BAB IV -1- - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Asli/Bab4/2011-2-00044-AK BAB 4.pdf · antara...
Transcript of BAB IV -1- - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Asli/Bab4/2011-2-00044-AK BAB 4.pdf · antara...
53
BAB IV
PEMBAHASAN
IV.1. Analisis Strategi Bisnis (Business Strategy Analysis)
Analisis strategi bisnis yang dilakukan penulis yakni menggunakan analisis lima
kekuatan Porter (Porter’s five-forces model) dimana pada hakikatnya persaingan dalam
industri dapat dilihat dari persaingan lima kekuatan berikut ini:
A. Persaingan antarperusahaan sejenis
Bisnis jasa transportasi udara adalah bisnis yang memiliki persaingan
yang ketat. Persaingan yang ketat ini adalah salah satu implikasi atas deregulasi
dalam industri penerbangan domestik yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
sejak tahun 2000. Hal tersebut tentu membuka kompetisi dan akses yang besar
untuk masuk ke dalam industri penerbangan Indonesia. Persaingan yang ketat
ditandai dengan semakin banyaknya maskapai penerbangan domestik dan
maskapai penerbangan internasional yang beroperasi dan mengembangkan rute
atau layanan penerbangan di seluruh bandara yang ada di Indonesia. Maskapai
penerbangan domestik yang ada di Indonesia antara lain Merpati Nusantara
Airlines, Lion Air, Indonesia AirAsia, Kartika Airlines, Batavia Air, Riau
Airlines,Wings Air, Trigana Air Service, Travel Express, Sriwijaya Air, Linus
Airways, Republic Express Airlines, Cardig Air, Manunggal Air Service,
Indonesia Air Transport, Kal Star Aviation, Megantara Air, Pelita Air Service,
dan Tri-MG Intra Asia Airlines. Sedangkan beberapa maskapai internasional
antara lain Singapore Airlines, Malaysia Airlines, Air Asia Malaysia, China
Airlines, Korea Airlines, dan Thai Airways.
54
Garuda Indonesia menghadapi persaingan yang berasal dari berbagai
perusahaan penerbangan baik perusahaan penerbangan full service carrier / FSC
dan perusahaan penerbangan low cost carrier / LCC. Berdasarkan Undang-
undang tentang Penerbangan dan KM No. 26 tahun 2010, full service carrier
dinyatakan sebagai badan usaha angkutan udara niaga berjadwal yang di dalam
menjalankan kegiatannya dengan standard maksimum, antara lain pemberian
makan dan minum, makanan ringan, dan fasilitas ruang tunggu eksekutif
(lounge) untuk kelas bisnis (business class) dan kelas utama (first class).
Sedangkan low cost carrier dinyatakan sebagai badan usaha angkutan udara
niaga berjadwal yang di dalam menjalankan kegiatannya dengan standard
minimum, antara lain hanya ada 1 (satu) kelas pelayanan, tanpa pemberian
makan dan minum, makanan ringan, fasilitas ruang tunggu eksekutif, dan
dikenakan biaya untuk bagasi tercatat. Untuk menanggapi persaingan
antarperusahaan penerbangan FSC dan LCC ini, Garuda Indonesia melaksanakan
kegiatan operasional berdasarkan kedua tipe badan usaha penerbangan tersebut
yakni melaksanakan layanan FSC Perseroan dengan brand Garuda Indonesia dan
mengembangkan layanan LCC Perseroan dengan brand Citilink.
Persaingan yang dihadapi Garuda Indonesia dengan maskapai
penerbangan lain didasarkan pada beberapa faktor seperti harga, jadwal, jaringan
rute, kualitas pelayanan, tipe dan umur pesawat. Garuda Indonesia yang dikenal
sebagai premium airlines menawarkan harga tiket yang relatif mahal jika
dibandingkan dengan maskapai pesaing berbiaya murah (LCC), dan cenderung
menjangkau pangsa pasar kelas menengah ke atas. Dengan demikian Garuda
Indonesia harus menghadapi persaingan yang semakin intensif dengan maskapai
55
penerbangan lainnya. Persaingan ini telah berdampak pada pendapatan usaha
Garuda Indonesia. Buktinya pendapatan usaha Garuda Indonesia pada tahun
2009 sebesar Rp 17.860.373.610.109,- mengalami penurunan jika dibandingkan
dengan pendapatan usaha tahun 2008 yang mencapai Rp 19.349.675.420.104,-.
Penurunan pendapatan usaha ini salah satunya diakibatkan oleh menurunnya
pendapatan berjadwal sebesar 9,4%.
Garuda Indonesia yang menghadapi persaingan kompetitif dalam industri
penerbangan terus melakukan inovasi bagi pertumbuhan usahanya. Salah satunya
dengan meluncurkan rencana ekspansi yang agresif bernama Quantum Leap.
Quantum Leap yang direncanakan Garuda Indonesia mencakup pencapaian
faktor-faktor persaingan lain yang dihadapi dalam industri penerbangan.
Quantum Leap berencana melakukan penggandaan armada pesawat dan
menaikkan jumlah penumpang dengan cara menambah rute tujuan domestik
maupun internasional. Selain itu Garuda Indonesia juga melakukan overhaul
tampilan maskapai seperti mengubah livery maskapai, seragam staf, dan logo
yang diharapkan dapat menangkap semangat keramahan Indonesia dan
profesionalisme. Garuda Indonesia juga mengembangkan konsep pelayanan baru
berdasarkan keramahan dan keunikan khas Indonesia yaitu Garuda Indonesia
Experience. Pelayanan ini mencakup berbagai aspek dari kebudayaan, masakan,
dan keramahan Indonesia dimana mini nasi tumpeng nusantara dan jus martebe
(markisa dan terong Belanda) menjadi tanda masakan Garuda Indonesia yang
baru.
Dengan demikian disimpulkan bahwa Garuda Indonesia dapat bertahan
dalam persaingan di industri penerbangan Indonesia. Karena perusahaan telah
56
melakukan berbagai cara untuk memenuhi faktor-faktor persaingan utama dalam
industri penerbangan. Dengan perusahaan meningkatkan kualitas layanan FSC
perusahaan dengan brand Garuda Indonesia, mengembangkan layanan LCC
perseroan yakni Citilink, terus berinovasi bagi pertumbuhan usaha yakni dengan
menambah dan meremajakan armada pesawat, menambah rute penerbangan,
serta terus meningkatkan pelayanan yang berkualitas bagi pelanggan, diharapkan
akan dapat lebih memperkuat posisi Garuda Indonesia sebagai pemimpin di
pasar penerbangan Indonesia.
B. Ancaman pesaing baru
Sebagai akibat dari persaingan yang kompetitif dalam industri
penerbangan, Garuda Indonesia menghadapi masuknya pesaing baru baik dari
pasar domestik maupun internasional. Pesaing baru ini sebagian besar adalah
maskapai penerbangan berbiaya murah (low cost carrier / LCC).
Masuknya pesaing baru khususnya LCC menimbulkan beberapa
perubahan dalam industri penerbangan secara keseluruhan. Perubahan-perubahan
yang dialami seperti masuknya pesaing baru telah meningkatkan kapasitas
tempat duduk penumpang dan meningkatkan persaingan harga pada rute-rute
penerbangan yang telah tersedia. Pesaing baru berbiaya rendah (LCC) telah
memperluas dan menambah frekuensi penerbangan sehingga mampu
menurunkan pangsa pasar Garuda Indonesia di tahun 2009. Menurunnya pangsa
pasar Garuda Indonesia di tahun 2009 tercermin pada menurunnya pendapatan
berjadwal sebesar 9,4% pada tahun 2009.
57
PT Citilink Indonesia adalah anak perusahaan PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk yang bergerak di bidang angkutan niaga berjadwal yang berbiaya
murah (LCC). Pengembangan layanan LCC melalui Citilink adalah cara
perusahaan untuk bersaing dengan pesaing baru dan mendapatkan pangsa pasar
ekonomi yang telah dikuasai oleh para pesaing. Sehingga dengan perusahaan
mengembangkan layanan FSC perusahaan yakni Garuda Indonesia dan layanan
LCC perusahaan yakni Citilink, diharapkan perusahaan dapat mampu bersaing
dengan pesaing baru dan menguasai pangsa pasar di industri penerbangan
Indonesia.
C. Ancaman dari produk substitusi
Produk substitusi (pengganti) transportasi udara adalah jasa transportasi
laut dan darat. Penggunaan jasa transportasi pengganti dapat menjadi pilihan bagi
pelanggan jika jarak yang ditempuh pendek dan biayanya lebih rendah
dibandingkan menggunakan transportasi udara. Jasa transportasi darat yang dapat
menjadi produk pengganti adalah berupa kereta api dan bus/mobil. Pelanggan
yang lebih memilih produk pengganti kereta api adalah pelanggan yang berasal
dari dan hendak menuju kota-kota yang ada di pulau Jawa yang tersedia layanan
kereta api. Sedangkan penggunaan produk pengganti berupa bus/mobil ataupun
dengan jasa transportasi laut akan dilakukan pelanggan jika jarak tempuh pendek
dan pastinya memperhitungkan biaya yang akan dikeluarkan. Namun tingkat
mobilitas yang tinggi saat ini mengakibatkan jasa transportasi angkutan udara
menjadi pilihan yang tepat bagi masyarakat untuk menunjang aktivitasnya.
58
Karena dengan menggunakan jasa transportasi angkutan udara memberikan
waktu tempuh yang lebih cepat bagi pelanggannya.
D. Kekuatan tawar-menawar pemasok (bargaining power of supplier)
Pemasok yang dimiliki perusahaan penerbangan adalah pihak-pihak yang
menyuplai bahan baku yang diperlukan perusahaan untuk dapat melaksanakan
kegiatan operasional perusahaan. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk memiliki
beberapa pemasok yang mendukung kegiatan operasionalnya antara lain PT
Angkasa Pura (Persero), pemasok bahan bakar, dan produsen armada pesawat
dan mesin armada pesawat.
PT Angkasa Pura (Persero) adalah badan usaha milik Negara yang
memberikan pelayanan pengoperasian bandara udara di Indonesia. PT Angkasa
Pura (Persero) menyediakan berbagai pelayanan bagi Garuda Indonesia untuk
mendukung kegiatan operasionalnya. Pelayanan yang disuplai PT Angkasa Pura
(Persero) yakni mencakup penggunaan fasilitas bandara seperti sewa tempat
penjualan tiket dan ruangan kantor, jasa pengendalian lalu lintas udara, jasa
pengendalian di darat dan jasa penerbangan lainnya. Dengan berbagai jasa dan
pelayanan yang diterima, Garuda Indonesia menerima tagihan setiap bulan atas
penggunaan fasilitas dan pelayanan di setiap bandara di Indonesia dimana
perusahaan beroperasi.
Bahan bakar sangat diperlukan dalam pelaksanaan operasional
perusahaan penerbangan. Pemasok bahan bakar Garuda Indonesia terdiri atas
Pertamina dan beberapa pemasok internasional. Sebagian besar bahan bakar
pesawat yang digunakan oleh Garuda Indonesia, yakni sebesar 70% termasuk
59
semua bahan bakar pesawat yang diperlukan untuk penerbangan domestik
berasal dari satu sumber yaitu Pertamina. Perjanjian pasokan bahan bakar dengan
Pertamina berlangsung selama lima tahun dimana penetapan harga bahan bakar
mengacu pada harga posting produksi dalam negeri Pertamina termasuk diskon,
yang ditentukan berdasarkan kebijakan Pertamina sendiri. Sedangkan perjanjian
dengan beberapa pemasok internasional berlaku selama satu sampai dua tahun
dimana penetapan harga bahan bakar internasional mengacu pada harga dasar
rata-rata minyak yang dipublikasikan oleh Platts melalui Singapura berdasarkan
Mean of Platts Singapore (MOPS), Mean of Platts Arab Gulf (MOPAG), Teluk
Arab, Saudi Arabia dan Belanda, yang diterbitkan oleh ARAMCO atau
Rotterdam.
Garuda Indonesia juga memerlukan pemasok armada pesawat dan mesin
yang mendukung penyediaan suku cadang terkait kegiatan usaha penerbangan
perusahaan. Garuda Indonesia menggunakan armada pesawat yang diproduksi
oleh dua pemasok yakni Boeing dan Airbus. Sedangkan mesin yang digunakan
oleh armada pesawat diproduksi oleh CFM International S.A. (joint venture
antara Snecma (SAFRAN Group) di Perancis dan General Electric di Amerika
Serikat), dan Rolls-Royce Plc. Pembelian armada pesawat dan suku cadang yang
diperlukan Garuda Indonesia dilaksanakan sesuai dengan perjanjian pembelian.
Sehingga Garuda Indonesia dapat mendapatkan persetujuan harga yang
terjangkau dengan kualitas suku cadang terbaik dengan para pemasok yakni
Boeing, Aibus, CFM International S. A, dan Rolls-Royce Plc.
Dengan demikian sangatlah penting bagi Garuda Indonesia untuk
memilih pemasok yang tepat yang dapat mendukung kegiatan usaha penerbangan
60
perusahaan. Diharapkan pemasok-pemasok tersebut dapat bekerja sama dalam
mengembangkan kualitas operasional dan pelayanan Garuda Indonesia dengan
memberikan pasokan bahan baku dan suku cadang yang diperlukan dengan
kualitas terbaik, tepat waktu, dan sesuai dengan perjanjian bersama.
E. Kekuatan tawar-menawar pembeli (bargaining power of consumer)
Pelanggan Garuda Indonesia dapat dikategorikan menjadi dua kelompok
yakni pelanggan yang menggunakan rute penerbangan domestik dan
internasional. Sebagai premium airlines, konsumen layanan FSC dengan brand
Garuda Indonesia yang menggunakan rute penerbangan domestik adalah
pelanggan yang berada pada pangsa pasar menengah ke atas. Dengan demikian
tidak semua masyarakat dapat menggunakan jasa penerbangan Garuda Indonesia.
Layanan LCC yakni Citilink ditujukan kepada konsumen yang menggunakan
rute penerbangan domestik yang berada pada pangsa pasar kelas ekonomi.
Dengan demikian untuk melayani pelanggan rute penerbangan domestik,
perusahaan telah mengembangkan layanan FSC dan LCC yang dapat
menjangkau seluruh pangsa pasar di industri penerbangan domestik.
Pelanggan yang menggunakan rute penerbangan internasional antara lain
jamaah haji, pihak pemerintah, dan konsumen lain yang menggunakan layanan
penerbangan Garuda Indonesia. Jamaah haji merupakan konsumen tetap layanan
penerbangan internasional Garuda Indonesia setiap tahun. Layanan penerbangan
kepada jamaah haji yang merupakan penerbangan tidak berjadwal memberikan
kontribusi yang cukup besar bagi pendapatan usaha PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk. Pada tahun 2009 persentase penerbangan tidak berjadwal
61
meningkat menjadi 13,95% dari total pendapatan usaha, dibandingkan pada
tahun 2008 sebesar 12,75% dari total pendapatan usaha. Sehingga pendapatan
usaha yang berasal dari penerbangan tidak berjadwal pada tahun 2009 sebesar Rp
2.491.248.347.166,- mengalami peningkatan dibandingkan pada tahun 2008
yang berjumlah Rp 2.466.617.770.723,-. Pada tahun 2010 persentase
penerbangan berjadwal menurun hingga mencapai 10,31% dari total pendapatan
usaha. Sehingga pendapatan usaha yang berasal dari penerbangan tidak
berjadwal pada tahun 2010 adalah sebesar Rp 2.013.752.599.509,-. Dengan
demikian penerbangan tidak berjadwal kepada jamaah haji ini merupakan
sumber pendapatan tetap bagi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk setiap
tahunnya.
Persaingan dengan sebagian besar maskapai pesaing yang berusaha
merebut kesetiaan pelanggan dilakukan dengan menawarkan kepada pelanggan
harga tiket yang lebih murah dapat diantisipasi oleh PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk dengan menawarkan tiket dengan harga promosi kepada
pelanggan. Hal ini tentu saja tidak hanya menguntungkan bagi Garuda Indonesia
tetapi juga bagi pelanggan karena mendapatkan harga tiket yang murah dengan
tetap menikmati kualitas pelayanan terbaik dari Garuda Indonesia. Dengan
demikian, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk menciptakan peluang bagi
masyarakat untuk memilih menggunakan layanan penerbangan Garuda
Indonesia.
Ringkasan atas analisis strategi bisnis dengan menggunakan analisis Porter dapat
dilihat dari bagan di bawah ini:
62
Tekanan persaingan datang dari pendatang baru yang potensial
merebut pasar (konsumen)
Tekanan persaingan datang dari
usaha-usaha pasar (pesaing) untuk merebut pasar (konsumen)
Gambar IV.1. Bagan Ringkasan Analisis Porter
Berdasarkan analisis Porter yang telah dilakukan kepada PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk diketahui bahwa tingkat risiko masing-masing indikator dalam
analisis lima kekuatan Porter adalah seperti tabel di bawah ini:
Pendatang Baru: ‐ Maskapai penerbangan low cost carrier baik lokal atau internasional
Pembeli:
- pelanggan rute domestik
- pelanggan rute internasional, yaitu jamaah haji
Pemasok: - PT Angkasa Pura (Persero)
- Pertamina - Boeing dan Airbus - CFM International S.A. dan Rolls-Royce Plc
Substitusi : ‐ Transportasi darat, yaitu kereta api dan kendaraan bermotor ‐ Transportasi laut, yaitu kapal laut
Persaingan antarperusahaan sejenis:
- Maskapai penerbangan lokal
- Maskapai penerbangan internasional
63
Tabel IV.1. Tingkat Risiko Analisis Porter
No Jenis Risiko Penjelasan 1 Ancaman pesaing
baru High risk Semakin maraknya airline low cost carrier
yang menguasai industri 2 Persaingan antar
perusahaan sejenis High risk Menghadapi persaingan dengan airline
lokal dan internasional baik low cost carrier dan full service carrier
3 Ancaman produk substitusi
Low risk Mobilitas masyarakat yang semakin tinggi mengakibatkan pilihan untuk menggunakan angkutan udara sebagai pilihan yang tepat, karena dapat menghemat waktu tempuh perjalanan
4 Kekuatan tawar-menawar pemasok
Low risk Para pemasok telah memiliki perjanjian dengan perusahan. Sehingga variabel ini memiliki risiko yang rendah
5 Kekuatan tawar-menawar pembeli
Medium risk Konsumen untuk penerbangan berjadwal memiliki kuasa untuk menentukan pilihan apakah akan menggunakan jasa Garuda Indonesia atau tidak. Di lain pihak, Garuda Indonesia melayani penerbangan tidak berjadwal yaitu jamaah haji secara tetap setiap tahunnya
IV.2. Analisis Akuntansi (Accounting Analysis)
Dalam melakukan analisis akuntansi, penulis menemukan bahwa terdapat
beberapa akun yang menjadi perhatian dalam laporan keuangan yang dimiliki PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk pada tahun 2008, 2009, dan 2010, yaitu:
1. Pos luar biasa
Pos luar biasa adalah akun pada laporan laba rugi yang mencatat
keuntungan yang diperoleh atas restrukturisasi pinjaman PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk. Pos luar biasa mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini
berarti keputusan restrukturisasi yang dilakukan manjemen memberikan
keuntungan bagi perusahaan.
64
Pada tahun 2008 PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tidak memiliki pos
luar biasa. Pada tahun 2009 pos luar biasa PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
adalah sebesar Rp 123.502.291.000,-. Pos luar biasa ini berasal dari keuntungan
atas restrukturisasi dan penyelesaian Obligasi Wajib Konversi kepada Bank
Mandiri sebesar Rp 1.142.311.291.000,-. Penyelesaian hutang obligasi konversi
yang dilakukan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk kepada Bank Mandiri adalah
dengan cara:
- Melakukan pembayaran secara tunai sebesar 5% dari pokok atau sebesar Rp
50.940.000.000,-
- Sisanya sebesar 95% dari pokok atau sebesar Rp 967.869.000.000,-
dikonversi menjadi saham perusahaan
Pada tahun 2010 saldo pos luar biasa yang dimiliki PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk adalah sebesar Rp 225.044.156.621,-. Pos luar biasa ini berasal
dari keuntungan atas restrukturisasi hutang yang dimiliki perusahaan antara lain:
- Keuntungan atas pembelian kembali Wesel Bayar Bunga Mengambang
(Floating Rate Note/ FRN). PT Garuda Indonesia memperoleh keuntungan
sebesar Rp 184.068.623.128,- atas pembelian kembali FRN ini.
- Keuntungan atas pembelian kembali pinjaman kepada Lloyd (ECA), dimana
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk melakukan transaksi sewa pesawat
Airbus tipe A-330 yang dibiayai oleh Lloyd (ECA). Sehingga PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk memperoleh keuntungan sebesar USD 4.546.270
atau setara dengan Rp 40.975.533.493,-.
65
2. Penghapusan (write off) atas persediaan
Penghapusan (write off) atas persediaan menjadi perhatian penulis dalam
melakukan analisis akuntansi pada laporan keuangan PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk karena pada tahun 2010 terjadi penurunan secara drastis pada nilai
penghapusan (write off) atas persediaan. Penghapusan (write off) atas persediaan
akan mempengaruhi jumlah penyisihan penurunan nilai persediaan, yang
kemudian nantinya berdampak pada saldo akhir persediaan pada tahun berjalan.
Pada tahun 2008 PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tidak melakukan
penghapusan (write off) atas persediaannya. Pada tahun 2009 penghapusan (write
off) atas persediaan adalah sebesar Rp 10.258.483.132,-. Pada tahun 2010
penghapusan (write off) atas persediaan mengalami penurunan sebesar Rp
10.127.530.748,- sehingga write off yang dicatat PT Garuda Indonesia (Persero)
Tbk pada tahun 2010 adalah sebesar Rp 130.952.384,-.
Penghapusan (write off) atas persediaan berdampak pada jumlah
penyisihan penurunan nilai persediaan. Pada tahun 2009 penyisihan penurunan
nilai persediaan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sebesar Rp 70.363.802.991,-
yakni mengalami peningkatan sebesar Rp 20.313.940.049,- jika dibandingkan
dengan tahun 2008 yang berjumlah Rp 50.049.862.942,-. Pada tahun 2010,
penyisihan penurunan nilai persediaan mengalami penurunan secara drastis
seiring dengan menurunnya write off yang dilakukan oleh PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk. Jika dibandingkan tahun sebelumnya, penyisihan penurunan nilai
persediaan pada tahun 2010 mengalami penurunan sebesar Rp 62.144.885.009,-
yang mengakibatkan penyisihan penurunan nilai persediaan pada tahun 2010
adalah sebesar Rp 8.218.917.982,-
66
Penurunan secara drastis pada jumlah penghapusan (write off) atas
persediaan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk pada tahun 2010 menyebabkan
jumlah bersih (saldo akhir) persediaan pada akhir tahun 2010 tidak mengalami
penurunan yang signifikan. Jumlah bersih (saldo akhir) persediaan pada tahun
2010 berjumlah Rp 607.193.889.315,-. Saldo akhir persediaan ini hanya
mengalami penurunan sebesar Rp 10.923.724.735,- jika dibandingkan saldo
akhir persediaan pada tahun 2009 yang berjumlah Rp 618.117.614.050,-. Saldo
akhir persediaan pada tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar Rp
101.945.621.797,- jika dibandingkan saldo akhir persediaan pada tahun 2008
yang berjumlah Rp 516.171.992.253,-.
3. Aset tetap
Aset tetap adalah akun dalam neraca PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
yang mengalami beberapa perubahan yaitu melakukan revaluasi atas aset tetap
dan perubahan estimasi atas masa manfaat (umur ekonomis). PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk melakukan revaluasi atas aset tetap pesawat, tanah dan
bangunan sejak tahun 2008. Revaluasi dilakukan oleh penilai independen dengan
menggunakan pendekatan harga pasar untuk aset tanah dan pesawat serta metode
biaya penggantian untuk bangunan. Revaluasi yang dilakukan pada tahun 2008
terhadap pesawat, tanah dan bangunan menghasilkan surplus revaluasi sebesar
Rp 2.063.994.302.661,- yakni akibat dari peningkatan revaluasi sebesar Rp
2.237.071.251.999,- dan penurunan revaluasi sebesar Rp 173.076.949.338,-. Hal
ini mengakibatkan saldo akhir surplus revaluasi pada tahun 2008 adalah sebesar
Rp 1.672.668.664.694,-. Pada tahun 2009 terjadi penurunan atas revaluasi yang
67
dilakukan perusahaan yaitu sebesar Rp 217.346.100.592,-. Penurunan ini
mengakibatkan penurunan pada saldo akhir surplus revaluasi sebesar Rp
157.135.885.955,- sehingga saldo akhir pada tahun 2009 adalah sebesar Rp
1.515.532.778.739,-. Pada tahun 2010 terjadi penurunan atas revaluasi aset tetap
yaitu sebesar Rp 410.916.810.755,-. Hal ini mengakibatkan saldo akhir surplus
revaluasi juga mengalami penurunan sebesar Rp 368.781.403.940,- sehingga
saldo akhir surplus revaluasi pada tahun 2010 adalah sebesar Rp
1.146.751.374.799,-
Aset tetap PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk terdiri dari aset tetap
pesawat dan aset tetap non pesawat. Aset tetap pesawat yang dimiliki PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk disusutkan hingga ke nilai residu dengan menggunakan
metode garis lurus selama taksiran masa manfaat aset tersebut. Sedangkan
penyusutan aset tetap non pesawat menggunakan metode garis lurus selama masa
manfaat aset tersebut. Masa manfaat aset tetap PT Garuda Indonesia (Persero)
Tbk sebelum perubahan estimasi yakni tahun 2008 dan sesudah dilakukan
perubahan estimasi yaitu sejak tahun 2009 ditunjukkan dalam tabel berikut:
Tabel IV.2. Masa Manfaat Aset Tetap
Aset Tetap Masa Manfaat 2008 (tahun) 2009 – sekarang (tahun)
Aset tetap pesawat Rangka pesawat 12 - 15 18 - 20 Mesin 12 - 15 18 - 20 Simulator 10 10 Rotable part 12 12 Aset tetap non pesawat Hanggar 40 40 Gedung Kantor 20 40 Kendaraan 3 - 5 3 - 5 Aset tetap lainnya 2 - 10 2 - 10
68
4. Piutang lain-lain
Piutang lain-lain adalah piutang PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
diluar piutang usaha pihak hubungan istimewa dan pihak ketiga. Piutang lain-lain
menjadi perhatian penulis dalam melakukan analisis akuntansi terhadap laporan
keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk karena pada akun piutang lain-lain
ini tidak ada penyisihan piutang ragu-ragu. Dalam catatan atas laporan keuangan
disebutkan bahwa manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk berkeyakinan
piutang lain-lain dapat ditagih seluruhnya. Oleh sebab itu, tidak ada penyisihan
atas piutang tak tertagih pada pos piutang lain-lain ini.
Saldo piutang lain-lain selama tahun 2008 sampai 2010 mengalami
penurunan juga peningkatan. Pada tahun 2008 piutang lain-lain berjumlah Rp
66.138.049.119,- kemudian saldo piutang lain-lain mengalami penurunan hingga
mencapai Rp 15.797.503.450,- pada tahun 2009. Penurunan saldo piutang lain-
lain ini terjadi karena piutang kepada Kementrian Negara BUMN sejumlah Rp
47.449.520.000,- hanya dimiliki pada tahun 2008. Piutang kepada Kementrian
Negara BUMN ini adalah piutang atas penjualan tanah dan bangunan.
Peningkatan saldo piutang lain-lain sebesar Rp 40.422.476.865,- terjadi pada
tahun 2010. Hal ini mengakibatkan saldo piutang lain-lain pada tahun 2010
mencapai Rp 56.219.980.315,-.
IV.3. Analisis Keuangan (Financial Analysis)
Analisis keuangan harus dilakukan oleh para pengguna laporan keuangan. Hal ini
disebabkan karena dengan menganalisis keuangan para pengguna laporan keuangan baik
69
manajemen, investor, kreditor, pemerintah, bahkan karyawan dapat mengetahui dan
mengamati kinerja suatu perusahaan melalui laporan keuangannya.
Analisis laporan keuangan yang dilakukan penulis pada PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk menggunakan Laporan Laba Rugi, Neraca, dan Laporan Arus Kas selama
periode tiga tahun, yaitu tahun 2008, 2009, dan 2010. Dalam menganalisis kinerja
keuangan pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, penulis menggunakan alat-alat
analisis berupa analisis vertikal dan horizontal, analisis rasio keuangan, analisis Du Pont,
serta analisis sumber dan penggunaan kas (cash flow analysis).
IV.3.1. Analisis Vertikal dan Horizontal
Perhitungan mengenai analisis horizontal dan vertikal yang dilakukan
terhadap Neraca dan laporan Laba Rugi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
untuk tiga periode yaitu tahun 2008, 2009, dan 2010 dapat dilihat pada bagian
lampiran sebagai dasar pembahasan analisis laporan keuangan yang dilakukan
penulis.
Pembahasan atas analisis vertikal dan horizontal yang dilakukan pada
Neraca PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk adalah sebagai berikut:
1. Aset lancar
Berdasarkan analisis vertikal persentase total aset lancar pada tahun 2009
mengalami penurunan kemudian meningkat kembali pada tahun 2010. Pada
tahun 2008 mencapai 30,23% dari total aset kemudian pada tahun 2009
menurun menjadi 28,49% dari total aset. Pada tahun 2010 mengalami
peningkatan yang tidak terlalu besar yakni mencapai 28,52% dari total aset.
70
Hal ini disebabkan karena adanya perubahan pada komponen akun aset
lancar perusahaan.
Berdasarkan analisis horizontal, saldo aset lancar pada tahun 2008-2010
terus mengalami penurunan. Aset lancar pada tahun 2009 mengalami
penurunan sebesar 8.95% atau sebesar Rp 729.422.370.391,- jika
dibandingkan dengan aset lancar pada tahun 2008, dimana total aset lancar
pada tahun 2008 adalah sebesar Rp 4.626.444.698.909,- menjadi Rp
4.212.528.943.813,- pada tahun 2009. Pada tahun 2010 aset lancar kembali
mengalami penurunan sebesar 7,49% atau senilai Rp 315.506.615.295,-
sehingga total aset lancar mencapai Rp 3.897.022.328.518,-.
Faktor utama yang menyebabkan terjadinya penurunan aset lancar pada
tahun 2009 dan 2010 adalah karena adanya penurunan pada kas dan setara
kas setiap tahunnya sebagai akibat arus kas keluar yang lebih besar dari arus
kas masuk. Pada tahun 2009 kas dan setara kas mengalami penurunan
sebesar 33,8% atau sebesar Rp 879.297.480.986,- sehingga kas dan setara kas
pada tahun 2009 mencapai Rp 1.722.491.504.933,-. Pada aktivitas operasi,
perusahaan memperoleh kas bersih sebesar Rp 1.379.679.241.859,-. Pada
aktivitas investasi perusahaan menggunakan kas bersih sebesar Rp
1.599.951.734.836,- dan kas yang bersih yang digunakan untuk aktivitas
pendanaan sebesar Rp 601.712.783.918,-. Sehingga perusahaan
membutuhkan tambahan dana yang berasal dari kas dan setara kas sebesar Rp
821.985.276.895,- yang menyebabkan penurunan pada kas dan setara kas
akhir tahun 2009.
71
Pada tahun 2010 kas dan setara kas mengalami penurunan sebesar
31,65% atau sebesar Rp 545.108.271.162,-. Pada aktivitas operasi
perusahaan memperoleh kas bersih sebesar Rp 1.602.135.109.198,-. Pada
aktivitas investasi dan pendanaan, perusahaan menggunakan kas bersih
masing-masing sebesar Rp 945.514.087.803,- dan Rp 1.137.893.716.605,-.
Sehingga perusahaan menggunakan dana tambahan yang berasal dari kas dan
setara kas sebesar Rp 481.272.695.211,- yang menyebabkan penurunan pada
kas dan setara kas akhir tahun 2010.
2. Aset tidak lancar
Berdasarkan analisis vertikal persentase total aset tidak lancar pada tahun
2008 adalah 69,77%, kemudian meningkat pada tahun 2009 mencapai
71,54%, dan menurun kembali pada tahun 2010 hingga mencapai 71,48%.
Peningkatan dan penurunan ini disebabkan karena adanya perubahan pada
beberapa akun dalam pos aset tidak lancar perusahaan.
Berdasarkan analisis horizontal total aset tetap terus mengalami
penurunan setiap tahunnya. Pada tahun 2009 aset tidak lancar mengalami
penurunan sebesar 0,82% atau sebesar Rp 87.492.411.168,-, kemudian pada
tahun 2010 menurun kembali sebesar 6,93% atau sebesar Rp
820.898.700.754,-.
Penurunan pada total aset tidak lancar PT Garuda Indonesia (Persero)
Tbk disebabkan karena menurunnya akun aset tetap. Aset tetap yang dimiliki
perusahaan adalah aset pesawat berupa rangka pesawat, mesin, simulator,
dan rotable parts, serta aset non pesawat berupa kendaraan, tanah, bangunan
72
perlengkapan dan peralatan. Pada tahun 2008 aset tetap yang dimiliki
perusahaan adalah sebesar Rp 6.552.911.158.504,- kemudian terus
mengalami penurunan hingga tahun 2010. Pada tahun 2009 aset tetap
mengalami penurunan sebesar 2,75% atau sebesar Rp 178.028.892.856,-
sehingga saldo pada tahun 2009 adalah sebesar Rp 6.374.882.265.648,-. Pada
tahun 2010 aset tetap kembali menurun sebesar 12,12% atau sebesar Rp
5.602.508.956.465,- sehingga saldo aset tetap tahun 2010 adalah sebesar Rp
5.602.508.956.465,-.
3. Kewajiban lancar
Berdasarkan analisis vertikal persentase kewajiban lancar terus
mengalami penurunan hingga tahun 2010. Pada tahun 2008 kewajiban lancar
yang dimiliki adalah sebesar 46,30 % dari total kewajiban dan ekuitas, pada
tahun 2009 sebesar 42,88%, dan pada tahun 2010 sebesar 38,35%. Penurunan
ini disebabkan karena terjadi penurunan pada komposis hutang yang dimiliki
perusahaan.
Berdasarkan analisis horizontal total kewajiban lancar perusahaan terus
mengalami penurunan setiap tahunnya. Pada tahun 2009 kewajiban lancar
mengalami penurunan sebesar 10,41% atau senilai Rp 737.476.733.560,-.
Pada tahun 2010 kewajiban lancar kembali mengalami penurunan sebesar
17,43% atau senilai Rp 1.106.402.073.869,-.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan pada kewajiban
lancar pada tahun 2009 dan 2010 adalah penurunan pada hutang usaha pihak
ketiga dan pinjaman jangka panjang yang jatuh tempo dalam satu tahun.
73
Hutang usaha kepada pihak ketiga adalah hutang usaha yang dimiliki
perusahaan kepada pemasok jasa penerbangan dan jasa non penerbangan.
Pada tahun 2009 hutang usaha pihak ketiga mengalami penurunan sebesar
39,11% atau sebesar Rp 782.413.847.516,- sehingga hutang usaha pihak
ketiga pada tahun 2009 menjadi Rp 1.218.182.894.813,- dibandingkan pada
tahun 2008 sebesar Rp 2.000.596.742.329,-. Pada tahun 2010 hutang usaha
mengalami penurunan sebesar 8,35% atau sebesar Rp 101.764.672.799,-.
Pinjaman jangka panjang yang jatuh tempo dalam satu tahun pada tahun
2009 adalah sebesar Rp 1.285.737.277.610,- yaitu mengalami penurunan
sebesar 10,48% atau sebesar Rp 150.594.681.037,-. Pada tahun 2010
pinjaman jangka panjang yang jatuh tempo dalam satu tahun mengalami
penurunan yang cukup besar yaitu 77,96% atau sebesar Rp
1.002.383.125.369,- sehingga saldo pada tahun 2010 menjadi Rp
283.354.152.241,-.
4. Kewajiban tidak lancar
Berdasarkan analisis vertikal persentase total kewajiban tidak lancar pada
tahun 2008-2010 mengalami naik turun. Pada tahun 2008 persentase
kewajiban tidak lancar adalah sebesar 44,45% atas total kewajiban dan
ekuitas. Pada tahun 2009 menurun hingga mencapai 35,36% dan kemudian
meningkat kembali mencapai 36,26%. Perubahan pada persentase total
kewajiban tidak lancar ini disebabkan karena adanya perubahan pada akun
kewajiban tidak lancar selama tahun 2008-2010.
74
Berdasarkan analisis horizontal kewajiban tidak lancar pada tahun 2009
mengalami penurunan sebesar 23,09% atau sebesar Rp 1.568.974.188.282,-.
Penurunan ini mengakibatkan saldo akhir kewajiban tidak lancar pada tahun
2009 mencapai Rp 5.233.722.113.811,- dimana pada tahun 2008 saldo
kewajiban tidak lancar adalah sebesar Rp 6.802.696.302.093,-. Pada tahun
2010 juga mengalami penurunan sebesar 5,32% atau sebesar Rp
278.435.674.540,- sehingga saldo kewajiban tidak lancar pada tahun 2010
adalah sebesar Rp 4.955.286.439.271,-.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penurunan pada kewajiban
tidak lancar adalah adanya penurunan pada hutang sewa pembiayaan dan
obligasi konversi. Hutang sewa pembiayaan yang dimiliki perusahaan adalah
transaksi sewa pesawat Airbus tipe A-330 yang dibiayai oleh Lloyd. Hutang
sewa pembiayaan tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 38,85% atau
sebesar Rp 1.381.036.932.910,- kemudian menurun kembali pada tahun 2010
sebesar 26,36% atau sebesar Rp 623.811.111.725,-.
Obligasi konversi yang dimiliki perusahaan pada tahun 2008 sebesar Rp
1.018.809.000.000,- adalah obligasi wajib konversi kepada PT Bank Mandiri
(Persero) Tbk. Pada bulan Desember 2009, perusahaan dengan Bank Mandiri
menyetujui restrukturisasi dan penyelesaian obligasi wajib konversi tersebut
dengan melakukan pembayaran tunai sebesar Rp 50.940.000.000,- dan
sisanya sebesar Rp 967.869.000.000 dikonversi menjadi saham perusahaan.
Oleh sebab itu, obligasi konversi pada tahun 2009 dan 2010 menjadi nihil.
75
5. Ekuitas
Berdasarkan analisis vertikal persentase ekuitas pada tahun 2008-2010
terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008 persentase ekuitas adalah
sebesar 8,93% dari total kewajiban dan ekuitas, kemudian terus meningkat
pada tahun 2009 sebesar 21,71%, dan tahun 2010 sebesar 25,30%.
Peningkatan pada ekuitas ini disebabkan karena bertambahnya modal saham
yang dimiliki perusahaan hingga tahun 2010.
Berdasarkan analisis horizontal ekuitas perusahaan pada tahun 2009
mengalami peningkatan sebesar 135,20% atau sebesar Rp
1.847.535.489.138,-. Peningkatan ini mengakibatkan saldo ekuitas pada
tahun 2009 meningkat menjadi Rp 3.214.070.614.401,- dimana pada tahun
2008 senilai Rp 1.366.535.125.263,-. Pada tahun 2010 meningkat kembali
sebesar 7,57% atau sebesar Rp 243.191.081.480,-. Sehingga saldo ekuitas
pada akhir tahun 2010 adalah senilai Rp 3.457.261.695.881,-
Faktor yang mempengaruhi peningkatan ekuitas hingga tahun 2010
adalah penambahan modal saham sebagai akibat dari adanya konversi 95%
obligasi wajib konversi PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menjadi modal
saham. Pada tahun 2008 modal saham perusahaan adalah sebesar Rp
8.152.629.000.000,- kemudian mengalami peningkatan sebesar 11,87% atau
sebesar Rp 967.869.000.000,-. Sehingga modal saham yang dimiliki
perusahaan pada tahun 2009 dan 2010 bertambah menjadi Rp
9.120.498.000.000,-.
76
Pembahasan atas analisis vertikal dan horizontal yang dilakukan pada
laporan Laba Rugi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk adalah sebagai berikut:
1. Pendapatan usaha
Berdasarkan analisis horizontal pendapatan usaha pada tahun 2009
mengalami penurunan sebesar 7,7% atau sebesar Rp 1.489.301.809.995,-.
Penurunan ini disebabkan karena adanya penurunan pada penerbangan
berjadwal yaitu sebesar 9,4% atau sebesar Rp 1.420.856.251.464,-. Pada
tahun 2010 pendapatan usaha perusahaan mengalami peningkatan sebesar
9,37% atau sebesar Rp 1.673.957.870.395,-. Peningkatan ini disebabkan
karena meningkatnya penerbangan berjadwal sebesar 16,21% atau sebesar
Rp 2.220.976.751.850,-.
2. Beban usaha
Berdasarkan analisis vertikal persentase beban usaha pada tahun 2008,
2009 dan 2010 adalah sebesar 93,01%, 94,86%, dan 100,34%. Peningkatan
pada persentase beban usaha ini terjadi karena adanya peningkatan pada
akun-akun yang ada pada pos beban usaha.
Berdasarkan analisis horizontal total beban usaha menurun sebesar 5,86%
atau sebesar Rp 1.054.383.472.960,-. Sehingga total beban usaha tahun 2009
adalah sebesar Rp 16.942.084.694.513,- menurun jika dibandingkan pada
tahun 2008 sebesar Rp 17.996.468.167.473,-. Pada tahun 2010 mengalami
peningkatan sebesar 15,7% atau sebesar Rp 2.659.406.137.695,-. Sehingga
total beban usaha pada tahun 2010 meningkat hingga sebesar Rp
19.601.490.832.208,-.
77
3. Laba (rugi) usaha
Berdasarkan analisis vertikal persentase laba (rugi) usaha pada tahun
2008, 2009, dan 2010 terus mengalami penurunan yaitu sebesar 6,99%,
5,14%, dan - 0,34%. Penurunan ini disebabkan karena adanya penurunan dan
peningkatan pada pendapatan usaha dan beban usaha pada tahun 2008-2010.
Berdasarkan analisis horizontal laba (rugi) usaha pada tahun 2009
mengalami penurunan sebesar 32,14% atau sebesar Rp 434.918.337.035,-.
Penurunan ini mengakibatkan saldo laba (rugi) usaha pada tahun 2009
mencapai Rp 918.288.915.596,- dimana pada tahun 2008 mencapai Rp
1.353.207.252.631,-. Pada tahun 2010 mengalami penurunan drastis sebesar
107,31% atau sebesar Rp 985.448.267.300,-. Sehingga pada tahun 2010
perusahaan mengalami rugi sebesar Rp 67.159.351.704,-.
Penurunan pada tahun 2009 dan 2010 disebabkan karena adanya
penurunan dan peningkatan pada pendapatan usaha dan beban usaha pada
periode yang sama. Penurunan laba usaha pada tahun 2009 disebabkan
kaarena penurunan pada pendapatan usaha yang lebih besar dibandingkan
penurunan pada beban usaha. Pendapatan usaha mengalami penurunan
sebesar 7,7% sedangkan beban usaha hanya mengalami penurunan sebesar
5,86%. Pada tahun 2010 perusahaan mengalami rugi usaha karena
peningkatan yang drastis pada beban usaha sebesar 107,31% sebagai akibat
dari peningkatan pada beban operasional penerbangan, pelayanan
penumpang, pemeliharaan dan perbaikan, beban imbalan kerja, serta
administrasi dan umum.
78
4. Penghasilan (beban) lain-lain
Berdasarkan analisis vertikal persentase penghasilan (beban) lain-lain
pada tahun 2008, 2009, dan 2010 adalah sebesar -1,73%, -0,31%, dan 0,65%.
Peningkatan ini disebabkan karena perubahan pada akun-akun yang ada pada
pos penghasilan (beban) lain-lain.
Berdasarkan analisis horizontal penghasilan (beban) lain-lain pada tahun
2009 meningkat 83,51% atau sebesar Rp 278.865.368.557,-. Sehingga saldo
penghasilan (beban) lain-lain pada tahun 2009 adalah sebesar Rp
(55.062.958.473) yang meningkat dibandingkan tahun 2008 sebesar Rp
(333.928.327.030). Pada tahun 2010 meningkat kembali 329,04% atau
sebesar Rp 181.181.570.193,-. Sehingga saldo pada tahun 2010 sebesar Rp
126.118.611.720,-.
5. Laba bersih
Berdasarkan analisis vertikal persentase laba bersih pada tahun 2008,
2009, dan 2010 adalah sebesar 5,04%, 5,70%, dan 2,64%.
Berdasarkan analisis horizontal laba bersih perusahaan pada tahun 2009
mengalami peningkatan sebesar Rp 4,47% atau sebesar Rp 43.567.309.247,-.
Sehingga saldo akhir tahun 2009 meningkat hingga mencapai Rp
1.018.615.935.445,- dibandingkan pada tahun 2008 sebesar Rp
975.048.626.198,-. Pada tahun 2010 laba bersih perusahaan mengalami
penurunan sebesar 49,39% atau sebesar Rp 503.094.079.754,-. Sehingga
saldo akhir tahun 2010 mencapai Rp 515.521.855.691,-.
79
IV.3.2. Analisis Rasio Keuangan
Penulis menggunakan beberapa rasio untuk menilai bisnis dan kinerja PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk yaitu rasio likuiditas, manajemen aset
(aktivitas), manajemen hutang (leverage), dan profitabilitas. Untuk menilai
pencapaian kinerja perusahaan, hasil penilaian rasio perusahaan akan
dibandingkan dengan rasio industri. Rasio industri yang digunakan adalah data
milik competitor PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yakni Singapore Airlines.
IV.3.1.1. Analisis Rasio Likuiditas
Rasio likuiditas (modal kerja) membantu pengguna laporan keuangan
dalam beberapa hal yakni membantu menganalisa posisi keuangan jangka
pendek, membantu manajemen untuk mengecek efisiensi modal kerja yang
digunakan perusahaan, serta membantu kreditor jangka panjang dan pemegang
saham untuk mengetahui prospek dividen di masa depan. Rasio yang digunakan
dalam menganalisis likuiditas perusahaan adalah sebagai berikut:
1. Rasio Lancar (Current Ratio)
Tabel IV.3. Perhitungan Rasio Lancar
Garuda Indonesia 2008 2009 2010 Aset Lancar 4.626.444.698.909 4.212.528.943.813 3.897.022.328.518Kewajiban Lancar 7.085.154.280.368 6.347.677.546.808 5.241.275.472.939 Rasio Lancar 65,30% 66,36% 74,35% Singapore Airlines 2008 2009 2010
Aset Lancar 8.313.300.000 6.836.500.000 6.548.700.000 Kewajiban Lancar 5.867.500.000 5.918.700.000 4.519.600.000 Rasio Lancar 141,68% 115,51% 144,90%
80
Gambar IV.2. Rasio Lancar
Rasio lancar menunjukkan margin of safety kreditor jangka pendek atau
kemampuan perusahaan dalam membayar hutangnya. Rasio lancar pada PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk mengalami peningkatan selama tahun 2008
hingga 2010. Peningkatan rasio lancar pada tahun 2008 hingga 2010 ini
disebabkan oleh menurunnya kewajiban lancar perusahaan, yang juga disertai
dengan menurunnya aset lancar perusahaan. Sedangkan rasio industri untuk
rasio lancar yakni menggunakan data milik Singapore Airlines, rasio lancar
pada tahun 2008 hingga 2010 mengalami fluktuasi seiring dengan perubahan
nilai kewajiban lancar yang berfluktuasi juga.
Pada tahun 2008, rasio lancar PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk adalah
sebesar 65,30% atau 0,65 kali. Hal ini berarti setiap Rp 1,- hutang lancar
dijamin dengan aktiva lancar sebesar Rp 0,65. Pada tahun 2009 terjadi
peningkatan sebesar 1,06%, yang berarti rasio lancar perusahaan sebesar
66,36%. Hal ini menunjukkan setiap Rp 1,- hutang lancar dijamin dengan Rp
0,66 aset lancar. Pada tahun 2010, rasio lancar perusahaan sebesar 74,35%
yakni mengalami peningkatan sebesar 7,99% dari tahun 2009. Angka rasio
lancar tersebut berarti setiap Rp 1,- hutang lancar dijamin dengan Rp 0,74 aset
0%
50%
100%
150%
200%
2008 2009 2010
Garuda Airlines
Singapore Airlines
81
lancar. Dapat disimpulkan bahwa PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk berada
pada keadaan illikuid yakni tidak mampu memenuhi kewajiban lancar tepat
pada waktunya karena perusahaan memiliki kewajiban lancar yang lebih besar
dari aset lancarnya.
Singapore Airlines sebagai rasio industri memiliki rasio lancar yang
fluktuatif. Pada tahun 2008, Singapore Airlines memiliki rasio lancar sebesar
141,68%. Ini berarti setiap Rp 1,- hutang lancar dijamin dengan Rp 1,4,- aset
lancar. Pada tahun 2009, Singapore Airlines mengalami penurunan yang
cukup besar yakni 26,17%. Sehingga rasio lancar Singapore Airlines tahun
2009 menjadi 115,51%, yang berarti setiap Rp 1,- hutang lancar dijamin
dengan Rp 1,1,- aset lancar. Pada tahun 2010 rasio lancar Singapore Airlines
mencapai 144,90%, yakni mengalami peningkatan yang cukup besar senilai
29,39%. Angka rasio lancar pada tahun 2010 ini menunjukkan bahwa setiap
Rp 1,- hutang lancar dari Singapore Airlines dijamin dengan Rp 1,- aset
lancarnya. Berdasarkan angka rasio lancar ini menunjukkan bahwa Singapore
Airlines berada pada keadaan likuid, yakni mampu memenuhi kewajiban
lancar tepat pada waktunya karena memiliki aset lancar yang lebih besar dari
kewajiban lancarnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa rasio lancar PT Garuda Indonesia (Persero)
Tbk pada tahun 2008 hingga 2010 berada di bawah rasio industri yakni
menggunakan data milik Singapore Airlines. Hal ini disebabkan karena aset
lancar PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk lebih kecil dari kewajiban
lancarnya. Dengan demikian menunjukkan bahwa PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk berada pada keadaan illikuid. Sedangkan Singapore Airlines
82
sebagai rasio industri berada pada keadaan likuid karena aset lancar yang
dimiliki lebih besar dari kewajiban lancarnya. Ini menunjukkan bahwa
perusahaan mampu memenuhi kewajiban lancar tepat pada waktunya.
2. Rasio Cepat (Quick Ratio)
Tabel IV.4. Perhitungan Rasio Cepat
Garuda Indonesia 2008 2009 2010 Aset Lancar - 4.626.444.698.909 4.212.528.943.813 3.897.022.328.518 Persediaan 516.171.992.253 618.117.614.050 607.193.889.315 Kewajiban Lancar 7.085.154.280.368 6.347.677.546.808 5.241.275.472.939 Rasio Cepat 58,01% 56,63% 62,77%
Singapore Airlines 2008 2009 2010 Aset Lancar - 8.313.300.000 6.836.500.000 6.548.700.000 Persediaan 507.700.000 503.200.000 429.500.000 Kewajiban Lancar 5.867.500.000 5.918.700.000 4.519.600.000 Rasio Cepat 133,03% 107,00% 135.39%
Gambar IV.3. Rasio Cepat
Rasio cepat menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi
kewajiban jangka pendek tanpa memperhitungkan persediaan sebagai
komponen aset lancarnya. Rasio cepat PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
tahun 2009 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2008. Namun, pada
tahun 2010 mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh aset lancar tanpa
0%
50%
100%
150%
2008 2009 2010
Garuda AirlinesSingapore Airlines
83
persediaan dan kewajiban lancar mengalami penurunan setiap tahunnya.
Namun, penurunan aset lancar tanpa persediaan dan kewajiban lancar pada
tahun 2009 lebih besar dibandingkan dengan penurunan yang terjadi pada
tahun 2010. Rasio industri yakni menggunakan data milik Singapore Airlines
pun mengalami hal yang sama. Pada tahun 2009 mengalami penurunan yang
cukup besar dibandingkan tahun 2008, dan tahun 2010 kembali mengalami
peningkatan. Penurunan rasio cepat pada tahun 2009 yang cukup besar ini
disebabkan oleh penurunan nilai aset lancar perusahaan diluar persediaan
yang tak sebanding dengan penurunan nilai kewajiban lancar perusahaan.
Rasio cepat PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk pada tahun 2008 adalah
sebesar 58,01% atau 0,58 kali, yang berarti setiap Rp 1,- hutang lancar
dijamin oleh Rp 0,58 aset lancar. Pada tahun 2009 rasio cepat mengalami
penurunan 1,38%. Sehingga rasio cepat PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
menjadi 56,63%, yang berarti setiap Rp 1,- hutang lancar dijamin oleh Rp
0,57 aset lancar. Pada tahun 2010 rasio cepat mengalami peningkatan 6,14%
dibandingkan tahun 2009. Sehingga rasio cepat pada tahun 2010 sebesar
62,77%, yang berarti setiap Rp 1,- hutang lancar dijamin oleh Rp 0,63 aset
lancar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk menggunakan aset lancar diluar persediaan untuk memenuhi
kurang lebih setengah dari kewajiban lancarnya.
Rasio cepat Singapore Airlines sebagai rasio industri pada tahun 2008
adalah sebesar 133,03% atau 1,33 kali, yang berarti setiap Rp 1,- hutang
lancar dijamin oleh Rp 1,33 aset lancar. Pada tahun 2009 rasio industri
mengalami penurunan 26,03%. Penurunan yang cukup besar ini
84
mengakibatkan rasio cepat untuk tahun 2009 sebesar 107%, yang berarti
setiap Rp 1,- hutang lancar dijamin oleh Rp 1,07 aset lancar. Pada tahun 2010
rasio cepat mengalami peningkatan sehingga mencapai 135,39% atau 1,35
kali yang berarti setiap Rp 1,- hutang lancar dijamin oleh Rp 1,35 hutang
lancar.
Jadi dapat disimpulkan bahwa aset lancar PT Garuda Indonesia (Persero)
Tbk hanya mampu memenuhi kurang lebih setengah dari kewajiban
lancarnya. Sehingga PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dapat dikatakan
berada pada keadaan illikuid karena jumlah aset lancar lebih kecil daripada
kewajiban lancar yang dimiliki perusahaan. Sedangkan aset lancar Singapore
Airlines sebagai rasio industri mampu memenuhi seluruh kewajiban lancar
yang menunjukkan bahwa Singapore Airlines berada pada keadaan likuid.
IV.3.1.2. Analisis Rasio Manajemen Aset
Rasio manajemen aset membantu para pengguna laporan keuangan untuk
mengukur keefektivan yang dilakukan perusahaan dalam pengelolaan aset yang
dimiliki perusahaan. Rasio-rasio yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Perputaran Piutang (Account Receivable Turnover)
Tabel IV.5. Perhitungan Perputaran Piutang
Garuda Indonesia 2008 2009 2010 Pendapatan 19.349.675.420.104 17.860.373.610.109 19.534.331.480.504 Rata-rata piutang 1.006.026.444.233 990.189.429.750 1.196.074.856.411 Perputaran piutang 19,23 kali 18,04 kali 16,33 kali
Singapore Airlines 2008 2009 2010 Pendapatan 15.972.500.000 15.996.300.000 12.707.300.000 Rata-rata piutang 1.992.850.000 1.922.600.000 1.570.950.000 Perputaran piutang 8,01 kali 8,32 kali 8,09 kali
85
Gambar IV.4. Perputaran Piutang
Perputaran piutang mengindikasikan likuiditas piutang yang dimiliki
perusahaan. Piutang yang dimiliki PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk terdiri
dari piutang usaha yaitu piutang pihak hubungan istimewa dan piutang pihak
ketiga, serta piutang lain-lain. Piutang usaha pihak hubungan istimewa
menunjukkan bahwa perusahaan memiliki piutang usaha dari transaksi yang
dilakukan dengan pihak hubungan istimewa yaitu PT Gapura Angkasa,
Abacus International Pte., Ltd, dan Lufthansa System Group GMBP. Piutang
usaha pihak ketiga menunjukkan bahwa perusahaan memiliki piutang usaha
dari tranksaksi yang dilakukan dengan para debitur yaitu debitur jasa
penerbangan seperti agen penumpang, agen haji, agen kargo, serta para
debitur non jasa penerbangan. Piutang lain-lain adalah piutang yang dimiliki
perusahaan kepada pihak lain seperti piutang pegawai, pendapatan masih
harus diterima, ataupun piutang kepada Kementrian Negara BUMN.
Perhitungan perputaran piutang dilakukan untuk mengetahui posisi
piutang dan waktu pengumpulannya. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
memiliki perputaran piutang yang terus mengalami penurunan dari tahun 2008
0
5
10
15
20
25
2008 2009 2010
Garuda IndonesiaSingapore Airlines
86
sampai 2010. Pada tahun 2008 perputaran piutang PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk adalah 19,23 kali, yang berarti dalam satu tahun perusahaan
melakukan penagihan piutang sebanyak 19,23 kali. Perputaran piutang terus
mengalami penurunan hingga tahun 2010. Pada tahun 2009 perputaran
piutang menjadi 18,04 kali, selanjutnya pada tahun 2010 menjadi 16,33 kali.
Berdasarkan hasil perhitungan perputaran piutang pada rasio industri
yakni menggunakan data milik Singapore Airlines, perputaran piutang PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk jauh melebihi perputaran piutang rasio
industri. Hal ini menunjukkan bahwa PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
cukup baik dalam proses pengumpulan piutang dan modal kerja yang
ditanamkan perusahaan dalam piutang rendah. Perputaran piutang PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk tahun 2008 sebesar 19,23 kali sedangkan rasio
industri yakni menggunakan data milik Singapore Airlines lebih kecil yakni
sebesar 8,01 kali. Pada tahun 2009 perputaran piutang PT Garuda Indonesia
mengalami penurunan 18,09 kali. Sebaliknya perputaran piutang tahun 2009
pada rasio industri yakni menggunakan data milik Singapore Airlines
mengalami peningkatan 0,31 kali, sehingga perputaran piutang tahun 2009
menjadi 8,32 kali. Pada tahun 2010 perputaran piutang PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk dan rasio industri yakni menggunakan data milik Singapore
Airlines mengalami penurunan. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
mengalami penurunan 16,33 kali, dan Singapore Airlines mengalami
penurunan 0,23 kali sehingga perputaran piutang tahun 2010 sebesar 8,09 kali.
87
2. Perputaran Total Aset (Total Assets Turnover)
Tabel IV.6. Perhitungan Perputaran Total Aset
Garuda Indonesia 2008 2009 2010 Pendapatan 19.349.675.420.104 17.860.373.610.109 19.534.331.480.504 Total aset 15.303.831.403.492 14.802.423.237.228 13.666.017.921.179 Perputaran Total Aset 1,26 kali 1,21 kali 1,43 kali
Singapore Airlines 2008 2009 2010 Pendapatan 15.972.500.000 15.996.300.000 12.707.300.000 Total aset 26.515.200.000 24.818.500.000 22.484.300.000 Perputaran Total Aset
0,60 kali 0,64 kali 0,57 kali
Gambar IV.5. Perputaran Total Aset
Perputaran total aset mengukur perputaran dari seluruh aset yang dimiliki
perusahaan. Perputaran total aset PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk pada
tahun 2008 adalah 1,26 kali. Pada tahun 2009 mengalami penurunan 0,05 kali
sehingga perputaran total aset tahun 2009 adalah sebesar 1,21 kali. Pada tahun
2010 perputaran total aset adalah sebesar 1,43 kali yakni mengalami
peningkatan 0,22 kali. Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya
pendapatan usaha PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang diikuti dengan
menurunnya total aset yang dimiliki perusahaan.
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2008 2009 2010
Garuda AirlinesSingapore Airlines
88
Perputaran total aset pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dari tahun
2008 hingga 2010 berada di atas rasio industri yakni menggunakan data milik
Singapore Airlines. Hal ini menunjukkan bahwa PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk mendapatkan cukup banyak pendapatan usaha jika dilihat dari
total investasi dalam aset perusahaan. Perputaran total aset tahun 2008 pada
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mencapai 1,26 kali sedangkan perputaran
total aset Singapore Airlines 0,60 kali. Perputaran total aset tahun 2009 pada
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mencapai 1,21 kali sedangkan perputaran
total aset pada Singapore Airlines 0,64 kali. Perputaran total aset tahun 2010
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mencapai 1,43 kali sedangkan perputaran
total aset pada Singapore Airlines 0,57 kali.
IV.3.1.3. Analisis Rasio Manajemen Utang (Leverage)
1. Rasio Hutang (Debt Ratio)
Tabel IV.7. Perhitungan Rasio Hutang
Garuda Indonesia 2008 2009 2010
Total Kewajiban 13.887.850.582.461 11.581.399.660.619 10.196.561.912.210 Total Aset 15.303.831.403.492 14.802.423.237.228 13.666.017.921.179Rasio Hutang 90,75% 78,24% 74,61%
Singapore Airlines 2008 2009 2010
Total Kewajiban 10.886.300.000 10.328.100.000 8.735.000.000 Total Aset 26.515.200.000 24.818.500.000 22.484.300.000 Rasio Hutang 41,06% 41,61% 38,85%
89
Gambar IV.6. Rasio Hutang
Rasio hutang mengukur seberapa besar dana yang diberikan oleh kreditor
telah digunakan untuk membiayai aset perusahaan. Rasio hutang yang tinggi
berarti perusahaan menggunakan hutang dengan jumlah yang besar untuk
kegiatan pendanaan perusahaan. Rasio hutang PT Garuda Indonesia (Persero)
Tbk mengalami penurunan dari tahun 2008 hingga 2010. Penurunan ini
disebabkan oleh menurunnya total kewajiban PT Garuda Indonesia (Persero)
Tbk yang juga diikuti oleh penurunan total asetnya.
Pada tahun 2008 rasio hutang pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
mencapai 90,75%. Hal ini berarti sebagian besar pendanaan PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk yaitu mencapai 90,75% berasal dari kreditor. Dana
yang dimiliki PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk untuk kegiatan pendanaan
hanya 9,25% saja. Pada tahun 2009 rasio hutang pada PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk mengalami penurunan 12,51%, sehingga rasio hutang pada PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk tahun 2009 adalah sebesar 78,24%, yang
berarti dana yang disediakan kreditor untuk kegiatan pendanaan adalah
sebesar 78,24%. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 2009 kreditor
menyediakan dana yang lebih besar daripada PT Garuda Indonesia (Persero)
0%
20%
40%
60%
80%
100%
2008 2009 2010
Garuda AirlinesSingapore Airlines
90
Tbk dalam hal kegiatan pendanaan. Pada tahun 2010 rasio hutang pada PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk mengalami penurunan 3,63% dibandingkan
tahun 2009, sehingga mencapai rasio hutang sebesar 74,61%. Rasio hutang
tahun 2010 pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk ini adalah angka
terendah selama tahun 2008 hingga 2010. Namun masih menunjukkan bahwa
kreditor menyediakan dana yang lebih besar untuk pendanaan dibandingkan
dana dari PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sendiri. Tingginya rasio hutang
pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk selama tahun 2008 hingga 2010
disebabkan oleh nilai total aset dan total kwajiban perusahaan yang hampir
sama nilainya. Sehingga mengakibatkan rasio hutang selama tiga tahun
terakhir tinggi.
Rasio hutang pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk jauh melebihi
rasio hutang pada rasio industri yakni menggunakan data milik Singapore
Airlines. Karena rasio hutang pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk lebih
tinggi dari rasio industri yaitu rasio hutang pada Singapore Airlines. Pada
tahun 2008 rasio hutang pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mencapai
90,75% sedangkan rasio hutang pada Singapore Airlines hanya mencapai
41,06%. Pada tahun 2009 rasio hutang pada PT Garuda Indonesia (Persero)
Tbk mencapai 78,24% sedangkan rasio hutang pada Singapore Airlines hanya
mencapai 41,61%. Pada tahun 2010 rasio hutang pada PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk mencapai 74,61% sedangkan rasio hutang pada Singapore
Airlines hanya mencapai 38,85%.
Dari hasil perhitungan rasio hutang selama tahun 2008 hingga 2010
menunjukkan bahwa PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk hanya menggunakan
91
sedikit dananya untuk kegiatan pendanaan karena sebagian besar pendanaan
disediakan oleh kreditor. Sebaliknya, Singapore Airlines menggunakan
sebagian besar dananya untuk kegiatan pendanaan. Pada tahun 2008 rasio
hutang Singapore Airlines mencapai 41,06%, berarti kreditor menyediakan
dana untuk kegiatan pendanaan hanya sebesar 41,06%, tidak melebihi dana
Singapore Airlines sendiri yaitu sebesar 58,94%. Pada tahun 2009 rasio
hutang Singapore Airlines mencapai 41,61%, berarti dana yang disediakan
kreditor hanya sebesar 41.61% dan dana Singapore Airlines sendiri adalah
sebesar 58,39%. Pada tahun 2010 rasio hutang Singapore Airlines mencapai
38,85%, berarti kreditor menyediakan dana sebesar 38,85% dan sisanya
61,15% menggunakan dana Singapore Airlines sendiri.
2. Rasio Hutang Jangka Panjang terhadap Ekuitas (Long-term Debt to Equity
Ratio)
Tabel IV.8. Perhitungan Rasio Hutang Jangka Panjang terhadap Ekuitas
Garuda Indonesia 2008 2009 2010
Total Kewajiban Jangka Panjang
6.802.696.302.093
5.233.722.113.811
4.955.286.439.271
Ekuitas 1.366.535.125.263 3.214.070.614.401 3.457.261.695.881 Long-term Debt to Equity Ratio 497,81% 162,84% 143,33%
Singapore Airlines 2008 2009 2010
Total Kewajiban Jangka Panjang
5.018.800.000
4.409.400.000
4.215.400.000
Ekuitas 15.628.900.000 14.490.400.000 13.749.300.000 Long-term Debt to Equity Ratio 32,11% 30,43% 30,66%
92
Gambar IV.7. Rasio Hutang Jangka Panjang terhadap Ekuitas
Long-term debt to capital structure menunjukkan seberapa besar
komponen kewajiban jangka panjang dalam struktur modal perusahaan. Pada
tahun 2008 hingga 2010 rasio hutang jangka panjang terhadap ekuitas pada
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mengalami penurunan setiap tahunnya.
Pada tahun 2008 rasio hutang jangka panjang terhadap ekuitas pada PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk mencapai 497,81%. Pada tahun 2009
mengalami penurunan yang cukup signifikan yakni sebesar 334,97%,
sehingga rasio hutang jangka panjang terhadap ekuitas mencapai 162,84%.
Pada tahun 2010 rasio ini juga mengalami penurunan 19,51% hingga
mencapai 143,33%. Penurunan rasio ini yang terjadi pada PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk disebabkan oleh total kewajiban jangka panjang PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk terus mengalami penurunan sejak tahun 2008
hingga 2010, sedangkan ekuitas pada tahun 2008 hingga 2010 terus
mengalami peningkatan.
Rasio hutang jangka panjang terhadap ekuitas pada PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk berada jauh di atas rasio industri yakni menggunakan data milik
Singapore Airlines. Pada tahun 2008 rasio hutang jangka panjang terhadap
0%100%200%300%400%500%600%
2008 2009 2010
Garuda AirlinesSingapore Airlines
93
ekuitas pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mencapai 497,81%
sedangkan Singapore Airlines hanya mencapai 32,11%. Pada tahun 2009 PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk mencapai 162,84% sedangkan Singapore
Airlines jauh di bawahnya yakni hanya mencapai 30,43%. Pada tahun 2010
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mencapai 143,33% sedangkan Singapore
Airlines mencapai 30,66%.
IV.3.1.4. Analisis Rasio Profitabilitas
1. Margin Laba Bersih (Net Profit Margin)
Tabel IV.9. Perhitungan Margin Laba Bersih
Garuda Indonesia 2008 2009 2010
Laba Bersih 975.048.626.198 1.018.615.935.445 515.521.855.691 Pendapatan 19.349.675.420.104 17.860.373.610.109 19.534.331.480.504Net Profit Margin 5,04% 5,70% 2,64%
Singapore Airlines 2008 2009 2010
Laba Bersih 2.136.900.000 1.146.800.000 279.500.000 Pendapatan 15.972.500.000 15.996.300.000 12.707.300.000 Net Profit Margin 13,38% 7,17% 2,20%
Gambar IV.8. Margin Laba Bersih
0%
5%
10%
15%
2008 2009 2010
Garuda AirlinesSingapore Airlines
94
Margin laba bersih mengukur jumlah laba bersih per nilai rupiah
penjualan yang dilakukan perusahaan. Pada tahun 2009 margin laba bersih
pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mengalami peningkatan
dibandingkan tahun 2008. Peningkatan ini menunjukkan bahwa PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk berhasil meningkatkan keuntungan dari setiap
pendapatan usaha. Pada tahun 2010 margin laba bersih PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk mengalami penurunan dibandingkan tahun 2009.
Pada tahun 2008 margin laba bersih pada PT Garuda Indonesia (Persero)
Tbk adalah sebesar 5,04%. Artinya setiap Rp 1 pendapatan usaha PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk menghasilkan laba bersih sebesar Rp 0,05. Pada
tahun 2009 margin laba bersih pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
mengalami peningkatan 0,66% hingga mencapai 5,70%. Hal ini berarti setiap
Rp 1 pendapatan usaha yang dilakukan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
menghasilkan Rp 0,06 laba bersih. Pada tahun 2010 margin laba bersih pada
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mengalami penurunan hingga mencapai
2,64%. Sehingga setiap Rp 1 pendapatan usaha yang dilakukan PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk hanya menghasilkan Rp 0,03 laba bersih.
Berdasarkan perhitungan margin laba bersih antara PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk dengan Singapore Airlines sebagai rasio industri, diketahui
bahwa pada tahun 2008-2009 PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk berada di
bawah rasio industri. Pada tahun 2008 margin laba bersih pada PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk hanya sebesar 5,04% dan Singapore Airlines sebesar
13,38%. Pada tahun 2009 margin laba bersih pada PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk sebesar 5,70% dan pada Singapore Airlines sebesar 7,17%.
95
Pada tahun 2010 margin laba bersih pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
berada di atas Singapore Airlines. Pada tahun 2010 margin laba bersih pada
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sebesar 2,64% dan Singapore Airlines
sebesar 2,20%. Penurunan margin laba bersih ini disebabkan karena adanya
penurunan nilai laba bersih pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan
Singapore Airlines untuk periode tahun 2010.
2. Tingkat Pengembalian Total Aset (Return on Total Assets)
Tabel IV.10. Perhitungan Tingkat Pengembalian Total Aset
Garuda Indonesia 2008 2009 2010
Laba Bersih 975.048.626.198 1.018.615.935.445 515.521.855.691 Total Aset 15.303.831.403.492 14.802.423.237.228 13.666.017.921.179 ROA 6,37% 6,88% 3,77%
Singapore Airlines 2008 2009 2010
Laba Bersih 2.136.900.000 1.146.800.000 279.500.000 Total Aset 26.515.200.000 24.818.500.000 22.484.300.000 ROA 8,06% 4,62% 1,24%
Gambar IV.9. Tingkat Pengembalian Total Aset
0%
2%
4%
6%
8%
10%
2008 2009 2010
Garuda AirlinesSingapore Airlines
96
Tingkat pengembalian total aset PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk pada
tahun 2009 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2008. Peningkatan ini
disebabkan karena pada tahun 2009 laba bersih pada PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk mengalami peningkatan, serta diikuti dengan penurunan nilai
pada total aset. Pada tahun 2010 tingkat pengembalian total aset PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk mengalami penurunan, yang disebabkan oleh
penurunan laba bersih pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tahun 2010
secara drastis, yang tidak seimbang dengan penurunan total asetnya.
Pada tahun 2008 tingkat pengembalian total aset PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk mencapai 6,37%. Pada tahun 2009 tingkat pengembalian total
aset PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mengalami peningkatan sebesar
0,51% hingga mencapai 6,88%. Pada tahun 2010 terjadi penurunan 3,11%
hingga tingkat pengembalian total aset PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
mencapai 3,77%.
Pada tahun 2008 PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk berada di bawah
rasio industri yakni menggunakan data milik Singapore Airlines. PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk mencapai tingkat pengembalian total aset sebesar
6,37% sedangkan Singapore Airlines sebesar 8,06%. Pada tahun 2009 hingga
2010 tingkat pengembalian total aset pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
berada di atas Singapore Airlines. Pada tahun 2009 PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk mencapai 6,88% sedangkan Singapore Airlines mencapai
4,62%. Selanjutnya pada tahun 2010 PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
mencapai tingkat pengembalian total aset sebesar 3,77% sedangkan Singapore
Airlines sebesar 1,24%.
97
3. Tingkat Pengembalian Ekuitas Saham Biasa (Return on Common Equity)
Tabel IV.11. Perhitungan Tingkat Pengembalian Ekuitas Saham Biasa
Garuda Indonesia 2008 2009 2010 Laba Bersih 975.048.626.198 1.018.615.935.445 515.521.855.691 Ekuitas 1.366.535.125.263 3.214.070.614.401 3.457.261.695.881 ROE 71,35% 31,69% 14,91%
Singapore Airlines 2008 2009 2010 Laba Bersih 2.136.900.000 1.146.800.000 279.500.000 Ekuitas 15.628.900.000 14.490.400.000 13.749.300.000 ROE 13,67% 7,91% 2,03%
Gambar IV.10. Tingkat Pengembalian Ekuitas Saham Biasa
Tingkat pengembalian ekuitas saham biasa pada PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk terus mengalami penurunan selama tahun 2008 hingga 2010.
Hal ini disebabkan oleh meningkatnya ekuitas atau modal pemegang saham,
namun laba bersih tidak mengalami peningkatan.
Pada tahun 2008 tingkat pengembalian ekuitas saham biasa PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk adalah sebesar 71,35%. Pada tahun 2009 tingkat
pengembalian ekuitas saham biasa PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
mengalami penurunan yang cukup besar yakni 39,66% sehingga tingkat
pengembalian ekuitas saham biasa yang dicapai PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk sebesar 31,69%. Pada tahun 2010 tingkat pengembalian ekuitas
0%
20%
40%
60%
80%
2008 2009 2010
Garuda AirlinesSingapore Airlines
98
saham biasa PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk menurun 16,78% sehingga
tingkat pengembalian ekuitas saham biasa PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
sebesar 14,91%. Penurunan tingkat pengembalian ekuitas saham biasa tahun
2008 hingga 2010 disebabkan karena adanya perubahan total ekuitas yang
dimiliki PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk serta adanya perubahan pada laba
bersih tahun 2008 hingga 2010 yang diperoleh PT Garuda Indonesia (Persero)
Tbk.
Tingkat pengembalian ekuitas saham biasa PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk berada jauh melebihi tingkat pengembalian ekuitas saham biasa
rasio industri yakni menggunakan data milik Singapore Airlines. Pada tahun
2008 tingkat pengembalian ekuitas saham biasa PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk sebesar 71,35% sedangkan Singapore Airlines sebesar 13,67%.
Pada tahun 2009 tingkat pengembalian ekuitas saham biasa PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk sebesar 31,69% sedangkan tingkat pengembalian
ekuitas saham biasa Singapore Airlines sebesar 7,91%. Pada tahun 2010
tingkat pengembalian ekuitas saham biasa PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
sebesar 14,91% sedangkan tingkat pengembalian ekuitas saham biasa
Singapore Airlines sebesar 2,03%.
IV.3.2. Analisis Du Pont
Analisis Du Pont yang digunakan penulis adalah analisis Du Pont yang
diperluas yakni tingkat pengembalian ekuitas diperoleh dari hubungan antara
tingkat pengembalian aset dengan pengganda ekuitas. Analisis Du Pont PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk tahun 2008-2010 seperti bagan berikut:
99
dikali
dikali
dibagi dibagi
dikurang ditambah
Gambar IV.11. Bagan Du Pont Tahun 2008
Pengembalian atas ekuitas
71,35%
Pengembalian atas aset
6,37 %
Pengganda Ekuitas
11,20
Margin laba bersih
5,04 %
Perputaran total aset
1,26 kali
Laba bersih
975.048.626.198
Pendapatan
19.349.675.420.104
Pendapatan
19.349.675.420.104
Total Aset
15.303.831.403.492
Pendapatan
19.349.675.420.104
Total Biaya
17.996.468.167.473
Aset lancar
4.626.444.698.909
Aset tidak lancar
10.677.386.704.583
100
dikali
dikali
dibagi dibagi
dikurang ditambah
Gambar IV.12. Bagan Du Pont Tahun 2009
Pengembalian atas ekuitas
31,69 %
Pengembalian atas aset
6,88 %
Pengganda Ekuitas
4,61
Margin laba bersih
5,70 %
Perputaran total aset
1,21 kali
Laba bersih
1.018.615.935.445
Pendapatan
17.860.373.610.109
Pendapatan
17.860.373.610.109
Pendapatan
17.860.373.610.109
Total Biaya
16.942.084.694.513
Aset lancar
4.212.528.943.813
Aset tidak lancar
10.589.894.293.415
Total Aset
14.802.423.237.228
101
dikali
dikali
dibagi dibagi
dikurang ditambah
Gambar IV.13. Bagan Du Pont Tahun 2010
Pengembalian atas ekuitas
14,91 %
Pengganda Ekuitas
3,95
Pengembalian atas aset
3,77 %
Margin laba bersih
2,64 %
Perputaran total aset
1,43 kali
Laba bersih
515.521.855.691
Pendapatan
19.534.331.480.504
Pendapatan
19.534.331.480.504
Total Aset
13.666.017.921.179
Pendapatan
19.534.331.480.504
Total Biaya
19.601.490.832.208
Aset lancar
3.897.022.328.518
Aset tidak lancar
9.768.995.592.661
102
Dari tabel di atas diketahui bahwa pengembalian atas ekuitas (return on
equity / ROE) tahun 2008-2010 pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk terus
mengalami penurunan setiap tahunnya. Pada tahun 2008 pengembalian atas
ekuitas pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk adalah sebesar 71,35%, pada
tahun 2009 mengalami penurunan hingga mencapai 31,69%, dan pada tahun
2010 mencapai 14,91%.
Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya pengganda ekuitas setiap
tahunnya serta perubahan pada besarnya pengembalian atas aset. Pada tahun
2008 pengganda ekuitas adalah sebesar 11.20 kali dan terus mengalami
penurunan setiap tahunnya. Pada tahun 2009 pengganda ekuitas mengalami
penurunan sebesar 58,8% atau sebesar 6,59 kali, sehingga pengganda ekuitas
pada tahun 2009 adalah sebesar 4,61%. Pada tahun 2010 pengganda ekuitas pun
mengalami penurunan yaitu sebesar 14,3% atau sebesar 0,66 kali, sehingga
pengganda ekuitas pada tahun 2010 adalah sebesar 3,95 kali.
Pengganda ekuitas PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang mengalami
penurunan setiap tahunnya adalah akibat dari total aset yang juga mengalami
penurunan setiap tahunnya. Total aset yang dimiliki perusahaan pada tahun 2009
adalah sebesar Rp 14.802.423.237.228,- yaitu mengalami penurunan sebesar
3,28% atau sebesar Rp 501.408.166.264,- jika dibandingkan total aset pada tahun
2008 sebesar Rp 15.303.831.403.492,-. Total aset yang dimiliki perusahaan pada
tahun 2010 menurun kembali sebesar 7,68% atau sebesar Rp 1.136.405.316.049,-
sehingga total aset tahun 2010 adalah sebesar Rp 13.666.017.921.179,-.
Pengembalian atas aset PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk pada tahun
2009 mengalami peningkatan kemudian menurun kembali pada tahun 2010. Pada
103
tahun 2009 peningkatan yang terjadi adalah sebesar 0,51% sehingga
pengembalian atas aset pada tahun 2009 adalah sebesar 6,88% meningkat sedikit
jika dibandingkan pada tahun 2008 yang mencapai 6,37%. Pada tahun 2010
menurun kembali sebesar 3,11% sehingga tingkat pengembalian total aset pada
tahun 2010 adalah sebesar 3,77%. Peningkatan pada tahun 2009 ini tidaklah
sebesar penurunan pengembalian atas aset pada tahun 2010. Sehingga hal inilah
yang menyebabkan pengembalian atas ekuitas pada PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk tahun 2008-2010 terus mengalami penurunan.
Dengan demikian PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk harus
memperhatikan beberapa hal untuk meningkatkan persentase pengembalian atas
ekuitas dan juga pengembalian atas aset yang dimiliki. PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk haruslah mengendalikan biaya yang dikeluarkannya karena total
biaya pada tahun 2010 mengalami peningkatan yang cukup besar dibandingkan
total biaya tahun 2009. Sebaliknya total biaya tahun 2009 mengalami penurunan
jika dibandingkan dengan total biaya tahun 2008. Pengendalian atas total biaya
akan mempengaruhi laba bersih yang dicapai perusahaan. Selain pengendalian
terhadap total biaya, perusahaan juga perlu untuk lebih meningkatkan
pendapatan usaha. Dengan pendapatan usaha yang besar maka dapat
mengimbangi total biaya yang juga mengalami peningkatan. Sehingga
diharapkan laba bersih perusahaan akan mengalami peningkatan pada tahun
mendatang. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk juga hendaknya meningkatkan
total aset yang dimiliki perusahaan. Karena jika diperhatikan proporsi aset lancar
dan aset tidak lancar PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk terus mengalami
penurunan yang berpengaruh terhadap perputaran total aset perusahaan.
104
IV.3.3. Analisis Sumber dan Penggunaan Kas
Tabel IV.12. Pola Arus Kas
No
Arus Kas
dari
Operasi
Arus Kas
dari
Investasi
Arus Kas
dari
Pendanaan
Penjelasan Umum
1 + + + Perusahaan menggunakan kas yang berasal dari aktivitas operasi, penjualan aset, dan pendanaan untuk menambah kas -perusahaan yang sangat likuid- yang mungkin menginginkan akuisisi
2 + - - Perusahaan menggunakan arus kas yang berasal dari aktivitas operasi untuk membeli aset tetap dan untuk melunasi hutang
3 + + - Perusahaan menggunakan kas yang berasal dari aktivitas operasi dan penjualan aset tetap untuk melunasi hutang
4 + - + Perusahaan menggunakan kas yang berasal dari aktivitas operasi dan pinjaman (atau dari investor) untuk aktivitas ekspansi
5 - + + Masalah dalam arus kas operasi perusahaan ditutupi dengan penjualan aset tetap dan pinjaman atau kontribusi pemegang saham
6 - - + Perusahaan bertumbuh secara cepat tetapi memiliki kegagalan dalam arus kas yang berasal dari operasi dan pembelian aset tetap yang didanai dengan hutang jangka panjang atau investasi baru
7 - + - Perusahaan mendanai kekurangan arus kas operasi dan pembayaran kepada kreditor dan/atau stockholders melalui penjualan aset tetap
8 - - - Perusahaan menggunakan cadangan kas untuk mendanai kegagalan operasi dan pembayaran kreditor dan/atau investor jangka panjang
105
Tabel IV.12 di atas menunjukkan pola arus kas suatu perusahaan yang
dilihat dari jumlah arus kas yang diperoleh atau digunakan perusahaan pada
aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan. Berdasarkan laporan arus kas PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk pada tahun 2008 hingga 2010, pola arus kas
yang dimiliki PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk selama 3 tahun yakni tahun
2008 hingga tahun 2010 adalah pola nomor 2. Pola arus kas nomor 2 yaitu arus
kas dari operasi (+), arus kas dari investasi (-), dan arus kas dari pendanaan (-).
Hal ini berarti PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk menggunakan arus kas yang
diperoleh dari aktivitas operasi untuk memperoleh aset dan membayar hutang.
Arus kas pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk untuk periode tahun
2008 hingga 2010 terus mengalami penurunan. Arus kas pada PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk tahun 2008 mengalami penurunan sebesar Rp
439.876.134.254,- kemudian arus kas pada tahun 2009 mengalami penurunan
yang sangat besar hingga mencapai Rp 821.985.276.895,-. Penurunan arus kas
pada tahun 2009 ini adalah penurunan arus kas terbesar untuk periode tahun
2008 hingga 2010. Selanjutnya arus kas pada tahun 2010 mengalami penurunan
sebesar Rp 481.272.695.211,-.
Penurunan arus kas pada tahun 2008 disebabkan oleh arus kas keluar PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang cukup besar. Arus kas keluar yang cukup
besar tersebut antara lain melakukan transaksi yang berhubungan dengan
aktivitas investasi yaitu pengeluaran untuk transaksi perolehan aset tetap seperti
uang muka pembelian pesawat, dan juga melakukan transaksi pembayaran
hutang jangka panjang yakni transaksi yang berhubungan dengan aktivitas
pendanaan. Arus kas masuk pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang
106
berasal dari aktivitas operasi, investasi dan pendanaan tidak mencukupi untuk
membiayai arus keluar yang digunakan baik untuk aktivitas investasi dan
aktivitas pendanaan. Hal ini menyebabkan saldo kas dan setara kas pada awal
tahun 2008 sebesar Rp 2.969.624.376.774,- mengalami penurunan hingga
mencapai Rp 2.601.788.985.919,- pada akhir tahun 2008.
Penurunan arus kas pada tahun 2009 adalah penurunan arus kas terbesar
pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk untuk periode tahun 2008 hingga 2010.
Penurunan arus kas disebabkan adanya pengeluaran terkait transaksi perolehan
aset tetap berupa pesawat yang berhubungan dengan aktivitas investasi serta
pembayaran hutang jangka panjang yang meningkat yang berhubungan dengan
aktivitas pendanaan. Arus kas masuk yang diperoleh PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk melalui aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan tidak dapat
memenuhi arus kas keluar yang digunakan untuk aktivitas investasi dan
pendanaan selama tahun 2009. Hal ini menyebabkan kas dan setara kas pada
awal tahun 2009 yang mencapai Rp 2.601.788.985.919,- mengalami penurunan
yang cukup besar hingga mencapai Rp 1.722.491.504.933,-.
Penurunan arus kas pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tahun 2010
tidak sebesar penurunan yang terjadi pada tahun 2009. Hal ini disebabkan karena
adanya penambahan arus kas masuk yang berasal dari aktivitas investasi yaitu
berupa pengembalian uang muka pembelian pesawat yang mampu mendukung
arus kas masuk PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang berasal dari aktivitas
operasi serta arus kas masuk lain yang berasal dari aktivitas investasi dan
pendanaan. Penurunan arus kas yang terjadi pada tahun 2010 disebabkan karena
adanya peningkatan pembayaran hutang jangka panjang jika dibandingkan
107
pembayaran hutang jangka panjang pada tahun 2009. Pada tahun 2009
pembayaran hutang jangka panjang PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk adalah
sebesar Rp 751.319.055.661,- dan meningkat menjadi Rp 1.542.812.737.418,-
pada tahun 2010. Hal ini menyebabkan arus kas masuk PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk tidak mampu menutupi arus kas keluar yang terjadi pada tahun
2010. Sehingga kas dan setara kas pada awal tahun 2010 sebesar Rp
1.722.491.504.933,- mengalami penurunan hingga saldo kas dan setara kas akhir
tahun 2010 sebesar Rp 1.177.383.233.771,-.
Dari hasil analisis terhadap laporan arus kas pada PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk diketahui bahwa PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk memiliki
arus kas positif pada aktivitas operasi, serta arus kas negatif pada aktivitas
investasi dan pendanaan. Hal ini berarti arus kas yang diperoleh dari aktivitas
operasi digunakan untuk aktivitas investasi yaitu memperoleh aset dan aktivitas
pendanaan yaitu membayar hutang. Arus kas masuk PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk adalah arus kas yang diperoleh untuk membiayai aktivitas
investasi dan pendanaan. Arus kas masuk PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
diperoleh dari aktivitas operasi ditambah dengan arus kas masuk yang berasal
dari aktivitas investasi seperti penjualan aset, serta arus kas masuk yang
diperoleh dari aktivitas pendanaan yaitu pinjaman jangka pendek dan jangka
panjang. Penurunan arus kas pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk selama
tahun 2008 hingga 2010 disebabkan arus kas masuk tidak mencukupi untuk
membiayai arus kas keluar seperti pembelian aset dan pembayaran hutang. PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk menggunakan pos kas dan setara kas untuk
memenuhi pembiayaan atas aktivitas investasi dan pendanaan. Hal ini yang
108
menyebabkan arus kas PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mengalami
penurunan selama tahun 2008 hingga 2010.
IV. 3.4. Analisis Kinerja PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk
Berdasarkan analisis keuangan yang telah dilakukan penulis pada PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk selama tiga tahun berturut-turut yaitu tahun
2008, 2009, dan 2010 diketahui bahwa:
1. Likuiditas
Likuiditas menunjukkan kemampuan suatu perusahaan dalam memenuhi
kewajibannya tepat pada waktunya. Perusahaan yang likuid berarti memiliki
komponen aset lancar yang lebih besar daripada kewajiban lancarnya
sehingga dapat segera memenuhi kewajiban pada waktunya. Sebaliknya
perusahaan yang illikuid berarti kewajiban lancar yang dimiliki perusahaan
lebih besar dari aset lancarnya.
Dalam tiga tahun terakhir, rasio likuiditas PT Garuda Indonesia (Persero)
Tbk mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan ini menunjukkan
bahwa perusahaan sedang melaksanakan perbaikan dalam kondisi
keuangannya. Namun jika dilihat komposisi antara aset lancar dan kewajiban
lancarnya, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk adalah perusahaan yang
illikuid. Hal ini disebabkan karena kewajiban lancar yang dimiliki
perusahaan melebihi aset lancarnya.
Rasio likuiditas yang mengalami peningkatan disebabkan oleh adanya
penurunan pada kewajiban lancar setiap tahunnya. Aset lancar perusahaan
juga mengalami penurunan namun tidaklah sebesar penurunan pada
109
kewajiban lancarnya. Pada tahun 2009 kewajiban lancar mengalami
penurunan sebesar 10,41% atau senilai Rp 737.476.733.560,-. Aset lancar
pada tahun 2009 juga mengalami penurunan yaitu sebesar 8.95% atau senilai
Rp 729.422.370.391,-. Pada tahun 2010 kewajiban lancar walaupun aset
lancar pun mengalami penurunan. Kewajiban lancar pada tahun 2010
mengalami penurunan sebesar 17,43% atau senilai Rp 1.106.402.073.869,-
sedangkan aset lancar hanya mengalami penurunan sebesar 7,49% atau
senilai Rp 315.506.615.295,-.
Penurunan kewajiban lancar pada tahun 2009 dan 2010 disebabkan
karena adanya penurunan pada hutang usaha pihak ketiga dan pinjaman
jangka panjang yang jatuh tempo dalam satu tahun. Penurunan hutang usaha
kepada pihak ketiga adalah hutang usaha yang dimiliki perusahaan kepada
pemasok jasa penerbangan dan jasa non penerbangan. Pada tahun 2009
hutang usaha pihak ketiga mengalami penurunan sebesar 39,11% atau
sebesar Rp 782.413.847.516,- sehingga hutang usaha pihak ketiga pada tahun
2009 menjadi Rp 1.218.182.894.813,- dibandingkan pada tahun 2008 sebesar
Rp 2.000.596.742.329,-. Pinjaman jangka panjang yang jatuh tempo dalam
satu tahun pada tahun 2009 adalah sebesar Rp 1.285.737.277.610,- yaitu
mengalami penurunan sebesar 10,48% atau sebesar Rp 150.594.681.037,-.
Pada tahun 2010 hutang usaha mengalami penurunan sebesar 8,35% atau
sebesar Rp 101.764.672.799,-. Sedangkan pinjaman jangka panjang yang
jatuh tempo dalam satu tahun mengalami penurunan yang cukup besar yakni
sebesar 77,96% atau sebesar Rp 1.002.383.125.369,- sehingga pinjaman
110
jangka panjang yang jatuh tempo dalam satu tahun menjadi Rp
283.354.152.241,-.
Penurunan aset lancar pada tahun 2009 dan 2010 berhubungan dengan
arus kas perusahaan. Penurunan aset lancar ini diakibatkan adanya penurunan
pada kas dan setara kas setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena arus kas keluar
yang digunakan perusahaan lebih besar dari arus kas masuk yang diperoleh
perusahaan yang berasal dari aktivitas operasi, investasi dan pendanaan. Pada
tahun 2009 kas dan setara kas mengalami penurunan sebesar 33,8% atau
sebesar Rp 879.297.480.986,- sehingga kas dan setara kas pada tahun 2009
mencapai Rp 1.722.491.504.933,-. Pada aktivitas operasi, perusahaan
memperoleh kas bersih sebesar Rp 1.379.679.241.859,-. Pada aktivitas
investasi perusahaan menggunakan kas bersih sebesar Rp
1.599.951.734.836,- dan kas yang bersih yang digunakan untuk aktivitas
pendanaan sebesar Rp 601.712.783.918,-. Sehingga perusahaan
membutuhkan tambahan dana yang berasal dari kas dan setara kas sebesar Rp
821.985.276.895,- yang menyebabkan penurunan pada kas dan setara kas
akhir tahun 2009. Pada tahun 2010 kas dan setara kas mengalami penurunan
sebesar 31,65% atau sebesar Rp 545.108.271.162,-. Pada aktivitas operasi
perusahaan memperoleh kas bersih sebesar Rp 1.602.135.109.198,-. Pada
aktivitas investasi dan pendanaan, perusahaan menggunakan kas bersih
masing-masing sebesar Rp 945.514.087.803,- dan Rp 1.137.893.716.605,-.
Sehingga perusahaan menggunakan dana tambahan yang berasal dari kas dan
setara kas sebesar Rp 481.272.695.211,- yang menyebabkan penurunan pada
kas dan setara kas akhir tahun 2010.
111
2. Solvabilitas
Solvabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan memenuhi seluruh
kewajibannya baik kewajiban lancar (jangka pendek) dan kewajiban tidak
lancar. Perusahaan solvabel adalah perusahaan yang mempunyai aset atau
kekayaan yang cukup untuk membayar semua hutangnya, sebaliknya apabila
jumlah aset atau kekayaan lebih kecil daripada jumlah hutangnya berarti
perusahaan berada dalam keadaan insolvabel.
Dalam mengukur solvabilitas PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk penulis
menggunakan beberapa rasio manajemen utang (leverage) antara lain rasio
hutang dan rasio hutang jangka panjang terhadap ekuitas. Selama tiga tahun
terakhir rasio manajemen utang perusahaan terus mengalami penurunan. Hal
ini mengindikasikan bahwa perusahaan sedang mengontrol kegiatan
pendanaannya melalui hutang, yang terlihat dengan adanya penurunan pada
total hutang serta hutang jangka panjang perusahaan berturut-turut selama
tahun 2008 hingga 2010.
Penurunan pada rasio hutang terjadi karena adanya penurunan pada total
kewajiban yang dimiliki perusahaan. Total kewajiban pada PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk pada tahun 2009 mengalami penurunan sebesar
16,61% atau sebesar Rp 2.306.450.921.842,- sehingga total kewajiban pada
tahun 2009 adalah sebesar Rp 11.581.399.660.619,-. Pada tahun 2010 total
kewajiban pun mengalami penurunan sebesar 11,96% atau sebesar Rp
1.384.837.748.409,- sehingga total kewajiban pada tahun 2010 adalah
sebesar Rp 10.196.561.912.210,-.
112
Penurunan pada rasio hutang jangka panjang terhadap ekuitas terjadi
karena adanya penurunan pada kewajiban tidak lancar (jangka panjang)
setiap tahunnya, seiring dengan adanya penambahan pada ekuitas
perusahaan. Penurunan pada kewajiban tidak lancar disebabkan oleh adanya
penurunan pada beberapa pos kewajiban tidak lancar yaitu hutang sewa
pembiayaan dan obligasi konversi. Hutang sewa pembiayaan yang dimiliki
perusahaan adalah transaksi sewa pesawat Airbus tipe A-330 yang dibiayai
oleh Lloyd. Hutang sewa pembiayaan tahun 2009 mengalami penurunan
sebesar 38,85% atau sebesar Rp 1.381.036.932.910,- kemudian menurun
kembali pada tahun 2010 sebesar 26,36% atau sebesar Rp 623.811.111.725,-.
Obligasi konversi yang dimiliki perusahaan pada tahun 2008 sebesar Rp
1.018.809.000.000,- adalah obligasi wajib konversi kepada PT Bank Mandiri
(Persero) Tbk. Pada bulan Desember 2009, perusahaan dengan Bank Mandiri
menyetujui restrukturisasi dan penyelesaian obligasi wajib konversi tersebut
dengan melakukan pembayaran tunai sebesar Rp 50.940.000.000,- dan
sisanya sebesar Rp 967.869.000.000 dikonversi menjadi saham perusahaan.
Oleh sebab itu, obligasi konversi pada tahun 2009 dan 2010 menjadi nihil.
Peningkatan ekuitas pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk disebabkan
oleh adanya penambahan modal saham sebagai akibat dari restrukturisasi
95% obligasi wajib konversi PT Bank Mandiri (Persero) Tbk yang dikonversi
menjadi modal saham. Pada tahun 2008 modal saham perusahaan adalah
sebesar Rp 8.152.629.000.000,- kemudian mengalami peningkatan sebesar
11,87% atau sebesar Rp 967.869.000.000,-. Sehingga modal saham yang
113
dimiliki perusahaan pada tahun 2009 dan 2010 bertambah menjadi Rp
9.120.498.000.000,-.
3. Profitabilitas
Profitabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan
laba selama periode tertentu. Untuk mengukur profitabilitas PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk dalam menghasilkan laba, penulis
memperbandingkan laba bersih dengan pendapatan usaha (net profit
margin), perbandingan laba bersih dengan total aset (return on total assets),
dan perbandingan laba bersih dengan total ekuitas (return on common
equity). Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa net profit margin dan
return on total assets mengalami peningkatan pada tahun 2009 kemudian
menurun kembali pada tahun 2010. Sedangkan return on common equity
terus mengalami penurunan setiap tahunnya.
Perubahan yakni naik turunnya kemampuan perusahaan menghasilkan
laba terjadi karena laba bersih perusahaan mengalami peningkatan pada
tahun 2009 lalu menurun kembali pada tahun 2010. Perubahan laba bersih
perusahaan pada tahun 2009 dan 2010 dipengaruhi oleh total beban usaha.
Pada tahun 2008 laba bersih perusahaan adalah sebesar Rp 975.048.626.198,-
Pada tahun 2009 laba bersih perusahaan mengalami peningkatan sebesar Rp
4,47% atau sebesar Rp 43.567.309.247,- menjadi Rp 1.018.615.935.445,-.
Peningkatan ini disebabkan oleh menurunnya total beban usaha perusahaan
sebesar 5,86% atau sebesar Rp 1.054.383.472.960,-. Sehingga total beban
usaha tahun 2009 adalah sebesar Rp 16.942.084.694.513,- lebih sedikit jika
114
dibandingkan total beban usaha tahun 2008 sebesar Rp 17.996.468.167.473,-.
Pada tahun 2010 laba bersih perusahaan mengalami penurunan sebesar
49,39% atau sebesar Rp 503.094.079.754,-. Penurunan ini disebabkan karena
adanya peningkatan pada total beban usaha sebesar 15,7% atau sebesar Rp
2.659.406.137.695,-. Sehingga total beban usaha pada tahun 2010 meningkat
hingga sebesar Rp 19.601.490.832.208,-.
Penurunan yang terjadi dalam tiga tahun berturut-turut pada return on
common equity tidak hanya disebabkan adanya perubahan pada laba bersih
perusahaan tetapi juga disebabkan karena adanya peningkatan pada total
ekuitas. Peningkatan ekuitas perusahaan disebabkan karena penambahan
modal saham sebagai akibat dari adanya konversi 95% obligasi wajib
konversi PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menjadi modal saham. Pada tahun
2008 modal saham perusahaan adalah sebesar Rp 8.152.629.000.000,-
kemudian mengalami peningkatan sebesar 11,87% atau sebesar Rp
967.869.000.000,-. Sehingga modal saham yang dimiliki perusahaan pada
tahun 2009 dan 2010 bertambah menjadi Rp 9.120.498.000.000,-.
Dengan melihat penurunan yang terjadi hingga tahun 2010 pada rasio-
rasio yang mengukur profitabilitas pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
disimpulkan bahwa perusahaan mengalami penurunan dalam menghasilkan
laba baik dari pendapatan usaha, penggunaan total aset, ataupun penggunaan
ekuitas yang dimiliki perusahaan.
115
4. Aktivitas
Aktivitas menunjukkan kemampuan dan keefektivan perusahaan dalam
mengelola aset yang dimiliki. Hal ini menunjukkan apakah perusahaan
menghasilkan cukup banyak volume bisnis jika dilihat dari investasinya
untuk aset. Dalam mengukur tingkat aktivitas pada PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk penulis menggunakan perputaran piutang dan perputaran total
aset. Perputaran piutang perusahaan terus mengalami penurunan setiap
tahunnya, sedangkan perputaran total aset mengalami penurunan pada tahun
2009 kemudian meningkat kembali pada tahun 2010.
Perubahan tingkat aktivitas yang dicapai perusahaan selama tiga tahun
berturut-turut yakni pada tahun 2008 hingga 2010 dipengaruhi karena adanya
perubahan pada jumlah pendapatan perusahaan setiap tahunnya. Selain itu,
peningkatan pada perputaran piutang dipengaruhi juga oleh meningkatnya
rata-rata piutang. Sedangkan perubahan naik dan turunnya perputaran total
aset juga dipengaruhi oleh adanya penurunan pada total aset.
Pada tahun 2009 pendapatan usaha mengalami penurunan sebesar 7,7%
atau sebesar Rp 1.489.301.809.995,-. Penurunan ini disebabkan oleh adanya
penurunan pada penerbangan berjadwal yaitu sebesar 9,4% atau sebesar Rp
1.420.856.251.464,-. Pada tahun 2010 pendapatan usaha perusahaan
mengalami peningkatan sebesar 9,37% atau sebesar Rp 1.673.957.870.395,-.
Peningkatan ini disebabkan karena meningkatnya penerbangan berjadwal
sebesar 16,21% atau sebesar Rp 2.220.976.751.850,-.
Rata-rata piutang perusahaan pada tahun 2008 mencapai Rp
299.323.708.107,-. Pada tahun 2009 rata-rata piutang mengalami
116
peningkatan sebesar Rp 61.478.870.287 sehingga rata-rata piutang pada
tahun 2009 menjadi Rp 360.802.578.393,-. Pada tahun 2010 rata-rata piutang
perusahaan adalah sebesar Rp 436.580.659.214,- yakni mengalami
peningkatan sebesar Rp 75.778.080.820,- dibandingkan rata-rata piutang
tahun 2009.
Total aset yang dimiliki perusahaan pada tahun 2009 adalah sebesar Rp
14.802.423.237.228 yaitu mengalami penurunan sebesar 3,28% atau sebesar
Rp 501.408.166.264,- jika dibandingkan total aset tahun 2008 sebesar Rp
15.303.831.403.492,-. Total aset yang dimiliki perusahaan pada tahun 2010
mengalami penurunan sebesar 7,68% atau sebesar Rp 1.136.405.316.049,-
sehingga total aset tahun 2010 adalah sebesar Rp 13.666.017.921.179,-.
Dengan melihat kecenderungan penurunan hingga tahun 2010 dapat
disimpulkan bahwa perusahaan mengalami penurunan dalam menghasilkan
volume bisnis jika dilihat dari total investasi yang dilakukan perusahaan
untuk aset yang dimiliki yaitu piutang dan total aset.
5. Analisis Du Pont
Berdasarkan analisis Du Pont yang telah dilakukan pada PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan pada
tingkat pengembalian atas ekuitas selama tiga tahun berturut-turut yaitu tahun
2008 hingga 2010. Pengembalian atas ekuitas PT Garuda Indonesia (Persero)
Tbk pada tahun 2008 adalah sebesar 71,35%, kemudian pada tahun 2009
mengalami penurunan hingga mencapai 31,69%, dan pada tahun 2010
mencapai 14,91%. Penurunan ini disebabkan karena adanya penurunan pada
117
pengganda ekuitas dan perubahan pada tingkat pengembalian atas total aset
perusahaan.
Pengganda ekuitas PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang mengalami
penurunan setiap tahunnya adalah akibat dari total aset yang juga mengalami
penurunan setiap tahunnya, walaupun total ekuitas yang dimiliki mengalami
peningkatan. Penurunan pada total aset disebabkan oleh adanya penurunan
pada aset lancar dan aset tidak lancar. Aset lancar pada tahun 2009
mengalami penurunan sebesar 8.95% atau senilai Rp 729.422.370.391,-,
kemudian pada tahun 2010 aset lancar menurun kembali sebesar 7,49% atau
senilai Rp 315.506.615.295,-. Aset tidak lancar pada tahun 2009 mengalami
penurunan sebesar 0,82% atau sebesar Rp 87.492.411.168,-, kemudian pada
tahun 2010 menurun kembali sebesar 6,93% atau sebesar Rp
820.898.700.754,-.
Tingkat pengembalian total aset perusahaan mengalami peningkatan pada
tahun 2009 kemudian menurun kembali pada tahun 2010. Hal ini disebabkan
karena laba bersih perusahaan mengalami peningkatan pada tahun 2009
kemudian menurun kembali pada tahun 2010. Selain itu, perubahan pada laba
bersih ini sejalan dengan penurunan pada total aset yang dimiliki perusahaan.
Perubahan pada laba bersih perusahaan pada tahun 2009 dan 2010
dipengaruhi oleh total beban usaha. Pada tahun 2008 laba bersih perusahaan
adalah sebesar Rp 975.048.626.198,-. Pada tahun 2009 laba bersih
perusahaan mengalami peningkatan sebesar Rp 4,47% atau sebesar Rp
43.567.309.247,- menjadi Rp 1.018.615.935.445,-. Peningkatan ini
disebabkan oleh menurunnya total beban usaha perusahaan sebesar 5,86%
118
atau sebesar Rp 1.054.383.472.960,-. Sehingga total beban usaha tahun 2009
adalah sebesar Rp 16.942.084.694.513,- lebih sedikit jika dibandingkan total
beban usaha tahun 2008 sebesar Rp 17.996.468.167.473,-. Pada tahun 2010
laba bersih perusahaan mengalami penurunan sebesar 49,39% atau sebesar
Rp 503.094.079.754,-. Penurunan ini disebabkan karena adanya peningkatan
pada total beban usaha sebesar 15,7% atau sebesar Rp 2.659.406.137.695,-.
Sehingga total beban usaha pada tahun 2010 meningkat hingga sebesar Rp
19.601.490.832.208,-.
Penurunan total aset disebabkan oleh adanya penurunan pada aset lancar
dan aset tidak lancar. Penyebab penurunan aset lancar pada PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk telah dijelaskan pada bagian rasio lancar. Penurunan
aset tidak lancar PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk disebabkan oleh
menurunnya aset tetap yang dimiliki perusahaan. Aset tetap yang dimiliki
perusahaan adalah aset pesawat berupa rangka pesawat, mesin, simulator,
dan rotable parts, serta aset non pesawat berupa kendaraan, tanah, bangunan
perlengkapan dan peralatan. Pada tahun 2008 aset tetap yang dimiliki
perusahaan adalah sebesar Rp 6.552.911.158.504,- kemudian terus
mengalami penurunan hingga tahun 2010. Pada tahun 2009 aset tetap
mengalami penurunan sebesar 2,75% atau sebesar Rp 178.028.892.856,-
sehingga saldo pada tahun 2009 adalah sebesar Rp 6.374.882.265.648,-. Pada
tahun 2010 aset tetap kembali menurun sebesar 12,12% atau sebesar Rp
5.602.508.956.465,- sehingga saldo aset tetap tahun 2010 adalah sebesar Rp
5.602.508.956.465,-.
119
Dengan melihat analisis yang telah dilakukan penulis terhadap tingkat
likuiditas, solvabilitas, profitabilitas, aktivitas, serta analisis Du Pont selama tiga
tahun berturut-turut pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, perusahaan
melakukan beberapa hal untuk mencapai rencana jangka panjang yaitu Quantum
Leap yang telah dicanangkan perusahaan antara lain:
a. Memperbaiki posisi kewajiban yang dimiliki perusahaan, baik kewajiban
lancar dan kewajiban tidak lancar (jangka panjang)
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk terus melakukan perbaikan pada
posisi kewajibannya selama tiga tahun berturut-turut yaitu tahun 2008
hingga 2010. Hal ini terlihat pada kewajiban lancar dan kewajiban tidak
lancar yang dimiliki perusahaan terus mengalami penurunan hingga tahun
2010. Kewajiban lancar yang dimiliki perusahaa pada tahun 2008 adalah
sebesar Rp 7.085.154.280.368,- kemudian pada tahun 2009 mengalami
penurunan sebesar 10,41% atau sebesar Rp 737.476.733.560,-. Penurunan
ini mengakibatkan saldo akhir kewajiban lancar pada tahun 2009 mencapai
Rp 6.347.677.546.808,-. Kewajiban lancar pada tahun 2010 mengalami
penurunan sebesar 17,43% atau senilai Rp 1.106.402.073.869,- sehingga
saldo akhir kewajiban lancar pada tahun 2010 mencapai Rp
5.241.275.472.939,-. Kewajiban tidak lancar pada tahun 2008 adalah sebesar
Rp 6.802.696.302.093,- kemudian pada tahun 2009 mengalami penurunan
sebesar 23,09% atau sebesar Rp 1.568.974.188.282,-. Penurunan ini
mengakibatkan saldo akhir kewajiban tidak lancar pada tahun 2009
mencapai Rp 5.233.722.113.811,-. Kewajiban tidak lancar pada tahun 2010
juga mengalami penurunan yaitu sebesar 5,32% atau sebesar Rp
120
278.435.674.540,- sehingga saldo akhir kewajiban tidak lancar pada tahun
2010 adalah sebesar Rp 4.955.286.439.271,-.
Penurunan pada kewajiban lancar dan kewajiban tidak lancar hingga
tahun 2010 menunjukkan bahwa perusahaan melaksanakan pengurangan
terkait pendanaannya melalui hutang. Penurunan kewajiban tidak lancar
pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk disebabkan karena perusahaan
melaksanakan restrukturisasi pada Obligasi Konversi PT Bank Mandiri
(Persero) Tbk menjadi modal saham dan berhasil menyelesaikan
restrukturisasi hutang dengan seluruh kreditur termasuk European Export
Credit Agency (ECA) pada tanggal 22 Desember 2010.
Untuk mencapai Quantum Leap, perusahaan perlu untuk menekan
penggunaan pendanaan melalui hutang lancar agar dapat meningkatkan
tingkat likuiditas dan menurunkan rasio hutang perusahaan. Perusahaan
dapat melakukannya dengan melunasi kewajiban yang dimiliki baik
kewajiban lancar dan kewajiban tidak lancar. Selain itu, mengontrol
pendanaan operasi perusahaan melalui hutang.
b. Mencapai growth yang telah ditargetkan pada tahun 2011 yaitu melakukan
Initial Public Offering (IPO) pada awal tahun 2011
Pelaksanaan Initial Public Offering (IPO) mencerminkan bahwa PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk adalah perusahaan yang berkembang dan
memiliki reputasi yang cukup baik untuk dapat diperhitungkan masyarakat
atau investor. Dengan dicatatkannya saham PT Garuda Indonesia (Persero)
121
Tbk menjadikan para investor, pemerintah, dan masyarakat memperhatikan
perkembangan serta kinerja yang telah dicapai perusahaan.
Dengan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk telah melaksanakan Initial
Public Offering (IPO) sebagai salah satu program pencapaian Quantum
Leap, maka sebagai perusahaan terbuka PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
perlu untuk meningkatkan pencapaian operasional perusahaan dan tetap
menjaga pelayanan yang berkualitas. Hal ini dilakukan agar perusahaan tetap
mempertahankan reputasinya dan juga sebagai bentuk pertanggung-jawaban
kepada para investor yang telah menanamkan modalnya untuk perusahan.
c. Profitable growth yaitu perusahaan menjaga tingkat pendapatan yang tinggi
dan tetap menghasilkan laba setiap tahun
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk telah berusaha untuk mencapai
profitable growth. Hal ini tercermin dari pendapatan usaha perusahaan pada
tahun 2010 yang mengalami peningkatan sebesar 9,37% atau sebesar Rp
1.673.957.870.395,-. Selain itu perusahaan juga tetap menghasilkan laba
bersih setiap tahunnya walaupun pada tahun 2010 laba bersih perusahaan
mengalami penurunan. Laba bersih pada tahun 2008 adalah sebesar Rp
975.048.626.198,-. Pada tahun 2009 laba bersih perusahaan mengalami
peningkatan sebesar Rp 4,47% atau sebesar Rp 43.567.309.247,- sehingga
saldo akhir tahun 2009 mencapai Rp 1.018.615.935.445,-. Pada tahun 2010
laba bersih perusahaan mengalami penurunan sebesar 49,39% atau sebesar
Rp 503.094.079.754,- sehingga saldo akhir tahun 2010 mencapai Rp
122
515.521.855.691,-. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan tetap
mengontrol tingkat profitabilitas yang dicapai perusahaan setiap tahunnya.
Menjaga tingkat pendapatan yang tinggi dapat dilakukan perusahaan
dengan melakukan penambahan rute penerbangan dan mengembangkan
layanan penerbangan dengan brand Citilink. Hal ini dilakukan agar
perusahaan dapat meningkatkan pendapatan usaha yang diperoleh
perusahaan setiap tahunnya.
Perusahaan dapat menghasilkan laba jika memiliki pendapatan usaha
yang lebih besar daripada total beban yang dikeluarkan. Oleh sebab itu,
perusahaan perlu untuk mengontrol pengeluaran beban-beban yang
dilakukan. Hal ini dapat dilakukan dengan menekan total beban perusahaan
tanpa harus mengurangi kualitas pelayanan perusahaan.
d. Cost discipline yaitu perusahaan fokus pada efisiensi biaya secara terus-
menerus
Perusahaan telah berupaya untuk melaksanakan efisiensi biaya. Hal ini
terlihat pada total beban usaha pada tahun 2009 yang mengalami penurunan
sebesar 5,86% dibandingkan pada tahun 2008. Pada tahun 2010 total beban
usaha mengalami peningkatan sebesar 15,7%. Peningkatan ini disebabkan
karena perusahaan sedang melaksanakan penambahan dan peremajaan pada
armada pesawat yang dimiliki.
Untuk mencapai cost discipline dalam rangka pencapaian rencana jangka
panjang perusahaan, perusahaan perlu untuk melakukan perencanaan dalam
123
pengeluaran yang dilakukan. Perusahaan perlu untuk menekan total beban
yang dikeluarkan perusahaan agar efisiensi terhadap biaya dapat terlaksana.
e. Modernisasi armada
Perusahaan melakukan penambahan pesawat terbang baru dan
mengeluarkan pesawat terbang yang tua. Hal ini dilakukan dengan tujuan
untuk peningkatan efisiensi konsumsi bahan bakar dan efisiensi biaya
perawatan pesawat. Dengan demikian dapat menunjang tercapainya program
cost discipline.