1 Struktur kristal = Kisi + Basis BAB I STRUKTUR KRISTAL ...
ANALISA STRUKTUR KRISTAL DARI LAPISAN TIPIS … · Shimadzu E600 di Lab Fisika FMIPA UNS Surakarta....
-
Upload
trannguyet -
Category
Documents
-
view
222 -
download
0
Transcript of ANALISA STRUKTUR KRISTAL DARI LAPISAN TIPIS … · Shimadzu E600 di Lab Fisika FMIPA UNS Surakarta....
ANALISA STRUKTUR KRISTAL DARI LAPISAN TIPIS ALUMINIUM
(AL) DENGAN METODE DIFRAKSI SINAR-X
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S.Si)
Program Studi Fisika
Oleh :
Mika Fridawati
NIM : 023214005
PROGRAM STUDI FISIKA JURUSAN FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2008
i
CRYSTAL STRUCTURE ANALYSIS OF ALUMINIUM (AL) THIN
FILM WITH THE X-RAYS DIFFRACTION METODE
SKRIPSI
Precented as Partial Fulfillment of the Requirements to Obtain the Sarjana Sains Degree
In Physics
By :
Mika Fridawati NIM : 023214005
PHYSICS STUDY PROGRAM
PHYSICS DEPARTMENT
SCIENCE AND TECHNOLOGY FACULTY
SANATA DHARMA UNIVERSITY
YOGYAKARTA
2008
ii
iii
iv
“Mekarlah dimanapun Anda ditanam” (Veronica Ray)
Tugas Akhir ini kupersembahkan kepada ;
Bapak, Ibu, Windu, Vasco dan Dika tercinta atas inspirasi,
kepercayaan serta doa restunya.
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian skripsi orang lain kecuali yang telah dinyatakan dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, Maret 2008
Penulis
Mika Fridawati
vi
ABSTRAK
ANALISA STRUKTUR KRISTAL LAPISAN TIPIS ALUMINIUM (AL)
DENGAN METODE DIFRAKSI SINAR-X.
Teknik difraksi sinar-X (XRD) merupakan metode analisa struktur
kristal berdasarkan pada informasi puncak-puncak sudut hamburan maupun
intensitasnya. Dari informasi sudut hamburan dapat dihitung jarak antar bidang
(d), bidang-bidang kristal (hkl) maupun parameter kisinya (a,b,c). Oleh karena
setiap bahan berstruktur kristal tertentu, maka secara tidak langsung teknik
difraksi sinar-X dapat dimanfaatkan untuk analisa jenis-jenis suatu unsur
maupun senyawa.
Dalam penelitian ini telah dilakukan analisa struktur kristal lapisan tipis
Aluminium (Al) yang dilapiskan pada substrat kaca untuk berbagai variasi
ketebalan. Deposisi lapisan tipis Al pada substrat kaca untuk berbagai variasi
ketebalan dilakukan dengan menggunakan peralatan “coating” jenis Edward
Vacuum Coater model E610 di PTAPB-BATAN, Yogyakarta. Sedang analisa
struktur kristal dilakukan menggunakan peralatan jenis X-Ray Diffraktometer
Shimadzu E600 di Lab Fisika FMIPA UNS Surakarta.
Dari hasil analisa struktur kristal, diperoleh hasil bahwa untuk substrat
kaca adalah tidak berstruktur (amorf), sedang untuk ketebalan lapisan tipis pada
orde 57,558 nm, 76,744 nm dan 95,93 nm juga tidak berstruktur (amorf).
vii
Sedangkan pada ketebalan 115,117 nm dan 134,303 nm mulai terbentuk kristal,
yang ditandai dengan munculnya puncak difraksi pada sudut hamburan 2θ =
39,1750° dengan jarak antar bidang d = 2,2972 Å dan 2θ = 39,200° dengan d =
2,2963 Å. Setelah dilakukan perhitungan dan dicocokkan pada Powder
Diffraction Data dari Tabel JCPDS ( Joint Committee Powder On Diffraction
Standards) ternyata pada kondisi tersebut data yang paling mendekati adalah
2θ = 39,741° dengan bidang (111), yang bidang tersebut merupakan senyawa
Aluminium Silicon Oxide Nitride (Sil,8A10,201.2N1,8). Struktur kristal
tersebut merupakan Orthorhombik dengan parameter kisi a = 5,500 Å, b =
8,904 Å dan c = 4,861 Å.
viii
BSTRACT
CRYSTAL STRUCTURE ANALYSIS OF ALUMINIUM (AL) THIN
FILM WITH THE X-RAYS DIFFRACTION METHOD.
X-Rays Diffraction technique for analyzing of crystal structure is based
on the scattering angle peaks and their intensities information. From the
scattering angle information, it can be used to calculate the plane distance (d),
hkl plane, and their lattice parameters (a,b,c). Every material has a
characteristics (fix) crystal structure, so that indirectly, the X-rays diffraction
technique can be used to analyze the kinds of elements or compounds.
In this research, it has been done crystal structure analysis of
Aluminium thin film coated on glass substrate for various of film thickness.
Coating of thin film on glass substrate has been carried out using Edward
Vacuum Coater model E610 at PTAPB-BATAN. While the crystal structure
has been analyzed using X-Rays Diffractometer at Physics Department of
FMIPA UNS Surakarta.
From XRD analysis, it’s observed that glass substrate, Al thin film with
the thickness in order of 57,558 nm, 76,744 nm and 95,93 nm have no structure
(amorphous). While the Al film with the thickness in order of 115,117 nm and
134,303 nm have amorphous and crystal structure. The formation of crystal
structure is indicated by the appearance of diffraction peaks at the scattering
ix
angle of 2θ = 39,1750° with the distance of adjacent planes d = 2,2972 Å and
2θ = 39,200° with the distance of adjacent planes d = 2,2963 Å. From this data,
it can be calculated, that the properly planes is (111). Matched with the JCPDS
data, the closed data is 2θ = 39,741° with the planes (111). This structure is a
Orthorhombic with the lattice parameters a = 5,500 Å, b = 8,904 Å and c =
4,861 Å and this is a compound of Aluminium Silicon Oxide Nitride
(Sil,8Ai0,201.2Ni,8).
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
anugerah dan kasih-NYA sehingga penulis dapat berhasil menyelesaikan skripsi
yang berjudul ANALISA STRUKTUR KRISTAL LAPISAN TIPIS ALUMINIUM
(Al) DENGAN METODE DIFRAKSI SINAR-X (XRD). Penyusunan skripsi ini
merupakan syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains di Jurusan Fisika
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan
baik karena bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ir. Gregorius Heliarko S.J., S.S., B.S.T., M.A., M.Sc. selaku Dekan Fakultas
Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma.
2. Ibu. Ir. Sri Agustini Sulandari M.Si, selaku kaprodi Jurusan Fisika dan
pembimbing dikampus yang telah meluangkan waktu dan memberikan masukan
dalam penulisan skripsi ini.
3. Bapak Drs. Tjipto Sujitno, M.T, selaku pembimbing di PTAPB-BATAN yang
selalu dengan sabar dan tanpa henti membantu mengarahkan dan menasehati
penulis saat penulis dalam kesulitan, “akhirnya aku bisa pak”.
4. Bapak Drs. Domi Severinus, M.Si, yang telah bersedia menguji dalam ujian
skripsi.
5. Bapak Dr. Edi Santosa, M.S, selaku pembimbing akademik atas nasehat dan
bimbingannya selama masa studi.
xi
6. Segenap dosen Jurusan Fisika FST Universitas Sanata Dharma atas didikan dan
ilmunya.
7. Seluruh staf karyawan FST Universitas Sanata Dharma Yogyakarta khususnya
karyawan Lab Fisika, yang telah banyak membantu selama masa studi.
8. Bapak, Ibu dan Windu adikku yang telah memberikan dukungan dan yang selalu
mengasihi, menyayangi penulis meski apapun keadaannya.
9. Dika yang selalu mensupportku dan menemaniku dengan cintanya.
10. Vasco atas dukungannya baik secara moriil maupun materiil (makasih ya
laptopnya).
11. Teman-teman Fis’02 yang telah menjalani bersama susah senangnya selama masa
studi. Tanpa kalian penulis bukanlah apa-apa.
12. Danang, Anggar, Yoga, Andri thanks yo atas keceriaan kalian selama ini.
13. Jeng Manggar, buat tumpangannya klo mau kekampus dan bantuan lainnya,
“ternyata masih ada ya temen kayak kamu”.
14. Teman-teman serta pihak-pihak lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu, makasih atas semuanya ya.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna
maka dari itu penulis mengharapkan adanya masukan berupa kritik dan saran yang
membangun
Yogyakarta, Maret 2008
Penulis
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………… i
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………… ii
HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………………………… iii . HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………… iv HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………....……. v HALAMAN MOTTO………………...………………………………………….. v HALAMAN PERNYATAAN………………………………………..………….. vi ABSTRAK…………………………………………………………………...….. vii ABSTRACT………………………………………………………………………. ix KATA PENGANTAR…………………………………………………………… xi DAFTAR ISI…………………………………………………………………….. xiii DAFTAR GAMBAR……………………………………………………….......... xvi DAFTAR TABEL………………………………………………………………… xviii BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang Masalah………………………………….………… 1 1.2 Perumusan Masalah…………………………………………………. 3 1.3 Batasan Masalah …………………………………………………… 3 1.4 Tujuan Penelitian .……………………………………………….… 3 1.5 Manfaat Penelitian ………………………………………………… 4
xiii
BAB II LANDASAN TEORI………………………………………………… 5
2.1 Deposisi Lapisan Dengan Teknik Evaporasi……….………………. 5
2.1.1 Teknik Evaporasi…………….…………………….………… 5 2.1.2 Evaporasi Termal…………….…………………….………… 7 2.1.3 Sistem vakum…………….………………………………….. 9
2.2 Sinar-X………………………….…………………………………… 15
2.2.1 Penemuan Sinar-X…………………………………………… 15 2.2.2 Pembentukan Sinar-X……………………………………….. 16 2.2.3 Interaksi Sinar-X dengan Materi……………………………. 18 2.2.4 Difraksi Sinar-X…………………………………….……….. 20
2.3 Struktur Kristal……………………………………………………… 24 2.3.1 Kisi Kristal…………………………………………………… 24
BAB III METODOLOGI PENELITIAN………………………………….…… 33
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian……………………………………… 33 3.2 Bahan Penelitian……………………………………………………. 33 3.3 Alat Penelitian…………………………………………….………… 33 3.4 Diagram Alir penelitian ……………………….…………………… 34 3.5 Prosedur Penelitian………………………….……………………… 35 3.5.1 Persiapan…………………………………………………….. 35 3.5.2 Proses Deposisi Lapisan Tipis Al…………………….….….. 35 3.6 Metode Karakterisasi……………………………………………….. 36 3.7 Metode Analisis Hasil………………...…………….………………. 36
xiv
3.7.1 Pengindeksan Pola Difraksi (Indexing Diffraction Patterns).. 37
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN….…………...…….…………………… 46
4.1 Hasil dan Pembahasan……………………..….………………….…. 46
4.1.1 Pembuatan Lapisan Tipis Al…………....…………….……… 46 4.1.2 Karakterisasi Struktur Kristal Lapisan Tipis Al Dengan
Menggunakan Diffraksi Sinar-X (XRD..)………..…….…… 47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN…………………….……..…………… 56
5.1 Kesimpulan…………………………………………………………… 56 5.2 Saran…………………………………………….……………………. 57
DAFTAR PUSTAKA………………………………….……………………...…. 58 LAMPIRAN……………………………………………………………………… 59
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Spektrogram sudut hamburan (2θ) dari substrat kaca
Gambar 2. Spektrogram sudut hamburan (2θ) dari lipis tipis Al pada substrat kaca,
dengan ketebalan lapisan tipis 57, 558nm
Gambar 3. Spektrogram sudut hamburan (2θ) dari lipis tipis Al pada substrat kaca,
dengan ketebalan lapisan tipis 76,744nm
Gambar 4. Spektrogram sudut hamburan (2θ) dari lapisan tipis Al pada substrat kaca,
dengan ketebalan lapisan tipis 95,930nm
Gambar 5. Spektrogram sudut hamburan (2θ) dari lipis tipis Al pada substrat kaca,
dengan ketebalan lapisan tipis 115,117nm
Gambar 6. Spektrogram sudut hamburan (2θ) dari lipis tipis Al pada substrat kaca,
dengan ketebalan lapisan tipis 134,303nm
Gambar 2.1. Model peralatan coating
Gambar 2.2. Prinsip kerja pompa rotari
Gambar 2.3. Penampang pompa difusi
Gambar 2.4. Skema pembangkitan Sinar-X
Gambar 2.5. Skema proses efek fotolistrik
Gambar 2.6. Skema proses hamburan Compton
Gambar 2.7. Lintasan berkas Sinar-X yang mengenai kristal
Gambar 2.8. Skema Diffraktometer sinar-X
Gambar 2.9. Struktur kubus sederhana
xvi
Gambar 2.10. Hubungan jari-jari ’r’ dengan sisi kubus ‘a’
Gambar 2.11. Struktur kubus pusat badan
Gambar 2.12. Persinggungan atom-atom pada struktur BCC
Gambar 2.13. Struktur kubus pusat muka
Gambar 2.14. Persinggungan atom-atom pada struktur FCC
Gambar 2.15. Hubungan jari-jari ‘r’ dengan sisi kubus ‘a’ pada struktur FCC
Gambar 2.16. Skematis kisi kristal jenis Hexagonal tumpukan padat
Gambar 2.17. Empatbelas kisi Bravais
xvii
DAFTAR TABEL
TABEL I. Hubungan jarak antar bidang (dhkl) dengan bidang-bidang atom (hkl) untuk
masing-masing jenis kristal
TABEL II. Volume sel satuan untuk berbagai jenis kristal
TABEL III. Hasil deposisi lapisan tipis
TABEL IV. Nilai-nilai hkl pada sudut hamburan 2θ.
xviii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dewasa ini mendorong
pemahaman dan penggunaan sinar-X yang lebih mendetail. Pada tahun 1895
Wilhelm Roentgen menemukan sinar-X yang merupakan foton-foton berenergi
tinggi dengan panjang gelombang λ dalam orde Ǻ. Sejak penemuan itu, penelitian
dan pemahaman mengenai sinar-X mulai berkembang terus sampai sekarang, salah
satu aplikasi penerapannya dalam bidang kehidupan adalah Difraksi Sinar-X
(XRD) yang kemudian banyak digunakan sebagai metode untuk menganalisa
struktur kristal zat padat (Wiyatno, Yusman, 2003).
Sinar-X yang berinteraksi dengan materi akan mengalami fenomena optik
seperti hamburan, difraksi, pantulan, maupun transmisi. Apabila materi berstruktur
kristal, maka sinar-X yang mengenai bidang-bidang kristal akan didifraksikan atau
dihamburkan pada sudut hamburan tertentu dan akan memberikan informasi
langsung berupa sudut hamburan (2θ), intensitas (I) dan jarak antar bidang atom
(d ). Dengan telah diketahuinya jarak antar bidang atom, selanjutnya dapat
digunakan untuk menghitung nilai-nilai indeks miller (hkl) serta parameter kisinya.
Setiap materi di alam ini yang berstruktur kristal mempunyai struktur kristal
tertentu, artinya mempunyai bidang-bidang, jarak antar bidang, maupun parameter
kisi tertentu. Dengan demikian teknik difraksi sinar-X dapat dimanfaatkan untuk
hkl
1
deteksi unsur atau senyawa yang terkandung dalam suatu senyawa. Struktur kristal
suatu materi berhubungan erat dengan sifat- sifat materi tersebut, misalnya sifat
optik, mekanik, elektrik, maupun termal. Dengan diketahuinya struktur kristal dari
suatu materi, secara tidak langsung dapat pula diketahui sifat-sifat bahan sehingga
teknik difraksi sinar-X merupakan teknik yang sangat penting untuk mengetahui
jenis bahan beserta sifat-sifatnya.
Aluminium (Al) adalah logam yang mempunyai sifat lunak, mudah
dibentuk, ringan, tahan karat dan memiliki daya hantar panas yang baik. Oleh
karena sifatnya yang begitu efisien, Al menjadi salah satu jenis logam yang banyak
digunakan sebagai produk (Achmad, Drs. Hiskia,1992). Dalam bidang optik
khususnya, teleskop dan mikroskop membutuhkan cermin dalam penggunaannya,
cermin ini bisa dibuat dengan mendeposisikan lapisan tipis logam misalnya Al pada
substrat kaca.
Pendeposisian lapisan tipis ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu
dengan teknik evaporasi, implantasi ion dan sputtering (percikan). Masing-masing
teknik memiliki kelebihan dan kekurangannya. Teknik yang paling sederhana yang
merupakan proses thermal dalam pendeposisian lapisan tipis adalah teknik
evaporasi. Proses evaporasi melalui dua tahap yaitu, penguapan dari material padat
dengan cara pemanasan sampai mencapai suhu tinggi dan kemudian
mengembunkannya diatas substrat. Evaporasi ini biasanya lebih efektif diterapkan
pada material-material logam yang mempunyai titik leleh yang rendah.
2
Dalam penelitian ini penulis mencoba membuat lapisan tipis Al pada
substrat kaca menggunakan teknik evaporasi. Kemudian karakterisasi lapisan tipis
difokuskan pada struktur kristalnya yang dianalisa menggunakan Difraksi Sinar-X
(XRD).
1.2 Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang akan dikemukakan dalam penelitian ini adalah :
1). Bagaimana menumbuhkan lapisan tipis Al pada substrat kaca dengan metode
evaporasi?
2). Bagaimana mengetahui struktur kristal dari lapisan tipis Al pada substrat kaca
yang telah terdeposisi untuk kondisi ketebalan yang berbeda?
3). Berapa nilai parameter kisi Al yang terdeposisi?
1.3 Batasan Masalah
1). Pendeposisian lapisan tipis Al menggunakan teknik evaporasi.
2). Mengamati dan menganalisa struktur kristal dari lapisan tipis Al yang terdeposisi
pada substrat kaca dengan XRD.
1.4 Tujuan Penelitian
1). Membuat lapisan tipis Al pada substrat kaca dengan metode evaporasi.
2). Mempelajari metoda difraksi sinar-X untuk analisis struktur kristal Al.
3
3). Menganalisa dan mencari parameter kisinya.
1.5. Manfaat Penelitian
1). Memperluas wawasan peneliti dalam menumbuhkan lapisan tipis Al pada subtrat
kaca dengan metode evaporasi dan karakterisasinya, terutama dalam mempelajari
struktur kristal dengan XRD.
2). Memberi informasi kepada para pembaca bagaimana proses pembuatan lapisan
tipis menggunakan teknik evaporasi dan teknik analisa menggunakan difraksi
sinar-X pada alat XRD yang digunakan untuk menentukan struktur kristal suatu
unsur terutama Al.
4
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Deposisi Lapisan Tipis Dengan Teknik Evaporasi
2.1.1 Teknik evaporasi
Teknik evaporasi merupakan cara yang paling sederhana yang merupakan
proses thermal dari pembentukan suatu lapisan tipis. Prosesnya melalui dua tahapan
yaitu, penguapan dari material padat dengan cara pemanasan sampai mencapai suhu
tinggi kemudian mengembunkan (condensing) di atas substrat. Evaporasi ini
biasanya efektif dikenakan pada bahan-bahan logam yang mempunyai titik leleh
yang rendah. Untuk material-material yang mempunyai titik leleh tinggi, metode
evaporasi tidak dapat digunakan sehingga harus menggunakan metode deposisi
yang lain.
Lapisan tipis adalah suatu lapisan yang sangat tipis dari bahan organik,
inorganik, metal maupun campuran metal-organik (organometalic) yang memiliki
sifat-sifat konduktor, semikonduktor, superkonduktor maupun isolator. Pada
umumnya lapisan tipis dibuat dengan cara deposisi atom-atom suatu bahan pada
permukaan substrat dengan ketebalan sampai dengan orde mikro. Dengan
melakukan beberapa variasi, misalnya variasi ketebalan lapisan yang dapat
diperoleh dengan cara variasi waktu deposisi selama proses deposisi maupun
modifikasi sifat-sifat lapisan tipis selama deposisi, dapat diperoleh suatu sifat-sifat
khusus dari lapisan tipis tersebut.
5
Dalam penelitian ini, lapisan tipis diperoleh dengan teknik penguapan dalam
ruang vakum. Untuk maksud tersebut digunakan peralatan “coating” merk Edward
Vacuum Coater model E610, yang secara skematis seperti yang disajikan pada
Gambar 2.1.
c
d a
b
e f
g h
i j
Keterangan gambar
a. Tabung hampa (bejana) b. Batang tembaga c. Tempat substrat (kaca) d. Substrat (kaca) e. Shutter
f. Material pelapis g. Filamen (evaporation source) h. Pompa difusi i. Pompa rotari j. Regulator
Gambar 2.1. Model peralatan coating
6
2.1.2 Evaporasi Termal
Penguapan (evaporation) adalah perubahan keadaan zat cair menjadi uap
pada suhu di bawah titik didih zat cair. Penguapan terjadi pada permukaan zat cair,
beberapa molekul dengan energi kinetik yang paling besar melepaskan diri ke fase
gas. Titik didih suatu bahan sangat tergantung pada tekanan di sekitarnya. Pada
tekanan yang rendah titik didihnya lebih rendah (Giancoli, 1998).
Saat sebuah material bahan pelapis dipanaskan pada temperatur uapnya,
pada tekanan rendah maka material tersebut akan menguap. Pada penelitian ini
material bahan pelapis yang akan diuapkan adalah aluminium. Aluminium akan
menguap apabila suhu filamen penguapnya sudah mencapai titik didih aluminium.
Agar bahan pelapis menempel pada substrat maka dilakukan pendinginan
yaitu dengan cara menurunkan arus pemanasnya. Pendinginan ini dilakukan agar
bahan pelapis yang sudah menguap akan mengembun dan menempel pada substrat.
Pedinginan tersebut dilakukan kalau seluruh bahan pelapis sudah menguap.
Sumber evaporasi yang berisi bahan pelapis (metal) memperoleh kalor dari
energi listrik sebesar (Yahya, 1995)
(2.1) tIRE 2=
dengan
R = Hambatan listrik (Ω)
I = Arus yang mengalir pada sumber evaporasi (A)
t = waktu proses evaporasi
7
Energi yang dibutuhkan untuk memisahkan atom-atom dari bahan asalnya disebut
kalor penguapan (Q)
(2.2) LmQ =
dengan
m = massa bahan pelapis
L = kalor uap laten
Energi ini berupa kalor yang diberikan bahan tersebut untuk mengubah fase padat
menjadi fase gas pada suhu titik didihnya (Td)
Dengan anggapan bahwa tidak ada energi yang hilang maka energi kinetik
atom-atom yang meninggalkan sumber penguapan sama dengan :
2212 vmQtIREkin =−= (2.3)
Karena berada dalam vakum yang cukup tinggi (< 10-3 Torr) maka dianggap bahwa
atom-atom tersebut tidak bertumbukan dengan atom-atom dalam bejana, tetapi
langsung menumbuk substrat di atasnya dengan kecepatan
mQtIRv )(2 2 −
= (2.4)
Dari rumus diatas dapat diketahui bahwa kecepatan tumbukan tergantung
pada arus yang diberikan sumber penguapan, bila arus yang diberikan kecil maka
kecepatan tumbukannya juga kecil sehingga tidak berbentuk lapisan. Kalaupun
terbentuk lapisan pada substrat tersebut, lapisan tersebut tidak kuat atau kurang baik
karena daya melekatnya rendah. Tetapi sebaliknya bila arus yang diberikan besar
8
maka kecepatan tumbukannya juga besar sehingga atom-atom bahan pelapis
menempel kuat pada substrat dan terbentuklah lapisan tipis yang baik.
2.1.3 Sistem Vakum
Pembuatan lapisan tipis dengan cara penguapan sebenarnya dapat dilakukan
di ruang terbuka, tetapi pertumbuhan lapisan tipis yang dihasilkan tidak bagus,
karena pada saat pembuatan banyak gas-gas atau molekul-molekul lain yang ikut
andil didalamnya. Oleh karena itu untuk mengurangi molekul-molekul yang
mempengaruhinya maka pembuatan lapisan tipis dilakukan dalam ruang vakum.
Keadaan vakum berarti adalah dimana suatu ruangan yang mempunyai
kerapatan gas di dalamnya sangat rendah. Suatu keadaan vakum tidak dapat dilihat
langsung dengan mata, karena pengisi ruangannya berupa gas. Untuk mengetahui
tingkat kevakuman, biasanya dengan mengukur tekanannya. Dari teori kinetik gas
ditunjukkan bahwa besar tekanan gas adalah (Yahya, 1995)
2 P = ½ n m v (2.5)
dimana :
P = tekanan
n = jumlah molekul gas persatuan volum
m = massa satu molekul gas
v = kecepatan rata-rata
Dari hubungan di atas dapat dilihat bahwa besarnya tekanan sebanding
dengan banyaknya partikel atau molekul gas. Jadi semakin kecil tekanan, molekul
gas juga semakin kecil, sehingga tingkat kevakuman semakin tinggi. Dalam satuan
9
internasional (SI) satuan tekanan dinyatakan dalam pascal (Pa) atau Newton/m2.
Dalam teknologi vakum lebih banyak digunakan satuan Torr/mmHg dan mbar.
1. Tingkat Kevakuman
Keadaan vakum dapat membuat tekanan dalam suatu sistem menjadi jauh
dibawah tekanan atmosfir, sehingga molekul-molekul gas letaknya saling
berjauhan. Ini berarti jarak bebas rata-ratanya sangat panjang dan aliran gas tidak
dipengaruhi lagi oleh kemungkinan tumbukan gas yang lain, tetapi dipengaruhi oleh
kemungkinan terjadinya tumbukan-tumbukan molekul gas dengan dinding sistem
vakum tersebut.
Kevakuman suatu sistem dapat diklasifikasikan menurut tingkat
kevakumannya yaitu (Suprapto,1998) :
a. Vakum rendah mempunyai tekanan kira-kira sampai dengan 1 Torr.
b. Vakum sedang mempunyai tekanan kira-kira 1 Torr sampai dengan 10-3 Torr.
c. Vakum tinggi mempunyai tekanan lira-kira 10-3 Torr sampai dengan 10-7 Torr.
d. Vakum sangat tinggi mempunyai tekanan kira-kira 10-7 Torr sampai dengan 10-
16 Torr.
Berdasarkan cara menvakumkan sistem vakum (hampa), maka dapat
dibedakan sebagai berikut : sistem vakum statis dan sistem dinamis. Sistem vakum
statis yaitu suatu sistem vakum yang mana untuk mencapai kevakuman tertentu
dengan menvakumkan sistem tersebut sampai kevakuman yang diinginkan
kemudian ditutup/disumbat. Jadi sistem harus bebas dari kebocoran dan hal-hal
10
yang menyebabkan penurunan kevakuman. Sebagai contoh sistem vakum statis
adalah seperti thermos. Sedangkan sistem vakum dinamis yaitu suatu sistem vakum
yang mana untuk mencapai kevakuman tertentu dengan menvakumkan sistem
tersebut secara terus menerus untuk mempertahankan tingkat kevakuman yang telah
dicapai. Sebagai contoh sistem vakum dinamis adalah : sistem coating, akselerator,
spektrometer massa dan sebagainya.
Pada metode evaporasi, untuk melakukan proses penguapan pada
coatingnya tingkat kevakumannya sudah di atur minimal 10-5 Torr. Jika tingkat
kevakumannya kurang dari 10-5 Torr, maka proses penguapan belum siap dilakukan
karena masih ada partikel-partikel lain yang akan mengganggu. Semakin tinggi
tingkat kevakumannya maka lapisan tipis yang dihasilkan akan semakin bagus.
Proses evaporasi bisa dilakukan pada tingkat kevakuman lebih tinggi dari 10-5 Torr,
tetapi memerlukan waktu yang lebih lama.
2. Pompa Vakum
Untuk membuat ruang vakum dipermukaan bumi, usaha yang dilakukan
oleh manusia adalah dengan cara memompa keluar udara dari suatu ruangan
tertutup dengan pompa vakum. Telah diketahui bahwa vakum merupakan sarana
atau alat dalam melakukan suatu proses, oleh karena itu tingkat kevakuman yang
dibuat juga sesuai dengan kebutuhan. Agar diperoleh kevakuman yang tinggi, maka
diperlukan sistem vakum yang terdiri dari sebuah pompa rotari dan pompa difusi.
11
-3Tingkat kevakuman yang dicapai oleh pompa rotari sekitar 10 Torr dan pompa
difusi dapat mencapai tingkat kevakuman hingga 10-8 Torr.
a. Pompa rotari
Proses penghampaan tingkat tinggi tidak dapat dilakukan secara sekaligus,
karena tidak ada pompa apapun yang dapat mencapai tingkat kehampaan yang
tinggi secara langsung. Untuk mencapai tingkat kehampaan yang tinggi diperlukan
pompa pendahuluan, dalam hal ini digunakan pompa rotari.
Jenis pompa rotari yang dipakai adalah jenis mekanik katub sorong. Bagian
utama dari pompa rotari ini adalah stator dan rotor yang dapat diputar dengan
menggunakan sebuah motor listrik. Katub sorong dilengkapi dengan sebuah pegas
yang selalu menyinggung dinding stator dalam putarannya dan berfungsi sebagai
skat antara kedua ruang dalam rongga stator. Bagian rotor akan menggerakkan dan
menghisap udara keluar dari sistem yang akan divakumkan.
Prinsip kerja pompa rotari ini adalah sebagai berikut : mula-mula udara
dihisap dari ruang yang akan divakumkan oleh katub sorong (Gambar 2.2.a) . Pegas
dari rotor menekan katub sorong kedinding bejana (stator), sehingga merupakan
penyekat antara ruang vakum dan udara yang akan dibuang (Gambar 2.2.b). Udara
yang dihisap akan dikeluarkan melalui saluran keluar yang sempit. Karena tekanan
udara yang akan dibuang semakin besar, maka katub saluran pembuang akan
terbuka sehingga udara bisa keluar (Gambar 2.2.c).
12
Sistem vakum
katub
(a) (b) (c)
Gambar 2.2. Prinsip kerja pompa rotari : a) penghisapan udara. b) pemampatan udara. c) pengeluaran udara
Pompa rotari dapat dioperasikan mulai dari tekanan udara luar sampai
dengan vakum rendah sekitar 10-3 Torr. Sedangkan pada vakum tinggi pompa rotari
berfungsi sebagai pompa depan, yaitu pompa yang membuat berfungsinya pompa
utama (pompa difusi).
b. Pompa difusi
Pompa difusi untuk mencapai tingkat kehampaan yang tinggi, bekerja jika
telah dicapai keadaan vakum pendahuluan kurang lebih 10-2 Torr. Penampang
pompa difusi ditunjukkan pada Gambar 2.3. Pada pompa difusi ini minyak difusi
ditempatkan di bagian bawah (bejana didih). Pada ujung cerobong atas ditutup
dengan suatu bentuk payung dan membentuk celah yang disebut nozle.
13
Prinsip kerja pompa difusi dapat dijelaskan sebagai berikut : Minyak dalam
bejana diuapkan dengan pemanasan filamen listrik. Minyak yang diuapkan oleh
pemanas ini akan melalui cerobong dan dengan adanya celah yang sempit maka uap
akan mempunyai kecepatan yang besar sehingga uap akan terpancar ketika keluar
dari celah tersebut. Uap yang terpancar itu akan mengenai dinding yang
didinginkan, karena pengaruh dari pendinginan uap yang terpancar ini akan
mengembun dan mengalir kembali ke bejana didih. Bersamaan dengan
terpancarnya uap dari celah ke dinding, molekul-molekul uap membawa serta
molekul-molekul udara sehingga kekosongan molekul udara pada lintasan
semprotan akan terisi oleh molekul-molekul udara di atas tabir uap. Molekul-
molekul udara di bawah tabir uap akan terisap oleh pompa pravakum sehingga
kedudukkannya digantikan oleh molekul-molekul udara yang berada di atas tabir
uap. Proses ini berlangsung terus sehingga terjadi aliran molekul-molekul udara dari
atas ke bawah melintasi tabir uap secara difusi.
Untuk mengoperasikan pompa difusi diperlukan pompa pravakum yaitu
pompa rotari yang dihubungkan dengan saluran keluar. Pompa rotari ini berfungsi
sebagai pompa depan, yaitu mengeluarkan gas dari pompa difusi. Tanpa pompa
depan ini, pompa difusi tidak dapat berfungsi karena tidak dapat mengeluarkan gas
yang telah terdifusi. Pompa rotari inilah yang membuat berfungsinya pompa utama
(pompa difusi). Agar kevakuman akhir yang dapat dicapai oleh pompa difusi bisa
lebih tinggi, maka pompa difusi biasanya dibuat bertingkat, seperti yang ditunjukan
pada Gambar 2-3.b.
14
pendingin
reservoir minyak
sistem vakum
nozzle
pendingin
uap minyak
minyak
filamen
celah keluaran ke pompa rotari
filamen
celah keluaran ke pompa rotari
sistem vakum
payung
payung
nozzle
(a) (b)
Gambar 2.3. Penampang pompa difusi : a) penampamg pompa difusi tidak bertingkat b) penampang pompa difusi bertingkat
2.2 Sinar-X
2.2.1 Penemuan Sinar-X
Sinar-X ditemukan pertama kali oleh Wilhelm Roentgen (1845-1923) pada
tahun 1895 yang kemudian biasa disebut sebagai sinar Roentgen sesuai dengan
nama penemunya. Berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukannya, Roentgen
menganggap bahwa sinar-X itu adalah gelombang elektromagnetik dengan panjang
gelombang yang ordenya sebesar 10-10m(1Ǻ) (Wiyatmo,Yusman.2003).
Pada waktu itu juga muncul ide-ide baru bahwa dalam sebuah benda padat,
kristal atom-atomnya disusun dalam sebuah pola berulang secara teratur dengan
15
sebuah jarak antara atom-atom yang berdekatan. Max von Laue (1879-1960) pada
tahun 1912 menggabungkan kedua pemikiran tersebut diatas dan mengusulkan
bahwa sebuah kristal dapat berperan sebagai kisi difraksi tiga dimensi untuk sinar-
X, yakni seberkas sinar-X dapat dihamburkan (diserap dan dipancarkan kembali)
oleh atom-atom individu dalam kristal dan gelombang-gelombang yang
dihamburkan tersebut berinterferensi menyerupai gelombang-gelombang dari
sebuah kisi difraksi.
Eksperimen ini membuktikan bahwa sinar-X adalah suatu bentuk
gelombang atau bersifat menyerupai gelombang dan atom-atom didalam sebuah
kristal disusun dalam sebuah pola yang teratur. Sejak saat itu difraksi sinar-X telah
terbukti sebagai sebuah alat penelitian yang sangat penting untuk mempelajari
struktur kristal (Beiser,Arthur.1986).
2.2.2 Pembentukan Sinar-X
Sinar-X terjadi apabila satu berkas elektron bebas berenergi tinggi mengenai
atau menumbuk logam dalam tabung vakum, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.4.
16
Katoda
Sinar-X
Anoda
Gambar 2.4. Skema Pembangkitan Sinar-X.
Katoda yang dihubungkan dengan kutub negatif sumber tegangan tinggi
dipanaskan dengan menggunakan filament agar lebih mudah memancarkan
elektron. Anoda dihubungkan dengan sumber tegangan tinggi pada kutub positif,
dengan beda potensial yang tinggi menyebabkan elektron yang dipancarkan oleh
katoda memiliki energi kinetik yang sangat besar sesampainya di anoda. Elektron-
elektron tersebut akan menumbuk logam pada anoda dan menimbulkan pancaran
sinar-X dengan daya tembus yang besar (Wiyatmo,Yusman.2003).
Fungsi tabung dalam keadaan vakum dengan katoda dan anoda didalamnya
dimaksudkan agar elektron yang mengalir dari katoda ke anoda tidak mendapat
gangguan dari lingkungan.
17
2.1.3 Interaksi Sinar-X Dengan Materi
Interaksi sinar-X dengan materi pada prinsipnya dapat melalui dua proses
yaitu :
1). Efek fotolistrik
Efek fotolistrik adalah interaksi sinar-X dengan elektron yang terikat kuat
dalam atom, yaitu elektron yang berada pada kulit bagian dalam dari suatu atom,
biasanya kulit K atau L. Sinar-X akan menumbuk elektron tersebut dan karena
elektron itu terikat kuat maka energi sinar-X akan diserap seluruhnya oleh elektron.
Kemudian elektron akan dipancarkan keluar dari atom dengan energi kinetik
sebesar selisih energi sinar-X dan energi ikat elektron.
(2.6)
dengan
energi kenetik elektron, = energi kinetik sinar-X dan = energi ikat
elektron
Secara skematis proses efek fotolistrik dapat ditunjukkan seperti pada Gambar 2.5.
Ephoton Fotoelektron
K
L Inti atom
M
Gambar 2.5. Skema proses efek fotolistrik
18
Atom yang terionisasi akibat efek fotolistrik akan mengubah atom menjadi
tidak stabil. Kekosongan elektron yang ditimbulkan akan diisi oleh elektron dari
kulit yang lebih luar dan terjadi demikian untuk seterusnya. Peristiwa tersebut
diatas akan mengakibatkan pancaran sinar-X dengan energi tertentu.
2). Hamburan Compton
Hamburan Compton adalah interaksi sinar-X dengan elektron yang terikat
paling lemah yaitu elektron pada kulit paling luar dari suatu atom. Saat sinar-X
menumbuk elektron, elektron akan menyerap sebagian energi sinar-X dan
kemudian sinar-X akan terhambur keluar dengan sudut θ terhadap arah gerak sinar-
X mula-mula. Seperti yang terlihat pada Gambar 2.6.
Elektron Compton
Ec
Ex0
θ
Ex s
K
L
M
Gambar 2.6. Skema proses hamburan Compton
19
Elektron yang dilepaskan dinamakan elektron Compton, sedangkan energi
sinar-X yang terhambur adalah merupakan fungsi energi sinar-X mula-mula dan
sudut hamburan.
[1+(E/mc 2 1− (2.7) )(1-Cosθ)]
dengan :
= energi sinar-X
= energi sinar-X mula-mula
m = massa diam elektron
c = kecepatan cahaya dalam hampa
θ = sudut hamburan
Berdasarkan hukum kekekalan energi, energi elektron Compton ( ) adalah selisih
antara energi sinar-X mula-mula ( ) dan energi sinar-X yang terhambur ( ).
(2.8)
2.2.4 Difraksi Sinar-X
Apabila sinar-X monokromatis mengenai material kristal, maka setiap
bidang kristal akan memantulkan atau menghamburkan sinar-X ke segala arah.
Interferensi terjadi hanya antara sinar-sinar pantul sefase sehingga hanya terdapat
20
sinar-X pantulan tertentu saja. Interferensi saling memperkuat terjadi apabila sinar-
X yang sefase mempunyai selisih lintasan kelipatan bulat panjang gelombang (λ).
Pernyataan ini dinamakan Hukum Bragg untuk difraksi kristal (Cullity, 1978).
Secara matematis dapat dituliskan dalam bentuk persamaan :
.
nλ = 2d sinθ (2.9)
dengan :
n = bilangan bulat 1,2,3,4….
λ = panjang gelombang
d = jarak antar bidang kisi
θ = sudut difraksi atau sudut pantulan
untuk memudahkan pemahaman persamaan diatas, dapat diilustrasikan seperti pada
Gambar 2.7
21
Gambar 2.7. Lintasan berkas sinar-X yang mengenai kristal
Kristal merupakan tumpukan bidang kisi, dimana dengan menganggap bidang kisi
sebagai cermin yang dapat memantulkan setiap radiasi yang datang. Pada gambar 2.7
terlihat bahwa jarak antar atom adalah d, dan setiap sinar yang datang dan mengenai atom
pada kristal akan dipantulkan dengan sudut sebesar θ sehingga untuk kedua sinar pada
gambar memiliki selisih panjang jalan sebesar 2dsinθ. Apabila gelombang yang
dipantulkan sefase dan berinterferensi, maka selisih panjang jalannya merupakan
kelipatan bilangan bulat dari panjang gelombang sehingga pola terang yang akan
dihasilkan dari pantulannya.
Alat difraksi sinar-X juga sering disebut difraktometer, yang digunakan untuk
mendeteksi spektrum difraksi, secara skematis ditunjukkan pada Gambar 2.8.
22
Gambar 2.8. Skema difraktometer sinar-X
Sinar-X yang dihasilkan dari tabung sinar-X mempunyai panjang
gelombang λ tertentu. Prinsip kerja dari alat ini adalah sinar-X ditembakkan pada
sampel dan akan mengakibatkan terjadinya hamburan sinar-X. Selanjutnya
hamburan sinar-X akan ditangkap oleh detektor Si(Li) dan dari detektor tersebut
akan diperoleh informasi langsung berupa grafik antara sudut hamburan (2θ) dan
intensitas (I).
Untuk panjang gelombang yang telah diketahui, nilai sudut hamburan (2θ)
dari hasil karakterisasi XRD dapat digunakan untuk mencari jarak antar bidang
atom dhkl dengan menggunakan persamaan (2.9) untuk orde difraksi n = 1. Dari
data perhitungan jarak antar bidang dhkl ini nantinya dapat digunakan untuk
menghitung bidang-bidang kristal (hkl) maupun parameter kisi serta jenis
kristalnya.
23
2.3 Struktur Kristal
2.3.1 Kisi Kristal
Pada dasarnya, jika dilihat dari strukturnya kebanyakan zat padat dalam
alam semesta ini bisa dibagi 2 (dua) yaitu berstruktur kristal dan tidak berstruktur
(amorf). Disebut kristal apabila atom-atom penyusunnya tertata secara teratur
dalam pola tiga dimensi yang berulang secara kontinu dan disebut amorf bila atom-
atom penyusunnya tidak memiliki pola susunan tertentu seperti pada kristal. Kristal
zat padat tiap atomnya terletak pada tiap titik dalam ruang pada jarak yang tertentu,
susunan yang tak terbatas dari titik-titik atom ini disebut kisi ruang. Dalam suatu
kisi ruang, semua titik kisi akan membentuk pasangan bidang-bidang kisi. Bidang
inilah yang menentukan arah permukaan suatu kristal (Suwitra.MS, Drs.N, 1989).
Struktur kristal dapat dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu kubik,
monoklinik, triklinik, tetragonal, orthorhombik, trigonal, dan hexagonal.
Kebanyakan logam memiliki struktur kubik/kubus yang merupakan struktur paling
simetri dan paling sederhana sehingga memudahkan dalam analisis dan perhitungan
mengenai rincian ukuran geometrisnya. Ciri-ciri geometris yang penting antara lain
: jari-jari (r), jumlah atom per unit sel, dan bilangan koordinasi. Selain kubus,
hexagonal juga merupakan salah satu struktur kristal yang sering dijumpai pada
logam.
24
1. Struktur Kubus
Struktur kubus dibagi menjadi tiga bentuk yaitu simple cubic (SC), body
centered cubic (BCC) dan face centered cubic (FCC).
a). Simple Cubic (SC)
Struktur simple cubic atau yang sering disebut kubus sederhana ini hanya
memiliki atom pada sudut-sudut kubus saja seperti yang disajikan pada Gambar 2.9
.
Gambar 2.9. Struktur kubus sederhana.
Atom-atom itu bersinggungan sepanjang sisi-sisi kubus yang tiap atomnya
memiliki enam atom tetangga dekat yaitu 4 atom dalam bidangnya sendiri, 1 atom
diatas dan 1 atom dibawah. Banyaknya atom tetangga dekat untuk suatu struktur
kristal dinamakan bilangan koordinasi (CN). Jadi bilangan koordinasi untuk
struktur kubus sederhana adalah CN = 6.
Hubungan antara jari-jari ‘r’ dengan sisi kubus ‘a’ bisa disajikan seperti
pada Gambar 2.10 yang menunjukkan secara nyata bahwa r= a/2.
25
a
a
r r
a
Gambar 2.10. Hubungan jari-jari ’r’ dengan sisi kubus ’a’.
b). Body Centered Cubic (BCC)
Body centered cubic atau kubus pusat badan memiliki 1 atom yang
menempati pusat kubus dan 8 atom pada tiap sudut. Atom pusat ini bersinggungan
dengan ke-8 atom sudut tetapi atom sudut tidak bersinggungan dengan sesamanya,
sehingga atom pada sistem BCC ini bersinggungan sepanjang garis diagonal ruang.
Gambar 2.11. Struktur kubus pusat badan.
26
Struktur BCC memiliki 8 atom tetangga dekat yaitu 1 atom pusat pada unit
selnya sendiri dan 7 atom pusat dari unit sel yang mengitarinya. Maka bilangan
koordinasi (CN) untuk BCC adalah 8.
a).
C
4r a
b).
B
A a
Gambar 2.12. a). Persinggungan atom pada struktur BCC.
b). Hubungan antara jari-jari atom ’r’ dengan konstanta kisi ’a’.
Dari Gambar 2.12 terlihat bahwa diagonal ruang (AC) sama dengan empat
kali jari-jari atom ‘r’.
27
22 BCAB + AC = (2.10)
222 aa + = (2.11)
3 = a (2.12)
3 4r = a (2.13)
Sehingga dapat diketahui berapa jari-jari atom pada sistem BCC yaitu
43 a (2.14) r =
34rdan a = (2.15)
c). Face Centered Cubic (FCC)
Struktur kisi unit sel kristal FCC atau dengan kata lain kubus pusat muka
dapat ditunjukkan pada Gambar 2.13.
Gambar 2.13. Struktur kubus pusat muka.
Dari Gambar 2.13 terlihat bahwa tiap sudut kisi ditempati oleh sebuah atom
dan satu atom lagi ada di pusat dari masing-masing bidang muka kristal. Atom
28
sudut bersinggungan dengan atom pusat muka kubus, tetapi tidak untuk antar atom
sudut itu sendiri. Seperti yang disajikan pada Gambar 2.14.
Gambar 2.14. Persinggungan atom pada struktur FCC.
Tetangga dekat dari atom sudut ini adalah 4 atom pusat bidang muka yang
berada pada bidang atom itu sendiri, 4 atom pusat bidang muka diatasnya dan 4
atom pusat bidang muka dibawahnya. Jadi sistem FCC ini memiliki 12 atom
tetangga dekat.
4r a
a
Gambar 2.15. Hubungan jari-jari atom ’r’ dengan ’a’ pada struktur FCC.
29
Dari Gambar 2.15 bisa dilihat bahwa hubungan antara r dengan a adalah
22 BCAB + (2.16) AC =
22 aa + = (2.17)
2 = a (2.18)
24r = a (2.19)
Sehingga dapat diperoleh
42 a (2.20) r =
24ratau a = (2.21)
2 = 2 r (2.22)
2 . Struktur Hexagonal
Struktur Hexagonal adalah jenis kristal yang sudah umum dijumpai
misalnya pada beberapa logam seperti magnesium, titanium dan seng.
Dalam struktur ini bola-bola atom tersusun pada satu bidang dimana satu
bola atom bersinggungan dengan enam bola atom di sekitarnya. Secara skematis
kisi kristal jenis heksagonal tumpukan padat disajikan pada Gambar 2.16.
30
Gambar 2.16. Skematis kisi kristal jenis heksagonal tumpukan padat
Untuk sistem kristal jenis lain yaitu triklinik, monoklinik, orthorhombik,
tetragonal dan trigonal dapat dilihat dan dipahami pada empat belas kisi bravais
pada Gambar 2.17.
31
Gambar 2.17. Empat belas kisi bravais
32
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
1). Preparasi dan pembuatan lapisan tipis Aluminium dilakukan pada bulan
Desember 2006 di Laboratorium Bidang Teknologi Akselerator dan Fisika Nuklir,
Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan, Badan Tenaga Nuklir Nasional
(PTAPB-BATAN) Yogyakarta.
2). Karakterisasi struktur kristal dari lapisan tipis Al menggunakan Diffraktometer
jenis Shimadzu_6000, yang dilakukan pada bulan Januari 2007 di Laboratorium
Fisika Fakultas MIPA UNS, Surakarta, Solo.
3.2 Bahan Penelitian
1). Kaca preparat (microscope slide), sebagai substrat yang akan dilapisi Al.
2). Aluminium yang berupa gulungan kawat, sebagai target yang akan dilapiskan
pada substrat kaca.
3). Alkohol dan tissue sebagai bahan pembersih substrat.
3.3 Alat Penelitian
1). Neraca atau timbangan jenis GR-202 (GR SERIES), untuk menimbang berat Al
yang akan dideposisikan.
2). Gunting, untuk memotong Al.
33
3). Pinset, untuk meletakkan dan mengambil Al dari timbangan.
4). Plastik klip sebagai tempat penyimpan substrat yang telah disediakan dan
lapisan tipis yang telah terbentuk.
5). Seperangkat alat coating untuk pembuatan lapisan tipis, dalam penelitian ini
digunakan unit Vaccum Coating E610 Edward.
6). Seperangkat alat Difraksi sinarX (XRD) jenis Shimadzu_6000.
3.4 Diagram Alir Penelitian
Mulai
Preparasi sampel
Proses evaporasi
Karakterisasi XRD
Anlisa Hasil
Selesai
Tidak baik
Baik
34
3.5 Prosedur Penelitian
3.5.1 Persiapan
1). Substrat yang akan digunakan adalah kaca preparat yang memiliki bentuk
persegi panjang dengan panjang 7,6 cm, lebar 2,54 cm dan tebal 0,1 cm.
2). Substrat yang akan dilapisi Aluminium harus dalam kondisi bersih untuk
menghasilkan pendeposisian yang baik, untuk membersihkan substrat
digunakan alkohol dan dikeringkan dengan tissue.
3). Aluminium yang akan dideposisikan masih berupa gulungan kawat yang
kemudian dipotong-potong dan ditimbang untuk memperoleh berat sesuai
yang diinginkan serta disimpan dalam plastik klip.
3.5.2 Proses deposisi lapisan tipis Al
Proses pelapisan dilakukan pada tekanan sekitar 10 5− Torr. Substrat kaca
yang akan dilapisi dan telah dibersihkan diletakkan pada penyangganya yang dapat
diputar, menyusul Al yang telah disiapkan diletakkan pada kowi atau wadah yang
berbentuk perahu. Dalam proses ini dibutuhkan sistem vakum untuk memperoleh
kondisi proses yang bersih dari kotoran agar lapisan tipis yang dihasilkan tidak
terkontaminasi (murni Al), tentunya dengan penggunaan pompa vakum yang
meliputi pompa rotari dan pompa difusi.
Proses pelapisannya, mula-mula tekanan di dalam ruang vakum diturunkan
dengan menghidupkan pompa rotari atau pompa mekanik sampai mencapai tekanan
10 2− Torr dan baru kemudian menghidupkan pompa difusi atau pompa evaporasi
35
sampai diperoleh tekanan 10 5− Torr. Selama operasi atau selama proses deposisi
pompa difusi tetap dihidupkan untuk mempertahankan tingkat kevakuman. Setelah
penghampaan sistem mencapai 10 5− Torr, tegangan pada filamen penguap mulai
dihidupkan sampai filamen tersebut menyala. Arus pemanas harus dinaikkan
sedikit demi sedikit agar tidak terjadi loncatan-loncatan Al karena penguapan yang
mendadak. Arus dinaikkan sampai seluruh Al mencair tetapi belum menguap.
Setelah Al mencair arus dinaikkan lagi sehingga terjadi penguapan Al hingga Al
yang menguap tersebut menempel pada substrat.
3.6 Metode Karakterisasi
Untuk mengetahui karakterisasi lapisan tipis yang terbentuk perlu dilakukan
pengujian lapisan tipis tersebut dengan uji XRD Shimadzu_6000. Alat Difraksi
sinar-X yang disebut juga difraktometer adalah alat yang digunakan untuk
menganalisa spektrum difraksi seperti yang telah dijelaskan pada bab terdahulu.
SinarX ditembakkan pada sampel (kristal) dan mengakibatkan terjadinya
hamburan sinar-X. Hamburan sinar-X akan ditangkap oleh detektor Si(li) dan dari
detektor akan diperoleh informasi langsung berupa grafik sudut hamburan (2θ) dan
intensitas (I).
3.7 Metode Analisis Hasil
Metode karakterisasi yang dilakukan akan memberikan informasi langsung
berupa grafik hubungan antara sudut hamburan (2θ) dan intensitas (I). Sudut
36
hamburan yang berbeda akan memberikan besar intensitas yang berbeda pula,
sehingga dari grafik tersebut dapat terlihat bahwa intensitas akan terjadi pada sudut
hamburan tertentu.
Sudut hamburan ditentukan oleh panjang gelombang sinar X dan konstanta
kisi dari sampel (kristal) sehingga dengan mengetahui sudut hamburan dapat
ditentukan konstanta kisi dan bidang hkl dari kristal tersebut dengan menggunakan
tahapan pengindeksan pola difraksi.
3.7.1 Pengindekan Pola Difraksi (Indexing Diffraction Pattterns)
Seperti yang telah dijelaskan pada dasar teori, bahwa sistem kristal bisa
dikelompokkan menjadi 7 (tujuh) yaitu kubik, monoklinik, triklinik, tetragonal,
orthorhombik, trigonal atau yang bisa juga disebut rhombohedral, dan hexagonal.
Ketujuh kristal tersebut terbagi menjadi 14 (empat belas) kisi ruang atau kisi
bravais (Harold, Stokes .T, 1947).
Setiap sistem kristal memiliki nilai bidang-bidang hkl dan parameter kisi
yang berbeda. Untuk sistem kubus, karena paremeter a = b = c maka bisa diartikan
bahwa sistem kubus memiliki satu parameter kisi yang tidak diketahui yaitu a.
Sedangkan untuk sistem non kubik akan sedikit lebih rumit karena memiliki dua
atau lebih parameter kisi yang belum diketahui, sehingga dari nilai panjang ketiga
sisi unit sel yaitu a, b, c dan besarnya ketiga sudut sumbu kristal α, β, γ diperoleh
hubungan keduanya dengan jarak antar bidang untuk masing-masing jenis kristal,
yang disajikan pada Tabel I dan II.
37
Tabel 1. Hubungan jarak antar bidang (d) dengan bidang-bidang atom (hkl) untuk masing-masing jenis kristal
No Jenis Kristal Hubungan antara d, hkl dan a, b, c, α, ß, γ
1 Kubik 02
222
2 90,,1=====
++= γβαcba
alkh
d (Cubic)
2 Tetragonal (Tetragonal)
02
2
2
22
2 90,,1===≠=+
+= γβαcba
cl
akh
d
3 Orthorhombik
(Orthorhombic)
02
2
2
2
2
2
2 90,,1===≠≠++= γβαcba
cl
bk
ah
d
4 Hexagonal (Hexagonal)
002
2
2
22
2 120,90,,341
===≠=+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ ++= γβαcba
cl
akhkh
d
5 Monoklinik (Monoclinic)
00
2
2
2
22
2
2
22
90,90,
,cos2sinsin
11
≠==≠≠
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−++=
βγα
βββ
cba
achl
cl
bk
ah
d
( ) ( )( )( )
0
322
22222
2
90,
,cos2cos1
coscos2sin1
≠==≠≠
+−−+++++
=
γβααα
ααα
cbaa
hlklhkkkhd
6 Rhombohedral
(Rhombohedral)
7 Triklinik (Triclinic) ( )hlSklShkSlSkShS
Vd 1323122
332
222
1122 22211+++++=
dengan,
V ádalah voleme dari sel satuan (disajikan pada Tabel II)
( )( )( )βαγ
αγβ
γγβ
γ
β
α
coscoscos
coscoscos
coscoscos
sin
sin
sin
213
223
212
22233
22222
22211
−=
−=
−=
=
=
=
cabS
bcaS
abcS
baS
caS
cbS
38
Tabel II. Volume sel satuan untuk masing-masing jenis kristal
No Jenis Kristal Voleme sel satuan
1 Kubik 3aV = (Cubic)
2 Tetragonal (Tetragonal)
caV 2=
abcV =3 Orthorhombik (Orthorhombic)
4 Hexagonal (Hexagonal) cacaV 2
2
866,02
3==
βsinabcV = 5 Monoklinik (Monoclinic)
6 Rhombohedral (Rhombohedral)
αα 323 cos2cos31 +−= aV
7 Triklinik (Triclinic)
γβαγβα coscoscos2coscoscos1 222 +−−−= abcV
Dalam praktek, informasi langsung yang diperoleh dari eksperimen
menggunakan XRD adalah sudut hamburan (2θ) dan intensitas (I). Untuk dapat
menghitung indeks Miller dari pola difraksi (bidang-bidang) kristal adalah berbeda
untuk masing-masing jenis kristal. Pengindekan pola difraksi dapat dilakukan
secara matematis maupun analitis. Adapun tahapan dalam pengindekan adalah
sebagai berikut.
1. Pengindekan Sistem Kristal Kubus
Untuk material kubus, jarak antar bidang atom diberikan oleh persamaan,
02
222
2 90,,1=====
++= γβαcba
alkh
d (2.23)
39
Bila ditinjau kembali hukum Bragg dengan orde difraksi n = 1,
λ = 2 dhkl sinθ
maka bila kedua ruas dikuadratkan akan diperoleh persamaan,
2
22
4sin
dλθ = atau θλ 222 sin4d= (2.24)
Bila persamaan (2.23) dan (2.24) dikombinasikan akan diperoleh persamaan,
2
2
2
222
2
sin41λ
θ=
++=
dlkh
d (2.25)
atau
( 2222
22
4sin lkh
a++⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=
λθ ) (2.26)
2
2
4aλOleh karena λ dan a adalah konstan, maka juga konstan, maka
( )222 lkh ++θ2sin sebanding dengan , sehingga dengan indeks Miller lebih tinggi
akan didifraksikan pada sudut yang lebih tinggi pula.
Tahapan dalam pengindekkan pola difraksi untuk materials kubus adalah
sebagai berikut :
1) Identifikasi puncak-puncak yang muncul.
2) Hitung nilai sin2θ.
egersK int,sin 2 θ3) Tentukan nilai atau )(sin 2222 lkhK ++=θ
4) Identifikasi pembagi terendah dari hasil (3) dan juga identifikasi bilangan bulat
yang bersesuaian. Namakan pembagi terendah tersebut adalah K.
40
5) Bagi sin2θ dengan K untuk masing-masing puncak. Dari sini akan diperoleh
daftar bilangan bulat yang bersesuaian dengan h2 + k2 + l2.
6) Pilih pola yang sesuai dengan nilai h2 + k2 2 + l dan identifikasi kisi Bravaisnya
7) Hitung parameter kisinya.
Sebagai contoh, dapat dilihat pada lampiran.
2. Pengindekan Struktur Kristal Non Kubus
Untuk material yang berstruktur bukan kubus, memiliki indeks Miller yang
dapat dicari dengan persamaan seperti yang telah disajikan pada Tabel I, yaitu :
002
2
2
22
2 120,90,,341
===≠=+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ ++=→ γβαcba
cl
akhkh
dHexagonal (2.27)
02
2
2
22
2 90,,1===≠=+
+=→ γβαcba
cl
akh
dTetragonal (2.28)
02
2
2
2
2
2
2 90,,1hom ===≠≠++=→ γβαcbacl
bk
ah
dbicOrthor (2.29)
Dan dengan mengingat hukum Bragg orde 1,
λ = 2 dhkl sinθ
maka bila kedua ruas dikuadratkan akan diperoleh persamaan,
2
22
4sin
dλθ = 2
2
2
sin41λ
θ=
d atau θλ 222 sin4d= atau
Dan bila kedua persamaan ini dikombinasikan, maka akan diperoleh persamaan
41
2
2
2
2
2
22
2
sin4341
λθ
=+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ ++=→
cl
akhkh
dHexagonal (2.30)
2
2
2
2
2
22
2
sin41λ
θ=+
+=→
cl
akh
dTetragonal (2.31)
2
2
2
2
2
2
2
2
2
sin41homλ
θ=++=→
cl
bk
ah
dbicOrthor
(2.32)
Persamaan tersebut dapat disusun kembali dalam bentuk persamaan Sin2θ
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡+⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ ++⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=→ 2
2
2
2222
34*
4sin
cl
akhkhHexagonal λθ (2.34)
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=→ 2
2
2
2222
4sin
cl
akhTetragonal λθ (2.35)
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛++⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=→ 2
2
2
2
2
222
4sinhom
cl
bk
ahbicOrthor λθ (2.36)
a. Sistem kristal Tetragonal
Nilai sin2θ untuk struktur kristal dari Tetragonal diberikan oleh persamaan,
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=→ 2
2
2
2222
4sin
cl
akhTetragonal λθ
Karena untuk setiap pola difraksi yang diberikan, nilai a dan c/a ádalah tetap,
sehingga nilai 2
2
4aλ juga tetap/konstan, maka persamaan . (2.35) dapat dituliskan
dalam bentuk yang lebih sederhana yaitu,
42
( ) 2222sin ClkhA ++=θ (2.37)
dengan 2
2
4aA λ= 2
2
4cC λ= dan juga merupakan statu konstanta. Nilai konstanta A
dapat diperoleh dari garis hk0. Maka bila l = 0 maka persamaan (2.37) menjadi,
( )222sin khA +=θ (2.38)
Jumlahan untuk nilai (h2 + k2) adalah 1,2, 4, 5, 8 ..........., karenanya garis hk0 harus
mempunyai nilai sin2θ dibagi bilangan bulat tersebut (1, 2, 4, 5, 8 ........) dan . A
akan bernilai 1,1/2, ¼, 1/5, 1/8....x sin2θ. Sedang nilai C akan didapatkan melalui
persamaan
( ) 2222sin ClkhA =+−θ
Dengan kombinasi nilai h dan k yang mungkin akan diperoleh deretan nilai Cl2 .
Karena nilai l2 adalah sudah tertentu yaitu 1, 2, 4, 9, 16………, maka nilai C akan
didapat..
b. Sistem kristal Hexagonal
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡+⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ ++⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=→ 2
2
2
2222
34*
4sin
cl
akhkhHexagonal λθ
Persamaan ini dapat disederhanakan dalam bentuk persamaan,
( ) 2222sin ClkhkhA +++=θ (2.39)
2
2
3aA λ= 2
2
4cC λ=dan dengan
43
( )22 khkh ++Nilai jumlahan dari yang memenuhi adalah 1, 3, 4, 7,
9……..
Langkah cara pengindekannya adalah sebagai berikut yang kemudian disajikan
secara mendetail pada lampiran (sebagai contoh).
a) Hasil data eksperimen.
b) Penentuan nilai sin2θ .
( )22 khkh ++c) Menghitung nilai sin2θ/
d) Menghitung nilai C.
Untuk nilai C dapat dicari dengan persamaan
( ) 2222sin ClkhkhA =++−θ (2.40)
c. Sistem Kristal Orthorhombik
Untuk sistem Orthorhombik, bentuk persamaan sin2θ yang diberikan
adalah ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛++⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=→ 2
2
2
2
2
222
4sinhom
cl
bk
ahbicOrthor λθ
dalam bentuk yang lebih sederhana dapat dituliskan menjadi
2222sin ClBkAh ++=θ
2
2
4aA λ= 2
2
4bB λ= 2
2
4cC λ=, , dan merupakan suatu konstanta. dengan
Pengindekan struktur kristal orthorhombik akan menjadi lebih komplek atau
sulit dikarenakan terdapatnya 3 konstanta yang tidak diketahui nilainya yaitu A, B,
44
dan C, dimana nilai dari konstanta tersebut harus ditentukan untuk mencari
perbedaan diantara berbagai nilai sudut hamburan. Sebagai contoh,
mempertimbangkan dua garis yang memiliki indeks hk0 dan hkl dengan nilai hk
yang sama seperti 120 dan 121. Perbedaan diantara kedua garis tersebut terletak
pada C. Dengan cara yang sama maka pada garis yang memiliki hkl 310 dan 312
perbedaannya adalah 4C dan seterusnya. Jika untuk sistem orthorhombik memiliki
metode análisis pengindekan yang seperti itu, maka akan menjadi lebih sulit dalam
mengindeksi karenakan banyak garis yang hilang dalam pola.
Terlepas dari kesulitan itu, metode análisis ini telah berhasil diterapkan
untuk mencari nilai indeks dari pola orthorhombik.
45
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini pendeposisian lapisan tipis Al menggunakan metode
evaporasi dengan variasi ketebalan. Selanjutnya dilakukan karakterisasi struktur
kristal dengan XRD untuk mengetahui orientasi bidang hkl.
4.1 Hasil dan Pembahasan
4.1.1 Pembuatan Lapisan Tipis Al
Proses evaporasi dilakukan dalam ruang vakum dengan tingkat
kevakuman 1,1.10 5− Torr dimana lama proses evaporasi itu sendiri berkisar antara
2-3 jam dan jarak antara substrat dengan target adalah ± 10,5 cm. Target dalam hal
ini Aluminium (Al) yang akan dideposisikan terlebih dahulu ditimbang beratnya
sesuai dengan keinginan untuk mengetahui berapa berat target tersebut. Substrat
yang berupa kaca preparat juga ditimbang beratnya sebagai W 1 dan substrat yang
telah terdeposisi oleh target ditimbang kembali beratnya sebagai W 2 , berat target
(W 0 ) yang terdeposisi pada substrat dapat dicari dengan persamaan yaitu W 0 =
W 2 - W 1 sehingga ketebalan dari target yang telah terdeposisi dapat dihitung
dengan pendekatan persamaan berikut :
d = lpW
..0
ρ
dengan
d = tebal lapisan tipis
46
ρ = massa jenis target
p = panjang substrat
l = lebar substrat
Dari proses evaporasi yang telah dilakukan, diperoleh hasil deposisi seperti
yang tercantum pada Tabel III.
Tabel III. Hasil deposisi lapisan tipis
No Berat Al yang akan dicoating
(gram)
d= lpW
..0
ρ
W 0 (gram)
W1 (gram)
W 2 (gram) (nm)
1 kaca preparat 0 48,971 0 0 2 0,0324 0,003 49,642 49,645 57,558 3 0,0444 0,004 49,278 49,282 76,744 4 0,0547 0,005 49,258 49,263 95,930 5 0,0617 0,006 47,624 47,630 115,117 6 0,0672 0,007 134,303 48,976 48,983
4.1.2 Karakterisasi Struktur Kristal Lapisan Al Dengan Menggunakan
Difraksi sinar-X (XRD)
Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisika Fakultas MIPA UNS,
Surakarta. Penelitian uji XRD ini dilakukan untuk mengetahui karakterisasi struktur
kristal dari lapisan tipis Al yang terdeposisi pada substrat kaca dengan
menggunakan panjang gelombang sebesar λ = 1,54060Ǻ. Informasi langsung yang
diperoleh dari uji XRD dari lapisan tipis Al yang telah terdeposisi pada substrat
47
kaca untuk berbagai variasi ketebalan adalah berupa spektrum atau grafik antara
sudut hamburan (2θ) yang diambil pada sudut hamburan sebesar 20˚ - 90˚ dan
intensitas (I) Untuk menentukan orientasi bidang hkl struktur kristal itu sendiri
ditentukan dengan tahapan pengindeksan pola difraksi.
Perhitungan hkl
lapisan Al dengan ketebalan 57,558nm
No. Puncak
Sudut Hamburan (2θ)
Sin2 hkl θ 222 lkh ++2
sin 2 θ3
sin 2 θ4
sin 2 θ
21,75 1 0,1373 0,06865 0,0457 0,0343 3 111
26,45 2 0,1984 0,0992 0,0661 0,0496 4 200
Lapisan Al dengan ketebalan 76,744nm
No. Puncak
Sudut Hamburan (2θ)
Sin2 hkl θ 222 lkh ++2
sin 2 θ3
sin 2 θ4
sin 2 θ
35,39 1 0,3354 0,1677 0,1118 0,0839 3 111
39,14 2 0,3984 0,1992 0,1328 0,0996 4 200
48
Lapisan Al dengan ketebalan 95,930nm
No. Puncak
Sudut Hamburan (2θ)
Sin2 hkl θ 222 lkh ++2
sin 2 θ3
sin 2 θ4
sin 2 θ
22,46 1 0,1459 0,0729 0,0486 0,0365 4 200
23,86 2 0,1636 0,0818 0,0545 0,0409 4 200
Lapisan Al dengan ketebalan 115,117nm.
No. Puncak
Sudut Hamburan (2θ)
Sin2 hkl θ 222 lkh ++2
sin 2 θ3
sin 2 θ4
sin 2 θ
39,17 1 0,1123 0,05615 0,03743 0,02807 3 111
45,40 2 0,1489 0,07445 0,04963 0,03723 4 200
Lapisan Al dengan ketebalan 134,303nm
No. Puncak
Sudut Hamburan (2θ)
Sin2 hkl θ 222 lkh ++2
sin 2 θ3
sin 2 θ4
sin 2 θ
39,20 1 0,3994 0,1997 0,1331 0,0998 3 111
45,18 2 0,5031 0,2515 0,1677 0,1257 4 200
Dari perhitungan yang telah dilakukan, diperoleh bidang-bidang hkl untuk masing-
masing sampel seperti yang terlihat pada Tabel IV berikut.
49
Tabel IV. Nilai-nilai hkl pada sudut hamburan 2θ.
Hasil analisa struktur kristal dari lapisan tipis Al yang telah terdeposisi pada
substrat kaca untuk berbagai variasi ketebalan adalah berupa spektrum atau grafik
antara sudut hamburan (2θ) yang diambil pada sudut hamburan sebesar 20˚ - 90˚
dan intensitas (I) yang untuk lebih jelasnya disajikan pada gambar 1,2,3,4, 5 dan
gambar 6.
Sudut Hamburan (2θ)
Ketebalan
Lapisan Al
(nm) 2θ hkl 2θ hkl 57,558 21.75 200 26.45 200
76,744 35.39 111 39.14 200
95,930 22.46 200 23.86 200
115,117 39.17 111 45.4 200
134,303 39.2 111 45.18 200
50
Inte
nsita
s (I)
Sudut hamburan(2θ)
Gambar 1. Spektrogram sudut hamburan (2θ) dari substrat kaca
Inte
nsita
s(I)
Sudut hamburan(2θ)
Gambar 2. Spektrogram sudut hamburan (2θ) dari lapisan tipis Al pada substrat kaca,
dengan ketebalan lapisan tipis 57, 558nm
51
Inte
nsita
s(I)
Sudut hamburan(2θ)
Gambar 3. Spektrogram sudut hamburan (2θ) dari lapisan tipis Al pada substrat kaca,
dengan ketebalan lapisan tipis 76,744nm
Inte
nsita
s(I)
Sudut hamburan(2θ)
Gambar 4. Spektrogram sudut hamburan (2θ) dari lapisan tipis Al pada substrat kaca,
dengan ketebalan lapisan tipis 95,930nm
52
Inte
nsita
s(I)
39.17,100
Gambar 5. Spektrogram sudut hamburan (2θ) dari lapisan tipis Al pada substrat kaca,
dengan ketebalan lapisan tipis 115,117nm
Gambar 6. Spektrogram sudut hamburan (2θ) dari lapisan tipis Al pada substrat kaca,
dengan ketebalan lapisan tipis 134,303nm
Sudut hamburan(2θ)
Inte
nsita
s(I)
39.20,100
45.18,43
Sudut hamburan(2θ)
53
Dari spektogram lapisan tipis Al pada substrat kaca dengan ketebalan
lapisan tipis Al 57,558 nm, 76,744 nm dan 95,930 nm yang disajikan pada gambar
2, 3 dan 4 terlihat bahwa lapisan tipis yang terbentuk masih amorf (tidak
berstruktur), hal ini ditandai dengan tidak adanya puncak-puncak difraksi yang
muncul. Namun pada ketebalan 115,117 nm dan 134,303 nm seperti yang disajikan
pada gambar 5 dan gambar 6, muncul adanya puncak difraksi pada sudut hamburan
2θ = 39,1750° dengan jarak antar bidang d = 2,2972 Å dan 2θ = 39,200° dengan d
= 2,2963 Å. Setelah dilakukan perhitungan diperoleh orientasi bidang hkl yang
sesuai adalah (111). Struktur amorf seperti yang disajikan pada gambar 1, 2, 3, dan
4 kemungkinan besar dikarenakan masih tipisnya lapisan tipis yang terbentuk,
sehingga sinar-X yang digunakan mampu menembus lapisan Al hingga mengenai
kaca, oleh sebab itu sinar-X yang terhamburpun akibat dari atom-atom kaca yang
memang berstruktur amorf. Dengan menebalnya lapisan tipis Al, seperti yang
ditunjukkan pada gambar 5 dan 6 ternyata lapisan tipis yang terbentuk disamping
amorf juga mulai muncul adanya puncak difraksi pada sudut hamburan 2θ =
39,1750° dengan jarak antar bidang d = 2,2972 Å (gambar 4) dan 2θ = 39,200°
dengan jarak antar bidang d = 2,2963 Å (gambar 5). Hal ini kemungkinan besar
hamburan sinar-X yang ditangkap detektor merupakan kontribusi dari atom-atom
kaca maupun atom-atom Al.
Informasi sudut hamburan dan jarak antar bidang serta perhitungan orientasi
bidang hkl yang diperoleh membuktikan bahwa Al yang terdeposisi memiliki
struktur kristal FCC yaitu dengan diperolehnya nilai-nilai hkl yang bersesuaian
54
untuk struktur kristal FCC namun tidak pada nilai sudut hamburannya (sudut
hamburan yang berbeda), sehingga dianggap bahwa lapisan yang terdeposisi
bukanlah lapisan Al murni. Setelah dicocokkan dengan data yang ada pada Powder
Diffraction Data dari tabel JCPDS (Joint Comitte Powder on Diffraction
Standarts) ternyata pada kondisi tersebut data yang paling mendekati adalah 2θ =
39,741° dengan bidang hkl (111) dimana bidang tersebut adalah merupakan
senyawa Alumunium Silicon Oxide Nitride (Si). Struktur kristal tersebut
merupakan Orthorhombik dengan parameter kisi a = 5,500 Å, b = 8,904 Å, dan c =
4,861 Å. Terbentuknya senyawa tersebut disebabkan karena unsur utama dari kaca
adalah Si dan O, sedangkan unsur N yang merupakan unsur yang terkandung dalam
udara kemungkinan besar ikut bersenyawa karena dimungkinkan tingkat
kevakuman saat pendeposisian kurang tinggi. Disamping itu unsur Si juga mudah
bersenyawa dengan unsur N membentuk senyawa SiN yang bersifat isolator.
55
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil eksperimen pelapisan aluminium pada substrat kaca untuk
berbagai variasi ketebalan dan setelah dianalisa menggunakan teknik XRD dapat
disimpulkan bahwa;
1. Untuk ketebalan lapisan dalam orde 0 nm (substrat kaca tanpa lapisan), Al
57,558 nm, 76,744 nm dan 95,930 nm, lapisan tipis yang terbentuk adalah
amorf.
2. Pada ketebalan 115,117 nm dan 134,303 nm mulai terbentuk kristal, yang
ditandai dengan munculnya puncak difraksi pada sudut hamburan 2θ = 39,1750
dengan jarak antar bidang d = 2,2972 Å dan 39,200 dengan d = 2,2963 Å.
3. Setelah dilakukan perhitungan dan pencocokan dengan data yang ada pada
Powder Diffraction Data dari Tabel JCPDS (Joint Comitttee Powder On
Diffraction Standards) ternyata lapisan yang terdeposisi bukanlah merupakan
Al murni melainkan pada kondisi tersebut data yang paling mendekati adalah 2θ
= 39,741 dengan bidang (111), yang bidang tersebut merupakan senyawa
Alumium Silicon Oxide Ntride (Si1,8Al0,201. 2N1,8).
4. Struktur kristal tersebut merupakan Orthorombik dengan parameter kisi a =
5,500 Å, b = 8,904 Å dan c = 4,861 Å.
56
5.2 Saran
Saran yang penulis berikan untuk diperhatikan jika penelitian sejenis
dilakukan adalah:
1. Agar dilakukan pembersihan substrat kaca dan sampel sebersih mungkin
untuk menghindari terkontaminasi dari zat lain dan agar diperoleh hasil
pendeposisian yang terdeposisi maksimal.
2. Agar dilakukan uji XRD sesegera mugkin setelah hasil pendeposisian
lapisan diperoleh untuk menghindari rusak atau sampel yang terkelupas.
57
DAFTAR PUSTAKA
1997 JCPDS International Centre for Diffraction Data PCPDFWIN v. 1.3
Achmad, Drs. Hiskia. KIMIA UNSUR dan RADIOKIMIA, PT. CITRA ADITYA
BAKTI, BANDUNG 1992.
Beiser, Arthur, KONSEP FISIKA MODERN, Erlangga, 1986.
Compton and Allison, ”X-Rays in Theory and Experiment”. D.Van Nostrand
Company, Inc. Newyork 1935.
Cullity, B.D, Elements of X-RAY DIFFRACTION second edition, Addison- Wesley
publishing company, inc, 1978.
Getrude de, G.S.B and SAVIS, TEORI dan PENYELESAIAN SOAL FISIKA
MODERN, 1981.
Harold, Stokes .T. ”Solid State Physics”, Allyn and bcon, Inc.United States of
Amerika,1947.
Suprapto, Sistem Hampa, Diklat Pengenalan dan Aplikasi Akselerator, PPNY-
BATAN, Yogyakarta, 1998
Suwitra.MS, Drs.N, PENGANTAR FISIKA ZAT PADAT, DepDikBud, Jakarta ,1989.
Wiyatno, Yusman.” FISIKA MODERN”, Pustaka pelajar,Yogyakarta, 2003.
58