AL Nasakh Wa Al Mansukh

17
AL-NASAKH WA AL-MANSUKH AL-NASAKH WA AL-MANSUKH Oleh: Muhammad Hambali, S.HI A. Pendahuluan Al-Qur’an sebagi mu’jizat Nabi Muhammad, ia merupakan panduan dasar bagi umat Islam selain al-Hadis dalam menetapan hukum Islam. Sebagai Huda al-Nash al-Qur’an memiliki kekayaan dimensi hukum, baik dalam hal sifat universalitasnya maupun bentuk pola- pola hukum syara’ yang tidak terlepas dari aspek sosio cultural masyarakat Arab saat itu. Sebab, diakui atau tidak turunnya al- Qur’an secara bertahap adalah terkait dengan problem masyarakat arab waktu itu. Dalam kerangka itu, dalam menetapkan dan menggali hukum Islam yang tertuang dalam al-Qur’an, tentunya dibutuhkan alat untuk mengupas dimensi hukumnya. Antara lain ilmu Qur’an yang didalamnya terdapat kajian seperti tafsir, muhkam mutasyabih, Al- Nasakh Wa al-Mansukh dan yang lainnya serta pemahaman kaidah ushuliyah dan fiqhiyah. Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai salah satu bagian dalam kajian ulumul Qur’an, memiliki kontribusi yang sangat penting, sebab dengan memahaminya kita akan mampu memahami apakah hukum yang termaktum dalam ayat-ayat Qur’an tersebut masih berlaku atau tidak. Betapa pentingnya menguasai ilmu Nasakh Mansukh dalam suatu

description

tugas

Transcript of AL Nasakh Wa Al Mansukh

Page 1: AL Nasakh Wa Al Mansukh

AL-NASAKH WA AL-MANSUKH

AL-NASAKH WA AL-MANSUKH

Oleh: Muhammad Hambali, S.HI

A. Pendahuluan

Al-Qur’an sebagi mu’jizat Nabi Muhammad, ia merupakan panduan dasar bagi umat Islam

selain al-Hadis dalam menetapan hukum Islam. Sebagai Huda al-Nash al-Qur’an memiliki

kekayaan dimensi hukum, baik dalam hal sifat universalitasnya maupun bentuk pola-pola hukum

syara’ yang tidak terlepas dari aspek sosio cultural masyarakat Arab saat itu. Sebab, diakui atau

tidak turunnya al-Qur’an secara bertahap adalah terkait dengan problem masyarakat arab waktu

itu.

Dalam kerangka itu, dalam menetapkan dan menggali hukum Islam yang tertuang dalam al-

Qur’an, tentunya dibutuhkan alat untuk mengupas dimensi hukumnya. Antara lain ilmu Qur’an

yang didalamnya terdapat kajian seperti tafsir, muhkam mutasyabih, Al-Nasakh Wa al-Mansukh

dan yang lainnya serta pemahaman kaidah ushuliyah dan fiqhiyah.

Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai salah satu bagian dalam kajian ulumul Qur’an, memiliki

kontribusi yang sangat penting, sebab dengan memahaminya kita akan mampu memahami

apakah hukum yang termaktum dalam ayat-ayat Qur’an tersebut masih berlaku atau tidak.

Betapa pentingnya menguasai ilmu Nasakh Mansukh dalam suatu Riwayat sahabat Ali ketika

meliwati seorang hakim mengatakan “apakah engkau mengetahui nasakh” dan orang itu

menjawab “tidak” maka Ali berkata “celakalah kamu dan mencelakakan orang lain” . Dari

riwayat tersebut dapat di pahami bahwa eksistensi Nasakh Mansukh dalam Istinbath Hukum

adalah mutlak adanya, sebab dengan tidak memahaminya, hukum yang lahir akan jauh dari

prinsip dasar pensyariatan (Maqosid al-Syar’i).

Oleh karena itu, makalah ini mencoba menguraikan apa, dan bagaimana sebenarnya Al-Nasakh

Wa al-Mansukh. Namun demikian harus dipahami bahwa makalah ini hanya merupakan acuan

dasar yang patut mendapatkan pembahasan dan kajian ulang baik terkait data yang disajikan

maupun conten dari makalah. Dengan demikian kita akan memperoleh pemahaman yang holistik

terhadap Al-Nasakh Wa al-Mansukh.

Page 2: AL Nasakh Wa Al Mansukh

B. Pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh

Secara etimologi Nasakh dapat diartikan menghapus, menghilangkan, yang memindahkan,

menyalin, mengubah dan menggganti. Sejalan dengan pengertian tersebut Ahmad Syadali

mengartikan Nasakh dengan 2 macam yaitu : pertama االزلة:yang berarti hilangkan, hapuskan.

Definisi ini merujuk pada dialek orang Arab yang sering berkata الظل الشمس Cahaya)نسحت

Matahari menghilangkan bayang-bayang). Kedua موضع الى الشيئ yaitu.نقل memindahkan

sesuatu dari satu tempat ketempat yang lainnya. Difinisi ini juga merujuk pada QS.al-Jaziyah:29

Sedangkan secara istilah Nasakh dapat didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain:

a. Hukum Syara’ atau dalil Syara’ yang menghapuskan dalil Syara’ terdahulu dan menggantinya

dengan ketentuan hukum baru yang dibawahnya.

Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah jika

akan menghadap rasul menjadi bebas.

b. Nasakh adalah Allah SWT. Artinya otoritas menghapus dan menggantikan hukum syara’

hakikatnya adalah Allah SWT. Definisi ini didasarkan pada S. al-Anam:5 dan al-Baqorah :106

c. شرحياعنه شرعي بخطاب الشرعي الحكم artinya mengangkatkan hukum syara’ denganرفع

perintah atau khitab Allah yang datang kemudian dari padanya.

Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya Nasakh tidak lain sebagai proses

penghapusan ayat dan hukum yang tertuang dalam al-Qur’an. Selain itu kedatangan ayat yang

menghapus mutlak adanya setelah ayat yang di hapus.

Adapun Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan

disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang mengartikan dengan المرتفع Hukum الحكم yang

diangkat. Contoh QS. Al-Nisa : 11 Menasakh QS. Al-Baqarah: 180 tentang wasiat.

Artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu :

bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[ dan jika anak

itu semuanya perempuan lebih dari dua[ Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang

ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk

dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang

meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia

diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu

mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian

tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.

Page 3: AL Nasakh Wa Al Mansukh

(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang

lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah

Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Artinya :”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,

jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara

ma’ruf[ (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”

Sedangkan secara istilah Mansukh adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang

pertama yang belum diubah, dengan dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil syara’ baru

yang datang kemudian.

Dengan demikian, mengacu pada definisi Al-Nasakh Wa al-Mansukh di atas baik secara bahasa

maupun istilah pada dasarnya secara eksplisit Al-Nasakh Wa al-Mansukh mensyaratkan

beberapa hal antara lain :

a. Hukum yang di Mansukh adalah hukum Syara’. Artinya hukum tersebut bukan hukum akal

atau buatan manusia. Adapun yang dimaksud hukum Syara’ adalah hukum yang tertuang dalam

al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf baik berupa perintah (Wajib,

Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun anjuran (Sunah)

b. Dalil yang menghapus hukum Syara’ juga harus berupa dalil Syara’. Hal ini sebagaimana yang

ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Nisa’: 59

c. Dalil/ayat yang di Mansukh harus datang setelah dalil yang di hapus.

d. Terdapat kontradiksi atau pertentangan yang nyata antara dalil pertama dan kedua sehingga

tidak bisa dikompromikan

C. Cara Mengetahui Al-Nasakh Wa al-Mansukh

Setelah memahami pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh diatas pertanyaan yang muncul

kemudian adalah bagaimana cara untuk mengetahuinya. Menjawab pertanyaan ini al-Qattan

memberikan rumusan bahwa Al-Nasakh Wa al-Mansukh dapat di ketahui dengan cara-cara

sebagai berikut :

a. Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau Sahabat.

Contoh : , االفزوروها القبور زيارة عن نهيتكم Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya.كنت

yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.

b. Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di Nasakh dan ayat yang Di Mansukh. Artinya,

Page 4: AL Nasakh Wa Al Mansukh

jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut dapat diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu

sendir, maka harus ada ijmak ulama yang menetapkan hal tersebut.

c. Di ketahui dari salah satu dalil nash mana yang pertama dan mana yang kedua. Contoh QS.

Al-Mujadalah: 12 yang Menasakh: 13 tentang keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.

D. Urgensitas Al-Nasakh Wa al-Mansukh Dalam Kajian Hukum Islam

Terdapat alasan yang mendasar mengapa Al-Nasakh Wa al-Mansukh perlu di pelajari mengingat

kontribusinya terhadap proses Istinbath Hukum. Alasan-alasan tersebut adalah :

a. Terkait status hukum Islam.

b. Sering kali menjadi pangkal perselisishan para ulama ushul, tafsir dan fiqh terkait dalam

proses istinbath Hukum.

c. Sebagai antitesa terhadap pandangan para orientalis atas kehujahan al-Qur’an.

d. Terungkapnya Tarikhut Tasyri’ dan hikmatut Tasyri

e. Salah satu bukti bahwa al-Qur’an bukan produk Muhammad

f. Solusi atas kebingungan umat atas kontradiksi ayat.

E. Macam Dan Jenis Nasakh

Para ulama membagi Al-Nasakh Wa al-Mansukh menjadi 4 bagian :

a. Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an.

Jenis Nasakh ini memperoleh kesepakatan para ulama atas kebolehan hukumnya. Dengan

kata lain jenis Nasakh ini bisa di terima.

Contoh : Penghapusan kewajiban bersedekah ketika akan menghadap Rasul sebagaimana

yang terdapat dalam surat al-Mujadalah:12 yang di Nasakh ayat 13

b. Nasakh Qur’an dengan Sunah

Nasakh jenis ini terbagi menjadi 2 macam yaitu :

Nasakh Qur’an dengan Hadis Ahad.

Menurut Jumhur ulama’ jenis Nasakh ini tidak diperbolehkan, sebab Qur’an adalah

Muatawatir dan bersifat Qot’I sedangkan Hadis Ahad adalah bersifat Dzanni ( Dugaan ).

Page 5: AL Nasakh Wa Al Mansukh

Adalah tidak logis manakala sesuatu yang mutlak kebenarannya harus di hapus oleh

sesuatu yang masih bersifat dugaan (Dzan)

Nasakh Qur’an dengan Hadis Mutawatir.

Jumhur ulama’, Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad, Nasakh Menurut jenis ini

diperbolehkan, sebab keduanya adalah berangkat dari wahyu. Hal ini di dukung dengan

firman Allah SWT. Yang terdapat dalam QS. Al-Najm:3-4

Namun demikian, bagi al-Syafi’I dan ahli Dzahir menolak jenis Nasakh ini, sebab Hadis

tidaklah lebih baik atau sebanding dengan Qur’an. Hal ini di dukung firman Allah yang

terdapat dalam QS. Al-Baqarah:106

c. Sunah dengan Qur’an

Bagi Jumhur ulama’ Nasakh jenis ini bisa di terima. Hal ini di dasarkan atas keberadaan

Sunah Riwayat Bukhari-Muslim tentang kewajiban puasa pada bulan as-Syura.

, : افطر شاء ومن صام شاء من كان رمضان انزل فلما صياما عاشوراء كان قالت عائشة عن

( ومسلم( بخارى رواهArtinya : dari Aisyah beliau berkata :” Hari as-Syura itu adalah wajib berpuasa, ketika

diturunkan (kewajiban Puasa ) bulan Ramadha, maka ada yang mau berpuasa dan ada

pula yang tidak berpuasa.

Sunah ini di Nasakh oleh firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:185

Artinya : “ (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di

dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan

penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang

bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di

bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam

perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang

ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu,

dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan

bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang

diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”

Walaupun demikian menurut as-Syafi’I Nasakh jenis ini tidak dapat diterima, sebab antara

Qur’an dengan sunah harus berjalan beriringan dan tidak boleh bertentangan. Dengan kata lain

Page 6: AL Nasakh Wa Al Mansukh

bagi as-Syafi’i adalah tidak mungkin mana kala ada Hadis yang bertentangan dengan Qur’an.

Selain itu, pandangan ini juga mengisyaratkan bahwa adanya Nasakh menunjukkan adanya

ketidak tepatan dalam Hadis, padahal sebagaimana yang kita ketahui keberadaan Hadis pada

dasarnya sebagai penjelasan atas Qur’an.

d. Nasakh Sunah dengan Sunah.

Jenis Nasakh ini terdapat 4 macam, yaitu :

Mutawatir dengan Mutawatir

Ahad dengan Ahad

Ahad dengan Mutawatir

Mutawatir dengan Ahad.

Bagi Jumhur ulama’ dari keempat nasakh tersebut tidak menjadi masalah menjadi bagian

dari Nasakh dengan kata lain dapat diterima kecuali jenis yang ke empat yaitu Mutawatir

dengan Ahad. Argumentasinya tentu tidak terlepas dari tingkat nilai kebenaran yang

terkandung di dalamnya.

F. Bentuk Nasakh Dalam al-Qur’an

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah jenis-jenis Nasakh di atas semuanya terdapat

dalam al-Qur’an ataukah mengambil bentuk yang lain. Kiranya menjawab pertanyaan tersebut

al-Qattan dalam bukunya Mabahis Fi Ulumil Qur’an membagi Nasakh dalam al-Qur’an dalam 3

macam, yaitu :

Pertama Nasakh Tilawah (bacaan) beserta Hukumnya. Artinya keberadaan ayat dan hukumnya

telah dihapus sehingga tidak dapat kita jumpai lagi dalam al-Qur’an. Jenis Nasakh ini menjadi

debatable, sebab apakah mungkin hal yang demikian itu terjadi. Tentunya keraguan yang

demikian itu adalah wajar, sebab bisa jadi keberadaan jenis Nasakh ini tereduksi dengan

kepentingan tertentu. Namun demikian dalam literatur yang ada, pada dasarnya bentuk Nasakh

ini merujuk pada Hadis riwayat Muslim yang menyatakan bahwa :

. . . صم الله رسول فى فتف معلومات بخمسى فنسخن معلومات رضعات عشر أنزل فيما كان( القران( من يقرأ مما وهنMenurut Qodi Abu Bakar, Nasakh yang demikian ini tidak dapat diterima, sebab keberadaan

Page 7: AL Nasakh Wa Al Mansukh

jenis Nasakh ini ditentukan oleh khabar Ahad. Namun bagi al-Qattan berpendapat bahwa

penetapan Nasakh dan penetapan sesuatu sebagai bagian dalam Qur’an adalah dua hal yang

berbeda. Artinya dalam penetapan Nasakh cukup bisa dengan Khabar ahad sedangkan sesuatu

sebagai Qur’an harus dengan dalil qot’I atau khabar Muatawatir.

Kedua Nasakh Hukum sedang tilawah (bacaannya) tetap.Contoh Nasakh ini adalah ayat idah

selama satu tahun yang di Nasakh menjadi 4 bulan 10 hari. Sebagaimana yang terdapat dalam

QS. Al-Baqarah: 240

Artinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri,

hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan

tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada

dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf

terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Ayat tersebut di Nasakh QS. Al-Baqarah : 234

Artinya : “ Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri

(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.

Kemudian apabila Telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan

mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu

perbuat.”

Hikmah yang dapat kita petik atas keberadaan jenis Nasakh ini adalah :

1. Bahwa al-Qur’an sebagai Kalamullah, ia bukan hanya untuk diketahuai dan diamalkan

hukumnya, namun ia juga untuk dibaca untuk mendapatkan pahala.

2. Sebagai pengingat manusia atas segala nikmat Allah SWT, sebab Nasakh pada dasarnya untuk

meringankan.

Ketiga Nasakh tilawah sedangkan hukum tetap. Keberadaan Nasakh jenis ini merujuk pada

Hadis dari Umar Bin khatob dan Ubay Bin Ka’ab. Yang menyatakan :

الله من نكاال البتة هما فارجمو زنيا اذأ والشيخة الشيخ القران من انزل فيما كان

Page 8: AL Nasakh Wa Al Mansukh

Artinya :“Termasuk dari ayat al-Qur’an yang diturunkan ialah ayat (Yang artinya) “orang tua

laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya berzina, maka rajamlah (dihukum lempar

batu sampai mati ) sekaligus sebagai balasan dari Allah”

Ketentuan hukum rajam dari Hadis diatas apabila kita mencari lafalnya dalam Mushaf Usmani

(al-Qur’an) tentu kita tidak akan menemukannnya, sebab ayat tersebut sudah dimansukh. Namun

ketentuan hukumnya ( Rajam bagi orang tua ) masih tetap berlaku. Menurut sebagian ahli ilmu

jenis Nasakh ini tidak dapat di terima, sebab khabarnya adalah khabar ahad. Padahal tidak

dibenarkan memastikan turunnya al-Qur’an dan Nasakhnya dengan khabar ahad.

G. Nasakh Berpengganti Dan Tidak Berpengganti

1. Nasakh berpengganti

Di lihat dari sisis penggantinya jenis Nasakh ini terdapat 3 macam yaitu :

a. Nasakh dengan badal akhof ( pengganti yang lebih ringan )

b. Nasakh dengan badal Mumatsil ( pengganti serupa )

c. Nasakh dengan badal Atsqal ( pengganti yang lebih berat ).

2. Nasakh tanpa Badal.

Jenis Nasakh ini contohnya adalah sebagaimana yang terdapat dalam penghapusan kewajiban

bersedekah ketika hendak menghadap Rasul sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-

Mujadalah : 12 yang di Nasakh ayat 13

H. Pandangan para ulama terhadap Al-Nasakh Wa al-Mansukh

Keberadaan Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai mana yang telah diungkap dalam awal

pembicaraan di atas, menunjukkan bahwa Nasakh dan Mansukh sangat penting dalam kajian

hukum Islam, sebab ia bukan hanya terkait dengan aspek hukum syara’ melainkan juga tak

jarang berkaitan dengan teologi. Oleh karena itu Al-Nasakh Wa al-Mansukh dalam pandangan

para ulama tentunya beraneka ragam. Di antara pendapat-pendapat tersebut adalah :

1. Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara sam’I telah terjadi. Pendapat pertama ini merupakan

pendapat dari kalangan Jumhur ulama’. Dasar hukum yang mereka pakai adalah :

Bahwa perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Sehingga dengan ketidak

ketergantungan Allah pada adanya tujuan dan alasan tersebut, maka adalah hak prerogativeNya

untuk menghapus ataupun tidak.

Page 9: AL Nasakh Wa Al Mansukh

Adanya Nash Qur’an dan Hadis yang membolehkan, seperti :

a. Dalam Qur’an surat an-Nahl : 101

b. QS. Al-Baqarah:106

c. Hadis Dari Ibn Abbas yang menyatakan :

: . شئا ادع ال يقول أبيا ان وذاك ابى قول من لتدع وانا واقعنانا ابى اقرؤنا عنه الله رضى عمر قال( ).… . . عباس ابن رواه اوننسها ايته من ننسخ وجل عز الله قال وقد صم الله رسول من سمعته

2. Nasakh secara akal mungkin terjadi namun secara syara’ tidak. Pendapat ini di motori oleh

abu Muslim al-Asfihani. Ia berpendapat Nasakh mungkin terjadi secara logika namun secara

syara’ tidak. Sebab ia berpedoman pada QS. Fushilat:42

3. Nasakh tidak mungkin terjadi baik secara akal maupun pandangan. Pendapat ini berasal dari

kaum Nasrani. Menurut pandangan kaum Nasrani Nasakh mengandung konsep al-Ba’da yang

hal itu mustahil bagi Allah SWT. Dengan demikian adalah mustahil Allah menghapus apa yang

telah di FirmankanNya.

I. Hikmah Al-Nasakh Wa al-Mansukh

Dari uraian di atas, maka dapatlah kita pahami bahwa kajian Nasakh dan Mansukh memiliki

hikmah yang teramat penting. Adapun hikmah tersebut dapat kita petakan menjadi 2 macam

yaitu hikmah secara umum dan hikmah secara khusus yang merujuk pada jenis penggati

hukumnya. Hikmah-hikmah tersebut adalah :

a. Secara umum hikmah Al-Nasakh Wa al-Mansukh adalah :

1. Membuktikan Bahwa Syariat Agama Islam adalah Syari’at yang sempurna.

2. Memelihara kepentingan hamba.

3. Cobaan bagi mukalaf untuk mengikuti ataupun tidak mengikuti.

4. Sebagai bukti relevansi hukum syara’ di setiap kondisi umat manusia.

5. Kemudahan dan kebaikan bagi umat.

b. Secara khusus hikmah Al-Nasakh Wa al-Mansukh di lihat dari segi penggantinya adalah:

1. Nasakh tanpa pengganti memiliki hikmah untuk menjaga kemaslahatan manusia. Sebagaimana

Page 10: AL Nasakh Wa Al Mansukh

yang terdapat dalam penghapusan bersedekah ketika menghadap Rasul.

2. Nasakh dengan badal seimbang, hikmahnya adalah menentukan hukum baru sebagaimana

yang terdapat dalam perintah untuk menghadap Baitul Maqdis yang di Nasakh menghadap

Ka’bah.

3. Nasakh dengan Badal Astqal hikmanya adalah untuk menambah kebaikan dan pahala umat.

4. Nasakh dengan badal lebih ringan hikmanya adalah sebagai bentuk dispensasi bagi umat

manusia.

J. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Nasakh dapat di pahami sebagai hukum yang membatalkan atau mengganti hokum yang telah

terlebih dahulu disyari’atkan oleh Allah SWT. Sedangkan Mansukh adalah hukum yang

dibatalkan atau yang di ganti.

2. Keberadaan Nasakh dan Mansukh dapat di identifikasi dengan beberapa cara yang telah di

tentukan oleh para ulama, yang terdiri atas :

a. Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau sahabat

b. Terdapat kesepakatan ulama mana ayat yang Nasakh dan Mansukh

c. Diketahui dari sala satu Nash mana yang pertama dan mana yang kedua.

3. Jenis Nasakh terdiri atas :

a. Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an

b. Nasakh al-Qur’an dengan Sunah yang terbagi atas Qur’an dengan Hadis Ahad dan Qur’an

dengan Hadis Mutawatir

c. Nasakh Sunah dengan Qur’an

d. Nasakh Sunah dengan Sunah yang terdiri atas Mutawatir dengan Mutawatir, Ahad dengan

Ahad, Ahad dengan Mutawatir dan Mutawatir dengan Ahad

4. Adapun bentuk Nasakh yang terdapat dala al-Qur’an adalah terdiri atas :

a. Nasakh Tilawah dan hukumnya sekaligus

b. Nasakh Hukum sedangkan Tilawahnya tetap

c. Nasakh Tilawah sedangkan Hukumnya tetap

5. Keberadaan Nasakh dan Mansukh dalam al-Qur’an di lihat dari sisi penganti hukumnya bisa

di petakan menjadi tiga macam yaitu pertama dengan pengganti yang setara (Amtsal ), kedua

Page 11: AL Nasakh Wa Al Mansukh

dengan pengganti yang lebih berat ( Astqol ) ketiga dengan pengganti yang lebih ringan

( Akhof )

DAFTAR PUSTAKA

Djalal, H. Abdul, Ulumul Qur’an, Surabaya : Dunia Ilmu, 1998

Ibn Syahin, Ustman Ma’ruf, an-Nasakh wa al-Mansukh min al-Hadith, Beirut : Dar al-Kutub,

1992

Marzuki, Kamaluddin, Ulumul Qur’an, Bandung : PT. Remaja Rosdakarria, 1992

Syadali, Ahmad, ulumul Qur’an, Bandung : Pustaka Setia, 2000

Al-Syuyuthi, Abd. Rahman Djalaluddin, al-Itqan Fi Ulumil Qur’an, Jus III, Kairo: Dar al-Turath,

1985

al-Qattan, Manna Khalil, Mabahist Fi Ulumil Qur’an, alih bahasa Mudzakir As Bogor : Litera

Antaranusa, 2007

https://marx83.wordpress.com/2008/07/15/al-nasakh-wa-al-mansukh/

ahad, 14 juni 2015 pukul 8:45am