Bab i Teoriski Edit
description
Transcript of Bab i Teoriski Edit
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada umumnya setiap perusahaan, baik pabrik maupun perusahaan dagang,
mempunyai beberapa tujuan yang hedak dicapai. Sama halnya denganperusahaan Pt.
Bosowa Beton yang mempunyai tujuan yang hendak dicapai, antara lain:
- Mendapat keuntungan optimal
- Memenuhi kebutuhan masyarakat
- Menjaga kelangsungan hidup perusahaan
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka perusahaan melakukan kegiatan-kegiatan
seperti produksi, pembelanjaan, personalia pemasaran, administrasi, akuntansi, dan
sebagainya.
Dalam upaya mencapai produksi yang optimal i, maka salah satu cara yang
dilakukan adalah mengoptimalkan kinerja mesin/peralatan produksi.PT. Bosowa
Pasir Bara yang bergerak dalam bidang Industri pengecoran Beton, memeiliki
beberapa unit mesin yang saling mendukung satu dengan yang lainnya. Out put dari
salah satu mesin akan menjadi Input bagi mesin lainnya, sehingga untuk menjamin
kegiatan produksi yang optimal maka perlu dijaga keseimbangan kapasitas (balance
Capasity) bagi semua unit mesin/peralatan produksi yang dimiliki sehingga akan
mewujudkan keseimbangan lintasan produksi yang nantinya akan menentukan
kelancaran proses produksi. Ketertarikan penulis memilih permasalahan
keseimbangan kapasitas ini karena perusahaan saat ini mendapatkan order yang
sangat besar untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur di kota
Makassar. Dengan jumlah order yang begitu besar dikuatirkan perusahaan akan
kewalahan melayaninya terutama jika dikaitkan dengan kapasitas mesin/peraltan
produksi yang dimiliki perusahaan saat ini. Bertitik tolak dari permasalahan tersebut
maka penulis mencoba melakukan penelitian pada perusahaan diatas dengan
mengambil judul : “Tin jauan terhadap keseimbangan lintasan produksi Untuk
mengoptimalkan waktu kerja pada PT. Bosowa Pasir Bara Makassar. Dengan
penelitian ini diharapkan nantinya akan memberikan masukan sekaligus solusi bagi
perusahaan tentang pentingnya keseimbangan kapasitas dalam melakukan proses
produksi sehingga proses produksi akan menjadi efektif.
Dengan proses produksi yang efektif maka perusahaan akan:
1. Membuat barang dan jasa dengan biaya murah
2. Menentukan harga pokok dan harga jual dengan harga yang cukup murah
3. Dapat bersaing dengan kemampuan yang cukup kuat dengan produsen lainnya
Dengan proses produksi yang efektif maka perusahaan akan:
1. Membuat barang dan jasa dengan biaya murah
2. Menentukan harga pokok dan harga jual dengan harga yang cukup murah
3. Dapat bersaing dengan kemampuan yang cukup kuat dengan produsen lainnya
B. Masalah Pokok
Yang menjadi masalah pokok yang akan diteliti lebih lanjut dalam penelitian ini
adalah :
1. Kurang optimalnya proses produksi dari segi efisiensi penggunaan mesin
produksi
2. Kurang optimalnya proses produksi disebabkan oleh tidak terjadinya
keseimbangan Kapasitas (balance capacity) diantara mesin produksi yanag ada
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana menentukan waktu kerja secara optimal
2. Bagaimana menentukan keseimbangan Lintasan Produksi pada
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:
a. Untuk mengetahui tingkat efisiensi mesin /peralatan/produksi pada
perusahaan melalui perhitungan keseimbangan kapasitas (Balance Capasity)
mesin produksi
b. Untuk mengetahui pengaruh balance capacity terhadap produktifitas
perusahaan .
c. Untuk memberikan sumbangan pikiran yang mungkin bisa dijadikan sebagai
bahan pertimbangan dalam mencari jalan keluar dari permasalahan yang
dihadapi oleh perusahaan.
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah :
a. Sebagai bahan masukan kepada perusahaan tentang pentingnya keseimbangan
lintasan produksi
b. Sebagai bahan masukan bagi perusahaan dalam menentukan waktu kerja yang
optimal
D. Hipotesis
Dengan masalah yang dipaparkan di atas, penulis mengemukakan beberapa hipotesis,
yaitu:
Diduga bahwa keseimbangan lintasan produksi pada setiap stasiun kerja pada PT.
Bosowa Pasir Bara Belum sempurna (Optimal)
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Keseimbangan Lintasan
Menurut Baroto (2002, p192), aliran proses produksi suatu departemen ke
departemen yang lainnya membutuhkan waktu proses produk tersebut.
Apabila terjadi hambatan atau ketidakefisienan dalam suatu departemen akan
mengakibatkan tidak lancarnya aliran material ke departemen berikutnya
sehingga terjadi waktu menunggu (delay time) dan penumpukan material
(material in process storage). Dalam upaya menyeimbangkan lini produksi
maka tujuan utama yang ingin dicapai adalah mendapatkan tingkat efisiensi
yang tinggi bagi setiap departemen dan berusaha memenuhi rencana
produksi yang telah ditetapkan sehingga diupayakan untuk memenuhi
perbedaan waktu kerja antardepartemen dan memperkecil waktu tunggu.
Dalam praktek penyeimbangan lini yang sesungguhnya di perusahaan,
waktu yang dibutuhkan bukan hanya sekedar waktu proses, melainkan masih
harus ditambahkan faktor penyesuaian dan kelonggaran demi
kepentingan tenaga kerja sehingga diperoleh waktu normal dan waktu baku.
Waktu baku inilah yang nantinya akan digunakan untuk perhitungan
selanjutnya. Oleh karena itu sebelum masuk ke pembahasan teori mengenai
line balancing, terlebih dulu akan diuraikan mengenai teori tentang waktu
baku.
2.2 Waktu Siklus (Cyclus Time)
Data waktu proses yang diperoleh dari perusahaan tidak dapat langsung
digunakan untuk perhitungan line balancing karena yang akan digunakan
adalah data waktu baku. Sebelum mendapatkan waktu baku, terlebih dahulu
harus diperoleh waktu siklus (cycle Time), Waktu Normal yang
perhitungannya melibatkan faktor penyesuaian. Setelah itu barulah dapat
diperoleh waktu baku yang perhitungannya melibatkan faktor kelonggaran.
Namun dengan demikian untuk kondisi kondisi tertentu perhitungan
keseimbangan kapasitas dapat menggunakan waktu siklus (Ciclus Time)
2.2.1 Penyesuaian
Menurut Wignjosoebroto (2003, p196), kecepatan, usaha, tempo, ataupun
performance kerja semuanya akan menunjukkan kecepatan gerakan
operator pada saat bekerja. Aktivitas untuk menilai atau mengevaluasi
kecepatan kerja operator ini dikenal sebagai ‘Rating Performance’. Secara
umum kegiatan rating ini dapat didefinisikan sebagai proses di mana seorang
pengamat membandingkan performans kerja operator pada saat diamati dengan
konsep si pengamat mengenai performans normal. Untuk menormalkan waktu
kerja maka diadakan penyesuaian yaitu dengan cara mengalikan waktu kerja
dengan faktor penyesuaian / rating ‘P’.
Metode penyesuaian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode
objektif. Menurut Sutalaksana (1979, p146), metode objektif memperhatikan 2
faktor yaitu kecepatan kerja (P1) dan tingkat kesulitan pekerjaan (P2). Kedua
faktor inilah yang dipandang secara bersama-sama menentukan berapa harga P
untuk mendapatkan waktu normal.
Menurut Wignjosoebroto (2003, p196), cara untuk menentukan besarnya
faktor P1 adalah sebagai berikut :
1. Apabila operator dinyatakan terlalu cepat yaitu bekerja di atas
batas kewajaran (normal) maka rating faktor ini akan lebih besar
daripada 1 (P1 > 1 atau P1 > 100 %).
2. Apabila operator bekerja terlalu lambat yaitu bekerja dengan
kecepatan di bawah kewajaran (normal) maka rating faktor ini akan
lebih kecil daripada 1 (P1 < 1 atau P1 < 100 %).
3. Apabila operator bekerja secara normal atau wajar maka rating
faktor ini diambil sama dengan 1 (P1 = 1 atau P1 = 100 %).
Menurut Sutalaksana (1979, p146), untuk kesulitan kerja disediakan sebuah
tabel (lihat Lampiran) yang menunjukkan berbagai keadaan kesulitan kerja
seperti apakah pekerjaan tersebut memerlukan banyak anggota badan,
apakah ada pedal kaki, dan sebagainya. Angka yang ditunjukkan di sini
adalah dalam per seratus dan jika nilai dari setiap kondisi kesulitan kerja
yang bersangkutan dengan pekerjaan yang sedang diamati dijumlahkan
akan menghasilkan P2 yaitu notasi bagi bagian penyesuaian objektif untuk
tingkat kesulitan pekerjaan.
Waktu normal dapat diperoleh dari rumus berikut :
Waktu normal = Waktu proses x Penyesuaian (P)
Untuk penyesuaian dengan metode objektif, nilai P diperoleh dari hasil
kali P1 dan P2.
2.2.2 Kelonggaran
Menurut Wignjosoebroto (2003, p201), waktu normal untuk suatu elemen
operasi kerja adalah semata-mata menunjukkan bahwa seorang operator yang
berkualifikasi baik akan bekerja menyelesaikan pekerjaannya pada kecepatan /
tempo kerja yang normal. Walaupun demikian pada prakteknya kita akan
melihat bahwa tidaklah bisa diharapkan operator tersebut akan mampu
bekerja secara terus-menerus sepanjang hari tanpa adanya interupsi sama
sekali. Di sini kenyataannya operator akan sering menghentikan kerja dan
membutuhkan waktu-waktu khusus untuk keperluan seperti personal needs,
istirahat melepas lelah, dan alasan-alasan lain yang di luar kontrolnya.
Waktu baku yang akan ditetapkan adalah termasuk kelonggaran- kelonggaran
yang perlu. Dengan demikian maka waktu baku adalah waktu yang diperoleh
dari waktu normal yang masih ditambah dengan besarnya kelonggaran.
Menurut Wignjosoebroto (2003, p203), apabila kelonggaran waktu tersebut
diaplikasikan secara bersamaan untuk seluruh elemen kerja, maka hal ini akan
bisa menyederhanakan perhitungan yang harus dilakukan. Untuk
mendapatkan waktu baku untuk penyelesaian suatu operasi kerja, di sini
waktu normal harus ditambahkan dengan kelonggaran. Di samping itu ada
kecenderungan untuk mempertimbangkan kelonggaran ini sebagai waktu yang
diberikan / dilonggarkan untuk berbagai macam hal per hari kerja. Dengan
demikian waktu baku tersebut dapat diperoleh dengan mengaplikasikan rumus
berikut :
2.3 Line Balancing
Menurut Baroto (2002, 192-193), lini produksi adalah penempatan area-area
kerja di mana operasi-operasi diatur secara berurutan dan material bergerak
secara kontinu melalui operasi yang terangkai seimbang. Menurut
karakteristiknya lini produksi dibagi menjadi 2 :
1. Lini fabrikasi, merupakan lintasan produksi yang terdiri atas sejumlah
operasi pekerjaan yang bersifat membentuk atau mengubah bentuk
benda kerja.
2. Lini perakitan, merupakan lintasan produksi yang terdiri atas sejumlah
operasi perakitan yang dikerjakan pada beberapa stasiun kerja dan
digabungkan menjadi benda assembly atau subassembly.
Kriteria umum keseimbangan lintasan perakitan adalah memaksimumkan
efisiensi atau meminimumkan balance delay. Tujuan pokok dari
penggunaan metode ini adalah untuk mengurangi atau meminimumkan
waktu menganggur (idle time) pada
lintasan yang ditentukan oleh operasi yang paling lambat.
Gambar 2.1 Elemen-elemen Utama Permasalahan Keseimbangan Lintasan
Sumber : Perencanaan dan Pengendalian Produksi, Nasution, p150
Menurut Bedworth dan Bailey (1987, p360-361), line balancing adalah
masalah yang berorientasi pada kegiatan manufaktur yang berkaitan dengan
masalah alokasi sumber daya dan penyeimbangan sumber daya. Dalam
sejarahnya, masalah line balancing berevolusi dari lini perakitan di mana
Masukan:Kinerja waktu dari tugasKebutuhan pendahuluan
Tingkat output
Kesimbangan
lintasan
Keluaran : Pengelompokan tugas-tugas pada stasiun-
stasiun kerja dengan kapasitas/tingkat output
yang sama
proses perakitan yang terdiri dari task-task harus dibagi ke para pekerja dengan
ketentuan bahwa usaha (effort) pekerja harus sedapat mungkin disamakan
(equal) dan jumlah pekerja diminimumkan sambil menjaga agar tingkat
produksi yang spesifik dapat terpenuhi.
Menurut Baroto (2002, 194-195), tujuan perencanaan keseimbangan
lintasan adalah mendistribusikan unit-unit kerja atau elemen-elemen kerja pada
setiap stasiun kerja agar waktu menganggur dari stasiun kerja pada suatu
lintasan produksi dapat ditekan seminimal mungkin, sehingga pemanfaatan dari
peralatan maupun operator dapat digunakan semaksimal mungkin.
Syarat dalam pengelompokan stasiun kerja dalam line balancing adalah
sebagai berikut :
a Hubungan dengan proses terdahulu.
b Jumlah stasiun kerja tidak boleh melebihi jumlah elemen kerja.
c Waktu siklus lebih dari atau sama dengan waktu maksimum dari tiap
waktu di stasiun kerja dari tiap elemen pekerjaan.
Penyeimbangan lintasan memerlukan metode tertentu yang sistematis.
Adapun metode yang akan digunakan dalam skripsi ini yaitu :
1. Aturan Largest Candidate.
2. Metode Ranked Positional Weights atau metode Helgesson – Birnie.
3. Metode Kilbridge – Wester.
4. Metode Moodie – Young.
5. Metode Region Approach.
Untuk dapat memilih dan menentukan metode yang tepat dalam
penyeimbangan lini perakitan perlu dikembangkan analisis guna mengetahui
performansi masing- masing metode yang ada terhadap karakteristik
pekerjaan perakitan, sehingga akan dapat ditentukan cara penyusunan
stasiun kerja yang paling efisien dan pertimbangan kelebihan dan
kekurangan untuk tiap metode.
Menurut Groover (2001, p529), dalam line balancing ada asumsi mengenai
waktu pengerjaan task, yaitu :
1. Waktu pengerjaan task mempunyai nilai yang konstan.
2. Nilai waktu pengerjaan task bersifat aditif, artinya waktu untuk
mengerjakan dua atau lebih task secara berurutan adalah jumlah dari
waktu pengerjaan task individual.
Dalam kenyataannya, asumsi di atas tidak terlalu benar. Waktu
pengerjaan task adalah variabel yang berkaitan dengan masalah
variabilitas task time. Di samping itu sering ada ekonomi gerakan yang
dapat dicapai dengan menggabungkan dua atau lebih task sehingga
melanggar asumsi aditifitas. Meskipun demikian, asumsi tersebut dibuat
agar dapat menghasilkan solusi bagi masalah line balancing.
2.3.1 Istilah-istilah Dalam Line Balancing
Menurut Baroto (2002, 195-197), sebelum membahas mengenai operasional
dari metode-metode dalam line balancing, perlu dipahami dulu beberapa
istilah yang lazim digunakan dalam line balancing.
1. Precedence diagram merupakan gambaran secara grafis dari urutan
operasi kerja serta ketergantungan pada operasi kerja lainnya yang
tujuannya untuk memudakan pengontrolan dan perencanaan kegiatan
yang terkait di dalamnya. Adapun tanda-tanda yang dipakai sebagai
berikut :
a. Simbol lingkaran dengan huruf atau nomor di dalamnya untuk
mempermudah identifikasi dari suatu proses operasi.
b. Tanda panah menunjukkan ketergantungan dan urutan proses
operasi. Dalam hal ini, operasi yang berada pada pangkal panah
berarti mendahului operasi yang ada pada ujung panah.
c. Angka di atas simbol lingkaran adalah waktu standar yang
diperlukan untuk menyelesaikan setiap operasi.
2. Assemble product adalah produk yang melewati urutan Work Station
(WS) di mana tiap WS memberikan proses tertentu hingga selesai
menjadi produk akhir pada perakitan akhir.
3. Work element (elemen kerja / operasi / task) adalah bagian dari seluruh
proses perakitan yang dilakukan.
4. Waktu operasi (Ti) adalah waktu standar untuk menyelesaikan suatu
operasi (di skripsi ini, Ti adalah waktu baku yang di dalamnya sudah
mencakup faktor penyesuaian dan kelonggaran).
5. Work Station (WS) adalah tempat pada lini perakitan di mana proses
perakitan dilakukan. Setelah menentukan interval waktu siklus maka
jumlah stasiun
Kerja (k) efisien dapat ditetapkan dengan rumus berikut :
kmin = ∑i=1
n
Ti
CT
Di mana :
Ti = Waktu operasi pada task ke- (i = 1,2,3,…,n).
CT = Waktu siklus.
n = Banyaknya task.
kmin = Banyaknya stasiun kerja minimal.
6. Cycle Time / waktu siklus (CT) merupakan waktu yang diperlukan
untuk membuat 1 unit produk per satu stasiun. Apabila waktu produksi
dan target produksi telah ditentukan, maka waktu siklus dapat diketahui
dari hasil bagi waktu produksi dan target produksi. Dalam mendesain
keseimbangan lini perakitan untuk sejumlah produksi tertentu, waktu
siklus harus sama dengan atau lebih besar dari waktu operasi terbesar
yang merupakan penyebab terjadinya bottleneck (kemacetan) dan waktu
siklus juga harus sama atau lebih. kecil dari jam kerja efektif per hari
dibagi dengan jumlah produksi per hari yang secara matematis
dinyatakan sebagai berikut :
Ti maks = ≤ CT ≤ P/Q
Di mana :
Timaks = Waktu operasi terbesar pada lintasan.
CT = Waktu siklus.
P = Jam kerja efektif per hari.
Q = Jumlah produksi per hari.
7. Station Time (ST) adalah jumlah waktu dari elemen kerja / task
yang dilakukan pada suatu stasiun kerja yang sama.
8. Idle time adalah selisih (perbedaan) antara CT dikurangi dengan STi.
9. Balance Delay (BD), sering disebut balance loss, adalah ukuran
dari ketidakefisienan lintasan yang dihasilkan dari waktu menganggur
sebenarnya yang disebabkan oleh pengalokasian yang kurang sempurna
di antara stasiun- stasiun kerja. Balance Delay dinyatakan dalam
persentase. Balance Delay dapat dirumuskan sebagai berikut :
k
(k × CT ) − ∑ STi
BD = i =1 × 100% (k × CT )
Di mana :
k = Banyaknya stasiun kerja
(WS). CT = Waktu siklus.
STi = Station Time dari WS ke-i.
10. Line Efficiency (LE) adalah rasio dari total waktu di stasiun kerja
terhadap keterkaitan antara waktu siklus dengan jumlah stasiun kerja
(dinyatakan dalam persentase).
k
∑ STi
LE = i =1 × 100%
(k × CT )
Di mana :
k = Banyaknya stasiun
kerja (WS). CT = Waktu
siklus.
STi = Station Time dari WS ke-i.
11. Smoothness Index (SI) adalah suatu indeks yang menunjukkan
kelancaran relatif dari suatu keseimbangan lini perakitan. Suatu
Smoothness Index dikatakan sempurna apabila nilainya sama dengan
nol atau disebut juga perfect balance.
k
ST= ∑ (CT − STi) 2
i =1
Di mana :
k = Banyaknya stasiun kerja (WS).
CT = Waktu siklus.
STi = Station Time dari WS ke-i.
2.3.2 Metode Line Balancing
Menurut Groover (2001, p534), tujuan dalam line balancing adalah untuk
mendistribusikan beban kerja total pada lini perakitan seseimbang mungkin di
antara para pekerja. Tujuan ini dapat diekspresikan secara matematis dalam 2
alternatif bentuk yang ekuivalen :
k k
Meminimumkan (kCT - ∑ STi ) atau meminimumkan ∑ (CT − STi)
i =1 i =1
Dengan syarat:
1. Jumlah waktu di setiap WS tidak melebihi CT.
2. Semua persyaratan presedens dipatuhi.
Metode yang akan digunakan bersifat heuristic, artinya metode tersebut
didasarkan pada common sense dan eksperimen daripada optimasi matematis,
serta tidak menjamin dihasilkannya solusi optimal. Dalam setiap metode,
diasumsikan bahwa manning level adalah 1 sehingga jika kita mengidentifikasi
stasiun i maka kita juga mengidentifikasi pekerja pada stasiun i.
2.3.2.1 Aturan Largest Candidate
Menurut Groover (2001, p535), dalam metode ini, elemen kerja diatur
secara descending (dari nilai paling besar ke paling kecil) berdasarkan nilai Ti.
Metode ini terdiri dari langkah-langkah :
1. Buat precedence dia
2. Urutkan waktu operasi pada masing-masing task dari yang terbesar
ke yang terkecil secara urut.
3. Tentukan waktu siklus (CT).
4. Tugaskan task pada pekerja di WS 1 dengan memulai dari daftar
paling atas dan memilih task pertama yang memenuhi persyaratan
presedens dan tidak menyebabkan jumlah total Ti pada WS tersebut
melebihi CT yang diizinkan. Ketika task sudah dipilih untuk ditugaskan
pada WS, telusuri kembali dari daftar paling atas untuk penugasan
selanjutnya.
5. Ketika tidak ada lagi task yang dapat ditugaskan tanpa melebihi CT,
lanjutkan ke WS berikutnya.
6. Ulangi langkah 4 dan 5 untuk semua WS sampai semua task telah
ditugaskan.
2.3.2.2 Metode Ranked Positional Weights (RPW) atau Metode
Helgesson – Birnie
Menurut Baroto (2002, p197-198), langkah-langkah dalam metode ini
adalah sebagai berikut :
1. Buat precedence diagram.
2. Tentukan bobot posisi untuk masing-masing task yang berkaitan
dengan waktu operasi untuk waktu pengerjaan yang terpanjang dari
mulai operasi permulaan hingga sisa operasi sesudahnya
3. Membuat ranking tiap task berdasarkan bobot posisi di langkah 2.
Task yang mempunyai bobot terbesar diletakkan pada ranking pertama.
4. Tentukan waktu siklus (CT).
5. Pilih task dengan bobot tertinggi, alokasikan ke suatu WS. Jika masih
layak (STi ≤ CT), alokasikan task dengan bobot tertinggi
berikutnya yang memenuhi persyaratan presedens. Namun alokasi
ini tidak boleh membuat STi > CT.
6. Bila alokasi suatu task membuat STi > CT, maka task ini
tidak jadi ditugaskan. Sebagai gantinya, sisa waktu ini (CT – STi)
dipenuhi dengan alokasi task dengan bobot paling besar dan
penambahannya tidak membuat STi > CT dan memenuhi persyaratan
presedens.
7. Jika task yang dialokasikan untuk membuat STi ≤ CT sudah
tidak ada, kembali ke langkah 5 untuk semua WS sampai semua task
telah ditugaskan.
2.3.2.3 Metode Kilbridge – Wester
Menurut Groover (2001, p536), metode ini merupakan prosedur heuristic
yang memilih task untuk ditugaskan ke dalam WS berdasarkan posisinya pada
precedence diagram. Metode ini mengatasi salah satu kesulitan dalam aturan
Largest Candidate di mana task dipilih karena nilai Ti yang tinggi tapi
posisinya di precedence diagram kutang sesuai. Langkah-langkahnya adalah :
1. Buat precedence diagram.
2. Task-task dalam precedence diagram diatur ke dalam kolom-kolom.
3. Task-task kemudian disusun ke dalam suatu daftar berdasarkan kolomnya,
di mana task-task pada kolom pertama didaftar pertama.
4. Jika suatu task dapat ditempatkan pada lebih dari 1 kolom, maka daftarlah
semua kolom untuk task tersebut.
5. Task-task pada kolom yang sama diurutkan berdasarkan nilai Ti
terbesar seperti pada aturan Largest Candidate. Hal ini akan membantu
dalam menugaskan task ke WS karena dapat memastikan bahwa task
terlama akan dipilih lebih dulu, jadi meningkatkan kesempatan untuk
membuat jumlah Ti pada setiap WS mendekati batas waktu siklus / Cycle
Time (CT) yang diizinkan.
6. Tentukan waktu siklus (CT).
7. Tugaskan task pada pekerja di WS 1 dengan memulai dari daftar paling
atas dan memilih task pertama yang memenuhi persyaratan presedens dan
tidak menyebabkan jumlah total Ti pada WS tersebut melebihi CT yang
diizinkan. Ketika task sudah dipilih untuk ditugaskan pada WS, telusuri
kembali dari daftar paling atas untuk penugasan selanjutnya.
8. Ketika tidak ada lagi task yang dapat ditugaskan tanpa melebihi CT,
lanjutkan keWSberikutnya.
9. Ulangi langkah 7 dan 8 untuk semua WS sampai semua task telah
ditugaskan.
2.3.2.4 Metode Moodie – Young
Menurut Nasution (2003, p159-160), langkah penugasan pekerjaan pada
stasiun kerja dengan menggunakan metode ini berbeda pada urutan prioritas
pembebanan pekerjaan. Langkah-langkahnya adalah :
1. Buat precedence diagram.
2. Buat matriks operasi pendahulu (P) dan operasi pengikut (F) untuk
setiap operasi berdasarkan precedence diagram.
3. Tentukan waktu siklus (CT).
4. Perhatikan baris di matriks kegiatan pendahulu P yang semuanya
terdiri dari angka 0 dan bebankan task terbesar yang mungkin terjadi
jika ada lebih dari 1 baris yang memiliki seluruh task sama dengan nol.
5. Perhatikan nomor task di baris matriks kegiatan pengikut F yang
bersesuaian dengan task yang telah ditugaskan. Setelah itu kembali
perhatikan baris pada matriks P yang ditunjukkan, ganti nomor
identifikasi task yang telah dibebankan ke WS dengan nol.
6. Lanjutkan penugasan task-task itu pada setiap WS dengan ketentuan
bahwa waktu total operasi tidak melebihi waktu siklus. Proses ini
dikerjakan hingga semua baris pada matriks P bernilai nol.
2.3.2.5 Metode Region Approach
Menurut Nasution (2003, p164), metode ini dikembangkan oleh Bedworth
untuk mengatasi kekurangan metode RPW. Metode ini tetap tidak akan
menghasilkan solusi optimal, tetapi solusi yang dihasilkannya sudah cukup
baik dan mendekati optimal. Pada prinsipnya metode ini berusaha
membebankan terlebih dulu pada operasi yang memiliki tanggung jawab
keterdahuluan yang besar. Bedworth menyebutkan bahwa kegagalan metode
RPW ialah mendahulukan operasi dengan waktu terbesar daripada operasi
dengan waktu yang tidak terlalu besar tetapi diikuti oleh banyak operasi
lainnya. Langkah-langkah penyelesaian dengan metode Region Approach
adalah sebagai berikut :
1. Buat precedence diagram.
2. Bagi precedence diagram ke dalam wilayah-wilayah dari kiri ke
kanan.
Gambar ulang precedence diagram, tempatkan seluruh task di daerah
paling ujung sedapat-dapatnya.
3. Dalam tiap wilayah urutkan task mulai dari waktu operasi terbesar
sampai dengan waktu operasi terkecil.
4. Tentukan waktu siklus (CT).
5. Bebankan task dengan urutan sebagai berikut (perhatikan pula
untuk menyesuaikan diri terhadap batas wilayah) :
a.. Daerah paling kiri terlebih dahulu.
b. Dalam 1 wilayah, bebankan task dengan waktu terbesar pertama
kali.
6. Pada akhir tiap pembebanan stasiun kerja, tentukan apakah utilisasi
waktu tersebut telah dapat diterima. Jika tidak, periksa seluruh task
yang memenuhi hubungan keterkaitan dengan operasi yang telah
dibebankan. Putuskan apakah pertukaran task-task tersebut akan
meningkatkan utilisasi waktu stasiun kerja. Jika ya, lakukan perubahan
tersebut.
2.4. Konsep Dasar Tentang Desain Pabrik
a. Pengertian dan definisi pabrik atau industri
Pabrik yang dalam istilah asingnya dikenal sebagai factory atau plant adalah
setiap tempat dimana faktor-faktor seperti:
1. Manusia
2. Mesin dan peralatan (fasilitas) produksi lainnya
3. Material
4. Energi
5. Uang (modal/kapital)
6. Informasi dan
7. Sumber daya alam (tanah, Air, mineral,dll)
Dikelola bersama-sama dalam suatu sistem produksi guna menghasilkan
suatu produk atau jasa secara efektif, efisien dan aman. Istilah pabrik ini
diartikan sama dengan industri, meskipun industri sebenarnya memiliki
pengertian yang lebih luas. Pabrik pada dasarnya merupakan salah satu jenis
industri yang terutama akan menghasilkan produk jadi (finished goods
product). Seperti halnya yang dijumpai pada industri manufaktur.
Dengan mempertimbangkan aktivitas-aktivitas yang umum dilaksanakan, maka
industri akan dapat diklasifikasikan sebagai:
1. Industri Penghasil Bahan Baku (The Primary Raw Material Industries)
Yaitu industri yang aktivitas produksinya adalah mengolah sumber daya alam
guna menghasilkan bahan baku maupun bahan tambahan lainnya yang dibutuhkan
oleh industri penghasil produk atau jasa. Industri tipe ini dikenal juga sebagai
“extractive/primary industry”. Contoh: Industri pengolahan bijih besi dll.
2. Industri Manufaktur (The Manufacturing Industries)
Yaitu industri yang memproses bahan baku guna dijadikan bermacam-macam
bentuk/model produk, baik yang berupa produk setengah jadi (semi finished
good) ataupun yang sudah berupa produk jadi (finished good product). Disini
akan terjadi suatu transformasi proses baik secara fisik ataupun kimiawi terhadap
input material dan akan memberi nilai tambah terhadap material tersebut.
Contoh: Industri permesinan, industri mobil, dan lain-lain.
3. Industri Penyalur (Distribution Industries)
Yaitu industri yang berfungsi untuk melaksanakan pelayanan jasa industri baik
untuk bahan baku maupun “finished good product”. Disini bahan baku ataupun
bahan setengah jadi akan didistribusikan dari produsen yang lain dan dari
produsen ke konsumen. Operasi kegiatan akan meliputi aktivitas pembelian dan
penjualan, penyimpanan, sorting, grading, packaging dan moving goods
(transportasi).
4. Industri Pelayanan/Jasa (Service Industries)
Yaitu industri yang bergerak dalam bidang pelayanan atau jasa, baik untuk
melayani dan menunjang aktivitas industri yang lain maupun langsung
memberikan pelayanan/jasa kepada consumen. Contoh: Bank, jasa angkutan,
rumah sakit, dll.
Dari hal-hal tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa industri akan memiliki
pengertian dan definisi yang luas sesuai dengan karakteristik dari jenis masukan,
proses produksi yang berlangsung, dan jenis keluaran yan dihasilkan. Dalam
kaitannya dengan jenis keluaran yang dihasilkan maka industri yang
menghasilkan keluaran berupa material, peralatan produksi, mesin dan lain-lain
yang akan digunakan untuk proses produksi di industri/pabrik lain dikenal sebagai
“producer goods industries”. Sedangkan industri yang hasil keluarannya akan
langsung digunakan oleh consumer disebut “consumer goods industries”.
2.5. Ruang Lingkup Perencanaan Fasilitas Produksi
Didalam perencanaan fasilitas pabrik ada dua hal pokok yang akan dibahas , yaitu
pertama berkaitan dengan perencanaan lokasi pabrik (plant location) yaitu
penetapan lokasi dimana fasilitas-fasilitas produksi harus ditempatkan, dan yang
kedua adalah perancangan fasilitas produksi (facilities design) yang akan meliputi
perancangan tata letak fasilitas produksi (facilities/plant layout design) dan
perancangan sistem pemindahan material. Secara skematis hirarki dari
perencanaan fasilitas pabrik tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Ganbar 2.1. Sistematika Perenanaan Fasilitas Pabrik
Perancangan fasilitas akan menentukan bagaimana aktivitas-aktivitas dari
fasilitas-fasilitas produksi dari pabrik akan bisa diatur sedemikian rupa sehingga
mampu menunjang upaya pencapaian tujuan pokok secara efektif dan efisien.
Untuk industri manufacturing, maka perencanaan aktivitas akan meliputi
penetapan cara yang sebaik-baiknya agar supaya fasilitas-fasilitas yang ada
mampu menunjang kelancaran proses produksi/operasional. Fhase perencanaan
fasilitas ini akan dimulai dengan penetapan lokasi pabrik (plant location) atau
penetapan lokasi dimana fasilitas-fasilitas produksi harus ditempatkan (facilities
location). Penetapan lokasi pabrik ini akan memperhatikan interaksinya dengan
customers, suppliers, maupun fasilitas-fasilitas pabrik lain yang terkait. Fhase
perencanaan fasilitas selanjutnya adalah berkaitan dengan proses perancangan
fasilitas (facilites design) yang meliputi perancangan struktur bangunan pabrik
tata letak dan system pemindahan material. Dalam industri manufacturing,
structural desain ini akan meliputi perancangan dan pendirian bangunan pabrik
serta fasilitas penunjang seperti jaringan listrik, air, gas, penerangan, dan lain-lain.
Untuk tat letak pabrik maka disini meliputi pengaturan letak mesin, peralatan, dan
fasilitas produksi lainnya yang ada dalam areal dibatasi oleh dinding-dinding
pabrik. Dalam pengaturan tata letak fasilitas produksi, sekaligus disini akan
dirancang pengaturan sistem pemindahan material, pergerakan personil,
penyebaran informasi dalam pabrik dan sebagainya.
2.6. Tata Letak Pabrik, Tujuan dan Prinsip Yang
Mendasarinya
Tata letak (layout) atau pengaturan fasilitas produksi dan area kerja yang ada
dalam suatu masalah yang sering dijumpai dalam dunia industri. Kita tidak dapat
menghindarinya, sekalipun kita cuma sekedar mengatur peralatan atau mesin
didalam bangunan yang ada serta ruang lingkup kecil yang sederhana. Pertanyaan
yang timbul ialah apakah kita telah meletakan atau mengatur semua fasilitas
produksi tersebut dengan sebaik-baiknya?
Tata letak itu sendiri adalah suatu landasan utama dalam dunia industri. Tata letak
pabrik (plan layout) atau tata letak fasilitas (facilites layout) dapat didefinisikan
sebagai tata cara pengaturan fasilitas-fasilitas pabrik guna menunjang kelancaran
proses produksi. Pengaturan tersebut akan coba memanfatkan luas area (space)
untuk penempatan fasilitas mesin dan penunjang produksi lainnya, kelancaran
gerakan perpindahan material, penyimpanan material (storage) baik yang bersifat
tempore maupun permanen, pekerja dan sebagainya. Dalam tata letak pabrik ada
dua hal yang diatur letaknya yaitu pengaturan mesin (machine layout) dan
pengaturan departemen yang ada di pabrik (departemen layout). Bilamana kita
menggunakan istilah tata letak pabrik seringkali hal ini sering kita artikan sebagai
pengaturan peralatan/fasilitas produksi yang sudah ada (the existing arrangement)
ataupun juga bisa diartikan sebagai perencanaan tata letak pabrik yang baru sama
sekali (new plant layout).
Pada umumnya tata letak pabrik yang terencana dengan baik akan ikut
menentukan efisiensi dan dalam beberapa hal akan juga menjaga kelangsungan
hidup ataupun kesuksesan kerja suatu industri. Peralatan dan suatu desain produk
yang bagus akan tidak ada artinya akibat perencanaan layout yang sembarangan
saja. Karena aktivitas produksi suatu industri secara normalnya harus berlangsung
lama dengan tata letak yang selalu tidak berubah-ubah, maka setiap kekeliruan
yang dibuat dalam perencanan tata letak ini akan menyebabkan kerugian-kerugian
yang tidak kecil. Tujuan utama didalam design tata letak pabrik pada dasarnya
adalah untuk meminimalkan total biaya yang antara lain menyangkut elemen-
elemen biaya sebagai berikut:
1. Biaya untuk konstruksi dan instalasi baik untuk bangunan mesin, maupun
fasilitas produksi lainnya.
2. Biaya pemindahan bahan (material handling costs).
3. Biaya produksi, maintenance, safety dan biaya penyimpanan produk
setengah jadi.
Selain itu pengaturan tata letak pabrik yang optimal akan dapat pula memberikan
kemudahan didalam proses supervisi serta menghadapi rencana perluasan pabrik
dikemudian hari.
2.7. Tujuan Perencanaan dan Pengaturan Tata Letak Pabrik
Secara garis besar tujuan utama dari tata letak pabrik ialah mengatur area kerja
dan segala fasilitas produksi yang paling ekonomis untuk produksi aman, dan
nyaman sehingga akan dapat menaikan moral kerja dan performance dari
operator. Lebih spesifik lagi suatu tata letak yang baik akan dapat memberikan
keuntungan-keuntungan dalam sistem produksi, antara lain sebagai berikut:
1. Menaikan output produksi
Biasanya suatu tata letak yang baik akan memberikan keluaran (output) yang
lebih besar dengan ongkos yang sama atau lebih sedikit, manhours yang lebih
kecil, dan/atau mengurangi jam kerja mesin (machine hours).
2. Mengurangi waktu tunggu (Delay)
Mengatur keseimbangan antara waktu operasi produksi dan beban dari masing-
masing departemen atau mesin adalah bagian kerja dari mereka yang bertanggung
jawab terhadap desain tata letak pabrik. Pengaturan tata letak yang terkoordinir
dan terencana baik akan dapat mengurangi waktu tunggu (delay) yang berlebihan.
3. Mengurangi proses pemindahan bahan (Material Handling)
Untuk merubah bahan menjadi produk jadi, maka hal ini akan memerlukan
aktivitas pemindahan (movement) sekurang-kurangnya satu dari tiga elemen dasar
sistem produksi yaitu: bahan baku, orang/pekerja, atau mesin dan peralatan
produksi, bahan baku akan lebih sering dipindahkan dibandingkan dengan dua
elemen dasar produksi lainnya. Pada beberapa kasus maka biaya untuk proses
pemindahan bahan ini bisa mencapai 30% sampai 90% dari total biaya produksi
dengan mengingat pemindahan bahan yang sedemikian besarnya, maka mereka
bertanggung jawab untuk perencanaan dan perancangan tata letak pabrik akan
lebih menekankan desainnya pada usaha-usaha memindahkan aktivitas-aktivitas
pemindahan bahan pada saat proses produksi berlangsung. Hal ini dilakukan
dengan beberapa alasan seperti:
a. Biaya pemindahan bahan disamping cukup besar pengeluarannya juga akan
ada dari tahun ketahun selama proses produksi berlangsung.
b. Biaya pemindahan bahan dengan mudah akan dapat dihitung dimana biaya ini
akan proporsional dengan jarak pemindahan bahan yang harus ditempuh dan
pengukuran jarak perpindahan bahan ini dapat dianalisa dengan
memperhatikan tata letak semua fasilitas produksi yang ada dipabrik. Jelaslah
bahwa memang akan ada korelasi antara tata letak pabrik dengan pemindahan
bahan, sehingga pada proses desain layout akan selalu dikait-orientasikan
guna memberikan jarak pemindahan bahan seminimal mungkin.
4. Penghematan penggunaan areal untuk produksi, gudang dan service
Jalan lintas, material yang menumpuk, jarak antara mesin-mesin yang berlebihan,
dan lain-lain semuanya akan menambah area yang dibutuhkan untuk pabrik.
Suatu perencanaan tata letak yang optimal akan mencoba mengatasi segala
pemborosan pemakaian ruangan tersebut dan berusaha mengkoreksinya.
5. Pendaya guna yang lebih besar dari pemakaian mesin, tenaga kerja, dan atau
fasilitas produksi lainnya.
Faktor-faktor pemanfaatan mesin, tenaga kerja dan lain-lain adalah erat kaitannya
dengan biaya produksi. Suatu tata letak yang terencana baik akan banyak
membantu pembangunan elemen-elemen produksi secara lebih efektif dan efisien.
6. Mengurangi Inventory in process
Sistem produksi pada dasarnya menghendaki sedapat mungkin bahan baku untuk
berpindah dari satu operasi langsung ke operasi berikutnya secepat-cepatnya dan
berusaha mengurangi bertumpuknya bahan setengah jadi (material in process).
7. Proses manufacturing yang lebih singkat
Dengan memperpendek jarak antara operasi satu dengan yang lain dan
mengurangi bahan yang menunggu serta storage yang tidak diperlukan maka
waktu yang diperlukan dari bahan baku untuk berpindah dari satu tempat
ketempat yang lainnya dalam pabrik akan juga bisa diperpendek sehingga secara
total waktu produksi akan dapat pula diperpendek.
8. Mengurangi resiko bagi kesehatan dan keselamatan kerja dari operator
Perencanaan tata letak pabrik adalah juga ditunjukan untuk membuat suasana
kerja yang nyaman dan aman bagi mereka yang bekerja didalamnya. Hal-hal yang
bisa dianggap membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan kerja dari operator
haruslah dihindari.
9. Memperbaiki moral dan kepuasan kerja
Pada dasarnya orang menginginkan untuk bekerja dala suatu pabrik yang segala
sesuatunya diatur secara tertib, rapih, dan baik. Penerangan yang cukup, sirkulasi
yang bagus, dan lain-lain akan menciptakan suasana lingkungan kerja yang
menyenangkan sehingga moral dan kepuasan kerja akan dapat lebih ditingkatkan.
Hasil positif dari kondisi ini tentu saja berupa performansi kerja yang lebih baik
dan menjurus kearah peningkatan produktivitas kerja.
10. Mempermudah aktivitas supervisi
Tata letak pabrik yang terencana baik akan mempermudah aktivitas supervisi.
Dengan meletakan kantor/ruangan diatas, maka seorang supervisor akan dapat
dengan mudah mengamati segala aktivitas yang sedang berlangsung diarea kerja
yang dibawah pengawasan dan tanggung jawabnya.
11. Mengurangi kemacetan dan kesimpang-siuran
Material yang menunggu, gerakan pemindahan yang tidak perlu, serta banyaknya
perpotongan (intersection) dari lintasan yang ada akan menyebabkan kesimpang-
siuran yang akhirnya akan membawa kearah kemacetan aliran produksi.
2.8. Prinsip-Prinsip Dasar Didalam Perencanaan Tata Letak
Fasilitas/Pabrik
Berdasarkan aspek dasar, tujuan dan keuntungan-keuntungan yang bisa
didapatkan dalam tata letak pabrik/fasilitas yang terencanakan dengan baik, maka
bisa disimpulkan enam tujuan dalam tata letak pabrik/fasilitas, yaitu sebagai berikut:
1. Integrasi secara menyeluruh dari semua faktor yang mempengaruhi proses
produksi.
2. Perpindahan jarak seminimal mungkin.
3. Aliran kerja berlangsung secara lancar melalui pabrik.
4. Kepuasan kerja dan rasa aman dari pekerja dijaga sebaik-baiknya.
5. Pengaturan tata letak harus cukup fleksibel.
Langkah-Langkah Perencanaan Tata Letak Pabrik
Tata letak pabrik berhubungan erat dengan segala proses perencanan dan
pengaturan letak dari pada mesin, peralatan, aliran bahan, dan orang-orang yang
bekerja dimasing-masing stasiun kerja yang ada. Tata letak yang baik dari segala
fasilitas produksi dalam suatu pabrik adalah dasar untuk membuat operasi kerja
menjadi lebih efektif dan efisien. Secara umum pengaturan dari pada semua fasilitas
produksi ini direncanakan sedemikian rupa sehingga akan diperoleh:
a.Minimum transportasi dari proses pemindahan bahan.
b. Minimum gerakan balik yang tidak perlu.
c.Minimum pemakainan area tanah.
d. Pola aliran produksi yang terbaik.
e.Keseimbangan pengunaan area tanah yang dimiliki.
f. Keseimbangan didalam lintasan perakitan (assembly line balancing).
g. Kemungkinan dan fleksibilitas untuk menghadapi kemungkinan ekspansi
dimasa mendatang.
Pada dasarnya proses pengaturan segala fasilitas produksi dalam pabrik ini dibedakan
dalam dua tahapan, yaitu sebagai berikut:
a.Pengaturan tata letak mesin dan fasilitas produksi lainnya (machine layout), yaitu
pengaturan dari semua mesin-mesin dan fasilitas yang diperlukan untuk proses
produksi didalam tiap-tiap departemen dari pabrik yang ada.
b. Pengaturan tata letak departemen (departementalization), yaitu pengaturan
bagian departemen serta hubungannya satu dengan yang lainnya didalam pabrik
yang bersangkutan.
2.9. Luas Lantai Produksi
Luas lantai produksi digunakan untuk mengetahui luas lahan yang akan
digunakan dalam perencanaan Tata Letak Fasilitas dan perusahaan yang akan
didirikan. Perhitungan luas lantai produksi dimulai dari luas kebutuhan lahan sampai
perkantoran dengan memperhatikan segala fasilitas pendukungnya.
Dalam melakukan suatu perencanaan Tata Letak Fasilitas dan pemindahan
bahan, dibutuhkan beberapa kebutuhan luas lantai untuk kegiatan produksi pabrik
yang akan didirikan, serta fasilitas-fasilitas pendukung lainnya. Dengan demikian
perlu dihitung berapa luas lantai yang disiapkan, terutama untuk kegiatan bagian
produksi. Perhitungan luas lantai ini didasarkan pada bahan baku yang akan
disiapkan. Berdasarkan hal tersebut maka akan didapat luas lantai Receiving (Gudang
bahan baku) model Tumpukan dan Rak. Tumpukan digunakan untuk material yang
rata-rata mempunyai dimensi yang besar sehingga tidak memungkinkan untuk
dimasukan kedalam suatu wadah/tempat tertentu. Sedangkan untuk material yang
menggunakan model penyimpanan menggunakan rak, digunakan untuk material yang
berdimensi kecil.
Dalam menghitung kebutuhan luas lantai, dilibatkan pula masalah-masalah
yang berkaitan dengan kegiatan lainnya yang akan memepengaruhi terhadap luas
lantai tersebut, yaitu:
a. Alat angkut
b. Cara pengangkutan
c. Cara penyimpanan bahan baku (ditumpuk atau dirak)
d. Aliran bahan
Kesemua hal diatas harus diperhitungkan dalam penentuan luas lantai dengan
menambah harga Allowance (kelonggaran) tertentu. Dengan demikian perlu dihitung
beberapa luas lantai yang disiapkan, terutama untuk kegiatan bagian produksi yang
didasarkan pada:
1. Bahan baku yang akan disiapkan
2. Mesin atau peralatan yang digunakan
3. Barang jadi yang dihasilkan
Tujuan menghitung luas lantai adalah untuk memperkirakan kebutuhan luas
lantai bagian produksi, yang meliputi:
1. Receiving (Gudang bahan baku model Tumpukan dan Rak)
2. Pabrikasi dan Assembling (Mesin dan Peralatan)
3. Shipping (Gudang barang jadi untuk kemasan isi dan kemasan kosong)
Keguanaan luas lantai adalah saat digunakan dalam membantu untuk
perhitungan Ongkos Material Handling (OMH) antar Departemen, sesuai dengan
luas lantai hasil perhitungan.
2.10. Luas Lantai Gudang Bahan Baku (Receiving)
Luas lantai gudang bahan baku (Receiving) adalah luas lantai yang
dipergunakan untuk menyimpan bahan baku atau material yang akan digunakan
dalam produksi. Luas lantai gudang bahan baku terbagi menjadi dua model, yaitu
model Tumpukan dan model Rak. Untuk memberi gambaran dari cara penyimpanan
bahan baku digudang, maaka diperlukan gambar bagaimana cara penyimpanan
material tersebut (baik model Tumpukan maupun model Rak), sehingga luas lantai
yang dipakai sesuai dengan hasil perhitungan. Ruangan gambar yang dibuat harus
memberi penjelasan mengenai:
a. Tinggi memuat berapa tumpuk
b. Lebar memuat berapa tumpuk
c. Panjang memuat berapa tumpuk
2.11. Luas Lantai Gudang Barang Jadi (Shipping)
Data yang diperlukan dalam perhitungan luas lantai gudang barang jadi
(Shipping) antara lain adalah: nomor komponen, nama komponen dan tipe barang
jadi. Langkah-langkah perhitungan luas lantai gudang barang jadi adalah sebagai
berikut:
1. Tentukan ukuran kemasan yaitu ukuran atau dimensi dari kemasan untuk tempat
produk jadi perusahaan.
2. Tentukan produksi jadi per satuan periode, yaitu produk yang dihasilkan untuk
periode tertentu didasarkan pada produksi per jam dari perusahaan.
3. Tentukan volume kemasan total, yaitu volume kebutuhan untuk produk jadi per
periode tertentu.
4. Tentukan luas lantai, yaitu lahan yang dibutuhkan berdasarkan volume kemasan.
5. Tentukan Allowance.
6. Tentukan total luas lantai.
2.12. Luas Lantai Mesin
Luas lantai mesin (Pabrikasi dan Assembling) juga perlu perhitungan dalam
perencanaan tata letak fasilitas dan pemindahan bahan. Data yang diperlukan dalam
perhitungan luas lantai antara lain adalah:
a. Nama Mesin / Peralatan
b. Jumlah Mesin / Peralatan
c. Ukuran Mesin / Peralatan
Data ini dapat diperoleh dari Multi Product Process Chart (MPPC).
Pada luas lantai mesin juga perlu diperhatikan luas toleransi dan
allowancenya. Luas toleransi diberikan untuk jalannya aliran produksi sehingga tidak
mengalami kesulitan sewaktu proses produksi berjalan, dan luas allowance diberikan
untuk jalannya alat-alat pengangkut bahan dan barang.
2.13. Luas Lantai Tumpukan
Kode, Nama Komponen, Tipe Bahan, Ukuran Pakai dan Ukuran Terima dapat
dilihat dari deskripsi OPC.
a. Potongan Material = Ukuran Terima (P)/Ukuran Pakai (P).
b. Menentukan Produksi/Jam, yaitu dilihat dari Routing Sheet DS-nya
c. Material/jam = Produksi per jam potongan material.
d. Material 10 hari = Material per jam x 10 hari x 8 jam kerja.
e. Menghitung Volume Unit dari ukuran terima (D x P).
f. Volume Kebutuhan = Vol. Unit x Material 10 hari.
g. Menentukan tumpukan bahan baku dengan memperhitungkan jumlah material 10
hari dan ukuran terima tinggi maksimum adalah 2,0 m..
h. Luas Lantai = Luas Lantai + Total Allowance
2.14. Luas Lantai Rak
Kode, Nama Komponen, Tipe Bahan, Ukuran Pakai dan Ukuran Terima dapat
dilihat dari deskripsi OPC.
a. Potongan Material = Ukuran Terima (P)/Ukuran Pakai (P).
b. Menentukan Produksi/Jam, yaitu dilihat dari Routing Sheet DS-nya.
c. Material/jam = Produksi per jam potongan material.
d. Material 10 hari = Material per jam x 10 hari x 8 jam kerja.
e. Menghitung Volume Unit dari ukuran terima (P x L x T).
f. Volume Kebutuhan = Vol. Unit x Material 10 hari.
g. Menentukan tumpukan bahan baku dengan memperhitungkan jumlah material 10
hari dan ukuran terima tinggi maksimum adalah 2,0 m.
h. Luas Lantai = Luas Lantai + Total Allowance
2.15. Luas Lantai Mesin Departemen Pabrikasi
Karena pada pembuatan produk dilakukan pembuatan Lay Out pabrik dengan
tipe Lay Out by Product maka departemen akan diposisikan sesuai dengan komponen
pembentuknya, yaitu produknya. Dalam melakukan perhitungan luas lantai
departemen pabrikasi ini maka diperlukan data mentah berupa luas masing-masing
jenis mesin dan jumlah mesin yang dipergunakan.
Untuk mesin yang digunakan dalam proses pabrikasi haruslah dikelompokkan
kedalam departemen pabrikasi dan pada departemen pabrikasi ini juga dikelompokan
mesin-mesin yang sejenis, karena tipe Lay Out yang digunakan adalah Lay Out by
Process.
2.16. Luas Lantai Fasilitas
Besarnya luas lantai fasilitas ini disesuaikan dengan kebutuhan dari kegiatan
produksi. Sebagai contoh apabila sebuah perusahaan manufaktur yang berskala besar
yang mempunyai hasil limbah dan tidak dapat didaur ulang langsung, maka
diperlukan suatu fasilitas khusus untuk mengatasi permasalahan ini. Selain itu juga
diperlukan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya, seperti areal pertambangan, daerah
parkir, daerah kantin dan lain sebagainya. Tetapi dilain hal, penentuan jumlah dan
jenis fasilitas yang diperlukan ini haruslah dilakukan suatu prioritas terhadap
alternatif-alternatif yang ada. Dan tidak perlu dilupakan satu hal bahwa lokasi atau
adanya fasilitas ini bukanlah merupakan faktor yang mutlak harus ada dalam suatu
perusahaan baik dari segi kuantitas maupun jenis fasilitasnya.
Ketentuan-ketentuan dalam pemilihan fasilitas layanan harus disesuaikan
dengan kondisi manajemen perusahaan yang direncanakan. Dalam arti bahwa dalam
perusahaan besar jelas memiliki jenis dan ukuran fasilitas yang berbeda dengan
perusahaan kecil.
2.10. Macam/Tipe Tata Letak Fasilitas Produksi dan Pola Aliran Pemindahan
Bahan
Pemilihan dan penempatan alternatif layout merupakan langkah yang kritis
dalam proses perencanaan fasilitas produksi, karena disini layout yang dipilih akan
menentukan hubungan fisik dari aktivitas-aktivitas produksi yang berlangsung.
Berikut ini beberapa jenis tata letak fasilitas berdasarkan aliran produksinya, yaitu
sebagai berikut:
a. Tata Letak Fasilitas Berdasarkan Aliran Produksi (Product Layout atau
Production Line Product)
Product layout dapat didefenisikan sebagai metode atau cara pengaturan dan
penempatan semua fasilitas produksi yang diperlukan ke dalam suatu departemen
tertentu atau khusus. Suatu produk dapat dibuat/diproduksi sampai selesai di dalam
departemen tersebut. Bahan baku dipindahkan dari stasiun kerja ke stasiun kerja
lainnya di dalam departemen tersebut, dan tidak perlu dipindah-pindahkan ke
departemen yang lain.
Dalam product layout, mesin-mesin atau alat bantu disusun menurut urutan
proses dari suatu produk. Produk-produk bergerak secara terus-menerus dalam suatu
garis perakitan. Product layout akan digunakan bila volume produksi cukup tinggi
dan variasi produk tidak banyak dan sangat sesuai untuk produksi yang kontinyu.
Tujuan dari tata letak ini adalah untuk mengurangi proses pemindahan bahan dan
memudahkan pengawasan di dalam aktivitas produksi, sehingga pada akhirnya terjadi
penghematan biaya.
Keuntungan tipe product layout adalah:
1. Layout sesuai dengan urutan operasi, sehingga proses berbentuk garis.
2. Pekerjaan dari satu proses secara langsung dikerjakan pada proses berikutnya,
sebagai akibat inventory barang setengah jadi menjadi kecil.
3. Total waktu produksi per unit menjadi pendek.
4. Mesin dapat ditempatkan dengan jarak yang minimal, konsekuensi dari operasi ini
adalah material handling dapat dikurangi.
5. Memerlukan operator dengan keterampilan yang rendah, training operator tidak
lama dan tidak membutuhkan banyak biaya.
6. Lokasi yang tidak begitu luas dapat digunakan untuk transit dan penyimpanan
barang sementara.
7. Memerlukan aktivitas yang sedikit selama proses produksi berlangsung.
Sedangkan kerugian dari product layout adalah:
1. Kerusakan dari satu mesin akan mengakibatkan terhentinya proses produksi.
2. Layout ditentukan oleh produk yang diproses, perubahan desain produk
memerlukan penyusunan layout ulang.
3. Kecepatan produksi ditentukan oleh mesin yang beroperasi paling lambat.
4. Membutuhkan supervisi secara umum tidak terspesifikasi.
5. Membutuhkan investasi yang besar karena mesin yang sejenis akan dipasang lagi
kalau proses yang sejenis diperlukan.
Gambar 2.3. Contoh Aliran Produksi Product Layout
a. Layout yang Berposisi Tetap (Fixed Position Layout)
Sistem berdasarkan product layout maupun process layout, produk bergerak
menuju mesin sesuai dengan urutan proses yang dijalankan. Layout yang berposisi
tetap ditunjukkan bahwa mesin, manusia serta komponen-komponen bergerak menuju
lokasi material untuk menghasilkan produk. Layout ini biasanya digunakan untuk
memproses barang yang relatif besar dan berat sedangkan peralatan yang digunakan
mudah untuk dilakukan pemindahan. Contoh dari industri ini adalah industri pesawat
terbang, penggalangan kapal, pekerjaan konstruksi bangunan.
Keuntungan tata letak tipe ini adalah:
1. Karena yang berpindah adalah fasilitas-fasilitas produksi, maka perpindahan
material dapat dikurangi.
2. Bila pendekatan kelompok kerja digunakan dalam kegiatan produksi, maka
kontinyuitas produksi dan tanggung jawab kerja bisa tercapai dengan sebaik-
baiknya.
Sedangkan kerugian dari tipe tata letak ini adalah:
1. Adanya peningkatan frekuensi pemindahan fasilitas produksi atau operator pada
saat operasi berlangsung.
2. Adanya duplikasi peralatan kerja yang akhirnya menyebabkan perubahan space
area dan tempat untuk barang setengah jadi.
3. Memerlukan pengawasan dan koordinasi kerja yang ketat khususnya dalam
penjadwalan produksi.
Gambar 2.4. Contoh Aliran Produksi Fixed Position Layout
2.11. Pola Aliran Bahan Untuk Proses Produksi (Pabrikasi)
Pola aliran yang dipakai untuk pengaturan aliran bahan dalam proses produksi
yang terdiri dari:
1. Straight line
Pola aliran berdasarkan garis lurus atau Straight line umum dipakai bilamana
proses produksi berlangsung singkat, relatif sederhana dan umum terdiri dari
beberapa komponen-komponen atau beberapa macam production equipment. Pola
aliran bahan berdasarkan garis lurus ini akan memberikan:
Jarak yang terpendek antara dua titik.
Proses atau aktivitas produksi berlangsung sepanjang garis lurus.
Jarak perpindahan bahan (handling distance) secara total akan kecil karena jarak
antara masing-masing mesin adalah yang sependek-pendeknya.
Gambar 2.5. Contoh Aliran Straight Line
2. Serpentine atau zig-zag (S-Shaped)
Pola aliran berdasarkan garis-garis patah ini sangat baik diterapkan bilamana aliran
proses produksi lebih panjang dibandingkan dengan luas area yang tersedia. Untuk itu
aliran bahan akan dibelokan untuk menambah panjangnya garis aliran yang ada dan
secara ekonomis hal ini dapat mengatasi segala keterbatasan dari area, dan ukuran
dari bangunan pabrik yang ada.
Gambar 2.6. Contoh Aliran Serpentine Atau Zig-Zag (S-Shaped)
3. U-Shaped
Pola aliran menurut U-Shaped ini akan dipakai bilamana dikehendaki bahwa
akhir dari proses produksi akan berada pada lokasi yang sama dengan awal proses
produksinya. Hal ini akan mempermudah pemanfaatan fasilitas transportasi dan juga
sangat mempermudah pengawasan untuk keluar masuknya material dari dan menuju
pabrik. Aplikasi garis aliran bahan relatif panjang, maka aliran U-Shaped ini akan
tidak efisien.
Gambar 2.7. Contoh Aliran U-Shaped
4. Circular
Pola aliran berdasarkan bentuk lingkaran (circular) sangat baik dipergunakan
bilamana dikehendaki untuk mengembalikan material atau produk pada titik awal
aliran produksi berlangsung. Aliran ini juga baik dipakai apabila departemen
penerimaan material atau produk jadi direncanakan untuk berada pada lokasi yang
sama dalam pabrik yang bersangkutan.
Gambar 2.8. Contoh Aliran Circular
5. Odd angle
Pola aliran berdasarkan Odd angle ini tidaklah begitu dikenal dibandingkan
dengan pola-pola aliran yang lain. Pada dasarnya pola ini sangat umum dan baik
digunakan untuk kondisi-kondisi seperti:
a.Bilamana tujuan utamanya adalah untuk memperoleh garis aliran yang produk
diantara suatu kelompok kerja dari area yang saling berkaitan.
b. Bilamana proses handling dilaksanakan secara mekanis.
c.Bilamana keterbatasan ruangan menyebabkan pola aliran yang lain terpaksa tidak
dapat diterapkan.
d. Bilamana dikehendaki adanya pola aliran yang tetap dari fasilitas-fasilitas
produksi yang ada.
Gambar 2.9. Contoh Aliran Odd Angle
2.12. Ongkos Material Handling
Material Handling adalah salah satu jenis transportasi (pengangkutan) yang
dilakukan dalam perusahaan industri, yang artinya memindahkan bahan baku, barang
setengah jadi atau barang jadi dari tempat asal ketempat tujuan yang telah ditetapkan.
Pemindahan material dalam hal ini adalah bagaimana cara yang terbaik untuk
memindahkan material dari satu tempat proses produksi ketempat proses produksi
yang lain.
Pada dasarnya kegiatan material handling adalah kegiatan tidak produktif,
karena pada kegiatan ini bahan tidaklah mendapat perubahan bentuk atau perubahan
nilai, sehingga sebenarnya akan mengurangi kegiatan yang tidak efektif dan mencari
ongkos material handling terkecil. Menghilangkan transportasi tidaklah mungkin
dilakukan, maka caranya adalah dengan melakukan hand-off, yaitu menekan jumlah
ongkos yang digunakan untuk biaya transportasi. Menekan jumlah ongkos
transportasi dapat dilakukan dengan cara: menghapus langkah transportasi,
mekanisasi atau meminimasi jarak.
Ongkos Material Handling (OMH) adalah suatu ongkos yang timbul akibat
adanya aktivitas material dari satu mesin ke mesin lain atau dari satu departemen
kedepartemen lain yang besarnya ditentukan sampai pada suatu tertentu. Satuan yang
digunakan adalah Rupiah/Meter Gerakan. Tujuan dibuatnya perencanaan Material
Handling adalah:
a.Meningkatkan Kapasitas
b. Memperbaiki kondisi kerja
c.Memperbaiki pelayanan pada konsumen
d. Meningkatkan kelengkapan dan kegunaan ruangan
e.Mengurangi ongkos
Tujuan utama dari perencanaan material handling adalah untuk mengurangi
biaya produksi. Selain itu, material handling sangat berpengaruh terhadap operasi
dan perancangan fasilitas yang diimplementasikan. Beberapa tujuan dari sistem
material handling antara lain (Meyers, F.E.):
1. Menjaga atau mengembangkan kualitas produk, mengurangi kerusakan dan
memberikan perlindungan terhadap material.
2. Meningkatkan keamanan dan mengembangkan kondisi kerja.
3. Meningkatkan produktivitas.
4. Meningkatkan tingkat penggunaan fasilitas.
5. Mengurangi bobot mati.
6. Sebagai pengawasan persediaan.
2.13. Hubungan Antara Penanganan Material dan Tata Letak Pabrik
Dalam sistem manufaktur, dua aktivitas yang sering berpengaruh satu sama lain
adalah penanganan material dan tata letak pabrik. Hubungan dua aktivitas tersebut
menyangkut data yang diperlukan untuk rancangan tiap aktivitas, tujuan umum,
pengaruh ruangan dan pola aliran. Secara khusus masalah tata letak pabrik
membutuhkan informasi mengenai biaya operasi peralatan agar penempatan
departemen dapat menimbulkan total biaya penanganan material yang minimum.
Oleh karenanya dalam perancangan sistem penanganan material, harus diketahui
panjang perpindahan material, waktu perpindahan, sumber dan tujuan perpindahan.
Tata letak pabrik dan penanganan material mempunyai tujuan umum yaitu
meminimumkan biaya. Biaya penanganan material dapat diminimumkan dengan
menyusun lebih dekat departemen-departemen yang berhubungan, agar perpindahan
material terjadi dengan jarak yang pendek. Minimasi biaya merupakan salah satu
tujuan utama dari sistem penanganan material. Ada beberapa cara untuk mencapai
tujuan tersebut, antara lain:
1. Mengurangi waktu menganggur peralatan.
2. Pemakaian maksimum peralatan untuk mendapatkan satuan muatan yang tinggi.
3. Meminimumkan perpindahan material.
4. Mengatur departemen-departemen sedekat mungkin agar jarak perpindahan
material lebih pendek.
5. Mencegah perbaikan yang besar dengan melakukan perencanaan aktivitas
perawatan yang lebih baik.
6. Harus menggunakan peralatan yang tepat untuk mengurangi kerusakan material.
7. Menghindari pekerjaan yang tidak aman bagi tenaga kerja seperti mengangkat
beban yang terlalu berat.
8. Mengurangi keanekaragaman jenis peralatan untuk mengurangi kebutuhan
investasi.
9. Mengganti peralatan yang sudah usang dengan peralatan yang baru agar lebih
efisien.
Penentuan ongkos material handling dapat digunakan sebagai dasar untuk
menentukan tata letak fasilitas. Ditinjau dari segi biaya, tata letak yang baik adalah
tata letak yang mempunyai total ongkos material handling kecil, meskipun dalam hal
ini biaya bukan satu-satunya indikator untuk menyatakan bahwa tata letak itu baik
dan masih banyak faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan. Secara umum biaya
yang termasuk dalam perancangan dan operasi sistem penanganan material adalah
sebagai berikut:
1. Biaya investasi
Yang termasuk dalam biaya ini adalah harga pembelian peralatan, harga
komponen alat bantu dan biaya instalasi.
2. Biaya operasi yang terdiri dari:
a. Biaya perawatan.
b. Biaya bahan bakar.
c. Biaya tenaga kerja yang terdiri dari upah dan jaminan kecelakaan.
3. Biaya pembelian muatan, yang digolongkan dalam pembelian alat-alat material.
4. Biaya yang menyangkut masalah pengepakan dan kerusakan material.
Dalam melakukan suatu perencanaan tata letak fasilitas/pabrik, aktivitas dalam
pemindahan bahan material (Material Handling) merupakan salah satu faktor yang
cukup penting untuk diperhatikan dan diperhitungkan. Kegiatan pemindahan material
tersebut dapat ditentukan dengan terlebih dahulu memperhatikan suatu proses aliran
bahan yang terjadi dalam suatu kegiatan operasi, kemudian hal yang harus
diperhatikan adalah tipe Lay Out yang akan digunakan.
1. Lay-Out By Product
Lay-out by product adalah penempatan mesin yang disesuaikan dengan urutan proses
produksi dari produk yang akan dibuat pada satu departemen.
Keuntungan:
a.Pergerakan material tidak terlalu besar.
b. Jika pergerakan material tidak terlelu besar, maka ongkos Material Handling
pun kecil.
c.Keseimbangan lintasan akan mudah dilakukan atau mudah diawasi.
d. Ruangan untuk masing-masing mesin atau stasiun kerja relatif kecil.
e.Waktu penyelesaian produk bisa lebih cepat.
Kerugian:
a.Jika terjadi kerusakan pada satu mesin akan menyebabkan kerusakan pada satu
sistem.
b. Tingkat fleksibelitas pada masing-masing departemen kecil.
c.Tingkat Botle Neck (Penumpukan) akan terjadi lebih besar jika salah satu mesin
lambat.
2. Lay-Out By Process
Lay-out By Process adalah penempatan mesin-mesin yang sama pada satu
departemen.
Keuntungan:
a.Pemakaian mesin-mesin dapat direncanakan dengan lebih baik.
b. Fleksibelitas terhadap perubahan produk dan dengan mudah dapat dirubah
urutannya.
c.Mudah menjaga kontinyuitas produksinya, bila ada kerusakan mesin, kekurangan
bahan, pekerja tidak masuk dan sebagainya.
d. Mendorong pekerja untuk berproduksi lebih banyak.
Kerugian:
a.Perencanaan dan penjadwalan produksi menjadi lebih rumit.
b. Memerlukan pemindahan barang yang lebih banyak.
c.Pergerakan material lebih besar, maka Material Handling pun besar.
d. Dibutuhkan tempat yang besar untuk masing-masing stasiun kerja.
e.Memerlukan tenaga kerja terlatih untuk macam-macam pekerjaan.
f. Waktu pembuatan produk relatif lebih lama.
Peralatan yang biasa digunakan sebuah perusahaan Manufaktur Diskrit dalam
melakukan kegiatan Material Handling ini adalah:
a. Conveyor
b. Cranes
c.Truck (lift Truck dan Walky Fallet)
Tiga tahapan dalam melakukan Material Handling, yaitu:
1. Progresif/sistem orientik yang terdiri dari semua sumber/supply.
a. Perpindahan barang dari semua sumber
b. Perpindahan semua barang dalam pabrik atau manufaktur secara diam
2. Contemporary, yaitu perpindahan barang material dari suatu tempat ke tempat
lainnya.
3. Convensional, yaitu perpindahan barang dari suatu tempat ketempat lainnya
secara individual.
Beberapa aktivitas pemindahan bahan yang perlu diperhitungkan adalah sebagai
berikut:
a.Pemindahan bahan dari gudang bahan baku (Receiving) menuju departemen
Pabrikasi maupun departemen Assembling.
b. Pemindahan bahan yang terjadi diproses satu jenis mesin menuju jenis
departemen yang lainnya.
c.Pemindahan bahan dari departemen Assembling menuju gudang barang jadi
(Shipping).
Setelah diketahui aktivitas-aktivitas pemindahan yang terjadi, maka selanjutnya dapat
dihitung ongkos material handling yang terjadi pada aktivitas-aktivitas tersebut.
faktor-faktor yang mempengaruhi perhitungan ongkos material handling sebagai
berikut:
1. Alat Angkut yang digunakan
Untuk menentukan alat angkut yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
a. Berat material yang disesuaikan dengan daya angkut maksimal alat angkut.
b. Bentuk dan jenis material serta ukuran luasnya disesuaikan dengan daya tumpang
alat angkut.
c. Sifat material dimana harus diperhatikan kemungkinan menggunakan alat angkut
khusus.
Beberapa alat angkut yang umum digunakan:
a. Alat angkut dengan menggunakan Tenaga Manusia (0 – 15 Kg).
b. Alat angkut dengan menggunakan Walky Fallet (15 – 50 Kg).
c. Alat angkut dengan menggunakan Lift Truck (diatas 50 Kg).
2. Jarak Pengangkutan
Kegiatan awal perhitungan OMH merupakan perhitungan tahap pertama, karena akan
dilakukan lagi perhitungan OMH yang merupakan revisi dari perhitungan tahap
pertama. Pada perhitungan tahap pertama jarak antar kelompok mesin dan
departemen yang mengalami aktivitas pengangkutan diasumsikan berdampingan.
Selain itu untuk mengoptimalkan jarak antar aktivitas tersebut, maka kelompok mesin
atau departemen untuk sementara diasumsikan berbentuk bujur sangkar.
3. Cara Pengangkutan
Material Handling adalah salah satu jenis transportasi (pengangkutan) yang
dilakukan dalam perusahaan industri, yang artinya memindahkan bahan baku, barang
setengah jadi, atau barang jadi dari tempat asal ketempat tujuan yang telah ditetapkan.
Pemindahan material dalam hal ini dalah bagaimana cara yang terbaik untuk
memindahkan material dari satu tempat proses produksi ketempat proses produsi
yang lain.
Pada dasarnya kegiatan material handling adalah kegiatan tidak produktif, karena
pada kegiatan ini bahan tidaklah mendapat perubahan bentuk atau perubahan nilai,
sehingga sebenarnya akan mengurangi kegiatan yang tidak efektif dan mencari
ongkos material handling terkecil. Menghilangkan trasportasi, tidaklah mungkin
dilakukan. Maka caranya adalah dengan melakukan hand off, yaitu menekan jumlah
ongkos yang digunakan untuk biaya transportasi. Menekan jumlah ongkos
transportasi dapat dilakukan dengan cara menghapus langkah transportasi,
mekanisasi, atau meminimasi jarak. Ongkos Material Handling adalah suatu ongkos
yang timbul akibat adanya aktivitas material dari satu masin ke mesin lain atau dari
satu departemen ke departemen lain yang besarnya ditentukan sampai pada suatu
tertentu. Satuan yang digunakan adalah rupiah/meter gerakan. Tujuan dibuatnya
perencanaan material handling ini adalah:
1. Meningkatkan kapasitas
2. Memperbaiki kondisi kerja
3. Memperbaiki pelayanan pada konsumen
4. Meningkatkan Kelengkapan dan kegunaan ruangan
5. Mengurangi ongkos produksi
Dalam melakukan suatu Perencanaan Tata Letak Pabrik, maka aktivitas dalam
pemindahan bahan material (Material Handling) merupakan salah satu faktor yang
cukup penting untuk diperhatikan dan diperhitungkan. Kegiatan pemindahan material
tersebut dapat ditentukan dengan terlebih dahulu memperhatikan suatu proses aliran
bahan yang terjadi dalam suatu kegiatan operasi.
Tiga tahapan dalam melakukan material handling, yaitu:
1. Progresif/sistem orientik yang terdiri dari semua sumber/supply.
a. Perpindahan barang dari semua sumber
b. Perpindahan semua barang dalam pabrik/manufaktur secara diam
2. Contemporarry, yaitu perpindahan barang material dari suatu tempat ke tempat
lainya.
3. Convensional, yaitu perpindahan barang dari suatu tempat ke tempat lainya secara
individual.
Beberapa aktivitas pemindahan bahan yang perlu diperhitungkan adalah sebagai
berikut:
a. Pemindahan bahan dari gudang bahan baku (Receiving) menuju departemen
pabrikasi maupun departemen assembling.
b. Pemindahan bahan yang terjadi diproses satu jenis mesin menuju jenis depatemen
yang lainnya.
c. Pemindahan bahan dari departemen assembling menuju departemen assembling.
d. Pemindahan bahan dari departemen assembling menuju gudang barang jadi
(Shipping).
Kemudian setelah diketahui aktivitas-aktivitas pemindahan yang terjadi, maka
selanjutnya dapat dihitung ongkos material handling yang terjadi aktivitas-aktivitas
yang ada tersebut.
BAB III
METODOLOGI
A. Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dilakukan pada PT. Bosowa Beton yang merupakan salah satu
perusahaan multi Nasional yang berkedudukan di Kawasan Industri Makassar.
Penelitian ini berlangsung pada bulan Agustus – Oktober 2014
B. Jenis dan sumber data
Data yang penulis kumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari :
a. Data primer : adalah data yang penulis peroleh secara langsung dari obyek
penelitian melalui pengamatan ataupun pengukuran yang merupakan data
utama yang akan di olah untuk membuktikan hipotesa yang penulis ajukan.
b. Data sekunder : adalah data pelengkap yang penulis dapatkan dari arsip
perusahaan atau referensi lain untuk mendukung penelitian ini.
C. Metode pengumpulan data
Data yang penulis gunakan pada penelitian ini diperoleh dengan cara :
a. Penelitian lapangan (Field Research) yaitu : penelitian yang dilakukan
dengan cara melakukan pengukuran / pengumpulan data secara langsung
pada obyek penelitian
b. Penelitian Pustaka (Library Research) yaitu : Penelitian yang dilakukan
dengan cara melakukan pengumpulan data memalui arsip arsip atau referensi
yang dapat mendukung data yang diperoleh.
D. Metode analisis
Untuk menganalisis data yang penulis peroleh atau
kumpulkan pada penelitian ini maka penulis menggunakan beberapa
formulasi antra lain :
a. Menghitung Kapasitas Produksi setiap mesin
b. Menghitung Balance kapasity (keseimbangan Lintasan) antara mesin
produksi dengan menggunakan tahapan formulasi sebagai berikut :
Menghitung jumlah stasiun kerja efisien (k) :
kmin = ∑i=1
n
Ti
CT
Di mana :
Ti = Waktu operasi pada task ke- (i = 1,2,3,
…,n).
CT = Waktu siklus.
n = Banyaknya task.
kmin = Banyaknya stasiun kerja minimal.
Menghitung Waktu produksi satsiun kerja terbesar per hari dinyatakan sebagai berikut :
Ti maks = ≤ CT ≤ P/Q
Di mana :
Timaks = Waktu operasi terbesar pada
lintasan.
CT = Waktu siklus.
P = Jam kerja efektif per hari.
Q = Jumlah produksi per hari.
Balance Delay dinyatakan dalam persentase. Balance Delay
dapat dirumuskan sebagai berikut :
k
(k × CT ) − ∑ STi
BD = i =1 × 100% (k × CT )
Di mana :
k = Banyaknya stasiun kerja (WS). CT = Waktu siklu
STi = Station Time dari WS ke-i.
- Line Efficiency (LE) adalah rasio dari total waktu di stasiun kerja terhadap
keterkaitan antara waktu siklus dengan jumlah stasiun kerja (dinyatakan
dalam persentase).
k
∑ STi
LE = i =1
× 100% (k × CT )
Di mana :
k = Banyaknya stasiun kerja
(WS). CT = Waktu siklus.
STi = Station Time dari WS ke-i.
Smoothness Index dikatakan sempurna apabila nilainya sama dengan nol atau disebut juga perfect balance.
SI = √∑i=1
k
(CT −ST i )2
Dimana :
k = Banyaknya stasiun kerja (WS)
CT = Waktu Siklus
STi = Station Time dari WS ke-i
66
BAB IV
DATA DAN PEMBAHASAN
4.1. Data
Data produksi dan jam jalan mesin untuk ketiga jenis mesin yang diteliti dapat
disajikan dalam tabel berikut :
Tabel 4.1. Data produksi Banching Plant
No Jenis mesin Jam jalan mesin
Ciclus Time (jam)
Delay Time(jam)
1
2
3
4
Mixer
Kompressor
Belt Kompressor
Hopper
10
12
18
24
8
10
17
23
2
2
1
1
Sumber : Data diolah
Rata waktu jam jalanmesin adalah : Ʃ Xi
k
= 10+12+18+24
4 =
644
= 16 jam
67
Yang dimaksud dengan jam jalan mesin disini adalah waktu dimana mesin tersebut
mulai start (dihidupkan) sampai dengan selesai (dimatikan) data jam jalan mesin ini
penulis dapatkan dari pengamatan langsung (data primer) kemudian dibandingkan
dengan data sekunder yang berasal dari arsip perusahaan. Data ini dihitung sejak
operator menjalankan mesin sampai dengan operator mematikan mesin.Jam jalan
mesin juga merupakan data jam kerja mesin terbesar. Cyclus Time atau waktu siklus
merupakan waktu yang digunakan oleh mesin pada saat menyelesaikan satu siklus
pekerjaan atau waktu yang dibutuhkan mesin untuk menyelesaikan satu tahapan
pekerjaan. Waktu siklus (CT) berbeda dengan jam jalan mesin dikarenakan waktu
siklus tidak memperhitungkan waktu istiraahat ataupun waktu menganggur mesin
(walaupun mesin dalam keadaan hidup).
4.2. Pembahasan
Selanjutnya dat tersebut diatas digunakan melakukan perhitungan selanjutnya yakni
perhitungan untuk menentukan Balance Delai dengan tahapan sebagai berikut :
1. Menentukan waktu siklus rata rata (CT) sebagai berikut :
CT = Ʃxik
CT = 8+10+17+23
4 = 14,5 jam
68
Dari hasil perhitungan diatas terlihat bahwa rata rata waktu untuk menyelesaikan 1
(satu) siklus pekerjaan atau biasa disebut waktu siklus adalah sebesar 14,5 jam.
Waktu siklus berbeda dengan waktu jam jalan mesin sebab pada waktu siklus tidak
diperhitungkan lagi waktu yang tidak produktif (walaupun mesin tetap berjalan)
seperti : waktu istirahat, waktu makan, waktu untuk memenuhi kebutuhan yang tak
dapat dihindari oleh operator. Dari perhitngan data diatas terlihat perbedaan anatara
waktu siklus dengan waktu jam jalan mesin rata rata yakni sebesar :
2. Menghitung Balance Delay =
k(k × CT ) − ∑ STi
BD = i =1 × 100% (k × CT )
BD = (4 x 14,5 ) – (10+12+18+24)
4 x 14,5 x 100 % =
58−5458
x100 % = 4
58 x
100 %
BD= 6,89 = 7 %
Nilai Balance Delay atau sering disebut balance loss sebesar 7 % mengindikasikan
bahwa ketidak efisienan lintasan yang diakibatkan dengan adanya waktu menganggur
atau waktu tunggu tidak terjadi pada perusahaan karena nilainya lebih kecil atau sama
69
dengan 10 ( 7 ≤ 10 %) artinya walaupun masih terjadi waktu menganggur atau waktu
menunggu mesin tetapi hal tersebut belum berdampak pada buruknya keseimbangan
lintasan (balance Delay) perusahaan. Adanya waktu menganggur pada mesin ini
karena menunggu alokasi bahan dari mesin lain yang akan diproses pada mesin ini.
Pengalokasian bahan yang kurang sempurna dari mesin lain ke mesin ini disebabkan
oleh banyak faktor diantaranya tidak seimbangnya kapasitas produksi pada mesin
yang akan mensuplay dengan mesin ini. Walaupun balance delay yang terjadi pada
mesin ini belum memberikan pengaruh negative terhadap proses produksi, namun
diharapkan kepada perusahaan untuk senantiasa memperhatikan kondisi seperti ini
karena dikawatirkan dari waktu ke waktu nilainya akan terus meningkat bila tidak
mendapatkan penangan lebih dini.
3. Menghitung Line Efficiency (LE) dengan menggunakan formulasi sebagai
berikut :
LE = Ʃ STi
(kxCT ) x 100 %
LE = (10+12+18+24)
(4 x 14,5) x 100 %
LE = 5458
x 100 % = 93,10 %
70
LE = 93,10 %
Dengan nilai Line Efficiency sebesar 93, 10 % mengindikasikan bahwa
ratio atau perbandingan antara jumlah mesin yang tersedia pada
perusahaan dengan waktu yang dicapai dalam menyelesaikan pekerjaan
pada satu siklus pekerjaan atau waktu siklus (CT) dengan kata lain bahwa
perbandingan antara waktu kerja yang tersedia dengan jumlah mesin yang
ada untuk menyelesaikan pekerjaan atau untuk melakukan proses produksi
dalam memeuhi permintaan belum menimbulkan efek negative atau masih
dalam kondisi normal sehingga tidak perlu dikuatirkan untuk kondisi
seperti saat ini.
4. Menghitung Smooth Index untuk menentukan perfect Balance, dengan
menggunakan formulasi sebagai berikut
SI = √ Ʃ(CT−ST ) ²
SI = √ (14,5−10 )+ (14,5−12 )+(14,5−18 )+(14,5−24) ²
SI = √(4,5+2,5−3,5−9,5¿)² ¿ =
71
SI = √(−6)²
SI = √36 = 6
SI = 6
Keseimbangan lintasan yang sempurna adalah lintasan produksi yang tidak
mengalami hambatan dalam proses produksi artinya proses pengalokasian
bahan atau material yang akan diproduksi pada mesin ini tidak mengalami
hambatan baik hambatan berupa penundaan karena suplay yang tidak lancer
atapun hambatan akibat tidak tersedianya bahan atau material yang akan
diproses pada mesin ini. Perfect balance akan terjadi apabila nilai SI sama
dengan nol ( SI = 0 ). Pada perusahaan yang penulis teliti nilai SI = 6 hal ini
berarti belum ada pengaruh signifikan yang ditimbulkan terhadap tersendatnya
(tertundanya) proses produksi karena adanya keterlambatan dalam
pengalokasiaan sumber daya (bahan/material) yang dibutuhkan dalam proses
produksi. Keseimbangan lintasan dikategorikan baik apabila SI bernilai
dibawah 10. Namun kondisi ini perlu mendapatkan perhatian serius dari pihak
perusahaan sebab apabila tidak dilakaukan pembenahan terhadap kondisi yang
ada saat ini bukan mustahil pada masa yang akan datan nilai SI akan semakin
tinggi . Pembenahan perlu dilakukan terutama pada disiplin karyawan yang
tidaka menggunakan waktu kerja secara optimal kususnya pada waktu kerja
shit malam.
72
Dari hasil perhitungan dan analisis yang penulis lakukan
maka jika dilihat dari hasil perhitungan maka hipotesa penulis tentang tidak
optimalnya keseimbangan lintasan pada mesin mesin produksi ternyata
terbukti hal itu dibuktikan dengan perhitungan nilai SI yang bernilai 6
(tidak sempurna/perfect), sebab jika keseimbangan lintasan produksi
sempurna (perfect) nilai SI nya adalah = 0 walaupun hal ini masih
tergolong baik (kurang dari 10) . Namun demikian pihak perusahaan
hendaknya terus membenahi proses produksi agar kelak tercapai
kaseimbangan lintasan yang sempurna (perfect balance)
73
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Dari pembahasan dan analisis yang penulis lakukan terhadap data yang
dikumpulkan maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Hipotasa penulis tentang keseimbangan lintasan produksi pada PT.
Bosowa Pasir Bara belum optimal adalah terbukti karena memiliki nilai IS
= 6
2. Proses Produksi yang terjadi pada perusahaan saat ini dapat dikategorikan
baik dan lancar
3. Adanya keterlambatan suplay /alokasi bahan atau material pada proses
produksi belum mempengaruhi kelancaran proses produksi.
74
4. Adanya waktu tunggu (delay time) dalam proses produksi disebabkan oleh
kurang disiplinnya operator dalam bekerja kususnya pada jam kerja
malam
5.2. Saran.
Berdasarkan kesimpulan yang penulis paparkan diatas maka untuk
meningkatkan kinerja operator dan mengurangi delay time maka dapat
disarankan beberapa hal sebagai berikut :
1. Disarankan agar pihak perusahaan meningkatkan pengawasan terhadap
penggunaan jam kerja kususnya dalam memanfaatkan jam istirahat agar
jam penggunaan jam kerja lebih optimal
2. Agar perusahaan meminimalkan keterlamabatan suplay dengan
optimalkan kinerja karyawan
3. Hendaknya pihak manajemen perusahaan meningkatkan pengawasan
terhadap karyawan kususnya pada jam kerja malam.
75
76