BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
-
Upload
nguyenkhanh -
Category
Documents
-
view
221 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakikatnya setiap manusia adalah makhluk religius. Percaya terhadap
sesuatu yang bersifat supranatural adalah sifat naluri alamiah yang dimiliki setiap
manusia. Sebagai homo religius, manusia meyakini bahwa melalui agama seorang
individu dapat berhubungan dengan “Yang Sakral”.1 Maka agama merupakan
salah satu kebutuhan mendasar bagi manusia.
Sepanjang sejarah kehidupan manusia selalu dibayang-bayangi oleh
keberadaan agama. Bagaimana pun majunya pengetahuan dan teknologi,
kehidupan manusia tak luput dari persoalan agama. Agama telah ada sejak
manusia ada. Agama telah menjadi sistem nilai yang dianut baik oleh individu
maupun kelompok yang telah memberikan corak tersendiri dalam kehidupan
manusia. Agama merupakan sarana manusia untuk membentengi diri dari segala
kekacauan yang melanda dalam realitas kehidupannya. Karena melalui agama
manusia bukan hanya dapat memperoleh ketenangan batin atau jiwa, memberikan
jawaban terhadap segala kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat diperoleh melalui
pengetahuan empirik, namun agama juga memberikan pedoman dalam
berinterkasi dengan masyarakat sehari-hari, guna terciptanya ekuilibrium dalam
masyarakat.
Menurut persfektif sosiologis, agama merupakan kategori sosial dan
tindakan empiris. Dalam konteks ini, agama dirumuskan dengan ditandai oleh
1 Hendro Puspito, Sosiologi Agama ( Yogyakarta: Kanisius, 1983 ), hal 41
2
corak pengungkapan universal: pengungkapan teoritis berwujud kepercayaan
(belief system), pengungkapan praktis sebagai sistem persembahan (system of
worship), dan pengungkapan sosiologis sebagai sistem hubungan masyarakat
(system of social relation ).2
Modernisasi yang melanda kota-kota besar menggiurkan masyarakat rural
menjadi tertarik untuk mengadu nasib ke kota demi mewujudkan segudang
harapan untuk dapat memperbaiki taraf hidup. Sehingga, arus urbanisasi tak dapat
dibendung dan terus meningkat. Namun, hampir semua diantara mereka tidak
membekali diri dengan keterampilan dan keahlian dalam menghadapi persaingan
hidup di kota. Maka kehadiran mereka hanya mempertinggi angka pengangguran
di wilayah urban. Umumnya mereka hanya berprofesi sebagai manual work,
dengan penghasilan minim dan berada dalam taraf hidup sebagai kategori miskin.
Dengan kondisi perekonomian tersebut mereka memunculkan daerah kantong-
kantong kumuh di kawasan pingiran urban sebagi tempat pemukiman mereka.
Gambaran sederhana tersebut adalah karakteristik masyarakat marginal.
Masyarakat marginal adalah masyarakat yang identik sebagai masyarakat miskin
kota, yang berprofesi sebagai pemulung, pengemis, gelandangan, atau pun buruh
pekerja kasar. David Berry menyatakan bahwa marginal adalah suatu situasi
dimana orang yang bercita-cita atau berkeinginan pindah dari kelompok sosial
yang satu ke kelompok sosial yang lain, akan tetapi ditolak keduanya.3
2 Drs. H.Muhammad Sayuthi Ali ,Metode Penelitian Agama:Pendekatan Teori dan
Praktek,(Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2000 ),h.8 3 David Barry, Pikiran Pokok Dalam Sosiologi (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995 ) hal.
14
3
Ketidakberdayaan kaum marginal yang telah terasingkan oleh kebudayaan
dan kehidupan kota yang modern membuat mereka menerima nasib seperti yang
dialaminya sekarang, sehingga cita-cita hanyalah sebuah impian yang tak akan
terwujud selamanya. Kaum marginal termasuk kaum miskin yang bercirikan
miskin dari segi pangan, ekonomi, pendidikan, dan tingkat kesehatan yang rendah.
Menurut Pasurdi Suparlan, bahwa kaum marginal adalah mereka yang tidak
memiliki tempat tinggal yang tetap, pekerjaan yang tak layak seperti pemulung,
pedagang asongan, pengemis dan lain sebagainya.4
Realitas sosial Indonesia memang telah terstruktur melalui proses panjang.
Secara sistematis merasuk dalam sendi-sendi kehidupan dan mewujud dalam
kultur. Realitas struktur sosial di Indonesia cerminan dari sebuah bentuk piramid,
dimana bagian atas kategori masyarakat kaya, bagian tengah untuk kategori
masyarakat menengah, dan bagian bawah untuk kategori masyarakat miskin.
Namun mayoritas penduduk Indonesia berada di lapisan bawah, yang termasuk
dalam kategori ini adalah masyarakat marginal. Masyarakat marginal dikatakan
sebagai masyarakat miskin kota, mereka miskin karena adanya struktur ekonomi
dan sosial dalam masyarakat. Kemiskinan dikalangan masyarakat Indonesia telah
menjadi suatu realitas kultural yang berbentuk sikap menyerah pada keadaan.
Mereka miskin bukan hanya karena keterbatasan lapangan pekerjaan, namun
karena mereka tidak mempunyai potensi untuk mempergunakan kesempatan yang
tersedia. Sehingga pengangguran dan profesi manual work yang mau tak mau jadi
pilihan mereka.
4 Pasurdi Suparlan, Orang Gelandangan di Jakarta: Politik Pada Golongan Termiskin
dalam Kemiskinan di Perkotaan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hal 179
4
Beragama adalah sifat naluriah tiap individu. Hampir setiap manusia di
dunia ini pasti mempunyai agama, baik itu pejabat, orang kaya, selebrirtis, bahkan
orang miskin sekalipun. Agama telah menjadi hal yang sangat fundamental bagi
masyarakata apapun. Agama telah menjadi aspek universal yang berhasil
menembus stuktur sosial dalam masyarakat. Namun, latar belakang sosial yang
berbeda dalam masyarakat, menyebabkan setiap masyarakat memiliki sikap,
perilaku, kebutuhan dan nilai yang berbeda pada agama.5 Karena latar belakang
sosial dan ekonomi yang buruk, sering kali stigma dekatnya kekufuran melekat
pada kaum miskin.
Dalam penelitian N.J. Demearth mengenai agama dan pelapisan sosial di
Amerika menunjukan bahwa kelas sosial yang paling bawah lebih bersikap apatis
dan disposisi terhadap agama.6 Begitu pula halnya yang dijelaskan dalam karya
Marx Weber, bahwa analisanya mengenai keberagamaan masyarakat yang kurang
beruntung lebih mendisposisikan agama. Maksud dari masyarakat yang berstrata
rendah dan kurang beruntung adalah mereka yang berprofesi sebagai pekerja
kasar, berpenghasilan rendah atau mereka yang tergolong dalam kaum proletar.
Dalam realitas kehidupan beragama sikap hipokrit para penganutnya telah
memicu kesenjangan sosial antara penganut suatu agama, yang secara nyata telah
memisahkan antara kelompok yang berutung dan kelompok yang kurang
beruntung. Akhirnya tumbuhlah sikap fatalistik, rasa malu, dan rasa terasing di
dalam diri mereka yang kurang beruntung. Karena dengan kondisi tersebut,
5 H. M. Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek (
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2002 ),hal 1 6Roland Robertson, Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis,(Jakrta: Rajawali
Press) h. 410
5
seringkali membuat hati si miskin menjadi ragu akan kebijaksanaan Ilahi,
terutama dalam hal pembagian rezeki. Sehingga membuat mereka enggan untuk
menghadiri atau melaksanakan ajaran-ajaran agama.7
Secara ontologis umat manusia adalah Abd-Allah, hamba Tuhan. Sebagai
kebenaran absolut, adalah kewajiban Tuhan untuk disembah dan ditaati oleh
setiap manusia, dalam bentuk beribadah. Maka Tuhan mewahyukan berbagai
macam agama di muka bumi ini sebagai sarana mediasi untuk menyalurkan
ketaatan terhadap-Nya, melalui ritual dan amalan kebajikan yang dikategorikan
sebagai ibadah.
Bagaimanapun setiap agama yang ada mempunyai sistem peribadatan dan
perayaan waktu-waktu yang disakralkan. Sebagai kategori agama samawi, Islam
sendiri mempunyai sistem ibadah yang diwajibkan kepada pemeluknya. Melalui
ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji adalah sarana bagi para pemeluknya
untuk menyalurkan sikap taatnya terhadap ajaran-ajaran agamanya.
Bagi setiap muslim, Ramadhan merupakan bulan eksklusif. Dikatakan
eksklusif karena di dalamnya terdapat banyak keistimewaan-keistimewaan. Bulan
yang di dalamnya mengandung keberkahan, kemulian, ampunan dan pahala dari
Allah. Hampir seluruh umat Islam selalu mengharapkan dan merindukan
kedatangan bulan Ramadhan.
Namun dalam realitanya, adanya hukum kausalitas tetap berlaku. Rahmat,
ampunan, dan berkah Tuhan bisa didapatkan bagi orang yang berusaha
meraihnya. Untuk mendapatkan ampunan dan rahmat dapat dilakukan dengan
7 Eri Sudewo, Keresahan Pemulung Zakat, (Jakarta Kahirul Bayan-Sumber Pemikiran
Islam, 2004),h 46
6
beribadah, sedangkan untuk mendapatkan keberkahan rezeki dapat dilakukan
dengan tetap semangat dalam aktivitas kerja.
Sejatinya predikat eksklusif yang disandang Ramadhan juga tidak terlepas
dari ibadah dan amalan khas yang diperintahkan pada bulan tersebut, yakni puasa,
taraweh, dan zakat fitrah. Dengan keistimewaan-keistimewaan tersebut,
Ramadhan diyakini telah menstimulasi tiap jiwa sritual muslim untuk larut dalam
kondisi shaleh. Maka dalam bulan ini ditemukan nuansa keberagamaan yang
berbeda dalam masyarakat. Dimana pada bulan tersebut setiap individu belomba-
lomba meningkatkan ibadah mahdlah dan ibadah sosialnya untuk sampai ada
kondisi shaleh.
Namun, ibadah-ibadah khas tersebut menuntut kondisi yang fasilitatif dan
akomodatif dari masyarakat, maka seringkali kondisi kekurangan yang dialami
masyrakat marginal dianggap sebagai penyebab mengapa mereka mengabaikan
perintah agama dan moment-moment keagamaan. Misalnya seperti Ramadhan.
Adalah pemulung sebagai salah satu kategori masyarakat marginal,
dimana suatu profesi yang memusatkan kegiatannya berkeliling dari satu tempat
pembuangan sampah ke tempat pembuangan sampah lainnya untuk
mengumpulkan barang bekas dan sampah. Kemudian dijual kembali untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Faktor cuaca dan jam kerja tidak diperhitungkan
mereka dalam mengais rezeki. Namun sekeras apapun mereka bekerja, mereka
tetap hidup dalam kondisi yang kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Memasuki bulan Ramadahan, dapat dibayangkan betapa berat kondisi
yang harus mereka lewati. Terlebih dengan tuntutan pelaksanaan kewajiban
7
ibadah puasa. Sangat berat bagi mereka untuk menjalankan ibadah puasa
semenatara mereka harus melakukan aktivitas kerja yang menuntut energi ekstra.
Yang persiapannya hanya ditopang dengan asupan kalori yang minim. Disamping
itu, kondisi atau areal aktivitas kerja mereka yang tak layak, seperti bau sampah,
dan panasnya matahari merupakan hal yang sangat menganggu sensitifitas atau
kondisi yang tidak mendukung bagi sesorang yang berpuasa.
Namun di sisi lain tak mungkin mereka meninggalkan aktivitas kerjanya.
Terlebih dalam bulan Ramadhan, dimana jumlah kapasitas barang bekas dan
sampah meningkat. Meninggalkan aktivitas kerja sama dengan menyia-nyiakan
berkah rezeki dalam bulan tersebut. Maka kondisi tersebut menghantarkan mereka
pada kondisi dilematis. Dimana mereka di hadapkan pada pilihan untuk beribadah
atau bekerja.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, Penulis merasa tertarik untuk
melakukan sebuah penelitian tentang fenomena tersebut dengan judul:
“Ramadhan Di Mata Masyarakat Marginal”: Studi Kasus Komunitas Pemulung
di Jl. Bulak Wangi II RT 08 RW 03, Kedaung, Ciputat-Tanggerang, sebagai judul
penelitian dalam skripsi ini.Yang lebih memfokuskan diri pada aktivitas kerja
komunitas pemulung dalam bulan Ramadhan. Kebaragamaan komunitas
pemulung dalam bulan Ramadhan, dan pengaruh Ramadhan terhadap
keberagamaan komunitas pemulung dalam bulan sesudahnya.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah kehidupan masyarakat
marginal dalam menyikapi bulan Ramadhan, yang meliputi aktivitas kerja
8
masyarakat marginal dalam bulan Ramadhan, keberagamaan masyarakat marginal
di bulan Ramadhan, meliputi dimensi keyakinan, dimensi praktek keagamaan,
dimensi pengalaman, dimensi pengamalan, dan dimensi pengetahuan. Serta untuk
mengetahui pengaruh bulan Ramadhan terhadap keberagamaan masyarakat
marginal pada bulan setelahnya. Dan untuk memperdalam penelitian ini, secara
geografis penelitian ini membatasi diri pada komunitas pemulung di Jl. Bulak
Wangi II RT 08 RW 03 kelurahan Kedaung kecamatan Ciputat kabupaten
Tangerang.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian yang nanti akan terjawab dalam hasil penelitian skripsi ini, yaitu:
“Bagaimana Ramadhan di mata masyarakat marginal?”
Untuk mempermudah analisa dalam penelitian skripsi ini, maka dalam
penelitian ini difokuskan beberapa pertanyaan yang sesuai dengan kebutuhan
dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana aktivitas kerja komunitas pemulung dalam bulan Ramadhan?
2. Apa makna Ramadhan bagi komunitas pemulung ?
3. Bagaimana keberagamaan komunitas pemulung dalam bulan Ramadhan ?
4. Bagaimana keberagamaan komunitas pemulung di bulan sesudah
Ramadhan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian.
Atas dasar uraian latar belakang di atas, maka tujuan penelitian ini secara
spesifik adalah:
9
1. Untuk mengetahui aktivitas kerja komunitas pemulung dalam bulan
Ramadhan
2. Untuk mengetahui makna Ramadhan bagi komunitas pemulung
3. Untuk mengetahui bagaimana keberagamaan komunitas pemulung di
bulan Ramadhan
4. Untuk mengetahui adakah pengaruh bulan Ramadhan terhadap
keberagamaan komunitas pemulung di bulan sesudahnya
2. Manfaat Penelitian.
1. Sebagai masukan (input) bagi kegiatan akademia, khususnya di bidang
sosial-keagamaan
2. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjan di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan untuk mengubah dan
mengembangkan literatur yang sudah ada sebelumnya
D. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian sosial yang dilakukan di lapangan ( field
research), yaitu terjun langsung ke objek penelitian untuk memperoleh data
primer. Yang menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode deskriptif
analitik, yakni metode yang mengeksplorasi dan mengklarifikasi mengenai suatu
fakta atau fenomena sosial, dengan cara mendeskripsikan sejumlah variabel yang
berkenaan dengan masalah dan unit yang akan diteliti.
10
Jenis pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi kasus.
Studi kasus adalah pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau
menginterpretasikan suatu kasus ( case ) dalam konteksnya secara natural tanpa
adanya intervensi.8 Pendekatan ini dipilih agar diharapakan dapat menggambarkan
atau menjelaskan suatu fenomena sosial secara lebih intens dan murni.
2. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
lapangan ini adalah:
a. Observation ( pengamatan ), yaitu pencatatan secara sistematik terhadap
fenomena yang diselidiki.9 Observasi ini dilakukan dengan jalan
pengamatan secara sistematis terhadap objek penelitian untuk
mendapatkan data yang berkaitan dengan masalah yang akan penulis teliti.
Jenis observasi yang dilakukan dalam penelitian ini dalah observasi
partisipatoris, yakni pengamat membaur atau melibatkan diri dalam
aktivitas keseharian pemulung tersebut, dengan membantu
mengklasifikasikan barang-barang bekas menurut jenisnya. Observasi
jenis ini dilakukan agar terciptanya suasana yang lebih kondusif guna
memudahkan penulis dalam mendapatkan informasi mendalam dari para
Information supplyer.
8 Agus salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Pemikiran Norman dan Egon
Guba (Yogyakarta: PT. Tirta Wacana Yogya, 2001 ), h. 93 9 Imam Suprayogo, Misi Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2001),h. 13
11
b. Wawancara mendalam (Indepth Interview), yaitu peneliti melakukan
“Interview” dengan informan penelitian. Pertanyaan-pertanyaan kepada
informan dikemukakan secara lisan, berdasarkan pedoman wawancara.
c. Kepustakaan ( Libarary Research ), yaitu dengan membaca dan menelaah
literatur dan buku-buku yang berkenaan dengan penulisan skripsi ini.
3. Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini
adalah pedoman wawancara, tape recorder, dan buku catatan. Pedoman
wawancara digunakan agar lebih fokus menggali apa yang menjadi sasaran
penelitian. Sedangkan tape recorder digunakan untuk merekam perkataan subjek
penelitian, dan buku catatan untuk mencatat hal-hal yang tidak terekam atau yang
terlewati atau yang tidak jelas.
4. Sumber Data
Dalam penelitian ini data dikategorikan ke dalam dua jenis yaitu: data
primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari hasil wawancara, dan
observasi. Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah yang didapatkan dari
bahan tertulis atau kepustakaan, yakni buku-buku, jurnal ilmiah, artikel, dan
terbitan ilmiah yang ada hubungannya dengan pembahasan.
5. Subjek Penelitian
Istilah subjek penelitian merujuk kepada orang atau individu atau
kelompok yang dijadikan unit atau satuan ( kasus ) yang diteliti. Subjek penelitian
dalam skripsi ini adalah komunitas pemulung di Jl. Bulak Wangi II RT 08 RW 03,
Kedaung, Ciputat-Tangerang. Jumlah komunitas pemulung di wilayah ini adalah
12
84 orang. Adapun subjek dalam penelitian ini hanya memfokuskan diri pada 10
orang informan. Sepuluh orang informan ini merupakan perwakilan dari 84 orang
komunitas pemulung di wilayah tersebut, yang berkategori usia remaja, dewasa
muda, madya, akhiir, yaitu antara (16-55 tahun).
6. Teknis Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data
kualitatif yang bersifat korelasi, artinya penelitian yang bukan menggunakan
angka atau statistik, tetapi dengan melakukan analisis terhadap data yang
berkaitan dengan penjelasan-penjelasan dan pandangan-pandangan. Dalam
penelitian kualitatif korelasi, setiap catatan-catatan lapangan ( fieldnotes ) yang
dihasilkan dalam pengumpulan data, baik dari hasil wawancara maupun hasil
observasi, kemudian peneliti mereduksi (merangkum, menyeleksi,
mengikhtisarkan) aspek-aspek penting yang muncul dan mencoba membuat
ringkasan pada tiap-tiap kasus, yanag kemudian dikorelasikan dengan kerangka
teori yang digunakan.
E. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyusunnya ke dalam lima bab,
yaitu:
1. Bab Pertama ( I ) membahas mengenai pendahuluan yang berisi latar
belakang masalah, rumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
13
2. Bab dua ( II ) membahas mengenai kajian teoritik yang berisi mengenai
definisi agama, dimensi-dimensi keberagamaan persfektif sosiologis,
Ramadhan persfektif teologis yang di dalamnya memuat mengenai wacana
perdebatan hukum puasa menurut teologi kaum konservatif dan kaum
liberal, Ramadhan persfektif sosiologis dan ekonomis, definisi masyarakat
marginal, profil kehidupan masyarakat marginal, dan kemiskinan dalam
masyarakat marginal.
3. Bab tiga ( III ) membahas mengenai deskripsi umum daerah penelitian
yang berisi gambaran mengenai letak geografis dan demografis daerah
penelitian, subjek penelitian yang berisi mengenai kehidupan seputar
ekonomi, agama; pendidikan, serta latar belakang sosial dan budaya. Dan
profil informan penelitian
4. Bab empat ( IV ) merupakan analisa dari hasil penelitian dalam skripsi ini,
berisi analisa dan pembahasan mengenai aktivitas kerja komunitas
pemulung di bulan Ramadhan, makna Ramadhan bagi komunitas
pemulung, sikap dan praktek ritual keberagamaan komunitas pemulung di
bulan Ramadhan. Dan keberagamaan komunitas pemulung dalam bulan
sesudah Ramadhan.
5. Bab lima ( V ) membahas mengenai penutup yang berisi kesimpulan dan
saran-saran
14
BAB II KAJIAN TEORI.
A. Agama Persfektif Sosiologis
Tak dapat disangkal bahwa di dalam setiap individu terdapat benih kepercayaan terhadap sesuatu yang berporos pada yang sakral. Maka beragama hanya dimiliki oleh manusia. Karena manusia meyakini bahwa agama sanggup menghadirkan Yang Sakral atau Tuhan Yang Maha Suci. Pada tataran ini tak dapat dipungkiri bahwa agama telah menjadi bagian integral dalam kebutuhan manusia. Robert Nurtin mengatakan bahwa agama adalah salah satu kebutuhan manusia, individu yang beragama berarti telah memenuhi kebutuhannya, sehingga puas, tentram dan aman. Individu yang demikian adalah individu yang sehat.10
1. Agama Dalam Persfektif Sosiologis Bagi banyak sarjana sosiologi penjelasan yang bagaimanapun tentang agama yang ditersedia saat ini masih dirasakan belum memuaskan. Hingga kini hal tersebut masih menjadi agenda besar bagi para pemikir sosial-keagamaan Sebab penjelasan dan definisi yang tersedia dirasakan hanya bersifat dogmatis, belum memuat manusia sebagai penganut, pelaku, dan pendukung agama. Dalam konteks ini, perhatian yang berkenaan dengan kehidupan keberagamaan, baik secara individual maupun kelompok atau masyarakat tidak nampak tercakup di dalamnya
Berdasarkan sudut pandang bahasa, “agama” berasal dari bahasa sansekerta, “a” yang berarti “tidak” dan “gama”yang berarti kacau. Hal ini mengacu pada sebuah pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. 11
Kata Agama Dalam bahasa Inggris disamakan dengan kata religion, sedangkan dalam bahasa Belanda disamakan dengan kata religie. Keduanya berasal dari bahasa Latin religio, dari akar kata religure yang berarti mengikat.12
Menurut Pasurdi Suparlan, agama adalah seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan alam gaib ( khususnya dengan Tuhannya ), mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan alam lingkungannya.13 Sedangkan J. Milton Yinger melihat agama sebagai sistem kepercayaan dan praktek dimana
10 Robert W. Crapps, Dialog Psikologi dan Agama, (Yogyakarta:Kanisius,1993), h.253 11 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000 ). h.13 12 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, h.13
13 Rolan Robrtson, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, ( Jakarta: PT. Rajawali Press,1998), h.V
15
suatu masyarakat atau kelompok manusia berjaga-jaga menghadapi masalah dalam hidup.14
Adapun agama dalam pengertian sosiologi dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Ini berkaitan dengan pengalaman manusia, sebagai individu maupun kelompok. Sehingga setiap perilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang dibesarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya. 15
Agama menurut aliran fungsionalisme merupakan suatu bentuk tindakan manusia yang dilembagakan, yang pengaruhnya meresapi tingkah laku penganutnya baik lahiriah maupun batiniah. Dalam pandangan ini, agama dilihat sebagai satu institusi yang mengemban tugas agar masyarakat berfungsi dengan benar, baik dalam ruang lingkup lokal, regional, nasional, dan mondial. Sehingga eksistensi dan fungsi agama diharapkan dapat mewujudkan keadilan, kedamaian, dan kondisi ekuilibrium dalam masyarakat.
Dalam persfektif interksionisme simbolik, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan, sistem makna, yang muncul dan terwujud dalam tindakan-tindakan kehidupan sosial melalui interaksi-interaksi, yang responsif terhadap situasi-situasi yang dihadapi oleh para penganutnya. Sistem keyakinan tersebut menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai dalam masyarakat yang terwujud dalam simbol-simbol suci yang maknanya bersumber dari ajaran-ajaran agama yang menjadi kerangka dasar acuannya. Dalam keadaan demikian maka secara langsung atau tidak langsung dijadikan pedoman dari eksistensi dan aktivitas berbagai pranata yang ada dalam masyarakat.16
Agama dalam pendekatan evolusi dinyatakan bahwa suatu kondisi dimana meningkatnya diferensiasi atau kompleksifitas suatu agama. Dalam hal ini bukan manusia yang beragama, dan juga bukan struktur situasi keberagamaan akhir dari manusia yang berevolusi, melainkan agama sebagai sistem simbol yang berevolusi. Sehingga melahirkan suatu kondisi yang kompleks dan terdeferensiasi.17
Sedangkan, menurut teori konflik, agama dipandang sebagai pemecah belah. Karena agama sering mempunyai efek negatif terhadap kesejahteraan masyarakat dan individu-individu. Isu-su keagamaan menjadi salah satu masalah penyebab perang, keyakinan agama sering menimbulkan sikap anti toleran, loyalitas agama hanya menyatukan beberapa orang tertentu dan memisahkan lainnya.18
14 Robert W. Crpps, Dialog Psikologi Agama Sejak William James hingga Gordin. W.
Allport, (Yogyakarta:1993 ), h. 17 15 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, h. 53 16Roaland Robertson, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, h.VII 17Roaland Robertson, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiaologis, h. 305 18 Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengantar Awal, ( Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995 ), h. 61
16
Bagi Elizabeth K. Nothingham, Agama merupakan unsur yang abstrak dan trasenden yang hanya bisa dirasakan oleh masyarakat pemeluknya. Namun, dapat dilihat dalam bentuk tingkah laku keagamaan atau pun berupa ritus-ritus yang dijalankan masyarakat sebagai pemeluknya. Adapun fungsi agama menurut Elisabeth K. Nothingham adalah sebagai berikut:19
a. Agama memelihara masyarakat dengan membantu menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh serta memberikan kekuatan memaksa yang mendukung, serta memperkuat adat istiadat.
b. Agama mengkoordinasikan banyak nilai yang bermacam-macam yang tampak tidak bertalian dan tidak berarti menjadi sistem-sistem yang terpadu.
c. Sebagai sesuatu yang sakral, agama memiliki kekuatan memaksa (dalam mengatur) tingkah laku manusia serta kekuatan yang mengukuhkan nilai-nilai moral kelompok pemeluk.
2. Keberagamaan dan Dimensi-Dimensinya Kajian sosiologi agama berpusat pada bagaimana para pemeluknya memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai agama yang kemudian tergambar secara praktis dalam tingkah laku sehari-hari. Secara singkatnya, kajian ini memfokuskan diri mengenai pengaktualisasian sikap keagamaan dalam masyarakat agama, atau lebih dikenal dengan keberagamaan.
Keberagamaan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah religiusitas. M. Djamaludin menganggap religiusitas sebagai manifestasi seberapa jauh penganut agama meyakini, memahami, dan mengamalkan agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Di semua aspek kehidupan.20
Sementara Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi berpendapat, keberagamaan yaitu lebih bersifat personal, melihat aspek-aspek yang berada di dalam hati nurani, kemudian diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.21
Aspek terpenting dari keberagamaan adalah pemahaman terhadap nilai-nilai agama. Pemahaman tersebut didapat melalui rangkaian proses belajar, dan diinternalisasikan dalam pikiran dan hati, yang puncaknya dimanifestasikan dalam bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai agama.
Menurut Glock dan Stark, ada lima dimensi utama yang menjadi konsensus umum dalam sebuah agama dan lima dimensi tersebut adalah:22
1. Dimensi Keyakinan
19Elizabeth K. Nothingham, Agama dan Masyarakat:Suatu PengantarSosiologi Agama,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persad, 1994 ), h. 27-28 20 M. Djamaluddin, Religisitas dan Sters Kerja Pada Polisi, (Jogyakarta: UGM
Press,1995 ), h.44 21 Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metodelogi Penelitian Survei (Jakarta:LP3ES,
1989), cet.Ke-1,h.27 22 Roland Robertson, “Agama Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis ,h. 295-297
17
Dimensi ini mencakup tentang pengharapan-pengharapan dimana seorang individu berpegang teguh pada teologis tertentu dan mengakui doktrin-doktrin tersebut. Dengan kata lain, dimensi ini berisikan tentang keyakinan pemeluk suatu agama kepada ajaran-ajaran agamanya, terutama ajaran-ajaran agama yang bersifat fundamental dan dogmatik.
2. Dimensi Praktek Agama (Ritualistik)
Dimensi ini mencakup pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang-orang untuk menunjukan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktek keagamaan ini terdiri dari dua bagian penting, yaitu:
a) Ritual, mengacu pada seperangkat ritus, tindakan keagamaan dan praktek-
praktek suci.
b) Ketaatan, seluruh agama mempunyai seperangkat persembahan dan
kontemplasi personal yang relatif spontan, informal, dan khas pribadi
3. Dimensi Pengalaman
Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama memandang pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir ( kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak langsung dengan Tuhan sebagai otoritas trasendental )
4. Dimensi Pengetahuan Agama
Dimensi ini mengacu pada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci, dan tradisi-tradisi dalam agama yang dianutnya.
5. Dimensi Pengamalan
Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan seseorang mengenai agamanya dari hari ke hari. Dimensi ini mengacu pada seberapa besar agama yang dipeluknya mempengaruhi dan terwujud dalam bentuk nyata, khususnya dalam hubungan dengan sesama manusia di muka bumi ini.
B. Ramadhan
1. Ramadhan Persfektif Teologis
a. Definisi dan Makna Bulan Ramadhan
18
Bulan Ramadhan artinya adalah bulan untuk mendapatkan ampunan dan keridhaan Allah. Ramadhan jamaknya Ramadlanat, armidla, maknanya sangat terik, atau yang panas karena terik. Orang-orang Arab dahulu ketika memberikan nama-nama bulan didasarkan atas masa yang dilaluinya. Pada saat itu ketika Ramadhan datang masa yang dilaluinya sangat terik. Maka bulan tersebut diberi nama Ramadhan yang artinya sangat terik.23
Bulan Ramadhan merupakan bulan istimewa, bulan kebaktian, bulan karunia, rahmat; berkah, di mana amalan ( ibadah ) di bulan ini memberi manfaat istimewa bagi para pelakunya, baik itu di dunia maupun di akhirat.
b. Keistimewaan Bulan Ramadhan Adapun Keutamaan Bulan Ramadhan yang dijelaskan Rasulullah Dalam sabda-sabdanya antara lain:
1) .Datangnya bulan Ramadhan disambut dengan penutupan pintu neraka dan
pembukaan pintu surga serta pembelengguan setan-setan.
2) Demi menyambut bulan Ramadhan, surga senantiasa berbenah diri dengan
segala kemegahannya dan para bidadari pun menanti orang-orang yang
berpuasa.
3) Di bulan ini untuk pertama kali Al-qur’an Al-Karim diturunkan, yaitu
pada malam lailatul qadar. Selain itu, bulan ini merupakan bulan
keberkahan tidak hanya Al-qur’an yang diturunkan, namun juga kitab-
kitab suci lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam salah satu riwayat :
“Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama di bulan Ramadhan, Taurat diturunkan pada hari keenam bulan Ramadhan, dan injil di turunkan Pada hari Ketiga belas di bulan Ramadhan”. (HR. Ahmad).24
4) Ibadah bulan Ramadhan sampai Ramadhan berikutnya merupakan penebus
dosa yang terjadi diantara keduanya.
5) Puasa Ramadhan pemberi minum saat merasa haus di hari kiamat
23 H. Budiman Razi, Keutamaan Bulan Rajab, Sya’ban, Dan Ramadhan ,(Jakarta:Al-Mawardi, 2002 ),h.18
24 Dedi Junaedi, Pedoman Puaxa, h. 102
19
6) Ramadhan merupakan bulan karunia dan penuh rahmat dimana pahala
amal kebaikan dilipat gandakan sampai 70 kali dari pada bulan lainnya.
Bahkan ibadah sunat di bulan ini dibalas oleh Allah Swt dengan pahala
ibadah fardu dan dilipatgandakan sampai 70 kali.
7) Ramadhan merupakan bulan rahmat, maghfirah, penyelamat dari api
neraka.
8) Ramadhan merupakan anugerah yang besar bagi kaum Muslimin. Pada
bulan ini umat Islam diberi lima hal yang tidak diberikan kepada nabi-nabi
sebelum Muhammad SAW: tentang hal ini Rasulullah bersabda:
“Umatku telah diberi Pada bulan Ramadhan lima hal yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku. Pertama, bahwa apabila awal Ramadhan, Allah Swt melihat mereka. Siapa yang di lihat Allah, ia tidak akan disiksa selama-lamanya. Kedua, bahwa para malaikat memintakan ampun untuk mereka setiap siang dan malam. Ketiga, bahwa Alllah Swt Menyuruh surga-Nya dengan firman-Nya:” Berhiaslah untuk hamba-Ku yang berpuasa, meraka akan beristirahat dari kecapekan dunia ke rumah-Ku dan karamah-Ku.” Keempat, bahwa bau mulut mereka yang berpuasa saat berjalan menjadi lebih baik atau harum daripada misik. Kelima, bahwa apabila di akhir malam Ramadhan, Allah Swt mengampuni mereka semua. Sesungguhnya para pekerja melakukan tugasnya, maka apabila telah selesai dari pekerjaannya, mereka pun dipenuhi balasan atau upahnya”. ( HR. Thabarani).25
c. Amalan-Amalan Kebajikan Di Bulan Ramadhan
Pada dasarnya setiap amalan kebajikan pahalanya berlipat ganda lantaran bulan ini memiliki kelebihan dan keutamaan. Namun, ada beberapa amal kebajikan yang penting dan merupakan amaliah Ramadhan yang hendaknya dilakukan setiap muslim, yaitu:
1) Sedekah atau Infak
2). Qiyamu Ramadhan (Taraweh)
3). Tilawatil Quran (Tadarus)
25Dedi Junaedi, Pedoman Puasa, h. 110
20
4). I’tikaf
5). Lailatul Qodar
Lailatul Qadar adalah suatu malam di bulan Ramadhan yang memiliki arti dan nilai paling utama di antara malam-malam sepanjang tahun. Keutamaan ini disandang karena pada malam tersebut Al-qur’an untuk pertama kali diturunkan. Sebagaimana di sebutkan dalam firman Allah:
.
.
. ☺
.
⌧ .
“Sesungguhnya kami telah menurunkan ( Al-Quran ) pada malam kemulian. Dan tahukah kamu apaka malam kemuliaan itu? Malam kemulian itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat jibril dengan izin Tuhanya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh kesejahteraan sampai terbit fajar ).”(QS. Al-Qadar: 1-5 ).26
Pada dasarnya tidak ada konsensus atau ketetapan tanggal yang pasti tentang malam lailatul qadar. Namun demikian, kita sebagai muslim sangat dianjurkan mencarinya pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.
6).Zakat Fitrah
Setiap muslim yang mampu diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah di bulan Ramadhan. Zakat fitrah ialah zakat diri yang diwajibkan atas diri setiap individu lelaki dan perempuan muslim yang berkemampuan dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan.
Pada prinsipnya definisi di atas, mewajibkan setiap muslim mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya, keluarganya dan orang lain yang menjadi tanggungannya baik orang dewasa, anak kecil, laki-laki maupun perempuan
Besar zakat yang dikeluarkan menurut para ulama adalah sesuai dengan penafsiran hadist adalah sebesar satu sha’atau kira-kira 3.5 liter atau 2.7 kg
26 Maulana Muhammad Zakariya Al-Khandawi, Fadhail A’mal Edisi RevisiIndonesia,
(Bandung: Pustaka Ramadhan, 2000),h. 487
21
makanan pokok ( tepung, kurma gandum, dan aqith ) atau yang biasa dikonsumsi di daerah yang bersangkutan. Zakat fitrah dikeluarkan pada bulan Ramadhan, paling lambat sebelum orang-orang selesai menunaikan salat Ied.
d. Puasa: Beda Pandang Antara Teologi Kaum Tradisional-Normatif dan Teologi Kaum Kiri-Liberal Ramadhan adalah salah satu nama bulan dalam tahun hijriyah, dimana pada bulan ini kaum muslimin di wajibkan berpuasa satu bulan penuh. Kewajiban puasa ini untuk pertama kalinya dikeluarkan pada bulan bulan Sya’ban tahun kedua hijriah. Menurut Fiqh, Puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang ditetapkan sebagai mufthirat (makan, minum, dan aktivitas seks) sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari yang ditandai dengan hilangnya mega merah di sebelah timur, yang diawali dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Swt.27
Hukum Puasa Ramadhan adalah wajib bagi tiap-tiap muslim dan muslimat yang telah memenuhi syarat. Kewajiban puasa ini didasarkan pada Al-Quran, Sunnah, dan ijma. Karena itu, orang yang mengingkari kewajiban untuk berpuasa dianggap kafir dan tidak beriman kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw. Adapun rincian landasan hukum kewajiban puasa Ramadhan ini adalah:
a) Al-quran Al-Karim. Allah Swt berfirman
“Hai orang-orang beriman telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kamu bertakwa ( QS. Al- Baqarah: 183 ).28
b) Sunnah Rasulullah SAW.Beliau bersabda
“Islam itu di bina atas lima perkara: pengkuan ( syahadat ) bahwa tidak ada Tuhan selain Allah serta Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Mendirikan salat, menunaikan zakat, melakukan haji ke Baitullah, dan puasa di bulan Ramadhan”. 29( HR. Muslim)
c). Ijma Ulama
Para ulama telah sepakat atas kewajiban puasa Ramadhan dan ia merupakan salah satu pilar Islam yang ketetapannya pasti, serta orang yang tidak mengakui kewajibannya dianggap kafir atau keluar dari Islam.
Menurut Syekh Ahmad Al-Maraghi dalam kitab tafsirnya berkenaan dengan orang-orang yang diperbolehkan tidak berpuasa ialah: orang-orang lansia,
27 Salman Nano, Maka Berpuasalah, ( Jakarta: Al-huda, 2006 ), h. 9 28 Dedi Junaedi, Pedoman Puasa, h. 100 29 Dedi Junaedi, “Pedoman Puasa”, h. 100
22
orang-orang yang lemah, orang yang berpenyakit menahun sehingga tak dapat diharapkan kesembuhannya, para buruh yang harus mengeluarkan tenaga berat untuk mencari penghidupannya, seperti buruh tambang dan orang-orang yang menjalani kerja paksa. Serta wanita hamil dan menyusui.30
Seiring dengan berkembangnya zaman dan perubahan, kondisi tersebut diperluas dengan pengertian bahwa orang-orang yang tidak sanggup atau berat berpuasa mencakup semua orang yang karena kesehatan, pekerjaan, atau usianya tidak memungkinkan untuk berpuasa. Misalnya seperti profesi pengemudi jasa angkutan darat yang dalam konteks kekinian termasuk orang yang diperbolehkan tidak berpuasa.
Belakangan ini sering teradi gejolak dan “perang wacana “ mengenai konsep puasa, antara komunitas Islam yang berpandangan liberal dengan komunitas Islam yang berkarakter “normative-tradisionalis”.Gejolak ini semakin menjadi seiring dengan gencarnya pemikiran”kiri liberal”dalam Islam yang banyak diusung oleh kalangan “santri baru”.
Oleh mereka, perintah puasa dalam Al-quran dikaji secara kritis, tanpa harus memandang perintah itu sebagai “instruksi paketan” dari Tuhan. Melainkan harus dipahami latar belakangnya lengkap dengan “ide moral“yang tersimpan di balik perintah tersebut.
Pergeseran pandangan tersebut direpresentasikan oleh argumentasi yang kontradiktif dari seorang pemikir liberal asal Mesir bernama Mohammad Syahrur.31 Dalam bukunya yang bertajuk Islam Wa al-Iman ( 2001), beliau mencoba mengakomodasi nilai-nilai dasar manusiawi yang tersimpan dalam perasaan manusia, untuk dijadikan sebagai landasan pola keberagamaan seseorang. Menurutnya, praktek beragama tak harus dipaksakan atau bahkan memberatkan bagi para pelakunya. Beragama hendaknya dinikamati dan dijalankan sesuai dengan kadar kemampuan seseorang.
Berdasarkan logika berfikir tersebut, Syahrur menilai, praktek ibadah puasa telah bertolak belakang dengan nilai dasar kemanusiaan. Sederhananya, jika manusia lapar hendaknya segera makan, sehingga menjadi tidak manusiawi bila harus menahan lapar dan haus. Sementara ada makanan dan minuman yang bisa dikonsumsi.
Menurut Syahrur, praktek ibadah puasa dimasukan dalam kategori “memberatkan”. Syahrur menjustifikasi bahwa puasa “tidak wajib“ dilaksanakan. Puasa hanyalah kebutuhan, siapa yang berniat, maka tak menjadi masalah. Demikian interpretasi Syahrur terhadap Surat Al-Baqaarah:183.32
2. Ramadhan Persfektif Sosiologis dan Ekonomis
30 Muhammad Thalib, 160 Tanya-Jawab Amaliah Ramadhan, ( Bandung:Irsyad Baitus
Salam,1998 ),h. 75-76 31. Ahmad Khoirul Umam, “Beda Pandang tentang Puasa.” Artikel diakses tanggal 27
agustus 2007, dari Http:// www.media. Isnet.org/Islam/Etc/Syariah 32 Ahmad Khoirul Umam, “Beda Pandang Tentang Puasa”, artikel diakses tanggal 27
Agustus 2007, dari Http://www. media.Isnet.org/Islam/Etc/Syariah
23
Ramadhan adalah rumah teduh bagi siapa saja yang ingin mencari pahala. Tiap putaran detik Allah menjanjikan ganjaran pahala yang berlipat bagi tiap ibadah dan amalan soleh. Maka Aura Spirtual pun tergiur dan membuncah kuat di hati tiap muslim. Sehingga dalam pandangan masyarakat muslim bulan tersebut merupakan momentum yang tepat untuk bertindak shaleh secara total. Pada bulan ini hampir sebagian besar masyarakat menyibukan diri berburu hal-hal religi. Misalnya seperti pengetahuan religi. Maka kajian-kajian dan buku-buku religi, serta tayangan syiar agama banyak diminati masyarakat.
Ramadhan dalam lingkup sosiologis dimaknai sebagai waktu yang tepat untuk berlomba-lomba meningkat ibadah dan beramal shaleh. Bukan hanya ibadah madlah sebagai wujud kesalehan ritual.Tetapi juga berlomba-lomba dalam meningkatkan derma terhadap kaum dhuafa sebagai wujud keshalehan sosial, seperti berinfak, bersedekah, dan berzakat. Disamping itu, Ramadhan dianggap sebagai mediator dalam meningkatkan hablum minannas. Bulan simpati atau berkasih sayang antar sesama manusia.33 Dimana tingkat keshalehan sosial meningkat, maka untaian hubungan harmoni menyatukan masyarakat, baik yang kaya maupun miskin.
Dalam persfektif ekonomi, Ramadhan dimaknai sebagai media perangsang bagi lonjakan harga-harga kebutuhan pokok. Adanya kenaikan harga kebutuhan pokok atau kenaikan harga-harga barang lainnya menjelang puasa dan sampai nanti bulan Syawal memang setiap tahun terjadi, masyarakat juga sudah mafhum dan sadar setiap menjelang bulan puasa ada kenaikan harga. Bagi masyarakat, hal tersebut adalah masalah klasik, bahkan sudah menjadi tradisi tiap tahunnya.
Namun, kenaikan harga kebutuhan pokok menjelang Ramadhan tahun ini seolah-olah merupakan penyakit akut. Terhitung dari satu bulan menjelang Ramadhan tahun ini, harga kebutuhan pokok cenderung naik 10 hingga 40 persen. Dan kenaikan diperkirakan masih dapat terjadi menjelang hari raya Idul Fitri. Lonjakan kenaikan harga kebutuhan pokok menjelang Ramadhan dan Lebaran bukan hanya disebabkan karena kuranganya stok dan tidak jelasnya sistem distribusi. Selain itu, ulah para pedagang akibat dimuluskannya mekanisme pasar membuat pemegang otoritas utama penentu harga adalah pedagang atau ritel di pasar. Para pedagang menyadari selama bulan Ramadhan dan menjelang hari raya kebutuhan masyarakat meningkat, meski ada kenaikan harga pada beberapa komoditi, permintaan akan tetap naik. Dan meskipun kebijakan dilakukannya operasi pasar untuk menekan harga dampaknya hanya bersifat sementara.34
C. Masyarakat Marginal
33Maulana Muhamad Zakariyya Al Kandalawi Rah.a., Fadhail A’mal, Edisi revisi
Indonesia, (Bandung: Pustaka Ramadhan 2000), h. 450 34 “Kinerja Lemah, Tim Ekonomi Perlu Dievalusi Berkala”, Suara Karya, 10 September 2007
24
Modernisasi yang tejadi di kota-kota besar telah merangsang tingginya tindak urbanisasi di kalangan masyarakat desa. Mereka berbondong-bondong menuju ke kota tanpa membekali diri dengan keterampilan dengan harapan agar dapat menciptakan taraf hidup yang layak. Maka kehadiran mereka hanya memperbanyak daftar masyarakat miskin kota. Yang dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai masyarakat marginal.
1. Definisi Masyarakat Marginal Menuruta Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “marginal” diartikan sebagai hal yang berhubungan dengan batas ( tepi ). Sedang kata “marginalisasi” diartikan sebagai pembatas. Jadi, kata marginal dapat didefiniskan sebagai yang berkaitan dengan batas atau pembatasan.35 Sedangkan dalam Kamus Sosiologi dan Kependudukan, Istilah “marginal” memiliki dua makna, yaitu, pertama, suatu kelompok yang terasimilasi tidak sempurna. Kedua, suatu kelompok yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kedudukan rendah.36
Menurut istilah, marginal berarti adalah mereka yang tidak dapat menyesuaikan dan melibatkan diri dalam proses pembangunan. Mereka masih berjuang melawan penderitaan, kelaparan, ketidakadilan, keterasingan dan diskriminasi.37 Pernyataan tersebut dengan kata lain dapat dirumuskan, yaitu mereka yang dikategorikan sebagai yang memiliki budaya pinggiran yang ditempatkan di luar sistem, apabila dikaitkan dan didasarkan pada persfektif pembangunan modern atau budaya modern.
David Berry mengartikan marginal sebagai suatu situsi dimana orang bercita-cita atau berkinginan pindah dari kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial yang lain, akan tetapi ditolak keduanya.38 Secara singkat, definisi ini menggambarkan permasalahan relasi sosial-budaya yang ditanggung oleh kaum marginal. Sedangkan, Menurut Wini Septriarti, pengertian marginalitas menunjukan kepada status seseorang atau sekelompok orang yang berbeda kebudayaan. 39
2. Profil Kehidupan Masyarakat Marginal Masyarakat marginal adalah masyarakat dalam kategori masyarakat miskin kota. Mereka miskin karena adanya hierarki atau struktur dalam masyarakat. Kemiskinan tersebut karena mereka berada di lapisan bawah struktur ekonomi. dan sosial. Ini sebagai konsekuensi logis dari sistem mata pencaharian mereka sebagai kategori unskilled labor, yang memiliki tingkat pendapatan rendah.
35 Depdikbud, Marginal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 14 36 Kartasapoetra dan Hartini, Kamus Sosiologi dan Kependudukan, (Jakarta: Bumi
Aksara,1992),h. 244 37 Y. Argo Trikomo, Pemulung Jalanan Yogyakarta: Konstruksi Marginalitas dan
Perjuangan Hidup dalam Budaya-Budaya Dominan (Yogyakarta: Media Pressindo, 1999 ), h.7 38 David Berry, Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada,1995 ), h. 14 39 S. Wisni septriarti, Masyarakat kelompok Marginal dan Pendidkannya, dalam
Cakrawala Pendidikan ,(Mei,1994), h. 11-12)
25
Masyarakat yang tergolong dalam kategori ini adalah mereka yang berprofesi sebagai pemulung, pedagang asongan, pengemis, dan buruh pekerja kasar.
Dalam Penelitian, ini karena peneliti tidak mungkin dapat meneliti semua bentuk masyarakat marginal, maka penelitian ini memfokuskan pada salah satu bentuk masyarakat marginal. Masyarakat marginal yang menjadi perhatian peneliti adalah komunitas pemulung
Adapun definisi pemulung dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai orang yang memulung, memanfaatkan barang bekas ( seperti puntung rokok ) dengan menjualnya kepada pengusaha yang akan mengolahnya kembali menjadi barang komoditi. Selain itu memulung diartikan mengumpulkan barang-barang bekas (limbah) yang terbuang sebagai sampah umtuk dimanfaatkan sebagai bahan produksi dan sebagainya. 40
Sedangakan menurut Laurike dean Wempy, pemulung diartikan bahwa mereka sebagai pekerja pekerja sektor informal, datang secara individual atau berkelompok, yang berasal dari desa sebagai kaum migran. Yang bekerja sebagai pekerja sektor informal, mereka termarginalisasi secara ekonomi, politik, dan sosial.41
Profesi sebagai pemulung yang mengumpulkan barang-barang bekas merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat marginal. Suatu komunitas yang dalam masyarakat diberi stereotif orang kotor, dan tak dapat dipercaya. Komunitas pemulung yang menjadi titik fokus dalam penelitian ini adalah komunitas pemulung yang berada di Jl. Bulak Wangi II RT08, RW 03, Kedaung, Ciputat-Tangerang
a. Pemukiman Kemungkinan bagi komunitas marginal untuk mempunyai tempat tinggal
yang layak tipis sekali. Kelompok masyarakat ini hidup dan tinggal di gubuk-
gubuk. Diantara gubuk-gubuk itu terdapat perbedaan antara yang satu dengan
yang lainnya, yaitu “gubuk setengah permanent” (gubuk yang permanen, tetapi
dengan bahan bangunan yang kebanyakan tidak tahan lama), dan “gubuk setengah
sementara” (gubuk yang dibangun secara sederhana untuk tempat tinggal
40 Depdikbud, “Pemulung”, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 797 41 Laurike Moeliono dan Wempy Anggal, Remaja Marginalitas di Kota Besar Korban
Kemiskinan,dalam Atmanan Jaya, XII, Diterbitkan oleh Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, (Desember,2000)
26
sementara) .42Atau bagi mereka yang tidak mempunyai gubuk sama sekali dibagi
dalam golongan mereka yang tidur dibawah atap langit. Namun, pada umumnya
kelompok tersebut hidup dan tinggal di dalam kumpulan gubuk kertas, plastik dan
papan rombeng. Yang memiliki tingkat kebersihan, kebutuhan akan air minum,
dan sanitasi tidak memenuhi standar kehidupan.
Mc Gee berpendapat, munculnya masalah sosial dan kantong-kantong
orang miskin dikota sebagai akibat urbanisasi semua atau urbanisasi yang
kebanyakannya terjadi di dunia ketiga dan tidak berkaitan dengan perkembangan
ekonomi yang kemudian menimbulkan rakyat jelata ( Lumpen Proletariat) yang
merupakan massa miskin kota. Ia juga menggambarkan lingkungan masyarakat
marginal dengan kondisi-kondisi yang ada terdiri dari gubug-gubug lapuk tanpa
fasilitas pokok yang mempermudah kehidupan seperti listrik, air, sanitasi dan
jalan-jalan yang wajar. Perkampungan itu juga dicemari oleh kotoran-kotoran,
sampah-sampah atau masalah lingkungan yang lainya. Kampung masyarakat
marginal tumbuh secara tidak teratur, spontan dan tidak resmi. Di balik
lingkungan tampak miskin infrastruktur yang masih kasar. Ketiadaan pelayanan
kondisi kebersihan yang menyedihkan dan jalan-jalan serta gang-gang yang becek
terdapat masyarakat kampung yang beragam dan heterogen. 43
Komunitas Pemulung ummunya hidup dan tinggal dalam kumpulan gubug
kertas, plastik dan papan rombeng. Pemukiman tersebut dikenal dengan istilah
lapak. Di lapak tersebut bertimbun berbagai tumpukan barang bekas yang sudah
42 Pasurdi Suparlan,Orang Gelandangan di Jakarta: Politik Pada Golongan Termiskin,
Dalam Kemiskinan di Perkotaan, h. 183 43 Zsu Zsa Baros, Prospek Perubahan Bagi Golongan Miskin Kota (Jakarta: Sianar
Aharapan,1984 ),h.94
27
tidak terpakai lagi, mulai dari logam, aneka jenis plastik, alumunium, pecahan
kaca, potongan-potongan kayu, dan aneka macam kertas.
b. Mata Pencaharian
Bagi kelompok pemulung, tumpuan sektor mata pencaharian mereka
adalah mengumpulkan barang-barng bekas. Dalam komunitas pemulung sendiri
ada dua cara dalam mengumpulkan barang bekas, mereka yang sudah
memepunyai leveransir atau sumber tempat tetap mencari barang-barang bekas,
dan mereka yang mencari barang bekas di mana-mana dengan cara sendiri-sendiri.
Barang-barang bekas yang mereka cari dikelompokan sesuai dengan jenisnya,
kemudian dijual kepada seseorang yang bertindak sebagai agen dalam lingkungan
tersebut.
c. Kehidupan Beragama
Soelaiman menjelaskan bahwa karena latar belakang sosial yang berbeda
di masyarakat agama, maka masyarakat agama akan memiliki sikap dan nilai yang
berbeda pula. Kebutuhan dan pandangan terhadap prinsip keagamaan berbeda-
beda, kadangkala kepentingan terhadap agama dapat tercermin atau tidak sama
sekali.44 Karena itu kebhinekaan dalam kelompok masyarakat akan mencerminkan
perbedaan jenis kebutuhan agama.
Masyarakat marginal sebagai masyarakat strata bawah memiliki tingkat
pemahaman dan refleksi ajaran agama yang berbeda dengan kelompok
masyarakat lainnya. Pada masyarakat ini, agamanya belum difahami sebagai way
44 M. Munandar Soelaiman, Ilmu Sosial Dasar, (Teori dan Konsep Ilmu Sosial),
(Bandung: Etersco, 1993), h, 51
28
of life (pedoman hidup) yang mengandung nilai-nilai yang sangat tinggi. Namun,
sebagai tata cara praktis atau resep jitu, yang mereka gunakan untuk memecahkan
problem kehidupan. Misalnya ayat Al-quran tertentu dianggap mempunyai daya
magis untuk menyembuhkan penyakit, mendatangkan rezeki, menjaga
keselamatan, dan sebagainya. Pada umumnya ajaran agama dipahami secara
sederhana dan praktis.45
Dalam praktik kehidupan, konsep halal dan haram, benar dan salah tidak
mereka pahami sebagai adanya. Oleh karena itu, untuk memahami agama dalam
kehidupan sosial, mereka ini perlu dikaitkan dengan konteks kehidupan sosial
budaya, yaitu ajaran agama yang telah direduksi dan diseleksi oleh pemeluknya.
Kemudian difungsikan dalam kehidupan sosial mereka sebagai instrumen dalam
memecahkan berbagai persoalan hidup.46
3. Kemiskinan dalam masyarakat marginal Kemiskinan merupakan masalah yang selalu memotivasai setiap orang untuk berupaya mencari jalan pemecahnya baik melalui pemikiran atau tindakan nyata. Hingga kini permasalahan tersebut masih menjadi agenda besar dunia yang menuntut sebuah penyelesaian. Sebab, implikasi hal tersebut melibatkan seluruh aspek kehidupan manusia, walaupun kehadirannya seringkali tidak disadari bagi manusia bersangkutan.
Sar. A. levitan menjelaskan bahwa kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup layak. Karena standar hidup berbeda-beda, maka tidak ada definisi kemiskinan yang diterima secara universal.47
45 Surjanto, Keberagamaan Komunitas Pemulung di Lembah Sungai Gajah Wong
Yogyakarta, dalm Jurnal Penelitian Agama, VIII, ( 21 Januari-April, 1999 ),h. 75 46 Surjanto, Keberagamaan Komunitas Pemulung di Lembah Sunagi Gajah Wong
Yogyakarta, dalam Jurnal Penelitian Agama, VIII, ( 21 Januari-April, 1999 ),h. 75 47 Nabil Subhi al-Tahwil, Kemiskinan dan Keterbelakangan di Negara-negara
Berkembang, (Bandung; Mizan, 1985), h. 36
29
Menurut Pasurdi Suparlan, kemiskinan adalah suatu standar hidup rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan rendah ini secara langsung nampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong miskin.48
Sedangkan Soerjono Soekanto, mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.49
Berdasarkan data sensus tahun 1998, meyatakaan bahwa semenjak krisis ekonomi yang menimpa bangsa Indonesia tahun 1997, jumlah penduduk miskin di Indonesia berjumlah 79, 4 juta jiwa ( 39, 1 % ) dari total penduduk indonesia. 50
Kondisi ekonomi nasional yang tidak membaik tiap tahunnya akan menyebabkan kemiskinan bertambah. Pada bulan Juli 2007 BPS memperkirakan angka kemiskinan di Indonesia akan meningkat menjadi 42-48 juta dari 39,01 orang pada tahun lalu. Hal ini terlihat dari pendapatan yang terus menurun.51
Menurut Adi Sasono Kemiskinan rakayat Indonesia tidak disebabkan sejak semula mereka tidak mempunayai faktor-faktor kultural yang dinamis. Mereka terbelakang dan miskin karena kesempatan-kesempatan tidak diberikan kepada mereka atau mereka miskin oleh karena kesempatan-kesempatan telah dihancurkan dari mereka. Keterbelakangan dan kemiskinan bangsa Indonesia di sebabkan oleh oleh proses penghancuran kesempatan yang terjadi sebagai akibat dari proses eksploitasi.
Sejak era kolonial hingga hari ini, eksploitasi merupakan penyebab utama kemiskinan di kepulauan Nusantara. Saat Ini, pintu investasi asing yang dibuka lebar yang semula bertujuan memperbaiki sistem perekonomian negara, justru lebih mempermulus proses eksploitasi dan memperkuat hegomoni asing dalam perekonomian dalam negeri. Sebagian sumber daya alam Indonesia justru dinikmati oleh perusahaan-perusahaan dan orang-orang asing, bukan mayoritas indonesia. Karena sistem ekonomi kapitalis yang berlebihan ini, kemiskinan terus laju meningkat tiap tahunnya.
Selain buruknya sistem ekonomi, masih terdapat beberapa faktor lain yang semakin memelihara kemiskinan di Indonesia. Faktor-faktor tersebut antara lain: tekanan internasional (melalui hutang luar negeri ), korupsi, serta
48 Pasurdi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1984 ),
h.12 49 Soerjono Soekanto, sosiologi Suatu Pengantar, h. 406 50 Taufik Abdullah, Indonesia menapak abad 21 dalam Kajian Sosial dan Budaya,
(Jakarta: Peradaban , 2001), h. 120 51 Aria Yudistira,”Kemiskinan Di Indonesia Diyakini Bertambah “, artikel diakses
tanggal 5 Agustus 2007, dari http:// www.media_Indonesia.com
30
masyarakat yang telah lama terjerat dalam lingkaran setan kemiskinan dan kebodohan.
Kemiskinan dalam masyarakat marginal tidak cukup diterangkan sebagai konskuensi logis dari realitas ekonomi dan struktur. Akibat rentan waktu yang cukup panjang dalam lingkaran kebiasaan dan terabaikan. Kini ia sudah menjadi realitas budaya yang berbentuk sikap menyerah kepada keadaan.
Kemiskinan yang telah mendarah daging dalam masyarakat marginal telah menjadikan mereka terbiasa dengan keadaan yang dijalaninnya. Sehingga kemiskinan dipandang sebagai kebudayaan yang umumnya terwariskan antara generasi. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan kaum marginal yang kebanyakan berprofesi sebagai pemulung, kemudian profesi mereka terwarisi kepada anak cucu sehingga menjadikan kehidupannya sukar untuk keluar dari garis kemiskinan.
31
BAB III
PROFIL DAERAH PENELITIAN DAN SUBJEK PENELITIAN
A. Kondisi Geografis dan Demografis Daerah Penelitian
Kelurahan Kedaung merupakan salah satu kelurahan yang berada di
Kecamatan Ciputat yang bernaung di bawah kesatuan kota Tangerang propinsi
Banten. Wilayah Kedaung terletak pada jarak 3 km dari pusat pemerintahan
kecamatan, 70 km dari kota kabupaten, 170 km dari ibu kota provinsi, dan 30 km
dari ibu kota negara.
Secara geografis kelurahan Kedaung mempunyai luas wilayah 287.67
hektar, yang terdiri dari 212,37 hektar tanah darat dan 65,30 hektar sawah tadah
hujan. Wilayah ini berada pada 35 m di atas laut, dengan curah hujan 2000/2500
mil, dan mempunyai suhu rata-rata 29 derajat celcius. Berdasarkan kelembagaan
desa, wilayah kelurahan ini terbagi dalam 15 buah rukun warga ( RW ) dan 55
buah rukun tetangga (RT).
Berdasarkan data demografis, daerah yang mempunyai luas wilyah 287,67
hektar ini dihuni oleh 17.891 jiwa, yang terdiri 9.180 jiwa laki-laki dan 8.711
jiwa penduduk perempuan. Data demografi kelurahan Kedaung menujukan bahwa
prosentase jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari perempuan. Secara lebih
rinci data kependudukan ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini
32
Tabel 1
Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis kelamin Frekunsi %
1 Laki-laki 9.180 51,31 %
2. Perempuan 8.711 48,69 %
Jumlah 17891 100 %
Sumber : Buku Monografi Kelurahan Kedaung 2005
Sedangkan, mengenai jumlah komposisi pendududuk menurut usia
didominasi oleh penduduk berusia 0-4 tahun, kemudian 5-9 tahun, dan 20-24
tahun. Prosentase terendah ada pada penduduk berusia 60-64 tahun. Untuk lebih
jelas dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2
Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia
No. Usia Frekuensi %
1. 0-4 tahun 3.108 17,37 %
2. 5-9 tahun 1.732 9,7%
3. 10-14 tahun 1.602 8,95 %
4. 15-19 tahun 1.550 8,66 %
5. 20-24 tahun 1.716 9,59 %
6. 25-29 tahun 1.577 8,8 %
7. 30-34 tahun 1.408 7,87 %
8. 35-39 tahun 796 4,45 %
33
9. 40-44 tahun 706 3, 95 %
10. 45-49 tahun 644 3, 60 %
11. 50-54 tahun 905 5, 06 %
12. 55-59 tahun 653 3, 65 %
13. 60-64 tahun 553 3, 09 %
14. 65 tahun keatas 941 5, 26 %
Jumlah 17.891 100 %
Sumber : Buku Monogarfi Kelurahan Kedaung 2005
Sementara itu dalam bidang pendidikan, rata-rata pendidikan masyarakat
Kedaung saat ini adalah tamatan SLTA dengan prosentase mencapai 35,32 %.
Berbeda dengan belasan tahun sebelumnya, dimana sebagian besar masyarakatnya
hanya dapat menamatkan pendidikan sampai jenjang sekolah dasar ( SD ). Saat ini
sebagian besar masyarakatnya sudah sangat sadar akan pentingnya pendidikan.
Selain itu, kini sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam bidang pendidikan di
wilayah ini kian meningkat. Lembaga pendidikan dari jenjang TK hingga tingkat
SLTA sudah tersedia dalam wilayah ini, menurut catatan daftar isian potensi
kelurahan daerah ini mempunyai 8 buah TK, 15 buah SD, 8 buah SLTP, 6 buah
SLTA, dan 3 buah Pondok Pesantren.
Secara lebih terinci jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
34
Tabel 3
Komposisi Jumlah Penduduk berdasarkan Pendidikan
No. Pendidikan Frekuensi %
1. Belum dan tidak sekolah 992 12,68 %
2. Pernah Sekolah tapi tidak
tamat SD
115 1,47 %
3. SD 1306 16,69 %
4. SLTP 2.452 31,35 %
5. SLTA 2.762 35,32 %
6. Diploma 109 1,39 %
7. Strata I 85 1,1 %
Jumlah 7821 100 %
Sumber: Buku Monografi dan Daftar Isian Potensi Kelurahan Kedaung 2005
Pesatnya pertumbuhan dan pembangunan di ibu kota Jakarta
melambungkan tingkat migrasi, yang membawa pengaruh cukup signifikan bagi
wilayah Kedaung. Sebagai bagian dari daerah penyangga ibu kota, kelurahan
Kedaung merupakan bagian wilayah dalam hitungan strategis dalam aspek
ekonomi. Pembangunan yang kian meningkat di wilayah ini cukup mempunyai
daya tarik bagi kaum urban untuk menetapkan daerah itu sebagai pilihan dalam
melakukan mobilitas ekonomi. Walaupun tidak semua sarana, prasana dan lokasi
perekonomian di daerah ini, yakni kebanyakan di wialayah sekitar Ciputat dan
Pamulang, namun cukup memberi keuntungan bagi penduduknya, karena secara
geografis masih berada dalam satu wilayah kecamatan.
35
Dalam aspek mata pencaharian, catatan isian potensi kelurahan
menunjukan data yang cukup variatif dalam hal mata pencaharian penduduk
kelurahan Kedaung. Karena secara geografis sebagian pasar Ciputat berada dalam
naungan kelurahan Kedaung dan lokasinya berdekatan, maka kebanyakan
penduduk kelurahan Kedaung memusatkan mata pencahariannya sebagai
pedagang di pasar tersebut. Prosentase terbesar kedua dalam aspek mata
pencaharian masyarakat kedaung adalah Pegawai Negeri Sipil ( PNS ). Karena
wilayah tersebut memiliki dan berdekatan dengan asrama dan markas POLRI,
maka profesi TNI/ POLRI menjadi prosenatase terbesar ketiga dalam aspek mata
pencaharian masyarakat kelurahan Kedaung. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada
tabel 4.
Tabel 4
Komposisi Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian
No. Mata Pencaharian Frekuensi %
1. Petani 92 1,246%
2. Karyawan
a. Pegawai Negeri Sipil
(PNS)
b. TNI / POLRI
c. Buruh
1.603
1.406
1.301
21,723 %
19,05 %
17,63%
3. Wiraswasta
a. Pedagang
b. Penjahit
1.994
162
27,022 %
2,195 %
36
4. Peternak 103 1,395 %
5. Jasa Angkutan
a. Pengemudi Becak
b. Sopir
c. Ojek
93
186
122
1,26 %
2,52 %
1,65 %
6. Pensiunan 146 1,98 %
7. Lainnya 171 2,317 %
Jumlah 7.379 100 %
Sumber: Buku Monografi dan Daftar Isian Potensi Kelurahan Kedaung 2005
Berkenaan dengan aspek religi, mayoritas penduduk kelurahan Kedaung
beragama Islam. Jumlah pemeluk agama Islam di daerah ini mencapai 12.595
orang dengan posisi berikutnya Katholik, Protestan, Hindu, Budha. Untuk sarana
ibadah yang ada di wilayah ini terdapat 15 masjid, 28 mushalla, dan 1 gereja.
Secara lebih rinci data mengenai kompisisi jumlah penduduk berdasarkan
agama dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 5
Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama
No. Agama Frekuensi %
1. Islam 12.595 70,4 %
2. Katholik 2.337 13,06 %
3. Protestan 2.062 11,53 %
4. Hindu 560 3,13 %
5. Budha 337 1,88 %
Jumlah 17.891 100 %
Sumber: Buku Monografi dan Daftar Isian Potensi Kelurahan Kedaung 2005
37
B. Gambaran Umum Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah komunitas pemulung yang berlokasi di
Jl. Bulak Wangi II RT 08 RW 03, kelurahan Kedaung, kecamatan Ciputat,
kabupaten Tangerang. Pemukiman mereka terletak di sebelah utara kantor
pemerintahan kelurahan Ciputat, yakni berjarak 1,5 km. Untuk mencapai jalan
raya atau pusat kota pemukiman mereka dihubungkan dengan jalan pendidikan.
Sepanjang jalan tersebut terdapat kompleks lembaga pendidikan, dimana lembaga
pendidikan dari jenjang TK, SD, SLTP hingga SLTA berjajar di jalan tersebut.
Ojek menjadi sarana transportasi utama di jalan tersebut.
Lokasi pemukiman pemulung ini terletak dalam perkampungan Betawi
Agung di Jl. Bulak Wangi II. Wilayah perumahan di RT 08 RW 03 tersebut di
huni oleh sekitar 124 kepala keluarga, yakni sekitar 645 orang. Penduduk di
wilayah tersebut di dominasi oleh masyarakat Jawa urban dan Suku Betawi yang
memang penduduk asli.52
Berdasarkan Informasi yang didapatkan penulis, areal pemukiman
pemulung di daerah tersebut seluas 2150 m. Di areal tanah seluas 2150 m terdapat
tiga lapak yang berasal dari daerah asal yang berbeda. Ada lapak yang berasal dari
daerah Stanggal, Banyumas serta Brebes. Untuk setiap lapak ada yang menempati
areal seluas 600 an samapai 700 an meter. Areal tanah seluas 2150 m tersebut
dimilki oleh tiga orang, yakni Bapak Supandi seluas 785 m, Bapak Abdul Haris
seluas 725 m, dan Ibu Nyai seluas 650 m. Masing-masing dari pemilik tanah
tersebut menyewakan tanahnya pada komunitas pemulung.
52Wawancara Pribadi dengan Bapak Udin Selaku Ketua RT 08/03 di Jl Bulak Wangi II,
Tangerang, 30 September ,2007
38
Menurut beberapa sumber yang peneliti wawancarai, komunitas
pemulung di wilayah ini sudah ada sejak 7 tahun yang lalu terhitung dari tahun
2000. Sedangkan, berkenaan dengan sejarah terbentuknya komunitas pemulung di
daerah tersebut, berawal dari salah satu pemilik tanah yang menyewakan tanahnya
untuk menghentikan pembuangan sampah yang dilakukan masyarakat sekitar di
tanah miliknya. Hal ini dituturkan oleh Bapak Supandi sebagai salah satu pemilik
tanah:
“ …Semua bermula dari saya yang menyewakan tanah seluas 785 meter kepada bapak Edi dengan biaya sewa 1.500.000 / bulannya, yang ingin membagun kembali usaha mulungnya yang terkena gusur di daerah Pamulang. Sedangkan tujuan saya sendiri adalah untuk menghentikan pembuangan sampah yang dilakukan masyarakat perumahan sekitar. Lebih baik saya sewakan dengan harga murah kepada tukang pulung dari pada tanah milik saya dijadikan tempat pembuangan sampah. Meskipun demikian setidaknya tanah saya sedikit terawat, kemudian beberapa bulan berikutnya diikuti oleh pemilik tanah lainnya . …”53
Dalam Areal tanah seluas 2150 m ini berdiri puluhan bangunan sangat
sederhana tempat bermukim bagi komunitas pemulung tersebut. Diantara
bangunan-bangunan yang sangat sederhana tersebut terdapat perbedaan antara
yang satu dengan yang lainnya, yakni gubuk setengah permanen dan gubuk
setengah sementara. Bangunan atau gubuk setengah permanen didirikan dari
bahan bangunan yang kebanyakan tidak tahan lama, seperti triplek bekas dan
papan rombeng. Sedangkan gubuk setengah sementara didirikan dari kumpulan
kardus dan plastik. Deretan hunian di wilayah ini tertata cukup rapi. Layaknya
sebuah pemukiman, tiap bangunan dihubungkan oleh jalan-jalan kecil, yang dapat
dilalui gerobak-gerobak pengangkut barang bekas yang mereka miliki. Setiap
53 Wawancara pribadi dengan Bapak supandi, Tangerang , 29 September 2007
39
sudut didepan bangunan tertumpuk onggokan barang bekas yang mereka
kumpulkan.
Gambaran lebih detail mengenai pemukiman komunitasa pemulung di
wilayah ini, sama dengan apa yang telah dideskripsikan oleh Jacob Rebong. Ia
mendeskripsikan bahwa kelompok yang satu ini, umumnya hidup dan bermukim
dalam kumpulan gubuk kertas, plastik dan papan rombeng, namun memiliki
kegiatan. Di sana, ada usaha mengumpulkan barang bekas.54
Jumlah pemulung di wilayah ini diperkirakan mencapai 87 orang, yang
terdiri dari 58 jiwa laki-laki dan 29 jiwa perempuan, dengan jumlah 19 kepala
keluarag ( KK ). Jumlah ini dalam tiap waktunya dapat berubah, karena umumnya
mereka datang-pergi (bolak-balik) dan jarang yang tinggal menetap.
Berkenaan dengan identitas kependudukan, dari 87 orang yang menghuni
lapak-lapak di wilayah tersebut, 65 jiwa yang termasuk dalam kategori usia yang
wajib memiliki kartu tanda penduduk. Sedangkan jumlah sisanya, yakni 22 jiwa
yang termasuk dalam kategori usia anak-anak dan remaja awal, yang belum
diwajibkan memiliki kartu tanda penduduk. Dari 52 jiwa tersebut, sebagian besar
dari mereka dipastikan tidak atau belum memiliki kartu tanda penduduk setempat.
Mereka hanya memiliki kartu tanda penduduk daerah asal dan kartu tanda
penduduk musiman, bahkan ada diantara mereka yang tidak memiliki kartu tanda
penduduk. Hanya sebagaian kecil dari mereka yang memiliki kartu tanda
penduduk setempat. Ini dapat tergambarkan dari 34 orang informan yang
diwawancarai, hanya 9 orang yang menyatakan memiliki kartu tanda penduduk
54 Jacob Rebong, dkk, “Ekonomi Gelandangan: Armada Murah Untuk Pabrik, dalam Kemiskinan di Perkotaan”, Pasurdi Suparlan, (ed), ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia , 1995 ), h. 140
40
setempat. Minimnya kepemilikan kartu tanda penduduk setempat dikalangan
pemulung di wilayah tersebut diungkapkan oleh Edi Sudewo, ajat dan Yanto
selaku ketua lapak. Mereka sama-sama menyatakan bahwa para pemulung
tersebut sebagian besar tidak mempunyai kartu tanda penduduk setempat
dikarenakan tidak mampu mengeluarkan biaya pembuatan kartu tanda penduduk
dan karena banyak dari mereka yang datang dan pergi atau tidak tinggal menetap
di wilayah tersebut. Ini terlihat dari jumlah mereka yang selalu dapat berubah tiap
waktunya. Sehingga sedikit sekali dari para pemulung yang memiliki kartu tanda
penduduk setempat. Hanya para ketua lapak beserta keluarganya dan para
pemulung yang sudah lama menetap di wilayah tersebut.55
Karena sebagian besar para pemulung di wilayah tersebut tidak memiliki
kartu tanda penduduk setempat, maka dalam hal penyelenggaran pesta politik
mereka tidak dapat berpartisipasi. Sedangkan, bagi mereka yang memiliki hak
suara dalam pelaksanaan pesta politik, cenderung mengabaikan hak tersebut. Hal
tersebut diungkapkan oleh Tasman:”…Saya punya KTP sini. Tapi, kalo’ ada
pemilihan presiden atau lainnya saya ‘ngga ikut nyoblos. Males…, ‘ngga ada
duitnya sih….”56
Setiap komunitas pemulung hidup bermukim sesuai dengan persamaan
daerah asal mereka. Setiap pemulung yang berasal dari Banyumas hidup satu
lapak dengan para pemulung dari daerah yang sama, begitupun dengan komunitas
pemulung lainnya. Umumnya antar pemulung tersebut masih mempunyai satu
ikatan kekerabatan atau mereka hidup bertetangga di daerah asal.
55Wawancara Pribadi dengan Bapak EdiSudewo dan Bapak Yanto, Selaku Ketua Lapak Banyumas dan Tegal, Tangerang 28 September
56 Wawancara Pribadi dengan Bapak Tasman, Tangerang,8 Oktober 2007
41
Inilah, sekelumit gambaran mengenai lokasi dan sejarah komunitas
pemulung di wilayah Kedaung, peneliti berharap gambaran singkat tersebut dapat
membantu dalam mengetahui kondisi keberadaan mereka (komunitas pemulung)
di wilayah tersebut
Sebagai uraian selanjutnya, di bawah ini penulis akan mendeskripsikan
berbagai aspek kehidupan pada komunitas pemulung di wilayah tersebut.
1. Seputar Kehidupan Ekonomi
Fenomena urbanisasi merupakan konsekuensi logis dari pesatnya
pembangunan di Ibu Kota. Masyarakat rural berbondong-bondong melakukan
migrasi ke Ibu Kota karena tergiur dengan kestrategisan wilayah tersebut yang
menjanjikan perbaikan dalam bidang ekonomi. Namun, sebagian besar dari para
kaum urban tersebut tidak membekali diri dengan pendidikan dan skill yang
memadai, yang sesungguhnya sangat dibutuhkan sebagai modal utama hidup di
ibu kota. Maka peran mereka di ibu kota hanya sebagai masyarakat marginal yang
salah satu profesinya sebagai pemulung.
Bagi komunitas pemulung, “mulung” atau mencari barang bekas adalah
tumpuan sektor mata pencaharian mereka. Dari mata pencaharian ini para
pemulung memenuhi kebutuhan nafkah jasmani keluarganya. Hal tersebut sama-
sama dituturkan oleh informan Tasman dan Tamiri.57
“…Mulung sudah menjadi kegiatan pekerjaan utama kita dalam mencari rezeki sehari-hari. Hasil mulung kita gunakan untuk menafkahi anak dan istri. Kalau kita ‘ngga mulung sehari saja, berarti anak dan istri
57 Wawancara pribadi dengan Bapak Tasman dan Bapak Tamiri, Tangerang, 8 Oktober
dan 28 September 2007
42
‘ngga makan hari itu. Hasil mulung cuma dari tangan ke mulut, maksudnya hasil hari ini juga akan habis untuk kebutuhan makan hari ini juga.” Sementara berkenaan dengan faktor yang melatarbelakangi mereka
menjadi pemulung umumnya karena minimnya pendidikan dan skill yang mereka
miliki. Sehingga mulung merupakan pekerjaan yang tepat bagi mereka, karena
tidak memerlukan keterampilan khusus dan modal yang besar seperti pekerjaan-
pekerjaan lainnya yang ada di ibu kota ini. Seperti penuturan Solihin di bawah
ini.
“…Saya datang ke Jakarta untuk mencari nafkah, ketika sampai di sini saya bingung mau kerja apa. Sebab saya cuma punya izasah SD dan ‘ngga punya keahlian apa-apa, sementara kebanyakan pekerjaan di Jakarta memerlukan tamatan sekolah yang tinggi. Akhirnya, mau ‘ngga mau jadi pemulung, sebab mulung itu pekerjaan yang cuma memerlukan kerajinan dan bermodalkan karung dan ganco…”58 Selain faktor tersebut, diantara mereka ada yang menjadikan pekerjaan
mulung ini sebagai pekerjaan sampingan atau sementara. Pekerjaan mulung
dilakukan untuk mengisi kekosongan ketika pekerajaan utama tidak dapat
dilakukan. Seperti penuturan Trisno sebagai salah komunitas pemulung dari
Banyumas yang telah tinggal sekitar empat tahunan, ketika ditanya tentang apa
mendorongnya jadi pemulung. Ia menuturkan, mulung baginya hanya pekerjaan
sementara saja, yakni mengisi waktu menganggur, ketika tidak ada panggilan
sebagai pekerja buruh bangunan.59 Hal yang tidak berbeda juga disampaikan oleh
Timan. Namun, baginya pekerjaan mulung dilakukan saat musim paceklik di
58 Wawancara Pribadi dengan Solihin, Tangerang 27 September 2007 59 Wawancara Pribadi dengan Bapak Trisno, Tangerang, 29 September 2007
43
kampung.60 Sedangkan, faktor yanga melatarbelakangi para kaum wanita menjadi
pemulung karena ingin membantu para suami dalam mencari nafkah.
Keuletan dan kerajinan merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam
setiap pekerjaan. Komunitas pemulung di daerah ini pun menanamkan sikap
demikian dalam melakoni pekerjaannya tersebut. Komunitas pemulung di daerah
ini, rela untuk bangun lebih awal dan menyusuri jalan berkilo-kilo meter demi
mencari barang-barang bekas sebagai tumpuan hidup dalam memenuhi nafkah.
Berdasarkan wawancara mendalam, diantara mereka ada yang mulai berangkat
bekerja antara jam empat dan jam lima pagi, dan ada juga yang mulai bekerja dari
jam tujuh dan jam delapan pagi. Hal tersebut, tergantung dari tempat yang
menjadi tujuan mereka dalam mencari barang bekas. Informan Tasman61
menuturkan, ia biasanya mulai bangun sekitar jam tiga pagi dan mulai berangkat
kerja pukul empat pagi, ketika ingin mencari barang di daerah BSD ( Bumi
Serpong Damai ) atau Pondok Labu. Namun, jika hanya berkeliling di daerah
sekitar Ciputat dan Pamulang, ia berangkat kerja mulai jam tujuh pagi. Untuk
kepulangannya dalam bekerja adalah tidak tentu tergantung penghasilan yang
mereka peroleh saat itu. Berbeda dengan Wasem, ibu paruh baya ini menuturkan,
ia bekerja mulai pukul delapan pagi setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah
tangga, dan hanya berkeliling di daerah sekitar Kedaung dan pasar Ciputat.
Kemudian pulang pukul dua siang untuk kembali mengerjakan tugas rumah
tangga.62
60 Wawancara Pribadi dengan Bapak Timan, Tangerang, 27 September 2007 61 Wawancara Pribadi dengan Bapak Tasman , Tangerang, 8 Oktober 2007 62 Wawancara Pribadi dengan Ibu Wasem , Tangerang, 30 September 2007
44
Sebagian besar masyarakat memandang bahwa plastik, kertas, kardus,
kaleng, dan paku karat merupakan barang tak memiliki nilai berharga. Namun,
dalam persfektif komunitas pemulung barang-barang bekas tersebut merupakan
perantara penting bagi penyelamat perut dari kondisi lapar. Maka aktivitas
mengumpulkan barang bekas adalah urat hidupnya dalam sektor ekonomi.
Barang-barang bekas yang mereka kumpulkan kemudian dijual kepada ketua
lapak yang bertindak sebagai agen dalam komunitas pemulung tersebut. Untuk
gelas atau kemasan plastik dihargai sebesar Rp. 4500/kg, Rp. 500/ kg untuk koran
bekas, Rp.600/ kg untuk kardus, dan RP.50/kg-nya untuk beling, Rp. 1200/kg
untuk paku, Rp. 60.000/kg untuk kabel; serta Rp. 3000/kg untuk besi. Namun,
biasanya para pemulung wanita menjual barang bekas tersebut secara campur
yang oleh agen dihargai Rp.1500/ kg. 63
Khusus untuk penghuni lapak Brebes, mereka tidak mencari barang bekas
dengan cara memulung berkeliling tempat, tetapi mereka hanya bertindak sebagai
agen penjualan barang bekas. Ketua lapak memberikan modal kepada para anak
buahnya untuk membeli barang-barang bekas yang dijual oleh kantor-kantor atau
toko-toko dengan cara memborongnya dalam jumlah besar. Umumnya barang-
barang bekas yang banyak ditemui di lapak ini adalah aneka kertas, perabot rumah
tangga, dan kabel.
Berkenaan dengan penghasilan yang didapatkan dari mulung, para
informan menuturkan, penghasilan mereka setiap hari tidak menentu tergantung
dengan barang- barang bekas yang mereka dapatkan hari itu. Bagi para pemulung
63 . Wawancara Pribadi dengan Bapak Edi Sudewo, Tangerang, 29 September 2007
45
laki-laki, penghasilan yang mereka dapatkan dalam tiap harinya berkisar antara
Rp.10.000-Rp.30.000, sedangkan para pemulung perempuan mendapatkan
penghasilan antara Rp. 5.000-Rp. 15.000 dalam tiap harinya.
Deskripsi mengenai seputar kehidupan ekonomi pemulung di wilayah ini,
hampir sama seperti yang telah dideskripsikan oleh Wisni Septiarti yang dikutip
dari pendapat Rodger. Ia mendeskripsikan bahwa dalam sektor perbaikan
ekonomi kelompok ini hanya mampu terlihat dan memperoleh mata pencaharian
pada sektor-sektor informal, tidak lain tergolong sebagai unskilled labor.
Akibatnya perolehan penghasilan mereka menjadi minim dan tidak tetap sama
sekali serta tidak mempunyai jaminan sosial. 64
Itulah deskripsi mengenai seputar kehidupan perekonomian komunitas
pemulung di wilayah tersebut, yang memang tergambar dalam realita keseharian
hidup mereka. Kemudian, untuk kondisi pendidikan komunitas pemulung di
wilayah ini akan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya.
2. Pendidikan
Era globalisasi menuntut tiap individu untuk tampil terampil, efektif dan
efisien. Melalui pendidikan tiap individu dapat membangun, mengembangkan dan
mengefisiensikan potensi sumber daya yang ada pada dirinya. Maka, kini
pendidikan menjadi hal yang sangat urgen bagi masyarakat di belahan dunia
manapun. Meskipun sebagian besar masyarakat telah memiliki kesadaran akan
pentingnya pendidikan, tetap saja secara praktis aspek tersebut masih terabaikan
64 S. Wisni Septriarti, “Masyarakat Kelompok Marginal dan Permasalahan
Pendidikannya”, dalam Cakrawala Pendidkan”, H. 11-12
46
dalam kehidupan, terutama masyarakat yang secara struktur berada di lapisan
bawah atau masyrakat marginal.
Adalah faktor ekonomi yang menjadi hambatan dan rintangan terbesar
bagi masyarakat lapisan bawah untuk mengefisiensikan potensi sumberdayanya.
Sehingga, aspek penting tersebut terkesan diacuhkan dalam kehidupan mereka.
Seperti yang telah dideskripsikan oleh Wisni Septriarti yang dikutip dari
pendapat Roger, untuk kelompok masyarakat marginal, dibidang sosial ada pada
strata terendah dalam masyarakat, dengan tingkat pendidikan rendah atau sama
sekali belum pernah menikmati bangku pendidikan; jauh dari jangkauan fasilitas
umum.65
Berkenaan dengan pendidikan komunitas pemulung di Kedaung, seperti
yang telah digambarkan oleh Roger, umumnya pendidikan mereka terbilang
rendah. Sangat jarang diantara mereka yang dapat menamatkan sekolah lanjutan
tingkat pertama (SLTP) maupun sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Mayoritas
dari mereka hanya mengenyam pendidikan di tingkat sekolah dasar (SD), namun
ada juga diantara mereka yang tak menamatkannya, bahkan diantara mereka ada
yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Rata-rata untuk pendidikan
pemulung di wilayah ini adalah sekolah dasar (SD). Hal tersebut di ungkapkan
oleh Bapak Edi Sudewo, selaku salah satu ketua lapak.66
Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan Solihin:“…Faktor ekonomi
menyebabkan pemulung di sini berpendidikan rendah, rata-rata pemulung di sini
65 S. Wisni Septriarti, “Masyarakat Kelompok Marginal dan Permasalahan
Pendidikannya”, dalam Cakrawala Pendidikan, h 11-12. 66 Wawancara Pribadi dengan Bapak Edi Sudewo, Tangerang, 29 September 2007
47
hanya tamatan sekolah dasar ( SD ), karena itu hanya mulung yang kita bisa
kerjakan untuk mencari rezeki”. 67
Meskipun kemiskinan lekat dalam kehidupan mereka, namun tak
menghalangi mereka memiliki harapan untuk melakukan perbaikan dan mobilitas
pendidikan pada generasi mereka. Kini, secara praktis mereka berusaha keras
merealisasikan harapan tersebut.
3. Agama
Secara kodrati manusia adalah makhluk yang memiliki naluri untuk
menghambangkan diri pada sesuatu yang sakral. Manusia meyakini bahwa
melalui agama ia dapat memenuhi kebutuhan nalurinya tersebut. Maka beragama
adalah pengejawantahan dari kodrat tersebut. Agama telah menjadi hal yang
sangat fundamen bagi masyakat apapun Sehingga, agama telah menjadi aspek
universal yang berhasil menembus batas struktur yang ada dalam masyarakat.
Dalam bidang agama, mayoritas pemulung diwilayah ini beragama Islam.
Hanya tiga orang diantara pemulung di wilayah tersebut yang bergama Kristen;
tak ada seseorang pun dari mereka yang menjadi pemeluk agama Hindu dan
Budha
Berkenaan dengan fasilitas tempat ibadah, mereka tak mendirikan masjid
atau mushalla tersendiri bagi komunitasnya. Dalam beribadah mereka
membaurkan diri dengan masyarakat sekitar dalam satu jamaah di masjid wilayah
tersebut. Di masjid tersebut juga tersedia sarana pendidikan agama, dimana
67 Wawancara Pribadi dengan Solihin, Tangerang,27 September 2007
48
sebagaian besar pemulung mempercayakan pendidikan agama putra-putri mereka
di TPA tersebut.
Mengenai kegiatan kerohanian, karena sifat hipokrit masyarakat setempat,
umumnya para pemulung tersebut tidak terlibat dalam keanggotan kegiatan rohani
di wilayah tersebut. Mereka juga tidak memiliki kegiatan kerohanian tersendiri.
4. Latar Belakang Sosial
Fenomena urbanisasi berimplikasi pada teciptanya kondisi multikultural di
wiliyah kota, yakni berkumpulnya masyarakat beragam kultur, namun dengan
keseragaman tujuan dalam rangka melakukan mobilitas kehidupan, terutama
ekonomi. Tak semua masyarakat urban dapat merasakan jalan kemudahan dalam
melakukan perubahan hidup ke arah progress. Bagi kaum yang kurang beruntung
dan tak berketrampilan, mereka tak enggan melakukan pekerjaan kasar demi
survive hidup di kota. Kondisi kurang beruntung yang dialami masyarakat urban
telah menstimulasi terciptanya tenaga, usaha serta lahan pekerjaan kasar dan tak
layak. Mulai dari profesi buruh bangunan, pedagang asongan, pemulung sampai
pengemis merupakan anak kandung dari fenomena masyakat urban yang kurang
beruntung dan terasingkan dari pekerjaan dan kehidupan yang layak di kota.
Persamaan nasib yang dimiliki oleh sebagian masyarakat urban yang
kurang beruntung, justru telah mengikat mereka dalam kesatuan profesi sebagai
pekerja kasar, tanpa memperhitungkan perbedaan latar belakang sosial yang
dimiliki. Situasi tersebut tergambar jelas dalam kehidupan komunitas pemulung di
Kedaung. Latar belakang sosial yang berbeda tak menyurutkan mereka untuk
hidup berdampingan dan mencari rezeki dalam kesatauan profesi sebagai
49
komunitas pemulung. Meskipun di wilayah tersebut terdapat tiga lapak yang tiap
lapak umumnya dihuni oleh mayoritas pemulung yang berlatar belakang daerah
dan budaya yang sama, namun mereka tak enggan menerima angota pemulung
dari daerah dan budaya yang berlainan. Hal tersebut dituturkan oleh Edi
Sudewo:68
“Karena saya sebagai ketua berasal dari Banyumas dan istri saya berasal dari Losari, para pemulung di sini umumnya juga berasal dari Banyumas dan Losari. Namun, kita semua di sini tidak menutup diri bagi para pemulung yang berlainan daerah yang mau bergabung dengan kita. Seperti Siti Fatimah yang berasal dari lampung dan Dadan dari Tangerang, kita terima dan kita tidak bedakan keberadaannya di sini. Dan sepertinya juga begitu dengan lapak di sebelah dan lapak dibelakang itu.”
Karena latar belakang daerah asal yang berbeda maka budaya yang
dimiliki juga berbeda. Perbedaan latar belakang yang dimiliki oleh komunitas
pemulung telah menimbulkan keragaman budaya yang dimiliki oleh masing-
masing individu. Para pemulung yang berada di wilayah ini berasal dari berbagai
suku bangsa seperti Jawa, Sunda, Madura, Lampung dan Medan. Keragaman
tersebut juga memberikan pada perbedaan watak maupun sifat yang dimiliki oleh
tiap individu. Namun perbedaan tersebut tidak menyebabkan mereka
mengisolasikan diri dalam pergaulan sehari-hari.
Meskipun telah hidup dalam kondisi multikultural, tetap saja setiap
pemulung masih membawa cultural Baggage, yakni masih mengaplikasikan
sebagian adat dan kebudayaannya yang sudah mendarah daging. Seperti tradisi
mistik dan kebatinan yang masih kental bagi mereka yang berasal dari Jawa; sikap
egaliter, rasional dan berwatak keras bagi mereka yang berasal dari Sumatra.
68 Wawancara pribadi dengan Bapak Edi Sudewo, Tangerang ,29 September 2007
50
Namun kondisi tersebut tidak menghalangi terciptanya kerukunan dalam
kehidupan mereka.
Rasa tersingkan dari megahnya kehidupan kota dan kesamaan profesi
sebagai pemulung merupakan faktor pemersatu diantara mereka. Persamaan nasib
dan keseragaman tujuan bukan hanya telah mengukuhkan ikatan primordial,
namun telah berhasil melunturkan sifat-sifat etnosentris. Hal ini tampak dari
keakraban yang terjalin, dan dapat dilihat sikap saling tolong-menolong diantara
pemulung di wilayah ini. Jika ada pemulung yang mendapat musibah secara
serentak mereka membantunya tanpa memperhitungkan dari mana pemulung itu
berasal dan agama apa yang dipeluknya. Ketika ada yang sakit atau meninggal
dunia, mereka saling membantu dengan tenaga dan iuran yang dikumpulkan dari
sumbangan para pemulung.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Misti: “…Para pemulung di sini
bukan cuma baik, tapi juga kompak. Mereka bukan cuma nolong orang yang sakit
dan meninggal dunia saja. Waktu saya ketangkap polisi akibat mabuk, pemulung-
pemulung di sini termasuk pemulung di lapak sebelah beramai-ramai
mengumpulkan uang untuk bantu biaya tebusan saya….”69
Dalam hal goncangan atau konflik sangat jarang terjadi. Jika terjadi
konflik hanya sebatas pada goncangan relasi antar individu dalam keluarga, dan
hal tersebut dapat segera diredam melalui peran ketua lapaknya sebagai mediator
perdamaian bagi keduanya. Sedangkan untuk konflik lintas etnis ataupun
komunitas hampir tidak pernah terjadi. Sebaliknya suasana kerukunan dan
69 Wawancara Pribadi dengan Misti, Tangerang, 30 September 2007
51
kebersamaan tergambar jelas dalam pergaulan sehari-hari. Berkenaan dengan hal
ini juga dituturkan oleh Wasni70: “…Pergaulan pemulung-pemulung di sini sangat
baik, tampak dari sikap tolong menolong seperti dalam pembuatan gerobak bagi
pemulung baru. Untuk keributan antar kelompok, di sini tak pernah ada. Kalau
pun ada keributan hanya terjadi pada suami-istri atau anak dan orang tua yang
cekcok. Itupun tidak berlangsung lama. Kalau pihak keluarga tidak bisa
mengatasi, turunlah pak Edi sebagi ketua lapak untuk mendamaikannya”.
Dari keterangan di atas, dapat dikatakan bahawa solidaritas dalam
komunitas pemulung tersebut terjalin sangat baik. Dengan bukti adanya hubungan
yang harmonis lintas etnis dan agama, yang nampak nyata dalam rasa saling
memahami, tolong-menolong, dan pengertian antar sesama anggota komunitas
pemulung
C. PROFIL INFORMAN PENELITIAN
Agar penelitian ini lebih terarah, maka peneliti memfokuskan penelitian
pada sepuluh orang informan. Sepuluh informan ini diharapkan dapat mewakilkan
keragamaan latar belakang dan usia yang tersedia dalam komunitas pemulung di
wilayah tersebut. Guna terciptanya hasil penelitian yang lebih variatif.
Secara rinci latar belakang para informan dapat dilihat pada tabel di bawah
ini:
70 Wawancara Pribadi dengan mba Wasni, Tangerang, 3 Oktober 2007
52
Tabel 6
Usia dan Status
No Informan Usia Status
1 Tasman 43 tahun Menikah
2 Tamiri 38 tahun Menikah
3 Solihin 24 tahun Belum menikah
4 Denty 16 tahun Belum menikah
5 Wasni 20 tahun Menikah
6 Wasem 45 tahun Menikah
7 Lasmidi 29 tahun Menikah
8 Sumarno 55 tahun Menikah
9 Edi Sudewo 51 tahun Menikah
10 Siti Fatimah 35 tahun Menikah
Sumber: Wawancara Pribadi dengan Para Informan
Pada umumnya pemulung di wilayah ini didominasi oleh masyarakat
Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, ada beberapa diantara
mereka yang berasal dari Sumatra, seperti Siti Fatimah. Untuk lebih jelasnya latar
belakang daerah informan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
53
Tabel 7 Daerah Asal
No Informan Daerah Asal
1 Tasman Brebes
2 Tamiri Madura
3 Solihin Tasikmalaya
4 Denty Losari
5 Wasni Tegal
6 Wasem Purwokerto
7 Lasmidi Yogyakarta
8 Sumarno Semarang
9 Edi Sudewo Banyumas
10 Siti Fatimah Lampung
Sumber: Wawancara Pribadi dengan Para Informan
Para Pemulung di wilayah ini umumnya berpendidikan rendah. Mayoritas
dari mereka hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar. Dan hanya beberapa
orang diantara mereka yang mengenyam pendidikan sampai pada tingkat sekolah
lanjutan.
Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pada sepuluh informan
tersebut, karena memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda. Dengan latar
belakang pendidikan yang berbeda sangat memungkinkan terciptanya hasil
penelitian yang lebih variatif. Sebab latar pendidikan berbeda yang dimiliki
informan akan menghasilkan suatu pengetahuan dan pemahaman yang berbeda
pula pada tiap-tiap informan.
54
Untuk lebih jelasnya latar belakang pendidikan informan dapat dilihat
pada tabel berikut ibni.
Tabel 8
Pendidikan
No Informan Pendidikan
1 Tasman SD
2 Tamiri Tidak sekolah
3 Solihin Tidak tamat SLTP
4 Denti SLTP
5 Wasni Tidak sekolah
6 Wasem Tidak tamat SD
7 Lasmidi Tidak tamat SLTP
8 Sumarno SD
9 Edi Sudewo SLTA
10 Siti Fatimah SD
Sumber: Wawancara Pribadi dengan Para Informan
55
BAB IV
RAMADHAN DI MATA MASYARAKAT MARGINAL
A. Aktivitas Kerja Masyarakat Marginal Di Bulan Ramadhan
Bagi masyarakat kebanyakan, sampah adalah barang buangan. Selain
menjadi sumber penyakit dan polusi lingkungan, sampah dianggap menjijikan.
Tetapi tidak demikian dengan para pemulung. Mereka justru menganggap
gunungan sampah adalah perantara penyelamat bagi perut dari kelaparan. Bahkan
merupakan berkah tersendiri.
Begitu pun yang dirasakan komunitas pemulung di Jl. Bulak Wangi II,
Kedaung, Ciputat. Makin banyak jenis sampah yang mereka temui, semakin
senang lantaran penghasilannya kian meningkat.
Dengan bermodalkan gerobak, atau karung dan “ganco”71, mereka
mengais rezeki dengan berkeliling mengumpulkan sampah-sampah nonorganik.
Waktu, tempat, serta cuaca bukanlah faktor penyurut kegairahan kerja mereka.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Tamiri:
”…Dalam mencari rezeki saya tak membatasi waktu untuk bekerja, saya akan pulang ke rumah jika hasil barang yang saya cari sudah banyak menurut saya. Saya memulung bukan hanya di daerah sini saja, tapi juga ke Rempoa, Lebak Bulus, dan pondok Labu untuk cari paku karat. Hujan atau pun panas tak jadi halangan untuk saya malas mulung. Pokoknya selama badan ini sehat, saya ‘ngga pernah libur mulung. Sebab makan saya hari itu, ya hasil mulung saya di hari itu juga”.72 Bagi setiap Muslim, Ramadhan memiliki predikat bulan paling istimewa.
Setiap jiwa spiritual membuncah untuk larut secara total dalam ibadah khas yang
71 Besi berukuran setengah meter yang ujungnya dibengkokan yang digunakan untuk mengais sampah dan barang bekas
72 Wawancara Pribadi dengan Bapak Tamiri, Tangerang, 28 September 2007
56
dimiliki bulan tersebut. Maka sebagai konsekuensi logis dari kondisi tersebut,
banyak lembaga formal seperti sekolah, lembaga pemerintahan, perusahaan milik
negara maupun swasta mengurangi waktu beraktivitas di bulan tersebut.
Namun, kondisi tersebut tidak relevan dalam kehidupan komunitas
pemulung. Kewajiban ibadah khas yang dimiliki bulan tersebut bukan alasan yang
tepat untuk mereka mengurangi aktivitas kerja, terlebih untuk bermalas-malasan.
Justru Ramadhan menuntut mereka untuk lebih kian meningkatkan aktivitas kerja.
Tuntutan kebutuhan yang hadir dalam bulan Ramadhan memaksa mereka untuk
tetap mempertahankan kegairahan kerja, bahkan penambahan waktu kerja. Hal
tersebut diungkapkan oleh Tamiri:
”…’Ngga ada pembedaan waktu kerja bagi saya, baik bulan biasa maupun Ramadhan. Apalagi lagi pengurangan waktu, dan bermalas-malasan. Justru harusnya saya menambah waktu mulung. Sebab kalo’ngga mulung sehari saja, saya susah makan. Apalagi ini bulan Ramadhan, kebutuhan makin banyak. Mau mudik, mau kasih kebutuhan anak-istri setahun sekali. Jadi saya mesti terus kerja keras.73
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Lasmidi, dan Solihin, mereka
menyatakan bahwa tak ada alasan untuk melakukan pengurangan waktu dalam
bekerja, apalagi bermalas-malasan. Bahkan mereka menambahkan waktu bekerja
pada malam hari. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Lasmidi
: ”....Sama saja, saya tetap mulung di bulan biasa maupun bulan Ramadhan.’Ngga ada perbedaan waktu atau pengurangan jam kerja. Bahkan terkadang malam hari saya juga keliling cari barang-barang bekas di pasar, itu berarti saya malah menambahkan waktu mulung. Dalam bulan Ramadhan seperti ini justru saya harus lebih giat lagi bekerja. Kebutuhan makin banyak, harga-harga barang di bulan ini dan menjelang Idul Fitri semua naik. Selain itu, keluarga juga punya keinginan untuk mudik ke kampung halaman”.74
73 Wawancara Pribadi dengan BapakTamiri, Tangerang, 28 Setember2007 74 Wawancara Pribadi dengan, Bapak Lasmidi, Tangerang, 1 Oktober 2007
57
Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan oleh Tasman:”…Bulan
Ramadhan seperti ini ‘ngga mungkin saya melakukan pengurangan waktu kerja,
sebagaimana orang-orang. Apalagi kalau bermalas-malasan, istri dan anak-anak
saya tidak ada yang kasih THR pada lebaran nanti. Justru saya harus makin giat
kerjanya”.75
Sedangkan Denti, Siti Fatimah, Sumarno, Wasem dan Wasni menyatakan
bahwa aktivitas kerja mereka dalam bulan Ramadhan sama dengan bulan
biasanya. Mereka tidak melakukan penambahan atau pengurangan waktu dalam
bekerja.
Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa Ramadhan
tidak menyurutkan kegairahan atau semangat kerja mereka. Justru Ramadhan
menuntut mereka untuk lebih meningkatkan aktivitas dalam bekerja, demi untuk
memenuhi kebutuhan menjelang hari raya Idul fitri.
Dari pernyataan-pernyataan tersebut telah tergambar pula mengenai faktor
yang melatarbelakangi mengapa mereka lebih giat bekerja dalam bulan
Ramadhan. Seluruh informan menyatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan menjelang
Idul Fitri dan keinginan mudik yang melatarbelakangi mereka untuk lebih giat lagi
dalam bekerja. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Lasmidi:”… Saya tetap rajin
kerja dalam bulan Ramadhan selain untuk makan juga untuk kasih kebutuhan
anak istri setahun sekali buat lebaran…”76
Berkenaan dengan kendala yang dihadapi para pemulung dalam bekerja di
bulan Ramadhan, seluruh informan menuturkan bahwa kendala terbesar yang
75 Wawancara Pribadi dengan Bapak Tasman, Tangerang, 8 Oktober 2007 76 Wawancara Pribadi dengan Bapak Lasmid, Tangerang, 1 Oktober 2007
58
mereka hadapi adalah rasa lapar yang disandingkan dengan cuaca sangat terik di
siang hari. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Denti:
”…Halangan terberat mulung di bulan Ramadhan ketika saya mulung dalam keadaan puasa ditambah dengan udara yang panas di siang hari. Mungkin kalo’ nahan rasa lapar itu saya sudah biasa, karena sehari-harinya memang begitu. Tapi kalo’ nahan haus saya ‘ngga kuat. Apalagi bulan Ramadhan kali ini kalo’ siang hari itu udaranya panas banget, ya… kalo’ udaranya begitu bikin haus terus dan lemes. Jadi ada rasa males”.77 Dan lebih lengkap mengenai kendala kerja yang dihadapi mereka dalam
bulan Ramadhan diungkapkan oleh Lasmidi:
”…Tantangan kerja di bulan Ramadhan itu sangat berat. Di bulan biasa juga ada resikonya, sering dituduh nyuri barang orang lain, tapi itu ‘ngga saya alami setiap hari. Tapi kalo’ di bulan Ramadhan tiap hari selama satu bulan saya harus mulung dalam keadaan puasa ditambah hawa yang panas. Bukannya saya ngeluh atas kewajiban puasa, nahan rasa lapar sudah. Tapi udara panasnya itu yang bikin saya kadang terasa berat nahan haus. Sedangkan saya wajib puasa”.78 Akibat dari kendala yang mereka hadapi, menyebabkan beberapa diantara
mereka lebih memilih menangguhkan kewajiban ibadahnya dan mementingkan
aktivitas kerjanya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Tasman dan Tamiri,
mereka mengatakan bahwa puasa dan panasnya udara di siang hari merupakan
kendala terbesar yang dihadapi selama bekerja pada bulan Ramadhan. Menahan
rasa haus merupakan faktor terberat yang tak kuat mereka tanggung. Sementara
mereka harus berjalan puluhan kilo meter tiap harinya untuk mengais rezeki.
Terlebih dengan adanya tambahan kebutuhan di bulan itu yang menyebabkan mau
tak mau mereka harus tetap bekerja di bulan tersebut. Sehingga mereka sering
meninggalkan kewajiban ibadahnya demi untuk kenyamanan kerja. Bagi mereka
ketidaksanggupan ibadah puasa itu bisa dibayar dengan pergantian waktu
77 Wawancara Pribadi dengan Denti, Tangerang, 5 Oktober 2007 78 Wawancara Pribadi dengan Bapak Lasmidi, Tangerang, 1 Oktober 2007
59
pelaksanaanya di bulan biasanya, namun kebutuhan sehari-hari, terutama
menafkahi keluarga tak mungkin mereka tinggalkan.
Berdasarkan wawancara mendalam, berkenaan dengan penghasilan yang
didapatkan mereka di bulan Ramadhan, peneliliti mendapatkan hasil jawaban
yang cukup variatif. Sebagian dari informan menyatakan bahwa penghasilanya di
bulan Ramadhan lebih meningkat. Sedangkan sebagian dari informan lainnya
menyatakan penghasilan mereka sama seperti bulan biasanya.Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Lasmidi:
”…Penghasilan yang saya peroleh pada Ramadhan lebih banyak dibandingkan bulan biasanya. Pada bulan-bulan biasa, setiap harinya penghasilan saya hanya sekitar Rp10.000,00-Rp. 20.000,00. Tapi pada bulan Ramadhan, penghasilan saya meningkat dalam tiap harinya penghasilan saya sekitar Rp.25.000,00-Rp. 35.000,00. Karena pada bulan Ramadhan jumlah kemasan plastik, seperti gelas aqua dan botol-botol beling bekas sirup lebih banyak.”79. Dan penuturan yang lebih lengkap mengenai penghasilan di bulan
Ramadhan diungkapkan oleh Solihin:”Alhamdulillah…., selama bulan Ramadhan
penghasilan saya lebih banyak. Dalam hari-hari biasa penghasilan saya sekitar
Rp.8.000,00-RP.20.000,00, sedangkan di bulan Ramadhan setiap harinya
penghasilan saya kadang-kadang RP.25.000,00, Rp.30.000, bahkan Rp.40.000,00.
Pokoknya selalu di atas Rp. 20.000,00. Ini semua karena malamnya setelah selesai
taraweh saya mulung juga, biasanya di masjid-masjid sampah-sampah gelas
plastik bekas buka puasa itu banyak. Dan jumlah botol-botol bekas sirup juga
79 Wawancara Pribadi dengan Bapak Lasmidi, Tangerang, 1 Oktober2007
60
banyak saya temukan di sekitar pasar dan tempat pembuangan sampah. Semua ini
merupakan berkah bagi saya”.80
Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan oleh Edi sudewo, ia menuturkan
bahwa ada perbedaan penghasilan antara bulan biasa dengan bulan Ramadhan.
Dimana dalam bulan Ramadhan penghasilannya naik antara Rp.5000,00-
Rp.10.000,00/harinya.Yang disebabkan karena meningkatnya jumlah minuman
kemasan plastik yang dikonsumsi masyarakat.”81
Lain halnya dengan Sumarno, Wasni, Wasem, dan Denti, mengenai
penghasilan di bulan Ramadhan, mereka mengungkapkan bahwa tidak ada
perbedaan dengan bulan biasanya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sumarno:
”…Selama Ramadhan tahun ini penghasilan saya sama saja dengan hari biasanya. Tetap dapatnya Rp.15.000,00 juga. ‘Ngga seperti tahun-tahun yang dulu, biasanya kalo’ Ramadhan penghasilan saya lumayan besar. Tapi kali ini sama saja. Sebab kali ini kayaknya tukang pulung makin banyak. Itu berarti banyak saingan. Jadi barang-barang yang saya dapatkan juga sedikit. Lagi pula saya juga tidak seperti yang lainnya yang juga mulung di malam hari, sebab sekarang usia saya sudah 55 tahun mudah sakit. Jadi kondisi saya sudah “ngga kuat untuk kerja di malam hari”.82 Hal senada juga diungkapkan oleh Wasni, ia menuturkan bahwa
penghasilannya di bulan Ramadhan sama seperti bulan biasanya. Menurutnya
bulan Ramadhan tahun ini jumlah pemulung wanita makin banyak. Inilah yang
menyebabkan penghasilannya dibulan Ramadhan tahun ini menurun dibandingkan
dengan Ramadhan di tahun-tahun sebelumnya.
Berdasarkan wawancara mendalam dan observasi partisipatoris, berkenaan
dengan jumlah barang-barang bekas yang meningkat dalam bulan Ramadhan,
80 Wawancara Pribadi dengan Solihin, Tangerang, 27 September 2007 81 Wawancara Pribadi dengan Bapak Edi Sudewo, Tangerang, 29 September 2007 82 Wawancara Pribadi dengan Bapak Sumarno, Tangerang, 7 Oktober 2007
61
hampir seluruh informan mengungkapkan bahwa kemasan minuman plastik dan
beling meningkat jumlahnya dalam bulan Ramadhan. Hal tersebut juga telah
diungkap oleh beberapa informan di atas. Untuk lebih jelasnya, hal ini
diungkapkan oleh Edi Sudewo, selaku salah satu agen dan ketua lapak di wilayah
tersebut.
“…Dalam bulan Ramadhan seperti ini biasanya jumlah barang yang banyak ditemui adalah kemasan plastik, seperti gelas dan botol minuman plastik, dan beling bekas pecahan botol sirup. Saya sendiri biasanya hanya bisa mendapatkan 1-3 kg gelas aqua perharinya, tapi di bualn Ramadhan saya bisa menadapatkan 3-6 kg dalam sehari. Dan beling bekas botol-botol sirup juga banyak ditemui tempat pembuangan sampah83. Melihat pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh para informan,
dapat dipastikan bahwa mereka tak memberikan hak dispensasi bagi aktivitas
kerja mereka di bulan Ramadhan. Justru Ramadhan telah mendorong mereka
untuk semakin giat dalam bekerja, yakni dengan melakukan penambahan waktu
kerja di malam hari.
B. Makna Ramadhan Bagi Komunitas Pemulung
Penghayatan agama seseorang sangat erat berkaitan dengan bagaimana ia
memaknai setiap ajaran, ritual, perayaan hari agama yang dimiliki agama yang
dipeluknya. Pemaknaan dan harga dari sebuah penghayatan keagamaan sifatnya
berjenjang. Faktor usia, pendidikan, status ekonomi serta nasib akan
mempengaruhi dalam memahami, menghayati, dan memaknai dari setiap ritual,
amalan dan moment keagamaan yang diyakininya.
Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa kedatangan bulan Ramadhan
telah menjadi fenomena eksklusif dikalangan umat Islam. Dikatakan eksklusif
83 Wawancara Pribadi dengan Bapak Edi Sudewo, Tangerang, 29 September 2007
62
karena Ramadhan merupakan moment keagamaan yang di dalamnya mengandung
ibadah khas bagi umat muslim. Sejatinya, predikat eksklusif tersebut tidak
terlepas dari interpretasi dan refleksi dari ajaran agama dan kesadaran; kegairahan
beragama masyarakat.
Ramadhan memiki predikat sebagai bulan suci yang di dalamnya
mengandung rahmat, berkah dan maghfirah. Kendati adanya kesepakatan
mengenai peredikat tersebut, namun jika ditelisik telah melahirkan pemaknaan
yang cukup variatif dalam masyarakat.
Dalam persfektif masyarakat kelas sosial yang berkecukupan, Ramadhan
lebih dimaknai sebagai bulan untuk sejenak melepaskan egoisme duniawi.
Mengendorkan organ tubuh yang biasa mengkonsumsi makanan untuk bisa
memaknai penderitaan orang yang terpaksa puasa setiap harinya, seperti yang
dialami kaum dhuafa. Selain itu, Ramadhan juga dimaknai sebagai bulan simpati
(kasih sayang) terhadap sesama. 84 Yang ditujukan untuk meretas keshalehan
sosial dalam tindakan kepedulian sosial, yakni membagi keberkahan dalam bentuk
peningkatan derma terhadap kaum fakir.
Sedangkan bagi kaum marginal, makna tersebut tidak relevan karena
belum tentu mereka mendapatkan makan dan minum yang cukup setiap harinya.
Sehingga menahan diri dari makan dan minum bukan lagi sebagai latihan, tetapi
tuntutan keadaan; suka atau tidak suka yang harus mereka terima.
Adalah perbedaan status ekonomi yang menyebabkan makna tersebut
tidak koheren bagi masyarkat marginal. Sehingga, adalah suatu kewajaran bila
84 Maulana Muhammad Zakariyya al Khandawali rah,a., Kitab Fadhail Amal, Edisi
Revisi Bahasa Indonesia, ( Bandung: Pustaka Ramadhan, 2000 ), h. 455
63
kaum marginal memiliki persfektif tersendiri dalam memaknai bulan suci
tersebut. Dalam hal ini pemakanaan tersebut menjadi salah satu bahasan dalam
penelitian ini.
Adalah suatu hal yang mafhum bila komunitas pemulung sebagai
kategori masyarakat miskin memberikan makna yang berbeda pada bulan suci
tersebut. Bagi mereka, umumnya Ramadhan lebih dimaknai sebagai bulan yang
memberikan banyak keberkahan rezeki dan pangan. Pada bulan tersebut kerisauan
akan kekurangan santapan pangan dapat tertutupi, dan pengahasilan mereka juga
meningkat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Lasmidi:
“...Ramadhan bermakna sebagai bulan keberkahan. Hari-hari dalam bulan tersebut banyak memberikan kita berkah, terutama berkah untuk makan. Setidaknya rasa khawatir untuk ‘ngga bisa makan berkurang. Bahkan di bulan tersebut saya bisa makan makanan yang jarang saya makan. Dan rezeki juga lebih berkah. Karena banyak orang-orang yang kecukupan yang bukan cuma mengundang buka puasa bersama, tapi juga memberikan amplop santunan kepada kita disini.”85 Dan lebih lengkap pemaknaan bulan Ramadhan diungkap oleh Edi
Sudewo:
”…Bagi kebanyakan orang Ramadhan dimaknai sebagai bulan untuk bisa merasakan hidup miskin lewat rasa lapar, terutama bagi mereka yang kaya. Tapi bagi tukang pulung seperti kami yang biasa dengan rasa lapar, beda lagi maknanya. Di bulan ini yang katanya penuh berkah memang terjadi dalam kehidupan kami. Dalam bulan ini setidaknya kami dapat merasakan makan enak yang jarang kami makan dari acara-acara buka puasa bersama yang mengundang kami. Selain itu juga adanya pembagian sedekah berupa santunan yang diberikan oleh para orang berkecukupan. Bagi kami ini adalah berkah yang diberikan Tuhan, yang diberikannya lewat kebaikan hati orang-orang berkecukupan. Dan juga penghasilan kita lumayan beda ‘ngga kaya biasnya, karena bulan puasa sampah dan barang bekas juga lebih banyak.”86
85 WawancaraPribdi dengan Bapak Lasmidi, Tangerang, 1 Oktober 2007 86 Wawancara Pribadi dengan Bapak Edi Sudewo, Tangerang, 5 Oktober 2007
64
Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan oleh Solihin:”…Al-Quran
menyebutkan bulan Ramadhan merupakan bulan magfhirah, rahmat dan berkah.
Tapi yang lebih terasa dalam kehidupan saya adalah berkahnya. Jadi bagi saya
makna yang tepat, ya Ramadhan bulan berkah. Dalam bulan ini banyak orang
mampu yang membagi berkah rezekinya melalui acara buka puasa dan pembagian
santunan kepada pemulung di sini. Pada bulan puasa kali ini saja sudah ada dua
orang kaya yang mengadakan acara buka puasa bersama dan membagikan uang
santunan. Selain itu penghasilan saya juga rasakan lebih banyak di bulan ini
dibandingkan biasanya. Karena sampah lebih banyak. Bagi saya semua itu
berkah..”87
Semua informan menyatakan demikian, hanya sebagian yang mampu
memaparkan secara jelas dan baik apa makna bulan Ramadhan bagi mereka.
Karena minimnya keterlibatan mereka dalam lingkungan pendidikan
menyebabkan mereka kurang mampu untuk memaparkannya. Sehingga untuk
sebagian lainnya kurang mampu memaparkannya dengan baik secara verbal.
B. Keberagamaan Masyarakat Marginal dalam Bulan Ramadhan
Fluktuasi merupakan hal yang paling lekat dalam keberagamaan setiap
manusia. Naik dan turunya intensitas keagamaan seseorang merupakan hal yang
paling wajar dalam hidup. Namun, hampir dipastikan bahwa moment keagamaan
seperti Ramadhan, diakui mampu melambungkan setiap jiwa spiritual untuk
berkeinginan larut dalam keshalehan. Keistimewaan akan pahala yang dijanjikan
87 Wawancara Pribadi dengan Soliuhin, Tangerang, 27 September2007.
65
dalam bulan tersebut telah mampu menstimulasi setiap individu ingin bertindak
shaleh.
Dengan berpedoman pada daya stimulasi yang dimiliki bulan Ramadhan
tersebut, maka pada uraian ini mendeskripsikan tentang hasil penelitian aktivitas
keberagamaan komunitas pemulung di bulan Ramadhan.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dimensi keyakinan; praktek
agama; pengetahuan; pengalaman; dan dimensi konsekuensi sebagai pijakan
untuk menganalisa keberagamaan komunitas pemulung di bulan Ramadhan.
Sehingga dapat diketahui keyakinan dari mereka tentang agama yang mereka anut
dan pemahaman berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Selain itu, berdasarkan
dimensi praktek dapat diukur dari ritual dan ketaatan akan ritual agamanya.88
1. Keyakinan dan Pemahaman Terhadap Rukun Iman dan Predikat-
Predikat Istimewa yang Dimiliki Bulan Ramadhan
Hal yang utama dalam menilai keberagamaan seseorang adalah
mengetahui keyakinan dan pemahamannya terhadap ajaran dan unsur-unsur yang
ada dalam agama tersebut, seperti rukun iman, yang merupakan sumber keyakinan
umat Islam. Selain itu, dalam pembahasan ini juga akan diuraikan mengenai
keyakinan dan pemahaman terhadap predikat rahmat, maghfirah, dan idgham
minannar yang dimiliki bulan bulan Ramadhan.
Pemahaman para informan terhadap rukun iman hanya terbatas pada
pengetahuan dan pengamalan semata. Dalam konteks ini, mereka meyakini namun
kurang mampu menjelaskan apa yang mereka pahami dan yakini itu dan hanya
88 Roland Robertson, ed., Agama: Dalam Analisa dan Interpertasi Sosiologis,h. 295-297
66
sebagian pula yang dapat menyebutkan isi dari rukun iman secara lengkap.
Sedangkan tiga orang informan lainnya tidak mampu menyebutkan isinya secara
lengkap. Seperti yang diungkapkan oleh Tasman, Tamiri, dan Wasni, mereka
menyatakan bahwa tidak hapal isi rukun iman, dengan alasan tidak belajar.
Berdasarkan hasil wawancara, seluruh informan sangat meyakini adanya
Allah yang Maha Mengetahui. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Solihin:
”…Iman kepada Allah artinya percaya kepada Allah, percaya kalo’ Ia itu ada, menciptakan segalanya, dan mengetahui segalanya. Tahu segala sesuatu yang dikerjakan hambanya. Misalnya berkaitan dengan sekarang, seperti puasa misalnya. Puasa itu ibadah yang ‘ngga kelihatan, kalo’ bohong pun pasti orang ‘ngga tahu. Yang tahu hanya orang yang melakukannya dan Allah yang mengawasinya langsung. Pokoknya begitu, susah diungkapkan, tapi saya yakin itu.”89
Begitu juga mengenai keyakinan akan malaikat, kitab-kitab, Rasul, hari
kiamat dan terhadap qada’ dan qadar Allah. Mereka meyakini semua itu juga
harus diyakini setelah meyakini Allah. Namun, hanya informan Lasmidi, Denti,
Solihin, Siti Fatimah, Wasni dan Edi Sudewo yang mampu memberikan
pemaparannya mengenai apa yang mereka yakini tersebut. Sebagaimana Edi
Sudewo mengungkapkan mengenai iman kepada malaikat-malaikat Allah, ia
mengatakan bahwa malaikat adalah ciptaan Allah, yang membantu Allah. Seperti
Rakib dan Atid yang mengawasi segala sesuatu yang diperbuat manusia, misalnya
seperti puasa ini.
Sedangkan dalam hal qada’ dan qadar, semua informan memahaminya
sebagai sesuatu yang di berikan dan sudah ditetapkan oleh Allah pada tiap-tiap
makhluknya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Lasmidi: ”…Kalo’ menurut
89 Wawancara Pribadi dengan Solihin, Tangerang, 27 September 2007
67
saya, segala sesuatu yang sudah ditetapkan, semacam kaya takdir. Seperti jodoh,
maut dan termasuk pekerjaan saya ini, jadi pemulung.90
Berkenaan dengan keyakinan dan pemahaman para informan terhadap
predikat rahmat, maghfirah, dan idgham minannar yang dimiliki bulan
Ramadhan, hanya terbatas pada pengetahuan semata. Kurang mampu menjelaskan
dan menginterpretasikan apa yang mereka yakini dan pahami. Dan hanya sebagian
yang mengetahuinya secara lengakap. Seperti yang diungkapkan oleh Tasman,
Tamiri, Sumarno, Wasni, dan Wasem. Mereka menyatakan tidak tahu secara
lengkap mengenai predikat-predikat istimewa yang dimiliki bulan Ramadhan.
Bagi mereka, Ramadhan lebih diyakini sebagai bulan berkah, karaena dalam
bulan tersebut pengahsilan mereka meningkat. Selain itu, Ramadhan merupakan
moment yang penuh perhatian bagi mereka, dimana dalam bulan tersebut sudah
menjadi tradisi setiap tahunnya bagi mereka mendapatkan perhatian dan simpati
dari kaum dermawan, dalam bentuk santunan.
Berdasarkan hasil wawancara semua informan sangat meyakini bahwa
Ramadhan adalah bulan penuh rahmat. Kondisi berkah yang mereka alami dalam
bulan Ramadhan diinterpretasikan sebagai suatu bentuk rahmat atau kasih sayang
Allah yang dijanjikan terjadi pada bulan Ramadhan. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Solihin: “…Yakin, Terutama berkah rezeki, penghasilan saya
dalam bulan Ramadhan lebih banyak, karena pada bulan ini kayanya sampah dan
barang bekas jumlahnya banyak. Selain itu juga kalo’ Ramadhan saya dapat THR
90 Wawancara Ptibadi dengan Bapak Lasmidi, Tangerang, 1 Oktober2007
68
dan santunan-santunan. Ya, Bagi saya, itu berkah. Dan berkah sama saja dengan
rahmat dari Allah”.91
Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan oleh Edi sudewo: “...Banyaknya
sampah di bulan ini jadi berkah rezeki tersendiri bagi tukang pulung kaya kami.
Bagi saya berkah ini sama saja rahmat di bulan Ramadhan dari Allah.”92
Sedangkan mengenai dengan Predikat Maghfirah yang dimiliki bulan
Ramadhan, hanya sebagian informan yang mengetahuinya. Seperti Solihin, Edi
Sedewo, Lasmidi, Denti, dan Siti Fatimah. Para informan tersebut meyakini dan
memahami predikat maghfirah sebagai suatu bentuk pengampunan dosa yang
dijanjikan bulan Ramadhan bagi setiap muslim yang taat dan meningkatkan
jumlah ibadahnya dalam bulan tersebut. Selain itu, maghfirah yang dijanjikan
bulan Ramadhan juga diyakini sebagai bentuk dispensasi hukum penyiksaan bagi
manusia- manusia berdosa yang telah berada di akhirat. Dimana mereka meyakini
bahwa dalam bulan Ramadhan manusia-manusia berdosa diistirahatkan hukum
penyiksaannya sampai berakhirnya bulan Ramadhan. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Siti Fatimah: “…Maghfirah itu sama saja ampunan dari Allah.
Orang-orang yang rajin ibadahnya di bulan ini akan di hapus dan diampunkan
dosanya. Bukan cuma itu, katanya selama bulan puasa orang-orang yang sudah
meninggal yang banyak dosanya di liburkan dulu siksaannya, yang juga
merupakan ampunan dari Allah. Karena ‘ngga di siksa selama bulan
Ramadhan”.93
91 Wawancara Pribadi dengan Solihin, Tangerang, 27 September, 2007 92 Wawancara P ribadi dengan Bapak Edi Sudewo, Tangerang, 29 Seetember 2007 93Wawancara Pribadi dengan Ibu Siti Fatimah, Tangerang,2 Oktober 2007
69
Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan oleh Denti:”… Ampunan dari
Allah untuk manusia yang banyak beribadah di bulan Ramadhan…”94
Begitu juga mengenai keyakinan akan predikat idgham minannar yang
dimiliki bulan Ramadhan juga hanya di ketahui oleh sebagian informan. Para
informan meyakini dan memahaminya bahwa setiap muslim yang shaleh dan taat
beribadah dalam bulan Ramadhan tubuhnya akan diharamkan dari siksa api
neraka. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Solihin:”… Idgham minannar itu
datangnya pada bagian ketiga dalam bulan Ramadhan. dan bagi orang-orang yang
masih rajin dan banyak ibadah sampai sepuluh hari terakhir bulan puasa akan
dapat idgham minannar itu. Bebas dari siksa api neraka…”95
Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat dikatakan terdapat perbedaan
tingkat pengetahuan dan pemahaman yang cukup signifikan. Tingkat pemahaman
dapat dianalisis penulis berdasarkan wawancara mendalam, dimana perbedaan
tersebut disebabkan karena latar belakang pendidikan yang berbeda.
2. Dimensi Pengetahuan Berkenaan Dengan Bulan Ramadhan
Dalam penelitian ini, peneliti berusaha menggali pengetahuan Para
informan mengenai nilai-nilai dan ajaran-ajaran berkenaan dengan bulan
Ramadhan. Seperti pengetahuan tentang Lailatul Qadar, pengetahuan tentang
ibadah dan amalam-amalan khusus di bulan Ramadhan, nilai pahala ibadah dalam
bulan tersebut, dan sebagainya
Dalam hal pengetahuan mengenai ibadah dan amalan khusus di bulan
Ramadhan, Seluruh informan memiliki pengetahuan tersebut. Namun hanya
94Wawancara Pribadi dengan Denti, Tangerang, 5 Oktober 2007 95Wawancara Pribadi dengan Solihin, Tangerang, 27 September 2007
70
beberapa informan yang dapat menyebutkannya secara lengkap: Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Lasmidi:”… Dalam bulan Ramadhan biasanya ibadah
yang dikerjakan banyak orang adalah puasa, taraweh dan tadarus Al-qur’an, zikir,
infak dan zakat fitah …”96
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Solihin, Denti dan Edi Sudewo,
Mereka mengeluarkan pernyataan yang sama mengenai amalan dan ibadah yang
khusus dikerjakan dalam bulan Ramadhan. Namun, hanya susunan
pengucapannya yang berebeda.
Sedangkan para informan lainnya, hanya dapat menyebutkannya dua
sampai tiga amalan ibadah yang mereka ketahui dikerjakan dalam bulan
Ramadhan.
Dalam hal pengetahuan tentang nilai pahala istimewa dalam bulan
Ramadhan, yakni pelipatgandaan hingga tujuh puluh kali setiap ibadah yang
dilakukan, hanya dua orang, dari sepuluh informan yang mengetahuinya.
Sedangkan yang lainnya tidak mengetahui, dengan alasan tidak belajar.
Solihin dan Edi Sudewo misalnya, mereka menyatakan bahwa mereka
tahu tentang hal tersebut, maka mereka berusaha melakukan segala ibadah dengan
lebih khusyu lagi dalam bulan tersebut.
Sedangkan, hal yang berbeda diungkapkan oleh Tasman, Tamiri, Wasem,
Wsani, Siti Fatimah, dan Denti, mereka menyatakan tidak tahu sama sekali.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Tasman:”…Saya ‘ngga tau sama sekali soal
96Wawancara Pribadi dengan Bapak Lasmidi, Tangerang, 1 Oktober 2007
71
itu, baru sekarang tahu dari omongan ‘mba. Kalo’ tau dari dulu, saya bakal rajin
salat di bulan ini….”97
Dalam hal pengetahuan tentang malam Lailatul Qadar, tiga dari sepuluh
informan menyatakan tidak tahu tentang malam lailatul qadar. Sedangkan
informan lainnya menyatakan tahu dan mampu memaparkannya dengan cukup
baik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Denti”…Lailatul qadar artinya malam
paling mulia, nilainya lebih dari seribu bulan. Biasanya datang pada malam-
malam ganjil. Seperti malam ke dua puluh satu, dua puluh tiga, dua puluh lima,
dua puluh tujuh dan dua puluh sembilan. Ya,…diantara itu,..”98 Hal senada juga
diungkapkan oleh Wasni, Solihin, Lasmisi, Sumarno, Edi Sudewo dan Siti
Fatimah, mereka mengungkapkan makna pernyataan yang sama.
Sedangkan Wasem, Tasman, dan Tamiri menyatakan hal berbeda. Mereka
menyatakan tidak memiliki pengetahuan tentang malam Lailatul Qadar, karena
tidak pernah belajar.
Dalam hal Pengetahuan zakat fitrah, seluruh informan menyatakan tahu
dengan lengkap seputar ibadah amaliah tersebut. Seluruh informan mampu
memberikan definisi dan mampu memaparkan secara lengkap berkenaan dengan
ketentuan jumlah yang dikeluarkan, waktu pelaksnaanya, dan orang-orang yang
berhak menerimanya.
97 Wawancara Pribadi dengan Bapak Tasman, Tangerang, 8 Oktober 2007 98 Wawancara Pribadi dengan Denti, Tangerang, 5 Oktober 2007
72
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wasni:”...Zakat wajib yang di
bayarkan sebelun Lebaran. Yaitu, beras sebanyak tiga liter setengah. Yang di
berikan pada orang miskin, seperti kita…”99
Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa ada
perbedaan dalam tingkat pengetahuan keagamaan yang dimiliki para informan.
Selain itu juga ditemukan perbedaan tingkat kecerdasan yang cukup signifikan
dari para informan. Di mana perbedaan tersebut disebabkan karena latar belakang
pendidikan yang berbeda pada tiap-tiap informan.
3. Tradisi Ritual Dalam Menyambut Kedatangan Bulan Ramadhan
Adalah sesuatu kekeliruan bila menganggap bahwa antara agama dan
budaya terus menyimpan benih hubungan antagonistic. Agama dan budaya
memanag terlahir sebagai dua sisi yang berbeda, namun dalam kehidupan praktis
keduanya selalu dituntut untuk saling bernegasi dan berdialektik. Di belahan dunia
manapun agama dan budaya selalau diusahakan mempunyai hubungan yang
bersifat kohesif. Dalam konteks ini, ketika suatu agama telah dipilih untuk
menjadi keyakinan yang hidup dalam suatu masayarakat, maka proses dialektik
dan asimilasi akan berperan penting dalam menentukan proses adaptasi agama
tersebut. Lebih jelasnya, agama harus melakukan berbagai proses perjuangan
dalam menyesuaikan nilai-nilai hakikinya dengan nilai-nilai budaya dan unsur-
unsur dari kebudayaan yang ada. Akumalasi dari proses tersebut akan
memberikan corak lokal terhadap agama tersebut.
99 Wawancara Pribadi dengan ‘Mba Wasni, Tangerang, 3 Oktober 2007
73
Maka adalah suatu hal yanag mafhum bila perbedaan tempat telah
melahirkan tata cara ritual dan moment keagamaan yang bersifat khas pada setiap
umat. Ini merupakan konsekuensi logis dari agama yang menjadi bercorak lokal.
Di Indonesia sendiri, Islam merupakan agama yang telah berhasil berdialektika
dengan kebudayaan setempat. Banyak moment-moment keagamaan yang
disambut atau diperingati dengan tata cara khas kelokalan yang sebenarnya ajaran
Islam sendiri tidak pernah menganjurkan untuk diaplikasikan, yakni mengikuti
tata cara tradisi atau kebudayaan setempat. Misalnya tardisi sekaten dan upacara
“tabut” di Sumatra untuk memperingati Mawlid nabi. Serta tradisi munggah,
nyadran atau nyekar dalam menyambut bulan Ramadhan.
Berdasarakan studi literatur, “munggah” diartikan dalam bahasa sederhana
sebagai suatu bentuk untuk mengawali atau memulai100. Dalam masyarakat
Indonesia, khususnya masyarakat Sunda munggah dianggap suatu hari yang
sangat penting bagi masyarakat Muslim dalam menyambut kedatangan
Ramadhan. Saat itu mereka akan berkumpul dengan keluarga atau masyarakat
sekitar sambil menyantap hidangan bersama.
Menurut K.H. Drs. Aminuddin Saleh, adanya budaya munggah merupakan
salah satu cara ulama-ulama terdahulu dalam menyebarkan Islam di tengah-tengah
masyarakat yang masih kuat tradisinya. Yakni tradisi kumpul-kumpul dalam
rangka memperat persaudaran.101
100 Drs. Aminuddin Saleh, “Munggah Kerinduan Spritual”, Artikel diakses tanggal 8
Setember, 2007, dari Http://www .Google.com 101Drs. Aminuddiin Saleh ,”Munggah Kerinduan Spritual”, Artikel diakses tanggal 8
ASeptember 2007, dari Htt://www.google.com
74
Berkenaan dengan persiapan menyambut kedatangan Ramadhan, para
pemulung tidak melakukan persiapan-persiapan seperti kebanyakan masyarakat
lainnya. Misalnya merenovasi rumah atau mempersiapkan sejumlah kegiatan
rohani. Sebagian informan hanya terlibat kegiatan tata cara tradisi keagamaan
dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Seperti pulang ke kampung halaman
untuk munggah, nyekar atau nyadran ke makam-makam keluarga, atau hanya
sekedar keramas yang dilakukan satu hari sebelum Ramadhan, sebagai tanda
pensucian diri. Sebagaimana yang diungkap oleh Edi Sudewo:
”…Biasanya orang-orang di sekitar sini menyambut datangnya Ramadahan dengan memperbaiki rumah mereka. Saya di sini tidak melakukan apa-apa dalam menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Biasanya saya dan istri setiap seminggu sebelum bulan Ramadhan pulang kampung ke Banyumas. Sudah menjadi kebiasaan setiap tahunnya dalam menyambut Ramadhan seluruh keluarga besar berkumpul di rumah kerabat tertua. Untuk silaturahmi, bermaaf-maafan untuk melebur dosa nyambut bulan suci. Dan yang terpenting adalah melakukan nyadran ke makam-makam leluhur untuk mendoakanya memohon supaya diampunkan dosanya”.102 Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan oleh Solihin, ia menyatakan
bahwa jika ada rezeki ia menyambut kedatangan Ramadhan dengan acara
munggahan bersama keluarga besarnya di kampung halaman. Sebagaimana yang
diungkap olehnya:
”...Saya di sini ‘ngga ada persiapan apa-apa. Tapi, karena kemaren ada rezeki, lima hari sebelum bulan Ramadhan saya pulang kampung ke Tasikmalaya untuk munggahan nyambut Ramadhan. Biasanya orang-orang di kampung saya nyambut Ramadhan dengan acara munggah bersama keluarga besar. Adik, kakak, paman dan keponakan saya yang tinggal di kota juga pulang ke kampung untuk munggahan bersama. Munggahan biasanya diadakan dua hari sebelum Ramadhan di rumah orang tertua. Untuk silaturahmi dan menikmati makan bersama. Setelah itu
102 Wawancara Pribadi dengan Bapak Edi Sudewo, Tangerang, 29 September 2007
75
biasanya kita semua pergi ke makam kelurga untuk nyekar, bebersih, dan mengirimkan doa”.103
Lain halnya dengan Wasni, ia menuturkan bahwa jika Ramadhan akan tiba
ia hanya mempersiapkan kesucian dirinya. Dengan mandi besar pada satu hari
sebelum kedatangan Ramadhan. Hal tersebut ia lakukan setiap tahunnya
Sebagaimana yang diungkap olehnya:”…Biasanya saya cuma mandi besar,
keramas di satu hari sebelum Ramadhan untuk pensucian diri menyambut
Ramadhan. Saya selalu melakukanya tiap tahun, baik di kampung maupun di sini.
Karena itu ajaran dari orang tua dan katanya adalah sudah jadi suatu
keharusan”.104
Sementara informan lainnya tidak melakukan persiapan khusus dalam
menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Meskipun mengakui keistimewaan
bulan tersebut, namun mereka tetap bertindak seperti dalam bulan-bulan biasanya.
Melihat dari pernyataan Edi Sudewo, Solihin dan Wasni, dapat dikatakan
bahwa mereka memiliki ketaatan yang kuat terhadap tradisi keagamaan. Dalam
konteks ini, mereka berkeinginn kuat dan terus berupaya untuk dapat menjalani
tradisi keagamaan, khususnya tradisi dalam menyambut kedatangan bulan
Ramadhan
3. Ritual Ibadah dan Amalan Keagamaan Komunitas Pemulung di Bulan
Ramadhan.
Agama merupakan sistem keyakinan yang dipunyai secara individual yang
melibatkan emosi-emosi dan pemikiran-pemikiran yang sifatnya pribadi, dan
103 Wawancara Pribadi dengan Bapak Solihin, Tangerang 27 September 2007 104 Wawancara Pribadi dengan’Mba Wasni, Tangerang,3 Oktoberr2007
76
diwujudkan dalam tindakan-tindakan keagamaan (upacara, ibadat, dan amal
ibadah) yang sifatnya individual ataupun kelompok dan sosial yang melibatkan
sebagian atau seluruh masyarakat.105
Ritual ibadah merupakan media terbaik bagi pengejawantahan sikap
keshalehan. Shaleh atau tidaknya seseorang dapat dilihat dari seberapa taatnya ia
menjalankan ritual ibadah yang ada dalam agama tersebut. Standar evaluatif
tersebut yang menentukan setiap orang berhak mendapat predikat shaleh atau
tidak.
Terlepas dari penilain tersebut, pembahasan ini akan menguraikan
intensitas ibadah ritual komunitas masyarakat marginal. dalam bulan Ramadhan. .
Dan agar lebih efisien dihantarkan model penulisan yang terlebih dahulu
mendeskripsikan mengenai ibadah ritual yang dijalankan para informan dalam
bulan Ramadhan. Kemudian, mendeskripsikan pengaruh Ramadhan terhadap
intensitas ibadah para informan dalam bulan sesudahnya atau lainnya.
Dalam setiap hati umat Muslim, Ramadhan menduduki peringat bulan
teristimewa. Dikatakan istimewa karena, Ramadhan merupakan moment
keagamaan yang di dalamnya mengandung ibadah khas bagi umat muslim. Seperti
puasa dan taraweh yanag merupakan ibadah khas, yang diperintahkan dalam bulan
tersebut.
Status sosial bukanlah pilihaan manusia. Jika seandainya status sosial
menjadi hak paten manusia, maka high status akan menjadi pilihan utama. Setiap
manusia lebih suka menjadi orang berkecukupan supaya lebih akomodatif dan
105 Roland Robertson, ed, Agama Dalam Interpretasi sosiologis, h.VII
77
fasilitatif dalam memenuhi kebutuhannya, termasuk memenuhi perintah agama.
Dalam hal ini banyak perintah agama yang menuntut kondisi fasilitatif dan
akomodatif seperti puasa, sedekah dan zakat.
Bagi masyarakat marginal, problem ekonomi seringkali berimplikasi pada
pengabaian perintah agama. Meskipun telah terbiasa dengan kondisi lapar, namun
secara praktis hanya sebagian kecil yang melaksanakan ibadah puasa secara penuh
dalam bulan Ramadhan.
Berdasarkan wawancara dan observasi, hanya lima orang informan yang
masih menjalankan ibadah puasa sampai saat penelitian ini berlangsung.
Sedangkan para informan lainnya hanya berpuasa beberapa hari di awal bulan
Ramadhan.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Siti Fatimah:”…Alhamdulillah,
sampai saat ini saya masih berpuasa dan belum bolong satu hari pun.106
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Edi sudewo, Sumarno, Denti, dan
Solihin, mereka menyatakan bahwa dari awal Ramadhan sampai saat penelitian
berlangsung mereka masih menjalankan ibadah puasa.
Sedangkan, para informan lainnya mengungkapkan hal berbeda. Mereka
hanya menjalankan ibadah puasa di hari-hari awal bulan Ramadhan. Kondisi
yang tidak fasilitatif dan akomodatif serta tantangan kerja yanag berat
menyebabakan mereka menangguhkan bahkan mengabaikan ibadah wajib,
Misalnya seperti puasa ini, karena kurangnya asupan kalori yang di konsumsi
serta jauhnya jarak yang mereka tempuh dalam bekerja menghantarkan mereka
106 Wawancara Pribadi dengan Siti Fatimah, Tangerang,2 Oktober 2007
78
pada kondisi dilematis, dimana mereka dihadakan pada pilihan ibadah atu bekerja
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun sebagian besar dari mereka lebih
memilih menanggalkan ibadah puasa demi kenyamanan bekerja. Sebagaimana
yang diungkapkan Tamiri:
”…Sudah hampir delapan hari saya ‘ngga puasa. Tapi, hari-hari pertama saya puasa. Terus ke sininya ‘ngga lagi. Saya ‘ngga kuat. Gimana mau puasa, sahur aja cuma makan pake’ ikan asin, terus siangnya harus keliling cari barang-barang di daerah BSD atau ke Pondok Indah. Ya… kalo’ begitu saya ngga kuat.” 107
Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan oleh Wasem, ia menyatakan
sudah sepuluh hari tidak menjalankan ibadah puasa. Ia mengaku tidak kuat bila
bekerja dalam keadaan menjalankan ibadah puasa. Maka ia lebih memilih
menangguhkan ibadah puasanya, demi aktivitas kerjanya supaya dapat memenuhi
kebutuhan dalam bulan tersebut.108
Selanjutnya yang juga merupakan ibadah jasmani, ruhaniah dan amaliah
yang khas dalam dalam bulan Ramadhan dalah taraweh, tadarus Al-quran, infak
dan zakat fitrah.
Dalam pelaksanaan salat taraweh dan tadarus Al-qu’ran hanya tiga orang
informan yang melakukannya secara rutin, sedangkan yang lainnya jarang
melakukannya. Bahkan ada beberapa informan yang tidak melakukannya sama
sekali.
Solihin dan Edi Sudewo misalnya, mereka mengatakan meskipun
taraweh dan tadarus adalah ibadah yang hukumnya sunat, tapi sedapat mungkin
mereka berusaha melaksanakannya seperti ibadah wajib.
107 Wawancara pribdi dengan Bapak Tasman, Tangerang, 25 September 2007 108 Wawancara pribadi dengan Ibu Wasem, Tangerang, 30 September 2007
79
Hal senada juga diungkapkan oleh Siti Fatimah:“…Walaupun terasa cape’
banget setelah buka puasa, tapi tiap malamnya saya selalu usahakan buat ngerjain
teraweh walaupun cuma 11 raka’at. Untuk tadarus Al-quran juga begitu, biasanya
saya kerjain saat nunggu masuk waktu subuh.”109
Sedangkan Denti, Lasmidi dan Wasni mengungkapkan hal berbeda.
Mereka menyatakan bahwa dalam hal pelaksanaan salat taraweh dan tadarus
mereka melakukanya, namun intensitasnya relatif rendah. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Wasni:”…Biasanya kalo’ lagi ‘ngga cape’ banget, jarang-jarang
saya masih juga melakukan salat teraweh. Itu juga harus tahan kuping, denger
hinaan dari orang-orang sekitar sini. Kalo’kita ikut terweh sama-sama di masjid
orang-orang sekitar sini ‘ngga mau dekat-dekat kita. Katanya bau sampah,
kayanya jiji banget….”110
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Denti:”…Iya,…kadang-kadang
saya salat taraweh, kalo’ lagi ‘ngga cape dan ‘ngga ada PR dari sekolah. Kalo’
tadarus Al-Qur’an setiap hari di sekolah setiap sebelum pelajaran pertama. Tapi
kalo’ di rumah jarang.”111
Sementara, Wasem, Tasman , dan Tamiri mengungkapkan bahwa mereka
tidak melakukan salat Taraweh dan Tadarus Al-quran sama sekali, karena mereka
mengaku tidak dapat membaca Al-quran dan kurang hapal bacaan dalam salat.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Tamiri:”…Bagaimana mau tadarus Al-
qur’an, lah wong…hafal huruf Arab juga’ngga, gimana mau bacanya. Begitu juga
109 Wawancara Pribadi dengan ibu Siti Fatimah, Tangerang, 2007 110 Wawancara Pibadi dengan ‘Mba Wasni, Tangerang,3 Oktober 2007 111 Wawancara Pribadi dengan Denti, Tangerang, 5 Otober2007
80
teraweh, .bacaan salat juga saya ‘ngga hafal banget. Jadi juga sama’ngga saya
kerjain…”112
Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan Wasem:”…Kalo’ tahun
kemaren jarang-jarang masih dikerjain. Tapi sekarang ‘ngga. Males…, habisnya
orang-orang sini kalo’ shalat ‘ngga mau deket-deket kita. Jiji banget kayanya.
Kalo’ baca qur’an ‘ngga, ibu ‘ngga bisa ngaji….” 113
Ibadah salat lima waktu merupakan perintah mutlak dari Tuhan. Dalam
konteks ini, salat merupakan ibadah yang tidak dapat ditawar kewajiban
hukumnya bagi siapa pun dan dalam kondisi apa pun. Maka, tiap Muslim dituntut
untuk selalu taat dan tertib dalam pelaksnaanya. Ketersediaan akan adanya tata
cara qadha, jamak, dan qasar merupakan implikasi dari betapa urgennya
pelaksanaan ibadah kontemplasi tersebut.
Solihin adalah pemulung yang berasal dari Tasikmalaya. Menurut Penulis
berdasarkan wawancara mendalam dan observasi yang dilakukan terhadap
Solihin. Ia adalah orang yang sangat taat melaksanakan salat lima waktu. Ini
terlihat dari kebiasaannya yang selalu membawa baju koko dalam bekerja untuk
dipakainya dalam melaksanakan salat wajib di siang hari. Hal tersebut yang
membuat ia berbeda dibanding informan yang lain, disebabkan karena ia pernah
mengenyam pendidikan di pondok pesantren, yang dalam lingkungannya selalu
menerapkan tertib pada pelaksanaan salat lima waktu. Sebagaimana yang
diungkapkannya: “…Kalo’ masalah salat lima waktu, Alhamdulillah ‘ngga pernah
saya tinggalkan, baik di bulan Ramadhan dan bulan lainnya. Yang berbeda
112 Wawancara Pribadi dengan Bapak Tamiri, Tangerang, 28 September 2007 113 Wawanacra Pribadai dengan Ibu Wasem, Tangerang,30 September 2007
81
mungkin kekhusuyu’annya, dalam bulan Ramadhan sengaja saya lebih
melamakan waktu salat saya dari biasanya, supaya lebih khusyu”.114
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Edi Sudewo dan Siti Fatimah. Mereka
menyatakan bahwa selalu melakukan salat lima waktu secara rutin baik dalam
bulan Ramadhan maupun bulan lainnya
Sedangkan Lasmidi, Denti, Sumarno dan Wasni dalam hal salat lima
waktu mereka mengungkapkan untuk berusaha meningkatkan intensitas
pelaksanaannya di bulan Ramadhan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Sumarno:”…Setiap hari-harinya bapak salat, tapi bolong-bolong. Kalo’ dalam
bulan Ramadhan sih, bapak ngerjainnya lima waktu. Soalnya bulan Ramadhan itu
bulan ibadah, jadi bapak juga ‘ngga mau ketinggalan, walaupun cuma bisa
ngerjain salat lima waktu….”115
Sementara Wasem, Tasman, dan Tamiri mengungkapkan hal yang
berbeda. Dalam hal salat, mereka menyatakan sama dengan bulan biasanya.
Mereka melakukan salat lima waktu, namun tidak melakukannya secara penuh.
Hal tersebut diungkapkan oleh Tasman:”… Soal salat ‘ngga ada perbedaan, sama
seperti hari-hari biasa. Tetap bolong-bolong, kadang salat kadang ‘ngga. Dalam
bulan biasanya cuma ngerjain dua waktu, atau kadang ‘ngga sama sekali. Tapi
dalam bulan Ramadhan saya ngerjain tiga sampai empat waktu…”116
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan penulis, dapat dikatakan
bahwa dalam bulan Ramadhan seluruh informan melakukan salat lima waktu,
namun ada perbedaan intensitas pelaksnaannya dalam bulan Ramadhan.
114 Wawancara Pribadi dengan Bang Solihin, Tangerang,27 September 2007 115 Wawancara Pribadi dengan Bapak Sumarno, Tangerang, 7 Oktober2007 116 Wawancara Pribadi dengan Bapak Tasman, Tangerang, 8 Oktober 2007
82
Ramadhan telah membawa pengaruh yang cukup signifikan bagi pelaksanaan
salat lima waktu seluruh informan, dimana dalam bulan tersebut mereka
melakukan peningkatan intensitas ibadah salat lima waktu.
Ramadhan merupakan bulan penuh karunia dan rahamat, dimana pahala
dan segala amal kebaikan dilipatgandakan sampai 70 kali lipat dari bulan lainnya.
Bahkan ibadah sunat yang dikerjakan dalam bulan ini dibalas dengan pahala
ibadah fardu dan dilipatgandakan sampai 70 kali lipat.117
Bagi komunitas pemulung ibadah sunat kurang memiliki tempat dalam
kedudukan pelaksanaan ibadah ritual mereka. Maka dalam kehidupan sehari-hari
pelaksanaannya cenderung diabaikan. Namun dalam bulan Ramadhan, ada
beberapa informan yang melaksanakannya.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Solihin:”…Dalam bulan Ramadhan
terkadang saya melakukan salat sunat tahajud, tapi ‘ngga setiap malam. Kalo’ lagi
‘ngga cape dan kebetulan terbangun tengah malam…”
Hal senada juga diungkapkan oleh Edi Sudewo dan Siti Fatimah. Mereka
menyatakan bahwa dalam bulan Ramadhan melaksanakan ibadah sunat, namun
tidak dilakukun secara rutin. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Siti
Fatimah:”…Kadang kalo’ waktu sahur masih panjang saya ngerjain tahajud
sambil nuggu waktu subuh juga, tapi ‘ngga setiap malam. Pokoknya dalam bulan
ini saya berusaha perbanyak ibadah….”118
117 Drs. Dedi Junaedi, Pedoman Puasa, h. 104 118 Wawanacara Pribadi dengan Ibu Siti Fatimah,Tangerang, 2 Oktober 2007
83
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Edi Sudewo:”… Dalam bulan
Ramadhan salat ba’diyah dan qabliyah sering saya kerjakan, tahajud juga.Tapi
kalo’ salat dhuha ‘ngga…”119
Sedangkan informan lainnya menyatakan tidak melakukan ibadah sunat,
karena tidak ada waktu dan tidak tahu bacaan-bacaan salat sunat. Sebagaimana
yang diungkapan oleh Lasmidi:”…’Ngga pernah, kalo’lagi waktunya dhuha saya
keliling cari barang, ‘ngga sempat.Gimana mau ngerjain…”120
Hal yang sama juga diungkapkan oleh: Tamiri:”…Salat wajib aja kadang
ngerjain kadang ‘ngga, bolong-bolong. Itu juga bacaannya kurang tau. Apa lagi
salat sunat, ‘ngga pernah…”121
Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan oleh Wasem:”…Kalo’ saya tahu
pasti saya kerjain. Salat sunat macam-macamnya apa saja kurang tau, apalagi
bacaan-bacaanya. Jadi ngga pernah saya kerjakan…”122
Selanjutnya yang merupakan ibadah khas bulan Ramadhan adalah zakat
fitrah. Zakat fitrah merupakan ibadah amaliah yang wajib dikeluarkan oleh tiap
muslim menjelang hari raya Idul Fitri.
Meskipun tergolong sebagai massa miskin, namun dalam hal
mengeluarkan zakat fitrah para informan tidak mengabaikan kewajiban ibadah
amaliah tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Lasmidi:”…Biar pun saya
susah, tapi kalo’ soal zakat fitrah sih saya ‘ngga pernah melewatinya setiap tahun.
119 Wwanacaar Pribadi dengan Bapak Edi Sudewo, Tangerang,29 September 2007 120 Wawancara Pribadi dengan Bapak Lasmidi, Tangerang, 1 Oktober 2007 121 Wawancara pribadi dengan Bapak Tamiri, Tangerang, 28 September 2007 122 Wawancara Pribadi dengan Ibu Wasem, Tangerang, 30 September2007
84
Zakat fitrah itu sedekah yang wajib di bulan Ramadhan. Jadi mesti diusahain
bagaimana cara untuk bisa membayarnya…”123
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Wasni:”…Zakat fitrah itu ‘kan
hukumnya wajib, bagi orang mampu ataupun ‘ngga. Jadi kalo’ zakat fitrah saya
selalu membayarnya setiap tahun…”124
Sedangkan Sumarno, Wasem, Tasman, Denti, dan Tamiri menyatakin
bahwa dalam hal mengeluarkan zakat fitrah mereka tidak rutin mengeluarkannya
tiap tahun. Mereka mengeluarkannya jika ada rezeki yang cukup. Namun, jika
tidak ada, maka mereka tidak menunaikan ibadah amaliah tersebut
Selain zakat fitrah, sadadoh dan infak merupakan ibadah amaliah yang
juga lazim di keluarkan masyarakat dalam bulan Ramadhan. Dalam hal tersebut,
seluruh informan menyatakan bahwa mreka mengeluarkannya, walaupun tak
besar nilainya. Sebagaimana yanag diungkapkan olehWasem:”…Soal bersedekah
sih saya sering melakukannya. Bukan cuma di bulan Ramadhan, tapi juga di hari-
hari biasa. Tapi, ya ..’ngga gede seperti orang lain…”125
Hal senada juga diungkapkan oleh Sumarno:”… Kata orang-orang bulan
puasa itu harus banyak sedekah. Maka itu walaupun cuma sedikit, tapi bapak
ngelaksanainnya. Ya, lima ratus perak mah bapak suka ngasih pengemis di
jalan…”126
123 Wawancara Pribadi dengan Bapak Lasmidi, Tangerang, 1 Oktober2007 124 Wawancara pribadidengan ‘Mba Wasnii, Tangerang,3 Oktober, 2007 125 Wawancara Pribadi dengan Ibu Wasem, Tangerang,30 September 2007 126 Wawancara Pribadi dengan Bapak Sumarno, Tangerang, 7 Oktober 2007
85
Dari pernyatan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun
kondisi kekurangan sangat lekat dengan kehidupan mereka, namun dalam
pelaksanaan ibadah amaliah mereka tak mengabaikannya.
4. Pengalaman Keagamaan Berkenaan dengan Ramadhan Atau Yang
Terjadi Saat Ramadhan
Menguraikan aspek pengalaman keagamaan merupakan hal yang sangat
pelik. Betapa tidak, karena aspek tersebut langsung berkaitan dengan Sang Maha
Trasenden dan bersifat subjektif. Tetapi, rasanya kurang lengkap bila membahas
mengenai komitmen keagamaan namun mengabaikannya. Karena baik secara
langsung maupun tidak aspek tersebut memberikan sumbangsih bagi terciptanya
komitmen keagamaan seseorang.
Dimensi pengalaman keagamaan berisikan dan memperhatikan fakta
bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak
tepat jika dikatakan seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan
mencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir
(Kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu keadaan kontak dengan
perantara supernatural). Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan,
perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang
pelaku atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan (atau suatu
masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dengan suatu esensi
ketuhanan, yakni dengan Tuhan, dengan kenyataan terakhir dengan otoritas
Trasendental.127
127 Roland Robertson, Agama Dalam Interpretasi Sosiologis, h. 296
86
Berpijak dari acuan teori tersebut, peneliti mencoba menguraikan
pengalaman keagamaan para informan yang berkaitan ataupun yang terjadi saat
Ramadhan. Namun, Dalam hal ini lebih mengutamakan pengalaman keagamaan
yang berkenaan dengan Lailatul Qadar. Yang memang dijanjikan kepastian
datangnya dan dianjurkan untuk mendapatkannya.
Berdasarkan wawancara, seluruh informan menyatakan tidak pernah
merasakan pengalaman mendapatkan Lailatul Qadar, namun ada beberapa
informan yang menyatakan pernah mendapatkan pengalaman keagamaan yang
terjadi dalam Ramadhan. Dan para informan tersebut menyatakan bahwa
pengalaman keagamaan tersebut membawa pengaruh yang cukup signifikan
terhadap keyakinan dan ketaatan terhadap agamnya.
Siti Fatimah adalah pemulung wanita yang berasal dari Lampung. Ia
datang ke Jakarta pada Februari 2005 dengan tujuan untuk memperbaiki hidup.
Dan keprofesian pemulung baru ia jalani selama 8 bulan. Ketiaka ditanyakan
tentang pengalaman keagamaan yang berkenaan dengan malam Lailatul Qadar, ia
menyatakan tidak pernah mendapatkannya. Namun, ia pernah menyatakan pernah
mendapatkan suatu pengalaman hidup dan pengalaman tersebut membawa
pengaruh yang positif bagi keberagamaanya. Sebagaimana yang diungkapkannya:
”…Mendapatkan Lailatul Qadar sih ‘ngga pernah, tapi kalo’ pengalaman yang lainnya pernah. Ketika itu hidup saya masih kecukupan, punya usaha warung kelontong. Warung saya saat itu lagi maju-majunya, karena sibuk ngurusin warung, saya jarang ngerjaian salat lima waktu dan’ngga pernah ikut pengajian. Pada malam tiga hari sebelum lebaran rumah dan warung saya kebakaran, habis semua ‘ngga ada sisanya. Sejak kejadian itu, awalnya saya hampir mirip orang kurang waras. Tapi, setelah habis lebaran saya merasakan hal yang beda, hati saya kaya kebuka dan sadar.
87
Dan sejak saat itu saya kembali untuk rajin salat lagi, walaupun suka diulur-ulur waktunya”.128 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Lasmidi dan Solihin. Mereka
menyatakan pernah mendapatkan pengalaman religius dalam bulan Ramadhan
dan mengakui bahwa pengalaman tersebut membawa pengaruh yang cukup
signifikan terhadap ketaatan dan kekhusyuan dalam beribadah. Namun mereka
kurang dapat memaparkannya dengan baik secara verbal.
5. Hubungan Sosial Komunitas Pemulung Dalam Bulan Ramadhan
Ramadhan tak hanya mampu menstimulasi setiap individu untuk
mempererat tali hubungannya dengan Sang Maha Trasenden, namun Ramadhan
juga mampu menstimulasi setiap individu untuk memperbaharui, dan mempererat
tali hubungan sosialnya. Ini merupakan sutu bentuk aktualisasi dari amalan
kebajikan yang sangat dianjurkan bulan Ramadhan, yakni menebar kasih sayang
(simpati) terhadap sesama. Maka dalam bulan tersebut tercipta suatu realitas
hubungan sosial yang harmonis.
Pada bulan tersebut setiap individu rela melepaskan kesibukannya sejenak
untuk memberikan waktu mempererat interaksi sosialnya. Areal-areal pemukiman
yang biasanya lengang dari kebersamaan penduduknya dan aktivitas sosial,
spontan menjadi riuh dengan kebersamaan penduduknya yang larut dalam
aktivitas sosial maupun keagamaan. Maka sudah menjadi tradisi setiap tahunnya
bila banyak kegiatan yang melibatkan kebersamaan direncanakan hanya untuk
memperat tali hubungan sosial antar komunitas, atau bahkan aktivitas sosial yang
bertujuan untuk meningkatkan tali simpati terhadap kaum dhaufa.
128Wawancara Pribadi dengan Ibu Siti Fatimah, Tangerang 2 Oktober,2007
88
Kondisi tersebut pun relevan dalam kehidupan komunitas pemulung.
Ramadhan telah banyak menciptakan kondisi meningkatnya keakraban dan
suasana kebersamaan dalam komunitas mereka. Seluruh informan menyatakan
bahwa dalam bulan Ramadhan interaksi antar pemulung meningkat. Ini terlihat
dari adanya perbedaan tingkat intensitas kebersamaan mereka dalam bulan
Ramadhan dengan bulan lainnya. Dalam bulan Ramadhan secara spontan para
pemulung banyak menyempatkan diri untuk berkumpul bersama, meskipun hanya
untuk sekedar bersendau gurau menunggu tibanya adzan magrib, atau melepas
lelah setelah berbuka puasa. Seperti yang diungkapkan oleh Wasem:
”...Ya, beda. Kalo’ bulan puasa itu justru lebih banyak waktu ngumpul-ngumpulnya sama orang-orang di sini. Siang hari biasanya ibu-ibu itu ngumpul-ngumpul sambil beresin barang-barang hasil mulung. Dan sore itu lebih rame lagi, dari bapak-bapak, ibu-ibu, sampai anak kecil pada ngombrol dan nugmpul bareng sambil waktu nunggu buka. Dan malamnya juga begitu lagi, bahkan sampe tengah malam. Dan begitu juga waktu habis sahur. Pokoknya beda ‘ngga seperti-seperti hari biasanya”.129 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Edi Sudewo:”…Kalo’bulan puasa,
pemulung-pemulung di sini lebih banyak waktu ngobrol bareng-barengnya.
Biasanya sore, sambil nunggu waktu berbuka. Dan malam sampe waktu sahur.
Ya, karena sering ngumpul jadi rasanya kalo’ bulan puasa itu hubunganya lebih
akrab.
Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan oleh Denti:”…Beda banget.
Bulan puasa itu lebih rame, apalagi kalo’ sore dan malam. Dari yang tua sampe
anak-anak kecil pada ngumpul, bercanda, ngobrol. Pokoknya akrab banget. ‘Ngga
kaya hari biasa yang kalo’ udah malem sepi banget…”130
129Wawancara Pribadi dengan Ibu Wasem, Tangerang, 30 Septamber 2007 130 Wawancara Pribadi dengan Denti, Tangerang,5 Oktober 20007
89
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Tasman, Tamiri, Wasni, Lasmidi,
Solihin, dan Sumarno. Mereka menyatakan makna pernyataan yang sama
mengenai hubungan dan interaksi sosial mereka dalam bulan Ramadhan.
C. Keberagamaan Komunitas Pemulung Setelah Ramadhan
Keistimewaan yang dimiliki Ramadhan telah mampu menstimulasi
bangkitnya naluri keagamaan untuk bertindak taat. Tiap jiwa spritual membuncah
berlomba untuk sampai pada kondisi larut dalam keshalehan. Setiap individu
seolah-olah berlomba-lomba meningkatkan intensitas dan kekhusyuannya dalam
ibadah wajib dan sunat.
Itulah sekelumit gambaran mengenai kondisi keberagamaan masyarakat
dalam bulan Ramadhan. Ramadhan seolah-olah mempunyai daya magis yang
mampu menggerakan setiap nalauri ke arah untuk taat. Namun, apakah ketaatan
yang telah diciptakan Ramadhan akan mampu bertahan dalam bulan lainnya,
dalam konteks ini, apakah Ramadhan membawa pengaruh yang cukup signifikan
bagi keberagamaan masyarakat dalam bulan setelahnya. Dalam pembahasan ini
akan menguraikan keberagamaan komunitas pemulung setelah bulan Ramdhan,
khususnya pelaksanaan ritual ibadah wajib.
Ritual salat merupakan salah satu jenis ibadah kontemplasi yang paling
dihargai kedudukannaya. Maka, seringkali intensitas pelaksanaannya di jadikan
stanadar evaluatif dalam mengukur ketaatan beragama seseorang. Untuk
mengetahui keberagamaaan komunitas pemulung setelaah Ramadhan, peneliti
menjadikan ritual shalat sebagai acauan dalam menguraikan pembahasan ini.
90
Berdasarkan wawancara mendalam, dalam hal ini peneliti menemukan
jawaban yang cukup variatif. Untuk lebih jelasnya, peneliti akan memaparkan
hasil wawancara tersebut dalam uraian di bawah ini:
Edi Sudewo adalah pemulung yang berasal dari Banyumas. Ia tumbuh dan
besar di Banyumas, hidup dalam lingkungan yang cukup agamis dan selama tiga
tahun pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Dalam hal shalat
merupakan ibadah yanag sudah rutin dijalaninya sejak dahulu. Ketika ditanyakan
mengenai kondisi kebergamaannya setelah Ramadhan, ia menyatakan bahwa
Ramadhan mempengaruhi semangat keberagamaannya di bulan lainnya, namun
hanya bertahan dalam waktu yang relatif singkat. Dan setelah itu, ia kembali
kepada kebisaannya. Sebagaimana yang diungkapkannya:”…Dalam Ramadhan
biasanya saya berusaha memperbanyak ibadah, termasuk tadarus dan salat sunat.
Biasanya kalo’ menjelang lebaran hati rasanya sedih dan dalam hati berniat
setelah lebaran nanti mau tetap rajin ibadah kaya di bulan ini. Tapi niat itu cuma
bisa dilaksanain selama masih dalam suasana Lebaran. Setelah itu kembali lagi
kaya biasanya, ’kalo shalat cuma yang wajib. Ba’diyah , qobliyah, apalagi tahajud
‘ngga dikerjain lagi.”131
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Solihin, dan Siti Fatimah. Mereka
menyatakan bahwa Ramadhan membawa pengaruh yang cukup signifikan
terhadap pelaksanaan ritual ibadah mereka. Namun, tidak bertahan lama.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Solihin:”…Ada, saat masih dalam keadaan
lebaran. masih ngerjain salat sunat dan baca Al-qur’an. Seperti masih terbawa
131 Wawancara Pribadi dengan Bapak Edi Sudewo, Tangerang 29 September2007
91
suasana Ramadhan. Tapi, setelah itu kembali lagi seperti biasa. Kalo’ salat lima
waktu ‘ngga ketinggalan, tapi salat sunat dan baca al-quran’ngga saya kerjain
lagi…”132
Sedangakan, para informan lainnya menyatakan bahwa Ramadhan tidak
membawa pengaruh yang cukup signifikan bagi keberagamaan mereka di bulan
sesudahnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Lasmidi:”… Dalam hati sih
selalu ada niat untuk rajin salat ‘ngga cuma di bulan Ramadhan, tapi juga dalam
hari-hari biasa. Tapi cuma niat dong, kalo’ sudah Ramadhan, saya kembali seperti
biasanya, kembali bolong-bolong lagi salatnya…”133
Hal senada juga diungkapkan oleh Wasni:”…Waktu bulan puasa rajin
ngelaksanain shalat, dan suka timbul niat mau berubah. Tapi kalo’setelah itu tetap
aja males, ngerjain salat. Bahkan kadang-kadang ‘ngga sama dalam bulan
puasa..”134
Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan oleh Tamiri:”… Saya salat
waktu Ramadhan aja. Setelah itu sih, jarang-jarang, bahkan ‘ngga sama
sekali…”135
Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa Ramadhan
telah mampu membangkitkan sensitifitas keagamaan mereka, untuk bertindak taat
dalam bulan tersebut. Namun, Ramadhan hanya membawa pengaruh yang cukup
signifikan bagi naluri keberagamaan mereka, namun tidak pada sikap tertib dan
taat pada pelakasanaan ibadah di bulan sesudahnya.
132 Wawancara Pribadi dengan Solihin, Tangerang 27 September 2007 133 Wawancara Pribadi dengan Bapak Lasmidi, Tangerang, 1 Oktober 2007 134 Wawancaar Pribadi dengan Wasni, Tangerang, 3Oktober 2007 135 Wawancara Pribadi dengan Bapak Tamiri, Tangerang, 28 September 2007
92
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah diuraikan secara mendalam dalam bab-bab
sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Ramadhan tidak
mempunyai pengaruh yang cukup signifikan bagi aktivitas dan semangat kerja
komunitas pemulung. Dalam konteks ini, Ramadhan tidak menyurutkan
kegairahan aktivitas kerja mereka. Justru kehadiran Ramadhan dengan segala
kebutuhan khususnya telah mendorong dan memaksa mereka untuk semakin giat
bekerja. Maka sebagian informan menambahkan waktu bekerja mereka di malam
hari, supaya dapat memenuhi kebutuhan di hari raya Idul Fitri.
Dalam hal pembahasan mengenai makna Ramadhan bagi komunitas
pemulung, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pemaknaan terhadap
Ramadhan yang diberikan komunitas pemulung di Jl. Bulak Wangi II RT 08
RW03 kelurahan Kedaung adalah pemaknaan yang bersifat kondisional. Dimana
kondisi berkah rezeki dan pangan yang mereka alami dalam bulan tersebut
dijadikan landasan dalam memberikan makna berkah terhadap bulan Ramadhan.
Sedangkan, berdasarkan hasil penelitian mengenai pengetahuan dan
pemahaman berkenaan dengan ibadah dan amalan khas, serta kistimewaan bulan
Ramadhan, maka penulis menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat
signifikan antar informan penelitian. Yang disebabkan karena adanya perbedaan
latar belakang pendidikan pada tiap informan.
93
Berkenaan dengan hasil penelitian mengenai pelaksanaan ibadah ritual
komunitas pemulung dalam bulan Ramadhan, peneliti menemukan perbedaan
yang cukup signifikan dalam pelaksanaan ritual ibadah salat wajib di bulan
Ramadhan. Dimana komunitas pemulung tersebut berupaya melakukan
peningkatan intensitas pelaksanaan ritual ibadahnya dalam bulan Ramadhan.
Selain itu juga, ditemukan perbedaan ketaatan yang cukup signifikan dalam
pelaksanaan ritual ibadah khas Ramadhan. Tak ada dari satu orang informan yang
secara total meninggalkannya, mereka semua melaksnakannya. Namun hanya
intensitas pelaksanaannya saja yang berbeda. Maka dari hasil penelitian tersebut
dapat peneliti simpulkan bahwa komunitas pemulung di Jl. Bulak Wangi II RT 08
RW 03 kelurahan Kedaung memiliki responsi sikap keagamaan yang cukup baik
dalam menyikapi pelakasanaan ritual ibadah di bulan Ramadhan.
Terlepas dari penilaian layak atau tidaknaya komunitas pemulung di
wilayah tersebut dimasukan dalam kategori masyarakat shaleh atau tidak, pada
pembahasan selanjutnaya peneliti mencoba menguraikan hasil penelitian
keberagamaan pemulung setelah bulan Ramadhan. Maka penulias dapat
menyimpulkan bahwa adanya perbedaan yang cukup signifikan dalam hal
keberagamaan pemulung dalam bulan Ramadhan dengan bulan sesudahnya. Ini
terlihat dari adanya perbedaan intensitas pelaksanaan ibadah wajib yang
dikerjakan komunitas pemulung dalam bulan Ramadhan dengan bulan
sesudahnya. Tingkat intensitas pelakasanaan ibadah yang dilakukan dalam bulan
sesudah Ramadhan relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan pelaksanaanya
selama Ramadhan. Bahkan banyak diantara mereka yang cenderung mengabaikan
94
pelaksanaan ibadah salat wajib dalam bulan biasanya. Dalam artian mereka hanya
bertindak taat dalam melaksanakan ritual ibadah wajib dalam bulan Ramadhan
saja.
Berdasarkana hasil penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan,
bahwa Ramadhan telah mampu membangkitkan sensitifitas keagamaan komunitas
pemulung, yang berpuncak pada sikap taat dan tertib ibadah dalam bulan tersebut.
Namun, ketika Ramadahn berakhir, pengaruh signifikan tersebut hanya tinggal
melekat pada naluri keberagamaan mereka, tetapi tidak pada sikap taat dan tertib
pada pelaksanaan ibadah wajib di bulan sesudahnya.
B. Saran-saran
Dalam akhir tulisan ini, ada beberapa hal yang penulis sampaikan kepada
pihak-pihak tertentu, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Kepada lembaga kewargaan setempat, yakni RT dan RW, ada baiknya
untuk tidak melakukan pembedaan dalam hal sosial dan partisipasi politik
Dan juga mengupayakan pembauran warga sekitar guna menghilangkan
sikap hipokrit yang diterima komunitas pemulung di wilayah tersebut.
2. Kepada para ulama setempat, supaya mau memberikan pembelajaran
keagamaan kepada komunitas pemulung di wilayah tersebut agar
memudahkan pemulung untuk mendapatkan pengetahuan agama yang
selama ini tidak pernah mereka ketahui.
95
3. Bagi para komunitas pemulung, supaya rajin belajar menimba
pengetahuan agama agar dapat mengetahui serta memahami ajaran, dan
perintah agama. Sehingga diharapkan dapat taat dalam menjalankan segala
bentuk ajaran dan perintah agama .