15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Audit Internal 2.1.1 Pengertian ...
15. bab ii
-
Upload
teguh-panji -
Category
Education
-
view
190 -
download
0
Transcript of 15. bab ii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembelajaran Matematika
1. Belajar
Pengertian belajar banyak dikemukakan oleh para ahli pendidikan antara lain:
Menurut Skinner (Dimyati, 1999: 9): Belajar adalah suatu perilaku. Pada saat
orang belajar, maka responnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar
maka responnya menurun. Menurut Gagne (Ruseffendi, 2006: 165): Belajar
dikelompokkan ke dalam 8 tipe belajar, yaitu isyarat, stimulus respons, rangkaian
gerak, rangkaian verbal, memperbedakan, pembentukan konsep, pembentukan aturan,
dan pemecahan masalah.
Berdasarkan beberapa pengertian belajar di atas secara umum belajar dapat
diartikan sebagai serangkaian proses yang ditandai dengan adanya perubahan perilaku
pada diri seseorang baik dari segi ranah kognitif (pengetahuan), ranah afektif (sikap),
serta ranah psikomotor (keterampilan). Belajar memberikan suatu proses terarah yang
menjadikan seseorang mencapai tujuannya. Oleh karena itu belajar menjadi
komponen paling vital dalam jenjang pendidikan.
Proses belajar adalah perubahan di dalam diri siswa yang terjadi sebagai akibat
pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungannya. Proses belajar
mengajar yaitu proses timbal balik antara guru dengan siswa dan antara siswa itu
sendiri. Guru menyampaikan materi pelajaran dengan berbagai teknik, metode dan
pendekatan pembelajaran yang tepat, siswa menerima informasi materi sebagai
10
11
stimulus dan melakukan respon terhadapnya, sehingga menimbulkan pemahaman dan
perilaku baru. Selain itu, siswa harus mengikuti secara aktif kegiatan belajar mengajar
untuk mengembangkan kemampuan, mengamati, menginterperensikan dan
menggeneralisasikan materi hasil penerimaannya (Sudjana, 1987: 28).
2. Hakekat Matematika
Berbicara mengenai hakekat matematika artinya menguraikan tentang apa
matematika itu sebenarnya, apakah matematika itu ilmu deduktif, ilmu induktif,
symbol-simbol, ilmu yang abstrak, dan sebagainya. Dengan demikian, tanpa
mengetahui hakekat matematika kita tidak mungkin dapat memilih strategi untuk
pengajaran matematika dengan benar. Begitu pula mengetahui hakekat matematika
akan membantu kita dalam memilih metode mengajar yang lebih sesuai. Dengan kata
lain, penerapan strategi dan metode mengajar itu akan banyak arti bila kita
mengetahui hakekat matematika.
Menurut Ruseffendi (2006 : 260) Matematika timbul karena fikiran-fikiran
manusia, yang berhubungan dengan idea, proses, dan penalaran. Matematika terdiri
dari empat wawasan yang luas yaitu aritmatika, aljabar, geometri, dan analisis. Selain
itu matematika adalah ratunya ilmu (Mathematics is the Queen of the Sciences),
maksudnya antara lain ialah bahwa matematika itu tidak bergantung kepada bidang
studi lain.
James dan James (Offirstson, 2012: 16) dalam kamus matematikanya
mengatakan bahwa ‘Matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk,
susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya
12
dengan jumlah yang banyak yang terbagi kedalam tiga bidang yaitu aljabar, analisis,
dan geometri’. Namun dengan pengertian tersebut pembagian yang jelas akan sangat
sukar untuk dibuat, sebab cabang-cabang itu semakin bercampur.
Johnson dan Rising (Offirstson, 2012: 16) mengatakan bahwa “Matematika itu
adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, dan pembuktian yang logis,
matematika itu bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat,
jelas, dan akurat, refresentasinya dengan simbol dan padat, lebih daripada bahasa
simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi”.
Dengan demikian jelaslah bahwa matematika merupakan pelajaran yang
membutuhkan kompetensi yang memadai dalam mengajarkannya. Matematika
melatih pola pikir manusia agar senantiasa berpikir logis, sistematis, cermat, dan
cerdas. Seorang guru matematika diharapkan dapat menyampaikan atau menciptakan
pembelajaran yang menarik, penuh dengan inspirasi, inovatif, kreatif, dan bermakna
sehingga matematika dapat dipahami dengan mudah disertai kesan yang positif dari
para siswanya.
B. Pemecahan Masalah Matematika
1. Pemecahan Masalah
Pada Hakikatnya masalah adalah kesenjangan antara situasi nyata dan kondisi
yang diinginkan, atau antara kenyataan dan apa yang diharapkan. Kesenjangan
tersebut menampakkan diri dalam bentuk keluhan, keresahan, keseriusan atau
kecemasan (Gulo, 2002: 113).
13
Menurut Ruseffendi (2006 : 169), sesuatu itu merupakan masalah bagi
seseorang bila sesuatu itu baru, sesuai dengan kondisi yang memecahkan masalah
(perkembangan mentalnya) dan memiliki pengetahuan prasyarat.
Suatu persoalan akan menjadi suatu masalah bagi siswa jika persoalan itu
menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat segera ditemukan cara
pemecahannya dengan prosedur rutin yang sudah diketahui oleh siswa. Herman
(Kusmawan, 2012: 23) menyatakan, jika suatu masalah diberikan kepada seorang
anak dan anak tersebut langsung mengetahui cara menyelesaikannya dengan benar,
maka soal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai masalah. Apabila dikaitkan dengan
pembelajaran matematika, seseorang dikatakan sedang melakukan pemecahan
masalah, ketika siswa menghadapi situasi yang membingungkan untuk menerapkan
pengetahuan, keterampilan, atau pengalamannya pada suatu persoalan matematika
(Department of Education dalam Kusmawan, 2012: 23).
“Pemecahan masalah adalah proses menerapkan pengetahuan yang telah
diperoleh sebelumnya ke dalam situasi baru yang belum dikenal” (Suwarkono dalam
Wulandari, 2010). ”Metode pemecahan masalah adalah suatu cara pembelajaran
dengan menghadapkan siswa kepada suatu masalah untuk dipecahkan atau
diselesaikan” (Sriyono dalam Wulandari, 2010).Dalam pemecahan masalah siswa
didorong dan diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berinisiatif dan berpikir
sistematis dalam menghadapi suatu masalah dengan menerapkan pengetahuan yang
didapat sebelumnya.
14
Menurut Parnes, Noller, dan Biondi (Munandar, 1992: 110) untuk
memecahkan masalah secara kreatif, proses pemecahan masalah berlangsung dalam
lima tahap, yaitu :
a. Tahap mengumpulkan fakta
b. Tahap menemukan masalah
c. Tahap menemukan gagasan
d. Tahap menemukan jawaban
e. Tahap menemukan penerimaan
Setiap tahap terdiri dari dua fase. Pada fase pertama kita berusaha berpikir
divergen (kreatif), dengan mencetuskan ide-ide sebanyak mungkin, atau melihat
bermacam-macam alternatif. Pada fase divergen diikuti oleh fase berpikir konvergen:
di sini kita meninjau secara kritis semua gagasan yang muncul untuk memilih satu
atau beberapa gagasan yang paling baik.
Sumarmo (2010) menguraikan bahwa pemecahan masalah matematik
mempunyai dua makna yaitu:
a. Pemecahan masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran, yang digunakan
untuk menemukan kembali (reinvention) dan memahami materi/ konsep/
prinsip matematika. Pembelajaran diawali dengan penyajian masalah atau
situasi yang kontekstual kemudian melalui induksi siswa menemukan konsep/
prinsip matematika.
b. Pemecahan masalah sebagai kegiatan yang meliputi:
1) Mengidentifikasi kecukupan data untuk pemecahan masalah.
15
2) Membuat model matematika dari suatu situasi atau masalah sehari-hari.
3) Memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah
matematika dan atau di luar matematika.
4) Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, serta
memeriksa kebenaran hasil atau jawaban.
5) Menerapkan matematika secara bermakna.
Secara umum pemecahan masalah matematis adalah menyelesaikan masalah
matematika yang bersifat tidak rutin, oleh karena itu kemampuan ini tergolong pada
kemampuan tingkat tinggi.
Pada penelitian ini kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dilihat
dari indikator langkah-langkah kerja yang dilakukannya yaitu dengan mengacu pada
tahapan pemecahan masalah sebagai berikut ini (Polya dalam Abidin, 2011) :
a. Memahami masalah, yaitu dengan mengidentifikasi masalah, dan memeriksa
kecukupan data.
b. Membuat rencana pemecahan masalah, yaitu dengan membuat model
matematika dari masalah yang diberikan.
c. Menjalankan rencana pemecahan masalah, yaitu dengan memilih dan
menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah tersebut.
d. Memeriksa kembali hasil yang diproleh.
16
2. Strategi Pemecahan Masalah
Webster (Sa’diah, 2010: 18) mendefinisikan strategi sebagai suatu rencana
yang hati-hati. Dalam bagian ini, Webster juga mendefinisikan strategi sebagai suatu
seni untuk memikirkan sebuah rencana untuk mencapai sebuah tujuan. Dalam
memecahkan suatu masalah diperlukan suatu strategi yang dapat dilakukan dalam
masalah tersebut.
Menurut Bower dan Ernest (Sa’diah, 2010: 19) mengungkapkan bahwa ‘untuk
memecahkan suatu masalah matematik terdapat dua strategi yang dapat dilakukan
dalam mencari suatu solusi. Solusi yang dimaksud adalah strategi khusus yang
dikenal sebagai algoritma atau strategi berbasis aturan dan strategi umum yang
dikenal sebagai heuristik’.
Algoritma merupakan suatu prosedur dari suatu aturan yang dapat digunakan
untuk mendapatkan solusi dari bermacam-macam masalah yang ada. Algoritma
mengemukakan pencairan secara tepat bagaimana memecahkan masalah. Algoritma
tidak hanya dapat diterapkan pada masalah-masalah spesifik tetapi untuk semua
masalah yang mempunyai karakteristik atau tipe yang sama. Sebagai contohnya,
untuk memecahkan masalah persamaan kuadrat dengan menggunakan algoritma
dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari aturan ini, yaitu dengan
menggunakan formula kuadratik, melengkapkan kuadrat atau pemfaktoran (Sa’diah,
2010: 19).
Strategi yang kedua adalah strategi heuristik. Heuristik merupakan petunjuk
praktis (rules of thumb) untuk mencari jalan yang efisien untuk memecahkan suatu
17
masalah. Heuristik dapat memberikan bantuan sekaligus sebagai petunjuk dalam
proses pencarian solusi suatu masalah. Strategi heuristik merupakan salah satu
strategi yang dapat dilakukan untuk mencari solusi. Strategi heuristik merupakan
suatu strategi yang ditujukan untuk pemecahan masalah matematik. Strategi heuristik
dapat memberikan bantuan dan sebagai petunjuk atau penuntun dalam proses
pencarian suatu solusi dari suatu masalah.
Strategi heuristik bertumpu pada usaha-usaha yang dilakukan oleh siswa.
Usaha-usaha tersebut seperti pemahaman atas soal, prasyarat apa yang sudah
diketahui oleh siswa, dan bagaimana prasyarat itu digunakan untuk mengatasi
kesulitan dari apa yang tidak diketahui. Berdasarkan usaha-usaha tersebut strategi
heuristik dapat menjadi pembuka ingatan akan konsep yang dapat dipakai atau
memudahkan mengenal situasi bahkan memperoleh solusi.
3. Langkah-Langkah Penerapan Strategi Penyelesaian Masalah
Berbicara pemecahan masalah, kita tidak bisa terlepas dari tokoh utamanya yaitu
Polya. Teknik pemecahan masalah yang dijelaskan oleh Polya difokuskan untuk
memecahkan masalah dalam bidang matematika, tetapi prinsip-prinsip yang
dikemukakannya dapat digunakan pada masalah-masalah umum. Menurut polya
dalam pemecahan masalah (Abidin, 2011). Ada empat langkah yang harus dilakukan,
keempat tahapan ini lebih dikenal dengan See (memahami problem), Plan (menyusun
rencana), Do (melaksanakan rencana) dan Check (menguji jawaban), sudah menjadi
jargon sehari-hari dalam penyelesaian masalah.
18
Gambaran umum dari langkah kerja pemecahan masalah menurut Polya:
a. Pemahaman pada masalah (Pemahaman Masalah)
Langkah pertama adalah membaca soalnya dan pahami soalnya dengan benar.
identifikasi soalnya :
Apa yang tidak diketahui?
Kuantitas apa yang diberikan pada soal?
Kondisinya bagaimana?
Apakah ada kekecualian?
b. Membuat Rencana Pemecahan Masalah (Merencanakan Strategi Pemecahan
Masalah)
Mencari hubungan antara hal-hal yang diketahui dengan yang tidak diketahui
untuk menghitung variabel yang tidak diketahui akan sangat berguna untuk
merencanakan pemecahan masalah. Hal yang dapat dilakukan adalah:
Membuat sub masalah
Pada masalah yang komplek, dapat dibuat menjadi beberapa sub masalah,
sehingga dapat diselesaikan secara satu per satu.
Mengenali sesuatu yang sudah dikenali.
Menghubungkan masalah tersebut dengan hal yang sebelumnya sudah
dikenali. Melihatlah pada hal yang tidak diketahui dan dan mencoba untuk
mencocokkan masalah yang mirip atau memiliki prinsip yang sama.
Mengenali polanya.
19
Beberapa masalah dapat dipecahkan dengan cara mengenali polanya. Pola
tersebut dapat berupa pola geometri atau pola aljabar. Jika melihat
keteraturan atau pengulangan dalam soal, maka dapat diduga apa yang
selanjutnya akan terjadi dari pola tersbut dan membuktikannya.
Gunakan analogi
Membuat analogi dari masalah tersebut, yaitu masalah yang mirip,
masalah yang berhubungan, yang lebih sederhana sehingga memberikan
petunjuk yang dibutuhkan dalam memecahkan masalah yang lebih sulit.
Masukan sesuatu yang baru
Apabila dipandang perlu, maka masukan sesuatu yang baru atau bisa juga
disebut peralatan tambahan, untuk membuat hubungan antara data dengan
hal yang tidak diketahui. Contohnya membuat diagram, gambar atau
model matematika lain dari suatu masalah yang dapat membantu dalam
pembedahan masalah.
Buatlah kasus
Kadang-kadang sebuah masalah harus dipecah/diuraikan kedalam
beberapa kasus dan untuk memecahkannya dengan cara memecahkan
setiap kasus terbut.
Mulailah dari akhir (Asumsikan Jawabannya)
20
Sangat berguna jika dibuat pemisalan solusi masalah, tahap demi tahap
mulai dari jawaban masalah sampai ke data yang diberikan
c. Malaksanakan Rencana (Menyelesaikan Permasalahan)
Dalam melaksanakan rencana yang tertuang pada langkah kedua, periksa tiap
langkah dalam rencana dan tuliskan secara detail untuk memastikan bahwa tiap
langkah sudah benar.
d. Lihatlah kembali (Mengevaluasi Hasil Penyelesaian Pemecahan Masalah)
Solusi yang telah diperoleh harus ditinjau kembali untuk meyakinkan bahwa
solusi tersebut benar.
C. Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS)
Model diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman
dalam melakukan suatu aktivitas tertentu. Dalam pengertian lain, model diartikan
sebagai barang tiruan, metapor, atau kiasan yang dirumuskan. Mariana (Matin, 2011:
22) menerangkan model tentang model dengan anggapan seperti kisaran yang
dirumuskan secara ekplisit yang mengandung sejumlah unsur yang saling tergantung.
Sebagai metafora model tidak pernah dipandang sebagai bagian data yang diwakili.
Model menjelaskan fenomena dalam bentuk yang tidak seperti biasanya. Setiap
model diperlakukan untuk menjelaskan sesuatu yang lebih atau berbeda dari data.
Jadi model merupakan kisaran yang padat yang bermanfaat bagi pembanding
hubungan antara data terpilih dengan hubungan antara unsur terpilih dari suatu
konstruksi logis.
21
Model pembelajaran merupakan kerangka yang melukiskan prosedur yang
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pemandu bagi para perancang desain
pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas
belajar mengajar (Mariana dalam Matin, 2012: 23).
Berdasarkan tujuan pendidikan nasional secara mikro menyebutkan bahwa
salah satu indikator keberhasilan pendidikan nasional adalah lahirnya sumber daya
manusia yang kreatif. Kreativitas ini (Mulyasa, dalam Wulandari, 2009: 19) akan
terlihat dalam cara bagaimana siswa dapat memecahkan suatu kesulitan, rintangan
atau menjembatani suatu perbedaan pendapat ataupun suatu harapan dan kenyataan
yang tidak sesuai secara logis, efektif dan efisien.
Menurut Mitchel dan Kowalik (Wulandari, 2009: 12):
Creative, an idea that has an element of newness or uniqueness, at least to the one who creates the solution and also has value and relevancy.Problem, any situation that pressents a challenge, an opportunity, or is a concern. Solving, devising ways to answer, to meet, or to resolve the problem. Therefore, CPS is a process, method, or system for approachng a problem in an imaginative way and resulting in effective action.
Menurut Karen (Matin, 2011: 23), model Creative Problem Solving (CPS)
adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada ketrampilan pemecahan
masalah, yang diikuti dengan penguatan kreatifitas. Ketika dihadapkan dengan situasi
pertanyaan, siswa dapat melakukan ketrampilan memecahkan masalah untuk memilih
dan mengembangkan tanggapannya. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa
22
dipikir, ketrampilan memecahkan masalah memperluas proses berpikir. Model
Creative Problem Solving (CPS) merupakan salah satu metode alternatif yang
dapat digunakan sehingga keaktifan siswa akan menjadi lebih baik. Penerapan
metode Creative Problem Solving (CPS) dalam pembelajaran matematika
melibatkan siswa untuk dapat bersikap aktif dalam proses pembelajaran.
Model Creative Problem Solving (CPS) pertama kali dikembangkan oleh Alex
Osborn, pendiri The Creative Education Foundation (CEF) dan co-founder of highly
sucsessfull New York Adversiting Agenncy. Pada tahun 1950-an Sidney Parnes
bekerjasama dengan Alex Osborn melakukan penelitian untuk menyempurnakan
model ini. Sehingga, model Creative Problem solving (CPS) ini juaga dikenal dengan
nama The Osborn-Parnes Creative Problem Solving (CPS) model. Pada awalnya,
model ini digunakan perusahaan-perusahaan dengan tujuan agar para karyawan
memiliki kreativitas yang tinggi dalam setiap tanggung jawab pekerjaannya. Namun
pada perkembangan selanjutnya, model ini juga ditetapkan pada dunia pendidikan.
Langkah-langkah dalam CPS menurut Mithcell dan Kowalik (Matin, 2011: 24)
adalah:
a. Mess-finding (menemukan yang dirasakan sebagai pengganggu)
Tahap pertama, merupakan suatu usaha untuk mengidentifikasi situasi yang dirasakan
menggangu.
b. Fact-finding (menemukan fakta)
23
Tahap kedua, mendaftarkan semua fakta yang diketahui yang berhubungan dengan
situasi tersebut, yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi informasi yang tidak
diketahui tetapi esensial pada situasi yang sedang diidentifikasi dan dicari.
c. Problem-finding (menemukan masalah)
Pada tahap menemukan masalah, diupayakan kita dapat mengidentifikasi semua
kemungkinan pernyataan masalah dan kemudian memilih apa yang paling penting
atau yang mendasari masalah.
d. Idea-finding (menemukan ide)
Pada tahap ini, diupayakan untuk menemukan sejumlah ide atau gagasan yang
mungkin dapat digunakan untuk memecahkan masalah.
e. Solution-finding (menemukan solusi)
Pada tahap penemuan solusi, ide-ide atau gagasan-gagasan pemecahan masalah
diseleksi, untuk menemukan ide yang paling tepat untuk memecahkan masalah,
f. Acceptance-finding (menemukan penerimaan)
Berusaha untuk memperoleh penerimaan atas solusi masalah, menyusun rencana
tindakan dan mengimplementasikan solusi tersebut.
Sedangkan proses pembelajaran dengan model pembelajaran CPS menurut Pepkin
(Wulandari, 2009: 21) terdiri dari langkah-langkah:
a. Klasifikasi Masalah
Klasifikasi maslah meliputi penjelasan mengenai maslah yang diajukan kepada siswa,
agar siswa memahami penyelesaian seperti apa yang diharapkan.
b. Pengungkapan Pendapat
24
Pada tahap ini siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat tentang
bagaiman strategi pemecahan masalah. Dari setiap ide yang diungkapkan, siswa
mampu untuk memberikan alasan.
c. Evaluasi dan Pemilihan
Pada tahap evaluasi dan pemilihan ini, setiap kelompok mendiskusikan pendapat-
pendapat atau strategi mana yang cocok untuk menyelesaikan masalah.
d. Implementasi (penguatan)
Pada tahap ini siswa menentukan strategi mana yang dapat diambil untuk
menyelesaikan masalah, kemudian menerapkannya sampai menemukan penyelesaian
dari masalah tersebut. Selain itu, pada tahapan implementasi, siswa diberi
permasalahan baru agar dapat memperkuat pengetahuan yang telah diperolehnya.
Jika dibandingkan dengan langkah-langkah pemecahan masalah menurut Polya
(memahami masalah, merencanakan pemecahannya, menyelesaikan masalah sesuai
rencana, dan memeriksa kembali hasil yang diperoleh), maka tidak ada perbedaan
yang cukup signifikan dengan langkah-langkah CPS. Hanya saja tujuan utama dari
CPS (Parnes, dalam Afifah, 2009) adalah membantu siswa mengembangkan :
1. Kesadaran akan pentingnya usaha kreatif dalam belajar, pekerjaan, mencari
ilmu pengetahuan dan seni, dan kehidupan pribadi,
2. Motivasi untuk menggunakan potensi kreatif ,
3. Percaya diri dalam kemampuan kreatif,
4. Meningkatkan kesensitifan terhadap masalah di lingkungan sekitar suatu sikap
“merasa tidak puas yang membangun”,
25
5. Terbuka terhadap ide-ide orang lain,
6. Rasa penasaran yang lebih besar – kesadaran terhadap banyak tantangan dan
kesempatan dalam kehidupan.
Implementasi model Creative Problem Solving (CPS) dalam pembelajaran
matematika (Matin, 2011: 26) yaitu:
1. Tahap awal
Guru menanyakan kesiapan siswa dalam mengikuti pembelajaran matematika,
kemudian mengulas kembali materi sebelumnya yang dijadikan prasyarat materi yang
akan dipelajari siswa dan menjelaskan aturan main dalam pembelajaran matematika
dengan menggunakan model Creative Problem Solving (CPS). Guru juga
memberikan motivasi kepada siswa tentang pentingnya pembelajaran yang akan
dilaksanakan.
2. Tahap inti
Siswa membentuk kelompok kecil untuk melakukan small discussion. Tiap
kelompok terdiri atas 4-5 siswa yang dibentuk oleh guru dan bersifat permanen. Tiap
kelompok mendapat LKS yang berisi materi pembelajaran dan permasalahan untuk
dibahas bersama dalam kelompoknya. Secara berkelompok siswa memecahkan
permasalahan yang terdapat dalam LKS sesuai dengan petunjuk yang tersedia di
dalamnya. Siswa mendapat bimbingan dan arahan dari guru dalam memecahkan
masalah. Peranan guru dalam hal ini adalah menciptakan situasi yang dapat
memudahkan munculnya pertanyaan dan mengarahkan kegiatan brainstorming dalam
rangka menjawab pertanyaan atas dasar interest siswa.
26
3. Tahap penutup.
Sebagai pemantapan materi, secara individual siswa mengerjakan pop quiz yang
ditampilkan dengan media pembelajaran dan guru memberikan poin bagi siswa yang
mampu memecahkan permasalahan sebagai upaya memotivasi siswa dalam
mengerjakan soal-soal. Suatu soal yang dianggap sebagai masalah adalah soal yang
memerlukan keaslian berpikir tanpa adanya contoh penyelesaian sebelumnya.
Masalah berbeda dengan soal latihan. Pada soal latihan, siswa telah mengetahui cara
menyelesaikannya, karena telah jelas hubungan antara yang diketahui dengan yang
ditanyakan, dan umumnya telah ada contoh soal. Pada masalah, siswa tidak tahu
menyelesaikannya. Siswa menggunakan segenap pemikiran, memilih strategi
pemecahannya, dan memproses hingga menemukan penyelesaian dari suatu masalah.
D. Pendekatan Konvensional
Pada umumnya gambaran suatu kelas dalam pembelajaran matematika secara
konvensional adalah guru berdiri di depan kelas, berusaha memberikan pengetahuan
kepada siswa dengan ceramah atau ekspositori. Jadi kegiatan utama guru adalah
menerangkan dan siswa memperhatikan.
Mengajar adalah proses menyampaikan berbagai informasi atau pengalaman
dari seorang (guru) kepada pihak lain (siswa). Mengajar seperti pandangan Rusyana
masih bersifat konvensional. Dalam prakteknya tujuan mengajar hanya untuk
menyampaikan informasi atau pengetahuan saja dan selama proses pembelajaran
berlangsung guru merupakan pusatnya atau dengan kata lain proses pembelajaran
berpusat pada guru. Di samping itu pembelajaran seperti umumnya materi pelajaran
27
diserap melalui hafalan dan bukan berdasarkan proses mental dan emosional yang
diperoleh dari pengalaman. Sejalan dengan itu, Marpaung (Septiana, 2009: 27)
mengatakan pembelajaran konvensional umumnya guru beranggapan bahwa tugasnya
adalah menyelesaikan atau mentransfer pengetahuan seperti yang terdapat dalam
kurikulum, tanpa adanya usaha atau upaya untuk menolong siswa agar memahami
dan mengerti materi yang diajarkan.
Dengan demikian pembelajaran konvensional atau pembelajaran biasa yang
selama ini terjadi pada umumnya dilakukan secara klasikal, dan guru masih sangat
mendominasi kelas. Guru menyampaikan sejumlah informasi kepada siswa dan
komunikasi umumnya terjadi searah dari guru ke murid, guru memberi contoh soal
dan menyelesaikannya, penurunan atau pembuktian rumus. Siswa hanya mencatat
dan kadang-kadang sedikit disertai tanya jawab untuk menanyakan materi mana yang
belum dikuasai oleh siswa kemudian memberikan soal-soal latihan untuk diselesaikan
oleh siswa baik di buku maupun di papan tulis secara bergantian yang dikehedaki
atau yang ditunjuk oleh guru. Peran guru umumnya adalah menerangkan atau
menjelaskan, memberikan dan menyelesaikan soal, sedangkan siswa hanya
mendengarkan, menulis atau mencatat apa yang ditulis di papan tulis.
Melihat dari kegiatan guru dan murid serta ciri-ciri dalam proses pembelajaran
di atas, maka pembelajaran konvensional yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah pembelajaran yang biasa dilakukan guru sehari-hari dalam prakteknya selama
ini. Umumnya dalam kegiatan proses pembelajaran seperti tersebut di atas, guru
28
banyak menggunakan metode ceramah, dengan harapan agar semua materi mudah
disampaikan semua kepada muridnya sesuai dengan yang terdapat dalam kurikulum.
Dari keseluruhan konsep di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
pembelajaran konvensional adalah suatu kegiatan belajar mengajar yang didalamnya
aktivitas guru mendominasi suasana kelas, dimana guru sebagai pusat informasi dan
disini siswa pasif hanya menerima apa-apa saja yang disampaikan oleh guru.
Meskipun pembelajaran konvensional atau pembelajaran biasa juga disebut
pembelajaran yang masih bersifattradisional, hal ini bukan berarti pembelajaran biasa
yang menggunakan metode biasa tersebut jelek atau tidak baik, hanya saja menurut
Sriono (Hasanah, 2010: 20) metode ini lebih baik digunakan apabila antara lain:
a. Guru hendak menyampaikan pendapat dan pengetahuan yang tidak ada pada
bahan bacaan, maka guru harus menerangkan sendiri.
b. Guru hendak merangsang siswa untuk tugas-tugas yang akan dikerjakan.
c. Guru hendak menyimpulkan hal-hal penting yang telah diajarkan sehingga
tampak jelas hubungan antara pokok yang satu dengan yang lain.
d. Jika jumlah siswa sangat banyak sehingga tidak mungkin guru menggunakan
metode yang lain.
Model pembelajaran konvensional memiliki beberapa kelebihan dan
kekurangan. Sriyono (Hasanah, 2010: 20) menyebutkan bahwa tidak sedikit
keuntungan yang diperoleh dengan memanfaatkan metode ceramah ini, diantaranya :
a. Efisiensi waktu dan tenaga.
b. Mudah dilaksanakan dan pengaturan kelas tidak sulit.
29
c. Guru dapat menyampaikan pengalaman dan pengetahuan secara maksimal
tanpa melupakan tujuan utamanya (mengajar).
d. Dapat mencakup jumlah murid yang besar dengan materi yang luas bila perlu
Guru dapat menguasai kelas dengan mudah bila penyajian metodenya baik dan
menarik.
e. Meningkatkan status guru kalau ia tidak dapat memberikan pandangan yang
luas.
f. Bila guru memiliki kepribadian yang hebat, maka metode ini menggugah
semangat siswa untuk terus maju, berkembang dan meningkat.
g. Melatih murid memusatkan perhatian, terampil menyeleksi, mencatat
mengkritik sesuatu dengan bijaksana.
Dibalik keuntungan itu, juga didapatkan kerugian-kerugian, diantaranya :
a. Menahan pelajar dalam keadaan pasif.
b. Tidak memperlacar pelajar memecahkan masalah.
c. Hamper tidak kemungkinan bagi guru untuk memeriksa kemampuan belajar
anak.
d. Sangat memerlukan kemampuan berceramah.
e. Cenderung proses satu arah.
f. Sulit mengukur belajar anak.