repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1...
Transcript of repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tablet
Tablet adalah sediaan padat, dibuat secara kempa-cetak berbentuk rata
atau cembung rangkap, umumnya bulat, mengandung satu jenis obat atau lebih
dengan atau tanpa zat tambahan. Zat tambahan yang digunakan dapat berfungsi
sebagai:
- Zat pengisi, yaitu untuk memperbesar volume tablet. Biasanya yang
digunakan Saccharum Lactis, Amylum Manihot, Calcii Phoshas, Calcii
Carbonas dan zat lain yang dikocok.
- Zat pengikat, yaitu agar tablet tidak pecah atau retak, dapat merekat.
Biasanya yang digunakan adalah Mucilago Gummi Arabici 10-20%,
Solutio Methyl-cellulosum 5%.
- Zat penghancur, yaitu agar tablet dapat hancur dalam perut. Biasanya yang
digunakan Amylum Manihot kering, Gelatinum, Agar-agar, Natrium
Alginat.
- Zat pelicin, yaitu agar tablet tidak lekat pada cetakan. Biasanya yang
digunakan Talcum 5%, Magnesii Stearas, Acidum Stearinicum.
Dalam pembuatan tablet, zat berkhasiat, zat-zat lain kecuali pelicin dibuat
granul (butiran kasar), karena serbuk yang halus tidak mengisi cetakan tablet
dengan baik maka dibuat granul agar mudah mengalir mengisi cetakan serta
menjaga agar tablet tidak retak (Anief, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Penggolongan tablet dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
- Tablet Implantasi adalah tablet yang pemakaiannya dengan cara
menanamkannya dalam jaringan bawah kulit. Contoh: tablet hormon.
- Tablet Effervescent adalah tablet yang penggunaannya dilarutkan terlebih
dahulu dalam air kemudian diminum. Didalam tablet selain zat aktif juga
mengandung campuran asam (asam sitrat, asam tartrat) dan natrium
bikarbonat yang jika dilarutkan dalam air akan menghasilkan
karbondioksida. Contoh: tablet Calsium D Redokson (CDR).
- Tablet Vagina adalah tablet yang pemakaiannya melalui vagina, bentuk
pipih, oval dengan salah satu ujungnya kecil. Contoh: sulfasetamid,
nistatin.
- Tablet Sublingual adalah tablet yang penggunaannya diletakkan di bawah
lidah. Tablet ini melarut dengan cepat dan bahan-bahannya cepat
diabsorbsi. Contoh: tablet isosorbid dinitrat.
- Tablet hisap adalah tablet yang dimaksudkan untuk pengobatan iritasi
lokal atau infeksi mulut atau tenggorokan yang ditujukan untuk absorbsi
sistemik setelah ditelan. Contoh: tablet Vitamin C.
- Tablet kunyah adalah tablet yang dimaksudkan untuk dikunyah, memberi
residu dengan rasa enak dalam rongga mulut, mudah ditelan dan tidak
meninggalkan rasa pahit atau tidak enak. Contoh: tablet antasida.
- Tablet Hipodermik adalah tablet yang mudah larut dalam air digunakan
sebagai injeksi untuk disuntikkan di bawah kulit.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Evaluasi Tablet
Untuk menjaga mutu tablet tetap sama, dilakukan uji-uji sebagai berikut:
a. Uji keseragaman bobot
Tablet harus memenuhi uji keseragaman bobot. Keseragaman bobot ini
ditetapkan untuk menjamin keseragaman bobot tiap tablet yang dibuat. Tablet-
tablet yang bobotnya seragam diharapkan akan memiliki kandungan bahan obat
yang sama, sehingga akan mempunyai efek terapi yang sama. Keseragaman bobot
dapat ditetapkan sebagai berikut: ditimbang 20 tablet, lalu dihitung bobot rata-rata
tiap tablet. Kemudian timbang tablet satu persatu, tidak boleh lebih dari 2 tablet
bobotnya menyimpang dari bobot rata-rata lebih besar dari yang ditetapkan pada
kolom A dan tidak boleh satu tablet pun bobotnya menyimpang dari bobot rata-
rata lebih besar dari yang ditetapkan pada kolom B. Jika perlu gunakan 10 tablet
yang lain dan tidak satu tablet yang bobotnya menyimpang lebih besar dari bobot
rata-rata yang ditetapkan dalam kolom A maupun kolom B (Dirjen POM, 1995):
Tabel 1: Penyimpangan bobot rata-rata
Bobot rata-rata
Penyimpangan bobot rata-rata
A B
25 mg atau kurang 15% 30%
26 mg sampai dengan 150 mg 10% 20%
151 mg sampai dengan 300 mg 7,5% 15%
Lebih dari 300 mg 5% 10%
Universitas Sumatera Utara
b. Uji kekerasan
Ketahanan tablet terhadap goncangan pada waktu pembuatan, pengepakan
dan distribusi bergantung pada kekerasan tablet. Kekerasan dinyatakan dalam
satuan kg dari tenaga yang diperlukan untuk memecahkan tablet. Alat yang
digunakan untuk uji ini adalah hardness tester, alat ini diharapkan dapat
mengukur berat yang diperlukan untuk memecahkan tablet. Persyaratan kekerasan
tablet umumnya berkisar 4-8 kg, bobot tersebut dianggap sebagai batas minimum
untuk menghasilkan tablet yang memuaskan (Soekemi, A. R., 1987).
c. Uji keregasan
Kekerasan tablet bukanlah indikator yang mutlak dari kekuatan tablet.
Cara lain untuk menentukan kekuatan tablet ialah dengan mengukur
keregasannya. Gesekan dan goncangan merupakan penyebab tablet menjadi
hancur. Untuk menguji keregasan tablet digunakan alat roche friabilator. Sebelum
tablet dimasukkan kedalam alat friabilator, tablet ditimbang terlebih dahulu.
Kemudiann tablet dimasukkan kedalam alat, lalu alat dioperasikan selama 4 menit
atau 100 kali putaran. Tablet ditimbang kembali dan dibandingkan dengan berat
mula-mula. Selisih berat dihitung sebagai keregasan tablet. Persyaratan keregasan
harus lebih kecil dari 0,8% (Ansel, H.C., 1989).
d. Uji waktu hancur
Agar bahan obat dapat secara utuh diserap pada sistem pencernaan, maka
tablet harus hancur dan melepaskan bahan obat kecairan tubuh. Waktu hancur
adalah waktu yang dibutuhkan oleh tablet untuk menjadi partikel-partikel kecil.
Tablet biasanya diformulasikan dengan bahan pengembang yang menyebabkan
tablet hancur didalam air atau cairan lambung (Soekemi, A. R., 1987).
Universitas Sumatera Utara
Peralatan uji waktu hancur terdiri dari rak keranjang yang mempunyai
enam lubang yang terletak vertikal diatas ayakan mesh nomor 10. Selama
percobaan tablet diletakkan pada tiap lubang keranjang, kemudian keranjang
tersebut bergerak naik turun dalam larutan transparan dengan kecepatan 29-32
putaran permenit. Interval waktu hancur adalah 5-30 menit (Ansel, H.C., 1989).
e. Uji penetapan kadar zat berkhasiat
Uji penetapan kadar zat berkhasiat dilakukan untuk mengetahui apakah
tablet tersebut memenuhi syarat sesuai dengan etiket. Bila kadar obat tersebut
tidak memenuhi syarat maka obat tersebut tidak memiliki efek terapi yang baik
dan tidak layak dikonsumsi. Uji penetapan kadar dilakukan dengan menggunakan
cara-cara yang sesuai pada masing-masing monografi antara lain di Farmakope
Indonesia (Dirjen POM, 1995).
f. Uji disolusi
Obat yang telah memenuhi persyaratan kekerasan, waktu hancur,
keregasan, keseragaman bobot, dan penetapan kadar, belum dapat menjamin
bahwa suatu obat memenuhi efek terapi, karena itu uji disolusi harus dilakukan
pada setiap produksi tablet. Disolusi adalah proses pemindahan molekul obat dari
bentuk padat kedalam larutan pada suatu medium (Dirjen POM, 1995).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Antalgin
2.3.1 Tinjauan umum tentang antalgin (Dirjen POM, 1995).
Rumus Bangun :
Nama Kimia : Natrium2,3-dimetil-1-fenil-5-pirazolon-4-
metilaminometanasulfonat
Sinonim : - Metampiron
- Novaminsulfon
- Metamizol
- Novalgin
- Dipiron
Rumus molekul : C13H16N3NaO4S.H2
Berat Molekul : 351.37
O
Pemerian : Serbuk hablur, putih atau putih kekuningan.
Susut pengeringan : Tidak lebih dari 5,5% pada suhu 1050
Kelarutan : Larut dalam air, dan HCl 0,02 N
C hingga bobot tetap
Antalgin mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari
101,0% C13H16N3NaO4S, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
Universitas Sumatera Utara
Penetapan kadar:
Timbang saksama lebih kurang 200 mg, larutkan dalam 5 ml air.
Tambahkan 5 ml asam klorida 0,02 N dan segera titrasi dengan iodum 0,1 N,
menggunakan indikator kanji, dengan sekali-sekali dikocok hingga terjadi warna
biru mantap selama 2 menit.
1 ml iodium 0,1 N setara dengan 16,67 mg C13H16N3NaO4
S.
2.3.2 Analgetik-antipiretik
Analgetik-antipiretik adalah zat-zat yang mampu mengurangi atau
menghilangkan rasa nyeri sekaligus menurunkan panas tubuh. Nyeri adalah
perasaan sensori yang tidak baik dan berkaitan dengan kerusakan jaringan. Nyeri
merupakan suatu perasaan yang pribadi dengan ambang toleransi yang berbeda.
Nyeri dianggap sebagai tanda adanya gangguan di jaringan seperti peradangan
dan infeksi. Sedangkan demam pada umumnya adalah suatu gejala dan bukan
merupakan penyakit tersendiri (Rahardja, K., dan Tan, 2003).
Berdasarkan proses terjadinya, rasa nyeri dapat dihalangi dengan beberapa
cara, yakni:
1. Menghalangi terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri perifer dengan
menggunakan analgetik perifer.
2. Menghalangi penyaluran rangsangan disaraf-saraf sensori, misalnya
dengan menggunakan anastetika lokal.
3. Melindungi pusat nyeri di sistem saraf pusat dengan analgetik sentral
(narkotika) atau dengan anastetika umum (Rahardja, K., dan Tan, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Anwar, J., dan Yahya, M., (1973), analgetika dapat dibagi dalam
dua golongan besar, yakni:
1. Analgetika non-narkotika, yaitu obat-obat yang dapat menghilangkan rasa
sakit, nyeri somatis, dan tidak dapat menghilangkan rasa sakit jeroan
kecuali bila digabung dengan obat-obat lain, tidak menimbulkan adiksi,
tidak berkhasiat terhadap rasa sakit yang hebat.
2. Analgetika narkotika, yaitu bahan-bahan yang dapat menimbulkan
analgesia yang amat kuat dan dapat menimbulkan adiksi/kecanduan. Pada
umumya bahan-bahan ini didapat dari opium sehingga sering juga disebut
analgetik-opiat.
2.3.3 Efek farmakodinamika antalgin
Sesuai analgetika, obat ini hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas
rendah sampai sedang, misalnya sakit kepala dan juga efektif terhadap nyeri yang
berkaitan dengan inflamasi. Efek analgetiknya jauh lebih lemah dari efek
analgetik opiat, obat ini tidak menimbulkan ketagihan (adiksi) dan efek samping
sentral yang merugikan. Analgetik bekerja secara sentral untuk meningkatkan
kemampuan menahan nyeri. Analgesia yaitu suatu keadaan dimana setelah
pemerian analgetik; bercirikan perubahan perilaku pada respon terhadap nyeri dan
kemampuan yang berkurang untuk menerima impuls nyeri tanpa kehilangan
kesadaran. Sebagai antipiretik, obat ini akan menurunkan suhu badan hanya pada
keadaan demam, walaupun kebanyakan obat ini memperlihatkan efek antipiretik
invitro, tidak semuanya berguna sebagai antipiretik karena bersifat toksik bila
Universitas Sumatera Utara
digunakan terlalu lama. Kerja analgetik antalgin lebih besar dibandingkan dengan
kerja antipiretik yang dimilikinya (Ganiswara, 1981).
2.3.4 Farmakokinetik antalgin
Pada fase ini, antalgin mengalami proses ADME yaitu absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi yang berjalan secara simultan langsung atau tak
langsung melintasi sel membran (Anief, 1991).
2.3.5 Farmakologi antalgin
Antalgin termasuk derivat metasulfonat dari amidopiryn yang mudah larut
dalam air dan cepat diserap kedalam tubuh. Bekerja secara sentral pada otak untuk
menghilangkan nyeri, menurunkan demam dan menyembuhkan rheumatik.
Antalgin merupakan inhibitor selektif dari prostaglandin F2
α yaitu: suatu
mediator inflamasi yang menyebabkan reaksi radang seperti panas, merah, nyeri,
bengkak, dan gangguan fungsi yang biasa terlihat pada penderita demam
rheumatik dan rheumatik arthritis. Antalgin mempengaruhi hipotalamus dalam
menurunkan sensifitas reseptor rasa sakit dan thermostat yang mengatur suhu
tubuh (Lukmanto, 1986).
2.3.6 Efek samping antalgin
Pada pemakaian yang teratur dan untuk jangka waktu yang lama,
penggunaan obat yang mengandung metampiron kadang-kadang dapat
menimbulkan kasus agranulositosis fatal. Untuk mendeteksi hal tersebut, selama
penggunaan obat ini perlu dilakukan uji darah secara teratur. Jika gejala tersebut
Universitas Sumatera Utara
timbul, penggunaan obat ini harus segera dihentikan. Efek samping lain yang
mungkin terjadi adalah: methemoglobinemia, erupsi kulit, seperti pada kasus
eritematous disekitar mulut, hidung dan alat kelamin (Lukmanto, 1986).
2.4 Tablet antalgin
Pada proses pembuatan tablet, zat berkhasiat dan zat tambahan dibuat
dalam bentuk granul (butiran kasar), karena serbuk yang halus tidak dapat mengisi
cetakan tablet dengan baik. Pembuatan granul dimaksudkan agar bahan obat lebih
mudah mengalir (free flowing) mengisi cetakan (Anief, 1999).
Contoh pembuatan tablet antalgin, metode granulasi basah (Soekemi, R.A., 1995):
− Antalgin ditambah Sacch Lactis dan Amylum Manihot (pengembang
dalam) gerus halus.
− Tambahkan Mucilago Amily sedikit demi-sedikit sambil digerus sampai
diperoleh massa yang sesuai (dapat dikepal tapi tidak terlalu lembek).
− Granulasi dengan ayakan mesh 8.
− Keringkan pada temperatur 400C sampai 600
− Setelah kering ayak lagi dengan ayakan mesh 12.
C.
− Tambahkan Amylum Manihot (pengembang luar), Talkum dan
Magnesium Stearat, aduk sampai homogen.
− Cetak jadi tablet.
Tablet Antalgin mengandung Metampiron, C13H16N3NaO4S.H2
O tidak
kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 105,0% dari jumlah yang tertera pada
etiket.
Universitas Sumatera Utara
Penetapan kadar:
Timbang dan serbukkan tidak kurang dari 20 tablet . Timbang saksama
sejumlah serbuk tablet setara dengan lebih kurang 400 mg metampiron, masukkan
kedalam labu tentukur 50 ml, tambahkan 4 ml air, kocok. Saring melalui
penyaring kaca masir kedalam labu 50 ml. Cuci labu dan penyaring dua kali, tiap
kali dengan 2 ml air. Titrasi kumpulan filtrat dan cairan cucian dengan iodum
0,1N.
Dosis:
- Dewasa: 250 mg-1 gram tiap kali, sehari maksimum 3 gram.
- Anak-anak 6-12 tahun: 250-500 mg tiap kali, sehari maksimum 2 gram.
Peringatan:
- Berisiko agranulositosis fatal.
- Jangan digunakan untuk gangguan ringan bila ada obat lebih aman.
Efek samping:
- Iritasi lambung, hiperhidrosis, retensi air dan natrium.
- Reaksi alergi: reaksi kulit dan edema angioneurotik.
Penyimpanan:
- Simpan di tempat yang sejuk dan kering, terlindung dari cahaya.
Indikasi:
- Analgesik-antipiretik: hanya digunakan jika parasetamol atau asetosal
tidak berespons, misalnya nyeri kanker, demam pada penyakit Hodgkin.
Kontra indikasi:
- Alergi terhadap antalgin, granulositopenia, porfiria intermiten akut, payah
jantung.
Universitas Sumatera Utara
2.5 Metode penetapan kadar antalgin
2.5.1 Iodimetri
Penetapan kadar antalgin dilakukan secara Iodimetri. Metode ini cukup
akurat karena titik akhirnya jelas sehingga memungkinkan titrasi dengan larutan
titer yang encer yaitu 0,001 N. Iodimetri dilakukan terhadap zat yang potensial
reduksinya lebih rendah dari sistem larutan iodium. Iodimetri merupakan metode
oksidimetri yang banyak digunakan karena perbandingan stokiometri yang lebih
sederhana (Alamsyah, A., 1994).
2.5.1.1 Prinsip iodimetri
Titrasi iodimetri adalah titrasi berdasarkan reaksi oksidasi antara iodine
sebagai pentiter dengan reduktor yang memiliki potensial oksidasi lebih rendah
dari sistem iodin-iodida dimana sebagai indikator larutan kanji. Titrasi dilakukan
dalam suasana netral sedikit asam (pH: 5-8). Pada antalgin, gugus –SO3Na
dioksidasi oleh I2 menjadi –SO4
Na (Alamsyah, A., 1994).
2.5.1.2 Indikator
Bila tidak terdapat zat pengganggu yang berwarna, sebenarnya larutan
iodin masih dapat berfungsi sebagai indikator meskipun warna yang terjadi tidak
sejelas KMnO4. Umumnya lebih disukai penggunaan larutan kanji sebagai
indikator yang dengan iodin membentuk kompleks berwarna biru cerah.
Sedangkan kloroform juga dapat digunakan sebagai indikator, yang dengan
iodium berwarna violet. Oleh karena larutan kanji merupakan media pertumbuhan
mikroba, maka larutan yang disimpan lama perlu diawetkan, misalnya dengan
Universitas Sumatera Utara
raksa (II) iodida. Larutan kanji yang telah disimpan lama memberikan warna
violet dengan iodium. Meskipun warna ini tidak mengganggu ketajaman titik
akhir titrasi, tetapi larutan kanji yang baru perlu dibuat kembali (Alamsyah, A.,
1994).
2.5.1.3 Larutan pentiter
Pada titrasi iodimetri digunakan larutan iodin sebagai larutan titer. Larutan
iodin sukar larut dalam air tetapi mudah larut dalam kalium iodida pekat. Larutan
titer iodin dibuat dengan melarutkan iodium kedalam larutan KI pekat. Larutan ini
dibakukan dengan arsen (III) oksida atau latutan baku natrium tiosulfat
(Alamsyah, A., 1994).
Universitas Sumatera Utara