BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Orientasi …
Transcript of BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Orientasi …
58
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Orientasi Kancah dan Persiapan Penelitian
1. Orientasi Kancah
Ikatan Perempuan Positif Indonesia atau yang lebih dikenal dengan IPPI
merupakan jaringan nasional yang diprakarsai oleh dan untuk wanita yang
hidup dengan HIV maupun yang terkena dampak HIV. IPPI mencakup area
kerja di 25 provinsi, salah satunya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
IPPI DIY berdiri pada tanggal 10 Agustus 2010 atas dasar kebutuhan dari
perempuan dengan HIV dan yang terdampak akan terpenuhinya hak sebagai
warga negara pada umumnya. IPPI DIY beranggotakan perempuan dengan
HIV (90%) dan terdampak HIV (10%) yang berdomisili di DI Yogyakarta
dan berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda, diantaranya Ibu
Rumah Tangga, Pekerja Seks, Pemakai Narkoba serta Mahasiswa.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ketua IPPI DIY, anggota IPPI saat ini
berjumlah kurang lebih sekitar 50 orang.
Tujuan berdirinya IPPI DIY ialah sebagai wadah untuk pemberdayaan
perempuan dengan HIV dan yang terdampak dalam aspek kesehatan, sosial,
pendidikan dan ekonomi menuju kesejahteraan, meningkatkan kualitas hidup
dan memberikan dukungan kepada perempuan dengan HIV dan orang yang
terdampak lainnya agar mampu mengembangkan diri, berperan aktif dalam
upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, serta bersama-sama
59
melakukan advokasi terkait isu–isu perempuan dengan HIV dan yang
terdampak. IPPI memiliki visi yaitu terwujudnya perempuan dengan HIV dan
terdampak yang berdaya, berkualitas hidup tinggi dan setara dengan warga
negara Indonesia lainnya dalam bidang kesehatan, sosial, pendidikan dan
ekonomi khususnya di Wilayah DIY. Adapun misi dari IPPI adalah untuk
memperkuat kemampuan perempuan dengan HIV dan kemampuan
perempuan yang terkena dampak untuk memberdayakan diri dalam bidang
kesehatan, sosial, pendidikan, dan ekonomi, berjejaring dan melakukan upaya
advokasi, berkoordinasi dengan lembaga terkait untuk memberikan informasi
yang benar terkait HIV dan AIDS, serta peningkatan keterampilan untuk
mencapai kualitas hidup.
Menurut keterangan Ketua IPPI DIY, anggotanya tidak memiliki kegiatan
rutin lagi semenjak berhentinya dukungan dana dari KPA Kota Yogyakarta.
Namun demikian, sejauh ini IPPI DIY sudah mencapai beberapa keberhasilan
diantaranya sebagian anggota IPPI DIY sudah mampu megakses layanan
kesehatan secara mandiri, hampir sebagian besar anggota IPPI DIY yang
ingin memiliki anak sudah bisa mengakses program PPIA (Pencegahan
Penularan Ibu Anak), terbangunnya kemitraan IPPI DIY dengan stakeholder
dan lembaga terkait, tergabungnya IPPI DIY dalam tim Advokasi anggaran di
DIY, SDM yang mumpuni dalam SRHR serta diproduksinya film edukasi
mengenai perempuan dengan HIV/AIDS dengan judul “Selalu Ada Matahari”
dan “Red Ribbon Angle”.
60
2. Persiapan Penelitian
a. Persiapan Administrasi
Persiapan yang dilakukan peneliti terkait administrasi diawali dengan
kunjungan peneliti ke rumah Ketua IPPI DIY untuk survei menanyakan
terkait prosedur yang harus dilalui jika hendak melakukan penelitian di
IPPI DIY. Proses administrasi selanjutnya yang dilakukan peneliti ialah
pembuatan surat izin penelitian sesuai prosedur yang berlaku di Fakultas
Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia. Surat
izin penelitian yang ditujukan kepada Ketua IPPI DIY ditandatangani
oleh Dosen Pembimbing Skripsi dan Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu
Sosial Budaya. Surat izin penelitian yang telah siap kemudian diantarkan
kepada Ketua IPPI DIY untuk ditindaklanjuti dan diberikan izin
mengambil data penelitian di LSM tersebut.
b. Persiapan Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah skala
kepatuhan minum obat Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8).
Skala ini diadaptasi dari skala kepatuhan minum obat yang diterjemahkan
ke dalam Bahasa Indonesia oleh Manuaba dan Yasa (2015) berdasarkan
skala MMAS-8 yang disusun oleh Morisky (1986). Skala digunakan
untuk mengukur kepatuhan minum obat subjek mencakup tiga aspek
yang dikemukakan oleh Morisky (1986) yakni forgetting, carelessness
dan stopping the drug when feeling better, or starting the drug when
feeling worse.
61
Penelitian ini menggunakan tryout terpakai dikarenakan minimnya
kesediaan subjek penelitian yang merupakan Ibu Rumah Tangga dengan
HIV Positif untuk terlibat dalam penelitian sebab sebagian besar dari
populasi masih tidak berkenan untuk membuka statusnya. Skala
kepatuhan minum obat Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8)
yang memuat 8 item dikenakan pada 31 pasien penyakit kronik yang
terdiri dari 20 orang Ibu Rumah Tangga dengan HIV positif dan 11 orang
pasien diabetes mellitus tipe 2. Hasil analisis aitem menunjukkan skor
corrected item-total correlation yang berkisar antara 0,233 hingga 0,687
dengan skor croncbach alpha sebesar 0,740. Nilai tersebut menunjukkan
validitas yang positif dengan reliabilitas yang dapat diterima, sehingga
peneliti dapat langsung menggunakan skala tersebut tanpa adanya aitem
yang digugurkan.
c. Persiapan Intervensi
Modul terapi yang digunakan dalam penelitian ini mengadaptasi dan
memodifikasi modul Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif yang telah
digunakan pada penelitian sebelumnya, yaitu pada penelitian Maulana
(2017). Bagian yang dimodifikasi oleh peneliti adalah terkait dengan
alokasi waktu, penambahan kegiatan diskusi terkait tugas rumah dan
penjelasan subkegiatan dengan lebih detail dan beralur. Hasil adaptasi
dan modifikasi modul terapi tersebut membutuhkan penilaian dan
masukan dari profesional. Penilaian tersebut dilakukan oleh 2 orang
psikolog klinis yang paham tentang Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif
62
dan pernah mempraktikkan terapi yang memuat unsur religiusitas selama
berprofesi sebagai psikolog klinis.
Hasil professional judgments dari kedua psikolog klinis tersebut
adalah modul Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif yang dimodifikasi oleh
peneiti dinilai cukup baik. Salah seorang psikolog yang memberikan
penilaian profesionalnya menyarankan untuk menambahkan video dalam
presentasi agar lebih menarik. Adapun psikolog lainnya memberikan
masukan untuk menambahkan kualifikasi fasilitator berkaitan dengan
kemampuan membaca Al-Qur’an serta menambahkan beberapa
informasi pada sesi pengenalan terapi agar subjek mendapat gambaran
yang lebih jelas dan komprehensif terkait proses terapi yang akan
dijalankan. Peneliti pun menambahkan masukan-masukan tersebut pada
modul yang digunakan.
Setelah modul melalui proses professional judgments, selanjutnya
dilakukan uji coba modul sebelum diberikan kepada subjek penelitian.
Uji coba modul diberikan kepada 3 orang mahasiswi psikologi.
Berdasarkan hasil uji coba modul secara umum, disimpulkan bahwa
materi yang disusun dalam modul terapi dapat diaplikasikan dan
tersampaikan dengan baik, sehingga para peserta uji coba modul
memberikan umpan balik yang positif. Tabel di bawah ini memuat rerata
hasil uji coba modul pada tiap aspek penilaiannya:
63
Tabel 5. Hasil uji coba modul per aspek
Aspek Kuantitatif (Rerata
skor maksimal 4)
Apakah tujuan terapi dapat ditangkap/ dipahami
jelas? 3
Apakah tujuan terapi sesuai dengan materi yang
disampaikan oleh pemateri? 3,67
Menurut Anda, apakah materi yang disampaikan
dalam terapi ini menarik? 3
Apakah pemateri menyampaikan materi terapi
dengan bahasa yang mudah dipahami? 3,33
Apakah materi pelatihan disampaikan dalam
jumlah waktu yang ideal? 2,33
Berdasarkan hasil tersebut, diketahui bahwa setiap aspek penilaian
memiliki rerata skor yang cukup baik. Aspek yang memperoleh rerata
terendah ialah penilaian yang memuat idealitas waktu penyampaian
materi. Selain itu, terdapat beberapa masukan yang diberikan peserta
untuk dipertimbangkan sebagai evaluasi agar terapi yang akan diberikan
pada subjek penelitian dapat dipersiapkan dengan lebih baik. Adapun
hasil uji coba modul per peserta dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 6. Hasil uji coba modul per peserta
Peserta Kuantitatif (Rerata skor
maksimal 4) Kualitatif
1 3,4 Ditambahkan video yang berkaitan
dengan terapi/video motivasi/video
tentang cerita Islam.
2 2,8 Waktu yang lebih diperpanjang
untuk penyampaian materi.
64
3 3 Jumlah waktu pelatihan bisa
disingkatkan menjadi dua hari dan
dipadatkan jamnya di hari yang
sama agar lebih efisien dan
ekonomis. Segala sesuatu bisa
dikomunikasikan dan diingatkan
lagi kepada subjek agar maksud
dan tujuan dapat tersampaikan.
Berdasarkan hasil tersebut, diketahui bahwa dua dari tiga peserta
memberikan masukan terkait penambahan waktu dalam penyampaian
materi dan masukan agar jumlah pertemuan dipersingkat menjadi dua
hari. Namun setelah bertemu dengan para subjek penelitian untuk
mendiskusikan jadwal terapi, subjek mengaku tidak dapat memastikan
untuk datang pada pertemuan yang memiliki jeda panjang antar
pertemuan, meskipun pertemuan hanya berjumlah dua kali atau
dijadwalkan satu kali pada tiap minggu. Subjek mengaku lebih nyaman
jika ia diminta untuk mengosongkan jadwal dalam satu minggu dan
pertemuan dilakukan tiap hari atau berturut-turut dalam satu minggu
tersebut. Oleh karena itu, waktu dan jumlah pertemuan tetap
dilaksanakan sesuai rencana semula. Adapun terkait penambahan video
presentasi telah diupayakan oleh peneliti, namun pada saat proses di
lapangan berlangsung, penggunaan alat bantu proyektor bermasalah
sehingga materi yang ditayangkan menjadi buram dan tidak terlihat.
Fasilitator pun kemudian memutuskan untuk tidak perlu menggunakan
proyektor atau penayangan materi.
65
d. Pemilihan Fasilitator dan Observer
Pemilihan fasilitator dan observer dilakukan sesuai dengan beberapa
kriteria yang telah ditetapkan oleh peneliti. Terapi Al-Fatihah Reflektif
Intuitif ini dipandu oleh psikolog klinis yang sudah berpengalaman
menangani pasien/klien dengan berbagai permasalahan, salah satunya
pasien HIV/AIDS. Selain itu, psikolog tersebut juga berpengalaman
dalam pemberian Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif. Psikolog nantinya
akan bertugas sebagai fasilitator untuk memandu subjek penelitian dalam
melaksanakan proses Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif.
Selama proses terapi zikir berlangsung, psikolog akan ditemani oleh 4
orang observer/pengamat. Dua pengamat merupakan mahasiswa
psikologi Universitas Islam Indonesia dan dinyatakan lulus dalam mata
kuliah Observasi dan Wawancara, sedangkan dua lainnya merupakan
sarjana psikologi. Peran pengamat dalam penelitian ini adalah
mengamati/mengobservasi kondisi subjek selama proses terapi
berlangsung sesuai panduan observasi yang telah dibuat oleh peneliti.
e. Seleksi Subjek Terapi
Pelaksanaan screening dilakukan kepada anggota Ikatan Perempuan
Positif Indonesia (IPPI) DIY yang dimulai pada tanggal 30 Maret hingga
7 April 2019. Pengambilan data dilakukan dengan mengikuti jadwal
pengambilan obat anggota IPPI DIY di Puskesmas Gedongtengan pada 30
Maret 2019. Namun karena sedikitnya jumlah anggota IPPI DIY yang hadir
pada pertemuan tersebut, peneliti kemudian melanjutkan proses screening
66
dengan mengunjungi satu persatu rumah anggota IPPI DIY yang sesuai
dengan kriteria subjek penelitian, serta bersedia open status dan terlibat
dalam penelitian.
Seleksi subjek terapi dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan kriteria
yang sudah ditetapkan oleh peneliti yaitu Ibu Rumah Tangga dengan HIV
Positif yang beragama Islam, berusia antara 28-48 tahun, berada di
Daerah Istimewa Yogyakarta serta memiliki skor kepatuhan minum obat
yang rendah dan sedang. Berdasarkan hasil screening, Ibu Rumah
Tangga dengan HIV Positif yang memenuhi kriteria dan dapat dijadikan
sebagai subjek penelitian berjumlah 19 orang, namun dikarenakan terdapat
beberapa alasan berkaitan dengan kesediaan untuk mengikuti tahapan
penelitian lebih lanjut, maka hanya 8 orang Ibu Rumah Tangga dengan
HIV Positif yang dapat diikutsertakan sebagai subjek penelitian.
Setelah mendapatkan hasil screening terkait dengan jumlah subjek
penelitian, peneliti kemudian membagi rata subjek menjadi 2 kelompok
penelitian, yakni kelompok kontrol dan kelompok eksperimen, sehingga
masing-masing kelompok berjumlah 4 orang. Selanjutnya, peneliti
menghubungi secara personal masing-masing subjek kelompok
eksperimen untuk menyepakati terkait dengan jadwal pertemuan terapi.
Tabel 7. Distribusi Kategorisasi Skor Kepatuhan Minum obat
Rentang
Skor
Kategori Jumlah
X < 6 Rendah 8
6 ≤ X < 8 Sedang 11
X = 8 Tinggi 1
67
B. Pelaksanaan Penelitian
1. Building Rapport
Building rapport dilakukan peneliti untuk membangun hubungan yang
baik pada subjek penelitian agar para subjek penelitian dapat merasa nyaman
untuk terbuka dan kooperatif selama mengikuti rangkaian tahap penelitian.
Peneliti melakukan building rapport tidak hanya kepada Ketua dan Wakil
Ketua IPPI DIY, namun juga kepada masing-masing subjek yang ditemui
oleh peneliti, baik ketika proses permohonan izin, screening,
penandatanganan lembar kesediaan (inform consent) dan persetujuan kontrak
pelaksanaan pelatihan Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif dengan subjek
eksperimen. Peneliti melakukan building rapport dengan memperkenalkan
diri secara terbuka, membicarakan hal-hal ringan, sharing atau diskusi terkait
topik yang sedang hangat diperbincangkan, hingga turut mendengarkan keluh
kesah subjek terkait permasalahan yang dihadapinya, baik yang berhubungan
dengan status HIV subjek maupun hal lain yang tidak berkaitan. Peneliti
mendapatkan gambaran secara umum terkait kondisi psikis, sosial,
religiusitas, dan perilaku Ibu Rumah Tangga dengan HIV Positif selama
menjalani proses pengobatan ARV.
2. Pelaksanaan Pengukuran Awal/ Prates (Pretest)
Pengukuran awal atau pretest dilakukan pada 4 orang subjek kelompok
eksperimen dan 4 orang subjek kelompok kontrol. Pengukuran tersebut
ditujukan untuk mengetahui tingkat kepatuhan minum obat subjek penelitian
sebelum Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif diberikan kepada kelompok
68
eksperimen. Pengukuran awal ini menggunakan skala kepatuhan minum obat
MMAS-8 yang telah diisi oleh kedelapan subjek penelitian ketika screening
atau seleksi subjek penelitian pada 30 Maret hingga 7 April 2019. Hal
tersebut dilakukan sebab jarak antara screening dan jadwal pertemuan terapi
yang berdekatan, sehingga pengisian ulang skala dikhawatirkan akan bias
atau dipengaruhi oleh proses belajar. Berikut tabel yang memuat rincian
subjek kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dalam penelitian ini :
Tabel 8. Rincian Subjek Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Kelompok Nama Subjek JK Skor Pretest
Kepatuhan
Minum obat
Kategori
Eksperimen
L P 7 Sedang
AS P 7.75 Sedang
NV P 5.75 Rendah
K P 7 Sedang
Kontol
N P 7 Sedang
AA P 4.5 Rendah
NH P 4.75 Rendah
D P 4.75 Rendah
3. Pelaksanaan Intervensi Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif
Pelaksaaan intervensi Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif pada kelompok
eksperimen dilakukan sebanyak 4 kali pertemuan. Tiap pertemuan terdiri dari
1 hingga 3 sesi. Pelaksanaan terapi dilakukan di Pusat Psikologi Terapan
Universitas Islam Indonesia pada tanggal 8, 9, 10 dan 11 April 2019.
69
Fasilitator dalam terapi ini merupakan psikolog profesional yang memiliki
kapasitas dalam memberikan intervensi tersebut. Adapun penjelasan
mengenai setiap pertemuan Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif dapat dilihat
pada penjabaran di bawah ini:
a. Pertemuan pertama
Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif pada pertemuan pertama ini dihadiri
oleh peneliti, 4 orang subjek penelitian sebagai peserta terapi yakni L, AS,
NV dan K, 1 orang psikolog yang berperan sebagai terapis atau fasilitator,
serta 4 orang observer yang tiap orangnya mengobservasi satu orang
peserta yang berbeda satu sama lain dan konsisten dilakukan hingga
pertemuan terapi selesai. Pertemuan pertama Terapi Al-Fatihah Reflektif
Intuitif yang memuat 3 sesi terapi dilaksanakan pada hari Senin, 8 April
2019, berlokasi di Pusat Psikologi Terapan UII. Pertemuan ini awalnya
disepakati untuk dimulai pada pukul 08.30 WIB, namun pada
pelaksanaannya terlambat dimulai atau mundur dari jadwal yang telah
disepakati sebelumnya. Pertemuan pertama ini baru dimulai pada pukul
09.30 WIB karena keterlambatan 3 orang peserta datang ke lokasi
intervensi. Keterlambatan dikarenakan berbagai alasan, seperti ada
keperluan mendadak, jalanan yang macet serta kesulitan atau sempat
tersesat saat mencari lokasi pertemuan. Satu orang peserta berinisial L
yang datang tepat waktu, dipersilahkan oleh peneliti untuk menikmati
snack terlebih dahulu sambil mengisi lembar presensi.
70
Setelah semua peserta lengkap, peneliti kemudian memberikan snack
serta mempersilahkan peserta yang belum mengisi lembar presensi untuk
menandatangani lembar tersebut terlebih dahulu. Pertemuan diawali
dengan pengantar dari peneliti yang berisi ucapan terimakasih atas
kesediaan serta kehadiran peserta terapi pada pertemuan pertama tersebut.
Peneliti juga memohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi saat
beberapa peserta tersesat ketika mencari lokasi pertemuan. Selanjutnya,
peneliti memperkenalkan tim penelitiannya yakni 4 orang pengamat yang
diperkenalkan sebagai teman-teman peneliti yang akan membantu jalannya
proses pelatihan serta 1 orang fasilitator yang diperkenalkan sebagai
seorang psikolog yang akan memandu atau memimpin jalannya proses
pelatihan selama beberapa pertemuan ke depan. Peneliti kemudian
memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya, namun salah
seorang peserta berkata bahwa untuk sementara belum ada yang ingin
ditanyakan. Oleh karena itu, peneliti selanjutnya menyerahkan forum
kepada fasilitator untuk dapat membuka sesi terapi.
Bulding rapport dilakukan oleh fasilitator kepada peserta dengan
memperkenalkan diri lebih lanjut diselingi dengan humor-humor ringan
yang diutarakan fasilitator untuk mencairkan suasana. Peserta pun tampak
mulai nyaman dan dapat menyesuaikan diri dengan baik. Fasilitator
kemudian menjelaskan kembali fungsi dari informed consent yang sudah
diisi dan disetujui subjek sebelum hari pelaksanaan terapi dilaksanakan.
Fasilitator juga mengajak peserta untuk berdiskusi dalam menyepakati
71
kembali terkait waktu dimulainya pertemuan agar tidak terjadi
keterlambatan seperti yang telah terjadi pada pertemuan ini. Sebelum
memulai penyampaian materi, fasilitator mencoba melakukan ice breaking
berupa senam otak bersama para peserta serta tim peneliti untuk
mempersiapkan fokus peserta dan agar semakin terjalin keakraban antar
peserta, peneliti, para pengamat dan fasilitator.
Fasilitator kemudian memulai penyampaian materi terkait sesi
pengenalan Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif yang diawali dengan doa
bersama. Setelahnya, fasilitator memperkenalkan Terapi Al-Fatihah
Reflektif Intuitif kepada para peserta sesuai dengan panduan yang ada
pada modul intervensi. Para peserta pun tampak memperhatikan dengan
seksama, ditunjukkan dengan eye contact peserta yang selalu tertuju pada
fasilitator saat sedang menyampaikan materi serta ditunjukkan dari
beberapa peserta yang memberikan umpan balik dengan mengangguk-
angguk, berpendapat dan menanggapi pernyataan yang dilontarkan oleh
fasilitator. Fasilitator mempersilahkan peneliti untuk membagikan Buku
Diari Hatiku kepada para peserta sebagai buku pegangan selama terapi,
yang berisi materi serta lembar tugas rumah. Fasilitator kemudian
membimbing peserta untuk mengisikan identitasnya pada Buku Diari
Hatiku dan menjelaskan fungsi dari buku tersebut. Setelah selesai
menyampaikan materi pada sesi pengenalan Terapi Al-Fatihah Reflektif
Intuitif, fasilitator mempersilahkan peserta untuk bertanya serta
menanyakan kepada peserta terkait materi yang telah dijelaskan
72
sebelumnya untuk memastikan peserta paham akan penjelasan yang
diberikan. Subjek berinisial AS menjawab pertanyaan fasilitator dengan
lantang, adapun subjek NV tampak sesekali berbisik kepada subjek L yang
duduk di sebelahnya, sedangkan subjek K tampak sibuk mencoret-coret
Buku Diari Hatiku miliknya sambil mendengarkan jawaban teman-
temannya.
Pada sesi kedua yang telah memasuki bagian dari inti terapi, yaitu
refleksi dan pemaknaan ayat pertama surah Al-Fatihah, fasilitator
mengajak para peserta yang belum dalam keadaan ber-wudhu untuk
mengambil wudhu terlebih dahulu. Peneliti pun mengantarkan para peserta
ke tempat wudhu yang letaknya tidak jauh dari ruangan terapi. Setelah para
peserta ber-wudhu dan telah kembali ke ruangan, fasilitator mengajak
peserta untuk duduk dengan posisi yang nyaman, ber-istighfar memohon
ampun kepada Allah, melakukan proses tawadhu’ serta memulai dengan
bacaan isti’adza dan basmalah. Fasilitator kemudian membimbing peserta
untuk membaca surah Al-Fatihah, mengajak untuk melakukan refleksi
serta penghayatan makna ayat pertama surah Al-Fatihah sesuai panduan
yang ada pada modul intervensi. Keempat subjek terlihat mengikuti proses
dengan baik. Salah seorang peserta berinisial NV tampak kurang fit karena
selama proses terapi berlangsung mengenakan masker, seringkali terbatuk-
batuk dan merasa kedinginan meskipun pendingin ruangan telah diatur
dengan suhu yang cukup. Namun demikian, subjek NV beserta ketiga
subjek lainnya cukup tenang dalam mempraktikkan Terapi Al-Fatihah
73
Reflektif Intuitif sambil memejamkan mata dan membaca dengan lirih.
Ada pula subjek AS yang dengan fokus membaca Buku Diari Hatiku
terkait dengan makna ayat surah Al-Fatihah yang tertulis pada buku
tersebut. Setelah menyampaikan makna dari ayat pertama surah Al-
Fatihah, fasilitator menanyakan hal yang dipikirkan dan dirasakan peserta
setelah membaca surah Al-Fatihah dengan mengetahui makna bacaan ayat
pertamanya. Peserta satu per satu menjawab pertanyaan fasilitator dengan
mengaitkan ayat pertama surah Al-Fatihah tersebut dengan kisah
hidupnya.
Subjek AS yang berinisiatif menjawab pertama kali menunjukkan nada
suara yang bergetar, namun tidak sampai menangis, ketika bercerita
perihal kisah hidupnya. Begitu pula subjek K yang tidak menangis namun
tampak berkaca-kaca ketika menceritakan pengalaman hidupnya. Pada
kesempatan ini, subjek K juga mengakui secara terang-terangan bahwa ia
menganut kepercayaan tradisional Jawa, yakni kejawen dan memiliki cara
tersendiri untuk sembahyang. Adapun dua peserta lainnya yakni NV dan L
tampak menangis tersedu-sedu saat menceritakan pengalaman hidupnya.
Ketika bercerita, subjek NV agak kesulitan karena kondisi bibirnya yang
memiliki celah bibir (labioschisis), namun demikian subjek NV tetap
menceritakan pengalaman hidupnya dengan perlahan dan dengan sangat
terbuka menyampaikan cerita-cerita yang sangat privasi sambil mendalami
ceritanya dan berurai air mata. Peneliti pun menghampiri subjek NV dan
menepuk-nepuk pundaknya. Hal yang sama dilakukan oleh subjek L yang
74
dengan panjang lebar menceritakan kisah hidupnya sambil menangis.
Subjek K dan AS pun turut menitikkan air mata ketika mendengar cerita
hidup subjek L, sedangkan subjek NV yang berada di sebelah subjek L
menepuk-nepuk ringan subjek L untuk menenangkannya.
Keempat subjek dapat menghubungkan makna ayat Al-Fatihah dengan
cerita hidupnya dengan cukup baik, meskipun pada awalnya subjek L
tampak bingung dan fasilitator pun mengulangi pertanyaan tersebut
dengan bahasa yang lebih sederhana, hingga akhirnya subjek L dapat
menjawab dengan jawaban yang padat meskipun membutuhkan waktu
yang cukup lama untuk menyiapkan jawabannya. Fasilitator pun dapat
menanggapi jawaban serta cerita masing-masing peserta dengan baik dan
menarik kesimpulan dari jawaban masing-masing peserta peserta tersebut
dibantu dengan kata kunci-kata kunci dari jawaban-jawaban peserta yang
dituliskan oleh co-fasilitator di papan tulis.
Pada sesi berikutnya, yakni sesi ketiga yang membahas ayat kedua
surah Al-Fatihah, fasilitator kembali membimbing peserta terapi untuk
mengulangi pola yang sama dengan sesi sebelumnya. Pola tersebut
meliputi pembacaan surah Al-Fatihah yang dipandu oleh fasilitator,
penjelasan terkait makna ayat kedua surah Al-Fatihah, serta kemudian
melakukan konseling pada peserta terkait refleksi dan penghayatan makna
ayat kedua Al-Fatihah berkenaan dengan pengalaman hidup peserta.
Namun demikian, materi yang menjelaskan terkait makna ayat
ditambahkan dengan uraian terkait dialog antara Allah dan hamba-Nya
75
yang terkandung dalam ayat ini. Pada sesi ini, peserta dapat menjawab
dengan lebih tenang dan tanggap. Beberapa peserta tampak melanjutkan
cerita yang sama dengan yang telah diceritakannya saat sesi kedua, namun
disesuaikan dengan makna ayat kedua surah Al-Fatihah. Fasilitator pun
kembali menarik kesimpulan berdasarkan kata kunci yang dituliskan di
papan tulis oleh co-fasilitator atas jawaban-jawaban para peserta.
Selanjutnya, fasilitator menutup sesi dengan meminta peserta untuk
memberikan 1 kata yang menggambarkan kesan para peserta terhadap
Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif.
Peserta tampak cukup antusias mengikuti proses terapi pada pertemuan
pertama ini. Semua peserta kooperatif dan sangat terbuka dalam
menyampaikan hal-hal yang dipikirkan maupun yang dirasakannya.
Bahkan keempat peserta yang memang sudah saling mengenal sebelumnya
ini seringkali turut memberikan kesan dan pesan atas pernyataan peserta
lainnya saat konseling bersama fasilitator. Salah seorang peserta yakni K,
tampak dapat membantu fasilitator untuk memancing peserta lainnya agar
berpartisipasi aktif dalam diskusi. Setelah sesi ketiga selesai yang
mengartikan berakhirnya pertemuan pertama, fasilitator memberikan
apresiasi kepada para peserta dan mengajak untuk berdoa bersama.
Selanjutnya, fasilitator memberikan kesempatan kepada peneliti untuk
langsung menjelaskan terkait tata cara pengerjaan tugas rumah yang akan
diberikan. Peneliti pun mengambil alih forum dan memberikan penjelasan
terkait tugas rumah, yakni membaca surah Al-Fatihah minimal 3 kali
76
selepas shalat maghrib, isya dan subuh. Para peserta mendengarkan dengan
seksama dan sesekali bertanya untuk memastikan pemahamannya terkait
tugas rumah yang diberikan. Peneliti pun kemudian menutup pertemuan
pertama pada pukul 12.00 WIB dan mengingatkan kembali kepada para
peserta untuk hadir di pertemuan selanjutnya dan membawa kembali Buku
Diari Hatiku.
b. Pertemuan kedua
Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif pertemuan kedua dilaksanakan di
tempat yang sama yakni Pusat Psikologi Terapan UII pada hari Selasa, 9
April 2019. Pertemuan ini dihadiri oleh peneliti, fasilitator, 4 orang
pengamat serta 4 orang peserta terapi yang merupakan subjek penelitian
eksperimen. Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif pada pertemuan kedua ini
terdiri dari 2 sesi yaitu pembahasan ayat ketiga surah Al-Fatihah dan
pembahasan ayat keempat surah Al-Fatihah.
Pertemuan kedua ini disepakati untuk dimulai pukul 11.00 WIB, akan
tetapi baru dimulai pukul 11.45 WIB sebab ada satu orang peserta yang
terlambat. Peserta yang terlambat, yakni NV, mengaku keterlambatannya
disebabkan oleh motornya yang mogok. Awalnya NV hampir menyerah
atau berniat tidak datang saja dan mengkomunikasikan kendalanya kepada
peneliti via whatsapp, peneliti pun kemudian menawarkan untuk
menjemput subjek, namun kemudian subjek NV mengkonfirmasi bahwa
akan tetap mengusahakan datang dan tidak perlu dijemput. Adapun peserta
yang telah datang yakni L, K dan AS dipersilahkan oleh peneliti untuk
77
menikmati snack dan mengisi lembar presensi terlebih dahulu. Fasilitator
yang juga telah datang lebih awal pun mengajak ketiga subjek untuk
mengobrol santai sementara menunggu kedatangan subjek NV.
Setelah subjek NV tiba ke lokasi pertemuan, peneliti menyambut
kedatangan subjek. Pertemuan kedua dimulai setelah seluruh peserta
dipastikan telah mendapatkan snack dan mengisi lembar presensi.
Pembukaan dilakukan oleh peneliti dengan menanyakan kabar dan kondisi
dari keempat peserta. Selanjutnya, peneliti langsung mempersilahkan
fasilitator untuk memulai sesi terapi. Fasilitator pun menyapa dengan
salam dan memimpin doa untuk mengawali sesi terapi pada pertemuan
kedua ini. Berikutnya, fasilitator meminta peserta mengumpulkan Buku
Diari Hatiku untuk dapat diperiksa lembar kerjanya. Fasilitator
mengarahkan peserta sambil bercanda seolah-olah berperan sebagai
seorang guru SD yang akan memeriksa buku PR murid-muridnya.
Beberapa peserta menanggapi dengan candaan dan beberapa lainnya hanya
ikut tertawa. Salah seorang peserta yakni NV sambil tertawa kecil
kemudian mengatakan bahwa ia tidak mengerjakan PR-nya. Ketika
fasilitator menanyakan alasan yang menyebabkan NV tidak mengerjakan
tugas rumahnya, NV menerangkan bahwa hal tersebut disebabkan terdapat
beberapa kegiatan atau aktivitas yang dilakukannya pada waktu-waktu
yang ditetapkan untuk mengerjakan tugas rumah. Fasilitator kemudian
mempersilahkan NV untuk me-review kembali materi atau hal berkesan
yang masih diingat pada pertemuan kemarin. Subjek NV dapat mengingat
78
dengan baik materi yang telah dibahas pada pertemuan sebelumnya dan
mengungkapkan kesan positif yang dirasakannya.
Selanjutnya, fasilitator meminta ketiga peserta lainnya untuk secara
bergiliran menceritakan apa saja yang dirasakan selama menerapkan
Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif di rumah serta kesan yang didapat dari
pertemuan sebelumnya. Ketiga peserta kemudian bergantian menceritakan
kesan yang diperoleh dari pertemuan pertama serta hal-hal yang dirasakan
dan yang terjadi selama mengerjakan tugas rumah tersebut. Rata-rata
peserta mengungkapkan bahwa perasaan lebih tenang, nyaman dan
bersyukur dirasakan ketika menerapkan Terapi Al-Fatihah Reflektif
Intuitif.
Cerita unik kemudian datang dari subjek L dan K yang sama-sama
mengalami peristiwa yang dapat dikatakan sebagai musibah, yakni jatuh
dari motor ketika dalam perjalan pulang dari Pusat Psikologi Terapan UII
di pertemuan pertama. Kedua subjek tersebut dengan santai dan sambil
tertawa menceritakan pengalamannya saat jatuh dari motor yang terjadi
karena menghindari motor di depannya yang berjalan sendiri tanpa
pengendara. Pernyataan dari subjek L dan K tersebut kemudian
mengundang gelak tawa forum. Kejadian tersebut menjadi penyebab
subjek K berjalan dengan menyeret kaki kirinya dan meminta izin untuk
meletakkan sebelah kakinya tersebut di atas kursi yang ada di depannya
untuk diluruskan. Namun demikian, subjek L dan K mengaku banyak
hikmah yang dapat dipetik dari kejadian tersebut dan dapat dihubungkan
79
dengan materi yang diperoleh pada pertemuan sebelumnya. Beberapa
peserta lainnya menanggapi sikap subjek K dengan pujian karena subjek K
tetap menepati janjinya untuk datang pertemuan meskipun dengan kondisi
kakinya yang sakit. Begitu pula fasilitator yang juga menilai positif
tindakan subjek K sebagaimana yang diungkapkan peserta lain serta
tindakan subjek L yang tidak mengeluh atau menyalahkan subjek K yang
memboncengnya.
Fasilitator kemudian menyimpulkan apa yang diceritakan oleh masing-
masing peserta. Selanjutnya, fasilitator mengevaluasi tugas rumah yang
diberikan dengan menanyakan apakah ada kesusahan/ kendala dalam
menerapkan dan proses pengisian tugas rumah. Subjek L mengaku tidak
mengalami kendala yang berarti, namun hanya mampu membaca Al-
Fatihah selepas shalat maghrib, isya dan subuh masing-masing satu kali
saja. Adapun subjek K dan AS sama-sama lupa membaca surah Al-Fatihah
selepas shalat maghrib. Subjek K mengaku alasannya adalah karena
badannya terasa lelah dan pegal setelah mengalami kecelakaan, sehingga
tugas rumah yang dikerjakan setelah shalat maghrib terlewatkan.
Sedangkan subjek AS beralasan bahwa AS terlalu asik atau hanyut dalam
perbincangan dengan anak-anaknya yang sering dilakukan saat setelah
melaksanakan shalat maghrib. Subjek AS pun meminta maaf kepada
peneliti yang telah mengingatkan para subjek terkait tugas rumah via
whatsapp.
80
Sebelum memulai tahapan inti pada sesi terapi pertemuan ini, yakni
pembahasan makna ayat ketiga dan keempat surah Al-Fatihah, fasilitator
menawarkan kepada peserta untuk break sejenak dan menunaikan ibadah
shalat zuhur. Para peserta pun setuju dan dua orang peserta yakni subjek
NV dan L yang tidak dalam keadaan berhadas ikut shalat zuhur berjamaah
bersama peneliti dan observer. Adapun subjek AS dan K yang sedang
berhalangan, tetap menunggu di ruangan bersama beberapa observer
lainnya, namun subjek AS tetap ikut ber-wudhu bersama subjek NV dan L
agar dapat melaksanakan terapi nantinya dalam keadaan ber-wudhu.
Adapun subjek K melakukan tayamum karena kondisi kakinya yang sulit
digerakkan untuk berjalan.
Usai istirahat shalat zuhur, fasilitator kemudian mengawali terapi
dengan mengajak peserta untuk ber-istighfar memohon ampun kepada
Allah, melakukan proses tawadhu’ serta memulai dengan bacaan isti’adza
dan basmalah. Fasilitator kemudian membimbing peserta untuk membaca
surah Al-Fatihah sesuai panduan yang ada pada modul intervensi. Peserta
terlihat lebih tenang dan fokus dengan memejamkan mata dan
menundukkan kepala, serta mengikuti dengan baik panduan dari fasilitator.
Bahkan subjek NV dan L tampak menengadahkan tangannya selayaknya
sedang berdoa. Fasilitator kemudian mengajak untuk melakukan refleksi
serta penghayatan makna ayat ketiga surah Al-Fatihah. Masing-masing
peserta kemudian menceritakan pikiran dan perasaannya setelah
mengetahui makna dan dialog yang terkandung pada ayat ketiga surah Al-
81
Fatihah serta mencoba menghubungkan peristiwa yang terjadi dalam
hidupnya dengan ayat tersebut. Kejadian kecelakaan yang dialami subjek
K dan L menjadi topik hangat yang dibahas. Bahkan peserta lain yakni AS
dapat mengaitkan peristiwa yang dialami K dan L tersebut sesuai dengan
konteks ayat ketiga. Adapun subjek NV pada pertemuan kali ini juga
dengan terbuka menceritakan pengalamannya yang bersifat privasi.
Namun meskipun ceritanya cukup sensitif, subjek NV dapat menceritakan
dengan lebih tenang atau tidak menangis. Subjek NV pun sudah mulai
membuka maskernya, bahkan melepaskan masker yang digunakannya
ketika bercerita.
Setelah tiap peserta menceritakan pengalamannya, fasilitator kemudian
menarik kesimpulan atas masing-masing cerita peserta. Setelah itu,
fasilitator kemudian juga menanyakan kepada peneliti dan para observer
terkait pengalaman hidup yang dapat diceritakan untuk saling berbagi
inspirasi. Para peserta menyambut baik pertanyaan tersebut dan menyimak
dengan baik pengalaman hidup yang diceritakan oleh tim peneliti.
Berikutnya, sesi yang memuat pembahasan ayat keempat surah Al-
Fatihah juga dilewati dengan cukup kooperatif. Saat membaca surah Al-
Fatihah bersama-sama, para peserta tampak dapat menghayati dengan
baik. Adapun ketika mulai tahapan refleksi dan intuisi makna ayat, para
peserta mengungkapkan perasaan yang hampir sama, yakni merasa takut
akan dosa-dosa yang pernah dilakukan dan yakin akan ada timbal balik
atas segala perbuatan. Fasilitator kemudian menanyakan hal kecil yang
82
menurut para peserta dapat dilakukan untuk mendapat ampunan dari Allah.
Keempat peserta sepakat bahwa menyenangkan orangtua, berbuat baik
kepada teman-teman, menolong orang lain, berbakti kepada suami,
menjadi ibu yang baik, serta mencoba mengabaikan kejengkelan-
kejengkelan kecil yang dilakukan oleh suami maupun anak sebagai
jawaban atas pertanyaan tersebut. Fasilitator menanggapi jawaban para
peserta dengan positif dan menambahkan sedikit kisah motivasi untuk para
peserta.
Secara keseluruhan, proses terapi selama pertemuan kedua berjalan
dengan lancar. Pada saat penyampaian materi maupun ketika konseling,
para peserta tampak memperhatikan dengan cukup baik, meskipun pada
beberapa kesempatan subjek AS dan NV tampak memainkan ponselnya
dan mengobrol. Subjek K masih sama seperti pada pertemuan sebelumnya
yang melakukan dua hal secara bersamaan. Pada pertemuan ini, subjek K
mendengarkan penjelasan fasilitator sambil merajut sebuah tas dengan
bahan dasar benang wol yang dibuatnya khusus untuk sang anak. Adapun
Subjek L tampak menunjukkan perkembangan dari segi kepercayaan diri.
Subjek L tampak nyaman dan tidak terlalu gugup seperti pada pertemuan
sebelumnya, meski pada beberapa kesempatan masih memberikan jawaban
yang sederhana dan mengulang jawaban peserta lain. Namun demikian,
keempat subjek mampu terlibat aktif selama sesi terapi ditunjukkan
dengan keluwesan peserta dalam berpendapat dan memberikan umpan
balik atas hal-hal yang disampaikan oleh fasilitator. Para peserta pun sudah
83
mulai nyaman bersosialisasi dengan tim peneliti, bahkan subjek AS
membawakan kopi bubuk untuk diminum bersama. AS menjadi peserta
yang paling menonjol pada pertemuan ini. AS seringkali mengambil
inisiatif untuk menjadi peserta pertama yang menjawab pertanyaan
fasilitator tanpa ditunjuk terlebih dulu oleh fasilitator.
Setelah fasilitator menutup sesi kelima pada pertemuan kedua ini dan
memimpin untuk berdoa bersama, peneliti pun menutup pertemuan dengan
mengucapkan terimakasih atas partisipasi aktif para peserta dan
mengingatkan peserta untuk tidak lupa mengerjakan tugas rumahnya.
Peneliti juga mengingatkan untuk peserta agar dapat hadir kembali pada
pertemuan berikutnya dan membawa Buku Diari Hatiku. Pertemuan pun
berakhir pada pukul 13.30 WIB.
c. Pertemuan ketiga
Keempat subjek didampingi peneliti, fasilitator dan para obsever datang
kembali untuk mengikuti proses Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif pada
pertemuan ketiga. Pada pertemuan kali ini observer yang dapat hadir
hanya tiga orang, sehingga satu orang observer berperan untuk
mengobservasi dua orang peserta. Pusat Psikologi Terapan UII kembali
menjadi lokasi pertemuan untuk pelaksanaan terapi. Para peserta telah
lengkap menghadiri pertemuan ketiga dan mengisi lembar presensi pada
pukul 13.10 WIB. Adapun Subjek K dan L tiba lebih awal sebelum waktu
yang telah disepakati, yakni beberapa menit sebelum pukul 13.00 WIB.
Subjek K mengaku bahwa kondisi kakinya sedikit lebih membaik sehingga
84
merasa harus lebih bersemangat walaupun masih harus menyeret kakinya
untuk berjalan. Para peserta menghadiri pertemuan pada hari ini dengan
berpakaian yang lebih rapi dan formal, karena setelahnya para peserta akan
menghadiri resepsi pernikahan salah seorang teman yang juga tergabung di
IPPI DIY. Pertemuan ketiga pun dibuka oleh peneliti pada pukul 13.15
WIB dengan salam dan sapa. Selanjutnya, peneliti langsung
mempersilahkan fasilitator untuk memulai sesi terapi.
Fasilitator mengawali sesi dengan menanyakan kabar keempat peserta
dan sedikit perbincangan ringan untuk mencairkan suasana. Seperti halnya
pertemuan sebelumnya, pada pertemuan ini fasilitator kembali meminta
para peserta untuk mengumpulkan Buku Diari Hatiku dan memeriksanya.
Fasilitator pun menanyakan peserta terkait pengalaman saat menerapkan
Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif di rumah dan kendala yang dihadapi
dalam pengerjaannya. Subjek K memilih untuk menjawab pertama kali,
yang kemudian dilanjutkan oleh subjek lainnya. Para peserta
mengungkapkan jawaban-jawaban yang relatif beragam pada kesempatan
kali ini.
Kesan yang didapat sangat positif, seperti perasaan tenang, sabar,
termotivasi dan percaya akan pertolongan Allah. Subjek NV bahkan secara
khusus menyebutkan bahwa ayat keempat surah Al-Fatihah yang telah
dibahas pada pertemuan sebelumnya membuatnya menjadi lebih mampu
menahan diri dari perilaku yang tidak disukai Allah, begitu pula subjek L
yang menjadi lebih berhati-hati dalam melangkah. Namun demikian, di
85
antara keempat peserta, subjek L yang paling sedikit mengamalkan bacaan
Al-Fatihah di waktu-waktu yang ditentukan. Sama seperti hari
sebelumnya, subjek L hanya membaca surah Al-Fatihah 1 kali selepas
shalat maghrib, isya dan subuh. Hal tersebut diakui subjek L terjadi karena
kondisi tubuhnya yang kurang fit, sehingga tidak dapat maksimal dalam
mengerjakan tugas rumah. Hal tersebut berbanding terbalik dengan Subjek
K yang tidak mengalami kendala apapun dalam melaksanakan terapi di
rumah, karena Subjek K mengaku sudah terbiasa membaca Al-Fatihah,
hanya saja jumlah dan waktunya yang berbeda. Subjek K dan dua subjek
lainnya rata-rata dapat membaca surah Al-Fatihah lebih dari tiga kali pada
masing-masing waktu tugas rumah. Fasilitator pun kemudian
mengapresiasi usaha yang dilakukan masing-masing peserta dan
mengharapkan agar kedepannya para peserta dapat meningkatkan lagi
jumlah bacaannya agar mendapatkan dampak baik yang lebih besar.
Fasilitator kemudian memulai tahapan inti pada sesi terapi pertemuan
ini, yakni pembahasan makna ayat kelima surah Al-Fatihah. Sama seperti
pertemuan sebelumnya, fasilitator mempersilahkan para peserta yang
belum dalam keadaan ber-wudhu untuk mengambil wudhu terlebih dahulu.
Subjek K melakukan tayamum karena kondisi kakinya yang masih susah
untuk berjalan, sedangkan subjek lainnya pergi untuk mengambil wudhu
bersama peneliti. Usai peneliti mengantarkan para peserta ber-wudhu,
fasilitator mulai untuk memimpin para peserta dalam membaca surah Al-
Fatihah secara perlahan. Sebelumnya, fasilitator mengarahkan peserta
86
untuk ber-istighfar, mengucapkan ta’awudz dan basmalah, serta
meniatkan segala yang akan dilakukan karena Allah. Para peserta tampak
serius dan bersungguh-sungguh dalam membaca surah Al-Fatihah seraya
memejamkan mata. Beberapa diantaranya menundukkan kepala,
mengangkat kedua tangan dan mengucapkan ayat surah Al-Fatihah dengan
nada suara yang pelan.
Pembacaan surah Al-Fatihah selesai dilaksanakan, fasilitator
menjelaskan makna dan dialog yang terkandung dalam ayat kelima surah
Al-Fatihah. Fasilitator juga menjelaskan keistimewaan pada ayat kelima
ini sehingga ayat ini menjadi satu-satunya ayat yang secara khusus dan
eksklusif dibahas pada pertemuan ini. Para peserta pun dengan serius
memperhatikan penjelasan fasilitator dan sesekali tampak mengangguk.
Setelahnya, fasilitator mengajak para peserta untuk mengungkapkan hal
yang dirasakan dan dipikirkan pada saat membaca surah Al-Fatihah
dengan merefleksikan dan menghayati makna ayat kelima surah Al-
Fatihah. Fasilitator menunjuk Subjek L untuk menjawab pertama kali. Hal
tersebut disambut ceria oleh Subjek AS karena menurutnya jika Subjek L
menjadi peserta terakhir yang menjawab pertanyaan, jawabannya pasti
akan sama atau mengikuti jawaban peserta lainnya yang telah menjawab.
Subjek L pun tersenyum malu mendengar pernyataan Subjek AS dan
berusaha menjawab pertanyaan fasilitator walaupun dengan jawaban yang
kurang mendalam, namun cukup berkaitan dengan konteks ayat. Subjek
NV pada kesempatan ini menceritakan pengalaman yang cukup menarik
87
ketika ia merasa pertolongan Allah pasti datang dan yang perlu dilakukan
hamba-Nya adalah bersabar, karena pasti akan mendapat giliran untuk
dibantu oleh Allah. Sama seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya,
subjek NV selalu bercerita dengan jelas dan beralur. Adapun subjek K dan
AS menjawab dengan variasi jawaban lain yang juga mengarah pada
pertolongan Allah. Keduanya mampu mengaitkan materi dengan contoh
kecil dalam kehidupan, khususnya Subjek AS. Rata-rata peserta merasakan
ketenangan atas penghayatan makna ayat kelima surah Al-Fatihah terkait
meminta pertolongan kepada Allah.
Setelah mendengar jawaban peserta yang lebih banyak fokus pada arti
“Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”, fasilitator kemudian
menambahkan pertanyaan terkait arti yang juga termuat dalam ayat
tersebut, yakni “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah”. Para peserta
pun kembali menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban yang beragam
berhubungan dengan ibadah. Pada kesempatan ini, subjek L tampak
kurang dapat memahami maksud dari pertanyaan fasilitator. Hal tersebut
tampak dari jawaban subjek L yang tidak jauh berbeda dari jawaban
pertamanya seputar kebersyukuran subjek L dalam menghadapi ujian
hidup. Keempat subjek kemudian menceritakan terkait pengobatan yang
dilakukan saat ini dan saat pertama kali mengetahui status HIV. Fasilitator
pun menyimpulkan jawaban-jawaban yang telah diuraikan oleh para
peserta dan menutup dengan sedikit tips dalam berdoa yang kaitannya
dengan surah Al-Fatihah.
88
Pada pertemuan ketiga ini, para peserta tampak dapat memperhatikan
dengan baik, khususnya ketika fasilitator menerangkan materi. Walaupun
masih ada beberapa peserta yang mengecek handphone-nya selama sesi
terapi, namun hal tersebut tidak dilakukan secara intens. Peserta tampak
lebih terbuka dan ramah kepada peneliti, fasilitator, para pengamat
maupun pada sesama peserta. Peserta menjadi lebih banyak berpendapat
terkait materi yang disampaikan fasilitator dan lebih sering melontarkan
candaan ketika konseling. Tidak ada peserta yang lebih dominan pada
pertemuan kali ini, semuanya hampir setara terkait tingkat partisipasi.
Setelah sesi terapi selesai dan fasilitator memimpin doa bersama, peneliti
pun kemudian menutup pertemuan pada pukul 14.20 WIB dan
mengingatkan para peserta untuk menghadiri pertemuan berikutnya
dengan membawa PR (Buku Diari Hatiku) yang telah dikerjakan.
d. Pertemuan keempat
Pertemuan keempat yang merupakan pertemuan terakhir Terapi Al-
Fatihah Reflektif Intuitif dimulai tepat waktu pada pukul 11.00 WIB.
Empat orang peserta bersama peneliti, fasilitator, 4 orang pengamat telah
hadir di Pusat Psikologi Terapan UII sebelum waktu yang telah disepakati.
Para peserta pun mengisi daftar hadir dan dipersilahkan untuk menikmati
snack ketika peneliti mulai membuka pertemuan. Selanjutnya, fasilitator
yang mengambil alih forum setelah pertemuan dibuka oleh peneliti,
mengajak para peserta untuk berdoa bersama sebelum memulai kegiatan
pada hari itu. Fasilitator pun kemudian meminta co-fasilitator untuk
89
mengumpulkan Buku Diari Hatiku milik para peserta untuk diperiksa
seraya membuka obrolan ringan dengan para peserta. Setelahnya,
fasilitator menanyakan satu persatu peserta terkait pengalaman ketika
mengerjakan tugas rumah beserta kendala yang dialami. Para peserta
relatif merasakan perasaan yang hampir sama dengan yang telah peserta
alami di hari-hari sebelumnya ketika menerapkan Terapi Al-Fatihah
Reflektif Intuitif di rumah. Namun demikian, para peserta menambahkan
bahwa efek secara fisik juga dirasakan, seperti merasa lemas dan tidur
menjadi lebih lelap, sehingga ketika bangun badan terasa lebih bugar. Ada
pula yang tidak merasa lelah meskipun kurang tidur.
Pada Subjek NV, kendala dialami ketika mengerjakan tugas rumah
selepas shalat maghrib dan isya. Subjek NV kesulitan berkonsentrasi
karena lingkungan sekitar rumahnya yang sangat berisik di jam-jam
tersebut. Namun ketika mengerjakan tugas rumah selepas shalat subuh,
Subjek NV merasakan ketenangan dan kedamaian yang berlipat ganda
karena dapat menerapkan Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif dengan
nyaman tanpa adanya gangguan dari luar. Adapun ketiga subjek lainnya
tidak mengalami kendala apapun selama mengerjakan tugas rumah, hanya
saja masih ada peserta yang tidak mengerjakan tugas rumah di salah satu
waktu yang ditentukan, yakni Subjek K yang lupa mengerjakan tugasnya
selepas shalat maghrib.
Setelah selesai proses diskusi terkait tugas rumah, fasilitator kembali
memandu sesi ketujuh dan kedelapan Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif
90
dengan memastikan para peserta telah melaksanakan kewajibannya seperti
makan, minum dan wudhu. Beberapa peserta telah dalam kondisi ber-
wudhu, sebagian lainnya yang belum ber-wudhu segera mengambil wudhu
ditemani oleh peneliti. Setelah semua dipastikan dengan baik, fasilitator
memulai sesi terapi dengan cara yang sama seperti pertemuan sebelumnya.
Pada pembacaan surah Al-Fatihah bersama di sesi tujuh yang dipimpin
oleh fasilitator, sebagian peserta membaca surah Al-Fatihah sambil
menundukkan kepala, memejamkan mata dan menengadahkan kedua
tangannya. Fasilitator kemudian menjelaskan makna dan dialog yang
terkandung dalam ayat keenam surah Al-Fatihah. Berikutnya, satu persatu
peserta menyampaikan refleksi dan intuisinya terhadap makna ayat
keenam surah Al-Fatihah yang dikaitkan dengan pengalaman hidup. Pada
kesempatan tersebut, beberapa peserta yakni Subjek K dan L mengaku
sering mendapat petunjuk lewat mimpi ketika akan mendapat musibah,
baik pada diri sendiri maupun orang terdekat. Adapun Subjek AS mengaku
petunjuk biasanya diberikan Allah melalui firasat atau perasaan yang
merujuk pada perasaan nyaman atau tidak nyaman terhadap sesuatu hal
yang akan dihadapi. Adapun Subjek NV merasa bahwa dengan
keikutsertaannya dalam terapi ini juga menjadi salah satu petunjuk dari
Allah, sehingga ia dapat lebih menahan diri dari perbuatan tercela. Rata-
rata perasaan yang timbul pada peserta setelah menghayati makna ayat
keenam surah Al-Fatihah adalah perasaan berharap diberikan petunjuk
91
jalan yang lurus oleh Allah SWT. Fasilitator pun menyimpulkan jawaban
masing-masing peserta dan melanjutkan ke sesi berikutnya.
Pada sesi kedelapan yang membahas ayat ketujuh atau terakhir surat Al-
Fatihah, fasilitator kembali memimpin para peserta untuk membaca surah
Al-Fatihah bersama-sama. Para peserta pun dengan hikmat mengikuti
bacaan surah Al-Fatihah yang dipimpin oleh fasilitator. Selanjutnya,
fasilitator menerangkan makna dan dialog yang terkandung dalam ayat
ketujuh surah Al-Fatihah. Peserta pun menceritakan hal yang dipikirkan
dan dirasakannya setelah mengetahui makna dari ayat tersebut. Masing-
masing peserta merefleksikan dua kondisi, yakni jalan yang Allah beri
nikmat dan jalan yang Allah murkai. Dari penghayatan makna ayat
ketujuh, muncul harapan dari sebagian besar peserta, di antaranya harapan
akan diberikan nikmat dari doa yang dipanjatkan dan berharap dapat
menjadi hamba Allah yang lebih baik serta mendapat petunjuk kebaikan
seperti yang didapatkan sahabat nabi. Fasilitator kemudian menutup sesi
dengan kesimpulan yang ditarik berdasarkan kata kunci yang ditangkap
dari cerita para peserta.
Secara keseluruhan, para peserta menunjukkan partisipasi aktif yang
konsisten seperti pada pertemuan-pertemuan sebelumnya. Meski beberapa
peserta sesekali tampak mengecek ponselnya dan mengobrol, namun para
peserta dapat menaruh perhatian pada orang lain yang sedang berbicara,
baik fasilitator maupun peserta lainnya. Akan tetapi, pada pertemuan kali
ini Subjek L tampak kurang dapat berkonsentrasi. Subjek L tampak
92
memperhatikan penyampaian materi oleh fasilitator, namun terkadang
pandangannya teralihkan ke arah lain seperti sedang memikirkan sesuatu.
Tidak jarang, Subjek L tampak sibuk sendiri bermain dengan tissue yang
ada di hadapannya. Kualitas jawaban Subjek L pun semakin menurun dan
berputar-putar pada makna yang sama.
Di samping itu para peserta tampak semakin akrab dengan fasilitator
dan tim peneliti, ditunjukkan dengan seringnya para peserta memulai
percakapan baru baik yang berhubungan dengan materi maupun
perbincangan seputar kehidupan sehari-hari. Ketika fasilitator menjawab
pertanyaan peserta yang bertanya, peserta lain bahkan ikut berdiskusi
mengenai materi yang ditanyakan. Fasilitator kemudian mengakhiri sesi
terapi dengan memandu para peserta untuk membaca doa khotmil Qur’an
bersama-sama dan mengarahkan peserta untuk membaca pula arti dari doa
tersebut yang telah dimuat pada Buku Diari Hatiku. Selanjutnya fasilitator
mengucapkan permohonan maaf kepada peserta jika selama memandu
proses Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif terdapat kesalahan dalam
perbuatan maupun perkataan. Fasilitator juga memberikan kontaknya
kepada para peserta apabila ada yang ingin berkonsultasi lebih lanjut.
Sebelum mengakhiri pertemuan, peneliti membagikan lembar evaluasi
kegiatan serta skala kepatuhan minum obat MMAS-8 kepada para peserta
untuk diisi. Sembari peserta mengisi lembar yang telah dibagikan, peneliti
mengucapkan terima kasih atas keterlibatan para peserta sebagai subjek
penelitian dan mewakili tim peneliti memohon maaf atas segala
93
kekurangan. Peneliti pun mengingatkan para peserta untuk tetap
mengamalkan surah Al-Fatihah selepas shalat maghrib, isya dan subuh dan
berharap hal baik yang telah dilakukan, baik oleh para peserta maupun tim
peneliti, dapat terus dijaga dengan istiqomah. Pertemuan terakhir ini
berakhir pada pukul 12.10 WIB dan ditutup dengan foto bersama.
4. Pelaksanaan Pengukuran Pascates (Posttest)
Pengukuran pascates atau posttest dilakukan pada 4 orang subjek
kelompok eksperimen dan 4 orang subjek kelompok kontrol. Pengukuran
tersebut ditujukan untuk mengetahui perubahan tingkat kepatuhan minum
obat subjek penelitian sesudah Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif diberikan
kepada kelompok eksperimen. Pengukuran akhir pada kelompok eksperimen
dilakukan bertepatan dengan selesainya proses terapi pada pertemuan
keempat, yakni pada tanggal 11 April 2019. Adapun pada kelompok kontrol,
posttest diberikan di hari berikutnya antara tanggal 13-15 April 2019, karena
menyesuaikan jadwal atau waktu luang subjek untuk dapat ditemui.
Peneliti meminta subjek untuk mengisi skala kepatuhan minum obat
Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8). Selain skala kepatuhan
minum obat, pada kelompok eksperimen juga dibagikan lembar evaluasi
untuk melihat secara kualitatif efektiftas dari Terapi Al-Fatihah Reflektif
Intuitif yang telah diberikan oleh fasilitaor.
5. Pelaksanaan Pengukuran Tindak Lanjut (Followup)
Pengukuran tindak lanjut atau followup dilakukan pada 4 orang subjek
kelompok eksperimen dan 4 orang subjek kelompok kontrol. Pengukuran
94
tersebut ditujukan untuk mengetahui konsistensi atas perubahan tingkat
kepatuhan minum obat subjek penelitian sesudah Terapi Al-Fatihah Reflektif
Intuitif diberikan kepada kelompok eksperimen. Pada kelompok eksperimen,
pengukuran tindak lanjut dilaksanakan setelah 2 minggu pasca terminasi
terapi, yaitu pada tanggal 25 April 2019. Pelaksanaan proses tindak lanjut
dilakukan peneliti dengan mengunjungi satu persatu subjek di kediamannya.
Peneliti memberikan skala MMAS-8 serta melakukan wawancara dengan
tujuan untuk mengetahui lebih dalam terkait manfaat yang dirasakan subjek
serta pikiran, perasaan dan perilaku subjek selama dua minggu terakhir
berkaitan dengan proses pengobatan setelah pemberian Terapi Al-Fatihah
Reflektif Intuitif. Skala MMAS-8 juga diberikan kepada kelompok kontrol
sebagai proses tindak lanjut yakni di tanggal 30 April 2019, tepat sebelum
dimulainya pelaksanaan Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif pada kelompok
kontrol.
6. Pelaksanaan Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif pada Kelompok
Kontrol
Pelaksanaan Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif pada kelompok kontrol
dilakukan setelah pengukuran tindak lanjut selesai. Terapi Al-Fatihah
Reflektif Intuitif pada kelompok kontrol dilaksanakan pada tanggal 30 April
2019 di Pusat Psikologi Terapan Universitas Islam Indonesia. Pelaksanaannya
dipandu oleh psikolog profesional yang sama dengan yang memandu Terapi
Al-Fatihah Reflektif Intuitif untuk kelompok eksperimen. Namun,
dikarenakan padatnya jadwal kegiatan subjek kelompok kontrol, maka
95
disepakati agar jumlah pertemuan dicukupkan menjadi 1 kali pertemuan saja.
Fasilitator ditemani oleh 1 orang co-fasilitator memberikan Terapi Al-Fatihah
Reflektif Intuitif sesuai dengan tahapan pada modul terapi, namun disingkat
seefektif mungkin agar sesuai dengan durasi waktu yang telah disepakati
bersama para subjek kelompok kontrol. Peneliti juga memberikan Buku Diari
Hatiku kepada kelompok kontrol sebagai panduan untuk dapat menerapkan
Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif secara mandiri di rumah. Pada akhir sesi
terapi, para subjek mengaku mendapatkan banyak manfaat yang berkenaan
dengan rasa tenang dan motivasi untuk beribadah setelah mendapatkan Terapi
Al-Fatihah Reflektif Intuitif.
C. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Subjek Penelitian
Subjek penelitian merupakan Ibu Rumah Tangga dengan HIV Positif
yang beragama Islam, berusia antara 28-48 tahun, dan berdomisili di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 8 orang dan
terbagi ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Masing-
masing kelompok terdiri dari 4 orang subjek. Peneliti membagi kedua
kelompok menggunakan teknik matching dengan melihat kemungkinan
kondisi waktu luang subjek dan kesediaan subjek untuk dapat datang ke
tempat pelaksanaan terapi selama 4 kali pertemuan. Subjek penelitian telah
melewati tahap screening dengan kategori subjek yang memiliki skor
kepatuhan minum obat yang rendah dan sedang, serta memenuhi kriteria lain
96
yang sudah ditetapkan oleh peneliti. Berikut deskripsi subjek kelompok
eksperimen dan subjek kelompok kontrol.
Tabel 9. Deskripsi Subjek Penelitian
2. Hasil Analisis Kuantitatif
a. Deskripsi Data Penelitian
Hasil analisis kuantitatif merupakan data hasil yang diperoleh dari prates,
pascates, dan follow up (tindak lanjut) pada kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol dari skala kepatuhan minum obat Morisky Medication
Adherence Scale (MMAS-8). Analisis dihitung dengan melihat perubahan
skor kepatuhan minum obat subjek dari setiap tahapan.
Tabel 10. Deskripsi hasil data penelitian skala Morisky Medication Adherence
Scale (MMAS-8) Kelompok Eksperimen
Subjek Pra
tes
Pasca
tes
Tindak
Lanjut
GS
(Pra-
Pasca)
GS (Pasca-
Tindak
Lanjut)
GS (Pra-
Tindak
Lanjut)
L 7
(sedang) 7
(sedang) 8
(tinggi) 0 1 1
AS 7,75
(sedang)
8
(tinggi)
8
(tinggi) 0,25 0 0,25
Kelompok Nama Jenis
Kelamin
Usia Pendidikan
Terakhir
Lama
Diagnosis
Lama
Terapi
Kel
om
po
k
Eksperim
en
L P 33 SD 2,5 tahun 2,5 tahun
AS P 48 SMA 7,5 tahun 7,5 tahun
NV P 28 SMA 10 tahun 4 tahun
K P 37 SMA 9 tahun 9 tahun
Kel
om
pok
Kon
trol
N P 36 Sarjana 3 tahun 2,5 tahun
AA P 33 SMA 5 tahun 5 tahun
NH P 34 Sarjana 11 tahun 11 tahun
D P 29 SMP 5 tahun 5 tahun
97
NV 5,75
(rendah) 5,75
(rendah) 6,75
(sedang) 0 1 1
K 7
(sedang)
7
(sedang)
8
(tinggi) 0 1 1
Keterangan: GS= Gained Score
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa 1 orang subjek dalam
kelompok eksperimen mengalami peningkatan skor kepatuhan minum obat
setelah diberikan intervensi Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif, sehingga
memperoleh skor maksimal dan masuk dalam kategori kepatuhan minum
obat tinggi. Adapun 3 subjek lainnya tidak menunjukkan peningkatan
maupun penurunan, dengan kata lain skor kepatuhan minum obat yang
diperoleh setelah pemberian Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif tetap sama
dengan hasil pengukuran sebelum terapi. Namun demikian, hasil
pengukuran tindak lanjut menunjukkan bahwa ketiga subjek tersebut
kemudian mengalami peningkatan skor kepatuhan minum obat, sehingga
berada pada kategori kepatuhan minum obat yang lebih baik pada saat
pengukuran pasca-uji.
Tabel 11. Deskripsi hasil data penelitian skala Morisky Medication Adherence
Scale (MMAS-8) Kelompok Kontrol
Subjek Pra tes
Pasca tes
Tindak
Lanjut
GS
(Pra-
Pasca)
GS (Pasca-
Tindak
Lanjut)
GS (Pra-
Tindak
Lanjut)
N 7
(sedang) 7
(sedang) 7
(sedang) 0 0 0
AA 4,5
(rendah)
3,5
(rendah)
2,75
(rendah) -1 -0,75 -1,75
NH 4,75
(rendah) 5,75
(rendah) 5,75
(rendah) 1 0 1
D 4,75
(rendah)
3,5
(rendah)
5,5
(rendah) -1,25 2 0,75
Keterangan: GS= Gained Score
98
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa subjek dalam kelompok
kontrol memiliki skor kepatuhan minum obat yang berada pada kategori
yang sama dalam setiap pengukurannya. Meskipun terdapat beberapa subjek
yang mengalami penurunan skor dan peningkatan skor, namun kategori
kepatuhan minum obat yang dicapai tidak mengalami perubahan.
Tabel 12. Deskripsi Data Statistik
Berdasarkan tabel di atas, diperoleh nilai mean kelompok eksperimen
pada tahap prates sebesar 6,875 dan kelompok kontrol memiliki niali mean
sebesar 5,250. Kedua nilai tersebut menunjukkan bahwa rerata skor
kepatuhan minum obat pada kelompok eksperimen lebih besar dibandingkan
kelompok kontrol. Nilai mean kelompok eksperimen pada tahap pasca tes
sebesar 6,938 dan kelompok kontrol sebesar 4,938. Nilai mean tahap
pascates pada kelompok eksperimen meningkat dari prates yaitu sebesar
0,063, sedangkan nilai mean tahap pascates pada kelompok kontrol
menurun dari prates sebesar 0,312. Pada tahap tindak lanjut nilai mean yang
dihasilkan kelompok eksperimen sebesar 7,688 dan nilai mean yang
dihasilkan kelompok kontrol sebesar 5,250. Hal tersebut menunjukkan
bahwa kelompok eksperimen kembali mengalami peningkatan nilai mean
dari tahap pascates ke tindak lanjut, yakni sebesar 0,75. Adapun kelompok
Kelompok Klasifikasi Prates Pascates Tindak Lanjut
Eksperimen
Mininum 5,75 5,75 6,75
Maksimum 7,75 8 8
Mean 6,875 6,938 7,688
SD 0,829 0,921 0,625
Kontrol
Mininum 4,5 3,5 2,75
Maksimum 7 7 7
Mean 5,250 4,938 5,250
SD 1,173 1,737 1,791
99
kontrol memiliki peningkatan nilai mean dari tahap pascates ke tindak lanjut
sebesar 0,312 atau senilai dengan nilai mean pada tahap prates.
Secara keseluruhan nilai mean pada kelompok eksperimen mengalami
peningkatan pada setiap tahapnya. Perbedaan skor yang dihasilkan
menunjukkan adanya perubahan yang terjadi. Peningkatan skor yang
dialami kelompok eksperimen menandakan perubahan yang positif.
Sebaliknya, penurunan skor menjadi hal yang positif bagi kelompok kontrol.
Akan tetapi, kelompok kontrol yang mengalami penurunan pada tahap
pascates, mengalami peningkatan skor kembali seperti semula pada tahap
tindak lanjut. Namun demikian apabila dilihat secara menyeluruh, total
peningkatan nilai mean kelompok eksperimen dari prates hingga tindak
lanjut adalah sebesar 0,813. Adapun kelompok kontrol tidak mengalami
perubahan nilai mean dari prates hingga tindak lanjut. Rerata skor
kepatuhan minum obat akhir kelompok eksperimen pun lebih besar
dibanding kelompok kontrol.
Gambar 2. Grafik Perbandingan Pra Tes, Pasca Tes dan Tindak Lanjut
Kepatuhan Minum Obat pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
100
b. Uji Asumsi
Uji asumsi dilakukan sebelum melakukan uji hipotesis. Hasil yang
ditemukan adalah data dapat dikatakan lulus uji asumsi karena berdistribusi
normal berdasarkan hasil uji normalitas dan memiliki varians yang sama
berdasarkan hasil uji homogenitas.
Tabel 13. Tests of Normality
Shapiro-Wilk
Statistic df Sig.
Pretest 0,861 8 0,123
Posttest 0,866 8 0,138
Follow-up 0,844 8 0,083
Pada tabel di atas diketahui bahwa nilai p pada hasil uji normalitas prates
sebesar = 0,123 (p>0,05), pada pascates sebesar = 0,138 (p>0,05), dan nilai
p pada follow-up sebesar = 0,083 (p>0,05). Hal tersebut menunjukkan
bahwa sebaran data terdistribusi normal karena nilai p pada ketiga waktu
pengukuran tersebut lebih besar dari 0,05 (p> 0,05). Oleh sebab itu, subjek
pada penelitian ini dapat dikatakan tergolong representatif atau dapat
mewakili keadaan populasi yang sebenarnya, sehingga dapat
digeneralisasikan pada populasi tersebut.
101
Pada tabel di atas diketahui bahwa nilai p pada hasil uji homogenitas
prates sebesar = 0,458 (p>0,05), pada pascates sebesar = 0,079 (p>0,05),
dan nilai p pada follow-up sebesar = 0,207 (p>0,05). Apabila nilai p lebih
besar dari 0,05 (p>0,05) maka sebaran data tersebut dapat dikatakan
homogen. Namun, apabila p<0,05 maka sebaran data tersebut tidak
homogen. Berdasarkan kaidah tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa data
penelitian homogen atau memiliki varians yang sama.
c. Uji Hipotesis
Setelah melewati uji asumsi, data diketahui terdistribusi normal dan
homogen. Uji hipotesis kemudian dilakukan menggunakan metode analisis
anava mixed design. Berdasarkan hasil uji anava campuran yang dilakukan,
diperoleh nilai F sebesar 0,903 dengan signifikansi 0,431 (p>0,05). Hasil
Tabel 14. Test of Homogeneity of Variances
Levene Statistic df1 df2 Sig.
Pretest Based on Mean 0,630 1 6 0,458
Based on Median 0,040 1 6 0,848
Based on Median and with adjusted df 0,040 1 4.723 0,850
Based on trimmed mean 0,487 1 6 0,511
Posttest Based on Mean 4.454 1 6 0,079
Based on Median 3.722 1 6 0,102
Based on Median and with adjusted df 3.722 1 5.985 0,102
Based on trimmed mean 4.441 1 6 0,080
Follow-up Based on Mean 1.997 1 6 0,207
Based on Median 1.258 1 6 0,305
Based on Median and with adjusted df 1.258 1 4.304 0,321
Based on trimmed mean 1.838 1 6 0,224
102
tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara kelompok
dengan waktu pengukuran, sehingga dapat dikatakan bahwa perubahan
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol adalah sama. Adapun
sumbangan efektif yang diberikan oleh Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif
untuk meningkatkan kepatuhan minum obat pada kelompok eksperimen
dengan mempertimbangkan hasil pada kelompok kontrol hanya sebesar
13,1% dengan tingkat kepercayaan data 0,17 dari 0-1. Oleh karena itu,
Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif dapat dikatakan kurang efektif untuk
meningkatkan kepatuhan minum obat pada Ibu Rumah Tangga dengan HIV
Positif, sehingga hipotesis penelitian ditolak.
3. Hasil Analisis Kualitatif
Analisis kualitatif berbentuk deskriptif naratif dilakukan terhadap hasil
lembar kerja pada Buku Diari Hatiku, lembar evaluasi terapi, serta dari hasil
observasi dan wawancara. Hal ini dilakukan sebagai data tambahan terkait
dinamika emosi, pengalaman serta perilaku subjek selama proses terapi
berlangsung maupun setelah rangkaian sesi Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif
selesai dilakukan.
a. Subjek 1 (L)
Ibu L yang berusia 33 tahun telah terdiagnosis HIV sejak 2016. Sebelum
dilaksanakan Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif, Ibu L berada pada
kategori kepatuhan minum obat sedang (7). Pada awal pengobatan, Ibu L
merasakan efek samping obat yang menurut Ibu L membuatnya seperti
orang mabuk, yakni pusing dan perasaan ingin muntah, namun tidak bisa
103
muntah. Saat ditawarkan untuk mengikuti terapi, Ibu L sangat antusias dan
mengaku memang senang mengikuti pelatihan-pelatihan yang sering
diadakan di komunitasnya karena dapat bertemu dengan orang-orang baru
dan memperluas koneksi. Ibu L juga dengan terbuka menggambarkan
kondisi para ODHA setiap kali mengikuti pelatihan semacam ini yang
terkadang tidak mengikuti rangkaian pelatihan hingga akhir. Ibu L pun
sangat setuju terkait tanggal-tanggal pelaksanaan terapi yang dibuat di satu
minggu yang sama untuk meminimalisir terjadinya hal tersebut.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan selama
terapi dilaksanakan, Ibu L tergolong semangat dalam mengikuti jalannya
terapi, dibuktikan dengan kedatangannya yang selalu tepat waktu. Ibu L
mampu menempatkan diri sesuai dengan situasi dan bersikap sopan. Namun
demikian, sikap positif yang ditunjukkan oleh Ibu L tidak diimbangi dengan
keaktifan Ibu L dalam merespon fasilitator, Ibu L bahkan seringkali
kebingungan dalam memahami maksud dari pertanyaan-pertanyaan
fasilitator.
Pada pertemuan pertama terapi, Ibu L berinisiatif menghubungi teman-
temannya yang belum datang dan dapat bekerjasama dengan baik, seperti
memperhatikan penyampaian materi oleh fasilitator serta bersikap terbuka
dalam menceritakan permasalahan hidupnya. Pada sesi pembahasan makna
ayat pertama surah Al-Fatihah, Ibu L menceritakan kisah hidupnya yang
sejak kecil telah diusir dari rumah oleh ibu tirinya. Sambil menangis, Ibu L
mengisahkan sulitnya hidup yang dilaluinya, mulai dari mengurus
104
pembuatan kartu identitas sendirian dengan susah payah sebab namanya
tidak didaftarkan pada Kartu Keluarga (KK), hingga keterpaksaannya untuk
bekerja sebagai WPS (Wanita Pekerja Seks). Setelah memaknai ayat
pertama surah Al-Fatihah, Ibu L mengaku Allah memberikannya mukjizat
dengan menghadirkan orang-orang baik di sekelilingnya yang walaupun
tidak memiliki hubungan darah, tetapi banyak membantu. Ibu L pun
bersyukur untuk itu. Begitu pula pada sesi pembahasan makna ayat kedua
surah Al-Fatihah, Ibu L selalu bersyukur atas segala pemberian Allah yang
maha kuasa atas segala sesuatu.
Pada pertemuan kedua, Ibu L lebih percaya diri dalam mengutarakan
pendapatnya, meskipun jawaban yang dilontarkan kurang mendalam dan
terkadang mengutip jawaban yang sudah dikatakan oleh subjek lainnya.
Pada pembahasan makna ayat ketiga surah Al-Fatihah, Ibu L menceritakan
pengalamannya bersama Ibu K ketika kecelakaan sepulang dari terapi
pertemuan pertama. Setelah memahami makna ayat ketiga, Ibu L menyadari
bahwa peristiwa yang dialaminya tersebut adalah salah satu kasih Allah. Ibu
L kemudian mengungkapkan jawaban yang mirip dengan jawaban Ibu AS,
yaitu merasa bersyukur pada tiap hal seperti masih bisa menghirup udara
pagi dan bertemu dengan orang-orang baik. Pada pembahasan makna ayat
keempat surah Al-Fatihah, Ibu L mengaku merasakan hal yang sama seperti
yang dirasakan Ibu NV yakni takut karena memikirkan perbuatan dosa yang
telah dilakukan. Namun demikian, bersama diskusi dengan fasilitator, Ibu L
105
menyadari bahwa perasaan takut tersebut disertai dengan harapan mendapat
ampunan dari Allah.
Pada pertemuan ketiga, Ibu L lebih banyak mengemukakan pendapat dan
tampak lebih nyaman untuk berbaur dan bercanda bersama subjek lainnya.
Pada pembahasan makna ayat kelima surah Al-Fatihah yang berhubungan
dengan meminta pertolongan Allah, Ibu L kembali menjawab dengan
jawaban yang hampir sama dengan jawabannya pada pertemuan
sebelumnya, yakni perasaan bersyukur karena yakin apapun situasi yang
dihadapi pasti akan ada jalan keluarnya. Keyakinan tersebut diakui oleh Ibu
L membuatnya merasa lebih tenang. Adapun terkait makna ayat yang
berhubungan dengan ibadah atau menyembah Allah, Ibu L memaknai
bahwa hidayah dari Allah selalu didapatkan oleh hamba-Nya tanpa
memilih-milih tempat. Ibu L bercerita tentang dirinya yang selama ini cuek
dan tidak peduli pada orang lain maupun diri sendiri. Ibu L selalu marah
setiap kali ada orang yang mengingatkannya untuk shalat. Namun saat ini
Ibu L lebih peduli pada teman-temannya maupun diri sendiri, seperti mulai
mengusahakan untuk shalat, walaupun masih bolong-bolong dan belum lima
waktu.
Setelah melewati proses konseling bersama fasilitator, Ibu L menjadi
menyadari bahwa koreksi yang dilakukannya serta perbaikan diri menjadi
lebih baik yang Ibu L usahakan dapat bernilai sebagai ibadah di mata Allah.
Terkait kondisi ketika pertama kali tahu status, Ibu L merasa mendapat
teguran dari Allah dan menyadari bahwa hal tersebut adalah risiko atas
106
pekerjaannya. Bentuk usaha yang dikerahkan Ibu L dalam menghadapi
kondisi kesehatannya adalah minum obat secara medis. Ibu L kurang
memahami pertanyaan fasilitator ketika ditanya harapan apa yang muncul.
Ibu L hanya mengulangi jawabannya sebelumnya terkait merasa ditegur
oleh Allah, sehingga pertanyaan yang ditanyakan fasilitator tersebut tidak
terjawab oleh Ibu L.
Pada pertemuan keempat, Ibu L semakin akrab dengan fasilitator dan tim
peneliti. Ibu L dapat menyapa dan memulai interaksi lebih dahulu kepada
fasilitator maupun tim peneliti. Namun demikian, pada pertemuan ini Ibu L
tampak kurang fokus dan sering terlihat melamun seperti memikirkan hal
lain, sehingga jawaban Ibu L saat proses konseling kurang mendalam karena
kurang mengerti maksud dari pertanyaan fasilitator. Pada pembahasan
makna ayat keenam, Ibu L bercerita bahwa terkadang Ibu L diberikan
petunjuk melalui mimpi ketika akan mendapat ujian. Setelah melewati
proses refleksi dan penghayatan makna, muncul harapan pada Ibu L agar
dapat selalu ditunjukkan jalan yang lurus oleh Allah.
Pada pembahasan ayat ketujuh surah Al-Fatihah, Ibu L merefleksikan
kondisi saat Ibu L merasa ditunjukkan jalan yang diridhoi Allah ialah ketika
dipertemukan dengan teman dan keluarga baru sebagai bagian dari nikmat
Allah. Adapun kondisi saat Ibu L merasa dimurkai oleh Allah adalah ketika
dahulu memiliki kebiasaan buruk seperti minum minuman keras dan
mengkonsumsi obat-obatan terlarang, namun sekarang kebiasaan tersebut
semakin dapat dihilangkan. Ibu L pun merasa senang dan merasa lebih
107
bersyukur. Selain observasi dan wawancara, analisis kualitatif juga
dilakukan dengan evaluasi tugas rumah yang dilaksanakan Ibu L di luar sesi
terapi. Rincian evaluasi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 15. Evaluasi Tugas Rumah Subjek L
Tanggal
Pelaksanaan Hasil Yang Diperoleh
Senin, 8 April 2019 Ibu L membaca Al-Fatihah secara reflektif
intuitif selepas shalat maghrib, isya dan
subuh masing-masing 1 kali. Setelah
menerapkan tugas rumah selepas shalat
maghrib, Ibu L merasa selalu bersyukur
dalam segala hal. Secara keseluruhan, Ibu
L merasa lebih nyaman. Ibu L
mengungkapkan rasa syukurnya masih
diberikan kesehatan dan tidak mengalami
luka parah ketika kecelakaan bersama Ibu
K sepulang dari terapi pada pertemuan
pertama.
Selasa, 9 April 2019 Ibu L kembali membaca Al-Fatihah secara
reflektif intuitif selepas shalat maghrib,
isya dan subuh dengan jumlah yang sama
seperti hari sebelumnya, yakni 1 kali pada
masing-masing waktu yang telah
ditentukan. Ibu L mengaku hal tersebut
dikarenakan Ibu L sedang dalam kondisi
yang kurang fit. Secara keseluruhan, Ibu L
merasa menjadi lebih dapat memotivasi
diri untuk menghadapi berbagai hal dan
menjadi lebih berhati-hati dalam
melangkah.
Rabu, 10 April 2019 Ibu L berusaha meningkatkan intensitas
dalam mengerjakan tugas rumah pada
waktu setelah shalat isya yakni menjadi 2
kali, adapun selepas shalat maghrib dan
subuh masih hanya 1 kali. Setelah
membaca surah Al-Fatihah secara reflektif
intuitif selepas shalat maghrib, Ibu L
108
merasa lebih bersemangat. Secara
keseluruhan, Ibu L kembali merasa lebih
nyaman dan tenang, bahkan mengaku
bahwa suasana hatinya dipenuhi dengan
rasa senang. Ibu L pun mengaku tidak
merasa lelah meskipun tidak tidur
semalaman.
Kamis, 11 April 2019 Pada tugas rumah kali ini, Ibu L lebih
meningkatkan intensitas membaca surah
Al-Fatihahnya, yakni 3 kali setelah shalat
maghrib, 2 kali setelah shalat isya dan 4
kali setelah shalat subuh. Saat membaca
surah Al-Fatihah selepas shalat maghrib,
Ibu L merasa jauh lebih sabar dalam segala
hal. Ibu L menceritakan bahwa pada hari
tersebut, ia membantu tetangganya namun
mendapat perlakuan yang tidak
menyenangkan dari tetangganya tersebut.
Namun demikian, Ibu L merasa jadi lebih
dapat menahan diri untuk tidak marah
karena dapat bersikap dengan lebih sabar.
Berdasarkan pengukuran pascates setelah dilakukan Terapi Al-Fatihah
Reflektif Intuitif dilakukan, Ibu L tetap berada pada kategori kepatuhan
minum obat sedang (7). Namun demikian, berdasarkan lembar evaluasi
terapi yang diisi oleh Ibu L diketahui bahwa harapan Ibu L sangat terpenuhi
melalui terapi yang telah diikuti, materi yang disampaikan dirasa sangat
jelas, fasilitator diakui sangat menguasai materi, Ibu L merasa sangat puas
terhadap materi yang disampaikan, media dan alat yang digunakan dalam
terapi dinilai sangat mendukung dan terapi sangat bermanfaat bagi Ibu L.
Adapun manfaat yang diperoleh menurut Ibu L ialah meningkatkan rasa
bersyukurnya serta menambah pengalaman. Perubahan atau perbedaan yang
109
dirasakan Ibu L dibanding saat sebelum mengikuti terapi ialah perasaan
yang jauh lebih tenang dan lebih sabar dalam menghadapi segala hal. Ibu L
memberikan kesan yang positif terhadap jalannya terapi, yakni tim peneliti
(peneliti, pengamat dan fasilitator) yang dianggap sangat ramah.
Pada pengukuran tindak lanjut yang dilakukan 2 minggu pasca Terapi
Al-Fatihah Reflektif Intuitif dilakukan, kategori kepatuhan minum obat Ibu
L meningkat menjadi kategori tinggi (8). Berdasarkan hasil wawancara yang
dilakukan, diperoleh gambaran kepatuhan minum obat Ibu L dan hal-hal
yang mendorong Ibu L menjadi patuh 100% dalam menjalani pengobatan.
Ibu L mengaku apapun keadaannya, Ibu L selalu meminum obatnya. Ketika
waktu minum obat tiba, Ibu L tidak pernah lupa, bahkan terlewat 1 jam pun
tidak pernah. Ibu L tidak pernah menggunakan alarm dan hanya
mengandalkan jam yang ada di ponselnya. Ibu L bercerita pada suatu ketika
Ibu L merasa sangat lelah dan tertidur sebelum waktu minum obat hampir
tiba, Ibu L tetap terbangun sendiri dan kemudian meminum obatnya.
Menurut Ibu L hal tersebut dikarenakan meminum obat sudah menjadi
rutinitas sehari-hari, sehingga Ibu L sudah terbiasa untuk melakukannya.
Ketika berpergian pun Ibu L merasa obatnya wajib untuk dibawa. Ibu L
bersedia mengikuti instruksi dokter untuk minum obat tepat waktu dan
dosisnya pun tidak pernah Ibu L kurangi dengan sengaja. Ibu L mengaku
tidak keberatan untuk minum obat setiap hari dan tidak terganggu dengan
efek sampingnya, sebab Ibu L berpikir bahwa semua obat itu pasti ada efek
sampingnya.
110
Adapun yang mendorong Ibu L untuk patuh meminum obatnya adalah
keinginan agar tetap sehat untuk keluarga, khususnya orangtuanya yang
belum bisa menerima atau mengakui Ibu L sebagai anak. Ibu L bercerita
bahwa setiap kali berkunjung ke rumah orangtuanya, Ibu L selalu diusir.
Namun hanya dengan melihat orangtuanya dari luar rumah saja Ibu L sudah
merasa senang karena tahu orangtuanya dalam kondisi sehat. Ibu L berharap
dengan usahanya untuk patuh dalam minum obat membawanya pada
kesehatan, sehingga dengan tidak jatuh sakit ataupun masuk rumah sakit,
orangtuanya dapat berubah pikiran dan suatu saat dapat menerimanya. Ibu L
meyakini bahwa tidak ada seseorang pun yang dapat mengetahui hati orang
lain karena yang membolak-balikkan hati manusia adalah Allah. Selain
untuk keluarga, Ibu L juga mengaku bahwa keinginan agar tetap sehat
muncul untuk diri sendiri, dalam hal ini Ibu L menyebutkan supaya dirinya
dapat membantu orang lain.
Menurut keterangan Ibu L, yang membuatnya yakin untuk tidak berhenti
minum obat ialah manfaat obat yang sangat terasa pada kesehatan. Ibu L
mengetahui bahwa virus dalam tubuhnya masih ada meskipun kondisi
tubuhnya membaik, sehingga Ibu L memahami dengan baik bahwa resisten
akan menjadi risiko jika Ibu L tidak konsisten dalam minum obat. Selain itu,
yang membuat Ibu L tidak pernah merasa terganggu untuk minum obat
setiap hari adalah karena komitmennya pada diri sendiri. Ibu L selalu
mensugesti dirinya jika ingin sehat, maka harus patuh, sebab tidak minum
obat sama saja seperti bunuh diri secara perlahan dan jika bosan meminum
111
obat berarti bosan untuk hidup. Terkadang untuk menjauhkan rasa bosan,
Ibu L menganggap obat yang dikonsumsinya seperti permen kesukaannya,
bahkan sesekali Ibu L mengganti botol obat dengan botol permen
kesukaannya tersebut. Adapun manfaat dari Terapi Al-Fatihah Reflektif
Intuitif terhadap kondisi pengobatannya saat itu menurut Ibu L sangat
berarti. Ibu L yang biasanya mudah tersinggung atau sangat sensitif
terhadap hal yang membuatnya tidak nyaman, kini merasa jauh lebih tenang
dan sabar untuk menghadapi berbagai situasi.
Gambar 3. Grafik Skor Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8) Subjek L
b. Subjek 2 (AS)
Ibu AS yang berusia 48 tahun telah terdiagnosis HIV sejak 2011.
Sebelum dilaksanakan Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif, Ibu AS berada
pada kategori kepatuhan minum obat sedang (7,75). Pada awal pengobatan,
Ibu AS merasakan efek samping obat yaitu diare. Saat ditawarkan untuk
mengikuti terapi, Ibu AS agak ragu karena khawatir jadwal terapi
berbenturan dengan acara keluarganya di luar kota. Namun setelah
6,5
7
7,5
8
8,5
Prates Pascates Tindak Lanjut
Kepatuhan Minum Obat
Kepatuhan Minum Obat
112
didiskusikan kembali dan disepakati bersama terkait jadwal terapi, Ibu AS
akhirnya setuju untuk mengikuti Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan selama
terapi dilaksanakan, Ibu AS tergolong sebagai subjek yang konsisten untuk
berpartisipasi aktif selama mengikuti jalannya terapi, dibuktikan dengan
seringnya Ibu AS melakukan tanya jawab bersama fasilitator dan turut serta
menanggapi atau memberikan feedback atas jawaban subjek lainnya.
Kualitas jawaban yang diberikan Ibu AS pun sangat baik, seperti halnya
mengaitkan materi yang diberikan dengan contoh kecil dalam kehidupan.
Ibu AS selalu menuturkan hal yang ingin disampaikannya dengan kalimat
yang runtun dan mudah dimengerti, serta menggunakan bahasa non verbal
seperti kontak mata dan gerakan tangan untuk membuat pesan yang
disampaikan semakin jelas. Selain itu, Ibu AS juga mudah akrab dan sangat
komunikatif, ia sering melontarkan candaan yang dapat mencairkan suasana.
Pada pertemuan pertama terapi, Ibu AS dapat menyesuaikan diri dengan
baik dan dapat menjadi pendengar aktif selama fasilitator menuturkan
materi. Ibu AS dengan percaya diri menyampaikan pendapat serta merespon
pertanyaan maupun pernyataan dari fasilitator dan subjek lainnya yang
kadangkala diselinginya dengan humor. Pada pembahasan ayat pertama
surah Al-Fatihah, Ibu AS bercerita tentang kisah hidupnya yang sejak kecil
tidak pernah dihadapkan dengan masalah yang besar. Ibu AS mengaku
bahwa kasih sayang yang diterima Ibu AS dari orangtuanya sangatlah
berlimpah. Namun demikian, perjalanan hidupnya yang baik-baik saja tanpa
113
masalah serius tersebut pun membuatnya menjadi kurang siap ketika
dihadapkan pada masalah terbesar dalam hidupnya yang menjadi titik balik
dalam hidup Ibu AS. Ibu AS bercerita bahwa masalah terbesar tersebut
datang setelah menikah, ia merasa sangat kesulitan ketika memulai
kehidupan rumah tangganya. Ibu AS tidak menjelaskan dengan rinci
kesulitan seperti apa yang dialaminya, namun hal tersebut diungkapkannya
dengan nada suara bergetar seperti menahan tangis.
Setelah memaknai ayat pertama surah Al-Fatihah, Ibu AS merenungkan
bahwa ketika dihadapkan dengan suatu permasalahan, hal yang seyogianya
dilakukan oleh makhluk Allah ialah menghadapi persoalan tersebut dan
mencari solusinya. Kemudian timbul perasaan bahwa dengan bantuan Allah,
masalah yang dihadapi pasti dapat diselesaikan dengan baik. Pada
pembahasan ayat kedua surah Al-Fatihah, Ibu AS bercerita tentang kondisi
status HIV-nya saat ini yang tidak menjadi beban pikirannya. Setelah
memaknai ayat kedua surah Al-Fatihah melalui refleksi dan penghayatan,
Ibu AS mengaku menjadi lebih tergerak untuk senantiasa menikmati
hidupnya saat ini.
Pada pertemuan kedua, Ibu AS semakin aktif dalam mengikuti
serangkaian tahapan pada sesi terapi., meskipun pada beberapa kesempatan
tampak memainkan ponselnya. Ibu AS mampu menunjukkan inisiatif yang
tinggi dengan menjawab pertama kali tanpa ditunjuk ketika fasilitator
mempersilahkan masing-masing subjek untuk menuturkan jawabannya
terkait refleksi ayat surah Al-Fatihah. Ibu AS pun senantiasa menjadi
114
pendengar aktif ketika subjek lain bercerita. Pada pembahasan ayat ketiga
surat Al-Fatihah, Ibu AS mengangkat cerita yang baru saja dialami oleh
subjek lain ketika merefleksikan ayat ketiga tersebut. Ibu AS menyimpulkan
bahwa setiap aktivitas yang dijalaninya dan sesama makhluk hidup lainnya
adalah wujud kasih Allah. Ibu AS pun menjadi semakin meyakini kasih
sayang Allah dan menikmati hal-hal yang dimiliki serta kesempatan yang
diberikan Allah untuk beraktivitas di kehidupan sehari-hari, seperti
bernapas, makan, dan lain sebagainya. Hal tersebut kemudian diakui Ibu AS
membuatnya merasa semakin bersyukur.
Pada pembahasan ayat keempat surah Al-Fatihah, Ibu AS mengaku
pikiran yang muncul begitu memaknai ayat keempat adalah keyakinan
bahwa tindakan yang baik maupun buruk yang dilakukannya pasti akan ada
timbal baliknya. Oleh sebab itu, Ibu AS merasa bahwa setiap orang
termasuk dirinya harus mempertanggungjawabkan tindakannya masing-
masing.
Pada pertemuan ketiga, Ibu AS semakin nyaman untuk mengemukakan
pendapat dan bercanda dalam forum. Adapun terkait materi yang
disampaikan oleh fasilitator, Ibu AS tampak dapat memahami dengan baik
dan menjawab pertanyaan dengan menyertakan contoh kecil dalam
kehidupan. Pada pembahasan ayat kelima surah Al-Fatihah, Ibu AS
merefleksikan bahwa hanya kepada Allah manusia memohon pertolongan.
Ibu AS mengaku setiapkali ada permasalahan, Ibu AS selalu percaya bahwa
dengan curhat kepada Allah pertolongan pun akan datang. Ibu AS
115
mencontohkan ketika dulu dirinya didiagnosis HIV, Ibu AS merengek
meminta tolong hanya kepada Allah saja dan hingga kini minum obat secara
medis menjadi bentuk ikhtiar yang dilakukan Ibu AS untuk sembuh. Setelah
menghayati ayat kelima tersebut, Ibu AS merasa semakin yakin bahwa hal
yang sebaiknya dilakukan dalam menghadapi permasalahan adalah
bersandar kepada Allah, bukan kepada manusia.
Adapun terkait makna ayat kelima yang berhubungan dengan ibadah atau
menyembah Allah, Ibu AS memaknai bahwa tahapan tiap orang dalam
beribadah tidaklah sama. Ibu AS sendiri merasa selalu kurang dalam
ibadahnya. Menurut Ibu AS, yang terpenting dalam ibadah adalah
istiqomah-nya. Ibu AS pun kemudian mengaku bahwa ia tidak senang
dengan istilah “korban” bagi Ibu Rumah Tangga dengan HIV/AIDS yang
tertular dari suaminya. Ibu AS tidak hendak menyalahkan suaminya atas
status yang didapatnya kini dan justru semakin sayang kepada suaminya,
sebab karena dengan kondisi tersebut Ibu AS dan suami justru dapat
semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan rajin beribadah.
Pada pertemuan keempat, Ibu AS stabil menunjukkan partisipasi aktifnya
selama mengikuti serangkaian tahapan terapi. Begitu pula terkait
pemahamannya terhadap materi yang disampaikan serta interaksi sosialnya
selama terapi yang menunjukkan interaksi yang positif. Pada pembahasan
ayat keenam surah Al-Fatihah, Ibu AS menceritakan bahwa terkadang Ibu
AS merasa diberikan petunjuk oleh Allah melalui perasaan nyaman atau
tidak nyaman terhadap sesuatu yang akan dihadapi. Setelah melewati proses
116
refleksi dan penghayatan makna, muncul harapan pada Ibu AS agar dapat
senantiasa diberikan petunjuk oleh Allah.
Pada pembahasan ayat terakhir surah Al-Fatihah, Ibu AS
mengungkapkan harapannya yakni mendapat petunjuk kebaikan seperti
yang didapatkan oleh para sahabat nabi. Ibu AS kemudian menceritakan
pengalaman suaminya yang menurut Ibu AS diangkat dari kondisi yang
dimurkai oleh Allah. Suami Ibu AS pernah memiliki kebiasaan buruk
seperti minum minuman keras dan menggunakan obat-obatan terlarang. Ibu
AS tidak pernah mengoreksi atau menegur suaminya secara langsung,
namun Ibu AS tidak henti-hentinya meminta kepada Allah agar suaminya
dapat berubah. Ibu AS pun mengaku bahwa sekarang setelah suaminya
didiagnosis HIV, sang suami justru menjadi muslim yang lebih taat, seperti
rajin shalat tepat waktu di Masjid dan lain sebagainya. Ibu AS pun
bersyukur untuk itu. Selain observasi dan wawancara, analisis kualitatif juga
dilakukan dengan evaluasi tugas rumah yang dilaksanakan Ibu AS di luar
sesi terapi. Rincian evaluasi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 16. Evaluasi Tugas Rumah Subjek AS
Tanggal
Pelaksanaan Hasil Yang Diperoleh
Senin, 8 April 2019 Ibu AS membaca Al-Fatihah secara reflektif
intuitif selepas shalat isya sebanyak 9 kali
dan subuh sebanyak 3 kali. Ibu AS tidak
melaksanakan tugas rumah selepas shalat
maghrib karena terlalu asik dalam obrolan
dengan suami dan anak-anaknya pada waktu
itu. Setelah menerapkan tugas rumah selepas
shalat maghrib, Ibu AS merasa tenang dan
rasa pusing yang dirasakannya menjadi
117
hilang. Adapun saat membaca surah Al-
Fatihah selepas shalat subuh, Ibu AS merasa
lebih dapat berkonsentrasi. Secara
keseluruhan, Ibu AS mengaku tidurnya jadi
lebih nyenyak dan menjadi lebih yakin
bahwa Tuhan selalu mempunyai cara
tersendiri untuk mengasihi hamba-Nya.
Selasa, 9 April 2019 Ibu AS membaca Al-Fatihah secara reflektif
intuitif pada waktu-waktu yang ditentukan.
Selepas shalat maghrib Ibu AS membaca
surah Al-Fatihah sebanyak 3 kali, namun ia
merasa biasa saja. Selepas shalat isya Ibu
AS membaca surah Al-Fatihah sebanyak 7
kali dan merasa lebih tenang. Selepas shalat
subuh Ibu AS membaca surah Al-Fatihah
sebanyak 7 kali dan mengaku dosis sabarnya
menjadi bertambah. Secara keseluruhan, Ibu
AS merasa terkesan dengan surah Al-
Fatihah yang memberikan efek positif ketika
dibaca dengan penghayatan yang kuat.
Rabu, 10 April 2019 Ibu AS kembali membaca surah Al-Fatihah
secara reflektif intuitif dengan jumlah yang
sama persis di tiap waktunya dengan hari
sebelumnya. Setelah membaca surah Al-
Fatihah secara reflektif intuitif selepas shalat
maghrib, Ibu AS kembali merasa biasa saja.
Setelah membaca surah Al-Fatihah selepas
shalat isya pun Ibu AS kembali merasakan
ketenangan. Adapun setelah membaca Al-
Fatihah selepas shalat subuh, Ibu AS merasa
lebih bugar. Secara keseluruhan setelah
melaksanakan tugas rumah, Ibu AS
mengaku muncul harapan kepada Allah
untuk memberinya pertolongan mulai dari
hal kecil hingga besar.
Kamis, 11 April
2019
Pada tugas rumah kali ini, Ibu L lebih
meningkatkan intensitas membaca surah Al-
Fatihahnya, yakni 7 kali setelah shalat
maghrib, 9 kali setelah shalat isya dan 7 kali
setelah shalat subuh. Saat membaca surah
118
Al-Fatihah selepas shalat maghrib, Ibu AS
merasa semakin tenang. Saat setelah shalat
isya, Ibu AS kembali merasa tenang dan
lebih siap untuk mengerjakan apapun. Saat
setelah shalat subuh, Ibu AS juga merasa
lebih tenang dan kondisi tubuhnya terasa
lebih baik. Secara keseluruhan, Ibu AS
merasa banyak efek psikologis yang
dirasakan yang berkaitan langsung dengan
fisik. Ibu AS menyamakan efek fisik yang
dirasakannya seperti ketika Ibu AS
mengikuti kegiatan jalan kaki sejauh 10 km
yang diadakan Jogja International Heritage
Walk.
Berdasarkan pengukuran pasca tes setelah dilakukan Terapi Al-Fatihah
Reflektif Intuitif dilakukan, Ibu AS berada pada kategori kepatuhan minum
obat tinggi (8). Berdasarkan lembar evaluasi terapi yang diisi oleh Ibu AS
diketahui bahwa harapan Ibu AS cukup terpenuhi melalui terapi yang telah
diikuti, materi yang disampaikan dirasa sangat jelas, fasilitator diakui sangat
menguasai materi, Ibu AS merasa cukup puas terhadap materi yang
disampaikan, media dan alat yang digunakan dalam terapi dinilai cukup
mendukung dan terapi sangat bermanfaat bagi Ibu AS. Adapun manfaat
yang diperoleh menurut Ibu AS ialah lebih memahami proses berpikir dalam
memaknai Al-Fatihah dan merefleksikan dalam kehidupan. Ibu AS
mengaku tidak mengalami perubahan atau perbedaan yang drastis dibanding
saat sebelum mengikuti terapi, hanya saja Ibu AS menjadi mengerti makna
Al-Fatihah dan merasa terapi yang diperoleh dapat menjadi suplemen untuk
kesehatan lahir dan batin. Ibu AS memberikan saran terkait tempat
119
pelaksanaan terapi yang sebaiknya mempertimbangkan jarak tempuh
seluruh peserta. Meskipun jarak tempuh Ibu AS dekat, namun Ibu AS
merasa kasihan pada subjek lainnya yang tinggal cukup jauh dari lokasi
pelaksanaan.
Pada pengukuran tindak lanjut yang dilakukan 2 minggu pasca Terapi
Al-Fatihah Reflektif Intuitif dilakukan, kategori kepatuhan minum obat Ibu
AS konsisten seperti pada hasil pengukuran pascates, yakni tetap pada
kategori tinggi (8). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, diperoleh
gambaran kepatuhan minum obat Ibu AS dan hal-hal yang mendorong Ibu
AS tetap patuh 100% dalam menjalani pengobatan pasca Terapi Al-Fatihah
Reflektif Intuitif diberikan. Ibu AS tidak pernah melewatkan jadwalnya
untuk meminum obat. Saat berpergian jauh, Ibu AS menaruh obatnya pada
tempat kecil, sehingga tidak pernah lupa untuk membawanya. Ibu AS juga
tidak pernah berhenti minum obat karena menurutnya ia tidak pernah
merasa kondisinya memburuk setelah meminum obat. Bagi Ibu AS, efek
samping obat tidak berarti apa-apa karena semua obat bahkan yang dijual
bebas di warung pun ada efek sampingnya. Ibu AS juga tidak pernah
berhenti meminum obat meskipun kondisi tubuhnya membaik, seperti
halnya ketika virus yang ada dalam tubuhnya sudah tidak terdeksi saat Ibu
AS melakukan tes viral load. Ketika dokter menyuruh Ibu AS untuk tetap
minum obat, Ibu AS menurut dan tetap meminum obatnya.
Ibu AS menganggap minum obat sebagai sebuah rutinitas, sama seperti
aktivitas harian lain misalnya mandi. Ibu AS pun tidak terlalu memikirkan
120
dan menganggap aktivitas minum obat tersebut biasa saja sama seperti
ketika ia makan nasi. Begitu pula ketika harus membawa obat berpergian,
Ibu AS menganggap hal tersebut biasa saja sama seperti ketika ia membawa
botol minuman saat berpergian. Ketika sebagian orang merasa terganggu
harus meminum obat setiap hati, Ibu AS justru merasakan kebalikannya. Ibu
AS bercerita ketika ia mengalami efek samping obat yaitu diare, Ibu AS
kemudian berpikiran positif dengan menganggap hal tersebut sebagai
pembersihan kotoran atau racun yang ada pada tubuhnya, sehingga Ibu AS
tetap merasa senang untuk meminum obatnya.
Upaya yang dilakukan Ibu AS agar tidak lagi lupa meminum obatnya
adalah bersikap cuek. Ibu AS mengaku ia mengikuti saran dokter untuk
mengabaikan saja pengalamannya dulu saat tanpa sengaja lupa meminum
obat, karena justru akan berbahaya apabila terlalu dipikirkan hingga menjadi
beban pikiran dan memunculkan pikiran-pikiran negatif. Begitu pula ketika
ada kecerobohan tanpa sengaja saat dulu ia pernah minum obat dua kali
karena lupa bahwa sudah meminum obat di hari tersebut, sehingga
merasakan pusing yang lebih dari efek samping biasanya. Ibu AS
memutuskan untuk tidak terlalu dibawa beban dan justru menertawakan
kecerobohannya tersebut dan menganggapnya sama saja seperti ketika ia
tersandung dan ketidaksengajaan lainnya. Ibu AS tidak lagi mengalami hal
tersebut karena mengingatnya sebagai kenangan yang lucu dan belajar dari
pengalaman. Ibu AS pun saat ini menggunakan metode tertentu yaitu
dengan memindahkan tempat obatnya ketika ia sudah meminumnya,
121
sehingga jika tempat obat tersebut telah berpindah, berarti Ibu AS telah
meminumnya hari itu.
Motivasi Ibu AS untuk tidak berhenti meminum obatnya adalah
keinginannya untuk sehat. Selain itu, melihat banyak teman ODHA-nya
yang kondisinya memburuk karena tidak patuh, Ibu AS pun terdorong untuk
patuh dalam pengobatan. Menurut Ibu AS perasaan jenuh itu berbahaya. Ibu
AS juga melihat perubahan besar pada suami Ibu AS yang sempat
mengalami kondisi yang sangat buruk hingga kesehatannya membaik seperti
saat ini setelah mulai mengkonsumsi ARV sesuai instruksi dokter. Nafsu
makan suami Ibu AS meningkat yang menurut Ibu AS menampakkan
sebuah tanda-tanda kehidupan, sehingga Ibu AS pun menjadi yakin pada
manfaat ARV dan ikut patuh untuk minum obat. Namun demikian, Ibu AS
mengaku bahwa ia tidak menomorsatukan ARV sebagai sesuatu hal yang
mampu membuatnya sehat karena bagi Ibu AS yang menyehatkannya
adalah Allah dan bukan ARV, sehingga mengkonsumsi ARV dianggapnya
hanyalah sebagai bentuk ikhtiar. Menurut Ibu AS ARV bukanlah satu-
satunya jalan, namun tetap merupakan bentuk ikhtiar sama halnya seperti
berdoa kepada Allah dan memakan makanan yang bergizi untuk mendukung
kesehatannya.
Menurut Ibu AS perasaan tidak nyaman atau terganggu itu bukan
masalah minum obat saja, semua hal yang dilakukan juga bisa
memunculkan perasaan tidak nyaman. Menurut Ibu AS, dengan mengenal
diri sendiri baik secara fisik maupun batin, seseorang pasti dapat
122
menghilangkan perasaan terganggu tersebut. Ibu AS juga percaya bahwa
dengan niat baik dan doa maka apapun yang dilakukan akan membawa
manfaat yang baik, sehingga Ibu AS tidak pernah merasa terganggu dan
selalu berpikiran positif terhadap hal yang dilakukannya termasuk dalam
minum obat. Bagi Ibu AS berpikir positif itu murah meriah dan tidak bayar,
jadi tidak ada salahnya untuk selalu berpikiran positif. Ibu AS lebih memilih
untuk mensyukuri hidup ini dengan menikmati segala aktivitas.
Adapun manfaat Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif yang dirasakan Ibu
AS hingga 2 minggu pasca terapi masih sama dengan yang ia rasakan tepat
setelah rangkaian terapi berakhir, yaitu seperti saat setelah ia mengikuti
olahraga jalan sehat. Ibu AS merasa lelah hanya pada saat hari H, namun di
hari-hari setelahnya Ibu AS bangun tidur dengan lebih nyaman, merasakan
badan yang lebih bugar dan tidak mudah lelah. Selain dari segi fisik, Ibu AS
mengaku dari segi pikiran Ibu AS pun merasa pikirannya lebih jernih ketika
melakukan pekerjaannya serta sambung menyambung aktivitas yang
dilakukannya menjadi lebih teratur. Adapun manfaat dalam pengobatan
menurut Ibu AS secara tidak langsung dipengaruhi melalui manfaat batiniah
yang dirasakannya yaitu perasaan tenang. Melalui perasaan tenang, Ibu AS
mengaku tidak mempermasalahkan apapun yang dapat menjadi pemicu
stres, sehingga pikiran yang baik tersebut membuat Ibu AS merasa kondisi
kekebalan tubuhnya menjadi lebih baik. Ibu AS percaya bahwa kondisi
psikis berkaitan erat dengan pasien HIV, tidak terkecuali dengan kondisi
kekebalan tubuhnya. Ibu AS menyebut Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif
123
juga mirip seperti meditasi yang membuat Ibu AS menjadi lebih ringan
dalam mengerjakan apapun. Namun menurut Ibu AS manfaat ini hanya bisa
dirasakan jika ada niat kesungguhan dalam mengamalkannya, karena
perbedaan sikap tiap orang akan melahirkan pengaruh yang berbeda pula.
Gambar 4. Grafik Skor Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8) Subjek AS
c. Subjek 3 (NV)
Ibu NV yang berusia 28 tahun telah terdiagnosis HIV sejak 2009.
Sebelum dilaksanakan Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif, Ibu NV berada
pada kategori kepatuhan minum obat rendah (5,75). Pada awal pengobatan,
Ibu NV merasakan efek samping obat yang membuat Ibu NV merasa
melayang, badan yang mati rasa, serta nyeri tulang yang hebat. Efek
samping tersebut diakui Ibu NV masih dirasakan hingga saat ini. Ibu NV
pun mengaku pernah merasa lelah harus terus meminum obat dan berhenti
mengkonsumsi obatnya pasca melahirkan. Hal tersebut dilakukan Ibu NV
karena tahu bahwa CD4-nya saat itu masih tinggi serta belum banyak
mendengar informasi mengenai dampak tidak mengkonsumsi obat ARV.
7,2
7,4
7,6
7,8
8
8,2
Prates Pascates Tindak Lanjut
Kepatuhan Minum Obat
Kepatuhan Minum Obat
124
Saat ditawarkan untuk mengikuti terapi, Ibu NV menanyakan beberapa hal
terlebih dahulu terkait teknis pelatihan. Setelah mendapat informasi yang
cukup jelas, Ibu NV menyanggupi untuk turut serta berpartisipasi dalam
mengikuti Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif karena belum ada jadwal lain
di tanggal-tanggal yang telah disepakati.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan selama
terapi dilaksanakan, Ibu NV tergolong sebagai subjek yang mampu
menempatkan diri sesuai dengan situasi dan bersikap ramah, dibuktikan
dengan sikapnya yang selalu menghargai orang lain yang sedang berbicara
dengan menanggapi serta selalu tersenyum dan ikut tertawa ketika ada yang
melontarkan lelucon. Selain itu, Ibu NV sangat terbuka dan detail dalam
menceritakan pengalaman yang dialaminya meskipun bersifat privasi.
Jawaban yang diberikan pun dapat menjawab pertanyaan fasilitator dengan
baik. Namun demikian pada salah satu pertemuan, kondisi kesehatan Ibu
NV sedang kurang baik. Ibu NV juga beberapa kali datang terlambat untuk
menghadiri pertemuan terapi karena motornya mogok. Di samping itu, Ibu
NV juga tidak mengerjakan tugas rumahnya di hari pertama.
Pada pertemuan pertama, Ibu NV yang dalam kondisi kurang sehat cukup
kooperatif dalam mengikuti proses terapi. Meskipun pada awalnya Ibu NV
sedikit kurang banyak berbicara dibanding subjek lain dan terlihat pasif,
namun pada pertengahan hingga akhir terapi Ibu NV dapat lebih aktif dan
secara terbuka menyampaikan refleksi kisah hidupnya. Pada pembahasan
ayat pertama surah Al-Fatihah, Ibu NV menceritakan bahwa dirinya pernah
125
hampir ditahan di penjara. Pengalaman tersebut diceritakannya dengan
panjang lebar dan terhenti beberapa kali karena tidak tahan menahan tangis.
Ibu NV mengaku bahwa saat itu ia berusaha untuk meninggalkan pekerjaan
lamanya sebagai PSK dan beralih menjual minuman keras saja. Ibu NV
menyadari bahwa pekerjaan tersebut juga haram namun ia tetap
melakukannya, hingga suatu ketika ada pembeli di warungnya yang
meninggal dunia dan keluarga pembeli tersebut melaporkan Ibu NV ke
pihak yang berwajib. Ibu NV pun takut mendapat stigma dari orang sekitar
bahwa hal tersebut terjadi karena Ibu NV seorang pedagang dengan
HIV/AIDS. Hasil pemeriksaan dikatakan bahwa minuman keras yang dijual
Ibu NV menyebabkan pembeli tersebut meninggal dunia. Namun kemudian
Ibu NV mengaku sesuatu keajaiban terjadi sebab polisi membebaskan
dirinya dan menyatakan bahwa Ibu NV tidak bersalah.
Setelah merefleksikan ayat pertama tersebut, Ibu NV menyadari bahwa
Allah tetap membantunya meskipun masalah yang Ibu NV hadapi
dikarenakan oleh tindakannya sendiri. Ibu NV pun merasa bahwa Allah
selalu berada di sampingnya. Pada pembahasan ayat kedua surah Al-Fatihah
Ibu NV mengangkat cerita yang sama dengan yang dikisahkannya
sebelumnya. Berdasarkan pengalaman hidupnya tersebut, Ibu NV mengaku
bahwa dirinya menyadari semua masalah yang terjadi adalah peringatan dari
Allah atas tindakan buruk yang dilakukannya. Ibu NV merasa bersyukur
atas kondisi apapun yang diberikan Allah, baik saat bahagia maupun saat
terdapat masalah dalam hidupnya.
126
Pada pertemuan kedua terapi, Ibu NV hadir terlambat dikarenakan
kondisi motornya yang mogok. Namun demikian, Ibu NV selalu dapat
menjawab pertanyaan fasilitator dengan baik saat konseling berlangsung.
Ibu NV tidak mengerjakan tugas rumahnya, namun dapat mengingat dengan
baik materi yang dibahas pada pertemuan sebelumnya. Pada pembahasan
ayat ketiga surah Al-Fatihah, Ibu NV menceritakan tentang pengalamannya
saat dulu memiliki pacar yang posesif selama 7 tahun. Ibu NV mengatakan
bahwa ia sangat dikekang dan bahkan tidak diperbolehkan bercanda dengan
teman-temannya. Banyak penderitaan yang dialami Ibu NV ketika menjalin
hubungan dengan kekasihnya tersebut. Namun kini Ibu NV telah
mengakhiri hubungan tersebut dan menemukan pasangan hidup baru yang
menerimanya apa adanya. Setelah memaknai ayat ketiga surah Al-Fatihah,
Ibu NV menyadari bahwa setiap cobaan yang diberikan Allah akan
dibalaskan oleh-Nya dengan sesuatu yang sangat indah. Ibu NV pun merasa
bersyukur atas kasih yang Allah berikan. Pada pembahasan ayat keempat
surah al-Fatihah, Ibu NV mengaku merasa takut karena memikirkan
perbuatan dosa yang telah dilakukan. Namun demikian, bersama diskusi
dengan fasilitator, Ibu NV menyadari bahwa perasaan takut tersebut disertai
dengan harapan mendapat ampunan dari Allah.
Pada pertemuan ketiga terapi, Ibu NV kembali dapat menuturkan cerita
hidupnya dengan lengkap dan jelas. Ketika membahas ayat kelima surah Al-
Fatihah, Ibu NV menceritakan pengalamannya ketika ban motornya bocor
ketika ia berada di lampu merah. Ibu NV mengaku saat itu hanya ada
127
seorang waria di sekitar situ. Ibu NV yang berharap mendapat bantuan dari
waria tersebut ternyata tidak dibantu sama sekali, bahkan diabaikan begitu
saja. Akhirnya Ibu NV hanya berharap kepada Allah agar mendapat
pertolongan dan kemudian ada motor yang datang dari arah belakangnya
dan kemudian berhenti untuk membantu Ibu NV. Setelah memaknai ayat
kelima tersebut, Ibu NV menyadari bahwa Ibu NV tidak dapat berharap
lebih kepada manusia untuk mendapat pertolongan dan justru dengan
berharap kepada Allah, bantuan pasti datang. Ibu NV menjadi lebih
mengingat Allah dan yakin bahwa ia harus bersabar menunggu gilirannya
untuk dibantu oleh Allah karena percaya bahwa Allah akan selalu ada di
sampingnya.
Adapun terkait makna ayat kelima yang berhubungan dengan ibadah atau
menyembah Allah, Ibu NV memaknai bahwa Allah sebenarnya sudah
sangat mempermudah hamba-Nya dalam beribadah. Menurut Ibu NV,
manusia tinggal menggunakan anggota tubuh yang diberikan Allah untuk
beribadah, seperti halnya mulut untuk membaca ayat suci Al-Quran.
Bersama diskusi dengan fasilitator, Ibu NV menyadari bahwa hal-hal
sederhana yang dilakukan atas nama Allah seperti makan dan lain
sebagainya dapat dihitung sebagai ibadah. Setelahnya, Ibu NV mengaku
muncul dorongan untuk lebih rajin minum obat karena hal tersebut juga
dapat dinilai sebagai ibadah dan berharap obat tersebut dapat
memperpanjang umurnya sehingga Ibu NV dapat merawat anaknya. Ibu NV
merasa harus hidup demi anaknya dan lebih memikirkan kepentingan
128
anaknya dibanding apapun saat ini. Terkait pengobatan yang dilakukan Ibu
NV saat ini, ia mengaku lebih memilih pengobatan medis dan menolak
pengobatan alternatif.
Pada pertemuan keempat terapi, Ibu NV tampak semakin ramah terhadap
tim peneliti dan muncul inisiatif untuk menjawab pertama kali ketika
fasiitator bertanya pikiran dan perasaan masing-masing subjek setelah
mengetahui makna ayat surah Al-Fatihah. Pada pembahasan ayat keenam
surah Al-Fatihah, Ibu NV merefleksikan pengalamannya selama mengikuti
proses Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif ini hingga sampai pada
pertemuan terakhir. Ibu NV mengaku dengan belajar dan berdiskusi
bersama di sini membuatnya semakin dapat menahan diri dari perilaku-
perilaku negatif, misalnya mengontrol amarah dan mengontrol keinginan
untuk minum minuman beralkohol yang memabukkan. Hal tersebut
dirasanya sebagai salah satu bagian petunjuk ke jalan yang lurus yang
diberikan oleh Allah. Kemudian muncul perasaan bersyukur serta perasaan
harap pada Ibu NV agar dapat selalu ditunjukkan jalan yang lurus.
Pada pembahasan ayat ketujuh surah Al-Fatihah, Ibu NV kembali
mengangkat pengalamannya selama mengikuti Terapi Al-Fatihah Reflektif
Intuitif yang disadari oleh Ibu NV sebagai salah satu bagian dari nikmat
yang diberikan Allah, contoh adalah Ibu NV yang dulunya ketika shalat
tidak pernah memaknai bacaan shalatnya kini sedikit lebih paham akan
maknanya. Ibu NV pun mengungkapkan harapannya yang ingin diberikan
nikmat atas apa yang dimintanya kepada Allah. Ibu NV kemudian
129
menceritakan tentang pergaulan tidak sehatnya dulu yang tidak disukai
Allah dan berimbas pada status kesehatannya saat ini yang tertular HIV. Ibu
NV merasa kini semakin dapat beranjak lebih baik dari kondisi yang
dimurkai Allah dan menjadi sadar bahwa istilah “sudah jatuh, kemudian
tertimpa tangga” tepat untuk menggambarkan kondisinya dulu. Selain
observasi dan wawancara, analisis kualitatif juga dilakukan dengan evaluasi
tugas rumah yang dilaksanakan Ibu NV di luar sesi terapi. Rincian evaluasi
tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 17. Evaluasi Tugas Rumah Subjek NV
Tanggal
Pelaksanaan Hasil Yang Diperoleh
Senin, 8 April 2019 Ibu NV tidak mengerjakan tugas rumahnya
yakni membaca Al-Fatihah secara reflektif
intuitif selepas shalat maghrib, isya dan
subuh dikarenakan ada beberapa kegiatan
atau aktivitas yang dilakukan Ibu NV pada
waktu-waktu tersebut.
Selasa, 9 April 2019 Ibu NV membaca Al-Fatihah secara reflektif
intuitif selepas shalat maghrib sebanyak 4
kali, isya sebanyak 5 kali dan subuh
sebanyak 4 kali. Setelah membaca Al-
Fatihah selepas shalat magrib, Ibu NV
merasakan perasaan bersyukur dan damai.
Adapun perasaan tenang dirasakan Ibu NV
saat setelah melaksanakan tugas rumah
selepas shalat isya dan subuh. Ketika
mempraktikkan tugas rumah, Ibu NV
merasa badannya lemas, pikiran kosong,
namun menjadi lebih tenang. Secara
keseluruhan, Ibu NV merasa terapi yang
telah dijalaninya membuat ilmunya
bertambah serta membuatnya lebih mampu
menahan diri dari perbuatan tercela.
130
Rabu, 10 April 2019 Ibu NV membaca Al-Fatihah secara reflektif
intuitif selepas shalat maghrib sebanyak 3
kali, isya sebanyak 3 kali dan subuh
sebanyak 7 kali. Setelah membaca surah Al-
Fatihah secara reflektif intuitif selepas shalat
subuh, Ibu NV merasa damai dan pikirannya
lebih jernih. Ibu NV mengaku sangat
berkesan saat mengamalkan tugas rumah
tersebut setelah shalat subuh karena dapat
lebih berkonsentrasi, sedangkan ketika
waktu shalat maghrib dan isya lingkungan
rumahnya sangat berisik dan membuatnya
tidak dapat berkonsentrasi ketika membaca
Al-Fatihah secara reflektif intuitif, sehingga
ia tidak merasakan efek apapun. Secara
keseluruhan, Ibu NV kembali merasa
badannya lemas namun perasaan tenang
membuatnya lebih nyaman.
Kamis, 11 April
2019
Ibu NV membaca Al-Fatihah secara reflektif
intuitif selepas shalat maghrib sebanyak 4
kali, isya sebanyak 2 kali dan subuh
sebanyak 2 kali. Perasaan tenang dirasakan
Ibu NV ketika membaca surah Al-Fatihah
pada waktu-waktu tersebut.
Berdasarkan pengukuran pasca tes setelah dilakukan Terapi Al-Fatihah
Reflektif Intuitif dilakukan, Ibu K tetap berada pada kategori kepatuhan
minum obat rendah (5,75). Namun demikian, berdasarkan lembar evaluasi
terapi yang diisi oleh Ibu NV diketahui bahwa harapan Ibu NV sangat
terpenuhi melalui terapi yang telah diikuti, materi yang disampaikan dirasa
sangat jelas, fasilitator diakui sangat menguasai materi, Ibu NV merasa
sangat puas terhadap materi yang disampaikan, media dan alat yang
digunakan dalam terapi dinilai cukup mendukung dan terapi sangat
bermanfaat bagi Ibu NV. Adapun manfaat yang diperoleh menurut Ibu NV
131
ialah pengetahuan yang sangat penting terkait makna dari surah Al-Fatihah
menjadi bertambah dan setelah mengetahui maknanya, Ibu NV merasa
Tuhan selalu ada di sampingnya. Perubahan atau perbedaan yang dirasakan
Ibu NV dibanding saat sebelum mengikuti terapi adalah pikiran dan hatinya
menjadi nyaman, Ibu NV menjadi lebih sabar dalam menghadapi berbagai
aktivitas sehari-hari serta lebih mensyukuri hidup di segala kondisi.
Pada pengukuran tindak lanjut yang dilakukan 2 minggu pasca Terapi
Al-Fatihah Reflektif Intuitif dilakukan, kategori kepatuhan minum obat Ibu
NV meningkat menjadi kategori sedang (6,75). Berdasarkan hasil
wawancara yang dilakukan, diperoleh gambaran kepatuhan minum obat Ibu
NV dan hal-hal yang mendorong Ibu NV menjadi sedikit lebih patuh dalam
menjalani pengobatan pasca Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif diberikan.
Selama dua minggu terakhir, Ibu NV tidak pernah absen meminum obatnya.
Namun tiga hari sebelum follow-up dilakukan, Ibu NV mengaku
mengkonsumsi obatnya mundur beberapa jam dari jadwal sebab Ibu NV
lupa membawa obatnya saat berpergian dan baru meminumnya sesampainya
di rumah. Frekuensi lupa yang melewatkan jadwal meminum obatnya
tersebut diakui Ibu NV hanya sekali saja dan tidak benar-benar lupa karena
Ibu NV ingat waktu untuk meminum obatnya sudah tiba, akan tetapi ia
sedang di luar rumah dan tidak membawa obatnya. Ada pula saat dimana
Ibu NV lupa membawa obatnya ketika ia sedang berkumpul bersama teman-
teman ODHA-nya yang lain. Akan tetapi hal tersebut tidak masalah sebab
Ibu NV mengaku pasti meminum obatnya tepat waktu dengan meminjam
132
obat temannya terlebih dahulu dan akan menggantikan obat temannya yang
dipinjam tersebut di kemudian hari. Namun demikian, Ibu NV mengaku di
hari lainnya saat ia pergi jauh dari rumah, ia selalu memasukkan obatnya
terlebih dahulu ke dalam tas sebelum benda lain, bahkan ponselnya
sekalipun. Agar memudahkannya, Ibu NV menaruh obatnya pada tempat
khusus yang dapat memuat paket obatnya per hari.
Ibu NV mengaku tidak pernah lupa meminum obatnya karena hal
tersebut sudah menjadi kebiasaannya dan telah menjadi satu dengan dirinya.
Ibu NV mengibaratkan seperti pergi makan ketika lapar. Tanpa berpikir
terlebih dahulu, ketika waktu untuk minum obat sudah tiba, Ibu NV sudah
langsung mengambil obatnya. Menurut Ibu NV hal tersebut dapat terjadi
karena Allah yang menggerakkan. Ibu NV merasa dimudahkan untuk
mengenali waktu untuk minum obatnya, yakni di sela waktu antara azan
pertama dan azan kedua shalat subuh.
Ibu NV saat ini tidak pernah lagi berhenti menjalani pengobatannya
karena merasa sudah yakin hanya ARV obat yang saat ini bisa
membantunya dan tak ada alternatif yang lain. Ibu NV pun sudah paham
betul tentang cara kerja obatnya serta efek sampingnya, sehingga ia sudah
menganggap obat tersebut sebagai nyawanya. Ibu NV mengaku bersyukur
kepada Allah untuk itu. Kini nafsu makan Ibu NV semakin bertambah dan
sambil bercanda berkata bahwa ia takut malah menjadi tambah gemuk. Ibu
NV pun mengaku tidak pernah merasa terganggu harus minum obat setiap
hari karena bagi Ibu NV tidak ada gunanya memikirkan hal tersebut, ia lebih
133
memilih untuk berpikir cara mencari uang. Ibu NV tidak
mempermasalahkan efek samping obat yang dialaminya, bahkan efek
samping seperti melayang justru disukai oleh Ibu NV. Adapun ketika Ibu
NV merasakan efek samping seperti tubuhnya mati rasa, Ibu NV mengaku
tahu cara mengendalikannya agar tidak terasa demikian, yakni dengan
waktu tidur yang cukup. Ibu NV juga mengatakan bahwa ia tidak pernah
merasa bosan dan menikmati apa adanya obat yang saat ini diberikan dokter,
namun tetap berharap ada obat yang lebih baik dan bisa menyembuhkannya
dari virus yang bersarang di tubuhnya saat ini.
Menurut keterangan Ibu NV ketika sedang mengkonsumsi obat, ia
terkadang masih sering berpikir mempertanyakan mengapa ia bisa mendapat
status HIV seperti saat ini. Sesekali ketika Ibu NV merasa lelah, ia
memikirkan anaknya dan bertanya-tanya apakah dia akan mampu bertahan
hidup hingga anaknya besar. Namun pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya
muncul saat ia ada masalah, sedangkan jika tidak ada masalah Ibu AS
merasa biasa saja dan tidak senang terlalu larut dalam emosi. Bagi Ibu NV,
perasaan menolak yang dirasakannya wajar ada pada manusia, namun
perasaan tersebut dapat ia kalahkan dengan perasaan yakin akan sembuh.
Ibu NV mengaku tidak pernah merasa terpaksa untuk meminum obatnya
dan dengan senang hati melakukan hal tersebut. Ibu NV menganggap ARV
separuh hidupnya dan dengan meminum obatnya ia berharap dapat
memotivasi teman-teman ODHA-nya yang lain. Ibu NV menceritakan
bahwa terkadang ketika ia harus meminjam obat temannya saat lupa
134
membawa obat, Ibu NV akan memilih untuk meminjam obat pada temannya
yang tampak tidak rajin minum obat. Ibu AS berharap temannya akan
berpikir “Ibu NV saja yang lupa membawa obatnya sampai meminjam
kepadaku, mengapa aku tidak minum?”. Selain untuk memantau kepatuhan
teman-temannya, Ibu NV juga secara halus ingin mengingatkan temen-
temannya.
Ibu NV mengaku hal lain yang memotivasinya untuk tetap meminum
obatnya saat ini ialah karena perasaan takut yang dirasakannya. Ibu NV
ingin meninggal dunia dalam kondisi yang baik, karena saat ini Ibu NV
merasa banyak dosa dan tidak ingin matinya pun dideskriminasi karena
telah mendapatkan deskriminasi selama di dunia. Meskipun kondisinya
membaik sekalipun, Ibu NV tidak akan berhenti minum obat karena takut
saat melihat pengalaman teman-teman ODHA-nya lain yang bagi Ibu NV
sangat menyeramkan karena tidak patuh mengkonsumsi ARV. Menurut Ibu
NV hal tersebut merupakan salah satu cara Allah untuk membuatnya yakin
agar tidak berhenti meminum obat. Melalui diperlihatkannya kondisi teman-
teman Ibu NV yang lebih parah, Ibu NV merasa diperingatkan oleh Allah
bahwa mengkonsumsi ARV adalah cara untuknya agar tetap bertahan hidup
dan berkumpul dengan keluarganya. Meskipun harus dikonsumsi setiap hari
dan memberikan efek samping yang ringan hingga berat, namun Allah
sudah memberikan ARV sebagai solusinya.
135
Allah adalah nomor satu dan yang utama bagi Ibu NV dalam
mendorongnya untuk patuh minum obat. Ibu AS mengaku sering terlintas di
pikirannya pelajaran-pelajaran agama sewaktu ia belajar di TPA dulu saat
masih kecil. Salah satunya terkait memberi makan diri sendiri yang dihitung
pahala, sehingga Ibu NV berpikir jika hal sekecil itu saja sudah berpahala,
maka mengkonsumsi obat sebagai upaya agar hidup tetap sehat akan lebih
baik pahalanya. Ibu NV pun merasa pikiran-pikiran tersebut terlintas atas
kehendak Allah. Nomor dua bagi Ibu NV adalah keluarganya sebab ia
merasa memiliki tanggung jawab setidaknya saat meninggal Ibu NV sudah
meninggalkan sesuatu unruk keluarganya melanjutkan hidup. Meninggal
saat ini juga atau nanti Ibu NV mengaku akan pasrah mengikuti takdir Allah
sebab ia tidak terlalu berharap untuk hidup lama karena cukup dengan tahu
keluarganya dapat melanjutkan hidup dengan baik, ia sudah merasa tenang.
Adapun manfaat dari Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif yang dirasakan
Ibu NV adalah perasaan lebih tenang, tidak hanya berkaitan dengan
pengobatan tetapi mencakup segala hal. Setelah tahu makna ayat surah Al-
Fatihah, Ibu NV terkadang membaca-baca kembali Buku Diari Hatiku
miliknya saat sedang tidak ada kegiatan. Ibu NV mengaku mendapat banyak
sekali manfaat, salah satunya tergeraknya hatinya untuk meluangkan waktu
membaca kembali makna surah Al-Fatihah dalam Buku Diari Hatikunya
tersebut. Menurut Ibu NV ini adalah jalan Allah karena biasanya waktu
luang yang Ibu NV miliki tidak akan ia habiskan untuk memaknai surah Al-
Fatihah, apalagi ketika dulu Ibu NV tidak mengerjakan ibadah shalat. Saat
136
ini semenjak Ibu NV kembali memulai untuk rajin mengerjakan shalat, ia
merasa ada dorongan untuk melakukan ibadah. Bahkan terkadang saat
sedang datang bulan, Ibu NV tidak sabar menunggu masa datang bulannya
selesai karena ingin shalat dan membaca Al-Quran.
Selain itu setiap Ibu NV memiliki keinginan atau pun sedang dihadapkan
dengan masalah, Ibu NV akan berdoa dan seketika ia mendapatkan jawaban
atas doa yang dipanjatkannya. Ketika menghadapi masalah tersebut pun, Ibu
NV tidak terlalu pusing memikirkannya dan lebih tenang meskipun tidak
100%, hanya 70% saja. Menurut Ibu NV, shalat yang semakin rajin
dikerjakan ditambah dengan pemaknaan surah Al-Fatihah membuat Ibu NV
merasa tenang dimanapun ia berada. Ibu NV mengaku bahwa dirinya adalah
seseorang yang mudah sekali terbawa amarah, namun sekarang menjadi
lebih sabar. Ibu NV yakin perubahan tersebut akan pelan-pelan dialaminya.
Adapun manfaat terkait pengobatan secara khusus Ibu NV rasakan mirip
dengan yang dilihatnya di televisi ketika seseorang usai di-ruqiyah. Ibu NV
tidak tahu pasti apakah hal tersebut dirasakannya karena saat membaca Al-
Fatihah terlalu menghayati atau karena hal lain. Sekarang pun Ibu NV
merasa tidurnya lebih nyaman karena badannya lemas, padahal biasanya Ibu
NV sangat susah untuk tidur. Meskipun salah satu efek samping obat ARV
adalah mengantuk, hal tersebut tetap tidak mempan untuk membuatnya
tertidur. Namun kini tidurnya menjadi lebih nyenyak dan tidak memikirkan
apapun yang mengganggu pikirannya.
137
Gambar 5. Grafik Skor Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8) Subjek NV
d. Subjek 4 (K)
Ibu K yang berusia 37 tahun telah terdiagnosis HIV sejak 2010. Sebelum
dilaksanakan Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif, Ibu K berada pada
kategori kepatuhan minum obat sedang (7). Pada awal pengobatan, Ibu K
merasakan efek samping mual dan pusing karena obat baru masuk ke dalam
tubuhnya. Ibu K mengaku dulu pernah mundur jam dari jadwal seharusnya
untuk minum obat karena tertidur setelah melakukan proses transfusi ketika
perawatan opname di Rumah Sakit. Saat ditawarkan untuk mengikuti terapi,
Ibu K langsung setuju serta mengatakan bahwa saat itu Ibu K sedang banyak
waktu luang dan akan bersedia membantu jika memang sedang tidak
berhalangan. Ibu K memastikan agar peneliti juga mendiskusikan bersama
subjek lain, sehingga Ibu K akan mengikuti jadwal pertemuan yang telah
disepakati bersama subjek lainnya. Namun demikian, Ibu K kemudian
memberikan saran untuk waktu terapi yakni pagi hingga siang saja, sebab
setiap sore hingga malam Ibu K memiliki kegiatan.
5
5,5
6
6,5
7
Prates Pascates Tindak Lanjut
Kepatuhan Minum Obat
Kepatuhan Minum Obat
138
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan selama
terapi dilaksanakan, Ibu K menrupakan subjek yang menonjol di antara
subjek lainnya. Ibu K mampu menjadi pemantik agar subjek lainnya dapat
berpartisipasi aktif dalam diskusi. Setiap kali Ibu K bercerita, subjek lain
tampak segan dan merespon dengan positif apapun yang Ibu K sampaikan.
Namun demikian, Ibu K juga merupakan subjek yang paling sering
melakukan hal lain sambil mendengarkan fasilitator menerangkan materi
seperti mengajak subjek di sampingnya berbicara, mengecek ponselnya,
mencoret-coret Buku Diari Hatiku miliknya serta merajut sebuah tas.
Pada pertemuan pertama terapi, Ibu K dapat menjadi pusat perhatian
ketika ia sedang berbicara dan dapat membantu mendorong subjek lainnya
untuk turut aktif dalam diskusi. Ibu K juga cukup kooperatif untuk
mengikuti arahan dari fasiitator, meskipun terkadang terkesan tidak
memperhatikan dengah sungguh-sungguh karena sibuk sendiri menggambar
di Buku Diari Hatiku milik Ibu K saat fasilitator sedang menjelaskan. Pada
pembahasan ayat pertama surah Al-Fatihah, Ibu K menceritakan terkait
pengalamannya saat sempat dinyatakan meninggal dunia atau mengalami
mati suri. Ibu K bercerita dengan suara yang bergetar bahwa ia
berterimakasih kepada Allah yang telah memberikannya kesempatan untuk
menjalani kehidupan kedua. Setelah memaknai ayat pertama tersebut, Ibu K
mengaku seperti sedang berdialog langsung dengan Allah dan kemudian
merasakan kedekatan dengan-Nya serta muncul perasaan nyaman. Pada
pembahasan ayat kedua surah Al-Fatihah, Ibu K kembali mengangkat kisah
139
yang telah diceritakannya serta menarik kesamaan hikmah dari kisahnya
dengan kisah dari subjek lainnya yakni bahwa Tuhan selalu punya cara
sendiri untuk membuat hamba-Nya bersyukur.
Pada pertemuan kedua terapi, Ibu K mengikuti proses terapi dengan
cukup baik meskipun dengan kondisi kaki yang sakit setelah mengalami
kecelakaan bersama Ibu L sepulang dari pertemuan pertama terapi. Ibu K
tidak terlalu menonjol seperti pertemuan sebelumnya dan kembali
melakukan hal lain secara bersamaan dengan penyampaian materi yang
dilakukan oleh fasilitator, yakni merajut sebuah tas dan sesekali mengobrol.
Pada pembahasan ayat ketiga surah Al-Fatihah, Ibu K mengakui secara
terang-terangan kepada semua yang berada dalam forum bahwa ia menganut
keyakinan kejawen. Ibu K mengaku bahwa caranya beribadah tidak sama
dengan muslim pada umumnya, ia punya cara tersendiri untuk sembahyang.
Ibu K merefleksikan ayat kedua surah Al-Fatihah tersebut dan mengatakan
bahwa selama ini setiap kali Ibu K berkeluh kesah kepada Allah, ia pasti
mendapatkan jawaban. Salah satunya pada kejadian yang baru saja terjadi
yaitu saat kondisi kaki Ibu K yang sakit pasca kecelakaan, Ibu K merasa
dikuatkan oleh Allah untuk dapat menepati janjinya yaitu datang mengikuti
Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif pada pertemuan kedua. Setelah
menghayati makna dari ayat tersebut, Ibu K mengaku bahwa kini ia semakin
mencintai Allah. Pada pembahasan ayat keempat surah Al-Fatihah, Ibu K
mengharapkan ampunan dari Allah karena yakin bahwa Allah akan
mengampuninya.
140
Pada pertemuan ketiga terapi, Ibu K datang tepat waktu dan dapat
memperhatikan penyampaian materi oleh fasilitator meskipun beberapa kali
tampak membuka ponselnya. Ibu K mampu mencairkan suasana dan
bersikap ramah terhadap tim peneliti maupun subjek lainnya. Pada
pembahasan ayat kelima surah Al-Fatihah, Ibu K memaknai bahwa Allah
selalu mendengarkan hal sekecil apapun yang diminta oleh hamba-Nya dan
Ibu K yakin hal ini karena kedekatan hamba-Nya dengan Yang Maha
Tinggi. Ibu K pun merasa tenang dan “pasrah” dalam artian berserah diri
kepada Allah. Ibu K menceritakan terkait pengalaman pertama ketika
mengetahui status HIV. Ibu K sempat salah diagnosis oleh dokter dan
mengalami kondisi kritis, hingga kemudian Ibu K meminta pertolongan
kepada Allah dengan berjanji pada diri sendiri bahwa jika diberikan
kesempatan untuk hidup, ia ingin membantu teman-teman ODHA-nya yang
lain. Ibu K juga melakukan upaya pengobatan yaitu dengan meminum obat
yang sifatnya seumur hidup dan berusaha untuk terus meminum obat yang
diberikan hingga sekarang. Terkait makna ayat yang berhubungan dengan
ibadah, Ibu K memaknai bahwa manusia harus selalu menyertakan Allah
dalam kehidupan, seperti halnya meniatkan segala sesuatu dan segala
aktivitas karena Allah. Ibu K kemudian menceritakan terkait cara
sembahyangnya yang seringkali membuat penasaran orang lain dan
mengatakan bahwa kepercayaan yang dianutnya menganggap seisi alam dan
pengalaman hidup sebagai kitabnya.
141
Pada pertemuan keempat terapi, Ibu K cukup aktif dalam merespon
pertanyaan fasilitator dan menunjukkan peningkatan terkait kualitas
jawaban yang diberikan. Pada pembahasan ayat keenam surah Al-Fatihah,
Ibu K menceritakan bahwa ia sering mendapatkan firasat mengenai sesuatu
hal yang akan terjadi. Ibu K mengaku Allah memberikannya petunjuk
melalui hadirnya perasaan-perasaan tertentu sebagai gambaran kejadian
yang akan terjadi baik kepada dirinya maupun orang di sekitarnya.
Contohnya, ketika Ibu K mendapat gambaran bahwa akan ada yang
meninggal, namun ia tidak dapat menceritakan kepada siapapun gambaran
yang diperolehnya tersebut. Setelah melewati proses refleksi dan
penghayatan makna ayat keenam, Ibu K merasa diperkuat dan dipertebal
keyakinannya.
Pada pembahasan ayat ketujuh surah Al-Fatihah, Ibu K memaknai bahwa
ujian yang didapatnya dapat menjadikannya lebih dekat kepada Allah dan
hal tersebut merupakan bentuk nikmat yang Ibu K peroleh. Ibu K pun
mengaku senantiasa merasakan harapannya agar dapat menjadi hamba yang
baik. Ibu K kemudian menceritakan pengalamannya yang hampir mirip
dengan Ibu AS namun berkebalikan dengan yang dialami Ibu AS. Menurut
Ibu K, ia justru diangkat dari kondisi yang dimurkai oleh Allah menjadi
kondisi yang lebih baik dengan perantara suaminya saat ini. Ibu K mengaku
bahwa dulu sebelum bertemu dengan suaminya saat ini, ia adalah seseorang
yang sangat “saklek” atau tidak bisa dibantah. Ibu K juga mengaku bahwa ia
tidak senang dipandangi oleh orang lain. Ketika ada yang melihatnya, Ibu K
142
tanpa berbicara biasanya langsung menampar orang tersebut. Namun setelah
bersama suami ketiganya yang sangat sabar dan mampu membuatnya patuh,
Ibu K mengaku sekarang ia lebih “jinak”. Ibu K juga mengungkapkan
anggapan orang-orang yang seringkali menilai suami Ibu K takut
terhadapnya adalah salah besar karena sebenarnya Ibu K lah yang merasa
takut kepada suaminya sehingga mampu meredam sifat keras kepalanya.
Selain observasi dan wawancara, analisis kualitatif juga dilakukan dengan
evaluasi tugas rumah yang dilaksanakan Ibu K di luar sesi terapi. Rincian
evaluasi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 18. Evaluasi Tugas Rumah Subjek K
Tanggal
Pelaksanaan Hasil Yang Diperoleh
Senin, 8 April 2019 Ibu K membaca Al-Fatihah secara reflektif
intuitif selepas shalat isya sebanyak 3 kali dan
subuh sebanyak 7 kali. Ibu K tidak
mengerjakan tugas rumah selepas shalat
maghrib karena badannya sakit setelah
mengalami kecelakaan bersama Ibu L sepulang
dari Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif pada
pertemuan pertama. Ibu K menambah waktu
untuk membaca surah Al-Fatihah di tengah
malam sebanyak 21 kali. Setelah menerapkan
tugas rumah selepas shalat isya, Ibu K
mengingat kembali kejadian kecelakaan yang
dialaminya dan justru merasa hal tersebut lucu
karena motor yang menabrak Ibu K dan Ibu L
berjalan sendiri tanpa pengendara. Ibu K juga
merasa bersyukur karena masih diberikan
kesehatan meskipun mengalami kecelakaan.
Adapun selepas shalat subuh, Ibu K juga
merasa bersyukur dan berharap selalu dapat
mensyukuri pemberian Allah untuknya dan
keluarga.
143
Selasa, 9 April
2019
Ibu K membaca Al-Fatihah secara reflektif
intuitif selepas shalat maghrib, isya dan subuh
masing-masing sebanyak 3 kali. Ibu K kembali
menambahkan waktu untuk membaca surah Al-
Fatihah di tengah malam sebanyak 21 kali.
Pada waktu-waktu membaca surah Al-Fatihah
tersebut, Ibu K merasakan ketenangan. Pada
waktu subuh, selain tenang, Ibu K juga merasa
bersyukur dan berharap selalu dapat percaya
akan pertolongan Allah. Dalam melaksanakan
tugas rumah, Ibu K mengaku tidak mengalami
kendala apapun, karena telah terbiasa membaca
surah Al-Fatihah dengan jumlah yang berbeda
di waktu-waktu tertentu.
Rabu, 10 April
2019
Pada waktu shalat isya, Ibu K meningkatkan
intensitas bacaan surah Al-Fatihahnya menjadi
7 kali. Adapun pada waktu shalat subuh Ibu K
tetap membaca Al-Fatihah sebanyak 3 kali. Ibu
K kembali menambahkan waktu membaca
surah Al-Fatihah di tengah malam, namun
hanya sebanyak 7 kali. Pada tugas rumah kali
ini, Ibu K kembali tidak mengerjakan tugas
rumah di waktu maghrib karena lupa. Secara
keseluruhan, Ibu K merasa tenang setelah
membaca surah Al-Fatihah di rumah. Selain
merasa tenang, setelah membaca surah Al-
Fatihah secara reflektif intuitif selepas shalat
isya, Ibu K juga menjadi lebih mensyukuri
nikmat dari Allah. Di samping itu, Ibu K juga
merasa lebih senang dan berkeinginan menjadi
seorang hamba yang baik.
Kamis, 11 April
2019
Ibu K menerapkan Terapi Al-Fatihah Reflektif
Intuitif selepas shalat maghrib dan isya masing-
masing 3 kali dan merasakan ketenangan
setelah membaca surah Al-Fatihah. Rasa
tenang juga Ibu K rasakan saat membaca surah
Al-Fatihah Reflektif Intuitif di tengah malam
sebanyak 7 kali, namun rasa tenang yang
dirasakan menjadi biasa saja karena pada hari-
hari sebelumnya selalu mengalami perasaan
tersebut. Adapun pada waktu subuh, Ibu K
144
tidak mengerjakan tugas rumahnya untuk
membaca surah Al-Fatihah selepas shalat
subuh.
Berdasarkan pengukuran pasca tes setelah dilakukan Terapi Al-Fatihah
Reflektif Intuitif dilakukan, Ibu K tetap berada pada kategori kepatuhan
minum obat sedang (7). Berdasarkan lembar evaluasi terapi yang diisi oleh
Ibu K diketahui bahwa harapan Ibu K cukup terpenuhi melalui terapi yang
telah diikuti, materi yang disampaikan dirasa cukup jelas, fasilitator diakui
cukup menguasai materi, Ibu K merasa cukup puas terhadap materi yang
disampaikan, media dan alat yang digunakan dalam terapi dinilai cukup
mendukung dan terapi cukup bermanfaat bagi Ibu K. Adapun manfaat yang
diperoleh menurut Ibu K biasa saja, Ibu K merasa cukup tenang dan bisa
jauh lebih bersyukur, serta semakin memperkuat keyakinannya kepada
Allah. Ibu K mengaku perubahan atau perbedaan yang dirasakan Ibu K
dibanding saat sebelum mengikuti terapi hanya lebih tenang saja. Ibu K
memberikan kritik bahwa pelatihan yang dilaksanakan tidak efisien terkait
jumlah pertemuan. Menurut Ibu K, terapi sebaiknya dipadatkan jam dan
harinya, karena menurutnya dua hari atau dua kali pertemuan saja sudah
cukup. Ibu K juga menambahkan harapannya agar para peneliti kedepannya
dapat lebih memahami responden dan jangan selalu menjadikan ODHA
sebagai objek penelitian.
Pada pengukuran tindak lanjut yang dilakukan 2 minggu pasca Terapi
Al-Fatihah Reflektif Intuitif dilakukan, kategori kepatuhan minum obat Ibu
K meningkat menjadi kategori tinggi (8). Berdasarkan hasil wawancara
145
yang dilakukan, diperoleh gambaran kepatuhan minum obat Ibu K dan hal-
hal yang mendorong Ibu K menjadi patuh 100% dalam menjalani
pengobatan pasca Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif diberikan. Ibu K tidak
pernah lupa ataupun tidak meminum obatnya karena alasan apapun. Ibu K
pun bersyukur dapat patuh 100% dalam pengobatannya. Untuk mengingat
jadwal minum obatnya, Ibu K dibantu dengan alarm dan biasanya anggota
keluarganya baik suami maupun anaknya akan mengingatkan Ibu K ketika
alarm berbunyi. Ibu K pun akan langsung meminum obatnya dan tidak
merasa baik-baik saja saat harus minum obat. Ibu K saat ini tidak pernah
lagi merasakan kondisinya memburuk karena efek samping dari obat sudah
tidak terjadi pada Ibu K setiap kali meminum obatnya.
Pada saat berpergian pun Ibu K tidak pernah lupa membawa obatnya.
Obat ARV biasanya dimasukkan Ibu K ke dalam kotak obat, sehingga
praktis untuk dibawa kemana-mana dan selalu ada di dalam tasnya. Ibu K
pun menceritakan pengalamannya minum obat satu hari sebelum wawancara
follow-up dilakukan. Ketika alarm berbunyi, Ibu K meminum obatnya tanpa
keterpaksaan kemudian langsung melanjutkan aktivitas lainnya. Ibu K
merasa nyaman dengan hal tersebut karena sudah ia anggap sebagai ritme
hidup yang memang harus dijalani. Ibu K mengaku bagaimanapun kondisi
kesehatannya, baik sehat maupun sakit, ARV tetap menjadi yang pertama.
Saat tidak enak badan dan harus mengkonsumsi obat lainnya, Ibu K pun
tetap mengutamakan ARV untuk diminum terlebih dahulu dan selang dua
jam kemudian baru meminum obat lainnya tersebut. Adapun saat kondisi
146
kesehatan Ibu K baik seperti ketika cek darah komplit yang dilakukan 3
bulan sekali, cek CD4 tiap 6 bulan sekali, ataupun cek VL (viral load)
setahun sekali. Ibu K menceritakan bahwa saat ini ketika ia tes VL untuk
menghitung jumlah virus yang ada di dalam tubuh, hasil laboratorium
menunjukkan bahwa virus tidak terdeteksi. Ibu K menjelaskan, jika virus
masih terdeteksi maka harus dilakukan evaluasi terkait kepatuhan minum
obatnya, namun karena virus yang ada dalam tubuhnya sudah tidak
terdeteksi maka ia dapat dikatakan menjalani pengobatan 100%.
Ibu K juga tidak merasa terganggu karena menurut Ibu K rasa nyaman
atau tidak itu tergantung pada pribadi masing-masing orang. Apabila ingin
menjadikan ARV sebagai penyembuh bisa jadi beberapa orang akan
mempertanyakan sampai kapan harus minum obat setiap hari dan mengapa
tidak sembuh-sembuh. Namun jika menganggap ARV sebagai vitamin maka
akan lebih nyaman karena dengan meminum vitamin tidak mengharapkan
kesembuhan, namun tahu akan berimbas pada tubuh yang sehat. Hal
tersebutlah yang dilakukan oleh Ibu K.
Adapun yang mendorong Ibu K untuk tidak berhenti meminum obatnya
adalah karena niat agar diri sendiri menjadi sehat dan ingin tetap bisa
melakukan segala sesuatu yang menjadi harapan dan cita-citanya. Menurut
Ibu K, sebisa mungkin ia memang harus patuh karena imbas yang dirasakan
dari ketidakpatuhan akan langsung mengenai dirinya sendiri, bukan orang
lain. Kebaikan diri sendiri adalah motivasi yang utama dalam pengobatan
Ibu K karena menurutnya hal tersebut akan berdampak pada keluarga dan
147
teman-temannya pula. Apabila urusan diri sendiri telah selesai dan merasa
kondisinya telah baik, maka ia dapat berguna untuk orang lain. Ibu K
mengaku bahwa ia sudah berkomitmen untuk patuh karena telah berjanji
kepada Tuhan ketika diberikan kehidupan kedua oleh-Nya. Ibu K merasakan
sebuah ikatan batin dengan Tuhan dan takut mengingkari janjinya. Ibu K
mengaku bahwa jika berjanji dengan manusia saja, apapun itu, ia akan
berusaha untuk segera menepatinya, apalagi jika telah berjanji kepada
Tuhan. Selain itu, Ibu K juga melihat banyak contoh di sekitarnya yang
mengalami kondisi tak menguntungkan karena tidak patuh dalam
mengkonsumsi obat. Oleh karena itu penting bagi Ibu K untuk semangat
dalam menjalani pengobatannya.
Ibu K mengaku sudah lama membaca surah Al-Fatihah, bahkan sebelum
mengikuti Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif. Membaca Surah Al-Fatihah
menjadi salah satu ritual yang dilakukan Ibu K di tengah malam untuk
sembahyang sesuai keyakinan yang dianut Ibu K. Menurut keterangan Ibu
K, cara sembahyang tersebut telah diterapkannya sejak kecil karena
mengikuti ajaran dari Bapaknya yang juga murni kejawen. Ibu K merasa
Allah senantiasa memenuhi janji-Nya, dibuktikan dengan segala kemudahan
yang didapatkannya ketika ia mencurahkan segala kondisi apapun yang
dialaminya kepada Allah. Maka dari itu, ibadah yang dilakukannya tersebut
merupakan caranya untuk mengungkapkan rasa syukur kepada-Nya. Setelah
mengikuti Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif, Ibu K mengaku tentu saja
mendapatkan manfaat karena dengan Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif
148
yang melibatkan Tugas Rumah untuk membaca surah Al-Fatihah secara
reflektif dan intuitif di tiga waktu tertentu (selepas shalat maghrib, isya dan
subuh), jam untuk beribadah Ibu K menjadi bertambah. Manfaat yang
dirasakan oleh Ibu K dua minggu setelah Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif
dilakukan dari segi pengobatan adalah Ibu K merasa kondisinya semakin
baik dan tidak ada masalah.
Gambar 6. Grafik Skor Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8) Subjek K
D. Pembahasan
Hasil pengolahan data secara statistik menunjukkan bahwa hipotesis pada
penelitian ini yang menyatakan bahwa Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif efektif
untuk meningkatkan kepatuhan minum obat ARV pada Ibu Rumah Tangga
dengan HIV positif ditolak. Namun demikian, dari analisis data yang diperoleh
diketahui bahwa terdapat perbedaan mean skor kepatuhan minum obat antara
prates, pascates dan tindak lanjut setelah intervensi diberikan. Artinya, Terapi Al-
Fatihah Reflektif Intuitif dapat meningkatkan kepatuhan minum obat namun tidak
6,5
7
7,5
8
8,5
Prates Pascates Tindak Lanjut
Kepatuhan Minum Obat
Kepatuhan Minum Obat
149
secara signifikan. Berdasarkan persentase sumbangan efektif, Terapi Al-Fatihah
Reflektif diketahui hanya meningkatkan kepatuhan minum obat sebesar 13,1%
pada kelompok eksperimen.
Hasil penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa Terapi Al-Fatihah
Reflektif Intuitif dapat menurunkan depresi dan meningkatkan imunitas (Julianto
& Subandi, 2015), bahkan lebih khususnya gejala depresi pada ODHA (Maulana,
2017). Namun demikian, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian
sebelumnya yang menguraikan besarnya pengaruh Terapi Al-Fatihah Reflektif
Intuitif terhadap pasien HIV/AIDS. Terdapat beberapa hal yang dapat menjadi
penyebab temuan pada penelitian ini tidak mendukung hipotesis penelitian.
Adanya faktor lain atau extraneous variable yang mengancam validitas internal
seperti selection bias dan history menjadi salah satu penyebab ditolaknya
hipotesis penelitian.
Selection bias merupakan sumber ancaman validitas internal yang
menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antar kelompok penelitian
sebelum intervensi dilakukan (Hidayat, 2017). Ancaman ini terjadi akibat
matching problem antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang tidak
seimbang disebabkan karena tidak dilakukannya randomisasi pada penelitian ini.
Kriteria subjek penelitian untuk kelompok eksperimen maupun kontrol pada
penelitian ini adalah memiliki rentang usia 28-48 tahun dan memiliki skor
kepatuhan minum obat dengan kategori rendah hingga sedang. Akan tetapi,
pembagian kelompok menjadi tidak matching karena subjek pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol hanya tercocokkan pada rentang usia yang
150
sama, namun tidak pada kategori skor kepatuhan minum obat. Hal tersebut terjadi
karena terkendala dengan kesediaan dan kesibukan subjek untuk terlibat dalam
penelitian ini. Dampaknya kelompok eksperimen lebih banyak melibatkan subjek
dengan kategori kepatuhan minum obat sedang, sedangkan kelompok kontrol
melibatkan lebih banyak subjek dengan kategori kepatuhan minum obat rendah.
Selain itu, tidak dilakukannya matching pada tingkat pendidikan subjek juga
menjadi ancaman sebab pada kelompok eksperimen justru terdapat subjek dengan
tingkat pendidikan terendah yaitu SD, sedangkan pada kelompok kontrol terdapat
subjek dengan tingkat pendidikan tertinggi yaitu Sarjana. Kondisi ini lalai untuk
diperhitungkan, padahal Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif yang banyak
melibatkan proses kognitif dalam pelaksanaannya tentu membutuhkan
kemampuan kognitif yang memadai yang didukung oleh tingkat pendidikan. Hal
tersebut menyebabkan perbandingan yang tidak seimbang dan mempengaruhi
hasil penelitian.
Ancaman lainnya adalah history yang muncul akibat adanya peristiwa atau
kondisi yang tidak dapat dikendalikan oleh peneliti selama penelitian berlangsung
(Hastjarjo, 2011). Munculnya ancaman history terjadi pada salah seorang subjek
pada hari terakhir pertemuan terapi. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui
bahwa subjek tersebut mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari tetangga
yang telah ia bantu. Meskipun subjek mengaku mampu menyikapi hal tersebut
dengan lebih sabar, namun dari hasil observasi diketahui bahwa subjek sering
memandang kosong ke arah lain dan hilang fokus saat fasilitator menyampaikan
materi. Subjek tersebut yang selama ini hidup dengan penolakan dari orangtuanya
151
dan mengenal tetangga yang sudah dianggapnya sebagai keluarga sendiri
kemudian menerima perlakuan yang kurang baik dari tetangganya tersebut. Hal
tersebut membuat subjek kehilangan salah satu sumber dukungan sosialnya karena
kurangnya penghargaan serta penerimaan dari orang terdekat bahkan setelah
dibantu olehnya. Menurut Brannon & Feist (2010) tingkat dukungan sosial yang
diperoleh individu menjadi prediktor yang kuat dalam kepatuhan, sehingga dapat
dikatakan bahwa kondisi yang dialami subjek tersebut berkenaan dengan
kurangnya dukungan sosial yang mempengaruhi kepatuhannya dalam
mengkonsumsi obat.
Selain itu, ditolaknya hipotesis penelitian ini disebabkan pula oleh interaction
of personological variables and treatment, yaitu interaksi antara perlakuan
eksperimen dan karakteristik subjek yang mengancam validitas eksternal (Bracht
and Glass, 1968). Contoh dari personological variables yang dapat memengaruhi
validitas eksternal adalah usia, ekstroversi-introversi, tingkat kecemasan,
karakteristik individu, tanggung jawab, tingkat pekerjaan, latar belakang
pendidikan, dan tingkat independensi (Street, 1995). Seperti yang diketahui dari
hasil wawancara dan observasi yang dilakukan, salah seorang subjek memiliki
karakteristik yang berbeda dari ketiga subjek lainnya. Subjek tersebut
menyebutkan bahwa ia menganut kepercayaan kejawen dan memiliki cara
sembahyang dan kitab yang berbeda dari muslim pada umumnya. Oleh karena itu
surah Al-Fatihah dimaknai secara berbeda oleh subjek tersebut yang mengaku
sudah sering membaca surah Al-Fatihah setiap tengah malam. Hal ini tentunya
menjadi salah satu penghambat sebab subjek tidak benar-benar mewakili kriteria
152
subjek penelitian yang diharapkan. Tampak dari hasil observasi selama pelatihan
berlangsung, meskipun subjek tersebut aktif dalam menjawab pertanyaan
fasilitator namun ia terkesan enggan mendengarkan fasilitator yang sedang
menyampaikan materi karena selalu mengerjakan hal lain secara bersamaan dan
kurang menaruh perhatian pada hal-hal yang disampaikan oleh fasilitator. Ketika
subjek penelitian tidak sepenuhnya terlibat atau tidak sungguh-sungguh dalam
terapi maka kemungkinan terapi tidak berhasil pada subjek tersebut sangat besar.
Menurut Arjadi (2012) keberhasilan terapi ditentukan oleh kemandirian dan niat
subjek penelitian untuk menjalankan teknik-teknik terapi dalam kehidupan sehari-
hari.
Tidak terbuktinya hipotesis pada penelitian ini juga dapat dipengaruhi oleh
situasi dan kondisi yang terjadi pada saat pelaksanaan terapi. Subjek beberapa kali
datang terlambat dan pernah menghadiri pertemuan dalam kondisi sakit.
Keterlambatan subjek pada beberapa pertemuan menyebabkan kurang utuhnya
informasi seputar materi terapi yang didapatkannya. Kondisi kesehatan subjek
juga menjadi ancaman kurang maksimalnya penyerapan materi sebab hal tersebut
membuat subjek kesulitan berkonsentrasi karena fokus dan perhatiannya terbagi-
bagi. Soedarso (2006) menyatakan bahwa kesiapan fisik individu (sehat dan tidak
kelelahan) akan mempengaruhi konsentrasi individu tersebut, begitu pula
sebaliknya. Padahal Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif merupakan salah satu
jenis terapi yang banyak melibatkan proses kognitif selama pelaksanaannya.
Selain beberapa penyebab yang telah disebutkan di atas, ditolaknya hipotesis
penelitian juga dapat disebabkan hal lain seperti rentang waktu yang terlalu
153
singkat dalam melakukan masa terapi yang membuat perubahan menjadi tidak
maksimal. Hal ini menjadi tidak efektif sebab waktu yang singkat tidak benar-
benar mampu mengukur perubahan yang signifikan terkait kepatuhan minum
obat. Menurut Irwan (2017), individu yang akan mengadopsi atau mengubah
perilakunya harus melalui proses yang kompleks dan memerlukan waktu yang
relatif lama, setidaknya melewati tiga tahapan yakni pengetahuan, sikap dan
praktik (tindakan). Oleh karena itu pada hasil pengukuran tindak lanjut, keempat
subjek justru mengalami peningkatan skor, bahkan tiga di antaranya memperoleh
skor maksimal yang berarti patuh minum obat 100%. Hal ini dapat dijelaskan oleh
pernyataan Irawati, Subandi dan Kumolohadi (2011) yang mengungkapkan bahwa
unsur religiusitas akan memperkuat terapi kognitif perilaku karena akan dilakukan
secara terus menerus dan berkelanjutan. Maka dari itu, Terapi Al-Fatihah
Reflektif Intuitif mampu memberikan dampak jangka panjang yang baik
walaupun harus melewati proses perubahan yang memakan waktu karena
perubahan perilaku memang terjadi secara bertahap.
Meskipun hasil analisis data kuantitatif menunjukkan tidak adanya perbedaan
yang signifikan, namun pada hasil analisis kualitatif ditemukan bahwa masing-
masing subjek eksperimen mengaku memperoleh manfaat dan mengalami
perubahan yang positif setelah mengikuti Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif.
Tiga di antara empat orang subjek mengaku tidak pernah lupa ataupun berhenti
meminum obatnya tanpa sepengetahuan dokter. Sedangkan satu orang lainnya
hingga pengukuran tindak lanjut dilakukan masih lupa untuk membawa serta
154
obatnya ketika berpergian namun hanya sekali saja. Keempat subjek pun mengaku
tidak pernah merasa terganggu atau tidak nyaman ketika meminum obat.
Salah seorang subjek dapat mempercayai bahwa dengan patuh minum obat
dan menjadi sehat, Allah yang Maha membolak-balikkan hati manusia akan
mengetuk hati orangtuanya agar mampu menerimanya. Badahdah dan Pedersen
(2011) mengungkapkan bahwa menggantungkan nasib pada iman (keyakinan)
menjadi salah satu faktor yang mendukung kepatuhan pasien HIV terhadap
pengobatan ARV. Hal yang serupa dialami subjek lainnya yang meyakini bahwa
minum obat adalah salah satu bentuk ikhtiar dan percaya segala tindakan yang
baik maupun buruk akan mendapat timbal balik dari Allah. Hal ini membuat
subjek percaya akan manfaat dari ARV, sehingga kepatuhan minum obat menjadi
meningkat. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Kustanti dan Pradita
(2017) mengungkapkan bahwa keyakinan akan manfaat ARV merupakan salah
satu faktor yang membangun self efficacy dalam mengkonsumsi ARV, sehingga
kemudian berdampak baik pada kemampuan penderita HIV/AIDS untuk mengatur
pengobatan.
Adapun subjek lainnya mengaku lebih terdorong untuk melakukan ibadah
seperti shalat dan baca Al-Qur’an serta memahami bahwa minum obat juga dapat
dihitung sebagai ibadah oleh Allah, sehingga muncul dorongan untuk lebih rajin
minum obat. Hal ini didukung oleh penelitian Ayuk, Udonwa dan Gyuse (2017)
yang mengungkapkan bahwa upaya untuk mencari hubungan yang lebih kuat
dengan Tuhan, mencari cinta dan perhatian Tuhan serta fokus pada agama
merupakan koping religius positif yang secara signifikan dikaitkan dengan
155
kepatuhan minum obat yang lebih baik. Di samping itu, subjek lainnya
mensyukuri kasih Allah yang dengan kuasa-Nya dapat memberikannya
kesempatan kedua untuk hidup, sehingga ia berjanji kepada-Nya untuk patuh
dalam minum obat agar tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Allah
tersebut. Berdasarkan penelitian Kustanti dan Pradita (2017) mengenai self
efficacy penderita HIV/AIDS dalam mengkonsumsi antiretroviral diketahui bahwa
aspek kebersyukuran mendorong sebagian besar subjeknya yang beragama Islam
untuk memiliki self efficacy yang tinggi. Self efficacy atau keyakinan diri pun
termasuk dalam personal factors yang mempengaruhi kepatuhan minum obat
menurut Brannon dan Feist (2010).
Berdasarkan pembahasan di atas, diketahui bahwa penelitian ini memiliki
beberapa keterbatasan terkait pengontrolan validitas internal maupun validitas
eksternal. Adapun hal yang menjadi sorotan utama untuk dievaluasi dalam
pelaksanaan terapi ini adalah rentang waktu pelaksanaan. Selain itu, hal lainnya
yang menjadi kelemahan penelitian adalah tidak adanya data tambahan mengenai
pengukuran yang menampakkan karakteristik perilaku sebagai bentuk nyata atau
manifestasi dari kepatuhan minum obat pada subjek. Selain skala MMAS-8, hasil
observasi, wawancara maupun lembar kerja pada Buku Diari Hatiku hanya
mampu mengungkap pikiran dan perasaan pada subjek, namun tidak sampai pada
perilaku subjek yang berkenaan dengan kepatuhan minum obat. Menurut Soekadji
(1983) dimensi perilaku yang terdiri dari frekuensi perilaku, durasi perilaku dan
intensitas atau kekuatan perilaku merupakan karakteristik perilaku yang dapat
diukur. Durasi merupakan sebuah perilaku yang merujuk pada panjangnya waktu
156
yang dibutuhkan untuk melakukan perilaku aksi. Frekuensi adalah sebuah
perilaku yang merujuk pada jumlah tindakan yang muncul di periode waktu
tertentu. Adapun intensitas atau kekuatan perilaku merujuk pada upaya fisik atau
energi yang dilibatkan untuk melakukan perilaku. Maka dari itu, perlu adanya
laporan harian dimensi perilaku (frekuensi, durasi dan intensitas) minum obat
sebagai data tambahan untuk mengkroscek pengukuran kepatuhan pada subjek
penelitian.