AGROFORESTRI JALAWURE · 2020. 3. 6. · Agroforestry (BPPTA), Badan Litbang dan Inovasi...
Transcript of AGROFORESTRI JALAWURE · 2020. 3. 6. · Agroforestry (BPPTA), Badan Litbang dan Inovasi...
i
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
Pangan Alternatif dari Hutan untuk Wilayah Pesisir
ii
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987
Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
iii
Aji Winara, dkk
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
Pangan Alternatif dari Hutan untuk Wilayah Pesisir
UNS PRESS
iv
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides) Pangan Alternatif dari Hutan untuk Wilayah Pesisir Hak Cipta© Aji Winara, dkk. 2019
Penyusun
Aji Winara Rd. Dedi Herdiyana Asep Rohandi Udin Saepudin Eva Fauziyah Fitria Nurlaela Suhartono
Editor
Asep Rohandi Ary Widiyanto
Ilustrasi Sampul
UNS Press Penerbit & Percetakan
Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press) Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia 57126 Telp. (0271) 646994 Psw. 341 Fax. 0271 7890628 Website : www.unspress.uns.ac.id Email : [email protected] Cetakan 1, Edisi 1, Oktober 2019 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang All Rights Reserved
ISBN 978-602-397-321-7
v
KATA PENGANTAR
Isu pangan masih menjadi isu utama di dunia saat ini
termasuk di Indonesia. Kawasan hutan berkontribusi dalam pemenuhan ketahanan pangan melalui agroforestri. Namun jika terbentuk tegakan hutan, produktivitas tanaman pangan nasional menjadi menurun karena tidak mampu optimal dalam beradaptasi di bawah naungan. Sementara beberapa jenis tanaman pangan alternatif mampu bertahan di bawah tegakan hutan seperti jenis umbi-umbian.
Buku ini lahir sebagai upaya untuk kembali mengangkat pangan lokal khususnya yang secara alami berada di wilayah hutan. Jalawure (Tacca leontopetaloides) merupakan salah satu tanaman pangan yang mampu beradaptasi di bawah tegakan hutan dan mampu beradaptasi pula pada habitat tanah marginal pasir pantai. Agroforestri jalawure hadir berkontribusi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menunjang kebutuhan pangan lokal masyarakat sekitar hutan dan optimalisasi lahan di bawah tegakan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada tim penulis dan editor atas sumbangsihnya sehingga buku “Agroforestri Jalawure: Pangan Alternatif dari Hutan untuk Wilayah Pesisir” dapat diterbitkan. Semoga Buku ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Ciamis, Oktober 2019 Kepala Balai Bagus Novianto, S.Hut. MP.
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah, telah terbit buku “Agroforestri Jalawure: Pangan Alternatif dari Hutan untuk Wilayah Pesisir”. Buku ini merupakan hasil penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Agroforestry (BPPTA), Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selama kurun waktu 2016-2017. Buku ini mengulas tentang tanaman jalawure (Tacca leontopetaloides) mulai dari aspek taksonomi, morfologi, ekologi, kandungan gizi, pemanfaatan umbi, teknik agroforestri, analisis usaha tani, sosial budaya masyarakat dan tantangan dalam pengembangannya.
Latar belakang dilakukannya penelitian jalawure adalah adanya pengetahuan masyarakat yang masih kurang tentang teknik budidaya jalawure. Buku ini hadir sebagai upaya untuk mengisi kekosongan informasi tersebut.
Proses kegiatan penelitian hingga penulisan buku ini banyak dibantu oleh banyak pihak. Terima kasih kepada BPPTA yang telah mendanai kegiatan penelitian dan pencetakan buku ini, dan kepada Dr. Murniati selaku Koordinator RPPI Sumber Pangan Alternatif dari Pusat Litbang Hutan yang telah membimbing kami serta para editor. Terima kasih pula kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Garut dalam hal ini para penyuluh dari Kantor Balai Penyuluhan Pertanian, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan Kecamatan Cikelet, Pemerintah Desa Cigadog dan Cijambe dan Kelompok Tani Muara III Desa Cigadog (Bpk. Jono Sujono).
vii
Semoga hadirnya buku ini dapat meningkatkan kontribusi agroforestri bagi masyarakat di Indonesia umumnya dan para pegiat agroforestri pada khususnya.
Ciamis, Oktober 2019
Penulis
viii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................... v UCAPAN TERIMA KASIH ..................................................... vi DAFTAR ISI ..................................................... viii 1. Pendahuluan ......................................................................... 1
2. Taksonomi, Morfologi dan Ekologi Jalawure ........... 7
3. Kandungan Nutrisi dan Pemanfaatan Jalawure ...... 15
4. Agroforestri Jalawure ....................................................... 27
5. Analisis Usaha Tani Jalawure ......................................... 45
6. Aspek Sosial Budaya dan Prospek Pengembangan Tanaman Jalawure: Studi di Kabupaten Garut ................................................................ 57
7. Penutup .................................................................................. 73
TESTIMONI ................................................................................. 75 TENTANG PENULIS ................................................................. 76
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
1
PENDAHULUAN
Agroforestri Jalawure dan Ketahanan Pangan
Asep Rohandi dan Aji Winara
A. Agroforestri dan Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan menjadi salah satu program prioritas
nasional saat ini di Indonesia. Penambahan jumlah penduduk
memberikan konsekuensi meningkatnya kebutuhan akan pangan
di tengah masih kurangnya daya dukung produktivitas hasil
pertanian dan semakin banyaknya alih fungsi lahan pertanian
menjadi areal penggunaan lain seperti pemukiman. Selain
mengandalkan lahan basah, untuk mendukung ketahanan
pangan diharapkan pula kontribusi dari lahan kering seperti
pertanian lahan kering dan lahan hutan, meskipun produktivitas
pertanian di lahan kering masih belum bisa mengimbangi lahan
basah (Abdurachman, Dariah, & Mulyani, 2008).
Kontribusi kawasan hutan dalam mendukung ketahanan
pangan dilakukan melalui pola agroforestri (Widodo, 2011). Pola
agroforestri yang biasa dikembangkan pada petani di sekitar
hutan khususnya melalui perhutanan sosial ataupun pengelolaan
hutan bersama masyarakat mampu memberikan kontribusi
pendapatan rumah tangga hingga 41,32 % (Mayrowani & Ashari,
2011). Selain itu, agroforestri dapat memperbaiki kualitas tanah
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
2
dan lingkungan sehingga agroforestri merupakan wujud sinergis
antara sektor pertanian, kehutanan dan lingkungan (Kohli, Singh,
Batish, & Jose, 2008; Sabarnurdin, Budiadi, & Suryanto, 2011).
Praktek agroforestri penghasil pangan pada beberapa
wilayah hutan biasanya diterapkan pada kondisi 3-5 tahun
pertama. Hal tersebut dilakukan karena beberapa tanaman
pertanian khususnya padi, jagung dan kacang tanah hanya
produktif pada lahan tanam yang masih terbuka atau biasa
disebut agroforestri awal. Namun ketika telah terbentuk pohon
dengan tajuk yang rapat, jenis tanaman pertanian utama
penghasil pangan seperti Padi Jagung Kedele (Pajale) sudah tidak
bisa ditanam oleh para petani sehingga diperlukan pemilihan
jenis tanaman pangan yang bisa adaptif di bawah naungan
pohon. Umbi-umbian merupakan tanaman potensial sebagai
pangan alternatif selain beras. Disamping itu sebagian jenis
umbi-umbian mampu bertahan di bawah naungan dalam sebuah
pola agroforestri (Maryanto, 2013).
Umbi-umbian banyak memberikan peran dalam ketahanan
pangan masyarakat di dunia. Di Indonesia, LIPI merekomendasi-
kan beberapa jenis umbi-umbian alternatif bagi sumber pangan
antara lain Sente (Alocasia macrorrizha), Talas (Colocasia
esculenta), Suweg (Amorphophallus paeoniifolius), Porang/Iles-
iles (Amorphophallus muelleri), Amorphophallus prainii,
Crytosperma merkusii, kimpul (Xanthosoma sagittifolium), Tacca
lancaeofolia, Tacca macrantha, Tacca palmate, Jalawure (Tacca
leontopetaloides), Uwi (Dioscorea alata), Gembili (Dioscorea
esculenta), Gadung (Dioscorea hispida), Dioscorea bulbifera,
Dioscorea penthapylla dan Dioscorea nummularia, Garut
(Maranta arundinacea), Ganyong (Canna indica), Kentang hitam
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
3
(Plectranthus rotundifolius), Ubi Kayu (Manihot esculenta) dan
Ubi Jalar (Ipomea batatas). Umbi-umbian yang paling potensial
dimanfaatkan sebagai pengganti karbohidrat selain beras adalah
ubi kayu atau singkong dengan produksi yang cukup tinggi
(Bantacut, 2010). Namun umbi tersebut tidak produktif pada
areal tanam di bawah tegakan.
Beberapa jenis tanaman pangan (umbi-umbian) memiliki
potensi yang baik dan mampu beradaptasi di bawah tegakan
hutan seperti porang atau iles-iles (Wijayanto & Pratiwi,
2011;Fauziyah & Diniati, 2011), ganyong di bawah tegakan
sengon (Rahayu & Wijayanto, 2014), kimpul di bawah tegakan
jati (Murniyanto, Sugito, Guritno, & Handayanto, 2011), uwi,
garut, taro (Lewerissa, 2013) dan Jalawure (Setiawan, 2013).
B. Jalawure dan Ketahanan Pangan dari Hutan
Jalawure (T. leontopetaloides) merupakan umbi umbian
wilayah pesisir pantai yang potensial sebagai cadangan pangan.
Jalawure memiliki nilai gizi yang sangat tinggi antara lain
karbohidrat bersih 85,74%, kalsium 0,058%, fosfor 0,007%, air
12.1% dan menghasilkan energi sebesar 346 kalori
(Spennemann, 1994). Adapun adanya potensi pengembangan
jalawure sebagai herba pangan dari hutan pantai didukung oleh
beberapa faktor antara lain daya dukung sosial dan daya dukung
ekologi. Daya dukung sosial adalah berupa pengenalan sebagian
masyarakat pesisir akan manfaat tanaman tersebut serta
pengetahuan tentang pengolahan pasca panen yang telah
dimiliki. Selain itu proses pengenalan secara nasional telah
dilakukan oleh LIPI yang menjadikan jalawure menjadi maskot
flora hari cinta puspa dan satwa nasional tahun 2012. Sementara
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
4
itu secara ekologi daya dukung jalawure terletak pada eksistensi
jalawure yang tumbuh dengan baik pada lahan marjinal
menjadikannya potensial sebagai tanaman pangan untuk
gerakan rehabilitasi lahan marjinal pantai. Selain itu daya tahan
tanaman Jalawure di bawah naungan pepohonan atau pandan-
pandanan yang menjadikannya potensial dikembangkan sebagai
tanaman agroforestry.
Permasalahan yang dihadapi diantaranya adalah upaya
budidaya jalawure belum banyak dilakukan oleh masyarakat,
namun pemanfaatan umbi dari alam senantiasa dilakukan
sehingga jika tidak ada kontrol dapat mengancam
keberadaannya. Disamping itu beberapa habitat alaminya telah
mengalami gangguan oleh perubahan habitat seperti tambak
udang dan kawasan ekowisata.
Guna mengoptimalkan manfaat jalawure bagi ketahanan
pangan dari wilayah hutan maka perlu dilakukan upaya
konservasi jenis serta pengembangan jenis dalam pola
agroforestri. Buku ini hadir sebagai upaya awal untuk
mendesiminasikan kegiatan domestikasi melalui budidaya
agroforestri jalawure dibawah tegakan hutan, khususnya hutan
jati di wilayah pesisir.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
5
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., Dariah, A., & Mulyani, A. (2008). Strategi dan teknik pengelolaan lahan kering mendukung pengadaan pangan nasional. Jurnal Litbang Pertanian, 27(2), 43–49.
Bantacut, T. (2010). Ketahanan pangan berbasis cassava. Jurnal Pangan, 19(1), 3–13.
Fauziyah, E., & Diniati, D. (2011). Pola pengembangan dan pemanfaatan iles-iles di bawah tegakan. Prosiding Workshop Status Riset Dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry, 202–210. Bogor: Pusat Penelitian Peningkatan Produktivitas Hutan.
Kohli, R. K., Singh, H. P., Batish, D. R., & Jose, S. (2008). Ecological Interactions in Agroforestry: An Overview. In Ecological Basis of Agroforestry (pp. 3–14). New York: CRC Press.
Lewerissa, E. (2013). Inventarisasi jenis umbian di bawah tegakan agroforestri sebagai sumber pangan (Studi Kasus di Desa Kali Upa Kecamatan Tobelo Tengah). Jurnal Agroforestri, 8(4), 276–285.
Maryanto, I. (2013). Bioresources Untuk Pembangunan Ekonomi Hijau (D. Susiloningsih, ed.). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Mayrowani, H., & Ashari. (2011). Pengembangan agroforestry untuk mendukung ketahanan pangan dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 29(2), 83-98.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
6
Murniyanto, E., Sugito, Y., Guritno, B., & Handayanto, E. (2011). Potensi Xanthosoma sagittifolium dibawah tegakan hutan produksi jati: penunjang ketahanan pangan. Prosiding Seminar Nasional Reformasi Pertanian Terintegrasi Menuju Kedaulatan Pangan, 20 Oktober 2011. Madura: Universitas Trunojoyo.
Rahayu, A. R., & Wijayanto, N. (2014). Pengaruh Dosis Pupuk NPK dan Kompos terhadap Pertumbuhan Ganyong Merah (Canna edulis Ker.) di Bawah Tegakan Sengon (Falcataria moluccana Miq.). Jurnal Silvikultur Tropika, 5(2), 119–123.
Sabarnurdin, M. ., Budiadi, & Suryanto, P. (2011). Agroforestri untuk indonesia : strategi kelestarian hutan dan kemakmuran. Yogyakarta: Cakrawala Media.
Widodo, Y. (2011). Strategi sinergistik peningkatan produksi pangan dalam hutan lestari melalui wanatani. Pangan, 20(3), 251–270.
Wijayanto, N., & Pratiwi, E. (2011). Pengaruh naungan dari tegakan sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) terhadap pertumbuhan tanaman porang (Amorphophallus onchophyllus). Jurnal Silvikultur Tropika, 2(1), 46–51.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
7
TAKSONOMI, MORFOLOGI DAN EKOLOGI JALAWURE
Aji Winara dan Udin Saepudin
A. Taksonomi
Taksonomi Jalawure menurut Lim (2016) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Subdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsidau
Subkelas : Liliidae
Ordo : Dioscoreales
Famili : Dioscoreaceae
Genus : Tacca J.R.
Species : Tacca leontopetaloides (L.) Kuntze
Sinonim : Chaetaea tacca Sol. Ex Seem, Leontice
leontopetaloides L, Tacca abyssinica Hoschst. ex.
Baker, Tacca artocarpifolia Seem, Tacca browni
var. paeoniifolia limpr., Tacca dubia Schult &
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
8
Schult.f., Tacca gaogao Blanco, Tacca guineensis
G. Don ex. Loudon, Tacca hawaiiensis H. Limpr.,
Tacca involucrate Schumach & Thonn.
Nama Inggris : arrowroot, east indian arrowroot, fiji arrowroot,
polynesian arrowroot, tacca, tahiti arrowroot,
william arrowroot.
Nama lokal : Pia (Aceh), Kacunda (Jakarta), Likir-jalawure
(Sunda), Kecondang (Jawa), Condang (Madura),
Totoan (Bima), Kolopale (Makasar), Kacodo
(Bugis), Kacunda (Timor), Telo (Buru), Kayeli
(Ternate) (Heyne, 1987).
Jalawure (Tacca leontopetaloides (L.) O. Kuntze) pada
awalnya tergolong famili Taccaceae (Drenth, 1972), namun
secara molekuler saat ini lebih dekat pada famili Dioscoreaceae
(Maryanto & Susiloningsih, 2013).
B. Morfologi
Secara habitus, jalawure adalah tanaman herba umbi-
umbian semusim. Tinggi tanaman mencapai 100-165 cm dengan
arah pertumbuhan tegak lurus dan memiliki batang semu dari
bagian umbi. Daun majemuk menjari berwarna hijau dengan
permukaan agak bergelombang, diameter tajuk daun hingga 100
cm (Gambar 1a). Bunga jalawure terletak diujung batang yang
terbentuk tersendiri terpisah dari daun, berkelamin ganda
dengan putik dan benang sari yang dapat dibedakan. Buah
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
9
jalawure berjumlah banyak, berbentuk subglobosa, bulat telur
atau elipsoid, berukuran 3,5 x 2,5 cm, oranye pucat jika matang,
berusuk. Setiap buah jalawure mengandung biji dalam jumlah
banyak, berbentuk ovoid hingga elipsoid, berukuran 5-8 x 4-6
mm, berwarna coklat kekuningan.
Gambar 1. Morfologi jalawure: a. herba dewasa; b. biji; c. bunga;
d. buah; e. umbi.
c
a d
e b
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
10
Umbi jalawure berbentuk bulat hingga oval dengan
permukaan kulit tipis dan halus berwarna krem hingga coklat
muda dan memiliki akar-akar ketika telah dewasa. Umbi anak
akan keluar dari umbi empu melalui stolon meskipun umbi
empu akan terbentuk setelah terjadi pertumbuhan vegetatif.
Umbi anak terbentuk pada posisi tanah lebih dalam
dibandingkan umbi empu hingga 30 cm dan sangat bergantung
pada kondisi tanah. Umbi empu akan membusuk ketika fase
pertumbuhan umbi anak telah matang.
Gambar 2. Keragaan morfologi jalawure dewasa dan umbi nya (tanda lingkaran dan panah) dari habitat pantai Kabupaten Garut.
C. Ekologi
Secara alami tanaman jalawure tumbuh pada ketinggian
3-330 m dpl, dijumpai pada eksositem pantai, padang alang-
alang, savana dan kebun kelapa. Tanaman ini tersebar mulai dari
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
11
wilayah Afrika Barat melalui Asia Tenggara ke Australia Utara,
menyeberang ke wilayah Nugini dan Polinesia. (Lim, 2016).
Indonesia merupakan salah satu habitat alami tanaman
jalawure diantaranya Jawa Barat (Pelabuhan Ratu, Garut,
Kepulauan Krakatau), Yogyakarta (Gunung Kidul), Jawa Tengah
(Kepulauan Karimun Jawa, Kepulauan Kagean), Jawa Timur
(Kediri, Madura) dan Pulau Sumatera seperti Kepulauan Bangka
Belitung (Maryanto & Susiloningsih, 2013).
Gambar 3. Habitat alami jalawure pada tanah dominan pasir
pantai di Kabupaten Garut (kiri) dan pada tanah liat
di Yogyakarta (kanan).
Habitat alami jalawure adalah tanah dominan pasir pantai
hingga 98 % pasir (Garut, Kepulauan Karimun Jawa, Kepulauan
Kagean, Yogyakarta dan Madura) dan tanah lempung/liat
(Sukabumi dan Yogyakarta) (Syarif, Lestari, & Wawo, 2014;
Winara & Murniati, 2018) sebagaimana Gambar 2. Jalawure
ditemukan tumbuh alami dibawah tegakan jati, ketapang, mindi,
akasia, mangga dan pandan laut (Setyowati et al., 2012;
Setiawan, 2013; Syarif, Lestari, & Wawo, 2014; Susiarti, 2015;
Winara & Murniati, 2018).
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
12
Jalawure dapat tumbuh dibawah naungan tegakan pohon
dengan intensitas cahaya rendah yaitu hingga 10 %, seperti di
pantai barat dan selatan Kabupaten Bangkalan (Setiawan, 2013).
Selain itu jalawure dapat tumbuh bersama tanaman herba
lainnya seperti Curcuma amada dan Dioscorea bulbifera (Meena
& Yadav, 2010), dan dapat ditumpangsarikan dengan tanaman
pangan semusim lainnya seperti jagung dan kacang tanah.
Gambar 4. Jalawure dibawah tegakan pandan laut.
Keberadaan populasi jalawure di alam ditemukan
menyebar secara soliter dan mengelompok serta mendominasi
tumbuhan bawah khususnya pada fase vegetatif atau belum
berbuah. Jalawure mendominasi tanaman bawah pada
habitatnya di Pantai Cigadog dan Sayangheulang Kabupaten
Garut, dengan Indeks Nilai Penting (INP) sebesar 96,69 % dan
kelimpahan individu mencapai 12.500 – 29.000 individu/ha
(Winara & Murniati, 2018).
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
13
DAFTAR PUSTAKA
Drenth, E. (1972). A revision of the family Taccaceae. Blumea, 20(2), 367–406.
Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia I. Bogor: Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan.
Lim, T. K. (2016). Edible Medicinal and Non Medicinal Plants (Vol. 10, Modifi). London: Springer. https://doi.org/10.1007/978-94-017-9511-1
Maryanto, I., & Susiloningsih. (2013). Bioresources Untuk Pembangunan Ekonomi Hijau. (D. Susiloningsih, Ed.). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Meena, K. L., & Yadav, B. L. (2010). Short Communications Tacca leontopetaloides ( Linn .) O . Kuntze ( Taccaceae ) – A new record to the flora of Rajasthan. Indian Journal of Natural Product and Resources, 1(4), 512–514.
Setiawan, E. (2013). Eksplorasi Tacca leontopetaloides (L) : Pola sebaran dan ekologi di kabupaten Bangkalan. In Prosiding Seminar Nasional “Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan” (pp. 570–574). Madura: Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo.
Setyowati, N., Susiarti, S., & Rugayah. (2012). Tacca Leontopetaloides: Persebaran dan Potensinya sebagai Sumber Pangan Lokal di Jawa Timur, 536(April), 31–40.
Susiarti, S. (2015). Potensi To’toan ( Tacca leontopetaloides ( L .) O . Kuntze ) sebagai bahan pangan di Pulau Kagean, Jawa Timur. Berita Biologi, 14(1), 97–103.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
14
Syarif, F., Lestari, P., & Wawo, H. (2014). Variasi karakteristik pertumbuhan Tacca leontopetaloides ( L ) Kuntze ( Taccaceae ) di Pulau Jawa dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Berita Biologi, 13(2), 161–171.
Winara, A., & Murniati. (2018). Pola sebaran, kelimpahan populasi dan karakteristik habitat jalawure (Tacca leontopetolides) di Kabupaten Garut. Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam, 16(02), 79–89.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
15
KANDUNGAN NUTRISI DAN PEMANFAATAN JALAWURE
Aji Winara dan Nurlaela Fitriani
A. Kandungan Nutrisi
Umbi jalawure telah diketahui memiliki kandungan nutrisi
yang layak sebagai sumber pangan. Umbi jalawure di wilayah
kepulauan Pasifik memiliki kandungan nutrisi diantaranya
karbohidrat sebesar 85,74%, 12,1 % kadar air, 0,18% protein,
0,05% lemak, 1,89% abu, 58 % kalsium, 7,2% posfor, 0,002
thiamin dan energi 346 kalori (Murai, Pen, & Miller, 1958).
Wardah et al., (2017) melaporkan kandungan nutrisi umbi
kering jalawure (100 g) di Indonesia antara lain 80,11-88,07 %
karbohidrat, 0,78 % lemak, 5,23% protein, 1,85% serat dan 334-
369 kal energi. Kandungan karbohidrat dan energi yang
dikandung oleh umbi jalawure sangat memungkinkan
menjadikan umbi tersebut sebagai pangan alternatif baik untuk
manusia maupun hewan (Ogbonna et al., 2017).
Ogbonna et al., (2017) melaporkan potensi kandungan
nutrisi lainnya dari umbi jalawure adalah 100 g umbi
mengandung natrium 34,72 mg, kalium 40,18 mg, kalsium 0,25
mg, magnesium 1,40 mg, besi 1,37 mg, seng 1,64 mg, mangan
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
16
0,72 mg, tembaga 0,68 mg dan fosfor 0,06 mg. Selain itu umbi
jalawure pun mengandung beberapa komponen utama metabolit
sekunder seperti tanin 2,50 mg, phytat 49,77 mg, oksalat 15,51
mg, sianida 0,18 mg, alkaloid 42,90 mg, saponin 14,67 mg dan
flavanoid 1,46 mg.
Tabel 1. Kandungan proksimat umbi segar dan pati jalawure hasil agroforestri dibawah tegakan jati (Winara, 2018)
No Kandungan Umbi Segar Pati 1 Air (%) 63,99 14,7 2 Abu (%) 1,24 0,1 3 Lemak (%) 0,06 0,06 4 Protein total (%) 2,81 0,14 5 Serat Kasar (%) 0,415 ta 6 Karbohidrat by different (%) 31,38 84,4 7 Kalori (kal) 128,80 323 8 Vitamin C (mg/100 gr) 16,06 9,19 9 Pati (%) 29,64 84
10 Fe (ppm) 8,31 ta 11 Amilosa ta 30,4 12 Amilopektin ta 53,8
Keterangan: ta = tidak dianalisis
Sementara itu Winara (2018) melaporkan bahwa
kandungan nutrisi umbi jalawure hasil budidaya agroforestri
tidak berbeda jauh dengan kandungan dari sebaran alami yaitu
umbi basah (100 g) mengandung 31,38 % karbohidrat, 0,06 %
lemak, 2,81 % protein, 0,42 % serat kasar, 16,06 % vitamin C,
29,64 % pati, 8,31 ppm Fe dan menghasilkan energi sebesar
128,8 kalori, sedangkan pati jalawure mengandung 84,4 %
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
17
karbohidrat, 323 kalori energi, 30,4 % amilosa dan 53,8 %
amilopektin (Tabel 1).
B. Pemanfaatan Secara Tradisional
Pemanfaatan jalawure secara tradisional telah dilakukan
cukup lama dan teruji secara turun temurun pada beberapa
negara. Bagian tanaman yang telah dimanfaatkan sebagai bahan
pangan adalah umbi.
Umbi jalawure menjadi bahan baku pangan penting bagi
beberapa masyarakat tradisional di kepulauan pasifik khususnya
di wilayah kepulauan. Di Nigeria tanaman jalawure menjadi
sumber pangan utama yang tumbuh secara liar pada wilayah
savana (Omojola, 2013). Sementara di kepulauan Marshall, umbi
jalawure menjadi tanaman pangan penting kedua pada masa
paceklik karena ketersediaanya di beberapa pulau cukup
melimpah khususnya pada musim kering disaat tanaman pangan
lain tidak berproduksi (Spennemann, 1994).
Demikian pula di Indonesia, pemanfaatan umbi jalawure
sebagai penyedia pangan telah lama dilakukan masyarakat
khususnya pada saat musim paceklik dan kesulitan pangan, sejak
jaman pendudukan Hindia Belanda terutama di kepulauan
Karimun Jawa dengan sebutan kecondang (Heyne, 1987).
Pemanfaatan umbi jalawure di Kabupaten Garut dilakukan pada
masa paceklik tahun 1980-an dengan sebutan jalawure
(Fauziyah, 2017).
Pemanfaatan umbi jalawure dilakukan tidak secara
langsung melainkan umbinya diolah terlebih dahulu menjadi
tepung (Lim, 2016). Pemanenan umbi jalawure dilakukan
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
18
setelah tanaman memasuki masa dormansi atau mati. Hal ini
dilakukan agar kandungan pati dalam umbi tersebut cukup
optimal.
a. Pembuatan Pati Jalawure
Pengolahan umbi jalawure menjadi pati dilakukan
karena adanya rasa pahit dan racun pada kulit umbi segar
jalawure (Ukpabi, U. J., Ukenye, E., & Olojede, 2009). Rasa
pahit tersebut muncul karena umbi jalawure mengandung
senyawa Taccalin (Maryanto & Susiloningsih, 2013). Potensi
senyawa taccalin saat ini sedang dilakukan penelitian terkait
potensinya sebagai bahan baku obat.
Gambar 1. Pati umbi jalawure
Pembuatan pati jalawure dapat dilakukan secara
sederhana. Adapun tahapan proses pembuatan pati jalawure
oleh masyarakat Garut adalah sebagaimana Gambar 2. Proses
tersebut mirip dengan cara pengolahan umbi menjadi pati
jalawure pada beberapa wilayah lain.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
19
Gambar 2. Proses pembuatan pati jalawure secara sederhana oleh petani di Kabupaten Garut.
Umbi jalawure Umbi dikupas Umbi dicuci
Umbi diparut Campuran parutan dan air bersih diperas
dan disaring 4-5 kali
Hasil parutan
diaduk dengan
air bersih
Larutan yang
tersaring
diendapkan
Endapan pati
dipisahkan dan
dkeringkan
Tepung jalawure
yang sudah
kering
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
20
Proses pembuatan pati jalawure menggunakan air
sebagai pelarut. Air digunakan untuk membuang rasa pahit
pada umbi. Masyarakat pesisir di Kabupaten Garut
menghasilkan pati jalawure dengan rendemen pati hingga
30% dengan syarat umbi jalawure berbobot minimal 0,5 kg
dan dalam kondisi cukup tua atau matang dalam tanah.
Pematangan pati dalam umbi jalawure biasanya dilakukan
dengan cara membiarkan umbi di dalam tanah sekitar 2-3
bulan setelah tanaman menguning (gugur).
Pati jalawure cukup tahan lama dalam penyimpanan.
Menurut pengalaman masyarakat, pati jalawure dapat
disimpan hingga satu tahun (Wardah et al., 2017). Selain itu
berdasarkan pengamatan langsung penulis, pati jalawure
lebih tahan terhadap serangan hama pati dibadingkan pati
terigu.
b. Pengolahan Pati Sebagai Bahan Baku Kue
Sebagian besar masyarakat pesisir di Indonesia
memanfaatkan pati jalawure sebagai bahan baku makanan
jenis kue. Masyarakat pesisir Garut Jawa Barat mengolah
pati jalawure menjadi beberapa jenis kue diantaranya kue
ongol-ongol, semprong, cendol, cheesestick, bolu, kue talam,
ladu, kue seroja, kue aci, kue widara, kue gabus, kue bangkat,
kue tamban (BP3K Cikelet, 2011; Wardah et al., 2017;
Fauziyah, 2017). Masyarakat Karimun Jawa mengolah pati
jalawure menjadi kue ender-ender dan kue delapan
(Sihotang, 2013). Sementara masyarakat di Pulau Buru
Maluku mengolah pati jalawure tidak hanya sebagai
bahanbaku kue tapi juga menjadi papeda atau makanan
pokok dan kue sagu mutiara (Heyne, 1987).
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
21
Gambar 3. Aneka olahan kue dari pati jalawure.
Pemanfaatan pati jalawure sebagai bahan makanan
tidak untuk kebutuhan sehari-hari, namun lebih banyak
untuk waktu tertentu seperti pada masa paceklik, hari raya
atau kegiatan hajatan.
c. Pemanfaatan lain
Selain pemanfaatan bagian umbi, bagian lain dari
tanaman jalawure dimanfaatkan sebagai pangan, obat dan
bahan baku kerajinan. Buah jalawure dikonsumsi di Nigeria
dengan rasa yang manis (Borokini & Ayodele, 2012). Di
kepulauan Polinesia, umbi mentah dicampur dengan air dan
tanah merah digunakan untuk mengobati diare, disentri dan
pendarahan lambung Kay (1973) dalam (Lim, 2016). Di
Nigeria, bagian akar jalawure digunakan untuk mengobati
hepatitis dan bisa patukan ular (Borokini & Ayodele, 2012).
Sementara Heyne (1987) melaporkan bahwa tangkai
buah jalawure dimanfaatkan oleh masyarakat Kepulauan
lautan teduh sebagai bahan baku serat kerajinan anyaman
topi wanita pada tahun 1900an. Tangkai jalawure dibelah
menjadi bagian, bagian luar yang berwarna hijau dibuang
dan bagian dalamnya dicuci serta dijemur hingga kering.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
22
C. Prospek Pengembangan Komoditi
Selain pemanfaatan secara tradisional yang telah
dilakukan oleh masyarakat, umbi jalawure telah banyak diteliti
potensi pemanfaatannya sebagai komoditi industry pangan. Pati
jalawure telah dikaji memiliki potensi sebagai bahan baku
biskuit (Aatjin, Lelemboto, Koapaha, & Mamahit, 2013) dan mie
instan (Kurniawan, 2017). Kandungan amilopektin pada pati
jalawure lebih tinggi dari kandungan amilosa sehingga
menyebabkan biskuit yang terbuat dari pati jalawure berkesan
renyah namun tidak mudah patah. Demikian pula ketika
dijadikan bahan baku makanan ringan cheesestick yaitu
menghasilkan kue yang bertekstur sangat renyah namun kurang
mengembang.
Selain berpotensi sebagai bahan pangan, jalawure memiliki
manfaat lain diantaranya memiliki potensi kandungan obat yaitu
antioksidan (Martin, Aviana, Hapsari, Rantau, & Ermayanti,
2012), antitripanosomal (Dike et al., 2016), antimikroba (Habila,
Bello, Dzikwe, Ladan, & Sabiu, 2011). Selain itu berpotensi pula
sebagai bahan baku biopolimer manufaktur mobil (Makhtar,
Rodhi, Musa, & Hamid, 2013) dan bioplastik (Makhtar, Rais, et al.,
2013).
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
23
DAFTAR PUSTAKA
Aatjin, A. Z., Lelemboto, M. B., Koapaha, T., & Mamahit, L. P.
(2013). Pemanfaatan pati Tacca (Tacca Leontopetaloides) pada pembuatan biskuit. COCOS, 2(1), 1–8.
Borokini, T. I., & Ayodele, A. E. (2012). Phytochemical Screening of Tacca Leontopetaloides ( L .) Kuntze Collected from Four Geographical Locations in, 2(4), 97–102. https://doi.org/10.5923/j.ijmb.20120204.06
BP3K Cikelet, B. P. P. P. dan K. K. C. (2011). Budidaya Jalawure. Leaflet.
Dike, V. T., Vihiior, B., Bosha, J. A., Yin, M., Ebiloma, G. U., Koning, H. P. De, … Gray, A. I. (2016). Antitrypanosomal Activity of a Novel Taccalonolide from the Tubers of Tacca leontopetaloides. Phytochemical Analysis, 27(February), 217–221. https://doi.org/10.1002/pca.2619
Fauziyah, E. (2017). Farmers knowledge abaout jalawure (Tacca leontopetaloides (L.). Kuntze) as an alternative flour substitute crop. In Proceeding of IUFRO-INAFOR Joint International Conference 2017 (pp. 469–477). Yogyakarta: IUFRO-INAFOR.
Habila, J. ., Bello, I. A., Dzikwe, A. A., Ladan, Z., & Sabiu, M. (2011). Comparative evaluation of phytochemicals , antioxidant and antimicrobial activity of four medicinal plants native to Northern Nigeria . Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 5(5), 537–543.
Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia I. Bogor: Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan.
Kurniawan, A. (2017). Karakter mie pati taka (Tacca leontopetaloides) yang disubstitusi mocaf. Universitas Gadjah Mada.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
24
Lim, T. K. (2016). Edible Medicinal and Non Medicinal Plants (Vol. 10, Modifi). London: Springer. https://doi.org/10.1007/978-94-017-9511-1
Makhtar, N. S. M., Rais, M. F. M., Rodhi, M. N. M., Bujang, N., Musa, M., & Hamid, K. H. K. (2013). Tacca Leontopetaloides starch : new sources starch for biodegradable plastic. Procedia Engineering, 68, 385–391. https://doi.org/10.1016/j.proeng.2013.12.196
Makhtar, N. S. M., Rodhi, M. N. M., Musa, M., & Hamid, K. H. K. (2013). Thermal behavior of Tacca leontopetaloides starch-based biopolymer. International Journal of Polymer Science, 68(2013), 1–7.
Martin, A. F., Aviana, A., Hapsari, B. W., Rantau, D. E., & Ermayanti, M. (2012). Uji fitokimia dan aktivitas antioksidan pada tanaman ex vitro dan in vitro tacca leontopetaloides. In Prosiding Seminar Nasional XV “Kimia dalam Pembangunan “. Yogyakarta: Jaringan Kerjasama Kimia Indonesia. https://doi.org/10.13140/RG.2.1.3648.8729
Maryanto, I., & Susiloningsih. (2013). Bioresources Untuk Pembangunan Ekonomi Hijau. (D. Susiloningsih, Ed.). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Murai, M., Pen, F., & Miller, C. D. (1958). Some Tropical South Pacific Island Foods. Honolulu, Hawaii: University of Hawaii Press.
Ogbonna, A., Adepoju, S., Ogbonna, C., Yakubu, T., Itelima, J., & Dajin, V. (2017). Root tuber of Tacca leontopetaloides L . ( kunze ) for food and nutritional security. Microbiology: Current Research, 1(1), 1–11.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
25
Omojola, M. (2013). Tacca starch: A review of its production, physicochemical properties, modification and industrial uses. African Journal of Food, Agriculture, Nutrition and Development, 13(4), 7972–7985.
Sihotang, V. B. L. (2013). The Utilization of Kecondang ( T . leontopetaloides ) in Karimunjawa Island as Alternative Food. In Proceeding ICGRC 2013 (pp. 44–48). Malang: Universitas Brawijaya.
Spennemann, D. H. R. (1994). Traditional arrowroot production and utilization in Marshall Islands, 14(2), 211–234.
Ukpabi, U. J., Ukenye, E., & Olojede, A. O. (2009). Raw-material potentials of Nigerian wild polynesian arrowroot (Tacca leontopetaloides) tubers and starch. Journal of Food Technology, 7(4), 135–138.
Wardah, Sambas, E. ., Ridwan, & Ariani, D. (2017). Starch Product of Wild Plants Species Jalawure ( Tacca leontopetaloides L .) Kuntze as The Source of Food Security in The South Coastal West Java Starch Product of Wild Plants Species Jalawure ( Tacca leontopetaloides L .) Kuntze as The Source of Food Sec. In International Conference on Food Science and Engineering 2016: Material Science and Engineering 193 (pp. 1–10). IOP Publishing. https://doi.org/10.1088/1757-899X/193/1/012035
Winara, A. (2018). Potensi agroforestri jalawure (Tacca leontopetaloides) untuk ketahanan pangan lokal di Kabupaten Garut. In Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2018 (pp. 84–89). Ciamis: Balai Litbang Teknologi Agroforestry-Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat-Masyarakat Agroforestri Indonesia.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
26
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
27
AGROFORESTRI JALAWURE
Aji Winara, Suhartono, Asep Rohandi, Rd. Dedi Herdiyana
A. Status Budidaya Jalawure
Jalawure secara alami dapat tumbuh pada lahan terbuka
dan di bawah naungan. Budidaya jalawure telah dilakukan
sebagian masyarakat pesisir di Indonesia seperti di Kabupaten
Garut. Lahan yang digunakan adalah lahan pantai yang tidak jauh
dari habitat asli jalawure. Budidaya dilakukan secara
monokultur tidak intensif. Menurut BP3K Cikelet (2011),
kegiatan monokultur jalawure yang dilakukan oleh masyarakat
Garut cukup sederhana. Setelah dilakukan persiapan bibit,
kemudian dibuat lubang tanam jalawure pada lahan pasir pantai
dengan jarak 1 m x 1 m. Pupuk dasar berupa pupuk kandang
diberikan diawal sebelum penanaman. Penanaman dilakukan
sebelum musim hujan, biasanya bulan Agustus atau September.
Bibit umbi yang digunakan biasanya memiliki bobot 250 g atau
sebesar genggaman tangan. Pemanenan hanya dilakukan
sewaktu-waktu diperlukan. Karena tidak dilakukan secara
intensif, maka tidak informasi valid mengenai hasil panen umbi
jalawure tersebut.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
28
Gambar 1. Agroforestri jati dan jalawure
Sementara itu budidaya jalawure secara agroforestri
belum dilakukan di Indonesia. Salah satu kelebihan jalawure
adalah cukup adaptif terhadap naungan dengan tingkat naungan
hingga > 75% meskipun informasi produktivitas umbi jalawure
pada berbagai variasi tingkat naungan belum diketahui.
Budidaya agroforestri jalawure sebagai penghasil pangan dapat
menjadi pilihan dalam optimalisasi lahan di bawah tegakan.
Uraian budidaya agroforestri jalawure pada buku ini merupakan
pembelajaran dari demplot agroforestri jalawure di bawah
tegakan jati berumur 7 dan 9 tahun dengan tingkat naungan >
75% di wilayah pesisir Kabupaten Garut.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
29
B. Teknik Agroforestri Jalawure
Beberapa tahapan kegiatan dalam budidaya agroforestri
jalawure antara lain penyiapan lahan, penyiapan bibit,
penanaman, pemeliharaan, pengendalian organisme pengganggu
tanaman (OPT) dan pemanenan.
1. Penyiapan bibit
Jalawure termasuk tanaman herba yang menghasilkan
biji. Regenerasi alami tanaman jalawure terjadi melalui biji.
Namun untuk menghasilkan umbi yang besar membutuhkan
waktu cukup lama. Selain menggunakan biji, penyediaan bibit
jalawure dapat pula dilakukan melalui umbi baik umbi anak
maupun umbi induk atau umbi empu. Perbedaan umbi induk
dan umbi anak sebagaimana Gambar 2.
Gambar 2. Umbi jalawure: umbi induk (tanda lingkaran) dan
umbi anak (tanda panah)
Menurut Wawo, Lestari, & Utami (2015), penggunaan
umbi sebagai bibit jalawure dapat dilakukan sesuai dengan
tujuannya. Umbi induk dapat digunakan untuk menghasilkan
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
30
umbi anak dalam jumlah banyak namun berukuran kecil,
sehingga bisa dimanfaatkan lagi sebagai bibit. Sementara umbi
anak dapat digunakan untuk menghasilkan umbi anak sebagai
sumber pangan karena akan menghasilkan umbi dalam ukuran
lebih besar dari bibit.
Seleksi sumber benih menjadi hal penting yang harus
dilakukan pada awal penyiapan bibit. Hingga saat ini belum ada
informasi mengenai kualitas sumber benih jalawure. Adapun
informasi yang tersedia masih terbatas pada keragaman genetik
jalawure pada sebaran alami. Ardiyani, Sulistyaningsih, & Esthi
(2014) melaporkan bahwa jalawure yang berasal dari
Gunungkidul memiliki variasi genetik tertinggi atau
menunjukkan bahwa lokasi tersebut merupakan pusat
keragaman jalawure di Indonesia.
Pemilihan umbi anak sebagai sediaan bibit jalawure sangat
penting untuk menjamin persentase tumbuh yang lebih baik.
Umbi yang dipilih sebaiknya umbi yang sehat dan memiliki bakal
kemunculan tunas (Gambar 3).
Bibit umbi diangin-anginkan beberapa minggu sebelum
ditanam, sehingga kemungkinan muncul mata tunas dari bagian
bekas penempelan stolon telah terlihat. Umbi jalawure termasuk
umbi yang mudah untuk bertunas meskipun dalam
penyimpanan. Cadangan pati dalam umbi digunakan sebagai
sumber energi awal untuk menumbuhkan tunas.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
31
Gambar 3. Perlakuan bibit umbi jalawure dan posisi bakal tunas (tanda lingkaran)
2. Penyiapan lahan
Lahan untuk menanam jalawure sebaiknya memenuhi
beberapa syarat tumbuh ideal. Beberapa syarat tumbuh
tersebut antara lain:
- Ketinggian tempat 0-300 mdpl
- Tanah gembur atau berpasir
- Derajat keasaman tanah normal
- lahan terbuka atau dibawah naungan
Lahan hutan menjadi salah satu areal yang bisa
dimanfaatkan untuk penanaman jalawure. Lahan hutan berisi
tegakan pohon yang biasanya dipenuhi oleh semak belukar
atau gulma, tanah yang telah mengalami pemadatan dan
dipenuhi oleh serabut akar pohon (Gambar 4). Sementara itu
untuk melakukan penanaman umbi jalawure memerlukan
area penanaman dan kondisi tanah yang cukup gembur
sehingga harus dilakukan penyiapan lahan.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
32
Gambar 4. Kondisi lahan dibawah tegakan sebelum pengolahan dan setelah digemburkan
Beberapa tahapan dalam penyiapan lahan antara lain:
- Pembersihan semak belukar atau gulma (land clearing)
- Pengolahan tanah
- Pembuatan bedeng tanam
- Pengajiran
- Pembuatan lubang tanam.
Pembersihan lahan dapat dilakukan dengan
menggunakan herbisida atau dengan cara manual
menggunakan alat sabit atau kored bergantung pada kondisi
semak belukar.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
33
Gambar 5. Pembuatan bedeng tanam dan pemberian sekam padi
Pengolahan tanah dilakukan untuk menyiapkan lahan
tanam jalawure. Tanah yang gembur menjadi syarat utama
media tanam jalawure. Pengolahan tanah menggunakan
garpu dan cangkul dilakuan untuk membalikan tanah dan
menghancurkan gumpalan tanah yang sudah terlanjur
memadat. Guna menjaga kegemburan tanah, biasanya
dilakukan pembuatan bedeng tanam dan pemberian sekam
padi sekaligus sebagai asupan bahan organik.
Pembuatan bedeng tanam dilakukan sesuai dengan
jarak tanam jalawure (Gambar 5). Pembuatan bedeng tanam
tidak dilakukan searah kontur namun dilakukan melawan
kontur. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi erosi tanah
pada saat musim hujan. Alur atau jalur air limpasan
permukaan tetap disediakan agar tidak terjadi penggenangan
air. Jika terjadi penggenangan air hujan biasanya dapat
mengakibatkan pembusukan umbi dan rentan serangan
penyakit tanaman.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
34
3. Penentuan Jarak Tanam dan Pengajiran
Jarak tanam jalawure ditentukan berdasarkan ukuran
umbi bibit yang akan ditanam. Untuk ukuran umbi bibit 250-
300 g dapat digunakan jarak tanam 50 cm x 50 cm, 75 cm x
75 cm dan 100 cm x 100 cm. Produktivitas umbi panen pada
setiap jarak tanam berbeda-beda. Menurut (Winara et al.,
2017) produktivitas umbi panen jalawure pada jarak tanam
50 cm x 50 cm sebesar 13,36 ton/ha, pada jarak tanam 75 cm
x 75 cm sebesar 8,14 ton/ha dan pada jarak tanam 100 cm x
100 cm sebesar 3,98 ton/ha. Namun berdasarkan analisis
usahatani jalawure yang dilakukan oleh Suhartono & Winara,
(2019) jarak tanam jalawure dibawah tegakan jati lebih
direkomendasikan jarak tanam 75 cm x 75 cm karena lebih
layak secara finansial. Sementara untuk ukuran bobot umbi
bibit dibawah 250 g bisa menggunakan jarak tanam lebih
rapat. Hal ini dilakukan untuk mengurangi persaingan ruang
dan cahaya mengingat bentuk pertumbuhan daun jalawure
sangat melebar.
Gambar 6. Pemasangan ajir dan desain pola tanam alternate rows (adaptasi dari Atangana et al., 2014)
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
35
Pengajiran dilakukan untuk membantu mengetahui
posisi lubang tanam. Posisi ajir diletakkan menyesuaikan
dengan jarak tanam dan kondisi tegakan jati. Metode
alternate rows (Atangana, Khasa, Chang, & Degrande, 2014)
bisa digunakan untuk mengoptimalkan semua ruang tanam
yang tersedia dibawah tegakan jati (Gambar 6). Pengosongan
ruang tanam dilakukan pada radius 50 cm sekitar tegakan
jati agar pertumbuhan umbi tidak terhambat oleh perakaran
jati.
4. Pembuatan lubang tanam
Lubang tanam jalawure dibuat dengan ukuran 25 cm x
25 cm kedalaman 25 cm. Jika lubang tanam terlalu dangkal,
maka bibit tanah penutup akan terbuka oleh benturan air
hujan sehingga upaya penimbunan harus dilakukan.
5. Pemupukan Dasar
Pupuk dasar diberikan sebelum penanaman dilakukan,
minimal 2 minggu sebelum tanam. Pemberian pupuk dasar
sebagai penyedia hara bagi tanaman. Pupuk dasar yang
digunakan adalah pupuk organik dari kotoran ternak atau
pupuk kandang dengan dosis 500 g/tanaman. Meskipun
kandungan hara pupuk kandang tidak sebanyak pupuk kimia,
namun ketersediaannya di sekitar masyarakat cukup mudah.
Resikonya adalah dosis pupuk kandang lebih banyak dari
pupuk kimia. Selain itu, efektivitas daya serap hara dari
pupuk kandang sangat bergantung pada proses dekomposisi-
nya. Penggunaan pupuk kandang yang telah terdekomposisi
lebih disarankan.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
36
6. Penanaman
Umbi jalawure ditanam menjelang musim penghujan.
Posisi benih umbi ditempatkan dengan cara mengarahkan
bakal tunas kearah atas permukaan tanah. Dibuat guludan
sampai menutupi umbi yang ditanam agar tidak mudah
terbuka ketika musim hujan.
Gambar 7. Penanaman umbi jalawure dan pertumbuhan tunas daun jalawure
7. Pemeliharaan
Beberapa kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi 1)
pembersihan gulma dan serasah daun yang menimpa
tanaman 2) pendangiran, 3) pembumbunan/pengurugan, 4)
pemupukan lanjutan, 5) pengajiran, 6) pengendalian hama
dan penyakit.
a. Pembersihan Gulma dan Serasah
Gulma dan serasah merupakan gangguan pada
agroforestri jalawure. hasil kajian Suhartono & Winara
(2018), dijumpai 26 jenis gulma (16 famili) pada lahan
agroforestri jati dan jalawure di Kabupaten Garut yang
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
37
didominasi oleh jenis rumput-rumputan Axonus
compresus. Pengendalian gulma dilakukan secara manual
menggunakan alat sederhana seperti kored karena
sebagian jenis gulma dapat dimanfaatkan sebagai pakan
ternak.
Gambar 8. Gangguan serasah jati dan gulma serta kegiatan pembersihan secara manual
Serasah jati merupakan gangguan lain pada
agroforestri jati dan jalawure. Daun jati yang cukup besar
dapat mengganggu kekokohan tanaman jalawure. Musim
gugur daun jati terjadi bersamaan dengan pemunculan
buah jalawure. Pembersihan serasah daun jati dari
permukaan daun jalawure akan mengurangi beban
batang jalawure. Serasah daun jati dapat dikumpulkan
sebagai mulsa organik bagi tanaman jalawure.
b. Pendangiran
Pendangiran dilakukan secara rutin untuk menjaga
kegemburan tanah. Pendangiran dapat dilakukan
beberapa kali disesuaikan dengan kemampuan dan
kondisi tanaman. Semakin rapat jarak tanam jalawure
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
38
akan berpengaruh secara teknis pada kegiatan
pendangiran tanaman.
Gambar 9. Kegiatan pendangiran dan pembumbunan tanaman
c. Pembumbunan/pengurugan
Kegiatan pembumbunan atau pengurugan sangat
penting pada budidaya tanaman pertanian apalagi umbi-
umbian. Selain untuk memacu perkembangan umbi juga
untuk menambah kekokohan tanaman (supaya tidak
mudah roboh), menghindari munculnya tunas dari umbi
dan menghindari serangan hama. Kegiatan
pembumbunan dapat dilakukan minimal 3 kali per
musim.
d. Pengajiran Lanjutan
Pengajiran lanjutan dilakukan ketika tanaman
memasuki fase generatif berbunga dan berbuah. Hal ini
dilakukan untuk menopang beban daun dan buah
jalawure yang cukup berat bagi tanaman.
Tanaman jalawure akan roboh karena bobot buah
jalawure cukup berat dan daun yang cukup lebar. Selain
itu biasanya wilayah pesisir pantai selatan memiliki
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
39
musim angin barat sehingga hembusan angin yang
kencang bisa menambah gangguan kekokohan batang
jalawure. oleh karena itu pengajiran ulang dengan ajir
yang lebih kuat harus dilakukan seperti menggunakan
ajir dari bambu bulat atau kayu. Pengikatan batang
jalawure pada ajir membantu menegakkan tanaman
jalawure.
Gambar 10. Kondisi jalawure yang hampir roboh dan kegiatan pengajiran lanjutan
e. Pengendalian Hama dan Penyakit
Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan jalawure
dibawah tegakan jati menunjukkan tidak adanya interaksi
jenis hama dan penyakit antara kedua jenis tanaman
penyusun. Adapun jenis hama dan penyakit yang
dijumpai dalam pola tersebut bersifat mandiri atau tidak
saling berhubungan satu dan yang lainnya. Jenis hama
tidak dijumpai pada tanaman jalawure, namun dijumpai
adanya serangan penyakit tanaman baik pada jati
maupun jalawure. Serangan penyakit pada tanaman jati
adalah berupa penyakit benalu, sedangkan pada jalawure
adalah busuk pangkal umbi sebagaimana Gambar 12.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
40
Gambar 11. Gejala penyakit busuk pangkal umbi pada tanaman jalawure
Luas serangan penyakit busuk pangkal umbi
mencapai 8,67% untuk plot agroforestri dibawah
tegakan jati berumur 7 tahun dan 5,16% untuk plot
agroforestry dibawah tegakan jati berumur 9 tahun. Luas
serangan tersebut masih termasuk kategori serangan
ringan. Patogen penyebab penyakit busuk pangkal umbi
pada jalawure belum bisa diketahui. Namun secara umum
jenis patogen penyebab busuk pangkal biasanya
disebabkan oleh patogen tular tanah. Kondisi tanah
dibawah tegakan jati tergolong dominan liat sehingga
curah hujan yang tinggi dan sepanjang tahun
menyebabkan adanya genangan air disekitar bedeng
tanam. Adanya genangan menyebabkan tanaman jenis
umbi-umbian rentan serangan penyakit patogen tular
tanah. Kondisi tersebut terjadi pula pada tanaman suweg
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
41
(Amorphophallus spp.) yang terserang patogen jenis
Slerotium rottsii akibat drainase yang kurang baik dan
adanya pelukaan mekanis (Saleh et al., 2015).
Penggunaan fungsisida biologis berbahan dasar fungi
Tricoderma spp. cukup efektif untuk mengendalikan jenis
penyakit tular tanah tersebut.
8. Pemupukan Lanjutan
Pemupukan lanjutan dilakukan pada saat tanaman
memasuki masa muda atau tumbuh daun. Pupuk majemuk
jenis NPK dengan dosis 50 g/tanaman bisa digunakan.
9. Pemanenan
Pemanenan dilakukan ketika tanaman sudah
menguning secara serempak dan mati (masa dormansi
umbi). Tanaman memasuki masa menguning pada umur 7-8
bulan setelah tanam (BST). Sementara masa panen dilakukan
setelah daun tanaman mati atau umbi memasuki masa
dormasi dan pematangan kandungan pati. Pemanenan harus
dilakukan secara hati-hati karena umbi mudah terluka. Umbi
anak yang dihasilkan bervariasi sebagian besar menghasilkan
1 umbi anak dengan ukuran lebih besar dari umbi bibit awal.
Sementara umbi induk pakanmembusuk.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
42
Gambar 12. Kondisi tanaman jalawure matang (menguning)
dan siap panen (daun mati layu)
C. Penyimpanan Hasil
Umbi yang telah dipanen harus disimpan pada tempat
yang kering untuk menghindari gangguan jamur. Penyimpanan
umbi jalawure tidak bisa bertahan lama atau lebih dari satu
musim karena akan tumbuh tunas. Pengolahan pasca panen
umbi lebih disarankan guna menghindari pertumbuhan tunas
pada umbi.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
43
DAFTAR PUSTAKA
Ardiyani, M., Sulistyaningsih, L. D., & Esthi, Y. N. (2014). Keragaman genetik Tacca leontopetaloides ( L .) Kuntze ( Taccaceae ) dari beberapa provenansi di Indonesia berdasarkan marka inter simple sequence repeats (ISSR). Berita Biologi, 13(1), 85–96.
Atangana, A., Khasa, D., Chang, S., & Degrande, A. (2014). Tropical Agroforestry. Springer.
BP3K Cikelet, B. P. P. P. dan K. K. C. (2011). Budidaya Jalawure. Leaflet.
Saleh, N., Rahayuningsih, S. ., Radjit, B. ., Ginting, E., Harnowo, & Mejaya, I. M. . (2015). Tanaman Porang. Pengenalan, Budidaya dan Pemanfaatannya. Bogor: . Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pegembangan Pertanian.
Suhartono, & Winara, A. (2018). Keragaman dan potensi pemanfaatan jenis gulma pada agroforestri jati (Tectona grandis L.f) dan jalawure (Tacca leontopetaloides (L.) Kuntz). Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam, 15(2), 65–77.
Suhartono, & Winara, A. (2019). Kelayakan usahatani jalawure (Tacca leontopetaloides) dibawah tegakan jati (Tectona grandis). Manuskrip.
Wawo, A. H., Lestari, P., Utami, W., Botani, B., Penelitian, P., & Lipi, B. (2014). Studi perbanyakan vegetatif tanaman taka ( Tacca leontopetaloides ( L .) Kuntze ) dan pola pertumbuhannya. Berita Biologi, 14 (1), 1–9.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
44
Winara, A., Rohandi, A., Fauziyah, E., Suhartono, Gunawan, Herdyana, R. D., & Saepudin, U. (2017). Penerapan model agroforestry tanaman hutan penghasil sumber pangan (umbi-umbian) dalam mendukung ketahanan pangan lokal di Kabupaten Garut dan KPHP Yogyakarta. Laporan Hasil Penelitian. Ciamis.Tidak dipublikasikan.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
45
ANALISIS USAHATANI JALAWURE
Suhartono
A. Prospek Pengembangan Jalawure dengan Pola
Agroforestri
Jalawure adalah salah satu jenis umbi-umbian yang
memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai tanaman
penghasil pati. Di Indonesia tanaman ini masih dianggap sebagai
komoditas minor karena kurang memiliki nilai ekonomis (Wawo
et al., 2015). Namun demikian tanaman ini sebenarnya memiliki
banyak manfaat seperti bahan pangan alternatif sumber
karbohidrat (Wardah, 2012; Hapsari et al., 2018), bahan
kosmetik, anyaman dan sumber pakan ternak (Wawo dan
Lestari, 2015). Bahkan di Nigeria, jalawure telah dimanfaatkan
sebagai bahan plastik (Makhtar et al., 2013). Begitu juga di
beberapa negara tropis tanaman ini telah digunakan sebagai
obat dalam pengobatan tradisional (Vu et al., 2017).
Di Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut, jalawure telah
dikenal oleh masyarakat setempat sebagai tanaman yang dapat
menghasilkan umbi yang dapat diolah menjadi pati. Pati hasil
olahan dari umbi jalawure tersebut dimanfaatkan untuk
membuat macam-macam olahan kue. Umbi jalawure biasanya
diperoleh masyarakat dari habitat alami jalawure di lahan pesisir
pantai. Meskipun manfaat jalawure telah diketahui oleh
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
46
masyarakat, hingga saat ini belum banyak yang
membudidayakan tanaman ini secara intensif. Salah satu sebab
tanaman jalawure belum banyak dibudidayakan oleh masyarakat
di Kecamatan Cikelet adalah masih tersedianya habitat alami
jalawure. Pangsa pasar yang belum begitu terbuka juga
mempengaruhi minat masyarakat dalam membudidayakan
tanaman ini.
Umbi jalawure banyak dicari oleh masyarakat hanya pada
waktu-waktu tertentu seperti menjelas hari raya lebaran. Selain
itu informasi teknologi budidaya dan potensi usahatani dari
komoditas ini belum banyak tersedia sehingga tingkat
pengetahuan masyarakat tentang jalawure sangat minim.
Untuk keperluan penelitian dan pengembangan IPTEK,
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry
(BPPTA) telah mencoba mengangkat komoditas jalawure sebagai
objek penelitian. Bekerjasama dengan masyarakat tani di
Kecamatan Cikelet, Balai Litbang Teknologi Agroforestry
melakukan uji adaptasi jalawure di bawah tegakan hutan rakyat
jati. Kegiatan ini bertujuan untuk mencari model agroforesti
yang dapat dikembangkan di bawah tegakan hutan rakyat jenis
jati dengan jalawure sebagai tanaman bawahnya. Hasil penelitian
diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi masyakat
tentang potensi pengembangan jalawure di bawah tegakan
hutan.
Secara umum, jalawure dapat tumbuh baik dan
berproduksi di bawah tegakan hutan rakyat jati. Rata-rata
produksi umbi jalawure terbaik adalah dengan jarak tanam
75x75 yaitu mencapai 462 gram per batang atau 8,4 ton/hektar
(Winara et al., 2017). Hal ini menggambarkan bahwa penanaman
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
47
jalawure dengan sistem agroforestri dapat menjadi peluang
untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga petani.
Disamping itu, tersedianya lahan-lahan di bawah tegakan hutan
rakyat yang sudah tidak memungkinkan untuk budidaya
tanaman palawija juga menjadi salah satu peluang dalam
pengembangan tanaman jalawure.
B. Struktur Biaya dan Penerimaan Usahatani
Sebagaimana umumnya kegiatan usahatani, penggunaan
faktor produksi seperti tanah, bibit, pupuk, tenaga kerja dan
obat-obatan juga dibutuhkan dalam proses produksi umbi
jalawure. Lahan merupakan unsur faktor peroduksi yang paling
penting untuk memulai proses budidaya tanaman. Lahan yang
digunakan untuk produksi umbi jalawure adalah lahan hutan
rakyat jenis jati umur 7 dan 9 tahun. Selain lahan input produksi
yang lain seperti saprodi bibit, pupuk dan obat-obatan juga tidak
kalah penting dalam proses produksi tanaman. Jenis pupuk yang
digunakan adalah pupuk kandang dan pupuk NPK. Lahan di
bawah tegakan jati memiliki potensi untuk dapat ditanami
jalawure sebanyak 17.600 batang dengan jarak tanam jalawure
75x75 cm (Winara et al., 2017).
Teknologi budidaya tanaman jalawure di bawah tegakan
jati yang digunakan secara sederhana dimulai dengan
pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan
pascapanen. Pemupukan dilakukan dengan dosis pupuk kandang
500 gram per lobang tanam dan pupuk NPK 50 gram per lobang
tanam. Selain itu pemasangan ajir bambu juga dilakukan untuk
menopang tanaman jalawure agar tidak roboh. Setiap tahapan
kegiatan proses produksi kecuali pascapanen diasumsikan
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
48
dikerjakan oleh tenaga kerja keluarga sendiri. Berikut adalah
prakiraan biaya produksi umbi jalawure dengan pola
agroforestri pada skala usahatani 1 ha dengan jarak tanam
75x75 cm.
Tabel 1. Struktur biaya produksi umbi jalawure dengan pola agroforestri pada skala usahatani 1 Ha
No. Jenis biaya usahatani volume Jumlah (Rp)
1. Biaya tak langsung -Sewa lahan sendiri 1 ha 2.000.000
-Tenaga kerja budidaya 270 HOK 16.200.000
2. Biaya langsung -Pengadaan saprodi 1 paket 23.760.000
-Tenaga kerja pascapanen 182 HOK 10.920.000
3. Biaya Total -Produksi s.d panen umbi
41.960.000 -Produksi s.d jadi pati
52.880.000
Jenis pembiayaan dalam usahatani dapat digolongkan
menjadi dua kategori yaitu biaya langsung (tunai) dan biaya tak
langsung (non tunai). Biaya tunai biasanya dikeluarkan secara
riil untuk membeli sarana produksi seperti bibit, pupuk dan
bahan ajir. Sedangkan biaya sewa lahan milik sendiri dan tenaga
kerja keluarga dapat dikategorikan sebagai biaya non tunai
karena tidak secara riil dikeluarkan. Begitu pula tenaga kerja
dalam keluarga yang tidak dibayar. Jumlah biaya total usahatani
jalawure dalam skala usaha 1 ha mencapai Rp 41.960.000,-
(produksi umbi) dan Rp 52.880.000,- (produksi pati). Usahatani
jalawure dengan produksi akhir pati jalawure memerlukan biaya
yang lebih besar dibanding produksi umbi segar karena adanya
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
49
biaya tenaga kerja dari luar keluarga untuk pengolahan umbi
menjadi pati.
Kebutuhan biaya yang cukup besar dalam usahatani
jalawure terdapat pada biaya pengadaan saprodi dan tenaga
kerja. Pada tahap awal kegiatan pembukaan lahan dibutuhkan
cukup banyak tenaga kerja karena calon area penanaman masih
dalam kondisi hutan sehingga pekerjaan pengolahan tanah
menjadi cukup berat. Selain itu kegiatan pengolahan pati dalam
jumlah banyak membutuhkan tenaga kerja dari luar keluarga
karena tidak memungkinkan dikerjakan oleh tenaga kerja dalam
keluarga. Disamping biaya tenaga kerja, pengadaan saprodi juga
membutuhkan cukup banyak biaya sesuai jumlah bibit yang
ditanam.
Pada jarak tanaman 75x75 cm, tanaman jalawure dapat
memproduksi umbi 462 g/batang dengan kadar pati atau pati
yang cukup tinggi yaitu 28,47% (Winara et al., 2017). Jauh
sebelum dilakukan penelitian, sebagian masyarakat di
Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut telah memanfaatkan umbi
jalawure yang dipungut dari alam untuk diolah menjadi pati.
Bahkan umbi dan pati jalawure telah diperjualbelikan dengan
harga Rp 3.000/kg untuk umbi segar dan Rp 25.000/kg untuk
pati jalawure. Berdasarkan tingkat harga umbi dan pati yang
telah berlaku di masyarakat, estimasi produksi dan pendapatan
usahatani jalawure yang di bawah tegakan jati dengan jarak
tanam 75x75 cm dalam skala 1 ha dapat dilihat seperti pada
tabel berikut.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
50
Tabel 2. Penerimaan dan pendapatan usahatani jalawure di bawah tegakan jati hutan rakyat
No Uraian Bentuk produksi usahatani
Umbi Pati
1. Produksi (kg) 8.131 2.315
2. Harga jual (Rp/kg) 3.000 25.000
3. Biaya usahatani
-Biaya langsung (Rp) 23.760.000 34.680.000
-Biaya tak langsung (Rp) 18.200.000 18.200.000
-Biaya total (Rp) 41.960.000 52.880.000
4. Penerimaan (Rp) 24.393.000 57.875.000
5. Pendapatan :
-Biaya total (Rp) -17.567.000 4.995.000
-Biaya langsung (Rp) 633.000 23.195.000
Penerimaan dan pendapatan usahatani dengan menjual
umbi segar lebih rendah dibanding dengan penjualan dalam
bentuk pati. Bahkan pendapatan dari penjualan umbi bernilai
minus apabila penerimaan usaha dibandingkan dengan biaya
total. Namun apabila dibandingkan dengan biaya non tunai
masih diperoleh pendapatan yang positif sebesar Rp 633.000,-.
Pengolahan hasil pertanian merupakan salah satu sub
sistem yang peting dalam sistem agribisnis (Soekartawi, 2013;
Rahim dan Hastuti, 2005). Selain untuk memperpanjang umur
produksi, pengolahan hasil pasca panen pada usahatani dapat
meningkatkan nilai tambah hasil pertanian tersebut. Begitu pula
umbi jalawure yang telah dipanen tidak dapat bertahan dalam
waktu lama. Oleh karena itu pengolahan umbi menjadi pati
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
51
merupakan cara yang tepat dalam penanganan pasca panennya.
Selain memperpanjang usia simpan produk juga meningkatkan
nilai jualnya. Hal ini terlihat dari hasil usahatani jalawure yang
dijual dalam bentuk pati dapat menghasilkan pendapatan yang
positif seperti pada lahan dengan jarak tanam jalawure 75x75
cm diperoleh pendapatan sebesar Rp 23.195.000,-.
C. Kelayakan Usahatani
Layak atau tidak layak suatu usahatani untuk dijalankan
dapat dilihat dari perbandingan hasil yang diperoleh dengan
korbanannya (Soekartawi, 2013). Usahatani dikatakan meng-
untungkan apabila jumlah penerimaan dari usahatani lebih besar
dari jumlah biaya yang dikeluarkan.
Tabel 3. Kelayakan usahatani jalawure di bawah tegakan jati hutan rakyat
No Farameter kelayakan
usahatani Bentuk produksi
umbi pati
1. R/C dari biaya total 1,03 1,67 2. R/C dari biaya langsung 0,58 1,09 3. Produktivitas lahan (Rp) - 6.993.816 4. Produktivitas kerja (Rp) - 78.496 5. Produktivitas modal (%) - 14,4
Keterangan : Layak apabila produksi dijual dalam bentuk pati jalawure
Secara finansial, tanaman jalawure diketahui layak untuk
diusahakan dengan pola agroforestri di bawah tegakan jati hutan
rakyat apabila hasil produksi dijual dalam bentuk pati. Nilai R/C
1,67 menunjukkan bahwa setiap korbanan Rp 1,- yang
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
52
dialokasikan untuk kegiatan usahatani dapat menghasilkan Rp.
1,67,-. Dengan demikian, usahatani jalawure dengan hasil akhir
produksi yang dijual dalam bentuk pati cenderung lebih
menguntungkan dibanding dengan menjual dalam bentuk umbi.
Adanya kegiatan pasca panen berupa pengolahan umbi menjadi
pati secara nyata memberi kontribusi terhadap peningkatan
pendapatan usahatani jalawure.
Penilaian kelayakan usaha berdasarkan nilai R/C tidak
hanya dilakukan atas dasar biaya tunai namun juga
dibandingkan dengan biaya total. Pendapatan ssahatani jalawure
di bawah tegakan jati hutan rakyat menjadi kurang layak apabila
dibandingkan dengan biaya total pada produksi akhir umbi.
Namun menjadi layak apabila diusahakan sampai dengan
produksi pati sebagaimana ditunjukkan dengan nilai nilai R/C
1,09. Hal ini menunjukkan bahwa faktor tenaga kerja sangat
berpengaruh. Apabila tenaga kerja yang digunakan sepenuhnya
berasal dari luar keluarga akan mengakibatkan kebutuhan biaya
semakin tinggi sehingga pendapatan usahatani menjadi lebih
kaeci dari penerimaannya.
Berdasarkan produktivitas usahatani yang dihasilkan
dapat juga ditentukan bahwa suatu usahatani dikategorikan
layak atau tidak untuk dijalankan. Usahatani jalawure pada jarak
tanam 75x75 cm dengan produksi akhir pati cukup layak
dijalankan karena dapat menghasilkan produktivitas kerja
sebesar Rp 78.496/HOK lebih besar dari satuan upah kerja
daerah setempat (Rp 60.000/HOK). Pilihan usahatani jalawure
dengan pola di bawah tegakan jati sudah tepat bagi petani
karena waktu kerja yang dicurahkan dalam kegiatan ini dapat
terbayarkan lebih besar dari upah kerja menjadi buruh tani di
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
53
tempat lain. Begitu juga hasil produktivitas lahan sebesar Rp
6.993.816,- menunjukkan angka yang lebih besar dari nilai sewa
lahan milik sendiri (Rp 2.000.000/Ha). Dengan demikian
kegiatan usahatani jalawure dengan jarak tanam 75x75 cm
dengan produksi pati menjadi sebuah peluang bagi petani untuk
melakukan ekstensifikasi usahatani karena pendapatan yang
diperoleh cukup untuk biaya sewa lahan baru. Usahatani
tersebut juga menjadi prospektif karena rentabilitas 14,4% per
tahun lebih besar dari rata-rata bunga simpanan deposito di
bank (2,5-6,5%) per tahun (Anonim, 2018).
Berdasarkan tolok ukur produktivitas, usahatani jalawure
di bawah tegakan jati dengan jarak tanam 75x75 cm cukup layak
untuk dijalankan apabila hasil produksi yang dijual dalam
bentuk pati. Hal ini didukung pula dengan nilai R/C dari biaya
tunai 1,67 dan R/C dari biaya total 1,09 yang menunjukkan
adanya ketuntungan dari setiap rupiah modal yang dikeluarkan
dalam usahatani tersebut. Walaupun demikian menurut
Soekartawi (2002) nilai R/C <1,5 masih dianggap kurang layak
apabila diperhitungkan dengan bunga modal sendiri. Akan tetapi
dalam kondisi ini petani masih memiliki peluang untuk dapat
bertahan hidup dan menjaga keberlanjutan usahanya.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
54
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2018). Bunga Acuan BI Tak Berubah, Ini Daftar Bunga Deposito Terbaru (19 April 2018). Https://keuangan.kontan.co.id/news/bunga-acuan-bi-tak-berubah-ini-daftar-bunga-deposito-terbaru-19-april-2018. Diakses pada Januari 2019.
Hapsari, B. W., Martin, A. F., & Ermayanti, T. M. (2018). Pertumbuhan Kultur Tunas Taka Pada Media Ms Yang Mengandung Sitokinin Dan Manitol Untuk Konservasi In Vitro. Prosiding SEMNASTAN, 35-43
Makhtar, N. S. M., Rais, M. F. M., Rodhi, M. N. M., Bujang, N., Musa, M., & Hamid, K. H. K. (2013). Tacca Leontopetaloides starch: new sources starch for biodegradable plastic. Procedia Engineering, 68, 385-391.
Rahim, A., & Hastuti, D. R. D. (2005). Sistem Manajemen Agribisnis. Makasar. Universitas Negeri Makasar Press.
Soekartawi. (2002). Analisis Usahatani. Jakarta, UI Press.
Soekartawi. (2013). Agribisnis: Teori dan Aplikasinya. Jakarta. PT. Rajagrapindo Persada.
Vu, Q. T. H., Le, P. T. K., Vo, H. P. H., Nguyen, T. T., & Nguyen, T. K. M. (2017, September). Characteristics of Tacca leontopetaloides L. Kuntze collected from An Giang in Vietnam. In AIP Conference Proceedings (Vol. 1878, No. 1, p. 020022). AIP Publishing.
Wawo, A. H., & Lestari, P. (2015). Studi perbanyakan vegetatif tanaman taka (Tacca leontopetaloides (L.) Kuntze) dan pola pertumbuhannya. Berita Biologi, 14(1), 1-9.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
55
Wawo, A.H., Lestari, P., & Wikan, N. (2015). Studi Perbanyakan Vegetatif Tanaman Taka (Tacca leontopetaloides (L.) Kuntze) dan Pola Pertumbuhannya. Berita Biologi, 14(1), 1-9.
Winara, A., Rohandi, A., Fauziyah, E., Suhartono, Gunawan, Widiyanto, A., Herdyana, R.D., & Saepudin, U. (2017). Laporan Hasil Penelitian (LHPt) Penerapan Model Agroforestri Tanaman Hutan Penghasil Sumber Pangan (Umbi-umbian) Dalam Mendukung Program Ketahanan Pangan Lokal di Kabupaten Garut dan KPHP Yogyakarta. Ciamis. Balai Litbang Teknologi Agroforestry.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
56
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
57
ASPEK SOSIAL BUDAYA DAN PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JALAWURE: STUDI
DI KABUPATEN GARUT
Eva Fauziyah
A. Jalawure dalam Kehidupan Sosial Budaya
Masyarakat
Bagi masyarakat di wilayah pesisir Garut, jalawure (Tacca
leontopetaloides) bukanlah tumbuhan asing. Keberadaan
jalawure di sepanjang pantai Garut sudah diketahui oleh
sebagian besar masyarakat, terutama yang berpofesi sebagai
nelayan, sehingga tidak heran jika jalawure disebut sebagai salah
satu jenis tanaman lokal di Garut. Sebaran alami jalawure di
Kabupaten Garut dijumpai pada beberapa kawasan pesisir dan
hutan pantai di Kecamatan Cikelet dan Pamengpeuk yaitu di
Pantai Cigadog, Pantai Gunung Geuder dan pantai Sayang
Heulang dengan ketinggian 20 m dpl (Winara & Murniati, 2018).
Jalawure merupakan tumbuhan daerah tropis yang diduga
berasal dari Malesia dan tersebar meliputi Asia, Afrika dan
Osenasia. Beberapa nama lokal untuk tanaman jalawure seperti
nubong (Bangka Belitung), kecondang (Jawa Tengah dan Jawa
Timur), taka laut (Sumatera), anuwun (Sulawesi Utara)
Compleng (Yogyakarta), To’toan (Jawa Timur) dan di luar negeri
ada beberapa nama yang digunakan untuk nama Indonesia dari
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
58
umbi taka ini yakni arrowroot (Afrika), Yabyaban (Filipina) dan
Kabitsa (Madagasdar) (Sihotang, 2013; Susiarti, 2015b; Kogoya,
Rawung, Sumual, & Djarkasi, 2017). Penamaan umbi taka di
setiap tempat juga memiliki sejarah yang berbeda, jalawure
berasal dari kata jala dan are yang secara harfiah mempunyai
jaring dan nelayan (Fauziyah, 2017; Wardah & Ariani, 2013).
Jalawure sudah sejak lama dimanfaatkan oleh masyarakat
sekitar pesisir, tidak hanya di pantai wilayah Garut tetapi juga
wilayah lain seperti di Sukabumi, Cianjur, Yogyakarta, Kepulauan
Karimun Jawa, Madura, Bangka Belitung dan Kabupaten
Kepulauan Talaud Sulawesi Utara, bahkan di Afrika dan juga
India sebagai bahan makanan dan obat (Wardah, Sambas,
Ridwan, & Ariani, 2016;Jagtap & Satpute, 2015; Susiarti, 2015a,
2015b; Sihotang, 2013); Setiawan, 2013; Aatjin, Lelemboto,
Koapaha, & Mamahit, 2013; Borokini & Ayodele, 2012).
Jalawure yang telah diolah menjadi pati memiliki
kandungan pati yang cukup tinggi sekitar 80,11-88,07%
(Wardah, 2011; Kogoya et al., 2017), sementara kandungan
protein dan lemaknya lebih rendah dibandingkan dengan beras.
Namun demikian melalui penambahan bahan lain dan
pengolahan dapat meningkatkan nilai nutrisi dan dapat disimpan
dalam jangka waktu yang lama (Wardah et al., 2016; Kogoya et
al., 2017).
Tidak ada cerita khusus bagaimana awal mula
pemanfaatan jalawure oleh masyarakat di sekitar pantai Garut
Selatan. Pengetahuan tentang pemanfaatan jalawure diperoleh
secara alami, turun temurun dari orangtua terdahulu. Wardah &
Ariani, (2013) menyebutkan bahwa masyarakat yang memerlu-
kan dan mencoba mengkonsumsi jalawure adalah nelayan. Pada
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
59
awalnya mereka khawatir jika jalawure mengandung racun (rasa
pahit), namun setelah mencoba mengolahnya ternyata racun
dapat dihilangkan sehingga aman untuk dikonsumsi. Racun
tersebut adalah senyawa pahit yang dapat dihilangkan dengan
perendaman di air tawar (Aatjin et al., 2013).
Dari proses pengumpulan dan pengolahan jalawure yang
dilakukan diketahui terdapat pengetahuan dan nilai-nilai sosial
budaya dalam budidaya maupun pemanfaatan jalawure. Nilai
tersebut berupa simbol kognitif (cognitive symbol) dan simbol
penilaian (evaluative symbol) serta simbol pengungkapan
perasaan (expression symbol) dalam interaksi sosial (Fauziyah,
2017).
Simbol kognitif terlihat pada keyakinan bahwa jalawure
aman dikonsumsi dan memiliki rasa yang enak melalui
penjelasan-penjelasan akal sehat yang berkaitan dengan
jalawure. Hal tersebut terlihat pada proses adaptasi para
leluhurnya dalam mengkonsumsi jalawure dengan mengolahnya
menjadi pati terlebih dahulu untuk menghilangkan rasa pahit.
Simbol penilaian dan simbol pengungkapan perasaan
terlihat dalam interaksi sosial. Simbol penilaian terlihat pada
kondisi dimana tanaman jalawure dimanfaatkan oleh
masyarakat yang tempat tinggalnya berdekatan dengan pantai
dan dimanfaatkan oleh masyarakat yang tidak mempunyai
tanaman pangan di kebunnya. Sementara simbol pengungkapan
perasaan terlihat dalam proses pemanfaatan pati jalawure,
dimana pati jalawure biasanya dibuat khusus untuk kerabat
terdekat ataupun kerabat yang tinggal jauh dari desa. Simbol
pengungkapan perasaan yang dimaksud adalah pengungkapan
perasaaan keakraban, kasih sayang dan penghormatan. Waktu
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
60
memanen jalawure juga waktu yang menyenangkan karena
mereka bisa bersama-sama sambil bercanda diantara warga
yang memanen (Fauziyah, 2017; Wardah dan Ariani, 2013).
B. Karakteristik Masyarakat dan Pandangannya
Terhadap Jalawure
Tanaman pangan alternatif merupakan tanaman yang
sejatinya dapat dimanfaatkan untuk menggantikan tanaman
pangan utama, artinya komposisi yang dimiliki oleh tanaman
pangan alternatif dapat sama atau mirip dengan tanaman pangan
utama. Pati jalawure memiliki komposisi yang hampir sama
dengan pati aren atau pati tapioka, sehingga pati ini dapat
dimanfaatkan untuk membuat makanan-makanan yang
berbahan dasar pati tersebut.
Karena jalawure banyak tumbuh di sekitar pantai maka
orang yang memanfaatkan tanaman ini sebagian besar adalah
masyarakat yang sedikit banyak sering melakukan kegiatan di
sepanjang pantai. Hasil penelitian Winara et al. (2016) di Desa
Cigadog dan Desa Cijambe Kecamatan Cikelet memperlihatkan
secara umum sumber mata pencaharian masyarakat yang
memanfaatkan jalawure adalah mata pencaharian yang berbasis
lahan. Sebagian besar kepala keluarga merupakan petani dengan
kepemilikan lahan yang sangat terbatas dan sebagai buruh tani,
buruh bangunan serta merantau. Salah satu strategi yang
dilakukan oleh masyarakat untuk mengatasi keterbatasan
alternatif pekerjaan di desanya adalah dengan merantau baik
sebagai buruh (kuli bangunan) dengan sistem kontrak sesuai
masa proyek dan atau memanfaatkan sumber-sumber lain untuk
memenuhi kebutuhan keluarga. Untuk menambah pendapatan
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
61
keluarga, kepala keluarga maupun pasangannya juga melakukan
pekerjaan sampingan, dimana pekerjaan sampingan yang banyak
dilakukan adalah sebagai petani dan nelayan kecil yaitu nelayan
yang hanya menggunakan ban, sementara perempuan
melakukan pekerjaan sampingan sebagai buruh tani atau petani,
tergantung kondisi yang ada. Meskipun masyarakat di Desa
Cigadog dan Desa Cijambe secara posisi berada di wilayah pantai
selatan di dataran rendah pesisir samudra pasifik dengan
ketinggian 2 m dpl, namun hanya sebagian kecil masyarakat
yang berprofesi utama sebagai nelayan. Jenis tanaman dominan
yang ditanam petani sebagian besar adalah jagung, kacang tanah
dan kacang hijau, sedangkan tanaman kayu seperti jati hanya
sedikit. Hasil kebun selain untuk memenuhi kebutuhan pangan,
juga untuk dijual, sedangkan hasil dari sawah sebagian besar
hanya dikonsumsi. Bahkan beberapa keluarga seringkali masih
mengalami kekurangan sumber pangan jika hanya
mengandalkan hasil dari kebun atau sawahnya, sehingga
membeli dari warung atau pasar.
Hasil penelitian Winara et al. (2016) di Desa Cigadog dan
Desa Cikelet memperlihatkan bahwa kondisi masyarakat yang
memanfaatkan jalawure termasuk dalam kategori tidak
sejahtera jika dilihat dari alokasi pengeluaran dan pendapatan
yang diterimanya. Rambe, Karsin, & Hartoyo (2008)
menyebutkan faktor yang berpengaruh nyata terhadap
pengeluaran keluarga adalah pendidikan dan pendapatan. Lebih
lanjut Suhardjo (1989) mengemukakan bahwa pendapatan
sangat berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran keluarga.
Keluarga berpenghasilan rendah akan menggunakan sebagian
besar pendapatannya untuk pangan sebagai kebutuhan pokok.
Tingkat pendapatan yang tinggi memberi peluang lebih besar
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
62
bagi keluarga untuk memilih pangan yang baik berdasarkan
jumlah maupun jenisnya (Roedjito, 1989). Rendahnya
pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang tak
mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan
(Sayogyo et al., 1994).
Bagi yang mengenal, mengolah dan memanfaatkan
jalawure, pati jalawure dianggap sebagai bahan pangan “bernilai
tinggi” karena proses pengumpulan umbinya, pengolahannya
dan keunikan rasa dari pati itu sendiri. Hal ini tidak sejalan
dengan anggapan-anggapan yang menyatakan bahwa orang yang
mengkonsumsi bahan pangan non beras adalah masyarakat yang
tidak sejahtera. Widowati (2011) dalam Susiarti (2015)
menyatakan adanya anggapan bahwa masyarakat yang pangan
pokoknya non beras mempunyai status ekonomi dan sosial yang
lebih rendah dibandingkan masyarakat yang pangan pokoknya
beras. Di Garut Selatan, bahan pangan pokok masyarakatnya
juga adalah beras, sedangkan umbi-umbian termasuk jalawure
memang tidak menjadi bahan pangan pokok. Namun Wardah
dan Ariani (2013) menyebutkan bahwa Kecamatan Cikelet
merupakan salah satu daerah kekurangan pangan. Kondisi ini
dapat dilihat dari ketergantungan lahan pertanian terhadap
hujan, kesuburan tanah yang rendah, jumlah bulan hujan lebih
rendah dari musim kemarau. Oleh karena itu, upaya-upaya
pengembangan tanaman pangan yang tahan kering dilakukan,
salah satunya adalah pengembangan tanaman jalawure.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat tersebut juga
mempengaruhi persepsinya terhadap pengembangan jalawure.
Secara sederhana persepsi diartikan sebagai penglihatan atau
tanggapan, atau pengetahuan lingkungan yang diperoleh melalui
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
63
interpretasi data indra (Fitriah, 2015). Menurut Manoppo,
Amanah, Asngari, & Tjitropranoto (2017) persepsi adalah proses
yang diawali dengan penginderaan, yaitu proses yang berwujud
diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya
yang diteruskan melalui pengolahan ingatan dan terjadi proses
psikologis sehingga individu tersebut mengalami pengertian
(persepsi). Persepsi petani secara umum menganggap jalawure
sebagai tanaman yang mudah dibudidayakan, bisa tumbuh pada
semua kondisi lahan, tanaman untuk keperluan adat, tanaman
yang ditanam untuk menghadapi musim paceklik, dan tanaman
yang tidak bernilai ekonomi (tidak ada pasarnya). Menurut
Wardah dan Ariani (2013) pada dasarnya masyarakat bisa
menanam jalawure, tetapi karena keterbatasan lahan, hal inipun
belum banyak dilakukan baik ditanam secara monokultur
maupun agroforestri.
Persepsi masyarakat terhadap tanaman jalawure secara
umum positif karena menurut responden jalawure memiliki
keunggulan dalam budidayanya seperti tidak memerlukan
pemeliharaan, patinya memiliki rasa yang khas dan lembut
dibandingkan dengan pati lainnya, dapat digunakan untuk
beraneka olahan makanan dan dapat disimpan dalam jangka
waktu yang lama (Winara et al., 2016). Namun, menurut
responden jalawure juga mempunyai kelemahan yakni jalawure
hanya tumbuh baik ditanah berpasir bukan di tanah yang padat,
sehingga lahan untuk menanam jalawure sangat terbatas.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
64
Tabel 1. Persepsi responden mengenai jalawure
No. Persepsi tentang Uraian
1. Budidaya
Jalawure
Jalawure adalah tanaman yang mudah
dibudidayakan, tidak memerlukan
pemeliharaan yang intensif, tahan
terhadap naungan, namun harus
ditanam di lahan berpasir.
2. Pemanfaatan
jalawure
Bagian tanaman jalawure yang bisa
dimanfaatkan adalah umbinya untuk
diolah menjadi pati. Pati jalawure
rasanya enak, unik, dan tahan lama.
3. Pengolahan
jalawure
Pengolahan umbi jalawure menjadi
pati sangat mudah, bisa dilakukan
secara manual, tidak memerlukan
keahlian khusus, namun memerlukan
proses penyaringan yang lebih lama.
4. Pemasaran
jalawure
Pasar untuk umbi jalawure belum ada,
sedangkan pasar pati jalawure
terbatas pada orang-orang tertentu
yang sudah mengetahui jalawure dan
rasa dari patinya, namun karena
bahan baku terbatas dan prosesnya
juga tidak mudah harga belum bisa
bersaing dengan pati lainnya.
C. Dukungan Kebijakan dalam Pengembangan
Agroforestry Jalawure
Jalawure merupakan tanaman khas yang habitat aslinya
adalah di sepanjang pantai. Tanaman ini menarik dijadikan
sebagai tanaman pangan alternatif karena karakteristiknya yang
sama dengan beberapa jenis tepung pati seperti tepung pati aren
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
65
dan tepung pati tapioka. Upaya pemerintah Kabupaten Garut
untuk menjadikan jalawure sebagai tanaman pangan unggulan
lokal pernah dilakukan melalui program pengembangan
tanaman jalawure oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP)
Kabupaten Garut.
Program Pengembangan dan Pembinaan Pangan Jalawure
Terarah dan Berkelanjutan dilakukan selama tiga tahun (2012-
2014). Program ini meliputi perlindungan sumber bibit (plasma
nutfah), pengembangan budidaya, pembinaan teknik pengolahan
pati dan pembuatan kue, pembinaan kemasan dan pemasaran
serta pembinaan manajerial usaha (Muharam, 2011). Kegiatan
yang dilakukan diantaranya adalah sosialisasi tanaman jalawure
dan membuat demplot jalawure seluas 1 ha di kantor Badan
Penyuluhan Pertanian BPP Kecamatan Cikelet serta berbagai
pelatihan yang berkaitan dengan pengolahan umbi jalawure.
Pelaksanaan program ini melibatkan berbagai pihak. Selain
pemerintah daerah (Badan Ketahanan Pangan), lembaga yang
terlibat pada pelaksanaan program ini adalah pemerintah
kecamatan dan desa, penyuluh, petani (kelompok tani), dan
peneliti.
Pembahasan mengenai pengembangan jalawure ini juga
pernah dilakukan melalui lokakarya di Pendopo Bupati
Kabupaten Garut yang diinisiasi oleh LIPI. Kegiatan-kegiatan
yang dilakukan pada saat itu membuahkan hasil, hingga
Kecamatan Cikelet memperoleh penghargaan. Namun dalam
perjalanannya program ini mengalami kendala baik dalam hal
teknis budidaya, ekonomi, sosial maupun teknis pengolahan
sehingga tidak berlanjut lagi. Salah satu penyebabnya adalah
karena belum diketahui cara budidaya jalawure yang baik.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
66
Kondisi ini ditemui pula pada jenis pangan lokal lainnya yang
dikembangkan di Garut seperti ganyong, jawawut, hanjeli,
sorgum dan tanaman garut. Potensi dan kendala dalam
pengembangan jalawure disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Potensi dan kendala dalam pengembangan jalawure
No. Aspek Potensi Kendala
1. Budidaya - Tanaman jalawure tahan naungan sehingga dapat ditanam dengan pola agroforestry.
- Tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif.
- Budidaya jalawure memerlukan waktu yang lama (lebih kurang satu tahun)
- Belum diketahui teknis budidaya yang baik dan bisa meningkatkan produktivitas.
2. Pengolahan Mudah dan bisa dilakukan secara manual.
Bahan baku terbatas.
3. Sosial Mempunyai nilai sejarah dan budaya bagi masyarakat di sekitar pantai.
Belum mempunyai nilai penting bagi masyarakat karena masih ada sumber karbohirat yang lain.
4. Ekonomi Memiliki rasa yang khas dan unik serta dapat disimpan dalam waktu yang lama.
Belum menguntungkan
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
67
Hal yang kurang medorong pengembangan jalawure dan
pangan lokal lainnya adalah tidak adanya dukungan kebijakan
yang nyata dari pemerintah daerah. Pengembangan komoditas
pangan lokal terutama pangan lokal minor untuk diversifikasi
pangan tidak lagi menjadi program BKP Kabupaten Garut
ataupun instansi lainnya. Program yang dilaksanakan oleh BKP
Kabupaten Garut sejak tahun 2015 lebih pada bagaimana
mengkomposisikan makanan seimbang dalam keluarga, kegiatan
KRPL (Kawasan Rumah Pangan Lestari), dan pembinaan
Kelompok Wanita Tani (KWT), sementara komoditas pangan
lokal minor seperti jalawure tidak lagi menjadi prioritas. Dinas
Kehutanan Kabupaten Garut juga hanya berperan sebagai
penunjang yaitu dari sisi konservasi, tidak terlibat jauh dalam
pengembangan tanaman pangan meskipun beberapa jenis
tanaman tersebut dapat dikembangkan di bawah tegakan. Hal
ini juga berkaitan dengan road map yang sudah disusun pada
masing-masing lembaga.
Memperhatikan potensi dan kendala yang ada, maka perlu
dilakukan upaya-upaya konkrit dalam mendukung
pengembangan jalawure menjadi tanaman pangan lokal
alternatif. Upaya-upaya pengembangan budidaya, membuka
peluang-peluang pasar dan pengembangan sumberdaya manusia
harus menjadi prioritas. Winara (2018) menyarankan beberapa
strategi dalam mendorong pengembangan jalawure di wilayah
Kabupaten Garut diantaranya adalah melalui strategi SOW
(Strength Opportunity Weakness) dan SOT (Strength Opportunity
Treath). Strategi SOW yaitu mendorong pemerintah daerah
untuk membuat program manajeman pengembangan jalawure
terintegrasi dengan ekowisata Garut Selatan sehingga tersedia
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
68
pasar bagi jalawure, sementara strategi SOT adalah dengan
membuat payung hukum untuk konservasi jenis jalawure pada
habitat alami (insitu) maupun di luar habitat alaminya (eksitu).
Dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat di wilayah
Garut Selatan, jalawure memiliki nilai tersendiri. Jalawure dapat
dipandang sebagai tanaman penting dan bernilai karena
jalawure adalah tanaman lokal yang khas yang bisa
dikembangkan sebagai tanaman pangan alternatif pengganti
pati. Namun disisi lain, jalawure belum memiliki keunggulan
komparatif dibanding umbi yang lain dan kebutuhan pangan
selama ini dapat dipenuhi oleh beras dan jenis umbi-umbian
lainnya. Oleh karena itu, untuk mengembangkan tanaman
jalawure menjadi tanaman lokal alternatif perlu adanya
dukungan dari pemerintah terutama dalam mendorong peluang
pasar baik dari sisi teknis maupun kebijakan.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
69
DAFTAR PUSTAKA
Aatjin, A. Z., Lelemboto, M. B., Koapaha, T., & Mamahit, L. P. (2013). Pemanfaatan Pati Tacca (Tacca Leontopetaloides) Pad Pembuatan Biskuit. Cocos, 2(1), 1–8.
Borokini, T. I., & Ayodele, A. E. (2012). Phytochemical Screening of Tacca leontopelatoides (L.) Kuntze Collected from Four Geographical Locations in Nigeria. International Journal of Modern Botany, 2(4), 97–102. https://doi.org/10.5923/j.ijmb.20120204.06
Fauziyah, E. (2017). Farmer’s knowledge about Jalawure (Tacca leontopetaolides (L.) Kuntz as an alternative flour subtitute. In A. Rimbawanto, Krisdianto, M. Turjaman, H. L. Tata, H. Krisnawati, T. Setyawati, … M. Z. Mutaqin (Eds.), Proceedings of the IUFRO-INAFOR Joint International Conference “Promoting Sustainable Resources from Plantation for Economic Growth and Community Benefit’’” (pp. 469–478). Yogyakarta.
Fitriah, E. (2015). Analisis Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Pesisir dalam Pemanfaatan Tumbuhan Mangrove sebagai Pangan Alternatif untuk Menghadapi Ketahanan Pangan. Scientiae Educatia, 5(2).
Jagtap, S., & Satpute, R. (2015). Chemical Fingerprinting of Flavonoids in Tuber Extracts of Tacca leontopetaloides ( L .) O . Ktze. Journal of Academia and Industrial Research, 3(10), 485–489.
Kogoya, M., Rawung, D., Sumual, M. F., & Djarkasi, G. S. . (2017). Kajian potensi umbi anuwun (Tacca leontopetaloides L. Kuntz) sebagai sumber pangan alternatif. Cocos, 1(7), 43.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
70
Manoppo, C. N., Amanah, S., Asngari, P. S., & Tjitropranoto, P. (2017). Persepsi Perempuan terhadap Pemanfaatan Pekarangan Mendukung Diversifikasi Pangan di Sulawesi Utara. Jurnal Penyuluhan, 13(1).
Muharam, E. (2011). Jalawure (Tacca leontopetaloides) tumbuhan liar sumber pangan alternatif prospektif nasional dari Kabupaten garut. https://doi.org/10.1007/978-94-017-7276-1_16
Rambe, A., Karsin, E. S., & Hartoyo, H. (2008). Analisis Alokasi Pengeluaran Dan Tingkat Kesejahteraan Keluarga (Studi Di Kecamatan Medan Kota, Sumatera Utara). Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen, 1(1), 16–28. https://doi.org/10.24156/jikk/2008.1.1.16
Setiawan, E. (2013). The eksploration of tacca leontopetaloides L: distribution pattern and ecology in bangkalan district. Seminar Nasional Universitas Trunojoyo, (L), 570–574. Retrieved from http://pertanian.trunojoyo.ac.id/semnas/ wp-content/uploads/EKSPLORASI-TACCA-LEONTOPETALOIDES-L.-POLA-SEBARAN-DAN-EKOLOGI-DI-KABUPATEN-BANGKALAN-OLEH-EKO-SETIAWAN.pdf
Sihotang, V. B. L. (2013). The Utilization of Kecondang ( T . leontopetaloides ) in Karimunjawa Island as Alternative Food. 44–48.
Susiarti, S. (2015). Potensi To’toan ( Tacca leontopetaloides ( L .) O . Kuntze ) sebagai bahan pangan di Pulau Kagean, Jawa Timur. Berita Biologi, 14(1), 97–103.
Wardah, & Ariani, D. (2013). Wild Tuber of Jalawure (Tacca leontopetaloides (L.) Kuntz) is an Alternative to overcome food insuffiency of sociaety in Cikelet sub-district, South Garut. Proceedings Asiahorcs, 135–145.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
71
Wardah, Sambas, E. N., Ridwan, & Ariani, D. (2016). Starch Product of Wild Plants Species Jalawure (Tacca leontopetaloides L.) Kuntze as the Source of Food Security in the South Coastal West Java. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 193(1). https://doi.org/10.1088/1757-899X/193/1/012035
Winara, A. (2018). Potensi agroforestri jalawure (Tacca leontopetaloides) untuk ketahanan pangan lokal di Garut. In D. K. Wardana, T. S. Widyaningsih, & Devy Priambodo Kuswantoro (Eds.), Prosiding Seminar Agroforestry 2018 (pp. 84–89). Jatinangor.
Winara, A., & Murniati, M. (2018). Pola sebaran, kelimpahan populasi dan karakteristik habitat jalawure (Tacca leontopetaloides) di Kabupaten Garut. Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam. https://doi.org/10.20886/jphka.2018.15.2.79-89
Winara, A., Rohandi, A., Fauziyah, E., Suhartono, Gunawan, Widiyanto, A., … Saefudin, U. (2016). Laporan Hasil Penelitian "Penerapan Model Agroforestry Tanaman Hutan Penghasil Sumber Pangan (Umbi-umbian dalam Mendukung Ketahanan Pangan Lokal di Jawa Barat dan KPHP Yogyakarta. Ciamis.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
72
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
73
PENUTUP
Salah satu kekurangan yang dimiliki wilayah pesisir adalah
kondisi lahan yang tergolong marjinal. Akibatnya adalah jenis
komoditi pangan yang dapat dikembangkan cukup terbatas.
Umbi jalawure menjadi alternatif cadangan pangan dari hutan
bagi masyarakat pesisir. Tanaman tersebut termasuk tanaman
yang dapat bertahan di wilayah pesisir pantai dengan kondisi
lahan marjinal. Namun posisi jalawure sebagai pangan minor
senantiasa tidak mendapatkan porsi yang cukup ideal dalam
pengembangannya. Disisi yang lain adanya arus perubahan lahan
yang menjadi habitat alami jalawure mulai mengalami gangguan
untuk kepentingan ekonomi lainnya seperti pengembangan
tambak dan ekowisata.
Meskipun jalawure tergolong pangan minor, namun upaya
untuk pemanfaatan, budidaya bahkan konservasi sumberdaya
genetik harus tetap dilakukan. Dukungan pemerintah terutama
dalam pengambilan kebijakan yang dapat mendukung
pengembangan komoditi jalawure tentu sangat penting.
Minimnya informasi mengenai teknik budidaya dan analisis
usahatani jalawure merupakan salah satu permasalahan
tersendatnya pengembangan jalawure di tingkat petani.
Agroforestri jalawure merupakan salah satu upaya
pengenalan Teknik budidaya jalawure guna menunjang
pengembangan komoditi minor ini menjadi populer di tengah
masyarakat khususnya dalam membantu ketahanan pangan
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
74
lokal seiring dengan minimnya ketersediaan lahan terbuka.
Selain itu agroforestri jalawure dibawah tegakan hutan
diharapkan dapat membantu upaya optimalisasi lahan hutan
untuk menunjang kebutuhan pangan. Meskipun demikian,
permasalahan produktivitas umbi panen jalawure masih rendah
sehingga harus dicarikan solusinya melalui kegiatan penelitian
yang berkelanjutan.
Berdasarkan analisis usahatani jalawure dibawah tegakan
jati, diketahui bahwa untuk meningkatkan nilai tambah jalawure
diperlukan penjualan dalam bentuk pati bukan umbi segar,
sehingga petani harus melakukan pengolahan umbi jalawure
terlebih dahulu. Sementara secara sosial budaya, pengembangan
jalawure masih memerlukan dukungan kuat dari pemerintah
dalam bentuk program konkrit.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
75
TESTIMONI
Bapak Jono Sujono
Ketua Kelompok Tani Muara Tani III Desa Cigadog Kec. Cikelet Kab. Garut
Kami telah mendampingi kegiatan penelitian
agroforestri jalawure yang dilakukan oleh
BPPTA pada tahun 2016-2017. Kami
mengucapkan terima kasih atas program pengembangan
jalawure yang telah dilakukan oleh BPPTA. Hal ini menunjukkan
perhatian pemerintah bagi masyarakat di Desa kami, khususnya
dalam pengembangan tanaman jalawure untuk mendukung
ketahanan pangan lokal disini. Setelah mengikuti kegiatan
penelitian agroforestri jalawure, pengetahuan kami tentang
budidaya jalawure di bawah tegakan jati bertambah sekaligus
jadi mengetahui kalua tanaman jalawure dapat dikembangkan di
bawah pohon yang selama ini masyarakat anggap tidak bisa
tumbuh baik. Kami berharap mudah-mudahan kedepannya jenis
tanaman jalawure ini bisa dikembangkan lagi untuk
meningkatkan ekonomi masyarakat.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
76
TENTANG PENULIS
Aji Winara, lahir di Sukabumi 03 Maret 1979.
Penulis merupakan peneliti pada Balai Penelitian
dan Pengembangan Teknologi Agroforestry, Balai
Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan. Penulis menyelesaikan
Pendidikan sarjana pada Jurusan Konservasi
Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor Tahun 2001 dan Pascasarjana
Magister Sains pada Program Studi Silvikultur
Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Tahun 2014.
Penulis menjadi kontributor pada Buku “Manglid” dan “Jasa
Lingkungan Agroforestri: Belajar dari Masyarakat DAS Balangtieng
Sulawesi Selatan”. Saat ini penulis aktif pada kegiatan penelitian
Agroforestri, Konservasi Kenakeragaman Hayati dan Perlindungan
Hutan.
Asep Rohandi, Lahir di Garut 31 Juli 1974. Penulis
merupakan peneliti pada Balai Penelitian
Teknologi Agroforestry, Badan Litbang dan Inovasi
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada
Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor Tahun 1998 dan
Pascasarjana Magister Sains pada Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Iinstitut Pertanian
Bogor Tahun 2006. Gelar Doktor diperoleh penulis pada Program Studi
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
77
Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Tahun
2018. Saat ini penulis aktif pada kegiatan penelitian agroforestri dan
silvikultur serta kegiatan pembangunan sumber benih.
Eva Fauziyah adalah peneliti bidang sosial
ekonomi kehutanan, lahir di Lampung Utara 24
Maret 2981. Penulis mulai bekerja di Balai
Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Agroforestry setelah lulus sarjana kehutanan dari
Jurusan Manajeman Hutan Fakultas Kehutanan IPB
pada tahun 2003. Pada tahun 2007 penulis
melanjutkan pendidikan pada Sekolah
Pascasarjana Jurusan Ilmu Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan
mendapat gelar master tahun 2009. Penulis menjadi kontributor pada
Buku “Hutan Rakyat: Sumbangsih Masyarakat Pedesaan untuk Hutan
Tanaman (2014) dan ‘Bunga Rampai Konversi Lahan” (2017).
Suhartono, lahir di Ciamis pada 20 Desember 1979.
Penulis adalah peneliti pada Balai Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Agroforestry, Balai
Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan. Penulis menyelesaikan pendidikan
Strata 1 pada jurusan Sosial Ekonomi Pertanian di
Universitas Sebelas Maret Surakarta lulus pada
Tahun 2007. Penulis mengawali karir sebagai
aparatur sipil negara di Departmen Kehutanan dan Perkebunan pada
Tahun 2000 dengan status dipekerjakan pada Dinas Perhutanan dan
Konservasi Tanah Kabupaten Karanganyar. Sejak Tahun 2015 sampai
dengan sekarang beralih kembali menjadi pegawai negeri sipil pusat
pada Balai Litbang Teknologi Agroforestry. Kepakaran penulis adalah
bidang Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
78
Rd Dedi Herdyana, lahir di Ciamis 06 November
1963. Penulis merupakan teknisi likayasa pada
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Agroforestry, Balai Litbang dan Inovasi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Penulis menyelesaikan Pendidikan Sekolah
Menengah Atas tahun 1982. Penulis memulai
karirnya pada program PPHTA kerjasama
Departemen Kehutanan RI dan USAID, dan diangkat sebagai ASN pada
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan di Bogor. Penulis banyak
terlibat dalam kegiatan agroforestri pada lahan marjinal khususnya di
KHDTK Cikampek Jawa Barat dan Carita Banten. Penulis saat ini
bekerja di bagian silvikultur sebagai teknisi penyelia dan aktif pada
kegiatan Model Agroforestry Tanaman Hutan Penghasil Sumber
Pangan.
Udin Saepudin, lahir di Majalengka, tahun 1983.
Penulis menyelesaikan gelar sarjananya di
Universitas Galuh Fakultas Pertanian dengan
Program Studi Agribisnis. Penulis merupakan
Teknisi Litkayasa pada Balai Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Agroforestry sejak 2007
hingga sekarang. Sebelumnya penulis bekerja di
salah satu Perusahaan Hak Pengusahaan Hutan
sejak 2003. Sejak 2016 penulis juga aktif sebagai Google Publisher dan
menaruh minat terhadap Web Building untuk media promosi tulisan
serta karya lainnya di bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
AGROFORESTRI JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
79
Fitria Nurlaela, Lahir di Garut pada tanggal 05 Mei
1981. Penulis merupakan penyuluh pertanian di
Dinas Pertanian Kabupaten Garut yang bertugas di
UPT Pertanian Kecamatan Cikelet. Penulis
menyelesaikan pendidikan sarjana di Institut
Pertanian Bogor Fakultas Pertanian, Jurusan Sosial
Ekonomi Pertanian, Program Studi Ekonomi
Pertanian dan Sumberdaya pada tahun 1999-2004.
Penulis terlibat aktif dalam program pengembangan tanaman jalawure
di Kabupaten Garut dan bekerjasama dengan LIPI.