) anaknya bahwa ia masih kekanak-
kanakan, tetapi TIDAK diikuti dengan langkah selanjutnya yaitu berani melepas anak itu untuk hidup
mandiri, itu bukan solusi yang bertanggungjawab! Ini persis seperti orang yang suka mengkritik ajaran atau
orang lain itu salah, tetapi tanpa ada inisiatif untuk mengoreksi ajaran atau orang itu dengan ajaran yang
benar.
3. Mendidik untuk Hidup Bersosialisasi
Selain mendidik anak untuk hidup mandiri, para orangtua Kristen pun harus mendidik anak-anak mereka
untuk hidup bersosialisasi. Seharusnya, budaya sosialisasi dan non-individualistik bukan hal yang sulit di
dunia Timur, karena dunia Timur memang mendukung budaya tenggang rasa dan kerja sama, meskipun
kadang ada yang mengekstrimkan sampai-sampai kerja sama pada waktu ujian, hehehe... Oleh karena
itulah, orangtua Kristen harus mengajar anak-anak mereka memiliki tenggang rasa dan kerja sama yang
baik dengan motivasi yang murni, bukan untuk mencari keuntungan. Bagaimana orangtua Kristen mengajar
anak-anak mereka untuk memiliki tenggang rasa dan kerja sama yang beres itu?
a) Mengajar pentingnya peranan orang lain
Pokok dasar sebelum kita mengajar anak-anak untuk memiliki tenggang rasa dan kerja sama, lebih baik kita
mengajar anak-anak kita tentang pentingnya peranan orang lain. Apakah ini bertentangan dengan konsep
bahwa orangtua Kristen harus mengajar anak-anak dari kecil untuk hidup mandiri? TIDAK! Ini bukan suatu
kontradiksi, tetapi saling melengkapi. Ada kalanya kita harus mandiri di dalam hidup dan ada saatnya kita
memerlukan orang lain untuk membantu kita, karena Tuhan menciptakan kita bukan sebagai makhluk
individualis dan egois, tetapi sebagai makhluk sosial. Sehingga, kita harus mengerti bahwa peranan orang
lain itu penting bagi kita, baik itu teman, pasangan hidup, orangtua, atau saudara. Seberapa signifikan
peranan mereka? Mereka yang dekat dengan kita bisa mendorong, menguatkan, menegur, dan menghibur
kita ketika kita lemah, salah, dan sedih. Tuhan memakai orang lain untuk menjadi berkat bagi kita dan
tentunya kita pun dipakai-Nya untuk memberkati orang lain juga.
b) Mengajar untuk memperhatikan orang lain
Setelah anak-anak kita diajar tentang pentingnya peranan orang lain, mereka pun harus diajar untuk
memperhatikan orang lain. Didiklah anak dari kecil bukan hanya menerima sesuatu dari orang lain, tetapi
juga untuk memperhatikan orang lain juga. Ketika ada orang lain yang susah, kita dituntut untuk memberi
perhatian kepada mereka, entah itu menolong dalam bentuk materi, tenaga, dll. Kalau ada jemaat yang
sakit, biarlah kita juga memperhatikannya, misalnya dengan ikut menjenguk dan mendoakannya. Para
orangtua Kristen bisa mulai mengajar anak-anaknya dari kecil misalnya dengan menyuruh anak kita yang
bungsu untuk memperhatikan kakaknya yang mungkin sedang sakit demam dengan mengompresnya,
menyuapkan makanan, atau yang lainnya.
c) Mengajar untuk berbagi berkat kepada orang lain
Wujud dari memperhatikan orang lain adalah dengan berbagi berkat kepada orang lain. Inilah tugas para
orangtua Kristen di dalam mengajar anak-anaknya. Didiklah anak kita dari kecil untuk berbagi berkat kepada
orang lain. Bagaimana caranya? Caranya adalah mendidik anak kecil untuk berbagi makanan yang orangtua
berikan kepada temannya. Hal ini mendidik anak kecil agar hidupnya tidak egois. Nanti, setelah beranjak
dewasa, coba didik mereka bukan hanya berbagi makanan, tetapi juga berbagi hidup dan pengalaman,
terutama mengenai iman dan karakter kepada orang lain, sehingga orang lain diberkati melalui sharing kita.
Ketika kita berbagi berkat kepada orang lain, selain orang lain diberkati, kita pun dikuatkan. Saya bukan
sekadar berteori, saya sudah menjalankannya dan telah mendapat banyak berkat dengan banyak sharing
kepada orang lain. Bagaimana dengan kita?
B. Pendidikan Sekolah dan Gereja
Pendidikan kedua yang harus diperhatikan adalah pendidikan sekolah dan gereja. Setelah keluarga mendidik
anak-anak kecil, maka tugas kedua yang harus mendidik anak tersebut adalah sekolah dan gereja. Saya
menggabungkan dua elemen ini, yaitu sekolah dan gereja, karena sekolah Kristen yang beres TIDAK bisa
dilepaskan dari peran gereja di mana anak itu beribadah. Tetapi sayang, di era postmodern yang serba
relatif, sekolah “Kristen” pun relatif dan tidak ada kaitannya dengan gereja, bahkan dengan Kekristenan
secara teori maupun praktis. Akibatnya, satu sekolah “Kristen” di Surabaya bisa didukung oleh berbagai
denominasi gereja, tetapi herannya tidak pernah mengajar anak dari kecil untuk menggumuli panggilan
hidupnya di hadapan Tuhan. Sungguh ironis! Sudah saatnya sekolah-sekolah Kristen bertobat dari dosa-dosa
mereka di zaman dahulu maupun sekarang. Sekolah Kristen dan gereja harus bersama-sama menggarap
anak-anak didik Kristen dari kecil untuk memiliki hati seorang hamba yang taat kepada Allah sebagai
Tuhannya. Itulah kedewasaan sejati yang Tuhan inginkan. Lalu, bagaimana mendidik kedewasaan kepada
anak di lingkungan sekolah Kristen dan gereja? Prinsipnya sama seperti pendidikan yang dilakukan oleh
orangtua, tetapi aplikasinya agak sedikit berbeda.
1. Mengajar dan Mendidik Iman Kristen Sejak Kecil
Tugas para pendidik Kristen yang terutama adalah mengajar dan mendidik iman Kristen sejak kecil kepada
para anak didik mereka. Iman Kristen bukan hanya menjadi bidang yang harus diajar oleh guru agama
Kristen, tetapi seharusnya diajar oleh semua guru bidang apa saja. Dengan kata lain, pendidik Kristen harus
menguasai banyak bidang termasuk theologi dan iman Kristen. Nah, agar para pendidik Kristen menguasai
bidang theologi, tentu, mereka harus belajar Alkitab dan theologi terlebih dahulu (meskipun tidak harus
bergelar akademis di bidang theologi). Lalu, apa tujuan para pendidik Kristen menguasai theologi untuk
mengajar para anak didik mereka tentang iman Kristen?
a) Mengarahkan arti dan panggilan hidup: memuliakan Tuhan
Tujuan pertama yaitu untuk mengarahkan para anak didik akan pentingnya arti dan panggilan hidup masing-
masing pribadi yaitu memuliakan Tuhan. Ada dua hal: arti dan panggilan hidup. Belajarlah hai para pendidik
Kristen untuk mengajar dan mendidik dari kecil bahwa arti hidup mereka TIDAK ditentukan oleh diri mereka
sendiri, dll, tetapi oleh Tuhan Allah yang menciptakan mereka. Dari kecil, ajarkanlah konsep penciptaan
kepada anak-anak, sehingga mereka dari kecil mengerti bahwa hidup mereka baru memiliki arti ketika
mereka kembali kepada Pencipta mereka. Jika mereka dari kecil sudah mengerti hal ini, percayalah, ketika
mereka dewasa, mereka tidak akan lagi kebingungan akan arah dan arti hidup mereka. Selain tentang
konsep penciptaan, kita sebagai para pendidik Kristen perlu mengajar mereka tentang konsep dosa dan
penebusan. Setelah Allah menciptakan manusia, manusia memberontak dan melawan-Nya, itulah dosa.
Ajarkanlah bahwa dosa bukan sekadar membunuh, mencuri, dll, tetapi inti dosa adalah melawan ketetapan-
Nya. Ajarkanlah pula bahwa sebagai pendidik Kristen pun jika kita melawan ketetapan-Nya, kita tetap
berdosa. Ajarkan kepada mereka bahwa dosa itu tidak bisa diselesaikan oleh manusia siapa pun, kecuali
oleh Tuhan Allah. Karena kasih-Nya, Ia mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus
dosa-dosa manusia pilihan-Nya. IA mati di salib demi menggantikan dosa-dosa kita. Tentu, ketika kita
mengajar konsep dosa dan penebusan, kita tidak perlu memakai bahasa-bahasa tingkat theolog, tetapi kita
bisa memakai bahasa-bahasa yang sederhana dan alat-alat peraga yang memadai supaya anak-anak dari
kecil bisa mengerti. Berarti, di dalam sekolah Kristen, mandat penginjilan tidak bisa dilepaskan dari ilmu.
Sekolah Kristen yang tidak lagi memberitakan Injil, patutkah sekolah itu disebut sekolah yang menyandang
nama “Kristen”? Setelah mengajar dan mendidik konsep penciptaan, dosa, dan penebusan, kita sudah mulai
menanamkan konsep dasar iman Kristen yang mengakibatkan anak dari kecil sudah tahu bahwa Allah
mencipta mereka (bukan berdasarkan teori evolusi bahwa manusia ada dari monyet yang berevolusi),
bahwa mereka berdosa dengan melawan ketetapan-Nya (bukan konsep bahwa manusia dilahirkan tanpa
dosa), dan bahwa mereka sudah ditebus oleh Kristus (bukan konsep bahwa mereka bisa diselamatkan
dengan sendirinya melalui jasa, dll).
Poin kedua yang harus kita mengerti selain arti hidup, yaitu tentang panggilan hidup. Setelah diajar dan
dididik tentang arah hidup yang berpaut kepada Allah sebagai Pencipta, lalu diajar tentang dosa dan
penebusan di dalam Kristus, anak-anak perlu diajar dan dididik juga tentang respons mereka akan apa yang
sudah Allah perbuat bagi mereka yaitu panggilan hidup mereka dari Allah. Karena mereka telah dicipta dan
ditebus oleh Kristus, maka sudah seharusnya para pendidik Kristen harus mengajar anak-anak didik mereka
untuk HANYA menaati apa yang menjadi panggilan Allah bagi setiap pribadi mereka yang unik. Jangan
pernah membiarkan mereka memiliki ambisi pribadi sendiri, tetapi ajarkan kepada mereka untuk
menggumuli panggilan Allah bagi hidupnya sejak kecil melalui talenta yang Ia percayakan kepada masing-
masing anak secara berbeda. Ini bukan sekadar teori, tetapi harus kita aplikasikan. Panggilan Allah ini bukan
hanya berlaku bagi mereka yang menyerahkan diri secara penuh waktu menjadi hamba Tuhan, tetapi juga
bagi kita yang melayani Tuhan “di dunia luar.” Artinya, di dalam pekerjaan mana yang harus kita geluti pun,
Tuhan memanggil setiap kita berbeda berdasarkan talenta yang Tuhan berikan kepada kita masing-masing
SECARA BERBEDA. Mandat kita hanya satu yaitu memuliakan Tuhan sesuai dengan talenta yang Tuhan
percayakan kepada kita. Sebagai para pendidik Kristen, kita harus menyadarkan anak didik kita sejak kecil
tentang talenta yang Tuhan berikan kepadanya untuk nantinya mereka perkembangkan.
b) Mengarahkan motivasi hidup
Selain arti dan panggilan hidup, para pendidik Kristen harus mengajar dan mendidik anak-anak mereka
tentang motivasi. Artinya, para pendidik Kristen harus mengajar dan mendidik anak-anak mereka tentang
motivasi sebelum para anak didik mereka melakukan segala sesuatu. Ketika mereka mau bertindak sesuatu,
mereka harus diajar bagaimana memiliki motivasi yang murni terlebih dahulu, sehingga ketika mereka
bertindak, bukan kehendak mereka yang diutamakan, tetapi kehendak Tuhan. Di sini, perlu kepekaan rohani
yang tinggi dari para pendidik Kristen. Sebelum mengajar anak-anak mereka, hendaklah para pendidik
Kristen terlebih dahulu mengintrospeksi diri tentang motivasi hidup. Setelah mereka mengintrospeksi diri
tentang motivasi hidup, barulah mereka layak membimbing para anak didik mereka. Anak didik yang dari
kecil sudah diajar dan dididik untuk memiliki motivasi yang murni ketika melakukan segala sesuatu, maka
anak didik itu pasti tumbuh dewasa dengan beriman, berkarakter, dan bermental dewasa pula, bukan hanya
secara fisiknya dewasa. Adalah suatu kekonyolan jika ada pendidik Kristen yang tidak memiliki motivasi
yang murni (misalnya, mereka mau menjadi guru, bukan karena panggilan menjadi guru, tetapi untuk
mencari uang atau mencari pengalaman) berani mengajari para anak didik mereka untuk memiliki motivasi
yang murni.
2. Membentuk Kemandirian
Setelah mengajar dan mendidik iman Kristen sejak kecil, para pendidik Kristen harus membentuk
kemandirian para anak didik mereka. Ini adalah wujud kedewasaan eksternal yang diaplikasikan di dalam
wilayah pendidikan Kristen dalam sekolah dan gereja. Membentuk kemandirian tidak berarti kita mengajar
mereka individualis, tetapi mengajar dan mendidik para anak didik untuk hidup berdikari (sambil tetap
bersosialisasi). Apa yang perlu diperhatikan untuk membentuk kemandirian tersebut?
a) Mengajar etika dan moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu
Setelah mengajar tentang arti, panggilan, dan motivasi hidup secara Kristiani, para pendidik Kristen harus
mengajar hal-hal lain, misalnya: etika, moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu lain. Ini untuk membentuk
keseimbangan antara pengertian iman dengan kehidupan sehari-hari sebagai wujud aplikasinya. Banyak
pendidik “Kristen” yang melupakan aspek pengajaran iman dan hanya menekankan aspek pendidikan
kognitif semata, akibatnya, sampai dewasa, anak-anak mereka tidak memiliki iman yang beres. Pendidikan
kognitif (akademis) tanpa iman akan menciptakan para bajingan, penipu, dan teroris masa depan, karena
tidak dibarengi dengan pengertian iman, etika, moralitas, dan karakter. Oleh karena itu, sudah seharusnya
para pendidik Kristen mengajar iman Kristen terlebih dahulu kepada anak-anak mereka, baru setelah itu hal-
hal lain, seperti: etika, moralitas, karakter, dll, sehingga struktur pikiran para anak didik Kristen dari kecil
mulai terbentuk mulai dari takut akan Tuhan, lalu mulai menguasai banyak hal untuk memuliakan-Nya. Hal-
hal itulah yang akan kita uraikan di sini.
(1) Mengajar etika dan moralitas
Setelah mengajar iman, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka dengan etika dan
moralitas. Etika dan moralitas berbicara mengenai apa yang baik dan tidak yang berkaitan dengan nilai
hidup. Etika dan moralitas dipelajari bukan karena kita adalah orang Timur. Alkitab sudah mengajar hal ini.
Etika dan moralitas Alkitabiah adalah etika dan moralitas yang theosentris, itulah yang kita taati. Sedangkan
etika-etika dan moralitas duniawi yang MELAWAN Alkitab tidak boleh kita taati. Hal ini tidak berarti kita anti-
duniawi. Yang saya maksud adalah jika ada etika-etika (dan moralitas) sekuler yang tidak melawan Alkitab,
kita ikuti, tetapi yang melawan Alkitab, hal tersebut tidak boleh kita ikuti. Dengan kata lain, saya
menggabungkan 2 macam etika dan moralitas: Alkitabiah dan duniawi. Etika Alkitabiah adalah wahyu
khusus dari Allah (yang 100% benar), sedangkan etika duniawi adalah respons manusia berdosa terhadap
wahyu umum Allah (yang bisa benar dan bisa salah). Kepada anak didik yang masih kecil, para pendidik
Kristen harus bijaksana mengajar etika dan moralitas dengan cara yang mudah dimengerti. Misalnya,
mengajar mereka agar tidak berbohong, tidak mencuri, dll bukan dengan menakuti-nakuti mereka, tetapi
dengan mendorong mereka melakukannya sebagai respons cinta mereka kepada Tuhan dan perintah-
perintah-Nya. Ini yang membedakan etika Alkitabiah dengan etika duniawi. Kalau dunia mengajar anak dari
kecil untuk tidak berbohong, tidak mencuri, dll sebagai suatu perintah yang menakutkan, tetapi etika Kristen
yang Alkitabiah mengajarkan bahwa kita melakukan semuanya itu sebagai respons kita mengasihi-Nya dan
firman/perintah-Nya (1Yoh. 5:3).
Lalu kepada para mahasiswa/i di kampus, para pendidik Kristen bisa meningkatkan kualitas dalam mendidik
mereka agar memiliki etika. Saya baru mengikuti Seminar Pemuda: Etos Kerja Kristen dan Pengelolaan
Finansial Keluarga di gereja saja (GRII Andhika, Surabaya) pada tanggal 24-25 November 2008 oleh Pdt.
Sutjipto Subeno, M.Div. dan Bp. Ricky Sudarsono, S.E., M.R.E., CFP (Ketua Jurusan IBM—International
Business Management di sebuah universitas “Kristen” di Surabaya). Nah, pada hari pertama seminar, Bp.
Ricky sebagai seorang dosen yang berpengalaman di universitas tersebut memaparkan bagaimana beliau
memaparkan prinsip-prinsip etika Kristen sebelum beliau mengulas teori bisnis. Beliau menyadari bahwa hal
ini bisa dianggap aneh di universitas “Kristen” yang sudah menjadi atheis praktis tersebut, tetapi beliau
melakukannya dengan tujuan agar para mahasiswa memiliki etika di dalam berbisnis, sehingga tidak
menjadi penipu-penipu cerdik lalu celakanya memakai label “Kristen.”
(2) Mengajar karakter
Setelah selesai mengajar etika dan moralitas, para pendidik Kristen harus mengajar karakter kepada para
anak didik mereka. Karakter ini berbicara mengenai sifat, kepribadian, dll dari seorang manusia. Nah,
masalahnya adalah manusia sering menyembunyikan karakter mereka, seolah-olah mereka itu baik, apalagi
kalau di gereja. Karakter kita akan nampak jelas ketika kita berhadapan dengan kesulitan. Orang yang
memiliki karakter dewasa ketika menghadapi kesulitan, ia tidak mudah mengomel/bersungut-sungut atau
meminta orang lain memperhatikan dirinya, tetapi orang yang karakternya dewasa akan berusaha menahan
dan menyangkal diri di dalam kesulitan itu, lalu berusaha mencari jalan keluarnya serta berharap kepada
Tuhan. Para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka untuk memiliki karakter Kristen yang
dewasa, yaitu dengan:
Pertama, belajar menyangkal diri di dalam kesulitan. Ketika ada kesulitan menghimpit, para pendidik Kristen
harus mengajar para anak didik mereka untuk tidak membicarakannya kepada teman-temannya terlebih
dahulu, melainkan harus menyangkal diri. Mereka harus diajar untuk memecahkan masalah itu sendiri,
sambil mengajar mereka untuk berserah kepada Tuhan di dalam doa. Jika memang masalah itu tidak bisa
diatasi oleh para anak didik tersebut, mereka boleh mensharekan kepada temannya agar temannya bisa
membantu mencari jalan keluarnya.
Kedua, belajar memperhatikan orang lain. Di dalam kesulitan dan dalam segala hal, biasakan untuk tidak
mencari perhatian dari orang lain, tetapi justru memberi perhatian kepada orang lain. Para pendidik Kristen
harus mengajar para anak didik mereka untuk tidak terus mencari perhatian dari temannya ketika mereka
menghadapi masalah, tetapi justru ajari mereka untuk memperhatikan temannya yang mengalami masalah
lebih berat dari dirinya. Hal ini mengajar mereka agar tidak egois.
Ketiga, belajar tidak memiliki kepribadian ganda. Setelah belajar memperhatikan orang lain, kita harus
belajar juga untuk tidak berkepribadian ganda. Para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik untuk
tidak berkepribadian ganda atau munafik. Caranya adalah dengan memiliki ketulusan dan kasih. Kasih itu
tidak berpura-pura/munafik/bertopeng (Rm. 12:9).
(3) Mengajar ilmu-ilmu
Setelah mengajar etika dan moralitas ditambah karakter, para pendidik Kristen baru mengajar para anak
didik mereka tentang ilmu-ilmu. Saya meletakkannya di urutan terakhir, karena ilmu memang adalah urutan
terakhir setelah pembentukan iman, etika, moralitas, dan karakter. Ilmu yang diajarkan oleh para pendidik
Kristen ini pun harus dihakimi oleh iman dan etika Kristiani. Hal ini tidak berarti para pendidik Kristen hanya
mengajar ilmu-ilmu yang cocok dengan iman Kristiani saja. Para pendidik Kristen harus mengajar semua
ilmu, tetapi mereka harus jujur mengakui dan mengatakan kepada para anak didiknya tentang kesalahan
suatu ilmu jika ilmu itu melawan iman Kristen. Mengatakan kesalahan itu pun harus dengan bahasa yang
sederhana, supaya para anak didik dari kecil sudah mengerti mana yang benar dan mana yang salah, lalu
menunjukkan ketidakberesan yang salah itu. Kalau anak didik kita sudah beranjak remaja, dewasa, bahkan
sudah mahasiswa/i, sebagai para pendidik Kristen, kita dituntut untuk lebih kritis lagi mengajar dan
menghakimi semua ilmu sesuai dengan kebenaran Alkitab. Kita dituntut untuk berani mengatakan ilmu
tertentu itu salah sambil menunjukkan ketidaklogisan dan ketidakberesan cara berpikir ilmu tertentu yang
salah itu.
b) Mengajar bijaksana
Setelah mengajar etika dan moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu, para pendidik Kristen dituntut untuk
mengajar para anak didik mereka tentang kebijaksanaan. Kepandaian dan akhlak itu perlu dan penting,
tetapi harus disertai dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang harus diajarkan oleh para pendidik Kristen
meliputi dua hal:
(1) Bijaksana dalam mengambil keputusan
Sejak kecil, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik untuk bijaksana dalam mengambil
keputusan. Bagaimana caranya? Tentu dengan mengajar mereka konsep-konsep sederhana tentang
bijaksana, lalu mengajar dan mengaitkan konsep bijaksana itu dengan Allah sebagai Sumber Bijaksana.
Setelah itu, baru, mereka dididik untuk bijaksana dalam mengambil keputusan menurut kehendak dan
pimpinan-Nya. Apa yang dimaksud dengan bijaksana mengambil keputusan? Para pendidik Kristen harus
mengajar kepada para anak didik bahwa bijaksana dalam mengambil keputusan itu adalah bijaksana dalam
mengambil keputusan di saat tertentu bukan bertujuan untuk memikirkan diri sendiri, tetapi juga
memikirkan aspek dan orang lain. Dengan kata lain, bijaksana dalam mengambil keputusan menuntut
kematangan rohani dan mementingkan kepentingan orang lain.
Kepada para anak didik yang lebih dewasa, seperti mahasiswa/i, para pendidik/dosen Kristen harus lebih
menekankan bagaimana bijaksana dalam mengambil keputusan yang tepat di saat mendesak. Hal ini
penting, mengingat usia mereka yang cukup dewasa dan menuju ke jenjang karier dan pernikahan.
Keputusan tersebut diambil bukan berdasarkan hikmat manusia saja, tetapi terlebih berdasarkan hikmat
Allah yang melampaui hikmat manusia.
(2) Bijaksana dalam mengelola: waktu, keuangan, dll
Selain bijaksana dalam mengambil keputusan, para pendidik Kristen juga harus mengajar para anak didik
tentang bijaksana dalam mengelola: waktu, keuangan, dll. Sebelum kita mengajar mereka untuk bijaksana
mengelola waktu, keuangan, dll, terlebih dahulu kita mengajar mereka tentang konsep nilai. Ajarkanlah
kepada mereka bahwa sesuatu memiliki nilai dan nilai itu ditentukan oleh Kebenaran Allah. Jika nilai sesuatu
itu tinggi, belajarlah mengelola waktu dan keuangan demi mengejar nilai tersebut, sebaliknya jika nilai
sesuatu itu rendah, tidak usah terlalu meributkan sesuatu tersebut. Setelah mengajar mereka tentang
konsep nilai, maka ajarkan mereka bahwa waktu itu anugerah Allah bagi kita yang harus
dipertanggungjawabkan. Lalu, ajarkanlah kepada mereka bagaimana mengatur waktu secara tepat dan
menomersatukan hubungan pribadi dengan Allah sebagai aktivitas terpenting di dalam waktunya. Dari sini,
kita melatih dan mendidik anak dari kecil untuk menTuhankan yang patut diperTuhankan di dalam hidup dan
waktu yang dianugerahkan-Nya. Selain waktu, uang pun adalah anugerah Allah yang diberikan kepada kita
untuk dipertanggungjawabkan. Sehingga, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik untuk bijak
mengelola uang Tuhan tersebut untuk kemuliaan-Nya. Caranya, ajarkan mereka untuk pertama-tama
memberikan uang persembahan kepada Tuhan sebagai hal yang terpenting, baru sesudah itu untuk
keperluan lain, seperti: sekolah, jajan, dan bermain.
Kepada para mahasiswa/i, tugas para pendidik/dosen Kristen lebih berat lagi, yaitu mendidik mereka untuk
mempertanggungjawabkan uang dan waktu yang Tuhan berikan demi kemuliaan-Nya. Ini lebih tidak mudah,
mengapa? Karena para mahasiswa/i yang sudah besar sulit diatur apalagi diarahkan untuk menomersatukan
Tuhan. Bukan hanya sulit diatur, apalagi bagi para mahasiswa yang sudah/sedang berpacaran, Tuhan
dijadikan ban serep, lalu pacar dijadikan hal terpenting, maka seorang mahasiswa bisa lebih rela mentraktir
pacarnya hampir setiap hari di restoran mahal dan menyediakan waktunya untuk berkomunikasi dengan
pacarnya daripada memberikan persepuluhan dan persembahan untuk pekerjaan Tuhan dan menyediakan
waktu untuk saat teduh. Inilah tugas berat dari seorang pendidik Kristen yang harus mengajar para
mahasiswa/i untuk bijaksana dalam mengelola waktu dan keuangan. Caranya, sadarkan mereka apalagi
mereka yang sedang berpacaran untuk lebih memikirkan masa depan ketimbang masa sekarang. Jika di
masa sekarang, mereka tidak bisa mengelola waktu dan keuangan, maka bagaimana mungkin di masa
depan mereka bisa bertahan apalagi nantinya menikah yang membutuhkan dana yang tidak murah. Oleh
karena itu, ajarkan mereka untuk bijaksana dalam mengelola keuangan, salah satunya adalah hemat dan
menabung, lalu bijaksana juga dalam mengelola waktu dengan tidak membuang-buang waktu untuk
aktivitas yang tidak perlu.
c) Mengajar bertanggungjawab
Selain mengajar bijaksana, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didiknya untuk
bertanggungjawab. Dari kecil, ajarkan kepada mereka untuk selalu mempertanggungjawabkan apa yang
telah mereka pikirkan, katakan, dan lakukan. Caranya, setelah seorang anak kecil selesai berkata sesuatu
dan ada perkataannya yang salah, seorang guru Kristen yang beres harus segera menegur anak itu yang
berkata salah. Jangan pernah sungkan atau malu menegur kesalahan anak, karena itu adalah hal penting.
Jangan meniru pola pendidikan Montessori (berakar dari filsafat Tabula Rasa yang dicetuskan oleh J. J.
Rouseau) yang mengajar bahwa setiap anak itu dilahirkan baik dan guru dibutuhkan untuk membentuk
karakter anak itu lebih baik lagi. Itu bukan Kristen! Ketika dari kecil, guru Kristen tidak mau menegur
kesalahan seorang anak, maka anak itu tidak tahu mana yang benar dan salah sampai anak itu bertumbuh
dewasa. Jika demikian, yang patut disalahkan selain orangtuanya adalah gurunya juga. Para pendidik Kristen
dituntut untuk tidak meniru format pendidikan dunia, karena Kekristenan mengajar hal yang berbeda total
dari format pendidikan dunia khususnya dalam hal ini, di mana Tuhan Yesus mengajar, “Jika ya, hendaklah
kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si
jahat.” (Mat. 5:37) Yakobus mengutip kembali pengajaran Tuhan Yesus ini di dalam Yakobus 5:12.
Kepada para mahasiswa/i, para pendidik Kristen lebih berat lagi dalam tugasnya mengajar hal ini. Mengapa?
Karena seorang anak didik yang sudah besar sulit diajar untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu,
apalagi di era postmodern di mana cuek-isme dijunjung tinggi (pragmatis). Meskipun berat, para pendidik
Kristen tetap harus mengajar para mahasiswa/i untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu, sehingga
di kemudian hari, mereka bisa hidup lebih dewasa lagi. Bagaimana caranya? Ketika ada seorang mahasiswa/i
yang etikanya tidak beres di sebuah kelas, dosen Kristen yang beres harus menegurnya. Sayangnya, hal ini
jarang kita jumpai lagi, apalagi di sebuah kampus “Kristen.” Jangankan ada dosen Kristen yang berani
menegur mahasiswanya, dosennya sendiri ada yang tidak beres. Saya sedih melihat sikap seorang dosen di
kampus “Kristen” yang merokok sebelum kelas dimulai, padahal di kampus ini diberlakukan peraturan tidak
boleh merokok. Untung saja, mungkin, tidak banyak mahasiswa yang melihat tindakan dosen ini.
d) Melatih anak untuk hidup susah
Hal terakhir yang harus diajarkan oleh para pendidik Kristen adalah melatih para anak didik untuk hidup
susah. Artinya ajarkan kepada mereka untuk memiliki mental yang lebih mandiri, yaitu berani menyangkal
diri dan mencari jalan keluar sendiri ketika ada masalah. Contohnya, jika ada seorang anak didik yang
bertanya tentang hal-hal yang sudah diajarkan sejak lama kepada gurunya, seorang guru Kristen tidak perlu
terus menjawab pertanyaan tersebut. Ajari mereka untuk mencari jawaban sendiri misalnya dengan
bertanya kepada teman atau memikirkan sendiri jawabannya.
Kepada para mahasiswa/i, para dosen Kristen harus melatih mereka untuk hidup susah juga. Tetapi tentu ini
adalah tugas yang lebih sulit lagi, mengingat jika dosen Kristen ini mengajar di kampus swasta di mana
banyak mahasiswanya naik mobil sendiri. Meskipun sulit, para dosen Kristen harus mengajar para
mahasiswa/i untuk menyangkal diri dan mencari jalan keluar sendiri ketika ada masalah. Misalnya, latihlah
mereka tentang logika dan bagaimana berpikir logis ketika ada masalah. Selain itu, latihlah mereka untuk
mengerjakan pekerjaan yang sulit dan kotor, sehingga mereka terbiasa untuk hidup tidak terlalu enak-
enakan. Anak yang sudah terbiasa mengerjakan sesuatu yang sulit dan kotor, anak itu akan lebih memiliki
ketahanan yang kuat ketika nantinya harus mengalami kesusahan hidup yang lebih berat. Sayangnya,
banyak mahasiswa yang tidak mampu menghadapi kesulitan hidup dikarenakan mereka dari kecil tidak
diajar untuk berani susah. Bukan hanya mahasiswa, seorang hamba Tuhan pun sampai sekarang tidak
berani susah, dalam arti jijik melihat sesuatu yang kotor, bahkan saya sendiri melihat di jok mobilnya
ditutupi dengan alas surat kabar supaya tidak kotor. Waduh, kalau hal-hal sepele begini saja sudah seperti
itu, bagaimana dia bisa berperang menghadapi kesulitan hidup?
3. Mendidik untuk Hidup Bersosialisasi
Setelah mendidik untuk mandiri, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka untuk hidup
bersosialisasi. Ini penting, supaya para anak didik Kristen tidak hanya diajar untuk berani mandiri, tetapi juga
untuk berani berbagi hidup dengan temannya dan orang lain. Bagaimana caranya?
a) Mengajar pentingnya peranan orang lain
Poin dasar untuk mengajar para anak didik untuk hidup bersosialisasi adalah mengajar mereka pentingnya
peranan orang lain, terutama teman dan orangtua. Ajarkan mereka bahwa manusia diciptakan Tuhan
sebagai makhluk sosial. Ini bukan hanya belajar PPKn atau pelajaran Pancasila, tetapi ini mengarahkan
mereka untuk belajar menerima teguran, kritikan, dll dari orang lain yang membangun ketika mereka
bersalah. Dari situlah, seorang anak didik Kristen sejak kecil menerima realitas bahwa orang lain itu
berperan di dalam hidupnya. Lalu, setelah dewasa, ia tidak akan hidup egois lagi. Tetapi, sayangnya, dunia
postmodern sangat tidak menyukai kritikan yang membangun, karena bagi mereka, itu menghakimi. Alhasil,
tidak usah heran, banyak pemuda/i dan orang dewasa/tua Kristen ketika ditegur dosanya, mereka akan
marah-marah, apalagi orang yang sudah tua ketika ditegur, mereka akan balik memarahi kita yang
menegurnya lalu mengatakan bahwa kita kurang ajar berani mengajari orang tua. Semuanya itu disebabkan
karena tidak adanya pendidikan tentang bagaimana hidup bersosialisasi dengan orang lain.
b) Mengajar untuk memperhatikan orang lain
Setelah diajar mengenai pentingnya peranan orang lain, para anak didik Kristen harus diajar juga untuk
memperhatikan mereka. Artinya, kita bukan memanfaatkan peranan orang lain itu demi keuntungan kita.
Kita dituntut untuk memperhatikan orang lain. Para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka
untuk segera tanggap ketika ada temannya yang sakit atau membutuhkan bantuan. Ketika anak dari kecil
diajar demikian, maka saat dewasa pun, anak ini akan memperhatikan orang lain bahkan mereka yang lebih
menderita.
c) Mengajar untuk berbagi berkat kepada orang lain
Wujud dari memperhatikan orang lain adalah dengan berbagi berkat kepada orang lain. Inilah tugas para
pendidik Kristen di dalam mengajar para anak didik mereka. Didiklah mereka dari kecil untuk berbagi berkat
kepada orang lain. Bagaimana caranya? Caranya adalah mendidik anak kecil untuk berbagi bekal makanan
yang mereka bawa dari rumah kepada temannya. Hal ini mendidik anak kecil agar hidupnya tidak egois.
Nanti, setelah beranjak dewasa, yaitu pada waktu mahasiswa/i, coba didik mereka bukan hanya berbagi
makanan, tetapi juga berbagi hidup, pengetahuan, dan pengalaman, terutama mengenai iman dan karakter
kepada orang lain, sehingga orang lain diberkati melalui sharing mereka. Jika ada teman mengalami
kesulitan dalam mengerjakan tugasnya, maka para mahasiswa/i dituntut untuk membantu meringankan
kesulitan itu, mungkin dengan mengajari temannya yang belum mengerti itu. Ketika kita berbagi berkat
kepada orang lain, selain orang lain diberkati, kita pun dikuatkan. Semakin kita banyak membantu mengajari
teman yang belum mengerti, selain teman kita yang diberkati, kita pun juga mendapat banyak berkat yaitu
bertambahnya ilmu yang kita kuasai. Saya bukan sekadar berteori, saya sudah menjalankannya dan telah
mendapat banyak berkat dengan banyak sharing kepada orang lain.
KONTRIBUSI MAHASISWA KRISTEN TERHADAP PENGEMBANGAN KARAKTER BANGSA
KONTRIBUSI MAHASISWA KRISTEN TERHADAP PENGEMBANGAN KARAKTER BANGSA
Laporan Penelitian
Dibuat dan disusun sebagai persyaratan untuk mengikuti Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Bahasa Indonesia semester ganjil 2010/2011
oleh
DESI FRISKA JULIA SIANTURI/ 1010103
UCE KONTANTIN SIRITUKA/1010108
Program S-1
Jurusan Teologi
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BANDUNG
Bandung, 2010
PRAKATA
uji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya penulisan laporan penelitian ini.
P
Laporan penelitian yang berjudul “Kontribusi Mahasiswa Kristen Terhadap Pengembangan Karakter Bangsa” dibuat untuk memenuhi persyaratan mengikuti Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Bahasa Indonesia tahun ajaran 2010/2011.
Dalam penulisan laporan penelitian ini, terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, dengan lapang dada dan sikap terbuka penulis bersedia menerima segala saran dan kritik dari pembaca demi kesempurnaan dari hasil penelitian ini.
Semoga karya ilmuah ini dapat berguna bagi semua pembaca.
Bandung, 30 Desember 2010
Penulis
ABSTRAK
he writer unbottles the main matter that faced in a nation namely the development of character. The christian student university so central in build good character by formed the development or good nation progress and model.
The writer believe that this material can help all of us to buildiding a good character in our nation for materialized a useful nation and valuable in front of human particularly in front of God Very One. The purpose iof the writing of thids paper is to gets student university that want to come along to impersonate with in nation character development especially christian student university,and also the Christian student unuiversity possible model for ones at vinicity.
T
Penulis menuangkan pokok masalah yang di hadapi suatu bangsa yaitu yang terutama adalah masalah perkembangan karakter bangsa. Mahasiswa Kristen sangat berperan dalam membangun karakter yang baik demi terwujudnya perkembangan atau kemajuan bangsa yang baik dan terteladan.
Penulis yakin materi ini dapat membantu kita semua untuk dapat membangun karakter yang baik dalam satu bangsa demi terwujudnya suatu bangsa yang berguna dan berharga di hadapan manusia terlebih di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memperoleh mahasiswa yang mau ikut berperan serta dalam pembangunan karakter bangsa terutama mahasiswa Kristen, dan juga agar masyarakat menngetahui bahwa mahasiswa Kristen bisa jadi teladan bagi orang-orang di sekitarnya.
DAFTAR ISI
PRAKATA
ABSTRAK
DAFTAR ISI
Bab I Pendahuluan
Latarbelakang Masalah
Rumusan Masalah
Tujuan Pembahasan
Ruang Lingkup Kajian
Sumber Data
Metode dan Tekhnik Penelitian
Bab II Kajian Teori
Bab III Pembahasan
Memaknai Peran Dan Fungsi Mahasiswa
Realita Mahasiswa Indonesia Saat Ini
Mahasiswa Kristen,Jati Diri Yang Rusak
Bagaimana Seharusnya Peran Mahasiswa Kristen?
Peran Mahasiswa Kristen Sebagai Agen Perubahan Dalam Krisis Karakter Bangsa
Bab IV Simpulan Dan Saran
Daftar Pustaka
Riwayat Hidup Penulis
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latarbelakang Masalah
Seiring bertambahnya usia, seyogianya manusia menjadi lebih tahu apa sebenarnya peran dan bagaimana bersikap terhadap peran itu. Setidaknya, untuk ukuran manusia yang hakikatnya adalah makhluk yang memiliki perasaan (sensibility) di samping pikiran (sense) dan akal (wit), baiknya ajaran Kristiani diaplikasikan, bukan hanya disimpan dalam hati. Salah satunya, peran mahasiswa Kristen yang patut dicoba adalah sebagai agen perubahan dalam krisis karakter bangsa. Bangsa bukan kumpulan sedikit orang, namun puluhan bahkan ratusan juta. Dan, bangsa bukan lagi sendiri-sendiri, melainkan suatu kesatuan: alam, pemerintah dan rakyat.
Dengar-dengar, karakter bangsa sedang terlanda krisis. Dengar-dengar jadi sebuah fakta karena banyak sekali kejadian-kejadian yang terus-menerus menunjukkan adanya krisis karakter simpang siur di media-media. Dalam probabilitas, siapa sangka krisis karakter ini, mau tidak mau, salah satunya ternyata disebabkan juga oleh lagi-lagi krisis finansial, walaupun secara tidak langsung.
Masih hangat dalam ingatan kita jatuhnya rezim orde baru tahun 1998.Pergerakan ini dimotori oleh mahasiswa,yang merupakan puncak dari aksi perjuangan mahasiswa di era orde baru.Setelah itu,hampir tidak ada lagi gerakan mahasiswa seperti ini.Sejak saat itu,mulailah bangsa Indonesia memasuki masa reformasi.Tetapi bangsa Indonesia tetap saja mengalami berbagai macam krisis,bahkan bertambah parah.Dari krisis ekonomi,krisis sosial,krisis kepercayaan,sampai kepada krisis karakter.Keadaan bangsa kita sudah sangat parah.Sedang kebingungan ke mana akan melangkah. Bangsa ini perlu ada yang memandu,dan mahasiswa adalah alat yang tepat untuk itu.
Seiring dengan kemajuan teknologi pada zaman modernisasi ini, banyak masyarakatr Indonesia yang mengalami krisis moral dan karakter yang buruk. Oleh karena hal ini, mahgasiswa keristen sangat berperan untuk mengatasi krisis moral dan karakter yang buruk tersebut. Pada masa ini, mahasiswa Kristen harus bisa menjadi teladan bagi masyarakat sekitarnya.
Pada makalah ini, penulis akan membahas tentang peran mahasiswa Kristen terhadap perkembangan karakter bangsa. Penulis mengharapkan yang membaca makalah ini dapat ikut serta dalam pembangunan karakter bangsa. Jika hal ini tidak dibahas, maka kemungkinan besar mahasiswa Kristen dan orang lain yang ingin mencari bagaimana peran untuk mengembangkan karakter bangsa.
1.2.Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis membahas tentang beberapa hal, yaitu sebagai berikut:
1.2.1. Bagaimana peran mahasiswa Kristen terhadap perkembangan karakter bangsa?
1.2.2. Apa dasar mahasiswa Kristen untuk berperan dalam perkembangan karakter bangsa?
1.2.3. Apakah ada yang lain yang bisa membantu mahasiswa Kristen dalam perkembangan karakter bangsa? Siapakah yang dapat membantu mahasiswa Kristen itu?
1.3.Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan umum penulisan makalah ini adalah untuk memperoleh mahasiswa yang mau ikut berperan serta dalam pembangunan karakter bangsa terutama mahasiswa kristen.
1.3.2 Tujuan khusus penulisan makalah ini adalah untuk agar masyarakat menngetahui bahwa mahasuiswa Kristen bisa jadi teladan bagi orang-orang di sekitarnya.
1.3.3 Tujuan lain dari makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas semester bahasa Indonesia
1.4.Ruang Lingkup Kajian
Dalam makalah ini penulis hanya membahas sebatas bagaimana peran mahasiswa Kristen dalam pembangunan karakter bangsa, dan juga bagimana mahasiswa kristen bisa jadi teladan bagi masyarakat yang ada di sekelilingnya.
1.5.Sumber Data
Penulis mendapatkan data-data dalam makalah ini dari beberapa buku dan juga melalui internet. Penulis juga mendapayt informasi melalui apa yang dilihat dan dialami oklegh masyarakat dan juga para mahasiswa pada zaman sekarang ini di zaman modernisasi ini.
1.6.Metode dan Tekhnik Penelitian
Penulis menggunakan beberapa metode dalam pembuatan makalah ini, yaitu:
Wawancara
Studi kepustakaan
BAB II KAJIAN TEORI
Partisipasi penuh dari kaum intelektual dalam pembangunan dan pembenahan di setiap bidang dalam masyarakat adalah hal yang mutlak. Sehingga peranan mahasiswa yang diidentikkan sebagai kaum intelektual tentu sangat penting untuk mengubah bangsa ini melalui seluruh potensi dan kecerdasan yang dimilikinya. Maka dibutuhkan mahasiswa yang peka terhadap kondisi bangsa dan tantangan zaman ini serta tergugah untuk memikirkan solusinya. Kelak merekalah yang harus menjawab tantangan zaman tersebut dengan menjadi agen-agen pembawa perubahan (agent of change) bagi bangsa secara khusus dan bagi dunia secara lebih luas.
Eksistensi dari peran ini terus diuji. Arus zaman yang mengalir deras tanpa bisa dibendung mempengaruhi setiap aspek kehidupan mahasiswa dan hal ini menjadi tantangan besar bagi terlaksananya peran tersebut secara maksimal. Apalagi arus ini terus menawarkan hal-hal yang menggiurkan bagi para mahasiswa termasuk anak-anak Tuhan sehingga mereka melupakan tugas dan peran mereka yang sesungguhnya. Tidak sedikit anak-anak Tuhan yang memilih untuk meninggalkan ajaran Alkitab demi mengejar kesenangan sesaat.
Individualisme
Di dalam lingkup sosial, para mahasiswa diperhadapkan dengan budaya “semau gue” yang sudah semakin menjamur. Kepedulian terhadap lingkungan dan sesama sangat rendah. Persaingan untuk menjadi yang terbaik dan mengejar nilai kuliah membuat mahasiswa lupa bahwa dia tetaplah makhluk sosial yang hidup bersama orang lain.
Degradasi Moral
Moralitas yang semakin bobrok juga melanda mahasiswa. Merokok, mengonsumsi narkoba, dan seks bebas sudah bukan hal yang tabu. Selain itu budaya mencontek, membolos kuliah, titip absen, atau membayar orang lain untuk mengerjakan skripsi juga sudah sangat lazim. Tidak heran jika sikap kritis mahasiswa dalam berpikir juga semakin menurun.
Kita tidak bisa membendung arus zaman yang akan terus mengalir dan mempengaruhi dunia ini dengan ajaran-ajarannya termasuk di dalam dunia mahasiswa. Alkitab juga telah menuliskan dengan jelas mengenai keadaan manusia pada akhir zaman. 2Timotius 3:1-5 menguraikan tentang individualisme, materialisme, hedonisme, dan degradasi moral secara lugas:“Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri (lovers of themselves) dan menjadi hamba uang (lovers of money). Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu (lovers of pleasure) daripada menuruti Allah (lovers of God). Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya”. Tidak ada jalan lain bagi mahasiswa selain terus berusaha dan berjuang melawan arus zaman ini serta bekerja keras untuk tetap bertahan dan mampu berperan sebagai agent of change.Agar dapat melawan arus zaman, maka modal yang dimiliki harus mencukupi. Mahasiswa Kristen harus terlibat mempengaruhi zaman ini (menjadi garam dan terang), maka kita jangan hanya memenuhi diri dengan ilmu tapi juga dengan kedewasaan karakter dan spiritualitas yang baik. Relasi yang dekat dengan Tuhan dan berakar kuat di dalam firman-Nya merupakan pondasi kuat untuk melawan filsafat zaman karena itu sumber segala kebenaran haruslah menjadi prioritas. Mahasiswa harus bersandar terus menerus kepada Tuhan di dalam doa serta mau mengenakan seluruh perlengkapan senjata Allah untuk bertahan melawan tipu muslihat Iblis (Ef. 6:10-18). Keterlibatan di dalam organisasi-organisasi Kristen (Persekutuan Mahasiswa Kristen) sebagai wadah untuk bersekutu dan memperlengkapi diri bersama saudara-saudara seiman juga perlu dilakukan. Kerinduan untuk bersekutu harus melebihi kehausan untuk memenuhi keinginan daging. Namun hal yang harus terus direnungkan oleh PMK adalah “Apakah PMK sudah menjadikan dirinya sebagai sarana yang tepat untuk menjawab kebutuhan ini? Apakah setiap program yang dilakukan benar-benar bisa menjadi sarana untuk mempersiapkan mahasiswa Kristen dalam menjawab arus tantangan zaman ini? Ataukah masih sekedar melaksanakan program tanpa arah sebagai warisan dari leluhur? Mari terus berbenah diri, menyongsong zaman yang semakin mengerikan. Mari terus memperlengkapi diri, menjadi agent of change bagi bangsa dan dunia ini.
BAB III PEMBAHASAN
1. MEMAKNAI PERAN DAN FUNGSI MAHASISWA
Kita tentu ingat peran mahasiswa pada umumnya yaitu sebagai Iron Stock,Social Control,Agent of Change,dan Moral Force. Sebagai Iron Stock,mahasiswa adalah ibarat aset bagi suatu bangsa.Ibarat cadangan logam (Iron Stock) di suatu negara yang bisa menjadi tolak ukur kemakmuran suatu negara,demikianlah jumlah mahasiswa yang unggul baik secara wawasan,moral,karakter,dan skill di suatu negara dapat menjadi tolak ukur kemajuan SDM suatu Negara.Ini berarti mahasiswa adalah calon pemimpin bangsa,harapan bangsa;karena nantinya mahasiswa yang harus menggantikan generasi generasi sebelumnya untuk menduduki posisi posisi strategis dalam kepemimpinan bangsa
Sebagai pengusung Moral Force mahasiswa harus mampu bersikap dan bertindak lebih baik dari yang lainnya karena mereka adalah sebagai kaum intelektual, dimana mereka mengatakan yang benar itu adalah benar dengan penuh kejujuran, keberanian, dan rendah hati. Mahasiswa juga dituntut untuk peka terhadap lingkungan sekitarnya dan terbuka kepada siapa saja. Hal itu semata-mata karena mereka adalah kader-kader calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang, yang memegang kendali negara di masa depan.
Oleh karena itu mereka berhak untuk melakukan kontrol sosial. Sebagai kontrol sosial (Social Control), mahasiswa dapat melakukan peran preventif dengan membantu masyarakat dalam mewujudkan ketentuan dan peraturan yang adil dan berpihak pada rakyat banyak, sekaligus mengkritisi peraturan yang tidak adil dan tidak berpihak pada masyarakat.Kontrol terhadap kebijakan pemerintah tersebut perlu dilakukan karena banyak sekali peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang hanya berpihak pada golongan tertentu saja dan tidak berpihak pada kepentingan masyarakat banyak. Sikap kritis itu merupakan wujud kepedulian mereka terhadap bangsa dan negaranya yang dilakukan dengan ikhlas dan dari hati nurani mereka, bukan atas keterpaksaan maupun intimidasi dari pihak luar. Segala sesuatu yang mereka perjuangkan adalah sesuatu yang mereka yakini adalah baik untuk kehidupan mereka di masa sekarang dan di masa yang akan datang. Hal tersebut berlaku dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan berbangsa dan bernegara.Namun tentunya sikap kritis mahasiswa tidak harus pada isu-isu nasional tapi dapat juga kritis pada isu-isu lokal seperti pencemaran lingkungan, kebijakan pemerintah setempat yang dirasa merugikan masyarakat kecil, tindakan sewenang-wenang pemerintah setempat pada masyarakat kecil, ataupun perihal lainnya.
Dan akhirnya sebagai Agent of Change,mahasiswa dituntut sebagai agen yang membawa perubahan pada suatu bangsa Mahasiswa selalu menjadi bagian dari perjalanan sebuah bangsa. Mahasiswa merupakan suatu elemen masyarakat yang unik. Jumlahnya tidak banyak, namun sejarah menunjukkan bahwa dinamika bangsa ini tidak lepas dari peran mahasiswa Roda sejarah demokrasi selalu menyertakan mahasiswa sebagai pelopor, penggerak, bahkan sebagai pengambil keputusan. Hal tersebut telah terjadi di berbagai negara di dunia, baik di Timur maupun di Barat.
Pemikiran kritis, demokratis, dan konstruktif selalu lahir dari pola pikir para mahasiswa. Walaupun zaman terus bergerak dan berubah, namun tetap ada yang tidak berubah dari mahasiswa, yaitu semangat dan idealisme.Semangat-semangat yang berkobar terpatri dalam diri mahasiswa, semangat yang mendasari perbuatan untuk melakukan perubahan-perubahan atas keadaan yang dianggapnya tidak adil. Mimpi-mimpi besar akan bangsanya. Intuisi dan hati kecilnya akan selalu menyerukan idealisme. Mahasiswa tahu, ia harus berbuat sesuatu untuk masyarakat, bangsa dan negaranya. Suara-suara mahasiswa kerap kali merepresentasikan dan mengangkat realita sosial yang terjadi di masyarakat. Sikap idealisme mendorong mahasiswa untuk memperjuangkan sebuah aspirasi pada penguasa, dengan cara mereka sendiri.Tidak dapat dipungkiri bila generasi muda khususnya para mahasiswa, selalu dihadapkan pada permasalahan global. Setiap ada perubahan, mahasiswa selalu tampil sebagai kekuatan pelopor, kekuatan moral dan kekuatan pendobrak untuk melahirkan perubahan.
2. REALITA MAHASISWA INDONESIA SAAT INI
Saat ini dihadapkan pada tantangan pembangunan yang kian kompleks untuk mengatasi dampak krisis global, sebagaimana dialami pula oleh bangsa-bangsa lain. Globalisasi yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi telah membuktikan bahwa hanya bangsa yang memiliki karakter kuat dan tangguh yang akan sanggup menghadapi berbagai tantangan pembangunan. Semua negara, termasuk bangsa Indonesia, mendambakan menjadi bangsa yang kuat dan tangguh, karena bangsa yang tangguh akan sanggup untuk mengubah berbagai tantangan menjadi peluang yang menguntungkan bagi kemajuan rakyatnya.Namun, sayangnya perjalanan bangsa Indonesia menuju bangsa yang tangguh dan mandiri, serta berjiwa pancasilais menemui tembok tebal. Penyebabnya adalah hilang atau memudarnya ”karakter bangsa” kita
Melihat fenomena meresahkan berupa merebaknya seks bebas di kalangan pelajar dan mahasiswa Semakin banyak generasi muda yang terjerumus dalam pemakaian narkoba dan obat-obat terlarang. Kesemuanya itu adalah komplikasi sedikit dari banyak kasus demoralisasi dan dehumanisasi di negara ini. Bukan hanya di kalangan rakyat biasa, di kalangan elit pemerintahan pun kita dapat melihat bahwa degradasi karakter terlihat pada sektor kepemimpinan yang mengalami krisis. Kehidupan berbangsa telah kehilangan tokoh panutan yang seharusnya mampu mengayomi masyarakat. Konsep demokrasi yang digembor-gemborkan oleh para pemimpin hanya menghasilkan politisi tamak, rakus, dan korup. Rasanya wajar jika banyak orang mengatakan banyak pemimpin yang haus akan kekuasaan. Mereka berlomba-lomba menjadi penguasa untuk mendapat fasilitas, uang, dan pengaruh. Kekuasaan dimanfaatkan untuk kepentingan kelompoknya. Mereka seakan lupa bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Korupsi dan godaan duniawi mudah menjerat seluruh elemen bangsa ini, dari tingkat tertinggi sampai terendah. Kepentingan pribadi dan golongan akhirnya muncul sebagai pemenangnya, mengalahkan kepentingan bangsa. Krisis karakter telah mewarnai perjalanan bangsa ini
3. KRISIS KARAKTER SEBAGAI RESISTEN BAGI KEMAJUAN BANGSA
Krisis karakter telah mengancam persatuan dan kesatuan yang seharusnya menjadi modal dasar untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang menghargai keberagaman. Jika krisis karakter bangsa Indonesia tidak segera dibenahi, maka tujuan pembangunan bangsa Indonesia dikhawatirkan tidak tercapai. Hal itu karena karakter bangsa umumnya bersifat kolektif atau akumulasi dari karakter pribadi seluruh warga bangsanya
Untuk menumbuhkan karakter yang baik perlu dilakukan pembinaan, dan hal itu sangat erat korelasinya dengan kekuatan yang dimiliki bangsa dalam menyelenggarakan pembangunan. Karakter positif adalah energi penggerak utama yang akan mendayagunakan semua modal yang dimiliki suatu bangsa dalam mencapai cita-cita menyatakan bahwa karakter bangsa sama pentingnya dengan sumber daya fisik yang dimiliki bangsa itu, untuk mencapai kemajuan bangsanya . Kita sebagai Mahasiswa Kristen diharapkan sebagai penggerak pemberdayaan yang populis untuk menyelesaikan degradasi karakter bangsa.
Mahasiswa Kristen dituntut untuk berkiprah di masyarakat di berbagai bidang. Yang terpenting adalah peranan itu harus transformatif, yang membawa perubahan dan ditujukan untuk semua golongan di masyarakat tanpa memandang suku, agama dan sebagainya. saat ini peran mahasiswa Kristen dan organisasinya dalam upaya membenahi krisis karakter bangsa belum terlalu terlihat. Generasi muda Kristen, dengan integritasnya sebaiknya tampil memiliki jati diri dan siap menjadi pemimpin yang berkarakter, siap menggemakan semangat bangkit dari keterpurukan dan rasa saling menyakiti antar komponen bangsa, dan siap menjadi pioner gerakan nasionalisme.
Namun apa yang terjadi,kebanyakan mahasiswa bangsa kita lebih senang berhura-hura, malas berpikir dan berdiskusi, tidak serius belajar serta terlanjur terjerumus dalam modernisasi yang membuat mereka menjadi kaum oportunis. Secara tak sadar, para generasi muda dihinggapi dengan pandangan dan perilaku umum yang mendidik mereka menjadi bermental instan dan bermental bos. Pemuda menjadi malas bekerja dan malas mengatasi kesulitan.Hambatan dan proses pembelajaran tidak diutamakan sehingga etos kerja jadi lemah.
Mereka adalah manusia yang dididik agar menjadi intelektual yang kontributif, mampu mamahami permasalahan di sekitarnya, kemudian menganalisis serta menerapkan solusi masalah tersebut dalam bentuk nyata. Tapi apa daya,definisi tak selaras dengan implementasi. Mereka belum mampu membuat harapan bangsa ini menjadi kenyataan yang lebih baik dari sebelumnya. Kebanyakan mereka tidak memaknai peran yang diemban, posisi di mana mereka berada, serta fungsinya di mata masyarakat. Hanya lebih menonjolkan individualisme yang demikian melambung.
Masih ingat dengan mahasiswa Indonesia yang kerjanya hanya belajar, belajar dan belajar demi IP tinggi dan cepat lulus. Mahasiswa Indonesia ini umumnya semakin terkena penyakit yang penting studi saja. Mahasiswa ini, kalau di kampus, paling tahunya cuma jurusannya, lalu perpustakaan,
setelah itu, pulang ke rumah atau tempat kosnya. Mahasiswa Indonesia kelas ini pikirannya cuma belajar saja, sehingga mereka tidak merasa perlu untuk membangun diri dengan terlibat di unit kegiatan mahasiswa atau organisasi yang baik di luar kampus. Bahkan kadang, mahasiswa Indonesia ini menganggap segala aktifitas di luar kelas itu adalah pemborosan waktu. Dengan nilai dan IP yang wajar kalau lebih bagus dari nilai atau IP mahasiswa yang juga aktif berorganisasi, mahasiswa Indonesia ini bahkan bisa menilai mahasiswa lainnya dari tinggi rendahnya nilai atau IP. Begitu bangganya mereka dengan prestasi akademik mereka, seolah-olah kesuksesan hidup setelah lulus kuliah seluruhnya ditentukan oleh angka-angka itu. Tentu lebih baik kalau nilai atau IP bagus itu diperoleh dengan cara jujur dan menunjukkan penguasaan akan materi kuliah.Tetapi,kalau angka-angka itu diperoleh dengan cara yang tidak benar,lalu apa yang sebenarnya patut dibanggakan oleh mahasiswa Indonesia ini?
Di titik ekstrim lainnya ada mahasiswa yang justru sudah kurang peduli lagi dengan kuliah dan studinya, dan malah fokus dengan kesibukannya di unit kegiatan mahasiswa atau organisasi di luar kampus. Hal itu baik kalau apa yang mereka kerjakan itu memang sungguh berguna buat mereka dan rakyat.Apa jadinya kalau sebenarnya yang mereka kerjakan cuma menghabiskan waktu dan uang, kumpul kumpul tidak jelas dengan mahasiswa sejenis, diskusi tanpa arah dan tujuan,lalu main bola, main kartu.Apa arti semua itu dibandingkan sekian banyak tahun kuliah dan uang yang terbuang, apalagi kalau akhirnya drop out (DO),lalu apa sebenarnya yang dicari mahasiswa Indonesia macam ini?
Yang paling parah adalah kejahatan akademis,sebab sudah merupakan kejahatan melawan hukum. Karena mahasiswa Indonesia sudah tidak punya hasrat untuk menguasai ilmu yang dipelajarinya, entah karena alasan apa, dan diperburuk dengan mental cepat lulus dengan IPK setinggi-tingginya, mahasiswa ini lalu menggunakan berbagai teknik kreatif untuk menyontek waktu ujian atau mengerjakan tugas. Meski isi kepalanya kosong, mahasiswa yang menyontek itu tetap tertawa-tawa bangga waktu nilai ujiannya A atau justru marah ketika dapat nilai jelek.Tindakan pembohongan ini juga terjadi tidak hanya waktu ujian. Mengapa sering kali tanda tangan di absensi mahasiswa lebih banyak daripada yang hadir di kelas? Berani titip absen tanpa perasaan bersalah atau gelisah sudah umum bagi mahasiswa Indonesia.
Tidak hanya itu,banyak sekali aksi kejahatan sosial di luar kampus yang dilakukan mahasiswa.Berapa banyak mahasiswa yang jadi bandar judi dan narkoba?Berapa banyak mahasiswa pemakai narkoba?Berapa banyak mahasiswa perempuan yang mencari pekerjaan sambilan sebagai ayam kampus?Dan ternyata banyak penghuni penjara adalah mahasiswa.Bukankah ini semua bukti dasar bahwa mahasiswa Indonesia sudah kehilangan esensi dan tujuan sejati dari menjadi mahasiswa dan belajar di perguruan tinggi?
4. MAHASISWA KRISTEN,JATI DIRI YANG RUSAK
Bagaimana dengan mahasiswa Kristen sendiri? Keadaannya juga tidak jauh beda dengan mahasiswa pada umumnya Mahasiswa Kristen pun banyak melakukan tindakan seperti yang disebutkan di atas..Mahasiswa Kristen juga banyak yang melakukan kejahatan,.Bahkan peran mahasiswa Kristen sebagai garam dan terang dunia,untuk menerangi dunia yang rusak ini juga tidak terlihat.Malah terkadang mahasiswa Kristen sendiri melakukan hal yang lebih parah.Jika kita ingin melihat buktinya,coba kunjungi penjara atau lembaga pemasyarakatan.Tidak heran,banyak nama nama mahasiswa Kristen yang ada di dalamnya.Apakah ini yang disebut mahasiswa Kristen?
Bukan hanya itu,terkadang mahasiswa Kristen juga terpengaruh sikap yang tidak terpuji,seperti hedonisme,apatisme dan eksklusivisme.Berapa banyak kita lihat di kampus mahasiswa Kristen yang hanya mau bergaul dengan sesama Kristen,bahkan terkadang hanya ada yang mau bergaul dengan teman gerejanya saja.Nampaknya Pemuda dan mahasiswa Kristen di Indonesia perlu mengubah pandangannya mengenai kemajemukan berbangsa dan bernegara guna menghilangkan sikap eksklusivisme di tengah kehidupan masyarakat
5. BAGAIMANA SEHARUSNYA PERAN MAHASISWA KRISTEN?
Jika kita lihat lagi,akar semua permasalahan yang ada pada bangsa ini disebabkan karena permasalahan karakter.Karena itu,karakter mahasiswa Kristen sejati sangat diperlukan.Adalah hal yang mustahil memisahkan antara kepemimpinan Kristen dengan karakternya, antara kepemimpinan Kristen dengan kehidupan spiritualitasnya. Ini adalah yang paling penting bila hendak membangun mahasiswa Kristen yang berhikmat dan berdedikasi tinggi bagi bangsa, Bangsa ini perlu ditolong terutama dalam membangun karakternya, dan kita semua harus berperan di dalamnya.
Seorang mahasiswa Kristen seharusnya memiliki jati diri ganda: warga dunia sekaligus warga surga. Dua jati diri itu tidak dikotomis, melainkan saling mengisi. Dalam perspektif iman Kristen yang holistik, mencintai Tuhan menjadi nyata dalam mencintai sesama dan dalam tingkat berbangsa adalah mencintai negeri. Pertanyaannya, bagaimana seorang Mahasiswa Kristen mewujudkan cinta akan negeri?Pertama, sudah sewajarnya mahasiswa Kristen menjadi bagian dari barisan penegak demokrasi dalam masyarakat yang majemuk bersama dengan komunitas umat lain yang juga memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan pluralisme. Kedua, berangkat dari keyakinan bahwa imannya adalah hidup, mahasiswa Kristen ditantang untuk mewujudnyatakan iman itu dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Negeri kita sedang membangun dan mengisi kemerdekaan. Seyogianya mahasiswa Kristen berperan dalam menentukan sifat dan arah pembangunan demi tanggung jawab atas masa depan bangsa, diibaratkan menjadi terang dalam semua bidang, khususnya bidang-bidang yang besar pengaruhnya atas sifat dan arah pembangunan.Mahasiswa Kristen ditantang untuk memberi kontribusi dalam membangun etos kerja, mengikis struktur-struktur yang korup, memerangi kemiskinan, mengurai proses pembodohan dan mencerdaskan bangsa, membuka jalan kepada
dialog peradaban berhadapan dengan globalisasi dan modernitas..Jadi,pada dasarnya, iman Kristen diharapkan menjembatani kesenjangan antara agama dan masyarakat.
Selain itu,sebagai mahasiswa Kristen kita dapat berperan aktif dalam Pelayanan Mahasiswa,karena Pelayanan Mahasiswa adalah pelayanan yang membentuk karakter pribadi tiap mahasiswa,sehingga mampu menciptakan kader-kader handal yang dikemudian hari mampu untuk berkarya dan berbakti dengan integritas yang baik di dalam sistem-sistem birokrasi yang ada Kalau dulu Allah memanggil Daniel, Sadrakh, Mesakh dan Abednego – mahasiswa-mahasiswa Babel saat itu – untuk memberikan pengaruh besar bagi Babel, tentu bukan tidak mungkin Tuhan sedang mempersiapkan Daniel-Daniel baru, di abad modern ini, untuk menjadi alat kasih Allah melalui Pelayanan Mahasiswa.
6. PERAN MAHASISWA KRISTEN SEBAGAI AGEN PERUBAHAN DALAM KRISIS KARAKTER BANGSA
Krisis karakter bangsa merupakan sebuah fenomena yang terjadi pada berbagai kalangan dan lapisan masyarakat. Fenomena yang begitu gencar terdengar dan diberitakan melalui hampir seluruh media massa merambah hampir keseluruh lapisan masyarakat. Tanpa perlu melangkah jauh-jauh, perstiwa-peristiwa yang dapat mewakili corak krisis tersebut pun ada disekitar kita dan begitu dekat.
Krisis karakter bangsa dapat diartikan sebagai kemerostan karakter bangsa. Acuan yang dipakai untuk melihat kadar krisis karakter adalah standar yang berasal dari Allah sendiri. Kondisi karakter yang mengalami krisis adalah ketika kualtias karakter tersebut sangat merosot karena tidak sesuai dengan standar Allah.
Krisis karakter bangsa secara nyata tercermin pada karakter para pemimpin bangsa dan negara, misalnya di Amerika, kita mengenal skandal Water Gate dan perselingkuhan Presiden Clinton; sedangkan apabila kita memperhatikan perjalanan sejarah kepemimpinan di Indonesia, tampak sekali bahwa suksesi pucuk pemimpin negara belum dapat berjalan mulus karena para pemimpin yang seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat tidak memiliki karakter positif yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai – nilai kemasyarakatan dan agama, seperti melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Lalu, sumbangsi apakah yang dapat kita berikan sebagai mahasiswa Kristen dalam mendorong terciptanya suatu perubahan dan pelepasan diri bangsa dari krisis multidemensi ini? Hal apa saja yang perlu kita persiapkan untuk ambil bagian sebagai agen perubahan? Dan bagaimanakah langkah – langkah yang harus kita tempuh guna mewujudkan kehidupan karakter bangsa yang baik dalam segala aspek kehidupan?
Dalam kondisi krisis seperti yang telah dijabarkan di atas, tidak akan ada satu orang pun yang dapat mengobati dan memulihkan kondisi krisis tersebut. Tidak ada yang bisa merubah karakter siapapun dan kondisi apapun. Apalagi memulihkan krisis karakter bangsa. Ini nampaknya seperti hal yang mustahil, namun sesungguhnya tetap ada yang harus dikerjakan secara khusus oleh mahasiswa Kristen dalam
Bangsa ini. Mahasiswa Kristen yang dimaksud disini adalah setiap mahasiswa yang telah mengenal Kristus, dan hidup baru di dalam Nya.
Pertanyaan yang dapat langsung muncul adalah kenapa mahasiswa? Mahasiswa tak diragukan lagi telah banyak berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan negeri Indonesia pada umumnya Semboyan ”Student Today, Leader Tomorrow” menunjukkan bahwa mahasiswa adalah calon pemimpin masa depan yang setelah dipersiapkan di dunia kampus akan memberi pengaruh positif dalam kehidupan bermasyarakat dan bergereja. Kegerakan yang dapat mahasiswa bawa pun bisa berdampak sangat luas, karena kampus sebagai tempat mahasiswa menuntut ilmu adalah sebuah tempat yang strategis. Kampus menjadi gerbang terakhir dalam sebuah jenjang pendidikan formal sangatlah potensial untuk menjadi tempat memperkenalkan Yesus sebagai Tuhan dan juruselamat, atau yang disebut sebagai penginjilan. Pada zaman ini setiap pemimpin di bangsa ini akan melewati pintu pendidikan terlebih dahulu. Sehingga apabila pekabaran injil di dalam kampus diabaikan maka ini akan berakibat sangat fatal tentunya. Mahasiswa sebagai calon pemimpin masa depan harus dibekali dengan sungguh-sungguh, sehingga ketika mereka terjun ke masyarakat, mereka membawa pengaruh yang positif.
Peran yang dapat mahasiswa Kristen emban adalah menjadi terang di tengah bangsa. Bagian alkitab yang menjadi pokok acuan adalah dalam Filipi 2:12-16: ”… sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia, sambil berpegang pada firman kehidupan, agar aku dapat bermegah pada hari Kristus….”
Bagian ini dengan jelas menjelaskan bahwa setiap mahasiswa Kristen akan hidup di tengah-tengah angkatan yang bengkok hati, dan satu panggilan jelas adalah menjadi terang yang bercahaya dan tetap berpegang pada firman Kehidupan sehingga melalui eksistensi dan hidup kita orang dapat mengenal siapa Allah yang kita sembah.
Ini mendorong kita untuk memikirkan bersama langkah-langkah konkrit yang di ambil sebagai mahasiswa Kristen. Satu bagian Alkitab yang sangat baik untuk dicermati terkait dengan peran konkrit mahasiswa Kristen sebagai terang di tengah Zaman yang bengkok hatinya ini terdapat pada bagian Yesaya 49 – 50. Lembaga Alkitab Indonesia memeberi judul ”Hamba Tuhan sebagai terang di tengah-tengah segala bangsa” serta ”Ketaatan hamba Tuhan”.
Pertama, hidup mejadi terang. Salah satu slogan yang sangat baik adalah ”Lifestyle as an evangelism”. Bagaimana dengan hidup kita orang-orang dapat mengenal Kristus dan memberitakan pembebasan atas perhambaat dosa yang mengikat (Yes 49:9) lewat setiap perkataan dan perbuatan kita (Yes 49:2, 50:4). Menjadi teladanNya yang nyata lewat hidup sehari-hari.
Kedua, terlibat dalam kegerakan pelayanan mahasiswa secara aktif. Ini adalah salah satu langkah strategis, terstruktur, terorganisir dan terkoneksi dengan berbagai kegerakan pelayanan mahasiswa di
seluruh dunia. Menghidupi semangat Penginjilan dan Pemuridan. Dua hal utama dalam kegerakan pelayanan mahasiswa yang terbukti telah membawa dampak dalam pembentukan karakter siswa dan mahasiswa yang akan menjadi agen penerus dan pembaharu bangsa.
Ketiga, memaksimalkan setiap kesempatan berharga untuk belajar dan berproses di kampus sehingga menjadi generasi yang unggul di dalam bidang penjurusan masing-masing. Menggumulkan visi hidup di hadapan Tuhan terkait dengan segala talenta, bakat dan minat yang sudah Tuhan berikan, dan dipakai untuk menjangkau jiwa dan memberitakan injil Kristus dalam segala bidang.
Keempat, berani mengambil bagian dalam kancah politik dan pemerintahan sesuai panggilan hidup pribadi di hadapan Tuhan. Terus memperbaharui informasi berita pergerakan bangsa dan kekristenan dan rindu untuk mengambil bagian di dalamnya dan bukan justru anti dan lebih memilih diam untuk aman. Tapi berani menyatakan kebenaran lewat pemerintah yang adalah pengambil keputusan dalam bangsa juga dalam penyusunan berbagai kebijakan dan kurikulum pendidikan bangsa.
Akhirnya, kita dapat mengingat pesan Yesus dalam Matius 5:16 “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”. Be the light of God in this world.
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
Penulis berkesimpulan bahwa sebenarnya mahasiswa Kristen punya peluang besar untuk bisa membawa dampak bagi bangsa ini, berperan dalam masalah krisis karakter bangsa. Kita semua sebagai mahasiswa Kristen harus bersama-sama bersungguh-sungguh bekerja sama memberikan dampak bagi bangsa ini.. Kita harus senantiasa bersyukur pada Tuhan, bertanggung jawab pada segala hal yang diberikan Tuhan. Kita harus senantiasa mempelajari Firman Tuhan dan membagikan kasih karunia Allah kepada orang-orang di sekitar kita. Jika ini kita lakukan, bukan tidak mungkin bangsa Indonesia mempunyai karakter yang baik, dan bisa lepas dari berbagai pandangan negatif negara-negara lain. Saya membayangkan, akan sangat indah jika Indonesia menjadi negara maju, negara yang bermoral, mempunyai karakter yang baik, dan pada saat bersamaan Kristen juga berkembang pesat di Indonesia, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Inilah tantangan bagi kita umat Kristen di Indonesia, khususnya para mahasiswa Kristen. Mampukah? Sekali lagi, bukan masalah mampu atau tidak, melainkan mau atau tidak! Soli Deo Gloria!
Mari berbuat yang terbaik untuk bangsa, karena kemajuan bangsa adalah kebanggaan bangsa tersebut. Mahasiswa Kristen harus menjadi garam dan terang dunia dimanapun berada untuk mewartakan cinta kasih sebagaimana Tuhan Yesus telah ajarkan. Milikilah karakter Ilahi, yang rela melayani sesama tanpa minta dilayani, serta tidak membeda-bedakan dan siap bekerjasama dengan siapa saja.
DAFTAR PUSTAKA
Soedarno, P. 1992. Ilmu Social Dasar Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia pustaka utama.
Russel, Bertrand. 1992. Dampak Ilmu Pengetahuan Atas Masyarakat. Jakarta: Gramedia pustaka utama.
Wilar, Abraham Silo. 2010. Ilmu Teknologi Persekutuan Protestan, Dan Pluralitas Bencana Social. Bekasi: pyramida media utama.
Kartodirjo, sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Social Dalam Metodologi Sejarah. Jakaerta: Gramedia Pustaska Utama.
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Desi Friska Julia Sianturi lahir 14 februari 1992. Desi anak ke-9 dari 9 bersaudara. Desi tamatan dari SMA negeri 1. Paranginan Humbang hasundutan, Dolok Sanggul, Sumatera Utara. Desi friska tamat dari SD tahun 2004, tamat SMP tahun 2007, dan tamat SMA tahun 2010. Sekarang Desi melanjutikan kuliah di STTB. Pada waktu masih SD,SMP, Desi pernah meraih juara di dalam kelas. Pada waktu SD, meraih juara 1,2,3 pada waktu kelas 2 sampai kelas 4. Pada masa SMP meraih juara 1,2 pada waktu kelas 2 SMP. Pada masa SMA kelas 2, membuat sebuah makalah yang mnembahas tentang penyakit yang ada dan dialami oleh masyarakat di daerah Paranginan. Itu merupakan tugas yang lumayan susah karena harus mengadakan penelitian langsung ke lapangan untuk membuktikan bahwa penyakit yang dialami oleh masyarakat Paranginan tuidak hanya ada satu macam penyakit. Dan makalah tersebut membantu masyarakat untuk mengatasi dan mengobati penyakit tersebut.
Uce Konstantin Sirituka lahir di Alor, Kupang, Nusa Tenggara Timur lahir pada 21 juli 1982. Uce bekerja di Perkantas selama 8 tahun di bidang kesiswaan. Setelah lama bekerja di bidang kesiswaan Uce ingin melanjutkan studinya, dan sekarang Uce studi di STTB.
Diposkan oleh Desi Sianturi di 02.56
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook