76411431-MAKALAH-KEP
-
Upload
puput-indah-pratiwi -
Category
Documents
-
view
16 -
download
1
Transcript of 76411431-MAKALAH-KEP
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengertian Kurang Energi Protein (KEP)
Kurang energi protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh
rendahnya konsumsi energi protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak
memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG). Anak disebut KEP apabila berat badannya
kurang dari 80% indeks BB untuk baku standar WHO-NCHS (Depkes RI, 1998).
Berikut ini merupakan klasifikasi KEP menurut Departemen Kesehatan (1975)
yang disajikan dalam bentuk tabel.
Tabel 1
Klasifikasi KEP menurut Dep.Kes. (1975)
Derajat KEP Berat badan
% dari baku *
0 = normal
1 = gizi kurang
2 = gizi buruk
80 %
60-79 %
< 60 %
*Sebagai baku patokan dipakai persentil 50 Harvard
Pengelompokan gizi kurang menurut Z - skore dalam tiga kategori :
a. Gizi kurang tingkat ringan ( nilai Z_BBU - 2,5 SD dan < - 2,0 SD )
b. Gizi kurang tingkat sedang (nilai Z_BBU 3,0 SD dan < 2,5 SD )
c. Gizi kurang tingkat buruk (nilai Z_BBU < - 3,0 SD )
Secara umum KEP terbagi menjadi 2 bagian diantaranya, KEP ringan yang
sering disebut dengan istilah kurang gizi dan KEP berat yang sering disebut dengan
istilah gizi buruk yang termasuk di dalamnya adalah marasmus, kwashiorkor (sering
juga diistilahkan dengan busung lapar atau HO), dan marasmik-kwashiorkor.
2
a. Kurang gizi
Penyakit ini paling banyak menyerang anak balita, terutama di negara-negara
berkembang. Gejala kurang gizi ringan relatif tidak jelas, hanya terlihat bahwa berat
badan anak tersebut lebih rendah dibanding anak seusianya. Rata-rata berat
badannya hanya sekitar 60-80% dari berat ideal. Adapun ciri-ciri klinis yang biasa
menyertainya antara lain:
Kenaikan berat badan berkurang, terhenti, atau bahkan menurun
Ukuran lingkaran lengan atas menurun.
Maturasi tulang terlambat.
Rasio berat terhadap tinggi, normal atau cenderung menurun.
Tebal lipat kulit normal atau semakin berkurang.
b. Gizi buruk
1. Marasmus
Marasmus adalah suatu keadaan kekurangan protein dan kilokalori yang kronis.
Anak-anak penderita marasmus secara fisik mudah dikenali. Marasmus biasanya
terjadi pada bayi umur 6-18 bulan. Meski masih anak-anak, wajahnya terlihat tua,
sangat kurus karena kehilangan sebagian lemak dan
otot-ototnya. Penderita marasmus berat akan menunjukkan perubahan mental,
bahkan hilang kesadaran. Dalam stadium yang lebih ringan, anak umumnya jadi
lebih cengeng dan gampang menangis karena selalu merasa lapar. Selain itu
marasmus juga terjadi pada kelompok usila yang dirawat di RS yang terpisah. Ada
pun ciri-ciri lainnya adalah:
Kurus kering
Tampak hanya tulang dan kulit
Otot dan lemak bawah kulit atropi (mengecil)
Wajah seperti orang tua
Berkerut/keriput
Layu dan kering
Berat badannya kurang dari 60% berat anak normal seusianya.
Beberapa di antaranya memiliki rambut yang mudah rontok.
3
Tulang-tulang terlihat jelas menonjol.
Sering menderita diare atau konstipasi.
Tekanan darah cenderung rendah dibanding anak normal, dengan kadar
hemoglobin yang juga lebih rendah dari semestinya.
2. Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah istilah pertama dari Afrika, artinya sindroma perkembangan
anak dimana anak tersebut disapih tidak mendapatkan ASI sesudah satu tahun
karena menanti kelahiran bayi berikutnya. MP-ASI sebagian besar terdiri dari pati
atau gula, tetapi kurang protein baik kualitas dan kuantitasnya. Kwashiorkor sering
juga diistilahkan sebagai busung lapar atau HO. Penampilan
anak-anak penderita HO umumnya sangat khas, terutama bagian perut yang
menonjol. Berat badannya jauh di bawah berat normal. Edema stadium berat
maupun ringan biasanya menyertai penderita ini. Beberapa ciri lain yang menyertai
diantaranya :
Perubahan mental menyolok.
Banyak menangis, bahkan pada stadium lanjut anak terlihat sangat pasif.
Penderita nampak lemah dan ingin selalu terbaring
Anemia.
Diare dengan feses cair yang banyak mengandung asam laktat karena
berkurangnya produksi laktase dan enzim penting lainnya.
Kelainan kulit yang khas, dimulai dengan titik merah menyerupai petechia
(perdarahan kecil yang timbul sebagai titik berwarna merah keunguan, pada kulit
maupun selaput lendir, Red.), yang lambat laun kemudian menghitam. Setelah
mengelupas, terlihat kemerahan dengan batas menghitam. Kelainan ini biasanya
dijumpai di kulit sekitar punggung, pantat, dan sebagainya.
Pembesaran hati. Bahkan saat rebahan, pembesaran ini dapat diraba dari luar
tubuh, terasa licin dan kenyal.
4
3. Marasmik-kwashiorkor
Penyakit ini merupakan gabungan dari marasmus dan kwashirkor dengan gabungan
gejala yang menyertai :
Berat badan penderita hanya berkisar di angka 60% dari berat normal. Gejala
khas kedua penyakit tersebut nampak jelas, seperti edema, kelainan rambut,
kelainan kulit dan sebagainya.
Tubuh mengandung lebih banyak cairan, karena berkurangnya lemak dan otot.
Kalium dalam tubuh menurun drastis sehingga menyebabkan gangguan
metabolik seperti gangguan pada ginjal dan pankreas.
Mineral lain dalam tubuh pun mengalami gangguan, seperti meningkatnya kadar
natrium dan fosfor inorganik serta menurunnya kadar magnesium.
1.2 Akibat Kurang Energi Protein (KEP)
Ada banyak hal merugikan yang diakibatkan oleh KEP, antara lain yaitu
merosotnya mutu kehidupan, terganggunya pertumbuhan, gangguan perkembangan
mental anak. Serta merupakan salah satu penyebab dari angka kematian yang tinggi
(Shadi, 2000). Anak yang menderita KEP apabila tidak segera ditangani sangat berisiko
tinggi, dan dapat berakhir dengan kematian anak. Hal ini menyebabkan meningkatnya
kematian bayi yang merupakan salah satu indikator derajat kesehatan (Latinulu, 2000).
Menurut Jalal (1998) dikatakan bahwa dampak serius dari kekurangan gizi
adalah timbulnya kecacatan, tingginya angka kecacatan dan terjadinya percepatan
kematian. Dilaporkan bahwa lebih dari separuh kematian anak di negara berkembang
disebabkan oleh KEP. Anak-anak balita yang menderita KEP ringan mempunyai resiko
kematian dua kali lebih tinggi dibandingkan anak normal. Hal ini didukung oleh Sihadi
(1999) yang menyatakan bahwa kekurangan gizi diantaranya dapat menyebabkan
merosotnya mutu kehidupan, terganggunya pertumbuhan, gangguan perkembangan
mental anak, serta merupakan salah satu sebab dari angka kematian yang tinggi pada
anak-anak.
Anak-anak dengan malnutrisi dini mempunyai peluang lebih tinggi untuk
mengalami retardasi pertumbuhan fisik jangka panjang, perkembangan mental yang
5
suboptimal, dan kematian dini bila dibandingkan dengan anak-anak yang normal.
Malnutrisi juga dapat mengakibatkan retardasi pertumbuhan fisik yang pada gilirannya
berhubungan dengan resiko kematian yang tinggi (Karyadi, 1971)
Hal tersebut didukung oleh Astini (2001) yang menyatakan bahwa pada masa
pascanatal sampai dua tahun merupakan masa yang amat kritis karena terjadi
pertumbuhan yang amat pesat dan terjadi diferensiasi tinggi pada semua organ tubuh.
Gangguan yang terjadi pada masa ini akan menyebabkan perubahan yang menetap
pada struktur anatomi, biokimia, dan fungsi organ. Jadi setiap gangguan seperti
buruknya status gizi dapat menghambat beberapa aspek pertumbuhan organ.
Kekurangan gizi juga dapat mempengaruhi bayi secara psikologis, menyebabkan
apatis, depresi, keterlambatan perkembangan, dan menarik diri dari lingkungan.
Hubungan KEP dengan penyakit infeksi dapat dijelaskan melalui mekanisme
pertahanan tubuh yaitu pada balita yang KEP terjadi kekurangan masukan energi dan
protein ke dalam tubuh sehingga kemampuan tubuh untuk membentuk protein baru
berkurang. Hal ini kemudian menyebabkan pembentukan kekebalan tubuh seluler
terganggu, sehingga tubuh menderita rawan serangan infeksi (Jeliffe, 1989).
KEP menimbulkan efek pada perkembangan mental dan fungsi intelegensia
(Jalal dan Atmaja, 1998). Hal ini didukung oleh penelitian Husaini (1997) yang
menyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada waktu dalam kandungan dan masa bayi
akan menyebabkan perkembangan intelektual rendah. Fakta menunjukkan bahwa bayi
KEP berat mempunyai ukuran besar otak 15-20% lebih kecil dibandingkan dengan bayi
normal. Apabila terjadi kurang gizi sejak dalam kandungan, maka defisit volume otak
bisa mencapai 50%. Hasil penelitian Azwar (2001) menemukan bahwa pada anak
sekolah yang mempunyai riwayat gizi buruk pada masa balita IQ-nya rendah sekitar 13-
15 poin dibandingkan dengan yang normal.
1.3 Epidemiologi Kurang Energi Protein (KEP)
Berdasarkan hasil penyelidikan di 254 desa di seluruh Indonesia, Tarwotjo dkk
(1978) memperkirakan bahwa 30% atau 9 juta diantara anak-anak balita menderita gizi-
kurang, sedangkan 3% atau 0,9 juta anak-anak balita menderita gizi buruk. Laporan
6
yang lebih baru yang tercantum dalam “Rekapitulasi Data Dasar Desa Baru UPGK
1982/1983” menunjukkan bahwa prevalensi penderita KEP di Indonesia belum
menurun. Hasil pengukuran secara antropometri pada anak-anak balita dari 642 desa
menunjukkan angka-angka sebagai berikut : diantara 119.463 anak balita yang diukur,
terdapat status gizi baik 57,1%, gizi kurang 35,9%, dan gizi buruk 5,9%. Akan lebih
prihatin lagi jika kita melihat hasil pengukuran di beberapa desa di Propinsi Kal-Sel, Kal-
Bar, Sul-Teng, DKI Jaya, yakni terdapat angka : gizi-baik dibawah 50%, sedangkan
angka gizi buruk diatas 10%.
Keadaan status gizi Balita di Indonesia 1995-1998
1. Prevalensi gizi kurang pada anak usia 0-59 bulan
Dari pemantauan gizi (PKG) tahun 1995-1998 yang dilakukan oleh kelompok
Gizi kesehatan Masyarakat Departemen RI, mulai dari krisis moneter hingga 1998 (4
tahun) pada 12 dari 26 provinsi yang mempunyai data lengkap tidak menunjukkan
perubahan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dengan nilai rata-rata intake
energi sebesar 2150 kkal dan 46,2 gram protein yang mendekati nilai AKG. Namun
demikian, terdapat 43-50 persen rumah tangga masih mengkonsumsi energi kurang
dari 1.500 kkal dan antara 23-35 persen masih mengkonsumsi kurang dari 32 gram
protein per kapita per hari semenjak tahun 1995. Dari hasil pemantauan konsumsi gizi
dalam kurun waktu 1995-1998 terlihat ada penurunan prevalensi gizi kurang, yaitu dari
28,3 persen menjadi 25,4 persen dengan kecepatan penurunan 2,9 persen pertahun
dan penurunan ini meliputi tingkat desa dan kota. Harapan penurunan prevalensi gizi
buruk di Indonesia dipertahankan hingga 1persen pertahun, tetapi penurunan
prevalensi gizi kurang dari 28,3 persen menjadi 25,4 persen tersebut masih tergolong
tinggi dibanding dengan negara-negara tetangga (Malaysia, Filipina, dan Thailand)
yang besarnya 20 persen pada tahun yang sama. Oleh karenaitu, indikasi ini
menunjukkan bahwa gizi kurang di Indonesia masih merupakan masalah. Tahun 1999
pada akhir PELITA VI, prevalensi gizi kurang menunjukkan penurunan menjadi 16
persen, tetapi penurunan ini masih lebih tinggi dari target.
7
2. Prevalensi gizi kurang pada anak usia 6-17 bulan dan 6-23 bulan
Kelompok umur 6-17 bulan dan 6-23 bulan adalah kelompok umur yang
merupakan saat periode pertumbuhan kritis dimana pertumbuhan dapat mengalami
kegagalan tumbuh (growth failure). Kelompok ini yang sering tertimpa kurang gizi akibat
suatu bencana di negara sedang berkembang. (Tabel 2).
Tabel 2
Prevalensi Gizi Buruk menurut Usia dan Tingkat Daerah
Daerah Usia anak 6-17 bulan Prevalensi Usia 6-23 bulan % penurunan
Prevalensi Gizi kurang
Kota 25,8 % (1989) - 21,0 % (1995)
22,7 % (1998) – 17,5 % (1999)
1989-1995 7,9
1995-1998 0,5
1999 3,8
Desa 35,3 % (1989) – 26,9 % (1995)
28,6 % (1998) – 24,6 % (1999)
Prevalensi gizi kurang secara
umum penurunannya sedikit
lebih tinggi daripada di kota
Kota + Desa 33,0 % (1989) – 25,4 % (1995)
26,3 % (1998) – 22,5 % (1999)
Sumber : Jahari, Sandjaya, Sudirman, Soekirman, Jus’at, Jalal, Latief, dan Atmarita (WNPG, 2000)
Keadaan gizi balita yang tinggal di pedesaan cenderung lebih buruk dibanding
balita yang tinggal di perkotaan; dan keadaan gizi balita perempuan relatif lebih baik
dibanding balita laki-laki.
Pada tingkat makro, besar dan luasnya masalah KEP sangat erat kaitannya
dengan keadaan ekonomi secara keseluruhan. Peningkatan angka prevalensi KEP
pada balita, dari data Susenas, seiring sejalan dengan menurunnya jumlah penduduk
dengan pendapatan di bawah garis kemiskinan. Dengan perkataan lain, anggota
rumahtangga dari kelompok rawan biologis sekaligus memberikan gambaran
ketersediaan pangan, dan rawan biologis memiliki resiko kurang energi protein.
Pada tingkat mikro (rumah tangga/individu), tingkat kesehatan terutama penyakit
infeksi yang juga menggambarkan keadaan sanitasi lingkungan merupakan faktor
penentu status gizi.
8
UPGK dan Posyandu merupakan program yang secara khusus dilaksanakan
untuk menurunkan prevalensi KEP. Peningkatan kedua program ini berdampak positif
untuk menurunkan prevalensi KEP. Meskipun demikian keterlibatan aktif masyarakat,
organisasi wanita, LSM dan perbaikan keadaan ekonomi mempunyai andil yang besar
didalam keberhasilan meningkatkan status gizi balita.
Kegiatan utama program UPGK (dari aspek gizi) yang dilaksanakan sampai saat
ini berupa penimbangan balita, penyuluhan gizi (KIE), peningkatan pemanfaatan
pekarangan, pemberian makanan, pemberian oralit, pemberian kapsul vit.A takaran
tinggi, pemberian pil besi kepada ibu hamil. Kegiatan ini melibatkan beberapa lembaga
terkait yang mempunyai tugas dan tanggung jawab saling menopang untuk
keberhasilan program. Pelaksanaan di tingkat desa atau di tingkat yang lebih kecil
dikoordinasikan dalam bentuk Posyandu.
Keterlibatan masyarakat sangat diharapkan dan sekaligus menentukan di dalam
pembentukan dan pelaksanaan Posyandu. Hal ini disebabkan keterbatasan tenaga
kesehatan yang tersedia dan luasnya. Dengan demikian, peran kader desa yang telah
dilatih serta tokoh masyarakat setempat sangat menentukan kelangsungan
pelaksanaan posyandu.
1.4 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
Apa saja faktor penyebab terjadinya KEP ?
Bagaimana cara pengukuran status KEP ?
Bagaimana pencegahan dan penanggulangan KEP ?
1.5 Tujuan penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah :
Untuk mengetahui penyebab dari Kurang Energi Protein (KEP).
Untuk mengetahui cara pengukuran status Kurang Energi Protein (KEP).
Untuk mengetahui upaya pencegahan dan penanggulangan Kurang Energi Protein
(KEP).
9
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penyebab Kurang Energi Protein (KEP)
Menurut buku karya dr. Arisman, MB dengan judul “Gizi Dalam Daur
Kehidupan” pada hal.93-94 menyebutkan bahwa terdapat 4 faktor yang
melatarbelakangi KEP, yaitu masalah sosial, ekonomi, biologi, dan lingkungan. Berikut
disajikan dalam bentuk bagan.
BAGAN 1
PENYEBAB KEP
SOSIAL
EKONOMI
LINGKUNGAN
Diet rendah
energy dan
protein
Penyakit infeksi
Bencana alam,
perang, dan
migrasi
Budaya yang
menabukan
makanan
tertentu
Pendidikan Malnutrisi ibu
BIOLOGI
Tempat tinggal
kumuh, tidak
sehat, dan tidak
bersih
Kemiskinan
KEP
Sumber : dr. Arisman, MB (2004)
10
a. Masalah Sosial-Budaya
Ketidaktahuan baik yang berdiri sendiri maupun yang berkaitan dengan
kemiskinan, menimbulkan salah paham tentang cara merawat bayi dan anak
yang benar, juga salah mengerti mengenai penggunaan, pemberian bahan
makanan bagi bayi, balita dan anggota keluarga yang sedang sakit.
Budaya yang menabukan makanan tertentu terutama terhadap balita, ibu
hamil, dan ibu menyusui.
Bencana alam, perang, dan migrasi paksa telah terbukti menggangu
distribusi pangan.
b. Masalah Ekonomi
Kemiskinan mengakibatkan ketidakmampuan mengakses fasilitas kesehatan,
ketiadaan penyediaan pangan di tingkat rumah tangga.
c. Masalah Biologi
Komponen biologi yang melatarbelakangi KEP adalah malnutrisi ibu, baik
sebelum maupun setelah hamil, penyakit infeksi, serta diet rendah energy
dan protein.
Seorang ibu yang mengalami KEP dalam kurun waktu tertentu tersebut pada
gilirannya akan melahirkan bayi BBLR.
Penyakit infeksi berpotensi sebagai penyokong atau pembangkit KEP.
Penyakit diare, campak, Infeksi saluran napas kerap menghilangkan nafsu
makan. Penyakit saluran pencernaan yang sebagian muncul dalam bentuk
muntah dan gangguan penyerapan yang menyebabkan kehilangan zat-zat
gizi dalam jumlah besar.
d. Masalah Lingkungan
tempat mukim yang berdempetan, kumuh, tidak sehat, tidak bersih
mengakibatkan infeksi sering terjadi.
11
Menurut buku dari Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI yang
berjudul “Gizi dan Kesehatan Masyarakat” pada hal. 198-200 menyebutkan bahwa
kejadian KEP disebabkan oleh 4 faktor berikut disajikan dalam bentuk bagan :
BAGAN 2
PENYEBAB KEP
Sumber : Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI (2007)
Masalah biologic dan
sosial
Masalah lingkungan
Masalah kelaparan
Masalah tingkat
kekurangan gizi
Ketidakcukupan
pasokan gizi
didalam sel
Factor pribadi, social,
budaya, psikologis,
ekonomi, politik, dan
pendidikaan
Kurang gizi primer Kurang gizi
sekunder
Host
Agent
environment
KEP
12
a. Masalah biologik dan sosial
Penyebab mendasar dari masalah ini adalah ketidakcukupan pasokan zat gizi
ke dalam sel.
Di pengaruhi juga faktor penyebab yang sangat kompleks seperti, faktor
pribadi, sosial, budaya, psikologis,ekonomi, politik, dan pendidikan.
b. Masalah tingkat kekurangan gizi
Penyakit kurang gizi primer
Contoh : pada kekurangan zat gizi esensial spesifik, seperti kekurangan
vitamin C, maka penderita mengalami gejala scurvy, beri-beri karena
kekurangan vitamin B1
Penyakit kurang gizi sekunder
Contoh : penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan absorpsi zat
gizi atau gangguan metabolisme zat gizi.
c. Masalah kelaparan
d. Masalah lingkungan
Di pengaruhi oleh host, agent, environment
Agent : variabel agent sebagai penyebab malnutrisi adalah kurang
makan.
Host : termasuk dalam variabel ini adalah bayi, anak, dan orang
dewasa. Penyebabnya adalah adanya penyakit, tingkat pertumbuhan yang
tinggi, hamil, kerja berat, cacat lahir, lahir premature, dan faktor perorangan
seperti masalah emosional.
Environment : tingkat ketersediaan pangan yang tidak mencukupi di Tk.
Rumah Tangga.
Menurut Depkes RI (1997) dalam literatur kejadian KEP milik Edwin Saputra
Suyadi Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat FKM UI hal. 19 yang didownload dari
www.digilib.ui.ac.id/file?file=digital/126104-S-5830-Kejadian%20KEP mengemukakan
bahwa KEP di akibatkan oleh 3 faktor berikut disajikan dalam bentuk bagan :
13
PENYEBAB KEP
Sumber : DEPKES RI (1997)
KEP
PENYEBAB
LANGSUNG
PENYEBAB
MENDASAR
Ketidakcukupan
konsumsi pangan
Anggota
keluarga
besar
PENYEBAB TIDAK
LANGSUNG
Penyakit infeksi
Pendidikan
Ekonomi
rendah
Ketersediaan
pangan di Tk.RT
tidak cukup
Rendahnya
pengetahuan
dan pendidikan
ibu
Pola konsumsi RT
yang kurang baik
Distribusi
pangan tidak
merata
Fasilitas Yankes
sulit dijangkau
BAGAN 3
14
a. Penyebab langsung
Yang termasuk dalam penyebab langsung KEP antara lain ketidakcukupan
konsumsi makanan, penyakit infeksi.
b. Penyebab tidak langsung
Yang termasuk dalam penyebab tidak langsung KEP adalah kurangnya
pengetahuan ibu tentang kesehatan, kondisi sosial ekonomi yang rendah,
ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga tidak mencukupi, besarnya
anggota keluarga, pola konsumsi keluarga yang kurang baik, pola distribusi
pangan yang tidak merata, serta fasilitas pelayanan kesehatan yang sulit
dijangkau.
c. Penyebab mendasar
Yang menjadi penyebab mendasar KEP adalah rendahnya pengetahuan ibu dan
rendahnya pendidikan ibu.
Menurut Unicef (1988) didalam literatur Kejadian KEP milik Edwin Saputra
Suyadi Bag.GKM FKM UI hal. 20-21 yang didownload dari
www.digilib.ui.ac.id/file?file=digital/126104-S-5830-Kejadian%20KEP mengemukakan
bahwa KEP di akibatkan oleh 4 faktor berikut disajikan dalam bentuk bagan :
15
KURANG Dampak
Penyebab
langsung
Pokok masalah
di masyarakat
Akar masalah
Penyebab
tidak langsung
Makanan
tidak seimbang Penyakit infeksi
Penyakit
infeksi
Pola asuh
anak tidak
memadai
Sanitasi dan air
bersih/pelayanan
kesehatan tidak
memadai
Tidak cukup
persediaan
pangan
Kurang pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan
Kurangnya pemberdayaan wanita
dan keluarga, kurang pemanfaatan
sumber daya masyarakat
Pengangguran, inflasi, kurang pangan, dan kemiskinan
KRISIS EKONOMI, POLITIK, SOSIAL
BAGAN 4
PENYEBAB KEP
Sumber : Unicef (1988)
16
Menurut Unicef (1988), kurang gizi disebabkan oleh beberapa faktor penyebab,
yaitu penyebab langsung, penyebab tidak langsung, pokok masalah di masyarakat, dan
penyebab mendasar.
a. Faktor penyebab langsung timbulnya masalah gizi adalah penyakit infeksi dan
asupan makanan yang tidak seimbang.
b. Faktor penyebab tidak langsung adalah tidak cukupnya persediaan pangan
dalam rumah tangga, pola asuh anak yang tidak memadai, sanitasi/air bersih
dan pelayanan kesehatan dasar, kesehatan yang tidak memadai juga rendahnya
tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan orang tua.
c. Pokok masalah timbulnya kurang gizi di masyarakat adalah kurangnya
pemberdayaan wanita dan keluarga, kurangnya pemanfaatan sumber daya
masyarakat, pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan.
d. Sedangkan yang menjadi akar masalahnya adalah krisis ekonomi, politik, dan
sosial.
Menurut buku karya Prof. DR. Achmad Djaeni Sediaoetama, M.Sc dengan
judul “ILMU GIZI untuk mahasiswa dan profesi jilid II” pada hal.48-52 menyebutkan
bahwa faktor penyebut KEP disajikan dalam bentuk bagan sebagai berikut:
17
Skema Penyebab Multifaktorial Menuju Ke arah Terjadinya KEP
Sumber : Prof. DR. Achmad Djaeni Sediaoetama, M.Sc (1999)
Hygiene
Rendah
Sistem
perdagangan
pangan dan
distribusi tidak
lancar
Produksi Bahan
Pangan Rendah
Penyakit infeksi
dan cacing
Absorpsi
terganggu
KEP
Pekerjaan
Rendah
Pasca panen
kurang baik
Daya beli
rendah Persediaan
pangan kurang
Anak terlalu
banyak KONSUMSI
KURANG Pengetahuan
gizi kurang
Utilisas
terganggu
Kwashiorkor
Marasmus
marasmickwashiorkor
Ekonomi
Negara rendah Pendidikan
Umum Kurang
18
a. Ekonomi negara rendah
Ekonomi negara yang rendah mengakibatkan daya beli masyarakat terhadap
bahan makanan juga rendah. Sehingga masyarakat tidak bisa memenuhi
kebutuhan makanan mereka dengan baik.
b. Pendidikan umum yang kurang
Karena pendidikan umum yang dimiliki masyarakat kurang sehingga
berdampak pada pekerjaan mereka yang rendah, lalu karena pekerjaan yang
rendah mengakibatkan daya beli mereka rendah, sehingga upaya
pemenuhan gizi di Tk. Rumah tangga tidak bisa tercukupi dengan baik
karena keterbatasan biaya.
Pengetahuan umum yang kurang, juga akan berpengaruh pada pengetahuan
gizi masyarakat. Sehingga mereka tidak tahu pasti mengenai bahan makanan
apa yang memiliki nilai gizi yang tinggi dan sangat bermanfaat bagi
kesehatan tubuh mereka terutama bagi anak-anak mereka yang sedang
berada dalam masa pertumbuhan dan perkembangan.
Pengetahuan umum yang kurang juga akan berpengaruh pada hygiene
personal dan sanitasi lingkungan tempat tinggal mereka. Orang
berpendidikan umum yang kurang tentu saja hygiene personal dan sanitasi
lingkungan mereka juga kurang. Misalnya, dengan mempertahankan
kebiasaan untuk terpapar dengan lingkungan yang kotor dan ditambah pula
dengan kebiasaan yang tidak mempertahankan kebersihan dirinya, maka
tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti orang seperti ini akan terserang
penyakit-penyakit infeksi dan juga penyakit cacingan. Sehingga hal ini bisa
mengakibatkan absorpsi dan utilisas tubuh seseorang terganggu. Karena
terjadinya hal ini, maka mempengaruhi kerja sistem pencernaan didalam
tubuh dan menyebabkan KEP
c. Jumlah anak yang terlalu banyak
Jumlah anak yang terlalu banyak dalam satu keluarga dapat mempengaruhi
pada gizi anak mereka. Karena bisa mengakibatkan konsumsi bahan
19
makanan yang rendah. Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa jumlah
makanan yang masuk dalam tubuh anak tersebut tidak bisa memenuhi
kebutuhan tubuh mereka masing-masing. Dan jika keadaan ini berlanjut terus
menerus dalam jangka waktu yang lama, maka bisa mengakibatkan anak
tersebut terkena KEP.
d. Produksi bahan pangan rendah
Produksi bahan pangan yang rendah diakibatkan karena 2 faktor yang
mempengaruhi, yaitu pasca panen yang kurang baik dan sistem
perdagangan pangan dan distribusi yang tidak lancar. Sehingga
mengakibatkan persediaan pangan yang kurang, baik di Tk. Distributor,
pengecer, maupun pada Tk. Rumah Tangga. Sehingga hal ini berdampak
pada jumlah konsumsi bahan makanan yang kurang pada suatu keluarga.
Sehingga hal ini bisa mengakibatkan seseorang terserang KEP.
2.2 Pengukuran status Kurang Energi Protein (KEP)
KEP dapat diketahui dengan melakukan pengukuran antropometri, yaitu
pengukuran terhadap dimensi tubuh. Ada beberapa pengukuran antropometri utama.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3
Pengukuran Antropometri yang Utama
Pengukuran Komponen Jaringan utama yang diukur
Stature/tinggi
badan
Kepala, tulang belakang,
tulang panggul, dan kaki.
Tulang
Berat badan Seluruh tubuh Seluruh jaringan : khususnya
lemak, otot, tulang, tulang dan
air
Lingkar lengan Lemak bawah kulit Otot ( secara teknik lebih sedikit
digunakan di Negara maju )
20
Otot, tulang Lemak ( lebih sering digunakan
secara teknis di negara maju)
Lipatan lemak Lemak bawah kulit, kulit lemak
(Sumber : Jelliefe DB & Jelliefe EFP, 1989. Community Nutritional Assessment. Oxford University
Press, hlm.66)
1) BB/U :
o Gizi lebih > 2.0 SD baku WHO-NCHS
o Gizi baik - 2.0 SD s.d +2.0 SD
o Gizi kurang < - 2.0 SD
o Gizi buruk > - 3.0 SD
2) TB/U :
o Normal - 2.0 SD baku WHO-NCHS
o Pendek (stunted) < - 2.0 SD
3) BB/TB :
o Gemuk > 2.0 SD baku WHO-NCHS
o Normal - 2.0 SD s.d. + 2.0 SD
o Kurus/wasted < - 2.0 SD
o Sangat kurus < 3.0 SD
4) Lingkar Kepala
Pengukuran lingkar kepala biasa digunakan pada kedokteran anak yang
digunakan untuk mendeteksi kelainan seperti hydrocephalus (ukuran kepala
besar) atau microcephalus (ukuran kepala kecil). Untuk melihat pertumbuhan
kepala balita dapat digunakan grafik Nellhaus.
5) Lingkar dada
Pertumbuhan lingkar dada pesat sampai anak berumur 3 tahun sehingga biasa
digunakan pada anak berusia 2-3 tahun. Rasio lingkar dada dan kepala dapat
digunakan sebagai indikator KEP pada balita. Pada umur 6 bulan lingkar dada
21
dan kepala sama. Setelah umur ini lingkar kepala tumbuh lebih lambat daripada
lingkar dada. Pada anak yang KEP terjadi pertumbuhan dada yang lambat
sehingga rasio lingkar dada dan kepala < 1.
6) Lingkar lengan atas (LILA)
Lila mencerminkan cadangan energi sehingga pengukuran ini dapat
mencerminkan status KEP (kurang energi protein) pada balita atau KEK (kurang
energi kronik) pada ibu WUS (wanita usia subur) dan ibu hamil. Pengukuran Lila
pada WUS dan bumil adalah untuk mendeteksi resiko terjadinya kejadian bayi
dengan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah). Cut off point untuk balita yang
menderita KEP adalah < 12,5 cm sedangkan resiko KEK (kurang energi kronik)
untuk WUS dan bumil adalah < 23,5 cm.
7) Tinggi lutut
Untuk mendapatkan data tinggi badan dari berat badan dapat menggunakan
formula berikut ini :
2.3 Kapan KEP dikatakan masalah Kesehatan Masyarakat
Kurang Energi Protein (KEP) dikatakan masalah Kesehatan Masyarakat jika
prevalensi kejadiaannya > 30 %.
2.4 Upaya Pencegahan dan penanggulangan Kurang Energi Protein (KEP)
Tindakan pencegahan penyakit KEP bertujuan untuk mengurangi insidensi KEP
dan menurunkan angka kematian sebagai akibatnya. Usaha disebut tadi mungkin dapat
ditanggulangi oleh petugas kesehatan tanpa menunggu perbaikan status sosial dan
ekonomi golongan yang berkepentingan. Akan tetapi tujuan yang lebih luas dalam
Pria : ( 2,02 x tinggi lutut (cm) ) – ( 0,4 x umur (tahun) ) + 64,19
Wanita : ( 1,83 x tinggi lutut (cm) ) – ( 0,24 x umur (tahun) ) + 84,88
(Sumber : Gibson, RS, 1993. Nutritional Assessment, A Laboratory Manual, Oxford University Press, New York )
22
pencegahan KEP ialah memperbaiki pertumbuhan fisik dan perkembangan mental
anak-anak Indonesia sehingga dapat menghasilkan manusia Indonesia yang dapat
bekerja baik dan memiliki kecerdasan yang cukup.
Ada bebagai macam cara intervensi gizi, masing-masing untuk mengatasi satu
atau lebih dari satu faktor dasar penyebab KEP (Austin, 1981) yaitu :
Meningkatkan hasil produksi pertanian, supaya persediaan bahan makanan menjadi
lebih banyak, yang sekaligus merupakan tambahan penghasilan rakyat.
Penyediaan makanan formula yang mengandung tinggi protein dan tinggi energi
untuk anak-anak yang disapih.
Memperbaiki infrastruktur pemasaran. Infrastruktur pemasaran yang tidak baik akan
berpengaruh negatif terhadap harga maupun kualitas bahan makanan. Hal ini sudah
ditanggulangi pemerintah melalui Badan Urusan Logistik (Bulog).
Subsidi harga makanan. Interfensi demikian bertujuan untuk membantu mereka
yang sangat terbatas penghasilannya.
Pemberian makanan suplementer. Dalam hal ini makanan diberikan secara cuma-
cuma atau dijual dengan harga minim. Makanan semacam ini terutama ditujukan
pada anak-anak yang termasuk golongan umur rawan akan penyakit KEP. Makanan
tersebut bisa disediakan pada waktu-waktu tertentu di Puskesmas, maupun
diberikan secara periodik untuk dibawa pulang.
Pendidikan gizi. Tujuan pendidikan gizi ini adalah untuk mengajar rakyat mengubah
kebiasaan mereka dalam menanam bahan makanan dan cara menghidangkan
makanan supaya mereka dan anak-anaknya mendapat makanan yang lebih baik
mutunya. Menurut Hofvandel (1983), pendidikan gizi akan berhasil jika:
a. Penduduk diikutsertakan dalam pembuatan rencana, menjalankan rencana
tersebut, serta ikut menilai hasilnya;
b. Rencana tersebut tidak banyak mengubah kebiasaan yang sudah turun-temurun;
c. Anjuran cara pemberian makanan yang diulang pada setiap kesempatan dan
situasi;
d. Semua pendidik atau mereka yang diberi tugas untuk memberi penerangan pada
rakyat member anjuran yang sama;
23
e. Mendiskusikan anjuran dengan kelompok yang terdiri dari para ibu serta anggota
masyarakat lainnyaa, sebab keputusan yang diambil oleh satu kelompok lebih
mudah dijalankan daripada oleh seorang ibu saja;
f. Pejabat kesehatan, teman-teman dan anggota keluarga memberi bantuan aktif
dalam mempraktekkan anjuran tersebut;
g. Orang tua maupun anggota masyarakat lainnya dapat melihat hasil yang
menguntungkan atas praktek anjuran tersebut.
Pendidikan dan pemeliharaan kesehatan :
a. Pemeriksaan kesehatan pada waktu-waktu tertentu, misalnya di BKIA,
Puskesmas, Posyandu ;
b. Melakukan imunisasi terhadap penyakit-penyakit infeksi yang prevalensinya
tinggi ;
c. Memperbaiki hygiene lingkungan dengan menyediakan air minum, tempat
membuang air besar (WC) ;
d. Mendidik rakyat untuk membuang air besar di tempat-tempat tertentu atau di
tempat yang sidah disediakan, membersihkan badan pada waktu-waktu tertentu,
memasak air minum, memakai sepatu atau sandal untuk menghindarkan
investasi cacing dan parasit lain, membersihkan rumah serta isinya dan
memasang jendela-jendela untuk mendapatkan hawa segar ;
e. Menganjurkan rakyat untuk mengunjungi puskesmas secepatnya jika
kesehatannya terganggu ;
f. Menganjurkan keluarga berencana. Petros-Barnazian (1970) berpendapat
bahwa child spacing merupakan factor yang sangat penting untuk status gizi ibu
maupun anaknya. Dampak kumulatif kehamilan yang berturut-turut dan dimulai
pada umur muda dalam kehidupan seorang ibu dapat mengakibatkan deplesi
zat-zat gizi orang tersebut.
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan kami dalam makalah ini berdasarkan pembahasan diatas adalah :
1. Penyakit KEP dipengaruhi oleh 8 faktor utama yang saling mempengaruhi satu dan
lainnya diantaranya faktor pendidikan, faktor sosial-budaya, faktor penyediaan
pangan, faktor ekonomi, faktor biologi, faktor lingkungan, faktor bencana dan faktor
kepadatan penduduk. Berikut ini kami sajikan dalam bentuk bagan :
PENYEBAB KEP
Sosial – Budaya
a. Budaya yang
menabukan makanan
tertentu
b. Frekuensi pemberian
ASI yang tidak cukup
c. Pemberian MP-ASI
yang terlalu dini
Ekonomi
a. Kondisi ekonomi
negara rendah
b. Pekerjaan yang
rendah atau sama
sekali tidak memiliki
pekerjaan
c. Kurangnya daya beli
d. kemiskinan
Pendidikan
a. Rendahnya pengetahuan
umum ibu
b. Pengetahuan gizi kurang
c. Pendidikan ibu rendah
d. Salah pengertian tentang
menyapih
e. Kurangnya pengetahuan
tentang cara merawat bayi dan
anak yang benar
Penyediaan pangan
a. Pola distribusi pangan tidak
merata dan tidak lancar
b. Pola ketersediaan pangan tidak
cukup pada Tk. Rumah tangga
c. Produksi bahan pangan yang
rendah
d. Konsumsi pangan atau zat gizi
kurang
25
Biologi
Penyakit infeksi yang
mengakibatkan absorpsi dan
utilitas terganggu seperti
cacingan, diare, TBC, HIV/AIDS,
campak, ISPA Biologi
Penyakit infeksi
yang mengakibatkan
absorpsi dan utilitas
terganggu
Biologi
Penyakit infeksi
yang mengakibatkan
absorpsi dan utilitas
terganggu
Lingkungan
a. Hygiene personal kurang
b. Sanitasi lingkungan buruk
c. Lingkungan tempat tinggal
kumuh dan berdempetan
d. Jumlah anak terlalu banyak
dalam satu keluarga
Kepadatan penduduk
a. Tingkat pertumbuhan
penduduk yang tinggi yang
tidak diimbangi dengan
pertambahan persediaan
pangan.
b. Adanya perpindahan
penduduk (migrasi).
Bencana
a. Bencana alam seperti badai,
angin puting beliung, banjir,
dan kekeringan.
b. Peperangan
K E P
26
2. Dampak dari KEP adalah dapat menurunkan mutu fisik dan intelektual serta
menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat meningkatnya resiko kesakitan dan
kematian terutama pada kelompok rentan biologis.
3. Upaya pencegahan dan penanggulangan KEP adalah : peningkatan hasil produksi
pertanian, penyediaan makanan formula yang mengandung tinggi protein dan tinggi
energi untuk anak-anak yang disapih, perbaikan infrastruktur pemasaran, subsidi
bahan makanan, pemberian makanan suplementer, pendidikan gizi, pendidikan dan
pemeliharaan kesehatan.
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat kami berikan mengenai KEP ini adalah :
1. Kami mengharapkan kepada pemerintah agar kiranya ada perbaikan ekonomi
negara yang bisa memihak pada masyarakat tidak mampu.
2. Kami juga mengharapkan adanya kerjasama lintas sektor antara kementrian
kesehatan, kementrian sosial, dan juga kementrian pertanian dalam menangani
masalah gizi ini. Agar upaya untuk mewujudkan Indonesia sehat bisa tercapai.
3. Kami juga mengarapkan adanya upaya untuk membangkitkan kembali posyandu
yang selama ini seperti mati suri. Yang tidak terlepas dari peran serta masyarakat
yang dilatih sebagai kader desa dan juga tokoh masyarakat setempat yang ikut
membantu.
4. Makalah kami ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kami sangat
mengharapkan kritik dan saran bagi para pembaca yang sifatnya membangun
sehingga kami bisa menjadi lebih baik lagi di hari-hari ke depannya. Amien.
27
DAFTAR PUSTAKA
Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta : EGC.
Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI. 2007. Gizi dan Kesehatan
Masyarakat. Edisi ke-2. Jakarta : RajaGrafindo Persada
Edwin Saputra Suyadi. 2009. Literatur Kejadian KEP. Di download dari http://www.digilib.ui.ac.id/file?file=digital/126104-S-5830-Kejadian%20KEP tgl. 23 Maret 2010
Evawany Aritonang .2004. Kurang Energi Protein (Protein Energy Malnutrition). Di download dari http://www.library.usu.ac.id/download/fkm/fkmgizi-evawany.pdf tgl. 23 Maret 2010
Gibney, Michael J., dkk. 2004. Gizi kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC
Pudjiadi, Solihin. 2003. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Edisi ke-4. Jakarta : Fakultas
Kedokteran UI
Sediaoetama, Achmad Djaeni. 1999. ILMU GIZI untuk mahasiswa dan profesi jilid II.
Jakarta: Dian Rakyat