CA Colorectal

32
4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kanker Kolorektal Kanker kolorektal ditujukan pada tumor ganas yang berasal dari mukosa kolon atau rektum. Kebanyakan kanker kolorektal berkembang dari polip, oleh karena itu polpektomi kolon mampu menurunkan kejadian kanker kolorektal. Polip kolon dan kanker pada stadium dini terkadang tidak menunjukkan gejala. Secara histopatologis, hampir semua kanker usus besar adalah adenokarsinoma (terdiri atas epitel kelenjar) dan dapat mensekresi mukus yang jumlahnya berbeda-beda. Tumor dapat menyebar melalui infiltrasi langsung ke struktur yang berdekatan, seperti ke dalam kandung kemih, melalui pembuluh limfe, dan melalui aliran darah, biasanya ke hati karena kolon mengalirkan darah ke sistem portal. 1 2.2. Anatomi Kolon dan Rektum Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5 m (5 kaki) yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil,

description

kanker kolon

Transcript of CA Colorectal

4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Kanker Kolorektal

Kanker kolorektal ditujukan pada tumor ganas yang berasal dari mukosa kolon

atau rektum. Kebanyakan kanker kolorektal berkembang dari polip, oleh karena

itu polpektomi kolon mampu menurunkan kejadian kanker kolorektal. Polip kolon

dan kanker pada stadium dini terkadang tidak menunjukkan gejala. Secara

histopatologis, hampir semua kanker usus besar adalah adenokarsinoma (terdiri

atas epitel kelenjar) dan dapat mensekresi mukus yang jumlahnya berbeda-beda.

Tumor dapat menyebar melalui infiltrasi langsung ke struktur yang berdekatan,

seperti ke dalam kandung kemih, melalui pembuluh limfe, dan melalui aliran

darah, biasanya ke hati karena kolon mengalirkan darah ke sistem portal.1

2.2. Anatomi Kolon dan Rektum

Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang

sekitar 1,5 m (5 kaki) yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter

usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil, yaitu sekitar 6,5 cm (2,5

inci), tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil.1

Usus besar terdiri dari 6 bagian, yaitu sekum, kolon ascenden, kolon transversum,

kolon descenden, kolon sigmoid dan rektum. Berbeda dengan mukosa usus halus,

pada mukosa kolon tidak dijumpai vili dan kelenjar biasanya lurus-lurus dan

teratur.

2.2.1. Sekum

Merupakan kantong yang terletak di bawah muara ileum pada usus besar. Panjang

dan lebarnya kurang lebih 6 cm dan 7,5 cm. Sekum terletak pada fossa iliaka

kanan di atas setengah bagian lateralis ligamentum inguinal. Biasanya sekum

seluruhnya dibungkus oleh peritoneum sehingga dapat bergerak bebas, tetapi tidak

mempunyai mesenterium; terdapat perlekatan ke fossa iliaka di sebelah medial

5

dan lateral melalui lipatan peritoneum yaitu plica caecalis, menghasilkan suatu

kantong peritoneum kecil, recessus retrocaecalis.2

Gambar 2.1. Anatomi Kolon dan Rektum

2.2.2. Kolon ascenden

Bagian ini memanjang dari sekum ke fossa iliaka kanan sampai ke sebelah kanan

abdomen. Panjangnya 13 cm, terletak di bawah abdomen sebelah kanan, dan di

bawah hati membelok ke kiri. Lengkungan ini disebut fleksura hepatica (fleksura

coli dextra) dan dilanjutkan dengan kolon transversum.

2.2.3. Kolon Transversum

Merupakan bagian usus besar yang paling besar dan paling dapat bergerak bebas

karena tergantung pada mesokolon, yang ikut membentuk omentum majus.

Panjangnya antara 45-50 cm, berjalan menyilang abdomen dari fleksura coli

6

dekstra sinistra yang letaknya lebih tinggi dan lebih ke lateralis. Letaknya tidak

tepat melintang (transversal) tetapi sedikit melengkung ke bawah sehingga

terletak di regio umbilikalis.2

2.2.4. Kolon descenden

Panjangnya lebih kurang 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri, dari atas

ke bawah, dari depan fleksura lienalis sampai di depan ileum kiri, bersambung

dengan sigmoid, dan dibelakang peritoneum.

2.2.5. Kolon sigmoid

Disebut juga kolon pelvinum. Panjangnya kurang lebih 40 cm dan berbentuk

lengkungan huruf S. Terbentang mulai dari apertura pelvis superior (pelvic brim)

sampai peralihan menjadi rektum di depan vertebra S-3. Tempat peralihan ini

ditandai dengan berakhirnya ketiga taeniae coli, dan terletak + 15 cm di atas anus.

Kolon sigmoideum tergantung oleh mesokolon sigmoideum pada dinding

belakang pelvis sehingga dapat sedikit bergerak bebas..2

2.2.6. Rektum

Bagian ini merupakan lanjutan dari usus besar, yaitu kolon sigmoid dengan

panjang sekitar 15 cm. Rektum memiliki tiga kurva lateral serta kurva

dorsoventral. Mukosa dubur lebih halus dibandingkan dengan usus besar (Saladin,

2008). Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior

kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvic dan terfiksir, sedangkan 1/3

bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini

dipisahkan oleh peritoneum reflectum dimana bagian anterior lebih panjang

dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari

usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal,

dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang mengatur

pasase isi rektum ke dunia luar.2

7

2.3. Fungsi Kolon dan Rektum

Usus besar atau kolon mengabsorbsi 80% sampai 90% air dan elektrolit dari

kimus yang tersisa dan mengubah kimus dari cairan menjadi massa semi padat.

Usus besar hanya memproduksi mukus. Sekresinya tidak mengandung enzim atau

hormon pencernaan. Sejumlah bakteri dalam kolon mampu mencerna sejumlah

kecil selulosa dan memproduksi sedikit kalori nutrien bagi tubuh dalam setiap

hari. Bakteri juga memproduksi vitamin K, riboflavin, dan tiamin, dan berbagai

gas. Usus besar mengekskresi zat sisa dalam bentuk feses .3

Fungsi utama dari rektum dan kanalis anal ialah untuk mengeluarkan massa feses

yang terbentuk dan melakukan hal tersebut dengan cara yang terkontrol. Fungsi

rektum berhubungan dengan defekasi sebagai hasil refleks. Apabila feses masuk

ke dalam rektum, terjadi peregangan rektum sehingga menimbulkan gelombang

peristaltik pada kolon descendens dan kolon sigmoid mendorong feses ke arah

anus, sfingter ani internus dihambat dan sfingter ani internus melemas sehingga

terjadi defekasi. Feses tidak keluar secara terus menerus dan sedikit demi sedikit

dari anus berkat adanya kontraksi tonik otot sfingter ani internus dan externus .4

2.4. Epidemiologi Kanker Kolorektal

2.4.1. Distribusi dan Frekuensi

2.4.1.1. Orang

Sekitar 75% dari kanker kolorektal terjadi pada orang yang tidak memiliki faktor

risiko tertentu. Sisanya sebesar 25% kasus terjadi pada orang dengan faktor-faktor

risiko yang umum, sejarah keluarga atau pernah menderita kanker kolorektal atau

polip, terjadi sekitar 15-20% dari semua kasus. Faktor-faktor risiko penting

lainnya adalah kecenderungan genetik tertentu, seperti Hereditary Nonpoliposis

Kolorektal Cancer (HNPCC; 4-7% dari semua kasus) dan Familial Adenomatosa

Poliposis (FAP, 1%) serta Inflammatory Bowel Disease (IBD; 1% dari semua

kasus).

8

2.4.1.2. Tempat dan Waktu

Penyakit kanker kolorektal paling banyak ditemukan di Amerika Utara, Australia,

Selandia Baru dan Eropa. Kanker kolorektal paling sedikit dijumpai di Afrika.

Kanker kolorektal merupakan penyebab kematian keempat terbanyak dari seluruh

pasien kanker di Amerika Serikat. Lebih dari 150.000 kasus terdiagnosis setiap

tahunnya dan angka kematiannya mencapai 60.000. Pasien kanker kolorektal di

Amerika Serikat umumnya berusia di atas 60 tahun dengan angka kematian

tertinggi pada usia 55 tahun .Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi

geografik pada insidens yang ditemukan, yang mencerminkan perbedaan sosial

ekonomi dan kepadatan penduduk, terutama antara negara maju dan

berkembang.4,5

2.4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian kanker kolorektal yaitu:

2.4.2.1. Umur

Kanker kolorektal sering terjadi pada usia tua. Lebih dari 90% penyakit ini

menimpa penderita di atas usia 40 tahun, dengan insidensi puncak pada usia 60-70

tahun (lansia). Kanker kolorektal ditemukan di bawah usia 40 tahun yaitu pada

orang yang memiliki riwayat kolitis ulseratif atau poliposis familial.1

2.4.2.2. Faktor Genetik

Meskipun sebagian besar kanker kolorektal kemungkinan disebabkan oleh faktor

lingkungan, namun faktor genetik juga berperan penting. Ada beberapa indikasi

bahwa ada kecenderungan faktor keluarga pada terjadinya kanker kolorektal.

Risiko terjadinya kanker kolorektal pada keluarga pasien kanker kolorektal adalah

sekitar 3 kali dibandingkan pada populasi umum. Banyak kelainan genetik yang

dikaitkan dengan keganasan kanker kolorektal diantaranya sindrom poliposis.

Namun demikian sindrom poliposis hanya terhitung 1% dari semua kanker

kolorektal. Selain itu terdapat Hereditary Non-Poliposis Kolorektal Cancer

(HNPCC) atau Syndroma Lynch terhitung 2-3% dari kanker kolorektal4.

2.4.2.3. Faktor Lingkungan

9

Kanker kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor genetik

dan faktor lingkungan. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa lingkungan berperan

penting pada kejadian kanker kolorektal. Risiko mendapat kanker kolorektal

meningkat pada masyarakat yang bermigrasi dari wilayah dengan insiden kanker

kolorektal yang rendah ke wilayah dengan risiko kanker kolorektal yang tinggi.

Hal ini menambah bukti bahwa lingkungan sentrum perbedaan pola makanan

berpengaruh pada karsinogenesis.4

2.4.2.4. Faktor Makanan

Makanan mempunyai peranan penting pada kejadian kanker kolorektal.

Mengkonsumsi serat sebanyak 30 gr/hari terbukti dapat menurunkan risiko

timbulnya kanker kolorektal sebesar 40% dibandingkan orang yang hanya

mengkonsumsi serat 12 gr/hari. Orang yang banyak mengkonsumsi daging merah

(misal daging sapi, kambing) atau daging olahan lebih dari 160 gr/hari (2 porsi

atau lebih) akan mengalami peningkatan risiko kanker kolorektal sebesar 35%

dibandingkan orang yang mengkonsumsi kurang dari 1 porsi per minggu.

Menurut Daldiyono et al. (1990), dikatakan bahwa serat makanan terutama yang

terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin sebagian besar tidak dapat

dihancurkan oleh enzim-enzim dan bakteri di dalam tractus digestivus. Serat

makanan ini akan menyerap air di dalam kolon, sehingga volume feses menjadi

lebih besar dan akan merangsang syaraf pada rektum, sehingga menimbulkan

keinginan untuk defekasi. Dengan demikian tinja yang mengandung serat akan

lebih mudah dieliminir atau dengan kata lain transit time yaitu kurun waktu antara

masuknya makanan dan dikeluarkannya sebagai sisa makanan yang tidak

dibutuhkan tubuh menjadi lebih singkat. Waktu transit yang pendek,

menyebabkan kontak antara zat-zat iritatif dengan mukosa kolorektal menjadi

singkat, sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit di kolon dan rektum. Di

samping menyerap air, serat makanan juga menyerap asam empedu sehingga

hanya sedikit asam empedu yang dapat merangsang mukosa kolorektal, sehingga

timbulnya karsinoma kolorektal dapat dicegah.

10

2.4.2.5. Poliposis Familial

Poliposis Familial diwariskan sebagai sifat dominan autosom. Insiden pada

populasi umum adalah satu per 10.000. Jumlah total polip bervariasi 100-10.000

dalam setiap usus yang terserang. Bentuk polip ini biasanya mirip dengan polip

adenomatosun bertangkai atau berupa polip sesil, akan tetapi multipel tersebar

pada mukosa kolon. Sebagian dari poliposis ini asimtomatik dan sebagian disertai

keluhan sakit di abdomen, diare, sekresi lendir yang meningkat dan perdarahan

kecil yang mengganggu penderita. Polip cenderung muncul pada masa remaja dan

awal dewasa dan risiko karsinoma berkembang di pasien yang tidak diobati adalah

sekitar 90% pada usia 40 tahun.

2.4.2.6. Polip Adenoma

Polip Adenoma sering dijumpai pada usus besar. Insiden terbanyak pada umur

sesudah dekade ketiga, namun dapat juga dijumpai pada semua umur dan laki-laki

lebih banyak dibanding dengan perempuan. Polip adenomatosum lebih banyak

pada kolon sigmoid (60%), ukuran bervariasi antara 1-3 cm, namun terbanyak

berukuran 1 cm. Polip terdiri dari 3 bagian yaitu puncak, badan dan tangkai. Polip

dengan ukuran 1,2 cm atau lebih dapat dicurigai adanya adenokarsinoma.

Semakin besar diameter polip semakin besar kecurigaan keganasan. Perubahan

dimulai dibagian puncak polip, baik pada epitel pelapis mukosa maupun pada

epitel kelenjar, meluas ke bagian badan dan tangkai serta basis polip. Risiko

terjadinya kanker meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran dan jumlah

polip.

2.4.2.7. Adenoma Vilosa

Adenoma vilosa jarang terjadi, berjumlah kurang dari 10% adenoma kolon.

Terbanyak dijumpai di daerah rectosigmoid dan biasanya berupa massa papiler,

soliter, tidak bertangkai dan diameter puncak tidak jauh berbeda dengan ukuran

basis polip. Adenoma vilosa mempunyai insiden kanker sebesar 30-70%.

Adenoma dengan diameter lebih dari 2 cm, risiko menjadi kanker adalah 45%.

Semakin besar diameter semakin tinggi pula insiden kanker.6

11

2.4.2.8. Kolitis Ulserosa

Perkiraan kejadian kumulatif dari kanker kolorektal yang berhubungan dengan

kolitis ulserosa adalah 2,5% pada 10 tahun, 7,6% pada 30 tahun, dan 10,8% pada

50 tahun.Kolitis ulserosa dimulai dengan mikroabses pada kripta mukosa kolon

dan beberapa abses bersatu membentuk ulkus. Pada stadium lanjut timbul

pseudopolip yaitu penonjolan mukosa kolon yang ada diantara ulkus. Perjalanan

penyakit yang sudah lama, berulang-ulang, dan lesi luas disertai adanya

pseudopolip merupakan resiko tinggi terhadap karsinoma. Pada kasus demikian

harus dipertimbangkan tindakan kolektomi. Tujuannya adalah mencegah

terjadinya karsinoma (preventif) dan menghindari penyakit yang sering berulang-

ulang. Karsinoma yang timbul sebagai komplikasi kolitis ulserosa sifatnya lebih

ganas, cepat tumbuh dan metastasis.

2.5. Gambaran Klinis Kanker Kolorektal

Karsinoma kolon dan rektum dapat menyebabkan ulserasi, atau perdarahan,

menimbulkan obstruksi bila membesar, atau menembus (invasi) keseluruh dinding

usus dan kelenjar-kelenjar regional. Kadang-kadang bisa terjadi perforasi dan

menimbulkan abses di peritonium. Keluhan dan gejala tergantung juga dari lokasi

dan besarnya tumor.7

2.5.1. Karsinoma Kolon Sebelah Kanan

Penting untuk diketahui bahwa umumnya pasien dengan karsinoma pada sekum

atau pada ascending kolon biasanya memperlihatkan gejala nonspesifik seperti

kekurangan zat besi (anemia). Kejadian anemia ini biasanya meningkatkan

kemungkinan terjadinya karsinoma kolon yang belum terdeteksi, yang lebih

cenderung berada di proksimal daripada di kolon distal. Beberapa tanda gejala

yang terlihat yaitu berat badan yang menurun dan sakit perut pada bagian bawah

yang relatif sering, tetapi jarang terjadi pendarahan di anus. Pada 50-60% pasien

terdapat massa yang teraba di sisi kanan perut.

2.5.2. Karsinoma kolon sebelah kiri

12

Jika karsinoma terletak pada bagian distal, maka kemungkinan besar akan ada

gangguan pada kebiasaan buang air besar, serta adanya darah di feses. Beberapa

karsinoma pada transversa kolon dan kolon sigmoid dapat teraba melalui dinding

perut (Jones, 1990). Karsinoma sebelah kiri lebih cepat menimbulkan obstruksi,

sehingga terjadi obstipasi. Tidak jarang timbul diare paradoksikal, karena tinja

yang masih encer dipaksa melewati daerah obstruksi partial.7

2.5.3. Karsinoma Rektum

Sering terjadi gangguan defekasi, misalnya konstipasi atau diare. Sering terjadi

perdarahan yang segar dan sering bercampur lendir, berat badan menurun. Perlu

diketahui bahwa rasa nyeri tidak biasa timbul pada kanker rektum. Kadang-

kadang menimbulkan tenesmus dan sering merupakan gejala utama.

2.6. Patologi Kanker Kolorektal

Karsinoma kolorektal adalah penyakit yang berasal dari sel epitel yang karena

faktor herediter atau mutasi somatik memicu terjadinya pembelahan sel tanpa

batas. Biar apapun precursornya, alterasi pada set genetik yang membawa kepada

malignan kolorektal. Model yang dibina oleh Fearon dan Vogelstain sangat

diterima sebagai prototype sekuens perkembangan kanker kolorektal. Dasar

patologik bagi model ini adalah adenoma-carcinoma sekuens. Kejadian karsinoma

tanpa bukti adenomatues precursor mencadangkan bahwa ada beberapa lesi

displastik dapat digenerasi menjadi malignan tanpa melalui tahapan polipoid.

Secara molekular karsinogenesis, telah muncul beberapa studi yang

mencadangkan mekanisme evolusi kanker. Ada 2 alur patogenetik yang

membawa kepada perkembangan kanker kolorektal. Kedua-duanya ada mutasi

multiple tetapi yang membedakannya adalah gen yang terlibat dan mekanisme

akumulasi mutasi.

Alur pertama adalah APC/ β-catherin, diakibatkan oleh instabilitas kromosom

yang menyebabkan akumulasi mutasi dalam satu siri onkogen dan gen tumor

suppressor. Evolusi molekular dalam alur ini berlaku secara satu siri tahapan

13

identifikasi morfologi. Pertama adalah kolon yang normal, menjadi mukosa yang

beresiko, kemudian menjadi adenoma dan berkembang menjadi karsinoma. Alur

kedua pula adalah alur instabilitas mikrosatelite. Alur ini dikarakteristik oleh lesi

genetik pada DNA mismatch repair genes. Seperti dalam alur pertama, juga ada

akumulasi mutasi, tetapi pada alur kedua melibatkan gen yang berbeda, tidak ada

adenoma-carcinoma sekuens atau tahapan identifikasi morfologi. Defek DNA

repair yang disebabkan oleh inaktivasi DNA mismatch repair genes menginisiasi

permulaan kanker kolorektal. Mutasi inheritan dalam gen yang terlibat dalam

DNA repair bertanggungjawab untuk familial sindrom. Pada umumnya, dalam

perjalanan penyakit, pertumbuhan adenokarsinoma usus besar sebelah kanan dan

kiri berbeda. Adenokarsinoma usus besar kanan (sekum, kolon ascenden,

transversum sampai batas fleksura lienalis), tumor cenderung tumbuh eksofitik

atau polipoid. Pada permulaan, massa tumor berbentuk sesil, sama seperti tumor

kolon kiri. Akan tetapi kemudian tumbuh progresif, bentuk polipoid yang mudah

iritasi dengan simtom habit bowel: sakit di abdomen yang sifatnya lama. Keluhan

sakit, sering berkaitan dengan makanan/minuman atau gerakan peristaltik dan

kadang-kadang disertai diare ringan. Berat badan semakin menurun dan anemia

karena adanya perdarahan kecil tersembunyi. Konstipasi jarang terjadi, mungkin

karena volum kolon kanan lebih besar. Suatu saat dapat dipalpasi massa tumor di

rongga abdomen sebelah kanan.

Karsinoma usus besar kiri (kolon transversum batas fleksura lienalis, kolon

descenden, sigmoid dan rektum) tumbuh berbentuk cincin menimbulkan napkin-

ring. Pada permulaan, tumor tampak seperti massa berbentuk sesil, kemudian

tumbuh berbentuk plak melingkar yang menimbulkan obstipasi. Kemudian bagian

tengah mengalami ulserasi yang menimbulkan gejala diare, tinja campur lendir

dan darah, konstipasi dan tenesmus mirip dengan sindrom disentri.

2.7. Stadium Kanker Kolorektal

14

Setelah melakukan biopsi-endoskopi dan bedah, kanker dapat diklasifikasikan.

Staging secara umum sangat penting sebagai indikator prognostik. Secara umum

kanker dapat dikategorikan dari stadium 1 hingga 4, tetapi untuk kanker

kolorektal , dengan lebih spesifik stagingnya dikenali sebagai Dukes. Maka,

stadium 1 hingga 4 berkorelasi dengan staging Duke dari A hingga D.

Tabel 2.1. Stadium Kanker KolorektalStadium kanker kolorektal

Dukes TNM Derajat Deskripsi HistopatologiA T1N0M0 I Kanker terbatas pada

mukosa/submukosa B1 T2N0M0 I Kanker mencapai muskularis B2 T3N0M0 II Kanker cenderung untuk masuk atau

melewati lapisan serosa C TxN1M0 III Tumor melibatkan Kelenjar Getah

Bening Regional D TxNxM1 IV Metastasis

Prognosis dari pasien kanker kolorektal berhubungan dengan dalamnya penetrasi

tumor ke dinding kolon, keterlibatan kelenjar getah bening regional atau

metastasis jauh. Semua variabel ini digabung sehingga dapat ditentukan sistem

staging yang awalnya diperhatikan oleh Dukes.

15

Gambar 2.2 Stadium Kanker Kolorektal

2.8. Diagnosis Kanker Kolorektal

2.8.1. Anamnesis

Meliputi perubahan pola kebiasaan defekasi, baik berupa diare ataupun konstipasi

(change of bowel habit), perdarahan per anum (darah segar), penurunan berat

badan, faktor predisposisi (risk factor), riwayat kanker dalam keluarga, riwayat

polip usus, riwayat kolitis ulserosa, riwayat kanker payudara/ovarium, uretero

sigmoidostomi, serta kebiasaan makan (rendah serat, banyak lemak).7

2.8.2. Pemeriksaan Fisik

Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah adanya perubahan pola buang air

besar (change of bowel habits), bisa diare bisa juga obstipasi. Semakin distal letak

tumor semakin jelas gejala yang ditimbulkan karena semakin ke distal feses

semakin keras dan sulit dikeluarkan akibat lumen yang menyempit, bahkan bisa

disertai nyeri dan perdarahan, bisa jelas atau samar. Warna perdarahan sangat

bervariasi, merah terang, purple, dan kadang kala merah kehitaman. Makin ke

distal letak tumor warna merah makin pudar. Perdarahan sering disertai dengan

16

lendir, kombinasi keduanya harus dicurigai adanya proses patologis pada

kolorektal. Selain itu, pemeriksaan fisik lainnya yaitu adanya massa yang teraba

pada fossa iliaka dextra dan secara perlahan makin lama makin membesar.

Penurunan berat badan sering terjadi pada fase lanjut, dan 5% kasus sudah

metastasis jauh ke hepar.8

2.8.3. Pemeriksaan Laboratorium

Meliputi pemeriksaan tinja apakah ada darah secara makroskopis/mikroskopis

atau ada darah samar (occult blood) serta pemeriksaan CEA (carcino embryonic

antigen). Kadar yang dianggap normal adalah 2,5-5 ngr/ml. Kadar CEA dapat

meninggi pada tumor epitelial dan mesenkimal, emfisema paru, sirhosis hepatis,

hepatitis, perlemakan hati, pankreatitis, kolitis ulserosa, penyakit crohn, tukak

peptik, serta pada orang sehat yang merokok. Peranan penting dari CEA adalah

bila diagnosis karsinoma kolorektal sudah ditegakkan dan ternyata CEA meninggi

yang kemudian menurun setelah operasi maka CEA penting untuk tindak lanjut.7

2.8.4. Double-Contrast Barium Enema

Pemeriksaan dengan barium enema dapat dilakukan dengan Single contras

procedure (barium saja) atau Double contras procedure (udara dan barium).

Kombinasi udara dan barium menghasilkan visualisasi mukosa yang lebih detail.

Akan tetapi barium enema hanya bisa mendeteksi lesi yang signifikan (lebih dari

1 cm).42 DCBE memiliki spesifisitas untuk adenoma yang besar 96% dengan

nilai prediksi negatif 98%. Metode ini kurang efektif untuk mendeteksi polips di

rektosigmoid-kolon. Angka kejadian perforasi pada DCBE 1/25.000 sedangkan

pada Single Contras Barium Enema (SCBE) 1/10.000. 9

2.8.5. Fleksibel Sigmoidoskopi

Fleksibel Sigmoidoskopi (FS) merupakan bagian dari endoskopi yang dapat

dilakukan pada rektum dan bagian bawah dari kolon sampai jarak 60 cm

(sigmoid) tanpa dilakukan sedasi. Prosedur ini sekaligus dapat melakukan biopsi.

Hasilnya terbukti dapat mengurangi mortalitas akibat karsinoma kolorektal hingga

60%-80% dan memiliki sensistivitas yang hampir sama dengan kolonoskopi 60%-

17

70% untuk mendeteksi karsinoma kolorektal. Walaupun jarang, FS juga

mengandung resiko terjadinya perforasi 1/20.000 pemeriksaan (BCMA, 2008).

Intepretasi hasil biopsi dapat menentukan apakah jaringan normal, prekarsinoma,

atau jaringan karsinoma. American Cancer Society (ACS) merekomendasikan

untuk dilakukan kolonoskopi apabila ditemukan jaringan adenoma pada

pemeriksaan FS. Sedangkan hasil yang negatif pada pemeriksaan FS, dilakukan

pemeriksaan ulang setelah 5 tahun.10

2.8.6. Endoskopi dan biopsi

Endoskopi dapat dikerjakan dengan rigid endoscope untuk kelainan-kelainan

sampai 25 cm – 30 cm, dengan fibrescope untuk semua kelainan dari rektum

sampai sekum. Biopsi diperlukan untuk menentukan secara patologis anatomis

jenis tumor.7

2.8.7. Kolonoskopi

Kolonoskopi adalah prosedur dengan menggunakan tabung fleksibel yang panjang

dengan tujuan memeriksa seluruh bagian rektum dan usus besar. Kolonoskopi

umumnya dianggap lebih akurat daripada barium enema, terutama dalam

mendeteksi polip kecil. Jika ditemukan polip pada usus besar, maka biasanya

diangkat dengan menggunakan kolonoskop dan dikirim ke ahli patologi untuk

kemudian diperiksa jenis kankernya. Tingkat sensitivitas kolonoskopi dalam

mendiagnosis adenokarsinoma atau polip kolorektal adalah 95%. Namun tingkat

kualitas dan kesempurnaan prosedur pemeriksaannya sangat tergantung pada

persiapan kolon, sedasi, dan kompetensi operator. Kolonoskopi memiliki resiko

dan komplikasi yang lebih besar dibandingkan FS. Angka kejadian perforasi pada

skrining karsinoma kolorektal antara 3-61/10.000 pemeriksaan, dan angka

kejadian perdarahan sebesar 2-3/1.000 pemeriksaan.11

2.8.8. Colok dubur

Pemeriksaan colok dubur dilakukan pada setiap penderita dengan tujuan untuk

menentukan keutuhan spinkter ani, ukuran dan derajat fiksasi tumor pada rektum

1/3 tengah dan distal. Pada pemeriksaan colok dubur yang harus dinilai adalah

18

pertama, keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum. Kedua, mobilitas

tumor untuk mengetahui prospek terapi pembedahan. Ketiga, ekstensi penjalaran

yang diukur dari ukuran tumor dan karakteristik pertumbuhan primer, mobilitas

atau fiksasi lesi.

2.9. Penatalaksanaan Kanker Kolorektal

2.9.1. Pembedahan

Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima sebagai

penanganan kuratif untuk kanker kolorektal. Pembedahan kuratif harus

mengeksisi dengan batas yang luas dan maksimal regional lymphadenektomi

sementara mempertahankan fungsi dari kolon sebisanya. Untuk lesi diatas rektum,

reseksi tumor dengan minimum margin 5 cm bebas tumor.12

2.9.2. Terapi Radiasi

Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x-ray

berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian terapi

radiasi, yaitu dengan eksternal radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi

diberikan tergantung pada tipe dan stadium dari kanker. Eksternal radiasi (external

beam therapy) merupakan penanganan dimana radiasi tingkat tinggi secara tepat

diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan untuk membunuh sel kanker,

maka dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi jaringan yang sehat

disekitarnya. Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian radiasi hanya

berlangsung beberapa menit. Internal radiasi (brachytherapy, implant radiation)

menggunakan radiasi yang diberikan ke dalam tubuh sedekat mungkin pada sel

kanker. Substansi yang menghasilkan radiasi disebut radioisotop, bisa dimasukkan

dengan cara oral, parenteral atau implant langsung pada tumor. Internal radiasi

memberikan tingkat radiasi yang lebih tinggi dengan waktu yang relatif singkat

bila dibandingkan dengan eksternal radiasi, dan beberapa penanganan internal

radiasi secara sementara menetap didalam tubuh.

2.9.3. Adjuvant Kemoterapi

19

Kanker kolon telah banyak resisten pada hampir sebagian besar agen kemoterapi.

Bagaimanapun juga kemoterapi yang diikuti dengan ekstirpasi dari tumor secara

teoritis seharusnya dapat menambah efektifitas dari agen kemoterapi. Kemoterapi

sangat efektif digunakan ketika kehadiran tumor sangat sedikit dan fraksi dari sel

maligna yang berada pada fase pertumbuhan banyak.12

2.10. Pencegahan Kanker Kolorektal

2.10.1. Pencegahan Primordial

Dilakukan dengan peningkatan pendidikan kesehatan kepada masyarakat dalam

bentuk kampanye cara makan sehat yaitu makan seimbang baik dalam menu

maupun jumlah makanan yang dikonsumsi setiap hari sehingga

mengurangi/mencegah keterpaparan terhadap bahan makanan yang bersifat

karsinogenik dan kokarsinogenik. Selain itu, pengaturan pola makan juga dapat

menghindari obesitas, karena obesitas juga diketahui merupakan faktor risiko

untuk kanker kolorektal.13

2.10.2. Pencegahan Primer

Pencegahan primer ialah usaha untuk mencegah timbulnya kanker dengan

menghilangkan dan/atau melindungi tubuh dari kontak dengan karsinogen dan

faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan kanker. Beberapa cara yang dapat

dilakukan dalam pencegahan primer kanker kolorektal yaitu:

a) Menghentikan atau mengubah kebiasaan hidup yang memperbesar risiko

terjadinya kanker kolorektal seperti menghindari makan makanan yang

tinggi lemak (khususnya lemak hewan) dan rendah kalsium, folat,

mengkonsumsi makanan berserat dengan jumlah cukup dan mengurangi

konsumsi daging merah. Kebalikan dengan daging merah/daging olahan,

konsumsi ikan dapat menurunkan risiko.

b) Mengubah kebiasaan mengkonsumsi alkohol karena selain merusak hepar,

konsumsi minuman beralkohol juga berhubungan dengan peningkatan

risiko kanker kolorektal.

20

2.10.3. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan skrining. Strategi skrining pada

orang yang tidak memperlihatkan gejala dianjurkan yaitu laki-laki dan perempuan

berusia lebih dari 40 tahun harus menjalani pemeriksaan rektal digital (rektal

toucher) setiap tahun dan orang yang berusia di atas 50 tahun harus menjalani

pemeriksaan darah samar feses setiap tahun dan pemeriksaan sigmoidoskopi

setiap 3 hingga 5 tahun setelah 2 kali pemeriksaan awal yang berjeda setahun.

Orang yang beresiko tinggi karena memiliki riwayat keluarga terkena kanker

kolorektal harus dipantau ketat dengan melakukan skrining teratur.1

2.10.4. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier dapat dilakukan setelah kanker selesai diobati, dengan cara

mengambil langkah-langkah untuk mencegah terjadinya kekambuhan kanker

tersebut termasuk pengaturan pola makan dan cara hidup sehat. Selain itu,

penderita kanker yang menjadi cacat karena komplikasi penyakitnya atau karena

pengobatan kanker, perlu direhabilitasi untuk mengembalikan bentuk dan/atau

fungsi organ yang cacat itu, supaya penderita dapat hidup dengan layak dan wajar

di masyarakat. Pada penderita kanker kolorektal dapat dilakukan ostomi yaitu

operasi untuk membuat lubang keluar dari saluran tubuh yang mengalami

obstruksi.14

Bab III

21

Laporan Kasus

Identitas pasien

Nama : NL

Jenis Kelamin : Wanita

Usia : 55 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status : Menikah

Alamat : Dusun IX gg langsat-tembung

Tanggal Masuk : 19 Mei 2013

Anamnesis

KU : Borok pada bokong

Telaah : Hal ini dialami pasien sejak 1 tahun yang lalu, awalnya pasien merasakan adanya benjolan di daerah anus 4 tahun yang lalu, makin lama makin membesar dan timbul luka, luka tersebut dibiarkan saja hingga memborok. Perubahan pola BAB (+) dialami 4 tahun yang lalu, pasien sering mengeluhkan sulit BAB dan BAB keluar sedikit-sedikit seperti kotoran kambing. Riwayat BAB berdarah (+) sejak 3 tahun yang lalu, BAB bercampur darah segar. Penurunan BB dialami 3 tahun ini sebanyak 30 kg dan os makin lama makin pucat. Riwayat mual & muntah (+). Demam (-).

Riwayat jarang mengkonsumsi buah dan sayur (+), os menyatakan gemar mengkonsumsi daging. Riwayat merokok (-), konsumsi alkohol (-). Riw. DM (-), HT (-) dan penyakit jantung (-). Riwayat keluarga menderita tumor kolorektal (-), riw. Penyakit keluarga lain (-).

Sebelumnya os sudah dioperasi di RS Pirngadi tahun 2011 a/i ca recti, dilakukan rotasi colostomy, riwayat kemoterapi 5x di Pirngadi, riwayat kemoterapi terakhir tahun 2012.

22

Status Presens:

Kesadaran : CM Tekanan darah : 100/70 mmHg Nadi : 86x/menit Suhu : 37,5˚C Pernafasan : 20x/menit Edema (-), Pucat (+), Sianosis (-), Ikterus (-) BB: 40 kg TB: 150 cm IMT: 17.7 kg/m2 (underweight)

Pemeriksaan Fisik

Kepala : mata: konj. Palp. Inf. Pucat (+) Leher : pembesaran KGB (-) Thorax : I : Simetris fusiformis

P : Sonor

A : Sp: vesikuler St: - HR 86x/I reg, S1S2 N, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : I : distensi (-), tampak colostomy P : soepel, massa (-)

P : hipertimpani

A : Peristaltik melemah

Digital Rectal Examination Perineum tampak massa dan ulkus menggaung, Ø 12x15 cm, dasar

kotor, konsistensi keras dan mudah berdarah, darah (+), permukaan tidak rata, nyeri (+).

DRE sulit dilakukan karena massa yang besar. Genitalia: Wanita, edema (+) Ekstremitas: kakheksia (+)

Pemeriksaan Laboratorium (5/5/13)

Hb/Ht/L/Plt: 5,1/18,5/6770/523000 KGD AR: 108,1 Ur/Cr: 26/0.54 Na/K/Cl: 136/3.4/102 CEA : 28

23

Pemeriksaan Radiologis

Diagnosis

Diagnosis Banding: Ca recti T4NxMx post kemoterapi Ca cervix Kondiloma akuminata

Diagnosis Ca Recti T4NxMx post kemoterapi

Tatalaksana

Bed Rest NGT terpasang Diet M2 2000 kkal via sonde feeding IVFD D5% + NaCl 0.9% 15 gtt/i Inj. Ranitidine 80 mg/12 jam Inj. Ceftriaxone 1 g/12 jam Transfusi PRC 3 bag (@175cc)

DAFTAR PUSTAKA

24

1. Lindseth, N.G. 2006. Gangguan Usus Besar dalam Patofisiologi, Konsep

Klinis Proses-Proses Penyakit Volume I. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran (EGC).

2. Widjaja, P., Wibowo, D.S. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Yogyakarta:

Penerbit Graha Ilmu, 342-344, 455-460.

3. Sloane, E. 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran (EGC).

4. Abdullah, M. 2007. Tumor Kolorektal. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi,

B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. (ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Cetakan Kedua. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 373-378.

5. Syamsuhidajat, R. dan Jong W.D. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd

Edition. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC), 615-681.

6. Chandrasoma, P., Clive, R., Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi

Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC), 566-569.

7. Simadibrata, R. 1997. Karsinoma Kolorektal dalam Gastroenterologi

Hepatologi. Cetakan Kedua. Jakarta: Sagung Seto.

8. Corman, M.L. 2005. Carcinoma of The Colon; Colon and Rectal Surgery.

5th Edition. Lippincott Williams & Wilkins Publisher.

9. Heiken, J.P., et al. 2006. Current Colorectal Cancer Screening

Recomendation. Colorectal Cancer Screening. American College of

Radiology (ACR), 3-6.

10. Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ). 2006. Screening

for Colorectal Cancer. In: Guide to Clinical Preventive Services.

25

Available from: http://www.ahrq.gov/clinic/pocketgd.pdf. [Accessed 18

April 2011].

11. British Columbia Medical Association. 2008. Detection of Colorectal

Neoplasm in Asymptomatic Patients. Ministry of Health Services.

Available from: http://www.bcguidelines.ca/pdf/colorectal_det.pdf.

[Accessed 18 April 2011].

12. Schwartz, S.I. 2005. Schwartz’s Principles of Surgery 8th Edition. United

States of America (USA): The McGraw-Hill Companies, 1041-1051.

13. Soeripto. 2003. Gastro-intestinal Cancer in Indonesia. Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14728585. [Accessed on 10 April

2011]

14. Sukardja, I.G. 2000. Onkologi Klinik. Edisi 2. Surabaya: Airlangga

University Press.