ARCHIPELAGO ISPO - UNEJ
Transcript of ARCHIPELAGO ISPO - UNEJ
A R C H I P E L A G O
VOLUME 60 / SEPTEMBER 2017
HORTUS
AR
CH
IPE
LA
GO
VO
LU
ME
60
/ SE
PT
EM
BE
R 2
01
7
KOMODITAS LAPORAN UTAMA
Hal 76
Hal 26 Hal 12
http://www.majalahhortus.com
PERLU SINERGI “STAKEHOLDERS”WUJUDKAN SWASEMBADA GULA
TERPILIH SEBAGAI MISS COFFEE INDONESIA 2017
HARGA RP.30.000,-LUAR JAKARTATAMBAH BIAYA KIRIM
RISKA MEILANI
UPAYA DONGKRAK HARGA KARET BELUM MAKSIMAL
BPDP SAWIT
Hal 42
PELAJAR PESERTARAIMUNA XI ANTUSIASIKUTI EDUKASI SAWIT
ISPOBUKTI SAWIT
RAMAH LINGKUNGAN
COVER HORTUS EDISI 60 SEP 17 CETAK Folder.indd 1 9/4/2017 7:49:25 AM
Digital Repository Universitas JemberDigital Repository Universitas Jember
3HORTUS ARCHIPELAGO - VOLUME 60 / SEPTEMBER 2017
DARI REDAKSI
SUHARNO
PEMBACA sekalian, sebagai eksportir ter-
besar minyak kelapa sawit (CPO), Indo-
nesia terus mengupayakan agar semua
perusahaan perkebunan kelapa sawit
memperoleh sertifikat ISPO.
Sebab, sertifikat ISPO ke depan diharapkan
dapat meyakinkan pasar internasional bahwa ke-
lapa sawit Indonesia dikelola dengan kaidah yang
baik sehingga bisa mengurangi kampanye hitam
dan negara lain.
Saat ini baru 14% dari total area perkebunan
kelapa sawit Indonesia, yang telah tersertifikai
ISPO. Rendahnya realisasi ISPO tersebut, ungkap
Dirjen Perkebunan Bambang, antara lain ketat-
nya proses verifikasi terhadap persyaratan-per-
syaratan yang harus dipenuhi pemohonnya untuk
mendapatkan ISPO.
“Target kita secepatnya harus ISPO semua.
Supaya pasar luar negeri menghargai produk kita.
Pada saatnya kelak ketika kelapa sawit Indone-
sia ter-ISPO-kan semua maka saya kira tidak ada
orang yang mengatakan bahwa kelapa sawit Indo-
nesia tidak ramah lingkungan,” kata Bambang saat
menyerahkan sertifikat ISPO sekaligus membuka
workshop penguatan ISPO, di Kementerian Perta-
nian, Jakarta, belum lama ini.
Sejauh ini, sistem sertifikasi ISPO telah diatur
melalu Peraturan Menteri Pertanian (Permen-
tan) Nomor: 11 Tahun 2015. Sertikasi ISPO memi-
liki 7 kriteria, di antaranya adalah legalitas usaha
perkebunan; manajemen perkebunan; perlind-
ungan terhadap pemanfaatan hutan alam primer
dan lahan gambut; pengelolaan dan pemantauan
lingkungan; tanggung jawab terhadap pekerja;
tanggung jawab sosial dan pemberdayaan eko-
nomi masyarakat; serta peningkatan usaha secara
berkelanjutan.
ISPO diharapkan menjadi suatu pengakuan
pasar atas pengelolaan perkebunan kelapa sawit
dengan baik dan diakui pasar Internasional. “Bung
karno menyatakan, siapa yang menguasai pa ngan
dan energi maka merekalah yang menguasai du-
nia, dan siapapun yang menguasai dunia bakal
menjadi lawan bagi orang yang tidak mau bersa-
ing,” tegas Dirjen Perkebunan mengutip pernyata-
an Bung Karno, menanggapi maraknya berita yang
menyudutkan terhadap industri kelapa sawit di
pasar global.
Komisi ISPO terus menjalankan sosialiasi
agar target sertifikasi ISPO bisa tercapai sesegera
mungkin. Selama dua tahun ini sudah ada 306
sertifikat ISPO yang diterbitkan. Dijelaskannya,
luas kebun sawit yang sudah bersertifikat menca-
pai 1,82 juta hektar atau 16,7% dari total 11,9 juta
hektar lahan kelapa sawit. Selain itu, masih ada 11
perusahaan yang sertifikasinya ditunda dan 70 pe-
rusahaan masih dalam proses verifikasi.
Hingga Agustus 2017, Komisi ISPO telah me-
nyetujui 40 sertifikasi bagi perusahaan perkebu-
nan dengan luas areal sebesar 202.427,17 hektar
dan produksi CPO sebesar 539.265,88 ton.
Sedangkan pada April 2017 lalu, tim sertifikasi
telah menyetujui 40 sertifikasi bagi 38 perusahaan
perkebunan, 1 Koperasi Unit Desa (KUD) Plasma
dan asosiasi kebun swadaya dengan luas areal se-
banyak 249.543,37 hektar dan produksi CPO sebe-
sar 861.425,82 Ton.
Dengan demikian, jumlah sertifikasi ISPO yang
diterbitkan dari tahun 2011 sampai 2017 mencapai
306 sertifikat dengan luas total 1.882.075 hektar
dan total produksi CPO 8.147.013,63 ton.
Pembaca yang budiman, progres terbaru
mengenai sertifikasi ISPO tersebut, kami coba ba-
has dalam Liputan Khusus Majalah HORTUS Archi-
pelago edisi sekarang. Sedangkan untuk Laporan
Utama kami mencoba mengupas perlunya stake-
holders komoditas gula bersinergi untuk mewu-
judkan swasembada gula tahun 2019.
Tekad pemerintah cq Kementerian Pertanian
(Kementan) untuk mewujudkan swasembada
gula, khususnya untuk memenuhi kebutuhan kon-
sumsi rumah tangga, pada tahun 2019, memang
besar. Itu pula sebabnya, bisa dipahami bila sejak
satu dua tahun terakhir ini berbagai langkah di-
siapkan oleh kementerian yang dipimpin oleh Andi
Amran Sulaiman tersebut.
Maklum, untuk mewujudkan swasembada
gula konsumsi tersebut bukanlah pekerjaan yang
gampang. Pangkal soalnya, banyak kendala di la-
pangan yang mesti dicarikan jalan keluarnya ter-
kait dengan pengelolaan kebun tebu milik petani
berikut pemrosesannya di pabrik gula (PG) yang
ada di negeri ini.
Pembaca sekalian, selain itu masih banyak sa-
jian menarik yang bisa anda dapatkan pada setiap
lembar majalah kesayangan ini.
Dari meja redaksi, kami ucapkan selamat me-
nikmati sajian bermutu dari kami.
KOMITMENTERAPKAN ISPO
Penerbit :
FP2SB
(Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan)Pemimpin Umum :
Nurwalida A. Mangga Barani, BBAPemimpin Perusahaan :
Dhina Ermayani, Shut. MP
Pemimpin Redaksi :
Suharno
Wakil Pemimpin Redaksi:
Agus Priyanto
Dewan Pakar :
Ir. Achmad Mangga Barani, MM (Ketua)Dr. Ir. Iskandar Andi Nuhung, MS
Dr.Ir. Memed Gunawan, MSc Dr. Ermanto Fahamsyah, SH, MHProf. Dr. Ir. Sudirman Yahya, MScProf. Dr. Supiandi Sapiham, MAgr
Prof. Dr. Ir. Kaman Nainggolan, MSProf. Dr. Bambang Shergi Laksmono, MA
Dr. Ir. Sudharsono Sudomo, MSDr. Ir. Nyoto Santoso, MSIr. Togar Napitupulu, PhD
Sidang Redaksi :
Dr. Ir. Iskandar Andi Nuhung, MS (Ketua)Dr. Ir. Witjaksana Darmosarkoro, MS
Ir. Darmansyah BasyarudinIr. Rismansyah Danasaputra, MMDr. Ermanto Fahamsyah, SH, MH
Suharno Tofan Mahdi
Agus PriyantoAgung SujartoHanny Bie Rizki
Neneng Maghfiro
Sekretaris Redaksi:
Ida Nurbaeti
Desain/Layout:
Manager Keuangan :
Asmari
Distribusi & Sirkulasi:
Rida, Ida, Mailudin
Umum : M. Apen, Mawan
Alamat Redaksi & Usaha :Graha BUN. Jln Ciputat Raya No.7 Pondok Pinang, Jakarta Selatan
Telp : (021) 75916652 - 53
www.majalahhortus.comE-mail : [email protected]
No Rekening : 121 00333 55557Bank Mandiri a/n PT Mutu Indonesia
Strategis Berkelanjutan
ISI HORTUS EDISI 60 SEP 17 CETAK Folder.indd 3 9/4/2017 7:28:54 AM
Digital Repository Universitas JemberDigital Repository Universitas Jember
52 HORTUS ARCHIPELAGO - VOLUME 60 / SEPTEMBER 2017
Hukum
INKONSISTENSI DALAM PENGATURAN
TENTANG EKOSISTEM GAMBUT
Pemerintah Indonesia telah men-gundangkan peraturan pemerintah tentang Perlindungan dan Penge-lolaan Ekosistem Gambut pada 15 September 2014 lalu, selanjutnya disebut PP Perlindungan dan Pe-ngelolaan Ekosistem Gambut, me-lalui Lembaran Ne gara Republik Indonesia Tahun 2014 No. 209 dan Tambahan Lembaran Negara Republik In-donesia No. 5580. Dasar pertimbangan pe merintah dalam menetapkan dan me-
ngundangkan PP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut adalah untuk melaksanakan keten-tuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 21 ayat (3) huruf f dan ayat (5), Pasal 56, Pasal 57 ayat (5), Pasal 75, serta Pasal 83 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No. 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5059).
Oleh: Dr. Ermanto Fahamsyah, S.H., M.H.
B ERDASARKAN latar belakang dan materi mua-tan dalam PP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, secara tersurat dan tersirat mengandung maksud dan tujuan yang ideal. Utamanya, apabila dikaitkan dengan amanat
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dalam rangka mewujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat le bih mendu-kung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Namun, beberapa pemangku kepentingan terkait ekosistem gambut pada saat itu menilai bahwa terdapat beberapa materi muatan yang dinilai kurang tepat.
Misalnya, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), Gabungan Pen-gusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Himpunan Ilmu Ta-nah Indonesia (HITI), Himpunan Gambut Indonesia (HGI) dan Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanju-tan (FP2SB) yang berpendapat bahwa PP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut tersebut berpotensi me-nimbulkan permasalahan ke depan dan berdampak besar bagi pelaku usaha hutan tanaman dan perkebunan serta lainnya.
Adapun materi muatan yang dinilai berpotensi menim-bulkan multiinterpretasi di lapangan dan konsekuensi hukum bagi pelaku usaha, antara lain:
Ketentuan Pasal 9 ayat (3) yang mengatur bahwa “Fungsi
lindung Ekosistem Gambut paling sedikit 30% (tiga puluh per
seratus) dari seluruh luas Kesatuan Hidrologis Gambut serta
terletak pada puncak kubah Gambut dan sekitarnya”. Keten-tuan Pasal 9 ayat (4) yang mengatur bahwa “Dalam hal di luar
30% (tiga puluh per seratus) dari seluruh luas Kesatuan Hi-
drologis Gambut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) masih
terdapat: Gambut dengan ketebalan 3 (tiga) meter atau lebih;
Plasma nutfah spesifik dan/atau endemik; Spesies yang dil-
indungi sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan/
atau Ekosistem Gambut yang berada di kawasan lindung se-
bagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah,
kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi,
Menteri menetapkan sebagai fungsi lindung ekosistem Gam-
but”.Ketentuan Pasal 23 ayat (3) yang mengatur bahwa “Eko-
sistem Gambut dengan fungsi Budidaya dinyatakan rusak
apabila memenuhi kriteria baku kerusakan sebagai berikut:
muka air tanah di lahan Gambut lebih dari 0,4 (nol koma
empat) meter di bawah permukaan Gambut; dan/atau terek-
sposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa di bawah lapisan
Gambut”.Terbitnya materi muatan dalam PP Perlindungan dan Pen-
gelolaan Ekosistem Gambut yang dinilai sebagian pihak ber-potensi menimbulkan multiinterpretasi di lapangan dan kon-
ISI HORTUS EDISI 60 SEP 17 CETAK Folder.indd 52 9/4/2017 7:30:22 AM
Digital Repository Universitas JemberDigital Repository Universitas Jember
53HORTUS ARCHIPELAGO - VOLUME 60 / SEPTEMBER 2017
sekuensi hukum bagi pelaku usaha di atas seharusnya tidak terjadi apabila dalam perumusannya memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi kejelasan tujuan; kesesuaian antara jenis, hie-rarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan. Disamping itu, apabila materi muatannya mencerminkan asas pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; keadilan; ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Asas-asas tersebut sebagaimana diamanat-kan oleh Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pem-bentukkan Peraturan Perundang-Undangan. Terakhir, apa-bila materi muatannya memperhatikan ratio legis/landasan pemikiran yang mempertimbangkan aspek filosofis, aspek yuridis, dan aspek sosiologis.
Dalam perkembangannya, pemerintah telah mengubah beberapa ketentuan dalam PP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut melalui PP No. 57 Tahun 2016 tentang Pe-rubahan Atas PP No.71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, selanjutnya disebut PP No. 57 Ta-hun 2016. PP tersebut terbit den-gan dasar pertimbangan bahwa gambut merupakan ekosistem rentan dan telah mengalami kerusakan yang disebabkan ke-bakaran hutan dan lahan tahun 2015, sehingga harus dilakukan upaya-upaya yang intensif dalam perlindungan dan pengelolaan. Disamping itu, bahwa Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Penge-lolaan Ekosistem Gambut perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat.
Sebagai bagian penting dari pelaksanaan PP No. 57 Ta-hun 2016, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) telah menerbitkan 4 (empat) peraturan menteri dan dua keputusan menteri. Keempat peraturan menteri tersebut yaitu, Peraturan Menteri LHK No. P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Tata Cara Inventarisasi dan Penetapan Fungsi Ekosistem Gambut; Peraturan Menteri LHK No. P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Tata Cara Pen-gukuran Muka Air Tanah di Titik Penaatan Ekosistem Gam-but; Peraturan Menteri LHK No. P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut; Peraturan Menteri LHK No. P.17/MEN-LHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Perubahan atas Permen LHK No. P.12/MENLHK-II/2015 tentang Pembangunan HTI. Sedangkan dua keputusan menteri dimaksud, yaitu, Keputu-san Menteri LHK No. SK.129/MenLHK/Setjen/PKL.0/2/2017 tentang Penetapan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut Nasion-al dan Keputusan Menteri LHK No. SK.130/MenLHK/Setjen/PKL.0/2/2017 tentang Penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional.
Pada satu sisi, penerbitan empat peraturan menteri dan dua keputusan menteri dinilai sebagai bentuk idealisme dan konsistensi pemerintah dalam rangka melakukan upaya-upaya intensif dalam perlindungan dan pengelolaan gambut, guna menghindari berulangnya terjadi kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 yang telah menyebabkan kerugian nyata bagi pemerintah dan rakyat Indonesia. Namun, pada sisi lain juga menimbulkan pendapat atau pertanyaan lain, misalnya, apakah materi muatan yang telah dimuat dalam PP No. 57 Ta-hun 2016 dan keempat Peraturan Menteri LHK serta kedua Keputusan Menteri LHK telah mengakomodasikan berbagai pertimbangan, baik dari aspek filosofis, aspek yuridis, maupun aspek sosiologis?
Karena ada pihak yang berpendapat bahwa sejumlah aturan dalam PP No. 57 Tahun 2016 tidak memiliki landasan ilmiah, sulit diimplementasikan dan tidak memperhatikan kebutuhan serta kondisi sosiologis yang ada sehingga harus dikaji/ditinjau ulang. Aturan dimaksud, antara lain, ketentuan Pasal 23 ayat (3) huruf a yang menentukan bahwa “Ekosistem Gambut den-
gan fungsi budidaya dinyatakan
rusak apabila memenuhi kriteria
baku kerusakan apabila muka
air tanah di lahan Gambut lebih
dari 0,4 (nol koma empat) meter
di bawah permukaan Gambut
pada titik penaatan”. Selanjutnya ketentuan Pasal 26 ayat (1) huruf yang melarang setiap orang un-tuk membuka lahan baru (land
clearing) sampai ditetapkannya zonasi fungsi lindung dan fungsi budidaya pada areal Ekosistem Gambut untuk tanaman tertentu. Terakhir, Pasal 31 B ayat (1) yang menentukan bahwa “Terhadap
areal perizinan usaha dan/atau
kegiatan terdapat gambut yang terbakar, pemerintah men-
gambil tindakan penyelamatan dan pengambilalihan semen-
tara areal bekas kebakaran”.Selain itu, terdapat beberapa pengaturan dalam peraturan
pelaksanaan dari PP No. 57 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Penge-lolaan Ekosistem Gambut yang tidak sesuai. Antara lain, ke-tentuan dalam Peraturan Menteri LHK No. P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut, khususnya Pasal 4 yang menentu-kan bahwa: (1) Kubah Gambut merupakan bagian dari Eko-
sistem Gambut yang berfungsi lindung. (2) Kubah Gambut
yang berada dalam areal usaha yang belum dilakukan budi-
daya wajib dipertahankan sebagai ekosistem gambut dengan
fungsi lindung. (3) Kubah Gambut yang berada dalam areal
usaha yang telah dibudidayakan merupakan ekosistem gam-
but dengan fungsi lindung, masih dapat dipanen, dilarang
ditanami kembali setelah pemanenan, dan wajib dilakukan
pemulihan. (4) Pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), dilakukan dengan membuat sekat pada kanal dan pemu-
lihan secara suksesi alami. (5) Dalam hal suksesi alami di-
ISI HORTUS EDISI 60 SEP 17 CETAK Folder.indd 53 9/4/2017 7:30:23 AM
Digital Repository Universitas JemberDigital Repository Universitas Jember
54 HORTUS ARCHIPELAGO - VOLUME 60 / SEPTEMBER 2017
Hukum
maksud pada ayat (4) tidak berhasil maka atas perintah dari
Direktur Jenderal dilakukan penanaman dengan jenis tana-
man asli sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri
ini. Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri LHK No. P.17/
MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Perubahan atas Permen LHK No. P.12/MENLHK-II/2015 tentang Pemban-gunan HTI, khususnya Pasal 8A yang menentukan bahwa: (1) Dalam hal identifikasi analisis areal IUPHHK-HTI terdapat
kawasan hutan dengan fungsi ekosistem gambut sebagaima-
na dimaksud dalam Pasal 7 huruf d, pemegang IUPHHK-
HTI wajib melakukan penyesuaian tata ruang IUPHHK-
HTI. (2) Pemegang IUPHHK-HTI wajib menyusun usulan
revisi RKUPHHK-HTI yang berdasarkan antara lain: a.
rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut;
atau b. peta fungsi ekosistem gambut skala 1:250.000. (3)
Usulan revisi RKUPHHK-HTI sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diajukan oleh pemegang IUPHHK-HTI paling lam-
bat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah pemegang IUPHHK-
HTI menerima peta fungsi ekosistem gambut dan disampai-
kan kepada Direktur Jenderal untuk dikonsultasikan guna
mendapat persetujuan.
Sementara itu, apabila mengacu PP No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut jo. PP No. 57 Tahun 2016, khususnya Pasal 45 menentukan bahwa: Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku: a. izin usaha dan/atau kegiatan untuk memanfaatkan ekosistem gambut pada fungsi lindung ekosistem gambut yang telah ter-bit sebelum PP ini berlaku dan sudah beroperasi, dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu izin berakhir; b. kegiatan pemanfaatan ekosistem gambut dengan fungsi lindung yang telah mendapat izin usaha dan/atau kegiatan dan belum ada
kegiatan di lokasi, izin usaha dan/atau kegiatan tetap ber-laku dengan kewajiban menjaga fungsi hidrologis Gambut; c. dalam hal pemegang izin usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan kewajiban menjaga fungsi hidrologis gambut sebagaimana dimaksud pada huruf b selama 2 (dua) tahun, izin usaha dan/atau kegiatan dicabut oleh pemberi izin.
Dengan demikian, Pemerintah Indonesia melalui Ke-menterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam mene-tapkan dan memberlakukan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut beserta perubahannya dan peraturan pelaksanaannya harus lebih arif dan bijaksana dengan tetap memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan asas-asas yang harus dicerminkan dalam materi mua-tan suatu peraturan perundang-undangan serta landasan pemikiran yang mempertimbangkan aspek filosofis, aspek yuridis, dan aspek sosiologis. Apabila terdapat materi mua-tan dalam PP No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Gambut beserta peruba-hannya dan peraturan pelaksanaannya yang dinilai belum memperhatikan dan mencerminkan asas-asas serta landasan pemikiran sebagaimana dimaksud di atas, seyogianya pemer-intah melakukan peninjauan kembali atau revisi terhadap peraturan tersebut melalui kajian dan diskusi ilmiah dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Sehingga rumu-san materi muatannya lebih dapat menciptakan kepastian hukum, keadilan dan kebermanfaatan bagi semua pemangku kepentingan terkait ekosistem gambut.
Dosen Tetap Fakultas Hukum-Universitas Jember
Sekretaris Jenderal Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan
(FP2SB)
PP TERSEBUT TERBIT DENGAN
DASAR PERTIMBANGAN
BAHWA GAMBUT MERUPAKAN
EKOSISTEM RENTAN
DAN TELAH MENGALAMI
KERUSAKAN YANG
DISEBABKAN KEBAKARAN
HUTAN DAN LAHAN TAHUN
2015, SEHINGGA HARUS
DILAKUKAN UPAYA-UPAYA
YANG INTENSIF DALAM
PERLINDUNGAN DAN
PENGELOLAAN.
ISI HORTUS EDISI 60 SEP 17 CETAK Folder.indd 54 9/4/2017 7:30:24 AM
Digital Repository Universitas JemberDigital Repository Universitas Jember