Bab II Kajian Pustaka -...

32
10 Bab II Kajian Pustaka 2.1 Evaluasi Program Pendidikan Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa Inggris) yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan mempertahankan kata aslinya menjadi “evaluasi”. Suchman (1961,dalam Anderson 1975) memandang evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Definisi lain yang dikemukaan oleh Worthen dan Sander (1973, dalam Anderson 1971) menyatakan evaluasi adalah kegiatan mencari sesuatu yang berharga tentang sesuatu; dalam mencari sesuatu tersebut, juga termasuk mencari informasi yang bermanfaat dalam menilai keberadaan suatu program,produksi, prosedur serta alternatif strategi yang diajukan untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan. Sedangkan menurut Stufflebeam (1971,dalam Fernandes 1984) mengatakan bahwa evaluasi merupakan proses penggambaran,pencarian dan pemberian informasi yang sangat bermanfaat bagi pengambil keputusan.Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Sedangkan Program adalah suatu unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari

Transcript of Bab II Kajian Pustaka -...

10

Bab II

Kajian Pustaka

2.1 Evaluasi Program Pendidikan

Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa Inggris)

yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

dengan mempertahankan kata aslinya menjadi “evaluasi”.

Suchman (1961,dalam Anderson 1975) memandang evaluasi

sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai

beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung

tercapainya tujuan. Definisi lain yang dikemukaan oleh

Worthen dan Sander (1973, dalam Anderson 1971)

menyatakan evaluasi adalah kegiatan mencari sesuatu yang

berharga tentang sesuatu; dalam mencari sesuatu tersebut,

juga termasuk mencari informasi yang bermanfaat dalam

menilai keberadaan suatu program,produksi, prosedur serta

alternatif strategi yang diajukan untuk mencapai tujuan yang

sudah ditentukan. Sedangkan menurut Stufflebeam

(1971,dalam Fernandes 1984) mengatakan bahwa evaluasi

merupakan proses penggambaran,pencarian dan pemberian

informasi yang sangat bermanfaat bagi pengambil

keputusan.Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan

bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan

informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya

informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif

yang tepat dalam mengambil keputusan.

Sedangkan Program adalah suatu unit atau kesatuan

kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari

11

suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang

berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang

melibatkan sekelompok orang. (Arikunto, 2008).

Jadi Evaluasi program adalah suatu unit atau kesatuan

kegiatan yang bertujuan mengumpulkan informasi

tentang realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan,

berlangsung dalam proses yang berkesinambungan, dan

terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok

orang guna pengambilan keputusan.

Evaluasi program bertujuan untuk mengetahui

pencapaian tujuan program yang telah

dilaksanakan.Selanjutnya, hasil evaluasi program digunakan

sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan tindak lanjut

atau untuk melakukan pengambilan keputusan

berikutnya.Manfaat dari evaluasi program dapat berupa

penghentian program, merevisi program, melanjutkan

program, dan menyebarluaskan program.

Pada kontek evaluasi program pendidikan, dapat

dijelaskan bahwa evaluasi dimaksudkan untuk mengetahui

tingkat keberhasilan atau kegagalan suatu program

pendidikan, dan hasil evaluasi dapat dijadikan informasi

sebagai masukan untuk menentukan tindak lanjut dari

program yang sedang atau telah dilaksanakan.

2.1.1 Model Evaluasi Program Pendidikan

Menurut Kaufan dan Thomas dalam Arikunto

(2010),terdapat berbagai model evaluasi program yang dapat

dibedakan menjadi delapan kategori, yaitu:

1. Goal Oriented Evaluation Model, dikembangkan oleh Tyler.

Objek pengamatan model ini adalah tujuan dari

12

program. Evaluasi dilaksanakan berkesinambungan, terus-

menerus untuk mengetahui ketercapaian pelaksanaan

program.

2. Goal Free Evaluation Model, dikembangkan oleh Scriven.

Dalam melaksanakan evaluasi tidak memperhatikan

tujuan khusus program, melainkan bagaimana

terlaksananya program dan mencatat hal-hal yang positif

maupun negatif.

3. Formatif Summatif Evaluation Model, dikembangkan oleh

M.Scriven. Model evaluasi ini dilaksanakan ketika program

masih berjalan (evaluasi formatif) dan ketika program

sudah selesai (evaluasi sumatif).

4. Countenance Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake.

Model ini juga disebut model evaluasi pertimbangan.

Maksudnya evaluator mempertimbangkan program dengan

memperbandingkan kondisi hasil evaluasi program dengan

yang terjadi di program lain, dengan objek sasaran yang

sama dan membandingkan kondisi hasil pelaksanaan

program dengan standar yang ditentukan oleh program

tersebut.

5. Responsive Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake.

Model ini tidak banyak penjelasannya karena model ini

kurang populer.

6. SSE-UCLA Evaluation Model,Model ini meliputi empat

tahap, yaitu:

a. Needs assessment, memusatkan pada penentuan

masalah hal-hal yang perlu dipetimbangkan dalam

program, kebutuhan uang dibutuhkan oleh program,

dan tujuan yang dapat dicapai.

13

b. Program planning, perencanaan program dievaluasi

untuk mengetahui program disusun sesuai analisis

kebutuhan atau tidak.

c. Formative evaluation, evaluasi dilakukan pada

saat program berjalan.

d. Summative program, evaluasi untuk mengetahui hasil

dan dampak dari program serta untuk mengetahui

ketercapaian program.

7. CIPP Evaluation Model (ContextInput Process Product), oleh

Stufflebeam, yang terdiri dari:

a. EvaluasiKonteks

Evaluasi konteks adalah evaluasi terhadap kebutuhan,

tujuan pemenuhan dan karakteristik individu yang

menangani.Seorang evaluator harus sanggup

menentukan prioritas kebutuhan dan memilih tujuan

yang paling menunjang kesuksesan program.

b. EvaluasiMasukan

Evaluasi masukan mempertimbangkan kemampuan

awal atau kondisi awal yang dimiliki oleh institusi untuk

melaksanakan sebuah program.

c. Evaluasi Proses

Evaluasi proses diarahkan pada sejauh mana program

dilakukan dan sudah terlaksana sesuai dengan

rencana.

d. Evaluasi Hasil

Ini merupakan tahap akhir evaluasi dan akan diketahui

ketercapaian tujuan, kesesuaian proses dengan

pencapaian tujuan, dan ketepatan tindakan yang

diberikan, dan dampak dari program.

8. Discrepancy Model, oleh Malcolm Provus

14

Model ini dipakai untuk mengetahui kesenjangan yang

terjadi pada setiap komponen program.Evaluasi

kesenjangan dimaksudkan untuk mengetahui tingkat

kesesuaian antara standar yang sudah ditentukan dalam

program dengan penampilan aktual dari program tersebut.

Model yang terakhir ini yaitu DiscrepancyModelyang oleh

peneliti akan dibahas lebih lanjut secara lebih

mendalam.Alasannya adalah model ini akan digunakan

oleh peneliti untuk melakukan evaluasi program

pendidikan inklusif slow learnerdi SD Negeri Pulutan 02

Salatiga.

2.1.2Discrepancy Evaluation Model

Pengertian kata discrepancy diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia menjadi “kesenjangan”. Model ini

dikembangkan oleh Malcolm Provus dan merupakan model

yang menekankan pada pandangan adanya kesenjangan di

dalam pelaksanaan program.Evaluasi program yang dilakukan

oleh evaluator mengukur besarnyakesenjangan yang ada di

setiap komponen (Suharsimi, 2010).

Evaluasi kesenjangan dimaksudkan untuk mengetahui

tingkat kesesuaian atau kesenjangan antara standar yang

sudah ditentukan dalam program dengan penampilan aktual

dari program tersebut.Standar adalah: kriteria yang telah

dikembangkan dan ditetapkan dengan hasil yang efektif.

Penampilan adalah: sumber, prosedur, dan hasil nyata yang

tampak ketika program dilaksanakan.

Tujuan dari evaluasi kesenjangan ini adalah (1).Untuk

menentukan apakah program perlu diperbaiki, dipertahankan

15

atau dihentikan.(2).Untuk mengidentifikasi kelemahan (sesuai

dengan standard yang dipilih) dan untuk mengambil tindakan

perbaikan dengan penghentian program sebagai pilihan

terakhir (3).Langkah Langkah dalam Evaluasi Kesenjangan

Langkah langkah atau tahap tahap yang dilalui dalam

mengevaluasi kesenjangan adalah sebagai berikut:

Pertama: Tahap Penyusunan Desain (Definisi). Dalam

tahap ini dilakukan kegiatan merumuskan desain program

yang terdiri dari input,proses dan ouput dengan variabel-

variabelnya antara lain: peserta didik/siswa, tenaga pendidik,

kurikulum, kegiatan pembelajaran, sarana prasarana,

pemberdayaan masyarakat. Lalu merumuskan standar dalam

bentuk rumusan/ kriteria yang dapat diukur, biasanya dalam

langkah ini evaluator berkonsultasi dengan pengembang

program.

Tujuan evaluasi pada tahap ini adalah untuk

mendapatkan desain program dan untuk menilai desain

tersebut sesuai dengan kelengkapan dan konsistensi

internalnya.Standar untuk membuat penilaian pada tahap 1

ini adalah “Kriteria Desain” atau Desain Standar.Oleh karena

itu pada tahap ini harus ditentukan terlebih dahulu Kriteria

Desain atau desain standarnya.

Tabel 2.1 Kriteria Desain/Desain Standar

INPUT PROSES OUTPUT

A. Variabel-variabel:

1. Peserta Didik/siswa

2. Kurikulum

3. Tenaga Pendidik

4. Kegiatan

Pembelajaran

A. Variabel-variabel :

1. Kegiatan belajar

siswa

2. Kegiatan mengajar

pendidik

3. Kontribusi

A. Variabel-variabel:

1. Variabel Siswa

2. Variabel Tenaga

Pendidik

3. Variabel

Masyarakat/orang

16

5. Sarana Prasarana

6. Pemberdayaan

Masyarakat/orang

tua/komite

masyarakat/ orang

tua/komite

tua/komite

B. Menetapkan Kriteria

masing-masing variabel

B.Menetapkan

Kriteria masing-

masing variabel

B. Menetapkan tujuan

akhir/ goals dari

masing-masing variabel

di atas.

Sumber: Malcolm (1969)

Kedua, tahap penetapan kelengkapan program

(Instalasi). Yaitu melihat apakah kelengkapan yang tersedia

sudah sesuai dengan yang diperlukan atau belum.Dan yang

akan dievaluasi tahap ini adalah ketepatan berbagai sumber

daya/perlengkapan yang tersedia untuk pelaksanaan program

pendidikan inklusif slow learners. Desain pada tahappertama

menjadi standar untuk menilai pengoperasian program.

Dalam membuat perbandingan antara instalasi program

dengan program standar, evaluator melakukan perbandingan

komponen demi komponen denganprogram standar, yang

disebut tes kongruensi.Hal ini perlu untuk meyakinkan bahwa

program telah diinstal sesuai dengan rancangan yang

ditetapkan.Jika ditemukan kesenjangan maka ada 2 pilihan

yaitu memodifikasi desain program atau memodifikasi

instalasi program (program pelaksana).Setelah instalasi

program sudah cukup stabil, maka dilanjutkan ke tahap

berikutnya.

Ketiga, Tahap Proses.Tahap ini juga disebut tahap

“mengumpulkan data dari pelaksanaan program”.Pada tahap

proses, evaluasi difokuskan pada upaya bagaimana

memperoleh data tentang kemajuan peserta program pada

saat pembelajaranuntuk menentukan apakah perilakunya

berubah sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Jika

17

ternyata tidak, artinya terdapat kesenjangan dan perlu

dilakukan perubahan terhadap aktifitas-aktifitas yang

diarahkan untuk mencapai tujuan perubahan perlaku

tersebut.

Keempat, Tahap pengukuran tujuan (Produk).Yakni

tahap mengadakan analisis data dan menetapkan tingkat

output/keluaran yang diperoleh.Pertanyaan yang diajukan

dalam tahap ini adalah “apakah program sudah mencapai

tujuan terminalnya?”.Selama tahap produk, penilaian

dilakukan untuk menentukan apakah tujuan akhir program

tercapai atau tidak.

(S)

Program

Standar

(P)

Program

Pelaksana

(S)

Program

Standar

(I)

Input

(O)

Output

(O)

Output

(T)

Tujuan

Terminasi

PROSES

Tahap I Tahap II

Tahap IV

Tahap III

18

KETERANGAN :

Tahap I : Menetapkan Program Standar (S) dengan menentukan

Kriteria desain.

TahapII :Melakukan perbandingan antara Program Pelaksana(P)

dengan Program standar (S) melalui tes kongruensi, jika

terjadi kesenjangan, dilakukan modifikasi program standar

atau program pelaksana

Tahap III : Melakukan perbandingan sebab akibat, apakah input (I)

berubah menjadi Output (O) melalui proses? Jika ada

kesenjangan, dilakukan perbaikan proses.

Tahap IV : Apakah Output (O) yang dihasilkan sudah mencapai tujuan

terminasinya (T)?

2.2 Pendidikan Inklusif

2.2.1. Pengertian

Pendidikan inklusif adalah suatu filosofi pendidikan

dan sosial.Dalam pendidikan inklusif, semua orang adalah

bagian yang berharga dalam kebersamaan, apapun perbedaan

mereka. Pendidikan inklusif merupakan pendekatan yang

memperhatikan cara mentransformasi system pendidikan,

sehingga dapat merespon keanekaragaman peserta didik yang

memungkinkan guru dan peserta didik merasa nyaman

dengan keaneka ragaman tersebut, serta melihatnya lebih

sebagai suatu tantangan dan pengayaan dalam lingkungan

belajar dari pada melihatnya sebagai suatu problem.

(Kemendiknas, 2013)

Selanjutnya Sapon dan Shevin dalam O’Neil(1995)

mengemukakan tentang pendidikan inklusif adalah sistim

Gambar 2.1 Diagram Evaluasi Discrepancy

19

layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan

khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat biasa dengan

teman-teman seusianya. Sekolah ini menggabungkan semua

murid berkebutuhan khusus dan murid normal di kelas yang

sama.Dan sekolah menyediakan program pendidikan yang

layak dan disesuaikan dengan kemampuan dan

kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan

yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil.

Sekolah inklusif adalah satuan pendidikan yang

menyelenggarakan pendidikan bagi semua peserta didik pada

sekolah yang sama tanpa diskriminasi, ramah dan humanis

untuk mengoptimalkan pengembangan potensi semua peserta

didik agar menjadi insan yang berdaya guna dan bermartabat.

Suatu penyelenggaraan pendidikan yang disesuaikan dengan

kebutuhan khusus semua peserta didik, untuk itu sekolah

perlu melakukan berbagai modifikasi dan penyesuaian , mulai

dari kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan

kependidikan, sistem pembelajaran, serta sistem penilaiannya.

2.2.2 Prinsip-prinsip Pengelolaan Pendidikan Inklusif

Dalam Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan

Pengelolaan Inklusif sesuai Permendiknas Nomor 70 Tahun

2009 (Kemendiknas, 2013), pendidikan inklusif didasarkan

pada beberapa prinsip yaitu: (a). Prinsip pemerataan dan

peningkatan mutu.Pendidikan inklusif merupakan salah satu

strategi upaya pemerataan kesempatan memperoleh layanan

pendidikan dan peningkatan mutu, karena terjangkau oleh

layanan pendidikan lainnya, dan karena metodologi

pembelajaran yang bervariasi.(b). Prinsip kebutuhan

individual.Pendidikan harus diusahakan untuk disesuaikan

20

dengan kondisi anak oleh karena setiap anak mempunyai

kemampuan dan kebutuhan yang berbeda-beda. (c). Prinsip

kebermaknaan. Pendidikan inklusif harus menciptakan dan

menjaga komunitas kelas yang ramah,menerima keragaman

dan menghargai perbedaan-perbedaan serta bermakna bagi

kemandirian peserta didik. (d). Prinsip

keberlanjutan.Pendidikan inklusif diselenggarakan secara

berkelanjutan pada semua jenjang pendidikan. (e). Prinsip

keterlibatan.Penyelenggaraan pendidikan inklusif harus

melibatkan seluruh komponen pendidikan yang terkait.

2.2.3 Implikasi Manajerial Pendidikan Inklusif

Dalam rangka mengoptimalkan pendidikan inklusif,

mengutip dokumen Dirjen Pendidikan Dasar Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan bahwa

penyelenggara pendidikan inklusif perlu memperhatikan hal-

hal berikut: (a). Sekolah harus menerapkan sistem manajemen

berbasis sekolah dalam perencanaan, pengorganisasian,

pengarahan, pengorganisasian, pengawasan dan

pengevaluasian, dalam hal yang berkaitan dengan peserta

didik, kurikulum, ketenagaan, sarana prasarana, serta

lingkungan. (b). Sekolah menyediakan kondisi kelas yang

hangat, ramah, menerima keanekaragaman, dan menghargai

perbedaan. (c). Sekolah menyiapkan sistem pengelolaan kelas

yang mampu mengakomodasi heterogenitas kebutuhan

khusus peserta didik. (d). Guru memiliki kompetensi

pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus. (e).

Guru memiliki kemampuan dalam mengotimalkan peran

orang tua, tenaga profesiona, organisasi profesi, lembaga

21

swadaya masyarakat (LSM) dan komite sekolah dalam

kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi

pembelajaran di sekolah(Dirjen Kemendiknas, 2013)

2.3 Pengertian Slow Learner

Slow learner atau anak lambat belajar adalah mereka

yang memiliki prestasi belajar di bawah standar (di bawah

rata-rata anak normal) yaitu skor IQ antara 70 sampai 90

(Cooter & Cooter Jr,2004; Wiley,2007). Dengan kondisi seperti

ini, kemampuan belajarnya lebih lambat dibandingkan teman

sebayanya. Siswa slow learner ini membutuhkan waktu yang

lebih lama dibandingkan siswa lain yang memiliki taraf

intelektual yang sama. Siswa seperti ini tidak di golongkan

sebagai murid yang memiliki keterlambatan mental, karena

dia dapat mencapai hasil belajar yang cukup memadai

kendatipun pada tingkat yang lebih rendah dari pada murid-

murid yang memiliki kemampuan normal atau sedang.

2.3.1Karakteristik Slow Learner

Anak yang mengalami kelambanan belajar (Slow

Learner) mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1).

Kemampuan kognisinya hanya di bawah level normal. (2).

Cenderung tidak matang dalam hubungan interpersonal. (3).

Kesulitan dalam mengikuti petunjuk-petunjuk yang memiliki

banyak langkah. (4). Memiliki sedikit strategi internal, seperti

kemampuan organisasional,

kesulitan dalam belajar dan menggeneralisasikan informasi.

(5). Nilai-nilainya biasanya buruk dalam tes prestasi belajar.

(6). Dapat bekerja dengan baik dalam hand-on materials, yaitu

22

materi-materiyangtelah dipersingkat dan diberikan pada anak,

seperti kegiatandi laboratorium dan kegiatan manipulatif. (7).

Self-image yang buruk. (8). Menguasai keterampilan dengan

lambat, beberapa kemampuan bahkan samasekali tidak dapat

dikuasai. (9). Memiliki daya ingat yang memadai, tetapi

mereka lambat mengingat. (10). Rata-rata prestasi belajarnya

selalu rendah (kurang dari 6). (11). Dalam menyelesaikan

tugas-tugas akademik sering terlambat dibandingkanteman-

teman seusianya. (12). Daya tangkap terhadap pelajaran

lambat.

2.3.2 Penyebab terjadinya kelambanan belajar/slow

learner

Menurut Geddes (1981) penyebab terjadinya

kesulitan/kelambanan belajar adalah faktor organ tubuh

(organically based etologies) dan lingkungan (environtmentally

based etologies). Sementara menurut (Hallahan

&Kauffman,1991) ada 3faktor penyebabnyafaktor organik dan

biologi, Faktor genetika dan faktor lingkungan.

Penyebab dari faktor organ tubuh Geddes(1981) adalah

sebagai berikut: (1). Minimal disfungsi otak. Kegiatan otak

yang berada di bawah optimal tidak terjadi dikarenakan

adanya cedera pada struktur lapisan luar otak. (2). Faktor

patologis terjadinya disfungsi otak, disebabkan adanya kondisi

seperticerebral hemorrhage, penyakit, luka akibat kecelakaan

pada kepala, kelahiran premature, anoxia (kelangkaan

oksigen), ketidak sesuaian factor Rh, kecacatan bawaan, dan

23

faktor-faktor genetika. (3).Hubungan diantara tipe-tipe

disfungsi otak ketrampilan neural di bawah optimal

menyebabkan terjadinya masalah/hambatan pada daerah

cerebral berkaitan dengan manifestasi tanda-tanda yang

bersifat neurologis halus. (4). Hubungan disfungsi otak dan

kelainan belajar anak dimungkinkan dengan gejala disfungsi

otak tetapi tidak terdeteksi mempunyai ketidakmampuan

belajar.

Sedangkan penyebab atas faktor lingkungan

(Geddes,1981) meliputihal-halsebagai berikut: (1). Pengaruh

gangguan emosional. Indikasinya adalah anak dengan

masalah-masalah emosional cenderung mempunyai

kelemahan dalam persepsi,bicara, dan mata pelajaran

akademik (Myers & Hammil,1976). (2). Pengalaman-

pengalaman yang tidak memadai yang diperoleh

sebelumnya.Diperlukan adanya peningkatan dalam proses

sensori motor untuk meningkatkan ketrampilan-ketrampilan

perceptual. (3). Kehilangan lingkungan (Kauffman &

Hallahan,1976). Kecenderungan kehilangan lingkungan bagi

anak akan menimbulkan masalah belajar,kegiatan belajar

yang sangat rendah.Menurut Hallahan & Kauffman (1991)

faktor genetika menunjukkan bahwa keturunan sebagai

penyebab terjadinya kelambanan belajar, khususnya pada

hambatan membaca. Sedangkan faktor lingkungan menurut

Hallahan & Kauffman (1991) yang menyebabkan masalah

kelambanan belajar adalah kekurangan penanganan belajar

(poor teaching).

2.3.3 Teknik Bimbingan untuk Anak Slow Learner

24

Teknik yang dimaksudkan untuk menangani siswa slow

learner tersebut akan mengarah pada unsur-unsur yang

berhubungan dengan: (1). Pengembangan ranah

kognitif/intelektual. Pada pengembangan ini guru

menyediakan rentangan pengalaman belajar yang luas serta

dapat diamati atau nyata.Pengelolahan bahan dan tugas ajar

secara khusus yang di dasarkan pada kurikulum yang ada

merupakan hal yang harus dilakukan guru dalam

memberikan pelayanan optimal bagi siswa lambat

belajar/slow learner.(2). Pengembangan ranah afektif. Pendidik

diharapkan memahami pikiran dan harapan anak yang ada

pada dirinya serta kemungkinan pemenuhannya di dalam

sikap kehidupan berkelompok. (3). Pengembangan ranah

fisik.Pendidik diharapkan memberikan layanan yang dapat

memberikan kemungkinan siswa memperoleh pengalaman

memadukan pola perkembangan berpikir dengan

perkembangannya dan memberikan peran-peran yang sesuai

di dalam kelompoknya. (4). Pengembangan ranah

intuitif.Fungsi intuitif merupakan fungsi yang terlibat di dalam

pemunculan wawasan dan tindakan kreatif.Mengingat

fungsinya itu, maka layanan bagi siswa yang lambat belajar

perlu memperdulikan pengembangan pengalaman yang

mendorong dia untuk berimajinasi dan berkreasi (dalam

tingkat yang sederhana). (5). Pengembangan ranah

masyarakat. Pemberian layanan dapat dilakukan dengan

membantu siswa memperoleh pengalaman mengembangkan

diri menjadi anggota kelompok,serta mampu berpartisipasi

dalam proses kelompok memperluas perasaan keanggotaan

masyarakat. Memperluas identifikasi diri dari masyarakat

terbatas ke arah identifikasi terhadap masyarakat

25

luas.Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan merancang

kegiatan-kegiatan kelompok khusus.(Sutrisno,1995)

2.4 Standar Program Pendidikan InklusifSlow

Learner

Dalam pengelolaan pendidikan inklusif sesuai

Kemendikbud (2013) maka ada 6 komponen input yang perlu

diperhatikan untuk dijadikan acuan atau standar Program

Pendidikan Inklusif.

2.4.1. Komponen input

2.4.1.1. Peserta Didik

Kriteria standar untuk peserta didik pada program

pendidikan inklusif adalah sesuai prosedur di bawah ini:

a. Sasaran

Peserta didik di sekolah inklusif terdiri dari peserta didik

normal/biasa dan peserta didik berkebutuhan khusus yaitu

peserta didik yang memiliki kelainan fisik,

emosional,mental,sosial atau memiliki potensial kecerdasan

dan/atau bakat istimewa. Peserta didik yang dikategorikan

berkebutuhan khusus antara lain: tuna netra, tuna rungu,

tuna wicara, tuna grahita,tuna daksa,tuna laras, berkesulitan

belajar, lamban belajar (slow learner),autis, memiliki gangguan

motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba, dll serta

peserta didik yang memilikik potensial kecerdasan dan/atau

bakat istimewa.

b. Identifikasi

Identifikasi adalah proses penyaringan (screening) untuk

menentukan jenis kebutuhan khusus peserta didik. Kegiatan

identifikasi dapat dilakukan oleh guru atau professional

26

terkait dengan menggunakan alat/instrumentasi standar

maupun non satndar yang dikembangkan oleh guru atau

profesional terkait tersebut.

Tujuan identifikasi adalah untuk penjaringan (screening),

pengalihtangan (referal), klasifikasi, perencanaan

pembelajaran dan pemantauan kemajuan belajar.

c. Assessment

Assessment adalah tindakan untuk mengetahui kondisi

peserta didik meliputi aspek: potensi, kompetensi, dan

karakteristik peserta didik dalam rangka penentuan program

pendidikan atau intervensi untuk mengembangkan semua

potensi yang dimilikinya. Juga asesmen dimaksudkan untuk

mengetahui keunggulan dan hambatan belajar siswa,

sehingga diharapkan program yang disusun akan benar-benar

sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan belajarnya. Dalam

pelaksanaannya perlu melibatkan tenaga ahli seperti psikolog,

dokter, dan profesi spesifik yang terkait.Dalam konteks

pembelajaran dan layanan kekhususan hasil asesmen dapat

digunakan untuk menetapkan kemampuan awal peserta didik

sebelum memperoleh layanan pendidikan maupun intervensi

kekhususan yang diperlukan.

2.4.1.2Kurikulum

Kurikulum yang dipergunakan dalam penyelenggaraan

pendidikan inklusif pada dasarnya menggunakan kurikulum

standar nasional yang berlaku di sekolah umum. Namun bagi

siswa slow learner maka implementasinya perlu disesuaikan

atau dimodifikasi /diselaraskan sedemikian rupa sehingga

sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Modifikasi kurikulum

dilakukan oleh tim pengembang kurikulum di sekolah. Tim

27

pengembang kurikulum ini terdiri dari : kepala sekolah, guru

kelas, guru mata pelajaran, guru pembimbing khusus,

konselor, psikolog dan ahli lain yang terkait. Modifikasi terjadi

pada 4 komponen utama pembelajaran yaitu: tujuan, materi,

proses dan evaluasi.

Modifikasi tujuan berarti tujuan pembelajaran

kurikulum standar nasional diubah dan disesuaikan dengan

kondisi peserta didik slow learner.Sehingga peserta didik

berkebutuhan khusus mempunyai rumusan kompetensi yang

berbeda dengan peserta didik regular.

Modifikasi isi/ materi artinya merubah materi

pembelajaran peserta didik regular untuk disesuaikan dengan

kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus.Sehingga

peserta didik berkebutuhan khusus mendapatkan sajian

materi sesuai dengan kemampuannya.Modifikasi materi

meliputi keleluasaan, kedalaman, dan/atau tingkat kesulitan.

Modifikasi proses berarti kegiatan pembelajaran bagi

peserta didik berkebutuhan khusus berbeda dengan kegiatan

pembelajaran peserta didik regular. Metode atau strategi

pembelajaran yang diterapkan pada peserta didik regular tidak

diterapkan pada peserta didik berkebutuhan khusus.

Modifikasi proses dalam kegiatan pembelajaran meliputi

penggunaan metode mengajar, lingkungan/setting belajar,

waktu, media, sumber belajar, dll.

Modifikasi evaluasi berarti merubah sistem

evaluasi/penilaian untuk disesuaikan dengan kondisi peserta

didik berkebutuhan khusus. Perubahan bisa berkaitan

dengan perubahan dalam soal-soal ujian, perubahan dalam

waktu evaluasi,teknik/cara evaluasi, perubahan criteria

kelulusan, system kenaikan kelas, bentuk rapor, dan ijazah.

28

2.4.1.3Tenaga Pendidik

Tenaga Pendidik adalah pendidik professional yang

mempunyai tugas utama mendidik, mengajar,

membimbing,mengarahkan, melatih, menilai dan

mengevaluasi peserta didik pada satuan pendidikan tertentu

yang melaksanakan program inklusif. Tenaga pendidik ini

meliputi: guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru

pembimbing khusus (GPK).

a. Guru Kelas

Adalah pendidik dan pengajar pada kelas tertentu di

sekolh inklusif dengan tugas utama: (1). Menciptakan iklim

belajar yang kondusif sehingga anak-anak merasa nyaman

belajar di kelas/sekolah. (2). Menyusun dan melaksanakan

asesmen akademik dan non akademik pada semua anak

untuk mengetahui kemampuan dan kebutuhannya bersama

Guru Pembimbing Khusus (GPK). (3). Menyusun rencana

pembelajaran /program pembelajaran individual (PPI)

bersama-sama dengan GPK (4).Melaksanakan kegiatan

pembelajaran , penilaian dan tindak lanjut sesuai dengan

rencana pembelajaran yang telah ditetapkan. (5). Memberikan

program pembelajaran remedial pengayaan sesuai dengan

kebutuhan peserta didik.

b. Guru Mata Pelajaran

Adalah guru yang mengajar mata pelajaran tertentu

sesuai kualifasi yang dipersyaratkan. Tugas guru mata

pelajaran adalah: (1). Menciptakan iklim belajar yang kondusif

sehingga anak-anak merasa nyaman belajar di kelas/sekolah.

(2). Menyusun dan melaksanakan asesmen akademik pada

semua anak untuk mengetahui kemampuan dan

kebutuhannya. (3). Menyusun rencana pembelajaran

29

individual (PPI) bersama GPK. (4). Melaksanakan kegiatan

pembelajaran, penilaian,dan tindak lanjut sesuai dengan

rencana pembelajaran/PPI yang telah ditetapkan. (5).

Memberikan remedi pengajaran bagi peserta yang

membutuhkan.

c. Guru Pembimbing Khusus (GPK)

Adalah guru yang memiliki kompetensi sekurang-

kurangnya S1 Pendidikan Luar Biasa atau kependidikan yang

memiliki kompetensi ke PLB an sesuai tuntutan profesi yang

berfungsi sebagai pendukung guru regular dalam memberikan

pelayanan pendidikan khusus atau intervensi kompensatoris

sesuai kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus di

sekolah inklusif. Tugas pokok GPK adalah (1).Membangun

sistem koordinasi dan kolaborasi antar dan inter tenaga

kependidikan serta masyarakat. (2). Membangun jejaring kerja

antar lembaga (antar jenjang pendidikn, layanan kesehatan,

dunia usaha dll). (3). Menyusun instrument asesmen

akademik dan non akademik bersama guru kelas dan guru

mata pelajaran. (4). Menyusun Program Pembelajaran Indidual

(PPI) bagi peserta didik berkebutuhan khusus bersama guru

kelas dan guru mata pelajaran. (5). Menyusun program

layanan kompesatoris bagi peserta didik. (6). Melaksanakan

pendampingan atau pembelajaran akademik bagi peserta didik

berkebutuhan khusus bersama guru kelas dan guru mata

pelajaran. (7). Melaksanakan pembelajaran khusus di ruang

sumber bagi peserta didik berkebutuhan khusus.

2.4.1.4Pengelolaan dan Kegiatan Pembelajaran

a. Perencanaan Pembelajaran

(1). Guru mengembangkanperangkat pembelajaran (Silabus

dan RPP) dengan mempertimbangkan perbedaan individu

30

(2). Penyusunan perangkat pembelajaran (silabus,RPP,LKS,LP

dan materi) bagi ABKmempertimbangkan hasl asesmen

dan melibatkan pihak-pihak terkait: GPK, psikolog,

dokter, orang tua dan lainnya.

b. Pelaksanaan Pembelajaran

(1). Guru mengorganisasi kelas sesuai kebutuhan peserta

didik dalam setting kelas inklusif.

(2). Guru menyampaikan pembelajaran mengacu pada standar

proses (elaborasi, eksplorasi, konfirmasi) dengan

menerapkan strategi yang variatif sesuai kebutuhan didik

yang beragam.

(3). Guru menggunakan media pembelajaran yang bervariasi

sesuai kebutuhan peserta didik.

(4). Guru memberikan tugas-tugsa dan lembar kerja siswa

yang beragam sesuai dengan kebutuhan siswa.

(5). Guru melakukan penilaian proses dan hasil belajar yang

beragam serta berkesinambungan dengan prinsip

fleksibilitas.

c. Evaluasi/Penilaian

Prosedur penilaian meliputi penilaian: tertulis, sikap,

kinerja/produk, portofolio, projek, dan unjuk kerja

(performance). Model evaluasi/penilaian sekolah inklusif harus

disesuaikan dengan jenis kurikulum yang dipergunakan

(kurikulum standar atau akomodatif). Gambaran model

penilaian di sekolah inklusif seperti pada tabel di bawah ini:

31

Tabel 2.2 Model Penilaian Sekolah Inklusi

No JENIS KURIKULUM PESERTA DIDIK EVALUASI

1

Kurikulum Standar

Nasional

Peserta didik umum dan

ABK

yang memiliki potensi

kecerdasan rerata dan di

atas rerata

1. Tanpa Modifikasi

2. Modifikasi sesuai

dengan jenis kelainan

peserta didik

2 Kurikulum akomodatif Peserta didik ABK Disesuaikan dengan

jenis dan tingkat

kemampuan

Sumber : Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementrian Pendidikan

dan Kebudayaan (2013)

2.4.1.5Sarana Prasarana

Sarana dan Prasarana penyelenggara sekolah inklusif

terdiri dari 2 bagian yaitu: sarana prasarana umum dan

sarana prasarana khusus.

a. Sarana dan Prasarana Umum

Sarana dan prasarana yang dibutuhkan di sekolah

penyelenggara pendidikan inklusif tidak berbeda dengan

sarana dan prasarana yang dibutuhkan di sekolah regular

pada umumnya, yaitu: (1). Ruang kelas beserta

perlengkapannya (perabot dan peralatan). (2). Ruang

praktikum (laboratorium) beserta perangkatnya (perabot dan

peralatan). (3). Ruang perpustakaan beserta perangkatnya

(perabot dan peralatan) (4). Ruang serbaguna beserta

perlengkapannya (perabot dan peralatan) (5). Ruang BP/BK

beserta perlengkapannya (perabot dan peralatan) (6). Ruang

UKS berta perangkatnya (perabot dan peralatan) (7). Ruang

32

kepala sekolah, guru, dan tata usaha, beserta

perlengkapannya (perabot dan peralatan) (8). Lapangan

olahraga, beserta peralatannya (perabot dan peralatan) (9).

Toilet (10). Ruang kantin.

b. Sarana Khusus untuk ABK/ Slow Learner

Penentuan sarana khusus untuk setiap jenis kelainan

didasarkan pada skala prioritas artinya mengacu pada kondisi

dan kebutuhan peserta didik. Untuk peserta didik yang

mengalami kesulitan belajar dan slow learner diperlukan

ruang untuk melaksanakan kegiatan assessment dan

remedial. Pada umumnya di sekolah penyelenggara

pendidikan inklusif cukup disiapkan satu unit ruang sebagai

”Resource Room” atau ruang sumber.

2.4.1.6Pemberdayaan Masyarakat

Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara

sekolah, masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu

pelaksana pendidikan harus memberdayakan masyarakat

agar berpartisipasi dan berperan dalam penyelenggaraan

pendidikan inklusif. Partisipasi dan peran tersebut antara

lain: perencanaan, penyediaan tenaga

ahli/profesional,pengambilan keputusan, pelaksanaan

pembelajaran dan evaluasi, pendanaan,pengawasan dan

penyaluran lulusan. Partisipasi dan peranan ini dapat

dioptimalkan melalui: komite sekolah, dewan pendidikan dan

forum-forum pemerhati pendidikan inklusif.

2.4.2Komponen Proses

Komponen proses pembelajaran untuk mendidik siswa

Inklusif slow learnermeliputi:

33

2.4.2.1 Bimbingan bagi anak dengan masalah

konsentrasi

a. Mengubah cara mengajar dan jumlah materi yang akan

diajarkan.

Siswa yang mengalami masalah perhatian dapat ketinggalan

jika materi yang diberikan terlalu cepat atau jika beban

menumpuk dengan materi yang kompleks. Oleh karena itu,

akan berguna bagi mereka untuk :

Memperlambat laju presentasi materi

Menjaga agar siswa tetap terlibat dengan memberi

pertanyaan pada materi diberikan.

Menggunakan perangkat visul seperti membuat

bagan/skema garis besar materi untuk memberikan

gambaran pada siswa mengenai langkah-langkah atau

bagian-bagian yang diajarkan.

b. Adakan pertemuan dengan siswa.

Siswa mungkin tidak menyadari peranan perhatian dalam

proses pengajaran. Mereka juga tidak menyadari kalau

perhatian merupakan bidang kesulitan tertentu bagi

mereka. Dalam pertemuan ini seorang kita memberikan

penjelasan dengan cara yang tanpa memberikan hukuman

dan tanpa ancaman akan sangat berguna bagi siswa.

c. Membimbing siswa lebih dekat ke proses pengajaran.

Dengan membawa mereka dekat dengan guru secara fisik

akan membawa si anak lebih dekat lepada proses

pengajaran.

d. Memberikan dorongan secara langsung dan berulang-

ulang.

Menggunakan kontak mata ketika pembelajaran

berlangsung itu sangat penting.Dan memberikan

penghargaan atas kehadirannya.Dapat juga dengan

34

penghargaan verbal yang dilakukan dengan tenang, dan

lembut.

e. Mengutamakan ketekunan perhatian daripada kecepatan

menyelesaikan tugas.

Membuat penyesuaian dan jumlah tugas yang harus

diselesaikan maupun waktu yang disediakan untuk

menyelesaikan tugas berdasarkan kemampuan

individuakan sangat membantu dan mendorong bagi

sebagian siswa.

2.4.2.2 Bimbingan bagi anak dengan masalah daya ingat

a. Ajarkan menggunakan highlighting atau menggaris bawahi

dengan penanda, untuk membantu memancing ingatan.

Mereka harus diberi tahu cara memilih tajuk bacaan,

kalimat dan istilah kunci untuk diberi garis bawah atau

tanda dengan highlighter. Kemudian mereview dari bacaan

yang sudah digaris bawahi tadi.

b. Perbolehkan menggunakan alat bantu memori

(memoryaid). Yang mana alat-alat itu bias berfungsi bagi

mereka sebagai alat pengingat dan bias jadi juga sebagai

alat pengajaran.

c. Biarkan siswa yang mengalami masalah sulit mengingat

untuk mengambil tahapan yang lebih kecil dalam

pengajaran.Misalnya dengan membagi tugas-tugas kelas

dan rumah atau dengan memberikan tes kemampuan

penguasaan lebih sering.

d. Ajarkan siswa untuk berlatih mengulang dan

mengingat.Misalnya dengan memberikan tes langsung

setelah pelajaran disampaikan.

35

2.4.2.3 Bimbingan bagi anak dengan masalah kognisi

a. Berikan materi yang dipelajari dalam konteks

“highmeaning”.

Ini berguna untuk untuk mengetahui apakah siswa

memahami arti bacaan mereka atau arti suatu pertanyaan

mengenai materi baru.Pengertian dapat diperkokoh dengan

menggunakan contoh, analogi atau kontras.

b. Menunda ujian akhir dan penilaian.

Perlu memberikan umpan balik dan dorongan yang lebih

sering bagi siswa berkesulitan belajar. Evaluai terhadap

tugas mereka sebagai tambahan pengajaran akan sangat

membantu. Dengan kata lain, suatu kesadaran yang

konstan mengenai siswasiswa ini akan membentuk

kepercayaan diri dan kemampuan mereka. Bagi sebagian

siswa, menunda ujian akhir mereka sampai siswa

menguasai sepenuhnya materi yang dipelajari, mungkin

merupakan cara terbaik.

c. Tempatkan siswa dalam konteks pembelajaran yang “tidak

pernah gagal”.

Siswa lamban belajar seringkali mempunyai sejarah

kegagalan disekolah. Biasanya mereka memiliki perasaan

akan gagal (sense of failing) dalam berbagai hal yang

mereka lakukan. Memutuskan rantai kegagalan dan

menciptakan cipta diri (senseof self) baru bagi siswa ini

merupakan sesuatu yang paling penting bagi guru untuk

melakukannya.Pada setiap tugas atau kemampuan siswa

harus ditarik kembali kepada masalah diman tugas dapat

dilakukan tanpa kegagalan.

36

2.4.2.4 Bimbingan bagi anak dengan masalah sosial dan

Emosional

a. Membuat sistem perhargaan kelas yang dapat diterima

dan dapat diakses.

Siswa yang berkesulitan belajar perlu memahami sistem

penghargaan ini dikelas dan merasa ikut serta di

dalamnya. Jangan sampai siswa yang berkesulitan melajar

merasa “out laws”, mereka yang tidak memilki kesempatan

untuk mendapatkan penghargaan yang diterima siswa

lain. Untuk memahami bagaimana mereka bias

mendapatkan penghargaan yang baik, para siswa disini

perlu diberi pemahaman tentang bagaimana

caramendapatkan keuntungan sosial dari sikap positif dan

hubungan social yang baik dikelas. Beberapa siswa

mungkin ingin pembuktian langsung dikelas.

b. Membentuk kesadaran tentang diri dan orang lain.

Sebagian siswa yang berkesulitan belajar tidak memilki

kesadaran yang jelas pada sikapnya sendiri serta

dampaknya pada orang lain. Membantu siswa ini menjadi

lebih mengenal sikap mereka dan dampaknya pada orang

lain merupakan kesempatan yang berarti bagi

perkembangan sosial dan emosional. Berbicara terbuka

dan penuh perhatian kepada siswa ini mengenai sikapnya

juga dapat menjadi langkah penting dalam membentuk

hubungan yang saling percaya di antara mereka.

c. Mengajarkan sikap positif.

Ketika siswa lamban belajar menjadi lebih sadar terhadap

sikapnya dan mendapat pemahaman yang lebih baik atas

interaksi dengan orang lain, mereka akan merespon

dengan baik intruksi-intruksi tentang cara membentuk

37

hubungan yang baik dan senseofself (citra diri) yang lebih

positif.

d. Minta bantuan

Jika sikap seorang siswa lamban belajar sangat tidak layak

atau sikap negatifnya tetap ada ketika semua cara telah

dicoba, jangan ragu minta bantuan. Cari bantuan pada

teman sejawat disekolah yang mungkin dapat memberikan

bantuan dalam menjelaskan masalah-masalah social dan

emosional, serta mencari solusi mengenai kesulitan

tersebut.Pertolongan ini bisa datang dari psikolog,

konselor, orang tua, guru, dan kepala sekolah. Terpenting

bagi seorang pendidik memahami bahwa minta bantuan

bukan tanda kelemahan atau ketidakmampuan.

2.4.3Komponen Output

Tujuan diselenggarakannya program pendidikan inklusif

di sekolah regular, sesuai dengan Permendiknas Nomor 70

tahun 2009 adalah untuk memberikan kesematan yang

seluas-luasnya dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan

yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif.

Karena itu sesuai dengan tujuannya maka output yang

diharapkan dari program pendidikan inklusif adalah sebagai

berikut:

2.4.3.1 Peserta Didik

Komponen peserta didik yang perlu diperhatikan adalah

(a). mempunyai sikap yang percaya diri dan mandiri (b). dapat

berinteraksi secara aktif dengan teman-teman dan guru (c).

belajar menerima perbedaan dan beradaptasi terhadap

perbedaan itu (d). semua anak mempunyai kemampuan

38

mengikuti pelajaran tanpa melihat kelainan atau

kecacatannya.

2.4.3.2Tenaga Pendidik (Guru)

Komponen tenaga pendidik (guru) yang perlu

diperhatikan adalah pada (a). Mampu melakukan

pembelajaran bagi peserta didik yang memiliki latar belakang

dan kondisi yang beragam. (b). Mampu mengatasi tantangan,

khususnya dalam menangani masalah siswa-siwa slow

learner.(b). Mampu mengembangkan sikap yang positif

terhadap situasi anak yang beragam. (c). Mampu mengaplikasi

gagasan baru, kreatif dan mendorong peserta didik lebih

proaktif.

2.4.3.3 Orang tua dan Masyarakat

Komponen tenaga orang tua dan masyarakat yang

perlu di perhatikan karena (a). Orang tua lebih mengerti

tentang pendidikan bagi anaknya. (b). Orang tua merasa

dihargai dan dianggap mitra dalam memberikan pendidikan

bagi anaknya (c).Masyarakat bangga karena lebih banyak

anak bersekolah dan mengikuti pembelajaran (d).Masyarakat

melihat bahwa potensi masalah sosial seperti kenakalan anak-

anak bisa dikurangi. (e). Anggota masyarakat menjadi terlibat

di sekolah dalam menciptakan hubungan lebih baik antara

sekolah dan masyarakat.

2.5 Penelitian Yang Relevan

39

Penelitian yang relevan di bidang evaluasi pendidikan

inklusif yang dapat dikutip sebagai rujukan bagi penelitian ini

adalah

1. Penelitian yang dilakukan Istiningsih (2005) tentang

“Manajemen Pendidikan Inklusif”. Dalam penelitian

inidiperoleh gambaran bahwa dalam manajemen

rekrutmen/identifikasi anak yang dilakukan oleh para guru

dan para pembimbing khusus bagi anak yang

membutuhkan pelayanan khusus telah memperoleh hasil

yang cukup bagus, manajemen kurikulum yang

memadukan kurikulum reguler yang disesuaikan dengan

mempertimbangkan kondisi anak yang memerlukan

pelayanan khusus, manajemen sumber dana yang

mencakup APBN, subsidi propinsi, subsidi kabupaten dan

subsidi khusus pendidikan inklusif, manajemen pengadaan

dan pembinaan tenaga kependidikan yang terdiri dari guru

kelas biasa/reguler dan guru pembimbing khusus bagi

anak yang memerlukan pelayanan pendidikan khusus yang

tetap mengutamakan pembinaan profesi dan pembinaan

karir, manajemen pengelolaan sarana prasarana yang

mencakup sarana umum dan sarana khusus bagi anak

yang memerlukan pelayanan khusus, manajemen kegiatan

belajar mengajar/perangkat KBM yang mencakup

pembelajaran umum seperti halnya sekolah reguler yang

dipadukan pembelajaran khusus bagi anak yang

memerlukan pelayan pendidikan khusus, serta manajemen

pemberdayaan masyarakat yang dilakukan secara optimal

sehingga diperoleh sinergi kerjasama yang baik antara

pihak sekolah dengan masyarakat.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Terry Irenewaty dan Aman

(2011) tentang “Evaluasi Kebijakan Pendidikan Inklusif di

40

SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta”. Hasil dari penelitian

ini menunjukkan bahwa ada empat kendala dalam

penyelenggaraan pendidikan inklusif yaitu yang pertama

sarana prasarana, keduapsikologi dari guru dan

masyarakat, ketiga penilaian negatif dari masyarakat

terhadap ABK, keempat Kebijakan dari penguasa setempat.

Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala kendala

tersebut adalah dengan melakukan sosialisasi ke berbagai

daerah dan tempat tentang pendidikan inklusif sehingga

tidak akanada lagi diskriminasi terhadap ABK.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Haryono (2013), tentang

“Studi Evaluasi Program Pendidikan Inklusif Bagi Anak

Berkebutuhan Khusus di Sekolah Dasar Kabupaten

Pontianak”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

komponen konteks landasan hukum penyelenggaraan

pendidikan inklusif secara jelas dan tegas belum tertuang

dan ditemukan dalam UU Sistem Pendidikan Negara kita.

Dari komponen input menunjukkan input ABK yang

bersekolah jumlahnya cukup besar dibanding populasi

seluruh siswa yang ada. Sedangkan dari komponen proses

menunjukkan kegiatan perencanaan, proses dan evaluasi

pembelajaran untuk setiap aspek yang

dinilai,hasilnyamasuk dalamkategori baik dan cukup baik.

Dan dari komponen produk menunjukkanproduk

perkembangan aspek akademik ABK berdasarkan nilai UAS

dan UN dinilai cukup menggembirakan.

4. Penelitian oleh Fitri Nurcahyani (2013) tentang “Evaluasi

Implementasi Kurikulum di Sekolah Inklusi SDN Mriyunan

Sidayu Gresik” dengan menggunakan model evaluasi CIPP.

Penelitian ini menunjukkan bahwa SDN Mriyunan siap

sebagai penyelenggara inklusi terbukti dari penilaian

41

konteks, masukan (perencanaan), proses pelaksanaan,

hingga evaluasi keterlaksanaannya mencapai 90% yang

dikategorikan sangat baik. Sehingga direkomendasikan

untuk melanjutkan program pendidikan inklusi di SDN

Mriyunan Sidayu Gresik dengan pertimbangan

memperbaiki atau meningkatkan aspek-aspek yang belum

terpenuhi.

5. Penelitian yang dilakukan oleh Preliyano Rosandra

Hitiyahubessy (2014) yang berjudul “Pengembangan Model

Pembelajaran Inklusif Slow Learner di Sekolah Menengah

Pertama Negeri 7 Salatiga” dengan penelitian Riset and

Development (R&D).Hasil pengembangan dalam penelitian

ini yaitu sekolah dapat menggunakan model pembelajaran

kooperatif bagi siswa inklusif slow learner.

Berdasarkan penelitian yang diuraikan diatas, penelitian

yang hendak dilakukan peneliti saat ini adalah menggunakan

analisis evaluatif dengan model evaluasi kesenjangan

(discrepancy model). Penelitian dengan metode kesenjangan ini

digunakan untuk mendeskripsikan besarnya kesenjangan

antara program pendidikan inklusif dalam standard tertentu

yang telah ditentukan, dengan pelaksanaan program yang

diterpakan oleh SDN Pulutan 02 Salatiga.