BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
Transcript of BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Saat ini pangkajian terhadap profesi advokat banyak ditulis dalam bentuk
buku maupun makalah. Yang kajiannya hanya dari perspektif hukum positif, kajian
advokat dalam perspektif Islam masih sangat sedikit sekali dikaji oleh para ahli
hukum maupun praktisi hukum lainnya. Oleh karenanya penulis mengkaji kajian
advokat yang bernuansa islami. Yang dimana dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Advokat tahun 2003 menerangkan bahwa :
“ yang diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang
pendidikan tinggi hukum”.
Yang dimaksud berlatar belakang pendidikan hukum adalah salah satunya
lulusan fakultas Syari’ah. Dimana fakultas syari’ah meluluskan sarjana hukum islam,
disini terlihat cakupan hukum islam juga berperan dalam penegakkan hukum dalam
bidang bantuan hukum.
Advokat sebagai pemberian bantuan hukum atau jasa hukum kepada
masyarakat atau klien yang menghadapi masalah hukum yang keberadaannya sangat
dibutuhkan. Saat ini sangat penting seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum
masyarakat secara kompleksitasnya masalah hukum. Advokat merupakan profesi
pemberi jasa hukum, saat menjalankan tugas dan fugsinya dapat bertugas sebagai
1
2
pendamping, memberi advise hukum, atau memberi kuasa hukum atau atas nama
kliennya. Dalam menberikan jasa hukumnya, ia dapat melakukan secara prodeo
ataupun atas dasar mendapatkan honorarium/fee dari klien.1 Dan dapat pula menjadi
mediator bagi para pihak yang bersengketa tentang suatu perkara Pidana, Perdata
(termasuk perkara khusus yang berkaitan dalam perkara agama islam), maupun Tata
Usaha Negara. Ia juga menjadi pasilitator dalam mencari kebenaran, menegakan
keadilan dan memberikan pembelaan hukum.
Konsistensi advokat dalam menjembatani kepentingan masyarakat dan sikap
mengedepankan keadilan dan perlindungan hak asasi manusia dalam memasuki
forum-forum pengadilan serta kebebasan advokat dari ikatan birokrasi peradilan
menyadarkan advokat memiliki keleluasaan dalam berinteraksi dengan masyarakat
guna menyelesaikan permasalahan hukum yang berkembang. Disamping itu terhadap
masalah yang menyimpang advokat dapat menjadi kontrol yang keritis didalam
menyelesaikan masalah hukum. Dalam sistem hukum yang mengakui profesi sebagai
unsure in’tegral. Advokat merupakan sumber personal yang baik untuk mengisi serta
menguatkan fungsi dan bahkan beberapa bagian dari birokrasi umum.
Jika dilihat dari kalangan hukum yang lainnya (polisi, hakim, jaksa) advokat
tidak terikat pada hirarki birokrasi yang memungkinkan advokat lebih leluasa
bergerak mengikuti masalah hukum yang berkembang, karena bukan aparat Negara,
1 Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, Advokat dalam perspektif Islam dan Humum Positif. (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003). Cet 1, Hal 17.
3
advokat dapat lebih akrab berhubungan dengan masyarakat, sehingga dapat lebih jeli
melihat berbagai masalah hukum maupun hak asasi manusia yang terjadi di tengah-
tengah masyarakat.
Profesi advokat sesungguhnya syarat dengan idealism, sehingga dijuluki
sebagai officium nobile (profesi mulia). Karena ia mengabdikan dirinya kepada
kepentingan masyarakat dan bukan kepada kepentingan dirinya sendiri, serta
menegakan keadilan dan hak asasi manusia. Disamping itu, ia pun bebas menbela,
tidak terikat oleh pemerintah, order klien, dan tidak pilih kasih siapa lawan kliennya,
apakah golongan kuat, pejabat, penguasa dan sebagainya.
Advokat memiliki kepedulian pada keadilan bagi rakyat kecil bukan sebagai
belas kasihan semata. Oleh sebab itu membela kepantingan rakyat kecil menjadi
agenda utama para advokat sebagai individu dan komunitasnya sebagai kolektif.
Dalam konteks inilah kode etik profesi mengemuka dan kolektifitas yang diwujudkan
melalui pembentukan komunitas lembaga atau organisasi profesi menampakkan
signifikasinya. Kode etik profesi yang kasat mata terlihat seperti membatasi ruang
gerak advokat saat menjalankan profesinya, justru memprestasikan komponen vital
dari interaksi timbal balik antara profesi dengan masyarakat luas.2
Namun dalam kenyataannya profesi advokat terkadang menimbulkan pro dan
kontra terhadap sebagian masyarakat terutama yang berkaitan dengan peranannya
2 Binziad Kadafi,et.al., Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, (Jakarta : Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2002), Cet ke-3, hal 10.
4
dalam memberikan jasa hukum. Ada sebagian masyarakat yang menganggap para
pemegang profesi ini sebagai orang yang sering memutar balikan fakta. Profesi ini
dianggap pekerjaan orang yang tidak mempunyai hati nurani karena selalu membela
orang-orang yang bersalah dan mendapat kesenangan diatas penderitaan orang lain,
mendapat uang dengan cara menukar kebenaran dengan kebatilan dan sebagainya.
Dalam uraian ini dapat diketahui keberadaan advokat dalam menjalankan
profesinya dan perannya sebagai agent of law development (agen pembangunan
hukum) terlebih dapat menjadi agent of law enculturation (agen pembudayaan hukum
bagi masyarakat) atau malah sebaliknya, cenderung menjdi agent of law
commercialization (agen komersialisasi di bidang hukum).
Apabila prilaku yang terkhir ini yang ditampilkan advokat, maka gugurlah
adagium yang menganggap advokat sebagai officium nabile. Perofesi kemulian ini
akan hancur dan ternoda oleh praktek penyimpangan yang dilakukan oleh segelintir
advokat dalam memberikan jasa kepada klien atau masyarakat.
Terlepas dari pro-kontra masyarakat terhadap peran advokat, pada
kenyataannya pemberian jasa hukum melalui advokat bagi setiap warga Negara telah
berlangsung sejak lama. Hal ini dimaksudkan untuk mencari kebenaran dan
menegakkan keadilan. Secara histories peran pemberian jasa hukum oleh advokat di
Indonesia dimulai sejak masa penjajahan belanda. Setelah perang Napoleon pada
permulaan abad XIX. Dimana sebuah koloni, sistem hukum yang secara formal
5
diberlakukan di Indonesia sebagai mengadopsi sistem hukum yang ditetapkan
pemerintah Belanda.3
Sejalan dengan perkembangan kehidupan dan kesadaran masyarakat di
berbagai bidang, khususnya dibidang hukum. Jasa hukum melalui advokat dewasa ini
berkembang menjadi kekuatan institutional. Dengan munculnya berbagai organisasi
advokat yang dikelola secara professional, perannya di anggap penting bagi jalannya
peradilan yang bebas, cepat dan sederhana. Keberadaannya makin dibutuhkan
masyarakat dalam membantu mencari keadilan dan menegakkan hukum untuk
memperoleh hak-haknya yang dirampas. Praktek advokat yang tadinya hanya
bergerak di lingkungan peradilan umum, telah merambah kelingkungan peradilan
agama. Terdapat kecenderungan meningkat para pihak : suami istri yang bercerai
terutama dikalangan ekonomi menengah keatas, sering menggunakan advokat,
penasehat hukum, atau pengacara dengan berbagai alasan. Berdasarkan laporan
Direktorat Agama Islam Tahun 1995, bahwa frekuensi dari proporsi perkara yang
diterima, terbesar kasusnya adalah penetapan izin ikrar talak 47.355 (32,14 %),
perceraian 42.699 (28,28 %), dan ta’lik talak 42.085 (28,56 %). Mereka juga yang
memberikan jasa hukum juga sangat bervareasi dari advokat yang terkenal
profesionalisasinya hingga mereka yang masih amatiran. Dari kelas mereka yang
3 Binziad Kadafi,et.al., Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, (Jakarta : Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2002), Cet ke-3, hal 2.
6
berbeda ini, sudah dapat diduga bagaimana terjadinya teransaksi honorium/fee antara
advokat yang professional dengan mereka yang masih amatiran.4
Terjadinya kecenderungan ini menjadi pengkajian, apakah menggunakan jasa
advokat ini, merupakan kebutuhan masyarakat atau kesadaran hukum sendiri atau
memang peran advokat yang agresif dalam mempengaruhi klien untuk berperkara di
pengadilan demi kepentingan advokat. Hal ini bisa saja berakibat positif, tetapi dapat
juga berakibat negatif terhadap proses pengadilan. Tentu saja hal ini wajar dan
merupakan perkembangan yang perlu diantisifasi untuk meningkatkan kesadaran
hukum demi tegaknya kebenaran dan keadilan. Islam sangat menganjurkan
pemberian jasa hukum terhadap pihak yang berselisih tanpa diskriminatif, supaya
pihak yang berselisih dapat menyelesaikan perkaranya secara islah.
Advokat berarti juga kuasa hukum yang berarti orang yang diberi kuasa oleh
seseorang atau pihak yang bersangkut perkara hukum atau orang yang menempatkan
dirinya atas mana seseorang atau pihak dalam berperkara sejak perkara diperoses
sampai kesidang pengadilan.5
Dasar legalitas perlu adanya advokat dalam persfektif islam bersumber dari
Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma Ulama. Sebagaimana islam memutuskan hukum
4 Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, Advokat dalam perspektif Islam dan Humum Positif. (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003). Cet 1, Hal 20.
5 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta : Ictiar Baru Van Hoeve, 1999), Cet
Ke-3, Hal 981.
7
antara manusia yang benar, dan memutuskan hukum dengan apa yang diturunkan
Allah SWT, disebut Qadha. Dengan ini jelas bahwa apa yang telah menjadi
perwakilan dalam menegakkan keadilan harus sesuai dengan hukum Allah SWT.
Islam memandang persoalan penegakan keadilan dan hak asasi manusia
merupakan suatu anugrah terbesar, Allah SWT melalui firmanNYA, mengharuskan
manusia untuk menjaga amanah dan karuniaNYA untuk merealisasikan anugrah
tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Hakim dan para penegak hukum lainnya
merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan untuk menegakkan keadilan
dan hak asasi manusia.
Keberadaan advokat dalam memberikan jasa hukum bagi para pihak yang
menyelesaikan perkara di pengadilan agama sampai saat ini merupakan fenomena
baru yang sangat menarik untuk diteliti dari aspek yuridis-sosiologis. Didalamnya
dilandasi dengan suatu rangka pemikiran bahwa penyelesaian suatu perkara dengan
jasa advokat, selain secara yuridis mempunyai landasan hukum yang sangat kuat,
baik menurut perspektif islam maupun hukum positif. Secara sosiologis ia pun
merupakan kebutuhan masyarakat dalam mencari kebenaran dan menegakkan
keadilan.
Panjang lebar wacana tentang hukum yang sangat luas dan penegakkan
keadilan, disini sangat jelas sorotannya terhadap profesi advokat sebagai salah satu
penyelenggara bantuan hukum. Maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana
8
hukum islam memandang profesi advokat. Dengan ini penulis ingin membahas,
meneliti dan memberi judul “ Profesi Advokat Dalam Perspektif Hukum Islam “.
Penulis ingin meninjau profesi advokat yang sesuai dangan syari’at hukum islam.
B. Pembatasan dan perumusan masalah
Advokat sebagai salah satu unsur system peradilan merupakan salah satu pilar
dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Adanya profesi advokat
dapat memberi perlindungan dan bantuan hukum bagi para pihak yang berperkara di
muka peradilan, dalam upaya meyujudkan keadilan hukum dengan tidak
menyampingkan nilai-nilai kebenaran yang sesuai dengan syari’at islam.
Permasalahan hukum yang sangat kompleks, maka penulis membatasi penelitian ini
dengan seputar profesi advokat yang sesuai dengan hukum islam.
Advokat sebagai profsi mulia atau Officium nobile memiliki kebebasan dalam
melaksanakan tugasnya. Hal ini diartikan bahwa advokat tidak terikat pada hirarki
birokrasi. Selain itu, advokat juga bukan merupakan aparat negara sehingga advokat
diharapkan mampu berpihak kepada kepentingan masyarakat atau kepentingan
publik. Selanjutnya agar terarahnya sekripsi ini, penulis mengkaji kajian advokat
yang bernuansa islami, khususnya pada peran, fungsi serta moralitas. Oleh karena itu
penulis merumuskan pokok-pokok masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana eksistensi organisasi advokat menurut undang-undang No 18
Tahun 2003 tentang Advokat ?
9
2. Bagaimana semestinya kode etik advokat dalam menjalankan profesinya ?
3. Bagaimana profesi advokat ditinjau menurut hukum islam ?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan penulis mengambil topik ini di maksudkan untuk mengetahui dan
memperoleh hasil dari fokus permasalahan. Secara lebih terperinci penelitian ini
bertujuan untuk :
1. Untuk memperjelas organisasi advokat dengan lahirnya undang-undang
No 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
2. Untuk mengetahui bagaimana aturan-aturan yang ditetapkan oleh kode
etik profesi advokat ditinjau menurut hukum islam.
3. Untuk meningkatkan pengetahuan dalam bidang hukum baik hukum
Islam maupun hukum positif, khususnya yang menyangkut masalah
profesi advokat.
Adapun manfaat penelitian ini adalah penulis ingin memberikan gambaran
kepada masyarakat maupun akademisi khususnya mahasiswa yang bergelut dibidang
hukum mengenai bagaimana sebenarnya profesi advokat dalam perspektif hukum
islam. Dan dapat dijadikan pedoman bagi kalangan yang akan mendalami dunia
advokat khususnya pada mahasiswa syari’ah sebagai bahan perbandingan.
10
D. Studi review
sepanjang pengetahuan penulis topik penelitian yang sama dengan topik yang
penulis teliti baik dalam katalog perpustakaan utama ataupun perpustakaan syari’ah
dan hukum, belum pernah diteliti oleh peneliti lainnya, namun ada beberapa judul
skripsi yang mendekati permasalahan bahasan penulis diantaranya adalah :
1. Peran Dan Eksistensi Advokat Terahadap Perceraian Dalam Upaya
Mencari Keadilan Di Peradilan Agama (Studi Kasus Di Pengadilan
Agama Depok)
Nama : Heru Gunawan Pratomo
Nim : 0044119288
Konsentrasi : Peradilan Agama
Prodi : Ahwal Al-Sakhsiyyah
Skripsi ini menjelaskan tentang hukum di Indonesia, sejarah perkembangan
hukum di Indonesia. Advokat sebagai pemberi bantuan hukum di lingkungan
peradilan agama. Prosedur izin beracara bagi advokat di peradilan agama. Peran
pengacara dalam penyelesaian kasus perceraian di pengadilan agama Depok.6
6 Heru Gunawan Pratomo, Peran dan Eksistensi Advoka a Terhadap PerkaraPerceraian Dalam Upaya Mencari Keadilan Di Pengadilan Agama (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Depok), (Jakarta : UIN Syarifhidayatullah, 2005).
11
2. Persepsi Advokat Dan Hakim Terhadap Kewenangan Absolut Peradilan
Agama di Bidang Ekonomi Syari’ah.
Nama : Budi Susilo
Nim : 103044228105
Konsentrasi : Administrasi Keperdataan Islam
Prodi : Ahwal Al-Sakhsiyyah
Sekripsi ini menjelaskan pada kedudukan peradilan agama kini mandiri
dibawah Mahkamah Agung dan kewenangannya meluas sampai kepada masalah
ekonomi syari’ah, peradilan agama menangani perkara ekonomi syari’ah oleh
advokat dan hakim di tanggapi positif dengan alasan peradilan agama adalah satu-
satunya peradilan Indonesia yang pantas berwenang perkara-perkara syari’ah dan
memiliki teradisi ke islaman yang mengental. Keterkaitannya dengan ekonomi
syari’ah di peradilan agama. Advokat dan hakim menyatakan merasa siap
menghadapi permasalahan hukum yang menangani perkara kegiatan dan pembiyaan
ekonomi syari’ah.7
Adapun perbedaan sekripsi yang akan saya bahas diantaranya adalah
menyangkut masalah hukum profesi advokat menurut undang-undnag No 18 Tahun
2003 tentang Advokat, hukum profesi Advokat menurut hukum Islam, landasan
7 Budi Susilo, Persepsi Advokat dan Hukum Terhadap Kewenangan Absolut Pengadilan Agama Di Bidang Ekonomi Syari’a, (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, 2008).
12
hukum advokat dalam Islam dan pandangan terhadap citra Advokat serta analisis
Advokat dalam hukum Islam.
E. Metode Penelitian
1. metode penelitian
metode yang digunakan untuk penulisan ini adalah studi pustaka
(Library Research). Penulis ini menggunakan penilitian kualitatif, penelitian
kualitatif yaitu dengan mengkaji dan menelusuri analisis yang ada dibuku-
buku yang berhubungan dan ada kaitannya dengan masalah yang ada dalam
skripsi ini, untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan kajian
penelitian ini. Yaitu pencarian literature secara umum dengan buku-buku,
seminar-seminar atau pun media elektronik yang menunjang pembahasan
penulis.
2. Sumber Data
Data primer adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan
setudi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan
masalah yang di ajukan, dokumen-dokumen yang di maksud adalah AL-
Qur’an Al-Hadist dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang
Advokat.
13
Data sekunder diperoleh melalui advokat dan hukum islam yaitu
mengambil pendapat dari kata-kata para ahli hokum tentang advokat,
peraturan-peraturan dan kode etik yang berkaitan dengan advokat, serta
mengambil pendapat Qaulul ‘ulama.
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian melalui buku-buku pustaka dan
juga dari internet yang berkaitan dengan masalah ini. Data tersebut diproses
melalui pencatatan, pengetikan, penyuntingan data dan dianalisis tetap
menggunakan kata-kata yang mudah dipahami dan disusun kedalam teks yang
di perluas.
4. Tekhnik Penulisan
Dalam penyusunan secara metode penulisan, semua berpedoman pada
prinsip-perinsip yang telah diatur dan di bukukan dalam buku pedoman
penulisan skripsi Fakutas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
14
F. Sistematika Penulisan
BAB Pertama Yaitu, Pendahuluan dalam sub bab ini berisikan tentang Latar
Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB Kedua Yaitu, Tinjauan Umum Tentang Advokat menurut undang-
undang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dalam sub bab ini terbagi menjadi
Pengertian Profesi Advokat, Sejarah Tentang Advokat, Peran, Fungsi dan Tugas
Advokat, dan Kode Etik Advokat.
BAB Ketiga Yaitu, Tinjauan Umum Tentang Advokat Menurut Hukum Islam,
dalam sub bab ini terbagi menjadi. Pengertian dan Tujuan Hukum Islam, Status
Hukum Dalam Hukum Islam, Landasan Hukum Advokat Dalam Islam.
BAB Keempat Yaitu, Analisis Advokat Menurut Undang-Undang dan Hukum
Islam, dalam sub bab ini terbagi menjadi, Peran Advokat Dalam Pemberian Jasa
Hukum di Pengadilan Agama Menurut Undang-Undang, Pandangan Terhadap Citra
Advokat, Analisis Advokat Dalam Hukum Islam, dsan Analisis Penulis.
BAB Kelima Yaitu, penutup yaitu berisikan tentang Kesimpulan dan Saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ADVOKAT MENURUT UNDANG-UNDNAG
NO 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT
A. Pengertian Advokat
Pengertian dari advokat atau pengacara adalah orang yang mewakili kliennya
untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan surat kuasa yang diberikan untuk
pembelaan atau penuntutan pada acara persidangan di pengadilan atau beracara di
pengadilan (litigasi). Sedang penasehat hukum adalah orang yang bertindak
memberikan nasehat-nasehat atau pendapat hukum terhadap suatu tindakan atau
perbuatan hukum yang akan dan yang telah dilakukan kliennya (non litigasi).8
Akan tetapi advokat atau pengacara di Indonesia selain berkecimpung pada
acara persidangan dipengadilan dalam perakteknya dapat juga mendampingi atau
mewakili seorang klien berdasarkan surat kuasa di luar pengadilan (non litigasi).
Misalkan saja mendampingi atau mewakili klien dalam negosiasi untuk mencapai
kesepakatan terhadap perkara yang diselesaikan diluar pengadilan atau istilah
populernya proses Alternative Dispute Resolution dan tindakan-tindakan hukum lain
atas nama klien yang bukan merupakan proses litigasi.9
8 Yudha Pandu, klien dan Penasehat Hukum dalam Perspektif Masa Kini, (Jakarta : PT Abadi, 2001), h. 11.
9 Ibid, h. 12.
15
16
Awalnya, istilah profesi hukum yang dimaksud terdapat penggunaan berbeda
antara istilah advokat, pengacara dan penasehat hukum. Sebagai contoh dalam
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 jo Undang-undang No 4 Tahun 2004 tentang
ketentuan-ketetuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menggunakan istilah
penasehat hukum di pasal 36, yaitu sebagai berikut :
“dimana setiap orang yang berperkara pidana berhak menghubungi dan
meminta bantuan penasehat hukum.”
Lain halnya, Departemen Kehakiman (Departemen Hukum dan HAM, red)
mempergunakan dua istilah dalam surat pengangkatan bagi mereka yang bergelar
sarjana hukum dan mempunyai pekerjaan tetap di bidang advocatuur, yakni pada
periode sebelum tahun 1970 mempergunakan istilah “advokat” dan pada periode
setelah tahun 1970 dengan nama “pengacara”. Menurut Martiman Projohamidjojo,
adanya perbedaan penggunaan istilah di tengah masyarakat hukum dikarenakan
karena belum adanya undang-undang yang mengatur perihal mengenai profesi yang
dimaksud.10
Tetapi kini aturan undang-undnag profesi jasa hukum mengistilahkannya
advokat, terlebih juga karena alasan pertimbangan segi pemaknaan bahasa. Dimana
istilah penasehat hukum memiliki kelemahan yang sifatnya mendasar. Karena istilah
penasehat secara konotatif bermakna pasif. Padahal secara normative dalam bab IV
10Martiman Prodjohamidjojo, Penasehat dan Bantuan Hukum Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), h. 6.
17
ketentuan Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili (RO) sifat pasif
maupun aktif dapat dilakukan seorang Advokat en Procureur dalam mengurus
sesuatu hal yang perlu pertimbangan hukum atau mengurus perkara yang dikuasakan
kepadanya.11 Untuk lebih jelasnya, definisi advokat bisa di lihat dalam Undang-
undang No. 18 Tahun 2003 tentang advokat pasal 1 ayat (1), Undang-undang tersebut
mengartikan advokat sebagai berikut :
“orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini.”
B. Sejarah Pemberian Jasa Hukum
Pada dasarnya, pemberian jasa hukum kepada para pihak yang bersengketa
telah berlangsung sejak lama. Dalam catatan sejarah peradilan islam, peraktek
pemberian hukum telah di kenal sejak jaman pra-Islam. Pada saat itu, meskipun
belum terdapat sistem peradilan yang terorganisir, setiap ada persengketaan
mengenai hak milik, hak waris, dan hak-hak lainnya sering kali diselesaikan melalui
bantuan juru damai atau wasit yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang
berselisih. Mereka yang ditunjuk pada waktu itu sebagai mediator adalah orang yang
11 M.P. Luhut Pangalibuan, Advokat dan Contempt of Court: Suatu Proses di Dewan Kehormatan Profesi, (Jakarta: Djambatan, 2002), h.7.
18
memiliki kekuatan supranatural dan orang yang mempunyai kelebihan di bidang
tertentu sesuai dengan perkembangan pada waktu itu12.
Pada masa pra-Islam pemberian bantuan jasa hukum itu harus memenuhi
beberapa kualifikasi. Diantara syarat yang penting bagi mereka adalah harus cakap
dan memiliki kekuatan supranatural dan adikrodati. Atas dasar persyaratan tadi, pada
umumnya pemberian jasa hukum itu terdiri atas ahli nujum. Karena itu dalam
pemeriksaan dan penyelesaian persengketaan dikalangan mereka lebih banyak
mengggunakan kekuatan firasat dari pada menghadirkan alat-alat bukti, seperti saksi
atau pengakuan. Pada waktu itu mereka berperaktek di tempat sederhana, misalnya di
bawah pohon atau kemah-kemah yang didirikan. Setelah di bangun sebuah gedung
yang terkenal di Mekkah, Darul al-Adawah, mereka berperaktek di tempat itu. Dalam
sejarah, gedung itu di bangun oleh Qusay bin Ka’ab. Pintu gedung itu sengaja
diarahkan ke Ka’bah.13
Pada waktu islam datang dan berkembang yang di bawa oleh Nabi
Muhammad, prektek pemberian jasa hukum terus berjalan dan dikembangkan sebagai
alternatif penyelesaian sengketa dengan memodifikasi yang pernah berlaku pada
masa pra-Islam. Hal-hal yang bersifat takhayul dan syirik mulai di eliminir secara
bertahap dan disesuaikan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pada awal
12 Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, Advokat Dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), Hal. 36.
13 Ibid, Hal. 36.
19
perkembangan Islam, maka tradisi pemberian bantuan jasa hukum lebih berkembang
pada masyarakat Mekkah sebagai pusat perdagangan untuk menyelesaikan sengketa
bisnis di antara mereka. Demikian juga lembaga jasa hukum yang berkembang di
Madinah sebagai daerah agararis untuk menyelesaikan masalah sengketa di bidang
pertaniaan. Pada perakteknya, Muhammad dalam memberikan bantuan jasa hukum
pada umatnya terkadang berperan sebagai advokat, konsultan hukum, penasehat
hukum dan arbiter.14
Dalam catatan sejarah, bahwa Nabi Muhammad SAW. Sebelum diangkat
menjadi Rosulullah pernah bertindak menjadi arbiter dalam perselisihan yang terjadi
dikalangan masyarakat Mekkah. Perselisihan itu berkaitan dengan peletakan kembali
Hajar Aswad ke tempat semula. Di kalangan Quraisy terjadi perselisihan siap yang
berhak meletakan kembali ketempat semula, karena masing-masing pihak saling
menuntut sehingga nyaris terjadi bentrokan fisik pada waktu itu. Akhirnya mereka
menemukan jalan keluar, yaitu menunjuk orang yang pertama kali datang ketempat
itu melalui melalui pintu Syaibah. Kebetulan Nabi Muhammad SAW. Datang terlebih
dalu melalui pintu tersebut, dan kaum Qurasy berseru, inilah al-Amin. Kami
menyetujui, dialah yang menyelesaikan perselisihan ini. Akhirnya Nabi Muhammad
berusaha untuk menyelesaikan sengketa itu dengan pendapatnya sendiri. Ternyata
mereka sepakat dan rela dengan keputusan yeng dilakukan oleh Muhammad itu.
14 Ibid, Hal. 36-37.
20
Pada awalnya, Nabi Muhammad SAW. Bertindak sebagai arbiter tunggal.
Selain menjadi wasit dalam perkara Hajar Aswad, Nabi juga sering menjadi wasit
dalam sengketa umat. Misalnya, dalam sengketa warisan antara Ka’ab ibnu Malik dan
Ibnu Abi Hardrad sebagai arbiter tunggal. Kemudian juga kepada Sa’id ibnu Muaz
dalam perselisihan diantara Abi Quraidh, Zaid Ibnu Sabit dalam perselisihan antara
Umar dengan Ubay ibnu Ka’ab tentang kasus Nahl dan sebagainya.15
Akan tetapi, setelah Islam berkembang keberbagai daerah, maka ia
memberikan kewenangan kepada sahabat lainnya untuk menjadi mediator yang
menyelesaikan persengketaan di antara mereka. Demikian juga lembaga yang
dipakainya ada yang permanen dan juga ad-hock yang disesuaikan dengan
perkembangan masyarakat. Para sahabat di tuntut oleh Nabi Muhammad agar
melakukan ijtihad dalam berbagai kasus yang tidak ada dalam Al-Qur’an atau As-
Sunnah, seperti yang pernah dilakukan oleh Muaz ibnu Jabal. Demikian juga Abu
Syuraih yang menjadi tahkim di antara para sahabat.
Perkembangan pemberian jasa hukum ini lebih berkembang pada masa
pemerintahan Umar Bin Khattab yang mulai melimpahkan wewenang peradilan
kepada pihak lain yang memiliki otoritas untuk itu. Lebih dari itu Umar ibnu Khattab
mulai membenahi lembaga peradilan untuk memulihkan kepercayaan umat terhadap
lembaga peradilan. Selain adanya lembaga arbitrase dengan sebaik-baiknya agar
15 Warkum Sumitro, Asas-asas PerbankanIslam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI dan Takaful) di Indonesia, (Jakrta: PT Raja Grafindo, 1986), Hal. 142.
21
mempu menjadi lembaga alternatif tempat penyelesaian sengketa bagi umat. Bahkan
Umar berhasil menyusun pokok-pokok pedoman beracara di peradilan (Risalat
Qadha) yang ditinjuk seorang qodhi, Abu Musa al Asy’ari. Salah satu prinsip yang
tercantum dalam risalah itu adalah pengukuhan terhadap kedudukan arbitrase.16
Dalam perkembangannya di penghujung Al-Khulafaurrasyidin pemberian jasa
hukum tidak hanya diterapkan pada masalah yang berhubungna dengan hukum
kelurga dan hukum bisnis, tetapi juga dalam bidang politik. Merambahnya peraktek
pemberian jasa hukum di bidang politik itu di pengaruhi oleh situasi dan kondisi
politik pada masa itu yang diwarnai dengan bentrokan-bentrokan fisik, khususnya
pada saat terjadi perselisihan kepemimpinan Usman ibnu Affan kepada Ali ibnu Abi
Thalib yang ditandai terbunuhnya Usman ibnu Affan pada waktu itu.
Sedangkan pada pemerintahan Bani Umayah dan pemerintahan Bani Abbas,
peranan pemberi bantuan hukum kurang menonjol, karena peradilan resmi yang di
bentuk pemerintah pada waktu itu dapat menjalankan fungsinya lebih baik. Akan
tetapi, di dalam perkembangnya setelah para hakim (qodhi) mulai berkurang untuk
berijtihad dan berpengaruh oleh birokrasi yang sangat dominan, sehingga lembaga
peradilan bentukan pemerintahan kredibilitasnya makin diragukan oleh umat
sehingga hilang kepercayaan kepada lembaga peradilan sebagai pintu keadilan.
Dalam situasi inilah, masyarakat mulai mendambakan kembali lembaga alternatif
16 Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, Advokat Dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), Hal. 37.
22
untuk menyelesaikan sengketa diperlukan kembali dengan prinsip cepat, tepat, dan
biaya lebih murah dengan putusan lebih memenuhi rasa keadilan bagi para pihak.17
Oleh karena itu, pembicaraan advokat dalam perspektif sejarah Islam tidak
bisa dilepaskan dengan perkembangan hukum Islam itu sendiri yang mengikuti
geraknya masyarakat pada waktu itu. Nabi Muhammad SAW. Sebagai figur tunggal
yang sangat dipercaya telah memberikan contoh bagi umat, tentang bagaimana beliau
menyelesaikan sengketa dengan cara yang dapat di terima oleh semua pihak tanpa
menimbulkan keraguan dan penyesalan. Demikian juga pada masa sahabat yang
mengikuti langkah-langkah Rasulnya yang telah menerapkan lembaga pemberian jasa
hukum ini dengan sebaik-baiknya sehingga keutuhan umat tetap terjaga setiap
sengketa dapat diselesaikan secara tuntas dengan memenuhi keadilan.
Apabila diperhatikan dari jalannya sejarah perkembangan pemberian bantuan
jasa hukum, dapat disimpulkan bahwa masalah yang timbul pada masa itu
sesungguhnya sangat kompleks. Yuridiksi pemberian jasa hukum tidak hanya
berkaitan dengan perkara bisnis saja, tetapi menyangkut masalah kelurga, politik,
perdagangan dan peperangan. Fenomena ini menjadi lapangan dan harapan advokat
yang sangat luas dan banyak peluang untuk lembaga jasa hukum yang sesuai dengan
perkembangan masalah dan kebutuhan umat di masa sekarang dan mendatang.
C. Peran, Fungsi Serta Tugas Advokat
17 Ibid, Hal. 38.
23
Sebagaimana di ketahui Indonesia merupakan Negara berperinsif hukum dan
bukan atas kekuasaan belaka sehingga hukum dijadikan sebagai panglima dalam
berkehidupan kebangsaan. Perinsif Negara hukum menuntut adanya jaminan
kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum tanpa memandang dari mana suku,
agama, ras, ideology dan warna kulitnya. Oleh karena itu konstitusi telah menentukan
bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum.
Oleh sebab itulah advokat harus menjadi garda terdepan dalam
memperjuangkan perlindungan dan kepastian hukum, advokat di tuntut untuk
membela kepentingan rakyat tanpa keberpihakan pada ketidak benaran dan keadilan.
Pembelaan pada semua orang termasuk juga kepada pakir miskin. Berbicara
mengenai pembelaan hukum terutama bentuan hukum secara Cuma-Cuma, Indonesia
mencatat kontribusi signifikan yang di berikan advokat. Menurut penelitian,
keterlibatan advokat dalam bantuan hukum Cuma-Cuma sebagian besar mengaku
pernah memberikan bantuan hukum Cuma-Cuma dan hanya sebagian kecil saja yang
mengatakan tidak pernah. Sebagian besar alasan advokat memberikan jasa hukum
secara Cuma-Cuma dilatar belakangi oleh alasan-alasan tanggung jawab moral dan
pertimbangan kemanusiaan semata. Selain kondisi ekonomi klien lemah dan tuntutan
profesi yang memiliki aspek muatan sosial.18
18 Binziad Kadfi, dkk, Advokat Indonesia Mncari Legitimasi, (Jakatrta: Pusat setudi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2002), h. 177-178.
24
Sedangkan menurut Bagir Manan, advokat selain membentuk hakim
mengungkap fakta yang benar dan menemukan hukum yang tepat agar hakim dapat
memutus secara benar dan adil, sekaligus advokat juga bisa dijadikan penyedia jasa
hukum yang berperkara atau sering disebut klien.19
Sebagai fasilitator dalam memberi jasa hukum advokat hanya berkaitan
dengan urusan kepentingan klien. Dimana kepentingan klien tidak semata-mata
kepentingan hukum, tetapi juga kepentingan lain seperti sosial, ekonomi yang
bertalian dengan persoalan hukum yang dihadapi. Seorang advokat tidak mencari,
dan membentuk klien dalam suatu proses hukum, tetapi juga memberi dan
menemukan jalan penyelesaian lebih mudah, lebih sederhana yang dapat melindungi
reputasi termasuk menghindarkan atau mencegah klien berperkara secara
berkepanjangan. Dengan kata lain jasa hukum sebagai profesi advokat, bukan saja
membantu klien berperkara tetapi juga membantu untuk menghindari atau tidak
berperkara.20
Tak sampai disitu saja, peran dan fungsi advokat juga berpengaruh terhadap
kesuksesan persidangan. Karena menurut penelitian, bahwa proses penjadwalan
persidangan kompromistik oleh advokat, membuat hakim merasa terbantu akan
19 Bagir Manan, “Peran advokat dalam penataan peradilan, “suara Uldilag II, No.4 (Februari
2004): h.4. 20 Ibid, H. 6.
25
keberlangsungan persidangan. Kerena dengan begitu penjadwalan akan terlihat
disiplin sesuai dengan apa yang di sanggupi dalam kompromi sebelumnya.21
Kemudian peran dan fungsi advokat dalam penyelesaian perkara sangat
meringankan beban seorang hakim. Maksudnya, beracara diperadilan sangat
membutuhkan pengetahuan seseorang tentang hukum materil dan formil. Jika saja
seorang warga buta hukum mengajukan suatu perkara hukum, dewan hakim tidak
jarang sangat disibukkan untuk mengarahkan bagaimana caranya membuat berkas
tuntutan yang benar. Tak jarang berkas-berkas perkaranya harus di revisi berulang-
ulang akibat ketidak jelasan inti permasalahan. Bahkan penghadiran para saksi yang
tidak tepat untuk memberikan keterangan bukti tentang duduk perkara yang
dipermasalahkan tidak jarang menjadi dilema besar. Tentunya dengan kejadian
tersebut, bisa memperpanjang waktu penyelesaian perkara, juga membengkakan
biaya yang harus dikeluarkan, terlebih lagi dewan hakim pun harus menguras tenaga
ekstra menunda sidang berkali-kali akibat yang berperkara tidak memenuhi syarat.22
Sehingga dapat disimpulkan advokat memiliki peran diantaranya, yaitu :23
Pertama, mempercepat penyelesaian administrasi persidangan di pengadilan, Kedua,
membantu mengahdirkan para pihak yang berperkara di pengadilan sesuai jadwal
21 Noryamin Aini, “Penggunaan jasa pengacara dalam kasus penceraian : studi kasus di PA Jaksel, “ AHKAM VI, No 14 (2004): h. 221-222.
22 Ibid, H 222. 23 Rahmat Rosyadi dan Sri Hartani, Advokat dalam Perspektif dan Hukum Positif, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2003), h, 70.
26
persidangan. Ketiga, memberikan pemahaman hukum yang berkaitan dengan duduk
perkara dan posisinya, terhadap para pihak dalam menyampaikan permohonan atau
gugatan atau menerima putusan pengadilan. Keempat, mendampingi para pihak yang
berperkara di Pengadilan Agama misalnya, sehingga yang didampingi merasa
terayomi keadilannya. Kelima, mewakili para pihak yang tidak dapat hadir dalam
proses sidang lanjutan, sehingga memperlancar proses persidangan. Keenam, dalam
memberikan bantuan hukum, sebagai advokat profesional tetap menjunjung tinggi
sumpah advokat, kode etik profesi dalam menjalankan peran sesuai dengan tugas dan
fungsinya.
Sedangkan fungsi advokat, yaitu diantaranya:24 pertama, sebagai pengawal
konstitusi dan memperjuangkan tegaknya hak asasi manusia dalam Negara hukum
Indonesia. Kedua, menjunjung tinggi serta mengutamankan nilai keadilan, kebenaran
dan moralitas sesuai apa yang menjadikan advokat sebagai profesi yang terhormat
(offecium nobile). Ketiga, berfungsi sebagai pemberi nasehat hukum, klien hukum,
konsultan hukum, pendapat hukum, pemberi informasi hukum serta membantu dalam
penyusunan kontrak-kontrak (legal Drafting). Keempat, membela kepentingan klien
dan mewakilinya dalam proses pengadilan. Kelima, memberikan bantuan hukum
dengan Cuma-Cuma atau sukarela kepada rakyat lemah dan tidak mampu (legal aid).
24 Ibid, h. 85-86.
27
Tugas adalah kewajiban, sesuatau yang wajib dilakukan atau ditentukan untuk
dilakukan. Tugas advokat berarti suatu yang wajib dilakukan oleh advokat dalam
memberikan jasa hukum kepada masyarakat/kliennya. Oleh karena itu, advokat dalam
menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada negara, masyarakat, pengadilan,
klien dan pihak lawannya. Persepsi masyarakat terhadap tugas advokat sampai saat
ini masih banyak yang salah paham. Mereka menganggap bahwa tugas advokat hanya
membela di pengadilan dalam perkara perdata, pidana dan tata usaha negara di
hadapan kepolisian, kejaksaan, dan di pengadilan. Sessungguhnya pekerjaan advokat
tidak hanya bersipat litigasi, tetapi mencangkup tugas lain diluar pengadilan bersifat
nonlitigasi.25
Tugas advokat bukanlah merupakan pekerjaan (vocation beroep), tetapi lebih
merupakan profesi. Karena profesi advokat tidak sekedar bersifat ekonomis untuk
mencari nafkah, tetapi mempunyai nilai sosial yang lebih tinggi di dalam masyarakat.
Profesi advokat di kenal sebagai profesi mulia (officium nobile), karena mewajibkan
pembelaan kepada semua orang tanpa membedakan latar belakang ras, warna kulit,
agama, budaya, sosial-ekonomi, kaya-miskin, keyakinan politik, gender, dan ideologi.
Tugas advokat adalah membela kepentingan masyarakat (public defender) dan
kliennya. Advokat dibutuhkan pada saat seseorang atau lebih anggota masyarakat
menghadapai suatu masalah atau problem di bidang hukum. Sebelum menjalankan
pekerjaannya, ia harus di sumpah terlebih dahulu sesuai dengan agama dan
25 Ibid, H 84-85.
28
kepercayaannya masing-masing. Dalam menjalankan tugasnya, ia juga harus
memahami kode etik advokat sebagai landasan moral.26
Tugas advokat dalam memberikan jasa hukum kepada masyarakat tidak
terinci dalam uraian tugas, karena ia bukan pejabat negara sebagai pelaksana hukum
seperti halnya polisi, jaksa dan hakim. Ia merupakan profesi yang bergerak di bidang
hukum untuk memberikan pembelaan, pendampingan dan menjadi kuasa untuk dan
atas nama kliennya. Ia disebut benteng hukum atau garda keadilan dalam
menjalankan fungsinya.27
Tugas dan fungsi dalam sebuah pekerjaan atau profesi apapun tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnya. Karena keduanya merupakan sistem kerja yang
saling mendukung. Dalam menjalankan tugasnya, seorang advokat harus befungsi:28
a. Sebagai pengawal konstitusi dan hak asasi manusia;
b. Memperjuangkan hak-hak asasi manusia dalam negara hukum Indonesia;
c. Melaksanakan kode etik advokat;
d. Memegang teguh sumpah advokat dalam rangka menegakkan hukum,
keadilan dan kebenaran;
26 Ibid, hal, 84. 27 Ibid hal. 84-85. 28 Ibid, Hal 85.
29
e. Menjunjung tinggi serta mengutamakan idealisme (nilai keadilan dan
kebenaran) dan moralitas;
f. Menjunjung tinggi citra profesi advokat sebagai profesi terhormat (officium
nobile);
g. Melindungi dan memelihara kemandirian, kebebasan, derajat dan martabat
advokat;
h. Menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan advokat terhadap masyarakat;
i. Menangani perkara-perkara sesuai kode etik advokat;
j. Membela klien dengan cara yang jujur dan bertanggung jawab;
k. Mencegah penyalahgunaan keahlian dan pengetahuan yang merugikan
masyarakat;
l. Memelihara kepribadian advokat;
m. Menjaga hubungan baik dengan klien maupun dengan teman sejawat antara
sesama advokat yang didasarkan kepada kejujuran, kerahasiaan dan
keterbukaan, serta saling menghargai dan mempercayai;
n. Memelihara persatuan dan kesatuan advokat agar sesuai wadah tunggal
organisasi advokat;
o. Memberi pelayanan hukum (legal service);
p. Memberi nasehat hukum (legal advice);
q. Memberi konsultasi hukum (legal konsultation);
r. Memberi pendapat hukum (legal opinion);
s. Menyusun kontrak-kontrak (legal drafting);
30
t. Memberi informasi hukum (legal imformation);
u. Membela kepntingan klien (litigation);
v. Mewakili klien di muka pengadilan (legal representation);
w. Memberikan bantuan hukum dengan Cuma-Cuma kepada rakyat lemah dan
tidak mampu (legal aid).
Dengan demikian, seorang advokat dalam membela, mendampingi, mewakili,
bertindak, dan memulai tugas dan fungsinya harus selalu memasukkan kedalam
pertimbangannya kewajiban terhadap klien, pengadilan, diri sendiri, negara terlebih
kepada Allah SWT. Untuk mencari kebenaran dan menegakkan keadilan.
Profesi advokat ini akan terpandang mulia di hadapan masyarakat apabila ia
sendiri bisa menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pemberi jasa hukum kepada
masyarakat yang membutuhkan. Terjadinya pergeseran tugas dan fungsi ini dari
pemberi bantuan hukum secara prodeo menjadi pemberian jasa hukum profesional
mengakibatkan banyak peraktek menyimpang dari para advokat. Dengan prilaku ini,
advokat tidak lagi menjadi benteng hukum atau garda keadilan, tetapi secara tidak
disadari telah menjadi propokator bidang hukum untuk sebuah kepentingan advokat
dalam memanfaatkan kliennya.
D. Kode Etik Advokat
Kode etik atau sumpah profesi adalah merupakan perangkat moral yang
sesungguhnya mesti ada pada semua profesi termasuk di dalamnya profesi advokat.
Objek material dari etika adalah moralitas yang melekat pada suatu profesi. Etika
dalam perspektif Islam bisa diidentikan dengan akhlakulkarimah. Secara etimologis
dapat diartikan sebagai “kebiasaan kehendak”.29 Kebiasaan yang dimaksud adalah
perbuatan dan perilaku yang baik, terukur dan berlangsung terus-menerus. Seseorang
yang biasa berbuat adil dalam segala hal, di manapun ia akan selalu berbuat adil yang
menjadi akhlak bagi dirinya. Etika mestinya tertanam dalam hati nurani setiap profesi
hukum seperti halnya advokat dalam menjalankan perannya, agar selalu berada di
jalan yang benar menurut hukum dan bukan benar menurut interest pribadi.
Profesi advokat selaku penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak
hukum lainnya oleh karena itu, satu sama lainnya harus saling menghargai antara
teman sejawat dan juga antara penegak hukum lainnya. Oleh karena itu setiap
advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan
menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya di awasi
oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus
diakui oleh advokat tanpa melihat dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan
29 Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak, (Jakrta: Bulan Bintang, tt), Hal. 62.
31
32
menjadi anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat
pengakuan dan kepatuhannya terhadap kode etik yang berlaku.
Berkaitan dengan kode etik advokat,30 diartikan sebagai pengaturan tentang
prilaku anggota-anggota, baik dalam interaksi sesama anggota atau rekan anggota
organisasi advokat lainnya maupun dalam kaitannya di muka pengadilan, baik
beracara di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan. Muhammad Sanusi,31
mendefinisikan kode etik profesi penasehat hukum sebagai ketentuan atau norma
yang mengatur sikap, perilaku dan perbuatan yang boleh atau tidak boleh dilakukan
seseorang penasehat hukum dalam menjalankan kegiatan profesinya, baik sewaktu
beracara di muka pengadilan maupun di luar pengadilan.
Secara sistematis, kode etik advokat32 yang telah disepakati oleh asosiasi atau
organisasi profesi itu dibagi dalam ketentuan-ketentuan pokok sebagai berikut :33
1. Kode Etik yang Berkaitan dengan Sikap, Perilaku, dan Keperibadian
Penasehat Hukum Pada Umumnya.
2. Hubungan Penasehat Hukum dengan Kliennya.
30 Ropuan Rambe, Tehnik Praktek Advokat, (Jakarta: Grasindo, 2001), Hal. 45. 31 Muhamad Sanusi, Kode Etik Penasehat-Penasehat: Pengertian, Penjabaran, dan
Penerapannya, (Jakarta: Kompilasi Khusus Advokat AAI, 1997), Hal. 9. 32 Kode etik advokat yang telah disepakati tanggal 4 April 1996 oleh IKADIN, AAI, IPHI 33 Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, Advokat Dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), Hal. 89-94.
33
3. Seorang Penasehat Hukum Harus Menjaga Hubungan Sesama Teman
Sejawat.
4. Sikap dan Tindakan Penasehat Hukum dalam Menangani Perkara dan
Menghadapi Lawan Perkara.
5. Ketentuan-Ketentuan Lain.
Dalam kode etik advokat, selain mengatur hubungan-hubungan sebagaimana
disebutkan diatas, juga mengatur ketentuan-ketentuan lain sebagai berikut :
a. adanya larangan pemasangan iklan yang semata-mata untuk menarik
perhatian, demikian pula pemasangan papan-papan nama dengan
ukuran dan bentuk yang berlebihan.
b. penasehat hukum harus menunggu permintaan dari klien dan tidak
boleh menawarkan jasanya, baik langsung maupun tidak langgung,
misalnya broker perkara (calo).
c. kantor penasehat hukum dan cabangnya di Indonesia tidak dibenarkan
diadakan di suatu tempat yang dapat merugikan kedudukan penasehat
hukum, misalnya di rumah atau di kantor seseorang yang bukan
penasehat hukum.
34
d. Penasehat hukum dapat menerima pesanan dari seorang wakil yang
bertindak atas nama calon klien, tetapi ia harus berusaha supaya
berhubungan langsung dengan klien menerima keterangan dari klien
sendiri.
e. Penasehat hukum tidak dibenarkan mengizinkan orang yang bukan
penasehat hukum dengan mencantumkan namanya di papan nama
kantor penasehat hukum atau mengizinkan orang yang bukan
penasehat hukum itu untuk memperkenalkan dirinya sebagai penasehat
hukum.
f. Penesehat hukum tidak dibenarkan mengizinkan karyawan-
karyawannya yang tidak mempunyai kompetensi untuk mengurus
perkara sendiri, memberi nasehat kepada klien dengan lisan atau
tulisan.
g. Penasehat hukum tidak dibenarkan melalui media masa mencari
publikasi bagi dirinya atau untuk menarik perhatian masyarakat
mengenai tindakan-tindakanya sebagai penasehat hukum mengenai
perkara-perkara yang sedang atau telah ditanganinya, kecuali apabila
keterangan yang ia berikan itu bertujuan untuk menegakkan prinsip-
prinsip hukum yaitu yang wajib diperjuangkan oleh setiap penasehat
hukum.
35
h. Nama seorang penasehat hukum yang diangkat untuk suatu jabatan
Negara tidak dibenarkan untuk tetap dipergunakan oleh kantor di mana
dahulu ia bekerja.
i. Seorang penasehat hukum yang sebelumnya menjadi hakim/panitra
dari suatu pengadilan, tidak dibenarkan untuk memegang perkara di
pengadilan yang bersangkutan selama tiga tahun semenjak ia berhenti
dari pengadilan tersebut.
6. Sikap dan Tingkah Laku Penasehat Hukum Kepada Hukum, Undang-
undang/Kekuasaan Umum, Badan Peradilan dan Pejabatnya.
Kode etik advokat bukan hanya sederetan peryataan-peryataan yang
menetukan bagaimana advokat harus bertindak dan berprilaku terhadap satu dengan
lainya. Pada tingkat praktis, ia harus menjiwai advokat dalam manjalankan perannya
sebagai benteng keadilan. Oleh karena itu, pelaksanaan kode etik harus di bawah
pengawasan sesuatau lembaga yang kompeten terhadap advokat. Pelaksanaan kode
etik ini di awasi oleh suatu badan yang mempunyai otoritas yaitu dewan kehormatan,
baik yang berada di cabang atau pusat. Cara beracara di persidangannya dan sanksi
atas pelanggaran kode etik ditentukan sendiri.
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG ADVOKAT MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Dan Tujuan Hukum Islam
1. Pengertian Hukum Islam
Kata hukum yang berakar kata ( حكم ) mengandung makna mencegah atau
menolak, yaitu mencegah ketidakadilan, mencegah kezhaliman, mencegah
penganiyaan dan menolak untuk kemafsadatan lainnya.34
Hukum islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari al-
fiqh al-Islamy atau dalam keadaan konteks tertentu dari as-syari’ah al-Islamy. Istilah
ini dalam hukum barat disebut Islamic law. Dalam Al-qur’an dan Sunnah, istilah Al-
hukm al-Islam tidak ditemukan. Namun yang digunakan adalah kata Syari’at Islam.
Yang kemudian dalam penjabarannya disebut istilah Fiqh.
35هنة عيق ف وى الاثبا ت سئ ع Artinya:
“menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu dari padanya”.
34 Zainuddin Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia). Jakarta; Sinar Grafika, 2006, Cet.1. Hal 1.
35 Ibid Hal. 1
36
37
Dalam perkembangan ilmu fiqh/ushul fiqh yang demikian pesat, para ulama
ushul fiqh telah menetapkan definisi hukum islam secara terminologi diantaranya
dikemukakan oleh Al-Badhawi dan Abu Zahra sebagai berikut:
36 عض الوو ارييخ التو ااءضتاال ق بنيفلك الما ل فعاق بلعت اهللا الما بطخ
Artinya:
Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntunan, pilihan, maupun bersifat wadl’iy”.
37 اعض وو اارييخ توا ابل طنيفلك الما ل فعاق بلعت اهللا الما بطخ
Artinya:
“khitab (titah) yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf yang bersifat memerintah terwujudnya kemaslahatan dan mencegah terjadinya kejahatan, baik titah itu mengandung tuntunan (perintah dan larangan) atau semata-mata menerangkan pilihan (kebolehan memilih) atau menjadikan sesuatau sebagai sebab, syarat atau pengahalang terhadap sesuatu hukum”.
Uraian diatas memberi asumsi bahwa hukum yang dimaksud adalah hukum
islam, sebab kajiannya dalam perspektif hukum islam. Maka yang dimaksud pula
adalah hukum syara’ yang bertalian dengan perbuatan manusia dalam ilmu fiqh,
bukan hukum yang bertalian dengan aqidah dan akhlak.38
Penyebutan hukum islam sering dipakai sebagi terjemahan dari syari’at Islam
atau fiqh Islam. Apabila syari’at Islam di terjemahkan sebagai hukum islam (hukum
36 Ibid Hal. 2. 37 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), Hal. 26. 38 Zainuddin Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia). Jakarta; Sinar
Grafika, 2006, Cet.1. Hal 2.
38
in abstracto), maka berarti syariat Islam yang dipahami dalam makna yang sempit,
karena kajian syariat Islam meliputi aspek I’tiqadiyah, khuluqiyah, dan amal syr’iyah.
Sebaiknya bila hukum islam menjadi terjemahan dari fiqh Islam, maka hukum Islam
termasuk bidang kajian ijtihadi yang bersifat dzanni.39
Namun demikian, untuk mendapatkan pemahaman yang benar tentang hukum
islam, maka menurut H. Mohammad Daud Ali yang harus dilakukan sebagai
berikut:40
1. Mempelajari hukum Islam dalam kerangka dasar, dimana hukum Islam
menjadi bagian yang utuh dari ajaran Dinul Islam.
2. menempatkan hukum Islam pada suatu kesatuan
3. dalam aplikasinya saling memberi keterkaitan antara syari’ah dan fiqh yang
walaupun dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan.
4. dapat mengatur tata hubungan kehidupan, baik secara vertikal maupun
horizontal.
Berdasarkan hal diatas maka definisi hukum Islam adalah koleksi daya upaya
para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas hubungan masyarakat. Dalam
khazanah hukum Islam di Indonesia. Istilah hukum Islam dipahami sebagi
penggabungan dua kata hukum dan Islam. Hukum adalah seperangkat aturan tentang
39 Ibid, Hal.2. 40 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam(Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia).(Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006). Hal. 18.
39
tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu negara atau masyarakat yang
berlaku dan mengikat seluruh anggotanya. Kemudian kata hukum disandarkan pada
kata Islam, jadi dapat dipahami bahwa hukum Islam adalah peraturan yang
dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rosulullah tentang tingkah laku
mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini
berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama Islam.
2. Tujuan Hukum Islam
Tujuan utama dari syari’ah adalah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga
katagori hukum. Yang disebut sebagai Daruriyyat, Hajiyyat, dan Tahsiniyyat.41
Tujuan dari masing-masing katagori tersebut adalah untuk memastikan bahwa
kemaslahatan (masalih) kaum muslimin, baik di dunia maupun diakhirat, terwujud
dengan cara yang terbaik.
Tujuan hukum Islam adalah untuk memenuhi kepentingan, kebahagian,
kesejahteraan, dan keselamatan hidup manusia di dunia dan di akhirat.42 Oleh karena
itu, apabila hukum positif yang tidak berasaskan Al-Quran dan Al-Hadist
dibandingkan dengan tujuan hukum islam, maka ditemukan bahwa tujuan hukum
Islam lebih tinggi dan bersifat lebih abadi artinya tidak terbatas kepada lapangan
41 Wael B Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, (Jakrta: Raja Grafindo Persada, 2001). Hal 247-248.
42 Zainuddin Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia). Jakarta; Sinar
Grafika, 2006, Cet.1. Hal. 13.
40
materi yang bersifat sementara. Sebab faktor-faktor individu, masyarakat, dan
kemanusiaan pada umumnya selalu diperhatikan dan dirangkaikan satu sama lain, dan
dengan hukum Islam dimaksudkan dengan kebaikan semua dapat terwujud. Dalam
lapangan ibadah misalnya, shalat, puasa, zakat dan haji. Hal ini dimaksudkan untuk
membersihkan jiwa dan mempertemukannya dengan Tuhan, kesehatan jasmani dan
kebaikan individu maupun masyarakat bersama-sama dengan berbagai aspeknya. Hal
tampak lapangan muamalat (hubungan sesama manusia) dengan segala aspeknya.
Tujuan dimaksud tampak jelas, seperti yang terlihat pada aturan peraktek hukum
Islam yang menguasai lapangan tersebut. Diantara kaidah aturannya yang berbunyi
sebagai berikut:
43عافن المبل جلى عمدق مارض المفعد
“menolak keburukan mendahulukan atas mendatangkan kebaikan”.
44 ةصا ل الححالص الملىة عقدم مةم االحالصالم
“kepentingan umat harus didahulukan atas kepentingan –kepentingan pribadi”
Secara garis besar tujuan hukum Islam dapat dilihat dari dua aspek, yaitu :
1. kalau dilihat dari aspek pembuat hukum (Allah dan Nabi Muhammad), maka
tujuan hukum Islam adalah untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang
43 Zainuddin Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia). Jakarta; Sinar Grafika, 2006, Cet.1. Hal. 13.
44 Ibid, Hal. 15.
41
bersifat primer, sekunder, dan tertier (istilah fiqh disebut Daruriyyat, hajiyyat,
dan tahsiniyyat). Selain itu adalah untuk ditaati dan dilaksanakan oleh
manusia dalam kehidupan sehari-hari serta meningkatkan kemampuan
manusia untuk memahami hukum Islam melalui metodologi pembentukannya
(ushul al fiqh).
2. kalau dilihat dari segi pelaku hukum dan pelaksana hukum Islam (manusia),
maka tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai kehidupan yang bahagia.
Caranya yaitu mengambil yang bermanfaat dan menolak yang tidak berguna
bagi kehidupan. Singkat kata adalah untuk mencapai keridhaan Allah dalam
kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
B. Status Hukum Dalam Hukum Islam
Macam-macam hukum adalah sebagi berikut :45
1. Al-Ijab, yaiut tuntutan secara pasti dari syariat untuk dilaksanakan dan tidak
boleh (dilanggar) ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenai
hukuman. Istilah al-ijab terkait dengan khitab (firman) Allah SWT disebut al-
wajib (perbuatn yang dituntut oleh khitab Allah SWT).
2. An-Nadh, yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbutan, tetapi tuntutan
itu tidak secara pasti. Seorang tidak di larang untuk meninggalkannya, karena
orang yang meninggalkan tuntutan tersebut tidak dikenai hukuman.
45 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Bara Van Hove, 1999), Cet, Ke-2, Hal. 572.
42
3. Al-Ibahah, yaitu khitab (firman) Allah SWT yang mengandung pilihan antara
berbuat atau tidak. Akibat khitab Allah SWT ini disebut juga dengan Al-
Ibahah, dasn perbuatn yang boleh dipilih itu disebut Al-mubah.
4. Al-Karahah, yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi
tuntutan itu di ungkapkan melalui reaksi yang pasti. Seseorang yang
mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk meninggalkan itu tidak dikenai
hukuman. Akibat dari tuntunan itu disebut Al-Karahah, dan perbuatan yang
dituntut untuk meninggalkan itu disebut dengan Al-Makruh.
5. At-Tahri, yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan
tuntutan yang pasti. Akibat dari tuntutan ini disebut Al-Hurmah dan perbuatan
yang dituntut disebut dengan Al-Haram.
C. Landasan Hukum Advokat Dalam Islam
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa advokat merupakan profesi yang mulia
karena perannya terhadap masyarakat dalam bidang hukum dan keadilan, advokat
lebih memprioritaskan hak-hak asasi manusia ketimbang dirinya terhadap pencapaian
kepentingan ekonomis.
Sesungguhnya Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber hukum yang
selalu menyerukan kepada kebajikan dan tanggung jawab moral yang tinggi. Menurut
Al-Qur’an rasa tanggung jawab yang komprehensif dapat menjamin hak-hak dasar
manusia. Bukan sebaliknya, dan orang yang merefleksikan tanggung jawab moral
43
tadi adalah dalam kemenangan. Sebagaimana Allah menjelaskan dalam firman-Nya
dalam surat Al-Imran ayat 104-105 :46
☺ ☺ .
⌧ ⌧
⌧ .
Artinya :
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”. (QS Al-Imran : 104-105).
Dalam ayat lain yang lebih tegas mengharamkan perbuatan yang melanggar
hak-hak asasi manusia. Dalam Al-Qur’an surat Al-A’raaf ayat 33 :47
☺ ⌧
Artinya :
46 Ahmad Toha Putra, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Asy Syifa’, 2000), Hal. 122. 47 Ibid, Hal. 323.
44
“Katakanlah: "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS Al-A’raaf :33)
Dalam sebuah hadist riwayat Tabrani agar berbuat kebajikan tanpa membeda-
bedakan golongan yaitu:
48 اراح فو اانا آران بسن الآى ل اانسح ا واس النلىد ادو التانم االيدع بقل العاسر
Artinya :
“kepala akal sesudah iman adalah berkasih-kasihan kepada manusia dan membuat kebajikan kepada segala orang, baik orang itu shaleh atau fasik”.
Al-Qur;an dan As-Sunnah banyak memberi bimbingan etika pada pihak yang
memasuki dunia hukum yang lainnya, maka bimbingan etika dari Rasulullah berlaku
juga bagi para advokat sebagai pihak yang terlibat dalam pengambilan putusan hakim
diantara hadist yang menjelaskan tentang para penegak hukum dalam peradilan salah
satunya:
ضقى فض القيل ونم : مل س وهيل اهللا على اهللا صلوس رالق : لا قنه ع اهللايض رةريرى هب انع 49 )رواه احمد و االربعة وصححه ابن حبان (نيك سريغ بحبذ
Artinya :
“dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: barang siapa memegang kekuasaan pengadilan, maka sesungguhnya ia telah menyembelih dirinya tanpa dengan pisau (HR. Ahmad Al-Arba’ah dan Ibnu Hibban mensyahihkan).”
48 T.M. Hasby ash Shiediqy, Al-Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1952), Cet, ke-1,, Hal. 464. 49 Ibid, hal. 464.
45
Hadist ini menjadi peringatan keras bagi para ahli hukum yang terlibat dalam
proses peradilan dan bagi orang yang memasuki dunia peradilan, hal ini dinyatakan
dalam lafadz dzubiha yang berarti menjerumuskan diri50.
Dari beberapa penjelasan ayat Al-Qur’an dan Hadist diatas tampak Islam
mengakomodasikan segala urusan umat manusia, tak terkecuali yang berkaitan
dengan hukum. Dengan diterapkannya hukum, maka hidup manusia akan mencapai
keteraturan dan kedamaian. Dalam penerapannya ada tujuan penting yang hendak
dicapai yaitu terpenuhinya rasa keadilan umat manusia, sebagaimana firman Allah
SWT pada surat Al-Maidah ayat 8 :51
⌧
☺ ☺
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maa’idah : 8)
Ayat diatas menunjukan bagaimana Allah SWT lewat ajaran Islam
mengajarkan kepada orang-orang yang beriman untuk menegakkan kebenaran dan
50 Ibid, Hal. 464. 51 Ahmad Toha Putra, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Hal. 226.
46
bersikap adil. Kandungan ajaran Islam ini pun sesuai dengan prinsip dasar bagi para
aparat hukum, baik itu hakim, jaksa dan khususnya bagi profesi yang diangkat pada
tulisan ini yaitu advokat. Hal ini sesuai dengan filsafah bangsa Indonesia, yaitu
pancasila yang berkaitan dengan peradilan yang meracu pada sila “keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia”.
Adapun maksud adil dalam Islam disini adalah seperti apa yang dijelaskan
Ibnu Katsir tentang definisi keadilan. Ibnu Katsir dalam magnum opusnya “Tafsir
Ibnu Katsir” ketika menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan keadilan
menyesuaikan dengan konteks ayatnya. Berikut ini dalam tafsirnya mengenai definisi
keadilan52:
“ Allah SWT menyuruh orang yang beriman untuk berbuat adil dalam
perbuatan dan perkataan, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Keadilan
yang dimaksud adalah keadilan menyampaikan hak kepada yang berhak
membutuhkannya dengan cara yang tepat, dan juga menyampaikan hak bagi setiap
orang dalam setiap waktu dan tempatnya.”
Mengenai keberadaan advokat dipengadilan telah banyak dinyatakan dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadist telah diperaktekan pada masa Rasulullah SAW, Sahabat dan
generasi sesudahnya. Di antara ayat Al-Qur’an yang mengandung pedoman mengenai
52 Muhammad Al As-Shabuni, Mukhtashor Tafsir Ibnu Kasir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), Jilid 1 Hal. 633.
47
peraktekadvokat di pengadilan yaitu firman Allah SWT dalam surat Al-Anbiyaa’ ayat
78-79:53
☺ ☺ ⌧
⌧ ☺ ⌧ . ☺ ⌧ ☺ ⌧ ☺ ☺
Artinya :
“ Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan Keputusan mengenai tanaman, Karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. dan adalah kami menyaksikan Keputusan yang diberikan oleh mereka itu, Maka kami Telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) dan kepada masing-masing mereka Telah kami berikan hikmah dan ilmu dan Telah kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. dan kamilah yang melakukannya. (QS. Al-Anbiyaa’ 78-79).
Sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan manusia yang semakin
beragam dalam penyelesaian hukum, advokat dalam pengertian positif di masa kini
memiliki system dan ruang lingkup kerja yang lebih luas dan modern.
53 Ahmad Toha Putra, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Hal. 698
BAB IV
ANALISIS ADVOKAT MENURUT UNDANG-UNDANG DAN HUKUM
ISLAM
A. Peran Advokat Dalam Pemberian Jasa Hukum Di Pengadilan Agama
Menurut Undang-Undang.
Peran advokat54 dalam memberikan jasa hukum bagi kepentingan klien
dengan tujuan untuk memberikan islah bagi para pihak yang bersengketa sangat
menentukan. Dimaksud peran disini adalah bagaimana ia dapat menjalankan
profesinya sesuai dengan tugas dan fungsinya serta kode etik dan sumpah advokat.
Sedangkan yang dimaksud dengan pemberian jasa hukum yang dilakukan advokat
adalah mendampingi, menjadi kuasa, memberikan advise hukum kepada klien baik
bersifat sosial; pro boo publico maupun atas dasar mendapat kan honorarium/fee.
Menurut Ropuan Rambe,55 dalam menjalankan profesinya seorang advokat
harus memegang teguh sumpah advokat dalam rangka menegakkan hukum, keadilan
dan kebenaran. Advokat adalah profesi yang bebas; free profession; vrij beroep, yang
tidak tunduk pada hirarki jabatan dan tidak tunduk pada perintah atasan, dan hanya
54 Dalam penjelasan RUU Advokat disebutkan bahwa pada perakteknya peran pemberian bantuan hukum, dilakukan advokat secara litigasi dan nonlitigasi. Jasa bantuan hukum dibagi manjadi jasa hukum litigasi dan jasa hukum nonlitigasi. Jasa hukum litigasi adalah jasa hukum yang berkenaan dengan perselisihan hukum atau perkara didalam atau diluar pengadilan dan arbitrase. Sedangan jasa hukum nonlitigasi adalah jasa hukum diluar bidang jasa hukum litigasi.
55 Ropuan Rambe, Tehnik Peraktek Advokat, Grasindo, Jakarta, 2001, Hal. 33 dan 37.
48
49
menerima perintah atau order atau kuasa dari clien berdasarkan perjanjian yang
bebas, baik yang tertulis ataupun yang tidak tertulis, yang tunduk pada kode etik
advokat, dan tidak tunduk pada kekuasaan publik.
Selama ini terdapat kesan pro dan kontra di masyarakat terhadap peran
advokat yang berperaktek di pangadilan. Bagi yang kontra memberi kesan negatif
sedangkan bagi yang pro memberi kesan positif terhadap kehadiran dan peran
advokat di pengadilan agama. Terdapat kesan negatif sebagian masyarakat bahwa
untuk mendapatkan jasa hukum sekarang ini memerlukan biaya tinggi dan membuat
rumit masalah yang di anggap sederhana, sehingga lambat dalam penyelesaiannya.
Akan tetapi, pihak lain ada kesan positif masyarakat, bahwa untuk berperkara di
pengadilan dengan mengggunakan jasa advokat, dapat memudahkan urusan
administratif dan juga memberikan kepuasan serta dapat memenuhi rasa keadilan
sekalipun dalam posisi salah.56
Oleh karena itu, seorang advokat yang akan melakukan peraktek litigasi di
pengadilan agama untuk mendampingi atau menjadi kuasa atas nama kliennya agar
mendapat simpatik dari masyarakat, tentu terus mengikuti hukum acara yang berlaku
di pengadilan agama. Dengan mengikuti atuaran ini dapat meminimalkan perektek
yang menyimpang, sehingga dapat di pertanggungjawabkan prosedurnya. Prosedur
mendapatkan jasa hukum advokat adalah berkaitan dengan aturan baku yang
56 Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, Advokat Dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), Hal. 64-65.
50
ditetapkan hukum acara di lingkungan peradilan agama maupun aturan
kepengacaraan yang berlaku.
Mengenai hukum acara yang berlaku di lingkungan pengadilan agama, diatur
dalam Bab IV UU No. 7 Tahun 1989, Jo Undang-undang N0 3 Tahun 2006 mulai
Pasal 54-105. pasal 54, menyatakan:
“hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama adalah Hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-
undnag ini.”
Menurut Wirjono Projodikoro,57 yang dimaksud dengan hukum acara perdata
adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang terus
bertindak terhadap dan dimuka peradilan dan cara bagaimana peradilan itu harus
bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata.
Keberadaan advokat untuk berperan dalam memberikan jasa hukum kepada
pihak-pihak yang bersengketa dalam perkawinan, khususnya perceraian diatur
melalui Undang-undang No 7 Tahun 1989 Jo, UU No 3 Tahun 2006 Tentang
Peradilan Agama, pasal 73 ayat (1) sebagai berikut.58
57 Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, 1978, Hal. 13. 58 Basiq Djalil, Peradilan agama Di Indonesia (Jakarta : Kencana 2006), Hal. 207.
51
“gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat, kecuali apabila
penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin
tergugat.”
Pasal ini mengatur gugatan cerai yang dilakukan istri terhadap suaminya, baik
secara langsung kepengadilan agama mapun melalui jasa hukum seorang advokat
dengan menggunakan suarat kuasa kepada advokat untuk melakukan tindakan
hukum. Surat kuasa adalah suatu dokumen penting yang melahirkan perjanjian antara
pihak klien dan advokat. Tanpa surat kuasa dari para pihak, maka advokat tidak
mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan hukum apapun yang
mengatasnamakan para pihak dalam menyelesaikan perkara.
Secara umum pengertian surat kuasa adalah suatu dokumen dinana isinya
seorang menunjuk dan memberi wewenang pihak lain untuk melakukan perbuatan
hukum untuk dan atas namanya.59 Sedangkan menurut pasal 1792 BW pemberian
kuasa adalah sebagi berikut.
“suatu persetujuan yang berisikan pemberian kuasa kepada orang lain yang
menerima untuk melaksanakan sesuatu untuk atas nama orang ynag memberikan
kuasa.”
59 Yudha Pandu, Klien dan Penasehat Hukum Dalam Perspektif Masa Kini, PT Abadi, Jakarta, 2001, Hal. 95.
52
Dimaksud dengan melaksanakan suatu urusan menurut pasal 1792 BW diatas
adalah melaksanakan perbuatan hukum yaitu perbuatan yang melahirkan akibat
hukum yang berupa hak dan kewajiban yang mengikat. Oleh karena itu, tujuan surat
kuasa adalah untuk membuktikan adanya pemberian kekuasaan kepada penerima
kuasa (advokat) untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk atas nama pemberi
kuasa, yaitu perbuatan hukum berupa hak dan kewajiban.
Surat kuasa diberikan dalam bentuk kontrak antara pihak pemberi kuasa
(klien) kepada yang menerima kuasa (advokat). Dalam membuat persetujuan ini,
biasanya yang dibicarakan antara para pihak dan advokat adalah masalah
honorarium/fee untuk melakukan proses kepengacaraan.60 Bagaimanapun pada
akhirnya tentu kesepakatan antara klien dan advokat dapat menetukan segala
sesuatunya termasuk masalah honorarium/fee. Penentuan jasa hukum dalam
menentukan honorarium/fee atas pekerjaan yang dilakukannya adalah berdasarkan
tingkat kerumitan, besarnya tanggung jawab, dan berapa lama pekerjaan tersebut
dapat diselesaikan. Akan tetapi, terkadang juga penasehat hukum (advokat)
mempertimbangkan honorarium/fee berdasarkan kondisi dan posisi seorang klien dan
suatu perkara. Karena kondisi dan posisi seorang klien tidak sama dengan klien lain.
60 Ibid, hal.78, ada tiga metode yang dipakai untuk menetapkan honorarium/fee oleh penesehat hukum, (1) honor/fee ditetapkan secara lump sum. Ini umumnya digunakan oelh para penasehat hukum dalam melakukan due diligence dalam proses legal audit dan legal opinion untuk keperluan tertentu (2) menetapkan honor/fee atas dasr item per item. Dalam metode ini penesehat hukum mebuat tagihan berdasarkan rincian satu persatu pekerjaan yang telah dilakukannya dan (3) menetapkan tagihan atas dasar “tidak menang - tidak bayar” (no win, no pay). Metode ini sering digunakan untuk honor/fee para penasehat hukum yang menjalankan peraktek profesinya sebagai penagih hutang (debt collector).
53
Pertimbangan seperti ini merupakan peran profesi advokat dalam masyarakat untuk
mencari keadilan. Jadi, kondisi dan posisi klien dalam suatu perkara merupakan
bahan pertimbangan untuk menetapkan honorarium/fee terhadap pekerjaan yang
akan dilakukannya.
H. Harono Marjono,61 berpendapat bahwa terdapat dua pandangan yang
menunjukan peran advokat dalam beracara di pengadilan, yaitu pandangan subyektif
dan objektif. Dari sudut pandangan subjektif, karena pekerjaan pemberian bantuan
hukum bertolak dari kepentingan seseorang yang akan atau sedang beracara di
pengadilan, sebab orang itu merasa atau dianggap memerlukannya. Dengan
pandangan ini, maka advokat akan berusaha memenagkan perkaranya dengan
memberi janji-janji kepada kliennya. Ia akan melihat pihak lain sebagai lawan yang
harus dikalahkan dalam persidangan. Demikian juga ia akan berusaha memberikan
argumentasi kepada pihak pengadilan untuk keluar sebagai pemenang perkara.
Advokat yang berpandangan demikian akan mengabdi pada kliennya, dan bukan pada
kebenaran dan keadilan.
Sedangkan dari sudut pandang objektif, karena pekerjaan itu berangkat dari
tujuan atau maksud yang hendak dicapai dari tersenggaranya peradilan itu sendiri.
Pandangan ini memberi kesan positif dalam melaksanakan acara peradilan. Ia akan
melihat secara objektif terhadap kebenaran hukum dan bukan pada kebenaran
61 H. Hartono Marjono, Menegakkan Syari’at Islam Dalam Konteks Keindonesiaan, Mizan, Bandung, 1997, Hal. 70-71.
54
kliennya. Pandangan ini akan melihat proses peradilan itu sebagai suatu yang wajar,
bukan hal yang luar biasa. Dalam posisi kliennya tidak menguntungkan, ia akan
membela kebenaran dan keadilan dan bukan membela kliennya sekalipun memang
salah. Advokat yang berpandangan seperti ini akan mengabdi kepada kebenaran dan
keadilan, bukan kepada keberadaan kliennya.
Peran advokat dalam pemberian jasa hukum litigasi di pengadilan, pada
dasarnya harus diartikan sebagai upaya memberi bantuan hukum kepada orang yang
sedang beracara di muka peradilan. Hal itu dimaksudkan agar pemeriksaan dan
peradilan dapat berjalan dengan tertib, baik dan lancar sesuai dengan hukum acara
yang berlaku. Ia juga dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan secara nyata
berdasarkan hukum materil yang berlaku, sehubungan dengan perkara yang sedang
diperiksa. Perkara tersebut bisa berupa sengketa antara para pihak atau permohonan
yang diajukan oleh seorang pemohon.62
Peran advokat yang berperaktek di pengadilan agama dalam meberikan jasa
hukum dianggap positif bagi pencari kebenaran dan penegakkan keadilan. Peran
positif advokat itu digambarkan dalam beberapa hal sebagai berikut:
1. mempercepat penyelesaian administrasi, baik permohonan cerai talak maupun
gugatan cerai bagi kelancaran persidangan di pengadilan.
62 Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, Advokat Dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Ghalia Indonesia, 2003. Hal. 69-70.
55
2. membantu menghadirkan para pihak yang berperkara di pengadilan sesuai
dengan jadwal persidangan.
3. memberikan pemahaman hukum yang berkaitan dengan duduk perkara dan
posisinya, terhadap para pihak dalam menyampaikan permohonan atau
gugatan atau menerima putusan pengadilan agama.
4. mendampingi para pihak yang berperkara di pengadilan agama, sehingga
merasa terayomi keadilannya.
5. mewakili para pihak yang tidak dapat hadir dalam proses persidangan
lanjutan, sehingga memperlancar proses persidangannya.
6. dalam memberikan bantuan hukum, sebagai advokat profesional, tetap
menjunjung tinggi sumpah advokat, kode etik profesi dalam menjalankan
peran sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Ketentuan yang berkaitan dengan bantuan hukum Undang-undang No 4
Tahun 2004 telah diatur dalam pasal 37-40, yang menyatakan bahwa ”setiap orang
yang bersangkutan perkara berhak memperoleh bantuan hukum dan advokat sebagai
subyek yang ditunjuk dalam memberikan bantuan hukum wajib membentu proses
penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan”. Sedangkan
dalam Undang-undang No 14 Tahun 1985 jo Undang-undang No 5 Tahun 2004
masalah bantuan hukum diantaranya diatur dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa :
56
“Mahkamah Agung dan pemerintah melakukan pengawasan atas Penasehat
Hukum dan Notaris”.63
Kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-undang No 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, pasal 69-74 pasal 115 ayat 1 dan pasal 156 KUHP,
yang menggunakan istilah bantuan hukum dan penasehat hukum sebagai orang yang
ditunjuk oleh pihak yang berperkara untuk memberi bantuan hukum. Peraturan
perundang-undangan lain yang berkaitan dengan masalah bantuan hukum yaitu SK
Mahkamah Agung No 1 Tahun 1965 mengidentikan bantuan hukum dengan
menggunakan istilah advokat/pengacara, pokrol (pengacara praktek).
Walaupun istilah berbeda namun secara prinsipil pemberian bantuan hukum
terhadap pihak yang berperkara di muka pengadilan adalah salah satu bentuk
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam bidang hukum dan lembaga
peradilan. Tetapi setelah diberlakukan undang-undang No 18 Tahun 2003 tentang
Advokat, istilah-istilah tersebut pengertiannya telah disetarakan menjadi advokat.
Undang-undang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat ini, adalah undang-
undang terbaru tentang advokat dan merupakan penyempurnaan dari undang-undang
sebelumnya. Dengan adanya undang-undang tersebut diharapkan dapat memberikan
masa depan yang lebih baik bagi para advokat dan memberi kejelasan tantang
keberadaan advokat sebagai pemberi jasa bantuan hukum serta manjadi pijakan
63 Ibid, hal. 260-261.
57
undang-undang untuk mengaktualisasikan diri sebagai penegak hukum yang dapat
menyeimbangkan semua kepetingan, klien, profesi, peradilan dan Negara tanpa
mengabaikan nilai-nilai moral dan keadilan
B. Pandangan Terhadap Citra Advokat
Bagaimana pandangan masyarakat, kalangan ahli hukum dan advokat
terhadap citra advokat selama ini? Hasil jajak pendapat, menyimpulkan citara advokat
sudah tercemar. Percuma menyadarkan hukum di negeri ini. Mulai dari polisi, jaksa,
hakim hingga pengacaranya yang seharusnya menjadi ujung tombak penegak hukum,
justru tercemar dengan berbagai kasus pelanggaran hukum. Masyarakat tidak
menyukai terhadap profesi advokat dalam dua hal.64
Pertama, menyangkut perilaku yang berkaitan dengan persidangan. Dalam
anggapan responden, perilaku mereka selama ini tampak sangat mendominasi
perjalanana suatu perkara. Dengan akses dan kemampuan yang dimiliki, kalangan ini
mampu memainkan peranannya seakan-akan menjadi yang paling benar di dalam
persidangan. Berkaitan dengan persoalan yang demikian, tidak kurang dari 59 %
responden meragukan profesionalitas para pengacara.
Kedua, sorotan masyarakat terhadap pengacara tampak pula dari perilaku
pengacara di luar persidangan. Di dalam penelitian responden, penampilan kalangan
ini terlalu “meyilaukan mata”. Gaya hidup mewah dan kepiawaian memainkan kata-
64 Ibid, Hal. 104-105.
58
kata di pandang 80% responden tidak lebih dari upaya mencari popularitas dan
bayaran ketimbang upaya penegakkan hukum.
Todung Mulya Lubis, seorang advokat senior, mungkin setelah membaca,
mendengar, atau mengamati setiap proses peradilan dalam berbagai kasus
berkesimpulan, bahwa perusak paling utama dalam lembaga peradilan adalah uang,
para pengusaha dan advokat hitam yang memperdagangkan hukum. Tragisnya etika
profesi sudah tidak sama sekali berharga karena banyak advokat hitam yang tidak
merasa bersalah meski mereka mendatangi hakim dengan segepok uang.
Indriyanto Seno Adji, dalam disertasinya mengemukakan bahwa para advokat
pelaku kejahatan korupsi sering memanfaatkan kelemahan asas legalitas formal
dalam sebuah perkara pidana. Sedangkan dalam perkara perdata mereka berlindung
dalam artian sempit dari perbuatan melawan hukum yang diartikan sebagai
melanggar undang-undang saja, padahal secara luas pengertian melanggar hukum itu
tidak lagi diartikan pada ketentuan perundang-undangan tertulis saja, tetapi meliputi
pelanggaran terhadap nilai-nilai atau rasa kepatutan yang ada dimayarakat.65
Diantara sekian banyak profesi hukum advokat merupakan jenis profesi yang
paling banyak menimbulkan kontroversi. Situasi demikian tidak hanya dirasakan
pada negara-negara berkembang, tetapi juga pada negara-negara maju. Dalam
berbagai survei di Amerika Serikat, profesi advokat masih menempati posisi
65 Disertasi disampaikan di hadapan Guru Besar Universitas Indonesia, tanggal 22 januari 2000.
59
terhormat. Pengacara naik pamornya karena banyak pemimpin dunia berangkat dari
profesi ini, dan terbukti mereka semua orang-orang yang cerdas, rasional dan orang
yang pandai berargumentasi. Ironisnya dalam jajak pendapat lainnya, advokat
ternyata juga mandapat peredikat profesi yang paling tidak disukai. Mereka di
pandang sebagai kumpulan orang-orang yang senang memutar balikkan fakta,
membuat gelap persoalan yang sudah jelas, dan tidak bermoral karena mengambil
keuntungan dari penderitaan orang lain.66
Pada tahun 1938, frank Tanembuan,67 seorang sosiologi menulis panjang
lebar tentang kelakuan para pengacara di Amerika Serikat. Yang menjadi sorotan
adalah aktivis para lawyer yang menjadi langganan penjahat, khususnya penjahat
terorganisir. Para pengacara ini disebut criminal lawyer. Pekerjaannya antara lain
merekayasa alibi, mengatur dan menyuap aparat hukum, mengancam juri dan
menakut-nakuti saksi.
C. Analisis Advokat Dalam Hukum Islam
Advokat sebagai profesi terhormat yang dalam menjalankan profesinya
berada di bawah perlindungan hukum, undang-undnag dan kode etik, memiliki
kebebasan yang disandarkan kepada kehormatan dan kepribadian advokat yang
berpegang teguh kepada kemandirian, kejujuran, kerahasiaan dan keterbukaan.
66 Dardji Darmodihardjo, dan Sidharta, Pokok-pokok Filsapat Hukum, (Jakarta: PT Gramedia Utama, 2000), Hal. 294-295.
67 Kompas, 29/3/2000, Hal 4, Rony Nitibaskara, dalam tulisan “Sang Pengacara”
60
Sebagimana dijelaskan pada pasal 1 tentang UU Advokat UU RI No. 18
Advokat dalam pengertian positif adalah orang yang berprofesi memberikan jasa
bantuan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi
persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang. Istilah advokat bisa di sebut juga
sebagai penasehat hukum. Yang di maksud jasa hukum tersebut diatas adalah jasa
yang diberikan advokat berupa pemberian konsultasi bantuan hukum, menjalankan
kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk
kepentingan hukum bagi orang, badan hukum, atau lembaga lian yang menerima jasa
hukum advokat.
Advoakat dalam pengertian penesehat hukum yang diaplikasikan berupa
bantuan hukum, dalam peradilan Islam mengandung beberapa pengertian diantaranya
wakalah, mufti, muhakam, dan muhamah. Berikut adalah penjelasan beberapa istilah
tersebut :
a. wakalah
kata wakil muncul sekitar dua puluh empat kali dalam Al-Qur’an. Dalam
hukum Islam, wakalah atau perwakilan muncul ketika satu orang
menguasakan kepada orang lain untuk menggantikannya memperoleh hak-
hak sipilnya.68
68 A.Rahman l. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), (Jakrta: Raja Grafindo Persada 2002). Cet ke-1. Hal 4
61
Pengertian wakalah atau wikalah (perwakilan atau perlindungan) sama
maknanya dengan takwidh (penyerahan atau pelimpahan), yang berarti
pemberian bantuan hukum, penasehat hukum atau pengacara.69juga berarti
hafidzh (pemelihara).
Sedangkan menurut istilah syara’ yang dimaksud dengan wikalah yaitu
pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang dalam hal-hal yang
dapat digantikan dan diperoleh oleh syara’70
Wakalah berarti juga perlindungan (al-hifzh), pencukupan (al-kifayah),
tanggungan (al-dhaman), atau pendelegasian (al-tafwidh).71
Dasar hukum wakalah disebut dalam Al-Qur’an Surat Al-Kahfi ayat 19:72
☺ ☯
☺
Artinya :
"…. “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota …” (QS Al-Kahfi : 19).
69 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Bara Van Hove, 1999), Cet, Ke-3, Hal. 982.
70 Sayyid Sabiq, Al Fiqhussunah, (Bairut: Darul Kutub, 1971), Juz XIV, Hal. 228. 71 Dr. Helmi Karim, M A, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), Hal. 233. 72 Ahmad Toha Putra, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Asy Syifa’, 2000), Hal. 630.
62
b. Muhamah
Muhamah berarti pembelaan, yaitu pembelaan terhadap seseorang yang
dituduh atau disangka melakukan delik pidana di muka sidang peradilan.
Pembelaan dalam hal ini hukum Islam telah membolehkan sebagai
sandaran kebolehannya diambil dari Al-Qur’an dalam surat An-Nisaa ayat
107:73
⌧ ☺
Artinya :
“Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa” (QS An-Nisaa : 107)
c. Tahkim
Kata tahkim, yang kata kerjanya hakkama, secara harfiah berarti
menjadikan seseorang sebagai penengah bagi suatu sengketa.74 Tahkim
dalam pengertian bahasa Arab ialah menyerahkan putusan pada seseorang
yang menerima putusan itu. Di dalam pengertian istilah ialah dua orang
atau lebih mentahkimkan kepada seseorang diantara mereka untuk
diselesaikan sengketa dan ditetapkan hukum syara’ atas sengketa mereka
itu. Tahkim dalam Islam dapat disamakan dengan arbitrasi dalam hukum
umum, merupakan lembaga yang bertugas mencari dan menyelesaikan
73 Ibid, Hal 171. 74 Drs. Cik Hasan Bisri, MS, Bunga Rampai Peradilan Islam Di Indonesia, (Bandung: Ulul
Albab Press, 1997), Cek pertama, Hal. 91.
63
perkara hukum diluar pengadilan. Tahkim disebut juga ketetapan
perjanjian yaitu bentuk kontrak yang harus disetujui dalam kasus
perselisihan dalam masalah persetujuan kontrak, hal ini diselesaikan
melalui putusan hakim/arbitator.75 Orang yang memberi tahkim disebut
hakam atau muhakam.
Dasar hukum bagi tahkim ini di dalam syariat Islam, ialah firman Allah
dalam surat An-Nisaa ayat 35 :76
☺
☺ ☯
☺ ⌧ ☺
Artinya :
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS An-Nisaa : 35).
d. Mufti
Mufti berkedudukan sebagai pemberi penjelasan tentang hukum syara’
yang harus diketahui dan diamalkan oleh umat akan selamat bila ia
75 75 A.Rahman l. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), (Jakrta: Raja Grafindo Persada 2002). Cet ke-1. Hal. 472.
76 Ahmad Toha Putra, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Asy Syifa’, 2000), Hal. 166.
64
memberi fatwa yang benar dan akan sesat bila ia salah dalam berfatwa.77
Mufti dalam artian memberi fatwa yaitu orang yang memiliki keahlian
hukum dan dijadikan tempat bertanya dalam masalah hukum. Maksud
muhakam disini adalah orang yang memiliki keahlian hukum, diberi
wewenang untuk memberikan pertolongan kepada pihak yang
bersengketa. Mufti selaku orang yang memberi fatwa-fatwa merupakan
nama lain apa yang disebut dengan penasehat hukum. Dalam hal ini fatwa
yang boleh dimintakan fatwa meliputi seluruh bidang hukum sampai
bidang ibadah pun boleh meminta fatwa, sedangkan pada pengadilan
terbatas dalam masalah yang ada pada hak pengadilan.
Fatwa-fatwa yang diberikan oleh mufti walaupun tidak merupakan
putusan hakim tetapi dia merupakan petunjuk-petunjuk dan merupakan
majlis pertimbangan. Lembaga-lembaga fatwa itu memberi fatwa dan
mengeluarkan pendapat baik masalah-masalah yang diajukan oleh
perorangan ataupun yang dikemukakan oleh instansi-instansi resmi.
Dari uraian tersebut dapat kita tarik benang merahnya bahwa, perbedaan fatwa
dan qadha sebagai putusan hakim adalah; pertama mufti bisa menolak untuk
memberikan fatwa mengenai hal yang dimintakan fatwa kepadanya, sedangkan
peradilan (qadha) tidaklah demikian, tetapi harus memutuskan, artinya tidak boleh
77 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001). Jilid III, Hal. 430.
65
menolak para pihak yang mengajukan mohon keadilan, sekalipun dengan alasan
bahwa aturan hal tersebut belum ada. Kedua Qadha itu dasarnya adalah fakta
(kenyataan) yang dicari hakim, jadi hakim memutuskan berdasarkan fakta.
Sedangkan fatwa berdasarkan ilmu (pengetahuan), yakni mufti memberi fatwa
berdasarkan ilmu yang di miliki mufti. Ketiga, kalau putusan hakim harus dituruti
atau mempunyai daya paksa yakni negara bisa memaksakan putusan itu untuk
dilaksanakan. Sedangkan fatwa tidak harus orang mengikutinya. Keempat, fatwa itu
tidak boleh dibatalkan, sedangkan putusan bisa di batalkan oelh tingkat yang lebih
tinggi.78
Dengan melihat beberapa penjelasan dari keempat istilah tersebut wakalah,
muhamah, muhakam, dam mufti pada hakikatnya mempunyai tujuan yang sama yaitu
demi menyelesaikan masalah-masalah hukum.
C. ANALISIS PENULIS
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan
secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Perinsip Negara hukum
menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan
hukum. Oleh karena itu, undang-undang dasar juga menentukan bahwa setiap orang
berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
pengakuan yang sama di hadapan hukum.
78 Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia (Jakarta : Kencana 2006), Hal. 3-4.
66
Advokat sebagai profesi yang mulia atau officium nobile memiliki kebebasan
dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini diartikan bahwa advokat tidak terikat pada
hirarki birokrasi. Selain itu, advokat juga bukan merupakan aparat negara sehingga
advokat diharapkan mampu berpihak kepada kepentingan masyarakat atau
kepentingan publik.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka kedudukan sosial dari advokat
yang demikian itu telah menimbulkan pula tanggung jawab moral bagi advokat yang
bukan hanya bertindak sebagai pembela konstitusi namun juga bertindak sebagai
pembela hak asasi manusia, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak publik. Akibat
dari adanya tanggung jawab moral yang melekat pada status profesinya maka advokat
memiliki lima (5) dimensi perjuangan ideal79 yaitu sebagi berikut :
1. Dimensi kemanusiaan, yang diartikan bahwa walaupun advokat menerima
imbalan honorium atau legal fee dalam melakukan pekerjaannya namun
pada dasarnya advokat harus tetap berpedoman dan mengahargai nilai-nilai
kemanusiaan khususnya dalam melakukan pembelaan terhadap keliennya.
Dalam melakukan pembelaan maka harus didasarkan pada motivasi aspek
kemanusiaan;
79Sumber:http://www.m2sconsulting.com/webs/index.php?option=com_content&view=article&id=27:kewajiban-pemberian-bantuan-hukum-oleh-advokat-dalam-kedudukannya-sebagai-officium-nobile-&catid=38:law&itemid=25. tanggal 24 Maret 2010. 16:45
67
2. Dimensi pertanggungjawaban moral, yang diartikan bahwa advokat dalam
melakukan pembelaan kepada kliennya harus selalu melihat dan
mempertimbangkan dua hal pokok, yaitu adanya ketentuan hukum yang
menjadi dasar dalam melakukan pembelaan dan adanya dasar moral serta
etika. Berkaitan dengan hal tersebut maka hak atau kepentingan hukum dari
klien yang di belanya maka tidak boleh bertentangan dengan moralitas
umum atupun etika profesi yang wajib di junjung lebih tinggi;
3. Dimensi kebebasan, kemandirian dan independensi profesi, hal ini diartikan
bahwa advokat ditantang untuk selalu memperjuangkan tegaknya profesi
yang mandiri, bebas dan independen dari intervensi kekuasaan dalam
melakukan pembelaan terhadap kliennya. Oleh karena itu, maka untuk
mendukung dimensi yang ketiga tersebut dibutuhkan organisasi advokat
yang kuat serta memiliki kode etik termasuk memiliki kapabilitas untuk
membina dan manjaga kedisiplinan anggota profesinya ;
4. Dimensi pembangunan negara hukum, yang diartikan bahwa profesi
advokat dapat diimplementasikan secra ideal apabila proses penegakan
hukum juga telah berjalan secara ideal. Dengan perkataan lain, bahwa
advokat memiliki kepentingan demi profesi hukumnya dan demi
kepentingan kliennya. Oleh sebab itu maka perlu untuk di bangun esensi
dari sebuah negara hukum yang ideal ;
68
5. Demensi pembangunan demokrasi, yang diartikan bahwa suatau negara
hukum bagaimana yang diuraikan dalam dimensi keempat hanya dapat
dilaksanakan selaras dengan pembangunan demokrasi. Ibarat suatu mata
uang maka antara pembangunan hukum dan pembangunan demokrasi
dapat saling memiliki relasi. Demokrasi hanya dapat ditegakkan apabila di
dukung oleh negara yang berdasarkan hukum dalam hal mana menjunjung
supremasi hukum. Demokrasi akan berubah manjadi anarki apabila tidak
didukung oleh hukum. Sebaliknya, negara hukum tanpa demokrasi akan
menciptakan suatu negara yang bertipikal penindas.
Menurut analisis penulis selain dalam proses peradilan, peran advokat juga
terlihat di jalur profesi di luar pengadilan. Kebutuhan jasa hukum advokat di luar
proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin
berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan
yang semakin terbuka dalam pergaulan antar suku, ras, bangsa dan negara. Melalui
pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak
dagang, profesi advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan
masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi, hukum
dan perdagangan, termasuk dalam menyelesaikan sengketa di luar pengadilan.
Dalam hukum islam istilah advokat dikenal dengan beberapa macam
pengertian karena memang dalam hukum islam sejauh pengetahuan penulis tidak
menemukan adanya istilah khusus tentang advokat namun dari segi fungsi dan
69
peranannya terhadap masyarakat dan negara memiliki makna yang sama dengan
istilah wakalah, muhammah, mufti dan muhakam. Yang semua itu sama tujuannya
utnuk menegakkan keadilan dan kemaslahatan serta keseimbangan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dengan lahirnya Undang-undang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat,
dengan sendirinya pengakuan terhadap eksistensi advokat, khususnya
organisasi advokat semakin jelas, sebagaimana yang diamanatkan oleh
undang-undang tersebut, bahwa organisasi advokat dalam waktu dua tahun
setelah lahirnya undang-undang ini harus terbentuk. Seperti dijelaskan pada
pasal 28 ayat (1) UU No 18 Tentang Advokat bahwa organisasi advokat
merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri
yang dibentuk sesuai dengan ketentuan undang-undang, dengan maksud
dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat, dan untuk
sementara tugas dan wewenang organisasi advokat sebagaiman yang
dimaksud dalam undang-undang ini dijalankan bersama oleh Ikatan
Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan
Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara
Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan
Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal
(HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Hal ini
memberikan penegasan terhadap para advokat untuk bergabung dengan
salah satu dari organisasi advokat yang ada dalam undang-undang tersebut.
70
71
2. Tiap profesi termasuk advokat menggunakan sistem etika terutama untuk
menyediakan struktur yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan
menyediakn garis batas tata nilai yang bisa dijadikan acuan para
professional untuk menyelesaikan dilematik etika yang dihadapi saat
manjalankan fungsi pengembangan profesinya sehari-hari. Hal ini
menyatakan bahwa kode etik ibarat kompas yang meberikan atau
menunjukan arah bagi suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral
profesi di dalam masyarakat. Bahwa fungsi dan tujuan kode etik untuk
menjunjung tinggi martabat profesi dan menjaga atau memelihara
kesejahteraan para anggotanya dengan mengadakan larangan-larangan
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang akan merugikan kesejahteraan
materil para anggotanya. Dengan ini terlihat bahwa kode etik profesi adalah
seperangkat kaedah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam
mengembankan suatu profesi. Prosedur hukum bagi advokat dalam
berperaktek atau beracara di pengadilan agama adalah berkaitan erat
dengan aturan baku yang ditetapkan Hukum Acara Peradilan Agama dan
Kode Etik Advokat Indonesia yang telah diatur dalam undang-undang No
18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai hukum
tertinggi dalam menjalankan profesinya, yang menjamin dan melindungi
namun membebenkan kewajiban kepada setiap advokat untuk jujur, dan
72
bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien,
pengadilan, negara atau masyarakat terutama kepada dirinya sendiri.
3. Aktifitas advokat ketika membela kliennya, merupakan cara tersendiri
dalam rangka mewujudkan rasa kemanusiaan sesamanya, ini berarti
merupakan aplikasi antara hak dan kewajiban dalam kedudukannya selaku
manusia pada umumnya. Disamping itu eksistensi advokat jika di lihat dari
unsur-unsur penegak hukum maka ia mempunyai tempat yang sama dengan
hakim dan penegak hukum lainnya dalam upaya mencari dan menegakkan
keadilan. Pemberian jasa bantuan hukum merupakan kewajiban moral
seorang advokat. Dan peran utama seorang advokat dalam menerima atau
mengajukan gugatan untuk dan atas nama kliennya terlebih dahulu harus
mengupayakan Islah (mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa).
Status hukum advokat dalam tinjauan hukum islam adalah Mubah
(perbuatan yang boleh dipilih), karena dalam surat An-Nissa ayat 135 yaitu:
⌧
☺ ⌧
⌧ ☺ ☺
73
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nissa 135).
Bahwa orang yang beriman diperintahkan untuk menjadi orang yang benar-benar
penegak keadilan. Maksud ayat tersebut adalah wajib menegakkkan keadilan,
namun menjadi orang-orang yang benar penegak keadilan itu adalah orang yang
punya keahlian khusus yaitu para penegak hukum. Salah satunya advokat. Yang
mana profesi advokat merupakan salah satu profesi yang menjadi pilihan
seseorang dalam menegakkan keadilan.
B. Saran
Sebagai tindak lanjut dari kajian ini maka penulis memberi saran kepada
pihak-pihak yang berkepentingan sebagai berikut :
1. kepada masyarakat yang bersengketa, alangkah baiknya
menyelesaikan dahulu permasalahan yang ada dengan cara
kekeluargaan dengan berdamai terlebih lagi masalah keluarga,
sebelum memprosesnya kepengadilan baik langsung atau
menggunakan jasa bantuan hukum dari advokat.
74
2. advokat dalam melaksanakan profesinya sebagai pemberi jasa bantuan
hukum kepada masyarakat, hendaklah mengikuti kode etik profesi
advokat dan norma-norma agama, sehingga tidak diskriminatif dalam
penyelesaiian suatu perkara. Dan dapat bersikap dan melihat semua
permasalahan dengan cara yang obyektif dalam mencari kebenaran
dan menegakkan keadilan.
3. Keadvokatan perlu disosialisasikan dengan kitab-kitab, khutbah ju’at,
pengajian dan lian-lain.
4. keadvokatan perlu dilaksanakan dalam kurikulum fiqih, tsanawiyah
dasn aliyah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta : Departemen Agama RI, 1994
Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim (Hadist Yang Diriwayatkan Oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim), Bandung : Jabal, 2008.
Al As-Shabuni, Muhammad, tt, Mukhtashor Tafsir Ibnu Kasir Jilid 1, Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Jajiri, Abdurahman, Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Beirut : Daar Al-fikr, 1989.
Ali, H, Zainuddin Prof., Dr., M.A. Hukum Islam (Pengantar Hukum Islam Di Indonesia). Jakarta : Sinar Grafika, 2006.
Ali Muhammad Daud, Hukum Islam(Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006.
Al-zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus : Daar al-Fikr, 1989.
Amin Ahmad, tt, Etika Ilmu Akhlak, Jakrta: Bulan Bintang.
Aini Noryamin, “Penggunaan jasa pengacara dalam kasus penceraian : studi kasus di PA Jaksel, “ AHKAM VI, No 14 2004.
Ash Shiediqy T.M Hasby, Al-Islam, Cet, ke-1 Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
Aziz Dahla, Abdul. Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 3, Jakarta : Ictiar Baru Van Hoeve, 1999.
Bisri, Cik Hasan, MS, Bunga Rampai Peradilan Islam Di Indonesia, Bandung: Ulul Albab Press, 1997.
BAMUI dan Takaf, Arbitrase Islam di Indonesia, Jakrta: PT Raja Grafindo, 1986.
Darmodihardjo, Dardji dan Sidharta, Pokok-pokok Filsapat Hukum, Jakarta: PT Gramedia Utama, 2000.
Djalil, Basiq, Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta : Prenada Media Group, 2006.
Faturrahman, Hadist-hadist Tentang Peradilan Agama, Jakarta : Bulan Bintang 2007.
75
76
Hallaq Wael B, Sejarah Teori Hukum Islam, Jakrta: Raja
Grafindo Persada, 2001.
Hasan, M Ali, studi Islam: Al-Qur’an dan As-Sunnah, Jakarta : Raja Grafindo Persada 2000.
Kadafi, Binziad et.al., Advokat Indonesia Mancari Legitimasi, Jakarta : Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2002.
Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, Raja Grafindo Persada 2002.
Karim, Helmi M A, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Kompas, 29/3/2000, Rony Nitibaskara, dalam tulisan “Sang Pengacara”
Marjono H. Hartono, Menegakkan Syari’at Islam Dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung, Mizan, 1997.
Muhammad, Abdulkadir, etika Profesi Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006.
Pandu Yudha, Klien dan Penasehat Hukum Dalam Perspektif Masa Kini, Jakarta, PT Abadi, 2001.
Prodjohamidjojo Martiman, Penasehat dan Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982.
Pangalibuan Luhut M.P., Advokat dan Contempt of Court: Suatu Proses di Dewan Kehormatan Profesi, Jakarta: Djambatan, 2002.
Projodikoro Wirjono, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, 1978.
Rambe Ropuan, Tehnik Peraktek Advokat, Grasindo, Jakarta, 2001.
Rosyadi, Rahmat, Drs., SH., dan Hartini, Sri, SH., Advokat dan Perpektif Islam dan Hukum Positif. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003.
Rahman l. Doi A, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), Jakrta: Raja Grafindo Persada 2002.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, Bandung : Al-Ma’arif, 1993.
___________ Al Fiqhussunnah, Bairut : Darul Kutub, 1971.
77
Salam, Madkur, Muhammad, Peradilan Damai Islam, Surabaya : PT Bina Ilmu, 1979.
Salim, Abdul Mu’in, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, Jakarta : Raja Grapindo Persada, 2002.
Silaban, Sintong, Advokat Muda Indonesia: Dialog Tentang Hukum, Politik, Keadilan, HAM, Profesonalisme Advokat dan Lika-liku Keadvokatan, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1992.
Syarifuddin, Amir, Prof., Dr. MA., Ushul Fiqh jilid II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.
Sumitro Warkum, Asas-asas PerbankanIslam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI & TAKAFUL) di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Toha Putra, Ahmad. Al-Qur’an danTerjemahnya, Semarang : Asy-Syifa, 2000.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Winata, Hendra, Frans, SH., Advokat Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995.