Scarborough (2009) Energia Renovable, Ruta Para El Desarrollo Economico
BAB II TINJAUAN LITERATUR · 2017. 12. 13. · mendapatkan modal tersebut (Holmes et al., 2003)....
Transcript of BAB II TINJAUAN LITERATUR · 2017. 12. 13. · mendapatkan modal tersebut (Holmes et al., 2003)....
13
BAB II
TINJAUAN LITERATUR
2.1. Keputusan Pendanaan
Keputusan pendanaan merupakan keputusan tentang struktur modal
perusahaan yang menjelaskan tentang pemilihan perusahaan terhadap sumber
dana hutang dan atau modal sendiri. Teori struktur modal modern mulai
berkembang sejak disampaikannya makalah dalam sebuah seminar oleh
Modigliani dan Miller (1958), selanjutnya disebut MM, yang mengemukakan
berbagai proposisi. Proposisi yang menyatakan tidak relevannya keputusan
struktur modal memberikan implikasi penting, yaitu pada kondisi bagaimana
keputusan tersebut menjadi tidak relevan; dan secara implisit juga
menimbulkan pertanyaan pada kondisi bagaimana keputusan tersebut
menjadi relevan (Harris dan Raviv, 1991; Myers, 2001).
Teori Trade-off muncul karena perdebatan dengan dalil yang
disampaikan MM. Ketika pajak penghasilan perusahaan telah ditambahkan
ke ketidakrelevanan proposisi asli MM, hal ini menciptakan manfaat bagi
utang dimana berfungsi untuk melindungi pendapatan dari pajak. Karena
fungsi dan tujuan perusahaan adalah linier dan tidak ada biaya penerbitan
utang, sehingga tersirat pembiayaan yang digunakan 100% utang (Frank dan
Goyal, 2008). Beberapa riset telah memperkaya proposisi MM, antara lain
dengan menghadirkan faktor pajak, costs of financial distress, bankruptcy
costs sehingga melahirkan Trade-off Theory (Myers, 1984). Riset-riset
tersebut mendukung bahwa perusahaan mempunyai struktur modal yang unik
yang menyeimbangkan antara manfaat pajak dari pendanaan hutang dan
biaya kesulitan keuangan dan kebangkrutan.
Teori pecking order adalah salah satu implikasi dari bagaimana
informasi asimetri mempengaruhi investasi dan pilihan pendanaan (Myers,
14
1984). Dalam informasi asimetri, struktur modal perusahaan dirancang untuk
mengurangi inefisiensi dalam keputusan investasi perusahaan yang
disebabkan oleh asimetri informasi. Karena investor kurang memiliki
informasi dibanding manajer mengenai nilai perusahaan, berarti nilai ekuitas
yang diterbitkan akan berada di bawah harga pasar. Salah satu cara untuk
menghindari situasi ini adalah melalui pembiayaan dengan sekuritas yang
tidak dinilai rendah oleh pasar, seperti dana internal atau utang tanpa risiko
(Myers dan Majluf, 1984). Berdasarkan argumen ini, Myers (1984)
mengusulkan "pecking order" teori pembiayaan, yang mengklaim bahwa
perusahaan lebih memilih untuk meningkatkan investasi baru, pertama dari
dana internal melalui laba ditahan, kedua oleh hutang berisiko rendah, dan
akhirnya dengan menerbitkan ekuitas.
Haris dan Raviv (1991) mereview survei yang dilakukan beberapa
peneliti dan menunjukkan ada empat faktor yang menentukan struktur modal
perusahaan, yaitu masalah keagenan, informasi asimetri, karakteristik produk
dan pasar produk, dan pertimbangan kendali perusahaan. Pertama, model
dalam masalah keagenan memprediksi bahwa perubahan leverage dalam
struktur modal dipengaruhi oleh salah satu dari faktor berikut: nilai
perusahaan, free cash flow, nilai likuidasi, reputasi manajerial, yang disertai
dengan perubahan harga saham. Kedua, prediksi utama dari teori informasi
asimetri menyangkut reaksi harga saham terhadap penjualan dan pertukaran
sekuritas, jumlah leverage, dan apakah perusahaan mengamati “pecking
order“ untuk penerbitan sekuritas. Ketiga, struktur modal yang berdasarkan
pada karakteristik produk dan pasar produk terbilang masih baru. Teori ini
mengeksplorasi hubungan antara struktur modal dengan strategi pasar produk
dan atau karakteristik produk/input. Keempat, faktor pertimbangan kendali
perusahaan melihat bahwa struktur modal dapat dijadikan alat untuk bagi
manajer untuk menolak takeover. Meskipun berbagai penelitian dilakukan
15
berdasarkan faktor-faktor tersebut, namun struktur modal yang optimal masih
belum dapat ditemukan atau masih “still searching” (Myers, 1993).
Swanson et al. (2003) dalam bukunya yang berjudul “The Capital
Structure Paradigm: Evolution of Debt/Equity Choices” menyebutkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal adalah: corporate tax,
personal tax, bankruptcy, agency costs, corporate governance, signaling,
ownership structure, macro economic variable, floatation and other direct
cost, government and other regulation. Lebih lanjut penulis yang sama juga
mengatakan bahwa tidak ada rumus yang unik dalam menghitung struktur
modal perusahaan. Namun keputusan manajemen tentang struktur modal
merupakan faktor penting dalam kegagalan dan kesuksesan perusahaan.
Struktur modal pada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) pada
dasarnya sama dengan usaha lainnya yaitu terdiri dari modal ekuitas dan
modal hutang, namun berbeda sumber-sumber yang tersedia untuk
mendapatkan modal tersebut (Holmes et al., 2003). Zimmerer et al. (2009)
dan Scarborough (2013) menjelaskan sumber modal ekuitas (equity capital)
bagi UMKM berasal dari tabungan pribadi, teman dan anggota keluarga,
“malaikat penolong” (angel investor), mitra, dan perusahaan modal ventura.
Sumber modal sendiri yang berasal dari angel investor, mitra dan modal
ventura sering disebut private equity. Sedangkan sumber modal hutang (debt
capital) berasal dari bank umum (hutang jangka pendek, hutang jangka
menengah dan panjang) dan hutang non bank (antara lain pinjaman berbasis
asset, factoring, koperasi simpan pinjam). Selain dari sumber pemberi
pinjaman komersial, UMKM dapat juga memperoleh pinjaman dari
pemerintah.
2.2. Keputusan Hutang Pada Usaha Mikro
Holmes et al. (2003) mengidentifikasi sumber dana eksternal yang
biasa digunakan oleh usaha mikro, kecil dan menengah adalah pinjaman bank
16
dan pinjaman non bank (leasing, trade credit, dan factoring). Pinjaman bank
sering tidak dimanfaatkan karena keterbatasan informasi (knowledge gap).
Usaha mikro cenderung memiliki keterbatasan dalam mengakses hutang atau
kredit perbankan walaupun tingkat bunga yang ditawarkan murah. Tetapi
karena kebutuhan dana untuk tambahan modal kerja, pemilik usaha mikro
sering mencari pinjaman di luar perbankan walau dengan bunga yang relatif
lebih tinggi (Supramono, 2007). Hal tersebut dapat disebabkan karena tidak
adanya prosedur rumit sehingga mudah untuk mendapatkan pinjaman
tersebut.
Tambunan (2012) mengidentifikasi bentuk hutang atau pinjaman
yang sering digunakan oleh pemilik usaha mikro di Indonesia cenderung
berupa pinjaman dari pedagang atau pemasok bahan baku (trade credit),
pinjaman dari keluarga, peminjam informal, dan dari pembeli yang
melakukan kredit/piutang.
Walaupun memiliki keterbatasan dalam mengakses kredit dari
lembaga keuangan, studi yang ada menunjukkan bahwa ketika mengalami
keterbatasan modal, pemilik usaha mikro dan kecil masih mengandalkan
kredit dari lembaga keuangan karena manfaat yang diperoleh. Nuswantara
(2012) menunjukkan bahwa kredit dapat meningkatkan pendapatan usaha
usaha mikro dan kecil. Selain itu pemilik usaha akan menaikkan jumlah
kredit apabila tingkat bunga menurun. Susilo (2010) menunjukkan bahwa
pemilik usaha mikro dan kecil dapat mengakses kredit dari lembaga
keuangan apabila ada dukungan dari pemerintah, LSM, dan pihak-pihak
terkait. Studi-studi tersebut menunjukkan bahwa pemilik usaha mikro dan
kecil masih diperhadapkan dengan masalah keputusan hutang atau kredit
dalam rangka mengatasi kekurangan modal untuk kelangsungan usahanya.
Keputusan hutang yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
keputusan pemilik usaha mikro untuk menggunakan dana eksternal yang
berasal dari berbagai sumber dana yang tersedia untuk keperluan modal
17
kerja. Sumber dana eksternal dalam hal ini disesuaikan dengan konteks usaha
mikro di Indonesia. Menurut Tambunan (2012), sumber dana eksternal bagi
usaha mikro di Indonesia dapat dipiliah menjadi dua yaitu sumber keuangan
formal dan informal. Sumber keuangan formal merupakan lembaga-lembaga
keuangan mikro yang menyediakan pinjaman bagi usaha mikro seperti Bank
Rakyat Indonesia Unit, Bank Perkreditan Rakyat, dan Lembaga Dana Kredit
Perdesaan, Koperasi Simpan Pinjam, Pegadaian. Sedangkan sumber
keuangan informal seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, proyek-proyek
pemerintah dan pemberi pinjaman perorangan (Arsyad, 2008).
Berkenaan dengan karakteristik usaha mikro (owner-manager),
keputusan pendanaan pada usaha mikro cenderung tergantung pada
preferensi manajerial. Salah satu aspek terkait preferensi manajerial adalah
aspek perilaku (Holmes et al., 2003). Lebih lanjut Holmes et al. (2003)
menjelaskan bahwa pendekatan perilaku lebih relevan dalam melihat
keputusan pendanaan pada usaha mikro. Oleh karena itu, penelitian-
penelitian mulai diarahkan pada penekanan faktor-faktor yang dapat
menentukan perilaku pendanaan usaha mikro. Beberapa penelitian melihat
keputusan pendanaan berdasarkan faktor demografis seperti umur, etnik,
gender, tingkat pendidikan, dan pengalaman (Fraser, 2005; Vos et al., 2007;
Briozzo dan Vigier, 2007; Alina, 2011; Woldie et al., 2008). Selain itu
penelitian lainnya mencoba melihat dari aspek bias psikologis (Supramono
dan Putlia, 2010). Penelitian-penelitian tersebut lebih menekankan pada
karakteristik yang melekat pada individu. Padahal dalam mengambil
keputusan, individu (pengusaha) dapat dipengaruhi oleh pihak-pihak di
sekitarnya dan faktor-faktor lainnya. Oleh karena itu penelitian ini akan
menggunakan Theory of Planned Behavior (TPB) untuk menggambarkan
faktor-faktor yang menentukan keputusan hutang usaha mikro. Koropp et al.
(2014) memberikan bukti bahwa faktor-faktor dalam TPB dapat digunakan
untuk menjelaskan keputusan hutang pemilik usaha.
18
2.3. Theory of Planned Behavior
Theory of Planned Behavior (TPB) dikemukakan oleh Ajzen (1991,
2005) sebagai salah satu teori psikologi sosial yang secara luas digunakan
dalam menjelaskan perilaku manusia. Theory of Planned Behavior
merupakan pengembangan dari Theory of Reasoned Action (TRA). Theory of
Reasoned Action (Fishbein dan Ajzen, 1975) menjelaskan bahwa perilaku
(behavior) dilakukan karena individu mempunyai niat atau keinginan untuk
melakukannya (intention). Dalam Theory of Reasoned Action, niat perilaku
ditentukan oleh dua faktor utama yaitu sikap terhadap perilaku (attitude
toward the behavior) dan norma subyektif (subjective norm).
Ajzen menganggap bahwa hubungan antara sikap dan perilaku dalam
Theory of Reasoned Action tidak menjelaskan mengenai perilaku yang tidak
sepenuhnya dapat dikendalikan oleh individu meskipun individu tersebut
memiliki sikap yang positif terhadap perilaku yang dimaksud. Oleh karena
itu Ajzen menambahkan satu penentu perilaku yaitu kontrol perilaku yang
dipersepsikan (Ajzen, 1991, 2005; Jogiyanto, 2007; Sarwono dan Meinarno,
2009). Kontrol perilaku yang dipersepsikan memiliki peran ganda, yaitu
sebagai salah satu penentu faktor niat dan penentu perilaku.
Model Theory of Planned Behavior dapat dilihat pada gambar
berikut:
19
Gambar 2.1
Theory of Planned Behavior (Ajzen, 1991; 2005)
2.3.1. Niat
Niat (Intention) terhadap perilaku merupakan kegiatan yang dilakukan
individu sebelum perilaku sesungguhnya (actual behavior). Ajzen (2005)
mendefinisikan niat sebagai variabel yang menangkap faktor-faktor motivasi
yang mempengaruhi perilaku. Niat dapat juga didefinisikan sebagai
keinginan untuk melakukan perilaku (Jogiyanto, 2007).
Dalam Theory of Reasoned Action (TRA), Fishbein dan Ajzen (1975)
menyatakan bahwa niat merupakan prediktor utama dari perbuatan atau
tindakan yang akan dilakukan orang dalam situasi tertentu. Jadi niat dari
seseorang untuk (melakukan atau tidak melakukan) suatu perilaku merupakan
penentu langsung dari tindakan atau perilaku. Niat ditentukan oleh dua
determinan dasar yaitu determinan diri dan determinan pengaruh sosial.
Determinan diri adalah sikap terhadap perilaku (attitude toward behavior)
dan determinan pengaruh sosial adalah norma subyektif (subjective norm).
Attitude
toward the
behavior
Subjective
Norm
Perceived
behavioral
control
Intention Behavior
20
Dalam Theory of Planned Behavior (TPB), Ajzen (1991) menyatakan
bahwa selain faktor sikap dan norma subyektif, niat terhadap suatu perilaku
juga ditentukan oleh kontrol perilaku yang dipersepsikan (perceived
behavioral control). Ketiga faktor (sikap terhadap perilaku, norma subyektif,
dan kontrol perilaku yang dipersepsikan) diyakini memberikan kontribusi
signifikan sebagai penentu niat. Namun tingkat kontribusi masing-masing
faktor tersebut bervariasi tergantung perilaku dan situasi (Ajzen, 2005).
Lebih lanjut Ajzen juga menyatakan bahwa dalam suatu perilaku, ada
kemungkinan hanya faktor sikap terhadap perilaku yang mempunyai
pengaruh signifikan, sedangkan pada perilaku lainnya, dua faktor (sikap
terhadap perilaku dan kontrol perilaku yang dipersepsikan) yang signifikan.
Demikian juga pada perilaku lainnya ketiga faktor tersebut bersama-sama
mempengaruhi niat.
2.3.2. Sikap terhadap Perilaku
Dalam psikologi sosial, terdapat beberapa definisi tentang sikap.
Menurut Allport, sikap merupakan kesiapan mental, yaitu suatu proses yang
berlangsung dalam diri seseorang bersama dengan pengalaman individual
masing-masing, mengarahkan dan menentukan respons terhadap berbagai
obyek dan situasi (Sarwono dan Meinarno, 2012). Menurut Mercer dan
Clayton (2012), sikap adalah evaluasi menyeluruh terhadap suatu obyek
berdasarkan informasi kognitif, afektif, dan behavioral. Fishbein dan Ajzen
(1975) menggambarkan sikap sebagai perasaan umum seseorang untuk
mendukung atau tidak mendukung terhadap suatu obyek. Lebih lanjut
Fishbein dan Ajzen (1975) membedakan dua macam sikap yaitu sikap
terhadap obyek (attitude toward object) dan sikap terhadap perilaku (attitude
toward behavior). Sikap terhadap obyek merupakan perasaan seseorang
terhadap benda-benda atau obyek, sedangkan sikap terhadap perilaku
merupakan perasaan seseorang mengenai suatu perilaku bukan obyek. Sikap
21
terhadap perilaku lebih kuat memprediksi suatu perilaku dibanding sikap
terhadap obyek (Jogiyanto, 2007). Dalam kaitannya dengan Theory of
Planned Behavior, sikap yang dimaksud adalah sikap terhadap perilaku
(Ajzen, 1991).
Menurut Theory of Planned Behavior, sikap terhadap suatu perilaku
merupakan salah satu anteseden dari faktor niat dalam memprediksi perilaku
masa depan. Sikap terhadap perilaku (atittude toward the behavior)
didefinisikan sejauh mana seseorang memiliki evaluasi mendukung atau tidak
mendukung atau penilaian dari perilaku tersebut (Ajzen, 1991; 2005). Sikap
terhadap perilaku dapat didefinisikan sebagai perasaan seseorang apakah
menerima atau menolak suatu perilaku. Sikap terhadap perilaku ditentukan
oleh keyakinan perilaku (behavioral beliefs). Keyakinan perilaku merupakan
keyakinan individu akan konsekuensi perilaku yang dapat diterima, dimana
keyakinan tersebut yang akan mendorong terbentuknya sikap.
Dalam model TRA dan TPB, sikap terhadap perilaku merupakan fungsi
dari behavioral beliefs. Model ini mengkuantifikasi sikap terhadap perilaku
dengan mengalikan keyakinan perilaku (kemungkinan subyektif) dengan
evaluasi outcome (evaluasi positif atau negatif individu terhadap perilaku
tertentu berdasarkan keyakinan-keyakinan yang dimilikinya). Kuantifikasi
tersebut secara umum menunjukkan, orang yang percaya bahwa melakukan
perilaku tertentu dapat menyebabkan hasil sebagian besar positif, akan
mempunyai sikap yang mendukung terhadap kinerja perilaku. Sebaliknya
orang yang percaya bahwa melakukan perilaku akan mengakibatkan hasil
sebagian besar negatif, akan mempunyai sikap yang tidak mendukung
terhadap perilaku tersebut.
2.3.3. Norma Subyektif
Theory of Planned Behavior menyatakan bahwa niat untuk melakukan
suatu perilaku dipengaruhi juga oleh faktor-faktor di luar faktor sikap. Salah
22
satunya faktor sosial, yang dikenal dengan istilah norma subyektif (Ajzen,
1991). Norma subyektif (subjective norm) merupakan persepsi atau
pandangan seseorang mengenai kepercayaan orang lain apakah suatu perilaku
dapat dilakukan atau tidak (Fishbein dan Ajzen, 1975). Lebih lanjut Fishbein
dan Ajzen menyatakan bahwa norma subyektif secara umum ditentukan oleh
dua komponen yaitu keyakinan norma (normative beliefs) dan motivasi untuk
memenuhi (motivation to comply).
Keyakinan norma merupakan persepsi atau keyakinan mengenai
harapan orang lain terhadap dirinya yang menjadi acuan untuk melakukan
perilaku atau tidak. Keyakinan yang berhubungan dengan pendapat tokoh
atau orang lain yang penting dan berpengaruh bagi individu atau tokoh
panutan tersebut apakah subyek harus melakukan atau tidak suatu perilaku
tertentu. Motivation to comply merupakan motivasi individu untuk memenuhi
harapan tersebut. Norma subyektif dapat dilihat sebagai dinamika antara
dorongan-dorongan yang dipersepsikan individu dari orang-orang
disekitarnya dengan motivasi untuk mengikuti pandangan mereka
(motivation to comply) dalam melakukan atau tidak melakukan tingkah laku
tersebut.
Dalam model TPB, norma subyektif adalah pengaruh dari tekanan
sosial yang dipersepsikan oleh individu untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu perilaku. norma subyektif adalah fungsi dari normative
beliefs (keyakinan normatif). Model ini mengkuantifikasi norma subyektif
dengan dengan mengalikan keyakinan normatif (normative belief yang
menggambarkan keyakinan seseorang terhadap individu atau grup referensi
yang dapat mempengaruhi perilakunya) dengan motivasi seseorang untuk
mengikuti (motivation to comply) apa yang diinginkan oleh referensi tersebut
(Ajzen, 2005).
Dalam beberapa perilaku, referensi yang penting adalah orangtua,
pasangan hidup, teman-teman dekat, teman-teman kerja, atau mungkin para
23
pakar sesuai dengan konteks perilaku. Secara umum, orang yang percaya
pada banyak referent yang mempengaruhi mereka untuk melakukan suatu
perilaku, akan menerima tekanan sosial untuk melakukan perilaku tersebut.
Sebaliknya jika banyak referent mempengaruhi untuk tidak melakukan suatu
perilaku, maka orang akan menerima tekanan sosial untuk tidak melakukan
perilaku tersebut.
2.3.4. Kontrol Perilaku yang Dipersepsikan
Ajzen (1991) menyatakan bahwa dalam melakukan suatu perilaku,
individu dibatasi kekurangan-kekurangan yang dimiliki atau tidak adanya
kesempatan. Hal tersebut dapat mempengaruhi niat individu untuk
melakukan perilaku, walaupun individu telah mempunyai sikap yang positif
dan didukung orang lain. Oleh karena itu, dalam Theory of Planned
Behavior, Ajzen mengemukakan pentingnya variabel Kontrol perilaku yang
dipersepsikan (perceived behavioral control). Ajzen (1991, 2005)
mendefinisikan Kontrol perilaku yang dipersepsikan sebagai kemudahan atau
kesulitan yang dipersepsikan oleh individu untuk melakukan suatu perilaku.
Lebih lanjut Ajzen juga menyatakan bahwa Kontrol perilaku yang
dipersepsikan diasumsikan merefleksikan pengalaman masa lalu,
kepemilikan sumber daya (misalnya waktu, uang, dan lain-lain), dan
kesempatan-kesempatan. Konsep kontrol perilaku yang dipersepsikan
tersebut menunjukkan bahwa banyak perilaku tidak semuanya dibawah
kontrol penuh individual (Jogiyanto, 2007).
Kontrol perilaku yang dipersepsikan (perceived behavioral control)
merupakan persepsi seseorang tentang kemudahan atau kesulitan untuk
melakukan suatu perilaku. Kontrol perilaku yang dipersepsikan juga
diasumsikan fungsi dari keyakinan kontrol (beliefs control). Ajzen
mengkuantifikasi Kontrol perilaku yang dipersepsikan dengan mengalikan
keyakinan kontrol (ketersediaan sumber daya) dengan kekuatan sumber daya
24
untuk memfasilitasi atau menghambat kinerja perilaku. Keyakinan kontrol
(control beliefs) merupakan keyakinan yang dimiliki oleh individual
mengenai sumber-sumber daya dan kesempatan-kesempatan yang
dimilikinya untuk mengantisipasi halangan yang dihadapi individu tersebut.
Keyakinan ini tidak hanya didasarkan pada pengalaman masa lalu, tetapi
dapat dipengaruhi oleh informasi pihak lain tentang perilaku, dengan
mengamati pengalaman dari orang lain, dan dengan faktor-faktor lain yang
dapat meningkatkan atau mengurangi kesulitan persepsi dalam melakukan
perilaku (Jogiyanto, 2007).
Theory of Planned Behavior menyatakan bahwa kontrol perilaku yang
dipersepsikan mempengaruhi perilaku dalam dua cara. Pertama, kontrol
perilaku yang dipersepsikan mempengaruhi niat untuk melakukan perilaku.
Kontrol perilaku yang dipersepsikan mempunyai implikasi motivasional
untuk niat. Orang yang percaya bahwa mereka tidak mempunyai sumber
daya atau kesempatan untuk melakukan suatu perilaku, tidak mungkin
mempunyai niat yang kuat untuk melakukan perilaku tersebut, meskipun
mereka mempunyai sikap yang mendukung dan ada dukungan dari pihak
lain. Kedua, kontrol perilaku yang dipersepsikan mempengaruhi perilaku
secara langsung. Dalam banyak kasus, kinerja perilaku tidak tergantung
hanya pada motivasi untuk melakukan perilaku (niat), tetapi juga pada
kontrol yang memadai atas perilaku tersebut. Karena itu dalam beberapa
situasi perilaku kontrol yang dipersepsikan mungkin tidak realistis. Hal
tersebut dapat terjadi dalam kasus bila individu mempunyai sedikit informasi
tentang perilaku, persyaratan atau ketersediaan sumber daya yang berubah,
atau bila ada unsur-unsur yang baru dan tidak familiar yang masuk dalam
situasi (Ajzen, 2005).
Theory of Planned Behavior (TPB) telah banyak digunakan dan
terbukti akurat untuk memprediksi dan menjelaskan perilaku manusia pada
berbagai konteks yang dapat dilihat pada berikut:
25
Tabel 2.1
Penggunaan Theory of Planned Behavior dalam Berbagai Konteks
Konteks Penulis
Penggunaan teknologi
informasi
Taylor dan Todd, 1995; Riemenscheineider et al.,
2003; Cronan dan Al-Rafee, 2008; Maditinos et
al., 2009; Al-Majali dan Mat, 2010
Perilaku dunia maya Mantymaki et al., 2014
Lingkungan Harland et al., 1999
Perilaku etis
pengambilan keputusan
Flanery dan May, 2000; Stevens et al., 2005
Penggunaan mobil Bamberg dan Schmidt, 2003
Pariwisata Kaplan et al., 2015; Han, 2015
Perilaku pembelian
online
Pavlou dan Fygenson, 2006; Lin, 2007; Velarde,
2012
Kesehatan Kim dan Chang, 2007; Brouwer dan Mosack,
2015; Mirutse et al., 2014; Fleming et al., 2015;
Jekauc et al., 2015
Perilaku pelajar Wei et al., 2015
Penggunaan kartu kredit Xiao et al., 2011; Sari dan Rofaida, 2011
Kewirausahaan Rueda et al., 2014
Sumber: dari berbagai penelitian
Dalam konteks keuangan, beberapa penelitian juga telah
menggunakan Theory of Planned Behavior. Penelitian-penelitian tersebut
antara lain dilakukan oleh Hailu et al. (2005) yang melihat tentang niat
menambah hutang oleh manajer dan direktur. Espel et al. (2009) meneliti
tentang keputusan pemilik usaha kecil dan menengah dalam menggunakan
dana dari modal swasta (private equity). Phan dan Zhou (2014) menggunakan
Theory of Planned Behavior untuk menggambarkan niat pengambilan
keputusan investasi, sedangkan Koropp et al. (2014) menggambarkan
pengambilan keputusan pendanaan dalam familiy firms.
26
2.4. Model Penelitian dan Pengembangan Hipotesis
2.4.1. Pengaruh Sikap terhadap Hutang pada Niat Berhutang
Menurut Theory of Planned Behavior, sikap terhadap suatu perilaku
merupakan salah satu anteseden dari faktor niat dalam memprediksi perilaku
masa depan. Sikap terhadap perilaku didefinisikan sejauh mana seseorang
memiliki evaluasi mendukung atau tidak mendukung atau penilaian dari
perilaku tersebut (Ajzen, 1991; 2005). Jika individu mempunyai sikap lebih
mendukung terhadap suatu perilaku, kesempatan lebih banyak bahwa mereka
akan mempunyai niat untuk melakukan perilaku tersebut. Sebaliknya, jika
individu merasa tidak mendukung suatu perilaku, maka mereka tidak akan
mempunyai niat. Sikap terhadap perilaku dapat juga dipandang sebagai
perasaan positif atau negatif dari seseorang jika harus melakukan perilaku
yang akan ditentukan (Jogiyanto, 2007; Koropp et al., 2013; 2014).
Banyak studi membuktikan pengaruh signifikan dari sikap terhadap
niat perilaku dalam berbagai konteks (Vallerand et al., 1992; Taylor dan
Todd, 1995; Bamberg dan Schmidt, 2003; Pavlou dan Fygenson, 2006; Lin,
2007; Xiao et al., 2011; Koukouvinos, 2012; Moody dan Siponen, 2013;
Mantymaki et al., 2014; Mirutse et al., 2014; Rueda et a.l, 2014; Brouwer dan
Mosack, 2015; Kaplan et al., 2015; Han, 2015; Jekauc et al., 2015). Dalam
konteks keuangan, Phan dan Zhou (2014) menemukan bukti bahwa sikap
terhadap keputusan investasi signifikan mempengaruhi niat investor untuk
melakukan keputusan investasi tersebut.
Khusus keputusan pendanaan, Espel et al. (2009) menunjukkan
bahwa faktor sikap secara positif mempengaruhi niat terhadap perilaku
keputusan pendanaan private equity oleh pemilik usaha kecil dan menengah
di Jerman. Hasil yang sama juga ditemukan oleh Hailu et al. (2005) yang
melihat pengaruh sikap manajer dan direktur terhadap niat untuk menambah
hutang. Koropp et al. (2014) yang melakukan penelitian pada perusahaan
keluarga (family firms) di Jerman juga menemukan sikap terhadap suatu
27
pilihan pendanaan berpengaruh signifikan dan positif terhadap niat untuk
menggunakan pendanaan tersebut, baik itu hutang maupun ekuitas eksternal.
Berkaitan dengan keputusan hutang, jika pemilik usaha memiliki sikap yang
mendukung penggunaan hutang, maka mereka akan mempunyai niat untuk
menggunakan hutang sebagai sumber pendanaan. Sebaliknya jika pemilik
usaha memiliki sikap yang tidak mendukung penggunaan hutang, maka
mereka tidak akan mempunyai niat untuk berhutang.
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H1 : Sikap terhadap hutang secara positif mempengaruhi niat berhutang.
2.4.2. Pengaruh Norma Sosial terhadap Niat Berhutang
Theory of Planned Behavior menyatakan bahwa niat untuk
melakukan suatu perilaku dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, yang dikenal
dengan istilah norma subyektif. Norma subyektif adalah pengaruh dari
tekanan sosial yang dipersepsikan oleh individu untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu perilaku (Ajzen, 1991; 2005). Beberapa penelitian
menggunakan istilah norma sosial (Woon dan Pee, 2005; Espel et al., 2009).
Norma subyektif atau norma sosial merupakan fungsi dari keyakinan-
keyakinan (beliefs), yaitu keyakinan sesorang bahwa individual-individual
tertentu atau grup-grup tertentu menyetujui atau tidak menyetujui untuk
melakukan suatu perilaku. Individu atau grup yang dimaksud adalah
orangtua, pasangan, teman-teman, dan pihak-pihak yang berkepentingan
sesuai dengan konteks perilaku (Jogiyanto, 2007).
Banyak studi dalam berbagai konteks menemukan pengaruh yang
signifikan dari norma subyektif (norma sosial) terhadap niat perilaku (Taylor
dan Todd, 1995; Flannery dan May, 2000; Bamberg dan Schmidt, 2003;
Pavlou dan Fygenson, 2006; Li dan Lai, 2008; Maditinos et al., 2009; Xiao et
al., 2011; Phan dan Zhou, 2014; Rueda et al., 2014; Mantymaki et al., 2014;
28
Mirutse et al, 2014; Brouwer dan Mosack, 2015; Kaplan et al., 2015; Han,
2015; Wei et al., 2015). Hanya penelitian Lin (2007) dan Jekauc et al. (2015)
yang menemukan hasil berbeda dimana norma subyektif tidak berpengaruh
signifikan terhadap niat perilaku.
Dalam kaitannya dengan keputusan pendanaan (hutang), Matthews et
al. (dalam Holmes et a.l, 2003) menyatakan bahwa salah satu yang
mempengaruhi adalah norma sosial. Norma sosial terhadap pendanaan
didorong oleh pengaruh dari pembawa norma yang relevan dalam lingkungan
pemilik usaha (Espel et al., 2009). Pembawa norma yang dimaksud adalah
konsultan eksternal (pihak bank), konsultan internal, karyawan, dan keluarga.
Dalam konteks usaha mikro, pembawa norma yang relevan adalah pihak
keluarga, teman, masyarakat, dan pemerintah.
Penelitian Hailu et al. (2005) menemukan bahwa norma sosial (teman
dan kolega) berpengaruh positif terhadap niat manajer dan direktur untuk
menambah hutang. Hasil yang sama ditemukan dalam penelitian Espel et al.
(2009), dimana norma subyektif mempengaruhi niat pemilik usaha kecil dan
menengah untuk menggunakan pendanaan modal swasta. Selain itu,
Penelitian Koropp et al. (2014) yang menggunakan norma keluarga (family
norms) sebagai norma subyektif pada usaha keluarga (family firms) di
Jerman, juga menemukan hasil yang sama bahwa norma keluarga
berpengaruh positif dan signifikan terhadap niat untuk menggunakan hutang.
Dalam konteks keputusan hutang pada usaha mikro, jika pengaruh
norma sosial positif mendukung pemilik usaha untuk menggunakan hutang,
maka mereka akan mempunyai niat untuk menggunakan hutang sebagai
sumber pendanaan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H2 : Norma sosial berpengaruh positif terhadap niat berhutang.
29
2.4.3. Pengaruh Kontrol Perilaku yang Dipersepsikan terhadap Niat
Berhutang
Dalam Theory of Planned Behavior, kontrol perilaku yang
dipersepsikan mempunyai implikasi motivasional terhadap niat-niat. Artinya
kontrol perilaku yang dipersepsikan mempengaruhi niat untuk melakukan
suatu perilaku. Ajzen (1991) menyatakan bahwa dalam melakukan suatu
perilaku, individu dibatasi kekurangan-kekurangan yang dimiliki atau tidak
adanya kesempatan. Hal tersebut dapat mempengaruhi niat individu untuk
melakukan perilaku, walaupun individu telah mempunyai sikap yang positif
dan didukung orang lain. Konsep kontrol perilaku yang dipersepsikan
menunjukkan bahwa banyak perilaku tidak semuanya dibawah kontrol penuh
individual (Jogiyanto, 2007).
Penelitian dalam berbagai konteks menemukan kontrol perilaku yang
dipersepsikan berpengaruh signifikan terhadap niat (Taylor dan Todd, 1995;
Harland et al., 1999; Bamberg dan Schmidt, 2003; Pavlou dan Fygenson,
2006; Lin, 2007; Li dan Lai, 2008; Maditinos et al., 2009; Xiao et al., 2011;
Mantymaki et al., 2014; Rueda et al., 2014; Brouwer dan Mosack, 2015; Han,
2015; Kaplan et al., 2015; Jekauc et al., 2015), namun penelitian Flannery
dan May (2000), Mirutse et al. (2014), dan Wei et al. (2015) menemukan
hasil yang tidak signifikan.
Dalam konteks keuangan, ditemukan hasil yang berbeda-beda. Hailu
et al. (2005) yang melakukan penelitian pada usaha besar, menemukan bahwa
kontrol perilaku yang dipersepsikan tidak signifikan dalam mempengaruhi
niat manajer dan direktur untuk menambah hutang. Namun, Espel et al.
(2009) menemukan kontrol perilaku yang dipersepsikan signifikan
mempengaruhi niat pemilik usaha kecil dan menengah untuk pendanaan
modal swasta. Hasil yang sama juga ditemukan Phan dan Zhou (2014) yang
meneliti niat keputusan investasi oleh investor individual. Penelitian Koropp
et al. (2014) menemukan dua hasil yang berbeda tentang hubungan antara
30
kontrol perilaku yang dipersepsikan terhadap niat menggunakan hutang dan
ekuitas eksternal pada family firms di Jerman. Hasil tidak signifikan untuk
pilihan pendanaan hutang dan hasil signifikan namun hubungan negatif untuk
pilihan pendanaan ekuitas eksternal.
Berkaitan dengan keputusan hutang bagi usaha mikro di Indonesia,
salah satu kendala dalam memperoleh hutang adalah kesulitan akses pada
bank dan lembaga keuangan lainnya (OECD, 2000; Tambunan, 2012). Oleh
karena itu, kontrol perilaku yang dipersepsikan yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah persepsi pemilik usaha mikro tentang kemudahan atau
kesulitan akses ke pihak penyedia dana/kreditur dari lembaga keuangan
mikro formal maupun informal. Kemudahan atau kesulitan akses yang
dihadapi pemilik usaha mikro dalam penelitian ini dikaitkan dengan persepsi
pemilik usaha terhadap hambatan yang dialami dalam mengakses permodalan
seperti jaminan, besar atau kecilnya tingkat bunga yang ditawarkan, dan
aksesibilitas ke kreditur. Jika pemilik usaha memiliki kemudahan akses ke
kreditur, maka niat untuk berhutang akan semakin tinggi. Sebaliknya jika
pemilik usaha mengalami kesulitan akses, maka niat untuk berhutang rendah.
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H3 : Kontrol perilaku yang dipersepsikan berpengaruh positif terhadap
niat berhutang
2.4.4. Pengaruh Niat Berhutang terhadap Keputusan Hutang
Niat (intention) merupakan anteseden utama dari perilaku menurut
model Theory of Planned Behavior. Niat merupakan kegiatan yang dilakukan
individu sebelum perilaku sesungguhnya (actual behaviour). Niat adalah
keinginan untuk melakukan perilaku (Jogiyanto, 2007). Ajzen (2005)
mendefinisikan niat sebagai variabel yang menangkap faktor-faktor motivasi
31
yang mempengaruhi perilaku. Semakin tinggi nilai niat terhadap suatu
perilaku, maka semakin tinggi motivasi untuk melakukan perilaku tersebut.
Bukti-bukti empiris menunjukkan pengaruh yang signifikan dari niat
terhadap perilakunya dalam berbagai konteks yaitu penggunaan teknologi
informasi (Taylor dan Todd, 1995; Woon dan Pee, 2005; Moody dan
Siponen, 2013); kesehatan (Brouwer dan Mosack, 2015); penggunaan mobil
(Bamberg dan Schmidt, 2003); adopsi teknologi (Pavlou dan Fygenson,
2006; Karaiskos et al., 2012); dan perilaku konsumen (Lin, 2007;
Koukouvinos, 2012).
Dalam konteks keputusan pendanaan, Espel et al. (2009) menemukan
bahwa niat pemilik usaha mikro untuk menggunakan pendanaan modal
swasta (private equity) berpengaruh signifikan dan positif dengan keputusan
mereka untuk mendanai usahanya dengan modal tersebut. Hasil yang sama
juga ditemukan oleh Koropp et al. (2014) yang melakukan studi pada pemilik
perusahaan keluarga (family firms) dimana niat mempengaruhi keputusan
pendanaan baik hutang maupun ekuitas eksternal. Pemilik usaha yang
mempunyai niat yang tinggi untuk berhutang, akan mengambil keputusan
menggunakan hutang sebagai sumber pendanaan dalam usahanya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H4 : Niat berhutang berpengaruh positif terhadap keputusan hutang
2.4.5. Pengaruh Kontrol Perilaku yang Dipersepsikan terhadap
Keputusan Hutang
Kontrol perilaku yang dipersepsikan dapat mempengaruhi suatu
perilaku secara langsung, tanpa melalui mediasi niat (Ajzen, 1991; 2005).
Artinya bahwa perilaku suatu individu tergantung tidak hanya pada motivasi
atau keinginan untuk melakukannya, tetapi juga kontrol yang cukup terhadap
perilaku yang dilakukan (Jogiyanto, 2007).
32
Penelitian tentang pengaruh langsung dari kontrol perilaku yang
dipersepsikan terhadap berbagai perilaku menunjukkan hasil yang berbeda-
beda pada berbagai konteks. Hasil yang signifikan ditemukan oleh Taylor
dan Todd (1995), Harland et al. (1999), Pavlou dan Fygenson (2006), Lin
(2007) dan Maditinos et al. (2009), sedangkan hasil yang tidak signifikan
ditunjukkan oleh Bamberg dan Schmidt (2003) dan Wei et al. (2015).
Dalam konteks keuangan, Xiao et al. (2011) menunjukkan bahwa
kontrol perilaku yang dipersepsikan mempengaruhi signifikan terhadap
perilaku kredit beresiko oleh mahasiswa pada tingkat pertama perguruan
tinggi. Namun Koropp et al. (2014) menemukan hasil yang berbeda pada
keputusan penggunaan dana internal dan eksternal pada perusahaan keluarga
(familiy firms) di Jerman. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
kontrol perilaku yang dipersepsikan tidak signifikan mempengaruhi
keputusan pendanaan baik dana internal maupun eksternal.
Berkaitan dengan keputusan hutang, jika pemilik usaha memiliki
kemudahan akses ke pemilik dana (kreditur), maka mereka akan mengambil
keputusan untuk menggunakan lebih banyak hutang sebagai sumber
pendanaan usahanya. Sebaliknya jika pemilik usaha mengalami kesulitan
akses, maka mereka tidak akan menggunakan hutang.
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H5 : Kontrol perilaku yang dipersepsikan berpengaruh positif terhadap
keputusan hutang.
Berdasarkan perumusan hipotesis-hipotesis di atas, maka model
empirik dapat digambarkan sebagai berikut:
33
H5 H3
H1
H2
H4
Gambar 2.2.
Model Empiris Keputusan Hutang
Mengacu pada uraian hubungan antar variabel seperti yang dijelaskan
pada bagian sebelumnya dan model empirik di atas, maka secara ringkas
hipotesis yang telah dirumuskan tersaji pada tabel berikut:
Tabel 2.2
Ringkasan Hipotesis
Hipotesis
Hipotesis 1 Sikap terhadap hutang secara positif
mempengaruhi niat berhutang.
Hipotesis 2 Norma sosial berpengaruh positif terhadap niat
berhutang.
Hipotesis 3 Kontrol perilaku yang dipersepsikan
berpengaruh positif terhadap niat berhutang
Hipotesis 4 Niat berhutang berpengaruh positif terhadap
keputusan hutang
Hipotesis 5 Kontrol perilaku yang dipersepsikan
berpengaruh positif terhadap keputusan hutang.
Sikap
terhadap
Hutang
Kontrol perilaku
yang
dipersepsikan
Niat
Berhutang
Keputusan
Hutang
Norma
Sosial
34