BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ub.ac.idrepository.ub.ac.id/7673/3/BAB II.pdf · dengan Pitra...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ub.ac.idrepository.ub.ac.id/7673/3/BAB II.pdf · dengan Pitra...
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Konsep Arsitektur Tradisional Bali
Menurut Antariksa (2009), kearifan lokal merupakan unsur bagian dari tradisi budaya
masyarakat suatu bangsa yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan
kawasan (perkotaan) dalam geografi kenusantaraan. Berdasarkan Perda Provinsi Bali tahun
2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali 2009-2029, Bali memiliki
nilai-nilai tradisi yang terkait dengan tata ruang kawasannya. Nilai tradisi yang dapat
ditransformasi dalam perencanaannya adalah sebagai berikut :
1. Konsep Bhuana Agung (makro kosmos) dan Bhuana Alit (mikro kosmos).
2. Konsep Tri Hita Karana, konsep ini terdiri dari tiga penyebab utama, yaitu :
Parhyangan, Pawongan dan Palemahan.
3. Konsep Tri Angga (tiga strata pada manusia), terdiri dari : Utama Angga (Kepala),
Madya Angga (Badan) dan Nista Angga (Kaki).
4. Konsep Tri Mandala (tata nilai zoning), yaitu :
a. Utama Mandala.
b. Madya Mandala.
c. Nista Mandala.
5. Konsep Sanga Mandala - Nawa Sanga, yaitu :
a. Konsep Sanga Mandala merupakan pemekaran dari Konsep Tri Mandala
b. Konsep Sanga Mandala melahirkan sembilan zoning peruntukan.
c. Nawa Sanga yang merupakan delapan arah mata angin dan satu ditengah
sebagai pusat/poros.
6. Konsep Akasa dan Pertiwi, yaitu hubungan antara langit dan bumi.
2.1.1 Konsep Bhuana Agung dan Bhuana Alit
Menurut Soebandi (Kumurur, 2009), Agama Hindu mengajarkan agar manusia
mengharmoniskan alam semesta dengan segala isinya yakni bhuana agung (makro
10
kosmos) dan bhuana alit (mikro kosmos), dalam kaitan ini bhuana agung adalah
lingkungan buatan atau bangunan dan bhuana alit adalah manusia yang mendirikan dan
menggunakan wadah tersebut.
Bhuwana Agung terdiri atas dua kata, yaitu kata “Bhuwana” yang artinya dunia,
alam, loka dan jagat dan kata “Agung” berarti besar atau raya. Jadi, dari penggabungan
kata-kata tersebut Bhuwana Agung berarti dunia yang besar atau lebih dikenal dengan
sebutan alam semesta. Nama lain dari alam semesta adalah Makrokosmos. Dalam
ajaran Agama Hindu, Bhuana Agung atau alam semesta terdiri atas beberapa unsur.
Unsur-unsur tersebut dalam istilah Agama Hindu disebut Panca Maha Bhuta, yaitu lima
unsur zat alamyang terdiri atas:
1. Pertiwi, yaitu zat padat
2. Apah, yaitu zat cair
3. Teja, yaitu zat sinar atau cahaya
4. Bayu, yaitu udara atau gas yang ada di sekitar manusia
5. Akasa, yaitu Ether atau ruang.
Sedangkan Bhuwana Alit juga terdiri dari dua kata, yaitu kata “Bhuana” yang
artinya dunia alam dan “Alit” yang artinya kecil. Jadi Bhuana Alit adalah dunia kecil
yang unsur-unsurnya sama dengan Bhuwana Agung. Bhuwana Alit sama dengan Diri
manusia. Bhuwana Alit disebut juga dengan Mikrokosmos. Unsur-unsur Bhuwana Alit
pada diri manusia.
2.1.2 Konsep Tri Hita Karana
Tri Hita Karana terdiri dari tiga kata, yaitu Tri artinya tiga, Hita artinya sejahtera
dan Karana artinya penyebab. Jadi pada hakikatnya, Tri Hita Karana merupakan 3 (tiga)
penyebab kesejahteraan (Buku Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap
Aspek Agama Hindu, I – XV). Tiga penyebab kesejahteraan ini bersumber pada sebuah
keharmonisan hubungan, sebagai berikut :
1. Parhyangan, adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan (Ida Sang
Hyang Widhi) yang diwujudkan dengan Dewa Yadnya.
11
2. Pawongan, adalah hubungan manusia dengan manusia yang diwujudkan
dengan Pitra Yadnya, Rsi Yadnya dan Manusa Yadnya.
3. Pelemahan, adalah hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya
yang diwujudkan dengan Bhuta Yadnya.
Berikut merupakan penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu di
Bali, yaitu :
Tabel 2.1 Penerapan Konsep Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu di Bali
Parhyangan Pawongan Pawongan
Parhyangan di tingkat daerah
berupa Kahyangan Jagat
Pawongan di tingkat daerah
meliputi umat Hindu di Bali
Palemahan di tingkat daerah
meliputi wilayah Provinsi Bali
Parhyangan di tingkat desa
adat berupa Kahyangan Desa
atau Kahyangan Tiga
Pawongan di tingkat desa
meliputi karma desa adat
Palemahan di tingkat desa
meliputi “asengken” bale
agung
Parhyangan di tingkat
keluarga berupa pemerajan
atau sanggah
Pawongan di tingkat keluarga
meliputi seluruh anggota
keluarga
Palemahan di tingkat keluarga
meliputi pekarangan
perumahan
2.1.3 Konsep Tri Angga
Secara harfiah Tri Angga terdiri dari dua kata, yaitu Tri berarti tiga dan Angga
berarti badan, yang lebih menekankan tiga nilai fisik, yaitu Utama Angga, Madya Angga
dan Nista Angga. Dalam penerapannya dalam sebuah ruang, konsep Tri Angga membagi
kriteria kualitas dan fungsi suatu ruang yang dibentuk dari pembagian tubuh manusia
yang dibagi menjadi tiga bagian kaki (Adhika, 2004). yaitu (Gambar 2.1) :
1. Utama Angga : Bagian atas merupakan kepala,
2. Madya Angga : Bagian tengah merupakan badan, dan
3. Nista Angga : Bagian bawah merupakan kaki
12
2.1.4 Konsep Tri Mandala
Konsep Tri Mandala terdiri dari dua kata, yaitu Tri berarti tiga dan Mandala berarti
wilayah atau zonas. Jadi Konsep Tri Mandala merupakan konsep yang membagi
menjadi tiga tata nilai wilayah ruang. Tiga wilayah ruang ini juga dipengaruhi oleh arah
orientasi.
Dalam Anindya (1991:34), konsep Tri Mandala terbagi atas tiga wilayah atau
zonasi, sebagai berikut (Gambar 2.2) :
1. Utama Mandala
Utama Mandala merupakan bagian utama yang dalam pembagian wilayah atau
zonasi digunakan sebagai zona sakral yang direalisasikan dengan bangunan
sebagai tempat ibadah dan dengan arah orientasi Utara atau Timur.
2. Madya Mandala
Madya Mandala merupakan bagian tengah yang dalam pembagian wilayah
atau zonasi digunakan sebagai zona yang berhubungan dengan keduniawian
yang direalisasikan sebagai wadah untuk aktifitas masyarakat.
3. Nista Mandala
Nista Mandala merupakan bagian luar atau bawah yang dalam pembagian
wilayah atau zonasi digunakan sebagai zona nista atau kotor dengan arah
orientasi Selatan atau Barat.
Gambar 2.1 konsep tri angga pada arsitektur tradisional bali
Sumber : adhika (2004)
13
Konsepsi tata ruang Tri Mandala menjadi pertimbangan dalam penzoningan
kegiatan dan tata letak bangunan dalam site bangunan, kegiatan yang dianggap utama,
memerlukan ketenangan diletakkan pada daerah utamaning mandala (kaja-kangin atau
utara-timur), kegiatan yang dianggap kotor/sibuk diletakkan pada daerah nistaning
mandala (kelod-kauh atau selatan-barat), sedangkan kegiatan diantaranya diletakkan di
tengah dengan pembagian madya mandala (Sulistyawati. dkk, 1985:10).
2.1.5 Konsep Sanga Mandala
Menurut Budihardjo, (1990) Nawa sanga atau Konsep Sanga Mandala adalah
konsep tradisional yang didasarkan pada orientasi kosmologis Bali, Konsep Sanga
Mandala merupakan pembagian zona atau wilayah berdasarkan delapan arah mata angin
ditambah dengan satu titik fokus di bagian tengah. Arah orientasi didominasi
berdasarkan dengan sumbu gunung-laut dan sumbu matahari terbit-terbenam. Zona atau
wilayah yang paling suci selalu ditempatkan sejajar dengan arah letak gunung sebagai
zona sakral atau suci dan zona nista atau kotor ditempatkan sejajar dengan arah letak
laut.
Menurut Eko Budihardjo (1996) dan Dwijendra (2008), Konsep Sanga Mandala
merupakan konsep yang diciptakan dengan turunan atau perkembangan Konsep Tri
Mandala, pembagiannya terdiri dari ( Gambar 2.3 ) :
Gambar 2.2 konsepsi zonasi ruang konsep tri mandala
Sumber : Eko Budihardjo (1996), dalam Dwijendra (2008)
14
1. Utamaning Utama, di arah Utara-Timur.
2. Utamaning Madya, di arah Utara.
3. Utamaning Nista, di arah Utara-Barat.
4. Madyaning Utama, di arah Timur.
5. Madyaning Madya, di Tengah.
6. Madyaning Nista, di arah Barat.
7. Nistaning Utama, di arah Selatan-Timur.
8. Nistaning Madya, di arah Selatan.
9. Nistaning Nista, di arah Selatan-Barat.
2.1.6 Konsep Akasa dan Pertiwi
Konsep Akasa dan Pertiwi merupakan hubungan antara langit dan bumi. Natah
merupakan media pertemuan antara unsur akasa (langit) yang bersifat purusa (jantan)
dan unsur pertiwi (bumi) yang bersifat pradana (betina).
Gambar 2.3 konsep ruang “tri mandala” dikembangkan ke konsep ruang “sanga mandala”
Sumber : Eko Budihardjo (1996), dalam Dwijendra (2008)
15
2.1.7 Orientasi Arsitektur Tradisional Bali
Perencanaan konsep tata ruang dan zonasi kawasan di Pulau Bali sangat
ditentukan oleh orientasi. Orientasi yang bersifat tradisi merupakan orientasi ruang yang
dibentuk oleh 3 (tiga) buah sumbu, yaitu :
1. Sumbu Religi, orientasi yang didasarkan pada lintasan terbit dan terbenamnya
matahari. Arah Timur/Kangin sebagai nilai Utama dan arah Barat/Kauh sebagai
nilai Nista dan di tengahnya bernilai Madya.
2. Sumbu Bumi, orientasi pada gunung dan laut. Pada dasarnya, nilai Utama ada
di arah gunung/Kaja sedangkan nilai Nista ada di arah laut/Kelod, dan di
tengahnya bernilai Madya.
3. Sumbu Kosmos, pertemuan antar Sumbu Religi dan Sumbu Bumi, ada hirarki
naik/turun atau atas/bawah. Memiliki tiga tingkatan tata nilai naik/atas (Utama),
tengah (Madya), dan turun/bawah (Nista).
2.2 Pola Tata Ruang Luar
Pola merupakan sebuah pengulangan bentuk atau susunan. Ruang merupakan tempat
yang mewadahi berlangsungnya suatu kegiatan dan aktifitas makhluk hidup dan ruang
semakin dapat dirasakan jika wujud pembentuk, pembatas dan pengisi ruangnya semakin jelas
tampak secara visual. Tata ruang merupakan suatu ruang yang telah mengalami penataan atau
pengaturan (Ronald,1990). Selain itu, tata ruang juga merupakan sebuah ruang arsitektur yang
dapat menekankan pada pengaturan suatu objek secara struktural (Zahnd,2009).
Pola tata ruang dapat tercipta dari pengaturan ruang dalam maupun ruang luar yang
dipengaruhi oleh aspek fisik maupun non fisik secara berulang. Dalam pola tata ruang terdapat
prinsip dan unsur-unsur yang menjadi dasar dalam penataan ruang yang akan digunakan.
Penataan ruang dapat dilihat dari bentuk organisasi ruang, orientasi, dimensi, lokasi, hirarki
dan memiliki makna yang terbagi atas tiga faktor (Trijanto,2001), antara lain :
1. Ruang yang di bentuk oleh unsur-unsur fixed feature
Fixed feature adalah unsur-unsur fisik pembentuk ruang seperti lantai, dinding,
tiang dan plafond.
16
2. Ruang yang di bentuk oleh unsur-unsur semi- fixed feature
Semi- fixed feature adalah unsur-unsur pembentuk ruang yang sifatnya semi
permanen seperti tatanan prabot, pembatas, dan tanaman atau vegetasi.
3. Ruang yang di bentuk oleh unsur-unsur non- fixed feature
Ruang yang timbul akibat kerumunan orang, gerak tubuh manusia, tatapan mata,
cara berpakaian, dan pola dekorasi. Unsur-unsur ini lebih bersifat abstrak dan lebih
di tentukan oleh pengaturan jarak.
Sedangkan ruang hanya terbagi menjadi dua bagian, yaitu ruang interior (ruang dalam)
dan ruang eksterior (ruang luar) (Kried,1988). Ruang interior (ruang dalam) memiliki batas-
batas berupa dinding, kolom, langit-langit dan lantai. Sedangan ruang eksterior (ruang luar)
tercipta karena adanya pemisahan dari bentuk-bentuk dasarnya.
2.2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Tata Ruang
Bentuk dalam arsitektur dapat tercipta disebabkan oleh beberapa faktor (Rapoport,
1969), antara lain ;
1. Faktor Sosial dan Budaya
2. Modifying factors ( iklim, bahan atau material, konstruksi, teknologi dan
lahan).
Terdapat tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di
dunia (Koentjaraningrat,1984), yaitu bahasa, sistem organisasi, organisasi sosial, sistem
peralatan hidup dan teknologi, sitem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan
kesenian.
Kebudayaan tidak statis, yang berarti berkembang dan tetap berkembang dan tidak
menolak pengaruh kebudayaan yang datang dari luar. Contohnya arsitektur Tradisional
Bali sebagai produk atau hasil dari kebudayaan Pulau Bali tentunya mengalami
perubahan atau perkembangan, tetapi terdapat kaidah atau aturan-aturan mengenai hal
tersebut yang masih terus bertahan. (Ronald, 2005).
2.2.2 Elemen Pembentuk Ruang
Terdapat tiga elemen pembentuk ruang (Ching,2008), antara lain :
1. Elemen Horisontal Bawah
17
Elemen horizontal bawah dapat membentuk suatu ruang dengan adanya
perbedaan warna/material/tekstur/pola lantai dan sebagainnya.
2. Elemen Horisontal Atas
Elemen horisontal atas dapat berupa langit-langit atap ataupun yang
membatasi ruang dibagian atas. Sama dengan elemen horisontal bawah,
elemen ini dapt divariasikan dengan warna, terkstur, material, pola-pola dan
sebgainnya. Elemn ini juga dapat divariasikan ketinggiannya.
3. Elemen Vertikal
Sebuah elemen vertikal memiliki variasi yang sangat banyak dapat berwujud
dinding dengan berbagai ketinggian, atau kolom-kolom dengan berbagai
variasi ketinggian, gantungan pot-pot bunga, atau kerai bamboo, rangka
kayu dan sebagainya. Selain itu, dengan membuat air terjun sebagai elemen
vertikal atau perletakan daging di pasar yang bergelantungan pada los daging
menjadi pembentuk ruang yang memisahkan antara pedagang dan pembeli.
2.2.3 Hirarki Ruang
Prinsip hirarki menunjukan bahwa kebanyakan, jika bukan semua komposisi
arsitektural, perbedaan-perbedaan yang nyata hadir di antara bentuk dan ruang Menurut
Ching, (2008). Perbedaan-perbedaan ini mencerminkan tingkat kepentingan bentuk dan
ruang serta peranan fungsional, formal, dan simbolis yang dimainkan di dalam suatu
organisasi. Perbedaan-perbedaan fugsional atau simbolis di antara elemen-elemen
sebuah bangunan sangat penting dalam menghasilkan suatu tatanan yang hirarkis dan
dapat dilihat di antara bentuk dan ruang-ruangnya. Hirarki dibedakan menjadi tiga yaitu,
hirarki oleh ukuran, hirarki oleh bentuk dasar, dan hirarki oleh penempatan.
2.3 Pola Tata Ruang Luar Tradisional Bali
Menurut konsepsi masyarakat Bali pada umumnya, pola tata ruang yang dimaksudkan
adalah aturan penempatan ruang–ruang yang mengacu pada fungsi tertentu serta tata nilai
yang diberikan terhadap fungsi tersebut dengan berlandaskan pada ajaran agama Hindu di Bali
(Ganesha, dkk, 2012).
18
Menurut Ngoerah (1975), terdapat beberapa pengertian mengenai pola ruang tradisional
Bali, antara lain :
a. Tata ruang atau tata letak memiliki arti filosofis dan secara spiritual memiliki
hubungan sebab-akibat antara bangunan yang dikaji dengan pemilik bangunan.
b. Tata ruang memiliki arti yang berdampak pada tata kehidupan masyarakat
tradisional di Bali. Tata ruang dapat dijadikan suatu kriteria bahwa bangunan
tersebut merupakan tempat sebagai suatu fungsi tertentu.
c. Bangunan yang dibangun sebagai fungsi pawongan memiliki tiga jenis fungsi
didalamnya, yaitu : fungsi keagamaan, fungsi sosial, dan fungsi ekonomi.
Jadi, dari beberapa pengertian mengenai pola tata ruang luar tradisional Bali, dapat
disimpulkan bahwa pola ruang dan tatanan dalam arsitektur tradisional Bali tidak luput dari
faktor keagaaman yang ada di Bali yaitu agama Hindu.
Tri Hita Karana pada pola tata ruang tradisional Bali pada umumnya diterapkan dengan
membagi fungsi-fungsi ruang pada sebuah daerah, konsep Tri Hita Karana berkembang
menjadi konsep Tri Mandala dan Sanga Mandala, yang dalam pembagiannya pada konsep Tri
Mandala dibagi menjadi tiga bagian wilayah atau zonasi ruang luar yang menempatkan
kegiatan yang bersifat sakral di daerah utama (Utama Mandala), kegiatan yang bersifat
keduniawian (sosial ekonomi dan pemukiman) di daerah madya (Madya Mandala) dan
kegiatan yang dipandang kotor dan mengandung limbah diletakan di daerah nista (Nista
Mandala), dengan konsepsi tata ruang yang berpola linier (Dwijendra, 2003).
Menurut Budihardjo (1991), konsep pola tata ruang tradisional merupakan sebuah
konsep penerapan agama, kepercayaan, dan religi masyarakat tradisional Bali pada arsitektur
yang terangkum ke dalam suatu kaidah dasar.
Kaidah tersebut kemudian dikonsepkan menjadi 7 (tujuh) kaidah dasar arsitektur
tradisional Bali, yaitu :
1. Hierarki ruang, terangkum dalam sebuah konsep Tri Hita Karana, yang kemudian
dimanifestasikan dalam konsep Tri Angga dan Tri Loka dalam bentuk 3 (tiga) nilai
fisik, yaitu Utama, Madya, dan Nista.
19
2. Orientasi kosmologi, konsep Tri Angga maupun Tri Loka dan Tri Mandala
digunakan sebagai dasar konsep tata ruang secara vertikal, daerah tertinggi
memiliki nilai Utama dan daerah terendah bernilai Nista, sedangkan diantaranya
bernilai Madya. Secara horizontal, pembentukan ruang menggunakan konsep
turunan Tri Angga dan Tri Loka dan Tri Mandala, konsep Nawa Sanga yang
membagi ruang menjadi 9 (sembilan) orientasi, yaitu 8 (delapan) arah mata angin
dan satu titik pusat yang disebut pula dengan Konsep Sanga Mandala.
3. Keseimbangan kosmologi, dalam konsep ini, seluruh kehidupan dan keadaan alam
semesta yang terdiri dari 5 (lima) unsur pembentuk yang disebut Panca
Mahabhuta, air, sinar, angin, udara, dan tanah dan masing-masing memiliki nilai
yang berlawanan (Rwa Bhineda).
4. Ukuran tubuh manusia, khususnya masyarakat Bali menentukan ukuran-ukuran
bangunan mereka berdasarkan ukuran dari bagian-bagian tubuh mereka.
5. Open air, konsep ini merupakan konsep massa bangunan tradisional Bali yang
terdiri dari unit-unit bangunan terpisah dengan lahan terbuka sebagai elemen
penghubung.
6. Kejelasan struktur, menjelaskan metode struktur bekerja.
7. Kejujuran material, arsitektur tradisional Bali menampilkan material bangunan
dengan semua karakter tekstur, pola, dan warna secara jujur.
Penerapan konsepsi tradisional Bali diwujudkan dengan beragam variasi, namun dapat
diidentifikasikan ke dalam 4 (empat) bagian (Dwijendra, 2003), antara lain :
1. Aspek sosial, yang menyangkut sistem kemasyarakatan yang dikenal dengan nama
desa atau banjar adat
2. Aspek simbolik, berkenaan dengan orientasi kosmologis, antara lain orientasi arah
sakral (kaja-kangin) dan (terbit-terbenam) dalam Konsep Tri Mandala dan Konsep
Sanga Mandala.
3. Aspek morfologis, yang secara morfologis merupakan kegiatan-kegiatan dalam
pemukiman tradisional yang dapat dikelompokan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu
inti (fasilitas banjar/pura), terbangun (pemukiman) dan pinggiran (belum
terbangun)
20
4. Aspek fungsional, berkaitan dengan orientasi kosmologis dalam skala pemukiman
sesuai dengan peletakan fasilitas dan jaringan jalan yang melahirkan pola
perempatan (Catus Patha), linier dan kombinasi.
2.4 Pasar Tradisional
Pasar adalah tempat orang berjual beli (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Sedangkan
definisi tradisional adalah menurut tradisi (adat). Dengan demikian maka, pasar tradisional
dapat diartikan menjadi tempat orang berjual beli yang memiliki adat tertentu. Pasar
tradisional memiliki ciri-ciri atau adat yang khas yaitu cara jual belinya yang masih tradisional
dengan bertatap muka secara langsung antara pembeli dan penjual. Selain itu, pasar tradisional
juga memiliki adat untuk tawar menawar antara penjual dan pembeli. Kedua adat di atas
merupakan daya tarik terbesar bagi pasar tradisional yang membedakan pasar tradisional
dengan pusat perbelanjaan modern.
Pasar tradisional merupakan salah satu bentuk dari ruang publik karena para pengunjung
bebas untuk keluar dan masuk ke dalam area pasar. Pasar merupakan ruang internal public
space berdasarkan dari tipologi ruang publik. Internal public space, merupakan fasilitas yang
disediakan oleh Pemerintah berupa bangunan yang dapat diakses secara bebas oleh semua
orang untuk keperluan yang beragam tanpa adanya batasan tertentu.Selain itu, pasar juga
termasuk ke dalam positif space berdasarkan tipologi fungsi ruang. Positif space, merupakan
area yang bebas dikunjungi oleh masyarakat yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan positif.
Ruang publik jenis ini dikelola oleh Pemerintah.
2.4.1 Pasar Tradisional Bali (Kota Denpasar)
Bali merupakan salah satu destinasi wisata nasional dan juga internasional dimana
pasar tradisional yang ada di Bali juga ikut mendukung adanya kegiatan pariwisata yang
mampu dikemas secara baik oleh pemerintah setempat. Banyak turis mancanegara yang
justru memilih mengunjungi pasar tradisional di Bali karena berwisata di pasar
tradisional memang memiliki sensasi dan keunikan tersendiri. Para wisatawan dapat
membeli barang dan souvenir khas Bali dengan harga yang murah karena adanya proses
tawar menawar yang mempertemukan penjual dan pembeli, serta menikmati ragam adat
lokal yang menjadi ciri khas para penjual di pasar tradisional di Bali memang masih
21
memegang teguh prinsip budaya yang menjadi pegangannya selama menjadi pedagang
pasar di Bali. Selain itu, kenikmatan wisata kuliner lokal yang tiada lain adalah jajanan
khas masyarakat lokal Bali juga menjadi ciri khas dari pasar tradisional Bali.Kota
Denpasar merupakan ibu kota dari provinsi Bali sekaligus sebagai pusat pemerintahan,
pusat pendidikan dan pusat perekonomian. Sesuai dengan visi Kota Denpasar yaitu
Denpasar kreatif berwawasan budaya dalam keseimbangan menuju keharmonisan dan
misi kelima Kota Denpasar yaitu mempercepat pertumbuhan dan memperkuat ketahanan
ekonomi masyarakat melalui sistem ekonomi kerakyatan, dipandang perlu untuk
mewujudkan pembangunan yang dapat mengakomodasi nilai - nilai kearifan lokal
masyarakat Bali yang terintegrasi dengan lingkungannya. Nilai-nilai kearifan lokal
dalam pembangunan dapat diwujudkan dengan menerapkan konsep-konsep arsitektur
tradisional Bali,seperti tata ruang dan orientasi, tata bangunan, artikulasi sistem struktur
serta etika moral,sehingga nilai-nilai tersebut tentunya perlu diterapkan dan diwujudkan
dalam setiap pembangunan gedung publik masa kini.
22
2.5 Tinjauan Studi
Tabel 2.2 Tinjauan Studi
No Judul Penelitian Nama
Peneliti
Kategori
Penelitian Isi
Kaitan dengan penelitian
Konsep Tri Mandala pada
Pola Tata Ruang Luar
Bangunan Pasar Tradisional
di Kota Denpasar
1
Perubahan Pola Tata
Ruang pada Karang
Adat Desa Adat
Jatiluwih di Bali
Dwi Wahjoeni
Soesilo Wati
JURNAL
INTRA Vol. 1,
No. 1, (2013) 1-
9
Komunikasi dan informasi yang terbuka dengan pihal luar
dan bertambahnya jumlah kepala keluarga dalam “karang”
mendorong terjadinya pertumbuhan bangunan dalam
“karang”. Untuk mengatasi terjadinya pertumbuhan
bangunan yang tidak terkendali, maka diperlukan suatu
peraturan atau awig-awig yang mendasari untuk mengkaji
pola tata ruang pada “karang”.
a. Indentifikasi pola tata
ruang di Bali
2 Konsep Arsitektur Bali
aplikasinya pada
Bangunan Puri
Rachmat
Budihardjo
NALARs
Volume 12 No 1
Januari 2013 :
17-42
Perubahan setting tata ruang dan tata bangunan
(arsitektural) sesuai dengan tingkat perkembangan
kebutuhan untuk masa kini dan masa yang akan dating.
a. Identifikasi kebudayaan
dan permukiman di Bali
b. Konsep arsitektur Bali
c. Arsitektur puri di Bali
3 Terapan konsep
Bangunan Tradisional
Bali pada Objek-
Rancang Bangun Karya
Popo Danes
Poela Art
Aprimavista,
Mariana
Wibowo, dan
Dody Wondo
JURNAL
INTRA Vol. 1,
No. 1, (2013) 1-
9
Terapan konsep bangunan tradisional Bali Teori kebudayaan tradisional
Bali
Teori zonasi rumah tradisional
Bali
4 Pengelolaan tata ruang
berbasis kearifan lokal
pada masyarakat Adat
Penglipuran,Bangli
Dewa Made
Atmaja
Jurnal
EKOSAINS |
Vol. VII | No. 1 |
Maret 2015
Konsep tata ruang, sejatinya sudah sejak lama dikenal
oleh masyarakat Indonesia, bahkan sebelum ledakan
penduduk terjadi seperti saat ini. Berdasarkan Analisis
konseptual dan kondisi empirik di atas, tampaknya
aktualisasi tata ruang lokal merupakan salah satu
alternatif yang sangat esensial untuk ditampilkan dalam
format ilmiah, sehingga kita bisa memhami lebih dalam
konsep keruangan yang dibangun oleh nenek moyang kita
a. Dasar Filosofi Pengelolaan
Tata Ruang Pada
Masyarakat Adat
23
No Judul Penelitian Nama
Peneliti
Kategori
Penelitian Isi
Kaitan dengan penelitian
Konsep Tri Mandala pada
Pola Tata Ruang Luar
Bangunan Pasar Tradisional
di Kota Denpasar
5
Pola tata ruang
pemukiman dan rumah
tradisional Bali Aga
Br.Dauh Pura Tigawasa
Wayan
Ganesha,
Antariksa,
Dian Kusuma
Wardhani
arsitektur e-
Journal, Volume
5 Nomor 60 2,
November 2012
Bali memiliki pola tatanan desa yang khas. Pola tatanan
permukiman di Bali dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu faktor tata ritual dan faktor kondisi dan potensi
alam.
Desa Tigawasa adalah salah satu Desa di Bali, khususnya
di Banjar Dinas Dauh Pura memiliki ciri khas pada social
masyarakatnya serta pada pola tata ruang permukiman
rumahnya. Pola tata ruang permukimannya dilandasi oleh
Konsep Tri Hita Karana, Tri Mandala, Tri Angga serta
Konsep Sanga Mandala sebagai pembagian zona makro,
sedangkan Konsep Hulu Teben sebagai pembagian zona
mikro.
Analisis tata ruang desa (makro)
pada konsepsi masyarakat Bali
pada umumnya
Analisis karakteristik pola tata
ruang tradisional Bali
6 Pergeseran konsep
morfologi pada Desa
Bali Aga
Feliksdinata
Pangasih, Ayu
Asvitasari
Jurnal Arsitektur
KOMPOSISI,
Volume 11,
Nomor 3, April
2016
Studi kasus : Desa Bayung Gede dan Desa Penglipuran
Dua desa yang masih menganut Konsep Tri Hita Karana
dan Konsep Tri Mandala dalam pola tata ruangnya namun
beberapa terdapat perbedaan dalam konsep dan morfologi
ruangnya. Selain itu, dua desa ini merupakan desa adat dan
desa kuno yang menjaga kelestarian adat Bali berbasis
kebudayaan Bali Aga
Teori kebudayaan tradisional
Bali Aga
Dua desa yang menggunakan
salah satu Konsep tata ruang Tri
Mandala
7 Makna Budaya pada
Sistem Zonasi dan
Sirkulasi Rumah
Tradisional di Desa
Ubud Kelod, Bali
Sahriyadi Jurnal Arsitektur
KOMPOSISI,
Volume 9,
Nomor 2,
Oktober 2011
Desa Ubud Kelod merupakan desa wisata di Kabupaten
Gianyar, Bali dan suatu daerah yang tidak dapat
menghindari dari pengaruh kebudayaan lain. Makna
budaya sangat melekat pada sistem zonasi dan sirkulasi
bangunan hunian tradisional di Desa Ubud Kelod,
Gianyar, Bali. Sistem zonasi pada hunian tradisional Desa
Ubud Kelod terdapat tiga zona, yaitu utama, madya, dan
nista yang merupakan bagian Tri Mandala dan
berkembang menjadi Sanga Mandala yang ada di dalam
ajaran Agama Hindu yang merupakan interprestasi dari
konsep Tri Hita Karana
Kebudayaan tradisional Bali.
Sistem zonasi yaitu Tri Mandala
24
No Judul Penelitian Nama
Peneliti
Kategori
Penelitian Isi
Kaitan dengan penelitian
Konsep Tri Mandala pada
Pola Tata Ruang Luar
Bangunan Pasar Tradisional
di Kota Denpasar
8 Perspektif Ruang
Sebagai Entitas Budaya
Lokal (Orientasi
Simbolik Ruang
Masyarakat Tradisional
Desa Adat Penglipuran,
Bangli-Bali
Wahyudi
Arimbawa, I
Komang Gede
Santhyasa
LOCAL
WISDOM-
JURNAL
ILMIAH, ISSN :
2086-376,
Desember. 2010
Pada masyarakat tradisional, aktivitas masyarakat selalu
berkaitan dengan dua kegiatan utama yaitu yang bersifat
sakral (berkaitan dengan kegiatan agama) dan kegiatan
yang bersifat profane (berkaitan dengan kegiatan sosial
masyarakat).
Penempatan kegiatan tersebut diklasifikasikan
berdasarkan orientasi yang bertujuan untuk menciptakan
tatanan ruang secara harmoni dengan Tuhan, sesame
manusia dan lingkungan.
Teori orientasi pembagian ruang
Teori tatanan pola ruang
9 Perubahan Pola Ruang
Tradisional Desa Adat
Tenganan
Pegringsingan,
Karangasem – Bali
Mirza
Permana, Eddi
Basuki,
Nindya Sari
Arsitektur e-
Journal, Volume
3 Nomor 1,
November 2010
Pola ruang tradisional Desa Adat Tenganan Pegringsingan
lahir dari falsafah dan konsep masyarakatnya yang
berlandaskan pada ajaran Hindu.
Perkembangan pola tata ruang tradisional yang dimiliki
Desa Adat Tenganan Pegringsingan dengan adanya
beberapa renovasi.
Teori pola ruang tradisional
10 Pola Penataan Ruang
Unit Pekarangan di
Desa Bongli Tabanan
I Made Adhika Jurnal
Permukiman
Natah, Volume
2, Nomor 1,
Pebruari 2004
Tata ruang unit pekarangan di Bali umumnya didasarkan
atas Konsep Tri Angga, Tri Mandala yang berkembang
menjadi Konsep Sanga Mandala. Konsep ini berdasarkan
atas tata nilai berasaskan ketinggian sebagai nilai utama
Teori Konsep Tri Mandala dan
Sanga Mandala sebagai konsep
tata ruang
25
Berdasarkan rumusan masalah, pada penelitian digunakan beberapa kajian teori seperti
Konsep Arsitektur Tradisional Bali yang terdiri dari enam bagian namun yang digunakan
dalam kajian penelitian dua bagian yaitu Konsep Tri Mandala dan Konsep Sanga Mandala.
Konsep Tri Mandala dan Konsep Sanga Mandala ini juga dipengaruhi oleh arah orientasi yang
terbagi atas tiga bagian menurut sumbu, yaitu sumbu bumi, sumbu ritual dan sumbu kosmos.
Pada teori pola tata ruang luar tradisional Bali menggunakan kajian menurut Budihardjo
(1991) yang terdiri dari tujuh bagian dan pada penelitian kajian teori pola tata ruang menurut
Budihardjo (1991) yang digunakan adalah satu bagian yaitu kajian teori tentang orientasi
kosmologi. Orientasi kosmologi digunakan karena dalam pola tata ruang luar tradisional Bali
konsep Tri Mandala sebagai konsep yang digunakan dalam penelitian sebagai konsep dasar
pembagian zonasi dapat dilihat dari orientasi peletakan yang akan di desain.
Selain kajian teori pola tata ruang menurut Budihardjo (1991) juga menggunakan
penerapan konsepsi pola tata ruang menurut (Dwijendra,2003) yang terdiri dari empat bagian,
namun yang digunakan dalam penelitian adalah kajian teori menurut Dwijendra (2003) satu
bagian yaitu tentang aspek orientasi kosmologi (simbolis). Aspek simbolik ini digunakan
karena berkaitan dengan konsep yang digunakan pada penelitian yaitu Konsep Tri Mandala
dan menghasilkan hasil akhir berdasarkan bertambahnya aktifitas, kegiatan serta kebutuhan
maka, menjadi Konsep Sanga Mandala yang merupakan konsep pemekaran dari Konsep Tri
Mandala.
Selain itu pula didukung dengan kajian teori tentan pasar tradisional dan pada
khususnya tentang teori pasar tradisional Bali khususnya yang ada di Kota Denpasar. Teori ini
digunakan karena berkaitan dengan objek penelitian yaitu Pasar Tradisional Badung yang
terletak di Kota Denpasar tepatnya bagian barat.
26
2.6 Kerangka Teori
Diagram 2.1 Kerangka Kajian Teori
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana Konsep Tri Mandala pada pola tata ruang luar Pasar Tradisional Badung di Kota
Denpasar ?
Konsep Arsitektur Tradisional Bali Pola Tata Ruang Luar Tradisional
Bali Pasar Tradisional
1. Konsep Bhuana Agung dan
Bhuana Alit
2. Konsep Tri Hita Karana 3. Konsep Tri Angga 4. Konsep Tri Mandala 5. Konsep Sanga Mandala 6. Konsep Akasa dan Pertiwi
Terbagi atas tujuh kaidah menurut
Budihardjo (1991), antara lain :
1. Hierarki ruang 2. Orientasi kosmologi 3. Keseimbangan kosmologi 4. Ukuran tubuh manusia 5. Open air 6. Kejelasan struktur 7. Kejujuran material
Penerapan konsepsi tradisional Bali
diidentifikasikan ke dalam 4 (empat) bagian
(Dwijendra, 2003), antara lain :
1. Aspek sosial (sistem kemasyarakatan)
2. Aspek orientasi kosmologi (simbolis)
3. Aspek morfologis
4. Aspek fungsional (fungsi)
Arsitektur Tradisional Bali
dipengaruhi oleh arah orientasi
yang dibagi menjadi tiga jenis, yaitu
:
1. Sumbu Bumi
2. Sumbu Ritual
3. Sumbu Kosmos
Pasar Tradisional Bali (Kota
Denpasar)
Konsep Tri Mandala pada pola tata ruang luar Pasar Tradisional Badung di Kota Denpasar