AKTIVITAS ANTIKANKER EKSTRAK MADU LOKAL MELALUI...
Transcript of AKTIVITAS ANTIKANKER EKSTRAK MADU LOKAL MELALUI...
AKTIVITAS ANTIKANKER EKSTRAK MADU LOKAL
MELALUI PENGHAMBATAN SEL KANKER PARU-PARU
A549 SECARA IN VITRO
SKRIPSI
IRSYAD BAHALWAN
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1439 H
AKTIVITAS ANTIKANKER EKSTRAK MADU LOKAL MELALUI
PENGHAMBATAN SEL KANKER PARU-PARU A549 SECARA IN
VITRO
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kimia
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
IRSYAD BAHALWAN
NIM : 1111096000071
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/ 1439 H
AKTIVITAS ANTIKANKER EKSTRAK MADU LOKAL MELALUI
PENGHAMBATAN SEL KANKER PARU-PARU A549 SECARA IN
VITRO
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh :
IRSYAD BAHALWAN
1111096000071
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
A
A
Dr. La Ode Sumarlin, M.Si
NIP. 19750918 200801 1 007
Dr. Hendrawati, M.Si
NIP. 19720815 200312 2 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Kimia
A
Drs. Dede Sukandar, M,Si
NIP. 19650104 199103 1 004
ABSTRAK
IRSYAD BAHALWAN. Aktivitas Antikanker Ekstrak Madu Lokal Melalui
Penghambatan Sel Kanker Paru-Paru A549 Secara In Vitro. Dibimbing oleh LA
ODE SUMARLIN dan HENDRAWATI.
Madu diketahui mengandung asam fenolat dan flavonoid yang berpotensi
sebagai antikanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antikanker
madu lokal melalui penghambatan terhadap sel A549. Sampel madu yang
digunakan berupa madu trigona, kelengkeng, rambutan dan kaliandra. Pengujian
kemampuan penghambatan sel kanker paru-paru dilakukan in vitro menggunakan
sel A549 sebagai sel kanker paru-paru manusia. Ekstraksi madu menggunakan
pelarut fraksi metanol, air, n-heksana dan etil asetat. Uji penghambatan sel A549
menggunakan metode (3-4,5-Dimetiltiazol-2-yl)-2,5-Difeniltetrazolium bromide
(MTT assay) menunjukkan bahwa fraksi air terbaik ditunjukkan oleh madu
kaliandra dengan penghambatan sebesar 78.25% pada 50 ppm dan fraksi etil asetat
terbaik ditunjukkan oleh madu rambutan dengan penghambatan sebesar 70.81%
pada 200 ppm terhadap sel A549. Dengan demikian madu kaliandra dan rambutan
memiliki potensi sebagai suplemen untuk penderita kanker paru-paru.
Kata kunci : A549, kanker paru, madu rambutan, madu kaliandra, MTT assay
ABSTRACT
IRSYAD BAHALWAN. Anticancer Activity of Local Honey Extract by A549
Lung Cancer Cell Inhibition In Vitro. Supervised by LA ODE SUMARLIN and
HENDRAWATI.
Honey has been known contains phenolic acid and flavonoid which
potential act as anticancer. This research aims to discover the anticancer activity of
Indonesia’s local honey by inhibiting A549 cell. Honey which used is trigona
honey, longan honey, rambutan honey and kaliandra honey. Lung cancer inhibition
test done by in vitro using A549 cell as a human carcinoma lung cell. Honey
extracted with methanol, water, n-hexana and ethyl acetate. Inhibition test using 3-
(4,5-Dimetiltiazol-2-yl)-2,5-Difeniltetrazolium bromide (MTT assay) shows
highest inhibition level of water fraction from kaliandra honey which inhibit
78.25% A549 cell on 50 ppm and highest ethyl acetate fraction from rambutan
honey which inhibit 70.81% A549 cell on 200 ppm. Therefore, kaliandra and
rambutan honey are potential as a suplemen for lung cancer patients.
Keywords : A549, lung cancer, rambutan honey, kaliandra honey, MTT assay
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmaanirrohim
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT, atas segala
nikmatNya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta
salam selalu dilimpahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW. Skripsi
ini berjudul Aktivitas Antikanker Ekstrak Madu Lokal Melalui Penghambatan
Sel Kanker Paru-Paru A549 Secara In Vitro. Pada kesempatan ini, penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
mendukung sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.
1. Dr. La Ode Sumarlin, M.Si selaku Spembimbing I yang telah memberikan
segala dorongan dan motivasi terhadap penulis.
2. Dr. Hendrawati, M.Si selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan
saran dan masukan terhadap penulis.
3. Dr. Sandra Hermanto, M.Si selaku dosen penguji I yang telah banyak
memberikan bantuan dan koreksi dalam penulisan skripsi ini.
4. Nurhasni, M.Si selaku dosen penguji II yang memberikan masukan serta
kritiknya pada penelitian ini.
5. Drs. Dede Sukandar, M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia, Fakultas Sains
dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
vii
7. Orang tua dan keluarga yang selalu tanpa lelah memberikan dukungan.
8. Farhan dan teman seperjuangan dalam riset pada laboratorium.
9. Asep, Deni, Mirna, Reza, Susfa, Syahrullah yang berjuang bersama dan
memberikan atmosfir positif kepada penulis.
10. Rekan-rekan JFUIN, Reborn Organizer, UKM Bahasa-FLAT, Climate
Rangers Jakarta, Mai Maid Café, IOC, FakeRunners, Teater ENJUKU,
OMEGA, Jakarta Mikoshiren, CLF, Inazuma Yosakoi UIN Jakarta yang telah
memberikan penulis waktu, semangat dan dukungan moril sehingga penulisan
skripsi ini dapat terselesaikan.
Penulisan skripsi ini tentunya tidak terlepas dari berbagai kekurangan, baik
dalam penulisan maupun penyusunannya. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun diperlukan agar penelitian ini dapat lebih bermanfaat. Semoga skripsi
ini dapat berguna dan bermanfaat.
Jakarta, Juli 2018
Irsyad Bahalwan
viii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ……………………………………………………….. vi
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. viii
DAFTAR TABEL …………………………………………………………… x
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………… xi
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………..……….. xii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………. 1
1.1. Latar Belakang …………………………………………………………... 1
1.2. Rumusan Masalah …………………………………………..…………… 4
1.3. Hipotesa Penelitian …………………………………………..…………... 4
1.4. Tujuan Penelitian ………………………………………………………... 4
1.5. Manfaat Penelitian ………………………………………….…………… 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………….. 6
2.1. Morfologi dan Klasifikasi Lebah Madu ………………………………….. 6
2.2. Madu ………………………………………………………..……………. 8
2.2.1. Proses Pembuatan Madu ……………………................................. 8
2.2.2. Jenis-Jenis Madu ……………………………………….………… 9
2.2.3. Komposisi Madu ……………………………………….………… 10
2.2.4. Persyaratan Mutu Madu ………………………………………….. 11
2.3. Kanker …………………………………………………..……………….. 11
2.4. Kanker Paru-Paru ………………………………………..…….………… 12
2.5. Sel Kanker Paru-Paru A549 ……………………………..….…………… 15
2.6. Regulasi Siklus Sel ……………………………………..……….............. 16
2.6.1. Checkpoint Pada Siklus Sel ……………………………………... 20
2.6.2. P53 pathway …………………………………………………….. 20
2.7. Uji Toksisitas ……………………………………………….….………... 26
2.8. MTT (3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium bromida) assay… 27
BAB III METODE PENELITIAN ……………………………………..…. 29
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ………………………………………….. 29
3.2. Alat dan Bahan Penelitian ……………………………….……………... 29
ix
3.2.1. Bahan Penelitian ………………………………..………............. 29
3.2.2. Peralatan Penelitian ……………………………..……………… 30
3.3. Prosedur Penelitian ……………………………………….……………. 31
3.3.1. Tahapan Penelitian ……………………………………..………. 31
3.3.2. Uji Fitokimia ……………..…………………………….………. 32
3.3.3. Ekstraksi Madu ………………………..……………………….. 33
3.3.4. Partisi Cair-Cair …………………………….………………….. 33
3.3.5. Uji Sitotoksisitas …………………………………….…............. 34
3.4. Analisis Data …………………….…..…………………………………. 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………….. 37
4.1. Ekstraksi Madu ………………..……………………………….……..... 37
4.2. Ekstraksi Cair-Cair ………………….…………………………….…… 37
4.3. Uji Fitokimia …………………………………………………….…….. 40
4.4. MTT assay …………………………………………………….….……. 41
4.5. Mekanisme Apoptosis ….………………………………….………..…. 50
BAB V PENUTUP ……………………….…………………………….….. 53
5.1. Simpulan ……………….………………………………………………. 53
5.2. Saran …………………………………………………………………… 53
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………... 55
LAMPIRAN ………………………………………..……………………... 61
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Tabel Persyaratan Mutu Madu ………………………….………. 11
Tabel 2. Tabel Ekstraksi Cair-Cair ……………………………….……… 38
Tabel 3. Tabel Uji Fitokimia Madu ……………………………….……... 40
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Apis mellifera ……….. ……………………………………….. 7
Gambar 2. Struktur Quercetin, Asam Galat dan Luteolin ...………………. 10
Gambar 3. Hubungan Timbal Balik Antara Madu dan Kanker …….…….. 14
Gambar 4. Sel A549 …………..…………………………………………… 15
Gambar 5. Ilustrasi Siklus Sel …………………………………………….. 19
Gambar 6. Skematik Domain P53 …….………………………………….. 22
Gambar 7. Onkogen dan DNA Damage Agent dalam Pengaktifan P53….. 23
Gambar 8. Regulasi P53 Oleh Mdm2 dan P19ARF (Alternate Reading
Frame) …………………………………………………………. 24
Gambar 9. Struktur MTT dan Formazan ………………………………….. 27
Gambar 10. Ekstraksi Cair-Cair Dengan Corong Pisah ………………......... 39
Gambar 11. Proses MTT Assay ……………………………….………......... 42
Gambar 12. Reaksi Pada MTT Assay …………………………………......... 42
Gambar 13. Penghambatan Ekstrak Madu Fraksi Air ……..……………….. 43
Gambar 14. Penghambatan Ekstrak Madu Fraksi Etil Asetat ……..……….. 44
Gambar 15. Penghambatan Terbaik Setiap Sampel …………….………….. 45
Gambar 16. Skema Persentasi Aktivitas Antikanker Madu ………….…….. 48
Gambar 17. Proses Penghambatan A549 Oleh Madu ……………..………. 50
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Hasil MTT assay fraksi Air …………………………………... 61
Lampiran 2. Hasil MTT assay fraksi Etil Asetat .………………………….. 62
Lampiran 3. Hasil MTT assay fraksi Atr Air …………………………........ 63
Lampiran 4. Hasil MTT assay fraksi Atr Etil Asetat……………………….. 64
Lampiran 5. Hasil MTT assay fraksi Bkld Air …………………………….. 65
Lampiran 6. Hasil MTT assay fraksi Bkld Etil Asetat……………………… 66
Lampiran 7. Hasil MTT assay fraksi Crb Air ……………………………… 67
Lampiran 8. Hasil MTT assay fraksi Crb Etil Asetat………………………. 68
Lampiran 9. Hasil MTT assay fraksi Dklx Air ……………………………. 69
Lampiran 10. Hasil MTT assay fraksi Dklx Etil Asetat…………………….. 70
Lampiran 11. Hasil MTT assay % Penghambatan Tertinggi ……………….. 71
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kanker merupakan salah satu masalah kesehatan yang diperhatikan serius
di bidang kedokteran. Prevalensi kanker di Indonesia cukup tinggi dengan nilai 1,4
per 100 penduduk atau sekitar 347.000 orang (Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, 2013). Total kematian akibat kanker paru-paru di Indonesia mencapai
angka 21,8% dari total kematian akibat kanker dan 70% diantaranya adalah laki-
laki (World Health Organization, 2014). Kanker merupakan penyakit yang ditandai
oleh mekanisme yang tidak normal dan tidak terkontrol pada pengaturan
kelangsungan hidup, pertumbuhan (diferensiasi) dan perkembangan (proliferasi)
sel. Tingkat kelangsungan hidup penderita kanker dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti jenis kanker, tahap penyebaran kanker ketika terdiagnosa dan ketersediaan
perlakuan medis (Torre et al., 2015). Strategi terbaru dalam terapi kanker adalah
dengan mendorong penghancuran sel (apoptosis) dalam sel tumor yang ditandai
dengan aktifnya protein dalam sel, penyusutan sel, terbentuknya tonjolan pada
membrane sel dan fragmentasi DNA (Rupachandra dan Sarada 2014). Kanker
disebabkan oleh faktor eksternal seperti rokok, infeksi organisme dan pola hidup
yang tidak sehat, dan faktor internal seperti mutasi genetik turunan, hormone dan
kondisi imunitas (Torre et al,. 2015).
Sel A549 merupakan sel adenocarcinomic human alveolar basal epithelial
cells pada paru-paru yang bertugas pada difusi dari zat seperti air dan elektrolit di
2
alveolus. Sel A549 merupakan sel hipotriploid dengan nomor kromosom 66. Sel
ini biasa digunakan untuk sebagai sel model penelitian penyakit pernapasan seperti
kanker paru-paru, asthma, kerusakan jaringan karena penghirupan asbestos dan
kerusakan kantung paru-paru (emfisema) akibat rokok (Lakshmanan, 2013).
Saat ini penelitian mengenai kanker paru-paru belum banyak dilakukan,
mengingat kanker paru-paru merupakan kanker dengan persentase kematian
terbesar diantara kanker lainnya yaitu sebesar 70% dari penderita kanker paru-paru
meninggal dunia (Kementrian Kesehatan RI, 2015). Madu terbukti memiliki
aktivitas antikanker dan merupakan salah satu komoditas hutan bukan kayu dengan
produksi di Indonesia mencapai 4000 ton pertahun serta mudah untuk ditemui di
pasaran oleh semua kalangan (Novandra dan Widnyana, 2013).
Madu mengandung enzim seperti katalase, glukosa oksidase dan
peroksidase serta kandungan non enzimatik seperti karotenoid, asam amino,
protein, asam organik, produk reaksi Maillard dan lebih dari 150 senyawa polifenol
termasuk flavonoid, flavonol, asam fenolik, katekin dan turunan asam sinamat
(Ferreira et al., 2009). Madu adalah cairan manis yang diperoleh dari sekresi gula
tanaman (nektar) melalui pemuntahan (regurgitasi), aktivitas enzimatik dan
penguapan air oleh lebah madu (Hamdan, 2010). Madu juga mengandung asam
fenolik dan flavonoid seperti kuersetin, asam galat dan luteolin yang berperan
penting dalam aktivitas antioksidan (Alvarez-Suarez et al., 2014). Sejak zaman
Rasulullah SAW, madu telah banyak digunakan untuk pengobatan. Allah SWT
berfirman dalam Al-Qur’an pada surat An-Nahl ayat 69 yang berbunyi:
3
“Kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan lalu tempuhlah
jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar
minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat zat yang
menyembuhkan bagi manusia. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir” (QS. An-Nahl 16 : 69).
Madu yang banyak beredar di pasar Indonesia adalah madu dengan sumber
nektar tanaman yang banyak terdapat di wilayah Indonesia. Madu multiflora adalah
madu yang berasal dari beragam jenis nektar yaitu madu hutan dan madu trigona.
Madu monoflora adalah yang madu yang berasal dari satu jenis nektar yaitu madu
kelengkeng, kaliandra, rambutan dan mangga. Madu rambutan dapat menghambat
aktivitas radikal bebas sebesar 45.3% pada konsentrasi 1mg/L dibandingkan
kuersetin secara in vitro (Yuslianti et al., 2015).
Penelitian telah membuktikan bahwa fraksi etil asetat dari madu timi
mampu menghambat sel kanker prostat (PC-3) dan sel kanker payudara (MCF-7)
sebesar 30% terhadap kontrol positif doxorubicin (Spiloti et al., 2014). Sampel
madu lokal memiliki potensi sebagai antikanker dengan nilai LC50 yang diperoleh
dari metode Brine Shrimp Lethaly Test (BSLT) pada madu dari Bali sebesar 1,50
ppm (Sumarlin et al., 2014). Madu diuji dengan MTT assay menunjukkan nilai
4
IC50 sebesar 4 ppm terhadap sel kanker prostat (PC-3) dalam 72 jam (Saeed et al.,
2010).
Meskipun penelitian mengenai madu telah banyak dilakukan, namun
penelitian terkait madu lokal Indonesia masih sedikit dibahas. Oleh karena itu
tinjauan lebih dalam mengenai efektivitas madu sebagai asupan tambahan penderita
kanker dan aktivitas antikanker ekstrak madu terhadap sel kanker paru-paru
diperlukan sehingga nantinya dapat digunakan sebagai suplemen terapi alternatif
tambahan pada penderita kanker paru-paru.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah ekstrak madu lokal memiliki aktivitas antikanker paru-paru
melalui penghambatan sel A549 secara in vitro?
2. Adakah pengaruh sumber nektar madu lokal terhadap aktivitas
antikanker melalui penghambatan sel A549?
1.3. Hipotesa Penelitian
1. Ekstrak madu lokal memiliki kemampuan menghambat sel A549.
2. Terdapat perbedaan aktivitas antikanker pada madu dari sumber nektar
yang berbeda.
1.4. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui aktivitas antikanker pada madu lokal.
5
2. Mengetahui jenis madu lokal terbaik yang memiliki kemampuan
menghambat sel A549.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi aktivitas antikanker
ekstrak madu lokal sebagai alternatif terapi antikanker khususnya kanker paru-paru.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Morfologi dan Klasifikasi Lebah Madu
Lebah madu telah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Mereka hidup di
daerah beriklim dingin panjang hingga daerah beriklim tropis yang memiliki suhu
lebih tinggi. Lebah madu memiliki kemampuan beradaptasi yang amat baik
terhadap perubahan iklim dan lingkungan. Spesies lebah madu yang paling unggul
dalam sisi ekonomi, agrikultur dan lingkungan adalah Apis mellifera (Gupta et al.,
2014).
Apis mellifera tergolong ke dalam lebah madu berukuran sedang. Di alam,
Apis mellifera bersarang di goa, karang dan celah pepohonan. Sarangnya terdiri
atas beberapa kepingan yang tersusun parallel satu dengan lainnya dengan jarak
yang seragam dan hanya memiliki 1 buah pintu masuk. Populasi Apis mellifera
dalam satu koloni terdiri atas 15.000 – 60.000 lebah (Gupta et al., 2014).
Klasifikasi lebah madu
Divisio : Arthropda
Subdivio : Mandibulata
Classis : Insecta (Hexapoda)
Ordo : Nymenoptera
Genus : Apidea
Species : Apis indica, Apis mellifera, Apis dorsata, dan Apis trigona
Terdapat tujuh spesies lebah madu diketahui termasuk dalam genus Apis
yaitu : Apis dorsata, Apis laboriosa, Apis mellifera, Apis florea, Apis andreniformis,
Apis cerana dan Apis koschevnikovi (Cramp, 2008). Lebah madu yang ada di alam
7
Indonesia antara lain Apis dorsata, Apis cerana dan Apis andreniformis, sedangkan
di Kalimantan terdapat Apis koschevnikovi (Muslim, 2014). Apis mellifera
memiliki keanekaragaman yang melimpah, setidaknya ada 29 subspesies atau ras
yang telah diketahui. Sebagian besar kelompok lebah ini ditujukan untuk diambil
produk madunya.
Gambar 1. Apis mellifera (Sunita et al., 2017)
Gambar 1 menunjukkan perbandingan perbedaan ukuran antara setiap
bagian dari Apis mellifera. Ratu lebah memiliki tubuh yang relatif lonjong dan
berukuran 2-2.2 cm, memiliki lidah dan sayap pendek. Ratu lebah umumnya hanya
ada satu ekor pada setiap koloni, terkadang ada dua ratu jika ratu yang lebih tua
sudah akan digantikan dengan yang baru. Tugas dari ratu lebah adalah untuk
bertelur. Seekor ratu lebah yang sehat mampu bertelur hingga 1500 telur per hari.
Lebah pekerja memiliki ukuran tubuh sekitar ½ inci, memiliki lidah yang dua kali
lebih panjang dari ratu dan sayap yang besar hingga menutupi tubuhnya.
Pejantannya memiliki tubuh yang relatif lebih besar dari pekerja dan ratu, memiliki
mata yang menutupi hampir seluruh bagian kepala dan ditubuhnya memiliki rambut
8
kecil. Pejantan tidak dapat menyengat dan mengumpulkan nektar, tubuhnya
diprioritaskan untuk membuahi ratu (Sunita, 2017).
2.2 Madu
Madu adalah produk alami manis yang memiliki nutrisi tinggi bagi
kesehatan manusia dengan kandungan antioksidan, bakteriostatik, anti inflamasi
dan anti mikroba juga penyembuh luka (Alvarez et al., 2013). Madu diproduksi
oleh lebah dari nektar tanaman, sekresi dan eksresi tanaman. Kandungan madu
meliputi gula yang didominasi oleh fruktosa dan glukosa serta senyawa fenolik
(Bogdanov et al., 2008; Alvarez et al., 2010).
2.2.1 Proses pembuatan madu
Pembuatan madu adalah tugas utama bagi lebah madu pekerja. Lebah madu
pekerja terbang tanpa mengenal lelah dari pagi hingga petang ke segala arah dan
ketinggian berbeda dalam radius 3-5 kilometer dari sarang untuk mengumpulkan
nektar dari bunga tanaman dan pepohonan. Nektar adalah bahan dasar dari madu
yang mengandung 20-60% gula dan 40-80% air. Selain gula nektar mengandung
mineral, asam organik, vitamin, pigmen dan senyawa aromatik.
Lebah madu pekerja bekerja sama dalam memproduksi madu. Proses
diawali dengan lebah pencari madu meninggalkan sarang untuk mencari nektar.
Lebah madu akan menghisap nektar dari bunga dengan menggunakan proboscis
(lidah) dan menyimpannya di kantong khusus madu di tubuh lebah. Kantong ini
dapat menampung sekitar 4 mg nektar atau setengah dari berat badan lebah pekerja.
Lebah madu akan terbang ke bunga lainnya jika nektar telah dihisap habis. Lebah
9
madu membutuhkan 50-150 bunga untuk mengisi penuh kantong madu tergantung
dari spesies bunga. Lebah madu dengan kantong madu yang penuh akan kembali
ke sarang dan menambahkan enzim invertase selama perjalanan (Hamdan, 2010).
Lebah madu kembali ke sarang dan menyerahkan nektar yang telah
diperoleh ke lebah pekerja lain dan menyimpannya di rongga sarang lebah madu.
Lebah madu ini akan mengibaskan sayapnya guna mempercepat proses penguapan
air dari nektar sehingga madu dapat terbentuk. Madu yang telah matang memiliki
kandungan air antara 17-20%. Enzim lainnya ditambahkan sebelum madu
disimpan guna mencegah fermentasi dan serangan bakteri. Lebah madu akan
mengisi madu yang telah matang hingga rongga penuh selanjutkan akan ditutup
permukaan rongganya dengan lapisan lilin lebah hingga madu akan dipakai di
kemudian hari (Hamdan, 2010).
2.2.2 Jenis-jenis madu
Berdasarkan asalnya madu dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori
: (1) madu bunga, merupakan madu yang diperolah dari nektar bunga; (2) madu
honeydew, merupakan madu yang diperoleh dari honeydew atau cairan dengan
kandungan gula tinggi yang di sekresikan dari serangga genus Rhynchota; (3) madu
monoflora, merupakan madu yang diperoleh dari nektar satu jenis tanaman; (4)
madu multiflora (polyflora), merupakan madu yang diperoleh dari nektar
bermacam-macam tanaman (Alvarez-Suarez et al., 2014).
10
2.2.3 Komposisi madu
Komposisi madu sangat berpengaruh dari sumber nektar dan musim serta
faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi komposisi dan efek biologis (Alvarez
et al., 2010). Kandungan terbesar pada madu adalah fruktosa (38%) dan glukosa
(31%), sukrosa (1%), air (18%), dan gula lainnya (7%) yang menyebabkan madu
memiliki viskositas yang tinggi, kecenderungan menyerap air dan imunitas
terhadap beberapa pembusukan (Salih et al., 2009). Madu juga mengandung
polifenolik dan flavonoid yang mana berperan penting dalam aktivitas antioksidan
(Alvarez-Suarez et al., 2014). Asam fenolat dan flavonoid yang terkandung dalam
madu diantaranya adalah kuersetin, asam galat dan luteolin (Alvarez-Suarez et al.,
2014).
(a) (b) (c)
Gambar 2. Struktur (a) kuersetin (Salem Alrawaiq dan Abdullah, 2014), (b) asam
galat (Nayeem et al., 2016) dan (c) luteolin (Tongda et al., 2012)
Madu juga mengandung Asam fenolat dan flavonoid. Asam fenolat dan flavonoid
yang terkandung pada madu diantaranya adalah kuersetin, asam galat dan luteolin
(Alvarez-Suarez et al., 2014).
11
2.2.4 Persyaratan mutu madu (SNI 01-3545-2004)
Sesuai dengan SNI 01-3545-2004 tentang madu, persyaratan mutu madu
adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Tabel persyaratan mutu madu (SNI 01-3545-2004)
No Jenis uji Satuan Persyaratan
1 Aktifitas enzim diastase DN minimal 3
2 Hidroksimetilfurfural (HMF) Mg/kg maksimal 50
3 Air % b/b maksimal 22
4 Gula pereduksi (dihitung
sebagai glukosa)
% b/b minimal 65
5 Sukrosa % b/b maksimal 5
6 Keasaman mL NaOH
1 N/kg
maksimal 50
7 Padatan yang tak larut dalam air % b/b maksimal 0,5
8 Abu % b/b maksimal 0,5
9 Cemara logam Timbal (Pb)
Tembaga (Cu)
mg/kg
mg/kg
maksimal 1,0
maksimal 5,0
10 Cemara arsen (As) mg/kg maksimal 0,5
2.3 Kanker
Kanker merupakan penyakit akibat pertumbuhan sel yang tidak terkontrol
dan tidak normal dibandingkan dengan sel lainnya. Sel normal patuh terhadap
sinyal yang memerintahkan sel untuk membelah untuk membentuk sel lainnya atau
mati. Sel kanker mengembangkan dirinya tanpa menghiraukan perintah sinyal yang
datang sehingga menimbulkan pertumbuhan dan proliferasi yang tidak terkontrol
hingga dapat menyebabkan kematian akibat metastatis yaitu penyebaran sel kanker
12
melalui pembuluh darah (Momna, 2010). Kanker disebabkan oleh faktor eksternal
seperti rokok, infeksi organisme dan pola hidup yang tidak sehat, dan faktor internal
seperti mutasi genetik turunan, hormon kondisi imunitas dan mutasi yang timbul
dari metabolisme tubuh. Faktor-faktor ini dapat bekerja bersamaan sehingga
menyebabkan kelainan pada sel dan proliferasi berlebih (Torre et al., 2015).
Sel kanker memiliki enam karakter umum (The six hallmark of cancer),
enam karakter tersebut adalah sebagai berikut: (1) Immortalitas, yaitu pemisahan
sel yang berkelanjutan dan replikasi tak terbatas; (2) Onkogen dapat memproduksi
sinyal pertumbuhan sehingga selalu tumbuh berkelanjutan; (3) Mengabaikan sinyal
penghambat pertumbuhan dari tubuh; (4) Tidak peka terhadap sinyal apoptosis
karena terjadi mutasi pada regulator apoptosis; (5) Angiogenesis, dapat
menumbuhkan pembuluh darah baru disekitar jaringan kanker untuk bertahan
hidup; (6) Metastatis, kemampuan untuk berpindah ke lokasi sekunder atau tersier
lewat pembuluh darah dan merupakan faktor utama terjadi kematian pada penderita
kanker (Momna, 2010).
2.4 Kanker paru-paru
Kanker paru-paru merupakan kanker yang mempunyai tingkat insidensi
kematian tertinggi di dunia untuk laki-laki dan kedua untuk perempuan, tercatat 1,6
juta kematian pada 2012 (1,1 juta pada laki-laki dan 491.200 kematian pada
perempuan) (Torre et al., 2015).
Kanker paru-paru termasuk golongan kanker ganas yang tumbuh tak
terkendali di salah satu atau kedua bagian paru-paru. Kanker paru dapat menyebar
13
ke lokasi lainnya seperti kelenjar getah bening, otak, hati dan tulang. Faktor-faktor
penyebab kanker paru-paru tidak sepenuhnya diketahui namun sebagian besar
penderita kanker paru-paru berkaitan dengan hal-hal antara lain perokok aktif,
perokok pasif, penghirup asbestos, penghirup unsur lainnya seperti besi, nikel dan
gas buang, riwayat kesehatan keluarga, riwayat kesehatan pribadi dan lansia
(Cancer Counsil Australia, 2016).
Antioksidan yang tinggi menjadikan madu memiliki potensi untuk
mencegah pertumbuhan kanker akibat radikal bebas yang mendorong pembentukan
sel kanker (Valko et al., 2007). Kandungan fitokimia pada madu dapat dianggap
juga sebagai asam fenolat dan polifenol. Beragam jenis polifenol dilaporkan
memiliki sifat antiproliferatif terhadap beberapa macam kanker (Jaganathan dan
Mandal, 2009). Gambar 3 menunjukkan sifat madu lainnya terhadap faktor
penyebab kanker.
14
Gambar 3. Hubungan timbal balik antara madu dan kanker (Othman, 2012).
Madu telah diketahui sebagai obat dan tambahan nutrisi untuk kesehatan sejak
lama. Madu mengandung berbagai macam fitokimia dengan kandungan fenolik
dan flavonoid yang menjadikan madu memiliki tingkat antioksidan yang tinggi
(Lurlina et al., 2009). Penelitian lain mengenai ekstrak etanol dari kemangi
menunjukkan aktivitas sitotoksik pada sel kanker paru A549 melalui mekanisme
apoptosis (Magesh et al., 2009). Kim et al., (2010) juga menyatakan bahwa ekstrak
etanol daun kemangi memiliki aktivitas sitotoksik dan anti metastatik pada sel
kanker paru Lewis Lung Carcinoma (LLC) melalui aktivasi enzim oksidasi.
SIFAT-SIFAT MADU PENYEBAB KANKER
Antioksidan Tinggi
Agen Scavenging untuk
radikal bebas toksik
Antimikroba Alami
Boster Imun alami
Agen Anti-inflamasi alamI
Penyembuhan ulser
kronik dan luka
Agen terapi kanker
Akumulasi spesies oksigen
rekatif karena: rokok, alkohol,
obesitas, infeksi kronik dll
Infeksi kronik, seperti bakteri
(H. Pylori), virus (HPV, EBV,
Hepatitis B, C), parasit
(skitosomiasis), fungi
(Aspergillus flavus)
Status imun rendah seperti
diabetes, sakit kronis, obesitas
Inflamasi kronis seperti
karsinoma kolorektal pada
penyakit Chron’s dan kolitis
ulseratif
Pewarisan genetik
Penyebab yang tidak
diketahui
MADU KANKER
15
Kemampuan antikanker juga dipengaruhi oleh berbagai mekanisme fungsional
pada madu (Gambar 3). Oleh karena itu madu merupakan bahan yang sangat
berpotensi untuk menjadi antikanker.
2.5. Sel kanker paru-paru A549
Sel A549 adalah sel yang diperoleh dari jaringan kanker paru-paru dari pria
Kaukasia berusia 58 tahun. Sel A549 merupakan sel epitel alveolus yang bersifat
skuamosa dan bertugas untuk melakukan difusi antara senyawa seperti air dan
elektrolit pada alveolus paru-paru. Sel A549 digunakan dalam riset sebagai model
dari pneumosit Alveolar Tipe II (ATII) dari paru-paru manusia. Isolasi terhadap
sel A549 membuktikan bahwa sel ini mampu menunjukkan karakteristik yang sama
dengan fenotip sel epitel ATII (Jim, 2012). Sel A549 juga digunakan untuk
menginvestigasi penyakit pernapasan seperti kanker paru-paru, asthma, kerusakan
jaringan akibat asbestos, dan kerusakan kantung paru-paru (emfisema) akibat rokok
(Lakshmanan, 2013).
16
Gambar 4. Sel A549 (Jim, 2012)
Madu dapat menghambat pertumbuhan sel (apoptosis) dengan cara
menstimulasi makrofag sehingga makrofag akan melepaskan sitokin TNF-α,
interleukin-1 (IL-1) dan interlueken-6 (IL-6). Madu kemudian akan merangsang
monosit untuk melepaskan Tumor Nekrosis Faktor- α dan Interleukin 1β dan IL-6.
Mekanisme yang terjadi akan melibatkan pengikatan TNF-R ke TNF- α dan protein
adaptor seperti TNFR Associated Death Domain protein (TRADD), TNF Reseptor
Associated Factor (TRAF) dan Receptor Interact Protein (RIP) untuk mengatur
apoptosis dan inflamasi melalui sitokin. Pelepasan TNF- α dapat memainkan peran
kunci untuk mengatur proses penting dalam sel seperti apoptosis, proliferasi sel dan
inflamasi sel (Ahmed dan Othman, 2013).
17
2.6. Regulasi Siklus Sel
Siklus sel merupakan proses vital dalam kehidupan setiap organisme.
Secara normal, siklus sel menghasilkan pembelahan sel. Pembelahan sel terdiri dari
2 proses utama, yaitu replikasi DNA dan pembelahan kromosom yang telah
digandakan ke 2 sel anak. Secara umum, pembelahan sel terbagi menjadi 2 tahap,
yaitu mitosis (M) (pembelahan 1 sel menjadi 2 sel) dan interfase proses di antara 2
mitosis). Interfase terdiri dari fase gap 1 (G1), sintesis DNA (S), gap 2 (G2). Setiap
tahap dalam siklus sel dikontrol secara ketat oleh regulator siklus sel, yaitu:
a. Cyclin. Jenis cyclin utama dalam siklus sel adalah cyclin D, E, A, dan B.
Cyclin diekspresikan secara periodik sehingga konsentrasi cyclin berubah-
ubah pada setiap fase siklus sel. Berbeda dengan cyclin yang lain, cyclin D
tidak diekspresikan secara periodik akan tetapi selalu disintesis selama ada
stimulasi growth factor.
b. Cyclin-dependent kinases (Cdk). Cdk utama dalam siklus sel adalah Cdk 4,
6, 2, dan 1. Cdks merupakan treonin atau serin protein kinase yang harus
berikatan dengan cyclin untuk aktivasinya. Konsentrasi Cdks relatif konstan
selama siklus sel berlangsung. Cdks dalam keadaan bebas (tak berikatan)
adalah inaktif karena catalytic site, tempat ATP dan substrat berikatan diblok
oleh ujung C-terminal dari CKIs. Cyclin akan menghilangkan pengebloka
tersebut. Ketika diaktifkan, Cdk akan memacu proses downstream dengan
cara memfosforilasi protein spesifik.
c. Cyclin–dependent kinase inhibitor (CKI), merupakan protein yang dapat
menghambat aktivitas Cdk dengan cara mengikat Cdk atau kompleks cyclin
18
Cdk. Cyclin–dependent kinase inhibitor terdiri dari dua kelompok protein
yaitu INK4 (p15, p16, p18, dan p19) dan CIP/KIP (p21, p27, p57). Keluarga
INK4 membentuk kompleks yang stabil dengan Cdk sehingga mencegah Cdk
mengikat cyclin D. INK4 bertugas mencegah progresi fase G1. Keluarga
CIP/KIP meregulasi fase G1 dan S dengan menghambat kompleks G1 cyclin
Cdk dan cyclin B-Cdk1. Protein p21 juga menghambat sintesis DNA dengan
menonaktifkan proliferating cell nuclear antigen (PCNA). Ekspresi p21
diregulasi oleh p53 karena p53 merupakan faktor transkripsi untuk ekspresi
p21 (Sarmoko dan Larasati, 2009)
Siklus sel dimulai dari masuknya sel dari fase G0 (quiescent) ke fase G1
karena adanya stimulus oleh growth factor. Pada awal fase G1, Cdk 4 dan atau 6
diaktifkan oleh cyclin D (cycD). Kompleks Cdk 4/6 dengan cycD akan menginisiasi
fosforilasi dari keluarga protein retinoblastoma (pRb) selama awal G1. Efek dari
fosforilasi ini, fungsi histon deasetilasi (HDAC) yang seharusnya menjaga
kekompakan struktur kromatin menjadi terganggu. Akibatnya struktur DNA
menjadi longgar dan faktor transkripsi yang semula diikat pRb menjadi lepas dan
transkripsi dari E2F responsive genes yang dibutuhkan dalam progresi siklus sel ke
fase S menjadi aktif. Gen tersebut antara lain cycE, cycA, Cdc25, DNA polimerase,
timidilat kinase, timidilat sintetase dan DHFR (Satyanarayana dan Kaldis, 2009).
Pada transisi fase G1 ke fase S, Cdk2 aktif dengan mengikat cycE.
Kompleks tersebut melanjutkan proses fosforilasi pRb (status hiperfosforilasi)
supaya proses transkripsi yang dipacu E2F tetap aktif dan Restriction point (R) yang
ada di batas fase G1/S dapat terlampaui. Pada saat inilah cycA ditranskripsi
19
(Satyanarayana dan Kaldis, 2009). Selama G1/S, kompleks Cdk2-cycE juga
memfosforilasi inhibitor p27 sehingga p27 terdegradasi. Ketika siklus sel akan
memasuki fase S, cycE akan didegradasi dan Cdk2 yang dibebaskan akan mengikat
cycA (Sarmoko dan Larasati, 2009).
Kompleks Cdk2-cycA dibutuhkan sel untuk mereplikasi DNA selama fase
S. Kompleks Cdk2-cycA akan memfosforilasi protein yang dibutuhkan dalam
replikasi DNA supaya aktif, contohnya adalah protein CDC6 (Cell Division Cycle
6). Kompleks tersebut juga menjaga supaya tidak terjadi multiplicity replikasi
DNA. Pada akhir fase S, cycA akan melepas Cdk2 dan mengikat Cdk1 (Cdc2) yang
meregulasi transisi sel dari S ke G2. Kompleks cycA-Cdk1 akan memfasilitasi
kondensasi kromatin yang dibutuhkan untuk penggandaan sel Pada fase G2, sel
juga memiliki kesempatan melakukan mekanisme repair apabila terjadi kesalahan
sintesis DNA (Lapenna dan Giordano, 2009)
20
Gambar 5. Ilustrasi siklus sel. (Lapenna dan Giordano, 2009)
Memasuki fase mitosis, cycA akan didegradasi dan terjadi peningkatan
ekspresi cycB yang akan mengikat Cdk1. Kompleks Cdk1-cycB secara aktif
memacu mitosis. Kompleks cycB-Cdk1 berperan penting dalam control
rearrangement mikrotubul selama mitosis (Lapenna dan Giordano, 2009).
Cdk1 dapat dinonaktifkan oleh Wee1 dan Myt1 dengan cara Wee1 dan
Myt1 akan memfosforilasi Cdk1 pada tirosin-15 dan atau threonin-14. Defosforilasi
pada situs tersebut dapat dilakukan oleh Cdc25 sehingga Cdk 1 menjadi aktif
kembali dan siklus sel tetap berlangsung. Pada akhir fase mitosis, cycB akan
didegradasi oleh anaphase promoting complex (APC) melalui proses proteolitik.
APC juga berfungsi untuk memacu kromatid untuk berpisah bergerak ke masing-
21
masing kutub untuk menyelesaikan mitosis (anafase) (Lapenna dan Giordano,
2009).
2.6.1. Checkpoint pada siklus sel
Siklus sel melakukan mekanisme checkpoint untuk menjamin bahwa DNA
berduplikasi dengan akurat dan separasi dari kromosom terjadi dengan benar.
Checkpoint bertugas mendeteksi kerusakan DNA. Apabila terdapat kerusakan
DNA, checkpoint akan memacu cell cycle arrest sementara untuk perbaikan DNA
atau cell cycle arrest permanen sehingga sel memasuki fase senescent. Bila
mekanisme cell cycle arrest tidak cukup menjamin DNA yang rusak diduplikasi,
maka sel akan dieliminasi dengan cara apoptosis (Sarmoko dan Larasati, 2009).
Faktor checkpoint pertama pada sel mamalia dikenal dengan restriction
point (R) dan muncul menjelang akhir G1. Pada checkpoint ini, DNA sel induk
diperiksa apakah terdapat kerusakan atau tidak. Bila terdapat DNA yang rusak,
siklus sel dihentikan hingga mekanisme repair DNA rusak telah selesai. Setelah
melampaui R, sel menjadi commited (komitment) untuk menyelesaikan
keseluruhan satu siklus (no return point) dan selanjutnya sel harus mampu
melakukan replikasi DNA. Bila tidak melampaui R, sel dapat kembali ke fase G0.
Hilangnya kontrol dari R akan menghasilkan survival DNA yang rusak (Sarmoko
dan Larasati, 2009).
2.6.2 P53 pathway
Pada checkpoint G1/S, kerusakan DNA dapat memacu cell cycle arrest dan
proses ini adalah p53-dependent. Secara umum, level p53 sel rendah karena
22
diregulasi negatif oleh mdm2 yang menarget degradasi p53, namun kerusakan DNA
dapat menginduksi aktivitas p53 dengan cepat.
P53 dikontrol oleh mdm2 dan p19ARF. Level protein p53 secara normal
adalah pada konsentrasi rendah di dalam sel. Namun, sekali distimulasi, level
protein secara cepat akan meningkat sepanjang waktu paruhnya, sedangkan level
mRNA relatif tidak berubah. Regulasi p53 terjadi pada level protein (bukan DNA
atau RNA) adalah hal yang sangat kritikal pada aktivasinya. Regulator negatif p53
yaitu mdm2 yang merupakan suatu p53-responsive gene (gen yang terekspresi
melalui faktor transkripsi p53).
Sehingga dapat dibayangkan di sini ada loop umpan balik negatif di sini.
p53 teraktifkan dan kemudian meningkatkan level mdm2. Mdm2 kemudian
menonaktifkan p53. Dengan cara mengikat kompleks atau mendegradasi p53. Jika
sel ingin menaikkan level protein p53 maka sel perlu menghambat mdm2.
Sel dapat menghambat mdm2 tergantung pada rangsangan seperti agen
perusak DNA (radiasi, UV, obat kemoterapi). DNA damage agent akan
menginduksi aktivasi kinase (seperti ATM dan DNA-PK) yang dapat
memfosforilasi critical residu serin dalam domain Mdm2-binding domain dari p53
(Sarmoko dan Larasati, 2009).
23
Gambar 6. Skematik domain p53 termasuk yang terlibat dalam stabilisasi,
aktivasi dan penekanan (Sarmoko dan Larasati, 2009)
Fosforilasi p53 pada serin-15 dan serin-37 oleh ATM atau protein kinase
lain setelah terjadi kerusakan DNA dapat mencegah ikatan MDM2 dengan p53.
Ketika p53 terfosforilasi sini, dia tidak bisa lagi mengikat mdm2. Kemudian, inilah
yang mampu menghilangkan penghambatan p53 dimediasi mdm2. P53 mengenali
ketika sel telah mengalami kerusakan DNA dan menghentikan siklus sel (cell cycle
arrest) sehingga sel dapat memperbaiki kerusakan (repair), atau dalam banyak
kasus, hanya memberitahu sel untuk bunuh diri (apoptosis), yaitu dengan cara
menstimulasi transkripsi gen seperti p21 dan Bax sehingga siklus sel berhenti atau
terjadi apoptosis (Sarmoko dan Larasati, 2009).
24
Gambar 7. Onkogen dan DNA damage agent dalam pengaktifan p53 (Sarmoko dan
Larasati, 2009)
Onkogen dan DNA damage agent mengaktifkan p53 melalui mekanisme
yang berbeda. p19ARF bertindak sebagai perantara dalam aktivasi p53 oleh onkogen
mitogenik seperti E1A, Ras, c-myc. Sebaliknya, aktivasi p53 karena DNA damage
agent melibatkan de novo fosforilasi serin 15 pada domain p53 (dan residu lainnya)
oleh kinase seperti protein kinase DNA-dependent (DNA-PK) atau produk dari gen
ataksia-telangiectasia (ATM). Aktivasi p53 dari onkogen tidak meliputi fosforilasi
serin-15 dan aktivasi p53 akibat kerusakan DNA tidak diimbangi dengan
keberadaan ARF. Oleh karena itu, dua jalur sinyal upstream ke p53 secara
fundamental berbeda. Mekanisme lain untuk menghambat mdm2 adalah dengan
onkogen, suatu protein mutan konstitutif aktif yang terus-menerus memberitahu sel
25
untuk tumbuh (E1A, Ras, c-Myc). P53 akan mengenali ketika sel tumbuh tak
terkendali ini terjadi dan menghentikan siklus sel. Namun, onkogen tidak mengarah
pada pengaktifan ATM atau DNA-PK, pada kenyataannya, onkogen bahkan tidak
mengarah pada fosforilasi p53 pada domain MDM2-binding. (Sarmoko dan
Larasati, 2009)
Gambar 8. Regulasi p53 oleh mdm2 dan p19ARF (Alternate Reading Frame)
(Sarmoko dan Larasati, 2009)
Gen p53 adalah gen yang paling sering termutasi pada kanker. Padas el
normal, p53 penting pada kontrol checkpoint utama. P53 dapat mengenali ketika
ada kerusakan terjadi seperti kerusakan DNA atau sel terstimulasi oleh onkogen
26
dan segera menghentikan siklus sel untuk mencegah sel menjadi kanker. Jika
sebuah sel kehilangan p53, maka sel akan kehilangan fungsi checkpoint utamanya.
Pada sel kanker, tidak hanya p53 saja yang ditemukan termutasi, kelebihan ekspresi
mdm2 yang menghambat p53 dan hilangnya p19ARF juga terjadi.(Beckerman, 2010)
Checkpoint selanjutnya terdapat pada fase S yang berfungsi mendeteksi
kerusakan DNA yang direplikasi. Checkpoint replikasi DNA selesai. Checkpoint
terdapat kerusakan DNA, protein kinase ATR akan memfosforilasi Chk1, kemudian
Chk1 memfosforilasi Cdc25C pada serin kompleks cycB-Cdk1 yang bertanggung
jawab pada progresi fase G Selain itu, Chk1 juga memfosforilasi Cdc25A yang
bertugas mengaktifkan kompleks selanjutnya terdapat pada fase S yang berfungsi
mendeteksi kerusakan Checkpoint pada G2 mencegah inisiasi mitosis sebelum
sebelum selanjutnya terdapat pada fase S yang berfungsi mendeteksi kerusakan
pada G2 mencegah inisiasi mitosis sebelum sebelum Checkpoint utama dalam fase
S/G2/M adalah Chk1. Ketika terdapat kerusakan DNA, protein kinase ATR akan
memfosforilasi Chk1, kemudian dalam fase S/G2/M adalah Chk1. Ketika terdapat
kerusakan DNA, protein kinase ATR akan memfosforilasi Chk1, kemudian forilasi
Cdc25C pada serin-216. Fosforilasi tersebut menyebabkan Cdk1 yang bertanggung
jawab pada progresi fase G Fosforilasi tersebut menyebabkan Cdk1 yang
bertanggung jawab pada progresi fase G2/M tidak akif. Selain itu, Chk1 juga
memfosforilasi Cdc25A yang bertugas mengaktifkan kompleks cycE-Cdk2 dan
cycA-Cdk2 yang berperan pada progresi fase S. Dengan difosforilasinya Cdc25A
oleh Chk1, kompleks cyc-Cdk menjadi tidak aktif dan terjadi S arrest (Beckerman,
2010)
27
Checkpoint yang terakhir, disebut spindle checkpoint, bertugas menjaga
integritas genom menjelang akhir mitosis. Jika terjadi kegagalan pada penempatan
pasangan kromosom pada spindle, akan terjadi mitosis arrest. Pada sel kanker,
checkpoint tidak berfungsi dengan baik dan siklus sel berlangsung tanpa kendali
(Beckerman, 2010).
2.7. Uji Toksisitas
Uji sitotoksisitas adalah salah satu pengujian in vitro yang umum digunakan
dalam menentukan toksisitas berdasarkan pada jumlah sel mati atau penurunan
pertumbuhan sel. Penetapan jumlah sel yang hidup (viabilitas sel) dalam uji
sitotoksisitas dapat dilakukan berdasarkan pada beberapa parameter seperti
gangguan sintesis, kerusakan membrane, perubahan morfologi sel serta degradasi
makromolekul. Uji sitotoksis digunakan untuk menentukan nilai IC50 (Inhibition
Concentration). Nilai IC50 adalah asumsi hubungan antara dosis sebuah senyawa
dan respon dari pengujian yang dapat menghasilkan hambatan proliferasi sel
sebanyak 50%. Semakin besar nilai IC50 maka makin kecil toksisitas dari suatu
senyawa tersebut. Hasil dari uji toksisitas adalah informasi persentase sel yang
mampu bertahan hidup (Sebaugh, 2011).
2.8. MTT (3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium bromida) assay
MTT adalah metode penentuan viabilitas dan proliferasi sel berdasarkan
pengujian in vitro dari populasi sel tertentu terhadap faktor eksternal. Prinsip
metode MTT ini adalah terjadinya reduksi terhadap garam kuning tetrazolium MTT
28
(3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium bromida) yang telah diabsorbsi ke
dalam sel menjadi kristal formazan berwarna ungu yang tidak larut air oleh enzim
suksinat dehidrogenase yang terdapat dalam jalur respirasi sel pada mitokondria
yang aktif pada sel yang masih hidup (Riss et al,. 2013).
Gambar 9. Struktur MTT dan Formazan (Riss et al., 2013)
Sel yang mampu bertahan akan melakukan metabolisme terhadap MTT dan
merubahnya menjadi formazan yang berwarna ungu dengan nilai absorbansi
maksimum mendekati 570 nm. Sel yang mati tidak dapat melakukan metabolisme
MTT menjadi formazan berwarna ungu, sehingga warna yang muncul adalah
penanda atas viabilitas sel sedangkan penanda untuk sel yang masih hidup berwarna
ungu. Penambahan larutan stopper (bersifat detergenik) akan melarutkan kristal
berwarna ini kemudian diukur absorbansinya menggunakan microplate reader.
Intensitas warna ungu yang dihasilkan dari pembentukan kristal formazan
berbanding lurus dengan jumlah sel hidup (Riss et al., 2013).
29
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pusat Laboratorium Terpadu Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan pengujian sel
kanker paru-paru A549 dilakukan di Laboratorium Virologi Pusat Studi Satwa dan
Primata (PSSP) Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Januari 2018 –
Mei 2018.
3.2. Alat dan Bahan Penelitian
3.2.1. Bahan Penelitian
Sampel yang digunakan pada penelitian ini yaitu 4 macam sampel madu
berbeda yang didapatkan dari peternak madu di beberapa wilayah Indonesia yaitu
madu multiflora yakni madu trigona dan madu monoflora yakni madu kelengkeng,
madu rambutan serta madu kaliandra. Bahan kimia yang digunakan pada penelitian
ini yaitu Sel kanker paru-paru A549 (American Type Culture Collection CCL 185),
Dulbecco’s Modified Eagle’s (D-MEM), Fetal Bovine Serum (FBS) 5%, penicillin
100U/mL, streptomycin 100 ug/mL, Dimetil sulfoksida (DMSO), MTT (3-4,5-
Dimetiltiazol-2-yl)-2,5-Difeniltetrazolium bromide 5 mg/mL, pelarut ekstraksi,
metanol p.a. (FULLTIME), n-heksana p.a. (FULLTIME), etil asetat p.a.
(SmartLab), aquadest dan Na2SO4 anhidrat p.a. (Merck).
30
3.2.2. Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat gelas, corong pisah,
corong Buchner, evaporator, pompa vakum, kertas saring whatman, pembaca piring
mikro, biosafety cabinet level-2 (Nuaire, USA), incubator CO2 (Binder, Germany),
Mikroskop terbalik (Nikon, Japan), flask T25 (Corning, USA), perangkat
hemositometer (Improved Neurbauner), 96 wadah piring pengkultur jaringan
(Corning USA), 12 wadah kultur jaringan (Corning, USA), pipet aid, pipet
volumetrik, botol media.
31
3.3 Prosedur Percobaan
3.3.1 Tahapan Penelitian
Non polar
(n-heksana)
Semi polar
(Etil Asetat)
Partisi cair-cair
Ekstraksi
(Metanol)
Uji sitoksisitas
(MTT assay)
Polar
(Air)
Uji Fitokimia
Alkaloid
Flavonoid
Terpenoid
Steroid
Saponin
Tanin
Madu
Sampel Terbaik
berdasarkan MTT Assay
32
3.3.2. Uji Fitokimia (Modifikasi Sukandar et al., 2015)
1. Uji alkaloid
Sampel sebanyak 10 mL dimasukan kedalam tabung reaksi dan
ditambahkan 10 mL kloroform dan 10 tetes amonia. Fraksi kloroform diambil
lalu ditambahkan 10 mL HCl 2% kedalam tabung reaksi lalu di vortex. Pereaksi
wagner sebanyak 5 tetes ditambahkan ke dalam tabung reaksi. Jika terbentuk
endapan cokelat menandakan positif alkaloid.
2. Uji Flavonoid
Sampel sebanyak 2 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
ditambahkan air sebanyak 1 mL. Ditambahkan 0,5 g sebuk Mg kedalam tabung
rekasi dan 10 tetes HCl pekat lalu diamati perubahan yang terjadi. Positif
flavonoid jika terbentuk busa bening orange.
3. Uji triterpenoid dan steroid
Sampel sebanyak 2 mL dimasukkan kedalam tabung reaksi dan
ditambahkan 1 mL air. Reagen Liberman-Burchard ditambahkan sebanyak 10
mL ke dalam tabung reaksi. Positif triterpenoid jika terbentuk cincin kecokelatan,
merah atau violet dan positif steroid jika berwarna hijau.
4. Uji tanin/polifenol
Sampel sebanyak 2 mL dimasukkan kedalam tabung reaksi dan
ditambahkan 1 mL air. FeCl3 1 % sebanyak 5 tetes ditambahkan ke dalam tabung
reaksi dan dikocok. Positif tanin jika larutan berubah warna menjadi hitam dan
positif polifenol jika berubah warna menjadi kebiruan.
33
5. Uji saponin
Sampel sebanyak 2 mL dimasukkan kedalam tabung reaksi dan
ditambahkan 5 mL air. Sampel selanjutnya dipanaskan di dalam penangas air
selama 5 menit lalu didiamkan hingga dingin, kemudian dikocok sampai timbul
busa. Positif saponin jika terbentuk busa stabil selama ± 10 menit.
3.3.3. Ekstraksi Madu (Dananjaya et al., 2013)
Sampel madu sebanyak 100 gram ditambahkan dengan 300 mL metanol
dan diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer selama 30 menit. Sampel
selanjutnya didiamkan didalam lemari asap (fume hood) selama 24 jam. Ekstrak
madu selanjutnya dipisahkan bagian residu yang mengendap dengan filtrat
menggunakan kertas saring. Filtrat ekstrak metanol madu lalu dipekatkan dengan
menggunakan rotary evaporator pada suhu 64oC sehingga diperoleh ekstrak pekat
metanol madu.
3.3.4. Partisi Cair-Cair (Modifikasi Dananjaya et al., 2013)
Ekstrak pekat metanol madu dipisahkan dengan metode partisi cair-cair
berurut-turut menggunakan pelarut n-heksana dan etil asetat. Ekstrak pekat
metanol madu dilarutkan dengan air-metanol (3:7) sebanyak 200 mL kemudian
dimasukan kedalam corong pisah dan ditambahkan dengan pelarut n-heksana 100
mL. Campuran kemudian dikocok selama 5 menit dan didiamkan hingga terpisah
sempurna menjadi 2 bagian. Fraksi n-heksana yang berada diatas dipisahkan
sedangkan fraksi air-metanol yang berada dibawah dipartisi kembali dengan
penambahan n-heksana hingga fraksi n-heksana berwarna bening dan diperoleh
fraksi n-heksana madu. Selanjutnya fraksi air-metanol madu ditambahkan dengan
34
pelarut etil asetat sebanyak 100 mL dan dipartisi dengan metode yang sama
dengan pelarut n-heksana hingga diperoleh fraksi etil asetat berwarna bening.
Fraksi air-metanol, n-heksana, dan etil asetat madu ditambahkan dengan 5 gram
Na2SO4 anhidrat untuk menghilangkan kadar air yang tersisa. Kemudian disaring
menggunakan corong Buchner untuk memisahkan Na2SO4. Semua fraksi madu
dipekatkan menggunakan rotary evaporator, fraksi n-heksana pada suhu 48oC,
fraksi etil asetat pada suhu 54oC, dan fraksi air-metanol pada suhu 64oC.
3.3.5. Uji Sitotoksisitas (PSSP, 2017)
1. Preparasi Ekstrak Madu
1 mg fraksi masing-masing madu ditimbang, kemudian dilarutkan dengan
1000 μl DMSO 99,5% lalu disentrifugasi hingga homogen. Larutan ini dijadikan
larutan standar fraksi madu dengan konsentrasi 1000 ppm. Larutan induk
diencerkan untuk dibuat seri larutan uji dengan konsentrasi 50 ppm, 100 ppm, 200
ppm, 400 ppm, dan 800 ppm.
2. Preparasi Sel Monolayer A549
Sel A549 merupakan sel kanker paru-paru manusia (human lung cancer
cell). Sel A549 dikulturkan dalam medium Dulbecco’s Modified Eagle Medium
(MDEM). MDEM mengandung 10% Fetal Bovine Serum (FBS). Sel A549
kemudian didistribusikan ke 96-well microplate (4000 sel/200 mL/sumur). Sel
A549 selanjutnya diinkubasi di dalam inkubator CO2 dengan konsentrasi 5% dan
suhu sebesar 37oC selama 14 jam.
35
Perhitungan Sel
Sebanyak 50µl larutan sel ditambahkan 50µl trypan blue dialirkan ke dalam
haemocytometer, kemudian diamati dan dihitung sel yang hidup (tidak menyerap
warna) dari 2 kotak besar. Hasil yang diperoleh dihitung menggunakan rumus:
𝑆𝑒𝑙 𝑝𝑒𝑟 𝑚𝑙 = 𝑟𝑎𝑡𝑎𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 𝑥 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛 𝑥 104
3. MTT Assay (Riss et al., 2013)
Sel kanker yang telah ditumbuhkan pada flask T25 disubkultur, kemudian
sel ditumbuhkan pada 96 wells tissue culture plate dengan jumlah 5000 sel/well dan
diinkubasi selama 24 jam dalam media pertumbuhan pada suhu 37oC dan CO2 5%.
Fraksi n-heksana, etil asetat, dan air madu masing-masing konsentrasi ditambahkan
sebanyak 100µL/well, sel tanpa perlakuan disertakan sebagai kontrol sel
selanjutnya diinkubasi kembali selama 48 jam. Senyawa 3-(4,5-Dimethylthiazol-2-
yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide (MTT) ditambahkan dan diinkubasi selama 4
jam pada suhu 37oC dan CO2 5%. Supernatan sel dibuang, kristal formazan yang
terbentuk dilarutkan dengan etanol 70%. Pembacaan absorbansi dilakukan
menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 565 nm.
Perhitungan % viabilitas :
% viabilitas = (1 – (penghambatan kontrol – penghambatan perlakuan)) x 100%
OD kontrol sel
Perhitungan % penghambatan :
% Penghambatan = penghambatan kontrol - penghambatan perlakuan sel x100%
OD kontrol sel
36
3.4 Analisis Data
Data hubungan antara konsentrasi sediaan uji dan absorban
dianalisis secara statistik menggunakan analisa varian (ANOVA) satu arah
yang dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan (Duncan’s Multiple
Range Test).
37
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Ekstraksi Madu
Penentuan sampel madu dilakukan dengan mengambil 4 madu lokal
Indonesia. Sampel diekstraksi dengan tujuan untuk memisahkan kandungan
senyawa dari sampelnya dengan menggunakan pelarut. Ekstrak madu diekstrak
dengan metode maserasi menggunakan metanol 100 mL dari 100 mL sampel madu.
Maserasi digunakan karena mampu mengekstrak komponen dengan sifat
yang mudah menguap dan tidak tahan panas serta ekonomis. Proses maserasi
dimulai ketika melarutnya bahan kandungan simplisia dari sel yang rusak pada saat
ekstraksi (difusi) bahan kandungan sel yang masih utuh. Maserasi selesai ketika
keseimbangan antara bahan yang di ekstraksi pada bagian dalam sel telah tercapai.
4.2. Ekstraksi cair-cair
Ekstraksi cair-cair bertujuan untuk memisahkan senyawa berdasarkan
kepolarannya. Sampel madu di ekstraksi dengan menggunakan air (polar), etil
asetat (semi polar) dan n-heksana (non polar). Tabel 2 menunjukkan semua ekstrak
sampel madu yang dipisahkan berdasarkan kepolarannya.
38
Tabel 2. Tabel ekstraksi cair-cair
No. Madu Fraksi Warna Berat (gram)
1 Trigona
(Atr)
n-heksana Bening 0
Etil Asetat Kuning bening 23,98
Air Kuning keruh 69,23
2 Kaliandra
(Bkld)
n-heksana Bening 0
Etil Asetat Kuning bening 22,80
Air Kuning keruh 65,61
3 Rambutan
(Crb)
n-heksana Bening 0
Etil Asetat Kuning bening 20,69
Air Kuning keruh 64,56
4 Kelengkeng
(Dklx)
n-heksana Bening 0
Etil Asetat Kuning bening 28,34
Air Kuning keruh 60,57
*Bobot awal setiap sampel adalah 100gr
Ekstraksi cair-cair yang telah dilakukan terhadap setiap sampel madu pada
akhirnya menghasilkan 3 fasa. Fasa ini terbentuk akibat dari perbedaan bobot jenis
dari masing-masing pelarut, sehingga setiap pelarut memisahkan diri berdasarkan
bobot jenisnya masing-masing. Bobot jenis adalah rasio massa suatu benda
terhadap volume yang ditempatinya. Bobot jenis pelarut yang lebih rendah akan
melayang diatas pelarut yang bobot jenisnya lebih tinggi (Robinson, 2011).
39
Gambar 10. Ekstraksi cair-cair dengan corong pisah
Bobot jenis air, etil asetat dan n-heksana berturut-turut adalah 1 gr/cm3, 0,902
gr/cm3 dan 0,655 gr/cm3 sehingga urutan pelarut dalam corong pisah berurutan dari
yang paling berat dibawah dan paling ringan diatas yakni air, etil asetat dan n-
heksana (Gambar 10).
Ekstraksi memisahkan senyawa sampel sesuai fraksi kepolarannya masing-
masing. Hasil pada Tabel 2 menunjukkan bahwa Atr menghasilkan fraksi air
terbesar dengan jumlah 69,23 gram yang berarti sampel Atr memiliki kandungan
senyawa polar paling banyak diantara sampel lainnya diikuti dengan Bkld, Crb dan
Dklx. Fraksi etil asetat sebagai fraksi semi polar menunjukkan hasil terbesar pada
sampel Dklx dengan jumlah 28,34 gram dan diikuti dengan Crb, Bkld, Atr. Semua
ekstrak sampel tidak memiliki senyawa nonpolar sehingga hasil dari ekstraksi pada
fraksi n-heksana menunjukkan angka 0. Fraksi air mendominasi hasil ekstraksi
yaitu sebesar 60-70% yang diduga didominasi oleh karbohidrat pada madu.
Tingginya rendemen pada fraksi air menunjukkan kadar senyawa polar seperti
karbohidrat memiliki komposisi tertinggi didalam sampel sehingga menguatkan
40
pernyataan Hamdan (2010) yang menyatakan bahwa madu mengandung gula
sekitar 20-60% dan memiliki fraksi air sekitar 40-80%.
Fraksi etil asetat pada ekstraksi cair-cair menunjukkan angka 20-30%. Hal ini
diduga disebabkan oleh ekstraksi sampel yang menggunakan metanol sehingga
tidak menarik senyawa nonpolar pada sampel.
4.3 Uji Fitokimia
Uji fitokimia dilakukan guna menentukan golongan senyawa aktif dari
ekstrak tumbuhan secara kualitatif. Uji yang dilakukan terhadap sampel madu
menunjukkan hasil seperti pada tabel dibawah ini:
Tabel 3. Tabel uji fitokimia madu
Madu
Uji
Saponin
Uji
Tanin
Uji
Flavonoid
Uji
Steroid
Uji
Alkaloid
Atr (Trigona) + + + + +
Bkld (Kaliandra) + + + + +
Crb (Rambutan) + - + + -
Dklx (Klengkeng) + - + + -
Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa sampel Atr dan Bkld bereaksi positif
terhadap seluruh aspek uji fitokimia sedangkan Crb dan Dklx keduanya
menunjukkan positif pada saponin, flavonoid dan steroid namun negatif terhadap
uji tannin dan alkaloid. Sampel Crb dan Dklx tidak mengandung tanin, kandungan
tanin berada pada bagian lain rambutan seperti biji dan kulitnya (Yuslianti, 2015)
sedangkan pada kandungan alkaloid berada pada biji rambutan (Soeng et al., 2015),
41
kulit buah kelengkeng (Fadhli dan Riau, 2017) dan daun kelengkeng (Apriyanto,
2014). Seluruh sampel positif mengandung saponin, flavonoid dan steroid, hal ini
sejalan dengan pernyataan bahwa madu mengandung flavonoid dan asam fenolat
serta steroid (Alvarez et al., 2014 ; Oelschlaegel et al., 2012). Flavonoid merupakan
produk bahan alam yang penting dan banyak terdapat pada buah-buahan, sayuran
serta minuman. Flavonoid juga memiliki aktivitas biokimia dan antioksidan yang
berfungsi dalam menangani berbagai penyakit seperti kanker, Alzheimer dan lain
sebagainya (Panche et al., 2016). Madu rambutan mengandung flavonoid yang
merupakan antioksidan alami, menunjukkan efek biologis seperti anti inflamasi,
antibakteri dan perlebaran pembuluh darah (vasodilator) (Yuslianti et al., 2015).
Flavonoid yang ditemukan pada madu merupakan actor utama dari aktivitas
proteksi terhadap beberapa pathogen. Flavonoid juga mampu berperan sebagai
antioksidan dan agen apoptosis (Salih et al., 2009). Hasil ini sesuai dengan hasil
uji fitokimia madu apiary oleh Nwanko (2013) yang menunjukkan hasil positif pada
alkaloid, saponin dan flavonoid.
4.4 MTT assay
Uji aktivitas antikanker diukur dengan menggunakan metode MTT (3-(4,5-
dimetiltiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium bromida) assay karena aman, efektif dan
kuantitatif (Assays, 2007)(Riss et al., 2013). Metode MTT assay juga banyak
digunakan untuk menentukan viabilitas sel dari komponen sampel terlarut
walaupun penandanya lebih mengarah kepada metabolisme sel daripada proliferasi
sel (Riss et al., 2013).
42
Gambar 11. Proses MTT Assay (Riss et al., 2013)
Gambar 12. Reaksi pada MTT assay (Riss et al., 2013).
Metabolisme sel dapat ditunjukkan dengan ditandai oleh perubahan warna kuning
larutan MTT menjadi warna kuning larutan formazan. Perubahan warna kuning
tetrazolium menjadi ungu formazan ini menunjukkan bahwa sel A549 mengalami
proliferasi akibatnya banyak formazan yang terbentuk setelah menggunakan
tetrazolium untuk metabolisme. Perubahan ini juga disertai dengan peningkatan
tingkat absorbansi pada panjang gelombang 570 nm (Riss et al., 2013).
43
Gambar 12. menunjukkan MTT assay yang dilakukan terhadap sel A549
yang telah dikultur dengan penambahan sampel madu dengan konsentrasi berbeda
(50,100,200,400,800 ppm), mengakibatkan populasi sel A549 lebih sedikit bila
dibandingkan dengan kontrol.
Gambar 13. Penghambatan ekstrak madu fraksi air
Hasil analisis menunjukkan bahwa pada fraksi air madu berfluktuasi pada
berbagai konsentrasi. Bahkan penghambatan paling tinggi terdapat pada
konsentrasi paling rendah yaitu pada 50 ppm untuk madu kaliantra (Bkld). Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat sejumlah senyawa aktif madu kaliandra yang larut
dalam air. Hal ini sejalan dengan penelitian (Saeed et al., 2010) yang menyatakan
bahwa perlakuan sel kanker dengan madu menghasilkan penghambatan yang
signifikan dari proliferasi sel bila dibandingkan dengan sel kontrol.
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
100
50 100 200 400 800% P
engh
amb
atan
Konsentrasi (ppm)
Atr
Bkld
Crb
Dklx
44
Gambar 14. Penghambatan ekstrak madu fraksi etil asetat
Gambar 14 menunjukkan hasil analisis menunjukkan bahwa pada fraksi etil
asetat madu berfluktuasi pada berbagai konsentrasi. Data penghambatan
menunjukkan bahwa setiap madu pada berbagai konsentrasi memiliki kemampuan
menghambat sel A549 yang berbeda-beda. Artinya setiap madu memiliki
perbedaan senyawa bioaktif karena berasal dari nektar yang berbeda. Hasil ini
mendukung pernyataan Spilioti et al., yang menyatakan bahwa penelitian
menggunakan HPLC chromatogram pada fraksi etil asetat madu menunjukkan
madu Yunani kaya akan asam fenolat. Asam fenolat yang dikonfirmasi terdapat
pada ekstrak yaitu protocatechiuc, p-hidroksibenzoat, vanilic, kafein dan asam
koumarik sementara galat, ferulat, sinapic, siringic, trans-sinamat dan asam
klorogenat tidak terdeteksi.
-40
-20
0
20
40
60
80
50 100 200 400 800
% P
engh
amb
atan
Konsentrasi (ppm)
Atr
Bkld
Crb
Dklx
45
Gambar 15. Penghambatan terbaik setiap sampel
Hasil analisis menunjukkan bahwa semua sampel madu yang diberikan
memberikan aktivitas penghambatan. Aktivitas penghambatan ini berbeda-beda
berdasarkan pelarut yang diberikan berkisar antara 26,49% sampai 78,25%
(Lampiran 10 dan Gambar 15).
Sampel Trigona fraksi air tidak menunjukkan aktivitas antikanker, sel A549
diduga melakukan proliferasi menggunakan gula dalam madu trigona dan
memberikan nutrisi pada sel A549 sehingga memicu pertumbuhan sel sebesar 10%.
Hal ini sudah dikemukakan juga yakni glukosa pada madu dapat memberikan
nutrisi pada sel kanker payudara sehingga dapat memicu pertumbuhan sel kanker
lebih cepat (Porcza et al., 2016).
Sampel madu Bkld dalam fraksi air menunjukkan hasil dengan penghambatan
terbaik yaitu sebesar 78,25%. Madu rambutan dan kelengkeng memiliki aktivitas
-20
0
20
40
60
80
100
Air EA
% P
engh
amb
atan
Fraksi
Atr
Bkld
Crb
Dklx
46
antikanker yang signifikan meskipun tidak menunjukkan aktivitas sebaik madu
kaliandra dengan penghambatan terbaik masing-masing sebesar 60,34% dan
65,33%. Perbedaan besaran %penghambatan ini diduga diakibatkan oleh tingginya
aktivitas dari flavonoid dan asam fenolat dibandingkan dengan karbohidrat pada
madu madu sehingga mampu menghambat proliferasi sel A549. Flavonoid dapat
diesktraksi berdasarkan kepolarannya. Flavonoid yang memiliki sifat kurang polar
seperti isoflavon, flavavon, metil flavon dan flavonol dapat diekstraksi dengan
menggunakan pelarut semi polar seperti etil asetat. Flavonoid lain yang bersifat
lebih polar dapat diekstraksi pada pelarut polar seperti alkohol dan air (Khoddami
et al., 2013).
Madu trigona fraksi etil asetat pada Gambar 15 menunjukkan penghambatan
terhadap sel kanker dengan nilai penghambatan sebesar 52,00% pada madu trigona.
Nilai ini menunjukkan bahwa fraksi etil asetat dalam madu trigona memiliki
aktivitas antikanker yang cukup baik dan senyawa antikankernya dominan berada
pada fraksi etil asetat. Madu kaliandra fraksi etil asetat yang juga ditampilkan pada
lampiran 3 menampilkan hasil yang cukup baik dengan nilai penghambatan sebesar
34,91%. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh fraksi etil asetat dari Crb dan Dklx
dengan penghambatan masing-masing sebesar 70,81% dan 26,49%. Madu
rambutan fraksi etil asetat diduga kuat mengandung flavonoid yang lebih besar
dibandingkan sampel madu kaliandra, trigona dan kelengkeng. Hal ini ditunjukkan
dari nilai penghambatan terhadap sel A549 yang paling besar dan merupakan fraksi
etil asetat. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian pada madu rambutan yang
menyatakan bahwa madu rambutan mengandung flavonoid yang mampu
47
menangkap radikal bebas untuk memabntu regenerasi sel. Hasil ini
mengindikasikan pengurangan tingkat radikal bebas pada proses pemulihan luka
jaringan terutama pada tahap infalmasi dan remodeling. Antioksidan dapat bereaksi
dengan (1) membersihkan senyawa atau mengurangi konsentrasi oksigen yang
bersifat reaktif, (2) membersihkan ion logam katalis, (3) Membersihkan radikal
bebas yang bertindak sebagai inisiator seperti hidroksil, peroksil dan aloksil, (4)
Pemutusan reaksi berantai yang diinisiasi oleh radikan bebas, (5) Mengurangi
rekasi dan pembersihan wadah oksigen (Yuslianti et al., 2015).
Hasil analisis MTT assay menunjukkan bahwa adanya perbedaan aktivitas
antikanker antara madu multi flora (Atr) dan madu monoflora (Blkd, Crb dan Dklx)
dilihat dari aktivitas antikankernya terhadap penghambatan sel A549. Hal ini
berlaku juga untuk fraksi etil asetat dengan nilai %penghambatan yang relatif lebih
baik dibandingkan fraksi air. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa aktif
penghambat sel A549 didominasi pada fraksi semi polar.
Keseluruhan hasil MTT assay, diperoleh nilai penghambatan terbaik
ditunjukan oleh sampel Bkld fraksi air dengan nilai penghambatan terbesar sebesar
78,25% terhadap sel A549. Seluruh hasil pengamatan, fraksi etil asetat
menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding fraksi air. Hasil ini sejalan dengan
pernyataan Kassim (2010) dan Spilioti (2014) bahwa fraksi etil asetat memiliki
aktivitas biologis yang lebih baik dibanding ekstrak lainnya dan kemampuan
antikanker fraksi etil asetat menunjukkan hasil lebih baik akibat dari kandungan
senyawa fenolik dalam madu.
48
Madu memiliki kemampuan dalam menghambat proses pertumbuhan sel
kanker dengan cara menghambat proliferasi sel. Ketika sel kanker telah terhambat
oleh madu, sel kanker kemudian akan mengalami apoptosis dan menyebabkan
berubahnya siklus sel hingga menyebabkan depolarisasi membran mitokondria
pada sel kanker paru-paru (Aliyu et al., 2013).
Madu dan D-glukosa menunjukkan efek negatif diferensial yang signifikan
secara statistic (p<0.05) pada sel line A549 dibandingkan dengan kontrol yang tidak
terpapar. Temuan ini menunjukkan peran yang potensial madu dan D-glukosa
sebagai metabolit biotherapeutik yang diminati untuk pengelolaan kanker secara
selektif.
Penelitian Hsu et al., (2004) bahwa Acacetin (suatu flavonoid) menghambat
proliferasi sel A549, menginduksi apoptosis dan menghambat perkembangan siklus
sel pada fase G1. Ini juga memperbaiki ekspresi ligan p53 dan Fas. Dalam studi
lain, juga telah terbukti dapat menghambat proliferasi sel HepG2 dan
memprovokasi apoptosis dengan meningkatkan ligan p53 dan Fas seperti pada
kasus sel A549 (Hsu et al., 2004).
Gambar 16. Skema presentasi aktivitas antikanker madu (Ahmed dan Othman,
2013)
49
Analisis siklus sel A549 yang diobati dengan 5 dan 10μM acacetin
menunjukkan peningkatan fase G1 dari 34,7% menjadi 42,6% dan 61,2%.
Demikian pula uji fragmentasi DNA menunjukkan bahwa jumlah sel yang
mengalami apoptosis meningkat dari sekitar 3,2 kali lipat menjadi 8,1 kali lipat pada
5 dan 10μM acacetin, masing-masing setelah 48 jam (Khalil et al.,2010) . Penelitian
lain juga telah menyimpulkan bahwa perlakuan dengan 62,6-2,000 µg/mL madu
menghasilkan efek penghambatan moderat dan terbukti menjadi agen pembunuh
diferensial pada sel kanker paru-paru (A549).
Telah dilaporkan pula bahwa kuersetin konsentrasi rendah mem-promoted
proliferasi sel A549, sedangkan pada konsentrasi tinggi, terjadi penghambatan dan
kelangsungan hidup larva (Robaszkiewicz et al., 2007). Selanjutnya kuersetin
antiproliferatif berpengaruh terhadap glioma dan sel kanker payudara (Braganhol
et al., 2006; Choi et al., 2008; Indap et al., 2006).
50
4.5 Mekanisme Apoptosis
Gambar 17. Proses penghambatan A549 oleh madu (Ahmed dan Othman, 2013)
Proses apoptosis berlangsung melalui 3 tahapan, yaitu tahap induksi, tahap
eksekusi dan tahap degradasi (Gambar 17). Tahap induksi, madu menstimulasi
produksi protein caspase 9 yang memberikan sinyal proapoptosis kepada sel.
Tahap eksekusi yaitu dengan mematikan sel melalui pusat regulasi sel yang berada
di mitokondria, pada tahap eksekusi terbentuk caspase 3 sebagai protein yang
mengaktifkan proses apoptosis. Caspase 3 memicu terjadinya apoptosis dengan
cara membelah protein dalam sitoplasma dan nukleus. Caspase terdapat pada setiap
sel sebagai prekursor nonaktif yang mana di aktivasi oleh pembelahan dari caspase
lainnya. Tahap degradasi menyebabkan kromatin dan inti sel semakin mengeras
sehingga sel mengecil dan DNA sel terpecah serta membuat membrane sel
51
mengeluarkan banyak tonjolan. Sementara itu pada sitoplasma, enzim pembelahan
sel yang disebut caspase aktif hingga sel akhirnya memecah diri (Ahmed dan
Othman, 2013). Madu meningkatkan aktivitas caspase 3, p53 dan penyebaran poly
(ADP-ribose) polymerase (PARP) pada sel kanker. Efektivitas dari apoptosis oleh
madu dipengaruhi oleh tingkat kandungan fenoliknya (Erejuwa, 2014).
Saponin yang terkandung dalam madu dapat menghambat pertumbuhan sel
A549 dengan cara menghambat cell cycle arrest melalui induksi terhadap ekspresi
p53 dan peningkatan p21 dan melakukan downregulation terhadap CDK2 pada
siklus cyclin D1. Pada sebuah sel, p21 dan p53 adalah protein yang terkandung
dalam sel yang memiliki tugas sebagai penanda keadaan sebuah sel, jika sel
mengalami masalah kerusakan maka p21 akan meningkat dan merangsang jumlah
p53 yang akan mengakibatkan sel masuk ke dalam cell cycle arrest. Dalam tahap
ini sel akan mencoba memperbaiki keadaannya dengan melakukan regulasi
terhadap p19ARF sehingga produksi mdm2 meningkat. Fungsi dari mdm2 adalah
menahan jumlah p53 yang ada didalam sel agar proses apoptosis terhambat dan
melanjutan siklus cyclin D1. Sementara itu saponin menghambat CDK2 sehingga
proliferasi sel terhambat sementara tingkat p53 semakin tinggi. Akibatnya sel akan
menjadi tidak stabil dan memaksa mitokondria melakukan upregulation terhadap
caspase-9. Pembelahan caspase-9 akan mengaktifkan pertumbuhan caspace-3
didalam sel sehingga sel akan melakukan apoptosis (Xu et al., 2016).
Kandungan steroid pada madu mampu menghambat pertumbuhan sel kanker .
Steroid pada madu dengan cara melakukan downregulation pada ekspresi CDK2
sehingga mengakibat sel mengalami S phase cell arrest pada sel C6 glioma (Zheng
52
et al., 2013). Pada sel kanker payudara steroid melakukan menghambat
pembentukan protein anti-apoptosis seperti Bcl-2, cIAP-1 dan Mcl-1 (Kim et al.,
2014). Sehingga steroid akan mengakibatkan potensial membran mitokondria
berkurang (Wang et al., 2012). Selain itu steroid juga meningkatkan ekspresi dari
Bax dan Bak (Hu et al., 2013). Steroid mengaktivasi caspace-9, caspace-7 dan
caspace-3 dengan melepaskan sitokrom-c kedalam sitosol (Wang et al., 2014).
53
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap ekstrak madu
lokal, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Ekstrak madu monoflora lokal Kaliandra fraksi air memiliki aktivitas
antikanker yang lebih baik dengan nilai 78,25 % dibandingkan madu
multiflora lokal Trigona -10,05 % melalui penghambatan sel A549 secara
in vitro.
2. Ekstrak madu monoflora lokal Rambutan fraksi etil asetat memiliki
aktivitas antikanker yang lebih baik dengan nilai 70,80 % dibandingkan
madu multiflora Trigona lokal 52,00 % melalui penghambatan sel A549
secara in vitro.
3. Sumber nektar madu mempengaruhi aktivitas sel A549 pada sampel
madu monoflora lokal ekstrak madu Kaliandra fraksi air dengan nilai
%penghambatan sebesar 78,25 % pada konsentrasi 50 ppm dibanding
sampel monoflora Rambutan dan Kelengkeng serta sampel multiflora
Trigona.
5.2. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap ekstrak madu lokal,
maka perlu dilakukan fraksinasi dan purifikasi senyawa aktif dari ekstrak madu
54
Rambutan fraksi etil asetat dan identifikasi senyawa aktif dengan LC-MS dan
NMR guna memastikan kandungan senyawa aktif yang memiliki aktivitas
antikanker terhadap penghambatan sel A549.
55
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, S., dan Othman, N. H. (2013). Honey as a potential natural anticancer
agent: A review of its mechanisms. Evidence-Based Complementary and
Alternative Medicine, (c). https://doi.org/10.1155/2013/829070
Alen, Y, Agresa, F. L., dan Yuliandra, Y. (2017). Analisis Kromatografi Lapis Tipis
( KLT ) dan Aktivitas Antihiperurisemia Ekstrak Rebung Schizostachyum
brachycladum Kurz ( Kurz ) pada Mencit Putih Jantan. Jurnal Sains Farmasi
dan Klinis, 3(May), 146–152.
Aliyu, M., Odunola, O. A., Farooq, A. D., Rasheed, H., Mesaik, A. M., Choudhary,
M. I., Erukainure, O. . (2013). Molecular mechanism of antiproliferation
potential of Acacia honey on NCI-H460 cell line. Nutrition Cancer, 65, 296–
304.
Alrawaiq, NS, dan Abdullah, A. (2014). A review of flavonoid quercetin:
Metabolism, Bioactivity and antioxidant properties. International Journal of
PharmTech Research, 6(3), 933–941.
https://doi.org/10.3109/13880200490893492
Alvarez, S, Gasparrini, M., Forbes-Hernández, T., Mazzoni, L., dan Giampieri, F.
(2014). The Composition and Biological Activity of Honey: A Focus on
Manuka Honey. Foods, 3(3), 420–432. https://doi.org/10.3390/foods3030420
Alvarez, S., Giampiere, F., dan Battino, M. (2013). Honey as a source of dietary
antioxidants: Structures, bioavailability and evidence of protective effects
against human chronic diseases. Current Medicinal Chemistry, 20, 621–638.
Alvarez, S., Tulipani, S., Romandini, S., Bertoli, E., dan Battino, M. (2010).
Contribution of honey in nutrition and human health. Journal of Nutrition and
Metabolism, 3, 15–23.
Apriyanto, D. R. (2014). Efek dan mekanisme antiviral ekstrak metanol daun
Dimocarpus longan Lour . terhadap virus hepatitis C. [TESIS]
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2013). Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013. Laporan Nasional 2013, 1–384. https://doi.org/1
Desember 2013
Beckerman, R., dan Prives, C. (2010). Transcriptional Regulation by P53. Cold
Spring Harbor Perspective in Biology, 2, 8.
Bogdanov, S., Jurendic, T., Sieber, R., dan Gallmann, P. (2008). Honey for nutrition
and health : A review. American Journal College Nutrition, 27, 677–689.
Braganhol, E., L. Zamin, D., dan Canedo. (2006). Antiproliferative effect of
quercetin in the human U138MG glioma cell line. Anti-Cancer Drugs, 17(6),
663–671.
56
Cancer Counsil Australia. (2016). Understanding Lung Cancer. (J. Mothoneos,
Ed.) (November 2). Sydney: National Publication Working Group Initiative.
Choi, E. ., Bae, S. M., dan Ahn, W. S. (2008). Antiproliferative effects of quercetin
through cell cycle arrest and apoptosis in human breast cancer MDA-MB-453
cells. Archives of Pharmacal Research, 31(10), 1281–1285.
Cramp, D. (2008). A Practical Manual of Beekeeping: How to keep bees and
develop your full potential as an apiarist. Spring, 304.
Dananjaya, A., Winarsih, S., dan Prijadi, B. (2013). Pengaruh Ekstrak Metanol
Fraksi Etil Asetat Madu Terhadap Pertumbuhan Escherichia coli Secara In
Vitro [skripsi]. Malang (ID): Universitas Brawijaya
Erejuwa, O. O., Sulaiman, S. A., dan Ab Wahab, M. S. (2014). Effects of honey
and its mechanisms of action on the development and progression of cancer.
Molecules, 19(2), 2497–2522. https://doi.org/10.3390/molecules19022497
Fadhli, H., dan Riau, U. (2017). ANTIBACTERIAL, ANTIFUNGAL AND
ANTIDIABETIC ACTIVITIES OF Dimocarpus longan FRUIT SKIN
EXTRACT, (May 2016).
Ferreira, I., Aires, E., Barreira, J., dan Estevinho, L. (2009). Antioxidant Activity
of Potuguese Honey Samples: Different Contributions of the Entire Honey and
Phenolic Extract. Food Chemistry, 114(4), 1438–1443.
Hamdan, K. (2010). How Do Bees Make Honey. The Netherlands.
Hsu, Y., Kuo, P., dan Lin, C. (2004). Acacetin inhibits the proliferation of Hep G2
by blocking cell cycle progression and inducing apoptosis. Biochem
Pharmacol, 67(5), 823–829.
Hsu, Y., Kuo, P., Liu, C., dan Lin, C. (2004). Acacetin induced cell cycle arrest and
apoptosis in human non-small cell lung cancer A549 cells. Cancer Lett.,
212(1), 53–60.
Hu, M., Xu, L., Yin, L., Qi, Y., Li, H., Xu, Y., dan Wan, X. (2013). Cytotoxicity of
dioscin in human gastric carcinoma cells through death receptor and
mitochondrial pathways. Journal of Applied Toxicol, 33, 712–722.
Indap, M. A., S. Radhika, L., Motiwale, dan K.V.K., Rao. (2006). Quercetin:
antitumor activity and pharmacological manipulations for increased
therapeutic gains. Indian Journal of Pharmaceutical Sciences, 68(4), 465–469.
Jaganathan, S., dan Mandal, M. (2009). Antiproliferative effects of honey and of its
polyphenols. Journal of Biomedicine and Biotechnology, 2009, 1–13.
Jim, C. (2012). Cell line profile A549. European Collection of Authenticated Cell
Cultures Catalogue, 549(86012804), 1–2.
57
Kassim, M., Achoui, M., Mustafa, M., dan Yusuf, K. (2010). Ellagic acid, phenolic
acids, and flavonoids in Malaysian honey extracts demonstrate in vitro
phenolic acids, and flavonoids in Malaysian honey extracts demonstrate in
vitro anti-inflammatory activity. Nutrition Research, 30, 650–659.
Kementrian Kesehatan RI. (2015). Stop Kanker. Pusat Data Dan Informasi
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Khoddami, A., Wilkes, M. A., dan Roberts, T. H. (2013). Techniques for analysis
of plant phenolic compounds. Molecules, 18(2), 2328–2375.
https://doi.org/10.3390/molecules18022328
Kim, E., Jang, J., Lee, Y., Sung, E., Song, I., Kim, J., dan Lee, T. (2014). Dioscin
induces caspase-independent apoptosis through activation of apoptosis-
inducing factor in breast cancer cells. Apoptosis, 19, 1165–1175.
Kim, S. C., Magesh, V., Jeong, S. J., Ahn, K. S., Lee, H. J., Lee, E. O., dan Kim, J.
H. (2010). Ethanol Extract of Ocimum Sanctum Exerts Anti-metastatic
Activity Through. Food Chem Toxicol, 48(6), 1478–1482.
Kumar, R., Reybroeck, W., Van Veen, J. W., dan Gupta, A. (2014). Beekeeping for
poverty alleviation and livelihood security. Technological Aspects of
Beekeeping (1st ed.) [Buku]. Dordrecht: Springer Netherlands.
https://doi.org/10.1007/978-94-017-9199-1
Lakshmanan. (2013). A549 Transfection Reagent From Altogen Biosystems.
diunduh March 8 2018, from https://altogen.com/product/a549-transfection-
reagent-lung-carcinoma-ccl-185/
Lapenna, S., dan Giordano, A. (2009). Cell Cycle Kinases as Therapeutic Targets
for Cancer. Nature Review Drug Discovery, 8, 547–566.
Lurlina, M. ., Saiz, A., Fritz, R., dan Manrique, G. . (2009). Major flavonoids of
Argentinean honeys. Optimisation of the etraction method and analysis of their
content in relationship to the geographical source of honeys. Trends in
Analytical Chemistry, 28(7), 893–902.
Magesh, V., Lee, J., Ahn, K. S., Lee, H. J., Lee, E. O., Shim, B. S., dan Kim, S. H.
(2009). Ocimum sanctum Induces Apoptosis in A549 Lung Cancer Cells and
Suppresses the In Vivo Growth of Lewis Lung Carcinoma Cells. Phytother
Res., 23(10), 1385–1391.
Momna, H. (2010). Introduction to Cancer Biology (2nd ed.) [Buku]. Denmark:
Ventus Publishing.
Muslim, T. (2014). Potensi Madu Hutan sebagai Obat dan Pengelolaannya di
Indonesia. In Tumbuhan Obat dari Hutan: Konservasi, Budidaya, dan
Pemanfaatan (pp. 67–82). Balikpapan: Balai Penelitian Teknologi Konservasi
Sumber Daya Alam.
58
Nayeem, N., SMB, A., Salem, H., dan AHEI, S. (2016). Gallic Acid: A Promising
Lead Molecule for Drug Development. Journal of Applied Pharmacy, 08(02),
8–11. https://doi.org/10.4172/1920-4159.1000213
Novandra, A., dan Widnyana, I. M. (2013). Peluang Pasar Produk Perlebahan
Indonesia. Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu, 13.
Oelschlaegel, S., Gruner, M., Wang, P., Boettcher, A., Koelling-Speer, I., dan
Speer, K. (2012). Classification and characterization of Manuka Honey based
on Phenolyc Compound and Methylgloxal. Journal Agrecultural Food
Chemistry, 60(14), 7669–7237.
Othman, N. (2012). Honey and Cancer: Sustainable Inverse Relationship
Particularly for Developing Nations-A Review Hindawi Publishing
Corporation. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine.
Panche, A. N., Diwan, A. D., dan Chandra, S. R. (2016). Flavonoids: An overview.
Journal of Nutritional Science, 5. https://doi.org/10.1017/jns.2016.41
Porcza, L., Simms, C., dan Chopra, M. (2016). Honey and Cancer: Current Status
and Future Directions. Diseases, 4(4), 30.
https://doi.org/10.3390/diseases4040030
PSSP. (2017). Metode Penghitungan Viabilitas Sel Kultur In Vitro Pembuatan
[Paper]. Pusat Studi Satwa dan Primata. Bogor: PSSP.
Riss, T. L., Moravec, R. A., Niles, A. L., Duellman, S., Benink, H. A., Worzella, T.
J., dan Minor, L. (2013). Cell Viability Assays. Assay Guidance Manual,
114(8), 785–796. https://doi.org/10.1016/j.acthis.2012.01.006
Robaszkiewicz, A., A. Balcerczyk, G., dan Bartosz. (2007). Antioxidative and
prooxidative effects of quercetin on A549 cells. Cell Biology International,
31(10), 1245–1250.
Robinson, J. (2011). Mass Density. Creative Common Attribution, 04, 1–8.
Rupachandra, S., dan Sarada, D. V. L. (2014). Induction of Apoptotic Effects of
Antiproliferative Protein from the Seeds of Borreria hispida on Lung Cancer (
A549 ) and Cervical Cancer ( HeLa ) Cell Lines. BioMed, 2014, 1–8.
Saeed, S., ian, Jalil, T. A., dan Saeideh, D. (2010). Modulation of programmed cell
death by honey bee in human prostate adenocarcinoma. Journal of Medicinal
Plants Research, 4(23), 2551–2556. https://doi.org/10.5897/JMPR10.607
Salih, K. M., Al-Sa’ady, A. Y., dan Agha, S. I. (2009). Anti-Tumor And Immuno-
modulating Effect of Honey in Normal And Tumor-bearing Mice. Kufa
Medicine Journal, 12(2), 196–203.
Sarmoko, dan Larasati. (2009). Regulasi siklus sel. Cancer Chemoprevention
Research Center, 1–8.
59
Satyanarayana, A., dan Kaldis, P. (2009). Mammalian Cell-cycle Regulation:
Several Cdks, Numerous Cyclins, and Diverse Compensatory Mechanisms.
Oncogene, 28, 2925–2939.
Sebaugh, J. L. (2011). Guidelines for accurate EC50/IC50 estimation.
Pharmaceutical Statistics Journal, 10(2), 128–134.
https://doi.org/10.1002/pst.426
Soeng, S., Evacuasiany, E., Widowati, W., Fauziah, N., Manik, V. T., dan
Maesaroh, M. (2015). Inhibitory potential of rambutan seeds extract and
fractions on adipogenesis in 3T3-L1 cell line. Journal of Experimental and
Integrative Medicine, 5(1), 55–60.
https://doi.org/10.5455/jeim.200115.or.120
Spilioti, E., Jaakkola, M., Tolonen, T., Lipponen, M., Virtanen, V., Chinou, I.,
Moutsatsou, P. (2014). Phenolic acid composition, antiatherogenic and
anticancer potential of honeys derived from various regions in Greece. PLoS
ONE, 9(4), 1–10. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0094860
Sukandar, D., Hermanto, S., dan Amelia, E. R. (2015). Penapisan Bioaktivitas
Tanaman Pangan Fungsional Masyarakat Jawa Barat dan Banten. Jakarta:
Cinta Buku Media.
Sumarlin, L., Muawanah, A., Wardhani, P., dan Masitoh. (2014). Aktivitas
Antikanker dan Antioksidan Madu di Pasaran Lokal Indonesia (Anticancer
and Antioxidant Activity of Honey in the Market Local Indonesia). Jurnal
Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), 19(3), 136–144.
Sunita, Y., Yogesh, K., dan Babul, L. J. (2017). Industrial Entomology (XI) [Buku].
Singapore: Springer Nature Singapore. https://doi.org/10.1007/978-981-10-
3304-9
Tongda, X., Li, D., dan Jiang, D. (2012). Targeting cell signaling and apoptotic
pathways by luteolin: Cardioprotective role in rat cardiomyocytes following
ischemia/reperfusion. Nutrients, 4(12), 2008–2019.
https://doi.org/10.3390/nu4122008
Torre, L., Siegel, R., dan Ahmedin, J. (2015). Global Cancer Facts dan Figures 3rd
Edition. American Cancer Society, (800), 1–64.
https://doi.org/10.1002/ijc.27711
Valko, M., Leibfritz, D., Moncol, J., Cronin, T. ., Mazur, M., dan Telser, J. (2007).
Free radicals and antioxidants in normal physiological function and human
disease. The International Journal of Biochemistry and Cell Biology, 3(1), 44–
84.
Wang, Y., He, Q., dan Chiu, J. (2014). Dioscin induced activation of p38 MAPK
and JNK via mithochondrial pathway in HL-60 cell line. European Journal of
Pharmacol, 735, 52–58.
60
Wang, Z., Cheng, Y., Wang, N., Wang, D., Li, Y., Han, F., dan Chen, J. (2012).
Dioscin induces cancer cell apoptosis through elevated oxidative stress
mediated by downregulation of peroxiredoxins. Cancer Biology, 13, 138–147.
World Health Organization. (2014). Cancer Country Profiles: Indonesia. Cancer
Country Profiles, 22–23.
Xu, X. H., Li, T., Fong, C. M. V., Chen, X., Chen, X. J., Wang, Y. T., dan Lu, J. J.
(2016). Saponins from chinese medicines as anticancer agents. Molecules,
21(10), 1–27. https://doi.org/10.3390/molecules21101326
Yuslianti, E. R., M. Bachtia, B., F. Suniart, D., dan B. Sutjiat, A. (2015).
Antioxidant Activity of Rambutan Honey: The Free Radical-Scavenging
Activity in vitro and Lipid Peroxidation Inhibition of Oral Mucosa Wound
Tissue in vivo. Research Journal of Medicinal Plant, 9(6), 284–292.
https://doi.org/10.3923/rjmp.2015.284.292
Zheng, L., Dong, D., Xu, L., Yin, L., Xu, Y., Qi, Y.,dan Peng, J. (2013). Dioscin, a
natural steroid saponin, induces apoptosis and DNA damage through reactive
oxygen species: A potential new drug for treatment of glioblastoma
multiforme. Food Chemistry, 59, 657–669.
61
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil MTT assay fraksi air
Konsentrasi
50 100 200 400 800
Atr -21,5863 -26,9828 -33,3606 -34,9959 -10,0572
Bkld 78,2502 31,1529 66,14881 64,02289 30,66231
Crb 60,34342 0,327065 -0,2453 7,84955 -25,5928
Dklx 29,02698 -31,3164 50,28618 65,33115 11,36549
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
100
50 100 200 400 800% P
engh
amb
atan
Konsentrasi (ppm)
Atr
Bkld
Crb
Dklx
62
Lampiran 2. Hasil MTT assay fraksi etil asetat
Konsentrasi
50 100 200 400 800
Atr 36,2224 40,31071 -27,8823 11,69256 52,00327
Bkld 34,91415 -24,6934 29,76288 13,24612 -25,4293
Crb 65,98528 63,85936 70,80948 60,83401 50,12265
Dklx -2,04415 4,66067 -2,61652 -26,7375 26,49223
-40
-20
0
20
40
60
80
50 100 200 400 800
% P
engh
amb
atan
Konsentrasi (ppm)
Atr
Bkld
Crb
Dklx
63
Lampiran 3. Hasil MTT assay fraksi Atr air
Atr Air ppm
Ulangan % Penghambatan Standar Deviasi
Rata-rata % Penghambatan
% Penghambatan % viabilitas OD 1 OD 2 1 2
50 0,869 0,618 -42,1096 -1,06296 29,02433 -21,586263 -21,59 ± 29,02 121,58626
100 0,885 0,668 -44,7261 -9,23957 25,09275 -26,982829 -26,98 ± 25,09 126,98283
200 0,95 0,681 -55,3557 -11,3655 31,10576 -33,360589 -33,36 ± 31,11 133,36059
400 1,010 0,641 -65,1676 -4,8242 42,66924 -34,995912 -35,00 ± 42,67 134,99591
800 0,699 0,647 -14,3091 -5,8054 6,013009 -10,057236 -10,06 ± 6,01 110,05724
Kontrol 0,612 0,611 0 0 100
y = 0.0185x - 31.122R² = 0.3111
-40
-35
-30
-25
-20
-15
-10
-5
0
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900
% P
ENG
HA
MB
ATA
N
KONSENTRASI (PPM)
64
Lampiran 4. Hasil MTT assay fraksi Atr etil asetat
Atr EA ppm
Ulangan % Penghambatan Standar Deviasi
Rata-rata %
Penghambatan
% Penghambatan
% Viabilitas OD 1 OD 2 1 2
50 0,449 0,331 26,574 45,87081 13,64491 36,222404 36,22 ± 13,64 63,7776
100 0,611 0,119 0,081766 80,53966 56,89232 40,310711 40,31 ± 56,89 59,68929
200 0,812 0,752 -32,7882 -22,9763 6,938088 -27,88226 -27,89 ± 6,94 127,8823
400 0,760 0,32 -24,2845 47,66966 50,87931 11,692559 11,69 ± 50,88 88,30744
800 0,34 0,247 44,39902 59,60752 10,75404 52,003271 52,00 ± 10,75 47,99673
Kontrol 0,612 0,611 0 0 100
y = 0,0315x + 12,704R² = 0,0916
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
0 200 400 600 800 1000
% P
ENG
HA
MB
ATA
N
KONSENTRASI (PPM)
65
Lampiran 5. Hasil MTT assay fraksi Bkld Air
Bkld Air ppm
Ulangan % Penghambatan Standar Deviasi
Rata-rata % Penghambatan
% Penghambatan
% Viabilitas OD 1 OD 2 1 2
50 0,147 0,119 75,96075 80,53966 3,237774 78,250204 78,25 ± 3,24 21,749796
100 0,63 0,212 -3,02535 65,33115 48,33534 31,152903 31,15 ± 48,33 68,847097
200 0,192 0,222 68,6018 63,69583 3,469044 66,148814 66,14 ± 3,47 33,851186
400 0,297 0,143 51,43091 76,61488 17,80776 64,022895 64,02 ± 17,81 35,977105
800 0,12 0,728 80,37612 -19,0515 70,30596 30,662306 30,66 ± 70,31 69,337694
Kontrol 0,612 0,611 0 0
y = -0,036x + 65,195R² = 0,2528
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0 200 400 600 800 1000
% P
ENG
HA
MB
ATA
N
KONSENTRASI (PPM)
66
Lampiran 6. Hasil MTT assay fraksi Bkld etil asetat
Bkld EA ppm
Ulangan % Penghambatan Standar Deviasi
Rata-rata % Penghambatan
% Penghambatan
%viabilitas OD 1 OD 2 1 2
50 0,21 0,586 65,65822 4,170074 43,47868 34,914146 34,91 ± 43,48 65,08585
100 0,856 0,669 -39,9836 -9,40311 21,62371 -24,69338 -24,69 ± 21,62 124,6934
200 0,228 0,631 62,71464 -3,18888 46,60082 29,762878 29,76 ± 46,60 70,23712
400 0,417 0,644 31,80703 -5,3148 26,2491 13,246116 13,25 ± 26,25 86,75388
800 0,874 0,66 -42,9272 -7,93132 24,74585 -25,42927 -25,43 ± 24,74 125,4293
Kontrol 0,612 0,611 0 0 100
y = -0,0496x + 20,922R² = 0,2701
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900
% P
ENG
HA
MB
ATA
N
KONSENTRASI (PPM)
67
Lampiran 7. Hasil MTT assay fraksi Crb Air
Crb Air ppm
Ulangan % Penghambatan Standar Deviasi
Rata-rata % Penghambatan
% Penghambatan
% viabilitas OD 1 OD 2 1 2
50 0,262 0,223 57,15454 63,5323 4,509757 60,343418 60,34 ± 4,51 39,656582
100 0,799 0,42 -30,6623 31,31643 43,82559 0,3270646 0,33 ± 43,82 99,672935
200 0,86 0,366 -40,6378 40,14718 57,12359 -0,2452984 -0,24 ± 57,12 100,2453
400 0,797 0,33 -30,3352 46,03434 54,00145 7,8495503 7,85 ± 54,00 92,15045
800 0,82 0,716 -34,0965 -17,0891 12,02602 -25,592805 -25,59 ± 12,03 125,5928
Kontrol 0,612 0,611 0 0 100
y = -0,0741x + 31,507R² = 0,5114
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
70
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900% P
ENG
HA
MB
ATA
N
KONSENTRASI (PPM)
68
Lampiran 8. Hasil MTT assay fraksi Crb etil asetat
Crb EA ppm
Ulangan % Penghambatan Standar Deviasi
Rata-rata % Penghambatan
% Penghambatan
% viabilitas OD 1 OD 2 1 2
50 0,283 0,133 53,72036 78,2502 17,34522 65,985282 65,98 ± 17,34 34,01472
100 0,256 0,186 58,13573 69,58299 8,094436 63,859362 63,86 ± 8,09 36,14064
200 0,211 0,146 65,49469 76,12428 7,516262 70,809485 70,81 ± 7,52 29,19052
400 0,272 0,207 55,51922 66,14881 7,516262 60,834015 60,83 ± 7,52 39,16599
800 0,171 0,439 72,03598 28,20932 30,99013 50,122649 50,12 ± 30,99 49,87735
Kontrol 0,612 0,611 0 0 100
y = -0,0224x + 69,256R² = 0,7791
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900
% P
ENG
HA
MB
ATA
N
KONSENTRASI (PPM)
69
Lampiran 9. Hasil MTT assay fraksi Dklx Air
Dklx Air ppm
Ulangan % Penghambatan Standar Deviasi
Rata-rata % Penghambatan
% Penghambatan
% viabilitas OD 1 OD 2 1 2
50 0,225 0,643 63,20523 -5,15127 48,33534 29,026983 29,03 ± 48,33 70,973017
100 0,912 0,694 -49,1415 -13,4914 25,20839 -31,316435 -31,32 ± 25,21 131,31643
200 0,368 0,24 39,82011 60,75225 14,80125 50,286182 50,29 ± 14,80 49,713818
400 0,295 0,129 51,75797 78,90433 19,19538 65,331153 65,33 ± 19,19 34,668847
800 0,29 0,794 52,57563 -29,8446 58,27994 11,365495 11,36 ± 58,28 88,634505
Kontrol 0,612 0,611 0 0 100
y = 0,0133x + 20,816R² = 0,0117
-40
-20
0
20
40
60
80
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900
% P
ENG
HA
MB
ATA
N
KONSENTRASI (PPM)
70
Lampiran 10. Hasil MTT assay fraksi Dklx etil asetat
Dklx EA ppm
Ulangan % Penghambatan Standar Deviasi
Rata-rata % Penghambatan
% Penghambatan
% viabilitas OD 1 OD 2 1 2
50 0,617 0,631 -0,89943 -3,18888 1,618887 -2,044154 -2,04 ± 1,62 102,0442
100 0,591 0,575 3,352412 5,968929 1,850157 4,6606705 4,66 ± 1,85 95,33933
200 0,667 0,588 -9,07604 3,843009 9,135149 -2,616517 -2,62 ± 9,13 102,6165
400 0,893 0,657 -46,0343 -7,44072 27,28981 -26,73753 -26,74 ± 27,29 126,7375
800 0,35 0,549 42,7637 10,22077 23,01132 26,492232 26,49 ± 23,01 73,50777
Kontrol 0,612 0,611 0 0 100
y = 0,028x - 8,7285R² = 0,2012
-30
-20
-10
0
10
20
30
0 200 400 600 800 1000
% P
ENG
HA
MB
ATA
N
KONSENTRASI (PPM)
71
Lampiran 11. Hasil MTT assay % Penghambatan tertinggi
Air EA
Atr -10,0572 52,00327
Bkld 78,2502 34,91415
Crb 60,34342 70,80948
Dklx 65,33115 26,49223
-20
0
20
40
60
80
100
Air EA
% P
engh
amb
atan
Fraksi
Atr
Bkld
Crb
Dklx