Arahan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua

12
39 ARAHAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PAPUA BERBASIS SUMBERDAYA Recommendation on Resources Based Agricultural Development Acceleration in Papua Wahyunto dan D. Kuntjoro Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor ABSTRAK Papua merupakan provinsi dengan tingkat kemiskinan paling tinggi di Indonesia. Pada tahun 2003 kemiskinan di wilayah pedesaan berkisar sekitar 55%, sedangkan di perkotaan hanya 28%. Diindikasikan bahwa kemiskinan terjadi pada penduduk dengan mata pencaharian bertani. Sampai saat ini budaya bertani penduduk asli Papua masih peramu, dan sebagian sebagai peladang berpindah, dengan demikian sebagian besar sumberdaya lahan di Papua belum dimanfaatkan secara optimal. Berdasarkan Inpres No. 5 tahun 2007, arahan percepatan pembangunan Papua di sektor pertanian mempertimbangkan karakteristik dan potensi sumberdaya lahan dan sumberdaya manusia. Percepatan pembangunan pertanian Papua dapat diupayakan melalui klarifikasi status lahan untuk pembangunan pertanian oleh pemda dan masyarakat adat, pengembangan infrastruktur pertanian termasuk jaringan jalan, pasar, peningkatan SDM, dan pemberdayaan masyarakat untuk membangun sektor pertanian. Dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lahan yang tersedia secara tepat dan lestari akan dapat mengangkat daerah Papua sebagai sentra produksi pertanian di wilayah timur, memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat asli Papua, dan melestarikan sumber pangan lokal yang sudah terbukti adaptif untuk ketahanan pangan dan kelestarian budaya setempat. Kata Kunci : Pembangunan, pertanian, sumberdaya, percepatan, Papua ABSTRACT In general, the proportion of population living in poverty in Papua is still the highest among districts and provinces in Indonesia. In 2003, the percentages of poverty in urban area is about 28%, whereas in the villages is 55%. It is indicated that the poverty occurs within population dominated by farmers. Up to now, most farmers in Papua are conducting shifting cultivation and gathering natural resources. Therefore, land resources have not been utilized optimaly for agriculture. In line with Inpres (President’s decree) No. 5, 2007, the direction of agricultural development acceleration in Papua Province should be based on both characteristic and potency of land and human resources. The efforts to speed up agricultural development in Papua can be executed by legalizing land status for agricultural development by local government and traditional society, developing infrastructures on agriculture including market and road network, improving the quality of human resources, and empowering society to build agricultural sectors. By optimizing the utility of available land resources properly and sustainably, Papua can be promoted as a central area of agro products in eastern Indonesia. It also can empower local people in the field of agriculture, so it can improve their prosperity and preserve local food sources which is adaptable for food security and local culture preservation. Keywords : Development, agriculture, land resources, acceleration, Papua ampai saat ini pertanian masih merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan wilayah di kedua Provinsi Papua, yaitu Provinsi Papua dan Papua Barat. Pada tahun 1990 sampai 2003, sektor ini mampu menyerap sekitar 72 sampai 77% tenaga kerja dan berkontribusi 15 sampai 24% terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Hasil pertanian Papua sejauh ini masih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan daerah. Realisasi investasi untuk sektor pertanian sangat kecil. Pada tahun 2003, jumlah investasi dari dalam negeri untuk pertanian hanya 0,4% dan investasi luar negeri 4,24% dari jumlah realisasi investasi sebanyak Rp 19,99 triliun (Asmuruf, 2005). Data tahun 2003, Papua merupakan provinsi dengan tingkat kemiskinan paling tinggi di Indonesia. Kemiskinan di wilayah pedesaan sekitar 54%, sedangkan di perkotaan hanya 28%. Sebagai perbandingan, rumah tangga tanpa akses jalan di wilayah dataran seperti di Kabupaten Jayapura dan Merauke berturut-turut sebesar 24,5 dan 60,0%, namun di wilayah S

description

provinsi papua

Transcript of Arahan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua

Page 1: Arahan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua

39

ARAHAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PAPUA BERBASIS SUMBERDAYA

Recommendation on Resources Based Agricultural Development Acceleration in Papua

Wahyunto dan D. Kuntjoro

Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor

ABSTRAK

Papua merupakan provinsi dengan tingkat kemiskinan paling tinggi di Indonesia. Pada tahun 2003 kemiskinan di wilayah

pedesaan berkisar sekitar 55%, sedangkan di perkotaan hanya 28%. Diindikasikan bahwa kemiskinan terjadi pada penduduk dengan

mata pencaharian bertani. Sampai saat ini budaya bertani penduduk asli Papua masih peramu, dan sebagian sebagai peladang

berpindah, dengan demikian sebagian besar sumberdaya lahan di Papua belum dimanfaatkan secara optimal. Berdasarkan Inpres No.

5 tahun 2007, arahan percepatan pembangunan Papua di sektor pertanian mempertimbangkan karakteristik dan potensi sumberdaya

lahan dan sumberdaya manusia. Percepatan pembangunan pertanian Papua dapat diupayakan melalui klarifikasi status lahan untuk

pembangunan pertanian oleh pemda dan masyarakat adat, pengembangan infrastruktur pertanian termasuk jaringan jalan, pasar,

peningkatan SDM, dan pemberdayaan masyarakat untuk membangun sektor pertanian. Dengan mengoptimalkan pemanfaatan

sumberdaya lahan yang tersedia secara tepat dan lestari akan dapat mengangkat daerah Papua sebagai sentra produksi pertanian di

wilayah timur, memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat asli Papua, dan melestarikan sumber pangan lokal yang

sudah terbukti adaptif untuk ketahanan pangan dan kelestarian budaya setempat.

Kata Kunci : Pembangunan, pertanian, sumberdaya, percepatan, Papua

ABSTRACT

In general, the proportion of population living in poverty in Papua is still the highest among districts and provinces in

Indonesia. In 2003, the percentages of poverty in urban area is about 28%, whereas in the villages is 55%. It is indicated that the

poverty occurs within population dominated by farmers. Up to now, most farmers in Papua are conducting shifting cultivation and

gathering natural resources. Therefore, land resources have not been utilized optimaly for agriculture. In line with Inpres

(President’s decree) No. 5, 2007, the direction of agricultural development acceleration in Papua Province should be based on both

characteristic and potency of land and human resources. The efforts to speed up agricultural development in Papua can be executed

by legalizing land status for agricultural development by local government and traditional society, developing infrastructures on

agriculture including market and road network, improving the quality of human resources, and empowering society to build

agricultural sectors. By optimizing the utility of available land resources properly and sustainably, Papua can be promoted as a

central area of agro products in eastern Indonesia. It also can empower local people in the field of agriculture, so it can improve

their prosperity and preserve local food sources which is adaptable for food security and local culture preservation.

Keywords : Development, agriculture, land resources, acceleration, Papua

ampai saat ini pertanian masih merupakan

salah satu sektor penting dalam

pembangunan wilayah di kedua Provinsi

Papua, yaitu Provinsi Papua dan Papua Barat.

Pada tahun 1990 sampai 2003, sektor ini

mampu menyerap sekitar 72 sampai 77%

tenaga kerja dan berkontribusi 15 sampai 24%

terhadap Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB). Hasil pertanian Papua sejauh ini masih

berorientasi pada pemenuhan kebutuhan daerah.

Realisasi investasi untuk sektor pertanian sangat

kecil. Pada tahun 2003, jumlah investasi dari

dalam negeri untuk pertanian hanya 0,4% dan

investasi luar negeri 4,24% dari jumlah realisasi

investasi sebanyak Rp 19,99 triliun (Asmuruf,

2005).

Data tahun 2003, Papua merupakan

provinsi dengan tingkat kemiskinan paling tinggi

di Indonesia. Kemiskinan di wilayah pedesaan

sekitar 54%, sedangkan di perkotaan hanya

28%. Sebagai perbandingan, rumah tangga

tanpa akses jalan di wilayah dataran seperti di

Kabupaten Jayapura dan Merauke berturut-turut

sebesar 24,5 dan 60,0%, namun di wilayah

S

Page 2: Arahan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007

40

perbukitan dan pegunungan seperti di wilayah

Kabupaten Paniai dan Puncak Jaya, rumah

tangga tanpa akses jalan berturut-turut sebesar

93 dan 98,5% (Dewan Ketahanan Pangan,

2005). Hal ini memberikan indikasi bahwa

kemiskinan terjadi pada penduduk dengan mata

pencaharian bertani. Budaya bertani penduduk

asli Papua masih peramu, dan sebagian sebagai

peladang berpindah, dengan demikian sampai

saat ini sebagian besar sumberdaya lahan di

Papua belum dimanfaatkan secara optimal.

Data dan informasi sumberdaya lahan

mempunyai peranan sangat penting dalam

menunjang program pembangunan pertanian

suatu daerah, khususnya dalam menyusun

perencanaan pengembangan wilayah melalui

pemilihan daerah-daerah berpotensi. Untuk

mengetahui wilayah-wilayah berpotensi tersebut

diperlukan data sumberdaya lahan. Potensi

sumberdaya lahan untuk pertanian di Papua

masih relatif besar. Namun, keterbatasan

infrastruktur, keterisolasian dari pasar domestik

dan internasional, keterbatasan dan ketidak-

merataan penyebaran sumberdaya manusia

terampil, dan gangguan keamanan merupakan

disinsentif untuk penanaman modal di Papua

(Suradisatra, 2001 dan 2003a).

Pemanfaatan sumberdaya lahan di Papua

perlu disesuaikan dengan kondisi dan sifat-sifat

sumberdaya lahan tersebut serta kondisi

lingkungannya, sehingga dapat dicapai

pemanfaatan sumberdaya lahan secara optimal,

seimbang, dan berkelanjutan. Di Papua,

sumberdaya lahan pertanian sebagai sumber

penghasil pangan, sumber pendapatan petani,

maupun sumber pendapatan daerah, perlu digali

dan dikembangkan secara optimal, mengingat

sebagian besar masyarakat etnis Papua

kehidupannya masih tergantung pada

sumberdaya lahan dan lingkungannya. Dengan

demikian, usaha pengembangan pertanian,

secara tidak langsung juga ditujukan untuk

meningkatkan taraf hidup, pendapatan, dan

kesejahteraan masyarakat Papua. Pemanfaatan

potensi sumberdaya lahan daerah ini secara

terarah dan terpadu dapat menumbuhkan pusat-

pusat pertumbuhan ekonomi di wilayah Indonesia

bagian timur, khususnya di daerah Papua.

PERMASALAHAN PEMBANGUNAN

PERTANIAN DI PAPUA

Penggunaan lahan dan vegetasi

Sebagian besar wilayah Papua (70%)

masih berupa hutan (Tabel 1). Menurut Pusat

Perpetaan Kehutanan, Departemen Kehutanan

(2005), kawasan hutan tersebut 47% berupa

hutan lindung dan hutan perlindungan dan

pelestarian alam, umumnya berupa hutan hujan

tropis yang menempati daerah atas dan hutan

rawa di daerah dataran. Di daerah hutan rawa

umumnya terdapat tanah gambut, sebagian

hutan rawa tersebut ditumbuhi pohon sagu.

Sementara di sekitar Merauke dan Pegunungan

Jayawijaya terdapat padang rumput, hutan

savana, dan sebagian berupa tanah tandus

dengan luas sekitar 2,15 juta ha. Padang rumput

juga dijumpai di wilayah dataran tinggi sekitar

Wamena (Lembah Baliem). Selain berpengaruh

terhadap proses pembentukan tanah, jenis-jenis

vegetasi tertentu dapat merupakan petunjuk

tentang keadaan tanahnya, misalnya mangrove

merupakan indikasi wilayah pantai yang airnya

payau dan drainase sangat terhambat

(tergenang). Jenis vegetasi ramin dan mentangur

misalnya merupakan indikasi adanya tanah

gambut.

Hutan sagu terdapat secara terpencar-

pencar, luasnya sekitar 667 ribu ha dan

umumnya sudah dimiliki penduduk setempat

secara turun-temurun. Sagu merupakan sumber

makanan pokok, sehingga perlu dilindungi dan

dipertahankan. Mengingat mata pencaharian

penduduk sebagian besar adalah berburu (rusa,

kanguru, babi, dan sebagainya) dan menokok

sagu, maka bila daerah ini dibuka perlu

disediakan atau disisihkan sebagian lahannya

untuk padang perburuan.

Daerah dataran dan pinggiran rawa sudah

banyak yang dimanfaatkan untuk pertanian.

Wilayah yang telah digunakan untuk budi daya

pertanian sekitar 17,6%, digunakan sebagai

tegalan, sawah, pekarangan/pemukiman ter-

masuk pemukiman transmigasi, perkebunan,

kebun campuran dan pertambangan, sedangkan

8,9% berupa tanah tandus, savana, rawa, dan

penggunaan lainnya.

Page 3: Arahan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua

Wahyunto dan D. Kuntjoro : Arahan Percepatan Pembangunan Pertanian di Papua

41

Budi daya pertanian di Papua

Sebagian besar petani di Papua

melaksanakan kegiatan pertanian untuk

memenuhi kebutuhan primer keluarga, hanya

sebagian kecil saja yang dipasarkan untuk

memperoleh kebutuhan hidup lain seperti

sandang dan kebutuhan sekunder lainnya. Ciri

lain dari pertanian semacam ini adalah

pembagian tugas antara pria dan wanita dalam

kehidupan sehari-hari sangat jelas, dan

pertanaman berpola campuran sebagai strategi

memperkecil risiko gagal panen. Selama tidak

ada pengaruh budaya dari luar, penyakit maupun

bencana alam lainnya, maka sistem ini dapat

berjalan dengan baik dalam menunjang

kehidupan rumah tangga. Hal ini ditunjang oleh

sistem sosial yang kuat dalam membentuk

sistem komunal dan mekanisme saling

membantu dan mengatasi permasalahan sudah

menjadi budaya dan adat masyarakat.

(Suradisastra et al., 1991 dan 2001).

Secara umum, budaya bertani di Papua

mencakup budaya meramu (hunting and

gathering), ladang berpindah (slash-and-burn

agriculture), usaha tani transisi (sedenter), dan

usaha tani maju (semi-komersil dan komersil).

Meramu dan ladang berpindah merupakan

budaya yang dianut masyarakat lokal, terutama

di zona Manokwari-Fakfak, zona Pegunungan,

dan Merauke-Digoel. Sebagian etnis Arfak di

zona Manokwari masih menganut budaya

meramu dan ladang berpindah. Sebagian telah

berevolusi ke arah usaha tani sedenter, terutama

bagi etnis lokal yang tergabung dalam program

transmigrasi nasional seperti di Desa Prafi Mulya

yang semula merupakan lokasi transmigrasi.

Etnis Papua lokal umumnya menganut budaya

lumbung, yaitu penanaman tanaman pangan

(ubijalar, talas) secara bertahap (relay planting),

sehingga panen dapat dilaksanakan sewaktu-

waktu ketika petani membutuhkannya (Kepas,

1990). Teknik ini mampu menjaga kelangsungan

konsumsi selama berabad-abad karena tata

pengaturan dan pelaksanaannya dikontrol oleh

lembaga norma dan adat setempat.

Etnis pendatang, terutama petani trans-

migran memiliki keterampilan dan penguasaan

teknik bertani modern, telah memiliki orientasi

ekonomi dan agribisnis. Sebagian besar

merupakan petani maju yang telah menerapkan

teknologi tepat-guna dan berorientasi produksi

untuk memenuhi kebutuhan dan dijual guna

Tabel 1. Penggunaan lahan dan penutupan vegetasi di Papua

Luas

No. Penggunaan lahan/vegetasi

(x 1000 ha) %

1. Hutan lahan kering 20.098 47,6

2. Hutan rawa bergambut 5.466 13,0

3. Hutan rawa 2.510 5,9

4. Hutan mangrove 1.622 3,8

5. Rawa 561 1,3

6. Tegalan, semak, dan kebun campuran 5.547 13,1

7. Belukar rawa 1.317 3,1

8. Hutan tanaman industri (HTI) 4 0,0

9. Perkebunan 330 0,8

10. Ladang 917 2,2

11. Sawah 32 0,1

12. Pemukiman dan kawasan transmigrasi 577 1,4

13. Tanah terbuka, savana, dan tandus 2.157 5,1

14. Kawasan pertambangan 10 0,0

15. Penggunaan lain 1.050 2,5

Jumlah 42.198 100,0

Sumber : Hasil analisis citra satelit rekaman tahun 2004-2007, didukung

informasi dari Badan Pertanahan Nasional (2005), Dinas Pertanian Tanaman

Pangan dan Hortikultura Papua (2006), Pusat Perpetaan Kehutanan,

Departemen Kehutanan (2005).

Page 4: Arahan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007

42

menambah pendapatan. Sebagian lainnya me-

rupakan usaha tani komersil dimana petani

memilih dan mengembangkan komoditas yang

memiliki nilai pasar tinggi (Dimyati et al., 1991).

Kondisi sumberdaya lahan dan lingkungan

Wilayah Papua dengan luas ± 421.981

km

2

atau ± 42.198.100 ha (Badan Pusat

Statistik, 2005) merupakan pulau paling timur

dan terluas (± 22% luas Indonesia), terdiri atas

lahan rawa (rawa pasang surut dan non pasang

surut) seluas 11.942.100 ha

atau 28,3% dan

lahan kering (upland) seluas 30.256.000 ha

atau

71,7%.

Sumberdaya lahan di Papua belum banyak

digali sifat-sifat dan potensinya untuk berbagai

tujuan, sehingga masih sedikit sekali

pemanfaatannya di sektor pertanian. Penelitian

tanah di Papua sudah dimulai sejak tahun 1932

(Soepraptohardjo et al., 1971), namun sampai

sekarang wilayah yang telah diteliti masih

sangat sempit. Penelitian/survei dan pemetaan

tanah sampai periode tahun 1990-an baru

sekitar 66.989 km

2

(Retno et al., 1994) atau

15,8% dari luas total seluruh Papua.

Bersumber dari Peta Tanah Irian Jaya skala

1:1.000.000 (Wahyunto dan Marsoedi et al.,

1994) dan Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi

Indonesia (Pusat Penelitian dan Pengembangan

Tanah dan Agroklimat, 2000), berdasarkan

keadaan tanah dan fisiografinya, wilayah Papua

dibedakan menjadi 33 satuan peta.

Wilayah Papua didominasi oleh tanah

Inceptisols (Kambisols) sekitar 22,2%, kemudian

Ultisols (Podsolik) sekitar 21,4%. Tanah

Inceptisols dan Ultisols umumnya berpenyebaran

di daerah lahan kering (upland). Kedua tanah ini

untuk pengembangan pertanian mempunyai ken-

dala kemasaman tanah dan tingkat kesuburan

yang rendah. Selain itu dijumpai tanah-tanah

Alfisol (Mediteran), Mollisol (Renzina), Gleysol,

dan Aluvial yang luasnya mencapai 31,8% dan

mempunyai potensi relatif tinggi untuk

pengembangan pertanian dengan memper-

timbangkan kondisi fisik dan lingkungan/iklim

setempat (Pusat Penelitian dan Pengembangan

Tanah dan Agroklimat, 2000). Tanah Entisols

(Litosols dan Regosols) seluas 15,9% bila

dikembangkan untuk pertanian mempunyai

faktor penghambat tanah dangkal, berbatu, dan

berada pada lereng yang curam serta tekstur

berpasir. Tanah-tanah ini mempunyai kesuburan

alami yang sangat rendah dan tidak berpotensi

untuk pertanian. Tanah Histosols (Organosol)

terdapat di dataran rawa pantai dan pedalaman

meliputi luas sekitar 8,7%. Kendala untuk

pengembangan pertanian pada tanah ini adalah

adanya lapisan gambut yang tebal dan selalu

tergenang air.

Lahan rawa yang ada di Papua

dikelompokkan ke dalam tipologi: (1) lahan rawa

lebak bertanah aluvial seluas 2,71 juta ha, dan

bertanah gambut atau berasosiasi dengan tanah

gambut seluas 3,59 juta ha; (2) rawa pasang

surut air tawar 2,32 juta ha, dan rawa pasang

surut air payau/salin 1,89 juta ha (Widjaja-Adhi,

1995).

Iklim di Papua umumnya cukup basah.

Variasi curah hujan cukup besar, dari ± 1.500

mm sampai ± 5.000 mm per tahun, dengan

tendensi makin dekat ke Pegunungan Jayawijaya

semakin basah. Curah hujan rata-rata di

kawasan pegunungan berkisar antara 1.823 dan

4.355 mm/tahun. Namun menurut RePPProT

(1989), curah hujan di daerah ini bisa mencapai

5.000 mm/tahun yang terjadi di daerah

pegunungan utara, sebelah selatan S. Turui dan

S. Idenberg serta dekat muara sungainya

(Djaenudin, 1994). Wilayah di sekitar Merauke

paling kering dengan curah hujan <1.500

mm/tahun dan musim kemarau cukup panjang

(Juli-November), sedangan pada ketinggian di

atas 4.500 m dpl terdapat salju yaitu di puncak

Jayawijaya. Berdasarkan sistem Agroklimat

Oldeman et al. (1980), Indonesia dibedakan

menjadi lima zona utama agroklimat (A-E) atau

14 zona agroklimat, dimana 11 zona agroklimat

diantaranya terdapat di Papua (zona agroklimat

A sampai D2). Jumlah curah hujan rata-rata

bulanan meningkat ke pedalaman yang berupa

daerah perbukitan dan pegunungan (upland),

mengikuti bertambahnya ketinggian tempat dari

permukaan laut.

Page 5: Arahan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua

Wahyunto dan D. Kuntjoro : Arahan Percepatan Pembangunan Pertanian di Papua

43

Berdasarkan jumlah dan distribusi curah

hujan, daerah upland mempunyai regim

kelembaban tanah udik, sedangkan di daerah

rendah/berawa (lowland) termasuk akuik. Makin

besar curah hujan dan makin lama periode

hujannya, proses pencucian hara di dalam tanah

menjadi semakin kuat/intensif, sehingga tanah

dipermiskin, sementara jika curah hujan terbatas

pencucian hara relatif rendah.

Infrastruktur

Secara umum kondisi infrastruktur di

Papua terutama di kawasan pegunungan tengah

(rangkaian Pegunungan Jayawijaya dan

Pegunungan Sudirman) masih memprihatinkan,

jalan belum dibangun dan sebagian besar listrik

belum menyala. Menurut Dinas Pekerjaan Umum

Papua (2006), panjang jalan di Papua mencapai

4.677 km. Minimnya pembangunan infrastruktur

jalan di Papua, hingga saat ini sebagian besar

daerah tidak bisa dijangkau dengan transportasi

darat. Untuk mencapai lokasi yang dituju, ada

dua pilihan, menggunakan transportasi udara

atau laut. Namun transportasi udara umumnya

menjadi pilihan utama. Tersedia dua jenis

transportasi udara di Papua, yakni penerbangan

niaga berjadwal dan penerbangan non niaga

(yang dilakukan sejumlah misionaris). Di Papua

ada 45 landasan lapangan udara yang

beroperasi. Ketergantungan masyarakat Pegu-

nungan Jayawijaya terhadap angkutan udara

teramat besar. Dampaknya, harga barang-barang

yang dibutuhkan masyarakat menjadi mahal

(Dinas Perkerjaan Umum Provinsi Papua, 2006).

Harga kebutuhan pokok bisa mencapai enam kali

lipat dari harga yang berlaku di Jayapura,

Sorong dan Manokwari. Untuk menunjang

transportasi laut dan danau, telah dibangun

enam dermaga yaitu Yahim, Kamaiyaka dan

Ayapo (Distrik Sentani), Pagai (Distrik Kaureh),

Depapre (Distrik Depapre) dan Youlim Sari

(Distrik Demta). Pelabuhan Jayapura melayani

pelayaran antar samudera, kapal perintis/nusan-

tara, kapal lokal, tanker serta lainnya.

Sedangkan pelabuhan di Nabire hanya melayani

kapal perintis/nusantara, kapal lokal, tanker serta

lainnya.

Trans Papua (dulu disebut Trans Irian),

yakni jalan yang menghubungkan Jayapura-

Wamena (panjang jalan 585 km, diresmikan

tahun 1985) belum selesai dibangun. Dari arah

Wamena jalan yang sudah beraspal baru sekitar

37 km, selanjutnya kilometer 37-48 masih

setengah aspal, berlanjut jalan “sungai mati”

hingga kilometer 140, distrik Lereh Kabupaten

Jayapura praktis tidak bisa dilalui kendaraan

bermotor. Kawasan ini sebenarnya sudah dibuka

pada tahun 1990-an , tetapi kemudian tertutup

karena jarang dilalui kendaraan (Dinas Pekerjaan

Umum Provinsi Papua, 2006). Seandainya

pembangunan transportasi darat Wamena-

Jayapura bisa segera direalisasikan, distribusi

dan pemasaran hasil pertanian dapat terbuka

lebar. Total jalan yang telah dibangun di daerah

pegunungan Jayawijaya ke arah kabupaten di

sekitarnya mencapai panjang 558,68 km,

26,2% diaspal, sisanya masih berupa jalan

kerikil dan tanah. Klasifikasi jalan berdasarkan

kondisinya tercatat 61% baik, 31% sedang, 5%

rusak, dan 3% rusak berat (Dinas Pekerjaan

Umum Kabupaten Jayawijaya, 2006). Masalah

infrastruktur di Papua pada kawasan pegunungan

yang mendesak untuk dilaksanakan, dengan

membuka hambatan akses darat antara satu

kabupaten dengan kabupaten lainnya di

kawasan pegunungan serta dengan kabupaten di

pesisir. Hal ini dilakukan dengan melanjutkan

pembangunan poros jalan darat Jayapura-

Wamena, pembangunan ruas Wamena-Kenyam,

serta pembangunan jalan antar kecamatan serta

jalan usaha tani.

Pengembangan infrastruktur untuk menun-

jang pertanian berdasarkan arahan penggunaan

lahan dan kedekatan (aksesibilitas) daerah yang

berpotensi dengan prasarana transportasi yang

telah ada. Daerah yang sesuai dan berjarak ≤ 5

km di kiri dan kanan jalan dan sungai yang

digunakan untuk transportasi air, secara

geografis dianggap berpotensi untuk dikembang-

kan dalam jangka pendek menjadi daerah

pertanian. Pada daerah-daerah yang dianggap

berpotensi untuk dikembangkan pertanian,

pengembangannya harus diikuti dengan rencana

pembangunan infrastruktur pendukung seperti

jalan desa, saluran irigasi, saluran drainase,

Page 6: Arahan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007

44

bangunan air, alat dan mesin pertanian, serta

rencana lokasi pasar.

ANALISIS/PEMECAHAN MASALAH

Sesuai Instruksi Presiden Republik

Indonesia (Inpres) Nomor 05/2007, Departemen

Pertanian ditugaskan memberikan dukungan

kepada Pemerintah Provinsi Papua dan Papua

Barat untuk percepatan pembangunan di kedua

provinsi tersebut. Berkaitan dengan itu,

percepatan pembangunan pertanian berbasis

sumberdaya digunakan dua pendekatan utama,

yakni (1) analisis biofisik sumberdaya lahan dan

teknologi pertanian dan (2) analisis sosial-

ekonomi dan kelembagaan. Pendekatan yang

pertama mencakup kajian, tentang : (a) evaluasi

potensi sumberdaya lahan pertanian, (b)

pengembangan infrastruktur pertanian, (c)

pemantapan ketahanan dan diversifikasi pangan

lokal, dan (d) pengembangan produksi bio-

energi. Pendekatan yang kedua mencakup

kajian: (a) pengembangan sumberdaya manusia

di sektor pertanian, (b) pengembangan

agroindustri, (c) pengembangan kelembagaan

pertanian, dan sistem pemasaran komoditas

pertanian.

Analisis diarahkan kepada komoditas

pertanian unggulan hasil musyawarah rencana

pembangunan (Musrenbang) pada masing-

masing provinsi dan kabupaten untuk

mendukung : (1) pertumbuhan perekonomian

daerah, yaitu komoditas yang secara nyata

berpotensi meningkatkan pendapatan daerah

yang dalam pengembangannya memerlukan

investasi dari pihak ketiga. Termasuk dalam

kelompok ini adalah kelapa sawit dan kakao; (2)

peningkatan perekonomian rakyat, yaitu

komoditas yang secara langsung dapat

meningkatkan pendapatan masyarakat, tidak

mutlak memerlukan areal yang luas (10-100 ha

dalam satu hamparan), dan tidak mutlak

memerlukan investasi pihak ketiga. Contoh

kelompok ini adalah kakao, kopi, dan ternak; dan

(3) peningkatan diversifikasi dan ketahanan

pangan lokal, yaitu komoditas yang dapat

diusahakan oleh masyarakat dalam skala usaha

rumah tangga dan penggunaan utamanya adalah

untuk konsumsi keluarga. Contoh kelompok ini

adalah sagu, ubijalar, talas, dan gembili.

DUKUNGAN DATA POTENSI

SUMBERDAYA LAHAN

Berdasarkan Atlas Arahan Tata Ruang

Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000, Provinsi

Papua dan Papua Barat memiliki sekitar 17,3

juta ha lahan yang sesuai untuk pertanian, 7,2

juta ha di antaranya sesuai untuk dijadikan lahan

sawah, 4,1 juta ha untuk pertanian tanaman

semusim lahan kering, dan 5,6 juta ha untuk

tanaman perkebunan dataran rendah (<700 m

dpl). Di dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk

lahan sawah, tanaman semusim lahan kering,

dan tanaman perkebunan berturut-turut adalah

sekitar 0,2; 0,4; dan 0,1 juta ha (Pusat

Penelitian dan Pengembangan Tanah dan

Agroklimat, 2001).

Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian (2007) melakukan kajian untuk

percepatan pembangunan pertanian di Papua.

Dalam menyusun arahan pengembangan

komoditas pertanian unggulan, pemilihan

prioritas tanaman yang diunggulkan adalah

mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah

Provinsi Papua tahun 2004/2005, dan Program

Pembangunan Pertanian (Badan Pertanahan

Nasional, 2005). Komoditas tanaman pertanian

yang diunggulkan untuk setiap kabupaten

mengacu pada hasil musyawarah rencana

pembangunan (Musrenbang) oleh pemerintah

daerah tingkat kabupaten dan provinsi.

Umumnya dalam satu wilayah kabupaten hanya

satu atau dua komoditas pertanian yang

diprioritaskan untuk dikembangkan dengan

mempertimbangkan potensi sumberdaya lahan,

permintaan pasar, ketersediaan dan kualitas

sumberdaya manusia, dan kondisi sosial

ekonominya. Misalnya di Kabupaten Jayapura,

komoditas pertanian yang diunggulkan adalah

kakao, sagu, diintegrasikan dengan ternak babi

dan sapi. Dengan demikian di daerah Kabupaten

Page 7: Arahan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua

Wahyunto dan D. Kuntjoro : Arahan Percepatan Pembangunan Pertanian di Papua

45

Jayapura hanya diarahkan untuk pengembangan

komoditas kakao dan sagu, walaupun lahan

tersebut juga berpotensi tinggi untuk

pengembangan komoditas tanaman pertanian

lainnya, misalnya kelapa sawit dan karet.

Potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan

komoditas pertanian unggulan di Papua disajikan

pada Tabel 2.

Di Papua lahan yang berpotensi untuk

pengembangan tanaman perkebunan, paling luas

adalah untuk kelapa sawit 1,4 juta ha, kemudian

diikuti kakao 477 ribu ha, kopi 180 ribu ha, dan

tebu dan atau jambu mete 268 ribu ha (Tabel 2).

Di daerah pantai utara Papua, lahan potensial

yang cukup luas untuk pengembangan

komoditas kelapa sawit terdapat di Kabupaten

Nabire >50.000 ha, Sarmi dan Keerom masing-

masing >15.000 ha. Sedangkan di wilayah

kepala Burung Papua, lahan yang sesuai untuk

pengembangan kelapa sawit antara 25.000-

60.000 ha, terdapat di Kabupaten Sorong, Fak-

fak, Bintuni, dan Kaimana. Wilayah potensial

dengan luasan 10.000 ha atau lebih untuk

pengembangan kakao dan kelapa dapat

dikembangkan di Kabupaten Sarmi, Waropen,

Nabire, Manokwari, dan Kaimana (Pusat

Penelitian dan Pengembangan Tanah dan

Agroklimat, 2000, 2001, dan 2002; dan Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007).

Tabel 2. Potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan

komoditas pertanian unggulan di Papua

No. Komoditas pertanian unggulan Luas wilayah potensial

ha

I. Perkebunan

1. Sawit 1.429.644

2. Kakao 477.321

3. Karet 81.098

4. Kelapa 78.781

5. Kopi 180.733

6. Sawit atau kakao 254.880

7. Sawit atau kopi 4.634

8. Tebu atau jambu mete 268.782

9. Kopi atau hortikultura (buah-buahan) 50.976

Jumlah I 2.826.849

II. Palawija dan hortikultura

1. Ubijalar, jagung, padi gogo 426.345

2. Padi gogo dan palawija 296.588

3. Hortikultura, palawija, sayuran 210.856

4. Hortikultura (buah-buahan) 1.237.327

Jumlah II 2.171.116

III. Sagu dan padi sawah

1. Sagu 836.470

2. Sagu, sayuran, palawija 215.489

3. Padi sawah, palawija 2.717.947

Jumlah III 3.769.906

IV. Perikanan dan peternakan

1. Perikanan 210.855

2. Peternakan 6.951

Jumlah IV 217.806

Luas wilayah potensial (I+II+III+IV) 8.985.677

Sumber : Diolah dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan

Agroklimat (2000, 2001 dan 2002); Peta RTRWP Papua (Badan

Pertanahan Nasional, 2005), Peta Penggunaan Lahan Papua (Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007)

Page 8: Arahan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007

46

Di kawasan pegunungan, dukungan lahan

sangat menonjol untuk pengembangan

komoditas pangan lokal seperti ubijalar, padi-

padian, dan palawija. Lahan potensial untuk

pengembangan tanaman ubijalar, jagung, dan

padi gogo seluas 426 ribu ha. Di Kabupaten

Jayawijaya dan Puncak Jaya, terdapat lahan

potensial untuk komoditas ubijalar, jagung, dan

palawija seluas 150.000 ha. Petani di wilayah

ini tidak mengusahakan komoditas pangan lain.

Ubijalar atau hipere merupakan komoditas

eksklusif untuk Kabupaten Jayawijaya

(Suradisastra, 2003b dan Badan Pengkajian dan

Penerapan Teknologi, 1998). Sebaliknya, Kabu-

paten Paniai dapat mendukung pengembangan

pangan komoditas padi, palawija, jagung, dan

padi gogo, serta sagu di lahan sekitar 48.000

ha. Di kawasan pegunungan ini juga berpotensi

untuk pengembangan tanaman hortikultura

(buah-buahan dan sayuran dataran tinggi), serta

tanaman kopi dengan luas lahan sekitar 210 ribu

ha. Kopi Wamena dan jeruk Bokondini termasuk

komoditas pertanian yang telah dipasarkan ke

luar Papua (Badan Pengkajian dan Penerapan

Teknologi, 1997).

Kawasan dataran rendah Papua bagian

selatan mencakup lima kabupaten, yakni

Kabupaten Merauke, Mappi, Boven Digoel,

Asmat, dan Mimika. Kabupaten Boven Digoel

memiliki wilayah terluas untuk tanaman

perkebunan terutama untuk kelapa sawit

544.000 ha, kemudian diikuti Kabupaten

Merauke 139.000 ha, Mappi 90.000 ha, dan

Mimika 6.000 ha. Di Kabupaten Boven Digoel

dan Mappi terdapat wilayah potensial untuk

pengembangan tanaman karet masing-masing

seluas 74.000 dan 6.900 ha. Untuk komoditas

tanaman tebu dan jambu mete dapat

dikembangkan di Kabupaten Merauke dengan

luas wilayah potensial sekitar 268.000 ha.

Lahan sawah sebagian besar terdapat di

Kabupaten Merauke, umumnya ditanami padi

oleh petani transmigrasi. Produksi padi saat ini

mampu memenuhi kebutuhan empat kabupaten

lainnya. Lahan yang berpotensi untuk

pengembangan tanaman padi sawah di seluruh

Papua sekitar 2,7 juta ha. Lahan potensial untuk

padi sawah, terluas di Kabupaten Merauke 1,39

juta ha, kemudian diikuti Kabupaten Mappi

468.000 ha. Untuk Kabupaten Boven Digoel,

Asmat, dan Mimika, area potensial untuk

pengembangan tanaman padi berturut-turut

seluas 81.000, 32.000, dan 27.000 ha. Kalau

dilihat dari potensi lahan yang dimiliki,

kabupaten-kabupaten di wilayah selatan Papua

ini memiliki potensi besar untuk dikembangkan

karena lahan di wilayah ini terbentuk dari bahan

aluvial yang subur. Kabupaten Merauke yang

mencanangkan program MIRE (Merauke Inte-

grated Rice Estate), merupakan pengembangan

lahan pertanian berbasis tanaman padi (pilot

project 20.000 ha) diintegrasikan dengan ternak,

ikan, dan sarana pendukung lainnya. Direncana-

kan akan mengoptimalkan pemanfaatan mekani-

sasi pertanian, namun masih terkendala masalah

penyediaan sumberdaya manusia yang memadai.

Lahan yang berpotensi untuk pengembang-

an pertanian masih luas dan baru sebagian kecil

saja yang dimanfaatkan untuk usaha pertanian.

Kawasan lahan yang berpotensi tinggi (Sesuai-1)

untuk pengembangan komoditas pertanian

unggulan yang diunggulkan oleh pemerintah

daerah tingkat kabupaten hasil Musrembang

seluas 8,9 juta ha (Tabel 2), lahannya telah

dimanfaatkan sekitar 759 ribu ha, sehingga

masih tersedia lahan untuk pengembangan

pertanian seluas 8,2 juta ha (Tabel 3).

Lahan yang sudah dibuka untuk sawah

hanya 1,3% dari seluruh lahan yang sesuai

untuk sawah. Luas sawah Papua sekitar 25,1

ribu ha terluas terdapat di Kabupaten Merauke

19.350 ha dan Kabupaten Nabire 2.940 ha

(Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan

Hortikultura, 2006). Karena berbagai kendala,

tiap tahun luas tanam padi tidak pernah

mencapai luas areal sawah yang ada.

Sebetulnya sumberdaya air cukup banyak

tersedia, namun karena belum dikelola secara

optimal, tidak dapat digunakan untuk mengairi

seluruh sawah yang ada. Produksi padi tahun

2006 mencapai 73.168 ton dengan produktivitas

rata-rata 4,2 t/ha.

Page 9: Arahan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua

Wahyunto dan D. Kuntjoro : Arahan Percepatan Pembangunan Pertanian di Papua

47

Wilayah potensial untuk sagu terdapat di

daerah-daerah dataran rawa di sekitar pantai,

dataran rendah, dan pelembahan sungai yang

sering tergenang dengan luas sekitar 900.000

ha. Kabupaten yang mempunyai wilayah untuk

pengembangan sagu cukup luas adalah

Kabupaten Kaimana 157.000 ha, Nabire

150.000 ha, Waropen 139.000 ha, Sarmi

106.000 ha, Asmat 90.000 ha, Sorong 64.000

ha, dan Fak-fak 60.000 ha.

Sebagian besar tanaman sagu masih

merupakan tanaman liar yang tumbuh dengan

sendirinya. Biasanya masyarakat hanya

mengambil anakan dari rumpun tanaman yang

tumbuh liar dan menanam kembali di lahan

kosong yang diperkirakan baik untuk

pertumbuhan sagu. Berdasarkan peta wilayah

pertanian (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan

Hortikultura, 2006), luas hutan sagu 513.000

ha, letak terpencar-pencar dan seluruhnya sudah

dimiliki masyarakat, produksinya sekitar 139 ton

dan melibatkan 1.663 petani.

ARAHAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

BERKELANJUTAN

Sektor pertanian memiliki potensi menjadi

salah satu sektor andalan dalam percepatan

pembangunan Papua. Dengan sumberdaya lahan

yang dimiliki, pembangunan pertanian diharapkan

dapat menjadi pilar permbangunan ekonomi

Papua dan Papua Barat. Tata ruang untuk

daerah yang belum banyak terganggu, perlu

diatur secara seksama dan ketat dengan

mempertimbangkan kelestarian lingkungan

hidup. Sedangkan daerah yang sudah rusak/

terdegradasi dan menurun fungsi produksinya

perlu direhabilitasi. Tanpa usaha ini, degradasi

lahan dan penurunan fungsi lingkungan akan

semakin parah, dan rehabilitasinya jauh lebih

berat, memerlukan waktu lama dan dana yang

besar. Dengan rusaknya hidrologi daerah DAS

hulu, daerah pantai/DAS hilir yang merupakan

sentra pengembangan pertanian akan terancam

bencana, karena intrusi air laut akan semakin

masuk jauh ke daratan.

Hutan dan tanaman tahunan diperlukan

terutama di daerah hulu DAS untuk memelihara

tata air dan sebagai kawasan penyangga,

sehingga lingkungan secara menyeluruh tetap

terpelihara. Di sepanjang pantai dengan tanaman

bakau dan hutan nipah juga perlu dipertahankan

untuk penyangga maupun tempat habitat ber-

bagai satwa yang secara ekonomis mempunyai

nilai tinggi dan penyeimbang lingkungan,

sebagaimana juga di sepanjang aliran sungai

maupun mata air.

Pertanian dan pengusahaan tanaman

semusim hanya dianjurkan pada lahan dengan

lereng <8% apabila tanahnya sesuai. Pertanian

ini tidak dianjurkan pada lahan datar sekiranya

tanahnya berbahan induk pasir kuarsa maupun

gambut dalam, serta tanah yang terlalu banyak

berbatu sehingga menyulitkan pengolahan tanah.

Lahan dengan lereng 8-16% dianjurkan sistem

wanatani, dimana tanaman semusim diusahakan

bersama dengan tanaman keras/tahunan.

Sedangkan lereng 16-40% sebaiknya hanya

diusahakan tanaman permanen/tahunan seperti

perkebunan maupun kehutanan (Amin et al.,

1994). Penggunaan lahan yang tepat dan

pengelolaan yang sesuai adalah kunci dari

pertanian berkelanjutan. Namun walaupun usaha

pertanian tersebut menguntungkan, tetapi kalau

Tabel 3. Arahan pengembangan komoditas pertanian unggulan di Papua

No. Komoditas pertanian unggulan Lahan potensial

Telah digunakan

untuk pertanian

Lahan untuk

pengembangan

……………………………… ha ………………………………

1. Perkebunan 2.826.849 442.563 2.384.286

2. Palawija dan hortikultura 2.171.116 90.369 2.084.747

3. Sagu dan padi sawah 3.769.906 189.962 3.579.944

4. Perikanan dan peternakan 217.806 37.074 180.732

Jumlah 8.985.677 759.968 8.225.709

Page 10: Arahan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007

48

kelestarian terusik, kondisi lingkungan terganggu,

usaha pertanian tidak akan dapat bertahan lama.

Lahan gambut memegang peranan penting

dalam sistem hidrologi DAS. Kegagalan introduksi

teknologi dan teknik bercocok tanam sering

terjadi karena pengabaian terhadap nilai-nilai

lokal serta adat dan norma yang berlaku di

wilayah pembangunan pertanian. Sebaiknya

proses adopsi teknologi dan penyuluhan

pertanian mengikutsertakan kelembagaan lokal

seperti kepala suku (ondoafie, keret, otini, dan

lain-lain) dan lembaga tata pengaturan

(sambanim-pakasanim, otini-tabenak, dan lain-

lain).

Strategi yang ditempuh untuk memper-

tahankan ketahanan dan diversifikasi pangan

lokal adalah melalui: pencapaian kemandirian

beras, ubi-ubian dan sagu sampai mendekati

100%; mempertahankan tingkat konsumsi ubi-

ubian dan sagu, sekurang-kurangnya pada

tingkat konsumsi sekarang; mendorong produksi

sayur-sayuran, buah-buahan dan ternak untuk

meningkatkan gizi masyarakat; meningkatkan

ketahanan (aksesibilitas, kecukupan, dan

keamanan) pangan rumah tangga; meningkatkan

pengembangan komoditas non beras;

meningkatkan daya beli rumah tangga atas

pangan; dan meningkatkan upaya kecukupan

pangan menjadi kecukupan gizi.

Untuk mengatasi ketimpangan/ketidak

selarasan budaya bertani antara etnis pendatang

dan etnis Papua terutama tentang ketrampilan

dan pengetahuan bertani hendaknya dikembang-

kan program percepatan pembangunan pertanian

dan adopsi-inovasi teknologi yang sesuai dengan

kondisi sosial-budaya, kelembagaan, dan pe-

nguasaan teknologi stakeholder petani maju dan

petani tertinggal. Program pembinaan dan

penyuluhan seyogyanya dipilah menjadi bimbing-

an dan penyuluhan untuk petani maju (etnis

pendatang) dan petani tertinggal. Untuk itu

diperlukan suatu pendekatan dan strategi

pelaksanaan percepatan sektor pertanian yang

berbasis sumberdaya, baik sumberdaya lahan,

air, iklim, dan sumber daya manusia secara

terintegrasi dan sesuai dengan kondisi setempat.

PENUTUP

Arah percepatan pembangunan pertanian

dilakukan dengan memperhatikan kesesuaian

lahan dan aspek bio-fisik wilayah, dan interaksi

kepadatan penduduk dengan aspek pasar. Ber-

dasarkan keadaan sumberdaya lahan dan aspek

bio-fisik wilayah, wilayah Papua cukup potensial

untuk pengembangan pertanian termasuk pangan

lokal dan bio-energi (kelapa sawit, kelapa, tebu,

ubijalar, dan jagung).

Pangan tradisional perlu dipertahankan

dalam rangka diversifikasi dan pengembangan

tanaman bio-energi. Konsep desa mandiri dengan

mengutamakan sumber-sumber kekayaan setem-

pat untuk dijadikan bahan pangan, bahan bakar,

terutama untuk suplai energi listrik. Upaya

selayaknya mendorong kemandirian ekonomi

kerakyatan ke dalam pasar tradisional. Adanya

hak ulayat dan suku-etnis Papua memiliki ikatan

batin yang kuat dengan alam serta lingkungan

tempat mereka berpijak, maka rekomendasi

pengembangan pertanian, infrastruktur, dan

investasi di Papua tidak boleh memutuskan

hubungan masyarakat adat dengan aspek

penguasaan tanah ulayatnya. Kesiapan masya-

rakat dalam mengadopsi teknologi sangat penting

untuk dipertimbangkan misal pengembangan

agro-industri diprioritaskan untuk penyimpanan

bahan pangan agar dapat bertahan lama, bukan

teknik pengolahan menjadi berbagai produk

olahan baru.

DAFTAR PUSTAKA

Asmuruf, D. 2005. Upaya Peningkatan Investasi

di Provinsi Irian Jaya. Makalah untuk

Kegiatan Rapat Pendahuluan Raker II

APPSI. APPSI, Bandung.

Amin, I., H. Sosiawan, dan E. Susanti. 1994.

Agroekologi dan Alternatif Pengembang-

an Pertanian di Sulawesi, Nusa Teng-

gara, Maluku dan Irian Jaya. Makalah

pada Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan

untuk Pembangunan Kawasan Timur

Indonesia. Palu, 16-20 Januari 1994.

Page 11: Arahan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua

Wahyunto dan D. Kuntjoro : Arahan Percepatan Pembangunan Pertanian di Papua

49

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

2007. Arahan Percepatan Pembangunan

Pertanian Berbasis Sumberdaya di

Provinsi Papua dan Papua Barat. Draft

Laporan Akhir. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, Departemen

Pertanian. Jakarta.

Badan Pertanahan Nasional. 2005. Rencana

Tata Ruang Wilayah Provinsi Papua.

Proyek Inev-SDL Badan Pertanahan

Nasional, Kerjasama dengan Bappeda

Provinsi Papua. Jayapura.

Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Indonesia.

Luas Daerah dan Pembagian Daerah

Administrasi di Indonesia. Badan Pusat

Statistik. Jakarta.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

1997. Pola Pengembangan Pertanian di

Wilayah DAS Mamberamo, Irian Jaya.

Laporan Kerjasama antara Bagian Proyek

Sumberdaya Pertanian dan Agrotekno-

logi dengan IPB. Jalan Thamrin Jakarta.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

1998. Studi Evaluasi Zonase Lahan dan

Pra Studi Kelayakan Budidaya Lahan

Padi dan Kelapa Sawit, di DAS

Mamberamo Hilir, Irian Jaya. Laporan

Kerjasama antara Bagian Proyek

Sumberdaya Pertanian dan Agrotekno-

logi dengan IPB. Jalan Thamrin Jakarta.

Dewan Ketahanan Pangan. 2005. Peta

Kerawanan Pangan Indonesia. Dewan

Ketahanan Pangan, Departemen

Pertanian dan World Food Programe.

Jakarta.

Dimyati, A., K. Suradisastra, A. Taher, M.

Winugroho, D.D. Tarigan, dan A.

Sudradjat. 1991. Sumbangan Pemikiran

Bagi Pembangunan Pertanian di Irian

Jaya. Badan Penelitian dan Pengembang-

an Pertanian, Departemen Pertanian.

Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua. 2006.

Rencana Pembangunan Jalan di Papua.

Dinas Pekerjaan Umum, Provinsi Papua.

Jayapura.

Dinas Pekerjaan Umum, Kabupaten Jayawijaya.

2006. Pembangunan Jalan di Kabupaten

Jayawijaya. Wamena.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Horti-

kultura. 2006. Potensi Pengembangan

Komoditas Pertanian Utama. Dinas

Pertanian Tanaman Pangan dan

Hortikultura. Jayapura.

Djaenudin, D. 1994. Potensi Sumberdaya Alam

Daerah Aliran Sungai Mamberamo di

Provinsi Irian Jaya. Hlm. 403-412. Dalam

Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya

Lahan untuk Pembangunan Kawasan

Timur Indonesia, di Palu 17-20 Januari

1994. Pusat Penelitian Tanah dan

Agroklimat. Bogor.

Kepas. 1990. Analisis Agro-ekosistem untuk

Pembangunan Masyarakat Pedesaan Irian

Jaya. Badan Penelitian dan Pengembang-

an Pertanian, Pusat Studi Lingkungan

Hidup Universitas Cenderawasih dan the

Ford Foundation.

Oldeman, L.R., I. Las, and Muladi. 1980. The

Agroclimatic Maps of Kalimantan,

Maluku, Irian Jaya and Bali, West and

East Nusa Tenggara. Contr. Centr. Res.

Insti. Of Agric. No. 60.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan

Agroklimat. 2000. Atlas Sumberdaya

Tanah Eksplorasi Indonesia skala 1:

1000.000. Puslit Tanah dan Agroklimat,

Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan

Agroklimat. 2001. Atlas Arahan Tata

Ruang Indonesia skala 1:1.000.000.

Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Badan

Litbang Pertanian. Bogor.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan

Agroklimat. 2002. Atlas Arahan

Pengembangan Komoditas Pertanian

Unggulan Indonesia skala 1:1.000.000.

Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Badan

Litbang Pertanian. Bogor.

Pusat Perpetaan Kehutanan. 2005. Kawasan

Hutan di Papua. Pusat Perpetaan Kehu-

tanan, Departemen Kehutanan. Jakarta.

Regional Physical Planning Programme for

Transmigration (RePPProT). 1989. Hasil

Studi Regional Physical Planning

Programme for Transmigration di

Provinsi Irian Jaya dan Maluku. Ditjen

Pankim, Departemen Transmigrasi.

Jakarta.

Page 12: Arahan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007

50

Retno, M.W., Suparmi, dan Marsoedi Ds. 1994.

Liputan Wilayah Pemetaan Sumberdaya

Lahan/Tanah di Provinsi Maluku dan Irian

Jaya. Malakah pada Temu Konsultasi

Sumberdaya Lahan untuk Pembangunan

Kawasan Timur Indonesia. Palu, 16-20

Januari 1994.

Soepraptohardjo, M., M. Soekardi, dan W.J.

Surjanto. 1971. Tanah Irian Barat. Edisi

ke-2. Dokumen Pusat Penelitian Tanah

Bogor. No.3/1971.

Suradisastra, K. 1991. Comparison and Conflict

between Agriculturalists and Semi-

Nomadic Society in Prafi-IV Resettlement

Unit, Manokwari-Irian Jaya. The Research

Group of Agro-ecosystem. The Ford

Foundation.

Suradisastra, K. 2001. Rancangan Strategik

Pengembangan Investasi di Kawasan

Timur Indonesia, dalam Kawasan Timur

Indonesia dan Prospek Investasi. Hlm. 29-

42. Lembaga Informasi Nasional.

Suradisastra, K. 2003a. Eastern Indonesia: the

Great Challenge for Investment. Ministry

for Acceleration of Eastern Indonesia

Development, Jakarta.

Suradisastra, K. 2003b. Roadmap to Investment

in Eastern Indonesia. Ministry for

Acceleration of Eastern Indonesia Deve-

lopment, Jakarta.

Suradisastra, K., A. Taher, A. Dimyati, D.D.

Tarigan, A. Sudradjat, dan M. Winugroho.

1990. Potensi, Kendala, dan Peluang

Pembangunan Pertanian di Provinsi Irian

Jaya. Badan Litbang Pertanian.

Wahyunto dan Marsoedi. Ds. 1994. Keadaan

Tanah di Provinsi Irian Jaya. Hlm. 147-

162. Dalam Prosiding Temu Konsultasi

Sumberdaya Lahan untuk Pembangunan

Kawasan Timur Indonesia, di Palu 17-20

Januari 1994. Pusat Penelitian Tanah

dan Agroklimat. Bogor.

Widjaja-Adhi, I P.G. 1995. Lahan Rawa di

Kawasan Timur Indonesia: Potensi,

Pengelolaan, dan Teknologi Pengem-

bangannya. Hlm. 323-342. Dalam

Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya

Lahan untuk Pembangunan Kawasan

Timur Indonesia, di Palu 17-20 Januari

1994. Pusat Penelitian Tanah dan

Agroklimat. Bogor.