Bab II Kajian Pustaka -...
Transcript of Bab II Kajian Pustaka -...
10
Bab II
Kajian Pustaka
2.1 Evaluasi Program Pendidikan
Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa Inggris)
yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan mempertahankan kata aslinya menjadi “evaluasi”.
Suchman (1961,dalam Anderson 1975) memandang evaluasi
sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai
beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung
tercapainya tujuan. Definisi lain yang dikemukaan oleh
Worthen dan Sander (1973, dalam Anderson 1971)
menyatakan evaluasi adalah kegiatan mencari sesuatu yang
berharga tentang sesuatu; dalam mencari sesuatu tersebut,
juga termasuk mencari informasi yang bermanfaat dalam
menilai keberadaan suatu program,produksi, prosedur serta
alternatif strategi yang diajukan untuk mencapai tujuan yang
sudah ditentukan. Sedangkan menurut Stufflebeam
(1971,dalam Fernandes 1984) mengatakan bahwa evaluasi
merupakan proses penggambaran,pencarian dan pemberian
informasi yang sangat bermanfaat bagi pengambil
keputusan.Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan
informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya
informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif
yang tepat dalam mengambil keputusan.
Sedangkan Program adalah suatu unit atau kesatuan
kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari
11
suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang
berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang
melibatkan sekelompok orang. (Arikunto, 2008).
Jadi Evaluasi program adalah suatu unit atau kesatuan
kegiatan yang bertujuan mengumpulkan informasi
tentang realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan,
berlangsung dalam proses yang berkesinambungan, dan
terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok
orang guna pengambilan keputusan.
Evaluasi program bertujuan untuk mengetahui
pencapaian tujuan program yang telah
dilaksanakan.Selanjutnya, hasil evaluasi program digunakan
sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan tindak lanjut
atau untuk melakukan pengambilan keputusan
berikutnya.Manfaat dari evaluasi program dapat berupa
penghentian program, merevisi program, melanjutkan
program, dan menyebarluaskan program.
Pada kontek evaluasi program pendidikan, dapat
dijelaskan bahwa evaluasi dimaksudkan untuk mengetahui
tingkat keberhasilan atau kegagalan suatu program
pendidikan, dan hasil evaluasi dapat dijadikan informasi
sebagai masukan untuk menentukan tindak lanjut dari
program yang sedang atau telah dilaksanakan.
2.1.1 Model Evaluasi Program Pendidikan
Menurut Kaufan dan Thomas dalam Arikunto
(2010),terdapat berbagai model evaluasi program yang dapat
dibedakan menjadi delapan kategori, yaitu:
1. Goal Oriented Evaluation Model, dikembangkan oleh Tyler.
Objek pengamatan model ini adalah tujuan dari
12
program. Evaluasi dilaksanakan berkesinambungan, terus-
menerus untuk mengetahui ketercapaian pelaksanaan
program.
2. Goal Free Evaluation Model, dikembangkan oleh Scriven.
Dalam melaksanakan evaluasi tidak memperhatikan
tujuan khusus program, melainkan bagaimana
terlaksananya program dan mencatat hal-hal yang positif
maupun negatif.
3. Formatif Summatif Evaluation Model, dikembangkan oleh
M.Scriven. Model evaluasi ini dilaksanakan ketika program
masih berjalan (evaluasi formatif) dan ketika program
sudah selesai (evaluasi sumatif).
4. Countenance Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake.
Model ini juga disebut model evaluasi pertimbangan.
Maksudnya evaluator mempertimbangkan program dengan
memperbandingkan kondisi hasil evaluasi program dengan
yang terjadi di program lain, dengan objek sasaran yang
sama dan membandingkan kondisi hasil pelaksanaan
program dengan standar yang ditentukan oleh program
tersebut.
5. Responsive Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake.
Model ini tidak banyak penjelasannya karena model ini
kurang populer.
6. SSE-UCLA Evaluation Model,Model ini meliputi empat
tahap, yaitu:
a. Needs assessment, memusatkan pada penentuan
masalah hal-hal yang perlu dipetimbangkan dalam
program, kebutuhan uang dibutuhkan oleh program,
dan tujuan yang dapat dicapai.
13
b. Program planning, perencanaan program dievaluasi
untuk mengetahui program disusun sesuai analisis
kebutuhan atau tidak.
c. Formative evaluation, evaluasi dilakukan pada
saat program berjalan.
d. Summative program, evaluasi untuk mengetahui hasil
dan dampak dari program serta untuk mengetahui
ketercapaian program.
7. CIPP Evaluation Model (ContextInput Process Product), oleh
Stufflebeam, yang terdiri dari:
a. EvaluasiKonteks
Evaluasi konteks adalah evaluasi terhadap kebutuhan,
tujuan pemenuhan dan karakteristik individu yang
menangani.Seorang evaluator harus sanggup
menentukan prioritas kebutuhan dan memilih tujuan
yang paling menunjang kesuksesan program.
b. EvaluasiMasukan
Evaluasi masukan mempertimbangkan kemampuan
awal atau kondisi awal yang dimiliki oleh institusi untuk
melaksanakan sebuah program.
c. Evaluasi Proses
Evaluasi proses diarahkan pada sejauh mana program
dilakukan dan sudah terlaksana sesuai dengan
rencana.
d. Evaluasi Hasil
Ini merupakan tahap akhir evaluasi dan akan diketahui
ketercapaian tujuan, kesesuaian proses dengan
pencapaian tujuan, dan ketepatan tindakan yang
diberikan, dan dampak dari program.
8. Discrepancy Model, oleh Malcolm Provus
14
Model ini dipakai untuk mengetahui kesenjangan yang
terjadi pada setiap komponen program.Evaluasi
kesenjangan dimaksudkan untuk mengetahui tingkat
kesesuaian antara standar yang sudah ditentukan dalam
program dengan penampilan aktual dari program tersebut.
Model yang terakhir ini yaitu DiscrepancyModelyang oleh
peneliti akan dibahas lebih lanjut secara lebih
mendalam.Alasannya adalah model ini akan digunakan
oleh peneliti untuk melakukan evaluasi program
pendidikan inklusif slow learnerdi SD Negeri Pulutan 02
Salatiga.
2.1.2Discrepancy Evaluation Model
Pengertian kata discrepancy diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia menjadi “kesenjangan”. Model ini
dikembangkan oleh Malcolm Provus dan merupakan model
yang menekankan pada pandangan adanya kesenjangan di
dalam pelaksanaan program.Evaluasi program yang dilakukan
oleh evaluator mengukur besarnyakesenjangan yang ada di
setiap komponen (Suharsimi, 2010).
Evaluasi kesenjangan dimaksudkan untuk mengetahui
tingkat kesesuaian atau kesenjangan antara standar yang
sudah ditentukan dalam program dengan penampilan aktual
dari program tersebut.Standar adalah: kriteria yang telah
dikembangkan dan ditetapkan dengan hasil yang efektif.
Penampilan adalah: sumber, prosedur, dan hasil nyata yang
tampak ketika program dilaksanakan.
Tujuan dari evaluasi kesenjangan ini adalah (1).Untuk
menentukan apakah program perlu diperbaiki, dipertahankan
15
atau dihentikan.(2).Untuk mengidentifikasi kelemahan (sesuai
dengan standard yang dipilih) dan untuk mengambil tindakan
perbaikan dengan penghentian program sebagai pilihan
terakhir (3).Langkah Langkah dalam Evaluasi Kesenjangan
Langkah langkah atau tahap tahap yang dilalui dalam
mengevaluasi kesenjangan adalah sebagai berikut:
Pertama: Tahap Penyusunan Desain (Definisi). Dalam
tahap ini dilakukan kegiatan merumuskan desain program
yang terdiri dari input,proses dan ouput dengan variabel-
variabelnya antara lain: peserta didik/siswa, tenaga pendidik,
kurikulum, kegiatan pembelajaran, sarana prasarana,
pemberdayaan masyarakat. Lalu merumuskan standar dalam
bentuk rumusan/ kriteria yang dapat diukur, biasanya dalam
langkah ini evaluator berkonsultasi dengan pengembang
program.
Tujuan evaluasi pada tahap ini adalah untuk
mendapatkan desain program dan untuk menilai desain
tersebut sesuai dengan kelengkapan dan konsistensi
internalnya.Standar untuk membuat penilaian pada tahap 1
ini adalah “Kriteria Desain” atau Desain Standar.Oleh karena
itu pada tahap ini harus ditentukan terlebih dahulu Kriteria
Desain atau desain standarnya.
Tabel 2.1 Kriteria Desain/Desain Standar
INPUT PROSES OUTPUT
A. Variabel-variabel:
1. Peserta Didik/siswa
2. Kurikulum
3. Tenaga Pendidik
4. Kegiatan
Pembelajaran
A. Variabel-variabel :
1. Kegiatan belajar
siswa
2. Kegiatan mengajar
pendidik
3. Kontribusi
A. Variabel-variabel:
1. Variabel Siswa
2. Variabel Tenaga
Pendidik
3. Variabel
Masyarakat/orang
16
5. Sarana Prasarana
6. Pemberdayaan
Masyarakat/orang
tua/komite
masyarakat/ orang
tua/komite
tua/komite
B. Menetapkan Kriteria
masing-masing variabel
B.Menetapkan
Kriteria masing-
masing variabel
B. Menetapkan tujuan
akhir/ goals dari
masing-masing variabel
di atas.
Sumber: Malcolm (1969)
Kedua, tahap penetapan kelengkapan program
(Instalasi). Yaitu melihat apakah kelengkapan yang tersedia
sudah sesuai dengan yang diperlukan atau belum.Dan yang
akan dievaluasi tahap ini adalah ketepatan berbagai sumber
daya/perlengkapan yang tersedia untuk pelaksanaan program
pendidikan inklusif slow learners. Desain pada tahappertama
menjadi standar untuk menilai pengoperasian program.
Dalam membuat perbandingan antara instalasi program
dengan program standar, evaluator melakukan perbandingan
komponen demi komponen denganprogram standar, yang
disebut tes kongruensi.Hal ini perlu untuk meyakinkan bahwa
program telah diinstal sesuai dengan rancangan yang
ditetapkan.Jika ditemukan kesenjangan maka ada 2 pilihan
yaitu memodifikasi desain program atau memodifikasi
instalasi program (program pelaksana).Setelah instalasi
program sudah cukup stabil, maka dilanjutkan ke tahap
berikutnya.
Ketiga, Tahap Proses.Tahap ini juga disebut tahap
“mengumpulkan data dari pelaksanaan program”.Pada tahap
proses, evaluasi difokuskan pada upaya bagaimana
memperoleh data tentang kemajuan peserta program pada
saat pembelajaranuntuk menentukan apakah perilakunya
berubah sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Jika
17
ternyata tidak, artinya terdapat kesenjangan dan perlu
dilakukan perubahan terhadap aktifitas-aktifitas yang
diarahkan untuk mencapai tujuan perubahan perlaku
tersebut.
Keempat, Tahap pengukuran tujuan (Produk).Yakni
tahap mengadakan analisis data dan menetapkan tingkat
output/keluaran yang diperoleh.Pertanyaan yang diajukan
dalam tahap ini adalah “apakah program sudah mencapai
tujuan terminalnya?”.Selama tahap produk, penilaian
dilakukan untuk menentukan apakah tujuan akhir program
tercapai atau tidak.
(S)
Program
Standar
(P)
Program
Pelaksana
(S)
Program
Standar
(I)
Input
(O)
Output
(O)
Output
(T)
Tujuan
Terminasi
PROSES
Tahap I Tahap II
Tahap IV
Tahap III
18
KETERANGAN :
Tahap I : Menetapkan Program Standar (S) dengan menentukan
Kriteria desain.
TahapII :Melakukan perbandingan antara Program Pelaksana(P)
dengan Program standar (S) melalui tes kongruensi, jika
terjadi kesenjangan, dilakukan modifikasi program standar
atau program pelaksana
Tahap III : Melakukan perbandingan sebab akibat, apakah input (I)
berubah menjadi Output (O) melalui proses? Jika ada
kesenjangan, dilakukan perbaikan proses.
Tahap IV : Apakah Output (O) yang dihasilkan sudah mencapai tujuan
terminasinya (T)?
2.2 Pendidikan Inklusif
2.2.1. Pengertian
Pendidikan inklusif adalah suatu filosofi pendidikan
dan sosial.Dalam pendidikan inklusif, semua orang adalah
bagian yang berharga dalam kebersamaan, apapun perbedaan
mereka. Pendidikan inklusif merupakan pendekatan yang
memperhatikan cara mentransformasi system pendidikan,
sehingga dapat merespon keanekaragaman peserta didik yang
memungkinkan guru dan peserta didik merasa nyaman
dengan keaneka ragaman tersebut, serta melihatnya lebih
sebagai suatu tantangan dan pengayaan dalam lingkungan
belajar dari pada melihatnya sebagai suatu problem.
(Kemendiknas, 2013)
Selanjutnya Sapon dan Shevin dalam O’Neil(1995)
mengemukakan tentang pendidikan inklusif adalah sistim
Gambar 2.1 Diagram Evaluasi Discrepancy
19
layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan
khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat biasa dengan
teman-teman seusianya. Sekolah ini menggabungkan semua
murid berkebutuhan khusus dan murid normal di kelas yang
sama.Dan sekolah menyediakan program pendidikan yang
layak dan disesuaikan dengan kemampuan dan
kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan
yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil.
Sekolah inklusif adalah satuan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan bagi semua peserta didik pada
sekolah yang sama tanpa diskriminasi, ramah dan humanis
untuk mengoptimalkan pengembangan potensi semua peserta
didik agar menjadi insan yang berdaya guna dan bermartabat.
Suatu penyelenggaraan pendidikan yang disesuaikan dengan
kebutuhan khusus semua peserta didik, untuk itu sekolah
perlu melakukan berbagai modifikasi dan penyesuaian , mulai
dari kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan
kependidikan, sistem pembelajaran, serta sistem penilaiannya.
2.2.2 Prinsip-prinsip Pengelolaan Pendidikan Inklusif
Dalam Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan
Pengelolaan Inklusif sesuai Permendiknas Nomor 70 Tahun
2009 (Kemendiknas, 2013), pendidikan inklusif didasarkan
pada beberapa prinsip yaitu: (a). Prinsip pemerataan dan
peningkatan mutu.Pendidikan inklusif merupakan salah satu
strategi upaya pemerataan kesempatan memperoleh layanan
pendidikan dan peningkatan mutu, karena terjangkau oleh
layanan pendidikan lainnya, dan karena metodologi
pembelajaran yang bervariasi.(b). Prinsip kebutuhan
individual.Pendidikan harus diusahakan untuk disesuaikan
20
dengan kondisi anak oleh karena setiap anak mempunyai
kemampuan dan kebutuhan yang berbeda-beda. (c). Prinsip
kebermaknaan. Pendidikan inklusif harus menciptakan dan
menjaga komunitas kelas yang ramah,menerima keragaman
dan menghargai perbedaan-perbedaan serta bermakna bagi
kemandirian peserta didik. (d). Prinsip
keberlanjutan.Pendidikan inklusif diselenggarakan secara
berkelanjutan pada semua jenjang pendidikan. (e). Prinsip
keterlibatan.Penyelenggaraan pendidikan inklusif harus
melibatkan seluruh komponen pendidikan yang terkait.
2.2.3 Implikasi Manajerial Pendidikan Inklusif
Dalam rangka mengoptimalkan pendidikan inklusif,
mengutip dokumen Dirjen Pendidikan Dasar Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan bahwa
penyelenggara pendidikan inklusif perlu memperhatikan hal-
hal berikut: (a). Sekolah harus menerapkan sistem manajemen
berbasis sekolah dalam perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, pengorganisasian, pengawasan dan
pengevaluasian, dalam hal yang berkaitan dengan peserta
didik, kurikulum, ketenagaan, sarana prasarana, serta
lingkungan. (b). Sekolah menyediakan kondisi kelas yang
hangat, ramah, menerima keanekaragaman, dan menghargai
perbedaan. (c). Sekolah menyiapkan sistem pengelolaan kelas
yang mampu mengakomodasi heterogenitas kebutuhan
khusus peserta didik. (d). Guru memiliki kompetensi
pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus. (e).
Guru memiliki kemampuan dalam mengotimalkan peran
orang tua, tenaga profesiona, organisasi profesi, lembaga
21
swadaya masyarakat (LSM) dan komite sekolah dalam
kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
pembelajaran di sekolah(Dirjen Kemendiknas, 2013)
2.3 Pengertian Slow Learner
Slow learner atau anak lambat belajar adalah mereka
yang memiliki prestasi belajar di bawah standar (di bawah
rata-rata anak normal) yaitu skor IQ antara 70 sampai 90
(Cooter & Cooter Jr,2004; Wiley,2007). Dengan kondisi seperti
ini, kemampuan belajarnya lebih lambat dibandingkan teman
sebayanya. Siswa slow learner ini membutuhkan waktu yang
lebih lama dibandingkan siswa lain yang memiliki taraf
intelektual yang sama. Siswa seperti ini tidak di golongkan
sebagai murid yang memiliki keterlambatan mental, karena
dia dapat mencapai hasil belajar yang cukup memadai
kendatipun pada tingkat yang lebih rendah dari pada murid-
murid yang memiliki kemampuan normal atau sedang.
2.3.1Karakteristik Slow Learner
Anak yang mengalami kelambanan belajar (Slow
Learner) mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1).
Kemampuan kognisinya hanya di bawah level normal. (2).
Cenderung tidak matang dalam hubungan interpersonal. (3).
Kesulitan dalam mengikuti petunjuk-petunjuk yang memiliki
banyak langkah. (4). Memiliki sedikit strategi internal, seperti
kemampuan organisasional,
kesulitan dalam belajar dan menggeneralisasikan informasi.
(5). Nilai-nilainya biasanya buruk dalam tes prestasi belajar.
(6). Dapat bekerja dengan baik dalam hand-on materials, yaitu
22
materi-materiyangtelah dipersingkat dan diberikan pada anak,
seperti kegiatandi laboratorium dan kegiatan manipulatif. (7).
Self-image yang buruk. (8). Menguasai keterampilan dengan
lambat, beberapa kemampuan bahkan samasekali tidak dapat
dikuasai. (9). Memiliki daya ingat yang memadai, tetapi
mereka lambat mengingat. (10). Rata-rata prestasi belajarnya
selalu rendah (kurang dari 6). (11). Dalam menyelesaikan
tugas-tugas akademik sering terlambat dibandingkanteman-
teman seusianya. (12). Daya tangkap terhadap pelajaran
lambat.
2.3.2 Penyebab terjadinya kelambanan belajar/slow
learner
Menurut Geddes (1981) penyebab terjadinya
kesulitan/kelambanan belajar adalah faktor organ tubuh
(organically based etologies) dan lingkungan (environtmentally
based etologies). Sementara menurut (Hallahan
&Kauffman,1991) ada 3faktor penyebabnyafaktor organik dan
biologi, Faktor genetika dan faktor lingkungan.
Penyebab dari faktor organ tubuh Geddes(1981) adalah
sebagai berikut: (1). Minimal disfungsi otak. Kegiatan otak
yang berada di bawah optimal tidak terjadi dikarenakan
adanya cedera pada struktur lapisan luar otak. (2). Faktor
patologis terjadinya disfungsi otak, disebabkan adanya kondisi
seperticerebral hemorrhage, penyakit, luka akibat kecelakaan
pada kepala, kelahiran premature, anoxia (kelangkaan
oksigen), ketidak sesuaian factor Rh, kecacatan bawaan, dan
23
faktor-faktor genetika. (3).Hubungan diantara tipe-tipe
disfungsi otak ketrampilan neural di bawah optimal
menyebabkan terjadinya masalah/hambatan pada daerah
cerebral berkaitan dengan manifestasi tanda-tanda yang
bersifat neurologis halus. (4). Hubungan disfungsi otak dan
kelainan belajar anak dimungkinkan dengan gejala disfungsi
otak tetapi tidak terdeteksi mempunyai ketidakmampuan
belajar.
Sedangkan penyebab atas faktor lingkungan
(Geddes,1981) meliputihal-halsebagai berikut: (1). Pengaruh
gangguan emosional. Indikasinya adalah anak dengan
masalah-masalah emosional cenderung mempunyai
kelemahan dalam persepsi,bicara, dan mata pelajaran
akademik (Myers & Hammil,1976). (2). Pengalaman-
pengalaman yang tidak memadai yang diperoleh
sebelumnya.Diperlukan adanya peningkatan dalam proses
sensori motor untuk meningkatkan ketrampilan-ketrampilan
perceptual. (3). Kehilangan lingkungan (Kauffman &
Hallahan,1976). Kecenderungan kehilangan lingkungan bagi
anak akan menimbulkan masalah belajar,kegiatan belajar
yang sangat rendah.Menurut Hallahan & Kauffman (1991)
faktor genetika menunjukkan bahwa keturunan sebagai
penyebab terjadinya kelambanan belajar, khususnya pada
hambatan membaca. Sedangkan faktor lingkungan menurut
Hallahan & Kauffman (1991) yang menyebabkan masalah
kelambanan belajar adalah kekurangan penanganan belajar
(poor teaching).
2.3.3 Teknik Bimbingan untuk Anak Slow Learner
24
Teknik yang dimaksudkan untuk menangani siswa slow
learner tersebut akan mengarah pada unsur-unsur yang
berhubungan dengan: (1). Pengembangan ranah
kognitif/intelektual. Pada pengembangan ini guru
menyediakan rentangan pengalaman belajar yang luas serta
dapat diamati atau nyata.Pengelolahan bahan dan tugas ajar
secara khusus yang di dasarkan pada kurikulum yang ada
merupakan hal yang harus dilakukan guru dalam
memberikan pelayanan optimal bagi siswa lambat
belajar/slow learner.(2). Pengembangan ranah afektif. Pendidik
diharapkan memahami pikiran dan harapan anak yang ada
pada dirinya serta kemungkinan pemenuhannya di dalam
sikap kehidupan berkelompok. (3). Pengembangan ranah
fisik.Pendidik diharapkan memberikan layanan yang dapat
memberikan kemungkinan siswa memperoleh pengalaman
memadukan pola perkembangan berpikir dengan
perkembangannya dan memberikan peran-peran yang sesuai
di dalam kelompoknya. (4). Pengembangan ranah
intuitif.Fungsi intuitif merupakan fungsi yang terlibat di dalam
pemunculan wawasan dan tindakan kreatif.Mengingat
fungsinya itu, maka layanan bagi siswa yang lambat belajar
perlu memperdulikan pengembangan pengalaman yang
mendorong dia untuk berimajinasi dan berkreasi (dalam
tingkat yang sederhana). (5). Pengembangan ranah
masyarakat. Pemberian layanan dapat dilakukan dengan
membantu siswa memperoleh pengalaman mengembangkan
diri menjadi anggota kelompok,serta mampu berpartisipasi
dalam proses kelompok memperluas perasaan keanggotaan
masyarakat. Memperluas identifikasi diri dari masyarakat
terbatas ke arah identifikasi terhadap masyarakat
25
luas.Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan merancang
kegiatan-kegiatan kelompok khusus.(Sutrisno,1995)
2.4 Standar Program Pendidikan InklusifSlow
Learner
Dalam pengelolaan pendidikan inklusif sesuai
Kemendikbud (2013) maka ada 6 komponen input yang perlu
diperhatikan untuk dijadikan acuan atau standar Program
Pendidikan Inklusif.
2.4.1. Komponen input
2.4.1.1. Peserta Didik
Kriteria standar untuk peserta didik pada program
pendidikan inklusif adalah sesuai prosedur di bawah ini:
a. Sasaran
Peserta didik di sekolah inklusif terdiri dari peserta didik
normal/biasa dan peserta didik berkebutuhan khusus yaitu
peserta didik yang memiliki kelainan fisik,
emosional,mental,sosial atau memiliki potensial kecerdasan
dan/atau bakat istimewa. Peserta didik yang dikategorikan
berkebutuhan khusus antara lain: tuna netra, tuna rungu,
tuna wicara, tuna grahita,tuna daksa,tuna laras, berkesulitan
belajar, lamban belajar (slow learner),autis, memiliki gangguan
motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba, dll serta
peserta didik yang memilikik potensial kecerdasan dan/atau
bakat istimewa.
b. Identifikasi
Identifikasi adalah proses penyaringan (screening) untuk
menentukan jenis kebutuhan khusus peserta didik. Kegiatan
identifikasi dapat dilakukan oleh guru atau professional
26
terkait dengan menggunakan alat/instrumentasi standar
maupun non satndar yang dikembangkan oleh guru atau
profesional terkait tersebut.
Tujuan identifikasi adalah untuk penjaringan (screening),
pengalihtangan (referal), klasifikasi, perencanaan
pembelajaran dan pemantauan kemajuan belajar.
c. Assessment
Assessment adalah tindakan untuk mengetahui kondisi
peserta didik meliputi aspek: potensi, kompetensi, dan
karakteristik peserta didik dalam rangka penentuan program
pendidikan atau intervensi untuk mengembangkan semua
potensi yang dimilikinya. Juga asesmen dimaksudkan untuk
mengetahui keunggulan dan hambatan belajar siswa,
sehingga diharapkan program yang disusun akan benar-benar
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan belajarnya. Dalam
pelaksanaannya perlu melibatkan tenaga ahli seperti psikolog,
dokter, dan profesi spesifik yang terkait.Dalam konteks
pembelajaran dan layanan kekhususan hasil asesmen dapat
digunakan untuk menetapkan kemampuan awal peserta didik
sebelum memperoleh layanan pendidikan maupun intervensi
kekhususan yang diperlukan.
2.4.1.2Kurikulum
Kurikulum yang dipergunakan dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif pada dasarnya menggunakan kurikulum
standar nasional yang berlaku di sekolah umum. Namun bagi
siswa slow learner maka implementasinya perlu disesuaikan
atau dimodifikasi /diselaraskan sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Modifikasi kurikulum
dilakukan oleh tim pengembang kurikulum di sekolah. Tim
27
pengembang kurikulum ini terdiri dari : kepala sekolah, guru
kelas, guru mata pelajaran, guru pembimbing khusus,
konselor, psikolog dan ahli lain yang terkait. Modifikasi terjadi
pada 4 komponen utama pembelajaran yaitu: tujuan, materi,
proses dan evaluasi.
Modifikasi tujuan berarti tujuan pembelajaran
kurikulum standar nasional diubah dan disesuaikan dengan
kondisi peserta didik slow learner.Sehingga peserta didik
berkebutuhan khusus mempunyai rumusan kompetensi yang
berbeda dengan peserta didik regular.
Modifikasi isi/ materi artinya merubah materi
pembelajaran peserta didik regular untuk disesuaikan dengan
kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus.Sehingga
peserta didik berkebutuhan khusus mendapatkan sajian
materi sesuai dengan kemampuannya.Modifikasi materi
meliputi keleluasaan, kedalaman, dan/atau tingkat kesulitan.
Modifikasi proses berarti kegiatan pembelajaran bagi
peserta didik berkebutuhan khusus berbeda dengan kegiatan
pembelajaran peserta didik regular. Metode atau strategi
pembelajaran yang diterapkan pada peserta didik regular tidak
diterapkan pada peserta didik berkebutuhan khusus.
Modifikasi proses dalam kegiatan pembelajaran meliputi
penggunaan metode mengajar, lingkungan/setting belajar,
waktu, media, sumber belajar, dll.
Modifikasi evaluasi berarti merubah sistem
evaluasi/penilaian untuk disesuaikan dengan kondisi peserta
didik berkebutuhan khusus. Perubahan bisa berkaitan
dengan perubahan dalam soal-soal ujian, perubahan dalam
waktu evaluasi,teknik/cara evaluasi, perubahan criteria
kelulusan, system kenaikan kelas, bentuk rapor, dan ijazah.
28
2.4.1.3Tenaga Pendidik
Tenaga Pendidik adalah pendidik professional yang
mempunyai tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing,mengarahkan, melatih, menilai dan
mengevaluasi peserta didik pada satuan pendidikan tertentu
yang melaksanakan program inklusif. Tenaga pendidik ini
meliputi: guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru
pembimbing khusus (GPK).
a. Guru Kelas
Adalah pendidik dan pengajar pada kelas tertentu di
sekolh inklusif dengan tugas utama: (1). Menciptakan iklim
belajar yang kondusif sehingga anak-anak merasa nyaman
belajar di kelas/sekolah. (2). Menyusun dan melaksanakan
asesmen akademik dan non akademik pada semua anak
untuk mengetahui kemampuan dan kebutuhannya bersama
Guru Pembimbing Khusus (GPK). (3). Menyusun rencana
pembelajaran /program pembelajaran individual (PPI)
bersama-sama dengan GPK (4).Melaksanakan kegiatan
pembelajaran , penilaian dan tindak lanjut sesuai dengan
rencana pembelajaran yang telah ditetapkan. (5). Memberikan
program pembelajaran remedial pengayaan sesuai dengan
kebutuhan peserta didik.
b. Guru Mata Pelajaran
Adalah guru yang mengajar mata pelajaran tertentu
sesuai kualifasi yang dipersyaratkan. Tugas guru mata
pelajaran adalah: (1). Menciptakan iklim belajar yang kondusif
sehingga anak-anak merasa nyaman belajar di kelas/sekolah.
(2). Menyusun dan melaksanakan asesmen akademik pada
semua anak untuk mengetahui kemampuan dan
kebutuhannya. (3). Menyusun rencana pembelajaran
29
individual (PPI) bersama GPK. (4). Melaksanakan kegiatan
pembelajaran, penilaian,dan tindak lanjut sesuai dengan
rencana pembelajaran/PPI yang telah ditetapkan. (5).
Memberikan remedi pengajaran bagi peserta yang
membutuhkan.
c. Guru Pembimbing Khusus (GPK)
Adalah guru yang memiliki kompetensi sekurang-
kurangnya S1 Pendidikan Luar Biasa atau kependidikan yang
memiliki kompetensi ke PLB an sesuai tuntutan profesi yang
berfungsi sebagai pendukung guru regular dalam memberikan
pelayanan pendidikan khusus atau intervensi kompensatoris
sesuai kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus di
sekolah inklusif. Tugas pokok GPK adalah (1).Membangun
sistem koordinasi dan kolaborasi antar dan inter tenaga
kependidikan serta masyarakat. (2). Membangun jejaring kerja
antar lembaga (antar jenjang pendidikn, layanan kesehatan,
dunia usaha dll). (3). Menyusun instrument asesmen
akademik dan non akademik bersama guru kelas dan guru
mata pelajaran. (4). Menyusun Program Pembelajaran Indidual
(PPI) bagi peserta didik berkebutuhan khusus bersama guru
kelas dan guru mata pelajaran. (5). Menyusun program
layanan kompesatoris bagi peserta didik. (6). Melaksanakan
pendampingan atau pembelajaran akademik bagi peserta didik
berkebutuhan khusus bersama guru kelas dan guru mata
pelajaran. (7). Melaksanakan pembelajaran khusus di ruang
sumber bagi peserta didik berkebutuhan khusus.
2.4.1.4Pengelolaan dan Kegiatan Pembelajaran
a. Perencanaan Pembelajaran
(1). Guru mengembangkanperangkat pembelajaran (Silabus
dan RPP) dengan mempertimbangkan perbedaan individu
30
(2). Penyusunan perangkat pembelajaran (silabus,RPP,LKS,LP
dan materi) bagi ABKmempertimbangkan hasl asesmen
dan melibatkan pihak-pihak terkait: GPK, psikolog,
dokter, orang tua dan lainnya.
b. Pelaksanaan Pembelajaran
(1). Guru mengorganisasi kelas sesuai kebutuhan peserta
didik dalam setting kelas inklusif.
(2). Guru menyampaikan pembelajaran mengacu pada standar
proses (elaborasi, eksplorasi, konfirmasi) dengan
menerapkan strategi yang variatif sesuai kebutuhan didik
yang beragam.
(3). Guru menggunakan media pembelajaran yang bervariasi
sesuai kebutuhan peserta didik.
(4). Guru memberikan tugas-tugsa dan lembar kerja siswa
yang beragam sesuai dengan kebutuhan siswa.
(5). Guru melakukan penilaian proses dan hasil belajar yang
beragam serta berkesinambungan dengan prinsip
fleksibilitas.
c. Evaluasi/Penilaian
Prosedur penilaian meliputi penilaian: tertulis, sikap,
kinerja/produk, portofolio, projek, dan unjuk kerja
(performance). Model evaluasi/penilaian sekolah inklusif harus
disesuaikan dengan jenis kurikulum yang dipergunakan
(kurikulum standar atau akomodatif). Gambaran model
penilaian di sekolah inklusif seperti pada tabel di bawah ini:
31
Tabel 2.2 Model Penilaian Sekolah Inklusi
No JENIS KURIKULUM PESERTA DIDIK EVALUASI
1
Kurikulum Standar
Nasional
Peserta didik umum dan
ABK
yang memiliki potensi
kecerdasan rerata dan di
atas rerata
1. Tanpa Modifikasi
2. Modifikasi sesuai
dengan jenis kelainan
peserta didik
2 Kurikulum akomodatif Peserta didik ABK Disesuaikan dengan
jenis dan tingkat
kemampuan
Sumber : Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan (2013)
2.4.1.5Sarana Prasarana
Sarana dan Prasarana penyelenggara sekolah inklusif
terdiri dari 2 bagian yaitu: sarana prasarana umum dan
sarana prasarana khusus.
a. Sarana dan Prasarana Umum
Sarana dan prasarana yang dibutuhkan di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif tidak berbeda dengan
sarana dan prasarana yang dibutuhkan di sekolah regular
pada umumnya, yaitu: (1). Ruang kelas beserta
perlengkapannya (perabot dan peralatan). (2). Ruang
praktikum (laboratorium) beserta perangkatnya (perabot dan
peralatan). (3). Ruang perpustakaan beserta perangkatnya
(perabot dan peralatan) (4). Ruang serbaguna beserta
perlengkapannya (perabot dan peralatan) (5). Ruang BP/BK
beserta perlengkapannya (perabot dan peralatan) (6). Ruang
UKS berta perangkatnya (perabot dan peralatan) (7). Ruang
32
kepala sekolah, guru, dan tata usaha, beserta
perlengkapannya (perabot dan peralatan) (8). Lapangan
olahraga, beserta peralatannya (perabot dan peralatan) (9).
Toilet (10). Ruang kantin.
b. Sarana Khusus untuk ABK/ Slow Learner
Penentuan sarana khusus untuk setiap jenis kelainan
didasarkan pada skala prioritas artinya mengacu pada kondisi
dan kebutuhan peserta didik. Untuk peserta didik yang
mengalami kesulitan belajar dan slow learner diperlukan
ruang untuk melaksanakan kegiatan assessment dan
remedial. Pada umumnya di sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif cukup disiapkan satu unit ruang sebagai
”Resource Room” atau ruang sumber.
2.4.1.6Pemberdayaan Masyarakat
Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara
sekolah, masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu
pelaksana pendidikan harus memberdayakan masyarakat
agar berpartisipasi dan berperan dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif. Partisipasi dan peran tersebut antara
lain: perencanaan, penyediaan tenaga
ahli/profesional,pengambilan keputusan, pelaksanaan
pembelajaran dan evaluasi, pendanaan,pengawasan dan
penyaluran lulusan. Partisipasi dan peranan ini dapat
dioptimalkan melalui: komite sekolah, dewan pendidikan dan
forum-forum pemerhati pendidikan inklusif.
2.4.2Komponen Proses
Komponen proses pembelajaran untuk mendidik siswa
Inklusif slow learnermeliputi:
33
2.4.2.1 Bimbingan bagi anak dengan masalah
konsentrasi
a. Mengubah cara mengajar dan jumlah materi yang akan
diajarkan.
Siswa yang mengalami masalah perhatian dapat ketinggalan
jika materi yang diberikan terlalu cepat atau jika beban
menumpuk dengan materi yang kompleks. Oleh karena itu,
akan berguna bagi mereka untuk :
Memperlambat laju presentasi materi
Menjaga agar siswa tetap terlibat dengan memberi
pertanyaan pada materi diberikan.
Menggunakan perangkat visul seperti membuat
bagan/skema garis besar materi untuk memberikan
gambaran pada siswa mengenai langkah-langkah atau
bagian-bagian yang diajarkan.
b. Adakan pertemuan dengan siswa.
Siswa mungkin tidak menyadari peranan perhatian dalam
proses pengajaran. Mereka juga tidak menyadari kalau
perhatian merupakan bidang kesulitan tertentu bagi
mereka. Dalam pertemuan ini seorang kita memberikan
penjelasan dengan cara yang tanpa memberikan hukuman
dan tanpa ancaman akan sangat berguna bagi siswa.
c. Membimbing siswa lebih dekat ke proses pengajaran.
Dengan membawa mereka dekat dengan guru secara fisik
akan membawa si anak lebih dekat lepada proses
pengajaran.
d. Memberikan dorongan secara langsung dan berulang-
ulang.
Menggunakan kontak mata ketika pembelajaran
berlangsung itu sangat penting.Dan memberikan
penghargaan atas kehadirannya.Dapat juga dengan
34
penghargaan verbal yang dilakukan dengan tenang, dan
lembut.
e. Mengutamakan ketekunan perhatian daripada kecepatan
menyelesaikan tugas.
Membuat penyesuaian dan jumlah tugas yang harus
diselesaikan maupun waktu yang disediakan untuk
menyelesaikan tugas berdasarkan kemampuan
individuakan sangat membantu dan mendorong bagi
sebagian siswa.
2.4.2.2 Bimbingan bagi anak dengan masalah daya ingat
a. Ajarkan menggunakan highlighting atau menggaris bawahi
dengan penanda, untuk membantu memancing ingatan.
Mereka harus diberi tahu cara memilih tajuk bacaan,
kalimat dan istilah kunci untuk diberi garis bawah atau
tanda dengan highlighter. Kemudian mereview dari bacaan
yang sudah digaris bawahi tadi.
b. Perbolehkan menggunakan alat bantu memori
(memoryaid). Yang mana alat-alat itu bias berfungsi bagi
mereka sebagai alat pengingat dan bias jadi juga sebagai
alat pengajaran.
c. Biarkan siswa yang mengalami masalah sulit mengingat
untuk mengambil tahapan yang lebih kecil dalam
pengajaran.Misalnya dengan membagi tugas-tugas kelas
dan rumah atau dengan memberikan tes kemampuan
penguasaan lebih sering.
d. Ajarkan siswa untuk berlatih mengulang dan
mengingat.Misalnya dengan memberikan tes langsung
setelah pelajaran disampaikan.
35
2.4.2.3 Bimbingan bagi anak dengan masalah kognisi
a. Berikan materi yang dipelajari dalam konteks
“highmeaning”.
Ini berguna untuk untuk mengetahui apakah siswa
memahami arti bacaan mereka atau arti suatu pertanyaan
mengenai materi baru.Pengertian dapat diperkokoh dengan
menggunakan contoh, analogi atau kontras.
b. Menunda ujian akhir dan penilaian.
Perlu memberikan umpan balik dan dorongan yang lebih
sering bagi siswa berkesulitan belajar. Evaluai terhadap
tugas mereka sebagai tambahan pengajaran akan sangat
membantu. Dengan kata lain, suatu kesadaran yang
konstan mengenai siswasiswa ini akan membentuk
kepercayaan diri dan kemampuan mereka. Bagi sebagian
siswa, menunda ujian akhir mereka sampai siswa
menguasai sepenuhnya materi yang dipelajari, mungkin
merupakan cara terbaik.
c. Tempatkan siswa dalam konteks pembelajaran yang “tidak
pernah gagal”.
Siswa lamban belajar seringkali mempunyai sejarah
kegagalan disekolah. Biasanya mereka memiliki perasaan
akan gagal (sense of failing) dalam berbagai hal yang
mereka lakukan. Memutuskan rantai kegagalan dan
menciptakan cipta diri (senseof self) baru bagi siswa ini
merupakan sesuatu yang paling penting bagi guru untuk
melakukannya.Pada setiap tugas atau kemampuan siswa
harus ditarik kembali kepada masalah diman tugas dapat
dilakukan tanpa kegagalan.
36
2.4.2.4 Bimbingan bagi anak dengan masalah sosial dan
Emosional
a. Membuat sistem perhargaan kelas yang dapat diterima
dan dapat diakses.
Siswa yang berkesulitan belajar perlu memahami sistem
penghargaan ini dikelas dan merasa ikut serta di
dalamnya. Jangan sampai siswa yang berkesulitan melajar
merasa “out laws”, mereka yang tidak memilki kesempatan
untuk mendapatkan penghargaan yang diterima siswa
lain. Untuk memahami bagaimana mereka bias
mendapatkan penghargaan yang baik, para siswa disini
perlu diberi pemahaman tentang bagaimana
caramendapatkan keuntungan sosial dari sikap positif dan
hubungan social yang baik dikelas. Beberapa siswa
mungkin ingin pembuktian langsung dikelas.
b. Membentuk kesadaran tentang diri dan orang lain.
Sebagian siswa yang berkesulitan belajar tidak memilki
kesadaran yang jelas pada sikapnya sendiri serta
dampaknya pada orang lain. Membantu siswa ini menjadi
lebih mengenal sikap mereka dan dampaknya pada orang
lain merupakan kesempatan yang berarti bagi
perkembangan sosial dan emosional. Berbicara terbuka
dan penuh perhatian kepada siswa ini mengenai sikapnya
juga dapat menjadi langkah penting dalam membentuk
hubungan yang saling percaya di antara mereka.
c. Mengajarkan sikap positif.
Ketika siswa lamban belajar menjadi lebih sadar terhadap
sikapnya dan mendapat pemahaman yang lebih baik atas
interaksi dengan orang lain, mereka akan merespon
dengan baik intruksi-intruksi tentang cara membentuk
37
hubungan yang baik dan senseofself (citra diri) yang lebih
positif.
d. Minta bantuan
Jika sikap seorang siswa lamban belajar sangat tidak layak
atau sikap negatifnya tetap ada ketika semua cara telah
dicoba, jangan ragu minta bantuan. Cari bantuan pada
teman sejawat disekolah yang mungkin dapat memberikan
bantuan dalam menjelaskan masalah-masalah social dan
emosional, serta mencari solusi mengenai kesulitan
tersebut.Pertolongan ini bisa datang dari psikolog,
konselor, orang tua, guru, dan kepala sekolah. Terpenting
bagi seorang pendidik memahami bahwa minta bantuan
bukan tanda kelemahan atau ketidakmampuan.
2.4.3Komponen Output
Tujuan diselenggarakannya program pendidikan inklusif
di sekolah regular, sesuai dengan Permendiknas Nomor 70
tahun 2009 adalah untuk memberikan kesematan yang
seluas-luasnya dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan
yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif.
Karena itu sesuai dengan tujuannya maka output yang
diharapkan dari program pendidikan inklusif adalah sebagai
berikut:
2.4.3.1 Peserta Didik
Komponen peserta didik yang perlu diperhatikan adalah
(a). mempunyai sikap yang percaya diri dan mandiri (b). dapat
berinteraksi secara aktif dengan teman-teman dan guru (c).
belajar menerima perbedaan dan beradaptasi terhadap
perbedaan itu (d). semua anak mempunyai kemampuan
38
mengikuti pelajaran tanpa melihat kelainan atau
kecacatannya.
2.4.3.2Tenaga Pendidik (Guru)
Komponen tenaga pendidik (guru) yang perlu
diperhatikan adalah pada (a). Mampu melakukan
pembelajaran bagi peserta didik yang memiliki latar belakang
dan kondisi yang beragam. (b). Mampu mengatasi tantangan,
khususnya dalam menangani masalah siswa-siwa slow
learner.(b). Mampu mengembangkan sikap yang positif
terhadap situasi anak yang beragam. (c). Mampu mengaplikasi
gagasan baru, kreatif dan mendorong peserta didik lebih
proaktif.
2.4.3.3 Orang tua dan Masyarakat
Komponen tenaga orang tua dan masyarakat yang
perlu di perhatikan karena (a). Orang tua lebih mengerti
tentang pendidikan bagi anaknya. (b). Orang tua merasa
dihargai dan dianggap mitra dalam memberikan pendidikan
bagi anaknya (c).Masyarakat bangga karena lebih banyak
anak bersekolah dan mengikuti pembelajaran (d).Masyarakat
melihat bahwa potensi masalah sosial seperti kenakalan anak-
anak bisa dikurangi. (e). Anggota masyarakat menjadi terlibat
di sekolah dalam menciptakan hubungan lebih baik antara
sekolah dan masyarakat.
2.5 Penelitian Yang Relevan
39
Penelitian yang relevan di bidang evaluasi pendidikan
inklusif yang dapat dikutip sebagai rujukan bagi penelitian ini
adalah
1. Penelitian yang dilakukan Istiningsih (2005) tentang
“Manajemen Pendidikan Inklusif”. Dalam penelitian
inidiperoleh gambaran bahwa dalam manajemen
rekrutmen/identifikasi anak yang dilakukan oleh para guru
dan para pembimbing khusus bagi anak yang
membutuhkan pelayanan khusus telah memperoleh hasil
yang cukup bagus, manajemen kurikulum yang
memadukan kurikulum reguler yang disesuaikan dengan
mempertimbangkan kondisi anak yang memerlukan
pelayanan khusus, manajemen sumber dana yang
mencakup APBN, subsidi propinsi, subsidi kabupaten dan
subsidi khusus pendidikan inklusif, manajemen pengadaan
dan pembinaan tenaga kependidikan yang terdiri dari guru
kelas biasa/reguler dan guru pembimbing khusus bagi
anak yang memerlukan pelayanan pendidikan khusus yang
tetap mengutamakan pembinaan profesi dan pembinaan
karir, manajemen pengelolaan sarana prasarana yang
mencakup sarana umum dan sarana khusus bagi anak
yang memerlukan pelayanan khusus, manajemen kegiatan
belajar mengajar/perangkat KBM yang mencakup
pembelajaran umum seperti halnya sekolah reguler yang
dipadukan pembelajaran khusus bagi anak yang
memerlukan pelayan pendidikan khusus, serta manajemen
pemberdayaan masyarakat yang dilakukan secara optimal
sehingga diperoleh sinergi kerjasama yang baik antara
pihak sekolah dengan masyarakat.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Terry Irenewaty dan Aman
(2011) tentang “Evaluasi Kebijakan Pendidikan Inklusif di
40
SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta”. Hasil dari penelitian
ini menunjukkan bahwa ada empat kendala dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif yaitu yang pertama
sarana prasarana, keduapsikologi dari guru dan
masyarakat, ketiga penilaian negatif dari masyarakat
terhadap ABK, keempat Kebijakan dari penguasa setempat.
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala kendala
tersebut adalah dengan melakukan sosialisasi ke berbagai
daerah dan tempat tentang pendidikan inklusif sehingga
tidak akanada lagi diskriminasi terhadap ABK.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Haryono (2013), tentang
“Studi Evaluasi Program Pendidikan Inklusif Bagi Anak
Berkebutuhan Khusus di Sekolah Dasar Kabupaten
Pontianak”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
komponen konteks landasan hukum penyelenggaraan
pendidikan inklusif secara jelas dan tegas belum tertuang
dan ditemukan dalam UU Sistem Pendidikan Negara kita.
Dari komponen input menunjukkan input ABK yang
bersekolah jumlahnya cukup besar dibanding populasi
seluruh siswa yang ada. Sedangkan dari komponen proses
menunjukkan kegiatan perencanaan, proses dan evaluasi
pembelajaran untuk setiap aspek yang
dinilai,hasilnyamasuk dalamkategori baik dan cukup baik.
Dan dari komponen produk menunjukkanproduk
perkembangan aspek akademik ABK berdasarkan nilai UAS
dan UN dinilai cukup menggembirakan.
4. Penelitian oleh Fitri Nurcahyani (2013) tentang “Evaluasi
Implementasi Kurikulum di Sekolah Inklusi SDN Mriyunan
Sidayu Gresik” dengan menggunakan model evaluasi CIPP.
Penelitian ini menunjukkan bahwa SDN Mriyunan siap
sebagai penyelenggara inklusi terbukti dari penilaian
41
konteks, masukan (perencanaan), proses pelaksanaan,
hingga evaluasi keterlaksanaannya mencapai 90% yang
dikategorikan sangat baik. Sehingga direkomendasikan
untuk melanjutkan program pendidikan inklusi di SDN
Mriyunan Sidayu Gresik dengan pertimbangan
memperbaiki atau meningkatkan aspek-aspek yang belum
terpenuhi.
5. Penelitian yang dilakukan oleh Preliyano Rosandra
Hitiyahubessy (2014) yang berjudul “Pengembangan Model
Pembelajaran Inklusif Slow Learner di Sekolah Menengah
Pertama Negeri 7 Salatiga” dengan penelitian Riset and
Development (R&D).Hasil pengembangan dalam penelitian
ini yaitu sekolah dapat menggunakan model pembelajaran
kooperatif bagi siswa inklusif slow learner.
Berdasarkan penelitian yang diuraikan diatas, penelitian
yang hendak dilakukan peneliti saat ini adalah menggunakan
analisis evaluatif dengan model evaluasi kesenjangan
(discrepancy model). Penelitian dengan metode kesenjangan ini
digunakan untuk mendeskripsikan besarnya kesenjangan
antara program pendidikan inklusif dalam standard tertentu
yang telah ditentukan, dengan pelaksanaan program yang
diterpakan oleh SDN Pulutan 02 Salatiga.