Kajian Pustaka, Kerangka Berfikir, Konsep, Landasan Teori ...
BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Fraktur
Transcript of BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Fraktur
10
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa (mansjoer et al, 2000, dalam Abd.wahid,2013).
Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans And
Dokumentation menyebutkan bahwa fraktur adalah rusaknya kontinuitas
tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang
dapat diserap oleh tulang.
Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan,
baik yang bersifat total maupun sebagian. Secara ringkas dan umum, fraktur
adalah patah tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan
dan sudut tenaga fisik, keadaan tulang itu sendiri, serta jaringan lunak
disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi lengkap atau
tidak lengkap (Zairin Nor Helmi,2012).
Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur
tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang. Pada beberapa
keadaan trauma muskuloskeletal, fraktur dan dislokasi terjadi bersamaan. Hal
ini terjadi apabila disamping kehilangan hubungan yang normal antara kedua
permukaan tulang disertai pula fraktur persendian (Zairin Nor Helmi, 2012).
2.1.1 Proses Fraktur
Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami fraktur,
pemeriksaan perlu mengenal anatomi dan fisiologi tulang sehingga
pemeriksa mampu lebih jauh mengenal keadaan fisik tulang dan
keadaan trauma yang dapat menyebabkan tulang patah. Pada beberapa
keadaan, kebanyakan proses fraktur terjadi karena kegagalan tulang
11
menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan
tarikan. Trauma muskuloskeletal yang biasa menjadi fraktur dapat
dibagi menjadi trauma langsung dan trauma tidak langsung.
2.1.1.1. Trauma Langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang
dan terjadi pada daerah terkanan. Fraktur yang terjadi biasanya
bersifat komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami
kerusakan.
2.1.1.2. Trauma Tidak Langsung
Trauma Tidak Langsung merupakan suatu kondisi trauma
dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur.
Misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan
fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini biasanya jaringan
lunak tetap utuh.
Fraktur juga bisa terjadi akibat adanya tekanan yang berlebih
dibandingkan kemampuan tulang dalam menahan tekanan.
Tekanan yang terjadi pada tulang dapat berupa hal-hal berikut.
a. Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat
spiral atau oblik.
b. Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur
transversal.
c. Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan
fraktur impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi.
d. Kompresi vertikal dapat menyebabkan fraktur kominutif
atau memecah, misalnya pada badan vertebra, talus, atau
fraktur buckle pada anak-anak.
e. Trauma langsung disertai dengan resistensi pada satu
jarak tertentu dan akan menyebabkan fraktur oblik atau
fraktur .
12
f. Fraktur remuk (brus fracture)
g. Trauma karena tarikan pada ligamen atau tendon akan
menarik sebagian tulang.
2.1.2 Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi fraktur dapat dibagi dalam klasifikasi penyebab, klasifikasi
jenis, klasifikasi klinis, dan klasifikasi radiologis.
Klasifikasi Penyebab
2.1.2.1 Fraktur Traumatik
Disebabkan oleh trauma yang tiba-tiba mengenai tulang dengan
kekuatan yang besar. Tulang tidak mampu menahan trauma
tersebut sehingga terjadi fraktur.
2.1.2.2 Fraktur Patologis
Disebabkan oleh kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan
patologis di dalam tulang. Fraktur patologis terjadi pada daerah-
daerah tulang yang telah menjadi lemah karena tumor atau
proses patologis lainnya. Tulang sering kali menunjukkan
penurunan densitas. Penyebab yang paling sering fraktur –
fraktur semacam ini adalah tumor, baik primer maupun
metastasis.
2.1.2.3 Fraktur Stress.
Disebabkan oleh trauma yang terus-menerus pada suatu tempat
tertentu.
Klasifikasi Jenis Fraktur
Berbagai jenis fraktur tersebut adalah sebagai berikut
2.1.2.4 Fraktur Terbuka.
2.1.2.5 Fraktur Tertutup.
2.1.2.6 Fraktur Kompresi.
2.1.2.7 Fraktur Stres.
13
2.1.2.8 Fraktur Avulsi.
2.1.2.9 Greenstick Fraktur (Frakturlentuk Atau Salah Satu Tulang Patah
Sedang Sisi Lainnya Membengkok).
2.1.2.10 Fraktur Transversal.
2.1.2.11 Fraktur Kominutif (Tulang Pecah Menjadi Beberapa Fragmen).
2.1.2.12 Fraktur Impaksi (Sebagian Fragmen Tulang Masuk Ke Dalam
Tulang Lainnya).
Klasifikasi klinis
Manifestasi dari kelainan akibat trauma pada tulang bervariasi. Klinis
yang didapatkan akan memberikan gambaran pada kelainan tulang.
Secara umum keadaan patah tulang secara klinis dapat diklasifikasikan
sebagai berikut.
2.1.2.13 Fraktur Terbuka (open fracture).
Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan
dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak,
dapat berbentuk dari dalam (from within) atau dari luar (from
without).
2.1.2.14 Fraktur Dengan Komplikasi (Complicated Fracture)
Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan
komplikasi misalnya mal-union,delayed union, non-union,serta
infeksi tulang.
Klasifikasi Radiologis
Klasifikasi fraktur berdasarkan penilaian radiologis yaitu penilaian
lokasi/ letak fraktur, meliputi: diafisial, metafisial, intraartikular, dan
fraktur dengan dislokasi ( Zairin Nor Helmi, 2012).
14
2.1.3 Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada
tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas
tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta
saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus
tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan
terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera
berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami
nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya (Zairin Nor Helmi, 2012).
2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fraktur
2.1.4.1 Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang
tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat
menyebabkan fraktur.
2.1.4.2 Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan
daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi
dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau
kekerasan tulang.
2.1.5 Manifestasi klinik
2.1.5.1 Deformitas
2.1.5.2 Bengkak Atau Edema
2.1.5.3 Echimosis (Memar)
15
2.1.5.4 Spasme Otot
2.1.5.5 Nyeri
2.1.5.6 Kurang atau Hilang Sensasi
2.1.5.7 Krepitasi
2.1.5.8 Pergerakan Abnormal
2.1.5.9 Rontgen Abnormal
2.1.6 Test Diagnostik
2.1.6.1 Pemeriksaan Rontgen : menentukan lokasi atau luasnya fraktur
atau luasnya trauma, scan tulang, temogram, scan CI:
memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
2.1.6.2 Hitung Darah Lengkap : HB mungkin meningkat atau menurun
2.1.6.3 Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk
ginjal.
2.1.6.4 Profil Koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan
darah, transfusi multiple, atau cedera hati.
2.2 Pre Operasi
Komponen universal dari proses keperawatan juga bertindak sebagai
kerangka konseptual untuk keperawatan perioperatif. Istilah “perioperatif”
mengambarkan proses asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat,baik
sebelum, selama, maupun segera setelah operasi. Seorang perawat yang
melakukan asuhan keperawatan perioperatif bertanggung jawab untuk
mengkaji, merencanakan, dan mengimplementasikan (mendelegasikan),
mengevaluasiperawatan klien selama fase pre praoperasi (dimulai sejak
adanya keputusan bahwa klien akan menjalani pembedahan sampai ke meja
bedah), intraoperasi ( dimulai dari klien ada di meja bedah sampai klien
masuk Recovery Room (RRI), dan pascaoperasi ( dimulai dari RR sampai
sadar total). Perawat yang melaksanakan asuhan keperawatan praoperasi
memfokuskan masalah pada persiapan klien menuju meja operasi persiapan
16
yang dilakukan bersifat umum maupun khusus. Pada operasi terencana
dibagian bedah orthopedi, pengkajian dan perencanaan umum dirumah sakit
sangat penting. Pengkajian identitas, jenis kelamin, pekerjaan, agama, dan
penanggung jawab klien sangat diperlukan agar tindakan pembedahan dapat
berlangsung lancar dan pengkajian dilakukan secara cepat dan lengkap
walaupun tidak mendetail. (Muttaqin, 2008).
Keperawatan perioperatif adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan
pengalaman pembedahan pasien. Kata “perioperatif” adalah suatu istilah
gabungan yang mencakup tiga fase pengalaman pembedahan – pre operatif,
intra operatif, dan pasca operatif (Brunner & Suddart, 2001). Pendidikan
perioperatif yang terstruktur meliputi standar AORN (2002) dan demonstrasi
latihan perioperatif telah meningkatkan hasil akhir seperti tingkat bertanya
nyeri, fungsi paru, lama tinggal, dan tingkat kecemasan pasien (Potter &
Perry, 2010).
Fase pre operatif dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan
berakhir ketika pasien dikirim ke meja operasi. Pasien dipindahkan ke ruang
pre bedah di atas tempat tidur atau brankar sekitar 15-30 menit sebelum
anastesi dimulai (Muttaqin & Sari, 2009). Lingkup aktivitas keperawatan
selama waktu tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien di
tatanan klinik atau di rumah, menjalani wawancara pre operatif, dan
menyiapkan pasien untuk anastesi yang diberikan dan pembedahan.
Bagaimanapun, aktivitas keperawatan mungkin dibatasi sehingga melakukan
pengkajian pasien pre operatif di tempat atau ruang operasi.
Pengkajian harus terlebih dahulu dilakukan pada pre operatif. Tujuan dari
pengkajian pasien sebelum operasi adalah untuk menetapkan fungsi normal
pasien perioperatif untuk mencegah dan meminimalkan kemungkinan
17
komplikasi pascaoperasi. Sebagian besar pengkajian dimulai sebelum
memasuki ruang bedah, tempat penyedia layanan kesehatan, klinik tempat
penerimaan, klinik anestesi, atau melalui telepon (Potter & Perry, 2010).
Reaksi Pasien yang merasa bosan, maka tingkat kewaspadaan terhadap nyeri
meningkat sehingga mempersepsikan nyeri lebih akut. Teknik distraksi dapat
mengalihkan tingkat kewaspadaan klien akan nyerinya bahkan meningkatkan
toleransi terhadap persepsi nyeri yang diterima sehingga dapat mengatasi
nyeri selama pelaksanaan prosedur invasif (Muttaqin, 2008).
2.3 Konsep nyeri
2.3.1 Pengertian
Arthur C. Curton (1983) dalam Mariyani (2016) mengatakan bahwa
nyeri merupakan suatu mekanisme proteksi bagi tubuh, timbul ketika
jaringan sedang rusak, dan menyebabkan individu tersebut bereaksi
untuk menghilangkan rasa nyeri.
Melzack dan Wall (1988) dalam Judha dkk. (2012) mengatakan bahwa
nyeri adalah pengalaman pribadi, subjektif, yang dipengaruhi oleh
budaya, persepsi seseorang, perhatian, dan variabel-variabel psikologis
lain, yang mengganggu perilaku berkelanjutan dan memotivasi setiap
orang untuk menghentikan rasa tersebut.
Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang bersifat subjektif.
Keluhan sensori yang dinyatakan seperti pegel, linu, ngilu, dan
seterusnya dapat dianggap sebagai modalitas (Muttaqin & Sari, 2008).
Caffery sebagaimana dikutip oleh Potter & Perry (2005), menyatakan
nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang nyeri
tersebut dan terjadi kapan saja ketika seseorang mengatakan bahwa ia
merasa nyeri. Nyeri merupakan sensasi tidak menyenangkan yang
18
terlokalisasi pada suatu bagian tubuh. Nyeri seringkali dijelaskan dalam
istilah proses distruksi jaringan seperti ditusuk-tusuk, panas terbakar,
melilit, seperti emosional, pada perasan takut, mual dan muntah.
Terlebih dari, setiap perasaan nyeri dan intensitas sedang sampai kuat
disertai oleh rasa cemas dan keinginan kuat untuk melepaskan diri dari
atau meniadakan perasaan itu (Judha et al, 2012).
Rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh, timbul bila ada
jaringan rusak dan hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan
memindahkan stimulasi nyeri. Nyeri adalah segala sesuatu yang
dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja
seseorang mengatakan bahwa ia merasa nyeri (Potter & Perry, 2006).
Judha et al. (2012) menyatakan nyeri biasa terjadi karena adanya
rangsangan mekanik atau kimia pada daerah kulit di ujung-ujung syaraf
bebas yang disebut nosireseptor. Pada kehidupan nyeri dapat bersifat
lama dan ada yang singkat, berdasarkan lama waktu terjadinya inilah
maka nyeri dibagi menjadi dua :
2.3.1.1 Nyeri akut
Nyeri akut sebagian terbesar, diakibatkan oleh penyakit, radang,
atau injuri jaringan. Nyeri jenis ini biasanya awitannya datang
tiba-tiba, sebagai contoh, setelah trauma atau pembedahan dan
mungkin menyertai kecemasan atau distres emosional. Nyeri
akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau cedera sudah
terjadi. Nyeri akut biasanya berkurang sejalan dengan terjadinya
penyembuhan. Nyeri ini umumnya terjadi kurang dari 6 (enam)
bulan penyebab nyeri yang paling sering adalah tindakan
diagnosa dan pengobatan. Dalam beberapa kejadian jarang
menjadi kronik.
19
2.3.1.2 Nyeri kronik
Nyeri kronik, secara luas dipercaya menggambarkan
penyakitnya. Nyeri ini konstan dan intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik sulit untuk
menentukan awitannya. Nyeri ini dapat menjadi lebih berat yang
dipengaruhi oleh lingkungan dan faktor kejiwaan. Nyeri kronik
berlangsung lebih lama (lebih dari enam bulan) dibandingkan
dengn nyeri akut dan resisten terhadap pengobatan. Nyeri ini
dapat dan sering menyebabkan masalah yang berat bagi pasien.
2.3.2 Jenis-jenis nyeri
Price & wilson (2005), mengklasifikasikan nyeri berdasarkan lokasi
atau sumber (Judha et al, 2012) antara lain:
2.3.2.1 Nyeri somatik superfisia (kulit)
Nyeri kulit berasal dari struktur-struktur superfisial kulit dan
jaringan subkutis. Stimulus yang efektif untuk menimbulkan
nyeri di kulit dapat berupa rangsang mekanis, suhu, kimiawi,
atau listrik. Apakah kulit hanya yang terlibat, nyeri sering
dirasakan sebagai penyengat ,tajam, meringis atau seperti
terbakar, tetapi apabila pembuluh darah ikut berperan
menimbulkan nyeri, sifat nyeri menjadi berdeyut.
2.3.2.2 Nyeri somatik dalam
Nyeri somatik dalam mengacu kepada nyeri yang berasal dari
otot, tendon, ligamentum, tulang, sendi dan arteri.
Struktur-struktur ini memiliki lebih sedikit reseptor nyeri
sehingga lokalisasi nyeri kulit dan cenderung menyebar
kedaerah sekitarnya.
2.3.2.3 Nyeri visera
Nyeri visera mengacu kepada nyeri yang berasal dari organ-
organ tubuh. Reseptor nyeri visera lebih jarang dibandingkan
20
dengan respon nyeri somatik dan terletak dinding otot polos
organ-organ berongga. Mekanisme utama yang menimbulkan
nyeri visera adalah peragangan atau distensi abnormal dinding
atau kapsul organ, iskimia dan peradangan.
2.3.2.4 Nyeri alih
Nyeri alih didefinisikan sebagai nyeri berasal dari salah satu
daerah ditubuh tetapi dirasakan terletak di daerah lain. Nyeri
visera sering dialihkan kedermaton (daerah kulit) yang
dipersarafi oleh segmen medula spinalis yang sama dengan
viksus yang nyeri tersebut berasal dari masa mudigah , tidak
hanya di tempat organ tersebut berada pada masa dewasa.
2.3.2.5 Nyeri neuropati
Sistem saraf secara normal menyalurkan rangsangan yang
merugikan dari sistem saraf tepi (SST) ke sistem saraf pusat
(SSP) yang menimbulkan perasaan nyeri. Dengan demikian, lesi
di SST atau SSP dapat menyebabkan gangguan nyata hilang
sensasi nyeri. Nyeri neuropatik sering memiliki kualitas seperti
terbakar, perih atau seperti terserang listrik. Pasien dengan nyeri
neuropatik menderita akibat instabilitas Sistem Saraf Otonom
(SSO). Dengan demikian, nyeri sering bertambah parah oleh
stres emosi atau fisik (dinding, kelelahan) dan mereda oleh
relaksasi.
2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
Adapun beberapa faktor nyeri yang mempengaruhi nyeri menurut
muttaqin & Sari (2008), antara lain:
2.3.3.1 Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri,
khususnya pada anak dan lansia. Perbedaan perkembangan
yang diitemukan diantara kelompok usia ini dapat
mempengaruhi anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri. Anak
21
yang masih kecil mempunyai kesulitan memahami nyeri dan
prosuder yang dilakukan perawat yang menyebabkan nyeri.
Anak-anak kecil yang belum dapat mengucapkan kata-kata juga
mengalami kesulitan untuk mengungkapkan secara verbal dan
mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau perawat.
2.3.3.2 Jenis kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara makna
dalam respon terhadap nyeri. Diragukan apakah hanya jenis
kelamin saja yang merupakan suatu faktor dalam
mengekspresikan nyeri. Toleransi nyeri sejak lama telah
menjadi sunyek penelitian yang melibatkan pria dan wanita,
akan tetapi toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor-
faktor biokimia dan merupakan hal yang unik pada setiap
individu tanpa memperhatikan jenis kelamin.
2.3.3.3 Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan
apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi
bagaimana bereaksi terhadap nyeri. Petugas kesehatan sering
kali berasumsi bahwa cara mereka lakukan dan apa yang mereka
yakini sama dengan cara dan keyakinan orang lain.
2.3.3.4 Makna nyeri
Pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap
nyeri. Hal ini juga dikaitkan secara dekat dengan latar belakang
budaya individu tersebut. Individu mempersipsikan dengan cara
berbeda-beda apabila nyeri tersebut memberikan kesan
ancaman, suatu kehilangan, hukuman dan tantangan. Misalnya
seseorang wanita yang melahirkan akan mempersepsikan nyeri,
22
akibat cedera karena pukulan pasangannya. Derajat dan kualitas
nyeri yang dipersiapkan nyeri klien berhubungan dengan makna
nyeri.
2.3.3.5 Perhatian
Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang
meningkatkan sedangkan upaya pengalihan dihubungkan
dengan respon nyeri yang menurun. Dengan memfokuskan
perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus yang lain, maka
perawat menempatkan nyeri pada kesadaran yang perifer.
Biasanya hal ini menyebabkan toleransi nyeri individu
meningkat, khususnya terhadap nyeri yang berlangsung hanya
selama waktu pengalihan.
2.3.3.6 Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas
seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat
menimbulkan suatu perasaan ansietas. Pola bangkitan otonom
adalah sama dalam nyeri ansietas. Paice (1991) melaporkan
suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem
limbik dapat memproses reasi emosi seseorang, khususnya
ansietas. Sistem limbik dapat memproses reaksi emosi
seseorang, khususnya ansietas. Sistem limbik dapat memproses
reaksi emosi seseorang terhadap nyeri, yakni memperburuk atau
menghilangkan nyeri.
2.3.3.7 Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri, rasa kelelahan
menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan
kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi masalah umum pada
setiap individu yang menderita penyakit dalam jangka lama.
23
Apabila keletihan disertai kesulitan tidur, maka persepsi nyeri
terasa lebih berat dan jika mengalami suatu proses periode tidur
yang baik maka nyeri berkurang.
2.3.3.8 Pengalaman sebelumnya
Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa
individu akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa
yang akan datang. Apabila individu sejak lama sering
mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh
maka rasa takut akan muncul, dan juga sebaliknya. Akibatnya
klien akan lebih siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang
diperlukan untuk menghilangkan nyeri.
2.3.3.9 Gaya koping
Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang
membuat merasa kesepian, gaya koping mempengaruhi
mengatasi nyeri.
2.3.3.10 Dukungan keluarga dan sosial
Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri adalah
kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap
mereka terhadap klien. Walaupun nyeri dirasakan, kehadiran
orang yang bermakna bagi pasien akan meminimalkan
kesepian dan ketakutan. Apabila tidak ada keluarga atau teman,
seringkali mengalami nyeri membuat klien semakin tertekan,
sebaliknya tersedianya seseorang yang memberi dukungan
sangatlah berguna karena akan membuat seseorang merasa
lebih nyaman. Kehadiran orang tua sangat penting bagi anak-
anak yang mengalami nyeri.
24
2.3.4 Fisiologi Nyeri
Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku. Cara yang
paling baik untuk memahami pengalaman nyeri, akan membantu untuk
menjelaskan tiga komponen fisiologis berikut, yakni : resepsi, persepsi,
dan reaksi. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui
serabut perifer. Serabut nyeri memasuki medula spinalis dan menjalani
salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam massa
pewarna abu-abu di medula spinalis. Terdapat pesan nyeri dapat
berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri
sehingga tidak mencapai otak atau ditranmisi tanpa hambatan ke korteks
serebral, maka otak mengintrerpretasi kualitas nyeri dan memproses
informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta asosiasi
kebudayaan dalam upaya mempersipsikan nyeri ( Potter & Perry, 2006).
2.3.5 Pengkuran Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan
oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan
sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon
fisiologis tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan
teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu
sendiri (Tamsuri, 2007).
2.3.6 Karateristik nyeri
Menurut Judha et al (2012) Karakteristik nyeri dapat dilihat atau diukur
berdasarkan lokasi nyeri, durasi nyeri (menit, jam, hari, atau bulan),
irama / periodenya (terus menerus, hilang timbul, periode bertambah
atau berkurang intensitas) dan kualitas ( nyeri seperti di tusuk-tusuk,
terbakar, sakit nyeri dalam atau superfisial, atau bahkan seperti di
gancet).
25
Karakteristik dapat juga dilihat nyeri berdasarkan metode PQRST, P
Provocate ( faktor pencetus atau pengurang) , Q Quality (gambaran atau
sifat nyeri ), R Region ( lokasi nyeri), S Saverity (keparahan atau skala
nyeri ), T Time ( berapa lama nyeri dirasakan) . Berikut keterangannya :
2.3.6.1 P : Provocate
Tenaga kesehatan harus mengkaji tentang penyebab
terjadinya nyeri pada penderita, dalam hal ini perlu
dipetimbangkan bagian-bagian tubuh mana yang mengalami
cedera termasuk menghubungkan antara nyeri yang diderita
dengan faktor fisiologisnya, karena biasa terjadinya nyeri
hebat karena dari faktor fisiologis bukan dari luka.
2.3.6.2 Q : Quality
Kualitas nyeri merupakan sesuatu yang subjektif yang
diungkapkan oleh klien, seringkali klien mendeskripsikan
nyeri dengan kalimat nyeri seperti ditusuk, terbakar, sakit
nyeri dalam atau superfisial, atau bahkan seperti di gancet.
2.3.6.3 R : Ragion
Untuk mengkaji lokasi, tenaga kesehatan meminta penderita
untuk menunjukkan semua bagian / daerah yang dirasakan
tidak nyaman. Untuk melokalisasi lebih spesifik maka
sebaiknya tenaga kesehatan meminta penderita untuk
menunjukkan daerah yang nyerinya minimal sampai kearah
nyeri. Namun hal ini akan sulit dilakukan apabila nyeri yang
dirasakan bersifat menyebar atau difuse.
2.3.6.4 S : Saverity
Tingkat keparahan merupakan hal yang paling subyektif yang
dirasakan oleh penderita, karena akan diminta bagaimana
26
kualitas nyeri, kualias nyeri harus bisa gambarkan
menggunakan skala yanng sifatnya kuantitas.
2.3.6.5 T : Time
Berapa lama nyeri berlangsung ( bersifat akut atau kronis),
kapan, apakah ada waktu-waktu tertentu yang menambah
rasa nyeri.
2.3.7 Skala atau pengukuran nyeri
2.3.7.1 Skala intensitas nyeri numerik
Keterangan :
Tidak nyeri = Bila skala intensitas nyeri numerik 0
Nyeri ringan = Bila skala intensitas nyeri numerik 1-3
Nyeri sedang = Bila skala intensitas nyeri numerik 4-6
Nyeri berat = Bila skala intensitas nyeri numerik 7-9
Nyeri sangat berat = Bila skala intensitas nyeri numerik 10
2.3.7.2 Skala Intensitas Nyeri Deskripsi
27
2.3.7.3 Skala analog visual
Keterangan :
Tidak nyeri = 0
Nyeri sangat hebat = 10
2.3.7.4 Skala Nyeri Menurut Bourbanis
Keterangan :
a. Tidak nyeri = 1
b. Nyeri ringan, secara obyektif klien dapat berkomunikasi = 1-3
c.Nyeri sedang, secara obyektif klien mendesis, dapat menenjukkan
lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik = 4-6
d. Nyeri berat, secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan dapat
menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat di atasi dengan alih posisi
nafas panjang dan distraksi = 7-9
e. Nyeri sangat berat, pasien tidak mampu lagi berkomunikasi =
10
28
2.3.7.5 Skala Wajah
2.4 Penatalaksanaan Nyeri
Menurut Potter & Perry (2006 dalam mariyani 2016), ada dua metode umum
untuk terapi nyeri antara lain :
2.4.1 Pendekatan Farmakologis
Beberapa agens farmakologis digunakan untuk menangani nyeri. Semua
agen tersebut memerlukan resep dokter. Keputusan perawat, dalam
menggunakan obat-obatan dan penatalaksanaan klien yang menerima
terapi farmakologis, membantu dalam upaya memastikan penanganan
nyeri yang mungkin dilakukan.
2.4.1.1 Terapi Farmakologis
Jenis-jenis obat- obat farmaologis menurut Muttaqin & Sari
(2008), antara lain :
a) Analgesik
Analgesik merupakan metode yang paling umum untuk
mengatasi nyeri. Walaupun analgesik dapat menghilangkan
nyeri dengan efektif, perawat dan dokter masih cenderung
tidak melakukan upaya analgesik dalam penanganan nyeri
karena informasi obat yang tidak benar, adanya kekhawatiran
klien akan mengalami ketagihan obat, cemas akan melakukan
kesalahan dalam menggunakan analgesik narkotik, dan
pemberian obat yang kurang dari yang diresepkan. Perawat
harus mengetahui obat-obatan yang tersedia untuk
menghilangkan nyeri dan efek-efek farmakologis obat-obatan
tersebut.
29
Analgesik terbagi menjadi tiga jenis , yaitu :
1. Non-narkotik dan obat-obatan anti-anflamasi nonsteroid
(NSAIDs)
2. Analgesik narkotik atau Opiat
3. Obat tambahan (adjuvan) atau ko-analgesik
2.4.2 Pendekatan Non-Farmakologis
Judha et al. (2012) menjelaskan manajemen nyeri nonfarmakologis
merupakan tindakan menurunkan respons nyeri tanpa menggunakan
agen farmakologi. Manajemen nyeri non-farmakologi sangat beragam,
yaitu:
a. Imaginery
Metode ini menggunakan memori tentang peristiwa-peristiwa yang
menyenangkan bagi pasien atau mengembangkan pemikiran-
pemikiran pasien untuk mengurangi nyeri. Seperti atlet
menggunakan imagery seperti gambar kemenangannya dalam
perlombaan, dan penderita kanker membayangkan chemotherapi
yang membunuh sel kanker, Imagery merupakan teknik relaksasi
seperti meditasi dan self hipnosis yang aman terutama jika dibimbing
oleh tenaga kesehatan professional dan terlatih. Beberapa orang
melaporkan menggunakan teknik ini merasa mudah, dan dapat
menggunakan media seperti audiotape, handphone atau CD, yang
berisikan musik yang lembut, alami atau natural yang akan
menambah daya imajinasi selama 11 menit sehingga guided imagery
bisa optimal terlaksana, Musik yang digunakan pada guided imagery
adalah suatu komponen yang dinamis yang bisa mempengaruhi baik
psikologis maupun fisiologis bagi pendengarnya. (Wilgran, 2004
dalam Rusmildania 2016) Mengingat banyaknya manfaat dari musik,
kini musik mulai digunakan juga untuk terapi. Berbagai penelitian
memperlihatkan bukti- bukti pemanfaatan musik untuk menangani
30
berbagai masalah: kecemasan, kanker, tekanan darah tinggi, nyeri
kronis, disleksia, bahkan penyakit mental.
b. Teknik relaksasi
Ketegangan otot, kecemasan, nyeri adalah perasaan yang tidak
nyaman. Masing-masing perasaan secara individu dapat memperhebat
perasaan yang lain dan menciptakan suatu siklus hebat. Teknik
relaksasi dapat membantu memutuskan siklus ini. Teknik ini meliputi
meditasi, yoga, musik, dan ritual keagamaan. Penggunaan teknik
relaksasi tidak menyiratkan bahwa nyeri itu tidak nyata, tetapi hanya
membantu menurunkan ketakutan atau kecemasan berhubungan
dengan nyeri sedemikian rupa sehingga tidak bertambah buruk.
c. Distraksi
Metode ini berfokus pada perhatian seseorang atas sesuatu selain dari
nyeri. Teknik ini paling efektif untuk nyeri yang dirasakan sesaat saja,
sebagai contoh, injeksi dan pengambilan darah.
d. TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation)
Alat ini bekerja seperti menggunakan tempelan dikulit. Tempelan ini
memancarkan impuls yang akan memblok nyeri pada nervesnya.
Metode penghilang rasa sakit menggunakan mesin TENS
(Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation) dipilih jika rasa sakit
ingin hilang tanpa menggunakan obat. Mesin ini merupakan sensor
elektronik yang membantu tubuh menahan rasa sakit dengan
mengirim pulsa arus listrik ke punggung. Beberapa elektroda
ditempelkan di atas saraf punggung menuju rahim dan dihubungkan
dengan panel kontrol yang di pegang untuk menambah atau
mengurangi arus listrik. Alat ini mudah digunakan dan tidak
membahayakan.
31
2.5 Konsep Guided Imagery
2.5.1 Definisi
Guided Imagery atau Imagery terbimbing adalah pengembangan fungsi
mental yang mengekspresikan diri secara dinamika melalui proses
psikofisiologikal melibatkan seluruh indra dan membawa perubahan
terhadap perilaku, persepsi atau respon fisiologik dengan bimbingan
seseorang atau melalui media (Endang Nurgiwiati,2015) Alur respon
imagery terdiri dari alur neuroendokrin dan alur sistem syaraf
autonomic. Berdasarkan alur respon neuroendokrin, guided imagery
dapat mempengaruhi hypothalamus kelenjar pituitary dan adrenal
sehingga menurunkan glukokortikoid dan kadar catecholamine.
Sedangkan dari alur sistem syaraf autonomik, terdapat hubungan antara
sistem syaraf simpatik dan parasimpatik yang dapat merespon terhadap
stimulas nyata dan imaginatif.
Guided Imagery pada dasarnya mengarahkan diri sendiri untuk berpikir
dan berimajinasi secara positif sehingga merangsang serotonin untuk
mengeluarkan zat kimiawi yang bersifat menyenangkan sehingga
menurunkan kecemasan dan meningkatkan sistem imunitas tubuh
(Tusek, Cwynar,2000, dalam Endang Nurgiwiati,2015).
Guided Imagery (imajinasi terbimbing) adalah menggunakan imajinasi
seseorang dalam suatu cara yang direncanakan secara khusus untuk
mencapai efek positif tertentu. Sebagai contoh, imajinasi terbimbing
untuk relaksasi dan meredakan nyeri dapat terdiri atas menggabungkan
napas berirama lambat dengan suatu bayangan mental relaksasi dan
kenyamanan. Dengan mata terpejam, induvidu diinstrusikan untuk
membayangkan bahwa dengan setiap napas yang diekshalasi secara
lambat ketegangan otot dan ketidaknyamanan dikeluarkan,
menyebabkan tubuh yang rileks dan nyaman. Setiap kali menghirup
napas, klien harus membayangkan energi penyembuh dialirkan
32
kebahagian yang tidak nyaman. Setiap kali napas dihembuskan, klien
diinstruksikan untuk membayangkan bahwa udara yang di hembuskan
membawa pergi nyeri dan ketegangan (Muttaqin & Sari, 2008). Imagery
merupakan teknik relaksasi seperti meditasi dan self hipnosis yang aman
terutama jika dibimbing oleh tenaga kesehatan professional dan terlatih.
Beberapa orang melaporkan menggunakan teknik ini merasa mudah,
tetapi memerlukan waktu, kesabaran, dan latihan yang terus menerus,
kadang-kadang memerlukan seseorang atau media seperti audiotape,
atau CD, yang membimbing agar lebih konsentrasi sehingga disebut
dengan guided imagery (imagery yang terbimbing) dan latihan ini dapat
dilakukan pada ruangan nyaman dan tenang, biasanya memerlukan
waktu 10-15 menit, dapat dilakukan setiap hari.
2.5.2 Fisiologi Guided imagery
Imajinasi terbimbing (Guided imagery) merupakan suatu teknik yang
menuntut seseorang untuk membentuk sebuah bayangan / imajinasi
tentang hal-hal yang disukai. Imajinasi yang terbentuk tersebut akan
diterima sebagai rangsangan oleh berbagai indra, kemudian rangsangan
tersebut akan di jalani ke batang otak menuju sensor thalamus.
Ditalamus rangsangan diformat sesuai dengan bahasa otak, sebagian
kecil rangsangan itu ditransmisikan ke amigdala dan hipokampus
sekitarnya dan sebagian besar lagi dikirim ke konteks serebri, dikorteks
serebri terjadi proses asosiasi pengindraan dimana rangsangan dianalisis,
dipahami dan disusun menjadi sesuatu yang nyata sehingga otak
mengenali objek dan arti kehadiran tersebut. Hipokampus berperan
sebagai penentean sinyal sensorik di anggap penting atau tidak sehingga
jika hipokampus hingga diproses menjadi memori. Ketika terdapat
rangsangan berupa bayangan tentang hal-hal yang disukai tersebut,
memori yang telah tersimpan akan muncul kembali dan menimbulkan
suatu persepsi dari pengalaman sensasi yangt sebenarnya, walaupun
33
pengaruh / akibat yang timbul hanyalah suatu memori dari suatu sensasi
(Guyton, A.C and Hall, 2007).
2.5.3 Tujuan Guided imagery
Guided imagery mempunyai elemen yang secara umum sama dengan
relaksasi, yaitu sama-sama membawa klien kearah relaksasi. Tujuan dari
teknik Guided imagery yaitu menimbulkan respon psikofisiologis yang
kuat seperti perubahan dalam fungsi imun ( Potter & Perry, 2009 dalam
Hendy, 2014). Penggunaan Guided imagery tidak dapat memusatkan
perhatian pada banyak hal dalam satu waktu oleh karena itu klien harus
membayangkan satu imajinasi yang sangat kuat dan menyenangkan
(Mariyani, 2016).
2.5.4 Manfaat
Manfaat dari teknik Guided imagery yaitu sebagai intervensi perilaku
untuk mengatasi kecemasan, stres, dan nyeri ( Smeltzer dan Bare,2002
dalam Hendy, 2014) menjelaskan aplikasi klinik Guided imagery yaitu
sebagai penghancur sel kangker, untuk mengontrol dan mengurangi rasa
nyeri, serta untuk mencapai ketenangan dan ketentraman ( Potter &
Perry, 2009 dalam Mariyani, 2016).
Guided imagery merupakan imajinasi yang direncanakan secara khusus
untuk mencapai efek positif. Dengan membahayakan hal – hal yang
menyenangkan maka akan terjadi perubahan aktifitas motorik sehingga
otot–otot yang tegang menjadi relaks, respon terhadap bayangan
menjadi semakin jelas. Hal tersebut terjadi karena rangsangan imajinasi
berupa hal – hal yang menyenangkan akan menjalankan ke batang otak
menuju sensor thalamus untuk di format. Sebagian kecil ransangan itu di
transmisikan ke amigdala dan hipokampus, sebagian lagi di kirim ke
korteks serebri. Sehingga pada konteks serebri akan terjadi asosiasi
pengindraan. Pada hipokampus hal-hal yang menyenangkan akan
34
diproses menjadi sebuah memori. Ketika terdapat rangsangan berupa
imajinasi yang menyenangkan memori yang tersimpan akan muncul
kembali dan menimbulkan suatu proses. Dari hipokampus rangsangan
yang telah mempunyai makna dikirim ke amigdala yang akan
membentuk pola respon yang sesuai dengan makna rangsangan yang
diterima. Sehingga subjek akan lebih mudah untuk mengasosiasikan
dirinya dalam menurunkan sesuai nyeri yang dialami (dalam
Hendry,2014). Latihan ini dapat dilakukan pada ruangan nyaman dan
tenang, biasanya memerlukan waktu 10-15 menit, dapat dilakukan setiap
hari.
2.5.5 Langkah-langkah
Teknik ini dimulai dengan proses relaksasi pada uumnya yaitu meminta
kepada klien untuk perlahan – lahan menutup matanya dan fokus pada
nafas mereka, klien di dorong untuk relaksasi mengosongkan pikiran
dan memenuhi pikiran dengan bayangan untuk membuat damai dan
tenang (Rahmayati, 2010 dalam Patastik et al, 2013).
Menurut Kozier & Erb, (2009) dalam Mariyani, (2016) mengatakan
bahwa langkah-langkah dalam melakukan Guided Imagery yaitu :
2.5.5.1 Untuk persiapan, mencari lingkungan yang nyaman dan tenang,
bebas dari distraksi. Lingkungan yang bebas dari distraksi
diperlukan oleh subjek guna berfokus pada imajinasi yang
dipilih. Untuk pelaksanaan, subjek harus tahu rasional dan
keuntungan dari teknik imajinasi terbimbing. Subjek merupakan
partisipan aktif dalam latihan imajinasi dan harus memahami
secara lengkap tentang apa yang harus dilakukan dan hasil akhir
yang diharapkan. Selanjutnya memberikan kebebasan kepada
subjek. Membantu subjek ke posisi yang nyaman dengan cara :
membantu subjek untuk bersandar atau tergantung pada kondisi
subjek dan meminta menutup matanya. Posisi nyaman dapat
meningkatkan fokus subjek selama latihan imajinasi.
35
Menggunakan sentuhan jika hal ini tidak membuat subjek terasa
terancam. Bagi beberapa subjek, sentuhan fisik mungkin
mengganggu karena kepercayaan budaya dan agama mereka.
2.5.5.2 Langkah berikutnya menimbulkan relaksasi. Dengan cara
memanggil nama yang disukai. Berbicara jelas dengan nada
yang tenang dan netral. Meminta subjek menarik nafas dalam
dan perlahan untuk merelaksasikan semua otot. Untuk
mengatasi nyeri atau stres, dorong subjek untuk membayangkan
hal-hal yang menyenangkan dengan menggunakan media
pemutar Musik, atau sejenisnya. Setelah itu membantu subjek
merinci gambaran dari bayangannya. Mendorong subjek untuk
menggunakan semua inderanya dalam menjelaskan bayangan
dan lingkungan bayangan tersebut jika subjek menunjukan
tanda-tanda agitasi, atau tidak nyaman, maka hentikan latihan
dan mulai lagi ketika subjek siap. Relaksasi dilakukan 10-15
menit.
2.5.5.3 Langkah selanjutnya meminta subjek untuk menjelaskan
perasaan fisik dan emosional yang ditimbulkan oleh
bayangannya. Dengan mengarahkan subjek untuk
mengeksplorasi respon terhadap bayangan karena ini akan
memungkinkan subjek memodifikasi imajinasinya. Selanjutnya
memberikan umpan balik kontinyu kepada subjek. Dengan
memberi komentar pada tanda-tanda relaksasi dan ketentraman.
Setelah itu membawa subjek keluar dari bayangan. Setelah
pengalaman imajinasi dan mendiskusikan perasaan subjek
mengenai pengalamannya tersebut. Serta mengidentifikasi setiap
hal yang dapat meningkatkan pengalaman imajinasi. Selanjutnya
motivasi subjek untuk mempraktikkan teknik imajinasi secara
mandiri. Guided imagery merupakan teknik yang menggunakan
imajinasi seseorang untuk mencapai efek positif tertentu
36
(Smeltzer, Bare, & Hinkle, 2010).Teknik ini dimulai dengan
proses relaksasi pada umumnya yaitu meminta kepada klien
untuk perlahan-lahan menutup matanya dan fokus pada nafas
mereka, klien didorong untuk relaksasi mengosongkan pikiran
dan memenuhi pikiran dengan bayangan untuk membuat damai
dan tenang (Mariyani, 2016).
2.6 Kerangka Konsep
Skema 2.1 Kerangka Konsep
2.7 Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah apakah ada pengaruh teknik relaksasi guided
imagery terhadap tingkat nyeri pasien pra operasi fraktur di RSUD Ulin
Banjarmasin tahun 2018.
Pre Operasi
Fraktur
Teknik Relaksasi
Guided Imagery
Tingkat Nyeri
Sesudah Diberikan
Teknik Guided
Imagery
Tingkat Nyeri
Sebelum Diberikan
Teknik Guided
Imagery