bayi tabung - agama.docx
-
Upload
anon742041692 -
Category
Documents
-
view
178 -
download
0
Transcript of bayi tabung - agama.docx
BAB III. PEMBAHASAN
III.1.PANDANGAN AGAMA TERHADAP BAYI TABUNG
III.1.1. Pandangan Agama Islam (DepKes,1998)
Apabila mengkaji tentang bayi tabung dari hukum Islam, maka harus dikajidengan
memakai metode ijtihad yang lazim dipakai oleh para ahli ijtihad agar hukum ijtihadnya sesuai
dengan prinsip-prinsip dan jiwa al’Quran dan sunnah menjadi pasangan umat Islam.
Islam mengajarkan kita untuk tidak boleh berputus asa dan menganjurkan untuk
senantiasa berikhtiar (usaha) dalam menggapai karunia Allah SWT. Demikian halnya di antara
panca maslahat yang diayomi oleh maqashid asy-syari’ah (tujuan filosofis syariah Islam) adalah
hifdz an-nasl (memelihara fungsi dan kesucian reproduksi) bagi kelangsungan dan
kesinambungan generasi umat manusia. Allah telah menjanjikan setiap kesulitan ada solusi
penyelesaiannya. Hal ini dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Insyirah, ayat 5-6 yang bunyinya:
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (5). Sesungguhnya sesudah kesulitan itu
ada kemudahan (6).
Yang dimaksud kesulitan dalam ayat tersebut adalah semua bentuk kesulitan dalam
menjalani hidup termasuk kesulitan dalam mereproduksi manusia. Dengan adanya kemajuan
teknologi kedokteran dan ilmu biologi modern yang Allah karuniakan kepada umat manusia agar
mereka bersyukur dengan menggunakannya sesuai kaedah ajaran-Nya.
Teknologi bayi tabung dan inseminasi buatan merupakan hasil terapan sains modern
yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan biologi.
Sehingga meskipun memiliki daya guna yang tinggi, namun juga sangat rentan terhadap
penyalahgunaan dan kesalahan etika bila dikakukan oleh orang yang tidak beragama, beriman,
dan beretika sehingga sangat potensial berdampak negatif dan fatal. Oleh karena itu kaedah dan
ketentuan syariah merupakan pemandu etika dalam penggunaan teknologi ini sebab penggunaan
dan penerapan teknologi belum tentu sesuai menurut agama, etika, dan hukum yang berlaku di
masyarakat.
Seorang pakar kesehatan New Age dan pemimpin redaksi jurnal Integral Medicine, DR.
Andrw Weil sangat meresahkan dan mengkhawatirkan penggunaan inovasi teknologi kedokteran
tidak pada tempatnya yang biasanya terlambat untuk memahami konsekuensi etis dan sosial yang
ditimbulkannya. Oleh karena itu, Dr. Arthur Leonard Caplan, Direktur Center for Bioethics dan
Guru Besar Bioethics di University of Pennsylvania menganjurkan pentingnya komitmen etika
biologi dalam praktek teknologi kedokteran apa yang disebut sebagai bioetika. Menurut John
Naisbitt dalam High Tech-High Touch (1999) bioetika bermula sebagai bidang spesialisasi pada
tahun 1960-an sebagai tanggapan atas tantangan yang belum pernah ada, yang diciptakan oleh
kemajuan di bidang teknologi pendukung kehidupan dan teknologi reproduksi.
Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan Islam termasuk masalah
kontemporer ijtihadiah, karena tidak terdapat hukumnya secara spesifik di dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah bahkan dalam kajian fiqih klasik sekalipun. Karena itu, kalau masalah ini hendak
dikaji menurut Hukum Islam, maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang lazimnya
dipakai oleh para ahli ijtihad (mujtahidin), agar dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan
prinsip dan jiwa Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan sumber pokok hukum Islam.
Namun, kajian inseminasi buatan ini seyogyanya menggunakan pendekatan multi disipliner oleh
para ulama dan cendikiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu yang relevan, agar dapat
diperoleh kesimpulan hukum yang benar-benar proporsional dan mendasar. Misalnya, ahli
kedokteran , peternakan, biologi, hukum, agama, dan etika.
Masalah inseminasi buatan ini sejak tahun 1980-an telah banyak dibicarakan di
kalangan Islam, baik di tingkat nasional maupun internasional. Lembaga Fiqih Islam Organisasi
Konferensi Islam (OKI) dalam sidangnya di Amman tahun 1986 mengharamkan bayi tabung
dengan sperma donor atau ovum, dan membolehkan pembuahan buatan dengan sel sperma suami
dan ovum dari istri sendiri. Vatikan secara resmi tahun 1987 telah mengecam keras pembuahan
buatan, bayi tabung, ibu titipan dan seleksi jenis kelamin anak, karena dipandang tak bermoral
dan bertentangan dengan harkat manusia. Mantan ketia IDI, dr. Kartono Muhammad juga pernah
melemparkan masalah inseminasi buatan dan bayi tabung. Ia menghimbau masyarakat Indonesia
dapat memahami dan menerima bayi tabung dengan syarat sel sperma dan ovumnya berasal dari
suami-istri sendiri.
Bayi tabung dilakukan apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami istri
sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain termasuk istrinya sendiri yang
lain (bagi suami yang berpoligami), maka Islam membenarkan, baik dengan cara mengambil
sperma suami, kemudian disuntikkan ke dalam vagina atau uterus istri, maupun dengan cara
pembuahan dilakukan di luar rahim, kemudian buahnya ditanam ke dalam rahim istri, asalkan
keadaan kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan
untuk memperoleh anak, karena dengan cara pembuahan alami, suami istri tidak berhasil
memperoleh anak.
Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 70 menjelaskan :
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
At-Tin ayat 4 berbunyi :
:Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah sebagai
makhluk yang mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-makhluk Allah
lainnya, dan Allah sendiri berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya manusia bisa
menghormati martabatnya sendiri serta menghormati martabat sesama manusia. Dalam hal ini
inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya dapat merendahkan harkat manusia sejajar
dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan yang diinseminasi.
Di sisi lain Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya mengajarkan “tidak halal bagi
seseorang yang beriman pada Allah dan Hari Akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman
orang lain (vagina istri orang lain)”/ tetapi mereka berbeda pendapat apakah sah atau tidak
mengawini wanita hamil dari istri orang lain. Menurut Abu Hanifah boleh, asalkan tidak
melakukan senggama sebelum kandungannya lahir. Sedangkan Zufar tidak membolehkan. Pada
saat para imam mazhab masih hidup, masalah inseminasi buatan belum timbul. Karena itu, kita
tidak bisa memperoleh fatwa hukumnya dari mereka.
Hadits ini juga dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan inseminasi buatan pada
manusia dengan donor sperma dan/atau ovum, karena kata maa’ dalam bahsa Arab bisa berarti
air hujan atau air secara umum. Al-Qur’an surat Thaha ayat 53 menjelaskan: “Yang telah
menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan yang telah menjadikan bagimu di bumi itu
jalan-jalan, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka kami tumbuhkan dengan air hujan itu
berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam”.
Kata maa’ juga bisa berarti benda cair atau sperma, seperti yang dapat kita jumpai
dalam surat An-Nur ayat 45 dan Al-Thariq ayat 6 yang bunyinya:
Al-Qur’an surat An-Nur ayat 45 :
“Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu
ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki sedang sebagian (yang
lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala seuatu”.
Al-Qur’an Al-Thariq ayat 6 :
“Dia diciptakan dari air yang dipancarkan”.
Dalil lain untuk syarat kehalalan inseminasi buatan bagi manusia harus berasal dari
sperma dan ovum pasangan yang syah menurut syariah adalah kaidah hukum Fiqih yang
mengatakan “da’rul mafsadah muqaddam ‘ala jalbil maslahah” (menghindari mafsadah atau
mudharat) harus didahulukan daripada mencari atau menarik maslahah/kebaikan.
Pada zaman dulu masalah bayi tabung/inseminasi buatan belum timbul, sehingga tidak
diperoleh fatwa hukumnya dari mereka. Kita dapat menyadari bahwa inseminasi buatan/bayi
tabung dengan donor sperma atau ovum lebih mendatangkan madaratnya daripada maslahahnya.
PENDAPAT BEBERAPA AHLI TENTANG BAYI TABUNG
Adapun pendapat beberapa ahli tentang bayi tabung adalah sebagai berikut :
1. Yusuf Al-Qardawi mengatakan bahwa Islam pencakukan sperma (bayi tabung)
apabila pencakukan itu bukan dari sperma suami yang sah.
2. Mahmud Syaltut mengatakan bahwa penghamilan buatan adalah pelanggaran
yang tercela dan dosa besar, serta dengan zina, karena memasukkan mani orang
lain ke dalam rahi permpuan tanpa ada hubungan nikah secara syara’ yang
dilindungi hukum syara’.
3. Beberapa ahli berpendapat bahwa inseminasi buatan dengan sperma suami
sendiri tidak menimbulkan masalah pada semua aspeknya, sedangkan inseminasi
buatan dengan sperma donor banyak menimbulkan masalah di antaranya
masalah nasab.
4. Syaikh Nashiruddin Al-Albani berpendapat sebagai berikut : “ tidak boleh,
karena proses pengambilan mani tersebut berkonsekuensi minimalnya sang
dokter (laki-laki) akan melihat aurat wanita lain, dan melihat aurat wanita lain
(bukan istri sendiri) hukumnya adalah haram menurut pandangan syariat,
sehingga tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan darurat. Sementara tidak
terbayangkan sama sekali keadaan darurat yang mengharuskan seorang lelaki
memindahkan maninya ke istrinya dengan cara yang haram ini. Bahkan
terkadang berkonsekuensi sang dokter melihat aurat suami wanita tersebut, dan
ini pun tidak boleh (haram).
Fatwa MUI tentang Bayi Tabung
Menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia MUI (hasil komisi fatwa tanggal 13 Juni
1979), Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia memfatwakan sebagai berikut :
1. Bayi tabung dengan sperma clan ovum dari pasangan suami istri yang sah
hukumnya mubah (boleh), sebab hak ini termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah-
kaidah agama.
2. Bayi tabung dari pasangan suami – istri dengan titipan rahim istri lain (misalnya
dari istri kedua dititipkan pada istri pertama) hukumnya haram berdasarkan
kaidah Saddaz-za’riah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit
dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang
dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung
kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
3. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia
hukumnya haram berdasarkan kaidah Saddaz-za’riah, sebab hal ini akan
menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan
nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
4. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami istri
yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin
antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah
Sadd az-za’riah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina
sesungguhnya.
Fatwa Lembaga Islam Dunia
Selain MUI, ada beberapa lembaga Islam yang mengeluarkan fatwa tentang bayi tabung
ini, diantaranya:
1. Majelis Ulama Saudi Arabia mengeluarkan fatwa bahwa Alim ulama di lembaga
riset pembahasan ilmiah, fatwa, dakwah dan bimbingan Islam di Kerajaan Saudi
Arabia telah mengeluarkan fatwa perlarangan praktek bayi tabung. Karena praktek
tersebut akan menyebabkan terbukanya aurat, tersentuhnya kemaluan dan
terjamahnya rahim. Kendatipun mani yang disuntikkan ke rahim wanita tersebut
adalah mani suaminya. Menurut pendapat penulis, hendaknya seseorang ridha
dengan keputusan Allah Ta’ala, sebab Dia-lah yang berfirman dalam kitab-Nya, Al-
Quran surat Asy-Syuura ayat 50 yang berbunyi :
“Atau Dia menganugrahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa)
yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa”.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa mandul tidaknya seseorang adalah kehendak
daripada Allah SWT. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk ciptaan Allah
sudah merupakan kewajiban untuk mensyukuri apa yang diberikan oleh Allah dan
bersabar atas musibah yang menimpanya.
2. Majelis Mujamma’Fiqih Islami menetapkan dua hal sebagai berikut :
a. Lima perkara berikut ini diharamkan dan terlarang sama sekali, karena dapat
mengakibatkan percampuran nasab dan hilangnya hak orang tua serta
perkara-perkara lain yang dikecam oleh syariat. Kelima perkara tersebut
adalah :
Sperma yang diambil dari pihak lelaki disemaikan kepada indung telur
pihak wanita yang bukan istrinya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si
wanita.
Indung telur yang diambil dari pihak wanita disemaikan kepada sperma
yang diambil dari pihak lelaki yang bukan suaminya kemudian
dicangkokkan ke dalam rahim si wanita.
Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari sepasang
suami istri, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim wanita lain yang
bersedia mengandung persemaian benih mereka tersebut.
Sperma dan indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan wanita
lain kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si istri.
Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari seorang
suami dan istrinya, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya yang
lain.
b. Dua perkara berikut boleh dilakukan jika memang sangat dibutuhkan dan
setelah memastikan keamanan dan keselamatan yang harus dilakukan,
sebagai berikut :
Sperma tersebut diambil dari si suami dan indung telurnya diambil dari
istrinya kemudian disemaikan dan dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
Sperma si suami diambil kemudian disuntikkan ke dalam saluran rahim
istrinya atau langsung ke dalam rahim istrinya untuk disemaikan.
Secara umum beberapa perkara yang sangat perlu diperhatikan dalam masalah ini
adalah aurat vital si wanita harus tetap terjaga (tertutup), demikian juga kemungkinan kegagalan
proses operasi persemaian sperma dan indung telur itu sangat perlu diperhitungkan. Disamping
itu perlu diantisipasi kemungkinan terjadinya pelanggaran amanah dari orang – orang yang
lemah iman di rumah – rumah sakit yang dengan sengaja mengganti sperma ataupun indung telur
supaya operasi tersebut berhasil demi mendapatkan materi dunia. Oleh sebab itu dalam
melakukannya perlu kewaspadaan yang ekstra ketat. Wallahu a’lam.
Lebih dari itu, menempuh cara ini merupakan sikap taklid terhadap peradaban orang-
orang barat (kaum kuffar)dalam perkara yang mereka minati atau (sebaliknya) mereka hindari.
Seseorang yang menempuh cara ini mendapatkan keturunan dikarenakan tidak diberi rizki oleh
Allah berupa anak dengan cara yang alami (yang dianjurkan syari’at), berarti dia tidak ridha
dengan takdir dan ketetapan Allah SWT atasnya. Jikalau saja Rasulullah SAW menganjurkan
dan membimbing kaum muslimin untuk mencari rizki berupa usaha dan harta dengan cara yang
halal, maka lebih-lebih lagi tentunya Rasulullah menganjurkan dan membimbing mereka untuk
menempuh cara yang sesuai dengan syariat (halal) dalam mendapatkan anak.
MANFAAT DAN AKIBAT DARI BAYI TABUNG
Sebagaimana kita ketahui bahwa inseminasi buatan pada manusia dengan donor
sperma dan/atau ovum lebih banyak mendatangkan mudharat daripada maslahah.
Maslahah yang dibawa inseminasi buatan ialah membantu suami-istri yang mandul, baik
keduanya maupun salah satunya, untuk mendapatkan keturunan atau ayang mengalami
gangguan pembuahan normal. Namun mudharat dan mafsadahnya jauh lebih besar,
antara lain berupa :
1. Pencampuran nasab, padahal Islam sangat menjaga kesucian/kehormatan
kelamin dan kemurnian nasab, karena nasab itu ada kaitannya dengan
kemahraman dan kewarisan.
2. Bertentangan dengan sunatullah atau hukum alam.
3. Inseminasi pada hakikatnya sama dengan prostitusi, karena terjadi
pencampuran sperma pria dengan ovum wanita tanpa perkawinan yang
sah.
4. Kehadiran anak hasil inseminasi bisa menjadi sumber konflik dalam
rumah tangga terutama bayi tabung dengan bantuan donor merupakan
anak yang sangat unik yang bisa berbeda sekali bentuk dan sifat-sifat
fisik dan karakter/mental si anak dengan bapa ibunya.
5. Anak hasil inseminasi lebih banyak unsur negatifnya daripada anak
adopsi serta anak hasil inseminasi buatan yang pencampuran nasabnya
terselubung dan sangat dirahasiakan donornya adalah lebih jelek
daripada anak adopsi yang pada umumnya diketahui asal dan nasabnya.
6. Bayi tabung lahir tanpa memalui proses kasih sayang yang alami,
terutama bagi bayi tabung lewat ibu titipan yang menyerahkan bayinya
kepada pasangan suami-istri yang punya benihnya sesuai dengan
kontrak, tidak terjalin hubungan keibuan secara alami. Dalam Al-Quran
surat Luqman ayat 14 dan surat Al-Ahqaf juga dalam ayat 14 Allah
berfirman :
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Ku lah kembalimu”. (QS Luqman:14)
“Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya;
sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan”. (QS Al-Ahqaf:
14).
Kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa hubungan antara dua orang tua
dan anak sangat erat, dan Allah mewajibkan seorang anak untuk berbakti
kepada kedua orang tuanya dan mempergauli mereka dengan baik dan
lemah lembut. Hal ini tidak akan terjadi antara anak dan orang tua tanpa
ada hubungan darah secara langsung.
Mengenai status anak hasil inseminasi dengan donor sperma atau ovum
menurut hukum Islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan anak
hasil prostitusi. UU Perkawinan Psal 42 No.1/1974: “Anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah”, maka memerikan pengertian bahwa bayi tabung dengan bantuan
donor dapat dipandang sah karena ia terlahir dari perkawinan yang sah.
Tetapi inseminasi buatan dengan sperma dan atau ovum donor tidak
diizinkan karena tidak sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 pasal 29 ayat
1.
Dari pengetahuan yang telah dijelaskan dapat diambil kutipan sebagai berikut :
1. Inseminasi buatan dengan sel sperma dan ovum dari suami- istri sendiri dan tidak
ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain (ibu titipan) diperbolehkan oleh Islam,
jika keadaan kondisi suami-istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan dan tidak
dapat melakukan hubungan seksual secara alami, dan status anak hasil inseminasi macam
ini sah menurut Islam.
2. Inseminasi buatan dengan sperma dan ovum donor diharamkan oleh Islam. Hukumnya
sama dengan zina dan anak yang lahir dari hasil inseminasi buatan macam ini statusnya
sama dengan anak yang alhir di luar perkawinan yang sah.
3. Pemerintah hendaknya melarang berdirinya Bank Nutfah (Bank Sperma) dan Bank Ovum
untuk perbuatan bayi tabung, karena selain bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945, juga bertentangan dengan norma agama dan moral, serta merendahkan harkat
manusia sejajar dengan hewan.
2.2 Pandangan Agama Katolik terhadap Bayi Tabung
Infertilitas atau ketidaksuburan merupakan masalah yang menyedihkan bagi pasangan
yang telah menikah dan kejadiannya semakin meningkat. Seiring dengan hal itu, “industry
teknologi reproduks”i menawarkan jalan keluar. Sebab anak-anak merupakan anugerah
mengagumkan suatu perkawinan, adalah sungguh baik berusaha mengatasi hambatan-hambatan
yang menghalangi anak-anak dikandung dan dilahirkan.
Pada masa kini, banyak teknik dan terapi telah dikembangkan untuk mengatasi
ketidaksuburan. Di Amerika Serikat telah muncul suatu industry dengan sedikit atau bahkan
tanpa ketentuan-ketentuan dari pemerintah atau dari professional demi melindungi kepentingan
laki-laki, perempuan, maupun anak-anak yang terlibat di dalamnya. Kepada para perempuan
diberikan obat-obatan fertilitas yang dapat menyebabkan mereka mengandung empat, lima, atau
bahkan enam anak sekaligus, sehingga membahayakan kesehatan diri dan kesehatan bayi-
bayinya.sebagian lainnya, menyediakan telur untuk dibuahi in vitro tanpa menyadari bahwa ini
dapat menghantar pada pemusnahan embrio-embrio atau embrio-embrio ini dibekukan untuk
keperluan eksperimen di kemudian hari.
Pada tahun 1987, Kongregasi Ajaran Iman menerbitkan suatu dokumen yang dikenal
sebagai Donum Vitae (“Anugerah Hidup”), yang membahas moralitas dari banyak prosedur
fertilitas modern. Dokumen ini tidak menghakimi pengunaan teknologi untuk mengatasi
ketidaksuburan sebagai salah. Melainkan, di sana disimpulkan bahwa sebagian metode dapat
diterima secara moral, sementara yang lainnya – sebab melanggar martabat pribadi manusia dan
penetapan perkawinan- adalah amoral. Donum Vitae menegaskan kembali kewajiban untuk
melindungi segala hidup manusia apabila pasangan suami istri menggunakan berbagai teknologi
dalam upaya memperoleh anak. Donum Vitae mengajarkan bahwa jika suatu intervensi diberikan
demi menolong atau membantu tindakan kasih suami istri agar membuahkan kehamilan, maka
intervensi itu dapat diterima secara moral, tetapi jika intervensi medis menggantikan cinta kasih
suami istri untuk membuahkan kehidupan, maka intervensi macam itu adalah amoral. (John M.
Haas, 2000)
Gereja Katolik secara jelas dan tegas menyatakan teknik reproduksi fertilisasi in vitro
dinyatakan sebagai amoral. Fertilisasi in vitro atau yang biasa dikenal dengan bayi tabung,
mengambil beberapa telur dari ovarium perempuan setelah ia meminum obat-obatan fertilitas
yang mengakibatkan banyaknya telur yang matang sekaligus. Mani diambil dari laki-laki
biasanya melalui masturbasi. Telur dan sperma disatukan dalam sebuah tabung, dimana
pembuahan terjadi dan kehidupan baru dibiarkan berkembang selama beberapa hari kemudian
ditransfer ke dalam rahim ibu. (John M. Haas, 2000)
Tindakan fertilisasi in vitro menghapuskan tindakan kasih perkawinan sebagai sarana
terjadinya kehamilan, melainkan melalui suatu prosedur laboratorium yang dilakukan oleh para
dokter dan ahli medis. Suami dan istri hanya sekedar sebagai bahan baku telur dan sperma, yang
kemudian dimanipulasi oleh seorang ahli sehingga menyebabkan sperma membuahi telur tak
jarang juga menggunakan telur atau sperma dari donor. Artinya, ayah atau ibu genetic dari anak
bisa saja seorang lain dari luar perkawinan. Hal ini dapat menimbulkan situasi yang
membingungkan bagi si anak kelak, apabila ia mengetahui bahwa salah satu dari orang tua yang
membesarkannya bukanlah orangtua biologisnya. Selain itu, identitas donor telur atau sperma
tidak akan pernah diketahui, sehingga menghalangi anak mengetahui silsilahnya sendiri. Hal ini
berarti kurangnya pengetahuan akan masalah kesehatan atau kecenderungan dalam masalah
kesehatan yang mungkin diwariskan. Dan juga dapat menghantarkan sesame saudara dan saudari
saling menikah, sebab tak seorang pun tahu bahwa sperma yang membuahkan hidup mereka
berasal dari donor yang sama.
Walaupun telur dan sperma berasal dari suami dan isteri, muncul juga masalah moral
seperti banyaknya embrio yang terbentuk, tetapi hanya embrio yang menunjukkan pengharapan
terbesar untuk berkembang hingga masa persalinan yang akan ditanamkan ke dalam rahim.
Embrio yang tidak terpakai akan dibuang, dibinasakan, atau dipergunakan sebagai eksperimen.
(John M. Haas, 2000)
Fertilisasi in vitro menuntut banyak biaya. Lebih dari 90% embrio yang dibuahkan binasa
dalam suatu tahapan proses. Dalam keinginan untuk menekan biaya dan meperbesar
kemungkinan berhasil, kadang para dokter menanmkan hingga lima atau lebih embrio ke dalam
rahim ibu. Sehingga akan menghasilkan lebih banyak bayi dari yang diharapkan suatu pasangan
dan dapat mengancam nyawa ibu. Untuk menghindarinya kadang dilakukan suatu manipulasi
“reduksi fetus” atau “ reduksi selektif” dimana para ahli memonitor bayi-bayi dalam rahim guna
melihat apabila ada bayi cacat atau dinilai tidak sesehat lainnya dapat disingkirkan. Bayi yang
kurang dikehendaki disingkirkan dengan menyuntikan kalium klorida ke jantung bayi, sehingga
dalam beberapa menit bayi tersebut akan meninggal dan keluar dari rahim sebagai “keguguran”.
Atau dilakukan terhadap bayi yang mudah dijangkau untuk menyingkirkannya apabila tidak
dapat ditentukan bayi mana yang kurang sehat. Hal ini dapat disamakan dengan adanya unsur
aborsi dalam tindakan ini. (John M. Haas, 2000) Padahal dalam kitab suci telah disampaikan,
“Jangan Membunuh” (Keluaran 20 : 13; Ulangan 5 : 17; Matius 5 : 21-22; 19 : 18) Karena pada
dasarnya manusia telah terbentuk sejak di dalam kandungan walaupun masih berupa zygot,
seperti ada tertulis : “Beginilah firman Tuham yang menjadikan engkau, yang membentuk
engkau sejak dari kandungan dan yang menolong engkau….” (Yesaya 44:2) (Listiati, 2009)
Dalam fertilisasi in vitro, anak dibuahkan melalui suatu proses teknis, dengan tunduk
kepada “quality control” dan dibinasakan apabila didapati “kecacatan”. Di dalam Donum Vitae
dikatakan “Hubungan antara pembuahan in vitro dan penghancuran yang disengaja embrio-
embrio insan terlalu sering terjadi. Hal ini sungguh perlu diperhatikan : Dengan prosedur ini
yang tujuannya rupanya berseberangan, kehidupan dan kematian diserahkan kepada keputusan
manusia yang dengan demikian membuat dirinya sesukanya menjadi tuan atas hidup dan mati.”.
aspek pelecehan manusia dari sebagian prosedur-prosedur ini jelas nyata dalam istilah “industry
teknologi reproduksi” dengan “anak-anak” sebagai produknya. Selain itu, pada surat ensiklik
Evangelium Vitae 14 yang dijelaskan oleh Paus Yohanes Paulus II, “bermacam teknik reproduksi
buatan(seperti bayi tabung) yang kelihatan seolah mendukung kehidupan, dan sering dilakukan
untuk maksud demikian sesungguhnya membuka pintu ancaman terhadap kehidupan. Terpisah
dari kenyataan bahwa hal tersebut tidak dapat diterima secara moral, karena hal itu memisahkan
pro-creation dari konteks hubungan suami-istri, teknik-teknik yang demikian mempunyai tingkat
kegagalan yang cukup tinggi : tidak hanya dalam hal pembuahan (fertilisasi) tetapi juga dari segi
perkembangan embrio, yang mempunyai tingkat resiko kematian tinggi, umumnya di dalam
jangka waktu yang pendek. Lagipula jumlah embrio yang dihasilkan sering lebih banyak
daripada yang dibutuhkan untuk implantasi ke dalam rahim wanita itu, dan “spare-
embryo”( embrio cadangan) ini lalu dihancurkan atau digunakan untuk penelitian yang dengan
dalih ilmu pengetahuan atau kemajuan ilmu kedokteran, pada dasarnya merendahkan kehidupan
manusia pada tingkat “materi biologis” semata yang dibuang begitu saja”. (Listiati, 2009)
2.3 Pandangan Agama Kristen Protestan terhadap Bayi Tabung
Menurut pandangan agama Kristen Protestan, program bayi tabung diizinkan untuk
dilaksanakan. Asalkan, dalam konteks yang melaksanakannya adalah pasangan suami istri yang
sudah diberkati atau dinikahi. Program ini dilaksanakan karena banyak orang yang masih
mendambakan anak yang lahir dari rahimnya sendiri. Tuhan berfirman : “Segala sesuatu
diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. “Segala sesuatu diperbolehkan.”
Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun. (1 Korintus 10 : 23).
Program bayi tabung merupakan hasil pemikiran manusia. Sedangkan, Tuhan Allah
membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya,
demikian manusia itu menjadi makhluk yang hidup (Kejadian 2 : 7).
Bayi tabung boleh dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dan tidak melibatkan
orang lain. Maksudnya tidak menyewa rahim atau mengambil sel telur milik wanita lain selain
istrinya. Dan tidak mengambil atau menggunakan sperma laki-laki lain selain suaminya. Apabila
dilanggar maka dapat disebut pula perbuatan berzinah. Sebab ada tertulis, “Jangan berzinah”
(Keluaran 20 : 14). Alangkah baiknya jika pasangan suami istri yang ingin memiliki anak
mengikuti program ini, daripada suami tidak menikahi istri orang lain dan melakukan hal-hal
yang tidak diinginkan. Demikian halnya dengan pasangan suami istri yang tidak memiliki biaya
untuk mengikuti program bayi tabung dapat mengandalkan doa. Seperti yang terdapat di Lukas 1
: 5-25 (Pemberitahuan tentang kelahiran Yohanes Pembaptis). Dalam bagian ini diceritakan
bahwa Elisabet adalah perempuan mandul. Karena Elisabet dan Zakaria suaminya meminta
dengan sungguh-sungguh dan tanpa berhenti-henti, akhirnya Tuhan menjawab doa mereka.
Tuhan mengutus malaikatnya untuk menyampaikan kabar ini kepada Zakaria pada saat Zakaria
membakar ukupan di Bait Suci. (Diana, 2012)
Bayi tabung bukan dilakukan melalui hubungan seks, itulah sebabnya agama Kristen
menyetujui. Karena pada mulanya Tuhan Yesus lahir bukan melalui hubungan seks antara Maria
dan Yusuf, melainkan melalui Roh Kudus. (Lukas 2 : 28-38)
2.4 Pandangan Agama Hindu terhadap Bayi Tabung
Hindu merupakan salah satu agama di Indonesia, agama Hindu berasal dari India.
Menurut sejarah agama Hindu merupakan agama yang pertama kali masuk di Indonesia. Di
agama Hindu ad “om swastyastu” dan “om santi santi santi om” itu sebuah kata salam yang
diucapkan. Di dalam agama Hindu, Tuhan adalah Sang Hyang Widhi. Dan dewa dewa di dalam
agama Hindu merupakan perwujudan dari Tuhan. Misalnya Dewa Siwa, Dewa Brahma, Dewi
Saraswati, dal nalin sebagainya. Suatu konsekuensi murni dari semua jenis perbuatan merupakan
karma, yang baik maupun yang buruk, lahir maupun batin dengan pikiran, perkataan ataupun
tindakan.
Agama Hindu tidak memperbolehkan bayi tabung dengan alasan apapun karena sudah
melanggar kuasa Tuhan. Pencipta manusia hanyalah Tuhan. Tapi dengan adanya bayi tabung ini
maka manusia bukan lagi hanya ciptaan Tuhan. Dan juga melihat proses bayi tabung sel telur
yang ditanam hanyalah yang terbaik, dan yang lainnya dibuang, itu termasuk himsa karma
(karma membunuh). Karena sejak terjadinya pembuahan sedetik pun itu sudah terdapat atman
(roh). Bagi umat Hindu yang kesulitan dalam memperoleh keturunan bia dilakukan dengan cara
pemujaan kepada dewa Brahma dan kalau masih kesulitan bisa menikah lagi dengan syarat
keturunan dari istri kedua diakui sebagai anak dari istri pertama.
Memiliki keturunan dengan program bayi tabung di mata agama Hindu tidak
dibenarkan. Seorang laki-laki dan perempuan yang menikah diharapkan untuk memiliki
keturunan dengan cara yang alami yang sesuai dengan ajaran agama. Mereka diharapkan
menjadi calon ayah dan calon ibu yang baik bagi anak-anak mereka yang mereka miliki dengan
cara yang alami dan penuh kasih. Memiliki anak merupakan impian setiap pasangan setelah
menikah sehingga setiap pasangan diharapkan untuk berusaha dan berdoa dengan tekun untuk
mendapatkan keturunan dan melakukan dharma terhadap orang tua dan calon anak dengan
memberikan pendidikan dan kasih sayang yang cukup kepada anak-anak mereka. Namun yang
paling disarankan oleh agama Hindu adalah memiliki keturunan dengan cara yang alami yakni
dengan melakukan hubungan suami-istri dan dengan penuh kasih bukan dengan melakukan
program bayi tabung. Program bayi tabung adalah sebuah dosa.
Bayi tabung bagi pemeluk agama Hindu dianggap tidak baik karena proses bayi tabung
yang dianggap melakukan sebuah dosa. Karena proses untuk melakukan program bayi tabung ini
kita satukan sel telur dan sperma untuk membentuk embrio. Saat embrio sudah terbentuk maka
saatnya untuk memilih embrio yang paling kuat untuk disuntikkan ke dalam rahim sang
Ibu.Embrio adalah calon bayi yang sudah memiliki kehidupan. Pada saat kita telah memilih
embrio yang kuat dan baik, embrio-embrio yang lain otomatis kita tinggalkan. Dan hal ini
tentunya akan membuat embrio-embrio dan calon bayi tersebut mati. Hal inilah yang dianggap
tidak baik, karena disini baik disadari atau tidak kita telah membunuh calon bayi dan
menghentikan kesempatan kepada calon bayi ini untuk hidup, oleh karena itu memiliki
keturunan dengan cara yang alami paling disarankan dalam agama Hindu.
Menurut Ketut Wilamurti, S. Ag dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PDHI) dan
Bhikku Dhammasubho Mahathera dari Konferensi Sangha Agung Indonesia (KASI), embrio
adalah makhluk hidup. Sejak bersatunya ovum dan sperma, roh Brahmansudah ada didalamnya,
tanda – tanda kehidupan ini jelas terlihat. Karena itu, embrio yang dihasilkan baik sacara alami
(hamil karena hubungan seks atau tanpa menggunakan teknologi fertilisasi) dan kehamilan non-
alami (hamil karena menggunakan teknologi fertilisasi; bayi tabung) merupakan suatu hasil
ciptaan Ranying Hatalla dan hasil ciptaan manusia.
Agama Hindu melarang program bayi tabung karena melanggar ketentuan. Diartikan
melanggar ketentuan karena sudah melanggar kewajaran Tuhan (Ranying Hatalla) untuk
menciptakan manusia.
2.4 Pandangan Agama Buddha terhadap Bayi Tabung
Ketika banyak agama merasa terancam dengan pemikiran modern dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, Agama Buddha justru sebaliknya mendapatkan tempat untuk
berjalan beriringan. Ketika banyak agama menolak teori evolusi, perkembangan boteknologi,
maupun teori tanpa batas tepi (teori kosmologi mengenai ketiadaan awal maupun akhir dari alam
semesta oleh Stephen Hawking), agama Buddha sebaliknya tidak langsung menolak hal-hal
tersebut. Bagi ajaran Buddha, perkembangan teknologi bagaikan pisau yang di satu sisi dapat
dimanfaatkan untuk memotong di dapur, namun di sisi lain dapat dipakai untuk menusuk orang
lain. Jadi alih-alih ajaran Buddha menolak pisau tersebut, melainkan alasan penggunaan pisau
tersebut yang ditolak oleh Beliau ketika dipakai untuk melukai.
Kesimpulannya, di dalam Agama Buddha itu sendiri tidak ditolak adanya bayi tabung.
Bahkan cloning pun juga tidak ditolak. Namun, di lain kata dikatakan bahwa bayi tabung atau
inseminasi buatan di dalam agama Buddha diperbolehkan karena tidak melanggar Vinaya
(Pancasila Buddhis). Seperti pada sila pertama dan ketiga dalam Vinaya yang mana untuk
memiliki keturunan dengan program bayi tabung ini pasangan suami istri telah memiliki
kesepakatan bersama dengan tujuan baik demi kebahagiaan kehidupan rumah tangga mereka.
(Dimoji, 2012) Hal program bayi tabung ini Buddha sangat menghargai, karena mereka dianggap
memiliki Kusala-Dhamma atau meta yang baik. Memiliki keturunan dengan bayi tabung di mata
Buddha rupanya sangat dihargai karena ternyata mereka yang melakukan program bayi tabung
ini baik disadari atau tidak ternyata mereka telah melakukan satu Dhamma baik, yait dengan
memberikan kesempatan untuk memberikan kehidupan atau mereka biasa menyebutnya dengan
Patisandhi Vinnana. Dengan memberikan kesempatan hidup kepada seorang bayi seperti halnya
memberikan seorang tamu untuk singgah dan masuk ke dalam rumah kita. Hal ini yang diberikan
oleh Buddha sebagai istilah bagi mereka yang telah melakukan Patisandhi Vinnana yang
mencerminkan cinta kasih yang Buddha ajarkan kepada mereka