2_ISI-POTENSI PROBIOTIK SEBAGAI TERAPI ADJUVAN DALAM PENATALAKSANAAN DEMAM TIFOID
Transcript of 2_ISI-POTENSI PROBIOTIK SEBAGAI TERAPI ADJUVAN DALAM PENATALAKSANAAN DEMAM TIFOID
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella Typhi (Soedarmo et al., 2002). Gejala klinis
penyakit ini pada minggu pertama yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri
otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi, atau diare, perasaan tidak enak di
perut, batuk, dan epistaksis. Pada minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih
jelas berupa demam, bradikardi relative (peningkatan suhu 1 derajat celcius
tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/ menit), lidah yang berselaput (kotor
di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatosplenomegali,
meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, derilium, atau
psikosis (Widodo, 2006).
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di
berbagai negara sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam
tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal
mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan angka
kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di
Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan
antara 3-19 tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang lebih sama juga
dilaporkan dari Amerika Selatan (Soedarmo et al., 2002). Dengan perkiraan
16 – 33 juta kasus per tahun yang mengakibatkan 216.000 kematian di daerah
endemik, World Health Organization (WHO) mengidentifikasi demam tifoid
sebagai masalah kesehatan masyarakat yang serius (Wikipedia, 2010).
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di
Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi
peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey
beberapa rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986
memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596
menjadi 26.606 kasus (Widodo, 2006).
2
Sumber penularan terutama melalui pencemaran makanan atau
minuman oleh bakteri tersebut yang dikeluarkan melalui tinja penderita
demam tifoid (Rasional, 2002). Spektrum luas fluorokuinolon adalah pilihan
obat untuk terapi demam tifoid yang menghambat rata-rata patogen
intraselular dalam konsentrasi terapi yang siap mencapai cairan tubuh dan
jaringan. Meskipun begitu terapi antimikroba hampir 1-6% pasien yang
terinfeksi menjadi karir kronik memberikan bakteri dalam feses dan urine
mereka selama periode waktu yang bervariasi (Truusalu,et al.,2008).
Satu kemungkinan untuk merencanakan strategi baru dalam terapi
infeksi bakteri gastrointestinal adalah penggunaan probiotik sebagai terapi
adjuvan disamping penggunaan antibiotik (Truusalu, et al.,2008). Strain
probiotik ditetapkan sebagai mikroorganisme hidup yang mana ketika
dikonsumsi dalam jumlah yang tepat dalam makanan memberi keuntungan
kesehatan pada tubuh host (Amy, et al.,2008). Jumlah percobaan klinik sudah
dilakukan dengan probiotik dalam pencegahan dan terapi infeksi
gastrointestinal yang disebabkan oleh rotavirus dan Clostridium difficile
(Marteau et al., 2001). Dalam manajemen infeksi Helicobacter pylori terapi
kombinasi probiotik dengan antibiotik dilaporkan sukses.
Studi terkini telah membuktikan bahwa kombinasi probiotik ME-3
dengan terapi fluorokuinolon akan mengeradikasi S. typhimurium dari host,
mencegah perkembangan granuloma hati dan limpa dan memperbaiki indeks
stres oksidatif pada mukosa ileum (Truusalu, et al.,2008).
Probiotik mempunyai aktivitas antimikroba dengan cara
menghasilkan asam laktat dan H2O2 yang memungkinkan menghambat atau
membunuh patogen (Truusalu et al.,2008). Selain itu probiotik berpengaruh
langsung terhadap fungsi imun mukosa terutama mukosa usus melalui
modulasi sintetis imunoglobulin A (IgA) (Jan et al., 2004), mengurangi
inflamasi lokal maupun sistemik melalui perubahan keseimbangan antara
sitokin proinflamasi dengan sitokin antiinflamasi yaitu menurunkan produk
sitokin proinflamasi, meningkatkan fungsi barrier imunologik intestinal serta
pembentukan mukus (Galdeano et al., 2007), menstabilkan mikroekologi usus
3
serta mencegah kolonisasi kuman enterik patogen. Potensi probiotik sebagai
antimikroba dan immunomodulation sangat menarik dikaji sehingga
pemanfaatan probiotik efektif sebagai terapi adjuvan dalam penatalaksanaan
demam tifoid.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana mekanisme potensi probiotik sebagai terapi adjuvan dalam
penatalaksanaan demam tifoid?
C. Tujuan Penulisan
1. Mendapatkan kajian tentang mekanisme potensi probiotik sebagai terapi
adjuvan dalam penatalaksanaan demam tifoid.
D. Manfaat Penulisan
1. Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan ide dan saran untuk
penelitian mengenai peranan probiotik dalam penatalaksanaan demam
tifoid.
2. Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara ilmiah
tentang peran probiotik pada penderita demam tifoid.
3. Kajian tentang peran probiotik pada demam tifoid diharapkan dapat
memberikan manfaat pada masyarakat Indonesia tentang pentingnya
menjaga kesehatan saluran cerna.
4. Karya tulis ini juga diharapkan dapat memperkenalkan probiotik kepada
masyarakat untuk mengoptimalkan pemanfaatannya dalam
penatalaksanaan demam tifoid.
4
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Demam Tifoid
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus
(Mansjoer et al., 2000). Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik
bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella Typhi (Soedarmo et al., 2002).
Salmonella Typhi tidak memiliki vektor selain manusia. Beberapa
cara penularannya adalah :
1. Transmisi oral melalui makanan atau minuman yang ditangani oleh
seseorang yang merupakan karier tifoid yang tinja dan urinnya
mengandung Salmonella Typhi.
2. Transmisi melalui tangan ke mulut setelah menggunakan toilet yang
terkontaminasi Salmonella Typhi dan mengabaikan kebersihan tangannya.
3. Transmisi oral melalui air yang terkontaminasi limbah atau kerang-
kerangan (khususnya di negara berkembang).
(Brusch et al., 2009)
Demam tifoid yang ditularkan melalui rute faecal-oral erat
kaitannya dengan sanitasi yang buruk, dan kurangnya air bersih. Penyakit ini
hampir secara eksklusif ditularkan oleh makanan dan air yang tercemar oleh
kotoran dan air seni dari pasien dan karier (WHO, 2010).
Dosis infeksius dari Salmonella Typhi bervariasi antara 1000
sampai 1.000.000 organisme. Salmonella Typhi strain Vi-negatif kurang
infeksius dan kurang virulen bila dibandingkan dengan strain Vi-positif.
Untuk mencapai usus halus, Salmonella Typhi harus bertahan dari barrier
asam lambung. Di dalam usus halus, bakteri menuju ke sel-sel mukosa,
kemudian menyerangnya. Sel M, sel khusus yang melapisi plague Peyeri
kemungkinan adalah tempat masuknya Salmonella Typhi, kemudian setelah
menembus plague Peyeri, bakteri masuk ke dalam jaringan limfoid. Setelah
penetrasi, bakteri menyebar dan masuk ke dalam folikel kelenjar limfoid di
5
usus, kelenjar limfoid mesentrika, dan beberapa masuk ke dalam sel
retikuloendotelial hati dan limpa (Parry et al., 2010)
Ketika bakteri menyebar ke aliran darah, mereka akan difagosit
oleh sel mononuklear (monosit dan makrofag). Sel mononuklear merupakan
sel pertahanan selular tubuh yang bertanggung jawab membunuh bakteri dan
virus. Namun, Salmonella Typhi tidak dapat dinonaktifkan oleh sel-sel ini
setelah difagosit, sebaliknya Salmonella Typhi dapat berkembang biak di
dalam sel mononuklear. Setelah berkembang biak, Salmonella Typhi keluar
dari sel dan menyebar ke seluruh tubuh kemudian mengakibatkan infeksi
sistemik (Schneider dan Goodrich, 2010).
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu,
berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara
“intermittent” ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama
feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi darah setelah menembus
usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif, maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan
gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala,
sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi. Di dalam
plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan.
Pendarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis limfoid ini
dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi (Widodo, 2006). Perforasi dari dinding usus
menyebabkan kebocoran dalam rongga perut, sehingga mengakibatkan
peritonitis yang sering menjadi penyebab kematian dari demam tifoid.
Banyak komplikasi lain juga dapat terjadi mulai dari pecahnya limpa,
meningitis, dan koma (Schneider dan Goodrich, 2010).
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan
akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
6
pernapasan, dan gangguan organ lainnya (Widodo, 2006). Endotoksin
Salmonella Typhi berperan dalam proses inflamasi lokal pada jaringan tempat
kuman tersebut berkembang biak. Salmonella Typhi dan endotoksinnya
merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen dan leukosit pada jaringan
yang meradang, sehingga terjadi demam (Mansjoer et al., 2000).
Salmonella Typhi masih mampu bertahan hidup di dalam asam
lambung dengan pH 1,5. Sedangkan penggunaan antasida, reseptor antagonis
H2 (H2 blockers), inhibitor pompa proton, gastrektomi, dan achlorhidria dapat
mengurangi keasaman perut dan memfasilitasi infeksi Salmonella Typhi.
Lingkungan dan perilaku merupakan faktor-faktor risiko independen yang
terkait dengan demam tifoid, seperti kebiasaan makan makanan dari pedagang
kaki lima, tinggal serumah dengan seseorang yang menderita demam tifoid,
sering tidak mencuci tangan, kebiasaan berbagi makanan dari piring yang
sama, meminum air yang tidak bersih, dan tinggal di lingkungan yang tidak
memiliki toilet (Brusch, 2009).
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan
rata-rata antara 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari
gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan
berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur
Salmonella, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit dirumahnya
(Soedarmo et al., 2002).
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan
dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam,
nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,
perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik
hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat
perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu
kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif,
lidah berselaput, hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental
berupa somnolen, stupor, koma, derilium, atau psikosis (Widodo, 2006).
7
Rose spots pada perut bagian bawah umumnya merupakan
karakteristik gejala pada diagnosis. Namun darah dan sumsum tulang perlu
diambil untuk diagnosis lebih lanjut (Schneider dan Goodrich, 2010).
Dua tindakan dasar yang dapat melindungi dari demam tifoid adalah :
a. Menghindari makanan dan minuman yang berisiko terkontaminasi
Salmonella Typhi.
b. Vaksinasi terhadap demam tifoid.
(CDC, 2010)
Kebersihan adalah langkah penting yang dapat diambil untuk
mencegah demam tifoid. Mencuci tangan sangat penting dilakukan untuk
mencegah demam tifoid. Saat ini terdapat dua vaksin yang direkomendasikan
oleh World Health Organization (WHO) untuk mencegah penyakit demam
tifoid, yaitu vaksin Ty21a, dan Typhoid polysaccharide vaccine. Keduanya
memiliki perlindungan antara 50% sampai 80% dan dianjurkan untuk
wisatawan yang akan berkunjung ke daerah-daerah endemik demam tifoid
(Wikipedia 2010).
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan
tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta
pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah
sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi
kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama (Soedarmo et
al., 2002).
Pemberian antibiotik digunakan untuk menghentikan dan
memusnahkan penyebaran kuman. Antibiotik yang dapat digunakan :
1. Kloramfenikol : dosis hari pertama 4 x 250 mg, hari kedua 4 x 500 mg,
diberikan selama demam dan dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam,
kemudian dosis diturunkan menjadi 4 x 250 mg selama 5 hari kemudian.
2. Ampisilin/Amoksisilin : dosis 50 – 150 mg/kgBB, diberikan selama 2
minggu.
3. Kotrimoksazol : 2 x 2 tablet diberikan selama 2 minggu.
8
4. Sefalosporin generasi II dan III.
(Mansjoer et al., 2000).
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses
penyembuhan demam tifoid, karena kurang asupan makanan akan
menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses
penyembuhan menjadi lama. Pemberian bubur saring bertujuan untuk
menghindari komplikasi pendarahan saluran cerna atau perforasi usus.
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat dini yaitu nasi
dengan lauk pauk rendah selulosa dapat diberikan dengan aman pada pasien
demam tifoid (Widodo, 2006).
B. Probiotik
Di abad 19, mikrobiologis mengidentifikasi mikroflora dalam traktus
gastrointestinal pada orang sehat yang berbeda dengan yang ditemukan pada
individu yang sakit. Mikroflora yang ditemukan tersebut sekarang dikenal
sebagai probiotik (Parves et al., 2006). Diperkirakan hampir 100 spesies
berbeda (dengan total populasi antara 1010-1012) terdapat di traktus intestinal
manusia (Chukeatirote, 2003). Probiotik didefinisikan oleh The Food
Agricultural Organization/World Health Organization (FAO/WHO) sebagai
mikroorganisme hidup yang mana ketika digunakan dalam jumlah yang cukup
memberikan manfaat kesehatan pada tubuh host.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi
Agrikultur Pangan Dunia (FAO), probiotik secara umum ditargetkan untuk
menjaga keseimbangan mikroflora usus dan kesehatan saluran cerna dengan
jumlah 106-108 koloni/ml bakteri hidup (Galdeano et al, 2007). Karakteristik
mikroorganisme yang dapat dipat dijadikan probiotik yang baik adalah (1)
strain yang mampu memberikan keuntungan pada host; (2) non-patogen dan
non-toxic; (3) sel dapat hidup, lebih baik dalam jumlah yang besar; (4) mampu
bertahan hidup dan bermetabolisme di gut; (5) stabil dan mampu bertahan
hidup dalam penyimpanan (Oyetayo, 2005; Parves et al.,2006).
9
Beberapa jenis probiotik yang dapat dimanfaatkan yaitu spesies
Lactobacillus: L. acidophilus, L. casei, L. fermentum, L. gasseri, L. johnsonii,
L. lactis, L. paracasei, L. plantarum, L. reuteri, L. rhamnosus, L. salivarius;
spesies bifidobacterium: B. bifidum, B. breve, B. lactis, B. longum; spesies
streptocococcus yaitu S. thermophilus(Shoaib and Fasihuddin, 2007).
Probiotik yang paling banyak dikonsumsi adalah produk fermentasi seperti
yogurt dan buttermilk (Amy et al., 2004).
Terdapat dua bentuk produk probiotik yaitu yang pertama, sebagai
bahan baku produk pangan disebut kultur/starter probiotik yakni bakteri
tunggal atau kumpulan bakteri yang ditumbuhkan dalam media pertumbuhan
yang sesuai dan yang kedua sebagai produk pangan akhir yakni menggunakan
kultur /starter probiotik sebagai salah satu bahannya. Bentuk umum untuk
probiotik adalah produk dairy (susu) dan makanan yang difortifikasi dengan
probiotik. Contohnya adalah yoghurt, kefir, susu formula, suplemen ,dan lain-
lain (Oyetayo, 2005)
Hasil penelitian menunjukkan beberapa manfaat probiotik yang telah
ada sampai saat ini adalah: (1) memperbaiki kesehatan traktus intestinal ;(2)
mempertinggi sistem imun ,mensintesis, dan mempertinggi bioavailabilitas
nutrient; (3) menurunkan simptom dari intoleransi laktosa, menurunkan
prevalensi alergi, dan (4) mengurangi resiko beberapa jenis kanker.
Mekanisme bagaimana probiotik menggunakan efeknya belum banyak
diketahui, tetapi mungkin menurunkan pH gut dengan cara menghasilkan
asam laktat , melawan patogen dengan cara memproduksi komponen
antimikrobial seperti asam butirat dan sitokin, berkompetisi dengan binding
dan reseptor patogen, berkompetesi dengan patogen dalam memperoleh
nutrien dan faktor pertumbuhan, stimulasi immunomodulasi sel, dan
memproduksi laktase (Hong yeoul Kim, 2005; Oyetayo, 2005).
Berbagai senyawa metabolit bakteri probiotik umumnya memberikan
manfaat positif terhadap kesehatan manusia diantaranya menghambat
perkembangan bakteri patogen di samping menjaga keseimbangan mikroflora
saluran pencernaan (Novilla, 2005). Diperkirakan aktivitas antimikroba
10
bakteri probiotik disebabkan oleh asam laktat yang dihasilkan. Hal ini
dibuktikan melalui penambahan alkali pada sampel sehingga pH menjadi
netral, ternyata tidak memberikan hambatan terhadap S. typhi. Pada penelitian
Novilla (2005) secara in vitro menunjukkan bahwa bakteri probiotik
Lactobacillus delbrueckii subsp. delbrueckii memberikan hambatan yang
cukup tinggi pada pertumbuhan Salmonella Typhimurium.
Selain itu probiotik bersifat sebagai agen imunomodulasi. Yoghurt
dapat meningkatkan level antibodi ketika diberikan pada tikus. Lactobacilli
casei ditemukan dapat aktif menstimulasi aktivitas fagositik. Agar bakteri
menjadi efekif dalam proses immunostimulation diperlukan perpindahan dari
gut ke sirkulasi sistemik. Lactobacilli mampu bertanslokasi dan bertahan
hidup untuk beberapa hari di limpa, hati, dan paru-paru. Aattouri et al (2001)
melaporkan bahwa penggunaan oral dari bakteri asam laktat pada tikus
meningkatkan proliferasi limfosit dan produksi interferon. Mereka menduga
bahwa manfaat dari probiotik meningkatkan perlawanan terhadap beberapa
infeksi (Oyetayo, 2005).
C. Sistem Imun Mukosa Saluran Cerna
Sistem imun mukosa merupakan agregat jaringan limfoid atau limfosit
dekat permukaan mukosa saluran cerna. Baik antibodi lokal (IgA sekretori)
maupun sel limfoid (T) berperan dalam respons imun spesifik. IgA sekretori
yang diproduksi saluran cerna dapat bereaksi dengan makanan atau alergen
lain yang dicerna. Lapisan epitel mukosa berperan sebagai sawar mekanis. Gut
Associated Lymphoid Tissue (GALT) berupa jaringan limfoid tanpa kapsul,
mengandung sel limfosit dan APC, mengawali respon imun terhadap antigen
yang terhirup dan termakan. GALT tersebar di mukosa saluran cerna. Secara
fungsional GALT terdiri atas dua komponen yang terorganisasi dan difus.
1. Microfold cell atau sel M
Microfold cell atau sel M adalah sel epitel saluran cerna yang pinositik
aktif, berperan dalam mengantarkan kuman dan bahan makromolekul
dari lumen intestinal ke plak Peyer. Sel tersebut bukanlah APC,
11
ditemukan di lapisan epitel plak Peyer yang berperan dalam
penyampaian antigen. Sel tersebut memiliki permukaan relatif besar
dengan lipatan-lipatan mikro yang menempel pada mikroorganisme
dan permukaan makromolekular.
2. Sistem imun mukosa yang terorganisasi
Jaringan limfoid mukosa yang terorganisasi terdiri atas plak Peyer di
usus kecil. Plak Peyer merupakan agregat folikel limfoid di mukosa
gastrointestinal yang ditemukan di seluruh jejunum dan ileum
(terbanyak ileum terminal). Plak Peyer merupakan tempat prekursor
sel B yang dapat melakukan pengalihan untuk memproduksi IgA. Sel
T naif juga terpajan dengan alergen di Plak Peyer dan berkembang
menjadi sel T memori yang kemudian bermigrasi ke mukosa lebih
distal dan tempat-tempat nonmukosal. Limfosit B dan T yang antigen
reaktif , keluar melalui limfatik eferen dan bermigrasi ke kelenjar
getah bening mesenterika, lalu duktus torasikus dan akhirnya ke
pembuluh darah. Selanjutnya sel-sel tersebut mencari tempat-tempat
tertentu di berbagai tempat terutama di lamina propria di jaringan
mukosa.
3. Sistem imun mukosa difus
Sistem imun mukosa difus terdiri atas limfosit intraepitel dan limfosit
di lamina propria. Limfosit intraepitel ditemukan dalam epitel mukosa
dan di atas lamina propria. Sel-sel tersebut tersebar difus di jaringan
mukosa dan tidak memiliki struktur jelas seperti yang didapat pada
sistem imun mukosa yang terorganisasi. Limfosit intraepitel terbanyak
adalah sel T (>90%), yang dapat berupa CD8+ atau CD8-. Lamina
propria terletak tepat di bawah epitel yang strukturnya longgar. Fungsi
efektor lamina propria adalah sekresi antibodi terutama IgA yang
merupakan hasil sejumlah besar sel plasma. IgA diangkut dari lamina
propria ke sel epitel melalui reseptor immunoglobulin polimerik untuk
selanjutnya disekresi ke lumen. Lamina propria mengandung banyak
sel CD4+ dan CD8+ juga sel B, terbanyak dengan ekspresi IgM dan
12
hanya sebagian kecil dengan ekspresi IgA. Meskipun hanya sedikit
jumlah sel B yang ada di lamina propria tetapi jumlah sel B tersebut
dapat meningkatkan produksi IgG dengan cepat bila diperlukan.
(Baratawidjaja, 2006).
13
BAB III
METODE PENULISAN
A. Pengumpulan Data dan Informasi
Jenis data yang diperoleh berupa data sekunder yang bersifat
kualitatif maupun kuantitatif dengan bersumber dari berbagai referensi atau
literatur yang relevan dengan topik permasalahan yang dibahas. Kriteria
inklusi yang digunakan adalah artikel, jurnal, dan buku yang ditulis pada
tahun 2000-2010 serta merupakan hasil penelitian atau pemaparan para ahli,
sedangkan kriteria eksklusi adalah artikel yang berupa opini tanpa
menyertakan nama penulis. Data diperoleh melalui internet, jurnal ilmiah,
buku ajar dan berbagai sumber terpercaya seperti New England Journal of
Medicine; Journal of Leucocyte Biology; Science Technology, Application
Microbial Biotechnology,Biology and Medicine dengan kata kunci: Typhoid,
Typfoid fever, probiotic.
B. Pengolahan Data dan Informasi
Penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode studi pustaka yang
didasarkan atas hasil studi terhadap berbagai literatur yang telah teruji
validitasnya, berhubungan satu sama lain, relevan dengan kajian tulisan serta
mendukung uraian atau analisis pembahasan.
C. Analisis dan Sintesis
Setelah data yang diperlukan terkumpul, dilakukan pengolahan data
dengan menyusun secara sistematis dan logis. Metode dasar yang digunakan
dalam menyusun karya tulis ini yaitu metode eksposisi yang merupakan
pemaparan dari suatu mekanisme, dengan tulisan yang bersifat deskriptif,
menggambarkan tentang potensi probiotik sebagai terapi adjuvan pada
demam tifoid.
14
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Mekanisme Infeksi Salmonella Typhi
Traktus gastrointestinal mempunyai permukaan mukosa yang besar
yang menghubungkan gap antara dalam dan luar tubuh. Sepanjang mukosa,
mikroba dan antigen asing berkoloni melalui traktus gastrointestinal
berinteraksi dengan komponen penting sistem imun. Interaksi ini melengkapi
atau menstimulasi sistem imun agar berfungsi optimal. Mikroba yang
normalnya ada dalam traktus GI juga memperkuat fungsi dari barrier
intestinal, menurunkan translokasi bakteri atau antigen dari usus halus ke
aliran darah. Fungsi ini diduga dapat menurunkan infeksi dan kemungkinan
reaksi alergi pada antigen makanan (Parves et al.,2006).
Barrier mukosa intestinal memiliki dua komponen, yaitu barrier
intrinsik gastrointestinal, dan barrier ekstrinsik gastrointestinal. Pada barrier
intrinsik gastrointestinal, kanal pencernaan yang dibatasi oleh lembaran sel
epitel membentuk sturktur mukosa. Dengan sedikit pengecualian, sel-sel epitel
di dalam perut dan usus membentuk tight junction yang membangun dasar
barrier gastrointestinal. Epitel tersebut perlu dipelihara dengan baik karena
racun dan mikroorganisme yang mampu menembus lapisan dari sel-sel epitel
tersebut memiliki kesempatan untuk masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
Terdapat perbedaan diantara berbagai jenis sel epitel menurut fungsinya.
Sebagai contoh, membran plasma apikal dari parietal lambung dan sel chief
memiliki permeabilitas yang rendah terhadap proton yang membantu
mencegah kerusakan akibat difusi kembali asam ke dalam sel. Sel epitel usus
kecil kurang kemampuannya dalam hal ini, sehingga jauh lebih rentan
terhadap kerusakan akibat asam. Sedangkan barrier ekstrinsik gastrointestinal
terdiri dari berbagai jenis zat yang dihasilkan oleh sistem gastrointestinal.
Diantaranya adalah :
15
a. Lendir dan bikarbonat
Seluruh epitel saluran pencernaan dilapisi dengan lendir yang disintesis
oleh sel-sel yang membentuk bagian dari epitel. Lendir dapat mengurangi
tegangan akibat gesekan pada epitel dan memberi kontribusi sebagai
penghalang dengan beberapa cara. Karbohidrat yang melimpah pada
molekul mucin dapat mengikat bakteri yang membantu mencegah
kolonisasi epitelial dengan menimbulkan agregasi dan memperepat
pembersihan. Difusi molekul hidrofilik sangat rendah dalam lendir yang
diduga menghambat difusi dari berbagai bahan kimia yang merusak,
termasuk asam lambung. Selain dilapisi dengan lendir, sel-sel epitel
lambung dan duodenum mengeluarkan ion bikarbonat apikal. Hal ini
berfungsi untuk mempertahankan pH netral di sepanjang epitel membran
plasma, meskipun kondisi di dalam lumen sangat asam.
b. Hormon dan sitokin
Prostaglandin, terutama prostaglandin E2 dan prostasiklin, telah diketahui
memiliki efek sitoprotektif pada epitel gastrointestinal. Prostaglandin
disintesis di dalam mukosa dari asam arakhidonat melalui reaksi
siklooksigenase. Efek sitoprotektif prostaglandin muncul sebagai akibat
dari kemampuan kompleks untuk merangsan lendir mukosa dan sekresi
bikarbonat untuk menigkatkan aliran darah mukosa untuk membatasi
difusi kembali asam ke dalam epitel. Protein trefoil merupakan peptida
kecil yang disekresikan oleh sel-sel goblet di dalam lambung dan mukosa
usus untuk melapisi sisi apikal dari sel epitel. Struktur molekulnya
membuat protein trefoil resisten terhadap proteolitik. Molekul lain yang
memainkan peran penting dalam barrier ekstrinsik gastrointestinal adalah
Nitrat Oksida (NO). NO dapat secara signifikan mengurangi keparahan
cedera mukosa yang disebabkan oleh bahan kimia beracun atau yang
berhubungan dengan iskemia dan reperfusi. NO juga dapat mempercepat
penyembuhan ulkus lambung.
16
c. Antibiotik peptida dan antibodi
Sel-sel paneth yang terletak di granulosit epitel usus kecil kriptus pada
sebagian besar mamalia mensintesis dan mengeluarkan beberapa peptida
antimikroba, diantaranya adalah cryptdins (crypt defensin). Peptida ini
memiliki aktivitas antimikroba terhadap sejumlah patogen, termasuk
bakteri, ragi dan trofozoit Giardia. Mekanisme aksi mereka kemungkinan
serupa dengan neutrophilic alfa-defensins yang membuat membran sel
sasaran menjadi permeabel. Selain antimikroba non-spesifik molekul,
barrier gastrointestinal juga didukung oleh sistem kekebalan
gastrointestinal. Salah satu sistem pertahanannya adalah sebagian besar
epitel memiliki immunoglobulin A (IgA). Antibodi ini dikeluarkan dari
plasma sel subepitel dan melintasi epitel ke dalam lumen. IgA lumenal
befungsi sebagai penghalang dengan mengikat antigen bakteri dan antigen
lainnya. Fungsi penghalang ini spesifik untuk antigen tertentu dan
memerlukan pemaparan sebelumnya untuk pengembangan respon.
(Bowen, 2001)
Salmonella adalah bakteri gram negatif berbentuk batang yang masuk
dalam keluarga proteobakterial sama seperti Escherichia Coli. Keluarga
enterobacteriaceae dikenal sebagai bakteri usus. Pada manusia, Salmonella
adalah penyebab dua penyakit yang disebut salmonellosis (demam tifoid),
yang disebabkan oleh invasi bakteri ke dalam aliran darah, dan gastroenteritis
akut yang disebabkan oleh infeksi yang disebabkan oleh makanan yang
tercemar (Todar, 2008).
Dosis infeksius Salmonella Typhi bervariasi antara 1000 sampai
1.000.000 organisme. Untuk mencapai usus halus, Salmonella Typhi harus
bertahan dari barrier asam lambung karena pH lambung yang rendah
merupakan salah satu mekanisme pertahanan tubuh (Parry et al., 2010).
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke
dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel M yang melapisi plague Peyeri) dan selanjutnya ke lamina
17
propria (Widodo, 2006). Bakteri yang menembus dinding usus kemudian akan
difagositosis oleh makrofag (Wikipedia, 2010). Makrofag (sel mononuklear)
merupakan sel pertahanan selular tubuh yang bertanggung jawab membunuh
bakteri dan virus. Namun, Salmonella Typhi tidak dapat dinonaktifkan oleh
sel-sel ini. Setelah ditelan oleh makrofag, Salmonella Typhi mampu
berkembang biak didalamnya (Schneider dan Goodrich, 2010). Kuman
selanjutnya dibawa ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui
duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam
sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa.
Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke
dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya
dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik (Widodo,
2006). Kandung empedu dapat terinfeksi melalui siklus bakteremia atau
terajan Salmonella Typhi. Hal ini mengakibatkan organisme kembali
memasuki saluran pencernaan dalam empedu dan menginfeksi ulang plague
Peyeri. Sedangkan bakteri yang tidak menginfeksi ulang akan berada di dalam
tinja dan dapat menginfeksi orang lain (Brusch, 2009). Salmonella Typhi
bersarang di plague Peyeri, limpa, hati, dan bagian-bagian lain sistem
retikuloendotelial. Endotoksin Salmonella Typhi berperan dalam proses
inflamasi lokal pada jaringan tempat kuman tersebut berkembang biak.
Salmonella Typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat
pirogen dan leukosit pada jaringan yang meradang, sehingga terjadi demam
(Mansjoer et al., 2000).
B. Potensi antimikroba dan immunomodulation probiotik dalam
penatalaksanaan demam tifoid
Para peneliti telah menemukan bahwa koloni bakteri di saluran
pencernaan penting untuk kesehatan manusia dan hewan, diantaranya pada
sistem imunitas intestinal, sistem urogenital, menurunkan efek alergi, dan
18
manfaat-manfaat lainnya. Prinsip kerja probiotik yaitu dengan memanfaatkan
kemampuan mikroorganisme tersebut dalam menguraikan rantai panjang
karbohidrat, protein, dan lemak. Kemampuan ini diperoleh karena adanya
enzim-enzim khusus yang dimiliki oleh mikroorganisme untuk memecah
ikatan. Pemecahan molekul kompleks menjadi molekul sederhana
mempermudah penyerapan oleh saluran pencernaan manusia. Di sisi lain,
mikroorganisme pemecah ini mendapat keuntungan berupa energi yang
diperoleh dari hasil perombakan molekul kompleks (Novel dan Safitri, 2009).
Beberapa studi menunjukkan bahwa probiotik dapat digunakan sebagai
antimikroba. Efek antimikroba ini timbul karena metabolit dan hasil akhir dari
pertumbuhan mikroba tersebut adalah asam organik (asam laktat dan asam
asetat) yang memelihara pH yang rendah dalam intestinal sehingga
menciptakan kondisi yang kurang diinginkan untuk bakteri berbahaya (Parves
et al.,2006). Asam laktat yang dihasilkan oleh bakteri probiotik dapat
meningkatkan pergerakan usus dan membebaskan konstipasi, konversi pigmen
dan asam empedu, absorpsi zat makanan, bersifat antagonis dengan
mikroorganisme patogen. Bakteri probiotik juga menghasilkan unsur
bacteriosin yaitu zat yang mampu membunuh mikroorganisme berbahaya
(Novel dan Safitri, 2009).
Asam laktat memiliki sifat antimikroba karena menurunkan pH,
membebaskan lipopolisakarida dari membran luar bakteri gram negatif dan
mungkin berperan memperkuat efek subtansi antimikroba lainnya (Alakomi et
al., 2000). Lactobacillus salivarius mampu memproduksi sejumlah besar dari
asam laktat, yang dapat menghambat pertumbuhan H. pylori in vitro.
Ditemukan bahwa produksi asam laktat dengan level yang lebih tinggi oleh
Lactobacillus lebih potensial mengurangi aktivitas urease H. pylori (Parves et
al.,2006). Studi lain menunjukkan Kombinasi terapi dengan L. fermentum ME-
3 dan ofloxacin mengeradikasi Salmonella Typhimurium dari darah, ileum,
dan liver, menurunkan jumlah hewan dengan granuloma pada hati dan limpa
dan mengurangi jumlah peroksida lipid pada mukosa ileum. Antimikroba dan
antioksidatif dari probiotik L. fermentum ME-3 yang dikombinasikan dengan
19
ofloxacin mempertinggi eradikasi percobaan infeksi S. Typhimurium
(Truusalu et al.,2008). Bakteri probiotik juga dapat meningkatkan kemampuan
beberapa nutrisi seperti protein dan lemak untuk dapat dicerna. Asam laktat,
asam propionat, dan asam butirat yang diproduksi oleh bakteri probiotik dapat
menjaga pH sehingga dapat melindungi dari mikroorganisme patogen (Novel
dan Safitri, 2009).
Selain mempunyai sifat antimikroba, probiotik juga dapat
menstimulasi imunomodulasi sel (Oyetayo, 2005). Studi pada tikus dan
mencit, penggunaan oral probiotik meningkatkan jumlah limfosit T, sel CD4+
dan sel-sel yang mensekresi antibodi, termasuk di mukosa intestinal, dan
meningkatkan proliferasi limfosit, aktivitas sel natural killer, IL-1, TNF, dan
produksi IFN, produksi antibodi (termasuk sekresi IgA), aktivitas fagositik
dan respon DTH. Efek langsung dari probiotik pada traktus gastrointestinal
yaitu upregulasi immunoglobulin seperti IgA, mengurangi inflamasi lokal
maupun sistemik melalui perubahan keseimbangan antara sitokin proinflamasi
dengan sitokin antiinflamasi dengan cara downregulation dari sitokin
inflamasi dan peningkatan fungsi barrier gut serta pembentukan mukus
(Galdeano et al., 2007; Oyetayo, 2005).
Terdapat respon imun lokal dan respon imun sistemik yang diinduksi
oleh probiotik. Respon imun lokal diinduksi di dalam gut oleh interaksi antara
bakteri probiotik dan sel epitel serta sel-sel imun yang berhubungan dengan
lamina propria pada intestinal kecil. Terdapat jalur yang berbeda dalam
internalisasi bakteri probiotik yang terdapat di dalam lumen intestinal kecil,
yaitu: sel M dihubungkan dengan epithelium, dan sel epitel dan sel dendritik
pada sampel bakteri. Setelah berinteraksi dengan sel epitel, bakteri probiotik
atau fragmennya diinternalisasikan. Sel pertama yang dapat berinteraksi
dengan mereka adalah APC, makrofag, den sel dendritik yang berhubungan
dengan lamina propria di gut. Interaksi dengan sel epitel menginduksi
pengeluaran IL- 6. Makrofag dan sel dendritik memfagositosis bakteri
probiotik dan fragmennya dan mereka menginduksi produksi sitokin seperti
TNF dan IFN, yang meningkatkan stimulasi sel epitel dan inisiasi cross talk
20
antara semua sel imun yang berhubungan. Sitokin lainnya seperti IL-10 dan
IL-6 juga diproduksi untuk mempertinggi jaringan signal sitokin. Bakteri atau
partikel yang tertelan juga dieliminasi oleh fagositosis clearance. IL-6 akan
menyokong ekspansi klonal dari IgA limfosit B, meningkatkan sel yang
memproduksi IgA dan menjembatani mereka menuju sel plasma di lamina
propria gut. IL-6 bersama dengan IL-4 dan TGF-ß dapat menginduksi sel T
dependen penghubung IgM ke IgA pada permukaan sel B dan dapat memacu
jalur ini meningkatkan jumlah sel B yang merupakan IgA+ pada lamina
propria gut (Galdeano et al., 2007).
Respon imun sistemik diinduksi oleh bakteri probiotik setelah interaksi
dengan sel-sel imun pada Plak Peyeri. Di Plak peyeri, bakteri probiotik atau
fragmennya diinternalisasikan oleh sel-sel M atau dengan cara paraselular
melalui follicle-associated epithelial cells pada plak Peyer. Sebagai
akibatnya bakteri menstimulasi sel-sel imun pada sisi induktor dari respon
imun, produksi sitokin ditingkatkan , seperti penghubung antara IgM dengan
sel B IgA. IL-10, IL-6, IL-4, and TGF-ß dari sel-sel imun dapat juga
menaikkan penghubung sel T independen. Stimulasi probiotik dapat
menginduksi siklus IgA, meningkatnya sel-sel IgA di mukosa intestinal. Sel-
sel IgA bermigrasi ke limfonodus mesenterika dan melalui duktus toraksikus
ke sirkulasi, sampai ke bronkus dan glandula mammae. Sitokin yang
dikeluarkan oleh stimulasi probiotik di Plak Peyer adalah pesan biologi dari
sinyal jaringan yang mengaktivasi respon imun sistemik (Galdeano et al.,
2007). L .reuteri menghambat sintesis IL-8 (sitokin inflamasi) yang diinduksi
oleh Salmonella enterica serovoar Typhimurium. L. reuteri juga
meningkatkan molekul antiinfamasi yang tidak biasa, NGF, dan menghambat
translokasi Nuclear Factor-kappa Beta (NF-κB) ke nucleus. Nuclear Factor-
kappa Beta merupakan faktor transkripsi untuk sintesis sitokin yaitu mengatur
ekspresi gen memproduksi mediator proinflamasi seperti sitokin TNF-α , IL-1
dan IL-6 (Donglai et al., 2004).
Berdasarkan uraian di atas, probiotik berpotensi sebagai antimikroba,
menstimulasi modulasi sistem imun, mengurangi inflamasi lokal dan sistemik,
21
meningkatkan fungsi barrier imunologik mukosa intestinal sehingga mampu
digunakan sebagai terapi adjuvan pada penderita demam tifoid.
22
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Probiotik berpotensi sebagai antimikroba karena metabolitnya yaitu asam
laktat dapat menurunkan pH, membebaskan lipopolisakarida dari
membran luar bakteri gram negatif seperti Salmonella Typhi, dan
memperkuat efek substansi antimikroba lainnya.
2. Probiotik berpotensi memodulasi sistem imun dengan meningkatkan
barrier pertahanan mukosa intestinan dengan menstimulasi produksi IgA,
dan menghambat jalur proinflamasi pada inti sel sehingga dapat digunakan
sebagai terapi adjuvan dalam penatalaksanaan demam tifoid.
B. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian probiotik
sebagai terapi adjuvan pada penderita demam tifoid.
2. Probiotik bermanfaat untuk memelihara kesehatan saluran cerna sehingga
sangat baik diberikan sebagai tindakan pencegahan terhadap penyakit-
penyakit gastrointestinal.