91016124-Gangguan-Somatofoywteytrywgqyrgt3rtwqedrm[2].docx

35
Referat Ilmu Penyakit Jiwa “Gangguan Somatoform” Oleh Darien Alfa Cipta 07120070070 Pembimbing dr. Soehendro, Sp.KJ 0

description

ewf4tyefkjhsdgfuyeqrefwwuydwqhdhwqbdhwq

Transcript of 91016124-Gangguan-Somatofoywteytrywgqyrgt3rtwqedrm[2].docx

Referat Ilmu Penyakit Jiwa

“Gangguan Somatoform”

Oleh

Darien Alfa Cipta

07120070070

Pembimbing

dr. Soehendro, Sp.KJ

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Jiwa

Rumah Sakit Kepolisian Pusat Raden Said Sukanto

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan

Periode 11 Juli – 12 Agustus 2011

0

Daftar Isi

Daftar Isi..............................................................................................................................................1

Pendahuluan........................................................................................................................................2

Definisi..................................................................................................................................................3

Etiologi.................................................................................................................................................3

Gejala Klinis........................................................................................................................................4

Klasifikasi.............................................................................................................................................6

Gangguan Somatisasi..........................................................................................................................6

Gangguan Hipokondriasis................................................................................................................13

Disfungsi Otonomik Somatoform.....................................................................................................17

Gangguan Nyeri Somatoform menetap...........................................................................................17

Kesimpulan........................................................................................................................................18

Daftar Pustaka...................................................................................................................................19

1

Gangguan Somatoform

I. Pendahuluan

1. Istilah somatoform berasal dari bahasa Yunani “soma” yang berarti tubuh.1

2. Gangguan somatoform didefinisikan sebagai kelompok kelainan dimana2 :

a. Gejala fisik yang mengarahkan kepada dugaan gangguan medis namun tidak

dapat dibuktikannya patologi atau bukti-bukti yang mendukung penyakit fisik

sebagai penyebab gejala

b. Adanya dugaan kuat bahwa gejala- gejala tersebut berkaitan dengan faktor

psikologis

3. Gangguan ini mencakup interaksi antara tubuh dengan pikiran (body-mind

interaction).

4. Gangguan-gangguan yang termasuk di dalam kategori “gangguan somatoform”

memiliki beberapa ciri umum yang sama2 :

a. Manifestasi stres psikologik menjadi gejala somatik

b. Perilaku sakit yang abnormal (abnormal illness behavior) yaitu disebabkan

adanya ketidaksesuaian antara pengertian yang ditangkap pasien tentang

kondisi sakitnya (perceived illness) dengan penyakit yang dialaminya

(documented disease)

c. Adanya amplifikasi, yaitu dimana sensasi dari gejala fisik mengakibatkan rasa

cemas (anxiety), kemudian rasa cemas dan aktivasi autonomik yang

diasosiasikan dengan rasa cemas tersebut mengakibatkan eksaserbasi gejala

fisik.

d. Penderitaan (distress) yang bermakna dan seringnya angka kunjungan untuk

pelayanan medis

2

II. Klasifikasi Gangguan Somatoform

Terdapat beberapa versi penggolongan gangguan somatoform.4

1. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, fourth edition

(DSM-IV) terdapat 7 gangguan di dalam kategori gangguan somatisasi

a. Gangguan somatisasi (somatization disorder)

b. Gangguan somatisasi tidak terinci (undifferentiated somatoform disorder)

c. Gangguan konversi (conversion disorder)

d. Gangguan nyeri (pain disorder)

e. Hipokondriasis (hypochondriasis)

f. Body Dysmorphic Disorder (BDD)

g. Gangguan somatoform yang tidak tergolongkan (somatoform disorder not

otherwise specified-NOS)

2. Menurut ICD-10/PPDGJ-III

a. Gangguan somatisasi (F.45.0)

b. Gangguan somatoform tidak terinci (F.45.1)

c. Gangguan hipokondrik (F 45.2)

d. Disfungsi otonomik somatoform (F 45.3)

e. Gangguan nyeri somatoform menetap (F 45.4)

f. Gangguan somatoform lainnya (F. 45.8)

3. Perbandingan antara DSM-IV-TR dengan ICD-10

DSM IV-TR memasukkan gangguan konversi dan body dysmorphic disorder dalam

gangguan somatoform sedangkan ICD-10 tidak. Dalam ICD-10 gangguan konversi

dimasukkan ke dalam gangguan disosiatif, dan ICD-10 juga merincikan yang disebut

disfungsi otonomik somatoform dan gangguan somatofrom jenis lainnya yang dalam

3

DSM-IV gejala-gejalanya mirip dengan gangguan cemas dan gangguan depresi. Dalam

ICD-10, body dysmorphic disorder dimasukkan ke dalam kelas hipokondriasis.4

III. Gangguan Somatisasi

1. Gangguan somatisasi merepresentasikan bentuk ekstrim dari gangguan

somatoform dimana gejala multipel yang melibatkan berbagai sistem organ tidak

dapat dijelaskan secara medis. 2

Beberapa bentuk kronis dari proses somatisasi tidak dapat memenuhi kriteria

gangguan somatisasi, sehingga dimasukkan dalam kategori gangguan

somatoform tidak terinci (lihat bab selanjutnya).

2. Prevalensi gangguan somatisasi adalah sebagai berikut :

a. Prevalensi sepanjang hidup 0,2-2% pada wanita dan 0,2% pada pria. Rasio

wanita : pria adalah 5:1. Onset biasanya dimulai saat remaja

b. Adanya asosiasi antara sexual abuse dengan gangguan somatisasi. Pada

pasien-pasien semacam ini gejala umumnya berupa nyeri pelvik kronik dan

gangguan gastrointestinal fungsional

3. Etiologi gangguan somatisasi adalah sebagai berikut :

a. Faktor Psikososial

Penyebab gangguan somatisasi tidak diketahui. Secara psikososial gejala

gangguan ini merupakan bentuk komunikasi sosial yang bertujuan untuk

menghindari kewajiban, mengekspresikan emosi, atau menyimpulkan

perasaan. Pengajaran orang tua, contoh orang tua, dan budaya dapat

mengakibatkan pasien terbiasa menggunakan somatisasi.1

b. Faktor Biologis

Transmisi genetik yang berperan dalam gangguan somatisasi terjadi pada 10-

20% wanita turunan pertama sedangkan saudara laki-lakinya cenderung

menjadi penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial. Pada

kembar monozigot transmisi terjadi 29% sedangkan dizigot 10%.1

4

4. Presentasi Klinis

Pasien yang memiliki gangguan somatisasi datang dengan keluhan somatik yang

banyak serta riwayat yang rumit. Bahkan terkadang pasien sudah melakukan

pemeriksaan dengan alat-alat canggih. Gejala umum yang dikeluhkan adalah

mual, muntah, sulit menelan, sakit pada lengan dan tungkai, nafas pendek,

amnesia, komplikasi kehamilan dan menstruasi. Pasien beranggapan ia sakit

sepanjang hidupnya. Sering terdapat gejala neurologik seperti gangguan

keseimbangan, merasa ada gumpalan di tenggorokan, afonia, retensi urin, hilang

modalitas sensorik raba dan nyeri, buta, bangkitan, hilang kesadaran bukan

karena pingsan. 1

Pasien merasa menderita dan sering mengalami depresi serta kecemasan.

Ancaman bunuh diri sering dilaporkan namun angka bunuh diri aktual sangat

jarang. Pasien gangguan somatisasi biasanya tampak mandiri, terpusat pada diri,

haus penghargaan, serta manipulatif.

5. Menurut DSM-IV-TR, gangguan somatisasi memiliki kriteria diagnosis sebagai

berikut1,2,3,4:

a. Riwayat gejala fisik yang banyak (atau suatu keyakinan bahwa dirinya sakit)

yang mulai sebelum usia 30 tahun, berlangsung selama beberapa tahun, dan

mengakibatkan perilaku mencari pertolongan medis (”medical seeking

behavior”) atau hendaya yang bermakna.

b. Kombinasi dari gejala-gejala yang tidak terjelaskan, yang terjadi kapanpun

selama perjalanan dari gangguan, yang semuanya harus dipenuhi. Gejala-

gejala yang dimaksud antara lain:

i. 4 gejala nyeri (melibatkan minimal 4 lokasi atau fungsi yang berbeda

meliputi kepala dan leher, abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada,

rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual, dan saat

berkemih)

ii. 2 gejala gastrointestinal selain nyeri (meliputi mual, kembung, muntah,

diare, dan intoleransi makanan)

5

iii.Satu gejala seksual (kehilangan keinginan seksual, disfungsi seksual,

mens ireguler, perdarahan mens yang berlebihan, muntah-muntah selama

hamil)

iv.Satu gejala pseudoneurologik yang bukan nyeri (meliputi gangguan

keseimbangan, kelemahan, kesulitan menelan, afonia, retensi urin,

halusinasi, pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang, disosiasi, dan

kehilangan kesadaran)

c. Gejala-gejala tersebut bukanlah akibat gangguan kondisi medis, ataupun kalau

terdapat gangguan kondisi medis, gejala dan efeknya pada pasien melebihi dari

apa yang biasanya dapat disebabkan gangguan kondisi medis tersebut.

d. Gejala-gejala tersebut bukanlah sesuatu yang dibuat-buat secara sengaja atau

berpura-pura

6. Diagnosis Diferensial

a. Gangguan medis dengan ciri gejala kronis yang multipel dan samar. Biasanya

penyakit-penyakit tersebut masuk dalam golongan infeksi kronis, neoplasma,

endokrin, reumatologik, dan neurologik. Macam-macam kemungkinan yang

dapat ditemukan2 :

i. Penyakit tiroid dan paratiroid

ii. Penyakit adrenal

iii. Porfiria

iv. Multipel Sklerosis

v. Lupus Eritematosus Sistemik dan bentuk vaskulitis lainnya

vi. Myasthenia gravis

vii. Endometriosis

viii. Fibromyalgia

ix. Gejala awal dari keganasan

6

x. Sifilis

xi. Penyakit Lyme

xii. Infeksi HIV

xiii. Sindroma Temporomandibular

xiv. Irritable bowel disease atau Inflammatory bowel disease

xv. Sindroma lelah kronik

b. Gangguan Psikiatrik relevan yang mungkin menjadi diagnosa diferensial

utama ataupun ko-morbid :

i. Schizophrenia dengan waham somatik multipel dan gangguan

delusional tipe somatik

i. Pada schizophrenia keluhan umumnya bersifat aneh-aneh, serta disertai

gejala khas psikotik seperti halusinasi dan gangguan berpikir yang

jelas.

ii. Pada gangguan delusional tidak terdapat gejala psikotik. Preokupasi

somatik yang spesifik ada tanpa gangguan berpikir serta lebih terkesan

masuk akal

ii. Gangguan panik : gejala fisik hanya saat episode serangan

iii. Malingering : terjadi ketika pasien hendak mendapatkan secondary

gain

iv. Gangguan Factitius : pasien tidak memiliki motif mendapatkan

secondary gain, namun menikmati menjadi orang sakit. Ia mengarang

gejala dan riwayat penyakit yang dideritanya

v. Depresi kronik

vi. Gangguan cemas umum dengan manifestasi somatik multipel

vii. Penyalahgunaan zat

7. Perjalanan Penyakit

7

Perjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik. Diagnosis biasanya

ditegakkan sebelum usia 25 tahun, namun gejala awal sudah dimulai saat remaja.

Masalah menstruasi merupakan gejala paling dini yang muncul pada wanita.

Keluhan seksual sering berkaitan dengan perselisihan dalam perkawinan. Periode

keluhan yang ringan 6-9 bulan, sedangkan yang berat 9-12 bulan. Biasanya

pasien sudah memulai mencari pertolongan medis sebelum 1 tahun.

8. Tatalaksana

a. Pendekatan untuk tatalaksana gangguan somatisasi harus bersifat realistis dan

berfokus pada care dan bukan cure.

b. Beberapa poin klinis yang bermanfaat, berdasarkan asumsi bahwa adanya

kebutuhan psikologis yang merupakan penyebab mendasar dari gangguan

somatisasi:

i. Pasien tidak selalu mencari kesembuhan tetapi mungkin menginginkan

adanya relasi dengan praktisi

ii. Pasien ingin dokter mengakui bahwa dirinya sakit

iii. Berikan reassurance (dukungan) secara lambat dan berhati-hati. Pasien

seringkali tidak suka dan menolak (resisten) dengan pernyataan-

pernyataan bahwa dirinya tidak sakit, bahwa gejalanya bersumber dari

emosi/psikis.

iv. Hindari dikotomi tubuh-pikiran dalam menginterpretasikan gejala

v. Tunjukkan kepedulian pada distress pasien dan tunjukkan keinginan

untuk menolong

vi. Hindari penjelasan prematur mengenai hubungan antara gejala fisik dan

fenomena psikologis. Lakukan penjelasan secara bertahap yang

membuat pasien mengerti dan menganggapnya serius. Hindari saran-

saran yang menyatakan bahwa segala masalah terletak dalam “kepala”

pasien

vii. Targetkan optimalisasi fungsi

8

Usahakan untuk mengerti sumber stres dan sarana coping, serta

tetapkan target untuk perilaku adaptasi yang lebih baik

Tanamkan agar pola perilaku dan komunikasi pasien jangan seperti

orang sakit terus menerus. Kapan saja bila memungkinkan,

bicarakan hal-hal lain dan diskusikanlah selain daripada gejala

fisik

Ajarkan bahwa adanya relasi erat antara tubuh, otak, dan pikiran

dengan menggunakan contoh-contoh sederhana yang bisa diterima

pasien (muka memerah bila merasa malu, mulut kering bila

berbicara di depan umum, sesak dan jantung berdegup cepat bila

cemas, sakit kepala bila tegang)

c. Buat jadwal pertemuan terencana, misalnya 1 bulan sekali

d. Batasi penggunaan alat diagnostik dan obat-obatan. Beberapa pemeriksaan

fisik yang terfokus dan pemeriksaan lab yang kadang-kadang saja sifatnya.

Tanda (sign) harus lebih diandalkan daripada gejala (symptoms)

e. Terapi kelompok dan terapi kognitif-perilaku dapat bermanfaat

f. Belum terdapat psikofarmaka yang efektif untuk mengatasi gejala gangguan

somatisasi, dan hanya dianjurkam bila terbukti ada komorbid gangguan

psikiatris lainnya.

9. Prognosis

Gangguan somatisasi cenderung bersifat kronis dan berfluktuasi. Remisi total

jarang tercapai. Dengan tatalaksana yang tepat maka distress dapat dikurangi

namun tidak dapat sama sekali dihilangkan.

IV. Gangguan Somatoform Tidak Terinci

Pasien yang memiliki riwayat gangguan somatisasi dan pada kunjungan tidak

memenuhi kriteria lengkap (jumlah dan lokasi spesifik) dari gangguan somatisasi

dimasukkan sebagai gangguan somatoform tidak terinci (undifferentiated somatoform

disorder), yang cirinya adalah4 :

9

a. Satu atau lebih gejala fisik selain nyeri (lelah, hilang nafsu makan, gejala

gastrointestinal atau berkemih)

b. Gejala bukan akibat kondisi medis umum, yang kalaupun ada, tidak diperkirakan

memiliki dampak yang sedemikian berlebihan pada pasien

c. Gejala bukan dibuat-buat dan disengaja

d. Durasi 6 bulan atau lebih

e. Bukan diakibatkan gangguan mental lain seperti depresi

V. Gangguan Konversi

1. Gangguan konversi didefinisikan sebagai kehilangan fungsi tubuh yang tidak

sesuai dengan konsep anatomi dan fisiologi dari sistem saraf pusat dan tepi.

DSM-IV membatasi gangguan konversi hanya pada gejala neurologik.

2. Epidemiologi

Data statistik yang dimiliki saat ini terbatas, dan angka prevalensi diperkirakan 1-

3% dari jumlah kunjungan rawat jalan. Angka berbeda untuk setiap jenis

populasi. 5-15% kasus gangguan konversi pada pasien yang memerlukan

konsultasi di sebuah rumah sakit umum dilaporkan oleh beberapa peneliti. Di

Amerika Serikat, terdapat rumah sakit veteran dimana 25-30% pasiennya

mengalami gangguan konversi. Gangguan konversi jauh lebih umum pada

wanita, populasi pedesaan, penduduk negara berkembang, orang-orang status

sosioekonomi rendah, anggota militer yang pernah terpapar medan perang, dan

pengetahuan medis yang rendah.

3. Etiologi

a. Faktor Psikoanalitik

Sesuai nama gangguan ini yaitu “konversi”, menurut teori psikoanalitik

pasien-pasien tersebut memiliki konflik alam bawah sadar yang tidak

terselesaikan. Konflik terjadi ketika muncul hasrat tetapi oleh alam bawah

sadar dikenali sebagai sesuatu yang terlarang. Konflik ini menimbulkan suatu

kecemasan yang kemudian demi mengurangi rasa cemas itu maka

10

dikonversikan menjadi gejala fisik yang sebetulnya adalah ekspresi samar dari

hasrat terlarang tersebut. Misalnya pasien gangguan konversi dengan gejala

vaginismus mengeluarkan gejala tersebut untuk melindungi pasien dari konflik

akibat hasrat seksual yang terlarang. Jadi dapat disimpulkan pada gangguan

somatoform gejala-gejalanya bersifat simbolik.

b. Faktor Pembelajaran

Ada teori yang menyebutkan gejala konversi dapat dilihat sebagai perilaku

yang dapat dipelajari secara classic conditioning.

c. Faktor Biologis

Terjadi hipometabolisme pada area hemisfer serebri yang dominan dan

hipermetabolisme pada area yang non-dominan

4. Gejala Klinis

Dapat terjadi berbagai macam gejala neurologis pada gangguan konversi.

Presentasi klinis yang dianggap paling umum adalah psychogenic non-epileptic

seizure (pseudoseizure). Gejala pseudoneurologik berupa kelemahan ekstremitas

lebih jarang. Gejala konversi yang ringan kadang-kadang terjadi, misalnya nyeri

dada pada saat kehilangan orang yang dicintai.

5. Kriteria Diagnosis

Kriteria diagnosis menurut DSM-IV adalah1,2,3,4 :

a. Satu atau lebih gejala atau defisit motorik volunter atau sensorik yang

diperkirakan sebagai suatu kondisi neurologis atau kondisi medik umum

lainnya

b. Faktor psikologis dinilai berkaitan dengan gejala dan defisit karena permulaan

atau eksaserbasi gejala dan defisit didahului stressor psikologis

c. Gejala atau defisit tidak dengan sengaja dibuat atau berpura-pura

d. Gejala atau defisit setelah cukup penelusuran tidak dapat dijelaskan secara

penuh sebagai kondisi medik umum atau sebagai akibat langsung dari zat, atau

secara kultural sebagai perilaku atau pengalaman penebusan.

11

e. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan atau hendaya yang bermakna

secara klinis di bidang sosial, pekerjaan atau fungsi lain atau menuntut

evaluasi medis

f. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi

semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan bukan karena

gangguan mental lainnya.

6. Diagnosis Diferensial

a. Gangguan Medis

Gangguan medis seperti yang tercantum dalam diferensial diagnosis untuk

gangguan somatisasi perlu dipertimbangkan sebelum membuat diagnosis

gangguan konversi

b. Gangguan Psikiatris

Lihat daftar yang sama pada bagian diferensial diagnosis untuk gangguan

somatisasi

7. Perjalanan Penyakit

Hampir semua gejala awal (90-100%) dari pasien dengan gangguan konversi

membaik dalam waktu beberapa hari sampai kurang dari sebulan. Sebanyak 75%

pasien tidak pernah mengalami gangguan ini lagi, namun 25% mengalami

episode tambahan saat stresor psikis muncul kembali. 1,2

8. Tatalaksana

Sebelum memulai tatalaksana kita perlu kembali pada pemahaman teori

gangguan konversi bahwa gejala merupakan suatu bentuk perlindungan pasien

terhadap kecemasan akibat konflik intrapsikik. Menghilangkan mekanisme

defense ini (misal melalui hypnosis) akan membuat pasien merasa rentan dan tak

berdaya, sehingga penanganan haruslah memperhatikan stresor psikologis yang

mendasari munculnya gejala konversi.2

a. Terapi non farmakologis

12

Sugesti yang kuat serta pendidikan yang empatik sangat penting. Mirip dengan

gangguan somatisasi pasien perlu diajarkan hubungan erat antara pikiran, otak,

dan tubuh. Dokter perlu berbicara secara apa adanya tentang definsi dan

pemahaman medis terkini mengenai gangguan konversi serta berbicara dengan

yakin bahwa gejala ini akan sembuh dengan cepat

b. Wawancara pasien dibawah pengaruh amobarbital atau hypnosis2

Ketika sugesti dan edukasi tidak berhasil dilakukan, maka teknik amobarbital

dan hypnosis dapat dicoba. Penggunaan teknik ini membutuhkan pelatihan dan

pengalaman, dapat membantu praktisi untuk memasuki wilayah konflik

intrapsikis yang sebelumnya ditutup oleh pasien. Selama masa “altered-state”

pasien dapat mengalami penurunan gejala karena efek relaksasi. Amobarbital

sendiri perlu diingat adalah obat anti kejang sehingga ia dapat mengurangi

gejala kejang akibat real-seizure.

i. Indikasi terapi ini :

Pemulihan fungsi pseudoneurologik

Membedakan gangguan konversi dengan malingering

Abreaksi gangguan strest pasca trauma

Pemulihan memory akibat fugue psikogenik dan amnesia

ii. Kontraindikasi terapi ini

Kontraindikasi absolut berupa riwayat alergi dan porfiria

Infeksi atau sumbatan saluran pernapasan

Gangguan fungsi jantung, liver dan renal yang berat

Kecanduan barbiturate

Hipotensi atau hipertensi yang significant

Minimal 12 jam sesudah minum alkohol terakhir bila ada

kecurigaan keracunan alkohol

13

Pasien paranoid

Pasien menolak prosedur

iii.Risiko dari terapi ini

Risiko utama adalah gangguan pernapasan yang dapat mengarah

kepada apneu, khususnya jika pemberian terlalu cepat

(>50mg/min) atau dosis terlalu besar (>500 mg)

Kolaps vasomotor dan laryngospasma, lebih jarang ditemukan

Regresi psikotik

c. Psikoterapi Psikodinamik

Dapat membantu pasien memahami konflik intrapsikis dan simbolisasi

9. Prognosis

Faktor-faktor yang membuat prognosis lebih baik antara lain onset yang akut,

stresor yang teridentifikasi, durasi gejala singkat, level kecerdasan pasien, gejala

kelumpuhan, gejala kebutaan. Pasien dengan gejala kejang atau tremor biasanya

memiliki prognosis lebih buruk. 1

VI. Hipokondriasis

1. Hipokondriasis didefinisikan sebagai seseorang yang berpreokupasi dengan

ketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang serius dan tidak mau

menerima penjelasan medis yang menunjukkan bahwa dirinya tidak menderita

sakit.1,2

2. Epidemiologi

Prevalensi hipokondriasis pada rawat jalan adalah 4-9%

3. Etiologi

Hipokondriasis disebabkan pasien memiliki skema kognitif yang salah. Pasien

menginterpretasikan sensasi fisik yang mereka rasakan secara berlebihan.

Menurut teori psikodinamik hipokondriasis terjadi karena permusuhan dan agresi

14

dipindahkan ke dalam bentuk somatik melalui mekanisme repression dan

displacement. Kemarahan yang dimaksud berasal dari kejadian penolakan dan

ketidakpuasan di masa lalu. Selain kemarahan, dapat juga penyebabnya adlaah

rasa bersalah dan gejala timbul karena pasien ingin menebus kesalahannya

melalui penderitaan somatik.

4. Gambaran Klinik

Pasien terus merasa dirinya menderita penyakit serius yang belum bisa dideteksi

walaupun hasil laboratorium sudah menyatakan negatif dan dokter sudah

meyakinkan bahwa pasien tidak mengidap sakityang serius.

5. Diagnosis

Diagnosis berdasarkan DSM-IV, kriteria diagnosis hipokondriasis adalah sebagai

berikut1,2,3,4 :

a. Preokupasi dengan ketakutan atau ide bahwa seseorang mempunyai penyakit

serius berdasarkan interpretasi yang salah terhadap gejala-gejala tubuh

b. Preokupasi menetap meskipun telah dilakukan evaluasi medik dan

penentraman

c. Keyakinan pada kriteria A tidak mempunyai intensitas seperti waham

d. Preokupasi menimbulkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau

hendaya dlaam bidang sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya

e. Lamanya gangguan sekurangnya 6 bulan

f. Preokupasi bukan disebabkan gangguan cemas menyeluruh, gangguan obsesif

kompulsif, gangguan panik

6. Diferensial Diagnosis

a. Gangguan Medis

i. Gangguan reumatologik, endokrinologik, infeksi, neoplasma, neurologik

harus disingkirkan sebelum mendapatkan diagnosis hipokondriasis

15

ii. Komorbid yang sering adalah fibromyalgia, irritable bowel syndrome,

chronic fatigue syndrome, dan TMJ syndrome

b. Gangguan Psikiatrik

i. Gangguan Obsesif-Kompulsif

ii. Gangguan Afektif

iii. Demensia

iv. Skizofrenia

v. Gangguan delusional tipe somatik

vi. Body Dysmorphic Disorder

vii. Malingering

viii. Gangguan Somatoform lain

7. Perjalanan Penyakit

Perjalanan penyakit hipokondriasis biasanya episodik, yang durasinya setiap

episode berkisar antara bulan-tahun. Dapat terjadi periode tenang di antara

episode-episode.

8. Tatalaksana

a. Kesabaran dan reassurance adalah kunci sebab pasien hipokondriasis sering

menggunakan sumber daya medis dan menguras waktu dokter

b. Psikoterapi

i. Psikoterapi psikoanalitik umumnya tidak bermanfaat

ii. Terapi Suportif bermanfaat bila didukung hal-hal berikut :

Ada informasi akurat mengenai gejala

Edukasi mengenai mispersepsi dan misinterpretasi gejala dan

sensasi somatik

16

Kunjungan dan pemeriksaan fisik secara berkala

Reassurance

Penggunaan anxiolytic singkat selama periode stress tinggi

iii. Terapi Kognitif-Perilaku (CBT) merupakan bentuk psikoterapi pilihan

c. Farmakoterapi

`Obat golongan SSRI bermanfaat pada pasien dengan hipokondriasis terisolasi

(tanpa ko-morbid psikiatris seperti gangguan cemas atau panik). Fluoxetine

atau paroxetine dengan dosis max 60 mg/h dan dapat juga sertraline dosis

minimal 150 mg/h.

9. Prognosis

Hipokondriasis cenderung menjadi kronis dengan periode remisi dan eksaserbasi

yang dipicu stres. Prognosis yang baik berkaitan dengan status sosial ekonomi

yang tinggi, pengobatan terhadap cemas dan depresi yang responsif, onset gejala

mendadak, tidak ada gangguan kepribadian, dan tidak ada gangguan medis non-

psikiatrik yang terkait. Bila yang menderita hipokondriasis adalah anak-anak

maka akan membaik saat remaja atau dewasa awal.1

VII. Gangguan Nyeri

1. Menurut DSM-IV gangguan nyeri adalah nyeri yang merupakan keluhan utama

dan menjadi fokus perhatian klinis. Faktor psikologislah yang berperan dalam

pengalaman nyeri pasien dan perilaku mencari pertolongan medis.1

2. Epidemiologi

Sekitar 7 juta orang di Amerika mengeluhkan hendaya akibat nyeri pinggang

bawah. Gejala nyeri sendiri merupakan gejala paling umum yang akan dijumpai

dalam praktek kedokteran. Waspadai keluhan nyeri akibat ketergantungan opioid

dan benzodiazepine iatrogenik. Nyeri kronik biasanya dikaitkan dengan gejala

depresi berat (25-50%), atau dystimia (60-100%) .

3. Etiologi

17

a. Faktor Psikodinamik

i. Bentuk ekspresi konflik intrapsikis secara simbolik melalui tubuh.

ii. Pasien dengan aleksitimia tidak mampu perasaannya secara verbal

sehingga menggunakan tubuh untuk mengekspresikan diri

iii. Beberapa orang menganggap luka emosional sebagai kelemahan

sehingga memindahkan (displacing) masalah pada tubuh

iv. Bisa juga sebagai bentuk penebusan terhadap rasa berdosa atau bersalah

v. Cara untuk mencari cinta

b. Faktor perilaku

Perilaku nyeri diperkuat ketika pasien dihargai atau dicemaskan dan dihambat

ketika pasien diabaikan

c. Faktor interpersonal

Nyeri yang sulit diobati dapat menjadi sarana untuk memanipulasi hubungan

interpersonal, misalnya memastikan kesetiaan pasangan untuk

mempertahankan perkawinan yang rapuh

d. Faktor Biologis

Defisiensi endorfin dapat menjadi penyebab. Demikian juga pada pasien

dengan kelainan struktur limbik dan sensorik, abnormalitas tersebut dapat

menjadi faktor predisposisi.

4. Gambaran klinis

Pasien dengan gangguan nyeri akan datang dengan keluhan utama nyeri di

berbagai lokasi biasanya nyeri pinggang bawah, nyeri kepala, nyeri fasial

atipikial. Pasien umumnya punya riwayat panjang perawatan medis dan

pembedahan. Banyak yang mengunjungi beberapa dokter, meminta obat dalam

jumlah besar, bahkan mendesak pembedahan.

5. Kriteria Diagnosis

18

Berdasarkan DSM-IV1,2,3,4

a. Nyeri pada satu tempat atau lebih yang menjadi fokus utama dan cukup berat

untuk menjadi perhatian klinis

b. Nyeri menyebabkan penderitaan klinis bermakna atau hendaya dalam bidang

sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya

c. Faktor psikologis berperan penting dalam awitan, keparahan, eksaserbasi, atau

bertahannya nyeri

d. Gejala atau defisit tidak dibuat dengan sengaja atau berpura-pura

e. Nyeri tidak dapat dijelaskan sebagai akibat gangguan mood, cemas, atau

psikotik, dan tidak memenuhi kriteria dispareunia.

Beri kode sebagai berikut :

- Gangguan nyeri berasosisasi dengan faktor psikologis : dimana faktor

psikologis dinilai mempunya peranan dalam awitan, keparahan, eksaserbasi,

atau bertahannya nyeri. Bilamana ada gangguan medis umum hal tersebut

dinilai tidak berperan dalam gejala nyeri yang ditimbulkan

- Gangguan nyeri berasosiasi baik dengan faktor psikologis maupun kondisi

medik umum. Gangguan medis umum yang dimaksud perlu dicantumkan pada

Axis III pada bagan diagnosis multiaksial

Selanjutnya juga perlu digolongkan apakah berdasarkan perjalanannya

gangguan nyeri ini bersifat akut atau kronik, dengan kriteria akut < 6 bulan

dan kronik 6 bulan atau lebih.

6. Diagnosis Diferensial

a. Gangguan nyeri berasosiasi dengan kondisi medik umum

b. Gangguan somatisasi yang menonjol gejala nyerinya

c. Hipokondriasis

d. Malingering

19

7. Perjalanan Klinis

Nyeri muncul secara tiba-tiba dan derajat keparahan meningkat dalam beberapa

minggu atau bulan

8. Tatalaksana

a. Kenali dan tangani semua gangguan medis umum yang mungkin berkontribusi

terhadap gejala nyeri

b. Seperti pada gangguan somatisasi dan hipokondriasis, target tatalaksana

bukanlah kesembuhan melainkan perawatan, sebab tidak mungkin

menghilangkan nyeri

c. Terapis perlu mendiskusikan sejak awal bahwa sumber nyeri pasien adalah

psikogenik, menjelaskan berbagai sirkuit dalam otak yang terlibat dengan

emosi seperti sistem limbik akan mempengaruhi sensorik. Namun terapis

harus memahami bahwa nyeri yang dialami pasien sebagai sesuatu yang nyata

d. Klinik nyeri (pain clinic) dengan pendekatan multidisipliner sering

bermanfaat, sekaligus menunjukkan pada pasien bahwa penderitaan mereka

ditangani secara serius

e. Terapi perilaku yang membimbing pasien untuk menerima rasa nyeri dan

mengoptimalisasi fungsi mereka walaupun tetap ada rasa nyeri

f. Farmakoterapi yang dapat menolong adalah golongan antidepresan trisiklik

dan SSRI. Golongan analgetik, sedatif, dan anticemas tidak bermanfaat bahkan

dapat menimbulkan ketergantungan dan memperparah gejala.

9. Prognosis

Prognosis umumnya kronik dan pada akhirnya menimbulkan penderitaan dan

ketidakberdayaan.

VIII. Body Dysmorphic Disorder

1. Pasien dengan Body Dysmorphic Disorder (BDD) mempunyai perasaan subyektif

pervasif bahwa penampilannya buruk padahal penampilannya normal atau bahkan

20

baik. Inti dari kelainan ini adalah bahwa pasien berkeyakinan kuat bahwa dirinya

tidak menarik atau menjijikkan. Keyakinan ini sulit diredakan dengan pujian atau

penentraman. Pasien biasanya mencari ahli kulit, bedah plastik, atau internis. 2

2. Epidemiologi

Penelitian untuk gangguan ini minim karena pasien umumnya tidak ke psikiater.

Awitan umumnya 15-30 tahun dan terjadi pada wanita lebih banyak daripada

pria. Ada penelitian yang mengatakan bahwa 90% pasien BDD pernah

mengalami satu episode depresi berat, 70% mengalami gangguan cemas, dan

30% mengalami gangguan psikotik.

3. Etiologi

Penyebab penyakit ini belum banyak diketahui. Konsep stereotipik dengan keindahan

tubuh yang dianut dalam keluarga atau masyarakat berpengaruh besar pada pasien

BDD. Menurut teori psikodinamik, BDD disebabkan konflik seksual atau

emosional yang dipindahkan ke organ tubuh lain yang tak terkait.

4. Gambaran klinis

Pasien mengeluhkan bagian tubuh tertentu yang paling sering ialah wajah dan

hidung, rambut, buah dada, dan genitalia. Ada penelitian menyatakan pasien

mengeluhkan 4 bagian tubuh selama penyakit berlangsung. Varian pada pria

adalah usaha untuk memperbesar otot-ototnya sampai menganggu kehidupan

sehari-hari. Pasien seringkali mempunya kepribadian dengan ciri obsesif-

kompulsif, skizoid, dan narsistik.1

5. Kriteria Diagnosis

BDD menurut DSM-IV :

a. Preokupasi dengan cacat yang dikhayalkan, kalaupun ada anomali ringan,

keprihatinannya sangat berlebihan

b. Preokupasinmya mengakibatkan penderitaan dan hendaya yang bermakna

secara klinis di bidang sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya

21

c. Preokupasinya bukan karena gangguan mental lainnya, seperti ketidakpuasan

bentuk dan ukuran tubuh pada anoreksia nervosa

6. Diagnosis Diferensial

a. Depresi

b. OCD. Memiliki kemiripan secara fenomena maupun neurobiologis dengan

BDD. Pasien BDD akan berulangkali melihat tubuhnya di cermin dan

memakan waktu berjam-jam untuk memikirkan penampilan mereka.

c. Anorexia nervosa.

d. Transeksualisme

e. Skizofrenia dengan delusi somatik

f. Gangguan waham, tipe somatik

7. Perjalanan Klinis

Awitan bertahap, dimana kepedulian tehadap bagian tubuh tertentu akan semakin

menjadi-jadi sehingga mencari bantuan medis atau operasi untuk mengatasinya.

Derajat kepedulian dapat meningkat atau menyusut, tetapi umumnya menjadi

kronis bila tidak diobati.1

8. Tatalaksana

a. Tidak ada bukti bahwa bila permintaan bedah plastik dilakukan akan

memperbaiki persepsi pasien tentang cacat tubuhnya. Tindakan bedah harus

dihindari bila BDD dicurigai

b. Terapi kognitif-perilaku paling efektif diantara opsi jenis psikoterapi lain

c. Obat yang dipakai untuk gangguan obsesif-kompulsif seperti SSRI dan

Clomipramine dapat memberi kelegaan pada pasien BDD

d. Golongan antipsikotik dapat diberi bila muncul gejala psikotik

e. Karena BDD sering komorbid dengan depresi, maka dalam kasus-kasus seperti

ini pengggunaan antidepresan dapat dibenarkan

22

IX. Gangguan Somatoform yang tidak tergolongkan

Kategori ini adalah suatu kategori untuk pasien yang memiliki gejala diperkirakan

sebagai gangguan somatoform tetapi tidak memenuhi kriteria spesifik untuk salah satu

jenis gangguan somatoform. Bisa jadi pasien tersebut memiliki gejala yang tidak ada

pada kategori lain seperti pseudocyesis atau tidak memenuhi kriteria waktu 6 bulan4.

Kriteria Diagnosis kategori Gangguan somatoform tidak tergolongkan (somatoform

disorders not otherwise specified) berdasarkan DSM-IV TR antara lain4 :

a. Pseudocyesis. Suatu kepercayaan yang salah bahwa diri sedang hamil diikuti

tanda obyektif kehamilian seperti pembesaran abdomen, berkurangnya aliran

mens, amenorea, sensasi subjektif gerakan fetal, mual, perbesaran dan sekresi

payudara, nyeri seperti mau melahirkan pada hari perkiraan kelahiran. Dapat

terjadi perubahan endokrin tetapi tidak dapat dijelaskan melalui penjelasan

medis umum seperti adanya tumor pensekresi hormon

b. Gangguan melibatkan gejala hipokondriasis non-psikotik dengan durasi

kurang dari 6 bulan

c. Gangguan melibatkan gejala fisik yang tak dapat dijelaskan dalam durasi

kurang dari 6 bulan dan bukan disebabkan gangguan mental lain

X. Kesimpulan

Gangguan somatoform adalah jenis gangguan mental dimana terdapat proses somatisasi

sehingga konflik intra-psikis dimanifestasikan sebagai gejala fisik. Gejala fisik

merupakan keluhan utama pasien, yang tidak disebabkan atau dijelaskan sepenuhnya

oleh gangguan kondisi medis umum lainnya ataupun gangguan mental lainnya.

Perjalanan klinis gangguan-gangguan yang termasuk dalam gejala ini umumnya kronis

dan cenderung berulang atau menetap. Tatalaksana diarahkan pada management dan

bukan cure. Edukasi, dukungan, dan psikoterapi bermanfaat dalam membantu

meringankan gejala. Psikofarmaka dapat bermanfaat pada beberapa jenis gangguan

tetapi tidak pada jenis lainnya.

23

XI. Daftar Pustaka

1. Elvira, S. D., & Hadisukanto, G. (2010). Gangguan Somatoform. Jakarta: FKUI.

2. Goldberg, R. M. (2007). Practical Guide to the Care of the Psychiatric Patient.

Philadelphia: Elsevier Mosby.

3. Maslim, R. (2003). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta:

Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.

4. Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2007). Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:

Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott

William&Wilkins.

24