BAB III PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN ANAK A. Pengertian...
Transcript of BAB III PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN ANAK A. Pengertian...
27
BAB III
PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN ANAK
A. Pengertian Kepribadian
Para ahli berbeda pendapat dalam memberikan definisi kepribadian.
Hal ini dikarenakan perbedaan disiplin ilmu yang mereka jadikan penelitian,
dan juga karena kemampuan dan latar belakang mereka, akan tetapi hal ini
tidak menjadikan kelemahan perkembangan ilmu pengetahuan, bahkan
menambah khasanah dan cakrawala luasnya pengetahuan.
Istilah “kepribadian” sering dijumpai dalam beberapa literatur dengan
berbagai ragam makna dan pendekatan. Sebagian psikolog ada yang
menyebutnya dengan (1) personality (kepribadian) sendiri, sedang ilmu yang
membahasnya disebut dengan “The Psychology of Personality”, atau
“Theory of Personality”; (2) character (watak atau perangai), sedang ilmu
yang membicarakannya disebut dengan “The Psychology of Character”, atau
“Characterology”; (3) type (tipe), sedang ilmu yang membahasnya disebut
dengan “Typology”.1 Ketiga istilah tersebut yang dipakai adalah istilah
kepribadian. Selain ruang lingkupnya jelas, istilah kepribadian juga
mencerminkan konsep keunikan diri seseorang.
Istilah kepribadian juga dalam studi keislaman lebih dikenal dengan
term al-Syakhsiyat. Syakhsiyat berasal dari kata syakhsh yang artinya
“pribadi”. Kata itu kemudian diberi ي nisbat sehingga menjadi kata benda
buatan (mashdar shina’iy), syakhsiyat yang berarti “kepribadian”.2
Terminologi syakhsiyat (personality) mulai populer di dalam literatur
Islam setelah terjadi sentuhan antara psikologi kontemporer dengan
kebutuhan pengembangan wacana Islam. Hal itu tidak mengandung arti
1 Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003),
Cet. XII, hlm. 1. 2 Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam, (Jakarta : Darul Falah, 1999), Cet. I, hlm.
127.
28
bahwa wacana Islam kurang peka terhadap perkembangan keilmuwan,
melainkan karena esensi terminologi syakhsiyat sendiri tidak mencerminkan
nilai fundamental Islam. Dalam literatur klasik seperti dalam pemikiran al-
Ghazali dan Ibnu Maskawaih, ditemukan term akhlak yang maksudnya
hampir mirip dengan term syakhsiyat. Bedanya, syakhsiyat dalam psikologi
berkaitan dengan tingkah laku yang didevaluasi, sedangkan akhlak berkaitan
dengan tingkah laku yang dievaluasi.3 Pemilihan itu tidak berarti jika term
syakhsiyat dihadapkan pada term Islamiyah karena syakhsiyat Islamiyah
harus dipahami sebagai akhlak. Kata “Islam” memuat sistem nilai yang
mengikat semua disiplin ilmu yang berada di dalamnya. Karenanya,
kepribadian Islam selain mendeskripsikan tingkah laku seseorang juga
berusaha menilai baik buruknya.
Kepribadian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “personality”
yang berasal dari bahasa Latin “person” (kedok) dan “personare”
(menembus). Person biasanya dipakai oleh para pemain sandiwara pada
zaman kuno untuk memerankan satu bentuk tingkah laku dan karakter pribadi
tertentu, sedang personare adalah bahwa para pemain sandiwara itu dengan
melalui kedoknya berusaha menembus keluar untuk mengekspresikan satu
bentuk gambaran manusia tertentu. Jadi persona itu bukan pribadi pemain itu
sendiri, tetapi gambaran pribadi dari tipe manusia tertentu dengan melalui
kedok yang dipakainya.4
Para ahli ilmu jiwa, banyak yang mengemukakan pendapat tentang
kepribadian sesuasi visi dan latar belakang kehidupan dirinya. Adapun
beberapa definisi istilah itu sebagai berikut :
Pertama, G.W. Allport, menurutnya kepribadian atau personality
adalah sebagai berikut : personality is the dynamic organization with the
individual of those psychophysical system, that determines his unique
3didevaluasi berarti tingkah laku yang mengalami penurunan nilai-nilai moral. Di
evaluasi berarti tingkah laku yang dinilai. Kartini Kartono dan Dali Gulo, Kamus Psikologi, (Bandung : Pioneer Jaya, 1987), hlm. 13.
4 Syamsu Yusuf, L.N., Psikologi Perkembangan Anak-anak Remaja, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 126.
29
adjusment to his environment.5 Artinya : kepribadian adalah suatu organisasi
yang dinamis sebagai sistem psikophisik dalam individu yang menentukan
caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap alam sekitar.
Kedua, seorang teoritis muslim yang bernama Dr. M. Utsman Najati,
memberikan definisi bahwa “kepribadian adalah organisasi yang dinamis dari
peralatan fisik dan psikis dalam diri individu yang membentuk karakternya
yang unik dalam penyesuaiannya dengan lingkungan”.6
Ketiga, dari Agus Sujanto dkk, memberikan definisi kepribadian
sebagai berikut : kepribadian adalah suatu totalitas psikophisik yang
kompleks dari individu sehingga nampak di dalam tingkah laku yang unik.7
Keempat, definisi yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, bahwa
kepribadian adalah : “integrasi dari id, ego, dan superego”. Sebagai Bapak
Psikoanalisa, Freud sangat memperhatikan struktur kepribadian. Baginya,
kepribadian seseorang itu terstruktur dari id, ego, dan superego. Ketiga sistem
ini tidak dipandang sebagai elemen-elemen yang terpisah-pisah, melainkan
suatu nama untuk berbagai proses psikologis yang mengikuti prinsip-prinsip
sistem yang berbeda. Ketiga sistem ini bekerjasama seperti suatu tim yang
diatur oleh ego dan digerakkan oleh libido. Oleh sebab itu hakekat
kepribadian adalah integrasi beberapa sistem kepribadian tertentu. Id sebagai
komponen kepribadian biologis, ego sebagai komponen kepribadian
psikologis, dan superego sebagai kepribadian sosiologis.8
Definisi di atas sangat menekankan kekuatan aktif dalam diri
individu, dan tidak menekankan pada kebiasaan-kebiasaan seseorang.
Kekuatan yang dimaksud berupa organisasi sistem-sistem psikis yang secara
integratif bekerjasama untuk mencapai tingkah laku tertentu.
Kelima, definisi yang dikemukakan oleh Carl Gustav Jung,
kepribadian adalah “integrasi dari ego, ke-tidaksadar-an pribadi,
5 Elizabeth B. Hurlock, Child Development, (Tokyo : Mc. Graw Hill, 1979), hlm. 524. 6 Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, (Bandung : Balai Pustaka, 1985), hlm. 240 7 Agus Sujanto dkk, Psikologi Kepribadian, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), hlm. 12 8 Abdul Mujib, op. cit., hlm. 76.
30
ketidaksadaran kolektif, kompleks-kompleks, arkhetip-arkhetip9, persona, dan
anima”.10
Definisi ini hampir sama dengan definisi yang sebelumnya. Bedanya
hanya pada bentuk-bentuk sistem psikis yang dicetuskan. Jung merupakan
“putra mahkota” Freud, tetapi kemudian ia memisahkan diri dan
mengembangkan psikoanalitik sendiri. Jung melihat bahwa penelitian
kepribadian tidak sekedar berdasarkan proses klinis eksperimentif belaka,
tetapi perlu juga memasukkan penelitian sejarah kepribadian dan kepribadian
spiritual.
Keenam, definisi yang dikemukakan oleh Alfred Adler, kepribadian
adalah : “Gaya hidup individu atau cara yang karakteristik mereaksinya
seseorang terhadap masalah-masalah hidup termasuk tujuan hidup”.11
Definisi tersebut didukung oleh pendapat Hurlock, bahwa setiap
individu memiliki konsep diri sesungguhnya dan konsep diri ideal. Konsep
diri sesungguhnya adalah konsep seseorang dari siapa dan apa dia itu –
konsep ini merupakan bayangan cermin, yang ditentukan oleh peran dan
hubungannya dengan orang lain dan apa kiranya reaksi orang lain
terhadapnya. Sedangkan konsep diri ideal adalah gambaran diri seseorang
mengenai penampilan dan tingkah laku yang diidam-idamkan.12 Kedua
konsep ini yang menjadi komponen terpenting dalam melihat kepribadian
seseorang.
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat diketahui bahwa pengertian
kepribadian adalah suatu kesatuan yang fungsional antara fisik dan psikis
atau jiwa raga dalam diri individu yang membentuk karakter atau ciri khas
maupun sikap batinnya sebagai bentuk terhadap penyesuaian dengan
lingkungannya. Dan penulis lebih condong pada pendapatnya Ustmanajati
9 Arketip adalah model bagi sesuatu yang ingin dibentuk atau diberi dasar, prototype
menurut Jung Merupakan ide warisan yang terdapat dalam bawah sadar, didasarkan pada pengalaman nenek moyang yang mengatur persepsi seseorang terhadap dunia.
10 Anima adalah komponen-komponen kepribadian bagi yang ada pada pria maupun wanita. Kartini Kartono dan Dali Gulo, op. cit., hlm. 21
11 Abdul Mujib, op. cit., hlm. 77 12 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., hlm. 525
31
karena untuk membentuk kepribadian yang unik harus ada unsur-unsur fisik
maupun psikisnya keduanya harus kompromi. Pengkompromian antara
kebutuhan-kebutuhan tubuh dan kebutuhan jiwa, karena dalam Islam harus
ada keseimbangan antara aspek-aspek material dan spiritual dalam diri
manusia. Perlunya keseimbangan dalam kepribadian ini dikemukakan dalam
al-Qur'an surat al-Qashash : 77
وابتغ فيما ءاتاك الله الدار اآلخرة وال تنس نصيبك من الدنيا وأحسن كما فسدينالم حبال ي ض إن اللهفي األر ادغ الفسبال تو كإلي الله نسأح
)77: القصص (
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashash : 77)13
Dalam Tafsir Al-Maraghi diterangkan bahwa kata (فيما) mengandung
makna terbanyak atau pada umumnya sekaligus melukiskan tertancapnya ke
dalam lubuk hati. Upaya mencari kebahagiaan ukhrawi melalui apa yang
dianugerahkan Allah dalam kehidupan dunia ini. Sedangkan kata (والتنس)
merupakan larangan melupakan atau mengabaikan bagian seseorang dari
kenikmatan dunia. Larangan ini dipahami oleh sementara ulama bukan dalam
arti haram mengabaikannya, tetapi dalam arti mubah/boleh untuk
mengabaikannya, dan dengan demikian ayat ini merupakan salah satu contoh
penggunaan redaksi larangan untuk makna mubah atau boleh.14
Siapapun boleh menggunakan hartanya untuk tujuan kenikmatan
duniawi selama hak Allah menyangkut harta telah dipenuhinya dan selama
13 Depag RI, op.cit., hlm. 315 14 Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Juz VII, (Libanon-Beirut : Darul Al-Fikri, t.th.), hlm.
326
32
penggunaannya tidak melanggar ketentuan Allah. Begitu juga dalam
kepribadian antara aspek material dan spiritual harus ada keseimbangan.
Organisasi jiwa raga merupakan komponen atau aspek struktur dalam
diri kepribadian. Sedangkan penyesuaian diri merupakan struktur luar dari
kepribadian yang lebih bersifat dinamis dalam menghadapi berbagai situasi,
kondisi, dan perubahan lingkungan. Pada dasarnya manusia mempunyai
struktur dalam yang sama dengan manusia lainnya. Demikian pula faktor
yang mempengaruhinya pada garis besarnya sama, yaitu faktor pembawaan
dan lingkungan. Hanya warna dan ciri-ciri kepribadiannya yang berbeda
dengan manusia lain, karena tidak ada lingkungan yang mempunyai
efektifitas pengaruh yang sama terhadap dua orang atau lebih. Tiap individu
akan memberikan makna atau penghayatan yang berbeda terhadap
lingkungan.15
Sesungguhnya setiap makhluk hidup akan mengalami perkembangan,
ini sebagai bukti bahwa ia hidup. Dan perkembangan merupakan proses
individualitas yang mengarah kepada gerak maju dan bertambah kualitasnya.
Seperti semula tidak tahu menjadi tahu, semula kecil lalu menjadi besar,
semula muda kemudian menjadi tua, dan sebagainya. Demikian pula
kepribadian seseorang akan mengalami perkembangan ke arah maju
bertambah kualitasnya, tidak menutup kemungkinan malah juga sebaliknya,
yaitu merubah ke arah negatif.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan
keribadian anak adalah suatu proses perubahan bertahap kearah yang lebih
tinggi yang menjadikan suatu totalitas sifat, tingkah laku anak yang khas,
baik dari segi fisik maupun segi psikis yang membedakan seorang anak yang
satu dengan yang lainnya yang merupakan amanah bagi kedua orang tua
menuju kesempurnaan atau kematangan serta sempurna agar kelak menjadi
insan kamil, berguna bagi agama bangsa dan negara.
15 Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila, (Bandung :
Sinar Baru Algensindo, 2001), hlm. 68
33
Jadi kepribadian terbentuk melalui proses yang cukup panjang
sepanjang kehidupan manusia itu sendiri, sehingga pembentukannya harus
dilakukan melalui bimbingan dan pengarahan.
B. Aspek-aspek Kepribadian
Menurut Freud yang dikutip oleh Sumadi Suryarata, kepribadian
terdiri atas tiga aspek, yaitu :16
1. Das Es (the id), yaitu aspek biologis.
2. Das ich (the ego), yaitu aspek pskologis.
3. Das ueber ich (the superego), yaitu aspek sosiologis.
Ketiga aspek tersebut merupakan aspek struktural dari kepribadian
seseorang.
Menurut Ny. Yoesuf Noesyirwan yang dikutip oleh Abdul Aziz
Ahyadi menganalisis kepribadian ke dalam empat daerah atau aspek, yaitu :
1. Vitalitas sebagai konstanta dari semangat hidup pribadi.
2. Temperamen sebagai konstanta dari warna dan corak pengalaman pribadi
serta cara beraksi dan bergerak.
3. Watak sebagai konstanta dari hasrat, perasaan, dan kehendak pribadi
mengenai nilai-nilai.
4. Kecerdasan, bakat, daya nalar sebagai konstanta kemampuan pribadi.17
Ahmad D. Marimba secara garis besarnya membagi aspek-aspek
kepribadian manusia menjadi tiga, yaitu aspek jasmaniah, aspek kejiwaan,
dan aspek kerohanian yang luhur.18
Hal senada juga diungkapkan DR. Abdullah Nashih Ulwan, bahwa
pengembangan kepribadian anak meliputi tiga aspek, yaitu : jasmani,
intelektual, dan aspek rohani atau kejiwaan. Aspek jasmani merupakan
persiapan dan pembentukan, aspek intelektual merupakan penyedaran,
16 Sumadi Suryabrata, op. cit., hlm. 124. 17 Abdul Aziz Ahyadi, op. cit., hlm. 69. 18 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-Ma’arif,
1989), Cet. VIII, hlm. 67.
34
pembudayaan, dan pengajaran, sedangkan aspek rohani merupajan
keterbukaan, kemandirian, dan pengendalian diri.19
1. Aspek Jasmani
Aspek ini dimasukkan tingkah laku individu yang bersumber dan
dipengaruhi oleh tenaga-tenaga jasmani, meliputi seluruh tenaga-tenaga
yang bersumber pada bekerjanya kelenjar-kelenjar darah, alat-alat
pernafasan serta saraf.20
Terkadang aspek jasmani ini sebagai muslim, hendaknya selalu
memperhatikan tubuh, kesehatan, kekuatan, dan memenuhi kebutuhan-
kebutuhan dan batas-batasnya yang diperkenankan oleh agama seperti
makan, minum, kebutuhan pakaian, berolahraga, dan sebagainya.
2. Aspek rohani
Setelah melewati fase penciptaan manusia dari turab menjadi
tanah, kemudian menjadi lumpur yang hitam yang diberi bentuk
kemudian tanah kering seperti tembikar, Allah meniupkan roh
kepadanya.21 Sebagaiman firman Allah dalam surat as-Shadd ayat 72
اجدينس وا لهوحي فقعر فيه من تفخنو هتيو72: ص (فإذا س(
Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku, maka hendaklah kamu bersujud kepada-Nya (Q.S. as-Shadd : 72).22
Dengan roh ciptaan ini membuat manusia mempunyai sifat-sifat
yang luhur dan mengikuti kebenaran. Ia adalah unsur tinggi yang di
dalamnya terkandung kesiapan manusia untuk merealisasikan hal-hal
yang paling luhur dan sifat-sifat yang paling suci.
Tenaga kerohanian ini dikenal dengan istilah budhi. Tenaga ini
adalah inti dari kerohanian dan kepribadian manusia. Inilah yang dapat
19A. Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, Mengembangkan Kepribadian
Anak, (Bandung : Rosdakarya, 1992), hlm. Vii. 20 Ibid., hlm. 69. 21 Utsman Najati, op. cit., hlm. 240. 22 Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1989), hlm. 365.
35
menerima ilham (intuisi), menerima wahyu yang dapat meyakini adanya
Tuhan, malaikat, rasul-rasul, hari kiamat, kitab-kitab, dan takdir. Selain
itu roh juga yang membuatnya siap untuk mengenal Allah, beriman
kepada-Nya, dan menyembah-Nya, memperoleh ilmu pengetahuan dan
mendayagunakannya untuk kemakmuran bumi, dan berpegang teguh pada
nilai-nilai dan tuntunan yang luhur dalam tingkah laku individual dan
soaialnya. Karena nilai-nilai yang ada pada seseorang dipengaruhi oleh
adat istiadat, etika, kepercayaan, dan agama yang dianutnya. Semua itu
mempengaruhi sikap, pendapat, dan pandangan kita yang selanjutnya
tercermin dalam cara-cara kita bertindak dan bertingkah laku.
Dalam aspek rohani terkadang sifat-sifat malaikat tercermin dalam
kehidupannya untuk mengenal Allah, beriman kepada-Nya dan memuja-
Nya. Aspek rohani ini akan memberi corak kepribadian yang mengarah
kepada ketundukan dan ketaatan kepada Allah dan menuntun kepada
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
3. Aspek Psikologis (Nafs)
Unsur-unsur aspek kejiwaan (nafs) terdiri atas karsa, rasa, dan
cipta atau juga natiqoh-natiqoh. Semua unsur ini saling berhubungan,
mempengaruhi antara satu dengan lainnya.23
Utsman Najati membagi jiwa (nafs) ke dalam tiga pengertian
yaitu, jiwa yang cenderung kepada kejahatan, jiwa yang menyesali
kepada dirinya sendiri, dan jiwa yang tenang.24
Ketika kepribadian seseorang pada tahapan manusiawi yang
rendah, dimana hawa nafsu dan kelezatan fisik duniawinya lebih dominan
maka jiwa yang demikian ini disebut “jiwa yang cenderung kepada
kejahatan”. Sebagaimana firman Allah dalam surat Yusuf ayat 53
ي غفوربي إن ربر حما روء إال مة بالسارألم فسفسي إن النن ئرا أبمو حيم53: يوسف (ر(
23 Marimba, op. cit., hlm. 69 24 Utsman Najati, op. cit., hlm. 252
36
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Yusuf : 53)25
Kemudian ketika seseorang mengadakan perhitungan terhadap
berbagai kesalahan yang diperbuatnya itu dan berusaha untuk mencegah
dirinya dari perbuatan-perbuatan yang akan menyebabkan amarah atau
murka Allah dan membuat hati sanubarinya merasa berdosa, namun ia
tidak selalu berhasil dalam upayanya, sebab kadang upayanya melemah
dan membuat terjerumus ke dalam kesalahan. Kepribadian pada tahapan
ini disebut “jiwa yang menyesali dirinya sendiri”.
Allah berfirman dalam surat al-Qiyamah ayat 1-2
)2- 1: القيمة (وال أقسم بالنفس اللوامة .آلأقسم بيوم القيامة
Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali (dirinya sendiri). (Q.S. al-Qiyamah : 1-2).26
Selanjutnya apabila kepribadian seseorang telah mencapai puncak
peringkat kematangan dan kesempurnaan manusia, dimana terjadi
keseimbangan antara tuntunan fisik dan spiritualnya, maka keadaan jiwa
yang demikian itu disebut “jiwa yang tenang atau jiwa yang mutmainah”.
Firman Allah dalam surat al-Fajr ayat 27
)27: الفجر (ياأيتها النفس المطمئنة
Hai jiwa yang tenang. (Q.S. al-Fajr : 27).27
Penafsiran ayat tersebut menurut Jalaluddin al-Mahally dan
Jalaluddin as-Suyuti sebagai berikut : ةئنطمالم فسا النهتاأيي
mempunyai pengertian jiwa yang aman atau jiwa yang beriman.28
25 Depag, op. cit., hlm. 357. 26 Ibid., hlm. 461 27 Ibid., hlm. 475 28 Jalaluddin al-Mahally dan Jalaluddin as-Suyuti, Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut
Asbabun Nuzul, (Bandung, t.p., 1990), hlm. 2720
37
Sedangkan dalm bukunya Zuhairini, pada garis besarnya aspek-
aspek kepribadian itu dapat digolongkan dalam tiga hal :
1. Aspek-aspek kejasmanian, meliputi tingkah laku luar yang mudah
nampak dan kelihatan dari luar, misalnya cara-caranya berbuat, cara-
caranya berbicara, dan sebagainya.
2. Aspek-aspek kejiwaan, meliputi aspek-aspek yang tidak dapat segera
dilihat dan kelihatan dari luar, misalnya cara-caranya berfikir, sikap,
dan minat.
3. Aspek-aspek kerohaniaan yang luhur, meliputi aspek-aspek kejiwaan
yang lebih abstrak yaitu filsafat hidup dan kepercayaan ini meliputi
sistem-sistem nilai yang telah meresap di dalam kepribadian, yang
telah menjadi bagian dan mendarah daging dalam kepribadian itu.29
Keseimbangan antara berbagai aspek jasmani, rohani, dan aspek
psikologis (kejiwaan) dalam diri manusia mengarahkan kepada
terbentuknya pribadi manusia yang berakhlak mulia. Pembentukan
manusia yang berakhlak mulia ini merupakan tujuan atau sasaran
pembentukan kepribadian muslim.
C. Proses Pembentukan Kepribadian
Pembentukan kepribadian anak berlangsung secara berangsur-angsur,
bukanlah hal yang sekali jadi melainkan sesuatu yang berkembang. Setiap
pribadi berkembang terus menerus dari masa bayi sampai meninggal dunia.
Melalui seluruh perkembangan itulah perubahan itu berlangsung walaupun
adanya pribadi itu sendiri tetap.
Dalam upaya untuk pembentukan kepribadian maka perlu
memperhatikan tiga unsur berikut ini :
1. Ciri-ciri atau unsur-unsur dinamik, yaitu bermacam-macam dorongan
bagi perangai dan tujuan-tujuannya.
29 Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), hlm. 67
38
2. Ciri watak yang berhubungan dengan ciri umum yang tidak berubah,
memperhatikan rangsangan yang menyebabkannya, seperti kecepatan
bereaksi atau kekuatan dan tingkat kekuatannya.
3. Kemampuan dan kesanggupan mental, yaitu yang menentukan
kemampuan untuk melakukan pekerjaan tertentu, yang tercermin dalam
kecerdasan dan kemampuan hitung.30
Dikatakan oleh Prof. Patty, MA., “Dalam seluruh perkembangan itu
tampak bahwa tiap perkembangan masa muncul dalam cara-cara yang
kompleks, dan tiap perkembangan didahului oleh perkembangan sebelumnya.
Ini berarti perkembangan tidak saja kontinue, tetapi juga perkembangan fase
yang satu diikuti dan menghasilkan (menetukan) pada fase berikutnya”.31
Dengan demikian, pembentukan kepribadian itu tidak mungkin
terlepas daripada proses perkembangan itu sendiri. Sedangkan proses
perkembangan itu selain mengkaitkan faktor indogen dan eksogen (sosial).
Dalam hal ini individu memerlukan dan sangat butuh dari peran sosial untuk
mendewasakan pribadinya, melalui proses imitasi, sugesti, identifikasi dan
simpati, serta komunikasi individu akan mengalami penyesuaian, perubahan,
dan perkembangan yang kemudian akan menjadi muatan kepribadian.
Menurut al-Ghazali untuk membentuk kepribadian diperlukan
metode, yakni :32
1. Metode taat syari’at
Metode ini berupa pembenahan diri, yakni membiasakan diri
dalam kehidupan sehari-hari untuk berusaha semampunya melakukan
kebajikan dan hal-hal yang bermanfaat sesuai dengan ketentuan-ketentuan
syari’at, aturan-aturan negara, dan norma-norma kehidupan masyarakat.
Di samping itu berusaha pula untuk menjauhi hal-hal yang dilarang syara’
dan aturan yang berlaku.
30 Mustafa Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat, (Jakarta :
Bulan Bintang, 1983), hlm. 52-53. 31 Patty dkk, Pengantar Psikologi Umum, (Surabaya : Usaha Nasional, 1982), hlm. 179. 32 Hanna Djumhana Bastaman, Integritas Psikologi Islam, Menuju Psikologi Islami,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 85-86.
39
2. Metode pengembangan diri
Metode ini bercorak psiko-edukatif yang didasari oleh kesadaran
diri atas keunggulan dan kelemahan pribadi, yang kemudian melahirkan
keinginan untuk meningkatkan sifat-sifat baik dan mengurangi sifat buruk
dirinya. Dalam pelaksanaannya dilakukan pula proses pembiasaan seperti
pada metode pertama ditambah pula dengan usaha-usaha meneladani
perbuatan-perbuatan baik dari orang lain yang dikagumi.
3. Mental kesufian
Metode ini bercorak spiritual-religius dan bertujuan untuk
meningkatkan kualitas pribadi mendekati citra insan ideal. Pelatihan
disiplin diri ini menurut al-Ghazali dilakukan melalui dua jalan, yakni al-
mujahadah dan al-riyadhah. Untuk mencapai hal itu diperlukan tahapan-
tahapan yakni : pertama, tahap ikhtiar dan kasab atas kehendak sendiri
berusaha mengososngkan hati dari hal-hal selain Allah, mengingat-Nya
secara intensif, melakukan i’tikaf sebagai pengintensifan ibadah dan
dzikrullah. Kedua tahap muasyafah dan musyahadah, yakni menyaksikan
dan mengalami sendiri terbukanya rahasia kebaikan, sehingga dalam
keadaan sadar malaikat-malaikat dan arwah para nabi, mendengar seruan
mereka dan mendapat pelajaran dari mereka. Ketiga, tahap kedekatan.
Setelah melalui beberapa tahap yang lebih tinggi lagi akhirnya sampai
pada tahap “dekat dengan-Nya” yang sangat sulit digambarkan dengan
kata-kata.33
Dalam pelaksanannya untuk membentuk kepribadian itu berlangsung
secara berangsur-angsur, bukanlah hal yang sekali jadi melainkan sesuatu
yang berkembang. Oleh karena itu pembentukan kepribadian merupakan
suatu proses. Akhir dari perkembangan itu – kalau berlangsung dengan baik
akan menghasilkan suatu kepribadian yang harmonis. Kepribadian itu disebut
harmonis kalau segala aspek-aspeknya seimbang, kalau tenaga-tenaga bekerja
seimbang pula sesuai dengan kebutuhan. Untuk itu bagi Ahmad D. Marimba
diperlukan proses pembentukan kepribadian yang terdiri dari pembiasaan,
33 Ibid., hlm. 88
40
pembentukan pengertian, sikap dan minat, dan yang terakhir pembentukan
kerohanian yang luhur.34
a. Pembiasaan
Pembagian ini sesuai pula dengan salah satu dasar-dasar
perkembangan manusia, bahwa pembinaan yang lebih banyak
memerlukan tenaga-tenaga kepribadian yang lebih “rendah” (jasmaniah)
akan lebih mudah dan lebih dahulu dapat mulai dilaksanakan daripada
yang memerlukan tenaga-tenaga yang lebih “tinggi” (rohaniah).
b. Pembentukan pengertian, minat dan sikap
Kalau pada tahap pertama baru merupakan pembentukan
kebiasaan-kebiasaan (drill) dengan tujuan agar cara-caranya dilakukan
dengan tepat maka pada taraf kedua ini diberikan pengetahuan dan
pengertian. Pada beberapa amalan, sebagian dari taraf kedua ini telah
dijalankan bersama-sama dengan taraf pertama ; memberi pengertian,
pengetahuan tentang amalan-amalan yang dikerjakan dan diucapkan.
Dalam taraf ini perlu ditanamkan dasar-dasar kesusilaan yang rapat
hubungannya dengan kepercayaan.
c. Pembentukan ini menanamkan kepercayaan yang terdiri atas :
- Iman kepada Allah.
- Iman kepada Malaikat.
- Iman kepada Rosul.
- Iman kepada Kitab.
- Iman kepada Qodlo dan Qodar.
- Iman kepada Hari Akhir.
Alat yang utama, ialah tenaga budhi dan tenaga-tenaga kejiwaan
sebagai alat tambahan. Pikiran dengan disinari oleh budhi mendapatkan
pengenalan akan Allah.35
Dalam pembentukan kepribadian tidak terlepas dari aktifitas
pendidikan. Dalam hubungan ini pula diharapkan pembentukan kepribadian
34 Ahmad D. Marimba, op. cit., hlm. 67 35 Ibid.
41
muslim dapat dilakukan melalui upaya pendidikan yang sejalan dengan
tujuan ajaran Islam. Secara utuh kepribadian tersebut digambarkan sebagai
sosok manusia yang fakir.
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Kepribadian.
Untuk bisa memahami kepribadian secara sempurna, maka harus
melengkapi berbagai faktor yang menentukan terbentuknya kepribadian.
Dalam mengkaji faktor-faktor yang membentuk kepribadian, para ahli jiwa
biasanya mengkaji faktor biologis, sosial, budaya; mereka juga mengkaji
dampak keturunan, struktur tubuh, sifat pembentukan sistem-sistem syaraf
kelenjar. Utsman Najati berpendapat bahwa yang sangat berpengaruh dalam
pembentukan kepribadian adalah faktor keturunan dan faktor lingkungan.36
Faktor keturunan adalah faktor-faktor yang timbul dari individu sendiri,
sedangkan faktor lingkungan yaitu faktor-faktor yang timbul dari lingkungan
sosial budaya.
Prof. Dr. Abin Syamsudin Makmun mengemukakan bahwa ada tiga
faktor yang mempengaruhi pembentukan kepribadian, ialah faktor bawaan
(heredity) yang bersifat alamiah, faktor lingkungan (environment), dan faktor
waktu (time) yaitu saat-saat tibanya masa peka atau kematangan.37
Hasil studi pola perkembangan kepribadian telah mengemukakan
adanya tiga faktor yang menentukan kepribadian yaitu faktor bawaan,
pengalaman awal dalam lingkungan keluarga, dan pengalaman-pengalaman
dalam kehidupan selanjutnya.38
Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :
1. Faktor keturunan atau faktor pembawaan
Setiap manusia lahir di muka bumi ini mempunyai pembawaan
sendiri-sendiri yang mempengaruhi tingkah lakunya atau kepribadiannya,
36 Utsman Najati, op. cit., hlm. 241. 37 Abin Syamsudin Makmun, Psikologi Pendidikan, (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2002), hlm. 81. 38 Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak II, (Jakarta : Erlangga, 1989), hlm. 238.
42
menurut situasi dan kondisi di mana dia hidup, sebagaimana firman Allah
surat al-Isra’ : 84
)84: االسراء (قل كل يعمل على شاكلته فربكم أعلم بمن هو أهدى سبيال
“Katakanlah : “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”. (Q.S. al-Isra’ : 84).39
Dengan demikian manusia mempunyai dua kecenderungan
pembawaan, yaitu baik dan buruk. Sebenarnya faktor pembawaan atau
keturunan mempunyai pengaruh terhadap pembentukan kepribadian, yang
mana faktor tersebut ada sejak zaman azali atau ketika anak masih dalam
kandungan ibunya, yaitu pembawaan fitrah sebagai potensi dasar alamiah
yang berupa naluri keagamaan.
Zakiyah Daradjat mengatakan sebagai berikut :
“Seyogyanya agama masuk dalam pribadi anak bersamaan dengan pertumbuhan pribadinya, yaitu sejak lahir dan sejak dalam kandungan. Karena dalam pengamatan para ahli jiwa, tampak bahwa keadaan sikap orangtua ketika si anak dalam kandungan telah mempunyai pengaruh terhadap perubahan jiwa si anak di kemudian hari”.40
Dari keterangan tersebut, sikap orang tua pada waktu itu (ketika
anak masih dalam kandungan) jelas amat mempengaruhi dalam
pembentukan kepribadian anak. Bahkan Dr. Kartini Kartono dan Dr.
Jenny Andani mengemukakan bahwa :
“ Jelas bahwa manusia dilahirkan di dunia bukan hanya semisal kertas kosong, yang akan terbentuk kepribadiannya oleh gambar, tulisan, dan percikan pengaruh yang digoreskan oleh lingkungan yang berupa pengalaman dan pendidikan”.41
Pertumbuhan kepribadian anak terjadi melalui seluruh
pengalaman yang diterimanya sejak dalam kandungan. Sejak dalam
kandungan, janin ini terdapat pengaruh yang menyenangkan dan menjadi
39 Depag, op. cit., hlm. 232 40 Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993), hlm. 59 41 Kartini Kartono dan Jenny Andani, Hyegene Mental : Kesehatan Mental dalam Islam,
(Bandung : Mandar Maju, ), hlm. 308
43
unsur positif dalam kepribadiannya yang akan tumbuh kelak. Janin
mendapat pengaruh sikap dan perasaan ibu terhadapnya melalui syaraf-
syaraf rahim ibu. Maka sikap positif ibu terhadap janin dan ketentraman
batinnya dalam hidup menyebabkan syaraf-syaraf bekerja lancar dan
wajar, karena tidak ada kegoncangan jiwa yang menegangkan.42
Dalam pemahaman psikologi Barat, faktor ini dinamakan
nativisme. Aliran Nativisme adalah salah satu aliran yang
menitikberatkan pandangan pada peranan sifat bawaan, keturunan, dan
kebakaan sebagai penentu tingkah laku seseorang.43
Bahwa keadaan fisik, baik yang berasal dari keturunan maupun
yang merupakan pembawaan yang dibawa sejak lahir itu memainkan
peranan yang penting pada kepribadian seseorang, tidak ada yang
mengingkarinya. Namun demikian, itu hanya merupakan salah satu faktor
saja. Kita mengetahui bahwa dalam perkembangan dan pembentukan
kepribadian selanjutnya faktor-faktor lain terutama faktor lingkungan dan
pendidikan tidak dapat kita abaikan.44
Pembentukan kepribadian berkaitan erat dengan pembinaan iman
dan akhlak. Kepribadian terbentuk melalui semua pengalaman dan nilai-
nilai yang diserapnya dalam pertumbuhan dan perkembangannya.45
2. Faktor lingkungan (faktor-faktor yang timbul dari lingkungan sosial
budaya).
Lingkungan merupakan suatu faktor yang berpengaruh dalam
pembentukan kepribadian karena lingkungan berhubungan langsung
dengan seseorang, dimana perkembangan seseorang sangat dipengaruhi
oleh lingkungan. Mulai cara bergaul, mendapat pendidikan, berkeyakinan,
berbahasa, berfikir, berakhlak dan bertingkah laku, semua tadi berpeluang
sekali dalam mempengaruhi rohani atau kejiwaan seseorang.
42 Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Rumah, (Bandung :
Ruhana, 1993), hlm. 53 43 Abdul Mujib, op. cit., hlm. 95 44M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000),
cet. XVI, hlm. 160 45 Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam dalam Keluarga, op. cit., hlm. 53
44
Mengenai lingkungan, Prof. Dr. Zakiyah Daradjat mengung-
kapkan sebagai berikut : “lingkungan adalah segala sesuatu yang tampak
dan terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang”.46
Untuk mempermudah pembahasan tentang faktor lingkungan,
akan penulis bagi menjadi tiga, yakni :
1. Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pertama dan
utama dalam menanamkan ajaran agama sebagai pangkal kehidupan
dalam mengembangkan kepribadian anak sebagai bekal di kemudian
hari. Senada dengan hal tersebut, Dr. Kartini Kartono dan Jenny
Andani mengungkapkan :
“Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak, memberikan pengaruh yang menentukan bagi pembentukan watak dan kepribadian anak menuju kedewasaannya”.47
Penanaman ajaran agama dalam keluarga sangat berpengaruh
sekali terhadap pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak
dalam segala aspek kehidupannya, sehingga keluarga dalam hal ini
harus menanamkan ajaran agama kepada anak-anak secara tepat,
sebagaimana firman Allah SWT :
ليكمأهو كمفسوا قوا أننءام ا الذينهاأي5: التحرمي (ي(
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka …48 (at-Tahrim : 5)
Seandainya para orangtua menaruh perhatian pendidikan
terhadap anaknya, terutama pendidikan agama, maka dengan
sendirinya pendidikan yang bersifat umum akan mengimbanginya.
Di sini peranan orangtua sangat menentukan, terutama ayah
dan ibu sebagai penanggung jawab keluarga. Merekalah yang
46 Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992), hlm. 63. 47 Kartini Kartono dan Jenny Andani, op. cit., hlm. 166 48 Depag, op. cit., hlm. 448
45
menentukan kemana keluarga itu akan dibawa dan warna apa yang
akan diberikan ke dalam keluarga. Anak-anak sebelum dapat
bertanggung jawab sendiri meminta bekal, cara berfikir, dan
sebagainya. Kebanyakan mereka menerima apa yang dilakukan
orangtuanya.
Untuk itu perlu kita ketahui beberapa sifat lingkungan rumah
(keluarga) yang memungkinkan anak membentuk sifat-sifat
kepribadian yang dapat diterima oleh masyarakat umum, antara lain
adalah :
a. Kesediaan orangtua menerima anak sebagai anggota yang
berharga.
b. Pertengkaran dan perselisihan paham antara orangtua supaya tidak
terjadi di hadapan anak.
c. Adanya sikap demokratis yang memungkinkan setiap anggota
keluarga mengikuti arah minatnya sendiri, sejauh tidak menyakiti
orang lain, baik di lingkungan keluarga maupun di-luar
lingkungan keluarga.
d. Penyesuaian yang baik antara ayah dan ibu dalam pernikahan.
e. Keadaan ekonomi yang serasi.
f. Penerimaan (akseptasi) sosial para tetangga terhadap keluarga.49
Berdasarkan pendapat di atas, berarti keadaan rumah
(keluarga) yang tidak mencerminkan sifat-sifat yang dimaksud akan
tidak menguntungkan bagi tercapainya penyesuaian kepribadian anak
yang wajar. Jadi dengan demikian dapat disadari betapa pentingnya
peranan keluarga sebagai peletak dasar pembentukan kepribadian
anak.
2. Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah adalah lingkungan kedua tempat anak-
anak berlatih dan menumbuhkan kepribadian. Pengaruh sekolah
49 Singgih D. Gunarso dan Ny. Singgih D. Gunarso, Psikologi untuk Membimbing,
(Jakarta : Gunung Mulia, 1992), hlm. 75-76
46
dalam pembentuk dan perkembangan anak dapat dibagi tiga
kelompok meliputi :
a. Kurikulum anak.
b. Hubungan guru dan murid.
c. Hubungan antar anak.50
Sehubungan dengan hal itu, maka kurikulum di sekolah
hendaknya disesuaikan dengan perkembangan anak. Kurikulum
hendaknya mencakup ketrampilan, pengetahuan, dan sikap-sikap yang
perlu dibentuk anak-anak. Juga harus diusahakan supaya apa yang
dipelajari disesuaikan dengan minat dan keinginan anak, bukan
semata-mata berdasarkan harapan dan cita-cita orangtua terhadap
anaknya.
3. Lingkungan Masyarakat
Cara dan ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam
masyarakat banyak sekali, meliputi pembentukan kebiasaan-
kebiasaan, pembentukan pengertian, sikap dan minat, maupun
pembentukan kesusilaan dan keagamaan.51
Lingkungan masyarakat secara tidak langsung merupakan
lembaga pendidikan non formal yang memiliki peran ganda dalam
ikut membentuk karakteristik anak lewat kebiasaan-kebiasaan dan
pengalaman langsung yang terjadi dalam lingkungan masyarakatnya.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa masing-
masing faktor (keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat) saling
mempengaruhi dalam proses pembentukan kepribadian anak.
Mengenai hal ini juga senada dengan aliran empirisme, yaitu suatu
aliran yang menitikberatkan pandangannya pada peranan lingkungan
sebagai penyebab timbulnya suatu tingkah laku. Aliran ini dipelopori
oleh John Locke (1632-1704).52
50 Ibid. 51 Ahmad D. Marimba, op. cit., hlm. 63 52 Abdul Mujib, op. cit., hlm. 92
47
Selain kedua faktor tersebut, masih ada faktor yang mempengaruhi
kepribadian. Faktor tersebut dikemukakan oleh aliran konvergensi.53 Aliran
ini menggabungkan dua aliran di atas yang menitikberatkan pada interaksi
antara faktor hereditas dan faktor lingkungan dalam proses pemunculan
tingkah laku.
Selain dari kedua faktor tersebut, juga ada beberapa faktor yang
membentuk kepribadian anak, yaitu :
1. Faktor peranan cinta kasih dalam pembinaan kepribadian
2. Faktor tidak menghina dan mengurangi hak anak
3. Faktor perhatian pada perkembangan kepribadian
4. Faktor menghindari penggunaan kata kotor.
53 Ibid., hlm. 47