AL Nasakh Wa Al Mansukh
description
Transcript of AL Nasakh Wa Al Mansukh
AL-NASAKH WA AL-MANSUKH
AL-NASAKH WA AL-MANSUKH
Oleh: Muhammad Hambali, S.HI
A. Pendahuluan
Al-Qur’an sebagi mu’jizat Nabi Muhammad, ia merupakan panduan dasar bagi umat Islam
selain al-Hadis dalam menetapan hukum Islam. Sebagai Huda al-Nash al-Qur’an memiliki
kekayaan dimensi hukum, baik dalam hal sifat universalitasnya maupun bentuk pola-pola hukum
syara’ yang tidak terlepas dari aspek sosio cultural masyarakat Arab saat itu. Sebab, diakui atau
tidak turunnya al-Qur’an secara bertahap adalah terkait dengan problem masyarakat arab waktu
itu.
Dalam kerangka itu, dalam menetapkan dan menggali hukum Islam yang tertuang dalam al-
Qur’an, tentunya dibutuhkan alat untuk mengupas dimensi hukumnya. Antara lain ilmu Qur’an
yang didalamnya terdapat kajian seperti tafsir, muhkam mutasyabih, Al-Nasakh Wa al-Mansukh
dan yang lainnya serta pemahaman kaidah ushuliyah dan fiqhiyah.
Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai salah satu bagian dalam kajian ulumul Qur’an, memiliki
kontribusi yang sangat penting, sebab dengan memahaminya kita akan mampu memahami
apakah hukum yang termaktum dalam ayat-ayat Qur’an tersebut masih berlaku atau tidak.
Betapa pentingnya menguasai ilmu Nasakh Mansukh dalam suatu Riwayat sahabat Ali ketika
meliwati seorang hakim mengatakan “apakah engkau mengetahui nasakh” dan orang itu
menjawab “tidak” maka Ali berkata “celakalah kamu dan mencelakakan orang lain” . Dari
riwayat tersebut dapat di pahami bahwa eksistensi Nasakh Mansukh dalam Istinbath Hukum
adalah mutlak adanya, sebab dengan tidak memahaminya, hukum yang lahir akan jauh dari
prinsip dasar pensyariatan (Maqosid al-Syar’i).
Oleh karena itu, makalah ini mencoba menguraikan apa, dan bagaimana sebenarnya Al-Nasakh
Wa al-Mansukh. Namun demikian harus dipahami bahwa makalah ini hanya merupakan acuan
dasar yang patut mendapatkan pembahasan dan kajian ulang baik terkait data yang disajikan
maupun conten dari makalah. Dengan demikian kita akan memperoleh pemahaman yang holistik
terhadap Al-Nasakh Wa al-Mansukh.
B. Pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh
Secara etimologi Nasakh dapat diartikan menghapus, menghilangkan, yang memindahkan,
menyalin, mengubah dan menggganti. Sejalan dengan pengertian tersebut Ahmad Syadali
mengartikan Nasakh dengan 2 macam yaitu : pertama االزلة:yang berarti hilangkan, hapuskan.
Definisi ini merujuk pada dialek orang Arab yang sering berkata الظل الشمس Cahaya)نسحت
Matahari menghilangkan bayang-bayang). Kedua موضع الى الشيئ yaitu.نقل memindahkan
sesuatu dari satu tempat ketempat yang lainnya. Difinisi ini juga merujuk pada QS.al-Jaziyah:29
Sedangkan secara istilah Nasakh dapat didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain:
a. Hukum Syara’ atau dalil Syara’ yang menghapuskan dalil Syara’ terdahulu dan menggantinya
dengan ketentuan hukum baru yang dibawahnya.
Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah jika
akan menghadap rasul menjadi bebas.
b. Nasakh adalah Allah SWT. Artinya otoritas menghapus dan menggantikan hukum syara’
hakikatnya adalah Allah SWT. Definisi ini didasarkan pada S. al-Anam:5 dan al-Baqorah :106
c. شرحياعنه شرعي بخطاب الشرعي الحكم artinya mengangkatkan hukum syara’ denganرفع
perintah atau khitab Allah yang datang kemudian dari padanya.
Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya Nasakh tidak lain sebagai proses
penghapusan ayat dan hukum yang tertuang dalam al-Qur’an. Selain itu kedatangan ayat yang
menghapus mutlak adanya setelah ayat yang di hapus.
Adapun Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan
disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang mengartikan dengan المرتفع Hukum الحكم yang
diangkat. Contoh QS. Al-Nisa : 11 Menasakh QS. Al-Baqarah: 180 tentang wasiat.
Artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[ dan jika anak
itu semuanya perempuan lebih dari dua[ Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk
dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Artinya :”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma’ruf[ (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Sedangkan secara istilah Mansukh adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang
pertama yang belum diubah, dengan dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil syara’ baru
yang datang kemudian.
Dengan demikian, mengacu pada definisi Al-Nasakh Wa al-Mansukh di atas baik secara bahasa
maupun istilah pada dasarnya secara eksplisit Al-Nasakh Wa al-Mansukh mensyaratkan
beberapa hal antara lain :
a. Hukum yang di Mansukh adalah hukum Syara’. Artinya hukum tersebut bukan hukum akal
atau buatan manusia. Adapun yang dimaksud hukum Syara’ adalah hukum yang tertuang dalam
al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf baik berupa perintah (Wajib,
Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun anjuran (Sunah)
b. Dalil yang menghapus hukum Syara’ juga harus berupa dalil Syara’. Hal ini sebagaimana yang
ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Nisa’: 59
c. Dalil/ayat yang di Mansukh harus datang setelah dalil yang di hapus.
d. Terdapat kontradiksi atau pertentangan yang nyata antara dalil pertama dan kedua sehingga
tidak bisa dikompromikan
C. Cara Mengetahui Al-Nasakh Wa al-Mansukh
Setelah memahami pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh diatas pertanyaan yang muncul
kemudian adalah bagaimana cara untuk mengetahuinya. Menjawab pertanyaan ini al-Qattan
memberikan rumusan bahwa Al-Nasakh Wa al-Mansukh dapat di ketahui dengan cara-cara
sebagai berikut :
a. Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau Sahabat.
Contoh : , االفزوروها القبور زيارة عن نهيتكم Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya.كنت
yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
b. Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di Nasakh dan ayat yang Di Mansukh. Artinya,
jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut dapat diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu
sendir, maka harus ada ijmak ulama yang menetapkan hal tersebut.
c. Di ketahui dari salah satu dalil nash mana yang pertama dan mana yang kedua. Contoh QS.
Al-Mujadalah: 12 yang Menasakh: 13 tentang keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.
D. Urgensitas Al-Nasakh Wa al-Mansukh Dalam Kajian Hukum Islam
Terdapat alasan yang mendasar mengapa Al-Nasakh Wa al-Mansukh perlu di pelajari mengingat
kontribusinya terhadap proses Istinbath Hukum. Alasan-alasan tersebut adalah :
a. Terkait status hukum Islam.
b. Sering kali menjadi pangkal perselisishan para ulama ushul, tafsir dan fiqh terkait dalam
proses istinbath Hukum.
c. Sebagai antitesa terhadap pandangan para orientalis atas kehujahan al-Qur’an.
d. Terungkapnya Tarikhut Tasyri’ dan hikmatut Tasyri
e. Salah satu bukti bahwa al-Qur’an bukan produk Muhammad
f. Solusi atas kebingungan umat atas kontradiksi ayat.
E. Macam Dan Jenis Nasakh
Para ulama membagi Al-Nasakh Wa al-Mansukh menjadi 4 bagian :
a. Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Jenis Nasakh ini memperoleh kesepakatan para ulama atas kebolehan hukumnya. Dengan
kata lain jenis Nasakh ini bisa di terima.
Contoh : Penghapusan kewajiban bersedekah ketika akan menghadap Rasul sebagaimana
yang terdapat dalam surat al-Mujadalah:12 yang di Nasakh ayat 13
b. Nasakh Qur’an dengan Sunah
Nasakh jenis ini terbagi menjadi 2 macam yaitu :
Nasakh Qur’an dengan Hadis Ahad.
Menurut Jumhur ulama’ jenis Nasakh ini tidak diperbolehkan, sebab Qur’an adalah
Muatawatir dan bersifat Qot’I sedangkan Hadis Ahad adalah bersifat Dzanni ( Dugaan ).
Adalah tidak logis manakala sesuatu yang mutlak kebenarannya harus di hapus oleh
sesuatu yang masih bersifat dugaan (Dzan)
Nasakh Qur’an dengan Hadis Mutawatir.
Jumhur ulama’, Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad, Nasakh Menurut jenis ini
diperbolehkan, sebab keduanya adalah berangkat dari wahyu. Hal ini di dukung dengan
firman Allah SWT. Yang terdapat dalam QS. Al-Najm:3-4
Namun demikian, bagi al-Syafi’I dan ahli Dzahir menolak jenis Nasakh ini, sebab Hadis
tidaklah lebih baik atau sebanding dengan Qur’an. Hal ini di dukung firman Allah yang
terdapat dalam QS. Al-Baqarah:106
c. Sunah dengan Qur’an
Bagi Jumhur ulama’ Nasakh jenis ini bisa di terima. Hal ini di dasarkan atas keberadaan
Sunah Riwayat Bukhari-Muslim tentang kewajiban puasa pada bulan as-Syura.
, : افطر شاء ومن صام شاء من كان رمضان انزل فلما صياما عاشوراء كان قالت عائشة عن
( ومسلم( بخارى رواهArtinya : dari Aisyah beliau berkata :” Hari as-Syura itu adalah wajib berpuasa, ketika
diturunkan (kewajiban Puasa ) bulan Ramadha, maka ada yang mau berpuasa dan ada
pula yang tidak berpuasa.
Sunah ini di Nasakh oleh firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:185
Artinya : “ (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di
bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu,
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Walaupun demikian menurut as-Syafi’I Nasakh jenis ini tidak dapat diterima, sebab antara
Qur’an dengan sunah harus berjalan beriringan dan tidak boleh bertentangan. Dengan kata lain
bagi as-Syafi’i adalah tidak mungkin mana kala ada Hadis yang bertentangan dengan Qur’an.
Selain itu, pandangan ini juga mengisyaratkan bahwa adanya Nasakh menunjukkan adanya
ketidak tepatan dalam Hadis, padahal sebagaimana yang kita ketahui keberadaan Hadis pada
dasarnya sebagai penjelasan atas Qur’an.
d. Nasakh Sunah dengan Sunah.
Jenis Nasakh ini terdapat 4 macam, yaitu :
Mutawatir dengan Mutawatir
Ahad dengan Ahad
Ahad dengan Mutawatir
Mutawatir dengan Ahad.
Bagi Jumhur ulama’ dari keempat nasakh tersebut tidak menjadi masalah menjadi bagian
dari Nasakh dengan kata lain dapat diterima kecuali jenis yang ke empat yaitu Mutawatir
dengan Ahad. Argumentasinya tentu tidak terlepas dari tingkat nilai kebenaran yang
terkandung di dalamnya.
F. Bentuk Nasakh Dalam al-Qur’an
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah jenis-jenis Nasakh di atas semuanya terdapat
dalam al-Qur’an ataukah mengambil bentuk yang lain. Kiranya menjawab pertanyaan tersebut
al-Qattan dalam bukunya Mabahis Fi Ulumil Qur’an membagi Nasakh dalam al-Qur’an dalam 3
macam, yaitu :
Pertama Nasakh Tilawah (bacaan) beserta Hukumnya. Artinya keberadaan ayat dan hukumnya
telah dihapus sehingga tidak dapat kita jumpai lagi dalam al-Qur’an. Jenis Nasakh ini menjadi
debatable, sebab apakah mungkin hal yang demikian itu terjadi. Tentunya keraguan yang
demikian itu adalah wajar, sebab bisa jadi keberadaan jenis Nasakh ini tereduksi dengan
kepentingan tertentu. Namun demikian dalam literatur yang ada, pada dasarnya bentuk Nasakh
ini merujuk pada Hadis riwayat Muslim yang menyatakan bahwa :
. . . صم الله رسول فى فتف معلومات بخمسى فنسخن معلومات رضعات عشر أنزل فيما كان( القران( من يقرأ مما وهنMenurut Qodi Abu Bakar, Nasakh yang demikian ini tidak dapat diterima, sebab keberadaan
jenis Nasakh ini ditentukan oleh khabar Ahad. Namun bagi al-Qattan berpendapat bahwa
penetapan Nasakh dan penetapan sesuatu sebagai bagian dalam Qur’an adalah dua hal yang
berbeda. Artinya dalam penetapan Nasakh cukup bisa dengan Khabar ahad sedangkan sesuatu
sebagai Qur’an harus dengan dalil qot’I atau khabar Muatawatir.
Kedua Nasakh Hukum sedang tilawah (bacaannya) tetap.Contoh Nasakh ini adalah ayat idah
selama satu tahun yang di Nasakh menjadi 4 bulan 10 hari. Sebagaimana yang terdapat dalam
QS. Al-Baqarah: 240
Artinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri,
hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan
tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada
dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf
terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Ayat tersebut di Nasakh QS. Al-Baqarah : 234
Artinya : “ Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila Telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.”
Hikmah yang dapat kita petik atas keberadaan jenis Nasakh ini adalah :
1. Bahwa al-Qur’an sebagai Kalamullah, ia bukan hanya untuk diketahuai dan diamalkan
hukumnya, namun ia juga untuk dibaca untuk mendapatkan pahala.
2. Sebagai pengingat manusia atas segala nikmat Allah SWT, sebab Nasakh pada dasarnya untuk
meringankan.
Ketiga Nasakh tilawah sedangkan hukum tetap. Keberadaan Nasakh jenis ini merujuk pada
Hadis dari Umar Bin khatob dan Ubay Bin Ka’ab. Yang menyatakan :
الله من نكاال البتة هما فارجمو زنيا اذأ والشيخة الشيخ القران من انزل فيما كان
Artinya :“Termasuk dari ayat al-Qur’an yang diturunkan ialah ayat (Yang artinya) “orang tua
laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya berzina, maka rajamlah (dihukum lempar
batu sampai mati ) sekaligus sebagai balasan dari Allah”
Ketentuan hukum rajam dari Hadis diatas apabila kita mencari lafalnya dalam Mushaf Usmani
(al-Qur’an) tentu kita tidak akan menemukannnya, sebab ayat tersebut sudah dimansukh. Namun
ketentuan hukumnya ( Rajam bagi orang tua ) masih tetap berlaku. Menurut sebagian ahli ilmu
jenis Nasakh ini tidak dapat di terima, sebab khabarnya adalah khabar ahad. Padahal tidak
dibenarkan memastikan turunnya al-Qur’an dan Nasakhnya dengan khabar ahad.
G. Nasakh Berpengganti Dan Tidak Berpengganti
1. Nasakh berpengganti
Di lihat dari sisis penggantinya jenis Nasakh ini terdapat 3 macam yaitu :
a. Nasakh dengan badal akhof ( pengganti yang lebih ringan )
b. Nasakh dengan badal Mumatsil ( pengganti serupa )
c. Nasakh dengan badal Atsqal ( pengganti yang lebih berat ).
2. Nasakh tanpa Badal.
Jenis Nasakh ini contohnya adalah sebagaimana yang terdapat dalam penghapusan kewajiban
bersedekah ketika hendak menghadap Rasul sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-
Mujadalah : 12 yang di Nasakh ayat 13
H. Pandangan para ulama terhadap Al-Nasakh Wa al-Mansukh
Keberadaan Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai mana yang telah diungkap dalam awal
pembicaraan di atas, menunjukkan bahwa Nasakh dan Mansukh sangat penting dalam kajian
hukum Islam, sebab ia bukan hanya terkait dengan aspek hukum syara’ melainkan juga tak
jarang berkaitan dengan teologi. Oleh karena itu Al-Nasakh Wa al-Mansukh dalam pandangan
para ulama tentunya beraneka ragam. Di antara pendapat-pendapat tersebut adalah :
1. Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara sam’I telah terjadi. Pendapat pertama ini merupakan
pendapat dari kalangan Jumhur ulama’. Dasar hukum yang mereka pakai adalah :
Bahwa perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Sehingga dengan ketidak
ketergantungan Allah pada adanya tujuan dan alasan tersebut, maka adalah hak prerogativeNya
untuk menghapus ataupun tidak.
Adanya Nash Qur’an dan Hadis yang membolehkan, seperti :
a. Dalam Qur’an surat an-Nahl : 101
b. QS. Al-Baqarah:106
c. Hadis Dari Ibn Abbas yang menyatakan :
: . شئا ادع ال يقول أبيا ان وذاك ابى قول من لتدع وانا واقعنانا ابى اقرؤنا عنه الله رضى عمر قال( ).… . . عباس ابن رواه اوننسها ايته من ننسخ وجل عز الله قال وقد صم الله رسول من سمعته
2. Nasakh secara akal mungkin terjadi namun secara syara’ tidak. Pendapat ini di motori oleh
abu Muslim al-Asfihani. Ia berpendapat Nasakh mungkin terjadi secara logika namun secara
syara’ tidak. Sebab ia berpedoman pada QS. Fushilat:42
3. Nasakh tidak mungkin terjadi baik secara akal maupun pandangan. Pendapat ini berasal dari
kaum Nasrani. Menurut pandangan kaum Nasrani Nasakh mengandung konsep al-Ba’da yang
hal itu mustahil bagi Allah SWT. Dengan demikian adalah mustahil Allah menghapus apa yang
telah di FirmankanNya.
I. Hikmah Al-Nasakh Wa al-Mansukh
Dari uraian di atas, maka dapatlah kita pahami bahwa kajian Nasakh dan Mansukh memiliki
hikmah yang teramat penting. Adapun hikmah tersebut dapat kita petakan menjadi 2 macam
yaitu hikmah secara umum dan hikmah secara khusus yang merujuk pada jenis penggati
hukumnya. Hikmah-hikmah tersebut adalah :
a. Secara umum hikmah Al-Nasakh Wa al-Mansukh adalah :
1. Membuktikan Bahwa Syariat Agama Islam adalah Syari’at yang sempurna.
2. Memelihara kepentingan hamba.
3. Cobaan bagi mukalaf untuk mengikuti ataupun tidak mengikuti.
4. Sebagai bukti relevansi hukum syara’ di setiap kondisi umat manusia.
5. Kemudahan dan kebaikan bagi umat.
b. Secara khusus hikmah Al-Nasakh Wa al-Mansukh di lihat dari segi penggantinya adalah:
1. Nasakh tanpa pengganti memiliki hikmah untuk menjaga kemaslahatan manusia. Sebagaimana
yang terdapat dalam penghapusan bersedekah ketika menghadap Rasul.
2. Nasakh dengan badal seimbang, hikmahnya adalah menentukan hukum baru sebagaimana
yang terdapat dalam perintah untuk menghadap Baitul Maqdis yang di Nasakh menghadap
Ka’bah.
3. Nasakh dengan Badal Astqal hikmanya adalah untuk menambah kebaikan dan pahala umat.
4. Nasakh dengan badal lebih ringan hikmanya adalah sebagai bentuk dispensasi bagi umat
manusia.
J. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Nasakh dapat di pahami sebagai hukum yang membatalkan atau mengganti hokum yang telah
terlebih dahulu disyari’atkan oleh Allah SWT. Sedangkan Mansukh adalah hukum yang
dibatalkan atau yang di ganti.
2. Keberadaan Nasakh dan Mansukh dapat di identifikasi dengan beberapa cara yang telah di
tentukan oleh para ulama, yang terdiri atas :
a. Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau sahabat
b. Terdapat kesepakatan ulama mana ayat yang Nasakh dan Mansukh
c. Diketahui dari sala satu Nash mana yang pertama dan mana yang kedua.
3. Jenis Nasakh terdiri atas :
a. Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an
b. Nasakh al-Qur’an dengan Sunah yang terbagi atas Qur’an dengan Hadis Ahad dan Qur’an
dengan Hadis Mutawatir
c. Nasakh Sunah dengan Qur’an
d. Nasakh Sunah dengan Sunah yang terdiri atas Mutawatir dengan Mutawatir, Ahad dengan
Ahad, Ahad dengan Mutawatir dan Mutawatir dengan Ahad
4. Adapun bentuk Nasakh yang terdapat dala al-Qur’an adalah terdiri atas :
a. Nasakh Tilawah dan hukumnya sekaligus
b. Nasakh Hukum sedangkan Tilawahnya tetap
c. Nasakh Tilawah sedangkan Hukumnya tetap
5. Keberadaan Nasakh dan Mansukh dalam al-Qur’an di lihat dari sisi penganti hukumnya bisa
di petakan menjadi tiga macam yaitu pertama dengan pengganti yang setara (Amtsal ), kedua
dengan pengganti yang lebih berat ( Astqol ) ketiga dengan pengganti yang lebih ringan
( Akhof )
DAFTAR PUSTAKA
Djalal, H. Abdul, Ulumul Qur’an, Surabaya : Dunia Ilmu, 1998
Ibn Syahin, Ustman Ma’ruf, an-Nasakh wa al-Mansukh min al-Hadith, Beirut : Dar al-Kutub,
1992
Marzuki, Kamaluddin, Ulumul Qur’an, Bandung : PT. Remaja Rosdakarria, 1992
Syadali, Ahmad, ulumul Qur’an, Bandung : Pustaka Setia, 2000
Al-Syuyuthi, Abd. Rahman Djalaluddin, al-Itqan Fi Ulumil Qur’an, Jus III, Kairo: Dar al-Turath,
1985
al-Qattan, Manna Khalil, Mabahist Fi Ulumil Qur’an, alih bahasa Mudzakir As Bogor : Litera
Antaranusa, 2007
https://marx83.wordpress.com/2008/07/15/al-nasakh-wa-al-mansukh/
ahad, 14 juni 2015 pukul 8:45am