BAB III DESKRIPSI WILAYAH 3.1.Kondisi Geografi Desa Tambakrejo
Transcript of BAB III DESKRIPSI WILAYAH 3.1.Kondisi Geografi Desa Tambakrejo
35
BAB III
DESKRIPSI WILAYAH
3.1.Kondisi Geografi Desa Tambakrejo
Desa Tambakrejo diresmikan pada tahun 1897, desa ini terletak di pesisir
selatan Pulau Jawa. Sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai
nelayan tangkap. Desa Tambakrejo terbagi menjadi dua dusun, yaitu: Dusun
Tamban dan Dusun Sendang Biru. Desa Tambakrejo berbatasan dengan Desa
Sitiarjo di bagian barat, Tambaksari di sebelah timur, Desa Kedung Banteng di
sebelah utara, dan Samudera Hindia di sebelah selatan. Pemerintah Desa
membangun kantor pemerintahan menjadi dua bagian, yaitu Balai Desa
Tambakrejo yang berlokasi di Dusun Tamban dan Balai Dusun Sendang Biru di
Dusun Sendang Biru karena jarak antara kedua Dusun cukup jauh yaitu 6 km.
Jarak dari desa menuju ibu kota Kecamatan Sumbermanjing Wetan 28,4 km
dengan waktu tempuh sekitar satu jam perjalanan dan berjarak 69 km menuju
ibukota Kabupaten Malang dengan waktu tempuh tiga jam perjalanan dengan
menggunakan kendaraan bermotor.
Desa Tambakrejo memiliki luas wilayah sebesar 2.700 ha dengan luas
pemukiman 146 ha. Desa ini mempunyai tanah dengan tingkat erosi ringan 45 ha
dan tingkat erosi sedang 65 ha dengan tingkat kemiringan tanah 15 derajat. Desa
ini memiliki jumlah penduduk 8.284 jiwa dengan 1.791 jumlah KK yang
bertempat tinggal di lahan pemukiman sebesar 146ha. Wilayah desa terdiri dari
dua bagian, yaitu wilayah yang berada di Pulau Jawa dan wilayah yang berada di
Pulau Sempu. Sebagian besar wilayah desa merupakan hutan lindung dan hutan
36
produksi. Hutan lindung berpusat di Pulau Sempu dengan luas 413,6 ha yang
merupakan salah satu destinasi wisata lokal maupun mancanegara dan hutan
produksi yang berada di Pulau Jawa dengan luas 2.101,7 ha. Sebagian besar
penduduk desa bermata pencaharian sebagai nelayan karena letaknya yang berada
di pesisir Samudera Hindia. Luas lahan persawahan hanya mencapai 6,55% dari
luas total wilayah. Hal ini menyebabkan hanya sebagian kecil saja masyarakat
yang melakukan kegiatan bercocok tanam yaitu 1110 jiwa. Komoditi utama yang
terdapat di desa ini adalah hasil perikanan laut terutama ikan tuna dan tongkol,
serta hasil perkebunan berupa kayu jati dan cengkeh. Hasil ikan tuna Sendang
Biru merupakan ikan tuna kualitas terbaik sehingga Pelabuhan Ikan Sendang Biru
menjadi pelabuhan ikan internasional
Wilayah desa yang terbagi menjadi dua dusun memiliki hasil tangkapan laut
yang berbeda. Nelayan Dusun Tamban merupakan nelayan karang dengan hasil
tangkapan berupa ikan-ikan karang, lobster karang, ikan badut, dan kepiting.
Sedangkan nelayan Dusun Sendang Biru merupakan nelayan laut lepas dengan hasil
tangkapan berupa tuna, tongkol, cakalang, layur, ikan sarden dan cumi. Selain hasil
tangkapan yang berbeda, kedua dusun tersebut berbeda berdasarkan struktur
kependudukannya. Penduduk Dusun Tamban didominasi oleh warga asli Suku Jawa
pribumi, berbeda dengan Dusun Sendang Biru yang berpenduduk Suku Jawa pribumi
dan pendatang, Suku Bugis, Suku Madura serta sebagian kecil suku lainnya.
Jumlah penduduk di Desa Tambakrejo adalah 8284 jiwa. Jika dibagi
berdasarkan jenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki sebesar 3.578 jiwa dan
penduduk perempuan sebesar 4.706 jiwa. Tabel 3 menyajikan sebaran jumlah
penduduk berdasarkan penggolongan umur di Desa Tambakrejo.
37
Tabel 3 : Sebaran Penduduk Desa Tambakrejo Tahun 2012
No Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)
Laki-laki Perempuan
1 Anak – anak (<18) 1.552 2.115 44,27
2 Muda (18-30 tahun) 546 732 15,43
3 Dewasa (31-50
tahun)
854 1.210 24,91
4 Tua (>50 tahun ) 626 649 15,39
Total 3.578 4.706 100
Dari Tabel di atas dapat diketahui bahwa persentase penduduk berdasarkan
usia didominasi oleh penduduk desa dengan usia dibawah 18 tahun. Usia
produktif penduduk Desa Tambakrejo adalah antara usia 18 tahun sampai 56
tahun sehingga jumlah angkatan kerja Desa Tambakrejo mencapai 44,79% dari
seluruh jumlah penduduk desa. Mata pencaharian sebagian besar penduduk Desa
Tambakrejo adalah nelayan tangkap, petani, buruh tani dan peternak. Penduduk
laki-laki umumnya bekerja sebagai nelayan tangkap sedangkan penduduk
perempuan sebagai petani. Penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan
tangkap mencapai 26,15% dari total jumlah penduduk desa dan seluruhnya
merupakan penduduk laki-laki.
Adapun persentasi penduduk yang bekerja sebagai petani, buruh tani dan
peternak masing masing adalah 13,40%, 3,15% dan 4,08%. Mata pencaharian lain
yang diminati oleh penduduk perempuan adalah sebagai buruh imigran di luar
negeri. Pada tahun 2012 tercatat 104 jiwa penduduk perempuan bekerja sebagai
buruh imigran (TKW) di luar negeri. Negara-negara yang paling diminati sebagai
tempat mencari nafkah adalah Malaysia, Arab dan Hongkong. Terdapat pula
penduduk laki-laki yang bermata pencaharian sebagai buruh migran (TKI), yaitu
sebesar 83 jiwa. Jadi total penduduk yang bermatapencaharian sebagai buruh
migran adalah 187 jiwa atau sekitar 2,25% dari total jumlah penduduk.
38
3.2. Sejarah Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru dan Clungup Mangrove
Conservation Tiga Warna
Pada tahun 1990 Sudah ada TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Sendang Biru dan
juga pada masa itu kawasan Sendang Biru terutama sumber daya alam pesisirnya
masih terbilang baik. Kemudian pada tahun 1998-2003 Terjadi peralihan fungsi lahan
yang secara status merupakan Hutan Lindung menjadi kawasan tambak dan
perkebunan. Pelakunya adalah masyarakat luar Desa Tambakrejo, dan kemudian
diikuti oleh masyarakat dalam desa. Hal ini dilatar belakangi oleh: Reformasi
(penegakan hukum melemah) Krisis Moneter pada Pemerintahan Gus Dur, “Hutan
Milik Rakyat” disalah artikan sehingga terjadi pembalakan liar, konversi lahan dan
alih fungsi hutan (dibukanya tambak di kawasan Kundang Buntung dan Pantai
Clungup). Tanaman yang ditebang yakni jenis pohon mangrove dan hutan tropis
dataran rendah. Akibatnya kondisi kawasan rusak dengan habisnya tutupan lahan.
Mangrove yang ditebang digunakan untuk bahan bangunan dan kayu bakar batu
gamping.
Sepanjang tahun 2004 terjadi paceklik ikan atau sulit mendapatkan ikan
dan sumber daya air mulai sulit didapatkan. Masyarakat yang mayoritas petani
kebun dan nelayan beralih menjadi petani hutan karena kerusakan mangrove yang
tinggi yakni mencapai 81 Ha. Kemudian pada tahun 2005 Awal gerakan mobilitas
dari Pak Saptoyo dan keluarga serta warga Sendang Biru dibantu dengan warga
dari luar. Kegiatan ini dilakukan berdasar pada kesadaran bersama untuk
memperbaiki lingkungan pesisir Sendang Biru. Dengan kesadaran tersebut Pak
Saptoyo mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dari Koperasi Unit Desa
39
(KUD) Sendang Biru. Pak Saptoyo dan teman-teman memulai menanam di Pantai
Clungup dengan siapa saja yang mau.
Sebelumnya Sudah ada POKMASWAS (Kelompok Masyarakat
Pengawas) dyang diketuai oleh Pak Praminto. Pada tahun 2011 Pak Saptoyo
dibujuk oleh Kepala Desa Sudarsono bersama ketua kelompok nelayan H. Umar
Hasan untuk ikut menghadiri pelatihan sosialisasi fungsi POKMASWAS oleh
DKP Provinsi. Kemudian di tahun 2012 POKMASWAS yang diketuai oleh Pak
Praminto tidak menjalankan fungsinya, sehingga melalui kesepakatan bersama
para anggota di Balai Dusun Sendang Biru 29 Juli 2011, disepakati ada pergantian
pengurus. Hal ini dilatarbelakangi oleh pengunduran diri Pak Praminto dan tidak
ada lagi yang bersedia menjadi ketua POKMASWAS. Melihat hal tersebut Pak
Saptoyo kemudian mengajukan diri sebagai ketua POKMASWAS.
POKMASWAS sukses memilih ketua baru yaitu Pak Saptoyo,
POKMASWAS memiliki anggota awal 25 orang hasil dari kunjungan personal Pak
Saptoyo terhadap warga Sendang Biru dari pintu ke pintu, yang kemudian berkembang
menjadi 72 orang. Pak Saptoyo memberi nama POKMASWAS GOAL/Kelompok
Masyarakat Pengawas Gatra Olah Alam Lestari yang artinya: Gatra yaitu nama pantai
ke 2 di CMC Tiga Warna. Gatra merupakan istilah dari Bahasa Kawi yang berarti
keluarga, Olah yaitu tujuan POKMASWAS untuk mengolah sumber daya alam yang
ada, kemudian Lestari adalah tujuan utamanya untuk kelestarian alam semesta dan
manusia.
Adapun beberapa Kegiatan POKMASWAS GOAL antara lain:
1. Pemetaan identifikasi kerusakan mangrove
2. Menanam kembali Mangrove
40
3. Pendekatan ke petani dan pemilik tambak
4. Sosialisasi UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil
5. Sosialisasi rehabilitasi/pemulihan kembali lahan dengan tanaman yang lebih
ramah terhadap perlindungan lahan dan juga ramah terhadap petani
perambah hutan.
6. Memperkuat sistem pengawasan SDA dengan cara: melarang dan
menangkap pemburu burung, pengebom dan pemotas ikan, nelayan yang
membuang oli ke laut, pemburu satwa liar, penebangan liar
Pada Tanggal 21 September 2012 POKMASWAS GOAL diresmikan oleh
Kepala Desa Pak Sudarsono di Pantai Clungup. Diawali dengan aktivitas keluarga
yang menginap bersama di Pantai Gatra, kemudian pagi hari dilakukan upacara
bersama guna peresmian POKMASWAS GOAL di Pantai Clungup. Lalu setiap
tanggal 21 September diperingati sebagai budaya konservasi CMC Tiga Warna
yakni Ambal Warso Clungup dengan tema Ngupadi Tirta Wening.
POKMASWAS GOAL diinisiasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Malang, ruh gerakan yakni pelestarian mangrove dan terumbu karang.
DKP melibatkan masyarakat sebagai relawan yang mengawasi sumber daya
pesisir dengan anggota POKMASWAS GOAL (72 orang) terlibat dalam aktivitas
upaya pemulihan ekologi pesisir dengan sistem gotong royong.
Pak Saptoyo melakukan penamaan pantai di kawasan karya
POKMASWAS antara lain sebagai berikut:
1. Pantai Clungup : nama peninggalan zaman dulu yang berarti Clangap atau
lidah yang menjulur.
41
2. Pantai Gatra : dulu tidak bernama dan oleh Pak Saptoyo diberi nama Pantai
Gatra yang berarti keluarga (Bahasa Kawi). Keluarga POKMASWAS
GOAL sering berkumpul di pantai ini.
3. Pantai Bangsong: nama peninggalan lama yang berarti angsa. Karena di
pantai ini terdapat batu yang menyerupai angsa.
4. Pantai Asmara/Asmoro: nama baru yang diberikan oleh POKMASWAS
GOAL karena pantai ini menjadi kawasan bermain penyu yang dimaknai
sebagai tempat penuh kasih/asmara.
5. Pantai Tiga Warna: dulu dikenal dengan nama Weden Rusak dan Pathuk’an.
Pada saat pengawasan dan pemetaan terumbu karang, Pak Saptoyo berada di
Pathuk’an dan melihat adanya perubahan warna/gradasi sejumlah tiga yakni
putih pasir, hijau toska, dan biru dalam. Maka dari itu Pak Saptoyo menamai
pantai ini Pantai Tiga Warna. Setelah melakukan identifikasi secara
tradisional, menyelam, diketahui bahwa warna toska yang dihasilkan
merupakan pantulan cahaya dari terumbu karang sisa kerusakan.
6. Pantai Sapana: penamaan baru oleh Pak Saptoyo. Sapana (Bahasa Madura)
berarti sapalah (sebuah pengingat untuk kita selalu menyapa atau permisi
ketika melintasi sebuah kawasan). Nama Sapana diambil dari sebuah
kejadian nyata Pak Saptoyo yang saat itu bersama Mbah Indra melintas di
kawasan pantai ini dan tidak bisa keluar selama kurang lebih 3 jam. Setelah
menyadari bahwa hanya berputar-putar kawasan, maka Pak Saptoyo
memutuskan untuk beristirahat sejenak dan menelepon Pak Sutris untuk
meminta tolong dijemput. Saat itu pula Pak Saptoyo dan Mbah Indra
menyadari kesalahan bahwa beliau tidak menyapa/permisi saat melintas.
42
7. Pantai Batu Pecah: penamaan baru oleh Pak Saptoyo dilatarbelakangi oleh
banyaknya batu karang yang pecah di depan pantai ini.
8. Pantai Mini: penamaan baru oleh Pak Saptoyo dilatarbelakangi oleh kondisi
fisik pantai yang kecil dan tidak cukup luas.
Tahun 2013 Penanaman dan pengawasan mangrove semakin digalakkan di
sekitar Clungup Barat/kulon kali dan Clungup Timur/Pantai Clungup saat ini,
Kegiatan POKMASWAS GOAL mengalami perluasan sektor yakni Mangrove
dan Terumbu Karang di Pantai Tiga Warna, Mulai mendapatkan akses dana
bantuan dari Pemerintah berupa:
1. Dinas Kelautan Perikanan Provinsi berupa: 1 unit pos pantau, yang
dibangun secara gotong royong oleh anggota POKMASWAS GOAL, 190
unit rumah ikan/fish appartement yang ditujukan untuk sarana bermain para
ikan dan media tumbuh terumbu karang di Pantai Tiga Warna, 10 unit
peralatan snorkeling dan masker.
2. Bank Indonesia yang membantu pengadaan 1 unit pos penjagaan di
Kondang Buntung dan pengadaan jembatan di dekat pos 1.
Karena kegiatan yang dilakukan berupa sukarela tanpa ada pendapatan ataupun
penghasilan dari kegiatan tersebut dan juga kuatnya tekanan sosial, anggota
POKMASWAS GOAL menyusut menjadi 6 orang yaitu: Saptoyo, Iswicahyo,
Sutrisno, Mat Sidik, Supii, Eko Muji Santoso,
Pada tahun 2014 dibentuknya lembaga baru dengan nama Bhakti Alam
Sendang Biru dengan legalitas perkumpulan berbentuk lembaga masyarakat
konservasi. Lembaga ini mengelola kawasan POKMASWAS dengan pariwisata
sebagai upaya pemberdayaan masyarakat. Membuat sistem pengelolaan
43
pengunjung dengan donasi sebesar Rp. 6000 + bibit mangrove. Perawatan
mangrove masih dilakukan oleh 6 orang saja, kemudian dengan semakin
banyaknya kedatangan tamu dari luar Desa Tambakrejo, beberapa anggota
POKMASWAS dan kawan praktisi yang sempat mundur dari gerakan
berdatangan kembali, karena adanya aktifitas “Pendidikan Konservasi” yang
membuat bertambahnya anggota POKMASWAS GOAL dari 6 orang menjadi 25
orang.
Pada tahun 2014 juga kemudian muncul kesadaran akan potensi desa
wisata dan terbentuk ketika adanya keberadaan para volunteer dan mahasiswa UB
yang pada saat itu mengusulkan desa wisata dari program explore wisata oleh
Saudari Arin sebagai koordinator kegiatan MONTOC (Mangrove Tour Of
Clungup) yang awalnya berkegiatan di tahun 2012. Yang kemudian menjadi cikal
bakal terbentuknya CMC Tiga Warna
Tahun 2015 Terbentuknya Peraturan Desa No. 3 tahun 2015 mengenai
pengelolaan Lingkungan Hidup dilakukan oleh Lembaga Masyarakat Konservasi
Bhakti Alam Sendang Biru di Pantai Clungup. Sistem masuk berupa donasi
seikhlas pengunjung, pihak pengelola memberikan 1 bibit mangrove untuk 1
pengunjung. Jika berkenan menanam maka didampingi oleh anggota
POKMASWAS GOAL, jika tidak maka bibit akan ditanam oleh komunitas
mahasiswa atau anggota POKMASWAS GOAL.
April 2015 Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru mulai berjejaring dengan
komunitas pegiat desa wisata bentukan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Malang. Mulai digagas sistem libur kunjungan/tutup kunjungan saat
musim libur/high session guna pemulihan ekosistem. Hal ini dilatarbelakangi dari
44
kegiatan di bulan desember tahun 2014 yakni besarnya aktivitas pengawasan
terhadap wisatawan yang berkegiatan di Pantai Clungup dan Pantai Gatra,
sebagian besar dari mereka melakukan aktivitas yang kontra terhadap
perlindungan ekosistem seperti: membuat api unggun, minum-minuman keras,
menyalakan kembang api/petasan, dan lain-lain. Dan secara internal berakibat
pada tersitanya waktu berkumpul dengan keluarga saat merayakan hari raya Natal
dan Tahun Baru. Awal tutup kunjungan diberlakukan saat idul fitri 2015, dengan
sistem penjagaan dilakukan oleh pemeluk agama Kristen sedangkan kaum Muslim
dipersilahkan merayakan hari raya Idul Fitri (sebagai perwujudan budaya toleransi
antar umat beragama).
Pada tanggal 30 Mei 2015 Pak Saptoyo, Lia Putrinda, Ferik Antyo Agus
Wibowo, sebagai koordinator gerakan Pantai Clungup berurusan dengan pihak
Polres Malang. Penangkapan dilakukan dengan tuduhan korupsi dan masuk
kawasan tanpa izin. Penangkapan ini berakibat pada dibekukannya kas Lembaga
Masyarakat Konservasi Bhakti Alam Sendang Biru, yang merupakan hasil dari
donasi wisatawan senilai Rp 70.000.000 dan uang tunai sebesar Rp 5.000.000
untuk tutup kasus, ditambah dengan uang Rp 50.000.000, total Rp 120.000.000.
Dengan pendampingan sukarelawan Agni Istiqfar Paribrata (ahli hukum)
awalnya Saptoyo dan Lia Putrinda bertekad untuk tidak menutup kasus dan
melanjutkan proses hukum sampai ke pengadilan negeri, akan tetapi 6 orang
pejuang tersisa di tahun 2013 menyarankan untuk pulang dengan alasan “Kita
mengawali kegiatan menanam dulu tanpa uang, jika sekarang uang itu harus
hilang maka ikhlaskanlah, yang terpenting adalah kembali berkumpul dan
membangun semangat bersama. Maka dari itu diputuskan untuk menutup kasus
45
dengan resiko dibekukannya barang bukti pembukuan dan lain-lain serta
hilangnya kas bersama.
Kejadian penangkapan tersebut menjadi kejadian yang menyedihkan bagi
para masyarakat yang tergabung dalam kegiatan perlindungan Pantai Clungup.
Menyebabkan adanya inovasi gerakan memakai pita hitam yang dipakai saat
melayani tamu, hal ini memunculkan simpati tamu untuk berdonasi lebih. Kurang
dari 1 bulan donasi terkumpul lebih dari Rp 50.000.000, keuangan ini digunakan
untuk membayar hutang tutup kasus kepada Koperasi Unit Desa Sendang Biru
dan sisanya menjadi kas LMK Bhakti Alam Lestari.
Kepulangan dari Polres Malang bertepatan dengan diadakannya program
pertama tutup kunjungan Idul Fitri 2015. Pantai Clungup tidak menerima
kunjungan wisatawan selama 14 hari, hal ini menimbulkan kegelisahan bagi pihak
Perhutani. Mereka menyangka bahwa penutupan Pantai Clungup karena
penangkapan dan Pantai Clungup tidak lagi di buka sebagai destinasi wisata. Dari
kejadian ini tampak bahwa Perhutani menginginkan kerjasama dalam pengelolaan
pantai. Selama tutup kunjungan, Saptoyo dan Lia dibantu oleh Agni menggagas
tentang payung hukum gerakan rehabilitasi dan konservasi Pantai Clungup di
Malang (tidak di Dusun Sendang Biru). Sekaligus mempertimbangkan pola
kerjasama dengan Perhutani.
Pada bulan Juli 2015 pengelola Pantai Clungup menyepakati adanya
Perjanjian Kerjasama/ PKS Perhutani yang berakibat pada dihapuskannya sistem
donasi masuk sukarela dan penanaman bibit mangrove menjadi tiket masuk pantai
Rp 5.000 per orang. Sistem ini menimbulkan kerugian terhadap minimnya ruang
untuk membangun kesadaran dan keterlibatan wisatawan dalam kegiatan
pemulihan hutan mangrove. Tanggal 21 September 2015 disepakati menjadi hari
46
lahirnya semangat bersama gerakan rehabilitasi dan konservasi mengrove dan
terumbu karang POKMASWAS GOAL, yang diperingati sebagai Ambal Warso
Clungup dalam perayaan larung sesaji bertema Ngupadi Tirta Wening.
Pada Oktober 2015 Saptoyo dan Lia Putrinda mengikuti pertemuan
jaringan ekowisata yang diselenggarakan oleh Forum Ekowisata Jawa Timur /
East Java Ecotourism Forum (EJEF) di Pacet. Dari pertemuan ini Saptoyo dan
Lia tahu bahwa selama ini praktek yang dilakukan terhadap pengelolaan Pantai
Clungup sampai Pantai Tiga Warna merupakan aktivitas wisata berjenis
Ekowisata. Setelah mengenal EJEF maka kegiatan pengelolaan di Pantai Clungup
semakin terarah karena adanya pendampingan dari para pelaku pariwisata.
Dusun Sendang Biru menjadi tempat penyelenggaraan acara Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) dan peresmian TPI Baru Pondok Dadap yang didatangi oleh
Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Bertepatan dengan kegiatan ini
Saptoyo selaku ketua POKMASWAS GOAL berkesempatan menerima bantuan
24 unit keramba jaring apung, 2 unit rumah apung, dan 2 unit perahu tenaga surya.
Adanya pemberlakukan sistem reservasi dan pembatasan pengunjung
terhadap Pantai Tiga Warna: wajib didampingi pemandu lokal, kunjungan di
Pantai Tiga Warna hanya 2 jam, daya tamping maksimal Pantai 100 orang selama
2 jam. Pemberdayaan masyarakat semakin luas, yang dulunya kontra akhir tahun
2015 mulai paham dan bermunculan homestay lokal, pelayan makan, dan
paguyuban ojek
Pada desember 2015 POKMASWAS GOAL menerima Penghargaan
Adibhakti Mina Bahari Nasional sebagai terbaik I Pengelolaan Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil melalui Program Pendampingan Desa Pesisir Tangguh (PDPT 2015).
47
Kemudian di tahun 2016 Pemahaman masyarakat mengenai gerakan Pantai
Clungup berangsur baik, dibuktikan dengan adanya keterlibatan kelompok
masyarakat dalam kegiatan menanam: kelompok santri masjid, kegiatan pemuda
gereja GKJW, kegiatan ibu-ibu dalam pelayanan pariwisata sebagai penyedia
makan dan minuman, homestay lokal.
Penetapan branding kawasan yang awalnya Clungup Mangrove
Conservation menjadi CMC Tiga Warna yang terdiri dari 8 pantai: Pantai
Clungup, Pantai Gatra, Pantai Bangsong, Pantai Asmoro, Pantai Sapana, Pantai
Mini, Pantai Batu Pecah, Pantai Tiga Warna, dan rumah apung CMC Tiga Warna.
Pada bulan Februari 2016 adanya perubahan perkumpulan Lembaga Masyarakat
Konservasi Bhakti Alam Sendang Biru menjadi Yayasan Bhakti Alam Sendang
Biru. Kemudian pada bulan Maret 2016 adanya Penambahan atraksi kano di
Pantai Gatra, dan juga Kesepaatan MPA (Marine Protect Area) dengan DKP
Kabupaten Malang, serta mulai di Ekspose media TV lokal dan nasional
Bulan Juni 2016 Saptoyo menerima Penghargaan Kalpataru Jawa Timur
kategori Perintis Lingkungan, penghargaan ini diberikan oleh Pakde Karwo selaku
Gubernur Jawa Timur. Kemudian adanya Pendampingan dan pelatihan pemandu
lokal CMC Tiga Warna oleh EJEF dalam rangka peningkatan SDM. Serta
dilakukannya sertifikasi pemandu ekowisata terhadap 10 orang anggota CMC
Tiga Warna. Di tahun yang sama bulan Oktober Lia Putrinda menerima
Penghargaan Pemuda Pelopor nasional atas inovasi dan kepeloporannya terhadap
perlindungan sumber daya alam pengelolaan CMC Tiga Warna.
Pada tahun 2017 CMC Tiga Warna mengalami Peningkatan jumlah
anggota menjadi 109 orang. Kemudian adanya kegiatan konservasi membuat
48
ekologi mulai membaik dapat terlihat dengan 71 ha dari 81 ha hutan mangrove
yang rusak berhasil tertanami. 10 ha nya tidak bisa dialihkan menjadi hutan
mangrove karena sudah menjadi lahan persawahan, dari segi keamanan juga mulai
membaik karena sudah adanya payung hukum Yayasan dan adanya sinergitas para
stakeholder seperti: Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata, LMDH, Dinas Lingkungan Hidup, Kementrian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK), Kementrian Pemuda dan Olah Raga, serta Kementrian
Kelautan dan Perikanan.
Pengelolaan Bangsong dan Teluk Asmara lepas dari pengelolaan kawasan
CMC Tiga Warna dan diambil alih oleh PERHUTANI. Hal ini dilatarbelakangi
oleh lamanya proses pembuatan sistem Bangsong dan Teluk Asmara oleh CMC
Tiga Warna dengan pertimbangan sistem pengamatan penyu yang eksklusif.
Dalam praktek alih kelola ini terjadi banyak penyalahgunaan pengelolaan yang
tidak pro terhadap perlindungan, seperti: ditebangnya beberapa tanaman pohon di
area POKMASWAS GOAL, pengecatan waru dan tanaman pesisir pantai,
pembukaan lahan hutan lindung dengan alat berat. Kegiatan penyelewengan ini
didokumentasikan oleh POKMASWAS GOAL dan anggota CMC Tiga Warna.
Pada Mei 2017, melakukan pendekatan terhadap KLHK (Kementrian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan) mengenai kronologi pembukaan Pantai BTA (Bangsong
Teluk Asmara). Yang berdampak pada pengurusan izin Perhutanan Sosial ke
KLHK.
Pada tanggal 2 Maret 2018 SK IPHPS telah ditetapkan dan diberikan oleh
Presiden Joko Widodo pada tanggal 10 Maret di Tuban. Kemudian di tahun yang
sama pada tanggal 12 Juli adanya pemasangan patok batas kawasan IPHPS oleh
49
Badan Penyiapan Kawasan Hutan (BPKH) Direktorat Jenderal Planologi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan petugas 4 orang yang
selanjutnya dihadang oleh PERHUTANI dengan menggunakan Paguyuban
LMDH Sumbermanjing Wetan yang notabene oknum-oknumnya tidak punya
keterkaitan langsung dengan kawasan hutan IPHPS yang objeknya akan ditandai.
Pada bulan September 2018 adanya pengajuan porporasi tiket atas nama
KTH Bhakti Alam Lestari selaku subjek hukum pemegang ijin. Tiket dicetak dan
diporporasi oleh Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Malang sebanyak 12.000
lembar dengan catatan bisa dijual setelah tiket perhutani habis. Kemudian di tahun
2019 Setelah tiket yang diporporasi Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Malang
habis, pihak Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Malang tidak mengijinkan
KTH Bhakti Alam Lestari untuk melakukan porporasi lagi. Hal ini dikarenakan
ada surat dari Perum Perhutani kepada Badan Pendapatan Daerah Kabupaten
Malang yang berisi pernyataan tentang belum di sahkannya batas kawasan kerja
KTH dan kawasan kerja Perum Perhutani dan tidak kondusifnya kondisi lapang
setelah penjualan tiket KTH yang sudah berjalan sejak Oktober 2018.
Pendamping perhutanan sosial Kabupaten Malang meminta di
selengarakan pertemuan antara Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Malang dan
Pendamping perhutanan sosial Kabupaten Malang, dalam pertemuan tersebut
Pendamping perhutanan sosial Kabupaten Malang tidak mendapatkan penjelasan
yang kuat dari Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Malang untuk menolak
memporporasi tiket KTH, dari situ Pendamping Perhutanan Sosial Kabupaten
Malang menyatakankan keputusan yang tegas kepada Badan Pendapatan Daerah
Kabupaten Malang apa bila Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Malang tidak
50
mau untuk memporporasikan tiket KTH maka tiket KTH akan di jual tanpa
porporasi dari Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Malang dengan tetap
menggandeng pihak Muspika dan desa sebagai pihak penerima sharing penjualan
tiket KTH yang tidak di porporasikan dengan sharing profit hasil penjualan tiket
global di potong biaya oprasional dan Asuransi 0,2% , setelah di lakukan
pemotongan biaya di atas hasil bersih dari penjualan tiket di bagi dengan
pembagian:
1. Desa/Bumdes Mitra KTH 10%
2. Muspika 10%
3. KTH 70%
Yang di kuatkan oleh surat dari Pendamping perhutanan sosial Kabupaten
Malang. No.01/POKJA-PPS/II/2019. Prihal : Pemberitahuan penjualan tiket
karcis pada obyek wisata yang masuk kawasan IPHPS. Tertangal : Malang,14
Februari 2019.
3.3. Profil Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru
Bhakti Alam Sendang Biru merupakan yayasan konservasi pesisir yang
diinisiasi dan dikelola oleh sekelompok masyarakat lokal yang mulai sadar akan
pentingnya menjaga ekosistem pesisir terhadap keberlanjutan hidup khususnya
masyarakat pesisir dan masyarakat global pada umumnya. Dimulai sejak tahun
2005, gerakan ini terus berjalan konsisten dengan dinamikanya sampai dengan
tahun 2014. Terbentuklah Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru sebagai pilihan
lembaga gerakan masyarakatyang diharapkan bisa mengawal perjuangan sesuai
visi dan misi yang ingin di capai di masyarakat.
51
Yayasan ini berada di Dusun Sendang Biru, Desa Tambakrejo, Kecamatan
Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang. Gerakan ini memiliki 3 prinsip
semangat perjuangan yaitu: 1) Membangun kualitas alam (Ekologi), 2)
Membangun kualitas sosal (SDM), dan 3) Membangun tingkat perekonomian
warga lokal. Semangat perjuangan tersebut terwujudkan dari program-program
yang dijalankan sebagai berikut:
1. Mengupayakan rehabilitasi 177,24 Ha kawasan pesisir Sendang Biru (71 ha
mangrove, 10 ha terumbu karang dan 96,24 ha hutan lindung) dengan
membangkitkan kembali semangat gotong royong warga lokal.
2. Menyediakan alternatif lapangan pekerjaan melalui ekowisata Clungup
Mangrove Conservation Tiga Warna.
3. Mendorong masyarakat Sendang Biru untuk sadar akan konservasi sumber daya
air
4. Mempersiapkan generasi cinta lingkungan melalui kelompok belajar Si Dolan
(Sinau Lan Dolan)
3.3.1. Visi dan misi Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru
Visi dari Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru yaitu “Hidup sejahtera di
alam”
Misi Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru sebagai berikut:
1. Membangun masyarakat cinta lingkungan, dengan mengajak berpartisipasi
dalam merehabilitasi kawasan pesisir yang rusak.
2. Membangun kelembagaan berbasis masyarakat yang kuat untuk mengelola
sumber daya alam secara bertanggung jawab melalui sector pariwisata, kehutanan,
dan perikanan berkelanjutan.
52
3.3.2. Struktur organisasi Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru
Gambar 1: struktur organisasi Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru
3.4. Profil Clungup Mangrove Conservation Tiga Warna
Clungup Mangrove Conservation Tiga Warna (CMC Tiga Warna) terletak
di Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang.
Ekowisata ini dikelola oleh masyarakat lokal Sendang Biru yang tergabung dalam
Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru. Jumlah masyarakat yang terlibat mencapai
107 orang. Sebagian besar masyarakat dulunya berprofesi sebagai perambah
hutan, nelayan yang menangkap ikan dengan cara yang tidak ramah lngkungan,
dan pencuri kayu. Pendekatan dan sosialisasi gencar dilakukan, sehingga terjadi
perubahan perilaku. Saat ini mereka dilibatkan sebagai pemandu wisata, penjaga
53
pantai, dan lain – lain dalam kegiatan ekowisata. Prinsip pengelolaannya
berorientasi pada Ekologi, Sosial, dan Ekonomi.
Kawasan CMC Tiga Warna dibagi menjadi dua area konservasi yaitu area
konservasi Mangrove (Pantai Clungup dan Pantai Gatra) dan area konservasi
terumbu karang (Pantai Sapana, Pantai Mini, Pantai Batu Pecah dan Pantai Tiga
Warna). Total luasan area mencapai 117 Ha terdiri dari 71 ha mangrove, 10 ha
terumbu karang dan 36 ha hutan lindung.
Karakteristik destinasi ekowisata CMC Tiga Warna yakni perpaduan
antara hutan mangrove yang menyatu dengan Landscape Underwater
Conservation. Dengan karakteristik tersebut wisatawan yang berkunjung ke CMC
Tiga Warna akan merasa aman dan menyatu dengan kelestarian alam, jauh dari
kebisingan, dan dapat mengoptimalkan private time for gathering. Selain itu,
wisatawan dapat berbagi pengalaman dengan pemandu lokal yang terlibat dalam
upaya konservasi pesisir. Bukan hanya sekedar bersenang – senang wisatawan
juga mendapatkan edukasi mengenai konservasi lingkungan.
3.4.1. Aksesibilitas, Infrastrktur dan Fasilitas
Ketersedian transportasi umum menuju CMC Tiga Warna belum begitu
baik, hal ini dibuktikan dengan sulitnya transportasi umum dari daerah Turen
menuju Desa Sendang Biru khususnya ke CMC Tiga Warna. Berikut perincian
transportasi umum yang digunakan wisatawan apabila memulai perjalanan wisata
dari Kota Malang : dari Kota Malang wisatawan dapat menggunakan angkutan
umum menuju terminal Gadang, setelah sampai di terminal tersebut wisatawan
dapat melanjutkan perjalanan menggunakan bus umum menuju sampai Turen,
sesampainya di pasar Turen dapat melanjutkan perjalanan ke Desa Sendang Biru
54
menggunakan angkutan umum akan tetapi ketersediaan angkutan tersebut tidak
setiap saat, disarankan wisatawan menggunakan ojek dari pasar Turen menuju
CMC Tiga Warna.
Wisatawan yang menggunakan kendaraan pribadi seperti mobil atau motor
dapat mengikuti rute perjalan dari Kota Malang menuju Gadang, kemudian
berlanjut terus sampai persimpangan Sendang Biru, di persimpangan tersebut
terdapat papan petunjuk arah ke Goa Cina, silahkan ikuti arah menuju Pantai Goa
Cina hingga 2 km sampai perkampungan, kemudian dipersimpangan terdapat
petunjuk arah menuju TPI (Tempat Pelelangan Ikan) ikuti arah tersebut dan di
pertangahan menuju TPI terdapat papan penunjuk arah menuju CMC Tiga Warna.
Jarak tempuh perjalanan dari Kota Malang ke CMC Tiga Warna 73 Km dengan
lama perjalanan 2 jam menggunakan sepeda motor dan 2 jam 11 menit
menggunakan mobil.
Bagi wisatawan yang datang secara berkelompok dan menggunakan bus
kecil pengelola CMC Tiga Warna telah menyediakan lahan parkir di pinggir jalan
menuju TPI, bagi wisatawan yang menggunakan mobil pribadi pengelola
menyediakan lahan parkir khusus mobil yang berjarak 2 km dari kawasan hutan
mangrove dan bagi wisatawan yang menggunakan sepeda motor pengelola telah
menyediakan lahan khusus parkir yang dekat dengan pos 1 (Pos pengecekan
sampah).
55
Berikut gambar peta destinasi CMC Tiga Warna:
Gambar 2: peta ekowisata CMC Tiga Warna