Analisis Realita Dan Fakta New Media
-
Upload
arif-wicaksono -
Category
Documents
-
view
33 -
download
0
description
Transcript of Analisis Realita Dan Fakta New Media
Achmad Dzuhri Arif W – 115120200111077 - KOMMAS
Perkembangan Media Massa yang cepat juga memunculkan new media yang
lebih sering kita sebut sebagai Internet. Kehadiran Internet membuat masyarakat bisa
mengakses dan membaca berita secara cepat terutama bagi masyarakat yang tidak
sempat membaca media massa konvensional (koran, majalah, dll). Internet bisa
diakses dimana saja asal tempat tersebut mempunyai koneksi internet.
Seperti yang tertera di UU tentang Pers nomor 40 tahun 1999, di pasal 3
disebutkan bahwa “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan,dan kontrol sosial”. Demikian juga new media, mereka juga
mempunyai konten-konten yang bersifat seperti yang ada di pasal 3 diatas, kita bisa
mengambil contoh dari Detik dot com yang mempunyai sub forum food, travel, health,
dan hiburan. Bahkan media-media yang menjadi pemain besar di bisnis media cetak
dan mempunyai konglomerasi media, sekarang sudah ada beberapa yang mempunyai
situs berita di Internet, sehingga berita yang disajikan di edisi cetak, bisa masyarakat
nikmati di dunia maya.
Namun hal itu bukannya tanpa dampak negatif, menurut artikel dari tempo.co,
disana disebutkan bahwa konglomerasi new media ini juga merupakan persoalan
dominasi wacana di ranah publik. Dominasi wacana ini tentu sangat berbahaya, terlebih
bila pemilik modal industri konglomerasi new media itu juga berafiliasi dengan
kekuatan politik tertentu. Pemilik modal dari konglomerasi new media dengan dominasi
wacana di publik bisa dengan mudah mengarahkan sebuah kebijakan publik sesuai
dengan kepentingannya. Hal itu sudah jamak terjadi di Indonesia, konglomerasi-
konglomerasi media tidak jarang menulis berita hanya untuk kepentingan kelompok,
misalnya partai politik yang dia dukung. Selain itu, menurut Severin dan Tankard Jr
(2008 : 457) bahwa kredibilitas telah menjadi isu yang tidak pernah basi dalam
penelitian komunikasi massa. Bahkan melebihi media tradisional. Internet
memunculkan isu-isu tentang akurasi, keandalan, dan kecukupan informasi.
Contoh kasus dari penjelasan diatas yang bisa saya berikan adalah
konglomerasi Metro TV yang dimiliki Surya Paloh, konglomerasi ini mempunyai contoh
konvergensi media, mereka mempunyai stasiun TV (Metro TV) dan versi web
(Metrotvnews.com), ketika beliau masih berada di Golkar yang notabene satu koalisi
dengan pemerintah, pemberitaan Metro TV di TV maupun versi New Media-nya seakan
“disetir” untuk mendukung setiap program pemerintah, wartawan yang dibawahnya
dilarang menulis berita negatif tentang program pemerintah, sedangkan ketika beliau
sekarang menjadi salah satu pentolan Partai Nasdem, berita di Metro TV tidak jarang
yang menyudutkan dan menghakimi pemerintah, hal ini bisa saya amati dari
pemberitaan yang saya baca di Metrotvnews.com, sehingga wartawan yang bekerja
disana secara “terpaksa” menulis berita tidak sesuai realita dan fakta sehingga akhirnya
tidak objektif. Padahal menurut Kode Etik Jurnalistik, disana disebutkan bahwa
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk, independen berarti memberitakan peristiwa atau
fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi
dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. Dengan demikian, wartawan yang
bekerja di Metro TV, termasuk yang mengelola dan mengupload berita ke new media
MetroTvnews.com juga akan bekerja didalam tekanan, mereka tidak mungkin menulis
berita yang menjelek-jelekkan perusahaan yang menggaji mereka, sehingga mereka
juga sulit menulis berita yang obyektif dan tidak memihak salah satu pihak.
Konglomerasi media yang dimiliki perorangan / kelompok tertentu juga bisa
menyebabkan berita yang disajikan tidak objektif bahkan cenderung memojokkan,
seperti yang ditulis oleh Nurudin (2009 : 267) bahwa sebuah media yang orientasinya
pada keuntungan materi dengan mementingkan pasar, tentu akan menghindari berita
atau sajian yang sifatnya mendidik. Mereka akan cenderung untuk mengekspos berita
yang sensasional, bombastis, kriminal, atau seks. Kalau media orientasinya sudah
seperti itu, pelaksanaan etika komunikasi massa akan menemui banyak kesulitan. Jadi
disini menurut pendapat saya, saat ini banyak media yang diragukan kredibilitas
pemberitaannya, karena banyak new media yang dimiliki kelompok tertentu /
perorangan, sehingga berita yang disajikan bisa dipertanyakan objektivitasnya,
pasalnya berita yang disajikan pasti akan disetting agar menguntungkan sang pemilik
modal, dan tidak jarang pula berita yang disajikan tidak dicheck dulu kebenarannya
sehingga tidak sesuai realita dan fakta yang terjadi, berita yang ditulis cenderung
mengikuti pandangan subyektif penulis, pokoknya asal berita cepat diupdate ke
internet, masyarakat bisa membacanya, sehingga traffic pengunjung situs new media
tersebut meningkat, dan sponsor yang akan memasang ads online juga semakin
tertarik. Inilah kekurangan jika situs new media tersebut dimiliki pemilik modal yang
profit oriented. Hal itu sudah jelas menyalahi Kode Etik Jurnalistik pasal 3 yaitu
wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak
bersalah.
Menurut situs singkatcerita.blogspot.com, atas nama kecepatan, pageviews, dan
pertumbuhan bisnis, acapkali lembaga berita media online terjerembab menyampaikan
informasi yang belum final terverifikasi kepada masyarakat luas sehingga terkadang
menimbulkan mis-persepsi dan mis-interpretasi fakta. Laporan yang masuk ke Dewan
Pers mengenai keluhan berita di media online jumlahnya terus meningkat. Menurut
saya, hal ini bukan persoalan yang sepele, perkembangan new media yang akan
semakin cepat akan membuat masyarakat akan bingung menentukan situs new media
mana yang akan mereka percayai sebagai referensi sumber berita. Memang,
pemberitaan new media yang terkadang tidak obyektif dan bertentangan dengan UU
Pers yang berlaku sudah terbukti adanya, tetapi di dalam UU Pers sendiri tidak ada
pasal yang mengatur jurnalisme online secara gamblang, sehingga hal ini menimbulkan
new media bisa menerbitkan berita yang tidak obyektif dan kebebasan yang berlebihan
dalam menulis berita. Apa yang ditulis oleh new media bisa diakses oleh masyarakat
secara bebas, bisa mereka baca, tapi kebenaran realita dan fakta yang ada di dalam
berita di new media tidak bisa dijamin 100%. Sehingga yang harus dilakukan oleh
Indonesia adalah membuat UU yang mengatur tentang jurnalisme online dan new
media agar perkembangan internet yang cepat ini diatur oleh hukum sehingga ketika
ada kasus yang melibatkan new media, bisa segera diselesaikan. Selain itu, UU new
media akan membuat pemilik situs berita internet bisa meningkatkan kredibilitasnya
untuk menyajikan berita yang obyektif, tidak memihak salah satu pihak, dan sesuai
realita dan fakta yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Nurudin. 2009. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta : Rajawali Pers.
Severin, Werner J dan James W. Tankard, Jr. 2008. Teori Komunikasi : Sejarah,
Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta : Kencana.
http://singkatcerita.blogspot.com/2012/02/era-new-media-tantangan-media-online.html
diakses pada tanggal 11 November 2012 pukul 09.05 WIB
UU PERS NOMOR 40 TAHUN 1999.pdf. http://www.bloggerborneo.com/download-
undang-undang-pers-nomor-40-tahun-1999#.UKDQ-obD6l-. Diunduh pada tanggal 12
November 2012 pukul 17.05 WIB
http://id.wikisource.org/wiki/Kode_Etik_Jurnalistik diakses pada tanggal 12 November
2012 pukul 17.15 WIB
http://www.tempo.co/read/kolom/2012/02/15/534/Mempersoalkan-Konglomerasi-New-
Media-. diakses pada tanggal 12 November 2012 pukul 17.28 WIB