BAB III Statistik Kecelakaan Penerbangan · teknologi tinggi, memaparkan bahwa ... (speed,...
Transcript of BAB III Statistik Kecelakaan Penerbangan · teknologi tinggi, memaparkan bahwa ... (speed,...
BAB III Statistik Kecelakaan Penerbangan
3.1 Perkembangan Keselamatan Penerbangan.
Sejak penerbangan pertama kali yang dilakukan oleh Wright bersaudara seratus tahun
yang lalu, dunia penerbangan telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pesawat-
pesawat yang dioperasikan dari tahun ke tahun semakin canggih, mampu terbang lebih cepat,
menjangkau jarak yang lebih jauh serta mengangkut penumpang lebih banyak. Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesadaran akan pentingnya keselamatan telah mendorong
usaha-usaha untuk menekan laju kecelakaan penerbangan hingga mencapai angka minimum.
Gambar 3 . 1 Perkembangan laju kecelakaan penerbangan dunia
Sumber : www.boeing.com, diakses Juni 2007
Boeing, salah satu perusahaan raksasa dunia yang memproduksi pesawat terbang dengan
teknologi tinggi, memaparkan bahwa jumlah kecelakaan per sejuta penerbangan menunjukkan
tren penurunan. Meskipun sejak pertengahan tahun 1960an jumlah keberangkatan penerbangan
selalu meningkat, yang berarti lalu lintas udara semakin padat namun laju kecelakaan
penerbangan berhasil ditekan. Sejak tahun 1970an accident rate seluruh dunia mencapai angka
di bawah 10 per sejuta penerbangan. Laju kecelakaan penerbangan tiap tahunnya semakin
mendekati angka nol. Hal ini mengindikasikan transportasi udara semakin aman.
16
Gambar 3 . 2 Jumlah kecelakaan fatal penerbangan untuk beberapa tipe mesin pesawat tahun 1945-2006
Sumber : Aviation-Safety.net, diakses Juni 2007
Berdasarkan data statistik yang diperoleh dari Aviation Safety Network, tren kecelakaan
penerbangan dunia (fatal accident) yang melibatkan airliner sejak tahun 1945 menunjukkan
jumlah kecelakaan pesawat bermesin piston per tahunnya menurun kerena penggunaan mesin
propulsi juga menurun. Sedangkan kecelakaan pesawat bermesin turbo prop dan jet sejak tahun
1950an cenderung meningkat. Namun sejak meningkatnya kesadaran dunia akan pentingnya
safety, tahun 1990an angka kecelakaan penerbangan secara umum mulai mengalami penurunan.
Bila dibandingkan jumlah kecelakaan fatal pada tahun 1950, lebih banyak yang terjadi
daripada tahun 2000. Namun kerugian yang ditimbulkan serta besarnya resiko lebih besar yang
terjadi sekitar tahun 2000. Hal ini disebabkan karena kecelakaan fatal yang terjadi pada sekitar
tahun 1950 lebih banyak melibatkan pesawat-pesawat kecil yang hanya mengangkut beberapa
orang sedangkan sekitar tahun 2000 banyak melibatkan pesawat-pesawat besar yang mengangkut
hingga ratusan orang.
Meskipun jumlah kecelakaan fatal yang terjadi dari tahun ke tahun mengalami penurunan
namun resiko dari akibat yang ditimbulkan semakin besar. Kerugian material yang ditimbulkan
lebih besar pada saat ini karena melibatkan pesawat-pesawat berukuran besar. Selain itu kerugian
dalam hal korban jiwa yang bisa ditimbulkan juga lebih besar.
3.2 Kecelakaan Penerbangan di Beberapa Belahan Dunia
Tabel 3.1 Statistik kecelakaan fatal penerbangan per operator region. Sumber : Aviation-safety.net, diakses Juni 2007
Moving Average Region 2006 2005 2004 2003 2002 5-year 10-year
Africa 6 11 8 7 7 7.0 6,8 Asia 5 6 6 2 11 6.0 8,6
17
Australasia 0 3 1 1 0 1.0 1,1 Central America 0 0 0 1 0 0,6 1,3 Europe 4 7 3 5 10 6,8 7,2 North America 8 4 5 4 4 4,6 6,5 South America 4 3 5 5 5 4,6 4,8 Total 27 35 28 25 37 30,6 36,3
Daerah regional yang paling banyak mengalami kecelakaan fatal adalah kawasan negara-
negara berkembang seperti Asia dan Afrika serta kawasan negara maju dengan lalu lintas yang
sangat padat seperti Eropa dan Amerika Utara. Di kawasan negara berkembang faktor penyebab
banyaknya kecelakaan penerbangan lebih banyak disebabkan oleh belum ketatnya usaha untuk
meningkatkan safety. Sedangkan di kawasan negara maju lebih banyak disebabkan terlalu
padatnya jadwal penerbangan.
Tabel 3. 2 Perbandingan kecelakaan fatal penerbangan di Indonesia dan Asia. Sumber : Aviation-safety.net, diakses Juli 2007
2006 2005 2004 2003 2002 Asia 5 6 6 2 11 Indonesia 1 2 1 1 2 % Asia 20% 33% 17% 50% 18%
Bila dibandingkan dengan jumlah kecelakaan fatal yang terjadi di Asia dalam lima tahun
terakhir, kecelakaan di Indonesia relatif banyak, yaitu sekitar dua puluh persen. Sebagian besar
kecelakaan melibatkan penerbangan di daerah timur Indonesia. Penyebab-penyebab utamanya
adalah menabrak daerah pegunungan, CFIT (Controlled Flight Into Terrain). Pada deerah
Indonesia bagian timur cukup banyak penerbangan dengan pesawat kecil sejenis DHC Twin
Otter dan daerah yang dilaluinya berbukit.
Gambar 3 . 3 persentase penerbangan dan kecelakaan beberapa kawasan pada tahun 2006
Sumber : Aviation-safety.net, diakses Juni 2007 Namun dari segi rate kecelakaan per penerbangan tahun 2006, angka terkecil dimiliki
oleh Eropa yang berarti tingkat keamanannya paling tinggi. Sedangkan kawasan dengan tingkat
keamanan paling rendah adalah Afrika dan CIS.
18
Gambar 3 . 4 Laju kecelakaan penerbangan di beberapa kawasan
Sumber : IATA.org, April 2007 (CIS) : Commonwealth of Independent States
Sumber lain yakni International Air Transport Association (IATA) juga menyatakan hal
yang serupa. Menurut IATA, rate kecelakaan terbesar terjadi di daerah negara-negara
persemakmuran dan negara bagian seperti pecahan Uni Soviet. Negara tersebut merupakan
negara dunia ketiga yang sedang berkembang. Afrika juga menempati peringkat atas dalam rate
kecelakaan penerbangan dengan rate 4.31 per sejuta penerbangan.
3.3 Faktor Penyebab Kecelakaan Penerbangan
Kecelakaan fatal penerbangan yang melibatkan airliner banyak disebabkan oleh
hilangnya kendali serta tabrakan dengan medium lain atau disebut sebagai ”Controlled flight into
terrain” (CFIT). Kedua hal ini memang dapat menyebabkan kerusakan yang sangat besar,
misalnya kerusakan total pada pesawat akibat menabrak gunung dan banyaknya korban jiwa. Tabel 3.2 Statistik kecelakaan fatal penerbangan per jenis kecelakaan
Sumber : Aviation Safety Network, diakses Mei 2007
19
Airliner : “Commercial multi-engine airplane model which, in certificated maximum passenger configuration, is capable of carrying 14 or more passengers.”
Berdasarkan fasa terbangnya, kecelakaan fatal yang terjadi seringkali pada saat fasa-fasa
akhir seperti en route, approach, dan landing. Hal ini disebabkan pada fasa-fasa akhir tersebut
dibutuhkan performansi yang sangat tinggi untuk mengendalikan pesawat sedangkan kondisi
pilot telah menurun cukup drastis.
Tabel 3.3 Statistik kecelakaan fatal penerbangan per fase terbang. Sumber : Aviation Safety Network, diakses Mei 2007
Moving Average Phase 2006 2005 2004 2003 2002 5-year 10-year
Standing (STD) 0 0 0 0 0 0,2 0,1 Takeoff (TOF) 1 1 2 2 2 2,2 2,3 Initial climb (ICL) 3 5 2 4 0 2,4 3.0 En route (ENR) 14 14 8 9 14 10,8 11,9 Maneuvering (MNV) 0 1 0 2 2 1.0 1,1 Approach (APR) 4 8 10 8 17 11.0 13,2 Landing (LDG) 5 4 3 0 2 2.0 3,5 Unknown (UNK) 0 2 3 0 0 1.0 1,2 Total 27 35 28 25 37 30,6 36,3
Gambar 3 . 5 Perbandingan performansi pilot dan beratnya tugas Sumber : McAllister,Brian, ”Crew Resources Management”, airlife, 2001
Sebuah study mengenai safety margin seperti ditunjukkan pada gambar 3.5 menyatakan
bahwa kemampuan optimal pilot adalah pada saat-saat awal penerbangan, setelah itu mulai
berkurang secara bertahap. Sedangkan tugas yang dihadapi cukup berat pada saat take off dan
puncaknya pada saat approach & landing. Selisih antara performa pilot dan beratnya tugas ini
20
merupakan safety margin dalam fasa penerbangan. Safety margin ini mengalami nilai terendah
21
kemungkinan terjadinya
kecelak
pada saat approach & landing karena pada saat itu performansi pilot telah mengalami penurunan
sedangkan tugas yang dihadapinya bisa dikatakan berat. Oleh karena itu pada fasa ini sering
terjadi kecelakaan penerbangan. Untuk mengurangi kecelakaan pada fasa approach & landing
perlu dilakukan pelatihan yang lebih intensif pada fasa ini bagi kru penerbangan. Selain itu
otomisasi pada pesawat diharapkan dapat mengurangi beban tugas kru.
Lamanya fasa penerbangan tidak berbanding lurus dengan
aan penerbangan. Meskipun fasa penerbangan tertentu memakan sebagian besar waktu
penerbangan namun belum tentu banyak terjadi kecelakaan pada fasa tersebut. Sebuah kajian
yang dilakukan Boeing seperti pada gambar 3.6 mengenai kecelakaan fatal penerbangan yang
melibatkan pesawat-pesawat jet komersial pada tahun 1996-2005 menunjukkan fasa terbang
jelajah yang menghabiskan 57 % dari total waktu tempuh (berdasar asumsi penerbangan selama
1.5 jam) hanya terjadi kecelakaan sebanyak 6 %. Sedangkan korban meninggal pada fasa ini
sebanyak 14 %.
Gambar 3 . 6 Kecelakaan dan korban tiap fasa penerbangan
Pada fasa awal penerba g hanya memakan waktu 2%
dari to
Sumber : Boeing.com, diakses Juni 2007
ngan (takeoff dan initial climb) yan
tal waktu tempuh ternyata terdapat kecelakaan sebanyak 17% dari total kecelakaan dan
memakan korban jiwa sebanyak 27%. Sedangkan pada fasa akhir (final approach dan landing)
yang memakan waktu 15% dari total waktu tempuh terdapat 52% kecelakaan dengan korban
jiwa sebanyak 15%. Fasa awal dan akhir merupakan saat-saat sibuk dimana kru penerbangan
harus mengeluarkan kemampuan maksimal.
Lebih dari seperempat korban jiwa disebabkan kecelakaan yang terjadi pada fasa awal.
Hal ini disebabkan sulitnya mengendalikan pesawat ke keadaan normal ketika terjadi kegagalan
sehingga benturan yang dialami pesawat sangat kencang. Sedangkan pada fasa akhir, banyaknya
terjadi kecelakaan yaitu lebih dari setengah dari total kecelakaan disebabkan oleh rendahnya
safety margin seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
3.4 Kelalaian Manusia dalam Kecelakaan Penerbangan
Study lain yang dilakukan Boeing menyatakan bahwa penyebab utama terjadinya
kecelakaan yang dialami airline di seluruh dunia selama sepuluh tahun pada rentang waktu tahun
1996-2005 adalah sebagai berikut:
Gambar 3 . 7: penyebab utama terjadinya kecelakaan penerbangan Sumber : www.boeing.com, diakses Juni 2007
Sebagian besar kecelakaan penerbangan yang terjadi berhubungan dengan adanya faktor
kelalaian manusia. Dalam study tersebut operator pesawat yakni kru penerbangan memegang
peran penting dalam hal keselamatan penerbangan. Lebih dari setengah (55%) jumlah
kecelakaan disebabkan kesalahan kru penerbangan. Penyebab utama lainnya yang cukup besar
adalah faktor pesawat (17%) dan kondisi cuaca (13%). Faktor kelalaian manusia lainnya yang
mungkin terjadi adalah kesalahan Air Traffic Controller (ATC) maupun pelaksanaan program
22
perawatan pesawat. Namun kedua faktor terakhir tersebut tidak terlalu besar bila dibandingkan
dengan kesalahan yang dilakukan kru penerbangan.
Gambar 3 . 8 Penyebab utama terjadinya kecelakaan fatal penerbangan dalam beberapa periode waktu Sumber : diolah dari www.boeing.com dan www.rvs.uni-bielefeld.de.
Dari grafik di atas dapat kita ketahui bahwa meskipun faktor kelalaian manusia (flight
crew) masih dominan sebagai penyebab utama yang paling banyak menyebabkan kecelakaan
fatal penerbangan namun tren menunjukkan penurunan. Faktor lain yakni faktor pesawat dan
cuaca menunjukkan tren meningkat. Hal ini disebabkan tuntutan operasi menyebabkan
penerbangan dilakukan pada kondisi yang lebih ekstrim dibanding tahun-tahun sebelumnya,
misalnya kondisi cuaca yang lebih buruk namun tetap pada batas toleransi keselamatan
penerbangan. Kesadaran akan pentingnya program perawatan pesawat menyebabkan faktor ini
menurun cukup signifikan sebagai faktor penyebab utama kecelakaan penerbangan.
Tabel 3.4 Statistik faktor kelalaian manusia (Flight crew) Tahun 1942-2007 (hingga bulan mei 2007)
Diolah dari : Aviation safety Network
No Flight crew Factor Total cases Fatality
Avg fat per case
1 Alcohol, drug usage 18 116 6 2 Disorientation, situational awareness 16 1,081 68 3 Distraction in cockpit 7 149 21 4 Incapacitation 15 301 20
23
24
5 Insufficient rest / fatigue 20 470 24 6 Language/communication problems (also ATC) 14 1,526 109 7 Mental condition 3 69 23 8 Misjudgment (speed, altitude) 3 220 73 9 Navigational error 17 1,731 102 10 Non adherence to procedures 7 434 62 11 Un(der)qualified 33 311 9
Dari data di atas dapat diketahui bahwa kelalaian manusia yang paling sering terjadi
dalam dunia penerbangan adalah akibat tidak terpenuhinya standar kualifikasi yang telah
ditentukan. Sebelum menjalankan tugas di lapangan, setiap kru penerbangan wajib memenuhi
standar sesuai tugas yang akan diemban. Tidak terpenuhinya standar tersebut kemungkinan
karena selama mengikuti latihan, yang bersangkutan tidak menjalankannya dengan serius atau
latihan yang diadakan tidak memadai. Kemungkinan lain pihak operator (maskapai) memberikan
izin kepada seseorang yang belum memenuhi kualifikasi.
Kebijakan perusahaan mengenai keselamatan penerbangan sangat memengaruhi
pelaksanaan di lapangan. Seperti yang telah dijelaskan pada Bab sebelumnya, bila perusahaan
memiliki kebijakan pendanaan terbatas menyangkut keselamatan dan lebih mementingkan
keuntungan operasional maka kemungkinan pelatihan yang dilaksanakan tidak memadai.
Kemungkinan lain bila kesadaran akan pentingnya keselamatan masih rendah maka pengawasan
terhadap pelaksanaan training akan kurang ketat dan memiliki kecenderungan tidak memenuhi
standar. Pelatihan yang kurang memadai tersebut akan memengaruhi kemampuan petugas di
lapangan. Bila orang-orang yang berada di lini depan tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan
maka kemungkinan terjadinya kelalaian sangat besar.
Menurunnya kondisi fisik kru penerbangan, misalnya karena kurang istirahat setelah
melakukan penerbangan panjang sehingga mengakibatkan kelelahan dapat memicu terjadinya
kecelakaan. Hal tersebut juga menyebabkan kru penerbangan kehilangan arah serta menurunnya
kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Menurunnya kinerja menyebabkan kru penerbangan tidak
mampu melaksanakan tugas dengan baik.
Banyak personel penerbangan yang mencoba menyelesaikan masalah ini dengan cara
yang salah, misalnya mengkonsumsi obat-obatan. Namun penggunaan dengan dosis yang tidak
tepat justru mengakibatkan dampak negatif yang lebih besar. Salah satu kasus yang terjadi
menimpa Majestic Air Cargo tahun 2001. Ketika itu kru gagal mempertahankan ketinggian di
Masalah lain yang terjadi adalah kesalahan komunikasi antara kru penerbangan dan
pemandu lalu lintas udara. Kesalahan tersebut mungkin terjadi karena kurangnya kemampuan
menggunakan bahasa universal (bahasa Inggris), mencampur aduk bahasa Inggris dengan bahasa
negara asal operator maupun penggunaan kalimat yang sulit dimengerti dan menimbulkan
kebingungan. Salah satu contoh kasusnya adalah ketika terjadi tabrakan antara Trident dan DC9
di Kroasia tahun 1976. Instruksi yang diberikan oleh pemandu lalu lintas udara menggunakan
dua bahasa, Inggris dan Perancis.
daerah pegunungan ketika melakukan manuver climb sebelum terbang jelajah akibat sedang
mengonsumsi obat-obatan. Perusahaan penerbangan berkewajiban untuk mengatur jadwal
operasi kru dengan optimal agar tidak mengalami kelelahan saat operasi penerbangan.
Pengawasan terhadap penggunaan obat-obatan penting dilakukan.
25
CASE(S) 1940an 1950an 1960an 1970an 1980an 1990an 2000an Total
Alcohol, drug usage
1 -
1
5
5
4
2
18
Disorientation, situational awareness - -
2
1
1
5
7
16
Distraction in cockpit - - -
1
1
1
4
7
Incapacitation
1 -
5
1
2
3
3
15
Insufficient rest / fatigue
1
1
3 -
3
7
5
20
Language/communication problems (also ATC)
1 -
2
5
3
3 -
14
Mental condition - - - -
1
2 -
3
Misjudgment (speed, altitude) - -
1
1 -
1 -
3
Navigational error
1 -
2
5
3
4
2
17
Non adherence to procedures - -
1
2 - -
4
7
Un(der)qualified
1
1
7
6
12
5
1
33
TOTAL
6
2
24
27
31
35
28
153
26
Tabel 3.5 Jumlah kecelakaan penerbangan yang melibatkan kelalaian manusia (flight crew) sejak tahun 1942-2007 (mei) Diolah dari : Aviation Safety Network
Dalam beberapa tahun terakhir ada beberapa kasus yang mulai berkembang, padahal
sebelumnya jarang terjadi yaitu kekacauan di kockpit dan tidak taat pada prosedur yang berlaku.
Kebingungan dalam kockpit bisa terjadi karena kurangnya pelaksanaan latihan untuk
menghadapi masalah-masalah kritis. Sedangkan tidak taat pada prosedur yang berlaku berkaitan
dengan kebijakan operator mengenai reward and punishment maupun kurangnya stardar training
yang ditetapkan.
Tren lain yang berkembang adalah mengenai kehilangan arah atau berkurangnya
kepekaan terhadap situasi yang dihadapi. Hal ini juga bisa jadi disebabkan oleh beratnya tugas
yang dihadapi serta menurunnya kondisi fisik tubuh. Meskipun hanya terjadi sesaat namun
akibat yang ditimbulkan sangat fatal. Sebagai contoh, bila hal ini terjadi ketika dalam kondisi
genting menghadapi kondisi cuaca yang kurang baik atau contour medan yang sulit bisa
berakibat pada jatuhnya pesawat atau menabrak gunung (CFIT)
Beratnya tugas yang harus diemban oleh kru penerbangan dapat mengakibatkan
kelelahan, khususnya penerbangan berjarak panjang. Dalam beberapa puluh tahun belakangan
faktor ini cukup dominan berpengaruh pada kecelakaan fatal yang terjadi. Tercatat selama
hampir tiga puluh tahun belakangan telah terjadi kecelakaan yang disebabkan fatigue atau
kurangnya istirahat sebanyak 15 kali.
Kecelakaan penerbangan akibat penggunaan alkohol maupun obat-obatan lebih sering
menimpa pesawat-pesawat charter atau kargo. Kemungkinan budaya perusahaan menjadi faktor
penyebabnya. Aturan yang berlaku di perusahaan mengenai penggunaan obat-obatan maupun
konsumsi alcohol tidak terlalu ketat.
Sejak tahun 1970an jumlah kecelakaan yang disebabkan penggunaan obat-obatan
maupun alcohol oleh kru penerbangan meningkat. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa factor,
diantaranya beratnya tugas yang dihadapi sehingga diperlukan tambahan energi maupun
berubahnya pola hidup. Penggunaan yang berlebihan justru seringkali menimbulkan dampak
negatif.
27
28
Tabel 3.6 Jumlah korban jiwa yang melibatkan kelalaian manusia (flight crew) sejak tahun 1942-2007 (mei)
Diolah dari : Aviation Safety Network
FAT Avg Fat 1940an 1950an 1960an 1970an 1980an 1990an 2000an Total per case
Alcohol, drug usage
28 -
25
27
12
18
6
116 6
Disorientation, situational awareness - -
161
213
5
294
408
1,081 68
Distraction in cockpit - - -
70 -
75
4
149 21
Incapacitation
43 -
206
29
3
10
10
301 20
Insufficient rest / fatigue
14
36
122 -
7
269
22
470 24
Language/communication problems (also ATC)
6 -
143
705
184
488 -
1,526 109
Mental condition - - - -
24
45 -
69 23
Misjudgment (speed, altitude) - -
36
183 -
1 -
220 73
Navigational error
22 -
120
588
596
320
85
1,731 102
Non adherence to procedures - -
1
222 - -
211
434 62
Un(der)qualified - - - -
306
4
1
311 9
TOTAL
113
36
814
2,037
1,137
1,524
747
6,408 42
29
Pada tahun 2000an, penyebab kecelakaan yang banyak menimbulkan korban jiwa adalah
kehilangan arah (disorientation), kehilangan kepekaan (situational awareness) dan tidak menaati
prosedur penerbangan (non adherence to procedure). Dari tujuh kecelakaan yang terjadi karena
disorientation & situational awareness, tiga diantaranya menimbulkan korban jiwa lebih dari
seratus orang. Ketiga kecelakaan tersebut terjadi karena pilot tidak mampu mengendalikan
pesawat dengan benar sehingga jatuh.
Setelah selama dua dekade tidak ada kecelakaan karena pelanggaran prosedur
penerbangan, pada tahun 2000an terjadi empat kali kecelakaan yang secara keseluruhan
menimbulkan korban jiwa sebanyak 211 orang. Mengendurnya pengawasan terhadap
pelaksanaan prosedur bisa jadi faktor penyebabnya.
Lemahnya pengawasan ini merupakan bahaya latent yang sangat berbahaya. Kesalahan
terselubung seperti ini sulit dideteksi dan ketika mengakibatkan kecelakaan, kerugian yang
ditimbulkan sangat besar. Karena sulit dideteksi, terjadinya kecelakaan biasanya tiba-tiba dan
tanpa ada persiapan yang baik untuk menganggulangi kecelakaan. Bahaya latent terletak di
perusahaan maskapai maupun otorita penerbangan berupa pengawasan dan kebijakan yang
menimbulkan kondisi tidak aman dan akhirnya berujung pada kelalaian operator lapangan.
Pada tahun 2000an beberapa faktor sudah tidak terlibat dalam penyebab utama terjadinya
kecelakaan dan korban jiwa seperti masalah komunikasi, kondisi mental dan kesalahan penilaian.
Namun faktor-faktor ini belum tentu sudah tertangani dengan baik. Bisa jadi masih ada bahaya
terselubung yang belum terdeteksi. Penanganan keselamatan penerbangan perlu dilakukan secara
berkesinambungan.