Case Dr Yudi
-
Upload
kent-chandra -
Category
Documents
-
view
310 -
download
2
Transcript of Case Dr Yudi
KOMPLIKASI INFEKSI DARI TRAUMA KEPALA POST CRANIOPLASTY
Oleh:
Disusun oleh:
Kent Chandra
Pembimbing: dr. Yudi Yuwono Wiwoho, Sp.BS
UNIVERSITAS TRISAKTI
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
RS PAU dr. ESNAWAN ANTARIKSA
JAKARTA
2011
STATUS
1
I. Identitas pasien
Nama : An R
Umur : 15 Tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Alamat : Halim
Agama : Islam
Tinggi badan : 160 cm
Berat badan : 53 kg
Dirawat : Ruang Merak 1, Ruang Cendawasih 15
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis
II. Keluhan Utama
Keluar nanah dari tempurung kepala sebelah kiri 7 hari SMRS
III. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan keluar nanah dari tempurung kepala sebelah kiri
dan demam sejak 7 hari SMRS. Pasien mengalami gangguan berbicara, Gangguan
penglihatan tidak dikeluhkan , gangguan pendengaran (-), Mual (+), Muntah (+).
1 Tahun SMRS pasien pernah datang ke UGD RS Harapan Bunda dengan
trauma kepala akibat kecelakaan motor, kepala kiri pasien terbentur keras tembok dan
terdapat perdarahan di otak Hasil CT scan menunjukkan pada perdarahan yang
cukup banyak diantara otak dan durameter. , lalu pasien menjalani operasi
cranioplasty oleh dr. Syaiful Sp. Bs di tempurung kepala sebelah kiri. Setelah
dilakukan cranioplasty pasien belum bisa bicara.
9 bulan SMRS pasien melakukan operasi penutupan tempurung di RSCM,
setelah dilakukan operasi keadaan pasien masih sama , lalu 4 bulan setelah nya,
pasien baru dapat berbicara, tetapi ada gangguan berbicara pada pasien.
1 minggu SMRS datang ke RSPAU Dr Esnawan Antariksa dengan keluhan
keluar nanah dari tempurung kepala sebelah kiri, diduga komplikasi infeksi, karena
pasien sering menggaruk- garuk bagian kepala yang di cranioplasti. Kemudian oleh
2
dr Syaiful Sp Bs, dianjurkan untuk operasi tempurung kepala lagi, karena di duga
infeksi, lalu dilakukan konsul dan dilakukan pemeriksaan, ahirnya pasien diharuskan
untuk di rawat dan kemudian dilakukan operasi.
IV. Riwayat Penyakit Dahulu
Asthma ( -), Trauma Kepala ( +) 1 tahun yang lalu, TBC ( -)
V. Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga riwayat keganasan (-)
penyakit Diabetes melitus (-)
riwayat hipertensi (-)
penyakit menular (-)
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tidak tampak sakit
Kesadaran : Compos Mentis
Nadi : 100 x/menit, reguler, equal, cukup
Suhu : 38,80 celcius
Pernapasan : 24x/ menit, reguler, teratur
STATUS GENERALIS
Kepala : Normosefali
Rambut : (+), distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata : CA -/-, SI -/-, RCL +/+, RCTL +/+, pupil isokor
Hidung : Simetris, sekret (-), deviasi septum (-)
Telinga : Serumen (-), tidak ada kelainan bentuk pada telinga
Mulut : Simetris, sianosis (-), tidak kering,lidah tidak kotor,
tonsil T1/T1 tenang, tidak hiperemis
Leher : Tidak ada pembesaran KGB, tiroid dalam batas
normal
Thoraks : Paru : Sn. Vesikuler, rh +/+, wh -/-
3
Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Supel, datar, timpani, BU (+) NT(-)
Ekstremitas : Akral hangat pada kedua ekstremitas, tidak ada oedem
STATUS NEUROLOGIS
Kesadaran : Compos Mentis
Pupil
o isokor/anisokor : Isokor
o posisi : Sentral
STATUS LOKALIS
Inspeksi : Normosefali
Palpasi : Ubun-ubun keras karena sudah menutup
Perkusi : -
Transluminasi : -
TANDA RANGSANGAN MENINGEAL
Kaku kuduk : negatif
Brudzinski I : negatif
Brudzinski II : negatif
Laseque : negatif
Kernig : negatif
NERVI CRANIAL
N I
Daya penghidu : tidak dilakukan
N II
Ketajaman penglihatan (hitung jari) : tidak dilakukan
4
Pengenalan warna : tidak dilakukan
Lapang pandang (konfrontasi) : tidak dilakukan
Funduskopi : tidak dilakukan
N III, N IV, N VI
Ptosis : negatif
Strabismus : negatif
Nistagmus : negatif
Exoptalmus : negatif
Enoptalmus : negatif
Gerakan bola mata
o Lateral : dapat dilakukan
o Medial : dapat dilakukan
o Atas lateral : dapat dilakukan
o Atas medial : dapat dilakukan
o Bawah medial : dapat dilakukan
o Bawah lateral : dapat dilakukan
o Atas : dapat dilakukan
o Bawah : dapat dilakukan
N. V
Mengigit (M.messeter,M temporalis) : dapat dilakukan
Membuka mulut : dapat dilakukan
Sensibilitas
o Atas : dapat dilakukan
o Tengah : dapat dilakukan
o Bawah : dapat dilakukan
Refleks masseter : dapat dilakukan
N. VII
Pasif
Kerutan kulit dahi : dapat dilakukan
Kedipan mata : dapat dilakukan
Aktif
5
Mengerutkan dahi : dapat dilakukan
Mengerutkan alis : dapat dilakukan
Menutup mata dengan kuat : dapat dilakukan
Meringis/menyeringai : dapat dilakukan
Menggembungkan pipi : tidak dilakukan
Gerakan bersiul : tidak dilakukan
Daya pengecapan lidah 2/3 : tidak dilakukan
lidah depan
N. VIII
Mendengarkan detik arloji : tidak dilakukan
Tes schwabach : tidak dilakukan
Tes rinne : tidak dilakukan
Tes weber : tidak dilakukan
N. IX
Arcus pharynx : tidak dilakukan
Posisi uvula : tidak dilakukan
Daya pengecapan lidah 1/3 belakang : tidak dilakukan
Refleks muntah : dapat dilakukan
N. X
Arcus pharynx : tidak dilakukan
Bersuara : dapat dilakukan
Menelan : dapat dilakukan
N. XI
Memalingkan kepala : dapat dilakukan
Sikap bahu : tidak dilakukan
Mengangkat bahu : tidak dilakukan
N. XII
Menjulurkan lidah : dapat dilakukan
Atrofi lidah artikulari : tidak dilakukan
Tremor lidah : tidak dilakukan
6
Fasikulasi : tidak dilakukan
MOTORIK
Gerakan : Normal
Kekuatan otot : Normal
Tonus otot : Normal
trofi : Eutrofi
REFLEKS FISOLOGIS
Refleks tendon
o Refleks biceps : +/+
o Refleks triseps : +/+
o Refleks patella : +/+
o Refleks achilles : +/+
REFLEKS PATOLOGIS
Hoffman trommer : -/-
Babinski : -/-
Chaddock : -/-
Openheim : -/-
Gordon : -/-
Schaefer : -/-
SENSIBILITAS
Eksteroseptif
o Nyeri : dapat dilakukan
o Suhu : dapat dilakukan
o Taktil : dapat dilakukan
Propioseptif
o Vibrasi : tidak dilakukan
o Posisi : tidak dilakukan
o Tekan dalam : tidak dilakukan
7
KOORDINASI DAN KESEIMBANGAN
Tes telunjuk hidung : dapat dilakukan
Test telunjuk telunjuk : dapat dilakukan
Tes tumit lutut : dapat dilakukan
Tes romberg : tidak dilakukan
Tes fukuda : tidak dilakukan
Disdiadokinesis : tidak dilakukan
FUNGSI OTONOM
Miksi : tidak dilakukan
Defekasi : tidak dilakukan
FUNGSI LUHUR
Fungsi bahasa : gangguan bicara afasia broca
(tidak mampu memproduksi kata kata)
Fungsi orientasi : tidak dilakukan
Fungsi memori : tidak dilakukan
Fungsi emosi : tidak dilakukan
Fungsi kognisi : tidak dilakukan
PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Pemeriksaan laboratorium : 9- 1 - 2012
Hb : 15,4 g/dl
Trombosit : 142.000 /mm3
Ht : 46%
Leukosit : 11.600/mm3
Bleeding time : 3’ (1-3 menit)
Clotting time : 6’ (4-7 menit)
Ureum : 21 mg/dl
Creatinin : 0,53 mg/dl
8
Pemeriksaan laboratorium elektrolit :
K+ : 3,34 mmol/L
Na+ : 134,8mmol/L
Cl++ : 113,3 mmol/L
RESUME
Pasien datang dengan keluhan keluar pus dari kepala sebelah kiri, pasien
sebelumnya pernah mengalami cedera kepala dan sempat di operasi cranioplasti
1 tahun yang lalu, diduga infeksi disebabkan oleh karena pasien sering
menggaruk-garuk kepalanya. Tidankan yang dilakukan terhadap pasien adalah
di konsul dr. Yudi Yuwono, Sp. BS ,dr. Syaiful sp. Bs untuk dilakukan
debridement luka,dan konsul ke dokter anestesi, untuk segera mempersiapkan
operasi.
DIAGNOSA KERJA INFEKSI KEPALA POST CRANIOPLASTY
PENATALAKSANAAN:
Konsul dr. Yudi Yuwono, Sp. BS
Antibiotik
Analgetik
Neurotropik
Anti kejang
Kortikosteroid
Instruksi Persiapan operasi Cranioplasty:
Surat ijin operasi
Lab rutin BT/CT
Thorax foto
Cukur gundul
Puasa 8 jam pre op
Hubungi / dijadwalkan ke OK
Sedia darah PRC 300 cc
Konsul anestesi
Antibiotik pre op injeksi ceftizoxime 500 mg IV
Pasang infus RL 1100 cc/24 jam
9
Pemeriksaan laboratorium hematologi :
o Hb : 15,4 g/dl
o Trombosit : 142.000 /mm3
o Ht : 46%
o Leukosit : 11.600/mm3
o Bleeding time : 3’ (1-3 menit)
o Clotting time : 6’ (4-7 menit)
o Ureum : 21 mg/dl
o Creatinin : 0,53 mg/dl
o Hitung jenis :
o eos : 2% (2-4%)
o Baso : - (0-1%)
o Batang : - (3-5 %)
o Segment : 26 (50-70%)
o Limpo : 70 (25-40%)
o Mono : 2 (2-8%)
Penemuan Pembedahan (9 Januari 2012) :
Laporan Bedah tindakan
Setelah pasien dilakukan tindakan nakose umum, pasien diposisikan
sedemikian mungkin hingga fraktur depres berada dalam posisi
sehorisontal mungkin.Desinfeksi lapangan pembedahan dengan
larutan antiseptik, kemudian dipersempit dengan linen steril.
Insisi kulit mengikuti luka lama dengan bentuk huruf S supaya
daerah operasi dapat diekspose. Jika fraktur terdapat di daerah
frontal, dianjurkan untuk meninggalkan luka lama dan membuat flap
kulit baru full coroner untuk alasan kosmetik.
10
Setelah insisi kulit, pasang retraktor otomatis untuk menghindari
perdarahan yang banyak dan agar daerah operasi ekspose. Biasanya
banyak terdapat kotoran rambut dan bekuan darah.
Perikranium disekitarnya disisihkan dengan disektor periostel yang
tajam, bekuan darah dan kotoran rambut dibersihkan dengan suction.
Tindakan ini membuat daerah operasi ekspose.
Dilakukan burrhole pada sisi luar fragmen tulang yang masih stabil
atau sehat.
Duramater dipisahkan dari tulang dengan menggunakan disektor
periosteal, kemudian dilakukan pemotongan tulang dengan bone
ronger yang kecil sepanjang sisi fraktur depres.
Pemotongan tulang terus dilakukan hingga duramater ekspose dan
fragmen fraktur depres bebas. Pematahan dari fragmen fraktur
depres sangat tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan
perdarahan dari pembuluh darah kortikal, yang dalam hal ini sulit
dikontrol karena sumber perdarahan tidak terekspose.
Bila fragmen tulang sudah bebas dan terekspos lalu dilakukan
pengangkatan fragmen tersebut secara perlahan.
Duramater dibersihkan dari bekuan darah dan kotoran lain, dan bila
ada pembuluh darah yang pecah bisa dilakukan koagulasi.
Bila ada robekan duramater, maka tepi dari duramater tersebut harus
diidentifikasi. Bebaskan duramater dari korteks dan retraksi secara
halus.
Mungkin duramater perlu diperlebar untuk mengekspose korteks
yang terkena, korteks yang sudah hancur serta bekuan darah
11
dibersihkan dengan suction. Perdarahan yang berasal dari pembuluh
darah kortikal dapat diatasi dengan koagulasi.
Korteks ditutupi surgicell dan dilakukan penjahitan water tight
dengan silk 3.0. Bila terdapat defek duramater yang luas mungkin
diperlukan graft untuk menutupnya.
Setelah dibersihkan dengan peroksida dan antibiotika topikal,
fragmen tulang dapat dipasang kembali, lalu lapisan periosteum
ditutup untuk memfiksasinya.
Luka operasi dijahit lapis demi lapis.
Instruksi post op :
Awasi KU, TTV, kesadaran
Elevasi kepala 30 derajat
Puasa sampai bising usus (+) normal
Infus RL 6 jam per botol
Cek DPL, elektrolit, AGD Ada hasil lapor dokter
Pemeriksaan laboratorium hematologi :
o Hb : 11,3 g/dl
o Lekosit : 14.800/mm3
o Bleeding Time 3’
o Clotting time : 6’
o Trombosit : 339.000/mm3
o Hematokrit : 37%
Hasil pemeriksaan laboratorium elektrolit :
o K+ : 3,68 mmol/L
o Na+ : 121,7 mmol/L
o Cl++ : 105,2 mmol/L
12
Pemeriksaan analisa gas darah :
o Hb : 10,8
o Suhu : 390C
o Ph : 7,371 (n : 7,37-7,43)
o PCO2 : 32,9 (n : 38-42 mm Hg)
o O2 : 211,3 (n : 70-99 mm Hg)
o Saturasi O2 : 99,5
o Konsentrasi O2 : 9,1
o Base Excess / BE : - 6,1 mmol/L
o Buffer Base / BB : -4,7 mmol/L
o HCO3 : 18,9 mmol/L
o HCO2 : 19,8 mmol/L
Balance cairan/6 jam, upayakan balance cairan untuk cegah dehidrasi
Terapi :
o Inj. Ceftizoxime 2 x 2 g IV
o Inj. Kloramfenikol 4x 1 g IV
o Inj. Metronidazol 3 x 500 mg IV
o Inj. Transamin 3 x 250 mg IV
o Inj. Vit K 3 x 1 ampul IV
o Inj. Vit C 3 x 500 mg IV
o Inj. ketorolac 3 x 30 mg IV
o Inj. ranitidin 2 x 1 ampul IV
FOLLOW UP
11-1-2012
S : KU Baik , Compos Mentis, Afebris
O : Status generalis : TD : 140/80 mm hg , S: 36,5 C , RR: 24 x/ menit
Keadaan umum: baik
Kesadaran: Compos mentis
Status Neurologis: Tidak ada perburukan
Status Lokalis : balutan lubang operasi tudak ada rembesan
13
A : Post Op Cranioplasti hari ke I
P : GV, minum bebas, imobilisasi duduk, berdiri biasa
12-1-2012
S : Demam (-), keluhan ( -)
O : Status generalis : TD: 120/80 mmhg , S: 36,8 C, RR: 24x per menit
Keadaan umum: baik
Kesadaran: Compos mentis
Status Neurologis: Tidak ada perburukan
Status Lokalis : Tidak ada rembesan
A : Post Op Cranioplasti hari ke 2
P : Terapi teruskan, ganti balutan dirapikan
14-1-2012
S : Demam (-), Pusing ( +)
O : Status generalis : TD : 120/ 70 mmhg, S: 36,6 C, RR: 24x / menit
Keadaan umum: baik
Kesadaran: Compos mentis
Status Neurologis: Tidak ada perburukan
Status Lokalis : Tidak ada rembesan
A : Post Op. Cranioplasty hari ke 4
P : Terapi teruskan
16-1-2012
S : Demam (+), Rembesan balutan ( +), kejang (+), mata melotot ke atas, kaki
kaku, muntah 2X seblum kejang.
O : Status generalis : N: 150/90 mmhg, S: 40,5 C, N 88 x / menit
Keadaan umum: buruk
Kesadaran: apatis
Status Neurologis: Tidak ada perburukan
Status Lokalis : Luka bekas operasi kering
Lab:
14
Hb : 10,8
Leukosit : 7300
Trombosit : 50.000
Ht :36 %
AGD
PCO2: 32,9
PO2 : 211,3
Saturasi O2 : 99,5
A : Post Op. Cranioplasty hari ke 6
P :
Oksigen sungkup 8 liter/ menit
Stesolid 10 mg diencerkan dalam 20 cc IV
Kompres badan dengan handuk dan ketiak
Novalgen 3 x 1 ampul drip bila Tdsistole > 100 mmhg
Pasang NGT bilas lambung
Cek Elektrolit, DPL, AGD
Pro 1cc
17-1-2011
S : , NGT hijau (OS dipuasakan )
O : Status generalis : N: 100, S: 38,2, RR: 20
Keadaan umum: baik
Kesadaran: Compos mentis
Status Neurologis: Tidak ada perburukan
Status Lokalis : Luka bekas operasi kering
A : Post Op. ETV hari ke 7
P : Tranfusi FFP 500 cc
Tranfusi TC 10 unit
O2 nasal 1 Liter per menit
Fenitoin 3 x 100 g
Terapi lain teruskan
15
18-1-2011
S : Taki kardi, urin pekat, NGT hijau (OS dipuasakan )
O : Status generalis : N: 1100, S: 36,9, RR: 20
Keadaan umum: baik
Kesadaran: Compos mentis
Status Neurologis: Tidak ada perburukan
Status Lokalis : Luka bekas operasi kering
A : Post Op. Cranioplasty hari ke 8
P :
NGT masih hitam
stop puasa,
Takut pasien kekurang cairan: beri susu 4 x 100 gr , diet cair, air putih, teh
manis.
Framadol 3 x 500 mg, bila suhu diatas 38 derajat
Ganti NGT
Mobilisasi kepala 45 – 60 derajat
Dekubitus ganti perban
Cek H2tl, albumin, elektrolit
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
16
Tulang tengkorak yang tebal dan keras membantu melindungi otak.
Tetapi meskipun memiliki helm alami, otak sangat peka terhadap berbagai
jenis cedera. Cedera kepala telah menyebabkan kematian dan cacat pada usia
kurang dari 50 tahun, dan luka tembak pada kepala merupakan penyebab
kematian nomor 2 pada usisa dibawah 35 tahun. Hampir separuh penderita
yang mengalami cedera kepala meninggal. Otak bisa terluka meskipun tidak
terdapat luka yang menembus tengkorak. Berbagai cedera bisa disebabkan oleh
percepatan mendadak yang memungkinkan terjadinya benturan atau karena
perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala membentur objek yang tidak
bergerak. Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada sisi
yang berlawanan. Cedera percepatan-perlambatan kadang disebut coup
contrecoup (bahasa Perancis untuk hit-counterhit).Cedera kepala yang berat
dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan saraf, pembuluh darah dan
jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan pada jalur
saraf, perdarahan atau pembengkakan. Perdarahan, pembengkakan dan
penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh
pertumbuhan massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat
bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa merusak atau menghancurkan
jaringan otak. Karena posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung
mendorong otak ke bawah. Otak sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang
yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini disebut herniasi.
Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak melalui
lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) ke dalam medula spinalis.
Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi vital
17
(denyut jantung dan pernafasan).
Klasifikasi cedera kepala :
1. Cedera kepala ringan (GCS : 13 – 15 )
2. Cedera kepala sedang (GCS : 9 - 12 )
3. Cedera kepala berat (GCS : =< 8 )
Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan kerusakan
otak. Usia lanjut dan orang yang mengkonsumsi antikoagulan (obat untuk
mencegah pembekuan darah), sangat peka terhadap terjadinya perdarahan
disekeliling otak (hematom subdural).
Kerusakan otak seringkali menyebabkan kelainan fungsi yang
menetap, yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi,
apakah terbatas (terlokalisir)atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi
yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak mana yang terkena. Gejala
yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi,
berbicara, penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa
mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan
kebingungan dan koma.
18
DEFINISI
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural.
Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal
memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya
arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak.
Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya
vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu
merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit
kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan
darah.
19
Gb. Hematoma Subdural
ETIOLOGI
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
• Trauma kapitis
• Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau
putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh
terduduk.
• Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah
terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada
orangtua dan juga pada anak - anak.
• Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdura.
• Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intrakranial.
• Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.
20
Gg. Perdarahan pada subdural
PATOFISIOLOGI
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi
akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di
permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya
araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak,
sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang
terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana
mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-
gejala akut menyerupai hematoma epidural.
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh
jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan
menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor
serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat
21
Gb. Lapisan pelindung otak
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena
jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil
sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan
pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem
vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar
sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi
perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan
terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.
Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang
peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural
kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan
perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh
efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada
fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena
22
komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi.
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu
akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut.
Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral
berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi
transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat
terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial
oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural
kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih
terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu
teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan
mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam
kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan
onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang
meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut.
Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari
penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua
mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya
perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat
meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi
bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau
kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim
23
fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan subdural kronik.
Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya
gejala- gejala klinis yaitu:
1.Perdarahan akut Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah
trauma.
Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat
mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah
terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm
tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan
lesi hiperdens.
2.Perdarahan subakut Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2
- 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran
dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi
belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening
tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan
karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
3.Perdarahan kronik Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma
bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul
dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang
ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja
bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami
24
gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural
kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa
menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan
penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat
terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum
terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada
araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung
pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena
dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan
meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan
menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya
hematoma.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap
cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan
menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma
subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada
gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.
Pembagian Subdural kronik:
Berdasarkan pada arsitektur internal dan densitas tiap hematom, perdarahan
subdural kronik dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu :
1. Tipe homogen ( homogenous)
2. Tipe laminar
25
3. Tipe terpisah ( seperated)
4. Tipe trabekular (trabecular)
Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe yang
trabekular adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa
pada awalnya dalam bentuk homogen, kemusian seringkali berlanjut menjadi
bentuk laminar. Sedangkan pada subdural kronik yang matang, diwakili oleh
stadium terpisah dan hematomnya terkadang melalui stadium trabekular selama
penyerapan.
Sedangkan berdasarkan perluasan iutrakranial dari tiap hematom, perdarahan
subdural kronik dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu:
1. Tipe konveksiti ( convexity).
2. Tipe basis cranial ( cranial base ).
3. Tipe interhemisferik
Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah tinggi,
sedangkan kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan
perdarahan subdural kronik berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra
kranial ini berguna untuk memperkirakan resiko terjadinya kekambuhan pasca
operatif.
26
GEJALA KLINIS
1.Hematoma Subdural Akut Hematoma subdural akut menimbulkan gejala
neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan
trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada
jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang
selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi
dan tekanan darah.
2.Hematoma Subdural Subakut Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik
dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera.
Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh
perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala
yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita
memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat
kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan
meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita
mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan
intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi
unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang
27
otak.
3.Hematoma Subdural Kronik Timbulnya gejala pada umumnya tertunda
beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera
pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan
subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7
sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane
fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke
dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma.
Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut
dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah
ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi
pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua
keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak
dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya
genangan darah.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar
karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran
perdarahan ini adalah:
28
• sakit kepala yang menetap
• rasa mengantuk yang hilang-timbul
• linglung
• perubahan ingatan
• kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
KERUSAKAN PADA BAGIAN OTAK TERTENTU
Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan
mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah
tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi
29
yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.
Kerusakan Lobus Frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik
30
(misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus
frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu
pada lobus frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi
tubuh yang berlawanan.
Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan
lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengelai satu
sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun
kadang menyebabkan kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa
menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas
yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan
perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka
menentang, kasar dan kejam; penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat
perilakunya.
Kerusakan Lobus Parietalis Lobus parietalis pada korteks serebri
menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi
umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah
ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan
merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus
parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang
agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian
pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan.
Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali
bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan
31
akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam
dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian
maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya. Kerusakan Lobus Temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan
mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami
suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta
menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan
menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus
temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari
luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan
bahasanya.
Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan
mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat
kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.
PENATALAKSANAAN
Pada kasus perdarahan yang kecil ( volume 30 cc ataupun kurang ) dilakukan
tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi
penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat
mengalami pengapuran.Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan
adanya gejala- gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk
melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk
dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing
dan circulation (ABCs). Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole
32
craniotomy, twist drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima
untuk perdarahan sub dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik
ini menunjukan komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural
kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada
pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis,
reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang
kembali .Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah
yang invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Penggunaan teknik ini
sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural kronik sudah mulai
berkurang.
Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang
bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.Pada pasien
trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan
refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya
penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh
adanya massa extra aksial.
Indikasi Operasi
• Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
• Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
• Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan
Kepala tidak bisa dilakukan.
33
Perawatan PascabedahMonitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan
seperti biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan
fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu
kemudian.
Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian pasien dapat
terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh - pembuluh darah yang baru
terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-
tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang
kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan subdural.. Maka dalam hal ini
hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan.
Serial skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan Markam .
Follow-up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk
menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
PEN-KES UNTUK KELUARGA keluarga diberikan penkes tentang perawatan
pasien dengan masalah cedera kepala, diantara yaitu :
• Penjelasan tentang pengertian, penyebab, pengobatan dan komplikasi cidera
kepala termasuk gangguan fungsi luhur dari pasien, oleh karena itu perlu
control dan berobat secara teratur dan lanjut.
• Mengajarkan bagaimana cara pemenuhan nutrisi dan cairan selama dirawat dan
dirumah nantinya
34
• Mengajarkan pada keluarga dan melibatkan keluarga dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari pasien
• Mengajarkan melatih mobilisasi fisik secara bertahap dan terencana agar tidak
terjadi cidera pada neuromuskuler elevasi kepala .
• Mempersiapkan keluarga untuk perawatan pasien dirumah bila saatnya pulang,
kapan harus istirahat, aktifitas dan kontrol selama kondisi masih belum optimal
terhadap dampak dari cidera kepala pasien dan sering pasien akan mengalami
gangguan memori maka mengajarkan pada keluarga bagaimana mengorientasikan
kembali pada realita pasien.
REHABILITASI
• Berbaring lama dan inaktiviti bisa menimbulkan komplikasi gerakan seperti
kontraktur, osteoporosis, dekubitus, edema, infeksi, trombophlebitis, infeksi saluran
kencing.
• Goal jangka pendek
1) Meningkatkan spesifik area seperti kekuatan, koordinasi, ROM, balans, dan posture
untuk mobilitas dan keamanan.
2) Pengobatan tergantung kondisi pasien kestabilan kardiopulmoner, fungsi
musculoskletal, defisit neurologi
Rehabilitasi dini pada fase akut terutama untuk menghindari komplikasi seperti
35
kontraktur dengan terapi fisik pengaturan posis, melakukan gerakan ROM
(pergerakan sendi) dan mobilisasi dini
Terapi ini kemudian dilanjutkan dengan home program terapi yang melibatkan
lingkungan dirumah
Pada pasien tidak sadar dilakukan dengan strategi terapi coma management
dan program sensory stimulation
Penanganan dilakukan oleh tim secara terpadu dan terorganisis :
dokter ,terapis, ahli gizi, perawat, pasien dan keluarga.
Melakukan mobilisasi dini, rehabilitasi termasuk stimulasi, suport nutrisi yang
adekuat, edukasi keluarga.
PROGNOSIS
Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis yang baik,
karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan sembuh total. Hematoma subdural
yang disertai lesi parenkim otak menunjukkan angka mortalitas menjadi lebih tinggi
dan berat dapat mencapai sekitar 50 %.
DIAGNOSA BANDING
Dementia, stroke, TIA, encephalitis, abses otak, adverse drugs reactions, gangguan
36
kejiwaan, Tumor otak, perdarahan subarachnoid, Parkinson, hydrocephalusdengan
tekanan normal.
ASUHAN KEPERAWATAN PENGKAJIAN.
1. Hal penting yang harus diperhatikan :
• Saat kejadian
• Tempat
• Bagaimana posisi saat kejadian
• Serangannya
• Lamanya
• Faktor pencetus
• Adanya fraktur dan status kesadaran
2. Status neurologi
• Perubahan kesadaran
37
• Pusing kepala
• Vertigo
• Menurunnya reflex
• Malaise
• Kejang
• Iritabel
• Kegelisahan atau agitasi
• Pupil; ukuran, refleks terhadap cahaya.
• Hemiparesis
• Letargi
• Koma
3. Status gastrointestinal
• Mual- muntah
4. Status kardiopulmonal
• Kesukaran bernafas atau sesak
• Depresi nafas
• Nafas lambat
• Hipotensi
• Bradikardi
5. Glascow Coma Scale
38
Menggunakan 3 area pengkajian, yaitu :
Eyes (E)
Verbal response (V)
Motor response (M)
Normal = 15 dan ≤ 8 indikasi koma
Gb. Contoh Glasgow Coma Scale
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko tidak efektif bersihan jalan nafas dan tidak efektif pola nafas berhubungan
dengan, gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, meningkatnya
tekanan intrakranial, penurunan kesadaran.
39
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral,
peningkatan tekanan intracranial
3. Kurangnya perawatan din berhubungan dengan tirah baring,menurunnya kesadaran.
4. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
5. Risiko injury berhubungan dengan menurunnya kesadaran meningkatnya tekanan
intrakranial
6.Nyeri berhubungan dengan trauma kepala
7.Risiko infeksi berhubungan dengan adanya injury
8. Kecemasan orang tua-anak berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma
kepala
9. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi
40
DAFTAR PUSTAKA
Donna D. Ignatavicius, dkk. (1999). Medical Surgical Nursing :
Across the Health Care Continum. (Edisi III). Philadelphia: Wb
Sounders Company.
Black and matasarin Jacobs. (1997). Medical Surgical Nursing :
Clinical management for continuity of care. (Edisi V).
Philadelphia: Wb Sounders Company.
Hudak & Gallo. (1997). Keperawatan Kritis: Pendekatan holistic.
(Edisi VI). Jakarta: EGC
Doenges Marilyn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan:
Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian
perawatan pasien. (Edisi III). Jakarta: EGC
41
Kumpulan Makalah Kursus Keperawatan Neurologi, 1997.
Jakarta
42