Chitin-Chitosan Ming Jen 13.70.0149 C3 Unika Soegijapranata
-
Upload
praktikumhasillaut -
Category
Documents
-
view
234 -
download
5
description
Transcript of Chitin-Chitosan Ming Jen 13.70.0149 C3 Unika Soegijapranata
Acara II
CHITIN & CHITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:Nama : Ming JenNIM : 13.70.0149
Kelompok C3
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
1
1. MATERI METODE
1.1. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum Chitin dan Chitosan adalah oven, blender,
ayakan, peralatan gelas, sedangkan bahan-bahan yang digunakan yaitu limbah udang,
larutan HCl 0,75 N; 1 N; dan 1,25 N, larutan NaOH 40%, 50% dan 60%.
1.2. Metode
1.2.1. Demineralisasi
HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam & secara kontinu dilakukan pengadukan.
Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.
Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.
2
1.2.2. Deproteinasi
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
Kemudian disaring dan didinginkan
3
1.2.3. Deasetilasi
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2, NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam
4
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam
5
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kitin dan Kitosan
Kelompok PerlakuanRendemen
Kitin I (%)
Rendemen
Kitin II (%)
Rendemen
Kitosan (%)
C1HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%23,45 30,00 27,43
C2HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%37,82 44,00 27,38
C3HCl 1N + NaOH 50% + NaOH
3,5%41,67 54,55 32,16
C4HCl 1N + NaOH 50% + NaOH
3,5%40,00 58,30 24,30
C5HCl 1,25N + NaOH 60% +
NaOH 3,5%21,19 40,32 11,25
Tabel diatas menunjukan nilai rendemen kitin I terbesar yaitu kelompok C3 sebesar 41,67%
dengan perlakuan HCl 1 N, NaOH 3,5%, dan NaOH 50%. Kelompok C5 mendapat
rendemen kitin I paling kecil yaitu 21,19% dengan perlakuan HCl 1,25 N, NaOH 3,5%, dan
NaOH 60%. Rendemen kitin II terbesar diperoleh dari kelompok C4 yaitu 58,30% dengan
penambahan HCl 1 N, NaOH 3,5%, dan NaOH 50%, dan yang mendapat nilai terkecil yaitu
kelompok C1 yaitu 30% dengan penambahan HCl 0,75 N, NaOH 3,5%, dan NaOH 40%.
Rendemen kitosan paling tinggi diperoleh oleh kelompok C3 dengan penambahan HCl 1 N,
NaOH 3,5%, dan NaOH 50% yaitu sebesar 32,16%. Sedangkan untuk nilai rendemen
kitosan terendah diperoleh oleh kelompok C5 dengan penambahan HCl 1,25 N, NaOH 3,5%,
dan NaOH 60% yaitu sebesar 11,25%.
6
3. PEMBAHASAN
Menurut Indra (1994), udang termasuk dalam Crustaceae yang mengandung kitin, dengan
bagian yang tidak dapat dimakan sebesar 75%, dari totoal kering berat 75% tersebut 20-58%
adalah adanya kandungan kitin. Selain itu, kitin juga dapat diperoleh dari kulit kerang, paruh
burung, serta tulang rawan (bagian tengah) cumi-cumi. Pemanfaatan limbah udang untuk
dijadikan kitin dan kitosan juga berguna untuk mengurangi cemaran limbah. Limbah udang
dapat mencapai 30% sampai 40% dari berat udang. Limbah udang, terutama bagian
cangkangnya masih banyak mengandung protein, karbohidrat, dan mineral dan jika dibuang
begitu saja, maka akan mengalami denaturasi protein dan hidrolisis secara alami, sehingga
dapat menimbulkan bau busuk, meningkatkan BOD air. Sedangkan kadar kitin dalam berat
udang, berkisar antara 60-70% dan bila diproses menjadi kitosan menghasilkan yield 15-
20%. Manjang (1993) menambahkan bahwa bahwa limbah yang dihasilkan dari sebuah
industri akan menimbulkan pencemaran lingkungan dan limbah yang tidak dikelola dengan
baik juga dapat menjadi sumber kerugian bagi industri. Salah satu limbah yang dihasilkan
dalam industri pengolahan udang adalah kulit udang. Kulit udang ternyata dapat
dimanfaatkan dan memberikan keuntungan atau nilai ekonomis bagi perusahaan.
Muzzarelli (1985) menyatakan bahwa kitin merupakan kristal amorphous yang berwarna
putih, tidak berasa, tidak berbau, dan tidak dapat larut dalam air maupun pelarut organik,
namun kitin larut dalam asam mineral pekat, seperti asam klorida, asam sulfat, asam nitrat,
dan asam pospat. Suhardi, et al. (1992) menambahkan bahwa pada umumnya kitin yang ada
di alam tidak berada dalam keadaan bebas (sendiri), akan tetapi berikatan dengan protein,
mineral, dan berbagai macam pigmen. Rumengan et al. (2014) menyatakan terdapat
beberapa jenis kitin yaitu dalam bentuk α, β, γ. Ketiganya memiliki perbedaan pada susunan
rantai disekitar kristalin. Perbedaan kristalin ini dapat diukur dari nilai indeks kristalin yang
bisa juga digunakan untuk memberi informasi mengenai keadaan kristal dan membedakan α-
kitin dan β-kitin. Indeks kristalin ini dapat dihitung dengan X-ray diffractograms. Ormun
(1992) menyatakan bahwa kitin bersifat mudah mengalami terdegradasi secara biologis dan
tidak beracun. Bastaman (1989) juga mengungkapkan bahwa karakteristik dari kitin yaitu
berbentuk serpihan dengan warna putih kekuningan, memiliki sifat tidak beracun, dan
mudah terurai secara hayati. Peter (1995) mengungkapkan bahwa kitin dapat digunakan
7
sebagai bahan pendukung dari beberapa enzim, seperti papain, laktase, kimotripsin, asam
pospatase, dan glukosa isomerase yang dimanfaatkan oleh industri pangan dan komestik.
Menurut Muzzarelli (1985), struktur kimia kitin mirip dengan selulosa, namun berbeda pada
gugus yang terikat pada atom C2. Pada kitin gugus yang terikat pada atom C2 adalah gugus
asetamida sedangkan pada selulosa adalah OH. Shahidi, et al. (1999) mengatakan bahwa
kitin merupakan polimer ikatan (1-4) 2-acetamido-2-deoxy β-D glucan yang dapat diekstrak
dari kulit atau eksoskeleton Arthropoda, seperti crustacea dan insect. Berdasarkan teori
Wang, et al. (2010), kandungan kitin dalam crustacea adalah sebesar 20%-60%, tergantung
dari spesiesnya.
Menurut Balley & Ollis (1977), kitosan merupakan turunan dari kitin. Muzzarelli (1977)
menyatakan bahwa kitosan merupakan kopolimer dari N-acetyl glucosamine dan hadir dalam
bentuk homopolimer. Kitosan merupakan polisakarida dasar dengan berat molekular yang
tinggi dan berada pada dinding sel dari beberapa jamur, dan serangga. Proses pembuatan
kitosan dari kitin diungkapkan oleh Muzzarelli, et al. (1986), dimana proses pembuatan
kitosan melalui N-diasetilasi dari kitin dengan 40-50% basa cair pada suhu 120-160oC.
Kitosan merupakan senyawa tidak larut dalam air, larutan basa kuat; sedikit larut dalam HCl,
HNO3, 0,5% H3PO4; dan tidak larut dalam H2SO4. Balley & Ollis (1977) menambahkan
bahwa kitosan merupakan senyawa dengan rumus kimia poli (2-amino-2-dioksi-β-D-
Glukosa) yang dapat dihasilkan dengan proses hidrolisis kitin menggunakan basa kuat.
Menurut Kofuji, et al. (2005) kitosan merupakan produk awal dari proses deasetilasi kitin
yang memiliki sifat unik, sehingga dapat digunakan dalam berbagai keperluan. Seperti kitin
yang tidak beracun, menurut Cahyaningrum, et al. (2007), kitosan juga merupakan produk
alami yang tidak beracun dan berupa polisakarida yang tidak larut air, serta merupakan
biopolimer kationik yang dapat didegradasi. Kitosan sangat mudah larut dalam asam organik
(asam formiat, asam asetat, dan asam sitrat). Kitosan sendiri memiliki beberapa sifat
spesifik, yaitu bioaktif, hidrofilik, biokompatibel, pengkelat, antibakteri, dapat
terbiodegradasi dan mempunyai afinitas yang besar terhadap enzim. Derajat deasetilasi
mempengaruhi kelarutan yang dimiliki oleh kitosan. Hal ini terjadi dikarenakan tahap
deasetilasi akan memotong gugus asetil pada kitin dan menyisakan gugus amina. Adanya H
pada amina akan memudahkan interaksi dengan air melalui ikatan hidrogen (Dunn et al.,
8
1997). Prasetyaningrum, et al. (2006) menambahkan pula bahwa kitosan dapat dihasilkan
dengan cara menghilangkan gugus asetil pada kitin, sehingga molekul ini dapat larut dalam
larutan asam (deasetilasi). Menurut Suhartono (1989), pelepasan gugus asetil dari kitosan ini
akan menyebabkan kitosan bermuatan positif yang mampu mengikat senyawa bermuatan
negatif, seperti protein, anion polisakarida, dan membentuk ion netral.
Hossain & Iqbal (2014) menyatakan bahwa dalam perkembangannya kitin dan kitosan
mulai memiliki banyak manfaat diantaranya adalah dibidang pangan, farmasi, kesehatan,
pertanian dan industri kertas dan tekstil serta pemulihan limbah industri. Menurut
Krishnaveni et al., (2015) metode untuk mengetahui keberedaan kitin-kitosan selain metode
deamineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi terdapat metode yang lebih sederhana yaitu
dengan infrared spectroscopy, tetapi memerlukan beberapa perlakuan penunjang.
Pada tahap demineralisasi, mula-mula limbah udang (kulit udang) dipersiapkan dan dicuci
dengan air mengalir, kemudian dikeringkan. Setelah kering, sampel dicuci kembali
menggunakan air panas sebanyak dua kali. Pencucian dengan air panas bertujuan untuk
menghilangkan adanya kotoran pada kulit udah dan sekaligus mematikan mikroorganisme.
Setelah itu dikeringkan kembali dan dihancurkan hingga membentuk serbuk, lalu dilakukan
pengayakan dengan ayakan 40-60 mesh. Tujuan dilakukannya pengeringan kedua adalah
untuk menghilangkan sisa air panas yang masih menempel pada kulit udang, sehingga kadar
air pada kulit udang secara keseluruhan akan berkurang dan kulit udang akan menjadi
kering, sedangkan menurut Muzzarelli, et al. (1997), penumbukan atau penghancuran
menjadi serbuk berfungsi supaya proses selanjutnya tidak memakan waktu yang lama dan
mendapat hasil yang sempurna karena semakin luas permukaan sampel, maka akan semakin
banyak dan cepat penyerapan larutan alkali / pelarut yang akan diberikan. Menurut Younes
& Marguerite (2015), tahapan yang baik adalah memlalui tahapan deproteinasi terlebih
dahulu kemudian dilanjutkan dengan proses deamineralisasi supaya tidak terjadi kontaminasi
protein terhadap cairan ekstrak mineral. Namun dalam praktikum kali ini langkah yang
dilakukan adalah dengan melakukan deamineralisasi terlebih dahulu.
9
Pada praktikum kali ini, kulit udang yang digunakan sudah dalam bentuk serbuk, sehingga
dapat digunakan secara langsung. Serbuk kulit udang kemudian ditimbang sebanyak 5 gram
(berat basah I). Selanjutnya ditambah dengan larutan HCl 0,75 N untuk kelompok C1 dan
C2; HCl 1 N untuk kelompok C3 dan C4; sedangkan untuk kelompok C5 ditambahkan HCl
1,25 N sebanyak 50 ml (serbuk kulit udang:HCl = 1:10). Lalu dipanaskan di atas hotplate
sambil diaduk selama 1 jam setelah suhu mencapai 90oC. Setelah itu disaring dan diambil
filtratnya. Filtrat kemudian dicuci dengan air mengalir hingga pH menjadi netral (pH 7).
Setelah itu, dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC selama 1 malam. Tahap demineralisasi
ini sesuai dengan teori Suhardi (1993) yang mengungkapkan bahwa tahap demineralisasi
adalah tahap penghilangan mineral. Salah satu mineral yang dihilangkan adalah kalsium
karbonat dengan penambahan larutan asam klorida (HCl) encer pada suhu kamar. Proses
penghilangan kalsium karbonat diperlukan karena kulit udang mengandung sekitar 30-50%
(berat kering) mineral dan komposisi utamanya adalah kalsium karbonat dalam jumlah besar
dan kalsium fosfat dalam jumlah kecil. Oleh karena kandungan mineral ini terlalu tinggi
pada limbah kulit udang, maka digunakan suatu metode untuk mengurangi jumlah mineral
yang terkandung pada kulit udang. Proses demineralisasi ini bertujuan untuk menghilangkan
kandungan mineral yang biasanya banyak terdapat pada bagian kulit dari udang. Penggunaan
HCl juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hendri, et al. (2007), dimana di
antara 3 larutan asam (HNO3, HCl dan H2SO4) yang digunakan pada tahap demineralisasi,
larutan HCl memiliki % recovery tertinggi.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Austin, et al. (1981) yang menyatakan asam klorida
dapat membuat kitin mengalami dipolimerisasi, tetapi memiliki sifat yang efektif untuk
melarutkan kalsium dalam bentuk kalsium klorida. Hendri, et al. (2007) menambahkan
bahwa proses pemisahan mineral ditunjukkan dengan terbentuknya gas CO2 berupa
gelembung-gelembung udara pada saat larutan HCl ditambahkan ke dalam sampel. Pada saat
praktikum diketahui bahwa gelembung-gelembung ini muncul di permukaan larutan ketika
kedua bahan tersebut dicampurkan. Hal ini terjadi karena saat penambahan HCl, terjadi
pelepasan CO2 dan terbentuk ion Ca2+, ion H2PO4- yang terlarut dalam larutan berair
sehingga menjadi CaCl2 yang akan hilang ketika penyaringan.
10
Pada saat pemanasan, perlu dilakukan pengadukan yang bertujuan untuk menghomogenkan
larutan, sehingga pemanasan terjadi secara merata dan optimal pada seluruh bagian larutan
yang dipanaskan. Sedangkan menurut Puspawati & Simpen (2010), pengadukan dilakukan
untuk menghindari terjadinya luapan gelembung udara yang dihasilkan selama proses
demineralisasi. Pemasanan selama 1 jam sendiri bertujuan untuk mencapai keadaan yang
optimum bagi HCl dalam melarutkan mineral-mineral pada proses demineralisasi ini. Hal ini
didukung dengan pendapat Hendry (2008) yang mengatakan bahwa proses pemanasan dan
pengadukan selama 1 jam dimaksudkan supaya gas CO2 yang mucnul dari proses pemisahan
mineral dapat dihilangkan. Kemudian larutan disaring untuk mendapatkan filtratnya saja dan
dicuci dengan air mengalir. Pencucian hingga didapat pH netral dengan air yang mengalir
bertujuan untuk menghilangkan sifat asamnya. Berdasarkan teori Mudasir, et al. (2008),
pada proses demineralisasi dilakukan pencucian yang bertujuan supaya HCl yang tersisa
dalam residu dapat dihilangkan karena HCl yang tersisa dapat bereaksi dengan kalsium
membentuk kompleks kalsium klorida sehingga akan didapat mineral kitin dengan berat
molekul yang lebih beasar, selain itu juga untuk pecegahan adanya degradasi produk selama
proses pengeringan. Pada praktikum ini, pengujian pH dilakukan dengan menggunakan
kertas lakmus hingga berwarna hijau muda sesuai dengan indikator yang telah disediakan.
Kemudian dikeringkan dalam oven selama 1 malam. Proses pengeringan ini bertujuan untuk
mengurangi kadar air dari kitin yang dalam prosesnya melibatkan banyak air. Dengan proses
pengeringan ini, maka akan diperoleh kitin kering yang tidak mengandung mineral.
Tahap deproteinasi dilakukan untuk menghilangkan kandungan protein yang ada. Menurut
Purwaningsih (1994), limbah udang mengandung protein yang cukup tinggi, yaitu sekitar
30%, maka diperlukan proses deproteinasi dengan tujuan untuk menghilangkan kandungan
protein tersebut. Pada tahap ini, hasil dari tahap demineralisasi yang telah dikeringkan
ditimbang (berat kering I). Kemudian dicampurkan dengan NaOH 3,5% dengan
perbandingan pelarut dan serbuk sebesar 6 : 1. Menurut Martinou, et al. (1995), tujuan dari
proses perendaman dalam larutan NaOH adalah untuk mengubah bentuk kristalin kitin yang
rapat, sehingga enzim lebih mudah berpenetrasi untuk mendeasetilasi polimer kitin. Selain
itu, perendaman juga dapat melarutkan protein yang melekat pada tepung kulit udang
tersebut. Rochima (2005) menambahkan bahwa NaOH perlu ditambahkan untuk
11
memutuskan ikatan antara protein dan kitin, sehingga akan diperoleh kitin yang dapat diolah
lebih lanjut. Kemudian larutan tersebut dipanaskan kembali di atas hotplate pada suhu 90oC
sambil diaduk lagi selama 1 jam. Pemanasan yang dilakukan telah sesuai dengan teori dari
Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa dengan pemanasan, maka protein akan
terdenaturasi. Larutan yang telah dipanaskan selama 1 jam, kemudian didinginkan. Tujuan
dari proses pendinginan ini adalah agar kitin pada larutan dapat mengendap di bawah,
sehingga tidak terbuang saat pencucian (Rogers, 1986). Setelah itu dilakukan penyaringan
dan diambil filtratnya. Kemudian filtrat dicuci kembali dengan air mengalir hingga dicapai
pH netral. Pencucian hingga pH netral ini berfungsi untuk mencegah supaya kitin tidak ikut
teruapkan pada proses pengeringan pada oven. Hal ini dikarenakan setelah pH netral, maka
dilakukan penimbangan kembali untuk mengetahui berat basah II dan di keringkan kembali
di oven dengan suhu 80oC dan selama 1 malam. Pengeringan ini bertujuan menguapkan air
yang masih tersisa selama proses pencucian, sehingga produk kitin akhir adalah berbentuk
kering.
Tahap selanjutnya yang merupakan tahapan akhir adalah tahap deasetilasi. Menurut Rahayu
& Purnavita (2007), tujuan dari proses deasetilasi, yaitu untuk menghilangkan gugus asetil
dari kitin melalui pemanasan dalam larutan alkali kuat dengan konsentrasi tinggi.
Penggunaan larutan alkali pada suhu tinggi dibutuhkan agar gugus asetil (CH3CHO-) pada
gugusan asetil amino kitin terlepas. Gugus amino pada kitin ini akan berikatan dengan gugus
hidrogen yang bermuatan positif, sehingga membentuk gugus amina bebas (-NH2) kitosan.
Dengan adanya gugus ini, kitosan dapat mengadsorpsi ion logam dengan membentuk
senyawa kompleks (khelat). Knoor (1984) menerangkan bahwa di dalam tahap deasetilasi
ini, ada faktor penting yang perlu diperhatikan, yaitu derajat asetilasi karena derajat
deasetilasi mengindikasikan jumlah gugus asetil yang hilang. Derajat deasetilasi itu sendiri
dipengaruhi oleh konsentrasi dari larutan basa, perbandingan jumlah larutan terhadap
padatan, suhu, waktu, kondisi reaksi selama deasetilasi. Semakin tinggi derajat
deasetilasinya, maka kitosan yang dihasilkan akan lebih murni yang bebeas dari pengotor
dan memiliki tingkat kelarutan yang sempurna dalam asam asetan 1%.
12
Azhar, et al. (2010) menambahkan bahwa proses penghilangan gugus asetil (-CH3COO) dari
gugus asetamida (-NHCOCH3) kitin maka akan menghasilkan gugus amina (-NH2) yang bisa
disebut dengan deasetilasi kitin. Mekanisme deasetilasi kitin ini akan terjadi pada larutan
basa, terjadinya reaksi adisi yang membentuk zat antara yang disebabkan dalam larutan basa
nukleofil yang baik dapat menyerang karbon karbonil suatu ester tanpa adanya protonasi
sebelumnya. Zat antara mengalami proses eliminasi yang menyebabkan terbentuknya asetat
karena lepasnya gugus asetil dari asetamida kitin. Hal ini berkaitan dengan konsentrasi ion
OH- yang akan menjadi lebih besar dalam basa kuat, sehingga proses deasetilasi gugus asetil
akan sangat berpengaruh tergantung dari kekuatan basa. Kitosan dan kitosan memiliki
karakteristik derajat deasetilasi yang berbeda, maka itu derajat deasetilasi berperan sebagai
indikator yang membedakan hasil dari proses demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi.
Derajat deasetilasi (DD) sebesar 40-100% disebut sebagai kitosan, namun jika kurang dari
40% maka disebut kitin.
Tahap deasetilasi dimulai dengan menimbang kitin yang telah dikeringkan pada tahap
deproteinasi (berat kering II), kemudian ditambahkan larutan NaOH 40% untuk kelompok
C1 dan C2, 50% untuk kelompok C3 dan C4, dan 60% untuk kelompok C5. Perbandingan
jumlah kitin dan NaOH adalah 1:20. Kemudian diaduk selama 1 jam dan didiamkan selama
30 menit. Lalu dipanaskan kembali di atas hotplate pada suhu 90oC selama ± 60 menit
(hingga tidak terdapat kandungan air lagi). Proses pengadukan akan meningkatkan
penumbukan antar partikel kitin dan larutan NaOH, sehingga proses deasetilasi akan
berlangsung dengan lebih sempurna, sedangkan penggunaan suhu tinggi diperlukan supaya
reaksi yang terjadi semakin optimal dan cepat, serta bertujuan untuk mengkonsentrasi larutan
NaOH, sehingga menjadi lebih pekat karena adanya evaporasi dari air. Puspawati & Simpen
(2010) menambahkan bahwa pemanasan dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan
derajat deasetilasi kitin tersebut. Kemudian hasil pemanasan didinginkan sebentar. Menurut
Rogers (1986), proses pendinginan ini bertujuan supaya bubuk kitosan pada larutan dapat
mengendap secara maksimal pada bagian bawah dan tidak terbuang selama pencucian.
Selanjutnya dilakukan penyaringan dengan kain saring dan diambil filtratnya. Selanjutnya
dicuci dengan air mengalir hingga pH netral (pH 7). Proses pencucian bertujuan untuk
mencegah terjadinya degradasi produk selama proses pengeringan dan menghilangkan
13
NaOH yang mungkin masih tersisa dalam residu. Kemudian ditimbang (berat kitin III) dan
dikeringkan di dalam oven dengan suhu 70oC selama 24 jam. Setelah 24 jam, kemudian
kitosan ditimbang (berat kitosan).
Penggunaan larutan NaOH 40-60% pada praktikum sesuai dengan teori yang disampaikan
oleh Hirano (1989) bahwa penggunaan larutan NaOH 40-60% dan suhu yang tinggi
diperlukan untuk mendapatkan kitosan dari kitin. Hal ini perlu dilakukan karena kitin
mempunyai struktur kristal yang panjang dengan ikatan kuat antara ion nitrogen dan gugus
karboksil. Ramadhan, et al. (2010), menambahkan bahwa penggunaan NaOH sebagai pelarut
pada tahap deasetilasi dikarenakan NaOH merupakan larutan alkali yang digunakan untuk
menghidrolisa kitin sehingga terjadi proses deasetilasi dari gugus asetamida menjadi gugus
amina. Ia menambahkan faktor yang mendorong terjadinya peningkatan derajat deasetilasi
kitin adalah faktor morfologi rantai kitin, dimana gugus asetamida dari kitin semakin
berkurang pada waktu deasetilasi meningkat. Pada setiap tahap perlakuan deasetilasi, kitin
dengan gugus asetamida yang berkurang mengalami perubahan morfologi, sehingga
memungkinkan proses hidrolisis oleh basa kuat. Proses pencucian secara bertahap juga dapat
mempengaruhi sifat penggembungan kitin dengan alkali, oleh karena itu efektivitas proses
hidrolisis basa terhadap gugus asetamida pada rantai kitin semakin baik.
Didapatkan nilai rendemen kitin I terbesar yaitu pada kelompok C3 dengan penambahan HCl
1 N, NaOH 3,5%, dan NaOH 50% yaitu sebesar 41,67%. Kelompok C5 memiliki rendemen
kitin I terendah yaitu 21,19% dengan penambahan HCl 1,25 N, NaOH 3,5%, dan NaOH
60%. Hasil tersebut tidak sesuai, karena menurut teori dari Laila & Hendri (2008),
seharusnya semakin besar konsentrasi HCl yang diberikan, maka rendemen kitin yang
dihasilkan semakin besar karena senyawa-senyawa mineral dalam serbuk udang semakin
mudah dilepaskan dan menurut Bastaman (1989), asam klorida dapat melarutkan komponen
mineral seperti kalsium karbonat. Teori tersebut tidak sesuai dengan hasil praktikum yang
didapat, dimana seharusnya kelompok C5 menghasilkan hasil rendemen paling tinggi, tetapi
dalam praktikum ini kelompok C5 mendapat rendemen kitin terkecil. Johnson & Peterson
(1974) mengatakan dengan adanya penambahan asam atau basa pada konsentrasi yang lebih
tinggi dan proses waktu yang lebih lama akan menyebabkan terjadinya peregangan pada
14
ikatan protein dan mineral yang ada pada kitin dan kitosan pada kulit udang serta bahan
organik lainnya yang terdapat didalamnya, sehingga rendemen kitin yang dihasilkan semakin
banyak. Hal ini didukung pula dengan pernyataan Lehninger (1975) yang menyatakan bahwa
tingginya nilai rendemen disebabkan karena penambahan HCl yang diberikan perlakuan
pemanasan dan pengadukan. Sedangkan menurut hasil penelitian dari Hendri, et al. (2007),
konsentrasi HCl kurang dari 3N dapat menaikan % recovery, namun sebaliknya jika
konsentrasi HCl lebih tinggi dari 3N dapat menyebabkan redemen kitin berkurang.
Pengurangan berat terjadi karena sisa asam yang tidak bereaksi dengan mineral
mendegradasi kitin melalui reaksi deasetilasi atau depolimerasi molekul kitin. Jika dilihat
dari teori Ramadhan, et al. (2010) dan Prasetyo (2006) yang mengungkapkan bahwa pelarut
yang baik dalam proses demineralisasi adalah HCl 1 N. Teori ini bisa menjawab mengapa
kelompok C3 dan C4 mendapat hasil yang rendemen kitin paling banyak, karena HCl yang
dipakai adalah HCl 1N pelarut yang baik untuk proses demineralisasi.
Rendemen kitin II terbesar diperoleh dari kelompok C4 yaitu 58,30% dengan penambahan
HCl 1 N, NaOH 3,5%, dan NaOH 50%, dan yang mendapat nilai terkecil yaitu kelompok
C1 yaitu 30% dengan penambahan HCl 0,75 N, NaOH 3,5%, dan NaOH 40%. Menurut
Puspawati & Simpen (2010), kulit udang yang melalui tahap deproteinasi akan
menghasilkan kitin sebanyak minimal 20%. Sedangkan Fennema (1985) mengungkapkan
bahwa pada suasana basa, jumlah protein dan mineral akan dihasilkan lebih besar
dibandingkan dengan suasana asam. Hal ini disebabkan larutan basa, seperti NaOH memiliki
aksi hidrolisis yang lebih kuat daripada asam. Laila & Hendri (2008) menambahkan bahwa
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas dari ekstraksi kitin adalah tahapan proses,
yaitu tahapan deproteinasi-demineralisasi serta kondisi proses dari setiap tahapan (lama
proses pengolahan, suhu, konsentrasi zat kimia dan pH), sedangkan Lehninger (1975)
mengungkapkan bahwa tahap deproteinasi dan demineralisasi yang dilakukan untuk
mengekstrak kitin dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah konsentrasi larutan,
suhu, dan waktu reaksi terjadi. Menurut Alamsyah, et al. (2001), isolasi kitin yang dilakukan
melalui tahap demineralisasi-deproteinasi akan menghasilkan rendemen yang lebih banyak
dibandingkan dengan tahap isolasi kitin yang melalui tahap deproteinasi-demineralisasi. Hal
ini disebabkan karena mineral akan membentuk pelindung yang keras pada kulit udang,
15
sehingga bila dilakukan tahap penghilangan mineral terlebih dahulu, maka tahap
deproteinasi basa dapat berjalan dengan lebih optimal dalam penghilangan protein. Hal ini
juga didukung oleh pernyataan Angka & Suhartono (2000) yang menyebutkan bahwa urutan
proses isolasi kitin dengan tahap demineralisasi-deproteinasi akan menghasilkan rendemen
kitin dan derajat deasetilasi yang lebih baik dibandingkan dengan proses deproteinasi-
demineralisasi.
Rendemen kitosan paling tinggi diperoleh oleh kelompok C3 dengan penambahan HCl 1 N,
NaOH 3,5%, dan NaOH 50% yaitu sebesar 32,16%. Sedangkan untuk nilai rendemen
kitosan terendah diperoleh oleh kelompok C5 dengan penambahan HCl 1,25 N, NaOH 3,5%,
dan NaOH 60% yaitu sebesar 11,25%. Hasil yang didapat kurang sesuai, karena menurut
teori dari Rochima (2005), penggunaan konsentrasi NaOH yang tinggi pada proses
deasetilasi akan menghasilkan rendemen kitosan yang memiliki derajat deasetilasi tinggi.
Hal ini disebabkan karena gugus fungsional amino (-NH3+) yang menggantikan gugus asetil
kitin semakin aktif, maka semakin sempurnalah proses deasetilasi, sehingga semakin tinggi
konsentrasi dari NaOH saat deasetilasi, maka rendemen yang dihasilkan akan semakin
meningkat.
Teori ini didukung pula oleh pernyataan dari Puspawati & Simpen (2010) yang menyatakan
bahwa penggunaan NaOH 60% pada tahap deasetilasi akan membuat pemutusan ikatan
antara karbon pada gugus asetil dengan nitrogen pada gugus amina lebih banyak terjadi,
sehingga gugus asetil lebih banyak dihilangkan jika dibandingkan dengan konsentrasi yang
lebih rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin besar konsentrasi zat yang bereaksi,
maka reaksi yang berlangsung semakin cepat karena semakin besar kemungkinan terjadinya
tumbukan. Semakin banyak gugus asetil yang dapat dihilangkan, maka semakin tinggi pula
nilai derajat deasetilasinya, dimana menurut Knoor (1984), derajat deasetilasi adalah suatu
parameter mutu yang menunjukkan gugus asetil yang dapat dihilangkan dari rendemen
kitosan. Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan karena beberapa faktor, seperti pengadukan
yang berlebih, sehingga meningkatkan suhu larutan (karena gaya gesek antar partikel akan
lebih tinggi dan menyebabkan panas yang berlebih); pada saat tahap pencucian ada beberapa
komponen yang ikut terbuang, sehingga nilai rendemen kitin menjadi berkurang; proses
16
pendinginan dilakukan dalam waktu yang singkat, sehingga pengendapan kitin belum terjadi
dengan maksimal yang mengakibatkan kitin mudah mudah terbuang saat pencucian; dan
juga dapat disebabkan karena proses pengeringan belum sempurna, sehingga tidak semua
teruapkan, sehingga akan mempengaruhi hasil rendemen kitosan.
17
4. KESIMPULAN
Kitin merupakan kristal amorphous yang berwarna putih, tidak berasa, tidak berbau,
dan tidak dapat larut dalam air maupun pelarut organik, namun larut dalam asam
mineral pekat.
Kitin bersifat mudah mengalami terdegradasi secara biologis dan tidak beracun.
Kitosan merupakan kopolimer dari N-acetyl glucosamine.
Sifat spesifik dari kitosan, yaitu adanya bioaktif, hidrofilik, biokompatibel, pengkelat,
antibakteri, dapat terbiodegradasi, dan memiliki afinitas yang besar terhadap enzim.
3 tahap pembuatan kitin dan kitosan, yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan
deasetilasi.
Tahap demineralisasi adalah tahap penghilangan mineral, contohnya kalsium karbonat
dengan penambahan larutan asam klorida (HCl) encer.
Tahap deproteinasi dilakukan untuk menghilangkan kandungan protein.
Tujuan dari proses deasetilasi adalah untuk menghilangkan gugus asetil dari kitin
melalui pemanasan dalam larutan alkali kuat dengan konsentrasi tinggi.
Derajat deasetilasi dipengaruhi oleh konsentrasi larutan basa, perbandingan jumlah
larutan dan padatan, suhu, waktu, serta kondisi reaksi selama deasetilasi.
Kitin yang berasal dari udang akan menghasilkan rendemen sebanyak lebih dari atau
sama dengan 20% pada proses demineralisasi
Semakin besar konsentrasi HCl yang diberikan, maka rendemen kitin I yang dihasilkan
semakin besar
Faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan proses pembuatan kitin adalah jenis
bahan baku dan proses ekstraksi kitin (deproteinasi dan demineralisasi).
Semakin tinggi konsentrasi dari NaOH saat deasetilasi, maka rendemen yang
dihasilkan akan semakin meningkat
Semarang, 22 Oktober 2015
Praktikan, Asisten Dosen,
- Tjan, Ivana Chandra
Ming Jen
13.70.0149
18
5. DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, R.; Endah, D.; Eni, H. L & Mochamad N. N. K. (2001). Pengolahan Kitosan (Polimer Alami) Dari Kulit Udang untuk Bahan Additives. BBIHP. Bogor.
Angka, S. L. & M. T. Suhartono. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor.
Austin, P. R.; Brine, C. J.; Castle, J. E. & Zikakis, J. P. (1981). Chitin: New Facets of Research. Science, 212 (4496) : 749–753.
Azhar, M.; J. Efendi; Erda, S.; Rahma, M. L. & S. Novalina. (2010). Pengaruh Konsentrasu NaOH dan KOH Terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang. Eksakta, Vol. 1 Tahun XI.
Balley, J. E. & Ollis, D. F. (1977). Biochemical Engineering Fundamental. Mc. Graw Hill Kogakusha, Ltd. Tokyo.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. Dept Mechanical Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. Queen’s Univ. Belfast.
Cahyaningrum, S. E.; Agustini & Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 : 93-98.
Dunn, E. T.; E. W. Grandmaison & M. F. A. Goosen. (1997). Applications and Properties of Chitosan. In: MFA. Goosen (Ed). Applications of Chitin and Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.
Fennema, O. R. (1985). Food Chemistry 2nd Edition. Marcel Dekker, Inc. New York.
Hendri, J.; Wardana; Irwan, G. S. & Aspita, L. (2007). Penentuan Kadar Ca dan Mg pada Hasil Demineralisasi Optimum Kulit Udang Windu (Penaeus monodon) Secara Gravimetri dan Spektroskopi Serapan Atom. Jurnal Sains MIPA, Vol. 13, No. 2, Hal. 93-99. Lampung.
Hendry, J. (2008). Teknik Deproteinasi Kulit Rajungan (Portunus pelagious) secara Enzimatik dengan menggunakan Bakteri Pseudomonas aeruginosa untuk Pembuatan Polimer Kitin dan Deasetilasinya. Universitas Lampung. Lampung.
Hirano. (1989). Production and Application on Chitin and Chitosan in Japan. In: Chitin and Chitosan: Sources, Chemistry, Biochemistry, Physical Properties and Applications, Eds. G. Skjak-Braek; T. Anthonsen & P. Sandford. Elsevier Applied Science. New York. pp. 37-40.
19
Hossain, M.S., A. Iqbal. (2014). Production and characterization of chitosan from shrimp waste. J. Bangladesh Agril. Univ. 12(1): 153–160
Indra, A. S. (1994). Hidrolisis Khitin Menjadi Khitosan serta Aplikasinya Sebagai Pendukung Padat. Jurusan Kimia FMIPA ITS. Surabaya.
Johnson, A. H. & M. S. Peterson. (1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc. Connecticut.
Knoor, D. (1984). Use of Chitinous Polymer in Food. Journal of Food Technology, Vol. 39 (1) : 85.
Kofuji, K; Qian, C. J.; Murata, Y. & Kawashima, S. (2005). Preparation of Chitosan Microparticles by Water-in-Vegetable Oil Emulsion Coalescence Technique. Journal of Reactive and Functional Polymers, Vol. 65 : 77-83.
Krisnaveni, B., R. Ragunathan. (2015). Extraction and Characterization of Chitin and Chitosan from F.solani CBNR BKRR, Synthesis of their Bionanocomposites and Study of their Productive Application. J. Pharm. Sci. & Res. Vol. 7(4), 197-205.
Laila, A. & Hendri, J. (2008). Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. Jurusan Kimia Fakultas MIPA. Lampung.
Lehninger, A. L. (1975). Biochemistry 2nd Ed. Worth Publisher Inc. New York.
Manjang, Y. (1993). Analisa Ekstrak Berbagai Jenis Kulit Udang Terhadap Mutu Kitosan. Jurnal Penelitian Andalas, Vol. 12 (V) : 138-143.
Martinou, A.; D. Kafetzopoulos & V. Bouriotis. (1995). Chitin Deacetylation by Enzymatic Means: Monitoring of Deacetylation Processes. Carbohydr Res 273 : 235-242.
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Mudasir; G. Raharjo; I. Tahir & E. T. Wahyuni. (2008). Immobilization of Dithizone onto Chitin Isolated from Prawn Seawater Shells (P. merguensis) and its Preliminary Study for the Adsorption of Cd (II) Ion. Journal of Physical Science, Vol. 19 (1), 63-78. Yogyakarta.
Muzzarelli, R. A. A. (1977). Chitin. Faculty of Medicine, University of Ancona. Pergamon Press. Ancona, Italy.
Muzzarelli, R. A. A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press, Inc. Orlando, San Diego.
Muzzarelli, R. A. A.; C. Jeunoax & G. W. Goody. (1986). Chitin in Nature and Technology. Plenum Press. New York.
20
Peter, M. G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan. Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., p. 629-639. Germany.
Prasetyaningrum, A.; N. Rokhati & S. Purwintasari. (2006). Rekayasa Teknologi Produksi Chitosan dari Limbah Kulit Udang sebagai Pengawet Bahan Makanan Pengganti Formalin: Upaya Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Kabupaten Pati. Semarang, Hal. 203 – 208.
Prasetyo, K. W. (2006). Pengolahan Limbah Cangkang Udang. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Purwaningsih. (1994). Teknologi Pembekuan Udang. PT Penebar Swadaya. Bogor.
Puspawati, N. M. & I N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia, Vol. 4. Halaman 70-90.
Rahayu, L. H. & Purnavita, S. (2007). Optimasi Pembuatan Kitosan Dari Kitin Limbah Cangkang Rajungan (Portunus Pelagicus) untuk Adsorben Ion Logam Merkuri. Reaktor, Vol. 11, No.1, Hal. 45-49. Semarang.
Ramadhan, L. O. A. N.; C. L. Radiman; D. Wahyuningrum; V. Suendo; L. O. Ahmad & S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia, Vol. 5 (1), Hal. 17-21.
Rochima, E. (2005). Karakterisasi Kitin dan Kitosan Asal Limbah Rajungan Cirebon Jawa Barat. Buletin Teknologi hasil Perikanan. 10 (1) Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rogers, E. P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books / Cole Publishing Company. Science Published, Ltd. England.
Rumengan, I.F.M., E. Suryanto et al., (2014). Structural Characteristics of Chitin and Chitosan Isolated from the Biomass of Cultivated Rotifer, Brachionus rotundiformis.International Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 3(1): 12-18.
Shahidi, F.; Arachchi, J. K. V. & Jeon Y. J. (1999). Food Applications of Chitin and Chitosans. Trends in Food Science and Technology, Vol. 10 : 37.
Suhardi, U; Santoso & Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin. BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.
Suhardi. (1993). Khitin dan Khitosan. Pusat Antar Universitas pangan dan Gizi, PAU UGM. Yogyakarta.
21
Suhartono, M. T. (1989). Enzim dan Bioteknologi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, IPB. Bogor.
Wang, Z.; Qiaoling Hu; Lei Cai. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods. International Journal of Polymer Science, Vol. 2010 Article ID 369759, 7 pages.
Younes, Islem, Marguerite Rinaudo. (2015). Chitin and Chitosan Preparation from Marine Sources.Structure, Properties and Applications.Mar. Drugs.(13), 1133-1174.
22
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus :
Rendemen Chitin I = beratkering
beratbasa h I× 100 %
Rendemen Chitin II = berat kitin
berat basa h II×100 %
Rendemen Chitosan = berat kitosan
berat basa h III×100 %
Kelompok C1
Rendemen Chitin I = 3,5
14,5×100 %
= 23,45 %
Rendemen Chitin II = 1,55,0
×100 %
= 30,00 %
Rendemen Chitosan = 0,963,5
× 100 %
= 27,43 %
Kelompok C2
Rendemen Chitin I = 4,5
11,9× 100 %
= 37,82 %
Rendemen Chitin II = 2,25
×100 %
= 44 %
Rendemen Chitosan = 1,574,2
× 100 %
= 27,38 %
Kelompok C3
Rendemen Chitin I = 4,5
10,8×100 %
23
= 41,67 %
Rendemen Chitin II = 3
5,5×100 %
= 54,55 %
Rendemen Chitosan = 1,193,7
×100 %
= 32,16 %
Kelompok C4
Rendemen Chitin I = 4
10×100 %
=40,00 %
Rendemen Chitin II = 3,56
×100 %
= 58,3 %
Rendemen Chitosan = 1,415,8
×100 %
= 24,30 %
Kelompok C5
Rendemen Chitin I = 2,511,8
× 100 %
= 21,19 %
Rendemen Chitin II = 2,56,2
×100 %
= 40,32 %
Rendemen Chitosan = 0,181,6
× 100 %
= 11,25 %
24