BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan...

33
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hampir semua orang pernah melakukan perilaku berbelanja (shopping behaviour). Belanja merupakan suatu aktivitas yang menyenangkan bagi banyak orang dan tidak terbatas pada kaum perempuan maupun kaum laki-laki. Diantara motivasi berbelanja adalah untuk pemenuhan kebutuhan dan perolehan informasi. Namun seiring dengan mulai berubahnya makna berbelanja saat ini, turut pula merubah motivasi berbelanja seseorang. Berbelanja dianggap sebagai kegiatan menghabiskan uang untuk menghilangkan kebosanan dan mencari kesenangan belaka. Individu melakukan pembelian tanpa mempedulikan apakah barang-barang yang dikonsumsi benar-benar dibutuhkan atau tidak. Pengambilan keputusan oleh konsumen untuk melakukan pembelian suatu produk diawali oleh adanya kesadaran atas pemenuhan kebutuhan dan keinginan yang oleh Assael disebut need arousal. Selanjutnya jika disadari adanya kebutuhan dan keinginan, maka konsumen akan mencari informasi mengenai keberadaan produk yang diinginkannya (dalam Sutisna, 2001:11). Pemenuhan kebutuhan sangat penting artinya untuk mengantarkan individu pada kehidupan yang selaras dengan lingkungannya. Dalam usaha untuk mencapai keselarasan tersebut, biasanya seseorang mengembangkan suatu pola perilaku tertentu, dimana pada masing-masing kelompok sangatlah beragam. Berkaitan dengan usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya itulah kemudian manusia berusaha menempuh berbagai cara. Adanya kemajuan teknologi secara implisit menyebabkan hasrat konsumtif dan daya beli juga bertambah. Gejala konsumtivisme yang terbawa dari hasil pembangunan juga menghasilkan kesenjangan antara bertambahnya produk konsumsi dalam segala bentuk atau bertambah luasnya persepsi tentang kebutuhan yang sebenarnya, dengan daya beli untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pengkonsumsian produk kemudian dilakukan semata-mata untuk memuaskan keinginannya. Keadaan ini akan mempengaruhi perilaku membeli konsumen selanjutnya.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hampir semua orang pernah melakukan perilaku berbelanja (shopping

behaviour). Belanja merupakan suatu aktivitas yang menyenangkan bagi banyak

orang dan tidak terbatas pada kaum perempuan maupun kaum laki-laki. Diantara

motivasi berbelanja adalah untuk pemenuhan kebutuhan dan perolehan informasi.

Namun seiring dengan mulai berubahnya makna berbelanja saat ini, turut pula

merubah motivasi berbelanja seseorang. Berbelanja dianggap sebagai kegiatan

menghabiskan uang untuk menghilangkan kebosanan dan mencari kesenangan

belaka. Individu melakukan pembelian tanpa mempedulikan apakah barang-barang

yang dikonsumsi benar-benar dibutuhkan atau tidak.

Pengambilan keputusan oleh konsumen untuk melakukan pembelian suatu

produk diawali oleh adanya kesadaran atas pemenuhan kebutuhan dan keinginan

yang oleh Assael disebut need arousal. Selanjutnya jika disadari adanya kebutuhan

dan keinginan, maka konsumen akan mencari informasi mengenai keberadaan

produk yang diinginkannya (dalam Sutisna, 2001:11).

Pemenuhan kebutuhan sangat penting artinya untuk mengantarkan individu

pada kehidupan yang selaras dengan lingkungannya. Dalam usaha untuk mencapai

keselarasan tersebut, biasanya seseorang mengembangkan suatu pola perilaku

tertentu, dimana pada masing-masing kelompok sangatlah beragam. Berkaitan

dengan usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya itulah kemudian manusia berusaha

menempuh berbagai cara. Adanya kemajuan teknologi secara implisit menyebabkan

hasrat konsumtif dan daya beli juga bertambah. Gejala konsumtivisme yang terbawa

dari hasil pembangunan juga menghasilkan kesenjangan antara bertambahnya produk

konsumsi dalam segala bentuk atau bertambah luasnya persepsi tentang kebutuhan

yang sebenarnya, dengan daya beli untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Pengkonsumsian produk kemudian dilakukan semata-mata untuk memuaskan

keinginannya. Keadaan ini akan mempengaruhi perilaku membeli konsumen

selanjutnya.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

2

Sehubungan dengan hal di atas, maraknya pusat perbelanjaan yang ada saat

ini dapat memunculkan beragam perilaku membeli konsumen. Setiap strategi

pemasaran yang ditetapkan oleh pemasar akan berpengaruh terhadap perilaku

konsumen. Menurut Kotler dan Armstrong (2003:203), perilaku konsumen dapat

dipahami melalui rangsangan pemasaran dan lingkungan yang masuk kedalam

kesadaran pembeli serta karakteristik pembeli dan proses pengambilan keputusannya

yang kemudian menghasilkan keputusan pembelian tertentu.

Perilaku membeli jika ditinjau dari konsep manusia yang tidak pernah puas,

bukan lagi merupakan sebuah tindakan yang dilakukan seseorang untuk memenuhi

kebutuhannya akan tetapi lebih pada mengurangi rasa ketidak-puasan manusia

tersebut. Disamping itu, manusia dalam perilaku membelinya saat ini bukan lagi

untuk memenuhi kebutuhan pokok atau kebutuhan tingkat satu mereka melainkan

untuk memenuhi kebutuhan tingkat dua dan seterusnya yang kadang kurang penting.

Banyak orang membelanjakan uang tanpa menimbang hal lain apa yang bisa

didapat dengan uang itu. Berbelanja dianggap sebagai kegiatan menghabiskan uang

untuk menghilangkan kebosanan dan mencari kesenangan belaka. Berbelanja

dilakukan hanya untuk memenuhi hasrat atau dorongan dari dalam dirinya. Mereka

membeli barang-barang yang "menggoda mata", yang sebenarnya tidak dibutuhkan.

Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menjadikan belanja ini adalah sebuah sifat,

kebiasaan dan hobi (kegemaran). Adanya faktor kebiasaan dan hobi inilah yang

menjadikan seseorang melakukan kegiatan tersebut secara terus-menerus sehingga

mereka mengalami ketergantungan atau kecanduan (maniak). Adapun kecanduan ini

disebabkan karena dengan membeli barang yang mereka inginkan maka dapat

mengurangi ke-ganjal-an dalam diri mereka untuk memiliki barang tersebut, tanpa

memikirkan apakah sesuatu yang dibeli itu dibutuhkan atau tidak.

Kebutuhan dan keinginan konsumen akan produk berkembang terus dari

waktu ke waktu. Keputusan pembelian produk yang dilakukan belum tentu

direncanakan, terdapat juga pembelian yang tidak direncanakan.

Berbeda dengan keputusan pembelian secara terencana, pembelian tidak

terencana dilakukan berdasarkan pemecahan masalah terbatas. Pembelian tidak

terencana merupakan pembelian suatu item dimana pembelanja tidak mempunyai

rencana sama sekali untuk membelinya ketika sebelum belanja (Susilo, 2004).

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

3

Pembelian tidak terencana dalam toko merupakan salah satu faktor perhatian para

pemasar atau produsen. Loudon dan Bitta (1993:567) membuktikan bahwa di pusat

perbelanjaan sedikitnya satu produk dibeli tanpa perencanaan yang disebut dengan

pembelian impulsif. Para pecandu belanja ini akan membeli dan terus membeli tanpa

kontrol sehingga disebut sebagai pembeli yang impulsif.

Kollat dan Willett (dalam Semuel, 2007) memperkenalkan tipologi

perencanaan sebelum membeli yang didasarkan pada tingkat perencanaan sebelum

masuk toko, meliputi perencanaan terhadap produk dan merek produk, kategori

produk, kelas produk, kebutuhan umum yang ditetapkan, dan kebutuhan umum yang

belum ditetapkan. Apabila keputusan termasuk pada kategori terakhir, maka hal

tersebut dapat dikategorikan sebagai pembelian impulsif secara murni.

Pembelian impulsif atau bagi beberapa pemasar yang menyebutnya sebagai

pembelian tidak terencana merupakan bagian dari pola pembelian konsumen

(Schiffman dan Kanuk, 2004) dan menyatakan sebagai pembelian yang tidak

direncanakan (Loudon dan Bitta, 1993). Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan

sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan

kuat untuk membeli yang muncul secara tiba-tiba dan seringkali sulit ditahan. Hal itu

diiringi oleh perasaan menyenangkan serta penuh gairah. Pembelian impulsif

dianggap sebagai perilaku membeli yang " irrasional ", karena meskipun menyadari

sebelumnya akan adanya kemungkinan merasakan penyesalan di kemudian hari

tetapi orang tetap berbelanja. Engel et al. (1995), mendefinisikan pembelian yang

tidak direncanakan atau yang disebut juga pembelian impulsif sebagai suatu tindakan

pembelian yang dibuat tanpa direncanakan sebelumnya atau keputusan pembelian

yang dilakukan pada saat berada didalam toko. Pembelian impulsif terjadi karena

adanya desakan situasi sehingga konsumen dengan segera memiliki keterlibatan

terhadap produk yang dimaksud.

Perilaku pembelian impulsif dapat dipahami sebagai suatu proses

pengambilan keputusan dimana pelanggan hanya melibatkan sedikit proses kognitif

tetapi juga biasanya menunjukkan tingkat emosi yang tinggi. Pembelian impulsif

dilakukan tanpa direncanakan dan tanpa membuat suatu evaluasi kebutuhan.

Pembelian impulsif sering terjadi dalam situasi dengan stimulasi yang kuat (Omar;

Assael dalam Esch dkk, 2003).

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

4

Pernyataan ini didukung dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Kollat dan Willett (1969), mereka juga menggunakan istilah impulse

buying (pembelian impulsif) yang sama dengan unplanned purchased (pembelian tak

terencana). Sejalan dengan hal itu, pembelian impulsif juga seringkali dihubungkan

dengan pembelian yang dilakukan secara tiba-tiba dan tidak direncanakan, dilakukan

di tempat kejadian, dan disertai timbulnya dorongan yang besar serta perasaan

senang dan bergairah (Rook dalam Verplanken dan Herabadi, 2001).

Meskipun tidak terencana merupakan ciri khas dari pembelian impulsif, tapi

tidak semua pembelian tidak terencana merupakan pembelian impulsif. Pembelian

impulsif terjadi ketika konsumen mengalami perasaan tiba-tiba, sering merasakan

perasaan yang sangat kuat dan berkeras hati terhadap dorongan emosional untuk

membeli sesuatu dengan segera (Arnould, Linda, & George, 2002). Pembeli impulsif

lebih mungkin untuk mengalami pengalaman membeli secara spontan, lebih terkesan

secara tiba-tiba, dan tidak berencana untuk membeli sebelumnya (Rook dan Fisher

dalam Peck dan Terry, 2006).

Dari literatur perilaku konsumen, terdapat beberapa penelitian yang telah

dilakukan mengenai pembelian yang tidak direncanakan ini. Du Pont Inc. (dalam

Engel et al., 1995:23) misalnya, menyatakan bahwa sebesar 61 % responden tidak

merencanakan sebelumnya pembelian terhadap produk kecantikan.

Kotler dan Amstrong (2001:368) mengungkapkan bahwa dalam supermarket

biasa, yang menyimpan 15.000 hingga 17.000 barang, pada umumnya seorang

pembeli akan melewati 300 barang per menit, dan 53 persen dari seluruh pembelian

dilakukan secara mendadak.

Hasil penelitian di Amerika Serikat pada tahun 1989 membuktikan bahwa

pembelanja buah dan sayur umumnya melakukan proses pengambilan keputusan

secara langsung ketika mereka berhadapan dengan rak atau meja ‘’dasaran’’ di dalam

pasar dan bukan hasil perencanaan sebelumnya (dalam Triandhini, 2006:3).

Studi yang dijalankan oleh POPAI (Point-of-Purchase Advertising Institute,

Englewood, N. J., dalam Engel et al., 1995:143) memperlihatkan bahwa setengah

lebih dari semua pembelian di pasar swalayan sepenuhnya tidak direncanakan –

dibuat tanpa merek atau produk spesifik dalam benak. Total 52,6% dari pembelian di

toko makanan “tidak direncanakan secara spesifik”. Serta dinyatakan bahwa dua dari

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

5

setiap tiga pembelian di pasar swalayan merupakan pembelian berdasarkan impuls

(dorongan hati).

Hasil studi lain menemukan bahwa sebanyak 39 % pembelian di toko

swalayan dan 67 % pembelian di toko sandang pangan tidak direncanakan (dalam

Mowen & Minor, 2002: 65).

Loudon dan Bitta (1993:567-568) mengemukakan empat tipe dari pembelian

impulsif. Keempat tipe pembelian impulsif tersebut yaitu; pembelian impulsif murni

(pure impulse), pembelian impulsif secara sugesti (suggestion impulse), pembelian

impulsif karena ingatan (reminder impulsif), dan pembelian impulsif yang

direncanakan (planned impulse). Pembelanja yang merencanakan untuk membeli

produk tetapi belum memutuskan fitur dan merek yang dibutuhkan dapat juga

dikelompokkan sebagai pembeli impulsif (Rook dalam Hatane, 2007).

Dapatkah kita menganggap suatu pembelian adalah “tidak terencana” jika

niat yang disadari tidak diutarakan sebelum tindakan membeli ?. Bisa jadi bahwa niat

tersebut muncul karena adanya peragaan barang di pusat perbelanjaan atau bahkan

niat tersebut sudah ada akan tetapi tidak dikatakan terlebih dulu.

Penelitian yang lebih mutakhir tentang topik ini ditulis oleh Morris (1987),

kira-kira 53% pembelian bahan pangan dan 47% pembelian di toko besi merupakan

tindakan mendadak tanpa dipikirkan lebih dahulu, demikian studi tersebut

menyatakan. Ketika Stillerman Jones & Co., sebuah perusahaan penelitian

pemasaran, menanyakan kepada sebanyak 34.300 orang pembelanja di pusat

perbelanjaan di penjuru negeri mengenai alasan utama kunjungan mereka, hanya

25% yang memang sengaja datang untuk mencari barang tertentu (dalam Engel et.

al., 1995:202).

Pembelian yang tidak terencana tidak membatasi pada produk atau latar toko

eceran tertentu. Barang-barang yang dibeli secara tidak terencana (produk impulsif)

kebanyakan adalah produk dengan harga murah yang tidak terduga. Saat ini terdapat

beraneka ragam produk impulsif dipasaran yang mempengaruhi sikap seseorang

terhadap pola pembelian dan pemenuhan kebutuhan yang semakin meningkat.

Menurut Hatane (2005:6) produk impulsif kebanyakan adalah produk-produk baru,

contohnya produk dengan harga murah yang tidak terduga. Penjual menarik

konsumen ketika indera perasa mengirimkan pesan kepada otak konsumen yang

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

6

mengatakan, “Saya ingin ini!” atau “Saya tidak dapat hidup tanpa itu!”. Beberapa

macam dari barang-barang konsumen adalah “pembelian tidak terencana”, dan yang

dilaporkan paling sering adalah barang-barang yang berhubungan dengan self image

seperti make-up, pakaian, perhiasan, ornamen-ornamen, yang dekat dengan diri

sendiri serta penampilan (Hatane, 2005:11).

Fenomena yang menggambarkan mengenai pembelian tidak terencana dapat

terjadi pada produk, seperti produk yang tahan lama, perhiasan, pakaian, barang-

barang yang terbuat dari logam, perabot rumah tangga, obat-obatan, perlengkapan

mandi dan produk makanan. Selain itu, perilaku pembelian impulsif juga ditemukan

dalam setting toko obat, supermarket, department store dan beragam toko khusus

yang meliputi toko yang khusus menjual bunga, buku, alat-alat kecantikan, alat-alat

yang terbuat dari logam, alat-alat keperluan mobil, dan toko perabot rumah tangga.

Dari artikel online berjudul Impulse products & marketing: the what, how

and why of losing control! (http://www.google.com) diketahui bahwa beberapa

produk impulsif didesain untuk kepuasan dan over-whelm the “bodily senses” seperti

rasa, aroma, suara, penglihatan dan perasaan. Misalnya:

1. Taste: Coklat, makanan dan minuman ringan (ditempatkan di meja kasir)

2. Aroma: Parfum (ditempatkan di sebelah kanan meja kasir)

3. Suara: Musik, seductive human voices (klub musik)

4. Penglihatan: Barang-barang dekoratif, kesan-kesan seduktif (An inviting

female on the cover of a magazine)

5. Perasaan: Pakaian super mewah, pengalaman-pengalaman seperti berada di

suites hotel, pijat dan lain-lain.

Berdasarkan Artikel Dony (2007), dalam pembelian tak terencana (impulse

buying), konsumen akan masuk dulu ke dalam toko dan mencari dan mengevaluasi

informasi yang ada di dalamnya seperti informasi potongan harga dan produk baru.

Kadang kosumen akan mencoba dan membandingkan produk-produk yang menjadi

pusat perhatiannya. Dan seiring dengan banyaknya alternatif yang dilihat oleh panca

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

7

indera, maka konsentrasi yang terfokus pada pembelian yang telah direncanakan

sebelumnya akan menjadi terbagi dan mulai muncul rasa ketertarikan dengan produk

lain yang sebelumnya tidak terencana. Pada saat itu, konsumen sangat dipengaruhi

oleh dorongan emosi bahwa secara spontan konsumen memiliki keyakinan bahwa

produk yang tidak terencana itu sangat berarti dan menjadi sangat penting dan layak

untuk dibeli.

Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Negara (dalam Hatane, 2007) yang

mengatakan bahwa pada umumnya pembelian yang dilakukan pelanggan dalam

pasar modern seperti supermarket atau hipermarket, tidak semuanya direncanakan.

Diperkirakan 65% keputusan pembelian di seluruh supermarket dilakukan di dalam

toko dan lebih dari 50% merupakan pembelian yang tidak direncanakan sebelumnya

(Bayley et al. dalam Hatane, 2007). Pembelian yang terjadi di department store

dalam penelitian Bellenger, Robertson & Hirschman (dalam Matilla dan Jochen,

2007) mengatakan bahwa 27-62% terdiri dari pembelian impulsif.

Pusat perbelanjaan memang bisa menjadi tempat rekreasi bagi para pembeli

impulsif. Ma’ruf (2006:53) menyatakan bahwa kebanyakan konsumen di Indonesia

yang belanja di gerai-gerai modern cenderung lebih berorientasi “rekreasi” dalam

belanja. Kegemaran mengunjungi pusat perbelanjaan itu dianggap mampu

memberikan kepuasan tersendiri bagi mereka. Pembelian produk untuk mendapatkan

kepuasan atas dasar kesenangan semata ini dapat mengarahkan seseorang kepada

perilaku konsumsi hedonis yang dapat mencetuskan perilaku pembelian impulsif.

Mereka bahkan tidak dapat menahan keinginan untuk membeli produk tanpa

direncanakan ketika sudah berada di pusat perbelanjaan, bahkan produk dengan

harga mahal sekalipun.

Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Puri (2002:11) menunjukan

adanya hubungan antara perilaku hedonik dengan perilaku impulsif sebesar 33,264%.

Pembelian produk atas dasar kesenangan atau hedonis dalam pembelian impulsif

tersebut dilakukan oleh konsumen berkaitan dengan motif pribadi konsumen dalam

berbelanja. Dalam motif pribadi tersebut terdapat aspek hiburan, pemuasan diri, dan

stimulasi indera yang mendorong orang berbelanja (Engel et. al., 1995:203).

Konsumen melaporkan bahwa mereka merasa senang ketika mereka

melakukan pembelian impulsif (Cobb dan Hoyer, 1986; Rook, 1987 dalam Peck dan

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

8

Terry, 2006) dan mereka mengalami bahwa kebutuhan akan kesenangan dan sesuatu

yang baru pada mereka harus dipenuhi (Hausman dalam Peck dan Terry, 2006).

Thompson dkk (dalam Wilkinson, 2007) menemukan bahwa pembelian impulsif

akan menjadi tindakan yang bebas dalam membatasi situasi, dengan membiarkan

responden untuk mengikuti keinginan mereka (lebih cenderung paksaan dari luar).

Keputusan pembelian impulsif terjadi karena adanya rangsangan lingkungan belanja,

merupakan implikasi yang mendukung asumsi bahwa jasa layanan fisik menyediakan

lingkungan yang mempengaruhi perilaku konsumen (Iyer, 1989; Marthur dan Smith,

1997; Negara, 2002 dalam Semuel, 2007).

Menurut Negara dalam Hatane (2005), keputusan pembelian dapat didasari

oleh faktor individu konsumen yang cenderung berperilaku afektif, yaitu kesenangan

(pleasure) mengacu pada tingkat dimana individu merasakan baik, penuh

kegembiraan, bahagia, atau puas dalam suatu situasi; kegairahan (arousal) mengacu

pada tingkat dimana individu merasakan tertarik, siaga atau aktif dalam suatu situasi;

dan dominasi (dominance) ditandai oleh perasaan yang direspon konsumen saat

mengendalikan atau dikendalikan oleh lingkungan. Keadaan tersebut membuat

konsumen kehilangan logika dalam berbelanja dan akhirnya melakukan pembelian

yang belum direncanakan sebelumnya (impulsive buying).

Hasil sebuah studi yang dilakukan oleh Rook & Hoch (dalam Mowen & Minor, 2002:65) dimana melalui suatu wawancara yang mendalam, terungkap perasaan responden ketika melakukan pembelian impulsif. Terungkap bagaimana pembelian impulsif bisa terjadi.

Seorang subyek mengatakan: “Saya berada di Beverly Hills hanya untuk berjalan-jalan tanpa niat untuk membeli, tetapi ketika saya melihat beberapa sepatu yang dijual, saya masuk ke toko dan mencobanya dan ternyata ukurannya pas sekali. Waktu itu saya berpikir untuk membeli sepasang, kemudian saya mendapatkan bahwa perasaan saya harus mencoba segalanya. Perasaan tersebut memanggil-manggil saya. Lalu kita tiba-tiba merasa dipaksa untuk membeli sesuatu. Rasanya seperti memperoleh suatu ide. Ini merupakan keinginan yang tiba-tiba, dan bila kita tidak dapat melakukannya dengan segera, kita harus memikirkan alasan mengapa kita tidak membutuhkannya”.

Verplanken dan Herabadi (dalam Melati dkk, 2007:115) menyatakan bahwa

variabel-variabel yang ada dalam lingkungan belanja seperti kemasan produk, cara

produk ditampilkan, aroma makanan, warna-warna yang menarik serta musik yang

menyenangkan dapat menimbulkan motif pembelian atau mengarah pada keadaan

mood yang positif. Betty dan Ferrel (dalam Melati dkk, 2007:115) menyatakan

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

9

bahwa konsumen yang melakukan window shopping dapat menimbulkan mood

positif dan dorongan untuk membeli. Keduanya dapat mempengaruhi evaluasi

menyeluruh pada produk sehingga seringkali membuat konsumen membeli produk

yang sebelumnya tidak direncanakan.

Perilaku konsumen dalam membeli barang dipengaruhi oleh banyak faktor

yang pada intinya dapat dibedakan menjadi dua faktor, yaitu faktor eksternal dan

faktor internal (Engel, Kollat, dan Blackwell, 1973; Kottler, 1982; Swastha dan

Handoko, 1987 dalam Lina dkk, 2007).

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pembelian impulsif yaitu: (1)

karakteristik produk, (2) karakteristik pemasaran dan (3) karakteristik konsumen

yang terdiri dari kepribadian konsumen, sosio-ekonomi dan demografis (Loudon dan

Bitta, 1993:569).

Identitas kepribadian dapat dihubungkan dengan pembelian impulsif (Maenpa

dan Dittmar, dalam Buendicho, 2003). Hawkins dkk (1986) menyatakan bahwa

kepribadian konsumen mengarahkan dirinya pada perilaku yang berbeda dalam

setiap hal sehingga setiap individu cenderung memilih produk yang sesuai dengan

kepribadiannya. Dalam mengambil keputusan membeli, konsumen dipengaruhi oleh

kepribadian dalam diri. Kepribadian konsumen akan mempengaruhi persepsi dan

pengambilan keputusan dalam membeli (Anwar, 2005).

Kepribadian memiliki bentuk yang bermacam-macam, salah satunya adalah

locus of control. Hasil analisa data penelitian yang dilakukan oleh Mariyani dan

Emmy dengan judul “Perbedaan Kecenderungan Pembelian Impulsif Ditinjau dari

Locus of Control Internal dan Locus of Control Eksternal” menunjukkan adanya

perbedaan kecenderungan pembelian impulsif ditinjau dari locus of control internal

dan locus of control eksternal dengan nilai p = 0,025, dengan subjek locus of control

eksternal memiliki mean score yang lebih tinggi (x = 64,05) dibandingkan dengan

subjek locus of control internal yang memiliki mean score (x = 56,67). Sedangkan

dalam penelitian lain dengan judul “Perbedaan Pembelian Impulsif Ditinjau Dari

Tipe Kepribadian Ekstraversi Intraversi Pada Remaja Terhadap Produk Fashion”

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

10

yang dilakukan oleh Saviera (2011) pada 90 orang remaja diketahui dari hasil uji

anava faktorial satu jalur bahwa nilai perbedaan rata-rata pembelian impulsif dan tipe

kepribadian ekstraversi-intraversi sebesar 2,418 dengan nilai p = 0,124. Hal ini

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pembelian impulsif ditinjau dari tipe

kepribadian ekstraversi-intraversi pada remaja terhadap produk fashion.

Karakteristik sosio-ekonomi yang dihubungkan dengan tingkat pembelian

impulsif salah satunya adalah uang saku. Ling dan Lin (dalam Hatane, 2007)

mengatakan bahwa uang saku berhubungan positif dengan kecenderungan perilaku

pembelian impulsif konsumen muda pada toko secara fisik atau offline.

Selanjutnya karakteristik demografis yang mempengaruhi pembelian impulsif

salah satunya adalah gender. Penelitian yang dilakukan oleh Dittmar dkk (1995),

diketahui bahwa secara umum perempuan lebih sering membeli secara impulsif

dibanding laki-laki. Begitu juga dengan hasil penelitian Ling dan Lin (dalam Hatane,

2007) menemukan bahwa perempuan lebih cenderung memiliki perilaku pembelian

impulsif dibanding laki-laki. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Wathani (2009) menemukan bahwa ada perbedaan kecenderungan pembelian

impulsif produk pakaian ditinjau dari peran gender dengan nilai p = 0,000 dengan

subyek feminim memiliki mean skor yang lebih tinggi (x = 57,97) dibandingkan

dengan subyek androgini (x = 56,00), subyek maskulin (x = 55,28) dan subyek tidak

terbedakan (x = 38,91). Sementara itu hasil tambahan menunjukkan adanya

perbedaan signifikan kecenderungan pembelian impulsif ditinjau dari jenis kelamin

dan uang saku.

Pengaturan lingkungan fisik toko yang baik dapat meningkatkan pembelian

yang tidak direncanakan atau pembelian impulsif. Lingkungan dalam toko meliputi

penataan lorong-lorong dan juga rak tempat untuk mengatur dan menaruh barang

dagangan. Pengaturan barang menurut produk yang paling diinginkan para retailer

untuk dijual pada konsumen, menggambarkan bagaimana lingkungan fisik dapat

mempengaruhi perilaku konsumen yang mengubah keyakinan dan perasaan

konsumen. Menurut Sutisna (2002:159), para peneliti telah menemukan bahwa

stimuli seperti warna, suara, cahaya, cuaca dan pengaturan ruang dari orang dan

obyek lain mempengaruhi perilaku konsumen. Kesemuanya akan mempengaruhi

persepsi konsumen melalui mekanisme penglihatan, pendengaran, penciuman, dan

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

11

sentuhan. Sutisna menambahkan bahwa tata letak rak pajangan (aspek display) di

dalam toko akan mempengaruhi perilaku pengunjung. Pembuatan gang atau jalur

jalan akan memudahkan alur lalu lintas pengunjung. Penempatan item produk secara

berkesinambungan berdasarkan kategori produk akan juga mempengaruhi perilaku

konsumen (Sutisna, 2002:164). Pemajangan dan pengaturan berbagai macam produk

yang ditata sedemikian rupa apiknya akan mampu menarik perhatian pengunjung

yang datang. Sebagai contoh, agar mencolok, produk biasanya ditata dekat pintu

masuk - misalnya minuman ringan yang disusun membentuk piramida di tengah

jalan - atau meletakkan produk setinggi pandangan mata. Cara lain dengan menaruh

rak berisi permen karet, rokok, permen dan majalah di pintu kasir dengan harapan

konsumen serta merta mengambil. Sedangkan barang obral, biasa dipajang di dekat

pintu keluar dengan harapan konsumen akan membeli satu dua buah, selagi murah

(Intisari on the net, November 1998).

Display produk yang menarik akan mengundang orang yang melintas di

depan toko tertarik untuk masuk ke dalam toko (www.hanbo solution.com, Juni

2006) dan membuat konsumen menghabiskan lebih banyak waktu di toko, melihat

makin banyak barang, memperhatikan barang-barang murah (meski kurang

dibutuhkan), dan akhirnya membeli secara impulsif (Intisari on the net, November

1998).

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Samosir (2009:2) dengan judul

”Analisis Pengaruh antara Layout (tata letak) terhadap Pembelian Impulsif pada

Outlet Indomaret Jamin Ginting Medan, diketahui adanya pengaruh yang positif dan

signifikan dari variabel layout terhadap pembelian impulsif dengan persamaan

regresi Y = 2,936 + 0,370 X + e dan nilai koefisien determinasi sebesar 0,765 yang

berarti pengaruh layout terhadap pembelian impulsif adalah sebesar 76,5%.

Hal yang berkaitan dengan lingkungan toko di atas juga didukung oleh

penelitian Hatane (2005:22) yang telah melakukan penelitian persamaan koefisien

estimasi standar mengenai ”Respons Lingkungan Berbelanja Sebagai Stimulus

Pembelian Tidak Terencana pada Toko Serba Ada (Toserba) Carefour Surabaya”.

Dari hasil penelitiannya terlihat bahwa variabel respons lingkungan dominance

(perasaan yang direspons konsumen saat mengendalikan atau dikendalikan oleh

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

12

lingkungan) koefisien regresinya bernilai positif (dengan nilai statistik t = 7,50) dan

sangat signifikan (nilai t > 1,96, α = 0,05) terhadap pembelian impulsif.

Kegiatan promosi penjualan oleh pihak perusahaan mampu membangkitkan

rasa keingin-tahuan konsumen akan produk yang ditawarkan dan kemudian juga

dapat memancing hasrat mereka untuk membeli produk-produk tersebut. Kegiatan

ini biasanya dilakukan dalam bentuk kegiatan personal selling kepada konsumen

serta iklan (advertising) mulai dari papan nama yang dipasang di depan toko hingga

iklan dengan menghadirkan berbagai macam bentuk media diruang-ruang toko dan

pusat perbelanjaan modern, dari yang paling sederhana berupa material point of sales

yang digantung di langit-langit toko hingga stiker raksasa di lantai toko dan lain-lain

(Cakram, 2001). Kondisi semacam itu mampu memicu pembelian impulsif karena

media iklan di toko memang memiliki kekuatan tersendiri (Engel, et al., 1995) yang

mampu mempengaruhi emosi seseorang sehingga membuat mereka seketika

memutuskan untuk membeli. Tentunya keadaan ini membuat mereka yang tidak

dapat mengontrol belanjanya akan menjadi semakin parah. Konsumen yang impulsif

merupakan konsumen yang mengambil keputusan yang dipengaruhi oleh emosi

(Setiawan, November 2000). Ketika seseorang melakukan keputusan pembelian

berdasarkan emosi, maka ia kurang menekankan pada pencarian dan pengolahan

informasi secara cermat, akan tetapi ia akan lebih menekankan pada perasaan saat

itu.

Hal ini didukung oleh penelitian Hatane (2006:23) tentang ”Bentuk Format

Media Iklan sebagai Stimulus Respon Emosi dan Kecenderungan Perilaku Pembelian

Impulsif”, dalam penelitian ini didapatkan hasil yang menunjukkan adanya

perbedaan pengaruh stimulus antara media iklan offline dengan media iklan online.

Media iklan online dengan audiovisual dan teks gambar yang ada, memiliki

pengaruh stimulus yang lebih kuat secara total terhadap respon emosi maupun

kecenderungan perilaku pembelian impulsif, karena calon konsumen membutuhkan

informasi yang lebih lengkap mengenai produk yang diingini. Temuan Semuel

berikutnya adalah orientasi belanja, kenyamanan maupun rekreasi, memiliki peran

mediasi antara emosi dan kecenderungan perilaku pembelian impulsif sehingga

seseorang dalam berperilaku sebagai pembeli online, tidak hanya dipengaruhi oleh

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

13

respon emosi secara langsung namun juga terdapat proses kognitif melalui orientasi

belanja yang dimilikinya. Selain itu, tidak ada pengaruh umur, uang belanja bulanan,

maupun jenis kelamin terhadap kecenderungan perilaku pembelian impulsif. Hal ini

berbeda dengan perilaku pembelian impulsif pembeli offline yang hanya

menggunakan iklan brosur.

Menurut Engel et al. (1995:140-141) faktor-faktor yang mempengaruhi

pembelian impulsif terbagi menjadi faktor personal dan faktor lingkungan. Faktor

personal terdiri dari perilaku pembelajaran, motivasi, kepribadian, kepercayaan, usia,

sumber daya konsumen, dan gaya hidup. Faktor lingkungan terdiri dari situasi,

kelompok dan budaya.

Selain faktor-faktor di atas, berdasarkan hasil pra-survey yang dilakukan pada

Matahari Departement Store Plaza Medan Fair, terdapat beberapa faktor lain yang

mendorong terjadinya pembelian tidak terencana (impulsive buying) pada konsumen.

Salah satunya adalah adanya diskon besar-besaran, seperti diskon 50%+20%

(penambahan diskon 20% setelah diberi diskon 50%) pada produk, membuat

konsumen tertarik untuk membeli satu bahkan lebih dari satu produk. Konsumen

dapat memanfaatkan fasilitas pembayaran dengan kartu kredit ataupun penggunaan

debit saat konsumen tidak mempunyai uang tunai untuk membayar pembelanjaan

produk dan ini akan mendukung pembelian tidak terencana. Strategi pemberian

voucher belanja membuat konsumen tertarik untuk membelanjakan vouchernya

dengan membeli produk yang tidak direncanakan sebelumnya. Program promosi

“beli 2 gratis 1” yang ditampilkan pada produk mendorong konsumen untuk membeli

produk tersebut. Beberapa faktor tersebut sangat mempengaruhi perilaku afektif

seseorang dalam melakukan keputusan pembelian yang tidak direncanakan

sebelumnya.

Fenomena di atas sejalan dengan hasil analisis data penelitian yang dilakukan

oleh Pratiwi (2010) dengan judul “Pelaksanaan Discount dan Pengaruhnya terhadap

Pembelian Impulsif Produk Pakaian pada Ramayana Departement Store” diketahui

bahwa discount (potongan harga) memberikan pengaruh yang cukup kuat sebesar

59,7% terhadap pembelian impulsif pada Ramayana department store.

Terkadang para pembeli impulsif sudah mencoba untuk mengontrol diri, akan

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

14

tetapi ketika di pusat perbelanjaan seringkali mereka tertipu oleh promosi toko. Salah

satunya yang sering dijumpai adalah adanya permainan harga oleh perusahaan dalam

menjual produknya agar terkesan murah. Salah satunya mematok harga dengan

angka ekor 99 atau 88, misalnya Rp 999,- atau Rp 988,-. Konsumen jadi berpikir,

harga barang cuma Rp 900,- bukan Rp 1000,-. Padahal, nilainya lebih dekat ke Rp

1000,- (Intisari on the net, November 1998).

Harga yang ditawarkan dipasaran saat ini mulai menggunakan istilah “obral”.

Anggapan bahwa istilah “obral” lebih murah membuat para pembeli impulsif mulai

tergoda. Tak heran apabila mereka banyak dijumpai pada saat ada obral besar atau

sale. Mereka membeli barang-barang dengan alasan karena harga yang ditawarkan

murah. Agar perputaran stok menjadi lebih cepat, perusahaan juga sering

menggunakan permainan harga jumlah ganda. Sering pengecer mengemas produk

yang harganya Rp. 2.000,-/buah menjadi Rp. 20.000,-/kemasan berisi 10 buah,

bahkan didiskon 5% menjadi Rp. 19.000,- (Intisari on the net, November 1998). Hal

seperti ini biasanya cukup efektif membuat konsumen terdorong membeli 10 buah,

padahal yang dibutuhkan hanya 1-2 buah saja. Yang terjadi kemudian adalah barang-

barang yang dibeli itu besar kemungkinan tidak terpakai atau nilai gunanya sangat

rendah karena dibeli bukan sesuai dengan kebutuhan, melainkan lebih karena tergoda

penawaran (Masassya, Mei 2006). Padahal apabila pembeli dapat memperkirakan

harga relatif per unit dan kemampuan untuk melakukan pengenalan kebutuhan akan

menentukan keakuratan pilihan seseorang.

Sebuah studi telah dilakukan oleh Capon dan Kuhn mengenai keterampilan

konsumen, dimana para subyek diberi insentif mendapatkan kesempatan untuk

memenangkan $50 untuk membuat pilihan yang tepat. Dari 100 orang wanita

pembelanja di pasar swalayan, 39 orang tidak mengandalkan perbandingan harga

relatif per unit dalam membuat pilihan mereka. Mereka malah menggunakan kaidah

keputusan yang berbeda, seperti menyimpulkan bahwa barang yang sedang diobral

pasti merupakan pembelian yang lebih baik. Para pembelanja yang berpendidikan

lebih tinggi jauh lebih mungkin mempertimbangkan harga per unit dibandingkan

mereka yang tingkat pendidikannya lebih rendah (dalam Engel et. al., 1995:187).

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

15

Para pembeli impulsif seringkali berbelanja banyak barang tetapi tidak

semuanya dipakai atau diperlukan. Ke-gila-an membeli barang tidak hanya terjadi

ketika mereka merasa membutuhkan katarsis atau bentuk pelarian dari kondisi

tertentu saja tetapi hal ini terjadi pada kehidupan mereka sehari-hari ketika mereka

berada di pusat perbelanjaan. Mulanya mereka hanya mengunjungi pusat

perbelanjaan akan tetapi berakhir dengan pembelian tidak terencana (unplanned

purchase).

Perilaku pembelian impulsif dapat dipahami sebagai suatu proses

pengambilan keputusan dimana pelanggan hanya melibatkan sedikit proses kognitif

tetapi juga biasanya menunjukkan tingkat emosi yang tinggi. Pembelian impulsif

dilakukan tanpa direncanakan dan tanpa membuat suatu evaluasi kebutuhan.

Pembelian impulsif sering terjadi dalam situasi dengan stimulasi yang kuat (Omar;

Assael dalam Esch dkk, 2003).

Pernyataan ini didukung dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Kollat dan Willett (1969), mereka juga menggunakan istilah impulse

buying (pembelian impulsif) yang sama dengan unplanned purchased (pembelian tak

terencana). Sejalan dengan hal itu, pembelian impulsif juga seringkali dihubungkan

dengan pembelian yang dilakukan secara tiba-tiba dan tidak direncanakan, dilakukan

di tempat kejadian, dan disertai timbulnya dorongan yang besar serta perasaan

senang dan bergairah (Rook dalam Verplanken dan Herabadi, 2001).

Meski semua pembeli impulsif selalu akan merasa bersalah dan seringkali

menyesal karena produk yang dikonsumsi ternyata benar-benar tidak dibutuhkan

olehnya (Loudon dan Bitta,1993 dalam Engel et al., 1995:202), namun ada juga yang

kemudian mencoba menemukan alasan rasional di balik ulahnya. Alasan rasional

itulah yang sering dimanfaatkan oleh penjual, yang tidak jarang cukup ampuh untuk

membangkitkan dorongan membeli, demi kepuasan diri belaka (Intisari on the net,

Desember 1998). Terlebih lagi konsumen yang impulsif, menurut Setiawan

(November 2000) pada dasarnya tunduk kepada usaha-usaha promosi dari marketer

dan tunduk pada hasrat untuk memuaskan diri (submissive to the self-serving

interest).

Keputusan untuk membeli atau memakai suatu produk pada diri seseorang

merupakan hasil dari hubungan yang saling mempengaruhi. Keputusan pembelian

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

16

sangat dipengaruhi oleh adanya beberapa faktor yang ada dalam diri maupun di luar

diri individu, meliputi faktor budaya, sosial, pribadi, dan psikologis. Berkaitan

dengan topik penelitian yang akan dibahas, maka pembahasan lebih menitik-beratkan

pada faktor psikologis. Menurut Kotler dan Amstrong (2008:172) faktor psikologis

yang berpengaruh pada keputusan pembelian konsumen diantaranya adalah motivasi,

persepsi, pembelajaran, serta keyakinan dan sikap.

Penelitian yang dilakukan oleh Farina (2008:84-85) dengan judul “Faktor-

faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen dalam Pengambilan Keputusan

Untuk Menggunakan Jasa Internet Pada Warnet Central Net Malang” dengan

menggunakan metode analisis regresi linier berganda, uji F dan uji t, menunjukkan

hasil bahwa Fhitung 32,485 dan Ftabel 2,21 (Fhitung > Ftabel), hal ini diartikan bahwa

variabel kebudayaan (X1), sosial (X2), kepribadian (X3), dan psikologis (X4), secara

bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap keputusan menggunakan Jasa

Internet (Y) pada taraf signifikansi 5%. Diantara variabel (X1), (X2), (X3) dan (X4),

diketahui bahwa variabel psikologis (X4) mempunyai pengaruh dominan terhadap

keputusan menggunakan Jasa Internet (Y) karena thitung > ttabel, yaitu dengan thitung

sebesar 5,660 > 2,21 dan Beta sebesar 0.422.

Persepsi, sebagai fokus penelitian disini, mampu menggerakkan konsumen

untuk melakukan pembelian. Dengan kata lain, persepsi akan terlibat langsung dalam

mempengaruhi seseorang untuk memutuskan apakah produk yang akan dibeli

tersebut baik atau tidak, oleh karena itu persepsi layak dijadikan bahan kajian.

Menurut Sutisna (2002:62-63) persepsi adalah suatu proses bagaimana

stimuli-stimuli diseleksi, diorganisasi dan diinterpretasikan.

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Wulansari (2004:55) dengan judul

Pengaruh Persepsi tentang Cara Pembelian Baju Secara Kredit terhadap Keputusan

Membeli dengan responden mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang

menyatakan bahwa persepsi konsumen terhadap pembelian baju secara kredit

mempengaruhi dalam proses keputusan membeli konsumen.

Ickbal (2006:53) telah melakukan penelitian yang berjudul Hubungan antara

Pesepsi Promosi Penjualan “Undian Berhadiah” dengan Keputusan Membeli pada

Konsumen Pasar Swalayan Tom and Jerry di Madura. Dari hasil penelitian diketahui

bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi promosi penjualan “Undian

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

17

Berhadiah” dengan keputusan membeli pada konsumen Swalayan Tom and Jerry

Madura.

Berdasarkan penelitian Irene (2006:1) pada 54 orang mahasiswi jurusan

manajemen STIE Malang Kucecwara Malang yang berjudul analisis faktor-faktor

yang mempengaruhi keputusan membeli produk kosmetik menyatakan hasil

perhitungan korelasi berganda diketahui bahwa antara peubah kelas sosial (X1),

kelompok referensi (X2), kepribadian (X3), motivasi (X4) dan persepsi (X5) dengan

peubah keputusan pembelian produk (Y) mempunyai hubungan yang erat. Hasil yang

dapat disimpulkan bahwa peubah-peubah kelas sosial, kelompok referensi,

kepribadian, motivasi dan persepsi mempunyai hubungan yang bermakna (erat)

terhadap keputusan pembelian produk kosmetik.

Dalam penelitian Utami (2006:1) dengan judul Pengaruh Iklan TV Sabun

Mandi Terhadap Minat Beli Konsumen yang dilakukan pada 100 responden

diwilayah Surakarta menyatakan bahwa persepsi mengenai model iklan dan persepsi

mengenai iklan mempunyai pengaruh terhadap minat beli yang dimediasi sikap pada

iklan ke sikap merek pada iklan Lux dan iklan Dove.

Hasil penelitian tentang persepsi yang lain berasal dari Levy (2007:250-258)

yang berjudul Developing a deepeer understanding of post-purchase perceived risk

and behavioural intentions in a service setting yang mengambil responden dari dua

kelompok, dimana kelompok pertama berasal dari 192 orang pasien perawatan dari

Rumah Sakit Daerah dan kelompok kedua adalah 101 orang pasien yang

mendapatkan perawatan spesial tapi alternatif dari Rumah Sakit Utama Daerah

menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi tujuan perilaku memutuskan kembali

dalam memilih rumah sakit adalah persepsi konsumen mengenai kualitas pelayanan

dan lingkungan fisik rumah sakit yang menyenangkan.

Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian yang diungkapkan di atas terbukti

bahwa persepsi memiliki hubungan yang signifikan atau erat dalam proses

pengambilan keputusan ketika seorang konsumen membeli suatu produk. Ries dan

Trout (1987, dalam Prasetijo dan Ihalauw, 2005:84) mengatakan bahwa pemasar

harus melandasi pemikirannya pada peperangan yang terjadi antar produk dan antar

merek, dalam memperebutkan persepsi konsumen. Itulah sebabnya mengapa persepsi

menjadi medan pertarungan para pemasar yang unik dan sengit. Hal apa yang

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

18

sebenarnya terbaik pada akhirnya belum tentu diakui oleh konsumen sebagai yang

terbaik. Hal unik lainnya, menurut riset terakhir, konsumen memutuskan membeli

sesuatu hanya dalam hitungan rata-rata 2,6 detik. Jika dibandingkan dengan sebuah

komputer dengan prosesor yang memiliki kemampuan kapasitas yang luar biasa,

dalam waktu 2,6 detik itu konsumen memproses data dan informasi yang mungkin

sangat luar biasa banyaknya (Prastiwi, 2007:1).

Jelaslah kiranya bahwa persepsi kita terhadap stimulasi merupakan olahan

semua informasi yang diterima panca indera. Informasi yang masuk pada diri kita

melalui stimulus yang dilihat, dirasa, didengar dan dikecap akan kita beri makna.

Walaupun stimulus yang kita terima itu tidak lengkap, kita akan mengisinya dengan

interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimulus yang kita persepsi (Rakhmat,

2002:59). Kita tidak bisa meneliti fakta-fakta yang terpisah, harus dipandang dalam

hubungan keseluruhan sehingga bila kita mempersepsikan sesuatu kita akan

mempersepsikannya secara keseluruhan. Bila dihubungkan dengan stimulus yang

dilakukan pemasaran dalam memasarkan produknya untuk konsumen, maka Sutisna

(2002:62-63) menjelaskan bahwa dua tipe stimuli/stimulus penting yang dapat

mempengaruhi konsumen adalah pemasaran dan lingkungan (sosial dan budaya).

Stimulus pemasaran adalah setiap komunikasi atau stimulus fisik yang didesain

untuk mempengaruhi konsumen. Produk dan komponen-komponennya (seperti

kemasan, isi, ciri-ciri fisik) adalah stimulus utama (primary/intrinsic stimuli).

Produk-produk baru terus bermunculan sedangkan di sisi lain konsumen saat

ini semakin selektif dan pandai dalam menentukan pilihannya untuk membeli

produk. Dampak yang timbul dengan adanya persaingan ketat antar perusahaan-

perusahaan yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan konsumen dan menghasilkan

produk yang sejenis adalah semakin membingungkan dan rancunya posisi suatu

produk di pasar. Hal ini membuat semakin menyempitnya segmen pasar yang

dimiliki perusahaan karena semakin terdesak oleh pesaingnya. Salah satu tantangan

yang dihadapi perusahaan untuk mencapai keberhasilan dalam memasarkan suatu

produk tidak hanya menjual atau menukarkannya dengan sesuatu, tetapi hal

terpenting adalah bagaimana memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen

sehingga tercipta kepuasan baik dari sisi konsumen maupun produsen.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

19

Banyak aspek yang mempengaruhi konsumen untuk belanja. Bisa karena

faktor harga, kenyamanan tempat, store-layout (tata letak toko) maupun faktor

produk. Perlu dicermati bahwa pada faktor produk bisa menjadi faktor pemicu bagi

para konsumen yang awalnya hanya melihat-lihat saja sampai akhirnya memutuskan

untuk membeli. Oleh karena itu produk yang dipasarkan hendaknya merupakan

produk yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan konsumen, sebagaimana

pendapat Kotler dan Amstrong (2008:266) yang mengatakan bahwa produk

merupakan semua hal yang dapat ditawarkan kepada pasar untuk menarik perhatian,

akuisisi, penggunaan atau konsumsi yang dapat memuaskan suatu keinginan atau

kebutuhan, sehingga dengan demikian konsumen akan merasa puas. Kepuasan

pelanggan (customer satisfaction) secara harfiah punya makna tetap, yaitu dimana

keinginan, harapan dan kebutuhan pelanggan dapat terpenuhi (Hidayat, 2007:30).

Sadar akan fakta yang ada, dunia bisnis pun berkompetisi membuat

konsumennya lebih puas dan tidak berpaling ke produk lain. Tentu saja perusahaan

harus memiliki keunggulan dan keunikan yang berbeda pada produknya dibanding

perusahaan lain. Keunggulan suatu produk adalah tergantung dari keunikan serta

kualitas yang diperlihatkan oleh produk tersebut, apakah sudah sesuai dengan

harapan dan keinginan konsumen. Keunggulan produk suatu perusahaan bisa

menentukan berhasil tidaknya produk tersebut melekat di hati konsumen.

Bagi perusahaan yang sedang mengembangkan bauran pemasaran melalui

pengembangan produk, maka perusahaan tersebut harus dapat menetapkan manfaat-

manfaat apa yang akan diberikan oleh produk tersebut. Karena konsumen tertarik

menggunakan produk tidak semata-mata melihat fisik produk saja, melainkan karena

berbagai macam manfaat produk yang dapat memenuhi berbagai macam kebutuhan

dan keinginan mereka yang tentunya konsumen akan memilih produk yang dianggap

lebih baik dari produk lainnya. Manfaat-manfaat ini dikomunikasikan oleh atribut

produk yang berwujud antara lain seperti merk, model, warna, kemasan dan

pelayanan yang menyertai produk yang ditawarkan. Menurut Gitosudarmo

(1994:188) atribut produk adalah suatu komponen yang merupakan sifat-sifat produk

yang menjamin agar produk tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan yang

diharapkan oleh pembeli.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

20

Guna memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen, pemasar menawarkan

berbagai macam merk, desain, dan kualitas serta keunggulan lainnya dari setiap

produk guna menarik minat konsumen untuk membeli. Mereka membuat tampilan

yang indah pada produk-produknya dengan harapan kebutuhan dan keinginan

konsumen akan terpuaskan dari pengkonsumsian atribut-atribut yang ditawarkan

oleh produk tersebut. Konsumen akan memilih didasarkan pada ada tidaknya atribut-

atribut atau sifat-sifat yang dimiliki suatu produk yang sesuai dengan apa yang

diharapkannya.

Penyajian produk tertentu dalam berbagai bentuk dan kelebihan yang berbeda

menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen, apalagi jika ditawarkan melalui

manajemen pemasaran yang baik. Sebut saja dengan branding (pemerekan) atau

pemilihan nama yang baik, style atau gaya, keunikan atau pembeda dengan yang lain

sebagai diferensiasi, serta atribut-atribut produk lainnya sebut saja di antaranya

kemasan atau penampilan (Pikiran Rakyat Cyber Media, Maret 2004) serta

karakteristik produk lainnya yang digabungkan untuk memberi citra produk pada

calon konsumen. Produk yang demikian akan menjadi produk yang berhasil,

misalnya pemberian merek yang tepat akan menimbulkan kesan serta image yang

baik dari konsumen terhadap produk yang dipasarkan, bahkan kadang-kadang image

itu muncul dari logo yang tergambar pada kemasan produknya. Keputusan mengenai

atribut-atribut ini sangat mempengaruhi reaksi konsumen terhadap sebuah produk.

Dari atribut itulah suatu produk akan dipandang oleh konsumen berbeda dengan

produk yang dikeluarkan oleh pesaingnya.

Pentingnya pemberian atribut pada suatu produk sehingga mampu

mempengaruhi keputusan pembelian bagi konsumen tergambar jelas dalam

penelitian metode analisa faktor dan analisa regresi linier berganda mengenai

”Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen terhadap Keputusan

Pembelian Ponsel (studi pada konsumen ponsel merk Siemens di Malang). Dalam

penelitian ini Indriwati (2003) menemukan bahwa faktor yang mempengaruhi

keputusan pembelian ponsel merk Siemens adalah karena banyaknya atribut produk.

Didapatkan 7 faktor atribut yang mempengaruhi, yaitu faktor model, kebutuhan,

tempat belanja dan potongan harga, keluarga, prestise, dan personal selling.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

21

Bahkan penelitian di Amerika Serikat pada tahun 1989 terhadap pembelanja

buah dan sayur menunjukkan bahwa 94% responden menyatakan tolok ukur

pemilihan buah dan sayur adalah kenampakkan luarnya seperti: ukuran, bentuk,

warna, mengkilat tidaknya dan ketidak-cacatan (Triandhini, 2006:3).

Bagian terpenting dari strategi pemasaran adalah untuk mempengaruhi

persepsi konsumen terhadap atribut-atribut suatu produk, seperti merek, model,

warna, kemasan dan pelayanan. Atribut-atribut produk tersebut akan dapat

menciptakan nilai yang terbentuk dalam pemikiran konsumen yang kemudian akan

menghasilkan pengertian yang mendalam tentang citra pada atribut-atribut suatu

produk seperti citra pada merek, citra harga atau citra pelayanan. Persepsi yang

muncul dari hasil penilaian itu bisa positif dan negatif. Jadi, pemasar harus secara

konstan mencoba mempengaruhi citra konsumen karena dapat meningkatkan

keberhasilan penjualan suatu produk dipasaran (Sutisna, 2002:83).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kholil (1999, dalam Handayani 2006:5),

meneliti tentang “ Pengaruh Persepsi Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian

Sepeda Motor Merk Yamaha Mio di Dealer Mitra Kencana Motor Blimbing

Malang”, ditemukan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara persepsi konsumen

terhadap keputusan pembelian sepeda motor merk Yamaha Mio di Dealer Mitra

Kencana Motor Blimbing Malang, hal ini ditunjukkan dengan nilai F hitung sebesar

25,251 lebih besar dari nilai F tabel sebesar 2,47 dengan nilai signifikansi sebesar

= 0,05.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Khairis (2005, dalam Handayani

2006:6), yang berjudul “Analisis Pengaruh Budaya, Sosial, dan Psikologis Terhadap

Keputusan Konsumen dalam Menggunakan Jasa Transportasi Bus Patas PO. Kurnia

Jurusan Bandung-Tegal-Purwokerto PP”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1)

hasil uji F, mengindikasikan bahwa secara simultan variabel budaya (X1), sosial (X2),

dan psikologis (X3) berpengaruh signifikan terhadap keputusan konsumen dalam

menggunakan jasa transportasi bus patas PO. Kurnia Jurusan Bandung-Tegal-

Purwokerto PP (Y), hal ini ditunjukkan dengan nilai F hitung 19,336 lebih besar dari

F Tabel 2,198 dengan tingkat kepercayaan = 0,05 2) hasil uji t, mengindikasikan

bahwa secara parsial variabel psikologis (X3) berpengaruh paling dominan terhadap

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

22

keputusan konsumen dalam menggunakan jasa transportasi bus patas PO. Kurnia

Jurusan Bandung-Tegal-Purwokerto PP (Y), hal ini ditunjukkan dengan nilai t hitung

3,330 untuk variabel psikologis (X3) lebih besar dari t tabel 1,6449.

Dalam berbagai kasus, konsumen sudah menyimpan suatu penelitian atas

keyakinan di dalam ingatan mengenai kinerja alternatif-alternatif pilihan yang sedang

dipertimbangkan. Keputusan konsumen dalam menggunakan suatu produk

dipengaruhi oleh informasi tentang produk tersebut dengan atribut-atribut tertentunya

yang telah memberikan penilaian dan juga pengalaman atas pengkonsumsian suatu

atribut produk.

Astuti (1998:67) mengatakan bahwa proses keputusan pembelian produk

terjadi ketika konsumen memiliki motivasi untuk memenuhi kebutuhan dan

keinginannya, yang selanjutnya akan menimbulkan motif dalam suatu tindakan.

Ketika konsumen merasa dengan mengkonsumsi produk tersebut maka kebutuhan

dan keinginannya telah terpenuhi, sehingga menimbulkan suatu keputusan maka

dalam proses selanjutnya konsumen akan berusaha mempertahankan tingkat

kepuasan yang telah diperoleh dan akan mempertimbangkan pengalaman hingga

dapat dikatakan bahwa pengalaman masa lalu merupakan proses belajar konsumen

sehingga menimbulkan suatu perubahan dalam perilaku seseorang.

Menurut Hidayat (2007:30) dari waktu ke waktu harapan pelanggan terhadap

sebuah produk/jasa tidak akan pernah sama, bisa naik atau bahkan bisa turun. Jika

pengalaman terdahulu ketika mengkonsumsi/menggunakan suatu produk dengan

atribut-atribut tertentu dirasakan baik oleh konsumen, maka akan berlanjut untuk

menumbuhkan perasaan puas, karena atribut produk tersebut mampu memenuhi

harapan mereka. Konsumen tidak hanya dipuaskan kebutuhannya melainkan juga

akan tumbuh perasaan senang akan produk dengan atribut-atribut serupa.

Kepercayaan yang tumbuh dalam diri konsumen ini akan menentukan sikap yang

akan dipilih dalam keputusan pembelian dan pemakaian produk selanjutnya, apakah

akan membeli produk dengan atribut yang sama kembali atau tidak.

Sebagaimana hasil penelitian Astutik (2005:72) tentang Pengaruh Penilaian

Konsumen atas Atribut Produk terhadap Pembelian Ulang di Factory Outlet Darmo

Malang, ditemukan bahwa penilaian atas atribut produk yang terdiri dari merek (X1)

dan desain produk (X2) berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan pembelian

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

23

ulang pada Factory Outlet Darmo Malang. Kesimpulan tersebut didasarkan pada

hasil pengujian baik secara simultan dan secara partial dengan uji F dan Uji t, dimana

hasil pengujian menunjukkan nilai Fhitung (83,355) > Ftabel (2,09) serta nilai t-hitung

masing-masing variabel lebih besar dari nilai ttabel. Sedangkan besarnya pengaruh

dijelaskan oleh niai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,635 atau 63,5%.

Tak dapat dipungkiri, remaja merupakan salah satu pangsa pasar terbesar bagi

para pemasar dalam memasarkan produk-produknya. Hal ini tidak terlepas dari

kecenderungan remaja yang suka pada hal-hal yang bersifat konsumtif seperti suka

belanja atau membeli sesuatu yang sedang menjadi mode dan tren.

Secara kasat mata kita dapat melihat berapa banyak remaja yang larut dalam

pembiusan keadaan hanya sekedar “pengen“ memperoleh legitimasi “modern” atau

setidaknya mereka senang apabila stempel “kuno” atau “kuper” (kurang pergaulan)

luput dari julukan yang diberikan oleh rekan-rekannya (Kuswandono, 5 Desember

2003).

Tingkah laku remaja umumnya sangat atraktif, remaja sering terlihat

berjalan-jalan berkelompok di berbagai pusat hiburan, makan direstoran cepat saji,

nongkrong di kafe menikmati sajian hiburan, memakai pakaian mengikuti mode

berikut aksesorisnya (kalung, cincin, gelang, tattoo, dan lain-lain). Dan atas pengaruh

iklan, iming-iming diskon, obral dan sejenisnya akan sangat mudah menjerat remaja

untuk berbelanja.

Effen dan Santi (1998:23) menyatakan bahwa remaja umumnya tidak terlepas

dari keceriaan dunia remaja yang diakrabinya. Sekedar mejeng di mal menjadi bukan

barang haram. Remaja senang pergi ke mal ‘jalan bareng-bareng, melihat barang di

etalase, lalu makan di restoran’. Mereka mengunjungi mal 3 kali dalam seminggu

dengan uang saku yang berlebih. Dalam sebuah jajak pendapat, mal adalah tempat

mangkal paling populer untuk mengisi waktu luang remaja (30,8%), sedangkan jajan

merupakan prioritas pertama pengeluaran remaja (49,4%) disusul dengan membeli

alat sekolah (19,5%), untuk jalan-jalan atau hura-hura (9,8%), menabung (8,8%)

sisanya untuk membeli kaset (2,3%), membeli aksesoris mobil (0,6%) dan ada pula

yang tidak menjawab (0,4%).

Berdasarkan survei lembaga penelitian di America Synovate Research

(Hidayat, 2005:46) yang membagi konsumen remaja Indonesia dalam kelompok

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

24

psikografis dengan rentang usia 15-24 tahun dan jumlah merata disemua kota,

menunjukkan jumlah terbanyak yaitu Aspirasional (24%) dengan kriteria kelompok

remaja yang senang bergaul dan menjadi bagian dari suatu kelompok. Mereka

banyak menghabiskan waktu diluar rumah, karenanya mereka selalu berusaha tampil

menarik. Maka, sebagian besar uang sakunya digunakan untuk memperindah

penampilan, seperti membeli pakaian, kosmetik dan aksesori. Kelompok ini mudah

ditemui di mal-mal atau pusat perbelanjaan.

Perilaku konsumtif pada remaja sebenarnya dapat dimengerti bila melihat

usia remaja sebagai usia peralihan dalam mencari identitas diri. Remaja ingin diakui

eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha menjadi bagian dari lingkungan itu.

Tambunan (2001:2) mengatakan bahwa kebutuhan untuk diterima dan menjadi sama

dengan orang lain inilah yang menyebabkan remaja berusaha mengikuti tren produk

yang atribut-atributnya sedang menjadi tren dan mode dan menjadi berperilaku

konsumtif. Remaja dalam perkembangan kognitif dan emosinya masih memandang

bahwa atribut yang superfisial itu sama penting (bahkan lebih penting) dengan

substansi. Apa yang dikenakan oleh seorang artis yang menjadi idola para remaja

menjadi lebih penting (untuk ditiru) dibandingkan dengan kerja keras dan usaha yang

dilakukan artis idolanya itu untuk sampai pada kepopulerannya. Keadaan ini

membuat produk yang dibeli bukan sekedar digunakan untuk memenuhi kebutuhan

(need) saja, tetapi seringkali didorong oleh keinginan (want) yang sifatnya bisa

ditunda seperti mengikuti mode, menaikkan prestise, menjaga gengsi dan berbagai

alasan lain yang sifatnya kurang penting. Sebagaimana pendapat Mike Fatherstone

(dalam Suyanto, 2001:20) yang menyatakan bahwa sebagai ciri-ciri perilaku

konsumtif, para remaja biasanya membeli sesuatu lebih didorong karena adanya

ezzart, yakni “nilai pakai kedua” dari sebuah barang yang tidak lain adalah gengsi.

Agar tidak dianggap ketinggalan jaman, atau terlalu jauh dari standar penampilan

teman-temannya.

Pembelian impulsif pada remaja diduga terkait dengan karakteristik

psikologis yang dimiliki oleh remaja yaitu konsep diri mereka sebagai remaja dan

tingkat konformitas terhadap kelompok teman sebaya. Masa remaja merupakan

tahapan peralihan antara masa anak-anak dengan masa dewasa yang ditandai dengan

berbagai perubahan baik dalam aspek fisik, sosial, dan psikologis. Perubahan

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

25

tersebut bermuara pada upaya menemukan jatidiri dan identitas diri. Terdorong oleh

hasrat untuk pencapaian tujuan-tujuan tertentu dari dalam diri seperti keinginan

tampil berbeda atau lebih menonjol dari yang lain dan kebanggaan akan penampilan

pribadinya karena bisa tampil gaya, gaul, dan jauh dari stempel “kuper” atau

ketinggalan zaman, status sosial, terhindar dari keadaan bahaya dan untuk tujuan-

tujuan yang lain, remaja lalu mengkonsumsi berbagai produk yang dianggap mampu

menghentikan perasaan negatif pada dirinya karena mereka lebih dikuasai oleh

dorongan yang menggambarkan fantasi dan diri idealnya. Melalui konsep diri inilah

remaja dapat memperoleh gambaran tentang dirinya secara utuh, baik yang bersifat

fisik, sosial dan psikologis, diperoleh melalui pengalaman dan interaksi individu

dengan orang lain.

Keadaan di atas sesuai dengan hasil penelitian dengan judul “Hubungan

antara Konsep Diri dengan Perilaku Konsumtif Remaja Putri Dalam Pembelian

Kosmetik Melalui Katalog di SMA Negeri 1 Semarang” yang dilakukan oleh Parma

(2007:15). Hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan analisis regresi sederhana

menunjukkan hasil rxy = -0,350, F = 20,078 dengan p = 0,000 (p < 0,005). Kondisi

tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara konsep diri dengan

perilaku konsumtif, yang berarti semakin negatif konsep diri maka semakin tinggi

perilaku konsumtif remaja putri dalam pembelian kosmetik melalui katalog di SMA

Negeri 1 Semarang. Efektifitas regresi dalam penelitian ini adalah sebesar 0,122,

artinya konsep diri mempengaruhi sebesar 12,2% terhadap perilaku konsumtif

remaja putri dalam pembelian kosmetik melalui katalog.

Lebih jauh lagi, remaja cenderung loyal pada kelompok mereka dan

mengikuti perilaku kelompok tersebut, yang dalam pemasaran disebut sebagai

kelompok referensi (Noviandra, 2006:66). Adanya fenomena konformitas juga

disinyalir menjadi pencetus terjadinya perilaku pembelian impulsif pada remaja.

Minat pribadi timbul karena remaja menyadari bahwa penerimaan sosial terutama

peergroup-nya sangat dipengaruhi oleh keseluruhan yang dinampakkan remaja.

Kemampuan yang dimiliki remaja dapat meningkatkan atau menurunkan pandangan

teman-teman sebaya terhadap dirinya. Sesuatu yang bersifat pribadi seperti tampang,

bentuk tubuh, pakaian atau perhiasan, dan sebagainya, sangat diminati karena erat

berkaitan dengan keberhasilannya dalam pergaulan. Remaja berusaha membentuk

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

26

citra atau image tentang dirinya dan upaya ini terlihat dalam suatu gambaran tentang

cara setiap remaja mempersepsikan dirinya. Termasuk didalamnya cara remaja

menampilkan diri secara fisik sehingga mendorong remaja melakukan berbagai

upaya agar tampilan fisiknya sesuai dengan tuntutan komunitas sosial mereka.

Sebagaimana penelitian analisis regresi sederhana yang berjudul “Hubungan

Antara Konformitas Terhadap Kelompok Teman Sebaya dengan Pembelian Impulsif

pada Remaja” yang dilakukan oleh Sihotang (2009:18), menunjukkan seberapa besar

hubungan antara konformitas terhadap kelompok teman sebaya dengan pembelian

impulsif pada remaja melalui rxy= 0,189 dengan p = 0,008 (p < 0,05). Koefisien

korelasi tersebut mengindikasikan adanya hubungan antara variabel konformitas

terhadap kelompok teman sebaya dengan pembelian impulsif pada remaja. Tingkat

signifikan sebesar p = 0,008 (p < 0,05) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara konformitas terhadap kelompok teman sebaya dengan pembelian

impulsif pada remaja.

Permasalahan kemudian muncul ketika dalam usaha untuk memenuhi

kebutuhan tersebut para remaja mengembangkan perilaku yang mengarah pada pola

konsumtif yang berlebihan. Hal ini bisa membuat mereka masuk pada pola perilaku

pembelian impulsif, yang tidak lain adalah merupakan salah satu aspek dari perilaku

konsumtif itu sendiri.

Pembelian impulsif merupakan suatu fenomena psiko - ekonomik yang

banyak melanda kehidupan masyarakat terutama yang tinggal di perkotaan.

Fenomena ini menarik untuk diteliti mengingat pembelian impulsif juga melanda

kehidupan remaja kota-kota besar yang sebenarnya belum memiliki kemampuan

finansial untuk memenuhi kebutuhannya.

Secara umum perilaku pembelian impulsif remaja sudah lama menjadi

perhatian para pebisnis retail. Bagi produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu

pasar yang potensial sebagai konsumen yang selalu ingin mencoba, memiliki serta

membeli sesuatu yang menjadi mode yang trendi dan membudaya dikalangan remaja

saat ini (Subarjo, 1981:11). Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang

terbentuk pada usia remaja. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan

iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam

menggunakan uangnya. Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

27

produsen untuk memasuki pasar remaja (Tambunan, 2001:2). Remaja juga lebih

peduli pada trend yang sedang berkembang di pasar dibandingkan kelompok usia

yang lain. Mereka juga menjadi memiliki perhatian dan sensitivitas yang cukup besar

terhadap produk atau merek yang sedang tren dipasaran. Mereka tidak saja berperan

menjadi trendsetter bagi orang-orang yang sebaya, melainkan juga mampu menjadi

trendsetter bagi populasi secara umum (Martin dan Bush, 2000, dalam Noviandra,

2006:66). Para remaja juga mempunyai tingkat konsumsi yang sangat tinggi, sangat

mudah melakukan pembelian bahkan untuk produk-produk yang kurang dibutuhkan

atau bahkan tidak dibutuhkan. Perilaku mudah belanja pada kelompok usia remaja

ini dilatarbelakangi ketersediaan sumber daya finansial dari orang tua mereka. Selain

itu pada usia ini, remaja belum mempunyai penghasilan sendiri, sehingga

penghargaan mereka tentang uang pun belum terbentuk dengan baik (Noviandra,

2006:66).

Pada umumnya remaja berperilaku konsumtif berkaitan dengan produk yang

berwujud mode atau style popular. Sifat remaja yang mudah terpengaruh oleh rayuan

penjual, iklan, romantis, impulsif, tidak dapat berfikir hemat, dan kurang realistis

dalam berpikir dapat membawa remaja pada perilaku membeli yang tidak wajar,

yaitu perilaku konsumtif (Lina dan Rosyid, 1997:6). Loudon dan Bitta (1993:149)

berpendapat bahwa remaja adalah kelompok yang berorientasi konsumtif karena

remaja suka mencoba hal-hal yang baru, tidak realistik dan cenderung boros.

Perilaku konsumtif pada masa remaja, antara 12-18 tahun dapat terjadi karena usia

remaja merupakan masa peralihan dan pencarian identitas. Lingkungan pergaulan

remaja punya banyak pengaruh terhadap minat, sikap, pembicaraan, penampilan dan

perilaku lebih besar dibandingkan dengan pengaruh keluarga, hal ini disebabkan

pada masa remaja, remaja lebih banyak berada diluar rumah, mereka berusaha untuk

melepaskan diri dari pengaruh orang tuanya (Hurlock, 1980:213). Selain itu,

karakteristik remaja yang labil, spesifik, dan mudah dipengaruhi membuat mereka

sering dijadikan target pemasaran produksi industri sehingga akhirnya mendorong

munculnya berbagai gejala dalam membeli yang tidak wajar (Zebua dan Nurdjayadi,

2001).

Dengan berpatokan pada remaja yang impulsif dalam pembeliannya, pihak

perusahaan kemudian melakukan pembenahan atribut-atribut yang menyertai produk.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

28

Mereka membuat tampilan yang memikat pada produk-produknya dengan harapan

atribut produk tersebut mampu menarik perhatian dan menumbuhkan kesan atau

persepsi positif konsumen remaja ini terhadap produk sehingga mereka spontan

melakukan pembelian.

Konteks sosial dapat mempengaruhi pembelian impulsif, khususnya ketika

berbelanja untuk mengisi waktu luang bersama kelompok. Pemenuhan kebutuhan

psikologis remaja sangat berpengaruh terhadap penyesuaian diri remaja. Penampilan

secara fisik menjadi hal yang diutamakan. Kesadaran akan adanya reaksi sosial

terhadap bentuk tubuh menyebabkan remaja lebih memperhatikan penampilan fisik

mereka. Remaja sadar dukungan sosial dipengaruhi penampilan yang menarik

berdasarkan apa yang dikenakan dan dimiliki (Meilaratri, 2004:19-28). Keinginan

untuk memenuhi tuntutan tersebut mendorong remaja untuk melakukan pembelian

impulsif.

Menurut laporan Crescentz2k (dalam Go girl, 9 April 2008), pada umumnya

penampilan sangat diperhatikan bagi remaja kota karena penampilan diri merupakan

suatu yang sulit dipisahkan keberadaannya bagi kaum muda/remaja serta terutama

dihadapan teman-teman sebaya, yang akan menghasilkan kesenjangan antara

bertambahnya barang konsumsi dalam segala bentuk atau bertambah luasnya

persepsi tentang kebutuhan dengan daya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Cara

berpakaian dan pilihan warna, merek terkenal, model busana ataupun dalam hal apa

saja yang berkaitan dengan atribut yang dipakainya sebagai identitasnya sebagai

remaja adalah salah satu dari usaha remaja metropolitan untuk membentuk citra

tertentu melalui penampilannya.

Pada dasarnya konsumen melakukan pembelian serta penggunaan suatu

produk menurut Sutisna (2002:88) dikarenakan mereka merasa bahwa citra dirinya

bisa dipresentasikan oleh produk itu. Hal ini berkaitan erat dengan pemenuhan

kebutuhan pribadi (self – esteem ), seperti kebutuhan untuk dihargai dan dihormati

orang lain, dikenal orang dan mempunyai status terpandang atau untuk menaikkan

prestise (Assauri, 1999:122). Meningkatnya kecenderungan remaja untuk berbelanja

di supermarket atau mal mendorong terjadinya pembelian secara tiba-tiba atau

pembelian impulsif. Sebagai contoh, ketika sedang jalan-jalan di mal seseorang

melihat ada pakaian model baru yang terpajang bagus di etalase, supaya dirinya

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

29

dinilai sebagai sosok yang selalu up to date, akhirnya memutuskan membeli

meskipun ketika berangkat dari rumah tidak ada rencana untuk membeli pakaian.

Alasan membeli barang yang tidak direncanakan, seperti baju, tas dan sepatu di mal

lebih banyak akibat tergiur diskon atau model yang menarik perhatian. Akhirnya,

kerap mereka harus merogoh isi dompet atau menggesek kartu kredit demi

memenuhi keinginan tersebut. Kondisi ini menunjukkan bahwa produk-produk yang

ditawarkan mampu memberikan pengaruh secara psikologis bagi kehidupan

pembelinya.

Pembelian produk secara tiba-tiba terjadi karena konsumen melakukan

respon terhadap stimulus yang ada pada saat melakukan pembelian. Jadi, dengan

tanpa berpikir panjang (spontan) terlebih dahulu, konsumen akan membeli produk-

produk yang bisa mempresentasikan citra dirinya. Dittmar (dalam Buendicho, 2003)

percaya bahwa “mengonsumsi produk menunjukkan identitas diri” dan menentukan

peningkatan pada pembelian impulsif. Perilaku pembelian impulsif dapat terjadi pada

kategori produk tertentu, termasuk pada produk makanan ringan.

Menurut Simonson (1989:10) dalam memilih produk, konsumen tidak

semata-mata melihat utilitas atau kepuasan yang diperoleh dari produk tersebut tetapi

juga memperhitungkan bagaimana orang lain menilai produk pilihannya. Remaja

akan memilih produk yang dapat menyeimbangkan kepuasan yang diperoleh dari

mengkonsumsi produk tersebut dan persepsi orang lain terhadapnya. Oleh karena itu

dalam pemilihan produk, konsumen membutuhkan alasan sebagai pembenaran atas

pilihannya. Kebutuhan akan pembenaran ini merupakan refleksi dari hasratnya akan

penghormatan atas diri sendiri atau self-esteem (Hall and Lindzey 1989),

menghindari penyesalan dalam pemilihan produk (Bell 1982), ketidakseimbangan

mental (Festinger 1957), dan persepsi orang lain terhadap dirinya sebagai pembeli

yang rasional (Abelson 1964) (dalam Simonson, 1989:10).

Jika seseorang sudah terobsesi terhadap suatu produk, maka ia akan berusaha

keras untuk mendapatkannya dengan berbagai cara. Bagi beberapa remaja mungkin

akan menggunakan uang sakunya atau minta uang tambahan pada orang tuanya

(Swa, 30 November-11 Desember 2000) atau bahkan sampai melakukan hal-hal yang

bersifat ekstrim seperti menjual diri (Gatra, 3 Januari 1998) dan mencuri (Hirschman,

1992 dalam Djudiyah dan Hadipranata, 2002:63). Kondisi seperti ini bukan tidak

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

30

mungkin akan menimbulkan perilaku yang merugikan dirinya bahkan meresahkan

masyarakat. Remaja akan melakukan berbagai macam cara untuk memuaskan

keinginannya untuk berbelanja.

Survei yang dilakukan oleh Deteksi Jawa Pos menemukan bahwa 20,9 % dari

1.074 responden yang berstatus sebagai pelajar yang berdomisili di Jakarta dan

Surabaya mengaku pernah menggunakan uang SPP-nya untuk membeli barang

incarannya ataupun hanya untuk bersenang-senang (Jawa Pos, 2003).

Penelitian lain yang juga terkait adalah penelitian yang dilakukan oleh

Andryani (2007:65) tentang ”Hubungan Antara Pembelian Impulsif (Impulsive

Buying) Dengan Perilaku Berhutang (Dissaving)” diketahui bahwa bahwa ada

hubungan positif dan signifikan (r=0.818, P= 0.000) antara pembelian impulsif

dengan perilaku berhutang, Adapun sumbangan efektif variabel pembelian impulsif

pada perilaku berhutang adalah sebesar 66.9% yang dilihat dari koefisien determinan

(r2) sebesar 0.669. Hal ini berarti variabel pembelian impulsif menyumbangkan

66.9% kepada perilaku berhutang.

Pembelian impulsif berarti kegiatan untuk menghabiskan uang yang tidak

terkontrol, kebanyakan pada barang-barang yang tidak diperlukan (Hatane, 2005).

Hal ini cenderung mengarahkan individu pada orientasi gaya hidup yang lebih

memacu pada aspek-aspek materiil yang berlebihan. Karena itu adanya ketersediaan

uang (apalagi jika cukup banyak) dan materialisme akan semakin memicu terjadinya

pembelian impulsif.

Penelitian Djudiyah dan Hadipranata (2001:65-66) mengenai “Hubungan

antara Pemantauan Diri, Harga Diri, Materialisme dan Uang Saku dengan Pembelian

Impulsif pada Remaja”, data diperoleh dari 380 pelajar, murid SMUN 1 dan SMUN

6 Malang. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif dan

sangat signifikan antara materialisme, pemantauan diri dan uang saku dengan

pembelian impulsif pada remaja, sedangkan hubungan yang negatif dan signifikan

terdapat pada hubungan variabel harga diri dengan pembelian impulsif. Sumbangan

efektif keseluruhan variabel bebasnya terhadap pembelian impulsif adalah sebesar

58,938 %. Masing-masing hasil analisis korelasi parsial yang dilakukan adalah

sebagai berikut : Hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan dan

positif antara materialisme (rx1y-sisa x = 0,352; p = 0.000) dan uang saku (rx4y-sisa

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

31

x = 0.107; p = 0.036) dengan pembelian impulsif. Artinya semakin tinggi

materialisme maka semakin tinggi pula pembelian impulsif, begitu pula pada uang

saku, semakin tinggi uang saku maka semakin tinggi pembelian impulsif.

Hasil penelitian di atas membuktikan bahwa individu dengan nilai

materialisme tinggi menempatkan benda atau ”things” lebih dari pada ”orang lain”.

Hal ini disebabkan karena benda atau materi mempunyai makna tertentu baginya,

baik makna instrumental terutama makna simbolik atau makna personal dan sosial,

ditambah untuk tujuan fungsional yang alamiah. Kepemilikan materi merupakan

simbol dari keanggotaan kelas (Veblen dalam Engel et al., 1995). Hasil penelitian ini

juga membuktikan bahwa semakin besar penghasilan atau uang saku yang diterima

remaja baik dari orang tua maupun kerja sambilan akan semakin menambah

kecenderungan mereka untuk membeli berbagai macam produk bahkan produk

dengan harga mahal, sehingga mereka cenderung melakukan pembelian impulsif.

Apabila tidak dikontrol, pembelian impulsif dapat menjadi habit atau

kebiasaan yang tidak sehat. Membeli secara impulsif tentu juga akan menimbulkan

masalah keuangan. Membeli suatu barang tanpa perencanaan akan mengakibatkan

membengkaknya anggaran atau pengeluaran. Melakukan pembelian secara impulsif,

apalagi cukup sering akan membuat konsumennya menjadi big spender, boros dan

selalu merasa kekurangan uang karena semua penghasilannya dihabiskan untuk

belanja (Masassya, Mei 2006).

Menghabiskan uang dapat membuat suasana hati seseorang berubah secara

signifikan, dengan kata lain uang adalah sumber kekuatan. Jika memiliki simpanan

uang berlebih tentu tidak jadi masalah, tetapi bagaimana jika tidak?. Dapat dipastikan

mereka akan mengalami kesulitan ekonomi dimasa mendatang karena

penghasilannya terkuras untuk membeli barang-barang yang kurang berguna

baginya. Itulah sebabnya perilaku pembelian impulsif diasosiasikan dengan

kecenderungan mengabaikan dampak-dampak buruk yang mungkin terjadi dan yang

dapat mengakibatkan penyesalan, misalnya berkaitan dengan uang yang sudah

terlanjur dibelanjakan atau kualitas produk yang dibeli.

Sebenarnya praktisi marketing telah lama menyadari pentingnya perilaku

impulsif konsumen, terlebih konsumen remaja. Banyak perusahaan menghabiskan

sejumlah besar sumber dananya untuk melakukan iklan (advertising) produk untuk

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

32

meraih pelanggan. Dholakia (2000) menyebutkan bahwa banyak retail mendasarkan

pengemasan barang yang lebih memfokuskan pada pemerolehan konsumen yang

melakukan pembelian impulsif pada produk dititik penjualan (dalam Djudiyah dan

Hadipranata, 2002:60). Pangsa pasar yang dituju adalah remaja dan kalangan

masyarakat yang potensial sebagai konsumen yang selalu ingin mencoba, memiliki

serta membeli sesuatu yang menjadi mode dan membudaya. Perilaku konsumsi

remaja ini dipandang sebagai peluang bisnis yang sangat besar dan tidak akan pernah

mati oleh banyak pemasar.

Secara umum perilaku pembelian impulsif remaja sudah lama menjadi

perhatian para pebisnis retail. Remaja cenderung untuk berbelanja pada tipe-tipe

produk yang atributnya dirasa cocok dengan kepribadiaan mereka. Para retailer harus

menarik minat para konsumen remaja ini dengan berbagai cara karena perilaku

belanja sangat dirumitkan dengan faktor-faktor psikologis, sosial, ekonomi dan lain-

lain. Para retailer sebenarnya tidak banyak mengetahui tentang apa yang berada

dalam fikiran seorang pembeli baik pada waktu sebelum, saat dan setelah membeli

sesuatu. Dengan berpatokan pada remaja yang impulsif dalam pembeliannya, pihak

perusahaan kemudian melakukan pembenahan atribut-atribut yang menyertai produk

yang mereka pasarkan. Mereka membuat tampilan yang memikat pada produk-

produknya dengan harapan atribut produk tersebut mampu menarik perhatian dan

menumbuhkan kesan atau persepsi positif konsumen remaja terhadap produk

sehingga mereka spontan melakukan pembelian.

Dari pemaparan di atas, tampak jelas bahwa persepsi tentang atribut produk

mewakili salah satu faktor penentu yang sangat penting sebagai pemicu terjadinya

pembelian oleh konsumen, dalam hal ini remaja. Dari berbagai penelitian

sebelumnya diketahui bahwa atribut produk dan faktor persepsi menjadi salah satu

poin penting yang turut mempengaruhi konsumen dalam membuat keputusan

pembeliannya.

Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah atribut-atribut produk

tersebut memberikan dampak bagi konsumen remaja dalam membuat suatu

keputusan pembelian yang tidak wajar (perilaku pembelian impulsif) ketika membeli

suatu produk?. Adanya persepsi yang tercipta di benak konsumen remaja mengenai

atribut-atribut yang ditawarkan oleh suatu produk ditambah dengan adanya harapan

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - core.ac.uk · Pembelian impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai pembelian secara spontan dan sering tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat

33

suatu pemenuhan kebutuhan melalui pengkonsumsian atribut-atribut produk tersebut

diduga mendorong remaja untuk melakukan pembelian impulsif.

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka peneliti

tertarik untuk meneliti Hubungan Antara Persepsi tentang Atribut Produk

dengan Pembelian Impulsif pada Remaja sebagai bahan penelitian dalam rangka

memenuhi penyusunan tugas akhir atau skripsi.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah penelitian yang dapat diangkat berdasarkan latar

belakang permasalahan di atas adalah apakah ada hubungan antara persepsi tentang

atribut produk dengan pembelian impulsif pada remaja?.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mengungkap dan

mengetahui hubungan antara persepsi tentang atribut produk dengan pembelian

impulsif.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat bagi ilmu pengetahuan

teoritis maupun praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi ilmu

psikologi, khususnya psikologi industri dan organisasi terutama pada

bidang konsumen.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan pengetahuan pada

masyarakat luas, terutama remaja agar dapat lebih memahami dan

mampu mengontrol diri dalam melakukan pembelian sehingga dapat.

menerapkan perilaku membeli yang baik serta bagi produsen agar

dapat lebih memahami kebutuhan dan keinginan konsumen akan

atribut-atribut produk yang ditawarkan sebagai upaya untuk menarik

konsumen dalam melakukan pembelian impulsif.