Artikel Skripsi (Burning)

23
ASPEK STRUKTURALISME GENETIK NOVEL ASMARALOKA KARYA DANARTO INTAN LIA LESTARI Abstrak: Penelitian terhadap novel Asmaraloka karya Danarto ini merupakan penelitian sosiologi sastra dengan pendekatan Strukturalisme Genetik yang ditopang pendekatan Linguistik Fungsional Sistemik: Proses Mental yang memenuhi prinsip- prinsip ilmiah dalam pemerolehan dan penganalisisan data. NovelAsmaraloka karya danato dijadikan objek penelitian, karena: pertama, novel tersebut diciptakan seorang pengarang Indonesia yang memiliki reputasi baik, pengarang yang berani membuka jalan untuk menggambarkan suatu peristiwa berdasarkan fantasi tentang realita peristiwa yang terjadi dalam masyarakat ke dalam karyanya. Danarto beberapa kali memperoleh penghargaan dalam bidang sastra tingkat nasional dan internasional. Karya-karya Danarto telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Kedua, novel Asmaraloka merupakan karya monumental. Ketiga, novel ini secara sosial berlatar belakang perang antargolongan di Indonesia masa reformasi sehingga relevan diteliti dengan teori strukturalisme genetik yang mengkondisikan lahirnya pandangan pengarang dalam novel Asmaraloka. Fokus dalam penelitian, yakni (1) Struktur novel Asmaraloka karya Danarto yang menceminkan problematika tokoh akibat hubungan antar tokoh maupun lingkungannya; (2) Kehidupan sosial pengarang Danarto yang berhubungan dengan novel Asmaraloka; (3) Latar belakang sejarah atau peristiwa sosial masyarakat Indonesia yang mengkondisikan lahirnya novel Asmaraloka; (4) Pandangan Danarto tentang masyarakat Indonesia dalam novel Asmaraloka; dan (5) proses mental dalam novel Asmaraloka. Kata Kunci: Struktur novel, strukturalisme genetik, sosiologi sastra, dan proses mental. Karya ar karya sastra merupakan karya imajinatif yang mempunyai hubungan erat dengan hal-hal di luar karya sastra. Faktor sejarah dan lingkungan ikut membentuk karya sastra, karena karya sastra itu ditulis oleh pengarang sebagai anggota masyarakat yang mengambil ide dari peristiwa yang terjadi di masyarakat itu sendiri. Demikian juga halnya dengan novel Asmaraloka karya Danarto yang menjadi objek penelitian ini. Asmaraloka dengan latar kejadian perang antarkelompok sosial itu menampilkan tokoh- tokoh yang penuh problematik dalam hubungannya dengan tokoh lain maupun lingkungannya. Problematika tokoh-tokoh tersebut mencerminkan pandangan pengarang dalam menyikapi realitas

Transcript of Artikel Skripsi (Burning)

Page 1: Artikel Skripsi (Burning)

ASPEK STRUKTURALISME GENETIK NOVEL ASMARALOKA KARYA DANARTO

INTAN LIA LESTARI

Abstrak: Penelitian terhadap novel Asmaraloka karya Danarto ini merupakan penelitian sosiologi sastra dengan pendekatan Strukturalisme Genetik yang ditopang pendekatan Linguistik Fungsional Sistemik: Proses Mental yang memenuhi prinsip-prinsip ilmiah dalam pemerolehan dan penganalisisan data. NovelAsmaraloka karya danato dijadikan objek penelitian, karena: pertama, novel tersebut diciptakan seorang pengarang Indonesia yang memiliki reputasi baik, pengarang yang berani membuka jalan untuk menggambarkan suatu peristiwa berdasarkan fantasi tentang realita peristiwa yang terjadi dalam masyarakat ke dalam karyanya. Danarto beberapa kali memperoleh penghargaan dalam bidang sastra tingkat nasional dan internasional. Karya-karya Danarto telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Kedua, novel Asmaraloka merupakan karya monumental. Ketiga, novel ini secara sosial berlatar belakang perang antargolongan di Indonesia masa reformasi sehingga relevan diteliti dengan teori strukturalisme genetik yang mengkondisikan lahirnya pandangan pengarang dalam novel Asmaraloka. Fokus dalam penelitian, yakni (1) Struktur novel Asmaraloka karya Danarto yang menceminkan problematika tokoh akibat hubungan antar tokoh maupun lingkungannya; (2) Kehidupan sosial pengarang Danarto yang berhubungan dengan novel Asmaraloka; (3) Latar belakang sejarah atau peristiwa sosial masyarakat Indonesia yang mengkondisikan lahirnya novel Asmaraloka; (4) Pandangan Danarto tentang masyarakat Indonesia dalam novel Asmaraloka; dan (5) proses mental dalam novel Asmaraloka.

Kata Kunci: Struktur novel, strukturalisme genetik, sosiologi sastra, dan proses mental.

Karya ar karya sastra merupakan karya imajinatif yang mempunyai hubungan erat dengan hal-hal di luar karya sastra. Faktor sejarah dan lingkungan ikut membentuk karya sastra, karena karya sastra itu ditulis oleh pengarang sebagai anggota masyarakat yang mengambil ide dari peristiwa yang terjadi di masyarakat itu sendiri. Demikian juga halnya dengan novel Asmaraloka karya Danarto yang menjadi objek penelitian ini. Asmaraloka dengan latar kejadian perang antarkelompok sosial itu menampilkan tokoh-tokoh yang penuh problematik dalam hubungannya dengan tokoh lain maupun lingkungannya. Problematika tokoh-tokoh tersebut mencerminkan pandangan pengarang dalam menyikapi realitas masyarakat yang terjadi. Penelitian dengan kajian strukturalisme genetik pada hakikatnya hendak menemukan pandangan pengarang dalam karya sastra.

Pemahaman terhadap karya sastra juga harus mempertimbangkan pengarang dan masyarakatnya. Pengarang sebagai pribadi memiliki kepribadian, cita-cita, dan norma-norma yang dianut dalam kultur sosial tertentu. Pemahaman karya sastra tidak lepas dari konteks di luar teks karya sastra, yakni pengarang dan masyarakat. Tentang hal ini Teeuw (1988:173) mengatakan bahwa pemahaman terhadap karya sastra harus mempertimbangkan struktur teks dan pengarang. Pengarang adalah seorang anggota masyarakat yang mempunyai pendapat atau pandangan tentang masalah-masalah sosial dan politik yang penting, serta mengikuti isu-isu zamannya. Sebagai warga masyarakat, pengarang cenderung berusaha menyuarakan aspirasi masyarakat dalam karya-karyanya. Membicarakan karya sastra sesungguhnya tidak terlepas pada pandangan pengarang tentang masyarakatnya. Pengarang memiliki pandangan dalam menyikapi

Page 2: Artikel Skripsi (Burning)

fakta sosial pada masyarakatnya. Pandangan pengarang dalam karyanya tersebut merupakan manifestasi pandangan subjek kolektif terhadap masalah-masalah yang terjadi pada masyarakat. Pandangan pengarang dalam sebuah novel terlihat melalui hubungan antara tokoh dengan tokoh lain maupun antara tokoh dengan lingkungannya, sehingga karya sastra harus dipandang secara menyeluruh.

Dalam novel Asmaraloka terdapat pandangan Danarto tentang masyarakatnya. Di balik masalah yang dihadapi tokoh Arum, Firdaus Muhammad, Kyai Kadung Ora, Kyai Mahfud, Ratu Soba, dan lainnya, pengarang ingin menyuarakan aspirasinya terhadap kenyataan sosial yang terjadi. Masing-masing yang dihadapi tokoh dalam hubungannya dengan tokoh lain maupun lingkungannya dapat dipandang sebagai hubungan yang membentuk totalitas makna. Penelitian sosiologi sastra yang melihat struktur karya sastra sebagai totalitas Penelitian sosiologi sastra yang melihat struktur karya sastra sebagai totalitas strukturalisme genetik. Penelitian strukturalisme genetik memiliki kelebihan karena teks sastra diperlakukan sebagai sasaran utama penelitian dan dianggap sebagai suatu totalitas yang tidak sekedar terdiri dari unsur-unsur yang lepas-lepas (Damono, 1984:46). Teks sastra sebagai hasil proses sejarah manusia akan bermakna jika dipahami secara menyeluruh dalam hubungan antarbagian teks dan sejarah masyarakat pengarang.

Sejalan dengan pernyataan Sapardi Djoko Damono di atas, cara kerja penelitian sosiologi sastra, strukturalisme genetik memenuhi prinsip-prinsip ilmiah. Strukturalisme genetik dibangun oleh pendekatan, teori, konsep, metode, dan teknik yang memenuhi kaidah penelitian ilmiah. Junus (1986:157) menyatakan bahwa kajian strukturalisme genetik dianggap memiliki kekuatan dalam penelitian sosiologi sastra, karena strukturalisme genetik mempunyai dasar teori yang jelas dan tetap memberikan tekanan kepada nilai karya sastra. Keunggulan lainnya terlihat karena dalam analisisnya strukturalisme genetik tidak hanya berorientasi pada teks, tetapi juga pada pengarang dan latar belakang sejarah yang mengkondisikan kelahiran karya sastra.

Prinsip dasar strukturalisme genetik adalah bahwa karya sastra lahir karena proses sejarah suatu masyarakat. Penelitian dengan pendekatan strukturalisme genetik senantiasa mempertimbangkan hal-hal yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra. Peneliti dalam menganalisis karya yang diteliti dapat menghubungkannya dengan pengarang dan latar belakang masyarakat. Pemaknaan teks dapat dikaitkan dengan menghubungkannya dengan hal-hal di luar teks. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa karya sastra lahir karena kegelisahan pengarang dalam melihat realita yang terjadi. Karya sastra kemudian dapat diteliti dari hubungannya dengan sejarah zaman yang melahirkannya. Strukturalisme genetik mencakup bidang-bidang yang menyangkut fenomena sosial. Fenomena sosial itu meliputi: ilmu-ilmu sosial murni, seperti antropologi, sosiologi, politik, ekonomi, dan psikologi; ilmu-ilmu kemanusiaan seperti sastra, sejarah, dan linguistik; dan seni rupa. Luasnya wilayah penelitian tersebut didasarkan pada keyakinan kaum strukturalisme genetik bahwa semua manifestasi kegiatan sosial berupa bahasa.

Strukturalisme genetik sebagai pendekatan sosiologi sastra meyakini bahwa terdapat hubungan antara teks sastra dengan hal-hal di luar teks. Hal di luar teks itu adalah pengarang dan masyarakat. Dengan berbagai problema sosial yang dirasakan dan dilihatnya pengarang menuliskannya kembali dalam bentuk imaji artistik dalam bentuk karya sastra. Artinya karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang yang merupakan refleksi gejala sosial yang ada. Kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya (vision du monde) kepada subjek kolektifnya. Dalam setiap karya sastra, pengarang memiliki pandangan- pandangan tertentu. Pandangan pengarang merupakan sesuatu yang hendak diteliti

Page 3: Artikel Skripsi (Burning)

dengan pendekatan strukturalisme genetik. Mengungkapkan pandangan pengarang, peneliti tidak hanya memahami struktur otonom karya sastra tetapi faktor-faktor di luar karya sastra pun tidak dapat dilepaskan dengan pengarang dan masyarakatnya. Hal-hal yang dilukiskan pengarang dalam teks sastra bersumber dari realitas sosial yang dilihat dan dirasakan pengarang, sehingga pengkajian sebuah struktur karya sastra secara tidak langsung merupakan pengkajian keadaan sosial suatu masyarakat tertentu.

Masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah struktur novel Asmaraloka karya Danarto yang mencerminkan problematika tokoh akibat hubungan antartokoh maupun lingkungannya. (2) Bagaimanakah kehidupan sosial pengarang yang berhubungan dengan novel Asmaraloka. (3)Bagaimanakah latar belakang sejarah atau peristiwa sosial masyarakat Indonesia yang mengkondisikan lahirnya novel Asmaraloka. (4) Bagaimanakah pandangan Danarto tentang masyarakat Indonesia dalam novel Asmaraloka. (5) Bagaimanakah proses mental dalam novel Asmaraloka, sedangkan tujuan penelitian ini adalah: (1) Mendeskripsikan struktur novel Asmaraloka karya Danarto yang mencerminkan problematika tokoh akibat hubungan antartokoh maupun lingkungannya. (2) Mendeskripsikan kehidupan sosial pengarang yang berhubungan dengan novel Asmaraloka (3) Menganalisis latar belakang sejarah atau peristiwa sosial masyarakat Indonesia yang mengkondisikan lahirnya novel Asmaraloka. (4) Menganalisis pandangan Danarto tentang masyarakat Indonesia dalam novel Asmaraloka. (5) Menganalisis proses mental dalam novel Asmaraloka.

Adapun manfaat penelitian ini adalah: Penelitian ini memiliki manfaat teoretis dan manfaat praktis. Secara teoretis, hasil penelitian ini bermanfaat memberikan deskripsi teori strukturalisme genetik dan proses mental pada novel Asmaraloka karya Danarto. Berdasarkan analisis yang dilakukan peneliti, diharapkan dihasilkan konsep pandangan Danarto tentang masyarakat Indonesia dalam novel Asmaraloka. Secara praktis, penelitian ini menghasilkan model penelitian teks sastra dengan teori srukturalisme genetik Model penelitian tersebut adalah sebagai berikut; (1) penemuan problem sosial yang dialami oleh masing-masing tokoh dalam struktur karya sastra, (2) pengkajian dunia sosial pengarang dalam kaitannya lingkungan keluarga dan kelompok sosial pengarang, (3) pengkajian peristiwa sosial yang terjadi pada masyarakat Indonesia yang dianggap mengkondisikan pengarang untuk menulis karya sastra, (4) penemuan pandangan pengarang dengan menghubungkan secara dialektika (poin 2 dan 3), dan (5) menemukan proses mental dalam novel Asmaraloka.

Dan asumsi dasarnya sebagai berikut: (1) Hakikat karya sastra bersumber dari kenyataan hidup masyarakat (realitas objektif), dan Latar belakang sejarah atau peristiwa sosial masyarakat dan tak jarang latar belakang atau peristiwa terhadap pengarangnya sendiri. (2) Realitas objektif dalam karya sastra dapat berupa peristiwa-peristiwa hidup, norma-norma, nilai-nilai pandangan hidup yang terdapat dalam kehidupan masyrakat yang dapat memacu lahirnya sebuah krya sastra tersebut. (3) Novel asmaraloka karya danarto ini merupakan salah satu karya sastra yang membahas atau mengupas tentang realitas objektif yang memicu lahirnya novel itu sendiri. Pembatasan penelitiannya sebagai berikut: Karya Sastra memiliki dua unsur yang membangun cipta sastra, yaitu unsur yang membangun dari dalam disebut unsur intrinsik, sedangkan unsur di luar karya adalah unsur ekstrinsik. Penelitian ini akan meneliti unsur ekstrinsik yang membahas tentang psikologi pengarang atau hal-hal yang mempengruhi dari luar hingga lahirlah suatu karya sastra tersebut atau bias di sebut strukturalisme genetic yang di dalam nya membahas tentang struktur karya sastra, konsep subjek kolektif, fakta kemanusiaan, pemahaman penjelasan dan keseluruhan bagian.

Definisi oprasionalnya adalah: Aspek: menurut KBBI adalah: (1) pemunculan atau penginterpretasian gagasan, masalah, situasi, sebagai pertimbangan yang di lihat dari sudut

Page 4: Artikel Skripsi (Burning)

pandang tertentu. (2) Strukturalisme: menurut KBBI adalah gerakan linguistik yang berpandangan bahwa hubungan antara unsure bahasa lebih penting dari pada unsure itu sendiri, satu-satunya objek bahasa adalah system bahasa, dan penelitian bahasa bias di lakukan secara sinkronis. (3) Genetik: keturunan atau sifat keturunan bias juga pengaruh. (4) Strukturalis genetik:karya sastra merupakan sebuah struktur akan tetapi struktur itu bukan hal yang setatis, tapi merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan di hayati oleh masyarakat karya sastra yang bersangkutan (goldmann). (5) Novel: sebuah cerita yang berbentuk prosa dalam ukuran luas (alur yang kompleks dengan suasana yang beragam dengan setting yang beragam pula).

Karya sastra adalah karangan imajinatif yang mengungkapkan pengalaman hidup dan batin manusia secara inten dan sublime, menggunakan bahasa yang estetis dan ekspresif, serta memperhatikan azas manfaat. Imajinatif artinya karya sastra diciptakan berdasarkan daya khayal kreatif, daya khayal yang penuh pengembangan cipta, karya, dan karsa. Pengungkapan yang intens, artinya pengungkapan yang penuh kesungguhan, cermat, dan mendalam. Sublim berarti halus dan menyentuh, tidak asal ungkap, tidak kasar dan blak-blakan. Penggunaan bahasa estetis, artinya dalam sastra digunakan bahasa yang indah, mengandung irama dan bunyi yang merdu, gaya bahasa yang tepat. Ekspresif, artinya kata-kata yang dipilih mampu mewadahi ekspresi jiwa, imaji dan ide pengarangnya. Memperhatikan azas manfaat, artinya karya sastra harus bermanfaat bagi pembacanya.

Adapun sifat karya sastra sebagai berikut: (1) Karya sastra bersifat khayali (fictionality). Meskipun karya sastra itu diangkat dari peristiwa-peristiwa nyata, tetapi proses kreatifitasnya menggunakan imajinasi yang berimplikasi pada sifat karya yang dilahirkan itu menjadi khayal atau imajinatif. (2) Karya sastra memiliki nilai-nilai seni (Aesthetic Values). Karya sastra sebagai bagian dari karya seni memiliki nilai-nilai seni (keindahan). Keindahan karya meliputi: (1) keutuhan (Unity), (2) kesatuan dalam keragaman (Unity in Variety), (3) keseimbangan (Balance), (4) keselarasan (Harmoni), (5) tekanan atau fokus yang tepat (Right Emphasis). (3) Penggunaan bahasa yang khas sebagai media sastra (Special Use of Language). Sulit membedakan antara bahasa keseharian dengan bahasa sastra, tetapi telah disepakati bahwa sastra adalah khas dan berbeda dari ragam bahasa lain di luar sastra.

Karya sastra dibilang bermutu jika memuat aspek-aspek sebagai berikut : (1) Karya sastra bermutu harus merekam isi jiwa pengarangnya yang tertuang dan tergambar dalam bahasa sastra yang dipakainya. (2) Karya sastra yang bermutu harus dapat dikomunikasikan dengan pembaca (dapat dibaca dan dipahami oleh pembaca), tidak gelap tetapi juga terlalu fulgar (diafan). (3) Karya sastra bermutu harus memiliki sistem yang teratur. Karya sastra harus memiliki sistemnya sendiri yang berbeda dari pola dan bentuk karya seni lainnya. (4) Karya sastra bermutu harus mampu memberi rasa puas dan rasa senang kepada pembacanya. (5) Karya sastra bermutu selalu menunjukkan adanya kesatuan antar unsur-unsur pembangunnya, juga menunjukkan keserasian antara bentuk, isi (makna), bahasa dan ekspresi pribadi pengarangnya. (6) Karya sastra bermutu harus menunjukkan adanya penemuan-penemuan baru yang tergambar dalam unsur-unsur pembangunnya.

Manfaat karya sastra dipaparkan sebagai berikut: (1) Karya sastra yang baik memberikan kesadaran kepada pembacanya tentang kebenaran-kebenaran hidup. (2) Karya sastra yang baik memberikan kegembiraan dan kepuasan kepada pembacanya. Ini merupakan hiburan intelektual dan batiniah. (3) Karya sastra yang baik adalah karya abadi yang memiliki kesesuaian makna dengan dunia pembacanya kapan saja dan di mana saja, tidak mengenal perbedaan ruang dan waktu. (4) Karya sastra yang baik adalah karya seni yang indah dan memenuhi kebutuhan

Page 5: Artikel Skripsi (Burning)

manusia terhadap naluri keindahannya. (5) Karya sastra yang baik memberi penghayatan yang mendalam kepada pembacanya tentang hal-hal yang diketahuinya. (6) Karya sastra yang baik dapat menolong pembacanya untuk menjadi manusia yang berbudaya (Cultured Man). (7) Karya sastra yang baik tidak mengenal batas-batas kebangsaan, sebab karya besar hanya akan berbicara nila-nilai kehidupan dan kemanusiaan secara universal.

Strukturalisme genetik sebagai teori didukung beberapa konsep. Konsep- konsep tersebut adalah konsep struktur karya sastra, fakta kemanusiaan, subjek kolektif, pandangan dunia, dan konsep “pemahaman-penjelasan“ dan “keseluruhan- bagian“.

Konsep struktur karya satra sebagai berikut: Karya sastra merupakan produk strukturasi dari subjek kolektif atau masyarakat. Karya sastra memiliki struktur yang koheren atau terpadu. Konsep struktur karya sastra dalam teori strukturalisme genetik berbeda dengan konsep struktur karya sastra otonom. Goldmann pernah mengatakan dua pendapat mengenai karya sastra. Pertama, karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Kedua, dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu, pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek dan relasi-relasi secara imajiner. Karena itu, dibedakan karya sastra dari dari dan sosiologi. Filsafat mengekspresikan pandangan dunia secara konseptual sedangkan sosiologi mengacu pada empirisitas (Faruk, 1999:17). Struktur karya sastra dalam pandangan Goldmann adalah konsep struktur yang bersifat tematik. Yang menjadi pusat perhatian adalah relasi antara tokoh dengan tokoh dan tokoh dengan objek yang ada di sekitar tokoh. Goldmann mendefenisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian nilai-nilai otentik yang terdegradasi dalam dunia yang juga terdegradasi. Pencarian tersebut dilakukan oleh seorang atau tokoh hero yang problematik (Faruk, 1994:18).

Konsep struktur karya sastra dalam pandangan Goldmann yang bersifat tematik artinya pusat perhatian antara relasi dengan tokoh, tokoh dengan tokoh, dan tematik artinya pusat perhatian antara relasi dengan tokoh, tokoh dengan tokoh, dan antara tokoh dengan objek sekitar. Novel sebagai cerita mengenai pencarian nilai- nilai otentik yang terdegradasi dalam dunia dilakukan. Pencarian itu dilakukan oleh nilai otentik yang terdegradasi dalam dunia dilakukan. Pencarian itu dilakukan oleh muncul dalam cerita, nilai-nilai yang mengorganisasi sesuai dengan mode dunia sebagai totalitas. Karya sastra berfungsi untuk menginventarisasikan sejumlah besar kejadian- kejadian, yaitu kejadian-kejadian yang telah dikerangkakan dalam pola-pola kreativitas dan imajinasi. Seluruh kejadian dalam karya, bahkan juga karya-karya yang tergolong ke dalam genre yang paling absurd pun, merupakan prototype kejadian yang pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kreativitas dan imajinasinya, sastra memiliki kemungkinan yang paling luas dalam mengalihkan keragaman alam semesta ke dalam totalitas naratif semantis, dari kuantitas kehidupan sehari-hari ke dalam kualitas dunia fiksional. (Ratna, 2003:35).

Goldmann (dalam Damono 1984:42) berpendapat bahwa setiap karya sastra besar terdapat fakta estetis. Fakta estetis mengandung dua tataran korespondensi penting. Pertama, hubungan antara pandangan dunia sebagai suatu kenyataan yang penting. Pertama, hubungan antara pandangan dunia sebagai suatu kenyataan yang dan alat-alat kesusastraan tertentu seperti sintaksis, gaya, dan citra yang dipergunakan pengarang dalam penulisannya. Karya sastra sebagai karya estetik dalam pandangan strukturalisme genetic memiliki dua estetika: estetika sosiologis dan estetika sastra. Berkaitan estetika sosiologis. Strukturalisme genetik menunjukkan hubungan antara salah satu pandangan dunia dan tokoh-tokoh serta hal-hal yang diciptakan pengarang dalam karyanya. Berkaitan dengan estetika sastra, strukturalisme genetik menunjukkan hubungan antara alam ciptaan pengarang dengan perlengkapan sastra yang

Page 6: Artikel Skripsi (Burning)

dipergunakan pengarang untuk menuliskannya (Damono,1984:43).Struktur karya sastra dengan demikian dibangun oleh perlengkapan sastra atau unsur-

unsur yang membentuk totalitas makna. Totalitas makna menyiratkan pandangan dunia tertentu yang terjalin melalui hubungan antartokoh maupun dengan lingkungannya. Ratna (2003:89) menyatakan bahwa karya sastra dengan sendirinya juga melibatkan ciri-ciri institusi bahasanya. Karya sastra bermedium bahasa dengan organisasi pesan merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Sastra tidak berbeda dengan citra bahasa dan representasi medium bahasa itu sendiri. Teks karya sastra melukiskan kenyataan atau sesuatu yang mungkin terjadi. Inspirasi pengarang karena itu bersumber dari realita atau sesuatu yang dimungkinkan ada dalam kehidupan. Menurut, Luxemburg dkk. (1987:11) bahwa teks atau karya sastra menyatakan suatu tentang sebuah dunia yang nyata atau dunia yang mungkin ada. Aristotels (dalam Luxemburg dkk. 1989:17) berpendapat bahwa karya sastra bukan sekedar mencerminkan masyarakat, bahkan sebagai ungkapan atau perwujudan konsep-konsep umum tentang manusia sebagai kodrat yang langgeng. Bertolak dari pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa semua yang diceritakan dalam novel sebagaimana tercermin dalam teks adalah gambaran kehidupan masyarakat secara universal.

Konsep subjek kolektif: Pengarang adalah bagian dari masyarakat. Dalam pandangan strukturalisme genetik individu bukanlah agen bebas dari masyarakatnya. Aspirasi, pendapat, maupun pandangan individu, termasuk pengarang, diikat oleh keberadaan kolektif masyarakatnya. Pengarang dengan demikian sebagai subjek sekaligus kolektifitas atau subjek kolektif. Pengarang sebagai individu dapat dipandang sebagai produk sosial dari kelompok sosialnya. Sebagai produk sosial dari kelompok sosial tertentu, pengarang dalam hidupnya cenderung mempresentasikan kelompok sosialnya. Karya sastra yang ditulisnya pun merupakan representase pengarang dalam memperjuangkan kelompok sosialnya di hadapan kelompok sosial yang lain. Kerja pengarang adalah kerja sosial sebagai perwujudan subjek kolektif seorang pengarang. kerja sosial sebagai perwujudan subjek kolektif seorang pengarang. kemanusiaan. Fakta kemanusiaan adalah semua aktivitas manusia sebagai perwujudan makhluk sosial. Terdapat hubungan antara subjek kolektif dengan faktakemanusiaan. Tentang hal ini Goldmann (dalam Faruk, 1999:12—13) menyatakan bahwa fakta kemanusiaan memiliki arti karena merupakan respon dari subjek kolektif atau individual pembangun suatu percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok bagi aspirasi subjek itu. Dengan kata lain manusia merupakan usaha agar cocok bagi aspirasi subjek itu. Dengan kata lain manusia merupakan usaha sekitarnya.

Fakta kemanusiaan muncul karena aktivitas manusia sebagai subjeknya. Subjek fakta kemanusiaan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu subjek individual dan subjek kolektif. Perbedaan tersebut sesuai dengan jenis fakta kemanusiaan. Subjek individual merupakan subjek fakta atau libidinal, sedangkan subjek kolektif merupakan subjek fakta sosial atau historis. Subjek kolektif atau subjek trans- individual adalah subjek yang mengatasi individu yang di dalamnya individu hanya merupakan bagian. Subjek trans-individual merupakan satu kesatuan atau kolektivitas individu-individu tersebut. Hal demikian juga menjadi subjek karya sastra yang besar, sebab karya sastra semacam itu merupakan hasil aktivitas yang objeknya sekaligus alam semesta dan kelompok manusia. Karya sastra yang besar berbicara alam semesta dan hukum-hukumnya serta persoalan-persoalan yang tumbuh darinya (Faruk, 1994:14—15). Karya sastra dengan demikian merupakan manivestasi fakta kemanusiaan yang dilakukan oleh subjek kolektif. Aspirasi pengarang dalam karyanya bukan semata-mata aspirasi individual. Aspirasi pengarang adalah aspirasi yang mewakili kolektifitas kelompok sosialnya. Kedudukan sosial

Page 7: Artikel Skripsi (Burning)

pengarang dalam kelompok sosialnya kemudian menjadi penting dan mempengaruhi karya sastra yang ditulisnya.

Konsep subjek kolektif digunakan dalam penelitian untuk megetahui latar kehidupan sosial pengarang Danarto. Danarto sebagai pengarang jelas diikat oleh kelompok sosialnya. Pengarang jelas akan menyuarakan aspirasi kelompok social atau subjek kolektif. Sebagai individu yang menginterpretasikan subjek kolektifnya, pengarang memiliki struktur mental yang mencerminkan subjek kolektifnya. Struktur mental pengarang ini dibentuk oleh lingkungan keluarga dan masyarakat atau kelompok sosialnya. Lingkungan keluarga atau orang tua mewarnai pandangan pengarang karena kebiasaan-kebiasaan, norma, filsafat kehidupan banyak tertanam melalui hubungan sosiologi keluarga. Sementara itu, kelompok sosial pengarang berupa hubungan persahabatan dengan manusia lain, pengalaman hidup, serta buku-buku bacaan yang memiliki kontribusi proses kreatif pengarang.

Konsep fakta kemanusiaan: Fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktivitas atau prilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Aktivitas ini dapat berwujud aktivitas sosial tertentu, misalnya politik, kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni musik, seni patung, dan sebagainya.Ratna (2003:360) menuliskan bahwa fakta dalam masyarakat adalah:Dalam masyarakat terkandung fakta-fakta yang tak terhitung jumlah dan komposisinya. Hal ini juga berlaku pada masyarakat yang paling sederhana. Fakta-fakta dalam pandangan sosiologi dengan sendirinya dipersiapkan dan dikondisikan oleh masyarakat. Eksistensinya selalu dipertimbangkan dalam antarhubungannya dengan fakta sosial yang lain, yang juga telah dikondisikan secara sosial. Paradigma ilmu-ilmu kemanusiaan, sebagai ilmu humanistik kultural, menganggap fakta sebagai entitas yang sudah ditafsirkan sebelumnya, suatu fakta yang dibangun secara sosial. Kenyataan-kenyataan dipahami sebagai dibangun secara sosial. Kenyataan-kenyataan dipahami sebagai kualitas yang terdapat dalam gejala-gejala yang hadir di luar kehendak subjek, baik individual maupun trans-individual.

Konsep pandangan dunia: Konsep pandangan dunia (vision du monde) yang mewujud dalam semua karya sastra dan filsafat yang besar, kata Goldmann yang telah dijadikannya dalam sebuah teori strukturalisme genetik. Pandangan dunia diartikan suatu struktur global yang bermakna, suatu pemahaman total terhadap dunia yang mencoba menangkap maknanya, dengan segala kerumitan serta keutuhannya. Pandangan dunia merupakan struktur gagasan, aspirasi, dan perasaan yang mampu menyatukan suatu kelompok sosial lain. Pandangan dunia merupakan bentuk kesadaran kelompok kolektif sosial lain. Pandangan dunia merupakan bentuk kesadaran kelompok kolektif yang menyatukan individu-individu mennjadi suatu kelompok yang memilikiidentitas kolektif. Pandangan dunia bukan hanya ekspresi kelas atau kelompok sosial, namun juga kelas atau kelompok sosial. Seorang pengarang adalah anggota kelas atau kelompok sosial. Melalui kelompok sosialnya, ia berhubungan dengan perubahan sosial dan politik yang besar.

Konsep pemahaman-penjelasan dan keseluruhan-bagian: Konsep “pemahaman-penjelasan“ dan “keseluruhan–bagian“ terkait dengan metode yang digunakan oleh teori srtukturalisme genetik. Karya sastra harus dipahami sebagai struktur yang menyeluruh. “Pemahaman“ sastra sebagai struktur menyeluruh akan mengarahkan pada “penjelasan“ hubungan sastra dengan sosio- budaya sehingga karya sastra memiliki arti.

Karya sastra merupakan satuan yang dibangun dari bagian-bagian yang lebih kecil. Karena itu, pemahaman terhadap karya sastra dilakukan dengan konsep kecil. Karena itu, pemahaman terhadap karya sastra dilakukan dengan konsep keseluruhan yang lebih besar, yang

Page 8: Artikel Skripsi (Burning)

membuatnya menjadi struktur berarti. Konsep tersebut melahirkan metode “dialektika“. Prinsip dasar metode ini adalah bahwa karya sastra dengan realita masyarakat memiliki hubungan yang dialektika, hubungan yang secara tidak langsung. Karya sastra mempunyai dunia tersendiri dan masyarakat merupakan dunia tersendiri. Meski memiliki dunia yang berlainan, karya sastra dan realita dapat dilihat melalui proses interpretasi. Perhatian pertama tertuju pada teks karya sastra dan perhatian yang kedua terhadap latar belakang sosiobudaya masyarakat (Junus, 1986:194).

Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif Deskriptif. Dan data-datanya

diperoleh dari data primer adalah novel Asmaraloka dan data sekunder diperoleh dari pembacaan novel yang berkaitan dengan Asmaraloka. Data sekunder ini dipergunakan untuk mendukung interpretasi data primer. Dalam ilmu sastra dikenal dua macam pendekatan. Pertama, pendekatan intrinsik, adalah penelitian sastra yang bersumber pada teks sastra itu sendiri secara otonom. Kedua, pendekatan ekstrinsik adalah penelitian unsur-unsur luar karya sastra, pengkajian konteks karya sastra di luar teks (Wellek dan Austin Warren, 1989). Pendekatan intrinsik dikenal pula dengan istilah pendekatan ”mikro sastra” artinya kajian yang menganggap bahwa memahami karya sastra dapat berdiri sendiri tanpa bantuan aspek lain di sekitarnya. Sebaliknya, ”makro sastra” adalah pemahaman sastra dengan bantuan unsur lain di luar sastra. (Tanaka 1976:9; Endraswara, 2003:9).

Pendekatan intrinsik dilakukan jika peneliti memisahkan karya sastra dari lingkungannya. Dalam pendekatan intrinsik, karya sastra dianggap memiliki otonom dan bisa dipahami tanpa harus mengaitkannya dengan lingkungannya seperti penerbit, pembaca, dan pengarang maupun latar belakang masyarakatnya. Pendekatan intrinsik disebut juga pendekatan struktural dan teori yang dipergunakannya adalah teori mikro sastra (Damono, 2000:10).

Pendekatan ekstrinsik terhadap karya sastra dilakukan jika penelitian ditujukan untuk mengungkapkan hubungan-hubungan yang ada antara karya sastra dengan lingkungannya, seperti pengarang serta latar belakang masyarakat, pembaca, dan penerbit. Sistem-sistem tersebut merupakan lingkungan yang ikut menentukan fungsi sosial karya sastra. Dalam pendekatan ekstrinsik, penelitian menggunakanIlmu sastra yang menggunakan pendekatan ekstrinsik mencakup bidang sosiologi sastra yang mengacu kajian tentang hubungan sastra dengan masyarakat. Dalam mengkaji hubungan antara sastra dengan pembaca ada tiga hal yang harus dipahami. Pertama, konteks sosial pengarang yang memasalahkan posisi social sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini sastra sebagai cermin masyarakat. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini sehingga sastra dianggap mampu mencerminkan masyarakat. Ketiga, fungsi social sastra yang memasalahkan apakah karya sastra mengajarkan sesuatu atau hanya sekedar memiliki fungsi menghibur (Damono, 2000:12—13). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah masalah yang kedua, yakni bagaimana sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat.

Ada dua pendekatan dalam penelitian sosiologi sastra. Pertama, pendekatan yang didasarkan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomi. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra. Dalam pendekatan ini, teks sastra dianggap sebagai gejala kedua. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang digunakan adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial di luar teks sastra

Page 9: Artikel Skripsi (Burning)

(Damono, 1984:2). Pendekatan kedua inilah yang dipergunakan peneliti dalam penelitian ini.

Hasil Penelitian Penelitian ini difokuskan pada teks novel asmaraloka karya Danarto. Data penelitian ini

adalah teks novel Asmaraloka yang berhubungan dengan fokus penelitian yang meliputi (a) teks novel Asmaraloka yang mencerminkan hubungan antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain maupun hubungan antara tokoh dengan lingkungannya sehingga kelihatan problematika yang dihadapi oleh masing-masing tokoh; (b) kehidupan sosial pengarang Danarto yang berhubungan dengan novel Asmaraloka; (c) latar belakang sejarah atau peristiwa sosial masyarakat Indonesia yang mengkondisikan lahirnya novel Asmaraloka; dan (d) pandangan Danarto tentang masyarakat Indonesia dalam novel Asmaraloka.

Sumber data utama adalah teks novel Asmaraloka secara utuh. Data seluruh aspek yang membangun novel Asmaraloka tersebut adalah hubungan antartokoh dan hubungan tokoh dengan lingkungannya, dipandang sebagai satu kesatuan yang membentuk totalitas guna menemukan pandangan pengarang. Di samping data utama didukung pula oleh data kedua berupa sumber tertulis yang mendeskripsikan latar kehidupan sosial pengarang dan peristiwa-peristiwa sosial di Indonesia yang melahirkan novel tersebut.

Struktur Novel Asmaraloka Karya Danarto yang Mencerminkan ProblematikaTokohAkibatHubunganAntartokohmaupun Lingkungannya

Novel Asmaraloka mempunyai tokoh Kyai Kadung Ora, Kyai Muhammad Mahfud, Firdaus Muhammad, Arum, dan Busro, Ati dan Argo, dan Ratu Soba. Selain tokoh-tokoh tersebut, digambarkan pula oleh pengarang tokoh komandan sebagai representatif penguasa. Danarto juga menghidupkan tokoh-tokoh tumbuhan dan binatang sebagaimana manusia yang dapat berbicara. Masing-masing tokoh dalam kehidupan mereka saling berhubungan. Hubungan tersebut menimbulkan masalah sehingga masing-masing tokoh mengalami problematik. Problematik tokoh selain disebabkan oleh hubungannya dengan tokoh lain juga disebabkan oleh lingkungan tokoh dalam bentuk seting konflik atau perang.

Bagian permulaan cerita, Arum mengalami problematik disebabkan kehilangan Busro, suami yang dicintainya. Arum selalu cemas, karena dia tidak pernah menemukan jawaban atas pertanyaan yang diajukannya, mengapa Busro yang harus dicabut nyawanya oleh malaikat pencabut nyawa pada saat dia sedang menikmati malam pertama pengantin. Arum belum dapat menyadari bahwa Tuhan memiliki otoritas dalam menghidupkan dan mematikan manusia. Kesedihan Arum begitu menjadi, selain malam pertama pengantin suaminya dicabut nyawanya, juga disebabkan jasad Busro dibawa pergi malaikat pencabut nyawa. Pertanyaan Arum, jika Tuhan hanya menghendaki mayat, di medan perang tentu lebih banyak mayat dan mengapa Busro yang harus menjadi pilihan-Nya.

Kehidupan Sosial Pengarang Danarto yang Berhubungan dengan Novel AsmaralokaDanarto sebagai pribadi tidak terlepas dari lingkungan sosialnya. Kepribadian Danarto

dengan demikian dibentuk dan membentuk lingkungan sosialnya. Danarto yang menyukai kehidupan mistik Jawa tidak terlepas dari pengaruh keluarganya. Bapak-ibunya terbiasa melakukan laku mistik yang kemudian diwariskan kepada pribadi Danarto karena ia memiliki bakat untuk itu (Prihatmi, 1989:156).

Selain pengaruh keluarga, Danarto menganggap pelukis Rustamadji sebagai guru dalam bidang mistik. Salah satu pemikiran mendasar Rustamadji yang juga dianut Danarto adalah

Page 10: Artikel Skripsi (Burning)

pemikirannya tentang hakikat kehidupan. Pertanyaan yang dimunculkan adalah “mengapa dunia ini ada”, dan “apakah ada itu sebenarnya”. “Ada” bagi Rustamadji hanya “hukum” yang semata-mata bergantung pada “yang menghukum”, yaitu Tuhan. Karena itu, ke sanalah manusia harus menuju dengan jalan pasrah (Prihatmi, 1989:157—158).

Sebagai pribadi yang berprinsip pasrah dalam hidupnya, Danarto mengekspresikannnya dalam novel Asmaraloka. Kultur sosial yanng dibentuk oleh keluarga dengan memegang tradisi Jawa dengan prinsip ngeli ibarat air yang mengalir digambarkan Danarto melalui tokoh-tokoh ciptaannya dalam novel Asmaraloka. Danarto melalui tokoh ciptaannya berusaha memberi jalan keluar pada keadaan social yang terjadi.

Sebagai pribadi yang memasrahkan kehidupannya kepada Tuhan, ada semacam keprihatinan pada diri Danarto tatkala menyaksikan pertentangan antargolongan di Indonesia yang terjadi pada tahun 1989. Keadaan sosial yang demikian dikatakannya sebagai “perang fatamorgana”, perang yang tidak demikian dikatakannya sebagai “perang fatamorgana”, perang yang tidak tetapi pelaku perang tersebut masih satu saudara, kelompok sosial yang sama-sama hidup dalam satu negara, yaitu negara Indonesia. Bagi Danarto, hal ini merupakan ironi karena itu dia menyebutnya dengan istilah “perang fatamorgana”. Demikian pengamatan sosial yang dilihat Danarto.Danarto dalam lingkup sosialnya dikenal sebagai orang Jawa yang menggemari mistik. Diakuinya dia memiliki bakat tersebut karena ajaran dari orang tuanya. Kemampuan yang dimilikinya tersebut dipadukan dengan kecenderungannya mempelajari ajaran buku-buku sufi karangan Hamka karena Danarto adalah pemeluk agama Islam.

Kultur sosial perpaduan mistik Jawa, kejawen, dan sufistik Islam terlihat dalam novel Asmaraloka. Islam mengajarkan segala perbuatan yang diperbuat oleh seseorang akan membawa konsekuensi tanggung jawab pada manusia yang bersangkutan. Sekecil apa pun perbuatan manusia akan diperhitungkan oleh Allah di hari perhitungan nanti. Hal ini diyakini oleh Danarto sebagai seorang muslim. Melalui ucapan tokoh Kyai Kadung Ora, Danarto berkata: “Setiap manusia memikul tanggung jawab perbuatan yang dikerjakannya” (Danarto, 1999:168).

Keyakinan hidup yang demikian diperjuangkan oleh Danarto dalam menghadapi kelompok sosial penguasa maupun kelompok sosial lain yang mudah melakukan permusuhan. Danarto melalui novelnya, mencoba memperjuangkan nilai- nilai yang dia yakini sebagai nilai-nilai yang sanggup mengatasi keruwetan berbangsa. Disadari bahwa semua penguasa hanyalah manifestasi penindasan terhadap rakyat. Disadari pula masing-masing suku, agama, golongan melakukan pembenaran diri sendiri. Akibatnya adalah masyarakat telah kehilangan kehidupan yang damai. Yang ada hanya “peperangan” karena egoisme masing-masing kelompok sosial. Egoisme ini didorong oleh semangat hidup pamrih dengan tujuan demi kelompok masing-masing.

Sebagai etnis Jawa, Danarto mempunyai pendirian bahwa ketulusan hati merupakan perbuatan baik. Kerusakan pahala perbuatan baik seseorang, menurut budaya Jawa disebabkan adakalanya rasa “pamrih”. Kebatinan Jawa mengajarkan bahwa pertolongan yang diberikan orang lain harus ikhlas, tidak karena “pamrih” atau mengharap sesuatu dari orang yang ditolong.

Latar Belakang Sejarah atau Peristiwa Sosial Masyarakat Indonesia yang Mengkondisikan Lahirnya Novel Asmaraloka

Tema, konflik perang antarkelompok masyarakat yang didasarkan pada perbedaan suku, etnis, paham, sebagaimana yang digambarkan Danarto dalam novel Asmaraloka terbukti

Page 11: Artikel Skripsi (Burning)

memiliki hubungan dengan konteks sosial masyarakat Indonesia pada tahun 1998. Pada tahun tersebut, di Indonesia marak terjadi konflik yang pada tahun 1998. Pada tahun tersebut, di Indonesia marak terjadi konflik yang

Kerusuhan, penjarahan, dan pembunuhan itu terjadi karena kesalahan manajemen Pemerintahan Orde Baru. Hal ini W.S. Rendra (dalam Haryono [Penyunting], 2000:13—14) menyatakan bahwa strategi pembangunan Orde Baru yang mengandalkan stabilitas kekuasaan lembaga eksekutif yang kuat ternyata gagal menciptakan pembangunan. Tatanan hidup masyarakat rusak, kejahatan transparan para penguasa tidak dapat dikontrol dan diadili, rasa berbangsa mengalami krisis, dan teror kekuasaan menyebabkan pembodohan dan dehumanisasi. Sementara itu pada masa reformasi, rakyat belum bebas dari teror kekuasaan, terutama rakyat yang tinggal di daerah yang bermasalah. Masalah lebih parah lagi karena, kekuasaan memanfaatkan ABRI atau kekuatan bersenjata untuk menekan kepentingan rakyat dan melecehkan keadilan dalam tatanan hidup bersama.

Zaman Orde Baru, pemerintah memitoskan betapa golongan Partai Komunis (PKI) adalah partai yang terlarang. Demikian pula, golongan Islam garis keras yang dianggap tidak setuju sepenuhnya dengan Pancasila adalah golongan yang membahayakan stabilitas negara. Negara dalam pengertian ini sudah dimanipulasi oleh kepentingan rezim yang berkuasa. Pemerintah membangun opini bahwa perjuangan mempertahankan pemerintahaan dengan alasan stabilitas nasional adalah tugas negara. Jargon “demi negara” sebenarnya yang dilakukan penguasa agar dia tetap berkuasa.

Upaya memberangus golongan-golongan yang tak sepaham dengan penguasa adalah cara-cara yang kerap dilakukan penguasa. Dalam novel Asmaraloka, fenomena ini dapat terlihat. Tokoh Kyai Kadung Ora dan pesantrennya, Gabarullah, adalah simbol pribadi atau kelompok yang sengaja diberangus oleh penguasa., karena dianggap tidak sejalan dengan kebijakan penguasa. Sang Kyai sebagai simbol pribadi yang tidak memperoleh kemerdekan di negerinya sendiri terpaksa harus berkelana karena pesantrennya dipaksa tutup oleh pemerintah, hanya karena terdapat perbedaan pandangan antara sang kyai dengan pemerintah.

Pandangan Danarto tentang Masyarakat Indonesia dalam Novel AsmaralokaPengalaman Danarto sebagai pribadi terhadap situasi perang sebagaimana diuraikan pada

bagian “Danarto dan Kepengarangannya” menyebabkan pengarang ini sering melukiskan kengerian perang dalam karya-karyanya. Hal ini juga terlihat pada novel Asmaraloka yang ia tulis saat Indonesia mengalami perang antarsuku, agama, dan golongan atau kerusuhan sosial pada tahun 1998.

Tema perang di bangun danarto dalam asmaraloka untuk mengemukakan pandangan-pandanagan hidupnya tau panda ngan duniannya Pemahaman tema novel dalam kajian strukturalisme genetik sangat penting untuk menemukan pandangan dunia pengarang. Pandangan dunia Danarto dalam novel Asmaraloka selanjutnya diuraikan berikut ini.

Melalui novel ini Danarto terlihat memiliki keprihatinan yang teramat dalam terhadap realitas yang terjadi di Indonesia. Keprihatinan tersebut terjadi karena Indonesia dalam pengamatan Danarto merupakan negara yang memiliki tradisi perang saudara. Sejak perang merebut kemerdekaan dan kemudian merdeka, perang saudara. Sejak perang merebut kemerdekaan dan kemudian merdeka, satu dengan yang lain, yang sesungguhnya mereka adalah saudara karena hidup dalam satu atap, satu negara, satu bangsa, dan satu tanah air yang sama, yaitu Indonesia.

Sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia telah ratusan tahun berperang melwan penjajah

Page 12: Artikel Skripsi (Burning)

untuk mendapat kemerdekaan. Setelah memperoleh kemerdekaan pada tahun 1945, pada tahun 1948 bangsa Indonesia juga mengalami goncangan, yaitu munculnya peristiwa Madiun, yakni adanya gerakan bawah tanah Komunis yang tujuannya merongrong negara kesatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1965 bangsa Indonesia kembali mengalami tantangan yang sangat pahit, yaitu munculnya peristiwa yang dikenal dengan Gestapu (Gerakan Tigapuluh September). Gerakan ini melakukan perang sesama warga, perang saudara dengan alas an perbedaan ideologi. Keanekaragaman bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku dan agama menyebabkan masyarakat Indonesia rentan dengan konflik.

Data menunjukkan bahwa perang di Indonesia antargologan pada tahun 1965 atau peristiwa G.30.S. PKI memakan korban jiwa yang melebihi korban jiwa perang Vietnam melawan Amerika Serikat (Danarto, 2001:394). Keprihatinan Danarto semakin meningkat ketika menyaksikan perang antargolongan menjelang dan pascajatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998. Kerusuhan antaretnis terjadi di Ambon, Sambas, Papua, dan beberapa provinsi di Indonesia yang berusaha memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan alas an pemerintah pusat terlalu memeras kekayaan daerah dan tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat daerah. Pabrik-pabrik atas izin pemerintah yang didirikan di daerah kaya sumber daya alam justru menyengsarakan rakyat setempat (Mann, 1999:216—217). Kebijakan pemerintah pusat yang demikian memicu kesenjangan sosial sehingga muncul kemarahan masyarakat untuk melakukan perlawanan. Kerusuhan kemudian terjadi di mana-mana dengan dalih perbedaan suku, agama, dan ras, meskipun persoalan mendasar adalah masalah ekonomi.

Proses Mental dalam Novel AsmaralokaProses mental dalam novel Asmaraloka menunjukkan kegiatan atau aktivitas yang

menyangkut indera, kognisi, afeksi/emosi, dan persepsi yang terjadi dalam diri manusia, tokoh-tokoh yang ada dalam teks, seperti melihat, mengetahui, menyenangi, membenci, menyadari, dan mendengar. Proses mental terjadi di dalam diri (inside) manusia dan mengenai mental atau psychological aspects kehidupan. Adapun proses mental yang diteliti dalam penelitian ini, yakni proses mental yang terdiri atas: Mental: Persepsi, Kognisi, dan Afeksi. Secara keseluruhan, temuan dalam penelitian ini, dalam kaitannya dengan proses mental menemukan 182 klausa yang berjenis proses mental. Untuk itu, proses mental itu akan diuriakan secara rinci sebagai berikut.(Mental: Persepsi) Proses mental persepsi, dalam hal ini, adalah partisipan manusia atau se perti Proses mental persepsi, dalam hal ini, adalah partisipan manusia atau seperti berdasarkan klausa yang menunjukkan proses mental persepsi, yakni yang menunjukkan aktivitas mata. (Mental: Kognisi) Proses mental kognisi, dalam hal ini, adalah partisipan manusia atau seperti manusia yang dapat mengindera, memikir. Hal itu ditandai dengan menganalisis teks berdasarkan klausa yang menunjukkan proses mental kognisi, yakni yang menunjukkan aktivitas pikiran. (Mental: Afeksi) Proses mental afeksi, dalam hal ini, adalah partisipan manusia atau seperti manusia yang dapat mengindera, merasa. Hal itu ditandai dengan menganalisis teks berdasarkan klausa yang menunjukkan proses mental afeksi, yakni yang menunjukkan aktivitas perasaan.

Simpulan dan SaranUraian analisis novel Asmaraloka dengan Strukturalisme Genetik yang ditopang oleh

teori Linguistik Fungsional Sistemik dapat ditemukan lima hal. Kelima hal tersebut diuraikan di bagian ini. Pertama, dalam menghadap tokoh-tokoh novel Asmaraloka melakukan penyerahan

Page 13: Artikel Skripsi (Burning)

sepenuhnya kepada otoritas Tuhan. Setelah pesantren Kyai Kadung Ora ditutup ia menerima begitu saja otoriter pemerintahdengan cara terus berzikir. Kyai juga berkelana ke medan perang sebagai wujud kepeduliannya kepada problem sosial yang dihadapi masyarakatnya. Kyai sangat ikhlas dalam hidupnya. Dia ikhlas dibunuh komandan meskipun sang kyai ikhlas dalam hidupnya. Dia ikhlas dibunuh komandan meskipun sang kyai tidak ada bedanya karena roh akan kekal selamanya. Hal itu terlihat meskipun sang kyai telah terbunuh, dia tetap memberikan wejangan-wejangan atau pertolongan kepada tokoh Firdaus Muhammad dan Arum.

Salat dan zikir merupakan jalan keluar yang dilakukan para tokoh novel dalam menyelesaikan masalah. Tokoh Kyai Mahfud dalam menghadapi masalah lebih banyak melakukan salat sebagaimana tokoh Kyai Kadung Ora, Arum, dan Firdaus Muhammad. Salat merupakan bentuk ritual untuk selalu menyebut nama Allah. Tokoh-tokoh pada novel Asmaraloka terlihat senantiasa menyebut kata-kata: Subhanullah, Allah Huakbar, Alhamdulillah, Astagfirullah yang termasuk bentuk pengagungan nama Allah, syukur, dan permohanan ampunan.

Dalam menghadapi problem tokoh-tokoh novel Asmaraloka lebih banyak menyadarkan problem yang dihadapi kepada Tuhan. Jiwa pasrah dan menerima takdir Tuhan yang menimpanya terlihat pada pribadi masing-masing tokoh. Tindakan yang dilakukan tokoh-tokoh tersebut adalah Subhanallah, Alhamdulillah, Allah Huakbar, dan Astagfirullah. Sementara itu, salat yang terlihat dilakukan tokoh-tokoh tersebut adalah salat duha, salat istihkarah, salat tahajud, dan salat subuh.

Kedua, sesuai dengan latar kehidupan sosialnya, Danarto dalam novel Asmaraloka berusaha memperjuangkan nilai-nilai sosial yang dianutnya. Nilai-nilai yang diperjuangkan Danarto adalah nilai hidup pasrah, sabar, menyucikan hati, dan semangat membuat kesejahtraan alam semesta. Nilai-nilai suci itu diharapkan mampu mengantarkan seseorang untuk memperoleh pencerahan Tuhan, meskipun diberi atau tidak diberikannya pencerahan adalah kewenangan Tuhan. Nilai-nilai itulah yang tidak diberikannya pencerahan adalah kewenangan Tuhan. Nilai-nilai itulah yang Indonesia yang mementingkan golongannya masing-masing.

Ketiga, yang melatarbelakangi lahirnya novel Asmaraloka karya Danarto adalah perang antaretnis dan kerusuhan sosial yang terjadi di Indonesia pada tahun adalah perang antaretnis dan kerusuhan sosial yang terjadi di Indonesia pada tahun benda yang hancur, hilang, menurut sejarah dan novel Asmaraloka, dipicu oleh kebijakan penguasa yang tidak memihak kepada rakyat. Sebab-sebab pemicu perang tersebut adalah penguasa yang tidak bersedia menerima keberagaman aspirasimasyarakat, penguasaan sumber produksi daerah oleh pemerintah pusat yang melahirkan rakyat miskin, lemahnya kewibawaan pemerintah karena tidak mampu berbuat adil, serta upaya rekayasa pemerintah untuk menciptakan konflik antarkelompok. Dengan terjadi konflik, penguasa melalui instrumen kekuasaannya antarkelompok. Dengan terjadi konflik, penguasa melalui instrumen kekuasaannya absolut.

Keempat, dalam novel Asmaraloka, Danarto berpandangan bahwa untuk Keempat, dalam novel Asmaraloka, Danarto berpandangan bahwa untuk penyucian hati semua manusia Indonesia. Terbukti bahwa kerusuhan sosial yang disebabkan rasa membenci pihak lain berakibat pada runtuhnya sendi-sendi ekonomi, sosial, dan moral. Kesucian hati menurut Danarto adalah pilar utama keberagaman seseorang, sehingga hidup dengan roh agama dianggapnya merupakan pilihan jalan keluar, karena ekonomi, sosial, dan politik tidak mampu lagi mengatasi persoalan bangsa Indonesia.

Kelima, dalam novel Asmaraloka terdapat 182 proses mental. Dalam pada itu, proses

Page 14: Artikel Skripsi (Burning)

mental persepsi mempunyai persentase yang tinggi, yakni 80 klausa atau 43,95%. Sedangkan proses mental afeksi sebanyak 57 klausa atau 31,32% dan proses mental kognisi sebanyak 45 klausa atau 24,73%. Dengan demikian, berdasarkan temuan klausa dalam proses mental dalam novel Asmaraloka dapat dilihat bagaimana keadaan jiwa para tokoh. Tingginya persentase proses mental persepsi yang diikuti proses mental afeksi menunjukkan bahwa Danarto ingin menggambarkan dengan gamblang bagaimana keadaan jiwa para tokoh yang frustasi dan gundah gulana dalam menghadapi dan melihat suasana perang fatamorgana yang tidak jelas awal dan akhirnya. Sementara itu, proses mental kognisi yang menduduki persentase paling rendah menunjukkan bahwa perang fatamorgana itu tidak dapat dipikirkan dan tidak perlu dipikirkan apa sebab musababnya.

Saran Karya-karya Danarto perlu dikembangkan dengan berbagai fantasi. Pembaca Karya-

karya Danarto perlu dikembangkan dengan berbagai fantasi. Pembaca Danarto menciptakan karyanya. Cara Danarto menyadarkan penguasa, penjahat bukan melakukan, tindakan kekerasan, dibal-bal, diculik, disiksa ataupun ditembak. Tetapi dengan cara menyadarkannya dari perbuatan, tindakan yang tidak baik ke perbuatan yang baik. Jalan satu-satunya adalah menyentuh batin, perasaan dan pikirannya, yaitu dengan menghayati, mengamalkan, serta menjalankan dengan baik dan benar hakikat ajaran agama.

Menyadarkan manusia yang bertindak tidak baik, jelas dapat dilakukan dengan memberikan penjelasan-penjelasan, penyuluhan sejak dini, sehingga setiap akan melakukan tindakan, ia dapat mengerti bahwa hal itu tidak baik. Akhirnya ia menjalankannya.

DAFTAR RUJUKANArikunto. 2006. Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.

Aminudin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Al azhar, Pusat Bahasa. Teori strukturalisme genetik. (online).(http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/pesona-puisi/teori-strukturalisme-genetik/ di akses3 juni).

Ali, Abdul Halim. 2009. Teori strukturalisme. (online). (http://teorisastera.blogspot.com/2009/10/teori-strukturalisme.html di akses 30 mei).

Faruk. 2012. Pengantar Sosiologi Sastra (dari strukturalisme genetic sampaipost modernisme). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mukaromah. 2009. Sosiologi Sastra. Malang: FKIP Universitas Islam Malang.

Mumtaz, Fairuzul. 2008. Strukturalisme genetik goldmann. (online).(http://dialogkamboja.blogspot.com/2008/07/strukturalisme-genetik-goldmann.html di akses 30 mei).

Ratna, Kutha NyoMan 2009. Penelitian Sastra (dari strukturalisme hingga postrukturalisme). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Page 15: Artikel Skripsi (Burning)

Siswanto wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo.

Ranchman, Reza Saeful. 2010. Seikit tentang strukturalsme genetik. (online).(http://abdiredja.blogspot.com/2010/02/sedikit-tentang-strukturalisme-genetik.html di akses 30 mei).

Semi, Atar. 1984. Kritik Sastra. Bandung: ANGKASA.

Susilo, Edi. 2008. Teori Sastra. Malang: FKIP Kanjuruhan Malang.