Paper Tifoid.
-
Upload
mbom-bhowo-cukis -
Category
Documents
-
view
246 -
download
0
description
Transcript of Paper Tifoid.
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Demam Tifoid (bahasa Inggris: Typhoid fever) yang biasa juga
disebut typhus atau types dalam bahasa Indonesianya, merupakan penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu
Salmonella Typhi terutama menyerang bagian saluran pencernaan. Demam tifoid
adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemik) di
Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak dan dewasa.
Penyakit ini pertama kali muncul dalam wabah yang terjadi di Athena
sampai Sparta Yunani pada tahun 430-424 SM. Sejarah yang tidak kalah menarik
adalah tentang “Tifoid Marry” yang pada tahun 1907 menjadi seorang carier/
pembawa penyakit tifoid di Amerika, dimana setiap restoran tempat dia bekerja
selalu terjadi epidemi tifoid.
Di Indonesia, diperkirakan antara 800 - 100.000 orang terkena penyakit
tifus atau demam tifoid sepanjang tahun. Demam ini terutama muncul di musim
kemarau dan konon anak perempuan lebih sering terserang, peningkatan kasus
saat ini terjadi pada usia dibawah 5 tahun.
Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan
sanitasi lingkungan. Di daerah rural (Jawa Barat) didapatkan 157 kasus per
100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 kasus per
100.000 penduduk. Perbedaan insiden di perkotaan berhubungan erat dengan
penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan salah
1
satunya tempat pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan
lingkungan.
Prevalensi kasus 91% demam tifoid terjadi pada usia 3-19 tahun, kejadian
meningkat setelah usia 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat
sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya sehingga untuk memastikan
diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi. Demam yang
terjadi biasanya bertipe berkepanjangan (prolonged fever), yaitu demam yang
berlangsung minimal lebih dari 5 hari dengan pola yang biasanya khas/klasik
yaitu demam yang rendah dan perlahan lahan lalu meningkat dari hari ke hari
hingga cenderung konstan tinggi. Namun pola demam yang seperti itu sudah
jarang ditemui karena pengaruh pemakaian antibiotik dalam pengobatan pribadi.
Bakteri penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhii bersama turunan
lainnya Salmonella paratyphii A dan parathypii B kedua kuman ini dapat
mencemari makanan dan minuman penderita karena paling sering ditemukan di
tinja atau air kemih penderita. Sanitasi yang kurang adalah penyebab utama
seperti pencucian tangan yang kurang bersih, makanan atau minuman yang
tercemar vektor pembawa penyakit seperti lalat sehingga memudahkan penularan
penyakit melalui media fecal-oral.
Pada anak- anak demam tifoid cukup sering ditemui, salah satu
penyebabnya selain sanitasi adalah system kekebalan atau imunitas yang belum
berkembang dengan baik. Komplikasi atau penyulit pun tidak jarang terjadi
seperti gangguan SSP (delirium sampai gangguan kesadaran) dan perforasi usus
yang menyebabkan peritonitis. Sedangkan pada bayi relative jarang ditemukan
2
karena masih mendapatkan perlindungan dari ASI yang mengandung IgA
sekretorik yang memberikan proteksi local khususnya pada saluran cerna.
Seringkali keterlambatan diagnosis dan ketidakpahaman orang tua
terhadap apa yang dialami oleh anak menjadikan demam tifoid cukup serius untuk
ditangani. Penularan yang cukup mungkin terjadi adalah pada orang tua atau
orang- orang serumah yang kontak dengan penderita. Sangatlah mungkin dari
penderita yang sifatnya tidak memperlihatkan gejala tapi sesungguhnya membawa
penyakit dalam tubuhnya (carier).
Pada tahun 1897, Almorth Edward Wright mengembangkan vaksin untuk
penyakit ini disusul pada tahun 1909 Frederik F. Russell, seorang dokter
Angkatan Darat AS yang mengembangkan vaksin ini untuk kemudian
divaksinasikan guna mengeliminasi epidemi tifus kala itu.
Saat ini telah berkembang imunisasi untuk demam tifoid ini yaitu Ty21a
dan ViCPS, namun masih dicari tingkat efektivitas dan keamanannya terutama
bagi anak anak.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram
negatif Salmonella typhii. Disebut Tifoid karena pada awalnya penyakit ini
memiliki mnanifestasi yang hampir sama dengan Demam Tifus yang disebabkan
oleh bakteri Rickettsia oleh karena itu penyakit ini diberi akhiran “id” yang berarti
mirip.
Di Indonesia sendiri penyakit ini lebih akrab dengan sebutan Tifus atau
Tipes karena kemiripannya dengan demam Tifus tersebut. Demam tifoid
merupakan suatu infeksi Fecal-Oral yang pada nantinya akan menyerang saluran
Cerna khususnya usus halus (jejunum dan ileum) dilanjutkan dengan masuknya ke
dalam aliran darah (bakteremia) yang akan menyebabkan gejala atau tanda yang
khas tempat dimana kuman melewati organ selama bakteremia tersebut.
2.2 Etiologi
Salmonella sp. adalah salah satu strain dari bakteri gram negative bentuk
bacil atau batang, tidak berspora, tidak berkapsul, bergerak dengan flagella
peritrik, memiliki ukuran 2-4 µm x 0,5 -0,8 µm. Kuman ini tumbuh dalam suasana
aerob dan fakultatif anaerob, mati dalam suhu 56oC dan pada keadaan kering. Di
dalam air dapat bertahan selama 4 minggu dan hidup subur dalam media yang
4
mengandung garam empedu. Memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik
berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel) dan antigen Vi
Berdasarkan serotipenya kuman Salmonella dibedakan menjadi 4:
Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Serotipe
group D.
Salmonella typhi, Paratyphi A, dan Paratyphi B merupakan penyebab
infeksi utama pada manusia, bakteri ini selalu masuk melalui jalan oral, biasanya
dengan mengkontaminasi makanan dan minuman. Faktor- faktor lain yang
mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap infeksi Salmonella sp. adalah keasaman
lambung, flora normal usus, dan ketahanan usus lokal.
2.3 Epidemologi
Demam tifoid dan paratifoid merupakan salah satu penyakit infeksi
endemic di Asia, Afrika, Amerika Latin, kep. Karibia, dan Oceania, termasuk
Indonesia. Penyakit ini tergolong menular yang dapat menyerang banyak orang
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi.
5
Insiden demam tifoid di seluruh dunia menurut data pada tahun 2002
sekitar 16 juta per tahun, 600.000 diantaranya berakhir dengan kematian. Di
Indonesia prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun
dengan kejadian yang meningkat setelah usia 5 tahun.
Ada dua sumber penularan penyakit ini yaitu pasien yang menderita
demam tifoid dan yang lebih sering adalah dari carier yaitu orang yang sudah
sembuh dari demam tifoid tapi masih mengekskresikan S. typhii dalam tinja
selama lebih dari setahun.
Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai
natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat
mengekskresikannya melalui secret saluran nafas, urin, tinja dalam jangka waktu
yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat
hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu, atau kotoran
yang kering maupun pada pakaian. Mudah mati pada klorisasi dan pasteurinisasi
(temp 63oC).
6
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui
makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau
pembawa kuman (carier), biasanya keluar bersama- sama dengan tinja (rute fecal-
oral).
Dapat juga terjadi transmisi transprasental dari seorang ibu hamil yang
berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-
fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada
bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.
2.4 Patofisiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti
ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2)
bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus
limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial
3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang
meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas
membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2)
banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang
biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk
7
dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja
meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria,
post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan
Proton Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum
dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka
kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang
yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan
selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di
ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan
sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia
kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi
ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
8
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis
kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai
gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental
ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari
berturut- turut.
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan
otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel
di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti
gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi
makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika
untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang
dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang
9
tidak stabiil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis.
Bagan patomekanisme Infeksi Salmonella typhi :
10
2.5 Gejala Klinis
Keluhan dan gejala Demam Tifoid umumnya tidak khas, dan bervariasi
dari gejala yang menyerupai flu ringan sampai sakit berat dan fatal yang mengenai
banyak sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit demam tifoid berupa
demam berkepanjangan, gangguan gastrointestinal dan keluhan susunan saraf
pusat.
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Demam lebih dari
7 hari, biasanya mulai dengan subfebris yang makin hari makin meninggi,
sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari.
Demam yang terjadi biasanya khas tinggi pada sore hingga malam hari dapat
mencapai 39-40oC dan cenderung turun menjelang pagi. Dalam minggu kedua,
penderita terus berada dalam keadaan demam. Pada minggu ketiga suhu badan
berangsur- angsur turun dan normal pada akhir minggu ketiga. Perlu diperhatikan
bahwa tidak selalu ada bentuk demam yang khas seperti di atas pada demam
tifoid. Tipe deman menjadi tidak beraturan, mungkin karena intervensi
pengobatan (penggunaan antipiretik atau antibiotic lebih awal) atau komplikasi
yang terjadi lebih awal. Pada khususnya anak balita, demam tinggi dapat
menyebabkan kejang.
Mekanisme demam sendiri tidak jauh berbeda dengan mekanisme demam
akibat infeksi pada umumnya. Dimana Bakteri Salmonella typhi yang
memproduksi endotoksin merupakan pirogen eksogen selain mediator- mediator
radang yang disekresi oleh sel- sel mukosa usus yang mengalami infeksi (IL-1,
IL-6, TNF-alfa, & IFN-6) yang merupakan pirogen endogen. Kedua pirogen ini
11
akan mengaktivasi pelepasan Fosfolipase A2 pada membran sel yang mana akan
mengaktivasi asam arakidonat yang melalui jalur siklooksigenase memproduksi
Prostaglandin E2 (PGE2). Prostaglandin E2 bersama dengan AMP siklik yang
diaktivasinya akan mengubah seting termostat yang terdapat di hipothalamus
sehingga terjadilah demam.
Gejala sistem gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah,
perut kembung, lidah kotor, sampai hepato-splenomegali. Gastrointestinal
problem biasanya dipengaruhi oleh peredaran bakteri atau endotoksinnya pada
sirkulasi. Dari cavum oris didapatkan lidah kotor yaitu ditutupi selaput putih
dengan tepi yang kemerehan kadangkala waktu lidah dijulurkan lidah akan
tremor kesemua tanda pada lidah ini disebut dengan Tifoid Tongue. Meskipun
jarang ditemukan pada anak- anak tapi cukup berarti diagnostik. Gejala- gejala
lain yang tidak spesifik seperti mual, anoreksia. Karena bakteri menempel pada
mukosa usus dan berkembang biak dalam Peyer patch di dalamnya maka tidak
jarang akan muncul gejala- gejala seperti diare atau kadang diselingi konstipasi.
Diare merupakan respon terhadap adanya bakteri dalam lumen usus yang perlu
untuk secepatnya dikeluarkan, namun diare pada demam tifoid tidak sampai
menyebabkan dehidrasi, pun begitu dengan konstipasi yang mungkin baru dialami
setelah mengalami diare beberapa kali. Penderita anak- anak lebih sering
mengalami diare daripada konstipasi dewasa sebaliknya, hal itulah yang kadang-
kadang membuat sering miss diagnosis ketika penderita datang berobat.
Kuman yang mengalami perjalanan dalam sirkulasi (bekteremia) juga
menimbulkan gejala pada organ Retikulo Endotelial System salah satunya Hepar
12
dan Lien. Hepato- splenomegali terjadi akibat dari replikasi kuman dalam sel- sel
fagosit atau sinusoid. Replikasi dalam hepar dan lien ini tentunya akan
menyebabkan respon inflamasi lokal yang melibatkan mediator radang seperti
InterLeukin (IL-1, IL-6), Prostaglandin (PGE-2) dimana menyebabkan
permeabilitas kapiler akan meningkat sehingga terjadi oedema. Pembesaran pada
hepar-lien ini umumnya tidak selalu nyeri tekan dan hanya berlangsung singkat
(terutama terjadi waktu bakteremia sekunder). Penanda ini cukup spesifik dalam
membantu diagnostik.
Gangguan Sistem Saraf terjadi bila ada toksin yang menembus Blood
Brain Barier, pada anak gangguan sistem saraf akibat tifoid ini lebih sering
bersifat Sindrom Otak Organik yang berarti kelainan extra cranial mengakibatkan
gangguan kesadaran seperti Delirium, gelisah, somnolen, supor hingga koma.
Pada anak- anak tanda- tanda ini sering muncul waktu mereka tidur dengan
manifestasi khas “mengigau atau nglindur” yang terjadi selama periode demam
tifoid tersebut. Gangguan otak organik ini biasanya lebih berat ditemukan pada
demam tifoid pada keadaan lanjut yang sudah mengalami komplikasi. Pada
keadaan ini biasanya gangguan kesadaran tidak lagi ditemukan hanya sewaktu
tidur saja melainkan bisa timbul sewaktu- waktu.
Pada ekstremitas, punggung, atau perut mungkin didapatkan floresensi
kulit berupa ruam makulo papular kemerahan dengan ukuran 1-5 mm yang mirip
dengan ptechiae disebut dengan Roseola/ Rose Spot. Penyebab roseola ini karena
emboli basil dalam kapiler kulit terkumpul di bawah permukaan kulit sehingga
menyerupai bentuk bunga roseola. Ruam ini muncul paa hari ke 7-10 dan
13
beratahn selama 2-3 hari. Namun menurut IDAI penyakit tropik infeksi ruam/rose
spot ini hampir tidak pernah dilaporkan pada kasus anak di Indonesia.
Bradikardi Relatif, adalah tanda lain yang mungkin ditemukan pada infeksi
tifoid. Pada umumnya tiap kenaikan suhu 1oC akan diikuti oleh peningkatan
denyut nadi sampai 10x tiap menitnya. Namun pada demam tifoid peningkatan
suhu tubuh tidak diikuti oleh peningkatan denyut nadi sehingga dikatakan
Bradikardi yang relatif pada demam. Bradikardi relatif ini juga cenderung jarang
terjadi pada anak.
14
15
Mukosa Usus yang terinfeksi akan
menstimulasi datangnya sel- sel
fagosit (Netrofil dan makrofag)
Sel-sel yang mengalami cedera, netrofil,
dan makrofag sekresi mediator
peradangan: IL-1, IL-6, TNF-alfa, & IFN-6
(Pirogen Endogen)
Bakteri memproduksi
Endotoksin (Pirogen
Eksogen)
Aktivasi Fosfolipase A2 pada
membran fosfolipid
Aktivasi Asam
Arakidonat
Asam Arakidonat melalui jalur
siklooksigenase membuat
Prostaglandin E2 (PGE2)
Masuk Pembuluh darah
(Bakteremia Primer)
Mencapai organ Retikulo Endothelial
System (Hepar, Splen) = Bakteremia
Sekunder
Bakteri, toksin atau faktor virulensi lainnya
menyebabkan proliferasi sel-sel organ
Pembesaran organ
HepatomegaliSplenomegali
Makanan yang
terkontaminasi
Salmonell typhii
Masuk Saluran Cerna dalam
jumlah minimal 105-109 untuk
menimbulkan infeksi
Masuk ke dalam usus
halus melalui
mikrovilliMencapai “Plak Peyer”
Aktivasi AMP siklik
DEMA
M
Mengubah setting termostat
di hipothalamus
Suhu tubuh diatur
agar lebih tinggi
2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Diagnosis cukup ditegakkan dengan gejala klinis yaitu anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Karena pemeriksaan kuman melalui metode kultur
memerlukan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan hasil pasti
Salmonella typhi.
Anamnesis yang perlu dievaluasi untuk mengarahkan kecurigaan
terhadap demam tifoid:
- Demam, onset (hitung lama demam dari awal sakit sampai dibawa ke
pusat pengobatan), tipe demam (demam terutama pada malam hari
dan turun menjelang pagi hari), menggigil atau tidak, keringat dingin,
sejak kapan mulai demam tinggi terus tanpa suhu turun, disertai
kejang atau tidak
- Gejala gastrointestinal, Diare (sejak kapan, frekuensi, ampas +/-,
konsistensi, volume tiap diare, warna, darah, lender), konstipasi
(sejak kapan mulai tidak BAB), mual atau muntah, anoreksia,
malaise, perut kembung
- Gejala SSP, apakah anak sempat mengalami tidak sadar? Atau hanya
sebatas ngelindur atau mengigau saja waktu tidur.
- Riwayat Penyakit dahulu ditanyakan untuk mencari tahu apakah
pernah sakit seperti ini, karena demam tifoid adalah infeksi yang
sangat mungkin menjadikan penderitanya sebagai carier atau
pembawa meskipun tidak menunjukkan gejala
16
- Riwayat Terapi, bila sudah mendapatkan terapi baik hanya antipiretik
dan atau antibiotika klinis penyakit kemungkinan sangat mungkin
sudah mengalami perubahan
- Riwayat kehidupan sosial adalah yang tidak boleh dilupakan
mengingat salah satu faktor resiko terjadinya penyakit adalah
lingkungan yang padat dan sanitasi perorangan yang kurang baik.
- Riwayat makanan penderita perlu dicari kebiasaan makan atau
minum sembarangan atau di tempat yang kurang sehat dan mudah
dihinggapi lalat dan vektor penyakit yang lain. Riwayat pemberian
ASI juga perlu diketahui karena pentingnya ASI dalam pembentukan
IgA yang berperan dalam imunologi lokal dalam saluran cerna. Anak
yang minum susu formula sejak kecil tentunya memiliki saluran
cerna yang kurang diproteksi dengan baik oleh Imunoglobulin.
- Riwayat Imunisasi. Selain imunisasi wajib pemerintah juga telah
ditemukan vaksin untuk penyakit ini. Bila setelah diimunisasi pasien
tetap terinfeksi Tifoid sangat mungkin titer antibodi yang dibentuk
oleh vaksinasi sebelumnya tidak cukup kuat untuk mengantisipasi
infeksi berikutnya. Atau terdapat kegagalan dalam vaksinasi yang
dipengaruhi banyak faktor.
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik penderita sangat tergantung pada keadaan pasien
yang bervariasi menurut sudah sampai dimana perjalanan penyakitnya.
17
Keadaan Umum anak biasanya tampak lemah atau lebih rewel dari
biasanya. Pada keadaan yang sudah terjadi komplikasi sangat mungkin
keadaan menjadi toksik, salah satunya adalah penurunan kesadaran mulai
dari delirium, stupor hingga koma.
Pada pemeriksaan kepala dan leher observasi tanda- tanda dehidrasi
yang mungkin terjadi akibat diare sebagai suatu symptom yang dapat
terjadi pada infeksi demam tifoid. Tanda- tanda dehidrasi dapat dinilai
dari mata cowong dan bibir kering dengan rasa haus yang meningkat.
Pemeriksaan intra oral evaluasi lidah apakah didapatkan Tifoid Tongue
dengan pinggir yang hiperemi sampai tremor.
Pemeriksaan Thorax pada umumnya jarang didapatkan kelainan,
kecuali pada demam tifoid yang sangat berat dengan komplikasi
extraintestinal pada cavum pleura yang menyebabkan pleuritis, namun
sangat jaarang terjadi pada anak- anak.
Pemeriksaan Abdomen adalah yang paling penting dari
pemeriksaan fisik pada demam tifoid. Meteorismus dapat terjadi karena
pengaruh kuman Salmonella typhi pada intestinal atau akibat pengaruh
diare yang diselingi konstipasi. Bising usus biasanya meningkat baik
pada saat diare maupun saat konstipasi. Palpasi organ kemungkinan
didapatkan hepato-splenomegali ringan permukaan rata dengan nyeri
tekan minimal.
18
Pada extremitas, thorax, abdomen, atau punggung biasanya
didapatkan rose spot atau Roseola, yaitu ruam makulopapular kemerahan
dengan diameter 1-5 mm. Namun sangat jarang terjadi pada anak- anak
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap, pada darah lengkap infeksi bakteri akan menunjukkan
leukositosis dengan hitung jenis yang cenderung ke kiri (Diff. count
shift to the Left). Namun untuk tifoid leukosit cenderung normal atau
bahkan sampai leukopenia. Penyebab dari leukopenia ini belum
diketahui secara jelas, tetapi diyakini akibat replikasi kuman di dalam
Peyer Patch yang merupakan makrofag jaringan usus sehingga tidak
mampu dideteksi oleh polimorfonuklear leukosit granul seperti Netrofil
stab ataupun segmen. Makrofag jaringan merupakan Limfosit sehingga
tidak jarang terjadi Limfositosis relatif, karena makrofag meningkat
sedangkan lekosit PMN normal sampai menurun, hitung jenis bisa jadi
Shift to Right. Namun tidak jarang ditemukan leukosit yang meningkat
(leukositosis) bisa primer ataupun sekunder. Primer dari penyakit
demam tifoid itu sendiri, sedangkan sekunder bisa terjadi akibat infeksi
tumpangan. Pada keadaan Demam Tifoid yang sudah terjadi komplikasi
berupa perdarahan usus sangat mungkin didapatkan anemia dengan tipe
Hipokromik Mikrositik.
Uji Widal, uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman
Salmonella typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara
antigen kuman Salmonella typhi dengan antibody penderita yang
19
disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah
suspense bakteri Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya
agglutinin/antibodi dalam serum penderita tersangka demam tifoid
yaitu: antigen O (dari tubuh kuman itu sendiri), antigen H (dari flagella
kuman), antigen Vi (simpai kuman) dan antigen Paratyphi A dan B
(antigen dari Salmonella Paratyphi A dan B)
oUji Widal menggunakan cara klasik dengan menggunakan tabung
(Tube Aglutination Test), dengan rincian sebagai berikut:
Tabung I II III IV V
Larutan
garam
fisiologis
(ml)
0,9 0,5 0,5 0,5 0,5
Serum
pasien (ml)
0,1 0,5 0,5 0,5 0,5
Suspensi
antigen (ml)
0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
Titer
antibodi
1/10 1/20 1/40 1/80 1/160
oDengan keterangan sebagai berikut: Tabung I = solut : 0,1 ml
serum pasien, solven: 0,9 larutan garam fisiologis -> 0,1 dibagi 0,9
20
+ 0,1 = 0,1/0,1 = 1/10. Tabung II = 0,5 ml campuran larutan garam
fisiologis dan serum pasien tabung I (1/10) + 0,5 ml larutan garam
fisiologis tabung II = 1/20
Titer 1/10 mengandung arti dalam 1 ml serum terdapat 10 unit antibodi
Cara menentukan titer antibodi sebagai berikut:
Tabung I II III IV V
Titer 1/10 1/20 1/40 1/80 1/160
Deretan
Tabung
+ + - - -
+ + + - -
+ + + + +
oKeterangan: tanda (+) berarti terjadi aglutinat yaitu terjadi reaksi
antigen antibodi dan yang digunakan adalah tabung aglutinat
terakhir (titer 1/160)
oUji widal dianggap positif apabila didapatkan titer 1/200 atau
terjadi peningkatan sebanyak 4x
Dari keempat agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan antibodi mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam
atau awal minggu kedua, kemudian meningkat secara cepat dan
mencapai puncak pada minggu keempat dan tetap tinggi selama
beberapa minggu. Pada fase akut mula- mula timbul agglutinin O,
21
kemudian diikuti oleh agglutinin H. pada penderita yang sudah sembuh
agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan
agglutinin H dapat menetap 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal
bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: 1)
pengobatan dini dengan antibiotik, 2) gangguan pembentukan antibody/
immunocompromissed, 3) pemberian kortikosteroid, 4) waktu
pengambilan darah, 5) riwayat vaksinasi, 6) Reaksi amnestik, yaitu
peningkatan titer antibodi pada non infeksi tifoid atau infeksi tifoid
pada masa lalu, 7) faktor teknik pemeriksaan antara laboratorium,akibat
aglutinasi silang dan strain salmonella yang digunakan untuk suspense
antigen. Tromnositopeni juga sangat mungkin terjadi bila terjadi
penekanan sumsum tulang akibat bakteremia kuman.
Kultur, hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan
tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin
disebabkan beberapa hal sebagai berikut: 1) telah mendapat terapi
antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat
antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan
hasil mungkin negatif, 2) volume darah yang kurang (< 5cc darah). Bila
volume darah yang dibiakkan terlalu sedikit hasil biakan kuman bisa
negative. Darah yang diambil sebaiknya secara bedsaide langsung
dimasukkan ke media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman.
3) riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lalu dapat menimbulkan
22
antibodi dalam darah pasien. Antibodi in dapat menekan bakteremia
hingga biakan darah dapat negatif, 4) saat pengambilan darah yang
kurang tepat pada waktu antibodi meningkat (minggu pertama).
Oleh karena itu untuk pengambilan spesimen yang akan dikultur
sebaiknya diambil waktu awal minggu kedua setelah sakit karena
sensitifitasnya cukup tinggi, dikarenakan kuman hampir pasti
didapatkan diseluruh organ dan jaringan tubuh.
Kultur kuman dapat diambil dari darah, urin, atau feses. Arti diagnostik
yang penting didapat dari gall kultur (kultur di media biakan garam
empedu) karena kemampuan hidup bakteri salmonella sangat tinggi di
media ini. Spesimen lain yang mengandung arti diagnostik penting
adalah biopsi sumsum tulang yang memiliki hasil positif hampir 90%
kasus. Pada biakan feses yang perlu dicari adalah Fecal Monocyte
sebagai respon dari usus yang mengalami reaksi dengan skuman
salmonella yang bereplikasi di dalamnya. Biakan dari feses ini
khususnya bermanfaat bagi carier tifoid
Pemeriksaan Serologi (IgM dan IgG anti Salmonella), IgM anti
salmonella atau yang dikenal dengan TUBEXR tes adalah pemeriksaan
diagnostic in vitro semikuantitatif yang cepat dan mudah untuk
mendeteksi infeksi Tifoid akut. Pemeriksaan ini mendeteksi antibody
IgM terhadap antigen Lipo Polisakarida bakteri Salmonella typhi
dengan sensitivitas dan spesifitas mencapai > 95% dan > 91%.
23
Prinsip pemeriksaan dengan metode Inhibition Magnetic Binding
Immunoassay (IMBI). Antibodi IgM terhadap Lipopolisakarida bakteri
dideteksi melalui kemampuannya untuk menghambat reaksi antara
kedua tipe partikel reagen yaitu indikator mikrosfer latex yang
disensitisasi dengan antibodi monoclonal anti 09 (reagen warna biru)
dan mikrosfer magnetic yang disensitisasi dengan LPS Salmonella
typhi (reagen warna coklat). Setelah sedimentasi partikel dengan
kekuatan magnetik, konsentrasi partikel indikator yang tersisa dalam
cairan menunjukkan daya inhibisi. Tingkat inhibisi yang dihasilkan
adalah setara dengan konsentrasi IgM Salmonella typhi dalam sampel.
Hasil dibaca secara visual dengan membandingkan warna akhir reaksi
terhadap skala warna.
Ada 4 interpretasi hasil :
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan
infeksi demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang
3-5 hari kemudian.
Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:
Immunodominan yang kuat
Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi
(antigen Vi dan H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen
yang sangat kuat terhadap sel B.
24
Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T
sehingga respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat
dan cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor
yang lain.
Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang
ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme
Kelebihan pemeriksaan menggunakan IgM anti Salmonella:
Mendeteksi infeksi akut Salmonella
Muncul pada hari ke 3 demam
Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
Hasil dapat diperoleh lebih cepat
Pemeriksaan radiologi, bukan merupakan pemeriksaan wajib untuk
menegakkan diagnosa, tapi untuk evaluasi sudah terjadi komplikasi atau
belum:
Foto thorax, apabila saat perawatan didapatkan sesak, sangat
mungkin terjadi infeksi sekunder berupa pneumonia
Foto Polos abdomen (BOF), bila diduga sudah terjadi
komplikasi intestinal seperti perforasi usus. Gambaran yang
tampak bisa distribusi udara yang tidak merata, air fluid level,
bayangan radiolusen di daerah hepar, tanda- tanda udara bebas
dalam cavum abdomen.
25
2.7 Diagnosa Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang- kadang secara
klinis dapat menjadi diagnosis banding dari demam tifoid diantaranya
influenza/common cold, gastroenteritis akut, bronchitis atau bronkopneumonia
bila didapatkan tanda- tanda sesak, batuk dan demam. Pada demam tifoid yang
berat sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit Hodgkin dapat sebagai diagnosis
banding.
2.8 Penatalaksanaan
Prinsip utama dalam pengobatan demam tifoid adalah Istirahat dan
perawatan, diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), serta pemberian
antibiotika. Pada kasus tifoid yang berat hasus dirawat di rumah sakit agar
pemenuhan cairan, eletrolit, serta nutrisi disamping observasi kemungkinan
penyulit.
a) Istirahat dan perawatan bertujuan untuk menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman. Anak yang menderita demam tifoid sebaiknya tirah
baring/ Bed rest total dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang besar akan membantu
dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga
kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi
anak juga perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia
ortostatik serta hygiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
26
b) Diet dan Terapi Penunjang (simtomatik dan suportif), bertujuan untuk
mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Diet
merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit
demam tifoid terutama sekali pada anak- anak, karena makanan yang kurang
akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun
serta proses penyembuhan yang akan menjadi lama.
Pemberian diet penderita demam tifoid awalnya diberi bubur saring,
kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan
nasi,yang mana perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat
kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk
menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal
ini disebabkan karena usus harus diistirahatkan. Pemberian makanan padat
dini terutama tinggi serat seperti sayur dan daging dapat meningkatkan kerja
dan peristaltic usus sedangkan keadaan usus sedang kurang baik karena
infeksi mukosa dan epitel oleh kuman Salmonella typhi. Pemberian
makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak
memperburuk kondisi usus.
Terapi penunjang/suportif lain yang dapat diberikan tergantung gejala yang
muncul pada anak yang sakit tersebut. Pemberian infus pada anak- anak
penting tapi tidak mutlak, mengingat resiko untuk terjadinya phlebitis cukup
tinggi. Oleh karena itu pemberian infuse sebaiknya diberikan bagi anak
yang sakit dengan intake perOral yang kurang. Jenis infus yang diberikan
27
tergantung usia: 3 bln-3 tahun D5 ¼ Normal saline, > 3 tahun D5 ½ Normal
saline. Jumlah pemberian infus disesuaikan dengan kebutuhan kalori pada
anak. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan
rumatannya.
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk
menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi
saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak
mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral, obat yang masih
dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau
Novalgin.
c) Antibiotika
Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi
tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak
50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena
biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7
hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh
karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan
terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder
pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.
28
Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim
dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10
mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis.
Untuk pemberian secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5
mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari
pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya gangguan sistem
hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan
granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini
sudah dilaporkan resisten.
Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah
dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk
anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif.
Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4
dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama
dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),
merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih
dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap
Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100
mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7
hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4
dosis. Bila mampu untuk sediaan Per Oral dapat diberikan Cefixime 10-15
mg/kg/hari selama 10 hari.
29
d) Terapi penyulit
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai
syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30
menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang
diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus
segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.
2.9 Pencegahan
Pencegahan demam tifoid sangatlah penting, selain utntuk meningkatkan
kualitas kesehatan masyarakat pencegahan juga berperan dalam mengurangi
penderita carier sehingga resiko penularannya akan berkurang. Yang terpenting
adalah hygiene pribadi dengan menjaga kebersihan dan kualitas makanan yang
dikonsumsi. Macam- macam pencegahan untuk demam tifoid antara lain:
Preventif dan control penularan, merupakan tindakan pencegahan
penularan dan peledakan Kasus Luar Biasa (KLB) demam tifoid.
Mencakup kuman Salmonella typhi, faktor pejamu, serta faktor
lingkungan. Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan
tranmisi tifoid:
o Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi pada pasien Tifoid
Asimtomatik, carier, dan akut. Cara pelaksanaannya dapat secara
aktif yaitu mendatangi sasaran maupun pasif menunggu. Sasaran
30
aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu terutama anak- anak
yang tinggal di lingkungan padat dengan sanitasi yang kurang.
o Pencegahan transmisi langsung dari penderita terifeksi Salmonella
typhi akut maupun carier.
o Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi
Vaksinasi. Vaksin tifoid pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah
tahun 1960 efektifitas vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi
sebesar 51-88% (WHO). Jenis vaksin ada yang berisi kuman Salmonella
typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah
puluhan tahun digunakan dengan cara pemberian Sub Kutan, namun daya
kekebalannya terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat
suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi
hidup yang dilemahkan disebut : Ty21a (vivotif Berna) pemberiannya
secara Oral belum beredar di Indonesia, parenteral: ViCPS (Typhim
Vi/Pasteur Merineux) yang merupakan vaksin kapsul polisakarida.
Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3x secara bermakna
dengan selang 1 hari (hari 1,3,5) dapat memberi daya perlindungan selama
6 tahun. Usia sasaran vaksinasi berbeda efektivitasnya, untuk anak usia >
10 tahun insiden yang turun dapat sebesar 53% sedangkan anak usia 5-9
tahun insiden turun sebesar 17%. Imunisasi ulangan dilakukan tiap 3-5
tahun. Vaksin jenis ini diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun.
Vaksin oral ini pada umumnya diperlukan untuk turis yang akan
berkunjung ke daerah endemis tifoid.
31
Vaksin parenteral non aktif relatif lebih sering menyebabkan reaksi efek
samping serta tidak seefektif dibandingkan dengan pemberian peroral.
Diberikan pada usia > 2 tahun dan di booster tiap 3 tahun. Kemasannya di
dalam prefilled syringe 0,5 cc dan diberikan secara Intra Muskuler.
Kelompok orang yang menjadi sasaran vaksinasi tergantung pada faktor
resiko yang berkaitan diantaranya: anak usia sekolah terutama yang berada
di daerah endemik, pengunjung yang akan berwisata ke daerah endemic,
dan anak- anak yang kontak erta dengan pengidap tifoid (carier)
Efektivitas vaksin secara serokonversi dapat membuat peningkatan
antibodi sampai 4x setelah vaksinasi dengan ViCPS terjadi secara cepat
yaitu sekitar 15 hari- 3 minggu dan 90% bertahan selama 3 tahun.
Perlu diperhatikan tentang efek samping vaksin yang dapat berupa demam,
sakit kepala akibat pemberian vaksin Ty21a, sedangkan pada ViCPS efek
samping yang timbul lebih ringan. Efek samping yang paling sering terjadi
bila diberikan secara Intravena karena dapat terjadi reaksi lokal berat,
edema, hipotensi dan nyeri dada.
2.10 Komplikasi dan Penatalaksanaannya
Secara garis besar terdapat 2 macam komplikasi yaitu komplikasi
intestinal dan komplikasi ekstra intestinal.
Komplikasi intestinal mencakup perdarahan intestinal dan perforasi usus.
Pada perdarahan intestinal diawali dari Peyer Patch yang mengalami
infeksi terutama pada ileum terminal dapat terbentuk tukak/luka yang
32
berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka
menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka akan terjadi
perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi
dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi
gangguan koagulasi darah atau gabungan keduanya. Sekitar 25% penderita
demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor dan tidak memerlukan
tranfusi darah. Perdarahan yang hebat dapat terjadi hingga penderita dapat
mengalami syok hipovilemik. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah
ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kg/jam dengan factor
hemostasis yang masih dalam batas normal.
Perforasi Usus terjadi sekitar 3% penderita yang dirawat. Biasanya timbul
pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain
gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi, penderita demam tifoid
dengan perforasi usus akan mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di
daerah kuadran kanan bawah lalu menyebar ke seluruh lapang perut dan
disertai tanda- tanda ileus. Bising usus melemah, pekak hapar juga
menghilang yang menandakan adanya udara bebas dalam cavum abdomen.
Untuk lebih menguatkan kea rah perforasi usus dapat dilakukan
pemeriksaan foto polos abdomen AP dan lateral dimana akan didapatka
gambaran air fluid level dan bayangan radiolusen pada hepar.
Bila sudah terjadi perforasi maka harus segera diberikan antibiotik
spectrum luas untuk infeksi kuman Salmonella typhi dengan kombinasi
Chloramphenicol dan Ampisilin IV serta untuk mengatasi kuman yang
33
fakultatif anaerob pada flora usus digunakan Gentamisin atau
Metronidazole. Walaupun jarang terjadi pada anak- anak namun
mortalitasnya cukup tinggi bila sampai terjadi perforasi usus.
Komplikasi extraintestinal yang paling sering terjadi pada anak- anak
adalah manifestasi neuropsikiatrik yang mana sering terjadi delirium dan
atau Sindroma Otak Organik yang lain. Hal ini sering juga disebut sebagai
tifoid toxic atau tofoid ensefalopati. Pengobatannya ditambah dengan
Kortikosteroid (dexamethasone) 3x5 mg.
2.11 Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di Negara maju, dengan
terapi antibiotic yang adekuat, angka mortalitas < 1%. Di Negara berkembang,
angka mortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan
dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau
perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia dapat mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps atau kambuh dapat timbuh beberapa kali. Individu yang
mengeluarkan Salmonella typhi lebih dari 3 bulan setelah infeksi umumnya
menjadi carier yang kronis. Resiko menjadi carier pada anak- anak rendah dan
meningkat sesuai usia. Carier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam
tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada carier kronis
dibandingkan populasi umum. Walaupun carier urin kronis juga dapat terjadi,
34
namun hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu dengan
schistosomiasis.
35
BAB III
KESIMPULAN
Demam tifoid pada anak disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella
typhi yang ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan
masuk ke saluran cerna dan melakukan replikasi dapal ileum terminal.
Jumlah minimal kuman yang masuk saluran cerna minimal berjumlah 105
dimana kuman ini akan masuk ke lamina propria usus kemudian difagosit oleh
makrofag jaringan yang mana kuman akan melakukan replikasi di dalam
makrofag itu sendiri dan dibawa ke Peyer Patch lalu mengalami bakteremia
primer dan sekunder melewati organ- organ Retikulo Endotelial Sistem
diantaranya Hepar dan Lien. Baketermia ini sendiri akan memberikan gejala
seperti hepatosplenomegali karena proses inflamasi lokal organ. Lalu akan
kembali lagi ke dalam usus tempat masuknya kuman pertama kali.
Demam tifoid pada anak memiliki gejala yang cukup spesifik berupa
demam, gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang
terjadi lebih dari 7 hari terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi
hari. Gejala gastro intestinal bisa terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada
cavum oris bisa didapatkan Tifoid Tongue yaitu lidah kotor dengan tepi hiperemi
yang mungkin disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf Pusat berupa Sindroma
Otak Organik, biasanya anak sering ngelindur waktu tidur. Dalam keadaan yang
berat dapat terjadi penurunan kesadaran seperti delirium, supor sampai koma.
36
Diagnosis cukup ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang yang
dapat menunjang infeksi Demam Tifoid ini adalah Darah Lengkap, Uji Widal,
atau pemeriksaan serologi khusus yaitu IgM dan IgG antiSalmonella.
Penatalaksanaan penyakit ini meliputi 3 pokok utama yaitu: istirahat
dengan tirah baring yang cukup, Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah Serat,
dan Antibiotika yang memiliki efektivitas yang cukup tinggi terhadap kuman
Salmonella typhi.
Komplikasi terdiri dari Intraintestinal dan ekstraintestinal. Komplikasi
intraintestinal berupa perdarahan sampai perforasi usus. Sedangkan komplikasi
ekstraintestinal yang tersering didapatkan gangguan neuropsikiatrik selain
gangguan hematologi.
Pencegahan demam tifoid terutama menjaga sanitasi atau hygiene pribadi
atau lingkungan, mengurangi makanan yang memiliki resiko tertular penyakit ini,
serta dengan vaksinasi (Ty21a dan ViCPS).
Prognosis dipengaruhi masa inkubasi, periode of onset, berobat, imunisasi,
lokasi, focus infeksi, penyakit lain yang menyertai dan beratnya penyakit timbul.
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, Kliegma dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15
volume Z. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
2. Burnside, Mc Glynn. 1995. Adam’s Diagnosis Fisik. Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta.
3. Hegar, Badriul dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia Jilid 1. Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia.
4. Ilmu Kesehatan Anak.1985. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FK UI
5. Masjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid 2.
Jakarta: Media Aesculapius.
6. Panitia Medik Farmasi dan Terapi RSU Dr. Soetomo. 2008. Pedoman
Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak Edisi III. Surabaya:
RSU Dr. Soetomo Surabaya.
7. Soedarmo, Poorwo Sumarmo S. dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Badan Peberbit IDAI.
8. Sudoyo, Aru W. dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid III Edisi
IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
9. Wilson, dan Price. 2002. Patofisiologi Volume 1 Edisi Keenam. Penerbit
Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
10. www.medicastore.com
11. www.pediatric.com
12. www. emedicine/tifoidfever/patofisiogy.com
38