BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Saluran Pernapasan ... II.pdf · Istilah ISPA meliputi tiga...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Saluran Pernapasan ... II.pdf · Istilah ISPA meliputi tiga...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
2.1.1 Pengertian ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan istilah yang diadaptasi
dari istilah bahasa inggris Acute Respiratory Infections (ARI) yaitu penyakit
infeksi akut yang menyerang salah satu atau lebih dari saluran pernapasan, mulai
dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) beserta organ
adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Hartono dan
Rahmawati, 2012).
Istilah ISPA meliputi tiga unsur penting yaitu infeksi, saluran pernafasan,
dan akut. Dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi adalah masuknya kuman
atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga
menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernapasan adalah organ yang mulai dari
hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga
telinga tengah dan pleura. Dengan demikian ISPA secara otomatis mencakup
saluran pernafasan bagian atas, saluran pernapasan bagian bawah (termasuk
jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernapasan. Sesuai dengan batasan
ini maka jaringan paru-paru termasuk dalam saluran pernapasan (respiratory
tract). Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai 14 hari. Batas 14 hari
diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang
dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari
(Depkes, 2010).
2.1.2 Penyebab ISPA
Depkes (2004) menyatakan penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai
penyebab seperti bakteri, virus, mycoplasma, jamur dan lain-lainnya. ISPA bagian
atas umumya disebabkan oleh virus, sedangkan ISPA bagian bawah dapat
disebabkan oleh bakteri, umumnya mempunyai manifestasi klinis yang berat
sehingga menimbulkan beberapa masalah dalam penanganannya.
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah genus Streptococcus,
Stapilococcus, Pneumococcus, Haemophyllus, Bordetella dan Corynobacterium.
Virus penyebab ISPA antara lain golongan Paramykovirus (termasuk di dalamnya
virus Influenza, virus Parainfluenza dan virus campak), Adenovirus, Coronavirus,
Picornavirus, Herpesvirus dan lain-lain. Di negara-negara berkembang umumnya
kuman penyebab ISPA adalah Streptocococcus pneumonia dan Haemopylus
influenza.
Jumlah penderita infeksi pernapasan akut kebanyakan pada anak. Etiologi
dan infeksinya mempengaruhi umur anak, daya tahan, musim, kondisi tempat
tinggal, dan masalah kesehatan yang ada. Banyaknya patogen pada sistem
pernapasan yang muncul dalam wabah selama musim semi dan dingin, tetapi
mycoplasma sering muncul pada musim gugur dan awal musim semi. (Hartono
dan Rahmawati, 2012). Virus dan bakteri penyebab ISPA menurut lokasi anatomi
dapat dilihat pada gambar 1.
2.1.3 Klasifikasi ISPA
a. Berdasarkan lokasi anatomik
Menurut Depkes (2004) penyakit ISPA dapat dibagi dua berdasarkan
lokasi anatominya, yaitu: ISPA atas (ISPaA) dan ISPA bawah (ISPbA). Contoh
ISPA atas adalah batuk pilek (Common cold), Pharingitis, Otitis, Flusalesma,
Sinusitis, dan lain-lain. ISPA bawah diantaranya Bronchiolitis dan Pneumonia
yang sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan kematian. Pembagian ISPA
berdasarkan lokasi anaomi dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2.1 Virus dan bakteri Penyebab ISPA menurut lokasi anatomi
Gambar 2.2 Infeksi Saluran Pernapasan Akut Berdasarkan Lokasi Anatomi
b. Berdasarkan golongan Umur
Depkes (2004) mengklasifikasikan ISPA berdasarkan kelompok umur
sebagai berikut:
1) Kelompok umur <2 bulan, pneumonia berat dan bukan pneumonia. Pneumonia
berat ditandai dengan adanya napas cepat, yaitu pernapasan sebanyak 60 kali
permenit atau lebih, atau adanya tarikan dinding dada yang kuat pada dinding
dada bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing), sedangkan bukan
pneumonia bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada
nafas cepat.
2) Kelompok umur 2 bulan - <5 tahun, pneumonia berat, pneumonia dan bukan
pneumonia. Pneumonia berat, bila disertai nafas sesak yaitu adanya tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik napas. Pneumonia
didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai adanya nafas
cepat sesuai umur, yaitu 40 kali per menit atau lebih. Bukan pneumonia, bila tidak
ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada nafas cepat.
2.1.4 Tanda dan Gejala ISPA
Penyakit ISPA pada balita dapat menimbulkan bermacam-macam tanda
dan gejala seperti batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, sakit telinga
dan demam. Derajat serangan ISPA tergantung pada spesifikasi host meliputi
jenis kelamin, usia dan kekebalan seseorang. Dalam hal ini ISPA lebih mudah
terjadi pada balita dan anak-anak dengan gejala batuk, pilek dan panas.
Depkes (2004) membagi tanda dan gejala ISPA menjadi tiga yaitu ISPA
ringan, ISPA sedang dan ISPA berat.
a. Gejala dari ISPA ringan
Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu
atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
1) Batuk
2) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (pada waktu
berbicara atau menangis)
3) Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
4) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C.
b. Gejala dari ISPA sedang
Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala
dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
1) Pernapasan cepat (fast breathing) sesuai umur yaitu : untuk kelompok umur
kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih untuk umur
2-<12 bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan - < 5 tahun.
2) Suhu tubuh lebih dari 39°C
3) Tenggorokan berwarna merah
4) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak
5) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
6) Pernapasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur)
c. Gejala dari ISPA Berat
Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-
gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai
berikut :
1) Bibir atau kulit membiru
2) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun
3) Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah
4) Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas
5) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba
6) Tenggorokan berwarna merah.
2.1.5 Proses Terjadinya Infeksi Saluran Pernapasan
Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkhus dilapisi oleh membran
mukosa bersilia, udara yang masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan
dan dilembutkan. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang
terdapat dalam hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam
membran mukosa. Gerakan silia mendorong membran mukosa ke posterior ke
rongga hidung dan ke arah superior menuju faring.
Penyebaran melalui kontak langsung atau tidak langsung dari benda yang
telah dicemari virus dan bakteri penyebab ISPA (hand to hand transmission) dan
dapat juga ditularkan melalui udara tercemar (air borne disease) pada penderita
ISPA yang kebetulan mengandung bibit penyakit melalui sekresi berupa saliva
atau sputum, bibit penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernapasan (Depkes,
2007).
Mikroorganisme penyebab ISPA ditularkan melalui udara.
mikroorganisme yang ada diudara akan masuk kedalam tubuh melalui saluran
pernapasan dan menimbulkan infeksi dan penyakit ISPA. Selain itu
mikroorganisme penyebab ISPA berasal dari penderita yang kebetulan terinfeksi,
baik yang sedang jatuh sakit maupun yang membawa mikroorganisme di dalam
tubuhnya (Hartono dan Rahmawati, 2012).
Mikroorganisme di udara umumnya berbentuk aerosol yakni suatu
suspensi yang melayang di udara, dapat seluruhnya berupa bibit penyakit atau
hanya sebagian. Adapun bentuk aerosol dari penyebab penyakit ISPA tersebut
yakni droplet nuclei dan dust. Droplet nuclei adalah partikel yang sangat kecil
sebagai sisa dari sekresi saluran pernapasan yang mengering dan melayang di
udara. Pembentukannya melalui evaporasi droplet yang dibatukkan atau
dibersinkan ke udara, karena ukuran sangat kecil, dapat bertahan diudara untuk
waktu yang cukup lama dan dapat dihirup pada waktu bernapas dan masuk ke
saluran pernapasan. Dust adalah partikel dengan berbagai ukuran sebagai hasil
dari resuspensi partikel yang menempel di lantai, di tempat tidur serta dapat
tertiup angin bersama debu lantai/tanah.
2.1.6 Pencegahan
Kejadian ISPA dapat dicegah dengan beberapa cara yaitu menghindarkan
anak dari kuman, meningkatkan daya tahan tubuh dan memperbaiki lingkungan.
a. Menghindarkan anak dari kuman
1) Menghindarkan anak berdekatan dengan penderita ISPA, karena kuman
penyebab ISPA sangat mudah menular dari satu orang ke orang lain
2) Jika seorang ibu menderita ISPA sedangkan ia butuh mengasuh anak atau
menyusui bayinya, ibu tersebut harus menutup hidung dan mulutnya dengan
sapu tangan.
b. Meningkatkan daya tahan tubuh anak
1) Manjaga gizi anak tetap baik dengan memberikan makanan yang cukup
bergizi (cukup protein, kalori, lemak, vitamin dan mineral). Bayi-bayi sedapat
mungkin mendapat air susu ibu sampai usia dua tahun.
2) Kebersihan anak harus dijaga agar tidak mudah terserang penyakit menular.
3) Memberikan kekebalan kepada anak dengan memberikan imunisasi.
c. Memperbaiki lingkungan
Untuk mencegah ISPA, lingkungan harus diperbaiki khususnya lingkungan
perumahan, antara lain:
1) Rumah harus berjendela agar cukup aliran dan pertukaran udara cukup baik.
2) Asap dapur dan asap rokok tidak boleh berkumpul dalam rumah. Orang
dewasa tidak boleh merokok dekat anak atau bayi.
3) Rumah harus kering, tidak boleh lembab.
4) Sinar matahari pagi harus diusahakan agar dapat masuk ke rumah.
5) Rumah tidak boleh terlalu padat dengan penghuni.
6) Kebersihan didalam dan diluar rumah harus dijaga, rumah harus mempunyai
jamban sehat dan sumber air bersih.
7) Air buangan dan pembuangan harus diatur dengan baik, agar nyamuk, lalat
dan tikus tidak berkeliaran di dalam dan disekitar rumah.
Mengetahui masalah kesehatan anak merupakan suatu hal yang sangat
penting diketahui oleh orang tua dengan mengenal tanda/gejala dari suatu
gangguan kesehatan bisa memudahkan orang tua dalam melakukan pencegahan
terhadap terjadinya penyakit (Notoatmodjo, 2011). Orang tua harus mengenal
tanda dan gejala ISPA, dan faktor-faktor yang mempermudah balita unuk terkena
ISPA.
Status kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu pejamu (host),
agen penyakit (agent) dan lingkungan (environment) seperti ditunjukkan pada
(Gambar 3). Ketiga faktor tersebut akan berinteraksi dan menimbulkan hasil
positif maupun negatif. Hasil interaksi akan menimbulkan keadaan sehat
sedangkan interaksi yang negatif akan memberikan keadaan sakit (Notoatmodjo,
2011:37).
Berdasarkan penelitian di berbagai negara, termasuk Indonesia dan
berbagai publikasi ilmiah dilaporkan berbagai faktor resiko yang meningkatkan
kejadian (morbiditas) ISPA yang di jelaskan berikut, yaitu: agent suatu penyakit
meliputi agent biologis dan non-biologis, misalnya agent fisik dan kimia, atau
faktor penyebab penyakit meliputi bakteri,virus dan parasit (infection agent).
Faktor host adalah faktor intrinsik (umur, jenis kelamin, status ASI, status gizi,
berat badan lahir, status imunisasi, pemberian vitamin A dan pemberan makanan
tambahan) yang dapat mempengaruhi kerentanan pejamu terhadap agent.
Gambar 2.3. Interaksi host, agent dan environment
Host
Lingkungan
(Enviromet)
Penyebab Penyakit
(Agent)
Sedangkan faktor lingkungan (envioment) adalah elemen-elemen ekstrinsik yang
dapat mempegaruhi keterpaparan pejamu terhadap faktor agent.
2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risiko Kejadian ISPA
Beberapa faktor seperti status demografi, faktor internal/faktor balita dan
faktor eksternal/kondisi rumah, dapat mempengaruhi kejadian ISPA.
1.2.1 Status Sosial Demografi
a. Pendidikan dan Penghasilan Orang Tua
Status sosial ekonomi diantaranya unsur pendidikan, serta penghasilan
keluarga, juga berperan penting dalam menciptakan rumah sehat. Tingkat
pendidikan masyarakat berkaitan erat dengan perolehan pekerjan yang layak bagi
orang tua. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan hasil yang diperoleh
juga rendah atau pas-pasan. Tingkat penghasilan yang rendah menyebabkan orang
tua sulit menyediakan fasilitas perumahan yang baik, perawatan kesehatan dan
gizi anak yang memadai. Rendahnya status gizi anak menyebabkan daya tahan
tubuh berkurang dan mudah terkena penyakit infeksi termasuk ISPA.
1.2.2 Faktor Internal/Faktor Pada Balita
Menurut Depkes (2004) faktor internal merupakan suatu keadaan didalam
diri penderita (balita) yang memudahkan untuk terpapar dengan bibit penyakit
(agent) ISPA yang meliputi jenis kelamin, umur, berat badan lahir, status gizi, dan
status imunisasi.
a. Jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan faktor resiko terhadap kejadian ISPA yaitu laki-
laki lebih beresiko di banding perempuan, hal ini disebabkan aktivitas anak laki-
laki lebih banyak dari anak perempuan sehingga peluang untuk terpapar oleh
agent lebih banyak. Penelitian yang dilakukan oleh Yusuf dan Lilis (2006),
didapatkan hasil bahwa proporsi kasus ISPA menurut jenis kelamin tidak sama,
yaitu laki-laki 59% dan perempuan 41%, terutama pada anak usia muda.
b. Umur
Umur mempunyai pengaruh cukup besar untuk terjadinya ISPA. Anak
dengan umur <2 tahun merupakan faktor resiko terjadinya ISPA. Hal ini
disebabkan karena anak dibawah dua tahun imunitasnya belum sempurna dan
saluran napas lebih sempit. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan
gambaran klinik yang lebih besar dan jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada
bayi dan balita merupakan kejadian infeksi pertama serta belum terbentuknya
secara optimal proses kekebalan secara alamiah.
Hasil penelitian analisis faktor resiko yang dilakukan oleh Erna (2005)
didapatkan bahwa umur merupakan salah satu faktor resiko penyebab kematian
pada balita yang sedang menderita ISPA. Anak yang berumur 1-2 tahun lebih
peka lima kali terkena ISPA dibandingkan anak dengan umur di atas lima tahun.
c. Status Gizi Balita
Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk
mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk
maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang berarti kemampuan tubuh untuk
mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun. Oleh karena itu,
setiap bentuk gangguan gizi sekalipun dengan gejala defisiensi yang ringan
merupakan pertanda awal dari terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit.
Penelitian yang dilakukan di berbagai negara menunjukkan bahwa infeksi
protozoa pada anak-anak yang tingkat gizinya buruk akan jauh lebih parah
dibandingkan dengan anak-anak yang gizinya baik (Notoatmodjo, 2011).
Status gizi yang kurang merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap kejadian ISPA balita. Maksud dari gizi kurang adalah kekurangan energi
protein yang terkandung didalam makanan sehari-hari yang mempengaruhi
keadaan gizi anak. Gizi yang buruk dapat menurunkan pertahanan tubuh baik
sistemik maupun lokal. Status gizi pada balita berdasarkan hasil pengukuran
antropometri dengan melihat criteria yaitu: berat badan per umur (BB/U), tinggi
badan per umur (TB/U), berat badan per tinggi badan (BB/TB).
d. Status Imunisasi
Imunisasi berarti memberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu.
Salah satu strategi untuk mengurangi kesakitan dan kematian akibat ISPA pada
anak adalah dengan pemberian imunisasi. Pemberian imunisasi dapat menurunkan
angka kesakitan dan kematian pada balita tertutama penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi. Setiap anak harus mendapatkan imunisasi dasar terhadap tujuh
penyakit utama sebelum usia satu tahun yaitu imunisasi BCG, DPT, hepatitis B,
polio, campak. Imunisasi bermafaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit
infeksi seperti campak, polio, TBC, difteri, pertusis, tetanus dan hepatitis B.
Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit
tersebut. Sebagian besar kasus ISPA merupakan penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi, penyakit yang tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan
imunisasi adalah difteri dan batuk rejan. Hasil penelitian Sadono (2005) dengan
diperoleh bahwa ada hubungan bermakna antara status imunisasi dengan kejadian
ISPA pada bayi denga nilai p = 0,027 dan ratio Prevalens 1,8, artiya bayi dengan
status imunisasi tidak lengkap merupakan faktor resiko terjadinya ISPA.
1.2.3 Faktor Eksternal/Kondisi Rumah
Faktor eksternal merupakan suatu keadaan yang berada diluar diri
penderita (balita) berupa lingkungan fisik, biologis, sosial dan ekonomi yang
memudahkan penderita untuk terpapar bibit penyakit (agent) meliputi:
a. Ventilasi rumah
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk
menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan O2 (oksigen) didalam rumah yang berarti
kadar CO2 (karbondioksida) yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi
meningkat. Tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara
didalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan dari kulit dan
penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk bakteri-
bakteri, patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit). Membuat ventilasi udara
serta pencahayaan di dalam rumah sangat di perlukan karena akan mengurangi
polusi asap yang ada dalam rumah sehingga dapat mencegah seseorang
menghirup asap tersebut yang lama kelamaan bisa menyebabkan terkena penyakit
ISPA (Notoatmodjo, 2011).
Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar kedalam suatu ruangan dan
pengeluaran udara kotor suatu ruangan tertutup baik alamiah maupun secara
buatan. Ventilasi harus lancar diperlukan untuk menghindari pengaruh buruk yang
dapat merugikan kesehatan manusia pada suatu ruangan kediaman yang tertutup
atau kurang ventilasi.
Fungsi kedua daripada ventilasi adalah membebaskan udara ruangan dari
bakteri-bakteri terutama bakteri patogen karena disitu selalu terjadi aliran udara
yang terus-menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir.
Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap di dalam
kelembaban (humidity) yang optimum.
Ada 2 macam ventilasi, yakni :
1) Ventilasi alamiah, di mana aliran udara di dalam ruangan tersebut terjadi
secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang angin, lubang-lubang pada
dinding dan sebagainya. Di pihak lain ventilasi alamiah ini tidak
menguntungkan karena juga merupakan jalan masuknya nyamuk dan
serangga lainnya ke dalam rumah. Untuk itu harus ada usaha-usaha lain untuk
melindungi kita dari gigitan-gigitan nyamuk tersebut.
2) Ventilasi buatan, yaitu dengan mempergunakan alat-alat khusus untuk
mengalirkan udara tersebut, misalnya kipas angin (ventilating, fan atau
exhauster) atau air conditioning dan mesin pengisap udara. Tetapi jelas alat
ini tidak cocok dengan kondisi rumah di pedesaan. Perlu di perhatikan disini
bahwa sistem pembuatan ventilasi harus dijaga agar udara tidak mandeg atau
membalik kembali, harus mengalir. Artinya dalam rumah harus ada jalan
masuk dan keluarnya udara (Notoatmodjo, 2011).
Suatu studi melaporkan bahwa upaya penurunan angka kesakitan ISPA
berat dan sedang dapat dilakukan di antaranya dengan membuat ventilasi yang
cukup untuk mengurangi polusi asap dapur dan mengurangi polusi udara lainnya
termasuk asap rokok. Anak yang tinggal di rumah yang padat (<10m2/orang) akan
mendapatkan risiko ISPA sebesar 1,75 kali dibandingkan dengan anak yang
tinggal dirumah yang tidak padat (Achmadi, 2003 dalam Naria, dkk. 2008). Hasil
penelitian lain yang tidak mendukung di lakukan oleh Dewi, (2012) dengan uji
chi-square dengan p value 0,18 menyatakan bahwa tidak ada hubungan luas
ventilasi rumah dengan kejadian ISPA.
Menurut Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang ketentuan
persyaratan kesehatan rumah tinggal secara umum penilaian ventilasi rumah dapat
dilakukan dengan cara melihat indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang
memenuhi syarat kesehatan adalah lebih dari/sama dengan 10% dari luas lantai
rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah kurang
dari 10% dari luas lantai rumah. Pertukaran hawa (ventilasi) yaitu proses
penyediaan udara segar dan pertukaran udara kotor secara alamiah atau mekanis
harus cukup. Berdasarkan peraturan pembangunan nasional, lubang hawa suatu
bangunan harus memenuhi aturan sebagai berikut: luas bersih dari jendela/lubang
hawa sekurang-kurangnya 1/10 dari luas lantai ruangan, jendela/ruang hawa harus
meluas kearah atas sampai setinggi mimimal 1,95 m dari permukaan lantai,
adanya lubang hawa yang berlokasi di bawah langit-langit sekurang-kurangnya
0,35% luas lantai yang bersangkutan.
b. Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak
terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama
cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat
yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu
banyak cahaya di dalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat
merusak mata. Cahaya dapat dibedakan menjadi dua,yakni:
1) Pencahayaan Alam
Pencahayaan alam diperoleh dengan masuknya sinar matahari ke dalam
ruangan melalui jendela, celah-celah atau bagian ruangan yang terbuka. Sinar
sebaiknya tidak terhalang oleh bangunan, pohon-pohon maupun tembok pagar
yang tinggi. Cahaya ini penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen
dalam rumah, misalnya basil TBC. Sebaiknya jalan masuk cahaya (jendela)
luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat
dalam ruangan. Perlu diperhatikan dalam membuat jendela diusahakan agar sinar
matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan
lain. Fungsi jendela di sini, di samping sebagai ventilasi, juga sebagai jalan
masuknya cahaya (Notoatmodjo, 2011).
Kebutuhan standar cahaya alam yang memenuhi syarat kesehatan untuk
kamar keluarga dan kamar tidur menurut WHO 20-40 Lux.
Pemenuhan kebutuhan cahaya untuk penerangan alamiah sangat ditentukan
oleh letak dan lebar jendela. Untuk memperoleh jumlah cahaya matahari pada
pagi hari secara optimal sebaiknya jendela kamar tidur menghadap ke timur. Luas
jendela yang baik paling sedikit mempunyai luas 10-20 % dari luas lantai. Apabila
luas jendela melebihi 20 % dapat menimbulkan kesilauan dan panas, sedangkan
sebaliknya kalau terlalu kecil dapat menimbulkan suasana gelap dan pengap.
2) Pencahayaan buatan
Menurut Notoatmodjo (2011) “cahaya buatan yaitu, menggunakan sumber
cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, dan sebagainya”.
Penerangan pada rumah tinggal dapat diatur dengan memilih sistem penerangan
dengan suatu pertimbangan hendaknya penerangan tersebut dapat menumbuhkan
suasana rumah yang lebih menyenangkan. Lampu Flouresen (neon) sebagai
sumber cahaya dapat memenuhi kebutuhan penerangan karena pada penerangan
yang relatif rendah mampu menghasilkan cahaya yang baik bila dibandingkan
dengan penggunaan lampu pijar. Bila ingin menggunakan lampu pijar sebaiknya
dipilih yang warna putih dengan dikombinasikan beberapa lampu neon.
Untuk penerangan malam hari dalam ruangan terutama untuk ruang baca
dan ruang kerja, penerangan minimum adalah 150 lux sama dengan 10 watt lampu
TL, atau 40 watt dengan lampu pijar.
c. Kepadatan Hunian
Setiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai fungsinya.
Penentuan bentuk, ukuran dan jumlah ruangan perlu memperhatikan standar
minimal jumlah ruangan. Sebuah rumah tinggal harus mempunyai ruangan yaitu
kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi dan kakus.
Berdasarkan Kepmenkes RI No.829 tahun 1999 tentang kesehatan
perumahan menetapkan bahwa luas ruang tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan
digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu kamar tidur. Bangunan yang
sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan mempunyai dampak
kurangnya oksigen di dalam ruangan sehingga daya tahan penghuninya menurun,
kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan seperti ISPA.
Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan
standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran
panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan
tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka
semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan
banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti
oleh peningkatan CO2 dan dampak peningkatan CO2 dalam ruangan adalah
penurunan kualitas udara dalam ruangan. Hal ini sejalan dengan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Nuryanto, (2010) yang mengatakan bahwa ada hubungan
bermakna antara kepadatan hunian dengan penyakit ISPA balita.
e. Suhu Ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 18-
30°C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah 18°C atau di atas 30°C
keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat. Suhu ruangan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor resiko terjadinya ISPA pada balita
sebesar empat kali. Suhu dalam ruangan berperan untuk menjaga rumah dalam
kelembaban optimal untuk membebaskan bakteri dan virus (Erna, 2005: 77).
Mikroorganisme akan melakukan interaksi atau hubungan dengan
lingkungannya untuk mempertahankan hidup. Masing-masing mikroorganisme
mempunyai suhu optimum, minimum dan maksimum untuk pertumbuhannya. Hal
ini disebabkan dibawah suhu minimum dan diatas suhu maksimum aktivitas
enzim akan berhenti, bahkan pada suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan
terdenaturasinya enzim mikroorganisme tersebut yang akibatnya memimbulkan
kematian pada mikroorganisme (Entjang, 2011).
f. Kelembaban Ruangan
Kelembaban rumah yang tinggi dapat mempengaruhi penurunan daya
tahan tubuh seseorang dan meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit
terutama penyakit infeksi. Kelembaban juga dapat meningkatkan daya tahan
hidup bakteri. Menurut Kemenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 kelembaban
dianggap baik jika memenuhi 40-70% dan buruk jika kurang dari 40% atau lebih
dari 70%. Kelembaban berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi udara yang
tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara dalam rumah menjadi rendah
sehingga kelembaban udaranya tinggi. Sebuah rumah yang memiliki kelembaban
udara tinggi memungkinkan adanya tikus, kecoa dan jamur yang semuanya
memiliki peran besar dalam pathogenesis penyakit pernafasan.
g. Pencemaran udara dalam rumah (polusi udara)
Udara yang bersih merupakan komponen utama dalam rumah dan sangat
diperlukan oleh manusia untuk hidup sehat. Sirkulasi udara yang bersih berkaitan
dengan masalah ventilasi rumah yang tidak mempunyai jendela dan lubang angin
menyebabkan udara yang tercemar tidak dapat keluar. Pencemaran udara yang
diduga banyak timbul adalah CO, selain itu juga terdapat bahan pencemar lainnya
seperti NH3 dan H2S. Semua gas-gas ini di dalam ambang tertentu dapat
menimbulkan gangguan seketika, sedangkan dalam jumlah besar dapat
menyebabkan iritasi pada saluran nafas (Achmadi, 2003 dalam Naria, dkk. 2008).
Polusi udara dapat dibagi menjadi dua yaitu polusi udara dalam ruangan
(Indoor Air Pollution=IAP) dan polusi udara luar ruangan (outdoor Air
Pollution).World Health Organization (WHO) melaporkan sekitar 12,8 juta
kematian didunia disebabkan oleh pengaruh polusi udara dalam ruangan.
Pencemar udara umumnya berupa gas, debu, dan partikulat (butiran amat halus).
Partikulat berukuran 7 mikron umumnya menempel atau mengenai bagian luar
tubuh manusia seperti kepala, rambut mata. Sedangkan ukuran kecil (0,4-2,5
mikron) terhirup bersama udara dan masuk sampai ke jaringan paru-paru.
Komponen debu yang tercemar dalam ruangan diperkirakan mengandung 5 juta
bakteri per gram.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan, dapur yang
sehat harus memiliki lubang asap dapur. Dapur yang tidak memiliki lubang asap
dapur akan menimbulkan banyak polusi asap ke dalam rumah dan kondisi ini akan
berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita karena asap akan dapat
mengiritasi saluran pernafasan.
Dapur rumah sehat harus mempunyai ruangan tersendiri karena asap hasil
pembakaran (kayu bakar atau minyak tanah) dapat membawa dampak negatif
terhadap kesehatan. Polusi udara dapur dipengaruhi jenis bahan bakar yang
dipakai, kayu bakar dan arang sebagai faktor resiko infeksi saluran pernapasan.
Ruangan dapur harus memiliki ventilasi yang baik sehingga asap/udara dari dapur
dapat dialirkan keluar. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sukamawa, dkk.
(2006) dengan menggunakan Uji statistik regresi logistik menunjukkan tidak ada
pengaruh pencemaran dalam rumah terhadap kejadian ISPA ada anak Balita.
Beberapa pencemaran ruangan yang perlu mendapat perhatian diantaranya:
Karbon Monoksida (CO), asap dari kayu bakar, asap rokok dan obat nyamuk
bakar. Sumber-sumber karbon monoksida (CO) yang signifikan menimbukan
pencemaran dalam ruangan terutama berasal dari rokok, cerutu, oven, kompor gas,
kompor minyak tanah dan tungku kayu bakar, pembakaran arang biomasa. Jika
tidak ada ventilasi yang baik, CO dapat cepat memenuhi ruangan dapur pada saat
ibu-ibu aktif memasak. Kadar CO yang dapat ditimbulkan oleh kompor yang
menyala selama setengah jam adalah 10 ppm. Apabila sumbu kompor tidak
terkontrol akan menghasilkan CO yang tidak tertolerir. Hal ini dapat merangsang
sakit kepala, batuk, iritasi kerongkongan dan membawa risiko berat berupa
penyakit paru-paru dan jantung.
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak
dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga
akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang
ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah, bersatu dengan kamar
tidur, ruang tempat bayi dan balita bermain.
Kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh asap dalam ruangan yang
bersumber dari perokok, penggunaan bahan bakar kayu/arang atau asap. Di
samping itu ditentukan oleh ventilasi, kepadatan penghuni, suhu ruangan,
kelembaban, penerangan alami, jenis lantai, dinding, atap, saluran pembuangan air
limbah, tempat pembuangan sampah, ketersediaan air bersih, dan debu/polutan
(Safitri, 2006).
Tingkat polusi yang dihasilkan bahan bakar menggunakan kayu jauh lebih
tinggi dibandingkan bahan bakar menggunakan gas. Sejumlah penelitian
menunjukkan paparan polusi dalam ruangan meningkatkan risiko kejadian ISPA
pada anak-anak. Berdasarkan hasil penelitian Naria, dkk di wilayah kerja
Puskesmas Tuntungan tahun 2008 menunjukkan proporsi balita yang tinggal di
rumah yang menggunakan bahan bakar kayu menderita ISPA sebanyak 39 orang
(81,25%), sedangkan yang tidak menderita ISPA sebanyak 9 orang (19,75%).
Hasil uji Chi Square diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara bahan
bakar dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p=0,001. Nilai Ratio
Prevalens kejadian ISPA pada balita yang menggunakan bahan bakar kayu
dibanding dengan balita yang menggunakan bahan bakar minyak/gas adalah 1,715.
Artinya penggunaan bahan bakar kayu merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.
2.3 Rumah
2.3.1 Pengertian Rumah
Menurut WHO (2004), rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk
tempat berlindung, dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan
rohani serta keadaan sosialnya baik untuk kesehatan keluarga dan individu.
Rumah dapat diartikan sebagai tempat untuk melepaskan lelah, beristirahat,
tempat bergaul dengan keluarga, sebagai tempat untuk melindungi diri dari segala
ancaman, sebagai lambang sosial. Menurut Notoatmodjo, (2011) luas bangunan
rumah yang tidak mempertimbangkan penghuni dalam rumahnya, hal ini tidak
sehat, sebab di samping menyebabkan kurangnya konsumsi Oksigen (O2) juga
bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular
kepada anggota keluarga lain. Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat
menyediakan 2,5 x 3m untuk setiap anggota keluarga.
Menurut WHO (2004), rumah sehat dapat diartikan rumah berlindung,
bernaung, dan tempat untuk beristirahat, sehingga menimbulkan kehidupan yang
sempurna baik fisik, rohani, sosial.
2.3.2 Syarat Rumah Sehat
Secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria
yaitu :
a. Memenuhi kebutuhan fisiologis meliputi pencahayaan, penghawaan, ruang
gerak yang cukup dan terhindar dari kebisingan yang mengganggu.
b. Memenuhi kebutuhan psikologis meliputi privasi, komunikasi yang sehat antar
anggota keluarga dan penghuni rumah.
c. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah
meliputi penyediaan air bersih, pengelolaan tinja, limbah rumah tangga, bebas
vector penyakit dan tikus, kepadatan hunian tidak berlebihan dan cukup sinar
matahari pagi.
d. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul
karena keadaan luar maupun dalam rumah, antara lain fisik rumah yang tidak
mudah roboh, tidak mudah terbakar dan tidak cenderung membuat penghuninya
jatuh tergelincir
Menurut Depkes RI (2004), ada beberapa prinsip standar rumah sehat.
Prinsip yang berkaitan dengan kebutuhan kesehatan, terdiri atas :
1) Perlindungan terhadap penyakit menular, melalui pengadaan air minum,
sistem sanitasi, pembuangan sampah, saluran air, kebersihan personal dan
domestik, penyiapan makanan yang aman dengan struktur rumah yang aman
dengan memberi perlindungan.
2) Perlindungan terhadap trauma/benturan, keracunan dan penyakit kronis
dengan memberikan perhatian pada struktur rumah, polusi udara rumah,
polusi udara dalam rumah, keamanan dari bahaya kimia dan perhatian pada
pnggunaan rumah sebagai tempat bekerja.
3) Stress psikologi dan sosial melalui ruang yang adekuat, mengurangi privasi,
nyaman, memberi rasa aman pada individu, keluarga dan akses pada rekreasi
dan sarana komunitas pada perlindungan terhadap bunyi.
Menurut Depkes RI (2004), indikator rumah yang dinilai adalah komponen
rumah yang terdiri dari : langit-langit, dinding, lantai, jendela kamar tidur, jendela
ruang keluarga dan ruang tamu, ventilasi, dapur dan pencahayaan dan aspek
perilaku. Aspek perilaku penghuni adalah pembukaan jendela kamar tidur,
pembukaan jendela ruang keluarga, pembersihan rumah dan halaman.
2.3.3 Komponen Rumah Sehat
a. Lantai
Lantai rumah dari semen atau ubin, kermik adalah baik, namun tidak cocok
untuk kondisi ekonom pedesaan. Untuk lantai rumah di pedesaan cukup tanah
biasa yang dipadatkan. Syarat yang penting disini adalah tidak berdebu pada
musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Lantai yang basah dan
berdebu merupakan sarang penyakit (Notoatmodjo, 2011:171).
Lantai rumah dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA karena lantai
yang tidak memenuhi standar merupakan media yang baik untuk
perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab ISPA. Lantai yang baik adalah
lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Bahan lantai harus kedap air
dan mudah dibersihkan, keadaan lantai perlu diplester dan akan lebih baik apabila
dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan (Kemenkes No.
829/Menkes/SK/VII/1999).
b. Dinding
Dinding mempunyai fungsi sebagai pendukung atau penyangga atap juga
untuk melindungi rumah dari gangguan panas, hujan dan angin dari luar dan juga
sebagai pembatas antara dalam dan luar rumah. Dinding juga berguna untuk
mempertahankan suhu dalam ruangan, merupakan media bagi proses rising damp
(kelembaban yang naik dari tanah) yang merupakan salah satu penyebab
kelembaban dalam rumah. Bahan dinding yang baik adalah dinding yang terbuat
dari bahan tahan api seperti batu bata yang sering disebut tembok.
Dinding yang terbuat dari tembok sebenarnya baik, namun selain mahal,
tembok juga kurang cocok untuk daerah tropis, apalagi jika ventilasinya kurang.
Untuk daerah tropis khususnya pedesaan lebih baik menggunakan papan karena
meskipun jendela tidak cukup, maka lubang-lubang dapat menjadi ventilasi dan
menambah pencahayaan alamiah (Notoatmodjo, 2011).
c. Atap
Salah satu fungsi atap yaitu melindungi masuknya debu dalam rumah.
Atap sebaiknya diberi plafon atau langit-langit, agar debu tidak langsung masuk
ke dalam rumah. Atap genteng merupakan atap yang cocok di daerah tropis. Atap
seng atau atap asbes tidak cocok untuk rumah pedesaan, disamping mahal juga
dapat menimbulkan suhu panas dalam rumah (Notoatmodjo, 2007:169).
Secara umum konstruksi atap harus didasarkan kepada perhitungan yang
teliti dan dapat dipertanggung jawabkan kecuali untuk atap yang sederhana tidak
disyaratkan adanya perhitungan-perhitungan. Maksud utama dari pemasangan
atap adalah untuk melindungi bagian-bagian dalam bangunan serta penghuninya
terhadap panas dan hujan, oleh karena itu harus dipilih penutup atap yang
memenuhi persyaratan sebagai berikut: Rapat air serta padat dan letaknya tidak
mudah bergeser, tidak mudah terbakar dan bobotnya ringan dan tahan lama. Atap
genteng adalah umum dipakai baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan. Di
samping atap genteng adalah cocok untuk daerah tropis juga dapat terjangkau oleh
masyarakat dan bahkan masyarakat dapat membuatnya sendiri. Namun demikian
banyak masyarakat pedesaan yang tidak mampu untuk itu maka atap daun rumbai
atau daun kelapa pun dapat dipertahankan. Atap seng maupun asbes tidak cocok
untuk rumah pedesaan, disamping mahal juga menimbulkan suhu panas di dalam
rumah (Notoatmodjo, 2011).
d. Langit-langit
Dibawah kerangka atap/kuda-kuda biasanya dipasang penutup yang
disebut langit-langit yang tujuannya untuk menutup seluruh konstruksi atap dan
kuda-kuda penyangga agar tidak terlihat dari bawah, sehingga ruangan terlihat
rapi dan bersih, untuk menahan debu yang jatuh dan kotoran yang lain juga
menahan tetesan air hujan yang menembus melalui celah-celah atap, untuk
membuat ruangan antara yang berguna sebagai penyekat sehingga panas atas tidak
mudah menjalar kedalam ruangan dibawahnya. Adapun persyaratan untuk langit-
langit yang baik adalah langit-langit harus dapat menahan debu dan kotoran lain
yang jatuh dari atap, langit-langit harus menutup rata kerangka atap kuda-kuda
penyangga dengan konstruksi bebas tikus, tinggi langit-langit sekurang-kurangnya
2,40 dari permukaan lantai, langit-langit kasaunya miring sekurang-kurangnya
mempunyai tinggi rumah 2,40 m, dan tinggi ruang selebihnya pada titik terendah
titik kurang dari 1,75m, ruang cuci dan ruang kamar mandi diperbolehkan
sekurang kurangnya sampai 2,40 m (Notoatmodjo, 2011).
2.4 Rumah Bulat
Rumah bulat atau biasa disebut (umek bubu) adalah rumah tradisional
masyarakat/Atoni Timor yang biasanya digunakan sebagai tempat tinggal,
lumbung makanan serta digunakan sebagai dapur (Pemkab TTS, 2011).
2.4.1 Arsitektur atau konstruksi rumah bulat
a. Atap
Secara umum konstruksi atap rumah bulat terbuat dari rumput alang-alang,
atapnya yang berbentuk seperti kepala jamur merang. Ujung alang-alangnya
hampir menyentuh permukaan tanah, letaknya tidak mudah bergeser dan rapat
serta padat. Membangun rumah bulat tidaklah sukar. Biayanya bisa dijangkau
oleh masyarakat, karena semua bahan dasarnya tersedia di hutan dan
kebun. ”Untuk membuat atap alang-alang yang bisa menutupi seluruh rumah
cukup dengan Rp250 ribu saja. Atap tersebut bisa bertahan kira-kira 10 tahunan.
b. Dinding
Dinding rumah bulat melingkar dengan garis tengah antara tiga sampai
lima meter. Dindingnya terbuat dari potongan-potongan kayu, bambu, atau batang
pinang yang dibelah dan berada dalam lingkaran atap. rumah bulat tidak
mempunyai sekat atau kamar.
c. Ventilasi
Rumah bulat tidak memiliki jendela dan ventilasi, dan hanya memiliki satu
pintu, yang bentuk pintunya setengah lonjong dengan ketinggian kurang dari satu
meter. Untuk masuk orang dewasa harus membungkukkan badan terlebih dahulu.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2012), diketahui bahwa rumah
yang berventilasi buruk lebih banyak anggota keluarganya yang menderita ISPA
dibandingkan dengan rumah yang ventilasinya memenuhi syarat kesehatan.
d. Pencahayaan
Pencahayaan alami seperti matahari tidak dapat masuk ke dalam rumah
bulat. Pencahayaan buatan yang digunakan dalam rumah bulat terbuat dari lampu
minyak tanah (pelita). Sinar matahari terhalang oleh bangunan sehingga
merupakan media atau tempat yang baik untuk untuk hidup dan berkembangnya
bibit-bibit penyakit.
e. Lantai
Lantai dalam rumah bulat hanya dengan tanah yang dipadatkan. Biasanya
lantai tersebut juga sebagai tempat tungku dari batu untuk memasak dengan
menggunakan bahan bakar kayu sehingga sisa pembakaran kayu berupa debu.
Lantai yang baik dilingkungan pedesaan adalah tanah yang dipadatkan. Syaratnya
tidak berdebu pada musin kemarau dan tidak basah pada musim penghujan,
karena lantai yang basah akan menimbulkan sarang penyakit (Notoatmodjo, 2011).
Rumah bulat dapat di lihat pada gambar 4.
Gambar 2.4 Rumah Bulat
2.4.2 Bagian Dalam Rumah
Dalam Silap Wilfradus, dkk. (1997) bagian dalam rumah, terdiri dari: Ni
anaf (tiang induk rumah), tunaf (tungku api) tepat ditengah rumah sebagai tempat
menyiapkan makanan dan pengasapan semua bahan makanan dan barang-barang,
hala tupa (tempat tidur) yang dikhususkan bagi isteri/ibu dengan anak-anak, hala
toko (balai-balai) untuk duduk atau makan di dalam rumah. Pana (para-para)
untuk menyimpan segala peralatan makan. Ni anaf tetu tunan (tiang induk atas
loteng). Eno/nesu (pintu rumah) hanya satu buah dengan tinggi satu meter.
2.4.3 Bahan-bahan bangunan rumah
Bahan-bahan bangunan untuk sebuah rumah (ume) atau lumbung(lopo)
terdiri dari: tiang-tiang (ni) terdiri dari kayu-kayu yang kuat dan pada umumnya
kayu teras. Usuk-usuk (suaf) terdiri dari kayu-kayu lurus yang mudah dilenturkan
seperti cemara dan lain sebagainya. Balok-balok penyanggah loteng (su’if) adalah
kayu bulat atau dapat dibentuk seperti balok. Kayu penyanggah loteng (nonof)
terdiri dari kayu-kayu yang lurus. Atap tefis terbuat dari rumput atau alang-alang
(humusu) dan sering kali daun gewang (tuinno’o). dinding (nikit) dari bahan
pelepah gewang (beba) atau belahan bamboo (nesat). Bahan-bahan ini juga untuk
pembuatan peralatan loteng/tetu (Silap Wilfradus, dkk. 1997).
2.4.4 Kegunaan
Rumah bulat digunakan masyarakat untuk menyimpan jagung dengan cara
digantung pada penyanggah atap dan dipanaskan dengan bara api agar tidak rusak
dan kualitasnya tidak menurun. Selain sebagai lumbung pangan warga di kala
musim paceklik, rumah bulat juga difungsikan sebagai dapur untuk kegiatan
memasak (umumnya digunakan kayu bakar) dan tempat penyimpanan perkakas
rumah tangga. Dapat dikatakan rumah bulat ini sangat ekonomis, karena
digunakan untuk berbagai macam keperluan rumah tangga (Pemkab TTS, 2011).
Bagian dalam rumah bulat dapat terlihat pada gambar 5.
Rumah bulat merata digunakan oleh masyarakat Timor Tengah Selatan
(TTS) di Nusa Tenggara Timur (NTT). Rumah bulat menjadi ciri khas adat dan
budaya orang Timor yang masih dipertahankan sampai saat ini, namun karena
Gambar 2.5 Bagian dalam rumah bulat
bentuknya dan kurangnya ventilasi dapat juga menimbulkan gangguan pernapasan.
Ventilasi tidak menjadi pertimbangan dalam membangun rumah bulat. Udara dan
sinar matahari hanya bisa menerobos dari lubang-lubang kecil pada dinding-
dinding bambu, sehingga cahaya yang masuk ke dalam rumah kurang maksimal.
Di sebagian daerah TTS ada suatu kebiasaan masyarakat yaitu bagi wanita yang
baru melahirkan dan bayinya harus menempati rumah bulat selama 40 hari untuk
mempertahankan suhu tubuh supaya tetap hangat. Selain itu rumah bulat juga
digunakan sebagai dapur, sehingga ibu-ibu akan membawa anaknya ke dapur
selama kegiatan memasak (Pemkab TTS, 2011).
Masyarakat TTS masih berkutat pada pemenuhan kebutuhan yang sangat
dasar, yaitu makan dan minum. Sebagian lagi sudah berpikir tentang bagaimana
melindungi tubuh dari panas dan hujan, serta memiliki rumah yang layak huni.
Setiap keluarga memiliki dua jenis bangunan rumah. Bangunan pertama
tampak lebih modern, berbentuk persegi dan terbuat dari kombinasi batu, papan
dan seng. Bangunan kedua tampak seperti jamur merang jika dilihat dari
ketinggian. Masyarakat menyebutnya sebagai rumah bulat (Umek bubu), salah
satu rumah adat yang masih dipertahankan.
2.4.5 Dampak kondisi Rumah Bulat terhadap Kesehatan
Secara kasat mata kondisi rumah bulat nampak tidak memenuhi syarat
kesehatan. dimana konstruksi rumah bulat tidak memiliki ventilasi, sehingga
sirkulasi udara di dalamnya tertutup, asap selama kegiatan memasak tidak bisa
keluar dengan baik sehingga merupakan sumber polusi dalam rumah bulat.
Ditunjang dengan kondisi lantai yang hanya dari tanah dan berdebu. Paparan debu
baik di dalam rumah maupun di luar rumah juga berpengaruh terhadap kesehatan
seseorang. Debu yang setiap harinya kita hirup dalam konsentrasi tinggi dan
jangka waktu yang cukup lama akan membahayakan kesehatan manusia. Akibat
menghirup debu yang langsung dapat dirasakan adalah rasa sesak dan keinginan
untuk bersin atau batuk dikarenakan adanya gangguan pada saluran pernafasan.
Ditambah lagi dengan kebiasan ibu yang membawa bayi/anak balitanya di dapur
yang penuh asap sambil memasak akan mempunyai resiko yang lebih besar
terkena ISPA dibandingkan dengan ibu yang tidak membawa bayi/anak balitanya
didapur. Kondisi seperti ini mempermudah timbulnya berbagai penyakit seperti
TBC, ISPA, malaria, penyakit saluran pencernaan, penyakit kulit dan lain-lain.