ANALISIS PENGARUH SURAT TEGURAN, SURAT PAKSA, DAN ...
Transcript of ANALISIS PENGARUH SURAT TEGURAN, SURAT PAKSA, DAN ...
ANALISIS PENGARUH SURAT TEGURAN, SURAT PAKSA, DAN
PENYITAAN MONETARY ASSET DI BANK TERHADAP
PENCAIRAN TUNGGAKAN PAJAK
(Studi Kasus Pelaksanaan Penagihan Pajak Pada Kanwil DJP Jakarta Barat)
Oleh:
Widhya Ningsih NIM : 104082002672
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/2008 M
ANALISIS PENGARUH SURAT TEGURAN, SURAT PAKSA, DAN
PENYITAAN MONETARY ASSET DI BANK TERHADAP
PENCAIRAN TUNGGAKAN PAJAK
(Studi Kasus Pelaksanaan Penagihan Pajak Pada Kanwil DJP Jakarta Barat)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Untuk Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh:
Widhya Ningsih
NIM: 104082002672
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Yahya Hamja, MM Afif Sulfa, SE, Ak.,Msi
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/ 2008 M
Hari ini Jumat tanggal 2 bulan Mei tahun dua ribu delapan telah dilakukan ujian
Komprehensif atas nama Widhya Ningsih NIM : 104082002672 dengan judul Skripsi
“ ANALISIS PENGARUH SURAT TEGURAN, SURAT PAKSA, DAN
PENYITAAN MONETARY ASSET DI BANK TERHADAP PENCAIRAN
TUNGGAKAN PAJAK” (Studi Kasus Pelaksanaan Penagihan Pajak Pada Kanwil
DJP Jakarta Barat). Memperhatikan penampilan mahasiswa tersebut selama ujian
berlangsung, maka skripsi ini sudah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Akuntasi Fakultas Ekonomi dan Ilmu
Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 2 Mei 2008
Tim Penguji Ujian Komprehensif
Drs. Abdul Hamid Cebba, Ak., MBA Amilin SE, Ak., Msi Ketua Sekretaris
Prof. Dr. Abdul Hamid, MS Penguji Ahli
Daftar Riwayat Hidup
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama : Widhya Ningsih 2. Tempat & Tanggal Lahir : Jakarta, 3 Februari 1987 3. Jenis Kelamin : Perempuan 4. Agama : Islam 5. Alamat : Jl. Kalimangso No. 70 RT 004/01
Kelurahan Jurang Mangu Timur Kecamatan Pondok Aren .Tangerang, 15222
6. Telepon : (021) 73888112 / 0813 150 39675
II. PENDIDIKAN
1. SD : SD Negeri Jurang Mangu Timur 04 2. SMP : SLTP Negeri 177 Pesanggrahan Jakarta Selatan 3. SMA : SMA Negeri 90 Jakarta Selatan 4. S1 : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
III. PENGALAMAN ORGANISASI Periode
1. Sekretaris Rohis SMAN 90 Jakarta Selatan 2002-2003 2. Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Akuntansi 2005-2006
IV. LATAR BELAKANG KELUARGA
1. Ayah : Soepardjo 2. Tempat &Tanggal Lahir : Yogyakarta, 13 Februari 1960
3. Alamat : Jl. Kalimangso No. 70 RT 004/01 Kelurahan Jurang Mangu Timur Kecamatan Pondok Aren. Tangerang, 15222
4. Telepon : (021) 73888112 5. Ibu : Karni 6. Tempat &Tanggal Lahir : Wonogiri, 1 Maret 1964 7. Alamat : Jl. Kalimangso No. 70 RT 004/01
Kelurahan Jurang Mangu Timur Kecamatan Pondok Aren. Tangerang, 15222
8. Telepon : (021) 73888112 9. Anak Ke dari : 1 dari 1
ABSTRAK Widhya Ningsih NIM: 104082002672 Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, judul skripsi “Analisis Pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa, dan Penyitaan Monetary Asset di Bank Terhadap Pencairan Tunggakan Pajak (Studi Kasus Pelaksanaan Penagihan Pajak Pada Kanwil DJP Jakarta Barat)”.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank terhadap pencairan tunggakan pajak. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode statistik linier berganda, yaitu suatu metode yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank terhadap pencairan tunggakan pajak. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank tidak berpengaruh terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat, karena hasil uji F statistik menunjukan bahwa F hitung lebih kecil dari F tabelnya yaitu sebesar 2,129<3,49, dan nilai signifikansi menunjukan probabilitas lebih besar dari 0,05. Hal ini memberi pengertian bahwa secara simultan variabel independen dalam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap variabel dependennya. Begitupula dengan hasil uji t, yang menunjukkan bahwa t hitung<t tabel yaitu 0,521<2,145 untuk Surat Teguran, -2,047<2,145 untuk Surat Paksa, dan -2,166<2,145 untuk penyitaaan monetary asset di bank, sehingga hasil penelitian ini menerima Ho dan menolak Ha, yang memberi pengertian bahwa secara parsial (individual) Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank tidak berpengaruh pada pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat. Kata Kunci : Surat Teguran, Surat Paksa, penyitaan monetary asset di bank,
pencairantunggakan pajak
ABSTRACT
Widhya Ningsih NIM: 104082002672 Accounting Majors Faculty of Economic and Social Science State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta, the title of scription “Analysis Influence of Exhortation Letter, Force Letter, and Monetary Asset Confiscation on the Bank to the Liquefaction of Delinquent Tax (Case Study of Implementation Tax Collection at Kanwil DJP Jakarta Barat)”.
This reaserch purpose is to analyze the influence of Exhortation Letter, Force Letter, and monetary asset confiscation on the bank to the liquefaction of delinquent tax. Analysis method used in this reaserch is double linier statistical method, that is a method used to find out how much the influence of Exhortation Letter, Force Letter, and monetary asset confiscation on the bank to the liquefaction of delinquent tax.
The result from this research is knowable that Exhortation Letter, Force Letter, and monetary asset confiscation on the bank do not have any influence to the liquefaction of delinquent tax at Kanwil DJP Jakarta Barat, because F statistical test result show that F count < F table, that is 2,129<3,49 and the significant value show that the probability more than 0,05. It is means that independent variables in this reaserch does not influence simultaneously to the dependent variable. So also with t test result, it is shows that t count < t table that is 0,521<2,145 for Exhortation Letter, -2,047<2,145 for Force Letter, and -2,166<2,145 for monetary asset confiscation on the bank, so that this reaserch accept Ho and reject Ha, it means that partialy Exhortation Letter, Force Letter, and monetary asset confiscation on the bank do not have influence to the liquefaction of delinquent tax at Kanwil DJP Jakarta Barat. Key Words : Exhortation Letter, Force Letter, monetary asset confiscation on the
bank, liquefaction of delinquent tax
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim, Segala puja dan puji syukur tercurah Kepada Sang Maha Pencipta, Sang Maha
Agung, Sang Maha Pengasih dan Penyayang, Sumber Ilmu Pengetahuan, Sumber
Segala Kebenaran, Sang Kekasih tercinta yang tak terbatas pencahayaan cinta bagi
umat-Nya dan penggenggam seluruh isi bumi, ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala atas
hidayah, berkah, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Analisis Pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa, dan Penyitaan Monetary
Asset Di Bank (Studi Kasus Pelaksanaan Penagihan Pajak Pada Kanwil DJP Jakarta
Barat)”, sesuai dengan waktu yang direncanakan.
Shalawat serta salam tercurah teruntuk Baginda Mulia Nabi Besar Muhammad
S.A.W yang telah menuntun umatnya dari zaman yang tiada pencahayaan ke zaman
yang penuh dengan cahaya kebenaran. Penyusunan skripsi ini disusun untuk memenuhi
sebagian syarat dinyatakan lulus dan pencapaian gelar Sarjana Ekonomi Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak akan selesai tepat pada
waktunya tanpa dukungan, arahan, bimbingan, dan bantuan dari semua pihak. Oleh
karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:
1. Orang tua tercinta Tn. Soepardjo dan Ny. Karni yang telah mencurahkan segenap
waktu, perhatian, kebersamaan, dukungan, motivasi yang sangat berarti bagi
penulis dan melalui jerih payah perjuangannya selama ini dengan banyak
mencucurkan keringat dan menguras tenaganya, serta melalui gema doa yang tiada
pernah henti kepada Sang Illahi Robbi, untuk sebuah pengharapan agar buah
hatinya menjadi anak yang sukses dunia dan akhirat, amien.
2. Bapak Dr.Yahya Hamja, MM selaku dosen pembimbing pertama dan Bapak Afif
Sulfa SE, Ak., Msi selaku dosen pembimbing kedua yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk selalu memberikan arahan, bimbingan, bantuan, dan
dukungan yang luar biasa bagi penulis selama proses penyusunan skripsi ini.
3. Bapak M. Faisal Badroen., MBA selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial.
4. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS Selaku PUDEK Fakultas Ekonomi dan Ilmu
Sosial yang telah menyempatkan waktunya untuk menguji dan meluluskan penulis
dalam ujian komprehensif.
5. Bapak Drs. Abdul Hamid Cebba, Ak., MBA selaku Ketua Jurusan Akuntansi dan
Bapak Amilin, SE, Ak., MSi selaku Sekretaris Jurusan Akuntansi dan yang telah
menyempatkan waktunya untuk menguji dan meluluskan penulis dalam ujian
komprehensif.
6. Bapak Heppy Prayudiawan, SE, Ak., MM selaku dosen tersupel dan perhatian
kepada anak-anak didiknya yang selalu memberikan bimbingan, arahan, bantuan,
dukungan yang luar biasa selama penulis menjalani pendidikan di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
7. Om Erik, Ibu Ani, Ibu Chas, dan Ibu Imelda yang selalu memberikan bantuan,
arahan, bimbingan, dan dukungan yang luar biasa selama penyusunan skripsi ini.
8. Kakak-kakakku tercinta Mba Ugi & Mas Koko, Mas Soni, dan Mba Ni, serta adik
sepupuku yang cantik dan pintar Dini dan Nia atas doa dan dukungannya selama
ini.
9. Mas Riant atas waktu, perhatian, curahan kasih sayang, dukungan moril yang luar
biasa, serta doa tulusnya selama ini yang sangat berarti bagi penulis, semoga semua
itu dapat terus terjalin.
10. Sahabat setiaku Ida Farida, Eri, Yanita, Dewi, Andri Stan, Seto Stan, Aris, Adi,
Dwe, Elin, Jun, Rahma, Rahil, Fina, Susi&Adit, atas waktu, dukungan, doa,
perhatian, persahabatan dan kebersamaannya selama ini semoga dapat terus terjalin.
11. Sahabat-sahabatku di akuntansi B, Pipit, Nica, Yani, Iyok, Desi, Mba Eka, Ayu
Tea, Ochi, Dika, Dwin, Rama, Raihan, Doni, Taufik, Mahdi, Elo, Aat, Agin,
Nanda, atas bantuan, dukungan, dan kebersamaannya selama ini semoga dapat terus
terjalin.
12. Mas-masku yang ada di depan rumah Mas Wanto, Mas Haris, dan Mas Tedy atas
dukungan dan bantuan equipmentnya.
13. Semua pihak yang telah memberikan dukungan baik secara langsung maupun tidak
langsung sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan
mengingat keterbatasan kemampuan, pemahaman, dan pengetahuan yang penulis
miliki. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk masukan dan pengetahuan bagi penulis.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Jakarta, Mei 2008
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI.......................................................................
LEMBAR PERNYATAAN LULUS UJIAN KOMPREHENSIF ..........................
LEMBAR PERNYATAAN LULUS UJIAN SKRIPSI ...........................................
DAFTAR RIWAYAT HIDUP...................................................................................
ABSTRACT..................................................................................................................
ABSTRAK...................................................................................................................
KATA PENGANTAR ................................................................................................
DAFTAR ISI ...............................................................................................................
DAFTAR TABEL.......................................................................................................
DAFTAR GAMBAR...................................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................................
ii
iii
iv
v
vi
vii
viii
x
xv
xvi
xvii
BAB I.
BAB II.
PENDAHULUAN ..................................................................................
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah............................
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .........................................................
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................
A. Tinjauan Pustaka………………………............................................
1. Konsep Dasar Perpajakan .............................................................
a. Pengertian Pajak………………………………………………
b. Fungsi Pajak…………………………………………………..
c. Sistem Pemungutan Pajak………….………………………....
d. Utang Pajak…..……………………………………………….
1
1
5
6
9
9
9
9
10
12
13
BAB III.
e. Penghapusan Piutang Pajak…………………………………..
f. Perlawanan Terhadap Pajak…………………………………..
2. Penagihan Pajak………………………………………………….
a. Pengertian Penagihan Pajak…………………………………..
b. Dasar Penagihan Pajak………………………………………..
c. Sanksi Perpajakan di Bidang Penagihan……………………...
d. Tugas dan Wewenang Jurusita Pajak…………………………
e. Pengertian Wajib Pajak atau Penanggung Pajak……………...
f. Jadwal Waktu Penagihan Pajak………………………………
g. Penerbitan Surat Paksa………………………………………..
h. Proses Penyitaan Barang Milik WP/PP………………………
i. Objek Sita……………………………………………………..
j. Barang Sitaan yang Dikecualikan dari Penjualan Secara
Lelang…………………………………………………………
k. Daluarsa Penagihan Pajak…………………………………….
3. Penyitaan Monetary Asset di Bank……………………………….
a. Dasar Hukum Penyitaan Monetary Asset di Bank…………….
b. Prosedur Penyitaan Monetary Asset di Bank…………………
B. Penelitian Sebelumnya……………...…............................................
C. Kerangka Pemikiran………………………………………………...
D. Hipotesis Penelitian…………………………………………………
METODE PENELITIAN.......................................................................
A. Ruang Lingkup Penelitian…………………………………………..
B. Metode Penentuan Sempel………………………………………….
15
16
16
17
18
19
21
23
24
25
25
26
27
28
29
29
29
33
35
36
37
37
37
BAB IV.
C. Metode Pengumpulan Data…………………………………………
1. Metode Telaah Kepustakaan…………………………………….
2. Metode Dokumentasi…………………………………………….
3. Metode Survei…………………………………………………...
D. Operasional Variabel Penelitian…………………………………….
1. Variabel Independen……………………………………………..
2. Variabel Dependen………………………………………………
E. Metode Analisis…………………………………………………….
1. Uji Asumsi Klasik……………………………………………….
a. Uji Normalitas………………………………………………...
b. Uji Multikolinearitas………………………………………….
c. Uji Autokorelasi………………………………………………
d. Uji Heteroskedastisitas………………………………………..
2. Metode Analisis Data……………………………………………
a. Analisis Regresi Linier Berganda…………………………….
b. Uji Koefisien Determinasi …………………………………...
c. Uji F Statistik…………………………………………………
d. Uji t Statistik………………………………………………….
PENEMUAN DAN PEMBAHASAN………………………………...
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian………………………...
1. Sejarah Singkat Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat……………..
2. Sekilas Tentang Modernisasi Kanwil DJP Jakarta Barat………..
3. Struktur Organisasi Kanwil DJP Jakarta Barat………………….
4. Uraian tugas……………………………………………………...
38
38
39
39
39
40
40
42
42
42
43
43
44
45
45
46
46
47
48
48
48
50
53
55
a. Sumber Daya Seksi Penagihan dan Uraian Tugas Seksi
Penagihan Pada Kanwil DJP Jakarta Barat…………………...
b. Uraian Tugas Seksi Penagihan pada KPP Pratama dan Madya
di wilayah DJP Jakarta Barat…………………………………
B. Penemuan dan Pembahasan………………………………………...
1. Peran Jurusita Pajak Dalam Pelaksanaan Penagihan Aktif di
Wilayah Kanwil DJP Jakarta Barat……………………………...
a. Surat Teguran…………………………………………………
b. Surat Paksa……………………………………………………
c. Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan……………………...
d. Pengumuman Lelang dan Pelaksanaan Lelang……………….
2. Rencana Penagihan Pajak Terhadap Perkembangan Tunggakan
Pajak Serta Realisasi Penerimaan Pajak…………………………
3. Kendala yang Terjadi Dalam Proses Penagihan Pajak…………..
a. Hambatan yang Berasal Dari Pihak Ekstern.............................
b. Hambatan yang Berasal Dari Pihak Intern…………………...
4. Sudut Pandang Psikologis Mengapa WP/PP Enggan untuk
Membayar Tunggakan Pajak……………………………..……...
5. Penyitaan Monetary Asset Di Bank Pada Kanwil DJP Jakarta
Barat……………………………………………………………..
a. Prosedur Sebelum Penyitaan Monetary Asset Di Bank………
b. Pemblokiran Rekening Bank…………………………………
1) Keistimewaan Pemblokiran………………………………
2) Kendala Pemblokiran……………………………………..
55
58
58
58
61
62
63
64
66
71
71
74
75
78
79
80
81
83
BAB V.
c. Penyitaan Monetary Asset di Bank dan Hasil Penyitaan
Monetary Asset di Bank………………………………………
6. Hasil Analisis dan Pengujian Hipotesis………………………….
a. Uji Asumsi Klasik…………………………………………….
1) Uji Normalitas…………………………………………….
2) Uji Multikolonieritas…………...…………...…………….
3) Uji Autokorelasi…………………………………………..
4) Uji Heteroskedastisitas……………………………………
b. Hasil Uji Hipotesis……………………………………………
1) Hasil Uji Koefisien Determinasi………………………….
2) Hasil Uji F Statistik……………………………………….
3) Hasil Uji t Statistik………………………………………..
PENUTUP……………………………………………………………...
A. Simpulan……………………………………………………………..
B. Implikasi……………………………………………………………..
C. Saran…………………………………………………………………
84
89
90
90
90
92
93
94
94
97
99
105
105
107
108
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................
LAMPIRAN-LAMPIRAN.........................................................................................
110
111
DAFTAR TABEL
Nomor
1.1
3.1
3.2
4.1
4.2
4.3
4.4
4.5
4.6
4.7
4.8
4.9
4.10
Keterangan
Perbedaan Penelitian Sebelumnya Dengan Penelitian Saat
Ini……
Operasional Variabel
Penelitian……………………………………
Keputusan Durbin-
Watson…………………………………………
Laporan Kegiatan Penagihan di Kanwil DJP Jakarta Barat Tahun
Anggaran 2004-
2007.........................................................................
Rencana Penagihan Pajak dan Realisasi Penerimaan Pajak Pada
Kanwil DJP Jakarta Barat Tahun Anggaran 2004-
2007...................
Laporan Perkembangan Tunggakan Pajak Pada Kanwil DJP
Jakarta Barat Tahun Anggaran 2004-
2007.......................................
Kategori Umur Tunggakan dan Kriteria Kualitas
Tunggakan..........
Data
Penelitian..................................................................................
Hasil Uji
Halaman
5
41
44
60
67
69
70
89
91
92
94
98
100
Multikolinieritas................................................................
Hasil Uji
Autokorelasi......................................................................
Model Summarry
b…………………………………………………
Anova
b…………………………………………………………….
Coeffisien
a………………………………………………………...
DAFTAR GAMBAR
Nomor
2.1
4.1
4.2
4.3
4.4
Keterangan
Kerangka
Pemikiran..........................................................................
Struktur Organisasi Kanwil DJP Jakarta
Barat.................................
Alur Penyitaan Monetary Asset di
Bank…………………………...
Hasil Uji Normalitas
Data………………………………………….
Hasil Uji
Heteroskedastisitas………………………………………
Halaman
35
53
88
90
94
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Keterangan
Bagan Organisasi Kanwil DJP Jakarta
Barat....................................
Surat Izin Penelitian
.........................................................................
Hasil Analisis dengan SPSS
12.........................................................
Laporan Kegiatan Penagihan Kanwil DJP Jakarta Barat Tahun
Anggaran 2004-
2007.........................................................................
Laporan Penyitaan Monetary Asset di Bank Pada Kanwil DJP
Jakarta
Barat......................................................................................
Contoh Lembar Surat
Paksa………………………………………..
Contoh Lembar Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan.................
Berita Acara Pelaksanaan
Sita..........................................................
Stiker
Sita..........................................................................................
Surat Bank Indonesia Dalam Rangka Penyitaan Monetary Asset
Halaman
112
113
114
119
121
122
124
125
127
128
131
di
Bank..............................................................................................
Surat Edaran Nomor SE-
05/PJ.04/2007............................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peranan pajak sebagai pilar pembangunan bangsa Indonesia semakin besar
dan penting seiring dengan semakin berkurangnya kontribusi penghasilan dari
minyak dan gas alam beberapa tahun terakhir. Tren ini makin menguat terutama
setelah krisis ekonomi pada tahun 1998 yang ditandai dengan terus meningkatnya
proporsi total penerimaan pajak terhadap total APBN dan saat ini pemerintah
menetapkan nilai rencana penerimaan pajak tahun 2008 sebesar Rp. 583,7 triliyun
terlihat meningkat tajam dibandingkan dengan rencana penerimaan dari sektor
pajak pada RAPBN tahun 2007 sebesar Rp. 489,9 triliyun (Artikel: Ancaman
terhadap krisis RAPBN 2008. www. dimastidano.wordpress.com, 3 Februari 2008).
Salah satu upaya yang telah dilakukan dalam menghimpun penerimaan
negara dari sektor pajak yang lebih besar adalah pembaharuan peraturan, kebijakan,
dan administrasi perpajakan yang dilaksanakan secara terus-menerus, bertahap,
konsisten, dan berkelanjutan. Langkah pembaharuan tersebut tidak hanya ditujukan
untuk meningkatkan kapasitas fiskal guna memperkuat sumber pendanaan APBN
akan tetapi sekaligus diarahkan untuk memberikan peranan dalam mendorong
investasi, memperkuat daya saing, dan meningkatkan efisiensi perekonomian.
Bentuk perubahan yang cukup mendasar dalam sistem perpajakan di Indonesia
adalah perubahan dari Official Assessment System menjadi Self Assessment System
yaitu pada reformasi perpajakan tahun 1983. Dalam Official Assessment System
aparatur perpajakan menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan
ketentuan undang-undang perpajakan, sebaliknya pada Self Assessment System
Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan,
menyetor, dan melaporkan pajak terutangnya sendiri.
Sebagai penerimaan negara yang selama ini diandalkan, tentunya sektor
pajak diupayakan agar terus meningkat, satu sisi penerimaan negara terus
diupayakan meningkat, sedangkan di sisi lain harus ada penghematan pembiayaan.
Oleh karena itu biaya untuk menghasilkan penerimaan negara seyogyanya seefektif
mungkin. Hal tersebut menjadikan tugas penerima pajak semakin berat baik dengan
upaya ekstensifikasi maupun intensifikasi. Salah satu tugas berat intensifikasi
adalah pencairan tunggakan pajak. Agar pencairan tunggakan pajak dapat dicapai
sesuai dengan target yang ditetapkan Kantor Pusat per Kanwil maka upaya
intensifikasi kegiatan penagihan pajak harus dilakukan secara terpadu, profesional,
terfokus, terukur, konsisten, serta sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Selain itu, peran serta masyarakat wajib pajak dalam memenuhi kewajiban
pembayaran pajak berdasarkan ketentuan perpajakan sangat diharapkan. Namun,
jika dalam kenyataan dijumpai adanya tunggakan pajak, terlebih lagi bila dari
waktu ke waktu menunjukkan jumlah yang semakin besar, maka diperlukan
penanganan yang serius. Artinya, walaupun penerimaan pajak secara umum
meningkat, tetapi terhadap tunggakan pajak diperlukan tindakan penagihan yang
tegas sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan (law enforcement).
Tindakan penagihan yang berpotensi memberikan pencairan tunggakan
pajak antara lain melalui penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan, penagihan seketika sekaligus, penyanderaan, dan
pelaksanaan penagihan berupa penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung
Pajak. Selama ini penyitaan dilakukan terhadap objek sita berupa harta gerak dan
harta tak bergerak. Pelaksanaan penyitaan dilaksanakan secara hati-hati mengenai
objek sita yang potensial untuk dapat dicairkan dan status kepemilikan harus
diperhatikan agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Hal ini untuk
menghindari timbulnya masalah hukum yang mungkin terjadi.
Penyitaan dapat juga dilakukan dengan objek sita harta kekayaan
Penunggak Pajak yang tersimpan di bank seperti deposito berjangka, tabungan,
saldo rekening koran, giro atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Penyitaan ini didahului dengan proses pemblokiran terhadap rekening penanggung
pajak di bank dengan tujuan akhir melakukan pemindah bukuan saldo rekening
penangung pajak yang diblokir ke kas negara untuk pembayaran tunggakan pajak,
dengan tetap memperhatikan prinsip kerahasiaan bank. Penyitaan harta kekayaan
penanggung pajak di bank tidak perlu ditindak lanjuti dengan pelaksanaan lelang
atau penjualan yang memerlukan prosedur yang rumit, dan memerlukan biaya
penagihan yang cukup besar.
Purwantoro (2005) telah melakukan penelitian mengenai analisis penagihan
pajak dengan penyitaan monetary asset di bank. Penelitian tersebut dilakukan di
salah satu KPP yang telah melaksanakan penyitaan monetary asset di bank yaitu
pada Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Lima. Tekhnik yang
digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif.
Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa peranan penyitaan yang
didahului dengan proses pemblokiran sangat tidak signifikan terhadap total
penerimaan pajak tahun 2004 pada KPP PMA Lima tersebut.
Suhendar (2007) telah melaksanakan penelitian mengenai analisis pengaruh
pelaksanan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan pengumuman lelang
terhadap pencairan tunggakan pajak. Penelitian ini dilaksanakan pada KPP Pratama
Jakarta Tanah Abang Satu. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode analisis deskriptif kuantitatif. Hasil dari penelitian ini adalah
pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan pengumuman lelang
tersebut memberikan hasil yang signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak
pada KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Satu.
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas dan penelitian yang telah
dilaksanakan sebelumnya maka peneliti tertarik untuk membahas mengenai
pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa dan penyitaan monetary asset milik
Penanggung Pajak secara khusus yang terdapat di bank terhadap pencairan
tungakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat.
Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis mengacu kepada penelitian
yang dilakukan oleh Purwantoro (2005). Adapun perbedaan penelitian yang akan
dilakukan penulis dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Purwantoro (2005)
adalah seperti terdapat pada tabel berikut :
Tabel. 1.1
Perbedaan Penelitian Sebelumnya dan Penelitian Saat Ini
No Keterangan Penelitian Purwantoro (2005)
Penelitian saat ini
1. Periode Waktu Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data laporan tahun 2004.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data laporan tahun 2004 hingga tahun 2007.
2. Metode Analisis Deskriptif kualitatif berupa analisis variabel tunggal.
Metode kuantitatif berupa metode regresi berganda.
3. Subjek Penelitian Data penyitaan monetary asset di bank pada KPP PMA Lima
Data penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank pada Kanwil DJP Jakarta Barat.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
Peneliti mengidentifikasi masalah penelitian yaitu mengenai analisis
pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank
terhadap pencairan tunggakan pajak. Untuk memudahkan pembatasan dalam
rencana penyusunan hasil penelitian ini, penulis membatasi permasalahan pada
proses pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan
penyitaan monetary asset di bank dan pengaruhnya terhadap pencairan tunggakan
pajak di Kanwil DJP Jakarta Barat yang terdiri dari KPP yang tersebar di wilayah
Jakarta Barat yang telah melaksanakan penagihan pajak dengan Surat Teguran,
Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank, dengan perumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat
Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank yang dilakukan oleh Kantor
Pelayanan Pajak yang berada di wilayah Kanwil DJP Jakarta Barat?
2. Apakah pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan
penyitaan monetary asset di bank secara simultan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat?
3. Apakah pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta
Barat?
4. Apakah pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Paksa memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta
Barat?
5. Apakah pelaksanaan penagihan pajak dengan penyitaan monetary asset di bank
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak pada
Kanwil DJP Jakarta Barat.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui mekanisme pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat
Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank yang
dilaksanakan oleh KPP yang berada dibawah Kantor Wilayah DJP Jakarta
Barat.
b. Untuk mengetahui pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan
monetary asset di bank terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil
DJP Jakarta Barat.
c. Untuk mengetahui pengaruh Surat Teguran terhadap pencairan tunggakan
pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat.
d. Untuk mengetahui pengaruh Surat Paksa terhadap pencairan tunggakan
pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat.
e. Untuk mengetahui pengaruh penyitaan monetary asset di bank terhadap
pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat bagi penulis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan agar penulis bisa
menerapkan teori dan memperoleh pemahaman mengenai pelaksanaan
penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan
monetary asset di bank dan pengaruhnya terhadap pencairan tunggakan
pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat.
b. Bagi dunia akademis
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bukti empiris mengenai
pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan
penyitaan monetary asset di bank dan pengaruhnya terhadap pencairan
tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat.
c. Bagi para pembaca
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan wacana bagi para
pembaca agar pemahaman tentang proses penagihan yang lebih luas,
terutama tentang penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan
penyitaan aset moneter milik Penanggung Pajak yang terdapat di bank dan
pengaruhnya terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta
Barat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1. Konsep Dasar Perpajakan
a. Pengertian Pajak
Pengertian pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007
tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan No. 6 tahun 1983 adalah sebagai berikut:
”Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Sedangkan pengertian pajak menurut Soemitro:
”Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal (kontra-prestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak
memiliki unsur-unsur sebagai berikut (Ilyas dan Burton, 2004: 5):
1) Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang,
2) Sifatnya dapat dipaksakan,
3) Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh
pembayar pajak
4) Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah (tidak boleh dipungut oleh pihak swasta),
dan
5) Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah
(rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.
b. Fungsi Pajak
Pada awalnya hanya dikenal dua fungsi pajak yaitu: fungsi budgeter
sebagai fungsi utama dan fungsi regulerend sebagai fungsi tambahan.
Namun dalam perkembangannya bertambah dua fungsi lagi, yaitu : fungsi
demokrasi dan fungsi distribusi ( Ilyas dan Burton, 2004 : 8).
Fungsi budgeter adalah fungsi yang letaknya di sektor publik, yakni
untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai undang-
undang yang berlaku yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai
pengeluaran negara, baik itu pengeluaran rutin maupun pengeluaran
pembangunan. Apabila ada sisa (surplus) akan digunakan sebagai tabungan
pemerintah untuk investasi pemerintah (Ilyas dan Burton, 2004: 8). Fungsi
ini juga tercermin dalam asas efficiency atau asas financial, yaitu
menekankan pada pemasukkan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran
yang sekecil-kecilnya dari suatu penyelenggaraan perpajakan.
Fungsi kedua, fungsi regulerend, yakni suatu fungsi yang
menyatakan pajak-pajak tersebut akan digunakan sebagai alat untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan
(Ilyas dan Burton, 2004: 9). Hal ini dapat dilihat dalam sektor swasta, sesuai
dengan apa yang dikemukakan oleh Djojohadikusumo dengan Fiscal Policy
sebagai suatu alat pembangunan yang harus mempunyai satu tujuan
bersamaan secara langsung menemukan dana-dana yang akan digunakan
untuk public investment dan secara tidak langsung digunakan untuk
menyalurkan private saving kearah sektor-sektor yang produktif maupun
digunakan untuk mencegah pengeluaran yang menghambat pembangunan.
“Tujuannya untuk menciptakan iklim yang sehat dari perkembangan dunia
usaha, demi tercapainya kesejahteraan bangsa dan negara serta tercapainya
keseimbangan perekonomian dan politik.
Fungsi demokrasi, fungsi pajak ketiga, adalah suatu fungsi yang
merupakan salah satu penjelmaan atau wujud sistem gotong-royong,
termasuk kegiatan pemerintah dan pembangunan demi kemaslahatan
manusia (Ilyas dan Burton, 2004: 9). Fungsi ini sering dikaitkan dengan hak
seseorang jika akan mendapat pelayanan dari pemerintah. Dasar
pemikirannya sederhana, bila seseorang melakukan kewajibannya dengan
membayar pajak kepada negara sesuai ketentuan yang berlaku, maka ia
mempunyai hak pula untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari
pemerintah, bila tidak maka pembayar pajak akan melakukan protes
terhadap pemerintah.
Fungsi pajak yang terakhir adalah fungsi distribusi, yakni fungsi
yang lebih menekankan pada unsur pemerataan dan keadilan masyarakat.
Misalnya dengan pengenaan tarif progresif yang mengenakan pajak yang
lebih besar kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan besar dan
sebaliknya tarif yang lebih kecil kepada masyarakat yang mempunyai
penghasilan yang lebih sedikit (Ilyas dan Burton, 2004: 9).
c. Sistem Pemungutan Pajak
1) Official Assessment System
Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan
yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Adapun ciri-ciri dari
official assesment system yaitu :
a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
fiskus.
b) Wajib Pajak bersifat pasif
c) Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak
oleh fiskus.
2) Self Assessment System
Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak
yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri
besarnya pajak yang terutang. Adapun ciri-ciri dari self assesment
system yaitu :
a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
Wajib Pajak sendiri
b) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang.
c) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
3) With Holding System
With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak
yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan
Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang oleh Wajib Pajak. Adapun ciri-ciri dari with holding system
yaitu, wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada
pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
d. Utang Pajak
Dalam hukum pajak dikenal ada dua ajaran yang mengatur
timbulnya utang pajak, yaitu (Resmi, 2005:11) :
1) Ajaran Material
Dalam ajaran ini menyatakan bahwa utang pajak timbul karena
diberlakukannya undang-undang perpajakan. Dalam ajaran ini seseorang
akan secara aktif menentukan apakah dirinya dikenai pajak atau tidak
sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
2) Ajaran Formal
Dalam ajaran ini menyatakan bahwa utang pajak timbul karena
dikeluarkanya Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus. Untuk menetukan
apakah seseorang dikenai pajak atau tidak, berapa jumlah pajak yang
harus dibayar, dan kapan jangka waktu pembayarannya dapat diketahui
dalam Surat Ketetapan Pajak tersebut.
Sesuai dengan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, bahwa yang dimaksud
dengan utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi
administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam
Surat Ketetapan Pajak atau surat sejenisnya beradasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan pajak.
Setiap perikatan termasuk pula utang pajak, pada suatu waktu akan
dihapus. Hapusnya utang pajak dapat terjadi karena pembayaran,
kompensasi, daluarsa, dan pembebasan/penghapusan. Berdasarkan
pengertian utang pajak, idealnya hapusnya utang pajak adalah dengan
pembayaran atau kompensasi utang pajak yang terdapat dalam Surat
Ketetapan Pajak atau surat sejenis sebelum tangal jatuh tempo. Akan tetapi
dalam realisasi di lapangan, walaupun Surat Ketetapan Pajak atau sejenisnya
telah jatuh tempo masih banyak Wajib Pajak yang tidak atau belum
melunasi utang pajaknya. Terhadap utang pajak tersebut maka harus
dilakukan tindakan penagihan yang sesuai dengan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku.
e. Penghapusan Piutang Pajak
Meskipun upaya penagihan pajak terus dilakukan oleh Jurusita
Pajak, namun pada kenyataannya terdapat beberapa hal atau keadaan
dimana utang pajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak/Penanggung Pajak
tidak dapat ditagih lagi. Adapun beberapa syarat yang harus dipenuhi agar
piutang pajak dapat dihapuskan, adalah sebagai berikut (Sabrani, 2006):
1) Piutang tersebut tercantum dalam STP,SKPKB,dan SKPKBT.
2) Sudah dilakukan upaya tindakan penagihan sampai dengan Surat Paksa
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3) WP telah meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan
dan tidak mempunyai ahli waris dengan didukung keterangan dari
instansi atau pihak yang terkait.
4) WP tidak dapat ditemukan lagi karena pindah alamat dan tidak memberi
alamat baru atau meninggalkan Indonesia dengan surat keterangan dari
pejabat yang berwenang.
5) WP tidak mempunyai kekayaan lagi dengan didukung surat keterangan
dari pejabat bahwa perusahaan tersebut telah dilikuidasi dan tidak
mungkin lagi membayar tunggakan pajaknya.
6) Hak untuk melakukan penagihan sudah daluarsa, yakni 5 tahun
f. Perlawanan Terhadap Pajak
Terlepas dari masalah kewarganegaraan dan rasa nasionalisme, pada
kenyataannya kewajiban membayar pajak cenderung dihindari baik secara
sengaja maupun secara tidak sengaja.
Rimsky K. Judisseno membagi perlawanan terhadap pajak menjadi
dua, yakni:
1) Perlawanan Pasif
Perlawanan pasif terjadi atas ketidaktahuan masyarakat tentang
permasalahan dibidang perpajakan. Dalam perlawanan pasif ini
masyarakat secara tidak sadar telah melakukan perlawanan karena
mereka cenderung tidak mengetahui untuk apa, bagaimana, kapan, dan
kepada siapa pajak harus dibayar.
2) Perlawanan aktif
Perlawanan aktif dilakukan oleh orang-orang yang telah mengetahui
peraturan dan kewajibannya di bidang perpajakan, akan tetapi mereka
secara terang-terangan menghindari kewajiban perpajakannya, bahkan
melalaikan dan bermain-main didalamnya.
2. Penagihan Pajak
Penagihan pajak dilaksanakan karena masih adanya kewajiban pajak
yang belum dipenuhi oleh Wajib Pajak setelah lewat batas waktu (jatuh tempo)
pembayaran pajak yang telah ditentukan dalam Surat Ketetapan Pajak.
Penagihan atas tunggakan pajak merupakan hal penting, tetapi proses penagihan
atas tunggakan pajak tersebut harus dilaksanakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan pajak yang berlaku sehingga dalam pelaksanaannya
mempunyai kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak itu sendiri maupun pihak
Fiskus. Proses penagihan pajak tersebut efektif apabila ada peningkatan realisasi
penerimaan pajak melalui pencairan tunggakan pajak.
a. Pengertian Penagihan Pajak
Pengertian penagihan pajak sesuai dengan Pasal 1 ayat 9 Undang-
Undang Nomor 19 tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang
berbunyi: “Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung
Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau
memperingatkan, melaksakan penagihan seketika dan sekaligus,
memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan
penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita
(Ilyas dan Burton, 2004: 188).
Menurut Hadi (2001: 2), yang dimaksud dengan penagihan adalah
serangkaian tindakan dari aparatur Direktorat Jenderal Pajak berhubung
Wajib Pajak tidak melunasi baik sebagian atau seluruh kewajiban
perpajakan yang terutang menurut undang-undang perpajakan yang berlaku.
Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa pada dasarnya proses
penagihan pajak melibatkan unsur-unsur yang mempunyai arti penting,
yaitu:
1) Utang pajak, yaitu besarnya utang pajak yang belum dilunasi oleh Wajib
Pajak ditambah dengan biaya penagihan sebagai dasar untuk melakukan
penagihan pajak.
2) Serangkaian tindakan sesuai jadwal waktu yang benar, yaitu penerbitan
Surat Teguran, pemberitahuan Surat Paksa, pelaksanaan penyitaan
berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, sampai dengan
pelaksanaan lelang.
3) Aparat Direktorat Jenderal Pajak, yaitu Jurusita Pajak yang telah
memenuhi syarat untuk melakukan penagihan pajak.
4) Penanggung Pajak yang mempunyai kewajiban melunasi utang pajak.
5) Undang-Undang Perpajakan yang berlaku, yaitu UU KUP 1984 dan UU
PPSP serta peraturan pelaksana.
b. Dasar Penagihan Pajak
Penagihan pajak dilakukan terhadap utang pajak yang telah
ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Berdasarkan ketentuan pasal 18
ayat (1) UU PPSP disebutkan Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus
dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak. Ketentuan ini sama
dengan yang diatur dalam pasal 18 UU KUP (UU No. 16 Tahun 2000: 70).
Penagihan dilaksanakan oleh fiskus sehubungan dengan adanya
kewajiban Wajib Pajak, baik sebagian maupun keseluruhan yang masih
terutang pada negara menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Proses penagihan yang optimal akan lebih meningkatkan realisasi
penerimaan pajak melalui pencairan tunggakan pajak. Yang dimaksud
dengan penagihan yang optimal di sini adalah memaksimalkan penerimaan
pajak dari jumlah tunggakan pajak yang dapat ditagih dengan biaya yang
seminimal mungkin (Sari, 2002: 21).
c. Sanksi Perpajakan di Bidang Penagihan
Dalam undang-undang perpajakan dikenal dua jenis sanksi, yaitu
sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi merupakan
sejumlah pembayaran kerugian berupa uang kepada negara dalam bentuk
bunga, denda, atau kenaikan. Sanksi ini diatur dalam undang-undang KUP.
Sedangkan sanksi pidana merupakan siksaan atau penderitaan terhadap
WP/PP agar norma perpajakan dipatuhi. Sanksi pidana berupa denda pidana,
pidana kurungan atau pidana penjara yang ditetapkan oleh Hakim Pidana.
Sanksi administrasi di bidang penagihan berupa bunga penagihan.
Bunga penagihan adalah bunga atas pajak yang terutang menurut Surat
Ketapan Pajak dan tambahan jumlah pajak yang masih harus dibayar
berdasarkan SK. Pembetulan, SK. Keberatan, atau Putusan Banding yang
saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar. Bunga penagihan
ditagih dengan STP Bunga Penagihan yang dihitung dua persen per bulan
dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal
terbitnya STP Bunga Penagihan, dan bagian dari bulan dihitung penuh satu
bulan.
Sanksi pidana dapat dikenakan kepada Penanggung Pajak maupun
Jurusita Pajak. Dalam praktik mungkin Jurusita Pajak mendapatkan
ancaman keras, dicegah, dirintangi bahkan digagalkan tugasnya oleh
Penanggung Pajak. Terhadap tindakan dengan kekerasan atau ancaman
melawan seorang pegawai negeri (Jurusita Pajak) yang mengerjakan tugas
jabatan dengan sah karena kewajibannya menurut undang-undang diancam
dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan. Hal ini
tersurat dalam KUHP pasal 212, 213, 214, 215. Demikian juga terhadap
Penanggung Pajak yang dengan sengaja mimindahtangankan,
menggelapkan atau merusak barang sitaan menurut peraturan undang-
undang diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun
sesuai pasal 231 KUHP. Sanksi ini dapat ditambah denda setinggi-tingginya
12 juta rupiah menurut pasal 41 A UU PPSP.
Selain itu sanksi pidana dapat juga ditujukan kepada Jurusita Pajak
yang dengan melampaui batas wewenangnya telah memaksa dengan jalan
mendobrak pintu rumah PP yang dalam keadaan tertutup dan lain-lain,
tindakan yang dapat dikatagorikan sebagai kejahatan dalam jabatan yang
tercantum dalam pasal 429 KUHP. Ancaman pidananya terhadap tindakan
pegawai Negeri tersebut (Jurusita Pajak) adalah satu tahun empat bulan
penjara.
Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugasnya dapat meminta bantuan
pihak lain. Pihak lain tersebut adalah Kepolisian, Kejaksaan, Badan
Pemerintahan Nasional, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Pengadilan
Negeri, Bank, ataupun pihak lainnya. Hal ini diatur dalam pasal 5 ayat (4)
UU PPSP. Dalam hal ini Bank menjadi pihak terkait dalam penagihan pajak
apabila barang yang disita berupa deposito berjangka, tabungan, saldo
rekening koran, giro, atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. Pihak
Bank wajib memberikan bantuan kepada Jurusita Pajak. Apabila Bank
dalam hal ini tidak melaksanakan kewajibannya, maka dapat dipidana
dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu dan denda
paling banyak 10 juta rupiah. Hal tersebut tercantum dalam pasal 41 A ayat
(2) UU PPSP.
d. Tugas dan Wewenang Jurusita Pajak
Pengertian Jurusita Pajak sesuai dengan Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang berbunyi: “Jurusita Pajak adalah
pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan
sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor:
562/KMK.04/2000 tentang Syarat-syarat Pengangkatan dan Pemberhentian
Jurusita Pajak disebutkan bahwa Jurusita Pajak diangkat dan diberhentikan
oleh Menteri Keuangan untuk penagihan pajak pusat, dan oleh Gubernur
atau Bupati/Walikota untuk penagihan pajak daerah. Sedangkan untuk
menjadi Jurusita Pajak diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
1) Berijazah serendah-rendahnya Sekolah Menengah Umum atau sederajat.
2) Berpangkat serendah-rendahnya Pengatur Muda/Golongan II/a.
3) Berbadan sehat.
4) Lulus pendidikan dan latihan Jurusita Pajak.
5) Jujur bertanggung jawab dan penuh pengabdian.
Dalam melaksanakan tugasnya Jurusita Pajak harus dilengkapi dengan
Kartu Tanda Pengenal Jurusita Pajak yang harus diperlihatkan kepada Wajib
Pajak/Penanggung Pajak. Hal ini dimaksudkan agar Jurusita Pajak
mempunyai bukti diri yang kuat dan bisa menjelaskan bahwa yang
bersangkutan adalah benar-benar Jurusita Pajak yang sah dan mempunyai
tugas dan wewenang melaksanakan tindakan penagihan pajak. Adapun
tugas Jurusita Pajak sesuai dengan Pasal 5 ayat 1 dan 3 UU PPSP adalah:
1) Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus.
2) Memberitahukan Surat Paksa.
3) Melaksanakan penyitaan atas barang penanggung pajak berdasarkan
Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
4) Melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan.
Jurusita Pajak juga berwenang untuk memasuki dan memeriksa semua
ruangan untuk menemukan objek sita di tempat usaha dan melakukan
penyitaan di tempat kedudukan, di tempat tinggal penanggung pajak atau di
tempat lain yang dapat diduga sebagai tempat penyimpanan objek sita
(Kurniawan dan Pamungkas, 2006:55).
e. Pengertian Wajib Pajak atau Penanggung Pajak
Berdasarkan pasal 1 angka 25 UU KUP dan pasal 1 angka 3 UU PPSP
disebutkan bahwa Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang
bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang
menjalankan hak dan kewajiban Wajib Pajak menurut peraturan perundang-
undangan perpajakan (Iswahyudi. 2005: 14).
Pengertian Penanggung Pajak harus dibedakan dengan Wajib Pajak.
Penanggung Pajak terdiri atas Wajib Pajak orang pribadi atau badan yang
bertindak untuk melakukan kewajiban perpajakan termasuk pembayaran
pajak. Orang pribadi atau badan juga dapat menunjuk kuasa untuk
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan yang
berlaku. Pengertian Wajib Pajak atau Subjek Pajak sebagaimana disebutkan
dalam UU No. 28 tahun 2007 pasal 1 angka 2 atas perubahan UU No. 6
tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah
orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
f. Jadwal Waktu Penagihan Pajak
1) Fiskus akan menerbitkan Surat Teguran setelah tujuh hari sejak saat
jatuh tempo pembayaran yang tercantum dalam STP, SKPKB/SKPKBT,
SK. Pembetulan, SK. Keberatan, atau Putusan Banding yang
menyebabkan pajak harus bertambah.
2) Apabila setelah lewat waktu 21 hari sejak Surat Teguran Wajib Pajak
tetap tidak melunasi utang pajak seperti yang dimaksud dalam Surat
Teguran, tindakan penagihan akan dilanjutkan dengan pemberitahuan
Surat Paksa.
3) Apabila dalam waktu 2 x 24 jam sejak Surat Paksa diberitahukan Wajib
Pajak tetap tidak mengindahkan pelunasan pajaknya, tindakan
selanjutnya adalah melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan Wajib
Pajak.
4) Apabila dalam waktu 14 hari setelah tanggal penyitaan Wajib Pajak
tetap saja tidak mau melunasi utang pajaknya, fiskus akan melakukan
Pengumuman Lelang atas harta yang telah disita.
5) Apabila setelah lewat waktu 14 hari sejak tanggal pengumuman lelang
Wajib Pajak tetap saja tidak melunasi utang pajaknya, fiskus akan
melakukan penagihan berupa lelang yang akan dilakukan oleh Kantor
Lelang Negara guna untuk mengambil pelunasan utang pajaknya beserta
sanksi-sanksinya melalui barang yang dilelang.
g. Penerbitan Surat Paksa
Apabila Penanggung Pajak tidak melakukan kewajiban membayar
besarnya pajak yang terutang dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan
dalam Surat Teguran, pelaksanaan penagihan yang akan dilakukan
selanjutnya adalah menerbitkan Surat Paksa yang salinannya diberitahukan
oleh Jurisita Pajak kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.
Dalam Pasal 10 sub 10 UU PPSP disebutkan bahwa, “Surat Paksa
adalah surat perintah membayar utang pajak dan tagihan pajak.” Apabila
pajak yang terutang tidak dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam sesudah
tanggal pemberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak, tindak
lanjutnya adalah diterbitkannya Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan
(SPMP).
h. Proses Penyitaan Barang Milik Penanggung Pajak
1) Penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak dilakukan oleh
Jurusita Pajak berdasarkan SPMP yang diterbitkan oleh Kantor
Pelayanan Pajak.
2) Penyitaan dilakukan dalam waktu 2 x 24 jam sejak tanggal Surat Paksa
diberitahukan, apabila utang pajak tidak dilunasi.
3) Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan dua orang saksi
dengan syarat dewasa, penduduk Indonesia, dikenal, dan dapat
dipercaya.
4) Barang yang dapat disita adalah barang yang berada di tempat tinggal,
tempat usaha, tempat kedudukan atau tempat lain, termasuk yang
penguasaannya berada ditangan pihak lain.
i. Objek Sita
Pada prinsipnya semua barang milik Penanggung Pajak dapat disita.
Barang yang dapat disita menurut pasal 14 ayat (1) UU PPSP berupa :
1) Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito
berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga
lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain; dan atau
2) Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi
kotor tertentu.
Barang bergerak yang dikecualikan dari penyitaan menurut pasal 15 ayat (1
UU PPSP ) adalah:
1) Pakaian dan tempat tidur beserta perlengakapannya yang digunakan oleh
Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya;
2) Persedian makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta
peralatan memasak yang berada di rumah;
3) Perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari
negara;
4) Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung
Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan,
dan keilmuan;
5) Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk
melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah
seluruhnya tidak melebihi dari Rp. 20.000.000,00 ;atau
6) Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan
keluarga yang menjadi tanggungannya
j. Barang Sitaan Yang Dikecualikan Dari Penjualan Secara Lelang
Tidak semua barang yang disita akan dilelang meskipun Penanggung Pajak
tidak melunasi utang pajaknya setelah dilakukan penyitaan. Barang sitaan
berupa uang tunai, deposito berjangka, saldo rekening koran, obligasi,
saham, atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada
perusahaan lain menurut pasal 25 ayat (2) tidak perlu dilelang. Barang-
barang tersebut digunakan untuk membayar biaya penagihan dan utang
pajak dengan cara:
1) Uang tunai disetor ke Kas Negara atau Kas Daerah;
2) Deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu, dipindahbukukan ke Kas Negara
atau Kas Daerah atas permintaan Pejabat kepada bank yang
bersangkutan;
3) Obligasi, saham, dan surat berharga lainnya yang diperdagangkan di
bursa efek dijual di bursa efek atas permintaan Pejabat;
4) Obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang tidak diperdagangkan
di bursa efek segera dijual oleh Pejabat;
5) Piutang dibuatkan berita acara persetujuan tentang pengalihan hak
menagih dari Penanggung Pajak kepada Pejabat;
6) Penyertaan modal pada perusahaan lain dibuatkan akte persetujuan
pengalihan hak menjual dari Penanggung Pajak kepada Pejabat.
k. Daluarsa Penagihan Pajak
Daluarsa penagihan merupakan suatu batasan waktu yang ditentukan oleh
undang-undang yang berlaku bahwa fiskus tidak mempunyai hak lagi untuk
melakukan penagihan terhadap utang pajak Wajib Pajak. Daluarsa
penagihan dimaksudkan untuk menegaskan adanya kepastian hukum bagi
Wajib Pajak terhadap suatu utang pajak untuk tidak ditagih lagi. Ketentuan
mengenai daluarsa penagihan tersebut diatur dalam Pasal 22 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 28 tahun 2007 tentang
perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang berbunyi sebagai berikut:
“Hak utuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluarsa setelah lampau 5 tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan banding, serta Putusan Peninjauan Kembali .”
3. Penyitaan Monetary Asset di Bank
a. Dasar Hukum Penyitaan Monetary Asset di Bank
1) Peraturan Pemerintah No. 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan
dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
2) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
563/KMK.04/2000 Tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan
Penanggung Pajak yang Tersimpan pada Bank dalam Rangka Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa.
3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-109/PJ/2007 Tentang
Perubahan atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-
627/PJ/2001 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan
Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan pada Bank dalam
Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
b. Prosedur Penyitaan Monetary Asset Di Bank
Dalam pelaksanaan penagihan dengan Surat Paksa, Jurusita Pajak
berwenang melaksanakan penyitaan terhadap harta kekayaan milik
Penanggung Pajak atau Wajib Pajak yang secara khusus tersimpan pada
bank yang dilaksanakan dengan proses pemblokiran terlebih dahulu.
Adapun prosedur penyitaan monetary asset di bank adalah sebagai berikut:
1) Pemblokiran Monetary Asset di Bank
a) Setelah lewat 2 (dua) kali 24 jam dari pemberitahuan Surat Paksa,
maka Pejabat, dalam hal ini Kepala KPP mangajukan permintaan
pemblokiran kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan di bank.
b) Pihak bank wajib memblokir seketika rekening penanggung pajak
setelah menerima surat permintaan pemblokiran dari pejabat dan
membuat Berita Acara Pemblokiran serta menyampaikan salinan
acara tersebut kepada pejabat dan Penanggung Pajak.
c) Setelah Jurusita Pajak menerima Berita Acara Pemblokiran dari bank
dilanjutkan dengan memerintahkan kepada Penanggung Pajak untuk
memberi kuasa pada bank agar memberitahukan saldo kekayaannya
yang tersimpan pada bank tersebut kepada Jurusita Pajak.
d) Dalam hal Penanggung Pajak tidak memberikan kuasa kepada bank
sebagaimana tersebut pada butir c, Jurusita Pajak membuat Berita
Acara Penolakan Pemberian Kuasa oleh Penanggung Pajak, dan
berita acara tersebut dijadikan dasar bagi Pejabat untuk mengajukan
permohonan kepada Bank Indonesia melalui Menteri Keuangan
untuk memerintahkan bank yang dimaksud agar memberitahukan
saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tesimpan pada bank
tersebut.
e) Pemblokiran akan dicabut apabila Penanggung Pajak melunasi utang
pajaknya beserta biaya penagihan atau jikalau jumlah yang diblokir
ternyata lebih besar dari jumlah yang disita, maka atas sisa lebih
tersebut diajukan permintaan pencabutan pemblokiran oleh pejabat
kepada bank. (KMK No 563/KMK-04/2000).
2) Penyitaan Monetary Asset di Bank
Setelah dilakukan pemblokiran dan saldo kekayaan yang
tersimpan di bank diketahui maka penyitaan dilaksanakan. Adapun
prosedur penyitaan monetary asset yaitu :
a) Setelah saldo kekayaan yang tersimpan di bank diketahui, Jurusita
Pajak melaksanakan penyitaan dan membuat Berita Acara
Pelaksanaan Sita, dan menyampaikan salinan berita acara tersebut
kepada Penanggung Pajak dan Bank yang bersangkutan.
b) Pejabat mengajukan pencabutan pemblokiran kepada bank setelah
Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan.
c) Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran terhadap
kekayaan Penanggung Pajak setelah dikurangi dengan jumlah yang
disita apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak yang belum
dilunasi oleh Penanggung Pajak walaupun telah dilakukan
pemblokiran.
Setelah penyitaan dilaksanakan, Penanggung Pajak masih diberi
waktu 14 hari agar dapat melunasi utang pajaknya beserta biaya
penagihan. Dalam waktu 14 hari tersebut Penanggung Pajak dapat
melunasi utang pajaknya beserta biaya penagihannya dengan
menggunakan kekayaan yang telah disita tersebut dengan mengajukan
permohonan terlebih dahulu kepada pejabat dengan melampirkan bukti
pembayaran berupa Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah ditandatangani
dan diberi cap (stempel) oleh bank (PER-109/PJ/2007 Tentang
Perubahan atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP DJP No.
KEP– 627/PJ/2001).
3) Pemindah Bukuan ke Rekening Kas Negara
Apabila dalam 14 hari setelah penyitaan rekening bank
Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak beserta biaya
penagihannya, maka jumlah yang disita pada rekening bank Penanggung
Pajak dipindah bukukan ke Kas Negara dengan prosedur sebagai berikut
(PER-109/PJ/2007 Tentang Perubahan atas Keputusan Direktur Jenderal
Pajak Nomor KEP DJP No. KEP– 627/PJ/2001).
a) Apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak dalam jangka waktu 14 hari sejak penyitaan,
Pejabat meminta kepada pimpinan bank untuk memindahkan harta
kekayaan (monetary asset) Penanggung Pajak yang tersimpan pada
bank ke kas negara sejumlah yang tercantum dalam Berita Acara
Pelaksanaan Sita, yang tembusannya disampaikan kepada
Penanggung Pajak.
b) Permintaan kepada pimpinan bank sebagaimana tersebut di atas
dilampirkan dengan Surat Setoran Pajak yang ditandatangani oleh
Jurusita Pajak.
B. PENELITIAN SEBELUMNYA
Purwantoro (2005) telah melakukan penelitian mengenai analisis penagihan
pajak dengan penyitaan monetary asset di bank. Dimana penelitian ini dilakukan di
salah satu KPP yang telah melaksanakan penyitaan monetary asset di bank yaitu
pada Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Lima. Tekhnik yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode analisis deskriptif
kualitatif. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa peranan penyitaan
yang didahului dengan proses pemblokiran sangat tidak signifikan terhadap total
penerimaan pajak tahun 2004 pada KPP PMA Lima. Hal ini dibuktikan dengan
hasil peranan penyitaan monetary asset di bank terhadap penerimaan pajak pada
KPP PMA Lima pada tahun 2004 adalah sebesar 1,48%. Persentase sebesar 1,48%
diperoleh dengan cara membagi jumlah pembayaran sebagai akibat tindakan
pemblokiran sebanyak Rp. 61.361.312 ribu dengan total penerimaan KPP PMA
Lima tahun 2004 sebesar Rp. 4.138.989.183 ribu. Angka ini menunjukan bahwa
kontribusi pemblokiran terhadap penerimaan pajak hanya sebesar 1,48% yang
artinya 98,52% penerimaan KPP PMA Lima diakibatkan oleh sebab lain. Dari
98,52% sebab lain yang merupakan sumber penerimaan KPP PMA Lima maka
91,38% adalah pelunasan sukarela dari Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tanpa
adanya ketetapan pajak dan penagihan pajak. Sehingga dari hasil tersebut
menyatakan bahwa penyitaan monetary asset di bank yang telah dilakukan oleh
KPP PMA Lima sangat tidak signifikan terhadap penerimaan pajak pada KPP
tersebut.
Suhendar (2007) telah melaksanakan penelitian mengenai analisis pengaruh
pelaksanan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan pengumuman lelang
terhadap pencairan tunggakan pajak. Penelitian ini dilaksanakan pada KPP Pratama
Jakarta Tanah Abang Satu. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode analisis deskriptif kuantitatif. Hasil dari penelitian ini adalah
pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan pengumuman lelang
tersebut memberikan hasil yang signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak
pada KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Satu. Hal tersebut dibuktikan dengan
pengujian hipotesis uji f, dimana hasil pengujian variabel profil perusahaan
mempunyai angka signifikansi 0,04 lebih kecil dari 0,05. Hal ini berarti SPMP
berpengaruh secara signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak. Selain itu hasil
pengujian variabel pengumuman lelang mempunyai angka signifikansi 0,000 lebih
kecil dari 0,01. Hal ini berarti bahwa pengumuman lelang berpengaruh secara
signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak. Jadi, semakin besar pengumuman
lelang, maka semakin tinggi pencairan tunggakan pajak.
C. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan bagian dari tinjauan pustaka yang berisikan
rangkuman atas semua dasar-dasar teori yang dijadikan landasan dalam penelitian
ini, dimana dalam kerangka pemikiran ini diberikan skema singkat mengenai alur
penelitian yang menggambarkan proses penelitian yang akan dilakukan, hal ini
untuk memudahkan dalam membaca proses penelitian yang akan penulis
laksanakan. Berikut skema kerangka pemikiran pada penelitian ini:
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar.2.1
Kerangka Pemikiran
D. Hipotesis Penelitian
Pencairan Tunggakan Pajak
Surat Teguran
Penyitaan Monetary Asset di Bank
Surat Paksa
Hipotesis adalah suatu penjelasan sementara tentang perilaku, fenomena,
atau keadaan tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi yang merupakan
pernyataan peneliti tentang hubungan antara variabel-variabel dalam penelitian
serta merupakan pernyataan yang paling spesifik. Peneliti bukannya bertahan pada
hipotesis yang telah disusun, melainkan mengumpulkan data untuk mendukung atau
menolak hipotesis tersebut. Dengan kata lain hipotesis merupakan jawaban
sementara yang disusun oleh peneliti, yang kemudian akan diuji kebenarannya
melalui penelitian yang akan dilakukan. Melihat dari penelitian-penelitian terdahulu
dan tinjauan teoritis yang telah diuraikan sebelumnya, maka hipotesis dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ha : Pelaksanan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan
penyitaan monetary asset di bank memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap pencairan tunggakan pajak pada kanwil DJP Jakarta Barat.
Ho : Pelaksanan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan
penyitaan monetary asset di bank tidak memiliki pengaruh terhadap
pencairan tunggakan pajak pada kanwil DJP Jakarta Barat.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini hanya dibahas mengenai analisis pengaruh
Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaaan monetary asset di bank terhadap
pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat. Horison waktu yang
digunakan dalam penelitian ini adalah time series study yang lebih menekankan
pada rentetan waktu pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat
Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank dan pengaruhnya terhadap pencairan
tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat tahun 2004 hingga tahun 2007.
Penelitian ini akan dilakukan pada salah satu Kantor Wilayah yang terdiri
dari beberapa KPP yang tersebar di Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat yang telah
melaksanakan penagihan dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan
monetary asset di bank untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan diteliti, khususnya pada sub-sub dinas yang berkaitan
dengan penelitian.
B. Metode Penentuan Sampel
Metode yang digunakan untuk menentukan sampel penelitian ini adalah
metode conveniance sampling yaitu pemilihan sampel secara tidak acak (non
probability) yang informasinya diperoleh dengan cara kemudahan memperoleh data
yang disesuaikan dan dikaitkan dengan masalah penelitian yang akan dilakukan
yaitu, data sekunder yang diperoleh langsung dari bagian P4 pada Seksi Penagihan
berupa data penagihan dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary
asset di bank serta data yang berkaitan dengan masalah penelitian.
C. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan tiga metode yaitu:
1. Metode Telaah Kepustakaan
Tahap awal dari penelitian ini, penulis menggunakan metode
pengumpulan data Studi Kepustakaan (Library Research) untuk memperoleh
data sekunder berupa landasan teori yang berkaitan dengan penelitian ini,
dengan cara mempelajari literatur berupa buku, artikel perpajakan, jurnal
perpajakan, peraturan perundang-undangan perpajakan, surat keputusan, surat
edaran, dan bahan lain seperti surat kabar, internet, dan media massa lain yang
mempunyai relevansi dengan permasalahan yang akan dibahas khususnya
berkaitan dengan pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Paksa dan
penyitaan monetary asset di bank dan pengaruhnya terhadap pencairan
tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat.
2. Metode Dokumentasi
Metode ini dilakukan untuk memperoleh pengumpulan data dengan
mempelajari atau menggunakan catatan-catatan yang tersusun dalam arsip
Penagihan pada Kanwil DJP Jakarta Barat khususnya Bagian P4, berupa data
sekunder yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan meliputi laporan
penagihan aktif berupa laporan penyampaian Surat Teguran, Surat Paksa, dan
penyitaan aset moneter di bank, dan laporan pencairan tunggakan pajak pada
Kanwil DJP Jakarta Barat periode 2004-2007.
3. Metode Survei
Metode survei merupakan metode pengumpulan data primer yang
diperoleh secara langsung dari sumber asli dengan melakukan wawancara
langsung kepada yang berwenang dalam hal ini Kantor Wilayah DJP Jakarta
Barat terutama Kepala Seksi Penagihan dan Pelaksana Penagihan Pajak serta
beberapa Pelaksana di beberapa seksi lainnya yang tugasnya berkaitan dengan
topik penelitian ini yang semuanya berdinas di Kantor Wilayah DJP Jakarta
Barat.
D. Operasional Variabel Penelitian
Operasional variabel penelitian adalah sebuah konsep yang mempunyai
penjabaran dari variabel yang diterapkan dalam suatu penelitian dan dimaksudkan
untuk memastikan agar variabel yang ingin diteliti secara jelas dapat diterapkan
indikasinya. Dalam penelitian ini peneliti akan memaparkan variabel yang akan
digunakan.
Adapun variabel penelitian yang akan digunakan antara lain adalah sebagai
berikut:
1. Variabel Independen
Variabel independen adalah tipe variabel yang menjelaskan atau
mempengaruhi variabel lain. Variabel ini dinamakan pula dengan variabel yang
diduga sebagai sebab ataupun variabel yang mendahului. Adapun variabel
independen dalam penelitian ini adalah:
a. Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan pejabat untuk menegur dan
memperingatkan kepada WP/PP untuk melunasi utang pajaknya.
b. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya
penagihan.
c. Penyitaan monetary asset di bank adalah tindakan Jurusita Pajak untuk
menguasai barang milik WP/PP yang secara khusus terdapat di bank, guna
dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan
perundang-undangan perpajakan.
2. Variabel Dependen
Variabel dependen adalah tipe variabel yang dijelaskan atau dipengaruhi
oleh variabel independen. Variabel dependen dinamakan pula dengan variabel
yang diduga sebagai akibat ataupun variabel konsekuensi. Adapun variabel
dependen dalam penelitian ini adalah:
a. Pencairan tunggakan pajak adalah pencairan atau pelunasan utang pajak
yang belum atau kurang dibayar sampai dengan saat jatuh tempo
pembayaran.
Tabel 3.1
Operasional Variabel Penelitian
No. Variabel Sub Variabel Indikator Ukuran
1. Surat Teguran (X1 )
• Waktu penagihan • Utang pajak tidak dilunasi setelah 7 hari sejak saat jatuh tempo pembayaran.
Rupiah
2. Surat Paksa (X 2)
• Waktu penagihan • Utang pajak tidak dilunasi setelah lewat waktu 21 hari sejak diterbitkan Surat Teguran.
Rupiah
3. Penyitaan Monetary Asset di Bank
• Kekayaan yang tersimpan pada bank
• Rekening, simpanan, dan bentuk
Rupiah
(X 3 ) • Waktu penagihan • Pelaksanan
pemblokiran
simpanan lain yang lazim dalam praktek perbankan.
• Utang pajak tidak dilunasi setelah lewat waktu 2 x 24 jam sejak diterbitkan Surat Paksa.
• Saldo kekayaan yang tersimpan di bank.
Rupiah
Rupiah
4. Pencairan Tunggakan Pajak (Y)
• Kategori umur tunggakan
• Kriteria kualitas
tunggakan • Ketetapan yang terbit
• Waktu pelunasan tunggakan (kurang dari 6 bulan, 6 bulan s.d 1 tahun, dst).
• Lancar, kurang lancar, dalam perhatian khusus, diragukan, macet.
• Target pencairan tunggakan pajak (50% dari total tunggakan)
Rupiah
Rupiah
Rupiah
E. Metode Analisis
1. Uji Asumsi Klasik
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model
regresi, variabel independen, variabel dependen, ataupun keduanya
mempunyai distribusi normal atau tidak dengan menggunakan P-P Plot.
Model regresi yang baik adalah distribusi data normal atau mendekati
normal. Deteksi normalitas dengan melihat penyebaran data atau titik pada
sumbu diagonal dari grafik. Dasar pengambilan keputusan jika data
menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal atau
grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi normal, maka model
regresi memenuhi asumsi normalitas. Sedangkan jika data menyebar jauh
dari diagonal dan atau tidak mengikuti arah garis diagonal atau grafik
histogram tidak menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi
tidak memenuhi asumsi normalitas. (Ghozali, 2005:112)
b. Uji Multikoloniaritas
Uji multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah pada model
regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (variabel
independen). Jika terjadi maka terdapat problem Multikolonieritas. Model
regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel
independen. Jika variabel independen saling berkorelasi, maka variabel-
variabel ini tidak ortogonal. Variabel ortogonal adalah variabel independen
yang nilai korelasi antar sesama variabel independen sama dengan nol.
Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolonieritas di dalam model
regresi dapat dilihat dari nilai Tolerance (TOL) dan lawannya Variance
Inflation Factor (VIF). Model regresi dapat dikatakan terbebas dari problem
multikolonieritas apabila nilai tolerance tidak kurang dari 0,1 atau TOL >
0,1 dan VIF tidak lebih dari 10 atau VIF<10 maka data tersebut tidak ada
multikolonieritas antar variabel independen dalam model regresi (Ghozali,
2005:91-92).
c. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah sebuah regresi
linear ada korelasi diantara kesalahan pengganggu pada periode t dengan
kesalahan pada periode t-1 sebelumnya. Jika terjadi korelasi, maka
dinamakan ada problem autokorelasi (Ghozali, 2005:95). Tentu saja model
regresi yang baik adalah yang terbebas dari problem autokorelasi.
Deteksi ada atau tidaknya autokorelasi dengan menggunakan Uji
Durbin-Watson:
Tabel 3.2
Keputusan Durbin – Watson
Hipotesis Nol Keputusan Jika
Tidak ada autokorelasi positif
Tidak ada autokorelasi positif
Tidak ada korelasi negatif
Tidak ada korelasi negatif
Tidak ada autokorelasi, positif
atau negatif
Tolak
No desicison
Tolak
No decision
Tdk ditolak
0 < d < dl
dl ≤ d ≤ du
4 – dl < d 4
4 – du ≤ dl ≤ – dl
du < d < 4 – du
d. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam
sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual suatu
pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varians dari residual suatu
pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut
homoskedastisitas. Sebaliknya jika varians berbeda maka disebut
heteroskedastisitas. Model regresi yang baik tidak terjadi
heteroskedastisitas. Salah satu cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya
heteroskedastisitas yaitu dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi
variabel terikat (Y) dengan residualnya (X). Deteksi ada tidaknya
heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola
tertentu pada grafik scatterplot antara X dan Y di mana sumbu Y adalah
yang telah diprediksi, dan sumbu X adalah residual (Y prediksi –Y
sesungguhnya) yang telah di-studentized. Dasar pengambilan keputusan dari
analisis ini adalah, jika ada pola tertentu seperti titik-titik yang ada
membentuk suatu pola tertentu yang teratur maka mengindikasikan telah
terjadi heteroskedastisitas. Sebaliknya jika tidak ada pola yang jelas, serta
titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak
terjadi heteroskedastisitas (Ghozali,2005: 105).
2. Metode Analisis Data
a. Analisis Regresi Linier Berganda
Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesa penelitian ini
adalah metode regresi linier berganda, yaitu metode analisis data yang dipakai
untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependennya yang dilakukan secara kuantitatif dengan bantuan statistik. Adapun
rumus persamaan regresinya adalah sebagai berikut:
Keterangan :
Y = Variabel Dependen (Pencairan tungakkan pajak)
1x = Variabel Independen (Surat Teguran)
2x = Variabel Independen (Surat Paksa)
3x = Variabel Independen (Penyitaan Monetary Asset di Bank)
a = Konstanta
e = eror yang ditolerir (5%)
Y= a + 332211 xbxbxb ++ + e
32,1 ,bbb = Koefisien regresi
b. Uji R 2 (Koefisien Determinasi)
Untuk menentukan seberapa besar variabel bebas dapat menjelaskan
variabel terikat, maka perlu diketahui nilai koefisien determinasi (Adjusted
R-Square). Koefisien Determinasi (R 2 ) pada intinya mengukur seberapa
jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel terikat. Nilai
koefisien determinasi adalah diantara nol dan satu. Jika Adjusted R-Square
adalah sebesar 1 berarti fluktuasi variabel dependen seluruhnya dapat
dijelaskan oleh variabel independen. Nilai Adjusted R-Square berkisar
hampir 1, berarti semakin kuat kemampuan variabel independen dapat
menjelaskan variabel dependen. Sebaliknya, jika nilai Adjusted R-Square
semakin mendekati angka 0 berarti semakin lemah kemampuan variabel
independen dapat menjelaskan variabel dependen (Ghozali, 2005: 85).
Selanjutnya dengan menghitung koefisien determinasi yang merupakan
kuadrat dari koefisien korelasi (r), akan diketahui seberapa besar hubungan
variabel bebas (x) terhadap variabel terikat (y).
c. Uji Statistik F
Uji statistik F dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel-
variabel independen secara bersama-sama (simultan) terhadap variabel
dependennya. Untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen
secara simultan mempengaruhi variabel dependen, maka digunakan tingkat
signifikansi sebesar 0,05. Jika nilai probabilitas F lebih besar dari 0,05 maka
Ho diterima, sedangkan jika nilai probabilitas lebih kecil dari 0.05 maka Ho
ditolak (Ghozali,2005 :84).
d. Uji t- Statistik
Uji t-Statistik digunakan untuk mengetahui hubungan masing-
masing variabel independen secara individual (parsial) terhadap variabel
dependen. Cara melakukan uji t ada dua yakni, melihat tingkat signifikansi
dan dengan membandingkan antara nilai t-hitung dengan nilai t-tabel. Untuk
mengetahui ada tidaknya pengaruh masing-masing variabel independen
secara individual terhadap variabel dependen digunakan tingkat signifikansi
0,05, sedangkan untuk membandingkan nilai statistik t dengan titik kritis
menurut tabel digunakan dengan ketentuan bahwa apabila nilai statistik t-
hitung lebih tinggi dibandingkan nilai tabel, maka menerima hipotesis
alternatif yang menyatakan bahwa suatu variabel independen secara
individual mempengaruhi variabel dependen (Ghozali, 2005: 85).
BAB IV
PENEMUAN DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Sejarah Singkat Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Barat
Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat merupakan kantor wilayah yang saat
ini menerapkan sistem administrasi perpajakan modern, merupakan bentuk baru
yang sebelumnya Kantor Wilayah DJP Jakarta II. Kantor Wilayah yang
menerapkan sistem administrasi modern ini dibentuk melalui Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor: 55/PMK.01/2007 tanggal 31 Mei 2007
tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor: 132/PMK.01/2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal
Direktorat Jenderal Pajak.
Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat yang sebelumnya merupakan Kanwil
DJP Jakarta II yang beralamat di Jalan Gatot Subroto No. 40-42 Gedung A2
lantai 5-6, Jakarta Selatan sebelumnya mempunyai wilayah kerja meliputi
Kotamadya Jakarta Barat yang terdiri dari tujuh Kantor Pelayanan Pajak, dua
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, dan dua Kantor Pemeriksaan dan
Penyidikan Pajak. Setelah adanya penerapan sistem administrasi modern,
Kanwil DJP Jakarta Barat ini mempunyai wilayah kerja di Kotamadya Jakarta
Barat yang membawahi sepuluh KPP Pratama dan satu KPP Madya, adalah
sebagai berikut:
a. KPP Pratama Jakarta Palmerah
b. KPP Pratama Jakarta Grogol Petamburan
c. KPP Pratama Jakarta Tamansari Satu
d. KPP Pratama Jakarta Tamansari Dua
e. KPP Pratama Jakarta Tambora
f. KPP Pratama Jakarta Cengkareng
g. KPP Pratama Jakarta Kalideres
h. KPP Pratama Jakarta Kebon Jeruk Satu
i. KPP Pratama Jakarta Kebon Jeruk Dua
j. KPP Pratama Jakarta Kembangan
k. KPP Madya Jakarta Barat
Kantor Wilyah DJP Jakarta Barat memiliki Luas wilayah Kotamadya
Jakarta Barat adalah 12.817 Ha, jumlah penduduk sebanyak 1.565.947 jiwa,
yang terdiri dari 447.138 KK. Seluas 9.474.2 Ha dari luas yang telah dikenakan
PBB, dan sebanyak 118.133 jiwa telah terdaftar sebagai Wajib Pajak Orang
Pribadi. Sedangkan Batas Wilayah Kotamadya Jakarta Barat adalah:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kotamadya Jakarta Utara dan Laut Jawa.
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kotamadya Jakarta Selatan.
c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kotamadya Jakarta Pusat.
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten atau Kotamadya Tangerang.
Sektor-sektor usaha yang mempunyai potensi perpajakan di Kanwil DJP
Jakarta Barat adalah sektor usaha perumahan mewah, apartemen dan
kondominium, pusat perbelanjaan, jasa, dan industri. Adapun potensi ekonomi
yang mendominasi di wilayah Kotamadya Jakarta Barat adalah sektor usaha
apartemen/kondominium dan real estate, perdagangan umum dan jasa, dan
sektor industri. Terdapatnya kendala seperti terbatasnya sumber daya manusia,
sulitnya pencarian sumber data di lapangan, dan kurang validnya data yang
tersedia menyebabkan Kanwil DJP Jakarta Barat harus berusaha untuk
menggali potensi ekonomi yang masih dapat digali di wilayah Kotamadya
Jakarta Barat seperti sektor usaha di bidang pusat perbelanjaan dan perumahan
mewah.
2. Sekilas Tentang Modernisasi Kanwil DJP Jakarta Barat
Sesuai dengan kebijakan DJP yang ingin meningkatkan pelayanan
kepada Wajib Pajak dan ditambah dengan visi : “Menjadi model pelayanan
masyarakat yang menyelenggarakan sistem dan manajemen perpajakan kelas
dunia yang dipercaya dan dibanggakan oleh masyarakat dan segenap jajaran
Direktorat Jenderal Pajak”, maka langkah pertama yang dilakukan Direktorat
Jenderal Pajak adalah menerapkan sistem administrasi perpajakan modern pada
Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat dan KPP Madya pada Kantor Wilayah DJP
Jakarta Barat yang mengadministrasikan 314 Wajib Pajak Besar yang berada di
Wilayah Jakarta Barat. Pada langkah selanjutnya dibentuk Kantor Pelayanan
Pajak Pratama (KPP Pratama) sebagai hasil integrasi dari Kantor Pelayanan
Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB), dan
Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa).
Penerapan sistem administrasi perpajakan modern pada Kanwil DJP
Jakarta Barat dibentuk melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor: 55/PMK.01/2007 tanggal 31 Mei 2007 tentang perubahan atas
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 132/PMK.01/2006
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak,
sedangkan penerapan sistem administrasi perpajakan modern pada KPP Madya
Jakarta Barat telah diresmikan pada tanggal 9 April 2007. Pembentukan KPP
Pratama telah diresmikan pada tanggal 12 Juni 2007 dan mulai beroperasi pada
tanggal 2 Oktober 2007.
Penerapan sistem administrasi modern tersebut akan membawa
konsekuensi terjadinya perubahan yang mendasar baik menyangkut aspek
struktur organisasi maupun implementasi pelayanan kepada Wajib Pajak.
Struktur organisasi yang baru dirancang berdasarkan fungsi bukan per jenis
pajak. Lain pada itu struktur organisasi yang baru ini relatif lebih ramping
mengingat fungsi pemeriksaan yang selama ini dilaksanakan oleh Kantor
Pelayanan Pajak dan terutama oleh Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak
(Karikpa), dilaksanakan oleh Kantor Pelayan Pajak saja.
Perbaikan mutu pelayanan yang berkesinambungan yang diberikan pada
Wajib Pajak merupakan satu hal mutlak yang harus dilakukan untuk
menjembatani antara KPP dengan Wajib Pajak Serta mengoptimalkan fungsi
bimbingan, konsultasi dan pembinaan kepada Wajib Pajak, maka ditunjuk
Account Representative (AR). AR adalah pegawai yang ditunjuk sebagai liasion
officer antara KPP dan Wajib Pajak yang bertanggung jawab dan berwenang
untuk memberikan pelayanan secara langsung, edukasi, esistensi, serta
mendorong dan mengawasi pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak.
Berbagai fasilitas kemudahan dan kenyamanan pelayanan kepada Wajib Pajak
diberikan dengan memanfaatkan perkembangan kemajuan tekhnologi
Informasi. Berbagai fasilitas tersebut antaralain website, call centre, complaint
centre, e-filling, e-SPT, one line payment dan sebagainya.
Dalam rangka menjamin terwujudnya profesionalisme dan objektifitas
kinerja. Pemeriksaan hanya dilakukan oleh KPP saja, kecuali pemeriksaan bukti
permulaan dilaksanakan oleh Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat. Dengan
demikian terjadi pemisahan fungsi kerja yang sangat mendasar antara unit yang
melakukan fungsi pemeriksaan dan/atau penerapan dengan unit yang melakukan
fungsi penyelesaian keberatan. Sejalan dengan komitmen pemerintah untuk
menjalankan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, kantor Wilayah DJP
Jakarta Barat berikut unit-unit dibawahnya menerapkan perangkat dan sistem
untuk mendukung terciptanya Good Corporate Governance. Perangkat yang
tersedia yaitu Kode Etik pegawai DJP, Komite Kode Etik untuk melaksanakan
kode etik, maupun kerja sama dengan Inspektorat Jenderal Departemen
Keuangan untuk meningkatkan intensitas dan efektifitas pengawasan, serta
konsolidasi internal secara berkesinambungan.
3. Struktur Organisasi Kanwil DJP Jakarta Barat
Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat di pimpin oleh seorang Kepala
Kantor dan membawahi lima bidang dan satu bagian umum. Adapun bidang
yang ada pada Kanwil DJP Jakarta Barat adalah sebagai berikut:
Bidang Dukungan Bidang Kerjasama Bidang Pemeriksaan, Bidang Penyuluhan, Bidang Pengurangan, Teknis dan Ekstensifikasi dan Penyidikan, dan Pelayanan, dan Keberatan, dan Komunikasi Penilaian Penagihan Pajak Hubungan Masyarakat Banding
Gambar 4.1
Struktur Organisasi Kanwil DJP Jakarta Barat
a. Bagian Umum
Melaksanakan urusan kepegawaian, keuangan, tata usaha, rumah tangga,
dan bantuan hukum.
b. Kelompok Fungsional Pemeriksa Pajak
Melakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang
perpajakan dan penyidikan pajak.
c. Bidang Dukungan Teknis dan Konsultasi
Melaksanakan pemberian dukungan teknis komputer, bimbingan konsultasi,
bimbingan penggalian potensi perpajakan, pengumpulan pencarian dan
pengolahan data, serta penyajian informasi perpajakan.
d. Bidang Kerjasama, Ekstensifikasi, dan Penilaian
Kepala Kantor Bagian Umum
Kelompok Jabatan
Fungsional
Melaksanakan penyiapan dan urusan kerjasama perpajakan, melaksanakan
bimbingan ekstensifikasi, pendataan dan penilaian serta bimbingan dan
pemantauan pengenaan.
e. Bidang Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak
Melaksanakan bimbingan teknis pemeriksaan dan penagihan pajak,
pemantauan pelaksanaan teknis pemeriksaan dan penagihan pajak,
penelaahan hasil pelaksanaan pekerjaan pejabat fungsional pemeriksaan
pajak (peer review), bantuan pelaksanaan penagihan, serta pelaksanaan
urusan administrasi penyidikan termasuk pemeriksaan bukti permulaan
tindak pidana di bidang perpajakan.
f. Bidang Penyuluhan , Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat
Melaksanakan bimbingan dan pemantauan penyuluhan dan pelayanan
perpajakan, melaksanakan urusan hubungan pelayanan masyarakat, serta
melaksanakan penyuluhan dan pelayanan perpajakan yang menjadi
tanggung jawab Kantor Wilayah.
g. Bidang Pengurangan, Keberatan dan Banding
Melaksanakan bimbingan dan urusan penyelesaian keberatan, pembetulan
ketetapan pajak yang tidak benar, pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan
dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, pengurangan sanksi
administrasi, proses banding, proses gugatan, dan Peninjauan Kembali.
4. Uraian Tugas
a. Sumber daya Seksi Penagihan dan Uraian Tugas Seksi bimbingan
Penagihan pada Kanwil DJP Jakarta Barat
Sumber daya seksi penagihan pada Kanwil DJP Jakarta Barat terdiri
dari satu Kepala Bidang, satu orang Kepala Seksi dan dua orang Pelaksana.
Adapun uraian tugas pada seksi penagihan akan dibahas selanjutnya di
bawah ini.
Dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 162/ KMK.1/2005
tentang Uraian Jabatan Struktural dan Pelaksana Kantor Wilayah DJP
Jakarta II, atau saat ini Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat, Kantor
Pelayanan Pajak Madya, dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama di
lingkungan Kantor Wilayah Jakarta Barat uraian tugas dan kegiatan
Penagihan adalah sebagai berikut:
1) Mengkoordinasikan penyusunan rencana Seksi Bimbingan Penagihan
sebagai bahan penyusunan rencana kerja Bidang Pemeriksaan,
Penyidikan, dan Penagihan Pajak;
2) Mengkoordinasikan pembuatan konsep surat persetujuan/usul perbaikan
mengenai rencana penagihan pajak;
3) Mengkoordinasikan penyusunan kompilasi laporan penagihan pajak;
4) Mengkoordinasikan laporan penagihan pajak sebagai bahan bimbingan
penagihan pajak;
5) Mengkoordinasikan penyusunan konsep surat tanggapan atas
permasalahan yang berkaitan dengan penagihan pajak;
6) Mengkoordinasikan pemantauan pelaksanaan kebijakan teknis
penagihan pajak;
7) Mengkoordinasikan pemberian bimbingan teknis dan administrasi
penagihan pajak;
8) Mengkoordinasikan pelaksanaan administrasi penagihan pajak;
9) Mengkoordinasikan pembuatan konsep surat persetujuan usul
penghapusan piutang pajak;
10) Mengkoordinasikan pengevaluasian Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)
dari instansi pengawasan fungsional;
11) Membimbing bawahan pada Seksi Bimbingan untuk meningkatkan
motivasi dan prestasi kerja;
12) Mengkoordinasikan penyusunan laporan berkala Seksi Bimbingan
Penagihan sebagai bahan penyusunan laporan berkala Bidang
Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak.
Disamping uraian tugas tersebut di atas, terdapat tugas lain yang
sebaiknya dilakukan oleh Seksi Bimbingan Penagihan, antara lain:
1) Membagi target pencairan tunggakan pajak per KPP berdasarkan target
yang ditetapkan oleh Kantor Pusat Per kanwil;
2) Membantu pelaksanaan penagihan dengan melakukan panggilan Wajib
Pajak/Penunggak Pajak terbesar dalam lingkungan Kanwil untuk
menghimbau dan memberikan opsi-opsi kepada penanggung pajak
dalam rangka menyelesaikan tunggakan pajaknya;
3) Memberikan solusi dan saran atas kasus-kasus penagihan yang terjadi di
KPP Madya atau Pratama;
4) Melakukan koordinasi dengan kasi Penagihan Di KPP Madya dan
Pratama untuk menyamakan langkah dalam rangka mencairkan
tunggakan pajak di lingkungan kanwil dengan cara pertemuan rutin;
5) Memantau realisasi pencairan tunggakan pajak pada KPP Madya dan
Pratama setiap bulan dan memberikan bimbingan dan arahan kepada
Kepala Seksi Penagihan yang pencairan tunggakannya dirasa kurang;
6) Mendampingi Kasi Penagihan KPP Madya dan Pratama pada waktu
mengadakan lelang;
7) Menjalin kerjasama dengan Aparat Pemda untuk menyukseskan
pencairan tunggakan PBB dan BPHTB;
8) Memantau proses pengurangan, keberatan, dan banding yang diajukan
oleh WP dengan menjalin kerjasama dengan Bidang Pengurangan,
Keberatan dan Banding di Kanwil, kemudian menginformasikan kepada
Kepala Seksi Penagihan di KPP Madya dan Pratama.
b. Uraian Tugas Seksi Penagihan pada KPP Madya dan Pratama di
Lingkungan Kanwil DJP Jakarta Barat
Unit kerja pada Seksi Penagihan KPP Madya dan Pratama yang
berada di wilayah DJP Jakarta Barat terdiri atas Kepala Seksi Penagihan
dan Pelaksana yang terdiri dari Penata Usaha Piutang Pajak dan Jurusita
Pajak. Adapun tugas Seksi Penagihan secara umum pada setiap KPP
Madya dan Pratama antara lain:
1) Melakukan urusan penatausahaan piutang pajak,
2) Melakukan penagihan aktif seperti menerbitkan Surat Teguran, Surat
Paksa, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Perintah
Melakukan Penyitaan (SPMP), sampai dengan pelelangan harta
kekayaan milik Penunggak Pajak,
3) Melakukan urusan penundaan angsuran tunggakan pajak,
4) Pembuatan usulan penghapusan piutang pajak,
5) Penyimpanan dokumen-dokumen penagihan sesuai ketentuan yang
berlaku.
B. Penemuan dan Pembahasan
1. Peran Jurusita Pajak Dalam Pelaksanaan Penagihan Aktif Di Wilayah DJP
Jakarta Barat
Pelaksanaan kegiatan penagihan di wilayah DJP Jakarta Barat
khususnya penagihan aktif dilaksanakan oleh Jurusita Pajak yang rata-rata
terdiri dari tiga orang Jurusita Pajak pada setiap KPP yang berada di wilayah
DJP Jakarta Barat. Penagihan ini dimulai sejak Surat Ketetapan Pajak jatuh
tempo masa pembayarannya yaitu satu bulan sejak tanggal terbit. Secara teori
Surat Teguran terbit tujuh hari sejak saat jatuh tempo pembayaran, 21 hari
kemudian diterbitkan Surat Paksa, dalam 2x24 jam tunggakan pajak tetap saja
tidak dilunasi setelah Surat Paksa terbit, maka diterbitkan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan (SPMP). Selanjutnya, jika tunggakan pajak tersebut
tetap tidak dilunasi dalam jangka waktu 14 hari dari penerbitan SPMP maka
pejabat melaksanakan pengumuman lelang, dan akhirnya 14 hari setelah
pengumuman lelang, eksekusi lelang dilaksanakan. Akan tetapi, dalam
kenyataannya Seksi Penagihan pada setiap KPP yang berada di Kanwil DJP
Jakarta Barat jarang memenuhi kriteria waktu minimal tersebut.
Jurusita Pajak sebagai ujung tombak penagihan aktif mempunyai tugas
dan tanggung jawab yang tidak ringan. Pada pelaksanaan tugas penagihan pajak
Jurusita Pajak harus berhadapan langsung dengan WP/PP. Tujuan penagihan
pajak adalah agar WP/PP melunasi tunggakan pajaknya ditambah dengan biaya
untuk menagih besarnya tunggakan pajaknya tersebut (sesuai dengan definisi
penagihan pajak). Adapun tindakan penagihan yang dilakukan oleh Jurusita
Pajak tolak ukur terakhirnya adalah pelunasan tunggakan pajak. Penyampaian
Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP),
hingga pelaksanaan lelang akan terasa sia-sia apabila tunggakan pajak dan biaya
penagihan tidak dapat dilunasi, walaupun standar prestasi kerja dapat dicapai.
Untuk mengetahui seberapa besar peran Jususita Pajak dalam
pelaksanaan penagihan aktif di wilayah DJP Jakarta Barat periode 2004-2007
dapat dilihat pada tabel 4.1 dan dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 4.1
Laporan Kegiatan Penagihan di Wilayah DJP Jakarta Barat Tahun Anggaran 2004, 2005, 2006, 2007
(dalam satuan lembar)
STP/SKPKB/SKPKBT/SK.PE
M/SK.KEB/ PUT. BAN. YG
BELUM LUNAS
PENGU-MUMAN
TRIWULAN SURAT
TEGURAN SURAT PAKSA SPMP LELANG LELANG
I 2004 101,204 4.342 637 95 2 2 II 2004 114,567 5.659 846 104 1 1 III 2004 117,723 7.579 1155 130 8 6
IV 2004 116,258 85.79 1039 90 12 12
Total 449,752 26.159 3.677 419 23 21 Sumber: diolah oleh penulis dari Laporan Kegiatan Penagihan Kanwil DJP Jakarta Barat tahun anggaran 2004
STP/SKPKB/SKPKBT/SK.PE
M/SK.KEB/ PUT. BAN. YG
BELUM LUNAS
PENGU-MUMAN
TRIWULAN SURAT
TEGURAN SURAT PAKSA SPMP LELANG LELANG
I 2005 102,581 4.128 569 50 4 5 II 2005 102,077 3.343 738 49 9 6 III 2005 63,093 3.065 625 58 10 5
IV 2005 93,901 4.188 743 37 6 11
Total 361,652 14.724 2,675 194 29 27 Sumber: diolah oleh penulis dari Laporan Kegiatan Penagihan Kanwil DJP Jakarta Barat tahun anggaran 2005
STP/SKPKB/SKPKBT/SK.PEM/SK.KEB/PUT . BAN.
YG BELUM LUNAS
PENGU-MUMAN
TRIWULAN SURAT
TEGURAN SURAT PAKSA SPMP LELANG LELANG
I 2006
92,421 4.460 640 46 3 3
II 2006
191,342 4.126 954 73 4 2
III 2006
90,878 3.096 804 32 6 11
IV 2006
90,800 4.901 1.402 52 10 24
Total
465,441 16.583 2,399 203 23 40 Sumber: diolah oleh penulis dari Laporan Kegiatan Penagihan Kanwil DJP Jakarta Barat tahun anggaran 2006
STP/SKPKB/SKPKBT/SK.PEM/SK.KEB/PUT .BAN
YG BELUM LUNAS
PENGU-MUMAN
TRIWULAN SURAT
TEGURAN SURAT PAKSA SPMP LELANG LELANG
I 2007
97,555 4.722 744 47 4 4
II 2007
95,388 7.341 1.566 99 5 5
III 2007
92,881 7.787 1.789 112 10 9
IV 2007
92,366 8.186 2.027 171 13 12
Total
378,190 28.036 6.126 429 32 30 Sumber: diolah oleh penulis dari Laporan Kegiatan Penagihan Kanwil DJP Jakarta Barat tahun anggaran 2007
a. Surat Teguran
Surat Teguran dikirimkan oleh Seksi Penagihan khususnya Jurusita
Pajak pada setiap KPP yang berada di wilayah DJP Jakarta Barat setelah
lewat tujuh hari dari saat jatuh tempo utang pajak yang terdapat dalam
STP/SKPKB/SKPKBT/SK. Pem/SK. Keb/Put. Banding yang menyebabkan
jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah atau belum dilunasi oleh
WP/PP. Menurut laporan kegiatan penagihan di wilayah DJP Jakarta Barat
tahun anggaran 2004, 2005, 2006, dan 2007 menunjukan bahwa STP
/SKPKB / SKPKBT/ SK. Pem/ SK. Keb /Put. Banding yang belum lunas
sebanyak 449.752 lembar, 361.652 lembar, 465.441 lembar, dan 378,190
lembar untuk tahun anggaran 2004 sampai dengan 2007. Dari jumlah STP/
SKPKB/ SKPKBT/ SK.Pem/ SK.Keb/ Put. Banding yang telah diterbitkan
dan belum lunas tersebut dari situ telah diterbitkan Surat Teguran sebanyak
26.159 lembar untuk tahun 2004, 14.724 lembar untuk tahun 2005, 16.583
lembar untuk tahun 2006, dan sebanyak 28.036 lembar Surat Teguran untuk
tahun anggaran 2007.
b. Surat Paksa
Surat Paksa diterbitkan 21 hari setelah diterbitkannya Surat Teguran,
dengan catatan utang pajak yang dimaksud belum atau tidak dibayar oleh
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak. Biaya penyampaian Surat Paksa ini
termasuk dalam biaya penagihan yang akan dibebankan kepada WP/PP. Hal
ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No.135 tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa. Pada tabel 4.1 menunjukan bahwa dari
STP/SKPKB/SKPKBT/SK. Pem/SK.Keb/Put.Banding yang belum lunas
tahun anggaran 2004, 2005, 2006, dan 2007 yang telah dipaparkan
sebelumnya dari situ telah diterbitkan Surat Paksa sebanyak 14.877 lembar.
Dengan rincian 3.677 lembar Surat Paksa diterbitkan selama tahun 2004,
2.675 lembar Surat Paksa diterbitkan selama tahun anggaran 2005, 2.399
lembar Surat Paksa diterbitkan selama tahun anggaran 2006, dan sebanyak
6.126 lembar Surat Paksa diterbitkan selama tahun anggaran 2007.
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa pemberitahuan
Surat Paksa selama tahun 2004, 2005, 2006, dan 2007 hanya sebesar 14.1%
(3.677/26.159) tahun 2004, 18.2 % (2.675/14.724) tahun 2005, 14.5% (
2.399/16.583), dan 21.9% untuk tahun 2007, dari Surat Teguran yang
diterbitkan. Hal tersebut disebabkan karena satu Surat Paksa dapat terdiri
dari beberapa Surat Teguran, WP/PP telah melunasi utang pajaknya, banyak
alamat WP yang tidak ditemukan, WP sedang mengajukan keberatan, dan
jika dari semua Surat Teguran yang ditindaklanjuti dengan Surat Paksa
maka biaya penagihan akan menjadi lebih besar.
Tetapi jika kita lihat secara seksama dapat disimpulkan bahwa
Jurusita Pajak sangat berperan dalam proses penagihan pajak guna
meningkatkan penerimaan pajak. Karena Jurusita Pajak yang hanya
berjumlah tiga orang per KPP jika dirata-rata, tidak sebanding dengan
banyaknya Surat Teguran dan Surat Paksa yang harus ia kirimkan kepada
WP/PP yang berjumlah ribuan atau ratusan WP/PP. Oleh karena itu, atas
kerja keras Jurusita Pajak diberikan penghargaan (reward) dan sanksi
(punishment) bagi Jurusita Pajak yang tidak mengindahkan peraturan
perundang-undangan perpajakan di bidang penagihan.
c. Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP)
Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP) diterbitkan 2 x 24
Jam setelah disampaikannya Surat Paksa oleh Jurusita Pajak kepada WP/PP.
Dari 3.677 lembar pemberitahuan Surat Paksa selama tahun 2004, 2.675
lembar selama tahun 2005, 2.399 lembar selama tahun 2006, dan 6.126
lembar selama tahun 2007, hanya dikeluarkan SPMP sebanyak 419 lembar
selama tahun 2004, 194 lembar selama tahun 2005, 203 lembar selama
tahun 2006, dan 429 lembar selama tahun 2007. Hal tersebut dikarenakan,
WP/PP telah melunasi utang pajaknya setelah diterbitkan Surat Paksa,
banyak alamat WP yang tidak ditemukan, WP sedang mengajukan
keberatan, dalam pelaksanaan penyitaan kemungkinan objek sita tidak
ditemukan, dan jika dari semua pemberitahuan Surat Paksa ditindak lanjuti
dengan penerbitan SPMP maka biaya penagihan akan menjadi lebih besar.
d. Pengumuman Lelang dan Pelaksanaan Lelang
Dari tabel 4.1 dapat diketahui bahwa pengumuman lelang dan
pelaksanaan lelang yang terjadi selama tahun anggaran 2004 hingga 2007
adalah sebanyak 107 kali pengumuman lelang dan 118 kali pelaksanaan
lelang yaitu 23 kali pengumuman lelang dan 21 kali pelaksanaan lelang
terjadi selama tahun anggaran 2004, 29 kali pengumuman lelang dan 27 kali
pelaksanaan lelang terjadi selama tahun anggaran 2005, 23 kali
pengumuman lelang dan 40 kali pelaksanaan lelang terjadi selama tahun
anggaran 2006, dan selama tahun anggaran 2007 pengumuman lelang
sebanyak 32 kali sedangkan pelaksanaan lelang sebanyak 30 kali.
Mengacu pada standar prestasi pelaksanaan kegiatan penagihan
pajak bahwa pelaksanaan lelang minimal satu kali lelang per triwulan per
KPP. Pada tahun anggaran 2004, 2005 dan 2006 Kantor Pelayanan Pajak
yang berada di Wilayah DJP Jakarta Barat adalah berjumlah 7 KPP,
sedangkan pada pertengahan tahun 2007 setelah adanya reorganisasi dan
modernisasi perpajakan, Kantor Pelayanan Pajak yang ada berjumlah 11.
Dari data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa seharusnya pelaksanaan
lelang yang terjadi pada tahun 2004, 2005 dan 2006 sebanyak 28 kali (7
KPP x Standar minimum pelaksanaan lelang yaitu 1 kali x banyaknya
triwulan yaitu 4 kali). Sedangkan tahun 2007 pelaksanaan lelang yang
seharusnya dilaksanakan pada Triwulan I dan II sebelum adanya
modernisasi sebanyak 14 kali (7 KPP x Standar minimum pelaksanaan
lelang yaitu 1 kali x banyaknya triwulan yaitu 2 kali). Pelaksanaan lelang
yang seharusnya terjadi pada Triwulan III dan IV setelah adanya
modernisasi perpajakan sehingga KPP berjumlah 11 KPP yang terdiri dari
10 KPP Pratama dan satu KPP Madya adalah 22 kali (11 KPP x Standar
minimum pelaksanaan lelang yaitu 1 kali x banyaknya triwulan yaitu 2 kali).
Akan tetapi pada kenyataannya pelaksanaan lelang yang terjadi
selama tahun anggaran 2004 sebanyak 21 kali pelaksanaan lelang, tahun
anggaran 2005 sebanyak 27 kali lelang, tahun anggaran 2006 sebanyak 40
kali lelang dan tahun anggaran 2007 sebanyak 30 kali pelaksanaan lelang.
Hal tersebut berarti prestasi pelaksanaan penagihan pajak tahun anggaran
2004 dan 2005 masih di bawah standar yang telah ditetapkan. Pada tahun
anggaran 2006 prestasi yang diperoleh cukup baik karena pelaksanaan
lelang melebihi standar minimum yang telah ditetapkan. Pada pertengahan
tahun anggaran 2007 karena adanya reorganisasi dan terjadinya modernisasi
di wilayah DJP Jakarta Barat prestasi pelaksanaan penagihan masih di
bawah standar. Hal tersebut dikarenakan tidak semua Kantor Pelayanan
Pajak yang berada di Wilayah DJP Jakarta Barat melaksanakan tindak
penagihan dengan upaya pelelangan, dan banyak kendala yang dihadapi
Jurusita Pajak saat melaksanakan penagihan dengan upaya pelelangan, salah
satunya berasal dari WP/PP yang berusaha mencegah Jurusita Pajak untuk
tidak melaksanakan pelelangan ataupun tidak ditemukannya harta WP/PP
karena WP/PP tidak memberitahukan harta kekayaannya sebagai objek sita
untuk melunasi tunggakan pajaknya.
2. Rencana Penagihan Pajak Terhadap Perkembangan Tunggakan Pajak Serta
Realisasi Penerimaan Pajak
Menurut data, sejak tahun 2004 hingga tahun 2006 realisasi penerimaan
pajak yang diperoleh Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat tidak mencapai target
yang telah ditetapkan pada awal periode. Data tersebut dapat di lihat pada tabel
4.2. Tabel ini memperlihatkan rencana dan realisasi penerimaan pajak pada
Kanwil DJP Jakarta Barat tahun anggaran 2004 sampai dengan tahun 2006
diluar penerimaan PBB dan BPHTB, sedangkan realisasi penerimaan 2007
merupakan penerimaan pajak secara umum ditambah dengan PBB dan BPHTB.
Pada tabel tarsebut mengindikasikan bahwa tahun 2004 hingga tahun 2006
realisasi penerimaan pajak oleh Kanwil DJP Jakarta Barat tidak mencapai target
perencanaan yang ditetapkan pada awal periode tersebut yaitu sebesar 10.3%
dari rencana tahun anggaran 2004, 16,4 % dari rencana tahun 2005, dan 18,3%
dari rencana tahun 2006. Hal tersebut bukan berarti bahwa kinerja Kanwil DJP
Jakarta Barat tidak maksimum, melainkan target yang ditetapkan cukup besar
dan tidak sesuai dengan periode berjalan, serta banyak faktor maupun kendala
yang dialami seperti adanya penurunan pajak di sektor perdagangan, tingkat
inflasi, besarnya tunggakan pajak yang belum dilunasi, dan hal lain yang
menyebabkan tidak tercapainya penerimaan pajak.
Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa penerimaan pajak yang sebelumnya
tidak sesuai target yang direncanakan pada periode 2004-2006, pada periode
2007 mengalami peningkatan sebesar 8.9% dari rencana penerimaan pajak
tahun anggaran 2007 dengan persentase realiasi sebesar 108.9%.
Tabel 4.2
Rencana Penagihan Pajak dan Realisasi Penerimaan Pajak Pada Kanwil DJP Jakarta Barat Tahun Anggaran 2004-2007
(dalam jutaan rupiah)
Tahun Anggaran Rencana (Jutaan Rupiah)
Realisasi (Jutaan Rupiah)
Persentasi realisasi
2004
2005
2006
2007
4.456365,81
5.785.827,63
6.627.527,89
6.508.502,79
3.996.508,83
4.856.912,28
5.416.471,61
7.093.662.28
89,7%
83.9 %
81.7%
108.9%
Sumber: diolah oleh penulis dari Laporan Realisasi Penerimaan Kanwil DJP Jakarta Barat tahun anggaran 2005-2007
Penerimaan dari Seksi Penagihan tidak dapat ditargetkan melalui
perencanaan penerimaan, karena penerimaan seksi penagihan tergantung pada
tunggakan pajak yang terjadi. Kalaupun ada target, pencapaiannya pastilah
dihitung dari jumlah tunggakan pajak yang terjadi ataupun tunggakan yang
telah terjadi tahun-tahun sebelumnya. Kebijakan penagihan Pajak untuk
tunggakan pajak adalah 50% dari jumlah tunggakan yang ada. Tabel 4.3
memperlihatkan perkembangan tunggakan pajak yang terjadi selama tahun
anggaran 2004-2007 pada Kanwil DJP Jakarta Barat. Perhitungan prestasi
pencairan tunggakan pajak caranya adalah pengurangan dibagi dengan besarnya
tunggakan awal periode.
Dari tabel 4.3 dapat diketahui bahwa prestasi atas pencairan tunggakan
pajak periode 2004 sebesar 65% (426.800.529/657.742.093) sehingga melebihi
kebijakan yang telah ditetapkan yaitu 50% dari total tunggakan yang ada.
Begitu pula pada tahun anggaran 2005 prestasi pencairan tunggakan pajak yang
dicapai sebesar 61% (447.374.190/738.296.832) melebihi kebijakan yang telah
ditetapkan yaitu 50% dari tunggakan yang ada. Sedangkan untuk tahun
anggaran 2006 dan 2007 pencairan tunggakan kurang dari kebijakan yang telah
ditetapkan yaitu 48% (444.990.188/925.264.074) untuk tahun anggaran 2006
dan 48% (383.164.562/801.283.309) dari total tunggakan yang ada pada periode
tersebut.
Tabel 4.3 Laporan Perkembangan Tunggakan Pajak
Kanwil DJP Jakarta Barat Tahun Anggaran 2004 – 2007
(dalam ribuan rupiah)
Tahun 2004
Triwulan I II III IV Total
Tunggakan awal 657.742.093 718.538.441 715.954.751 715.564.073 657.742.093
Penambahan 159.946.570 86.486.884 77.142.402 183.779.412 507.355.268
Pengurangan 99.150.222 89.070.574 81.533.080 157.046.653 426.800.529
Tunggakan akhir 718.538.441 715.954.715 711.564.073 738.296.832 738.296.832
Prestasi pengurangan (%) 15 12 11 22 65 Sumber: diolah oleh penulis dari Laporan Perkembangan Tunggakan Pajak Kanwil DJP Jakarta Barat
tahun anggaran 2004
Tahun 2005
Triwulan I II III IV Total
Tunggakan awal 738,296,832 705,723,412 817,043,802 916,806,276 738,296,832
Penambahan 96,371,580 204,800,295 232.962.330 100,207,227 634.341.432
Pengurangan 128,945,000 93,479,905 133,199,856 91,749,429 447.374.190
Tunggakan akhir 705,723,412 817,043,802 916,806,276 925,264,074 925,264,074
Prestasi pengurangan (%) 17 13 16 10 61 Sumber: diolah oleh penulis dari Laporan Perkembangan Tunggakan Pajak Kanwil DJP Jakarta Barat
tahun anggaran 2005
Tahun 2006
Triwulan I II III IV Total
Tunggakan awal 925,264,074 808,636,819 810,661,931 816,925,583 925,264,074
Penambahan 105,151,885 90,163,694 70,192,498 55,501,346 321,009,423
Pengurangan 221,779,140 88,138,582 63,928,846 71,143,620 444,990,188
Tunggakan akhir 808,636,819 810,661,931 816,925,583 801,283,309 801,283,309
Prestasi pengurangan (%) 24 11 8 9 48 Sumber: diolah oleh penulis dari Laporan Perkembangan Tunggakan Pajak Kanwil DJP Jakarta Barat tahun anggaran 2006
Tahun 2007
Triwulan I II III IV Total
Tunggakan awal 801,283,309 834,680,716 855,389,233 927,552,213 801,283,309
Penambahan 114,043,539 184,484,866 143,953,350 34,227,406 476,709,161
Pengurangan 80,646,132 163,776,349 71,790,370 66,951,711 383,164,562
Tunggakan akhir 834,680,716 855,389,233 927,552,213 894,827,908 894,827,908
Prestasi pengurangan (%) 10 20 8 7 48 Sumber: diolah oleh penulis dari Laporan Perkembangan Tunggakan Pajak Kanwil DJP Jakarta Barat tahun anggaran 2007
Selain itu untuk mendukung tercapainya rencana penerimaan Pajak,
setiap KPP yang berada di Wilayah DJP Jakarta Barat harus menetapkan umur
tunggakan pajak per tahun terbitnya Ketetapan Pajak yang menjadi dasar
tunggakan pajak dan tahun terbitnya Keputusan Keberatan dan banding yang
menambah jumlah tunggakan pajak, menentukan penilaian kualitas tunggakan
pajak, dan mengelompokan tunggakan pajak berdasarkan klasifikasi lapangan
usaha Wajib Pajak. Kategori umur tunggakan dan kualitas tunggakan dapat
dilihat pada tabel 4.4 di bawah ini.
Tabel 4.4
Kategori Umur Tunggakan dan Kriteria Kualitas Tunggakan Pajak
Kategori umur tunggakan
• ≤ 6 bulan • > 6 bulan s.d 1 tahun • > 1 tahun s.d 3 tahun • > 3 tahun s.d 5 tahun • > 10 tahun
Kriteria kualitas tunggakan
Lancar apabila WP/PP bersikap kooperatif dan membayar atau mengangsur tunggakan pajak hingga lunas atau diperkirakan lunas dalam kurun waktu satu tahun
Kurang Lancar apabila WP/PP bersikap kooperatif dan membayar atau mengangsur tunggakan pajak tetapi tidak lunas atau diperkirakan tidak lunas dalam kurun waktu satu tahun tetapi mempunyai kemampuan untuk membayar tunggakan pajaknya.
Dalam perhatian khusus apabila WP/PP bersikap kooperatif tetapi sedang melakukan upaya hukum (keberatan/banding/PK).
Diragukan apabila WP/PP bersikap kooperatif tetapi tidak memiliki aset yang cukup untuk melunasi tunggakan pajaknya, WP/PP sedang proses bubar atau pailit, dan sebab lain sehingga tunggakan pajak diragukan pencairannya/pelunasannya.
Macet
apabila WP/PP tidak ditemukan dan tunggakan pajak sudah daluarsa.
3. Kendala Yang Terjadi Dalam Proses Penagihan Pajak
Secara teoritis tindakan penagihan dapat dilaksanakan dengan tepat dan
lancar. Akan tetapi pada kenyataannya banyak masalah yang timbul dalam
proses pelaksanaan panagihan pajak baik yang berasal dari pihak ekstern seperti
dari Wajib Pajak/ Penanggung Pajak, dari peraturan perundang-undangan, dan
pihak ketiga, maupun hambatan yang bersal dari intern itu sendiri yang
kesemuanya akan berdampak pada ketepatan waktu penagihan dan realisasi
pencairan tunggakan pajak.
Berikut ini penulis akan membahas mengenai hambatan atau kendala
yang terjadi selama proses penagihan pajak secara umum pada Kantor
Pelayanan Pajak baik Madya maupun Pratama yang ada di lingkungan Wilayah
DJP Jakarta Barat. Dalam hal ini penulis memperoleh data secara langsung
dengan melakukan wawancara beberapa pegawai pada sub-sub dinas yang
berkaitan dengan masalah penelitian.
a. Hambatan yang berasal dari pihak ekstern
1) Hambatan yang berasal dari Wajib Pajak dan atau Penanggung Pajak
Dalam pelaksanaan penagihan pajak acapkali terdapat hambatan
yang berasal dari Wajib Pajak dan atau Penanggung Pajak yang dialami
oleh Seksi Penagihan pada umumnya dan Jurusita Pajak pada
khususnya. Hambatan tersebut yang pertama, WP/PP tidak memberikan
alamat yang jelas dan meng up-date data apabila terjadi perubahan
alamat, sehingga pihak fiskus tidak dapat melaksanakan penagihan
karena tidak mengetahui alamat WP/PP yang baru.
Kedua, hambatan yang terjadi dalam proses penagihan pajak
adalah sulit mengetahui harta kekayaan milik WP/PP disebabkan data
mengenai kekayaan WP/PP tidak memadai dan tidak up-date, sehingga
apabila dilakukan penyitaan Jurusita Pajak akan mengalami kesulitan
dalam menemukan harta yang dapat disita saat melaksanakan SPMP.
Selain itu, ada WP/PP yang tidak mempunyai itikad baik untuk melunasi
tunggakan pajaknya. Hal tersebut seringkali dijumpai oleh Jurusita Pajak
di lapangan, bahwa WP/PP dengan sengaja menutup-nutupi data
kekayaan yang dimiliki atau dikuasainya dan bahkan ada WP/PP yang
memberikan data yang menyesatkan tentang data kekayaannya. Dengan
data yang diberikannya tentang harta kekayaan WP/PP yang seadanya
tersebut, kebanyakan Jurusita hanya dapat menyita barang-barang
keperluan kantor seperti komputer, televisi dan lainnya yang nilainya
jauh lebih rendah dari tunggakan pajaknya.
Hambatan yang ketiga, WP/PP berusaha menghalang-halangi
Jurusita Pajak, bahkan tidak memperbolehkan menyita harta
kekayaannya dengan mengerahkan segenap karyawannya sehingga
berdampak pada tidak cairnya tunggakan pajak.
2) Hambatan yang berasal dari peraturan perundang-undangan
Hambatan yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang
acapkali dialami oleh seksi penagihan pada umumnya dan Jurusita Pajak
pada khususnya adalah kurang tersosialisasinya peraturan perundang-
undangan perpajakan itu sendiri dan belum jelasnya petunjuk
pelaksanaan di bidang perpajakan, akibatnya akan menimbulkan
masalah atau hambatan yang berasal dari Wajib Pajak karena WP tidak
paham atas peraturan yang ada. Hal tersebut disebabkan karena suatu
peraturan adakalanya tidak dimengerti secara jelas atau kurang jelas,
sehingga diperlukan suatu cara atau interpretasi (penapsiran) untuk
menerobos peraturan yang tidak atau kurang jelas tersebut.
Ketidakjelasan atau kekurang jelasan suatu peraturan bisa
disebabkan adanya kesenjangan antara peraturan yang sifatnya tertulis
dengan kesadaran hukum suatu masyarakat yang ada, atau memang
peraturan tersebut tidak dapat dimengerti atau bahkan mempunyai
pengertian yang berbeda-beda menurut bahasa yang ada. Ketidak jelasan
tersebut menuntut sosialisasi yang baik dari pihak pemerintah dan WP
itu sendiri agar tercapainya keseragaman mengenai interpretasi terhadap
peraturan tersebut dan tujuan dari peraturan tersebut dapat tercapai.
3) Hambatan yang berasal dari pihak ke tiga
Hambatan yang berasal dari pihak ketiga seperti Pihak Bank,
Kelurahan, Kepolisian, Kejaksaan, Departemen yang membidangi
Hukum Badan Pertanahan Nasional, atau pihak lain yang acapkali
dialami oleh seksi penagihan pada umumnya dan Jurusita Pajak pada
khususnya adalah kurangnya pengetahuan pihak ketiga mengenai
ketentuan perpajakan khususnya mengenai kewajiban pihak ketiga
dalam membantu bilamana Ditjen Pajak meminta bantuan dalam
pelaksanaan penagihan pajak yang dilakukan Jurusita Pajak untuk
menagih utang pajak. Contohnya: Pihak bank kadang kala tidak
memberitahukan saldo rekening nasabahnya yang melakukan
penunggakan di bidang perpajakan jika tidak ada kuasa dari Wajib Pajak
ataupun perintah Bank Indonesia, karena terkait dengan prinsip
kerahasiaan bank, contoh lain seperti pihak kelurahan kadang sulit
dimintai bantuannya sebagai saksi dalam hal penyitaan tidak dihadiri
oleh Wajib Pajak/ Penanggung Pajak.
b. Hambatan yang berasal dari pihak intern
Beberapa hambatan yang telah di paparkan diatas merupakan
sebagian dari sejumlah hambatan yang bersal dari pihak ekstern, di bawah
ini akan dipaparkan mengenai hambatan yang berasal dari pihak intern yang
kerap dialami seksi penagihan, khususnya Jurusita Pajak. Pertama,
minimnya fasilitas Jurusita Pajak terutama mengenai kendaraan dinas
sehingga menghambat pelaksanaan penagihan pajak seperti pelaksanaan
penyitaan terhadap harta kekayaan milik penanggung pajak.
Hambatan kedua, minimnya jumlah Jurusita Pajak yang ada pada
setiap Kantor Pelayanan Pajak baik Madya maupun Pratama di Wilayah
DJP Jakarta Barat yang rata-rata berjumlah tiga orang Jurusita Pajak per
KPP tidak sebanding dengan jumlah ketetapan pajak yang diterbitkan
hingga ratusan ribu lembar per Kantor Pelayanan Pajak serta banyaknya
Surat Teguran dan Surat Paksa yang harus dikirimkan oleh Jurusita kepada
WP/PP.
Hambatan yang ketiga berasal dari fiskus itu sendiri baik dari seksi
penagihan maupun seksi lainnya acapkali dialami Jurusita Pajak seperti,
fiskus jarang mengup-date data Wajib Pajak pada setiap kesempatan seperti
perubahan alamat sehingga menyulitkan Jurusita Pajak untuk melaksanakan
penyitaan karena ia harus mencari dulu alamat Wajib Pajak/Penanggung
Pajak dan kadang kala terhadadap Wajib pajak yang telah bubar atau
meninggal dunia masih saja diterbitkan STP, sehingga menyulitkan Jurusita
Pajak untuk melaksanakan tugasnya.
4. Sudut Pandang Psikologis Mengapa WP/PP Enggan Untuk Membayar
Tunggakan Pajaknya
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa pajak merupakan pilar
pembangunan bangsa, karena potensi yang dihasilkan dari penerimaan pajak
cukup signifikan, mengakibatkan berbagai upaya pemerintah khususnya
Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan serangkaian tindakan seperti yang
kita lihat saat ini yaitu melakukan reorganisasi dan mengubah sistem
administrasi perpajakan modern di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak agar
tujuan utamanya yaitu penerimaan pajaknya meningkat dari tahun ke tahun.
Walaupun dalam kenyataannya penerimaan dari sektor pajak
diupayakan meningkat, akan tetapi apabila dalam pelaksanaannya ditemui
WP/PP yang tidak mengindahkan peraturan perpajakan dengan tidak memenuhi
kewajiban perpajakannya maka pihak fiskus harus bertindak tegas terhadap
WP/PP tersebut. Karena tingkat kepatuhan antara WP/PP satu dengan WP/PP
lainnya tidaklah sama, dengan demikian diperlukan usaha yang maksimal
untuk membangkitkan dan memelihara kepatuhan Wajib Pajak dan atau
Penanggung Pajak, misalnya dengan melakukan pelayanan dan penyuluhan di
bidang perpajakan.
Pada umumnya WP/PP cenderung untuk melalaikan kewajiban
pajaknya, terutama membayar utang pajak. Sehingga hal tersebut dapat
menimbulkan tunggakan pajak yang tidak kecil dan pada akhirnya akan
mengurangi dan menghambat penerimaan negara. Selain itu, hal tersebut akan
merugikan WP/PP itu sendiri karena WP/PP akan mendapatkan sanksi, baik
sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan maupun sanksi yang
lebih berat lagi berupa sanksi pidana.
Dilihat dari sisi psikologis, ada beberapa hal yang mendorong WP/PP
tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya padahal ada peraturan yang
mengatur serta ada sanksi yang akan diterima karena tidak melaksanakan
kewajiban pajaknya tersebut, hal tersebut pertama, WP/PP merasa benar.
Alasan mengapa dia tidak membayar utang pajaknya karena WP/PP
menganggap SKP yang telah diterbitkan fiskus salah misalnya perhitungan
pajak menurut WP/PP Rp. 100 tapi menurut Fiskus Rp 150, karena WP/PP
merasa perhitungannya benar maka atas selisih tersebut, WP/PP tidak mau
untuk membayarnya.
Kedua, tidak adanya dispute atau titik temu antara pendapat WP/PP dan
fiskus, seperti pada kasus pertama mengenai pajak yang tidak seharusnya
terutang menurut WP/PP, tapi menurut fiskus ada sehingga berbagai tindakan
dilakukan WP/PP dengan melakukan Keberatan, sampai dengan pengajuan
banding dilakukan WP/PP untuk mempertahankan opininya tersebut.
Ketiga, WP yang tidak melaksanakan kewajiban pajaknya memang
dikategorikan WP nakal dalam artian WP pada kenyataannya mengerti pajak
akan tetapi WP tersebut memang mencoba bermain-main di dalamnya.
Sehingga dengan pengetahuan yang dimilikinya berupaya sedemikian rupa
untuk menghindari pajak dengan menunda pembayaran pajak dan berusaha agar
pajak yang akan ia bayarkan kecil. Salah satu alasanya, WP beranggapan bahwa
cash on hand saat ini akan lebih menguntungkan untuk memperluas bisnisnya
guna meningkatkan profit yang akan ia peroleh, dari pada untuk membayar
kewajiban perpajakannya yang dirasa tidak ada kontraprestasi atas dana yang
telah ia keluarkan untuk membayar pajak.
5. Penyitaan Monetary Asset di Bank Pada Kanwil DJP Jakarta Barat
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa Pelaksanaan tindak
penagihan pajak dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak, Kanwil DJP Jakarta
Barat hanya melakukan bimbingan, pemantauan, membantu bilamana proses
penagihan mengalami kesulitan, serta mengakumulasi laporan-laporan
mengenai kegiatan penagihan dan setiap perolehan penerimaan pelaksanaan
penagihan dari Kantor Pelayanan Pajak yang ada dilingkungan kerjanya.
Pelaksanaan penagihan aktif yang diawali dengan penerbitan Surat
Teguran, penerbitan Surat Paksa, SPMP, pelaksanan pemblokiran sampai
dengan pelaksanaan pelelangan atau pemindah bukuan ke kas negara dilakukan
di Kantor Pelayanan Pajak baik Madya maupun Pratama.
Dalam bab sebelumnya telah di paparkan mengenai definisi dari
penyitaan monetary aset di bank, bahwa penyitaan monetary asset di bank
adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang milik WP/PP yang
secara khusus terdapat di bank, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang
pajak menurut peraturan perundang-undangan perpajakan. Proses penyitaan
terhadap harta kekayaan WP/PP yang tersimpan pada bank tersebut
dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu. Tindakan pemblokiran
tersebut dilakukan untuk mengamankan harta kekayaan milik Penanggung
Pajak yang tersimpan pada bank dengan tujuan agar terhadap harta kekayaan
tersebut tidak terdapat perubahan apapun selain penambahan jumlah ataupun
nilai.
Dalam pelaksanaan penyitaan aset moneter yang tersimpan di bank
dilaksanakan melalui beberapa tahapan. Pada bagian ini pembahasan akan
dilakukan dalam tiga bagian. Hal ini untuk memudahkan dalam memahami
pelaksanaan penyitaan monetary asset di bank yang telah dilaksanakan oleh
KPP yang berada di wilayah DJP Jakarta Barat.
a. Prosedur Sebelum Penyitaan Monetary Aset di Bank
Sama seperti prosedur sebelum dilakukannya tindakan penagihan
yang diupayakan dengan pelaksanaan lelang, pelaksanan penyitaan
monetary asset di bank juga diawali dengan penerbitan Surat Teguran yang
diterbitkan tujuh hari setelah jatuh tempo pembayaran. Dalam hal WP/PP
tidak melunasi utang pajaknya setelah batas waktu 21 hari dari penyampaian
Surat Teguran tersebut, maka tindakan penagihan selanjutnya yaitu dengan
menerbitkan Surat Paksa yang memiliki kekuatan hukum yang tetap sesuai
dengan UU No. 19 tahun 2000 tentang Surat Paksa. Sebelum melakukan
tindakan penyitaan maka Jurusita Pajak harus memilah dahulu WP/PP yang
akan dilakukan penyitaan yaitu WP/PP yang belum melunasi tunggakan
pajaknya setelah disampaikannya Surat Paksa.
Pada awal setiap bulan sebelum dilakukan penyitaan Seksi
Penagihan membuat laporan daftar WP/PP yang akan dilakukan tindakan
penyitaan pada bulan yang bersangkutan dan laporan pelaksanaan penyitaan
yang telah dilaksanakan bulan sebelumnya. Hal ini digunakan sebagai alat
kontrol bagi Kantor Wilayah khususnya Kanwil DJP Jakarta Barat atas
pelaksanaan penyitaan. Pada penyusunan daftar WP/PP yang akan
dilakukan penyitaan, Jurusita Pajak harus sudah mempersiapkan apakah
akan dilakukan penyitaan biasa atau penyitaan monetary asset di bank. Jika
akan dilakukan penyitaan biasa maka aset yang akan disita akan dipastikan
pada saat penyitaan yaitu dalam Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan
(SPMP) karena objek sita akan dituangkan dalam Berita Acara Sita.
Sedangkan jika akan dilakukan penyitaan aset moneter yang secara khusus
tersimpan pada bank maka Jurusita Pajak melalui kepala Kantor Pelayanan
Pajak membuat permohonan pemblokiran yang ditujukan kepada Pimpinan
Bank atau Pejabat Bank yang ditunjuk untuk melaksanakan pemblokiran
atas harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank tersebut.
b. Pemblokiran Rekening Bank
Pemblokiran adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh Jurusita
Pajak untuk melakukan penyitaan terhadap kekayaan WP/PP yang
tersimpan di bank berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening
koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Intinya
segala bentuk harta milik WP/PP yang tersimpan di bank dapat diblokir
apabila WP/PP tidak melunasi utang pajaknya setelah disampaikannya Surat
Paksa.
Rekening tutup, WP pindah, batal, selesai, dan belum selesai adalah
hasil dari tindak lanjut pemblokiran. Rekening tutup adalah jawaban bank
atas permintaan pemblokiran bahwa rekening WP/PP di bank yang
bersangkutan telah ditutup sehingga pelaksanaan penyitaan harta kekayaan
yang tersimpan di bank tidak dapat dilanjutkan. WP pindah adalah WP yang
berada di KPP satu yang dipindah ke KPP yang lain ketika pelaksanaan
pemblokiran sedang diproses. Batal adalah pemblokiran yang tidak jadi
dilaksanakan karena WP/PP telah melunasi utang pajaknya sebelum
pemblokiran dilaksanakan, namun SPMP telah diterbitkan dan pemblokiran
telah diusulkan. Selesai adalah pemblokiran yang telah menghasilkan
pelunasan tunggakan pajak sedangkan belum selesai menunjukan proses
pemblokiran yang masih belum selesai karena WP/PP hanya membayar
setengah dari besarnya tunggakan pajaknya, sehingga proses pemblokiran
masih dilaksanakan.
1) Keistimewaan Pemblokiran
Keistimewaan tindakan pemblokiran dibandingkan dengan
pelaksanaan lelang ataupun cara lain selain lelang. Pertama, bilamana
WP/PP tidak juga membayar hutang pajaknya sampai dengan waktu
yang telah ditetapkan maka dana yang ada di rekening WP/PP di bank
yang telah disita setelah diblokir terlebih dahulu langsung dapat
dipindahbukukan ke Kas Negara sebesar tunggakannya. Sedangkan
eksekusi lelang tidak jarang diakhiri dengan kalimat “tidak ada peminat”
atau barang terjual tidak menutupi besarnya tunggakan pajaknya.
Kedua, proses pemblokiran dan penyitaan monetary asset di
bank tidak memerlukan dana yang besar. Pemblokiran hanya
memerlukan biaya penyampaian Surat Paksa dan biaya penyitaan
rekening saja. Berbeda dengan pelaksanaan lelang. Satu kali
pengumuman lelang di koran biasanya mengeluarkan biaya kurang lebih
Rp.3.000.000,00. Belum lagi biaya pendaftaran barang sitaan, biaya
penyimpanan dan pemeliharaan barang sitaan, dan biaya lainnya.
Ketiga, WP/PP terjaga nama baiknya karena yang mengetahui
hal tersebut hanya fiskus, WP/PP tersebut, dan Pihak Bank yang
bersangkutan saja. Bagi perusahaan besar yang go-publik tindakan
pemblokiran merupakan alternatif tindakan yang paling baik karena
nama baik perusahaan akan terjaga, apalagi bagi perusahan yang
memang benar-benar tidak mau nama atau citra perusahaannya rusak
karena tersiar kabar bahwa perusahaan tersebut telah menunggak pajak
dan akan disita dan dilelang. Karena pada perusahaan go-publik, sedikit
saja kabar negatif yang tersiar maka akan menurunkan harga julnya di
bursa efek.
Keempat, tidak memerlukan pengawasan khusus atas barang
yang telah disita, karena pihak bank yang bersangkutan dengan
sendirinya akan menjaga objek sita tersebut. Sedangkan penyitaan
barang lainnya jika tidak dititipkan pada WP/PP-nya itu sendiri berarti
harus dititipkan di suatu tempat yang aman yang kadang kala
memerlukan biaya penitipan barang. Barang seperti mobil, kendaraan
bermotor, dan barang lainnya memerlukan pengawasan yang ekstra
dalam penyimpanannya. Lain halnya dengan penyitaan perhiasan, surat
berharga, uang tunai, biasanya memerlukan deposit box yang disewa
pada suatu bank. Dan pastinya kesemua hal tersebut memerlukan biaya
yang tidak sedikit.
2) Kendala Pemblokiran
Pelaksanaan pemblokiran selain memiliki keistimewaan dalam
pelaksanaanya, ternyata memiliki kendala yang akan dihadapi oleh Seksi
Penagihan dalam setiap KPP. Kendala tersebut pertama, adakalanya
Pihak bank yang bersangkutan merasa tidak nyaman dengan dibukanya
kerahasiaan bank dalam rangka penyitaan rekening bank WP/PP.
Alasannya sederhana, karena dengan terbukanya kerahasian bank maka
tingkat kepercayaan nasabah terhadap bank akan menurun, sehingga
tidak mustahil apabila nasabah tersebut beralih ke bank lain.
Kedua, umumnya perusahaan tidak terlalu besar dalam
mengalokasikan dananya ke aktiva lancar. Karena jika alokasi tersebut
terlalu besar artinya perusahaan belum memanfaatkan hartanya yang
paling efisien. Yang dimaksud dengan aktiva lancar adalah uang kas dan
aktiva lainnya yang diharapkan akan direalisasikan menjadi uang kas
atau dijual atau dikonsumsi selama siklus perusahaan yang normal atau
dalam kurun waktu satu tahun. Jika pemblokiran dan penyitaan
monetary asset di bank dilaksanakan seperti penyitaan giro dan
tabungan, hal tersebut akan berdampak pada terhambatnya lalulintas
transaksi perusahaan. Maka dari itu biasanya WP/PP maupun
perusahaan hanya sedikit mengalokasikan dananya di bank.
c. Penyitaan Monetary Asset Di Bank dan Hasil Penyitaan Monetary Asset Di
Bank
Pelaksanaan penyitaan monetary asset di bank dilaksanakan dengan
melakukan pemblokiran terlebih dahulu. Prosedurnya, Kepala Kantor
Pelayanan Pajak dalam hal ini KPP yang berada di wilayah DJP Jakarta
Barat mengajukan permohonan kepada pihak bank tempat WP/PP
menyimpan kekayaannya berupa deposito berjangka, tabungan, saldo
rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Surat Permohonan Pemblokiran tersebut dikirimkan ke bank dengan
dilampiri SPMP dan Surat Paksa. Selanjutnya pihak bank dan Pimpinan
Bank atau Pejabat Bank tersebut membuat Berita Acara Pemblokiran serta
menyampaikan salinannya kepada Penanggung Pajak dan Kepala Kantor
Pelayanan Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan
dalam Peraturan Dirjen Pajak. Jurusita Pajak memerintahkan kepada WP/PP
untuk memberikan kuasa kepada bank yang bersangkutan untuk
memberikan kuasa ke bank guna memberitahukan rekening WP/PP tersebut.
Apabila WP/PP bersedia membuat kuasa ke bank untuk memberitahukan
rekeningnya, maka tindak lanjut dari pihak bank yakni memberitahu saldo
rekening milik WP/PP tersebut kepada Jurusita Pajak. Setelah saldo
kekayaan yang tersimpan diketahui Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan
terhadap aset tersebut dan membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan
menyampaikan salinannya kepada WP/PP dan bank yang bersangkutan.
Apabila WP/PP yang bersangkutan tetap tidak melunasi utang pajak dan
biaya penagihannya dalam jangka waktu 14 hari sejak penyitaan maka
pejabat dalam hal ini Jurusita Pajak meminta kepada pimpinan bank untuk
memindah bukukan harta kekayaan yang tersimpan pada bank tersebut ke
kas negara sejumlah yang tercantum dalam BAPS, yang tembusannya
disampaikan kepada WP/PP tersebut, permintaan tersebut dilampiri dengan
Surat Setoran Pajak (SSP) yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak. Untuk
lebih jelasnya mengenai alur proses penyitaan monetary asset di bank dapat
dilihat pada gambar 4.2.
Pelaksanaan Penyitaan monetary asset di bank dalam upaya
pencairan tunggakan pajak yang telah dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan
Pajak yang berada di wilayah DJP Jakarta Barat selama tahun anggaran
2004 sampai dengan 2007 tidak memberikan hasil yang signifikan apalagi
pelaksanaan penyitaan monetary asset di bank selama tahun anggaran 2004
hingga 2006, hal tersebut dikarenakan untuk melaksanakan penyitaan
monetary asset di bank, syarat utama yang harus dipenuhi sebelum
dikeluarkannya Surat Edaran No. SE-05 /PJ.04/2007 tentang Pengantar
Peraturan DJP No. Per-109/PJ/2007 tentang Perubahan atas Keputusan DJP
No. Kep-627/PJ/2001 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran dan
Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan Pada Bank
dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, adalah Jurusita Pajak
harus mengetahui nomor rekening WP/PP terlebih dahulu baru pihak bank
mau melakukan proses pemblokiran atas rekening WP tersebut. Untuk
mengetahui nomor rekening WP/PP tidaklah mudah karena adakalanya data
rekening WP/PP yang diperoleh dari pemeriksaan pajak tidak dikirimkan
oleh pemeriksa. Oleh karena itu Jurusita Pajak harus melakukan upaya
pencarian dari sumber lain. Usaha ini memerlukan keluwesan dan hubungan
relasi yang baik dari Jurusita pajak. Pada intinya jika Jurusita Pajak
memutuskan untuk melaksanakan penyitaan monetary asset di bank, maka
bagaimanapun caranya ia harus memperoleh rekening WP/PP terlebih
dahulu dan ini merupakan tindakan awal yang paling krusial agar penyitaan
monetary asset di bank dapat dilaksanakan. Tapi setelah dikeluarkannya
Surat Edaran sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas, yang
dikeluarkan tanggal 6 Agustus 2007 syarat utama tersebut, telah ditiadakan,
jadi walaupun Jurusita Pajak tidak mengetahui nomor rekening WP/PP
yang akan dilakukan penyitaan monetary asset di bank, bank wajib
memblokir berdasarkan permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.
Penyitaan monetary asset di bank yang dilaksanakan oleh KPP yang
berada di wilayah DJP Jakarta Barat tahun anggaran 2004 untuk tunggakan
pajak sebesar Rp. 6.851.248.000 ternyata tidak memberikan hasil
sedikitpun, hal tersebut dikarenakan pihak bank menolak untuk memblokir
rekening WP/PP dan menolak untuk memberitahukan rekening nasabahnya
kepada pihak KPP, karena terkait dengan prinsip kerahasiaan bank dan bank
tersebut baru mau melaksanakan pemblokiran apabila Jurusita Pajak telah
mengetahui nomor rekening WP. Untuk tahun 2005, 2006, dan 2007 hal
yang samapun terjadi yakni sumbangan dari pelaksanaan penyitaan
monetary asset di bank oleh KPP yang berada di wilayah DJP Jakarta Barat
tidak memberikan sumbangsih yang besar dalam pencairan tunggakan pajak
Kanwil DJP Jakarta Barat yaitu sebesar Rp.545.737.000 untuk tahun 2005,
Rp. 91.330.000 untuk tahun anggaran 2006, dan sebesar Rp. 5.205.825.000
pencairan tunggakan pajak yang diperoleh dari hasil penyitaan monetary
asset di bank untuk tahun anggaran 2007.
Permintaan Pemblokiran ke bank (dilampiri SP dan SPMP)
Berita Acara pemblokiran (salinan disampaikan kepada WP/PP)
Jurusita Pajak memerintahkanWP/PP memberikan kuasa ke bank untuk memberitahukan saldo rekeningnya
WP/PP bersedia memberikan kuasa ke bank.
WP/PP tidak bersedia memberikan kuasa ke bank
Bank memberi tahu saldo rekening WP/PP kepada Jurusita Pajak
Penyitaan dan pembuatan BAPS dengan objek sita saldo rekening WP/PP tersebut
Pemindahbukuan saldo kekayaan yang tersimpan di bank yang bersangkutan ke Kas negara
Saldo mencukupi pemblokiran dicabut
Surat KPP ke Gubernur BI melalui Menteri Keuangan dan DJP
Gubernur Bank Indonesia memerintahkan bank yang
bersangkutan untuk memberitahukan saldo rekening WP/PP
Saldo tidak mencukupi pemblokiran tidak dicabut
Gambar 4.2
Alur Penyitaan Monetary Asset di Bank
6. Hasil Analisis dan Pengujian Hipotesis
Penelitian ini mengunakan data sekunder berupa laporan pelaksanaan
penagihan pajak dengan Surat Teguran (X1 ), Surat Paksa (X 2 ), dan penyitan
monetary asset di bank (X 3 ), serta laporan pencairan tunggakan pajak (Y)
tahun anggaran 2004 hingga tahun anggaran 2007. Laporan tersebut merupakan
laporan penagihan yang di dapat dari Bidang P4 Seksi Penagihan pada Kanwil
DJP Jakarta Barat. Adapun data yang akan dianalisis tersebut dapat dilihat pda
tabel 4.5 di bawah ini.
Tabel 4.5
Data Penelitian (dalam ribuan rupiah)
No. Tahun Triwulan Surat Teguran Surat Paksa Penyitaan Monetary
Asset di Bank Pencairan Tunggakan Pajak
1 2004 1 114.266.852 83.385.042 6.100.368 99.150.222
2 2 151.753.703 95.564.986 6.100.368 89.070.574
3 3 172.935.700 160.855.464 750.880 81.533.080
4 4 167.432.088 82.415.290 750.880 157.046.653
5 2005 1 96.415.590 77.879.901 750.880 128.945.000
6 2 94.713.423 112.783.793 800.383 93.479.905
7 3 144.997.603 77.891.417 800.383 133.199.856
8 4 122.802.166 124.824.396 800.383 91.749.429
9 2006 1 70.444.635 73.395.085 1.409.192 221.779.140
10 2 95.047.944 101.956.114 2.754.792 88.138.582
11 3 85.688.925 76.158.817 4.047.725 63.928.846
12 4 93.467.000 80.643.541 56.130.654 71.143.620
13 2007 1 89.378.018 78.679.106 21.780.834 80.646.132
14 2 124.352.738 55.811.731 35.982.798 163.776.349
15 3 135.854.463 67.378.928 53.016.121 71.790.370
16 4 143.350.463 74.782.128 112.389.783 66.951.711
a. Uji Asumsi Klasik
1) Hasil Uji Normalitas Data
Uji Normalitas data dalam penelitian ini menggunakan
Normality Probability Plot yang bertujuan untuk menguji apakah data
dalam penelitian ini terdistribusi dengan normal atau tidak. Dari gambar
4.5 dapat diketahui bahwa titik-titik data berada di sekitar garis diagonal.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa data dalam penelitian ini
telah terdistribusi secara normal.
Gambar 4.3
Hasil Uji Normalitas Data
2) Hasil Uji Multikolonieritas
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Observed Cum Prob
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Expe
cted
Cum
Pro
b
Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual
Uji multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah pada
model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independen
(variabel bebas). Karena model regresi yang baik seharusnya tidak
terdapat problem multikolonieritas atau dengan kata lain tidak terjadi
korelasi antara variabel independen. Untuk mendeteksi ada atau
tidaknya problem multikolinearitas dalam model regresi penelitian ini
dapat dilihat dari nilai tolerance dan VIF (Variance Inflation Factor).
Tabel 4.6
Hasil Uji Multikolonieritas
Coefficients(a)
Model Collinearity Statistics
Tolerance VIF 1 (Constant) Surat Teguran .832 1.202 Surat Paksa .721 1.387 Penyitaan Monetary Aset di Bank .791 1.264
a Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak
Dari hasil output SPSS pada tabel 4.6 dapat diketahui hasil
perhitungan nilai tolerance untuk Surat Teguran sebesar 0.832, Surat
Paksa sebesar 0.721, dan penyitaan monetary asset di bank sebesar
0.791. Dari hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa model
regresi tersebut terbebas dari problem multikolonieritas, karena nilai
tolerance tidak kurang dari 0.10 yang berarti tidak ada korelasi antar
variabel independen.
Sedangkan hasil perhitungan nilai VIF juga menunjukan hal
yang sama yaitu nilai VIF tidak lebih dari 10. Dimana nilai VIF untuk
Surat Teguran sebesar 1.202, Surat Paksa sebesar 1.387, dan penyitaan
monetary asset di bank sebesar 1.264. Dari hasil analisis tersebut dapat
disimpulkan pula bahwa model regresi dalam penelitian ini terbebas dari
problem multikolonieritas.
3) Hasil Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah
model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada
periode t dengan kesalahan pada periode sebelumnya (t-1). Jika terjadi
korelasi, maka dikatakan ada problem autokorelasi. Untuk mendeteksi
ada atau tidaknya autokorelasi dalam regresi pada penelitian ini maka
digunakan Uji Durbin-Watson (DW- test).
Tabel 4.7
Hasil uji Autokorelasi
Model Summary(b)
Model Durbin-Watson 1 2.127(a)
a Predictors: (Constant), Penyitaan Monetary Aset di Bank,Surat Teguran, Surat Paksa b Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak
Dari hasil output SPSS tabel 4.7 dapat diketahui bahwa hasil uji
autokorelasi pada model regresi ini menunjukan angka Durbin-Watson
sebesar 2.127. Nilai ini akan dibandingkan dengan nilai tabel dengan
mengunakan nilai tabel yang menggunakan tingkat signifikansi 5%,
jumlah sampel dalam penelitian ini yaitu 16 (n) dan jumlah variabel
independen yaitu 3 (k=3). Dari analisis tersebut maka pada tabel Durbin-
Watson akan didapatkan nilai dl sebesar 0.875 dan nilai du sebesar
1.728.
= du < d < 4 – du
= 1.728 < 2.127 < 4 – 1.728
= 1.728 < 2.127 < 2.272
Oleh karena nilai DW 2.127 lebih besar dari batas atas (du) dan
kurang dari (4 – du) yaitu 4 – 1.728 = 2.272, maka dapat disimpulkan
bahwa model regresi ini tidak ada autokorelasi positif atau negatif, atau
dengan kata lain model regresi dalam pelitian ini terbebas dari problem
autokorelasi.
4) Hasil Uji Heteroskedastisitas
Gambar 4.4, merupakan grafik hasil uji heteroskedastisitas. Dari
grafik Scatterplot tersebut terlihat bahwa titik-titik data menyebar secara
acak dan tidak membentuk suatu pola, baik di atas maupun di bawah
angka 0 pada sumbu Y. Berdasarkan hasil pengujian dapat disimpulkan
bahwa model regresi dalam penelitian ini tidak mengalami problem
heteroskedastisitas, sehingga model regresi layak dipakai untuk
memprediksi variabel dependen yakni pencairan tunggakan pajak
berdasarkan masukan variabel independen yaitu Surat Teguran, Surat
Paksa, dan
penyitaan
monetary asset
di bank.
-2 -1 0 1
Regression Standardized Predicted Value
-2
-1
0
1
2
3
Regr
essi
on S
tude
ntiz
ed
Resi
dual
Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak
Scatterplot
Gambar 4.4
Hasil Uji Heteroskedastisitas
b. Hasil Uji Hipotesis
1) Hasil Uji R 2 (Koefisien Determinasi)
Uji koefisien determinasi (R 2 ) digunakan untuk menentukan
seberapa besar variabel independen dapat menjelaskan variabel
dependennya. Nilai koefisien determinasi adalah antara nol dan satu.
Pada penelitian ini, R-Square yang digunakan adalah R-Square yang
sudah disesuaikan atau tertulis Adjusted R-Square, karena disesuaikan
dengan jumlah variabel independen yang digunakan dalam penelitian
ini.
Tabel 4.8
Model Summary b
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate 1 .589 a .347 .184 39400998.508
a Predictors: (Constant), Penyitaan Monetary Aset di Bank, Surat Teguran, Surat Paksa b Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak
Hasil output SPSS pada tabel 4.8 menunjukkan bahwa nilai
Adjusted R-Square sebesar 0.184 atau 18,4 %. Hal ini menunjukkan
pengertian bahwa variabel dependen dalam penelitian ini yaitu
Pencairan Tunggakan Pajak dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel
independen dalam penelitian ini yaitu, Surat Teguran, Surat Paksa, dan
penyitaan monetary asset di bank sebesar 18,4%. Sedangkan sisanya
(100% – 18.4% = 81,6%) dipengaruhi atau dijelaskan oleh faktor lain.
Faktor lain yang mempengaruhi pencairan tunggakan pajak adalah
pelaksanaan penagihan selain penagihan dengan Surat Teguran, Surat
Paksa dan penyitaan monetary asset di bank seperti penyitaan yang
diakhiri dengan upaya pelelangan, penagihan seketika sekaligus,
penyanderaan, dan operasi sisir yang dilakukan oleh petugas PBB.
Tindakan penagihan dengan pelelangan merupakan langkah
penagihan aktif setelah dilaksanakan penyitaan. Tindakan lelang ini
dilaksanakan dengan maksud menjual barang yang telah di sita oleh
Jurusita Pajak guna melunasi utang pajak WP/PP ditambah dengan biaya
penagihannya. Adakalanya lelang memiliki tingkat pencairan tunggakan
pajak yang besar dan adakalanya tidak. Hal tersebut tergantung pada
objek lelang tersebut. Apabila hasil dari pelelangan tersebut tidak
menutupi besarnya tunggakan pajak, maka atas tunggakan yang masih
tersisa tersebut tetap masih ditagih.
Penagihan seketika sekaligus merupakan salah satu tindakan
penagihan yang dilakukan oleh Jurusita Pajak karena suatu peristiwa
atau keadaan dalam rangka pengamanan penerimaan dari sektor pajak.
Seperti terdapat tanda-tanda WP/PP akan membubarkan perusahaannya
atau secara nyata mengecilkan kegiatan perusahaannya padahal WP/PP
tersebut masih memiliki tunggakan pajak, atas peristiwa itulah
pelaksanaan tindakan penagihan seketika sekaligus dilaksanakan guna
mengurangi tunggakan pajaknya.
Apabila tindakan penagihan yang dilaksanakan ada
kemungkinan WP/PP sengaja menyembunyikan harta kekayaannya,
yang akan menyebabkan Jurusita Pajak tidak dapat melaksanakan
penyitaan terhadap objek sita milik WP/PP yang menunggak pajak
tersebut, oleh karena itu jalan lain yang dilakukan Jurusita Pajak untuk
mendapatkan pencairan tunggakan pajaknya yaitu dengan melakukan
penyitaan badan atau lebih dikenal dengan ”penyanderaan”. Lagi pula,
penyanderaan merupakan tindakan yang nantinya akan membuat WP/PP
merasa takut karena citra dan nama baiknya akan rusak, sehingga atas
upaya penyanderaan tersebut akan berhasil untuk mencairkan tunggakan
pajaknya, karena WP/PP itu sendiri akan melunasi utang pajaknya.
Selain itu, operasi sisir yang dilakukan oleh petugas PBB yang
dilakukan dengan mengingatkan dan menjemput pembayaran PBB di
lapangan atau ke rumah-rumah, juga akan menghasilkan pencairan
tunggakan pajak. Karena adakalanya WP/PP menyepelekan pembayaran
pajaknya dan seperti yang kita ketahui bersama bahwa tingkat kepatuhan
antara WP satu dengan WP lainya tidaklah sama. Oleh karena itu, untuk
Pajak Bumi dan Bangunan operasi sisir ini sangat efektif guna
menambah pencairan tunggakan pajak yang ada di wilayah DJP Jakarta
Barat.
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan penagihan
selain dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset
di bank yang telah penulis jelaskan sebelumnya merupakan faktor-faktor
lain yang dapat menjelaskan lebih banyak terhadap pencairan tunggakan
pajak.
2) Hasil Uji Statistik F
Hasil uji statistik F digunakan untuk mengetahui apakah
variabel-variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi
variabel dependen. Maka dalam penelitian ini digunakan tingkat
signifikansi sebesar 0.05.
Dari hasil output SPSS ANOVA b pada tabel 4.9 dapat diketahui
bahwa hsil dari uji F hitung untuk Surat Teguran, Surat Paksa, dan
penyitaan monetary asset di bank sebesar 2.129. Dari output SPSS
tersebut dimana F hitung sebesar 2.129 dan F tabelnya sebesar 3.49
(didapat dari table critical values for the F distribution (α =0.05),
dengan nilai d =12 dan nilai n = 3). Karena F hitung lebih kecil dari F
tabel (Fhitung<Ftabel = 2.13<3.49), dapat disimpulkan bahwa variabel
independen dalam penelitian ini yaitu Surat Teguran, Surat Paksa, dan
penyitaan monetary asset di bank secara bersama-sama tidak
berpengaruh terhadap variabel dependen dalam penelitian ini yaitu
pencairan tunggakan pajak.
Tabel 4.9
ANOVA b
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression 9917066059636150.000 3 3305688686545384.000 2.129 .150(a) Residual 18629264201035420.000 12 1552438683419619.000 Total 28546330260671580.000 15
a Predictors: (Constant), Penyitaan Monetary Aset di Bank, Surat Teguran, Surat Paksa b Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak
Nilai output SPSS pada tabel 4.9 ANOVA b juga menyatakan
bahwa nilai signifikansi untuk Surat Teguran, Surat Paksa, dan
penyitaan monetary asset di bank sebesar 0.150 yang menunjukkan
probabilitas lebih besar dari 0.05. Hal ini memberi pengertian bahwa
variabel independen dalam penelitian ini secara bersama-sama tidak
berpengaruh terhadap variabel dependennya.
Berdasarkan pengamatan peneliti tidak terdapatnya pengaruh
yang signifikan dari Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan
monetary asset di bank, dikarenakan oleh rendahnya tingkat pelunasan
dari WP/PP yang menunggak pajak tersebut, faktor utamanya WP/PP
tidak melunasi utang pajaknya dikarenakan WP/PP sedang mengalami
kerugian, kesulitan likuiditas, berpenghasilan rendah, sehingga
kewajiban pajaknya sulit untuk dipenuhi. Selain itu kendala-kendala
yang dialami oleh Jurusita Pajak selama poses penagihan yang telah
penulis jelaskan sebelumnya yaitu kesulitan dalam mencari data alamat
WP/PP yang menunggak pajak tersebut karena tidak mengup-date
datanya, dan setelah ditemukan terdapat usaha penghindaran dan
pencegahan dari WP/PP itu sendiri, sehingga peristiwa tersebut
menghambat proses penagihan pajak dan berdampak pada tidak
terealisasinya pencairan tunggakan pajak.
3) Hasil Uji t- Statistik
Berdasarkan hasil output SPSS, uji t hitung yang dinyatakan
dalam tabel 4.10 untuk Surat Teguran sebesar 0.521 sedangkan t
tabelnya 2.145 (didapat dari tabel t two tail dengan signifikansi 5%,
dengan df (derajat kebebasan) = jumlah data – 2 atau 16 – 2 = 14,
sehingga di dapat nilai t tabel sebesar 2.145). Hal ini berarti t hitung
lebih kecil dari t tabel. Jika statistik t hitung < t tabel maka Ho diterima
dan Ha ditolak, dengan pengertian Surat Teguran tidak berpengaruh
signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak. Begitupula untuk Surat
Paksa dan penyitaan monetary asset di bank di mana t hitung lebih kecil
dari t tabelnya, yaitu – 2.047 < 2.145 untuk Surat Paksa, dan –2.166 <
2.145 untuk penyitaan monetary asset di bank. Sehingga dalam
penelitian ini menerima Ho dan menolak Ha, yang dapat ditarik
kesimpulan bahwa secara parsial atau individual Surat Teguran, Surat
Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank tidak berpengaruh terhadap
pencairan tunggakan pajak.
Berdasarkan hasil output SPSS pada tabel 4.10, dapat diperoleh
persamaan regresi yaitu:
∧
Y = α + 332211 xbxbxb ++ + e
∧
Y = 184279833.852 + 0,186x1 – 0,954x 2 – 0,792x 3
Nilai konstanta alpha (α ) sebesar 184279833.852 menyatakan
bahwa, jika proses penagihan dengan Surat Teguran, Surat Paksa dan
penyitaan monetary asset di bank dianggap konstan maka pencairan
tunggakan pajak adalah sebesar Rp. 184.279.833.852,-
Tabel 4.10 Coefficients a
Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta 1 (Constant) 184279833.852 48732360.775 3.781 .003 Surat Teguran .186 .357 .133 .521 .612 Surat Paksa -.954 .466 -.562 -2.047 .063
Penyitaan Monetary Aset di Bank -.792 .366 -.568 -2.166 .051
a Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak Sumber: Dioleh penulis dengan SPSS 12 (dalam ribuan rupiah)
Dari persamaan regresi hasil tabel 4.10 nilai 0,186x1 merupakan
koefisien regresi yang menunjukan bahwa setiap adanya penambahan
pada Surat Teguran sebesar Rp 1.000,- maka akan meningkatkan
pencairan tunggakan pajak sebesar Rp 186,-. (karena tanda + merupakan
arah yang positif)
Dari persamaan regresi tersebut nilai – 0,954x 2 merupakan
koefisien regresi yang menunjukan bahwa setiap adanya penambahan
pada Surat Paksa sebesar Rp 1.000,- maka Surat Paksa akan
megakibatkan penurunan terhadap pencairan tunggakan pajak sebesar
Rp 954,-. Hal tersebut dikarenakan tanda – (minus) yang menyatakan
arah hubungan yang negatif. Begitupun dengan nilai – 0,792x 3
merupakan koefisien regresi untuk penyitaan monetary asset di bank
menunjukan bahwa setiap adanya penambahan penyitaan monetary asset
di bank sebesar Rp 1.000,- akan mengurangi tingkat pencairan
tunggakan pajak sebesar Rp. 792.
Secara teori setiap pelaksanaan penagihan pajak baik dengan
Surat Teguran, Surat Paksa maupun penyitaan monetary asset di bank
memiliki arah hubungan positif terhadap pencairan tunggakan pajak,
dengan artian setiap dilaksanakan penagihan baik dengan Surat Teguran,
Surat Paksa maupun penyitaan monetary asset di bank akan berdampak
pada peningkatan tingkat pencairan atau pelunasan tunggakan pajak.
Namun, dalam kenyataannya pelaksanaan penagihan pajak adakalanya
memiliki hubungan yang negatif. Berdasarkan wawancara dengan
pegawai pada Seksi Penagihan, ada beberapa penyebab yang
menyebabkan pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Paksa dan
penyitaan monetary asset di bank memiliki arah hubungan yang negatif
dengan tingkat pencairan tunggakan pajak. Dalam pengertian ketika
pelaksanaan penagihan dengan Surat Paksa dan penyitaan monetary
asset di bank dilakukan, maka pencairan tunggakan pajak bukannya
bertambah melainkan menurun. Salah satu penyebabnya, WP/PP sedang
mengajukan keberatan hingga proses pengajuan banding ke Pengadilan
Pajak karena WP/PP merasa SKP (Surat Ketetapan Pajak) yang telah
diterbitkan salah. Sehingga, walaupun ia telah menerima Surat Paksa
maupun telah dilaksanakan penyitaan atas harta kekayaannya yang
tersimpan di bank, WP/PP tersebut tidak melakukan pembayaran atas
tunggakan yang telah dicantumkan pada surat keputusan tersebut, karena
WP/PP merasa yakin bahwa SKP yang telah diterbitkan salah. Dalam
artian, WP/PP merasa tidak memiliki tunggakan pajak yang begitu besar
tetapi menurut fiskus sebaliknya. Oleh karena itu, WP/PP mengajukan
proses keberatan hingga pengajuan banding dan adakalanya WP/PP
tersebut menang, sehingga berdampak pada penurunan tinggkat
pencairan tunggakan pajak.
Selain itu tabel 4.10 menunjukan bahwa Surat Teguran, Surat
Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank memiliki nilai signifikansi
lebih besar dari 0,05 yaitu 0,612 untuk Surat Teguran, 0,063 untuk
Surat Paksa, dan 0,051 untuk pencairan tunggakan pajak. Dengan
demikian Ho diterima dan Ha ditolak, ini berarti bahwa pelaksanaan
penagihan dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary
asset di bank tidak berpengaruh terhadap pencairan tunggakan pajak.
Seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya tidak
terdapatnya pengaruh yang signifikan dari Surat Teguran, Surat Paksa,
dan penyitaan monetary asset di bank disebabkan minimnya tingkat
pelunasan tunggakan oleh WP/PP yang melakukan penunggakan pajak.
Pada intinya, proses pelaksanaan penagihan aktif merupakan
serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Jurusita Pajak dengan
menegur atau memperingatkan, menerbitkan Surat Paksa, menerbitkan
SPMP, hingga proses pelaksanaan lelang, yang kesemuanya itu
diharapkan akan berpengaruh terhadap pencairan tunggakan pajak.
Berdasarkan pengamatan, tidak terdapatnya pengaruh yang signifikan
dari Surat Teguran karena masih minimnya pelunasan tunggakan pajak
akibat WP/PP mengalami kerugian, kesulitan likuiditas, maupun WP/PP
sedang mengajukan keberatan. Selain itu, berdasarkan pengamatan
peneliti WP/PP tidak melunasi utang pajaknya padahal telah diterbitkan
Surat Teguran karena, WP/PP tidak mengindahkan peraturan tersebut.
Dalam artian, WP/PP tersebut merupakan WP/PP nakal yang sengaja
tidak melunasi tunggakan pajaknya, karena WP/PP beranggapan bahwa
cash on hand menurutnya lebih baik digunakan terlebih dahulu untuk
memperluas bisnisnya dibandingkan cash on hand digunakan untuk
melunasi utang pajaknya.
Sedangkan tidak berpengaruhnya Surat Paksa dan penyitaan
monetary asset di bank berdasarkan hasil pengamatan bahwa memang
ada sebagian WP/PP yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas
sehingga ia tidak mampu untuk melunasi tunggakan pajaknya pada
periode tersebut. Selain itu, salah satu faktor lain yang menyebabkan
penyitaan monetary asset tidak berpengaruh terhadap pencairan
tunggakan pajak, dikarenakan ada beberapa pihak bank yang tidak mau
membantu proses pelaksanaan penyitaan monetary asset untuk memberi
tahu saldo rekening nasabahnya yang melakukan penunggakan di bidang
perpajakan, dikarenakan terkait dengan prinsip kerahasiaan bank.
Alasannya sepele, bahwa pihak bank takut kehilangan kepercayaan dari
para nasabahnya dan takut jikalau para nasabahnya pindah ke bank lain.
Sehingga, hal tersebut berdampak pelaksanaan penyitaan monetary asset
tidak memberikan sumbangsih yang besar pada pencairan tunggakan
pajak, padahal banyak keistimewaan dari tindakan penagihan dengan
penyitaan monetary asset di bank dibandingkan dengan penyitaan
lainnya. Diantaranya biaya pelaksanaan yang rendah dan waktu
penagihan yang lebih singkat.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian dalam bab-bab sebelumnya, maka diperoleh
beberapa kesimpulan sehubungan dengan pembahasan mengenai pengaruh Surat
Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank terhadap pencairan
tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat. Adapun kesimpulan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Pelaksanaan penagihan pajak merupakan serangkaian tindakan agar WP/PP
melunasi utang pajak dan biaya penagihan dengan menegur atau
memperingatkan, memberitahukan Surat Paksa, memberikan SPMP, hingga
pelaksanaan penyitaan terhadap harta kekayaan milik WP/PP tersebut.
Pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan
monetary asset di bank dilaksanakan oleh Jurusita Pajak pada setiap Kantor
Pelayanan Pajak yang berada di wilayah DJP Jakarta Barat. Prosedur penagihan
ini dimulai dengan Penerbitan Surat Teguran tujuh hari setelah jatuh tempo
pembayaran. Setelah lewat waktu 21 hari sejak Surat Teguran diterbitkan dan
WP/PP tetap belum melunasi utang pajaknya maka diterbitkanlah Surat Paksa,
2X24 jam sejak Surat Paksa diberitahukan WP/PP tetap tidak mau melunasi
tunggakan pajaknya maka dilaksanakan penyitaan monetary asset di bank yang
di dahului dengan proses pemblokiran apabila WP tersebut memiliki harta
kekayaan yang tersimpan di bank.
2. Hasil uji statistik F diketahui bahwa uji F hitung untuk Surat Teguran, Surat
Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank lebih kecil dari F tabelnya yaitu
2.129<3.49. Sedangkan nilai signifikansi variabel independen secara
keseluruhan sebesar 0.150 yang menunjukan probabilitas lebih besar dari 0.05.
Hal ini memberi pengertian bahwa variabel independen dalam penelitian ini
secara simultan (bersama-sama) tidak berpengaruh terhadap variabel
dependennya yaitu pencairan tunggakan pajak.
3. Hasil uji t didapat t hitung untuk Surat Teguran sebesar 0,521 sedangkan t
tabelnya sebesar 2.145. Karena t hitung lebih kecil dari t tabelnya yakni
0,521<2.145 sehingga dalam penelitian ini menerima Ho dan menolak Ha yang
menunjukan bahwa pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran tidak
berpengaruh terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta
Barat.
4. Hasil uji t didapat t hitung untuk Surat Paksa sebesar -2,047 sedangkan t
tabelnya sebesar 2.145. Karena t hitung lebih kecil dari t tabelnya yakni -
2,047<2.145 sehingga dalam penelitian ini menerima Ho dan menolak Ha yang
menunjukan bahwa pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Paksa tidak
berpengaruh terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta
Barat.
5. Hasil uji t didapat t hitung untuk penyitaan monetary asset di bank sebesar -
2,166 sedangkan t tabelnya sebesar 2.145. Karena t hitung lebih kecil dari t
tabelnya yakni -2,166<2.145 sehingga dalam penelitian ini menerima Ho dan
menolak Ha yang menunjukan bahwa pelaksanaan penagihan pajak dengan
penyitaan monetary asset di bank tidak berpengaruh terhadap pencairan
tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat.
6. Setiap adanya penambahan Rp 1.000,- maka Surat Teguran akan meningkatkan
pencairan tunggakan pajak sebesar Rp 186,-. Untuk Surat Paksa, setiap adanya
penambahan Rp 1.000,- maka Surat Paksa akan mengurangi pencairan
tunggakan pajak sebesar Rp 954,-, begitupun dengan penyitaan monetary asset
di bank yaitu setiap adanya penambahan Rp 1.000,- maka penyitaan monetary
asset di bank akan mengurangi pencairan tunggakan pajak sebesr Rp 792,-.
B. Implikasi
Berdasarkan kesimpulan di atas ternyata pencairan tunggakan pajak pada
Kanwil DJP Jakarta Barat tidak dipengaruhi oleh Surat Teguran, Surat Paksa, dan
penyitaan monetary asset di bank, sehingga implikasi dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan
monetary asset di bank tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat.
2. Tidak berpengaruhnya Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary
asset di bank mengindikasikan bahwa pelaksanaan penagihan pajak yang ada
kurang efektif, sehingga hasil yang diperoleh dari pelaksanaan penagihan pajak
tersebut tidak memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan Negara.
3. Kendala-kendala yang sering dihadapi dalam pelaksanaan penagihan pajak
seperti tidak ditemukannya alamat WP/PP karena datanya tidak up-date, ketidak
terbukaan WP/PP atas harta kekayaannya hingga berusaha mencegah agar tidak
dilakukan penyitaan atas harta kekayaan yang dimilikinya, serta kendala lain
yang terjadi selama proses penagihan berlangsung, berdampak pada
pelaksanaan penagihan pajak yang telah dilaksanakan menjadi kurang efektif,
dan berdampak pula pada rendahnya kontribusi yang dihasilkan dari
pelaksanaan penagihan pajak terhadap penerimaan Negara.
C. Saran
Berdasarkan implikasi yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis
mencoba memberikan saran yang mungkin dapat digunakan sebagai masukan yang
bersifat membangun bagi pihak-pihak yang berkepentingan, antara lain:
1. Untuk mengatasi masalah masih rendahnya kontribusi yang dihasilkan dari
pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan
monetary asset di bank, maka diperlukan kerjasama antara fiskus dan
masyarakat khususnya WP/PP.
2. Khusus bagi WP/PP yang menunggak pajak seharusnya diberikan penyuluhan
dan bimbingan konsultasi lebih, serta fiskus khususnya Seksi Penagihan harus
bersikap arif dan bijaksana dalam menyikapi WP/PP tersebut. Sehingga secara
tidak langsung hal tersebut dapat memotivasi WP/PP tersebut untuk tidak
melakukan penunggakan pajak dan menjadikan WP/PP tersebut sebagai WP/PP
patuh terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
3. Sebaiknya Direktorat Jenderal Pajak khususnya Seksi Penagihan selalu
berusaha menghasilkan strategi-strategi baru yang lebih baik yang berkaitan
dengan pelaksanaan penagihan pajak, agar pencairan tunggakan pajak dapat
lebih efektif untuk tahun mendatang.
4. Untuk mengatasi kendala-kendala yang sering dihadapi oleh Seksi Penagihan
dalam pelaksanaan penagihan pajak, yaitu dengan memberikan bimbingan,
penyuluhan, dan sosialisasi berbagai kebijakan perpajakan pada WP/PP
sehingga kendala-kendala tersebut diharapkan dapat diminimalisir untuk tahun
mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Artikel: Ancaman terhadap krisis Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
2008. www. dimastidano.wordpress.com, 3 Februari 2008. B. Ilyas, Wirawan dan Richard Burton. Hukum Pajak. Jakarta: Penerbit Salemba
Empat. 2004. Burton, Richard. Memehami Masalah Penagihan Pajak. Jurnal Perpajakan Indonesia.
Volume 1 no. 1, Agustus 2001:20-24. Ghozali, Imam. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang:
Penerbit Universitas Diponegoro.2001. Hamid, Abdul. Pedoman Penulisan Skripsi FEIS. Jakarta: UIN Press.2004. Iswahyudi, Tedy. Seputar Penagihan dan Pembayaran Utang Pajak. Jurnal Perpajakan
Indonesia. Volume 5 No. 3,Oktober:12-18. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.04/2000 Tentang Pemblokiran dan
Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Kurniawan, Panca dan Bagus Pamungkas. Penagihan Pajak di Indonesia. Jawa Timur:
Penerbit Bayumedia.2006. Resmi, Siti. Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat. 2005. Riduwan dan Sunarto. Pengantar Statistika Untuk Penelitian:Pendidikan, Sosial,
Komunikasi, Ekonomi, dan Bisnis. Bandung: Alfabeta. 2007. Soepomo, R. Pandu Bestari. Perlukah Rahasia Bank Dibuka Untuk Kepentingan
Pajak?. Jurnal Kipas, Volume 3 No. 26, Mei 2001. Sugiyono. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Penerbit CV Alfabeta.2007. Surat Edaran Nomor SE-05/ PJ.04/2007 Tentang Peraturan Direktoret Jenderal Pajak
Nomor Kep-627/PJ/2001 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan Pada Bank.
Undang-undang No.19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
Laporan Kegiatan Penagihan Kanwil DJP Jakarta Barat Tahun Anggaran 2004-2007
TRIWULAN
STP/SKPKB/SKPKBT/SK.PEM/SK.KEB/PUT BAN
YG BELUM LUNAS Surat Teguran Surat Paksa SPMP
Lembar lbr Rp. Lbr Rp. Lbr Rp.
I 2004 101,204 4342 114,266,852 637
83,385,042 95 21,103,722
(dalam ribuan rupiah)
TRIWULAN
STP/SKPKB/SKPKBT/SK.PEM/SK.KEB/PUT BAN
YG BELUM LUNAS Surat Teguran Surat Paksa SPMP
Lembar lbr Rp. Lbr Rp. Lbr Rp.
I 2006 92,421 4.460 70,444,635 640
73,395,085 46 61,885,544
II 2006 191,342 4.126 95,047,944 954
101,956,114 73 64,569,947
III 2006 90,878 3.096 85,688,925 804
76,158,817 32 10,691,80
IV 2006 90,800 4.901 93,467,000 1.402
80,643,541 52 33,164,192
Total 465,441 16.583 344,648,504 2,399
332,153,557 203 170,311,484
II 2004 114,567 5659 151,753,703 846
95,564,986 104 18,962,755
III 2004 117,723 7579 172,935,700 1155
160,855,464 130 35,245,151
IV 2004 116,258 8579 167,432,088 1039
82,415,290 90 29,067,284
Total 449,752 26,159 606,388,343 3,677
422,220,782 419 104,378,912
Sumber :diolah oleh penulis dari Laporan Kegiatan Penagihan Kanwil DJP Jakarta Barat
TRIWULAN
STP/SKPKB/SKPKBT/SK.PEM/SK.KEB/PUT BAN
YG BELUM LUNAS Surat Teguran Surat Paksa SPMP
Lembar lbr Rp. Lbr Rp. Lbr Rp.
I 2005 102,581 4.128 96,415,590 569
77,879,901 50 28,502,051
II 2005 102,077 3.343 94,713,423 738
112,783,793 49 122,109,891
III 2005 63,093 3.065 144,997,603 625
77,891,417 58 56,742,245
IV 2005 93,901 4.188 122,802,166 743
124,824,396 37 56,857,746
Total 361,652 14.724 458,928,782 2,675
393,379,507 194 264,211,933
Sumber :diolah oleh penulis dari Laporan Kegiatan Penagihan Kanwil DJP Jakarta Barat
Sumber :diolah oleh penulis dari Laporan Kegiatan Penagihan Kanwil DJP Jakarta Barat
STP/SKPKB/SKPKBT/SK.PEM/SK.KEB/PUT BAN
YG BELUM LUNAS
Lembar lbr Rp. Lbr Rp. Lbr Rp.
I 2007 97,555 4.722 89,378,018 744
78,679,106 47 107,329,530
II 2007 95,388 7.341 124,352,738 1.566
55,811,731 99 122,709,06
III 2007 92,881 7.787 135,854,463 1.789
67,378,928 112 200,014,587
IV 2007 92,366 8.186 143,350,463 2.027
74,782,128 171 285,360,92
Total 378,190 28.036 492,935,682 6.126
276,651,893 429 715,414,10
Sumber :diolah oleh penulis dari Laporan Kegiatan Penagihan Kanwil DJP Jakarta Barat
Laporan Penyitaan Monetary Asset Di Bank Pada Kanwil DJP Jakarta Barat Tahun Anggaran 2004-2007
(dalam ribuan rupiah)
I 2004 6,100,368 - 6,100,368
II 2004 6,100,368 - 6,100,368
III 2004 750,880 - 750,880
IV 2004 750,880 - 750,880
Sumber : diolah oleh penulis dari Laporan Penyitaan Monetary Aset di Bank Kanwil DJP Jakarta Barat
TRIWULAN TOTAL
TUNGGAKAN
PENYITAAN ASET MONETER
DI BANK TUNGGAKAN YANG MASIH
HARUS DIBAYAR
I 2005 750,880 544,773 206,107
II 2005 800,383 - -
III 2005 800,383 - -
IV 2005 800,383 545,737 254,646
Sumber : diolah oleh penulis dari Laporan Penyitaan Monetary Aset di Bank Kanwil DJP Jakarta Barat
TRIWULAN TOTAL
TUNGGAKAN
PENYITAAN ASET MONETER
DI BANK TUNGGAKAN YANG MASIH
HARUS DIBAYAR
I 2006 1.409,192 - 1. 409,192
II 2006 2.754,792 - 2. 754,792
III 2006 4,047,725 - 4,047,725
IV 2006 56,130,654 91,330 56,039,324
Sumber : diolah oleh penulis dari Laporan Penyitaan Monetary Aset di Bank Kanwil DJP Jakarta Barat
TRIWULAN TOTAL
TUNGGAKAN
PENYITAAN ASET MONETER
DI BANK TUNGGAKAN YANG MASIH
HARUS DIBAYAR
I 2007 21,780,834 119,915 21,660,919
II 2007 35,982,798 703.908 35,278.890
III 2007 53,016,121 2,711,986 50,304,135
IV 2007 112,389,783 1,670,016 110,719,767
Sumber : diolah oleh penulis dari Laporan Penyitaan Monetary Aset di Bank Kanwil DJP Jakarta Barat