BAB IV LAPORAN PENELITIAN A. Orientasi Kancah Penelitianrepository.unika.ac.id/16438/5/13.40.0019...
Transcript of BAB IV LAPORAN PENELITIAN A. Orientasi Kancah Penelitianrepository.unika.ac.id/16438/5/13.40.0019...
54
BAB IV
LAPORAN PENELITIAN
A. Orientasi Kancah Penelitian
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami
dinamika coping stress seorang ibu yang memiliki anak ADHD. Langkah
awal yang dilakukan peneliti sebelum melakukan penelitian adalah
menentukan kancah penelitian, hal ini dilakukan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data dan informasi secara langsung sesuai dengan
kebutuhan penelitian.
Pada proses pencarian subjek, peneliti sempat mencari subjek ke
beberapa sekolah luar biasa dan tempat terapi serta bertanya ke orang-
orang mengenai subjek yang dibutuhkan peneliti. Peneliti menemui tiga
subjek yang sesuai dengan kriteria, yaitu T yang dijadikan sebagai subjek
pertama, ER yang dijadikan sebagai subjek kedua dan S yang dijadikan
sebagai subjek ketiga. Penelitian dilanjutkan dengan meminta ijin kepada
ketiga subjek untuk menjadi subjek pada penelitian ini, kemudian
meminta para subjek untuk menandatangani informed consent dan
melakukan observasi serta wawancara terhadap subjek.
Kancah penelitian merupakan kediaman subjek dan tempat
beraktivitas subjek. Satu orang subjek berdomisili di Cirebon, sedangkan
subjek yang lainnya berdomisili di Semarang. Tempat yang digunakan
peneliti untuk melakukan wawancara adalah tempat tinggal subjek yang
pertama yang berada di daerah Samadikun kota Cirebon, tempat tinggal
subjek yang kedua berada di daerah Jatingaleh kota Semarang, dan
55
tempat tinggal subjek yang ketiga berada di Jangli kota Semarang.
Tempat subjek melakukan aktivitas diluar tempat tinggal pun dijadikan
sebagai kancah penelitian, yaitu sekolah dan perguruan tinggi.
Peneliti sempat melakukan observasi ketika subjek melakukan
aktivitas di luar rumah. Aktivitas subjek yang pertama yang diikuti oleh
peneliti adalah ketika mengantar dan menemani anaknya bersekolah.
Aktivitas subjek yang kedua adalah ketika subjek mengajar di salah satu
perguruan tinggi, sedangkan aktivitas subjek ketiga adalah ketika
menjemput anak subjek di sekolah.
B. Persiapan Penelitian
Dalam penelitian “dinamika coping stress seorang ibu yang
memiliki anak ADHD” ada beberapa tahap persiapan yang perlu
dilakukan sebelum pelaksanaan penelitian. Pertama, peneliti menentukan
kriteria subjek yang akan dilibatkan dalam penelitian ini. Kriteria subjek
ditentukan berdasarkan tujuan penelitian dan observasi lapangan yang
dilakukan di awal penelitian. Kriteria subjek yang ditetapkan adalah
seorang wanita yang telah menikah dan memiliki anak dengan gangguan
ADHD yang sudah didiagnosis oleh psikolog, memiliki pekerjaan dan
tidak memiliki pengasuh anak.
Setelah menentukan kriteria subjek penelitian, persiapan yang
dilakukan selanjutnya adalah mencari subjek yang sesuai dengan kriteria
yang telah ditetapkan. Peneliti menemukan tiga subjek yang sesuai
dengan kriteria dan peneliti menjelaskan maksud dan tujuan peneliti
terhadap masing-masing subjek, serta meminta ijin pada ketiga subjek
56
untuk dijadikan sebagai subjek penelitian, melakukan wawancara dan
observasi dalam kegiatan yang dilakukan subjek. Kemudian masing-
masing subjek menandatangani informed consent yang menunjukkan
kesediaan para subjek untuk menjadi responden dalam penelitian ini.
Setelah itu peneliti menyusun pedoman wawancara. Pedoman
tersebut disusun berdasarkan tema yang akan diungkap dalam penelitian.
Setelah pedoman wawancara dibuat, peneliti menyiapkan sarana yang
dibutuhkan dalam penelitian seperti alat merekam (handphone) dan alat
tulis untuk mencatat (kertas dan bolpoin).
C. Pelaksanaan Penelitian
Metode pengambilan data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah wawancara dan observasi. Pada setiap pertemuan pertama dengan
subjek, peneliti selalu melakukan building rapport, kemudian peneliti
langsung melakukan wawancara terkait dengan penelitian.
Pengumpulan data mulai dilaksanakan pada akhir April 2017
sampai akhir Agustus 2017. Waktu dan tempat pengambilan data
ditetapkan berdasarkan diskusi antara peneliti dan subjek penelitian.
Banyaknya pertemuan dengan subjek dilakukan sesuai kebutuhan
pelengkapan data. Berikut adalah rekap waktu dan tempat pelaksaan
penelitian :
57
Tabel 4.1. Jadwal Pertemuan dengan Subjek
No Inisial Tanggal Waktu (perkiraan)
Lokasi
1. TS I: 24 April 2017 18.00-19.00 Rumah subjek
II: 26 April 2017
17.15-19.00 Rumah Subjek
2. ER I: 30 Mei 2017 9.30-10.30 Tempat kerja
subjek
3. S I: 27 Agustus
2017
18.30-20.30 Rumah Subjek
Peneliti juga melakukan triangulasi dengan orang terdekat subjek.
Berikut adalah rekap waktu dan tempat pelaksanaan triangulasi yang
dilakukan oleh peneliti :
Tabel 4.2 Jadwal Pertemuan Triangulasi
No Inisial Triangulasi Tanggal Tempat
1. S Teman dekat 1 Mei 2017 Rumah subjek
2. A Suami 20 Juli 2017 Rumah subjek
3. M Anak 27 Agustus 2017 Rumah Subjek
D. Hasil Pengumpulan Data
1. Subjek 1
a. Identitas
Nama : T
Umur : 44 tahun
Alamat : Jalan Samadikun Cirebon
Pendidikan : SMP
58
Pekerjaan : ibu rumah tangga dan pemulung
Nama anak : J
Umur : 9 tahun
Kelas : 3 SD
Sekolah : SLB
Anak ke-2 dari 2 bersaudara
b. Hasil Observasi dan Wawancara
1) Hasil Observasi
Pada hari Senin, 24 April 2017 peneliti melakukan
wawancara di rumah subjek. Peneliti sampai di rumah subjek
sekitar pukul 18.00. Rumah subjek terletak di kampung
nelayan dimana sebagian besar penghuninya bekerja sebagai
nelayan atau anak buah kapal, rumah subjek terletak di ujung
dari kampung tersebut, rumah subjek tidaklah besar dan agak
kumuh, di bagian depan rumah subjek terdapat banyak sekali
rumput liar dan di samping rumahnya terdapat kali yang cukup
besar. Setelah sampai di rumah subjek, peneliti di sambut
dengan ramah, dan kebetulan subjek baru pulang bekerja.
Subjek langsung mempersilahkan peneliti untuk duduk di teras
luar rumah. Pada saat itu subjek memakai pakaian santai, yaitu
kaos oblong berwarna merah dan celana pendek kain berwarna
putih. Subjek memiliki kulit sawo matang, postur tubuh yang
tinggi dan kurus serta panjang rambut sedada.
Pada saat wawancara berlangsung, subjek menjawab
pertanyaan dengan semangat, penuh penjelasan dan tidak ada
59
tanda kecemasan atau bosan, sedangkan saat wawancara
berlangsung anak subjek bermain dengan orang tua peneliti.
Subjek tinggal bersama anaknya yang mengalami ADHD,
suaminya sudah meninggal dan subjek tinggal terpisah dengan
orang tuanya. Anak subjek yang berumur 9 tahun kerap kali
menghampiri subjek dan senyum-senyum terhadap peneliti
kemudian kembali berlarian disekitar pekarangan rumah.
Subjek juga memiliki peliharaan burung dara berwarna hitam
keabu-abuan yang seringkali dimainkan oleh anak subjek.
Pada pukul 19.00 peneliti berpamit untuk pulang.
Pada hari Rabu, 26 April 2017 peneliti kembali ke
rumah subjek pada pukul 17.15 untuk melakukan wawancara
yang kedua. Saat itu subjek baru pulang bekerja masih
menggunakan kerudung berwarna krem, baju berwarna merah
muda dan celana panjang hitam, peneliti disambut dengan
ramah seperti biasanya dan dipersilahkan duduk di teras
rumahnya. Pada pertemuan kali ini subjek menjawab beberapa
pertanyaan dengan nada sedih dan mata berkaca-kaca terutama
saat mengingat keadaan suami dan anaknya saat dulu, namun
untuk pertanyaan selain itu subjek dapat menjawabnya dengan
tegas. Anak subjek, J bermain di pekarangan depan rumah,
sesekali masuk ke rumah kemudian keluar lagi. Pada pukul
19.00 peneliti berpamitan untuk pulang.
60
2) Hasil Wawancara
a) Demografi
Subjek merupakan seorang ibu yang berumur 44
tahun dan memiliki dua orang anak laki-laki, anaknya yang
pertama berumur 20 tahun dan anaknya yang kedua berumur
9 tahun dan mengalami ADHD. Subjek sudah menjadi single
parent sejak beberapa tahun lalu karena suaminya sudah
meninggal dan anaknya yang pertama sudah tidak tinggal
serumah karena pindah ke Bogor. Anaknya yang pertama
adalah hasil pernikahan dengan suami yang sebelumnya.
Hubungan antara anak-anaknya kurang baik, dikarenakan
anaknya yang pertama tidak dapat menerima kondisi adiknya
yang mengalami ADHD. Subjek juga tinggal terpisah dengan
orang tuanya. Suami subjek dulu adalah seorang pensiunan
tentara
Subjek merupakan seorang wanita yang bekerja
sebagai pemulung di Cirebon, subjek juga seorang ibu rumah
tangga dan menjadi tulang punggung keluarganya. Kegiatan
subjek sehari-hari adalah saat pagi mengantar dan menemani
anaknya ke sekolah menggunakan sepeda, pada siang hari ia
pulang bersama anaknya ke rumah untuk berganti baju
kemudian mengajak anaknya mencari botol-botol atau
plastik-plastik bekas dari satu tempat ke tempat yang lain
untuk kemudian dijual, jika subjek sudah selesai mencari
botol dan plastik bekas namun hari masih sore biasanya
61
subjek mengajak anaknya untuk bermain layang-layang.
Pendidikan yang rendah membuat subjek kesulitan dalam
mencari pekerjaan.
b) Riwayat Anak dan Usaha Yang Pernah Dilakukan
Sejak usia satu hingga usia lima tahun, T mengatakan
bahwa anaknya sering mengalami kejang-kejang. Saat usia
lima tahun, T pun merasa anaknya sangat bandel, tidak bisa
diam, dan selalu memegang barang yang baginya menarik. T
merasa mulai kewalahan, anaknya tidak bisa disuruh tidur
dan masih tidak bisa berbicara secara jelas, hanya mampu
mengucapkan beberapa penggalan-penggalan kata saja. T
mulai khawatir akan kondisi si anak dan mengajaknya ke
dokter anak, dan dokter mendiagnosa anaknya mengalami
speech delay, si anak kemudian diberikan terapi-terapi untuk
mengatasi speech delay nya, si anak disuruh untuk berteriak-
teriak dan loncat-loncat.
Ibu T pun mulai sering stres karena banyaknya biaya
yang harus dikeluarkan untuk terapi yang pada akhirnya ia
menghentikan terapi si anak. Di sisi lain juga perilaku si anak
semakin tidak bisa dikontrol, contohnya ketika si ibu sedang
tidur, belum lama si anak sudah pergi keluar rumah, si anak
juga sangat suka memanjat, sangat sulit untuk diam dan
membuat ibu T sangat lelah. Di sekolah pun si anak sering
kali berlari-larian, bahkan jika ibu T lengah sedikit, si anak
akan memanjat tangga tanpa pegangan yang cukup
62
membahayakan. Ibu T mengira anaknya berperilaku seperti
itu karena ada yang diinginkan oleh si anak (mainan atau
makanan) namun tidak mengatakannya sehingga jadi
“bandel”, namun ketika ibu mencoba untuk memenuhi
keinginan si anak, perilakunya tidak berubah, tetap “bandel”.
Si anak pernah mengikuti tes yang diselenggarakan oleh
sekolahnya, tes yang dilakukan oleh psikolog untuk
mendiagnosa anak-anak di SLBN Cirebon saat itu, dan
dinyatakan bahwa J, anaknya, mengalami hiperaktif. Namun
ibu T tidak pernah membawa anaknya untuk terapi hiperaktif
karena keterbatasan biaya.
c) Dukungan Dari Orang Lain dan Dampak Terhadap
Hubungan Sosial
T tidak pernah membayangkan bahwa anaknya yang
kedua ternyata mengalami gangguan ADHD, kurangnya
pengalaman dan informasi yang membuatnya cukup
kesulitan pada awalnya. Di sisi lain sekarang T adalah
seorang single parent. Hal tersebut yang terkadang
membuatnya merasa bebannya bertambah karena tidak
adanya dukungan dari pasangannya.
Suaminya pergi meninggalkan T karena sakit yang
diderita sudah tidak mampu membuatnya bertahan untuk
hidup, maka T harus berjuang sendirian mengurus J.
Anaknya yang pertama sudah pergi ke Bogor, T menduga
anaknya yang pertama tidak bisa menerima kondisi J.
63
Awalnya anaknya yang pertama sering mengontak T untuk
menemuinya di Bogor, namun semakin lama anaknya
semakin tidak bisa dikontak, handphone nya sering tidak
aktif.
Apabila T sedang tidak mencari rongsok, T mengaku
cukup sering pergi ke rumah orang tuanya setelah anaknya
selesai mengaji. T merasa orang tua, kakak dan adik-adiknya
mendukung T ketika mengetahui T memiliki anak dengan
gangguan. Ketika T berlaku kasar terhadap anaknya karena
kesal, pasti keluarganya menasehati T untuk tidak melakukan
hal tersebut lagi, menyadarkan T bahwa memang anaknya
begitu dan harus diterima karena itu pemberian Tuhan.
Tidak dipungkiri pihak keluarga pasti pernah kesal
dan menyalahkan T karena memiliki anak seperti J, namun
mereka tetap mendukung apapun keadaannya. T merasa
bersyukur karena memiliki keluarga yang mendukung
dirinya, sehingga T tidak merasa patah semangat, justru
mereka menjadi alasan T untuk tetap kuat dan menjaga
anaknya dengan baik.
Tidak adanya dukungan dari lingkungannya
(tetangga) juga awalnya menjadi beban pikiran tersendiri
baginya, orang-orang di lingkungannya kerap mencemooh
karena T memiliki anak yang “berbeda”, anaknya sering kali
dicemooh juga oleh orang-orang di lingkungannya, mereka
menduga T pernah melakukan hal-hal negatif yang
64
menyebabkan anaknya tumbuh dengan kondisi demikian,
namun semakin kesini T tidak mempedulikan kata-kata
mereka. J juga jarang bermain dengan anak tetangga yang
lain, dikarenakan kurangnya kepedulian dari tetangga.
T mengaku lebih sering “sendiri” dan menghabiskan
waktu di luar rumah. Sejak pagi T sudah mengantar dan
menemani anaknya hingga siang, kemudian pulang lalu pergi
mengaji, kemudian ia menghabiskan waktu dengan mencari
rongsok atau pergi ke rumah orang tuanya, malam hari
barulah ia pulang ke rumah, sehingga waktu untuk bertemu
dengan tetangga cenderung minim. T pun mengaku tidak
dekat dengan tetangga yang manapun, dapat dikatakan juga
T tidak pernah bercerita kepada tetangganya mengenai
permasalahan anaknya.
Hubungan T justru lebih dekat dengan ibu-ibu yang
ada di sekolah J yang sudah dianggap seperti teman baik.
Apabila T sedang memiliki beban pikiran, T lebih sering
bercerita kepada teman-temannya itu, berkeluh kesah
mengenai kondisi si anak dan kondisi ekonominya serta
meminta pendapat untuk meringankan bebannya. T mengaku
bersyukur karena mereka semua mendukung dan justru
saling menguatkan, mengingatkan bahwa anak mereka
adalah titipan Tuhan bagaimanapun kondisinya, sehingga T
tidak merasa anaknya “berbeda”. T merasa cukup dikuatkan
oleh teman-temannya, dan merasa bisa tegar menghadapi
65
kondisi kehidupannya saat ini. T juga mengaku mendapatkan
bantuan dari teman-temannya, contohnya ketika T diberikan
sepeda agar tidak lagi jalan kaki apabila ingin mengantar
anaknya ke sekolah, J juga seringkali diberikan jajan karena
kondisi T yang tidak mempunyai uang untuk membelikan
anaknya jajanan. Di sekolah juga J memiliki banyak teman
dan sering bermain saat jam istirahat sekolah.
d) Primary Appraisal
T awalnya tidak menyangka bahwa perkembangan J,
anaknya, tidak sama dengan kakaknya dan anak-anak yang
lain. Awalnya T merasa takut apabila J akan memiliki
kondisi seperti sekarang ini sampai dewasa nanti, namun
dibalik ketakutannya, T pun berharap bahwa J dapat
membawa keberkahan baginya dan keluarganya. T juga
berharap anaknya dapat menjadi anak yang pintar seperti
pada umumnya orang tua berharap kepada anak-anaknya, T
mengharapkan yang terbaik bagi anaknya.
Di sisi lain T termasuk orang yang taat beragama, T
menjalankan ibadah shalat bersama anaknya, ia pun
mengikutkan anaknya ke “sekolah ngaji” di masjid dekat
rumahnya, agar anaknya tetap menjadi anak yang sholeh
sesuai harapannya, T tetap berpikiran bahwa anaknya dapat
seperti anak normal lainnya, itulah yang membuat T
melibatkan anaknya dalam kegiatan-kegiatan seperti anak
pada umumnya. Dengan keyakinan yang dimilikinya, T
66
diajarkan untuk sepenuhnya berserah kepada Tuhan, oleh
karena itu T menerima J apapun kondisinya.
Ketika J didiagnosa hiperaktif, awalnya T mengaku
merasa minder. Menurutnya kondisi anaknya saat lahir
sangat sehat, sekalipun terlahir prematur, namun T tidak
menyangka anaknya akan mengalami tumbuh kembang yang
seperti ini. T sering mengintropeksi perlakuan yang pernah
dilakukan oleh dirinya dan suami yang sekiranya bisa
menyakiti orang lain dan menyebabkan anaknya seperti ini.
Namun T mengatakan bahwa dirinya sangat menerima J,
menurut T kalau dirinya tidak menerima si anak lalu siapa
lagi yang akan menerima
e) Secondary Appraisal
Perasaan T sangat sulit untuk dideskripsikan, T sedih,
kecewa, marah terhadap keadaannya sendiri, dimana T harus
mengurus suaminya yang sakit dan anak yang hiperaktif
hingga pada akhirnya suaminya meninggal dan T harus
menjadi tulang punggung keluarga demi mengurus J. Namun
T tetap pantang menyerah dan semangat menghadapinya, T
berusaha jangan sampai ia sakit dan “tidak ada”, sehingga ia
harus tetap semangat menjalani kehidupannya dengan
kondisi yang sebenarnya tidak ia harapkan, namun T tetap
menjalani dan menerimanya dengan ikhlas.
T tidak memungkiri bahwa sebagai manusia ia pernah
marah terhadap kondisinya, namun T tidak tahu harus marah
67
kepada siapa sehingga T hanya bisa menerima kondisi
kehidupannya dengan ikhlas, dan berharap anaknya bisa
membawa berkah bagi keluarganya. Melihat kondisi
anaknya yang seperti ini, lalu perekonomiannya yang
terkadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari membuat T sangat stres menghadapinya. Namun T
merasa sangat yakin bahwa ia mampu menghadapi dan
menjalani kestresan dan kesusahannya, T pun merasa bahwa
anaknya adalah sebagai pengobat bagi dirinya. T mengaku
walaupun anaknya tumbuh dengan kondisi yang seperti ini
namun J tetap bisa menjadi pengobat hati bagi T, karena T
tidak bisa membayangkan apabila ia tidak memiliki J, di satu
sisi anaknya yang pertama sudah pergi meninggalkannya.
Untuk meminimalisir stresnya, T biasanya mengajak
anaknya pergi ke lapangan depan untuk melihat balapan
burung dara yang menurutnya dapat mengalihkan beban
pikirannya, setelah itu T pulang dengan J lalu mengambil
waktu untuk tidur (distraction), karena T yakin anaknya pasti
sudah sangat lelah sehingga mudah untuk tidur, agar esok
pagi siap untuk menjalani aktivitas seperti biasanya. Selain
itu, T mencoba coping stress yang lainnya seperti
menghubungi teman-temannya lewat handphone, lalu
bercerita mengenai permasalahannya atau hanya sekedar
mengobrol (assistance seeking), obrolan bersama teman-
68
temannya dirasa dapat membuat T tertawa lagi dan
melupakan beban pikirannya (humor).
T selalu memiliki cara untuk menghadapi stressornya,
sehingga T memiliki kepercayaan diri lebih untuk dapat
mengatasi stressornya, namun tindakan cara-cara yang T
lakukan terkadang tidak didukung dengan materi yang
dimiliki, contohnya saja apabila T ingin menghubungi
teman-temannya namun tidak memiliki cukup pulsa,
biasanya T hanya bisa miscall teman-temannya dan berharap
mereka dapat menghubungi kembali. Selain itu apabila ia
tidak memiliki pulsa yang cukup, biasanya T mengajak
anaknya untuk ke depan melihat burung.
T juga merasa tidak semua lingkungan sosialnya
mendukung, T mengaku tetangganya tidak dapat mendukung
dirinya dikala susah sehingga lebih banyak menjaga jarak,
beruntungnya T memiliki teman-teman yang dapat
mendukung dirinya baik secara emosional maupun finansial.
T mengaku teman-temannya dapat diandalkan ketika T
memiliki masalah entah masalah anak maupun
perekonomian, dan hal ini membuat T merasa lebih mampu
menghadapi stressornya. Contohnya jika T sedang merasa
stres, teman-temannya biasa mengundang T untuk hadir ke
rumah mereka lalu diajak makan berasama. Biasanya saat
masih diperjalanan saja beban pikiran T sudah hilang karena
pemandangan di jalanan yang membuatnya “mereda”,
69
sehingga T tidak jadi hadir. Melihat orang tidak mampu yang
tinggal di pinggir jalan juga membuat T merasa sangat
bersyukur karena masih memiliki tempat tinggal sekalipun
dengan kondisi kehidupan yang begini, karena hal itu
akhirnya T bersemangat lagi untuk menjalani hidup bersama
anaknya. T mengaku bahwa dengan mengajak anaknya jalan-
jalan dapat membuat dirinya merasa tentram, dan mampu
mengurangi stress yang dimilikinya.
Menurut T, stressornya tidak hanya berasal dari si
anak, namun dari hal lain seperti halnya perekonomian. T
merasa pendapatannya melalui mencari dan menjual barang
rongsok tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan
sehari-hari , T tidak mampu membeli beras, tidak bisa
membelikan jajan untuk anaknya , yang pada akhirnya ia
terpaksa meminta sekaleng beras ke orang tuanya. Stressor
lainnya adalah ketika si anak melihat teman-temannya
memiliki mainan baru, contohnya sepatu roda, pasti J juga
minta dibelikan sepatu roda. Ketidakmampuan T memenuhi
keinginan si anak menjadi salah satu stressor tersendiri bagi
dirinya, karena menurut T apabila anaknya tidak
mendapatkan yang diinginkannya, pasti anaknya mengalami
demam tinggi hingga kejang. Untuk menghindari hal
tersebut, apabila di lingkungan tempat tinggal T sedang ada
“musim” sebuah mainan, T menjauhkan anaknya dari hal itu
agar tidak terulang lagi.
70
f) Reappraisal
Setelah melakukan primary dan secondary appraisal,
subjek T mengakumulasi semua informasi yang T dapat dari
kedua penilaian tersebut, mengenai seberapa mengancam
stressor yang harus dihadapi, keyakinan yang dimiliki T
dalam menghadapi stressor untuk jangka panjang, kemudian
sumber-sumber yang dimiliki T seperti waktu, tenaga,
dukungan sosial, problem solving skill, dan kurangnya materi
yang dimiliki. T juga memikirkan pilihan-pilihan coping
yang biasa dilakukan selama ini untuk mengurangi stres yang
dimiliki seperti memarahi anak, tidur, pergi jalan-jalan. Hal
ini yang akhirnya akan menentukan final appraisal yang
akan dilakukan oleh T.
g) Final Appraisal
T mengaku cara yang biasa digunakannya untuk
menghilangkan stres adalah mengikuti keinginan anaknya, T
merasa sebenarnya mengikuti J dapat mengurangi rasa
stresnya, T merasa lebih enjoy. Contohnya, T mengatakan
bahwa anaknya suka sekali bermain layang-layang, maka T
mengajak anaknya untuk bermain layang-layang di lapangan
CUDP (Cirebon Urban Development Project) yang besar,
disana T bisa bermain layang-layang bersama anaknya,
berlari bersama, dan juga sekaligus T bisa mencari barang
rongsok karena disana cukup banyak orang yang datang,
71
sehingga T merasa ia bisa mengurangi stres dengan bermain
bersama anaknya sekaligus mencari penghasilan tambahan.
Selain itu T sudah mencoba melakukan berbagai
coping stress, dan T juga mencari coping yang lain seperti
memasak bersama anaknya, karena anaknya memiliki hobi
makan maka T merasa anaknya pun bisa diajak masak
bersama, dan hal tersebut dianggapnya mampu untuk
menghilangkan beban pikiran. T merasa strategi-strategi
coping yang dilakukannya dirasa mampu untuk
menghilangkan stresnya, namun belum efektif karena stres
yang dimiliki T bisa timbul lagi. T menceritakan bahwa ia
pernah mencoba beberapa strategi coping yang dirasa cukup
mampu meminimalisir stresnya, namun ketika T sedang
kelelahan atau kesal, T bisa memukul anaknya lagi. T merasa
stresnya bisa muncul kembali apabila dirinya tidak dapat
mengontrol diri, oleh karena itu T memutuskan untuk tidak
memikirkan keadaannya yang seperti sekarang ini, T cukup
hanya menerimanya saja.
Menurut T, stressornya tidak hanya berasal dari si
anak, namun dari hal lain seperti halnya perekonomian. T
merasa pendapatannya melalui mencari dan menjual barang
rongsok tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan
sehari-hari , T tidak mampu membeli beras, tidak bisa
membelikan jajan untuk anaknya , yang pada akhirnya ia
terpaksa meminta sekaleng beras ke orang tuanya. Stressor
72
lainnya adalah ketika si anak melihat teman-temannya
memiliki mainan baru, contohnya sepatu roda, pasti J juga
minta dibelikan sepatu roda. Ketidakmampuan T memenuhi
keinginan si anak menjadi salah satu stressor tersendiri bagi
dirinya, karena menurut T apabila anaknya tidak
mendapatkan yang diinginkannya, pasti anaknya mengalami
demam tinggi hingga kejang. Untuk menghindari hal
tersebut, apabila di lingkungan tempat tinggal T sedang ada
“musim” sebuah mainan, T menjauhkan anaknya dari hal itu
agar tidak terulang lagi.
3) Hasil Triangulasi
T adalah orang yang kuat, suka mengobrol dengan
teman-temannya, saling sharing, dan suka bercanda. T adalah
seorang ibu yang bekerja keras demi mengatasi
permasalahannya, seorang yang tetap menerima dengan pasrah
atas kondisi anaknya, dan seorang yang tidak mudah menyerah
terhadap tantangan hidup. Hubungannya dengan teman-
temannya bisa dikatakan sangat baik, sosok seorang anak yang
dekat dengan orang tua dan saudara-saudaranya, sekalipun
saudara-saudaranya kurang dapat membantu namun mereka
tetap berhubungan baik.
Masalah yang dihadapi subjek T adalah kondisi anak dan
masalah ekonomi yang sering kali menghambatnya untuk
memenuhi kebutuhan anak dan dirinya sendiri. Kondisi anak
yang perilakunya sulit untuk dikendalikan, belum lagi jika
73
anak sakit dan butuh makan, sedangkan kondisi ekonomi yang
tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan hidup,
sehingga harus bergantung pada bantuan orang lain.
Usaha-usaha yang dilakukan T adalah terus bekerja dan
mendampingi anaknya, bercerita kepada teman-teman dan
meminta pendapat mereka, usaha-usaha dan dukungan dari
orang terdekatlah yang dapat membuat T tetap tegar
menghadapi stressor-stressor yang ada.
4) Analisis Kasus Subjek 1
Subjek pertama dalam penelitian ini adalah T, seorang
single parent berusia 44 tahun yang memiliki dua orang anak
dengan suami yang berbeda. Anak yang pertama adalah K,
anak kedua yang mengalami hiperaktif adalah J berusia 9
tahun. Hubungannya dengan J dekat, karena sekarang mereka
hanya tinggal berdua. Suaminya sudah meninggal beberapa
tahun lalu, dan anaknya yang pertama pergi ke Bogor untuk
melanjutkan hidup, T juga tinggal terpisah dengan orang tua
dan saudara-saudaranya.
Awalnya T menyadari bahwa ada yang berbeda dari J,
sejak bayi masa perkembangannya terlambat, sejak usia satu
tahun J sering mengalami kejang-kejang, hingga anaknya
menginjak usia lima tahun, J mengalami hiperaktif, sangat sulit
diatur, suka berlari-larian, loncat-loncat, dan tidak bisa diam.
Di sisi lain, sejak kecil J juga mengalami speech delay yang
membuatnya hingga sekarang kesulitan untuk berkomunikasi
74
dengan orang-orang. J sudah pernah diterapi untuk speech
delaynya, ada perubahan namun tidak signifikan, T pun
menyekolahkan J di SLBN kota Cirebon. Karena keterbatasan
biaya, terapinya pun hanya berjalan satu tahun kemudian
diberhentikan.
Hubungan T dengan keluarganya pun dekat, T sering
mengajak J pergi ke rumah orang tuanya mengendarai sepeda,
bertemu dengan orang tua dan saudara-saudara kandungnya
membuat T merasa senang karena merekalah yang mendorong
T untuk tetap bersemangat menjalani kondisi kehidupannya
saat ini. Hubungannya dengan teman-temannya juga baik dan
dekat, karena teman-temannya dapat memahami kondisi T
yang mempunyai anak seperti J, teman-temannya kerap
mengundang T ke rumah mereka untuk makan bersama,
mereka juga sering menjadi tempat bercerita saat T sedang
stres, dan mereka pun memperlakukan J dengan baik seperti
sesekali memberi jajanan. Di sisi lain, hubungan T dengan
tetangga-tetangganya kurang baik, menurut subjek, pandangan
tetangganya terhadap kondisi T bisa dikatakan kurang baik.
Maka dari itu, T pun tidak ambil pusing akan hal tersebut, T
lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah, dan
pulang hanya untuk beristirahat dan makan, T jarang
bersosialisasi dengan tetangga-tetangganya karena mereka
sering mencemooh kondisi J. Hal ini cukup berpengaruh pada
relasi sosial yang dimiliki J, seperti contohnya ketika berada di
75
lingkungan rumah J jarang bermain dengan anak tetangga di
sekitarnya berbeda halnya dengan di lingkungan sekolah,
dimana J lebih sering bermain dengan teman-teman
sekolahnya saat jam istirahat.
Penilaian subjek T terhadap stressor bisa dikatakan
positif, pada awalnya T merasa minder saat mengetahui
anaknya “berbeda” apalagi ini adalah pengalaman pertamanya,
namun T tetap berharap anaknya akan menjadi lebih baik
seiring berjalannya waktu (wishful thinking) maka dari itu T
tetap mengajak J melakukan kegiatan-kegiatan seperti anak
normal pada umumnya, J diajari sholat, sekolah mengaji,
bermain, memasak dan lainnya. Selama ini subjek T memang
mengalami stres yang berat dan T tidak tahu kapan akan stres
ini akan selesai, keyakinan yang dimiliki membuatnya begitu
kuat, pasrah dan menerima kondisi anaknya dengan ikhlas
sepenuhnya, hal ini dilandaskan atas pemikiran T bahwa kalau
bukan subjek sendiri yang menerima anaknya lalu siapa lagi,
maka seiring berjalannya waktu T akhirnya dapat menerima
anaknya secara utuh.
Saat suaminya masih hidup, T mengalami stres yang
cukup berat dan perasaan yang campur aduk dimana T harus
mengurus suaminya yang sedang sakit dan anaknya J, tidak
adanya biaya menambah beban pikiran T hingga akhirnya
suaminya meninggal. Perasaan sedih dan marah saat itu ada
pada diri T, namun dirinya tetap semangat dalam menghadapi
76
problema kehidupan, T mengatakan bahwa entah
bagaimanapun caranya dirinya harus tetap bertahan demi
anaknya. Dengan melihat J yang dimilikinya sekarang, ia
merasa yakin mampu menghadapi stressor-stressor yang ada
dan menjalani kehidupan dengan ikhlas, karena melihat
anaknya dapat mengobati hatinya, dan jika tanpa anak T
merasa keadaannya akan semakin lebih buruk.
Saat mengetahui anaknya mengalami gangguan
hiperaktif, T sempat menyalahkan dirinya dan/atau suaminya,
T berpikir bahwa mungkin ada kesalahan yang pernah dirinya
lakukan di masa lalu yang menyebabkan anaknya demikian
(self-critism), namun lama kelamaan pemikiran itu hilang.
Untuk mengurangi stres yang dialaminya, T sering mengajak
anaknya ke lapangan untuk melihat balapan burung
(distraction), kemudian jika sudah kelelahan T dan anaknya
akan pulang dan tidur. Hal ini T lakukan agar dirinya bisa
sejenak melupakan beban pikiran yang ada. Selain itu T juga
mencoba strategi coping yang lain, T akan menghubungi
teman-temannya lewat handphone atau bertemu langsung
disekolah untuk bercerita mengenai permasalahan dan
meminta pendapat mereka (assistance seeking), atau bercerita
hal-hal yang menarik yang membuat subjek T tertawa sehingga
bebannya dapat hilang untuk sementara (humor).
T merasa dari segi waktu dan tenaga sangat mendukung
strategi coping yang dilakukan, akan tetapi uang terkadang
77
tidak dapat mendukung untuk beberapa strategi dilakukan
seperti menghubungi teman-temannya atau membelikan yang
anaknya inginkan.
Adanya stressor lain juga menghambat keinginan untuk
melakukan strategi coping yang lain. Stressor lainnya adalah
masalah ekonomi. Permasalahan ini sudah cukup lama dialami
oleh T, terutama sejak suaminya sakit, T harus menjadi tulang
punggung keluarga. Pekerjaannya sebagai penjual rongsok
tidak dapat menutup pengeluaran untuk kebutuhan sehari-
harinya, untuk makan pun T mengaku kesulitan, jika tidak
memiliki beras dirinya pasti ke rumah orang tuanya untuk
meminta sekaleng beras, hanya untuk dirinya dan anaknya. T
mengaku penjualan barang rongsok tidak semudah
mengumpulkan sehari lalu dijual, T harus menunggu beberapa
hari baru kemudian bisa dijual, yang pendapatannya pun tidak
seberapa. Contoh lain ketika anaknya menginginkan suatu
barang yang dimiliki teman-temannya, terkadang karena
harganya begitu mahal T tidak mampu membelikannya, yang
menyebabkan anaknya jatuh sakit. Beruntungnya, di sekolah
ada teman-teman yang membantunya memberikan sejumlah
uang yang bisa T gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-
harinya.
Alasan yang membuat T memilih beberapa strategi
coping diatas adalah karena dengan melakukan itu semua,
dirinya merasa tentram dan mengurangi stres yang
78
dimilikinya. Strategi-strategi coping diatas yang biasa
dilakukan oleh T menjadi salah satu alasan subjek T akan
menggunakan strategi-strategi tersebut lagi untuk kedepannya.
T merasa bersyukur karena orang-orang disekelilingnya
mendukung strategi coping yang T lakukan, contohnya T suka
jalan-jalan karena dengan berjalan-jalan dirinya menemukan
hal-hal yang membuat bebannya hilang, dan teman-temannya
kerap mengundang T dan anaknya ke rumah mereka untuk
makan bersama. Dukungan yang datang kepada T adalah salah
satu faktor yang mempengaruhi keputusannya dalam
menentukan strategi coping yang akan digunakan.
T mengaku pernah melakukan pergantian coping, seperti
mengajak anaknya untuk bermain layang-layang dan memasak
bersama (distraction), strategi-strategi tersebut dapat
dikatakan mampu menghilangkan stresnya namun tidak untuk
selamanya. T mengatakan bahwa untuk kedepannya lebih
memilih untuk tidak memikirkan permasalahannya, karena
jika dipikir secara terus menerus justru akan membuat dirinya
stres (denial). Saat T merasa bahwa strategi yang digunakan
tidak efektif, T tidak merasakan dampak terhadap
fisiologisnya, namun berdampak pada munculnya kembali
stres pada dirinya sewaktu-waktu.
79
5) Intensitas Tema
Tabel 4.3
Intensitas Tema Subjek I
Tema Koding Intensitas
Stressor hal yang baru SB +++
Prediksi terhadap stressor PS ++
Pengaruh kepercayaan KM +++
Penerimaan terhadap stressor PTS +++
Perasaan negatif PN +++
Emotion focused coping EFC +++
Problem focused coping PFC +++
Sumber materi, tenaga, waktu,
problem solving skill, social skill,
dukunga sosial mendukung
MTW +
Stressor lain SL +++
Komitmen/keyakinan menghadapi
stressor
KS ++
Faktor pendukung penentuan coping
(materi, tenaga, waktu)
FP ++
Dukungan sosial DS +++
Faktor kepribadian FK +
Pergantian coping PC ++
Efektivitas strategi coping EC ++
Keterangan:
+ : Intensitas rendah
++ : Intensitas sedang
+++ : Intensitas tinggi
80
Sk
em
a 3
. D
inam
ika
Copin
g S
tres
s T
+
+
2. Subjek 2
Pri
mary
Ap
pra
isal
1.
Stre
ssor
ad
alah
hal
yan
g b
aru
2
.P
red
iksi
an
ak
men
jad
i le
bih
bai
k 3
.K
ep
erca
yaan
m
emp
enga
ruh
i d
alam
m
engh
adap
i str
esso
r 4
.M
ener
ima
anak
se
utu
hn
ya
Sec
on
dary
Ap
pra
isal
1.
Ad
anya
st
res
ber
at,
per
asaa
n
mar
ah,
jen
gkel
, ke
cew
a d
an
sed
ih
2.
San
gat
yaki
n m
amp
u m
enga
tasi
st
ress
or
3.
Sum
ber
wak
tu d
an t
en
aga/
fisi
k m
end
uku
ng
tin
dak
an
cop
ing
, m
ater
i ku
ran
g m
end
uku
ng.
4
.M
emili
ki
sum
ber
pr
ob
lem
so
lvin
g
skill
, so
cia
l sk
ill,
dan
so
cia
l su
pp
ort
yan
g m
end
uku
ng
5.
Emo
tio
n
focu
sed
co
pin
g:
dis
tra
ctio
n,
po
siti
ve r
eap
pra
isa
l, em
oti
on
al
dis
cha
rge,
re
sig
ned
a
ccep
tan
ce,
incr
ease
d
act
ivit
y,
pra
yin
g,
wis
hfu
l th
inki
ng,
se
lf
crit
ism
, see
kin
g m
ean
ing
6
.P
rob
lem
fo
cuse
d c
op
ing
: p
lan
full
pro
ble
m
solv
ing
, d
irec
t ac
tio
n,
ass
ista
nce
see
kin
g
Rea
ppra
isal
N
ew
Ap
pra
isal
Fin
al A
pp
rais
al
Adan
ya
pen
yusu
nan
dan
per
gan
tian
stra
tegi
cop
ing y
ang l
ain
m
engaj
ak
anak
ber
mai
n
layan
gan
, m
emas
ak
(dis
tract
ion
) dan
ti
dak
m
emik
irkan
kondis
i dir
i se
ndir
i (d
enia
l)
Fak
tor
Inte
rnal
-Copin
g y
ang b
iasa
dil
akukan
m
emukul
anak
, m
emar
ahi,
tidur,
ber
ceri
ta
pad
a te
man
,
per
gi
men
onto
n b
alap
bu
rung,
jala
n-j
alan
, p
ergi
ker
um
ah
tem
an,
mem
inta
ban
tuan
kel
uar
ga
-Mem
ilik
i kep
ribad
ian
yan
g
terb
uka
Fak
tor
Ek
stern
al
-Adan
ya
mat
eri,
ten
aga,
dan
wak
tu
yan
g
mem
pen
gar
uhi
pem
ilih
an
stra
tegi
copin
g
yan
g b
aru
-adan
ya
dukun
gan
dar
i
kel
uar
ga
dan
tem
an-t
eman
- Str
esso
r la
in:
per
mas
alah
an
ekonom
i, a
nak
yan
g p
erta
ma
tidak
bis
a dik
onta
k,
suam
i
men
inggal
Tid
ak
Efe
kti
f
Mel
akukan
Str
ateg
i Coping
81
a. Identitas
Nama : ER
Umur : 45 tahun
Alamat :Kampung Pentul Tinjomoyo, Banyumanik,
Semarang
Pendidikan : S2
Pekerjaan : Dosen dan ibu rumah tangga
Nama anak : A (dipanggil I)
Umur : 9 tahun
Kelas : 2 SD
Sekolah : Sekolah inklusi
Anak ke 1 dari 2 bersaudara
b. Hasil Observasi dan Wawancara
1) Hasil Observasi
Pada hari Selasa tanggal 30 Mei 2017, peneliti menemui
subjek ER untuk melakukan wawancara pertama di tempat
bekerjanya. Subjek bekerja sebagai dosen di salah satu
universitas swasta di Semarang. Pada hari itu peneliti datang
lebih awal untuk mempersiapkan diri, selagi menunggu subjek
selesai mengajar. Ketika subjek datang, peneliti langsung
dipersilahkan masuk ke dalam ruangannya dan melakukan
wawancara. Ruangan saat itu kosong, dan meja subjek terlihat
rapi. Wawancara diawali pada pukul 09.30, dan beberapa kali
ada mahasiswa dan dosen yang memasuki ruangan namun
tidak mengganggu wawancara.
82
Subjek terlihat mengenakan pakaian berkerah berwarna
coklat, celana berwarna krem dan bersepatu. Subjek memiliki
postur tubuh yang agak kurus, tidak terlalu tinggi dan rambut
yang panjangnya hanya seleher. Selama proses wawancara
subjek dapat menjawab pertanyaan dengan baik, dengan
memberikan penjelasan yang cukup panjang dan terkadang
disertai contoh, subjek dapat memberikan jawaban yang cukup
tegas dan cepat. Pada pukul 10.30 peneliti pamit untuk pulang,
karena subjek pun harus kembali mengajar.
Pada hari Kamis tanggal 20 Juli 2017, peneliti kembali
bertemu dengan subjek dan suaminya untuk melakukan
wawancara triangulasi. Pukul 14.05 peneliti sampai di rumah
subjek dan langsung disambut dengan ramah, kemudian
subjek dipersilahkan masuk. Subjek menggunakan baju
terusan berwarna biru muda, sedangkan suaminya
menggunakan kaos kerah abu-abu dan celana kain hitam. Di
dalam rumah pun ada anak subjek yang perempuan, kemudian
peneliti mengobrol sebentar dengan si anak, anaknya pun
duduk bersama dengan kami dan bisa menjawab pertanyaan
yang diajukan oleh peneliti. Setelah itu peneliti melakukan
wawancara sebentar terhadap subjek dan suaminya, kemudian
pada pukul 15.00 peneliti pamit untuk pulang.
83
2) Hasil wawancara
a) Demografi
Subjek ER adalah seorang ibu, istri sekaligus
pekerja. ER berumur 45 tahun, bekerja sebagai dosen di
salah satu universitas swasta di Semarang, selain itu subjek
juga menjadi seorang ibu dari dua orang anak yang
bernama I dan T. I berumur 9 tahun sedangkan T berumur
5 tahun, I adalah anak perempuan pertama yang mengalami
ADHD sedangkan anaknya yang kedua, laki-laki,
mengalami speech delay. Kesehariannya, ER mengajar
sebagai dosen sejak pagi sampai sore, kemudian pulang ke
rumah untuk mengurusi anak-anak dan suaminya.
ER beruntung memiliki seorang suami yang
mendukungnya setiap hari, bisa dikatakan ER dan
suaminya memiliki hubungan yang harmonis dan saling
mendukung. Suaminya bekerja sebagai penerjemah yang
membuka usahanya di rumah mereka. Suaminya membuka
usahanya di rumah dengan tujuan agar dapat menjaga anak-
anaknya terutama saat ER sedang bekerja karena mereka
tidak memiliki pengasuh anak.
Hubungan ER dengan anak-anaknya pun dapat
dikatakan baik, ER mau terus berjuang untuk I, mau terus
mengajari dan mengusahakan yang terbaik, dengan T pun
ER banyak bercanda dan mempercayakannya untuk
menjaga I. dengan teman-temannya, ER pun terbuka
84
mengenai permasalahan anak-anaknya, ER kerap meminta
pendapat kepada teman-temannya. Terhadap tetangganya,
ER kurang bisa terbuka karena merasa mereka belum tentu
mengerti apa yang dihadapi oleh ER.
b) Riwayat Anak dan Usaha yang Telah Dilakukan
ER menceritakan awalnya I belum bisa berbicara
pada umur dua tahun, kemudian ketika ada rekan kerja
yang menanyakan mengenai kondisi I, ER pun
menceritakannya dan dianjurkan untuk segera
diperiksakan. ER pun merasa anaknya masih baik-baik saja
karena ER berpikir mungkin sebentar lagi anaknya bisa
berbicara. Namun tidak ada hasil apapun, dan sejak itu ER
menyadari bahwa anaknya mengalami speech delay lalu
ER segera mengajak anaknya untuk terapi bicara sejak
umur dua tahun, banyak terapi yang sudah dilakukan yang
akhirnya membuahkan hasil, namun permasalahan lain pun
muncul dalam waktu yang singkat. Banyaknya pengalaman
yang ER dapatkan dari klien-kliennya yang mengalami
ADHD, dan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh anaknya,
membuat ER menyimpulkan bahwa anaknya pun
mengalami ADHD.
Ketika diajak berbicara, anaknya sering kali tidak
menatap lawan bicaranya dan tidak suka menonton TV,
akhirnya ER membawa anaknya untuk terapi konsentrasi.
ER kemudian menyadari bahwa anak ADHD biasanya
85
mengalami speech delay karena mereka tidak bisa
konsentrasi memperhatikan orang lain berbicara, sehingga
kurang mampu menirukan dan menerapkannya, dan itulah
yang dialami oleh I. Banyak usaha yang dilakukan oleh ER
terhadap I, mulai dari obat-obatan dari dokter, terapi
oksigen di dalam tabung (hyperboric), terapi pijat sampai
sekarang melakukan fisioterapi di Talitakum, dan semua
usaha tersebut sedikit demi sedikit membuahkan hasil
seiring berjalannya waktu.
c) Dukungan Dari Orang Lain dan Dampak Terhadap
Hubungan Sosial
ER memiliki banyak peran yang seringkali membuat
dirinya mengalami stress, selain menjadi seorang ibu dari
kedua anaknya, ER juga adalah seorang istri dan pekerja.
ER merasa beruntung karena memiliki suami yang sangat
mendukung dirinya dalam menghadapi situasi-situasi sulit
seperti ini. Suaminya membuka usahanya di rumah agar
tetap dapat menjaga kedua anaknya terutama I. ER pun
mengakui bahwa dirinya dapat menerima kondisi anaknya
baru setahun terakhir, selama ini ER selalu mempunyai
ekspektasi yang tinggi terhadap I, dan karena itulah ER
seringkali mengalami emosi ketika berhadapan dengan I, di
saat seperti itulah suaminya selalu meminta ER untuk sabar
dan menerima kondisi si anak. ER mengaku suaminya
selalu menenangkan dirinya apabila ER sudah merasa
86
emosi, contohnya ketika ER emosi saat mengajari I,
suaminya menyuruh untuk disudahi saja belajarnya dari
pada menimbulkan kemarahan yang lebih besar lagi.
Tidak hanya suami, anaknya yang kedua pun
seringkali meminta ibunya untuk bersabar apabila ibunya
sudah mulai marah karena kondisi I, ER merasa beruntung
memiliki T karena ia berharap bahwa T dapat menjaga
kakaknya saat tidak ada orang. Seringkali ER meminta T
untuk menjaga dan melindungi si kakak. Hal-hal tersebut
yang membuat ER sadar bahwa keluarga kecilnya
mendukung dirinya untuk menghadapi I dalam situasi
apapun.
Tidak seperti keluarganya, ER merasa lingkungan
rumahnya (tetangga) tidak dapat mengerti kondisinya, ER
selalu “mengurung” anaknya I di dalam rumah karena I
suka hilang apabila sudah di luar rumah apalagi di
lingkungannya banyak anak kecil, ER memperbolehkan
anak-anak lain untuk main ke rumah asal bukan anaknya
yang keluar rumah. ER tidak memiliki pengasuh anak
untuk menjaga anaknya sehingga ER menjaga anaknya
dengan cara ditaruh di dalam rumah, namun para tetangga
selalu menyuruh ER untuk membiarkan anaknya keluar
rumah dan menjamin anaknya tidak akan hilang apabila
bermain dengan anak-anak yang lain, tetangganya merasa I
87
kurang sosialisasi karena ER tidak memperbolehkan I
bermain sendirian di luar rumah.
Tetangganya pun tidak mengetahui kondisi I yang
sebenarnya, ER merasa tidak perlu menjelaskan mengenai
kondisi I karena mereka orang awam yang belum tentu
mengerti apabila dijelaskan, ER mengajak anaknya keluar
apabila ada undangan pernikahan tetangga atau acara PKK,
sehingga dapat dikatakan bahwa ER memiliki hubungan
yang kurang dekat dengan para tetangganya.
Hal ini pun ER alami dalam hubungannya dengan
kedua orang tuanya terutama almarhum ayahnya. Dulu
sebelum ayahnya meninggal, ayah ER adalah seorang
akademisi, sehingga apabila ayahnya bertemu dengan I
seringkali ditanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
akademis, namun I tidak dapat menjawab sehingga
ayahnya men-cap bahwa I “kurang” dan karena sikap
ayahnya itulah yang membuat ER sakit hati. Di sisi lain, I
juga sering dibandingkan dengan sepupu-sepupunya yang
dianggap “lebih pintar”, hal itulah yang membuat ER
terbawa untuk membandingkan anaknya dengan
keponakan-keponakannya yang lain. Hubungan ER dengan
sang ibu bisa dikatakan baik, karena apabila ER sedang ada
masalah dengan anak, ER lebih banyak bercerita dan
mencurahkan isi hatinya terhadap si ibu bukan suami.
88
Hubungan ER dengan guru-guru di sekolah I yang
seringkali membuat ER stres. ER merasa sekolah I
sekarang adalah sekolah inklusi namun para tenaga
pendidiknya tidak dapat menangani anak ABK, dan
cenderung sering komplain terhadap ER. Di sisi lain,
shadow teacher yang digunakan oleh ER pun kurang dapat
mengenali karakteristik anaknya, mungkin hal itu dipicu
oleh shadow teacher yang bukan berasal dari mahasiswa
fakultas psikologi, sehingga membuat shadow teacher
kurang dapat mengenali kebiasaan dan kepribadian
anaknya.
Hubungan ER dengan teman-teman kerjanya dapat
dikatakan sangat baik, ER mengaku bahwa teman-
temannya mengetahui kondisi I sejak bayi, mulai dari
masuk ICU dua kali hingga mengetahui bahwa ER tidak
lagi dapat meneruskan pekerjaannya di tempat lain
dikarenakan kondisi anaknya yang membutuhkan perhatian
lebih. Teman-teman ER pun sering membantu ER, mulai
dari mendengarkan keluh kesah ER, sampai
merekomendasikan tempat terapi dan sekolah bagi I. ER
pun merasa teman-temannya selalu mendukung ER dalam
menghadapi anaknya.
d) Primary Appraisal
ER awalnya merasa sangat stres karena banyaknya
stressor yang diterima, mulai dari komplain yang diberikan
89
oleh guru di sekolah terhadap ER bahwa mereka tidak
dapat menangani I sehingga membutuhkan shadow
teacher. Beban pikiran yang ditambah dari tempat ER
bekerja, dan stressor dari anaknya sendiri terutama ketika
diajari sesuatu yang membuat ER merasa emosi, karena ER
susah menebak kapan mood I sedang bagus untuk belajar
dan tidak. Sulitnya mengatur dan mengajari anaknya tidak
membuat ER memandang pesimis terhadap masa depan si
anak.
ER sudah membuat rencana-rencana kedepan bagi
si anak terutama dalam bidang akademis, dan ER merasa
percaya bahwa anaknya dapat menjadi lebih baik
kedepannya, ER melihat rekan kerjanya yang memiliki
anak dengan gangguan yang sama dan bisa menikah
setelah dewasa, hal itu yang memicu ER untuk merasa
optimis terhadap si anak dan terus membuat anaknya jauh
lebih baik lagi.
Hal ini ditunjukkan dengan mengikutkan anaknya
ke berbagai kegiatan baik di sekolah maupun di luar
sekolah, salah satunya adalah les bahasa arab dan les
mengaji. I diajari sholat, puasa, dan mengaji layaknya anak
pada umumnya, ketika sholat maupun mengaji I banyak
gerak dan berpindah-pindah tempat yang mengharuskan
guru mengajinya mengikuti kemana I pergi, ketika sedang
puasa I mengikuti aturannya dengan baik, puasa membuat
90
tubuhnya tidak memiliki energi sehingga I banyak diam
dan menuruti ER saja.
Sebagai seorang yang memiliki ketaatan dalam
beragama, ER juga seringkali mengikuti pengajian,
seringkali isi dari pengajian yang diikuti dapat menguatkan
diri ER. Pernah suatu saat dikatakan di dalam pengajian
tersebut bahwa “tidak masalah jika ibu memiliki anak yang
bermasalah, tidak usah khawatir karena itu adalah titipan
dari Tuhan dan pasti ada sesuatu yang bisa dipetik”, hal
tersebut yang selalu menguatkan ER dan menjadikannya
harus kuat dalam menghadapi anaknya.
ER perlahan-lahan menyadari bahwa apabila ia
memiliki anak yang normal, pastilah dirinya menjadi
ambisius untuk meneruskan S3 dan tidak akan mengurus
pekerjaan rumah, pastinya ER akan lebih memiliki karir
daripada urusan rumah tangganya. Hal tersebut tentunya
mempengaruhi penerimaannya terhadap si anak, karena
kurangnya kesiapan mental setelah menikah dan memiliki
anak yang mengalami gangguan membuat ER merasa
sangat stres dan kurangnya pengontrolan emosi.
Hal-hal yang berkaitan dengan rencana karirnya pun
akhirnya harus mengalami hambatan dan hal tersebut juga
yang terkadang membuat ER stres, dirinya merasa apabila
anknya normal pasti tidak akan menghambat keinginan
berkarirnya, dan beban pikiran tersebut terkadang ia
91
lontarkan kepada anaknya apabila sudah sangat kesal. ER
pun mengaku bahwa dirinya baru dapat menerima si anak
setahun terakhir ini berkat dukungan dari orang-orang
terdekat pastinya yang selalu menguatkan ER.
e) Secondary Appraisal
Terjadinya perubahan dalam hidup sejak I
didiagnosa mengalami gangguan beberapa tahun lalu
membuat ER mengalami stres yang cukup tinggi, tidak
hanya menjadi seorang istri dan pekerja, I juga harus
menjadi ibu dan pengajar bagi anak-anaknya. Tingkat stres
yang dimunculkan dari berbagai stressor tentunya
mempengaruhi psikologis ER secara pribadi. ER sering
mengalami kemarahan dan kekesalan dalam dirinya
terutama saat mengajari I, akhirnya ia luapkan dengan
mengurung I di dalam kamar, namun suaminya selalu
menasehati dan menenangkan dirinya. Stres tersebut pun
muncul lagi setiap kali fase berulang kali terjadi, dan
apabila ER mengingat ingat akan dirinya yang memiliki
anak seperti I pasti pikiran negatif muncul lagi dalam
dirinya.
ER pun merasa yakin bahwa dirinya mampu
mengatasi stressor yang ada, selama masih ada biaya I pasti
dapat “sembuh” karena I akan membutuhkan terapi dengan
periode yang cukup panjang, dan ER berharap bukan
dirinya yang meninggal lebih dulu dari suaminya, karena
92
yang ditakutkan adalah apabila ER meninggal lebih dulu,
dan suaminya tidak memiliki latar belakang psikologi
sedangkan si anak membutuhkan perlakuan khusus sampai
besar nanti.
Dalam kesehariannya ER memiliki ketrampilan
memecahkan masalah yang baik, untuk mengatasi stres
yang dialami tidak jarang ER menjadi galak terhadap
anaknya (emotional discharge), ER pun selalu berkata
kepada I “sebetulnya kamu tuh bisa hanya kamu tidak
konsentrasi” untuk meredam stresnya (wishful thinking),
sampai akhirnya ER menurunkan targetnya terhadap si
anak karena menurut ER memiliki target yang tinggi
terhadap si anak membuat dirinya semakin stres (resigned
acceptance). Stres yang dialami ER karena guru di skolah
I pun perlahan menurun karena ER lebih memilih untuk
tidak mempedulikan apa yang dikatakan oleh guru-guru di
sekolah I (hiding feelings), untuk mengatasi rasa stres yang
dialami ER karena permasalahan akademis anaknya pun
tidak jarang ER meminta pendapat dari teman-teman
seprofesinya atau dari ibunya sendiri mengenai tempat
sekolah yang baik untuk anaknya atau sekedar meminta
pendapat bagaimana cara mengatasi si anak (assistance
seeking).
Banyaknya stressor membuat ER tidak mengurusi
urusan dapur rumahnya, ER mengalihkan perhatiannya ke
93
menyiram tanaman sambil mengajak I yang menurut ER
hal tersebut cukup mampu meredakan stresnya
(distraction), dan ER mengaku karena memiliki
kepercayaan dan mengikuti aktivitas-aktivitas keagamaan
sekarang dirinya lebih bisa menerima anaknya serta
berpikir bahwa anaknya adalah titipan Tuhan yang suatu
saat nanti dapat berperilaku seperti anak pada umumnya
(resigned acceptance), dan ER menganggap bahwa apabila
anaknya tidak berkebutuhan khusus mungkin dirinya akan
menjadi ambisius, maka dari itu Tuhan memberikan ER
anak yang seperti I (positive reappraisal).
Dalam melakukan beberapa coping diatas tentunya
ER memiliki banyak sumber penentu strategi yang
dilakukan. Sumber tenaga, waktu dan materi menurutnya
cukup mendukung pemilihan strategi coping yang selama
ini dilakukannya sehingga faktor tenaga, waktu dan materi
bukan suatu hambatan bagi ER. Namun, justru kepribadian
pasangan ER yang cenderung pendiam yang menjadi
hambatan bagi dirinya untuk melakukan strategi coping,
contohnya saja apabila ER ingin mencurahkan beban
pikirannya, ER lebih memilih untuk bercerita dengan
ibunya dari pada suaminya sendiri, karena menurut ER
kepribadian suaminya yang seperti itu yang membuat ER
tidak bisa bercerita atau meminta pendapat banyak.
94
Dalam kehidupannya, masalah saat menghadapi
anak bukanlah satu-satunya stressor bagi ER. Stressor lain
yang menjadi beban pikirannya adalah pekerjaan di
tempatnya bekerja yang menumpuk dan seringkali ia bawa
pulang kerumah, padahal di rumah pun ia harus mengurus
keperluan anak-anak dan suaminya, hal tersebut
menyebabkan pekerjaan rumah tangga yang lain menjadi
terbengkalai. Stressor lain adalah mengenai kelanjutan
studi yang seharusnya bisa ER ambil namun memiliki anak
dengan kebutuhan khusus justru menghambat karirnya dan
membuat ER stres. Hal lainnya adalah apabila guru di
sekolah I sudah bercerita atau mengeluh yang macam-
macam terhadap ER, secara tidak langsung hal tersebut
menambah beban pikiran ER karena hal tersebut bukan hal
yang jarang terjadi, yang pada akhirnya membuat ER
mengalami stres.
f) Reappraisal
Setelah melakukan primary dan secondary appraisal,
subjek ER mengakumulasi semua informasi yang ER dapat
dari kedua penilaian tersebut, mengenai apakah stressor
tersebut adalah hal yang baru dan bersifat mengancam,
keyakinan yang dimiliki ER dalam menghadapi stressor
untuk jangka panjang, kemudian sumber-sumber yang
dimiliki ER seperti waktu, tenaga, materi, dukungan sosial,
problem solving skill yang dimiliki. ER juga memikirkan
95
pilihan-pilihan coping yang biasa dilakukan selama ini untuk
mengurangi stres yang dimiliki seperti memarahi dan
manyalahkan anak, tidur, bercerita pada teman. Hal ini yang
akhirnya akan menentukan final appraisal yang akan
dilakukan oleh ER.
g) Final Appraisal
Selama menghadapi anaknya pun ER sudah
melakukan pergantian coping, saat dulu anaknya masih
kecil ER lebih banyak menggunakan emosi, sering marah-
marah terhadap anaknya sampai menghukum anaknya di
dalam kamar, dan lebih sering mencari jalan keluar melalui
pusat terapi namun semakin kesini ER sudah lebih bisa
menerima kondisi si anak dan lebih tidak peduli terhadap
perkataan orang lain tentang si anak.
Strategi-strategi coping yang digunakan oleh ER
pastilah dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain
dukungan dari orang-orang terdekat seperti ibu dan rekan-
rekan kerja yang senantiasa mendengarkan keluh kesahnya
dan memberikan saran-saran yang membangun serta
mengurangi beban pikiran ER. Faktor materi dan waktu
pastilah mempengaruhi penggunaan strategi coping yang
dipilih, faktor kepribadian ER sendiri yang terbuka untuk
bercerita dengan orang lain serta mau menerima saran dari
orang lain yang cukup mampu mendukung tindakan
copingnya. Kepribadian ER yang mampu berpikir terbuka
96
juga yang membuat dirinya sadar bahwa tidak semua hal
dapat dipaksakan sesuai dengan harapannya, hal tersebut
yang menjadi salah satu faktor utama menurunnya tingkat
stres yang dialami ER.
Stressor lain pun cukup mempengaruhi strategi yang
dipilih, dan masalah saat menghadapi anak bukanlah satu-
satunya stressor bagi ER. Stressor lain yang menjadi beban
pikirannya adalah pekerjaan di tempatnya bekerja yang
menumpuk dan seringkali ia bawa pulang kerumah,
padahal di rumah pun ia harus mengurus keperluan anak-
anak dan suaminya, hal tersebut menyebabkan pekerjaan
rumah tangga yang lain menjadi terbengkalai. Stressor lain
adalah mengenai kelanjutan studi yang seharusnya bisa ER
ambil namun memiliki anak dengan kebutuhan khusus
justru menghambat karirnya dan membuat ER stres. Hal
lainnya adalah apabila guru di sekolah I sudah bercerita
atau mengeluh yang macam-macam terhadap ER, secara
tidak langsung hal tersebut menambah beban pikiran ER
karena hal tersebut bukan hal yang jarang terjadi, yang pada
akhirnya membuat ER mengalami stres.
ER pun mengaku bahwa strategi coping yang
digunakannya belum efektif sepenuhnya, karena stres
tersebut bisa timbul lagi terutama pada saat mengajari si
anak.
97
3) Hasil Triangulasi
Subjek ER adalah seorang istri dan ibu yang
bertanggung jawab terhadap segala kewajibannya, ER tetap
mau mengurus anaknya sekalipun tugas pekerjaannya sangat
banyak. ER dibantu suaminya seringkali bahu membahu
dalam melakukan pekerjaan seperti urusan rumah tangga dan
urusan anak. Suaminya mengaku bahwa tidak ada
pengelompokkan pekerjaan diantara mereka, sehingga
pengerjaan hal-hal yang berkaitan dengan urusan rumah dan
anak cenderung dikerjakan secara fleksibel.
Suami ER mengatakan bahwa memang ER cenderung
mudah marah dan tugasnya sebagai suami hanya bisa
menenangkan emosinya. Emosi mudah naik dikarenakan
ekspektasi ER terhadap I tidak sesuai yang diinginkannya, di
sisi lain dalam urusan belajar ER seringkali mengalami emosi
apabila I mudah lupa akan apa yang sudah dipelajarinya.
Sekalipun demikian, suaminya mengaku banyak perhatian
yang diberikan oleh ER terhadap I dibandingkan perhatian
yang diberikan oleh dirinya.
Pada siang hari setelah pulang sekolah, I terbiasa hanya
bermain dengan adiknya di rumah. Ayahnya mengatakan
bahwa I bukanlah anak yang rewel , hanya saja berantakan,
terutama dalam mengambil baju di lemari. I adalah anak yang
sering lupa, contohnya saja apabila I diajari sesuatu oleh ER,
98
beberapa menit kemudian I sudah lupa dengan apa yang
dipelajarinya barusan, dan hal ini yang cenderung seringkali
menjadi beban pikiran ER. Untuk mengatasi stresnya, ER
seringkali melakukan hal-hal yang tidak berkaitan dengan
stressornya, seperti mengurusi tanamannya atau tidur, dan
suaminya merasa sama sekali tidak keberatan dengan coping
yang digunakan oleh ER karena dirinya tahu bahwa itu adalah
salah satu cara untuk menenangkan ER.
4) Analisis Kasus Subjek II
ER adalah seorang wanita berumur empat puluh lima
tahun yang memiliki seorang suami dan sudah dikaruniai dua
orang anak. Anaknya yang pertama bernama A (biasa
dipanggil I) berumur sembilan tahun dan mengalami
gangguan konsentrasi dan ADHD ringan, sedangkan anaknya
yang kedua adalah seorang laki-laki berumur lima tahun yang
mengalami speech delay. Suaminya bekerja sebagai
penerjemah yang membuka usahanya di rumah mereka,
sedangkan ER sendiri bekerja sebagai seorang dosen di salah
satu universitas swasta di Semarang. Mereka tidak memiliki
pengasuh anak, oleh karena itu mereka terbiasa membagi
tugas pekerjaan rumah tangga dan urusan anak. Salah satu
alasan suaminya membuka usaha di rumah sendiri agar dapat
mengawasi anak-anaknya, karena ER bekerja di luar rumah
sehingga tidaklah mungkin apabila mereka bekerja di luar
rumah semua.
99
ER adalah seorang istri, ibu sekaligus pekerja yang
tidak mudah menyerah, banyaknya pekerjaan di tempatnya
bekerja tidak membuat dirinya lalai akan tugasnya sebagai istri
dan ibu bagi anak-anaknya, terutama dalam mengusahakan
perawatan I selama ini. Sembilan tahun lalu I lahir dengan
prematur, dan di umurnya yang kedua sudah mulai muncul
gejala-gejala speech delay, ER mengira hanya speech delay
biasa sehingga ER membawa I untuk terapi bicara, tidak
selang lama I memunculkan gejala-gejala lain yang
menunjukkan bahwa dirinya mengalami gangguan konsentrasi
dan ADHD ringan, I tidak bisa diam dalam periode waktu
yang sebentar, dirinya pun tidak menyukai hal-hal yang
bersifat monoton, I lebih suka bermain mobil-mobilan atau
masak-masakan dari pada menonton kartun.
Sebagai seorang psikolog, ER tentunya pernah
menangani kasus seperti anaknya, sehingga ER tidak lagi
kaget terhadap gejala-gejala tersebut, namun ER saat itu tetap
merasa bahwa anaknya baik-baik saja, hanya tidak mau
belajar. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa ER menyadari
gejala yang ditimbulkan anaknya berdampak besar bagi
kehidupan si anak, kemudian ER tidak lagi denial terhadap
dirinya sendiri setelah melihat keadaan anaknya tersebut, dan
membawa anaknya untuk melakukan fisioterapi di Talitakum.
Awalnya ER tidak langsung membawa anaknya untuk terapi,
ER pernah membawa anaknya ke dokter saat masih kecil,
100
namun dirinya merasa tidaklah baik apabila anaknya terus
menerus minum obat, kemudian ER mengakalinya dengan
membawa I melakukan terapi oksigen (hyperboric) namun
lagi-lagi usahanya tidak membuahkan hasil, sampai akhirnya
ia membawa anaknya untuk melakukan fisioterapi sampai
dengan sekarang.
ER menyekolahkan anaknya I di sekolah yang sekarang
karena menurutnya sekolah tersebut adalah sekolah inklusi
dan lagi disana tidak ada aturan harus duduk dikelas serta tidak
adanya PR yang diberikan kepada siswa-siswinya. Sekolah
tersebut sejak anak duduk dikelas satu sampai empat hanya
berfokus pada pengembangan softskill dan moral, barulah di
kelas lima dan enam berfokus pada akademisnya. Hal-hal
tersebutlah yang mendorong ER untuk menyekolahkan
anaknya disana.
Namun sekolah inklusi tersebut bukan berarti langsung
memenuhi harapan ER, justru hal tersebut yang menjadi
stressor lain bagi ER diluar urusan anak. Hubungan ER
dengan para guru disana kuranglah baik, karena menurut ER
guru-guru disana cenderung sering komplain mengenai
keadaan I, padahal menurut ER sekolah alam tersebut adalah
sekolah inklusi namun tenaga pendidiknya tidak menunjukkan
mereka berkualitas sebagai tenaga pengajar di sekolah inklusi.
Hal tersebut yang menjadikan beban pikiran bagi ER.
101
Hubungan ER dengan para tetangga pun tidaklah baik,
dikarenakan para tetangga di lingkungannya tidak mengerti
kondisi anaknya. ER tidak memperbolehkan I untuk bermain
di luar rumah karena I suka menghilang jika dibiarkan pergi,
namun ER tidak melarang anak-anak lain untuk bermain ke
rumahnya. Hal tersebut yang memicu para tetangga untuk
menyuruh ER membiarkan anaknya pergi agar tidak menjadi
anti sosial, padahal mereka tidak mengerti kondisi I, sehingga
ER hanya membawa I ke acara-acara tertentu saja seperti
undangan pernikahan atau perkumpulan ibu-ibu PKK.
Perbedaan lain di temukan dalam hubungan ER dengan
rekan-rekan kerjanya yang justru sangat memahami kondisi
ER, mereka seringkali menjadi tempat berkeluh kesah ER
mengenai keadaan anaknya, mereka juga sering memberikan
pendapat-pendapat yang menurut ER itu sangat membantu.
Hubungan baik pun dimilikinya dengan sang ibu, dimana ibu
menjadi tempat cerita ER apabila suaminya tidak dapat
menjadi pendengar bagi ER, namun bukan berarti hubungan
ER dengan suami buruk. Menurut ER, suaminya dapat
menjadi pendukung dirinya dalam mengurus anak dan
kebutuhan rumah tangga, suaminya dapat memahami kondisi
yang dialami ER terutama apabila ada pekerjaan yang
menumpuk, suaminya dapat memaklumi beban pikiran yang
dimiliki ER. Hanya saja suaminya adalah tipe laki-laki yang
pendiam sehingga kurang dapat bisa diajak bercerita.
102
Hubungan ER dengan anaknya yang kedua pun dapat
dikatakan baik, ER seringkali meminta bantuan T (anaknya
yang kedua) untuk menjaga kakaknya, dan T kerap
menenangkan ER apabila dirinya sudah mulai emosi terhadap
I. ER mengaku bahwa ia cukup berharap kepada T untuk dapat
menjaga kakaknya apabila nanti ER atau suaminya tidak ada.
ER adalah seorang psikolog dimana melihat anak
dengan gejala ADHD bukanlah suatu hal yang baru, namun
memiliki anak dengan gejala-gejala ADHD menjadi stressor
yang baru bagi ER. Susahnya menerima stressor yang baru
menjadi beban tersendiri bagi ER, bukan dalam waktu yang
singkat dirinya dapat menerima anaknya secara utuh. ER
mengaku tidak memiliki kesiapan mental, karena setelah
menikah langsung pisah rumah dengan orang tuanya, hanya
sebulan mengurus suami lalu ER sudah mulai mengandung I,
kemudian melahirkan dan mendapati anaknya lahir prematur
dan mengalami gejala gangguan ADHD, hal tersebut yang
membuat ER belum siap menerima kehadiran anaknya dengan
kondisi demikian. Namun dengan berjalannya waktu, setaun
terakhir ini ER mengaku sudah menerima I dengan
sepenuhnya dan siap untuk menyiapkan segala kebutuhan bagi
masa depan I.
ER mengatakan bahwa sudah ada rencana-rencana
yang dibuat untuk masa depan I, karena ER dan suaminya
merasa yakin bahwa I bisa seperti anak lainnya. ER
103
mengikutkan I dalam kegiatan-kegiatan seperti anak pada
umumnya, I juga diikutkan les mengaji dan Bahasa Arab. ER
juga merencanakan I untuk sekolah sampai tingkat menengah
atas dengan tujuan agar I nanti dapat bekerja ketika sudah
dewasa.
Banyak hal yang membuat dirinya optimis akan masa
depan I, pengalaman yang dimiliki rekan kerjanya yang juga
memiliki anak seperti I menjadi motivasi tersendiri bagi ER,
di sisi lain kegiatan keagamaan membuat dirinya semakin
dikuatkan dan semakin dapat menerima kondisi I. ER adalah
orang yang taat beragama, seringkali dirinya mengikuti
pengajian di lingkungan rumahnya dan dari sanalah ia
mendapatkan banyak pelajaran mengenai jalan hidup yang
diberikan Tuhan, hal tersebut tentunya membawa dampak
positif terhadap pola pikir dan kehidupan ER pribadi. ER pun
mengajari I untuk mengikuti aturan-aturan keagamaan seperti
sholat dan berpuasa.
Sebagai manusia tidaklah heran apabila ER mengalami
perubahan kondisi emosional yang luar biasa. Tak jarang ER
merasa marah, kesal dan kecewa terhadap banyak keadaan
yang harus dihadapinya, hal ini membuat ER merasa sangat
stres. Stressor yang dihadapinya tidak hanya berasal dari anak
namun dari lingkungan luar seperti lingkungan rumah, tempat
bekerja hingga lingkungan sekolah anak. ER mengaku
seringkali dibuat jengkel dan stres apabila sedang mengajari
104
anaknya, susahnya menebak mood belajar I membuat ER sulit
untuk mengajari anaknya akan suatu hal, anaknya seringkali
lupa terhadap hal-hal yang sudah diajari oleh ER, dan hal
tersebut membuat ER emosi. Suaminya pun lebih sering
membela anaknya daripada dirinya.
Stressor lain muncul dari para tetangga yang seringkali
menilai bahwa ER mengurung anaknya sehingga menjadikan
I anak yang anti sosial, padahal para tetangga tidaklah
mengerti tentang kondisi anaknya. Guru-guru di sekolah I pun
menjadi stressor bagi ER, dimana guru-gurunya seringkali
mengeluh mengenai kondisi I yang sulit untuk ditangani
padahal sekolah tersebut adalah sekolah inklusi. ER pun harus
mencari shadow teacher bagi anaknya, belum lagi shadow
teacher yang dimilikinya sekarang terkadang kurang dapat
memahami karakteristik I, hal tersebut terkadang menjadi
beban pikiran tersendiri bagi ER.
Pekerjaan pun terkadang menjadi beban bagi ER,
ketika ER sampai rumah ia pun harus membawa pekerjaannya
ke rumah, belum lagi mengurus anak, dan akhirnya urusan
dapur terbengkalai. ER seringkali merasa bahwa I adalah
beban bagi hidupnya, ER memiliki banyak tujuan yang ingin
ia capai seperti melanjutkan pendidikan S3 namun hal tersebut
terhambat karena keadaan I yang membutuhkan penanganan
khusus, apabila ia mengingat hal tersebut seringkali ia
mengalami stres lagi. Ayahnya pun membuat ER stres apabila
105
sudah membandingkan I dengan sepupu-sepupunya yang lain,
ada rasa sakit hati yang dirasakan oleh ER.
Untuk mengatasi berbagai stressor diatas, ER kerap
melakukan beberapa jenis coping stress. Ketika dulu ekpektasi
terhadap anak tidak terpenuhi, ER seringkali meluapkan
emosinya dengan marah atau mengomel. Namun semakin
bertambahnya tahun, ER mulai dapat menerima keadaan
anaknya, ER pun perlahan menurunkan “standard” nya
terhadap I. Untuk menghadapi tetangga dan para guru yang
membuatnya stres, ER seringkali memilih untuk mengabaikan
omongan mereka karena menurut ER apabila perkataan
mereka semakin dipikirkan, maka akan semakin menjadi
beban pikiran bagi ER. ER pun lebih suka mengurusi
tanamannya bersama I, dan ER juga suka bercerita mengenai
permasalahan anaknya kepada rekan kerja dan ibunya, hal
tersebut membuat dirinya semakin lebih tenang.
Dalam melakukan beberapa strategi coping, faktor
seperti waktu dan tenaga sangatlah mendukung pemilihan
strategi coping. Faktor waktu sangat mendukung ER dalam
bercerita kepada ibu maupun rekan kerjanya. Faktor tenaga
pun mendukung dirinya dalam mencari informasi-informasi
bagi anaknya, dan untuk mengurusi tanamannya di rumah.
Faktor materi pun mendukung dalam melakukan berbagai
usaha terapi dan penggunaan shadow teacher.
106
Alasan ER menggunakan strategi coping seperti di atas
karena ER merasa hal itu bisa mengurangi beban pikirannya
sejauh ini. Kepercayaan yang dimiliki dan dukungan dari
keluarga serta rekan kerja sangat berpengaruh besar bagi ER,
dirinya lebih mudah menerima kondisi I seutuhnya. ER juga
memiliki kepribadian yang cukup terbuka terhadap ibu
maupun rekan kerjanya, sehingga ER tidak malu untuk
bercerita atau meminta pendapat kepada mereka.
Selama sembilan tahun pula ER mengaku melakukan
pergantian coping, dimulai dari melakukan berbagai usaha
terapi, pelepasan emosi (marah atau ngomel), menurunkan
ekspektasi terhadap anak, menerima anak secara utuh,
mengobrol dengan ibu dan rekan kerja, hingga tidak
mempedulikan omongan dari orang lain sudah ER coba.
Dalam beberapa hal memang bisa menghilangkan stres,
namun dalam beberakan kondisi lainnya ER mengaku bahwa
strategi-strategi yang digunakan belumlah efektif untuk
menghilangkan stres yang dimiliki ER.
107
5) Intensitas Tema
Tabel 4.4
Intensitas Tema Subjek II
Tema Koding Intensitas
Stressor hal yang baru SB +++
Prediksi terhadap stressor PS +++
Pengaruh kepercayaan KM +++
Penerimaan terhadap stressor PTS +++
Perasaan negatif PN +++
Emotion focused coping EFC +++
Problem focused coping PFC +++
Sumber materi, tenaga, waktu,
problem solving skill, social skill,
dukungan sosial mendukung
MTW ++
Stressor lain SL +++
Komitmen/keyakinan menghadapi
stressor
KS ++
Faktor pendukung penentuan coping
(materi, tenaga, waktu)
FP ++
Dukungan sosial DS +++
Faktor kepribadian FK +
Pergantian coping PC +++
Efektivitas strategi coping EC ++
Keterangan:
+ : Intensitas rendah
++ : Intensitas sedang
+++ : Intensitas tinggi
108
Sk
em
a 4
. D
inam
ika
Copin
g S
tres
s E
R
+
Pri
mary
Ap
pra
isal
1.
Str
esso
r ad
alah
h
al
yan
g b
aru
2.
Pre
dik
si an
ak m
enja
di
lebih
bai
k
3.
Kep
erca
yaa
n
mem
pen
gar
uhi
dal
am
men
gh
adap
i st
ress
or
4.
Men
erim
a an
ak
seutu
hn
ya
Sec
on
dary
Ap
pra
isal
1.
Adan
ya
stre
s ti
nggi,
p
eras
aan
mar
ah, k
esal
kec
ewa,
dan
sed
ih
2.
San
gat
yak
in
mam
pu
men
gat
asi
stre
ssor
3.
Sum
ber
w
aktu
, m
ater
i dan
tenag
a/fi
sik
men
dukung
tindak
an c
opin
g
4.
Mem
ilik
i su
mb
er
pro
ble
m
solv
ing sk
ill,
so
cial
skil
l, dan
soci
al
support
yan
g
cukup
men
dukung
5.
Em
oti
on
focu
sed
copin
g:
dis
tract
ion,
posi
tive
reappra
isal,
em
oti
onal
dis
charg
e,
resi
gned
acc
epta
nce
, w
ishfu
l th
inki
ng,
den
ial,
hid
ing f
eeli
ngs,
see
king
mea
nin
g
6.
Pro
ble
m
focu
sed
co
pin
g:
pla
nfu
ll
pro
ble
m
solv
ing,
dir
ect
act
ion,
ass
ista
nce
seek
ing,
info
rmati
on s
eeki
ng
Rea
ppra
isal
N
ew
Ap
pra
isal
Fin
al A
pp
rais
al
Ad
anya
pen
yusu
nan
dan
per
gan
tian
stra
tegi
co
pin
g y
ang
lain
m
ener
ima
anak
, m
enu
run
kan
st
an
da
rd,
tid
ak
ped
uli
den
gan
om
on
gan
ora
ng
lain
,
men
guru
si t
anam
an
Fak
tor
Inte
rnal
- C
opin
g y
ang b
iasa
dil
akukan
mem
arah
i an
ak,
men
yal
ahkan
an
ak,
tidur,
ber
ceri
ta p
ada
tem
an d
an i
bu
-Mem
ilik
i kep
ribad
ian
yan
g
terb
uk
a
Fak
tor
Ek
stern
al
-Adan
ya
mat
eri,
te
nag
a, dan
wak
tu
yan
g
mem
pen
gar
uhi
pem
ilih
an
stra
tegi
copin
g
yan
g b
aru
-adan
ya
dukun
gan
dar
i
kel
uar
ga
dan
tem
an-t
eman
-Str
esso
r la
in:
guru
dis
ekola
h
seri
ng k
om
pla
in,
beb
an k
erja
di
tem
pat
ker
ja,
om
ongan
teta
ngga.
Tid
ak
Efe
kti
f M
elak
ukan
Str
ateg
i Coping
109
3. Subjek 3
a. Identitas
Nama : S
Umur : 54 tahun
Alamat : Jalan Banteng Jangli, Semarang
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu rumah tangga dan penjual es
Nama anak : I
Umur : 13 tahun
Kelas : 5 SD
Sekolah : SLB
Anak ke 3 dari 3 bersaudara
b. Hasil Observasi dan Wawancara
1) Hasil Observasi
Pada tanggal 27 Agustus peneliti berkunjung ke rumah
subjek S sesuai rencana, tepat pukul 18.30 peneliti sampai di
rumah subjek S setelah mencari-cari alamat rumahnya. Peneliti
disambut ramah oleh subjek S. Subjek S memiliki postur tubuh
yang tidak terlalu tinggi dan agak berisi, saat itu subjek
menggunakan baju lengan panjang berwarna putih biru, celana
panjang hitam dan penutup rambut berwarna cokelat.
Peneliti kemudian segera dipersilahkan masuk oleh subjek
S, peneliti duduk di dalam ruang tamu bersama dengan I (anak
dari subjek S), M (kakak I), dan teman peneliti. Peneliti
disuguhi es yang biasa dijual oleh subjek S, sambil penelilti
110
menunggu subjek S untuk melayani pembeli peneliti
memperhatikan seisi rumah. Rumah subjek tidaklah besar, di
bagian depan ada warung es yang dimiliki oleh S, kemudian
didalamnya terdapat ruang tamu, dua ruang kamar dan dapur
kecil.
Peneliti tidak menggunakan teknik wawancara yang terlalu
terlihat sebagai sesi wawancara, tetapi peneliti hanya mengajak
ngobrol subjek S seputar I sehingga subjek terpancing untuk
menjawab pertanyaan yang dibutuhkan oleh peneliti. Subjek S
adalah orang yang suka sekali bercerita, sehingga saat
menjawab pun tidak ada keraguan, dan banyak obrolan yang
dilontarkan, namun dalam membahas gangguan yang dimiliki
I, subjek S kurang mampu menjawab karena kurangnya
pendidikan dan informasi yang dimiliki.
Peneliti mengobrol bersama dengan anaknya yang kedua
juga, sehingga pertanyaan yang sulit dijawab oleh S akan
dijawab atau ditambahkan oleh anaknya, M. M pun tidak
memiliki keraguan dalam menjawab, terlihat sangat santai dan
terbuka terhadap keadaan adiknya, apalagi karena dirinya
banyak mengawasi keadaan I baik dalam hal akademis maupun
tingkah laku di rumah. Setelah selesai mengobrol, peneliti
berpamitan pulang pada subjek sekitar pukul 20.30.
111
2) Hasil Wawancara
a) Demografi
S adalah seorang wanita berumur 54 tahun yang
sudah menjadi single parent. Sejak ditinggal oleh
suaminya, S bekerja membuka warung es di rumahnya
untuk membiayai kebutuhan keluarga kecilnya. S yang
ditinggal oleh suaminya beberapa tahun lalu memiliki tiga
orang anak laki-laki. Anaknya yang pertama sudah
berkeluarga dan bekerja di angkatan laut di Surabaya,
anaknya yang kedua bekerja di Semarang, sedangkan
anaknya yang ketiga (I) masih berumur 13 tahun dan
bersekolah di SLB.
I adalah anak S yang mengalami gangguan ADHD
dan IDD, beruntung S memiliki M, anaknya yang kedua,
untuk membantu mengasuh I. Kesehariannya S mengantar
anaknya bersekolah kemudian dilanjutkan dengan
berjualan es di rumahnya, pada siang harinya terkadang S
menjemput I, namun karena faktor usia I biasanya dijemput
oleh ojek yang dipesan ibunya.
Hubungan S dengan anak-anaknya dapat dikatakan
dekat, S pun mendapat banyak dukungan dari kedua
anaknya untuk mengurus I. Anaknya yang pertama pun
beberapa kali membantu keuangan S. Hubungan S dengan
saudara-saudara kandungnya pun baik, contohnya S
dibantu dalam hal mencari sekolah yang baru untuk I. Para
112
tetangga pun memiliki hubungan yang baik dengan S, I
juga dibiarkan bermain dengan anak-anak
dilingkungannya.
b) Riwayat Anak dan Usaha Yang Pernah Dilakukan
S tidak banyak bercerita mengenai riwayat I saat
kecil, S mengatakan bahwa sejak proses melahirkan
semuanya berjalan baik-baik saja. S menyadari ada yang
berbeda dengan anaknya saat I tidak naik kelas sebanyak
dua kali saat di sekolah lamanya. Awalnya S mengira
karena anaknya kurang pintar, namun dalam hal membaca
dan menulis pun I ternyata sangat lemah. Di sisi lain,
anaknya pun sering kali diganggu (dibully) oleh teman-
temannya saat di sekolah yang lama karena dianggap
berbeda, dan diperlakukan kurang adil oleh pihak sekolah.
Hal tersebut yang membuat S akhirnya memutuskan untuk
memindahkan anaknya ke sekolah luar biasa Widya Bhakti.
Di sekolahnya yang sekarang I memiliki nilai
akademik yang baik, mungkin karena I sempat bersekolah
di sekolah umum. Di kelas, I tidak bisa diam dan selalu
terlihat bergerak serta berjalan-jalan, I sering menggerak-
gerakkan kaki, badan dan kepalanya, seringkali
mengganggu temannya dan berbicara, baik itu menjawab
pertanyaan maupun memberikan komentar. Di rumah,
perilaku I tidak semenonjol di sekolahnya, namun I
memiliki konsentrasi yang kurang, dalam hal menatap
113
lawan bicara pun I tidak bisa, karena kurangnya
pengetahuan S menganggap hal tersebut bukanlah masalah.
Hal ini justru disadari oleh M, kakak I. M
mengatakan bahwa adiknya memang memiliki konsentrasi
yang lemah, baik dalam hal akademis maupun non
akademis. M pun menyadari lemahnya kemampuan
membaca dan menulis I, sehingga dulu I tidak dapat
mengimbangi teman-temannya di sekolah yang lama. Oleh
karena hal itu, M berusaha untuk membantu I agar I dapat
membaca serta menulis. M membelikan buku-buku agama
maupun PPKN, kemudian setiap I selesai mengaji M
menyuruh I untuk membaca ringkasan materi yang ada di
buku, sehari sekali. Hal ini dilakukannya secara bergantian
antara membaca dan menulis, agar semuanya seimbang.
M mengatakan bahwa di rumah pun I kurang
mampu mengerjakan pekerjaan rumah karena
terhambatnya konsentrasi yang dimiliki I. Namun M tetap
mengajari adiknya dengan kegiatan dasar, seperti
menyuruh I untuk menyapu dan mengambil makanan
sendiri.
c) Dukungan dari Orang Lain dan Dampak Terhadap
Hubungan Sosial
Menjadi seorang single parent bagi ketiga anaknya
bukanlah hal yang mudah untuk dijalani oleh S, apalagi
ketika ditinggal oleh suaminya, S harus banting tulang
114
untuk menghidupi kedua anaknya, terutama I karena ia
masih bersekolah dan membutuhkan banyak biaya.
Beruntungnya S memiliki anak, keluarga dan orang-orang
disekelilingnya yang selalu mendukung dirinya dalam
menghadapi permasalahan-permasalahan.
S merasa mendapat dukungan yang besar dari anak-
anaknya, anaknya yang pertama sesekali mengirimkan
uang untuk S dan adik-adiknya. M pun selalu membantu
segala pekerjaan S, mulai dari mengurus I, membantu
bekerja dan membantu menjaga warung. M tidak pernah
mengeluh memiliki adik yang berbeda dari anak lainnya, M
justru selalu berusaha agar adiknya bisa bertumbuh dan
berkembang lebih baik lagi. Banyak usaha yang sudah
dilakukan M selama ini demi I, melihat S yang sudah paruh
baya membuat M tidak tega apabila S harus mengantar dan
menjemput I di sekolah setiap hari. S mengaku bahwa saat
suaminya masih ada, S sering bercerita kepada suaminya,
bergantian untuk memarahi dan melindungi I, serta
bersama-sama memperjuangkan I.
Tidak hanya dukungan dari keluarga kecilnya, S pun
merasakan dukungan yang besar dari saudara-saudara
kandungnya. Saat S menghadapi masalah ketika anaknya
diusir secara halus oleh pihak sekolah, S harus segera
mencari sekolah yang baru untuk I, saat itu adiknya yang
tinggal tidak jauh dari rumahnya membantu S untuk
115
mencarikan sekolah. Dapat disimpulkan bahwa adiknya
pun peduli terhadap kondisi I. Saat peneliti ke rumah pun,
adik beserta istrinya banyak menanyakan kondisi I
terutama untuk kedepannya.
S pun mengaku dirinya mendapat dukungan dari
lingkungan tetangganya, S merasa tidak ada tetangga yang
mengolok-ngolok I seperti di sekolah. I dibiarkan bermain
bebas dan mengaji bersama anak-anak tetangga yang lain.
Tetangga-tetangga pun sering memberikan S pekerjaan
tambahan, seperti menyuci atau menyetrika baju agar S
mendapatkan penghasilan tambahan. S merasa senang
sekali karena banyak orang-orang yang peduli terhadap
dirinya.
Hubungan baik pun dimiliki S dengan orang tua
murid di sekolah I yang sekarang. Banyak informasi
mengenai pendidikan selanjutnya yang dapat ditempuh
oleh anak-anak seperti I, sehingga S pun sudah dapat
merencanakan kedepannya I akan bagaimana. Berbeda
halnya dengan hubungan S dengan sekolah I yang lama,
sekalipun S selalu membayar SPP tepat waktu, S tetap
diperlakukan tidak adil oleh pihak sekolah, bahkan S
mengaku bahwa I diusir secara halus oleh pihak sekolah. S
sempat mengalami stres, karena dirinya tidak memahami
kenapa I harus diperlakukan berbeda.
116
d) Primary Appraisal
S memang tidak pernah membayangkan kondisi I
akan berbeda dari kakak-kakaknya. Melihat kondisi
akademis I dan diperlakukan tidak adil sejak di sekolahnya
yang lama, membuat S tidak patah semangat
memperjuangkan hak anaknya untuk bersekolah. S dengan
dibantu oleh adiknya, mencari sekolah yang lebih baik dan
lebih tepat untuk I. S sendiri mengaku memiliki pendidikan
yang rendah, sehingga dirinya kurang dapat memahami
stressor yang dihadapinya.
S tetap merasa optimis bahwa kedepannya I akan
menjadi anak yang lebih baik lagi, oleh karena itu S sudah
mencari informasi-informasi mengenai kelanjutan sekolah
I. S pun berharap bahwa setelah lulus pelatihan nanti, I
dapat bekerja. Tidak hanya dalam hal akademis, S pun tetap
mengikutkan I untuk belajar mengaji di masjid, menyuruh
I mengerjakan pekerjaan rumah dan membiarkan I bermain
dengan teman-temannya, hal ini dikarenakan S melihat I
akan menjadi anak yang sama dengan anak-anak yang
lainnya.
S pun dapat dikatakan sebagai orang yang taat
beragama, S sering melakukan kegiatan keagamaan seperti
shalat rutin dan datang ke pengajian. S pun termasuk orang
yang sangat mudah untuk bersyukur, diakuinya bahwa
ketika dirinya melihat orang-orang dipinggir jalan yang
117
tidak memiliki kondisi fisik yang lengkap, S sangat
bersyukur bahwa I hanya kurang dalam kognitifnya, I
masih memiliki anggota tubuh yang lengkap. S banyak
melihat kondisi orang-orang yang jauh lebih buruk dari
dirinya maupun anak-anaknya. Oleh karena hal itu, S selalu
bersyukur dan menerima kondisi I secara utuh serta
semakin semangat untuk menjadikan I anak yang lebih baik
lagi.
e) Secondary Appraisal
S mengalami perubahan hidup sejak ditinggal oleh
suaminya, bertambahnya stressor-stressor yang harus
dihadapi pun tidak dapat dihindari oleh S. Tidak lagi hanya
menjadi ibu rumah tangga, S pun mencari pekerjaan kesana
kemari untuk tambahan biaya anaknya. Tingkat stres yang
dimiliki cukup mempengaruhi kondisi psikis dirinya. S
mengaku sering merasa stres dan capek terhadap masalah-
masalah yang dihadapinya.
S merasa dirinya memiliki solusi tersendiri untuk
mengatasi stres dan masalah yang dimiliki, S seringkali
memarahi anaknya, tidak hanya melalui kata-kata namun
juga tindakan. S mengaku sering melempar barang seperti
sandal, kayu atau pentungan,memang tidak terkena I
namun cukup untuk melampiaskan emosi yang dimilikinya
(emotional discharge). M pun cukup memahami rasanya
jadi S, M pun kadang kesal dan capek saat mengajari I yang
118
sulit untuk mengerti pelajaran. S juga mengaku sering
melakukan hal-hal yang tidak berkaitan dengan anaknya
saat sedang stres, seperti mengambil waktu untuk tidur
(distraction).
Saat S merasa diperlakukan tidak adil oleh sekolah I
yang dulu, S pun sempat mendatangi guru dan kepala
sekolahnya untuk meminta penjelasan, namun karena
kekesalan yang dimiliki sudah tinggi ditambah kondisi
akademis I yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan
sekolah disana akhirnya S memutuskan untuk
memindahkan I dan mencari sekolah yang baru (direct
action). Saat ini S pun sering menerima banyak pekerjaan
untuk mengatasi masalah perekonomiannya, seperti
menyetrika, mencuci, berjualan apa saja yang penting dapat
menghasilkan uang (direct action). S pun sering meminta
informasi dari orang tua-orang tua murid di sekolah I yang
sekarang untuk kelanjutan akademik anaknya (information
seeking). Sekalipun S seringkali merasa stres namun di sisi
lain S selalu merasa bersyukur atas apa yang Tuhan berikan
terhadap dirinya dan anak-anaknya (resigned acceptance
dan positive reappraisal).
S merasa tindakan coping yang dilakukannya
selama ini didukung dari materi, waktu dan tenaga yang
dimiliki S. S berpikir selama ada biaya yang dimiliki maka
anaknya pun bisa bersekolah lebih baik lagi dan itulah yang
119
dapat mengurangi stres yang dialami S, karena selama ini
stressor terbesar yang dihadapi adalah masalah akademis
anak. S juga merasa bahwa orang-orang disekelilingnya
dapat membantu S saat mengalami masalah baik secara
emosional maupun finansial.
f) Reappraisal
Setelah melakukan primary dan secondary appraisal,
subjek S mengakumulasi semua informasi yang S dapat dari
kedua penilaian tersebut, mengenai apakah stressor tersebut
adalah hal yang baru dan bersifat mengancam, keyakinan
yang dimiliki S dalam menghadapi stressor untuk jangka
panjang, kemudian sumber-sumber yang dimiliki S seperti
waktu, tenaga, kurangnya materi, dukungan sosial, problem
solving skill yang dimiliki. S juga memikirkan pilihan-
pilihan coping yang biasa dilakukan selama ini untuk
mengurangi stres yang dimiliki seperti memukul anak, tidur,
dan bersyukur. Hal ini yang akhirnya akan menentukan final
appraisal yang akan dilakukan oleh S.
g) Final Appraisal
Dari banyaknya ketersediaan pilihan coping, S
sekarang memilih untuk memindahkan anaknya ke sekolah
yang baru, tindakan coping stres yang telah dilakukan oleh
S tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang pertama
tentunya faktor dukungan dari orang-orang sekitar, tanpa
disadari anak-anak adalah motivasinya untuk mencari uang
120
setiap harinya, demi membayar SPP I subjek S rela bekerja
kesana kemari dan menjual apapun asalkan dapat
menghasilkan uang. Anak-anaknya pun selalu mendukung
apapun yang menjadi pekerjaan S selama pekerjaan
tersebut halal. Hal lainnya adalah orang tua murid di
sekolah I yang terbiasa berbagi informasi dengan S,
sehingga S tidak terlalu khawatir dalam menata masa depan
anaknya.
Faktor yang kedua adalah materi, tenaga dan waktu
yang selalu membantu S dalam melakukan strategi
copingnya, baik itu tidur, bercerita atau melakukan hal-hal
yang tidak berkaitan dengan stressor.
Faktor ketiga adalah stressor lain. Masalah anak
bukanlah satu-satunya stressor yang dihadapi oleh S,
namun ada hal lain yaitu masalah perekonomian dan
menjadi single parent. Ditinggal pasangan bukanlah hal
yang mudah bagi siapapun termasuk S, terbiasa berbagi
keluh kesah dengan suami sekarang S merasa sendiri
sekalipun S memiliki anak, terlebih lagi S pun harus
banting tulang bekerja kesana kemari untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya. Beruntungnya banyak orang yang
mau mempekerjakan S untuk mencuci atau menyetrika, S
pun membuka usaha warung es untuk membantu
perekonomian keluarganya.
121
Di sisi lain, S merasa pihak sekolah I yang dulu
cukup membuatnya stres karena S sangat berharap anaknya
dapat bersekolah disana, namun pihak sekolah seringkali
membuat dirinya merasa diperlakukan tidak adil. S
mengaku selalu membayar uang SPP tepat waktu agar I
tidak malu, namun pihak sekolah seakan meminta S untuk
membawa I keluar dari sekolah tersebut.
Beruntungnya S cenderung memiliki kepribadian
yang tegas, selama itu untuk kebaikan anak-anaknya maka
S akan mengusahakan terus menerus seperti contohnya saat
mendatangi pihak sekolah karena merasa anaknya
diperlakukan tidak adil. S merasa coping yang
digunakannya kali ini efektif dalam mengatasi stres yang
dimilikinya.
3) Hasil Triangulasi
Subjek S adalah seorang ibu yang tegas, disiplin serta
pekerja keras, bukanlah hal yang mudah bagi S saat setelah
ditinggal oleh suaminya. S bukanlah orang yang mudah
menyerah dan menerima keadaan hidup begitu saja, dirinya
selalu berusaha dan mengusahakan yang terbaik terutama bagi
anak-anaknya. Semua pekerjaan dan usaha pernah S lakukan
untuk membantu biaya kebutuhan keluarganya. S diketahui
memiliki hubungan yang baik dengan anak-anak dan saudara
kandungnya. S pun memiliki hubungan yang baik dengan para
tetangga dan orang tua murid.
122
Masalah yang dihadapi subjek S adalah kondisi anak dan
masalah ekonomi. Kondisi akademis anak yang seringkali
membuat S stres dan kesal, apalagi keadaan I yang memiliki
konsentrasi yang kurang. Masalah ekonomi yang biasanya
membuat S bingung untuk mengatasinya, namun M sekarang
sudah bekerja untuk membantu S sehingga beban S semakin
ringan.
S pun dibantu M dalam mengurus I, seperti masalah
akademis M selalu membantu adiknya untuk mau belajar
membaca dan menulis, sekalipun M tahu konsentrasi I lemah
dan seringkali membuat M kesal dan capek dalam mengajari
I. Minimnya pengetahuan dan pendidikan yang dimiliki S
membuat M harus membantu S dalam mengurusi I.
4) Analisis Kasus Subjek III
Subjek ketiga dalam penelitian ini adalah S, seorang
single parent berusia 54 tahun yang memiliki tiga orang anak
laki-laki. Anak yang pertama sudah berkeluarga dan tinggal di
Surabaya, anaknya yang kedua adalah M seorang karyawan di
UNIPPD dan anaknya yang ketiga adalah I berusia 13 tahun
mengalami ADHD dan IDD. Hubungannya dengan anak-
anaknya dekat, karena S sudah ditinggal suaminya beberapa
tahun lalu. S pun tinggal terpisah dengan saudara-saudaranya,
hanya satu adiknya yang kini tinggal berdekatan dan menjadi
tetangganya juga.
123
Minimnya pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki S
membuat S awalnya tidak menyadari ada yang berbeda dari I.
S merasa anaknya baik-baik saja hingga ketika anaknya mulai
tidak naik kelas sejak kelas satu SD. Ketidaknaikan anaknya
membuat S menyadari ada yang berbeda dari I. I mengalami
tidak naik kelas sebanyak dua kali, dan S menyadari bahwa
konsentrasi anaknya lemah, namun hanya sekedar mengatahui
hal tersebut. S tidak mengerti gangguan yang dialami oleh
anaknya, sehingga M yang lebih mencari tahu soal I.
S dan M menyadari bahwa I kurang dalam hal membaca
dan menulis, maka dari itu M mencoba untuk membantu I
dalam hal akademis. Setiap selesai mengerjakan pekerjaan
rumah, I selalu membawanya ke M untuk diperiksa atau
dibantu jika ada kesulitan. Setiap selesai mengaji pun M selalu
menyuruh I untuk membaca ringkasan materi yang ada di
dalam buku-buku yang dibelinya, kemudian menuliskan
ringkasan materi tersebut keesokan harinya.
M merasa dahulu adiknya susah diatur soal perilaku,
seperti tidak bisa diam, kurang mampu mengerjakan pekerjaan
rumah dan sulit untuk memperhatikan orang lain yang
berbicara pada I. Dalam hal kemampuan membaca dan
menulis pun cukup sulit untuk ditangani, namun M tidak
menyerah terhadap kondisi adiknya. Kondisi I yang
mengalami dua gangguan bukanlah hal yang mudah untuk
diatasi oleh S dan M sejak I kecil, namun seiring
124
bertambahnya usia, perilaku hiperakativitas-impulsivitas yang
dimiliki I pun semakin membaik, karena I lebih mampu
menyesuaikan perilakunya dengan orang-orang disekitarnya.
Untuk sekarang, S dan M lebih berfokus dalam penanganan
masalah akademis I, baik dalam hal membaca maupun
menulis.
Hubungan S dengan anak-anaknya pun dekat, sekalipun
anaknya jauh di Surabaya namun kontak antara S dengan
anaknya yang pertama tidaklah putus, bahkan anaknya yang
pertama beberapa kali mengirimkan uang bulanan.
Hubungannya dengan M pun baik, dimana M seringkali
membantu S dalam beberapa hal seperti bekerja dan mengurus
I. M pun selalu bersedia membantu S melihat umur S yang
sudah tidak lagi kuat secara fisik, di sisi lain S pun kurang
memahami keadaan I sehingga M harus menggantikannya
dalam mengurus hal akademis. Hubungannya dengan I pun
sangat baik, I yang membuat S semangat dalam bekerja sejak
melihat ada perubahan dari dalam diri I.
Hubungan S dengan saudara kandungnya baik, dimana
adiknya senang membantu S seperti dalam hal mencarikan I
sekolah yang baru, dalam keseharian pun mereka saling tolong
menolong karena mereka pun hidup berdekatan. Hubungan
baik pun dimiliki S dengan tetangga-tetangganya, mereka
sering membantu S secara tidak langsung seperti memberikan
S pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan. S pun
125
membiarkan I untuk bermain dengan anak-anak di
lingkungannya.
Kondisi I yang memiliki konsentrasi dan intelektual yang
lemah tentunya menjadi suatu hal yang baru bagi S dimana
kedua anaknya yang lain dirasa baik-baik saja. Keadaan ini
tentunya menjadi beban tersendiri bagi S yang seringkali
membuatnya stres. Beruntungnya S adalah wanita yang kuat
dan pantang menyerah, hal ini tidak membuatnya patah
semangat dan pesimis. S selalu berusaha yang terbaik bagi
akademis anaknya karena S merasa anaknya dapat seperti
anak-anaknya yang lain.
Merasa I dapat menjadi lebih baik S tentunya sudah
merencanakan langkah-langkah yang akan diambilnya
mengenai pendidikan I, karena S mau I bisa menjadi anak
yang pintar dan dapat bekerja ketika sudah dewasa. S juga
mengikutkan I dalam belajar mengaji di masjid dan
melibatkannya dalam mengerjakan pekerjaan rumah. S selalu
merasa bersyukur terhadap apa yang dialami oleh I, karena S
seringkali melihat banyak orang di luar sana yang memiliki
hidup jauh lebih buruk daripada I.
Meninggalnya suami menyisakan banyak kesedihan di
dalam diri S. S harus berjuang menjadi single parent, harus
bekerja dan harus menghadapi berbagai stressor sendirian. Di
sisi lain S pun harus memikirkan biaya untuk kehidupan I
karena perjalanannya masih sangat panjang, M selalu
126
membantu S dalam mencari nafkah sekalipun penghasilannya
tidak seberapa namun cukup untuk membantu S. Dengan
melihat banyaknya perubahan dalam diri I semakin membuat
S semangat untuk mengatasi beban hidupnya.
Saat melihat akademis I yang kurang, S mengaku sering
mengalami stres akibatnya S sering memarahi I dan
melemparnya dengan sandal atau memukul kayu ke pintu
(emotional discharge), ketika sudah jengkel dengan I juga
biasanya S mengambil waktu untuk tidur atau melakukan hal-
hal yang tidak berkaitan dengan I (distraction) karena menurut
dirinya hal ini cukup mampu meredam emosi yang
dimilikinya. Puncak stres yang dimiliki S adalah ketika I sudah
tidak diperbolehkan bersekolah di sekolah lamannya, S sempat
merasa sangat marah dan mendatangi pihak sekolah untuk
meminta penjelasan, namun karena tahu dirinya tidak dihargai
maka S memutuskan untuk memindahkan I ke SLB (direct
action).
S juga kerap mencari pekerjaan tambahan untuk dapat
membiayai sekolah I, S rela bekerja kesana kemari seperti
menyuci dan menyetrika untuk mendapatkan penghasilan
tambahan (direct action). Hal yang paling dapat membuat S
menerima anaknya dengan segala kondisi adalah bersyukur
(resigned acceptance), S selalu bersyukur I masih memiliki
anggota tubuh yang lengkap sehingga S berharap kedepannya
I juga dapat bekerja (wishful thinking).
127
Dari segi waktu, tenaga dan materi S merasa sangat
didukung untuk melakukan strategi coping yang dipilih.
Faktor tenaga sangat mendukung S dalam mencari nafkah
untuk keluarganya. Faktor waktu pun mendukung dirinya
untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dirasa dapat
meredam emosi S, membantu S dalam mencari informasi
mengenai pendidikan bagi anaknya. Faktor materi pun
mendukung S untuk menyekolahkan I di sekolah yang baru.
Stressor lain yang dihadapi S untuk saat ini adalah
masalah ekonomi. Stressor ini sudah cukup lama ia hadapi
sebenarnya namun semakin terasa sejak suaminya meninggal.
S bekerja kesana kemari, menjual barang apapun yang dapat
menghasilkan uang sehingga akhirnya S membuka warung S
di rumahnya sehingga S masih dapat mengurus keluarganya.
Alasan yang membuat S memilih beberapa strategi
coping diatas adalah karena dengan melakukan strategi-
strategi tersebut dapat meminimalisir bahkan menghilangkan
stres yang dimilikinya. S pun merasa beruntung bahwa
keluarga dan orang-orang disekitarnya dapat mendukung
tindakan coping yang dipilihnya, contohnya saat S tidur dan
melakukan hal-hal yang tidak berkaitan dengan stressornya,
maka anak-anaknya tidak akan menggangg waktunya. S
pernah melakukan pergantian coping stres, dimana saat dulu S
seringkali memarahi I karena hal akademis, kemudian S
merubah strateginya untuk mengganti sekolah I dan hal
128
tersebut dirasa efektif untuk menghilangkan stres yang
dimilikinya. Saat S merasa strategi yang digunakan sudah
efektif, S sudah tidak pernah stres lagi terhadap kondisi I, dan
dapat melanjutkan aktivitas sehari-hari seperti biasanya.
5) Intensitas Tema
Tabel 4.5
Intensitas Tema Subjek III
Tema Koding Intensitas
Stressor hal yang baru SB +++
Prediksi terhadap stressor PS +++
Pengaruh kepercayaan KM ++
Penerimaan terhadap stressor PTS +++
Perasaan negatif PN ++
Emotion focused coping EFC +++
Problem focused coping PFC +++
Sumber materi, tenaga, waktu,
problem solving skill, social skill,
dukunga sosial mendukung
MTW +++
Stressor lain SL +
Komitmen/keyakinan menghadapi
stressor
KS ++
Faktor pendukung penentuan coping
(materi, tenaga, waktu)
FP ++
Dukungan sosial DS +++
Faktor kepribadian FK ++
Pergantian coping PC ++
Efektivitas strategi coping EC +++
Keterangan:
+ : Intensitas rendah
++ : Intensitas sedang
+++ : Intensitas tinggi
129
+
P
rim
ary
Ap
pra
isal
1.
Str
esso
r ad
alah
h
al
yan
g b
aru
2.
Kura
ng
mem
aham
i
stre
ssor
yan
g d
ihad
api
kura
ngn
ya
pen
did
ikan
3.
Pre
dik
si an
ak m
enja
di
lebih
bai
k
4.
Kep
erca
yaa
n
mem
pen
gar
uhi
dal
am
men
gh
adap
i st
ress
or
5.
Men
erim
a an
ak
seutu
hn
ya
Sec
on
dary
Ap
pra
isal
1.
Adan
ya
stre
s , per
asaa
n m
arah
,
kes
al d
an s
edih
2.
San
gat
yak
in
mam
pu
men
gat
asi
stre
ssor
3.
Sum
ber
w
aktu
, m
ater
i dan
tenag
a/fi
sik
men
dukung
tindak
an c
opin
g
4.
Mem
ilik
i su
mb
er
pro
ble
m
solv
ing sk
ill,
so
cial
skil
l, dan
soci
al
support
yan
g
sangat
men
dukung
5.
Em
oti
on
focu
sed
copin
g:
dis
tract
ion,
posi
tive
reappra
isal,
em
oti
onal
dis
charg
e,
resi
gned
acc
epta
nce
, w
ishfu
l th
inki
ng
6.
Pro
ble
m focu
sed c
opin
g:
dir
ect
act
ion,
confr
onti
ve
ass
erti
on,
info
rmati
on
see
king
Rea
ppra
isal
N
ew
Ap
pra
isal
Fin
al A
pp
rais
al
Adan
ya
pen
yusu
nan
dan
per
gan
tian
stra
tegi
copin
g yan
g la
in
m
enca
ri
dan
pin
dah
ke
sekola
h y
ang b
aru
Fa
kto
r In
tern
al
Copin
g yan
g bia
sa dil
akukan
mem
arah
i an
ak,
tidur,
ber
syukur,
m
emar
ahi
pih
ak
sekola
h
-Mem
ilik
i kep
ribad
ian
yan
g
tidak
mudah
men
yer
ah
Fak
tor
Ek
stern
al
-Adan
ya
mat
eri,
te
nag
a,
dan
wak
tu
yan
g
mem
pen
gar
uhi
pem
ilih
an
stra
tegi
copin
g
yan
g b
aru
-adan
ya
dukun
gan
d
ari
kel
uar
ga
dan
tet
angga
-Str
esso
r la
in:
suam
i
men
inggal
, per
ekono
mia
n,
tidak
dit
erim
a ole
h
sekola
h
yan
g l
ama
E
fek
tif
Mel
akukan
Str
ateg
i Coping
1.
Psi
kolo
gis
ber
fun
gsi
kem
bal
i
akti
vit
as
lanca
r
2.
Fis
iolo
gis
leb
ih b
aik
Sk
em
a 5
. D
inam
ika
Copin
g S
tres
s S