Post on 06-May-2019
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI DAN MODEL PENELITIAN
Pada bab ini akan diuraikan beberapa hasil penelitian sebelumnya, konsep,
teori dan model penelitian yang akan merupakan acuan dalam menganalisis
masalah yang muncul.
2.1 Kajian Pustaka
Beberapa hasil penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan
penelitin ini khususnya yang berkaitan tentang bentuk pengelolaan daya tarik
wisata oleh Desa Pakraman Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung,
kendala-kendala yang dihadapi maupun upaya-upaya yang dilakukan antara lain
adalah berupa tesis oleh Ufi Najib (2005) dengan judul “Pola Pemberdayaan
Masyarakat Desa Pakraman Dalam Pengelolaan Sumber Daya Arkeologi Sebagai
Objek Wisata Budaya Di Bali”. Ufi Najib melakukan penelitian pada tiga lokasi
yang berbeda yaitu Desa Pakraman Pecatu, Desa Pakraman Bedulu dan Desa
Pakraman Beraban. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara melakukan
observasi lapangan, penyebaran kuisioner dan wawancara mendalam (depth
interview) dengan masyarakat dan aparat pemerintahan di masing-masing lokasi
penelitian. Data sekunder berupa buku, artikel ilmiah, laporan penelitian dan
laporan tahunan. Jenis data yang dipergunakan adalah data kualitatif dan data
11
kuantitatif. Teori-teori yang dijadikan bahan kajian dalam penelitian ini adalah
teori fungsionalisme struktural dan teori masyarakat aktif.
Khusus untuk penelitian dari Ufi Najib yang berlokasi di Desa Pakraman
Pecatu, relevansinya dengan penelitian ini adalah pada potensi sumber daya
arkeologi Uluwatu sebagai salah satu daya tarik wisata utama dan bagaimana
pengelolaan dari Desa Pakraman Pecatu terhadap daya tarik wisata Kawasan Luar
Uluwatu tersebut. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Desa Pakraman Pecatu
mendapatkan peran dan wewenang dari pemerintah Kabupaten Badung dalam
pengelolaan daya tarik wisata Uluwatu dan mendapatkan porsi 75 % dari hasil
retribusi. Dalam hal pemberdayaan Desa Pakraman Pecatu secara terprogram
dilakukan oleh pihak Pemerintah Desa Pecatu bekerja sama dengan Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Pengelolaan daya tarik wisata kawasan luar
Uluwatu meliputi upaya penataan, pengembangan, pemeliharaan dan pemungutan
retribusi bagi wisatawan yang melakukan kunjungan. Manfaat lain yang
didapatkan oleh masyarakat Desa Pakraman Pecatu antara lain adalah hak
prioritas pemanfaatan lahan di areal daya tarik wisata untuk digunakan sebagai
tempat usaha seperti kios cindera mata, warung/rumah makan, dan usaha/jasa
lainnya, anggota masyarakat usia produktif mendapatkan prioritas untuk
dipekerjakan dalam manajemen pengelolaan daya tarik wisata maupun dalam
manajemen perusahaan pariwisata yang ada di sekitarnya, serta masyarakat tidak
dibebani atas biaya-biaya kegiatan upacara yang dilaksanakan di Pura Uluwatu.
Berdasarkan paparan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ufi Najib
ditemukan beberapa persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini.
12
Persamaannya terletak pada penggunaan teknik pengumpulan data, jenis data,
sumber data, teori fungsionalisme struktural dan teknik analisis deskriptif
kualitatif. Persamaan yang lain adalah pada topik penelitian yaitu tentang sumber
daya atau potensi wisata berupa arkeologi yang terdapat di Desa Pecatu yaitu
Kawasan Luar Pura Uluwatu yang merupakan salah saya daya tarik wisata yang
dimiliki oleh Desa Pakraman Pecatu. Perbedaannya adalah pada permasalahan
yang diangkat, tujuan penelitian, waktu penelitian dan penggunaan teori struktural
fungsional, teori strukturasi dan teori hegemoni sebagai pedoman dalam
menjelaskan permasalahan yang diteliti. Ufi Najib lebih fokus pada sumber daya
arkeologi dengan mengambil lokasi penelitian di Bali di mana permasalahannya
adalah pada kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Badung dengan Desa
Pakraman dan permasalahan tentang pola-pola pemberdayaan masyarakat Desa
Pakraman dalam pengelolaan sumber daya arkeologi tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh I Wayan Ardika (1996) dengan judul
“Penelitian Peninggalan Benda-benda Purbakala Dalam Pengembangan
Pariwisata Budaya di Kabupaten Dati II Badung”, mengemukakan bahwa
panorama alam dan keberadaan Pura Uluwatu merupakan daya tarik bagi
wisatawan untuk melakukan kunjungan ke daya tarik wisata Uluwatu. Relevansi
dari penelitian ini adalah pada pengelolaan potensi pariwisata yang ada di
Kabupaten Badung yaitu Pura Uluwatu yang merupakan salah satu daya tarik
wisata yang dikelola oleh Desa Pakraman Pecatu bersama komponen masyarakat
yang lain. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa daya tarik wisata Pura
Uluwatu sudah dikelola dengan baik dan pendapatan yang diperoleh dari hasil
13
retribusi dikembalikan kepada masyarakat setempat. Masyarakat lokal
memperoleh peluang untuk membuka usaha dimana sebagian besar memulai
usahanya setelah kawasan tersebut dikembangkan sebagai obek wisata. Penelitian
dari I Wayan Ardika terdapat persamaan pada topik dan lokasi penelitian yaitu
daya tarik wisata yang ada di Desa Pecatu. Persamaannya yang lain adalah pada
penggunaan teknik pengumpulan data, jenis data, sumber data dan tehnik analisis
deskriptif kualitatif. Perbedaannya adalah penelitian sebelumnya berfokus pada
peninggalan benda-benda purbakala yang ada di Kabupaten Badung sedangkan
penelitian ini pada daya tarik wisata yang ada di Desa Pecatu serta waktu
penelitian.
Penelitian tentang daya tarik wisata yang ada di Desa Pecatu juga
dilakukan oleh I Made Adhika (2011) berupa disertasi yang berjudul
“Komodifikasi Kawasan Suci Pura Uluwatu di Kuta Selatan, Kabupaten Badung
dalam Era Globalisasi” Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dampak positif
dari pengembangan pariwisata di Desa Pecatu antara lain adalah perbaikan
infrastruktur, peningkatan kunjungan wisatawan, munculnya gairah berkesenian
masyarakat dan perkembangan taraf perekonomian masyarakat. Sedangkan
dampak negatif yang ditimbulkan antara lain adalah polemik masalah lahan,
petani penggarap tergusur, konflik kepentingan antar pihak, kebebasan dalam
melaksanakan ibadah terganggu, munculnya kekuasaan baru serta disharmonisasi
antara Pemerintah Desa dan Desa Pakraman. Penelitian dari I Made Adhika ini
terdapat relevansi dengan penelitian ini yaitu peran Desa Pakraman Pecatu dalam
pengelolaan daya tarik wisata menghadapi beberapa kendala yaitu kurang
14
terkoordinasinya program pengembangan dan pengelolaan daya tarik wisata yang
dilakukan oleh Desa Pakraman dengan program dari pemerintah Desa Pecatu.
Penelitian dari I Made Adhika terdapat persamaan pada topik dan lokasi
penelitian yaitu daya tarik wisata yang ada di Desa Pecatu khususnya kawasan
suci Pura Uluwatu yang termasuk di dalamnya adalah daya tarik wisata Pantai
Suluban, Pantai Padang Padang dan Pantai Nyang Nyang. Persamaannya yang
lain adalah pada penggunaan teknik pengumpulan data, jenis data, sumber data
dan teknik analisis deskriptif kualitatif serta penggunaan teori hegemoni.
Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada permasalahan yang diteliti yaitu pada
dampak komodifikasi dari daya tarik wisata di Desa Pecatu, sedangkan penelitian
ini meneliti tentang bentuk pengelolaan daya tarik wisata oleh Desa Pakraman
Pecatu, kendala-kendala yang dihadapi dan upaya-upaya yang dilakukan oleh
Desa Pakraman Pecatu dalam pengelolaan daya tarik wisata. Perbedaan yang lain
dari penelitian I Made Adhika adalah pada teori yang digunakan yaitu teori
komodifikasi, teori diskursus kekuasaan/pengetahuan dan teori komunikasi serta
waktu penelitian.
Perbedaan yang lain dari penelitian ini adalah merupakan penelitian yang
pertama kali mengangkat bentuk pengelolaan daya tarik wisata oleh Desa
Pakraman Pecatu, kendala-kendala yang dihadapi dan upaya-upaya yang
dilakukan oleh Desa Pakraman Pecatu dalam pengelolaan daya tarik wisata.
15
2.2 Deskripsi Konsep
Konsep adalah alat berpikir yang sangat penting dalam membangun alur
penelitian ilmiah. Menurut Rapar (1996) konsep dan ide memiliki arti yang sama
yaitu rupa, gambaran atau bayangan dalam pikiran yang merupakan hasil
tangkapan akal budi terhadap suatu entitas yang menjadi objek pikiran. Agar
terdapat suatu batasan yang jelas mengenai konsep yang akan dikemukakan,
dalam penelitian ini akan dilihat sejauh mana relevansi konsep dengan topik
penelitian, sehingga terlihat alur pemaparan yang tidak ke luar dari batasan
penelitian yang akan dilakukan. Adapun konsep yang perlu didefinisikan dalam
penelitian ini adalah :
2.2.1 Pengelolaan
Usman (2009) mengatakan bahwa kata “pengelolaan “ berasal dari kata
“manajemen” atau “administrasi”. Management diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi kata manajemen atau pengelolaan. Dalam beberapa konteks
keduanya mempunyai persamaan arti dan kandungan. Antara manajemen dan
pengelolaan memiliki tujuan yang sama yaitu tercapainya tujuan organisasi atau
lembaga. Pengelolaan merupakan sebuah bentuk bekerja dengan orang-orang
secara pribadi dan kelompok demi tercapainya tujuan organisasi. Menurut Umi
Chulsum dan Windy Novia, pengertian pengelolaan adalah proses yang
memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan
kebijakan dan pencapaian tujuan, proses melakukan kegiatan tertentu dengan
menggerakkan orang lain. Proses dalam memberikan pengawasan, pembuatan
16
kebijakan dan rencana atau tujuan yang ingin dicapai dimana kegiatan tersebut
dilakukan melalui orang lain merupakan prinsip/pengertian dari istilah
manajemen. Banyak definisi tentang manajemen, salah satu diantaranya yang
dikemukakan oleh Terry (2006) yang mengatakan bahwa manajemen merupakan
proses pencapaian suatu tujuan dengan memanfaatkan orang lain. Manajemen
dalam prosesnya berlangsung melalui tahap perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan dan pengawasan.
Pengelolaan diartikan sebagai suatu rangkaian pekerjaan atau usaha yang
dilakukan oleh sekelompok orang untuk melakukan serangkaian kerja dalam
upaya mencapai tujuan tertentu. Definisi pengelolaan oleh para ahli terdapat
beberapa perbedaan. Hal ini disebabkan karena para ahli meninjau pengertian
dari sudut yang pandang yang berbeda. Ada yang meninjau pengelolaan dari segi
fungsi, benda, kelembagaan dan pengelolaan sebagai suatu kesatuan. Namun jika
dipelajari pada prinsipnya definisi-definisi tersebut mengandung pengertian dan
tujuan yang sama.
Konsep pengelolaan daya tarik wisata hendaknya didasarkan atas model
pengelolaan yang melibatkan pemangku kepentingan di lokasi daya tarik wisata
yang bersangkutan dalam suatu wadah lembaga pengelola daya tarik wisata.
Pengelolaan suatu daya tarik wisata merupakan hal penting dilakukan untuk dapat
mencapai tujuan yang diinginkan. Keberhasilan pengelolaan suatu daya tarik
wisata dengan pengelolaan berbasis masyarakat dapat diukur dengan terciptanya
hubungan yang harmonis antara masyarakat lokal, sumber daya alam, budaya dan
wisatawan (Natori, 2001). Dalam pembangunan kepariwisataan yang dilakukan
17
haruslah dijaga agar tetap terpeliharanya budaya dan kepribadian bangsa serta
kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup. Kepariwisataan perlu ditata secara
menyeluruh dan terpadu baik antar lembaga yang ada di Desa Pecatu, masyarakat,
pelaku pariwisata sehingga dapat terwujudnya pemerataan dan keseimbangan
dalam pengembangannya.
Desa Pecatu sebelum berkembangnya pariwisata di Badung selatan
merupakan desa yang terbelakang dan jauh dari perkotaan dengan segala
keterbatasan aksesibilitas yang dimiliki seperti sarana jalan, air dan listrik.
Berkembangnya kawasan pariwisata Nusa Dua berdampak pula terhadap Desa
Pecatu. Keberhasilan dalam pengembangan dan pengelolan daya tarik wisata
khususnya daya tarik wisata yang berlokasi di daerah pedesaan yang jauh dari
perkotaan disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut hasil penelitian Blackman et
al (2004) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang berkonstribusi terhadap
suksesnya pengembangan pariwisata di daerah pinggiran/pedesaan antara lain
adalah “champion or leader, effective private public sector partnerships, the
identification and development of specialist attractions, government control and
support, good market research and community involvement”. Blackmant et al
(2004) juga mengidentifikasikan bahwa ada sejumlah hambatan dalam
pengembangan pariwisata di daerah pedesaan yaitu “a lack of control over
negative impacts, difficulties with finance, community opposition and lack of
infrastructure”.
Desa Pecatu merupakan daerah pinggiran dan jauh dari perkotaan, sejak
berkembangnya pariwisata, desa ini mengalami perubahan yang sangat pesat
18
terutama pada alih fungsi lahan dari pertanian lahan kering menjadi fasilitas
wisata, fasilitas perekonomian dan fasilitas pemukiman penduduk pendatang
akibat dampak dari pariwisata tersebut. Menurut Engle dalam Jamal (2004)
dengan mengambil studi kasus di Texas, Amerika Serikat bahwa “ tekanan
terhadap tanah pertanian terutama yang dekat dengan pusat-pusat perkotaan
semakin tunduk pada tuntutan untuk pembangunan komersial dan akses rekreasi
serta berdampak pada fragmentasi pada sosial kemanusiaan dan kesehatan
ekosistim”. Menurut Jamal et al (2004) suatu aspek inovasi yang harus dilakukan
oleh pengambil kebijakan adalah mempertimbangkan dampak sosial budaya
seperti hubungan budaya pertanian dengan lahan. Selanjutnya dalam pengelolaan
dan pengembangan daya tarik wisata hendaknya mengakomodasikan berbagai
kepentingan seperti yang diungkapkan oleh Jamal et al (2004) bahwa “partisipasi
dan masukan dari seluruh pemangku kepentingan menjadi prioritas yang utama
jika tingkat kompleksitas dari daya tarik wisata tersebut sangat tinggi dan
pendekatan menawarkan potensi yang besar dalam perencanaan dan pengambilan
keputusan”.
Menurut Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 Tentang
Kepariwisataan Budaya Bali pada Bab VI tentang pembangunan daya tarik wisata,
pasal 16 mencantumkan bahwa “pengelolaan daya tarik wisata dapat dilakukan
oleh Pemerintah Provinsi, Desa Pakraman, lembaga tradisional, perorangan dan
badan usaha. Pada Bab IX tentang peran serta masyarakat, pasal 24 ayat (1)
mencantumkan bahwa “masyarakat berhak memperoleh kesempatan yang seluas-
luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan kepariwisataan”. Hak
19
tersebut antara lain adalah sebagai pengelola daya tarik wisata. Pengelolaan daya
tarik wisata oleh Desa Pakraman Pecatu dalam penelitian ini sesuai dengan
konsep pengelolaan, dibatasi pada proses perencanaan, penataan, pengembangan,
pemeliharaan, pelayanan dan pemungutan retribusi serta pengawasan dari daya
tarik wisata yang ada di wilayah Desa Pakraman Pecatu, baik yang sudah
berkembang maupun yang akan dikembangkan sehingga apa yang menjadi tujuan
dan harapan masyarakat dapat tercapai.
2.2.2 Daya tarik wisata
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2009
tentang Kepariwisataan dicantumkan bahwa suatu daerah tujuan pariwisata yang
selanjutnya disebut destinasi pariwisata adalah “suatu kawasan geografis yang
berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat
daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta
masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan”.
Pengertian destinasi pariwisata juga tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi
Bali Nomor 2 tahun 2012 Tentang Kepariwisataan Budaya Bali. Pada Perda
tersebut mencantumkan bahwa “destinasi pariwisata Bali merupakan satu
kesatuan destinasi pariwisata yang terdiri atas sejumlah kawasan pariwisata,
kawasan daya tarik wisata khusus dan kawasan lainnya yang mempunyai daya
tarik wisata sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali”. Daya
tarik wisata berdasarkan kedua pernyataan di atas merupakan salah satu
20
komponen utama dalam pengembangan dan pengelolaan sebuah daerah tujuan
wisata.
Daya tarik wisata menurut Yoeti (2008) adalah segala sesuatu yang dapat
menarik wisatawan untuk berkunjung pada suatu daerah tujuan wisata seperti
atraksi alam, atraksi budaya, atraksi sosial dan atraksi bangunan. Hal yang hampir
sama dinyatakan oleh Spillane (2002) bahwa ada lima unsur penting suatu objek
wisata yaitu : attraction atau hal-hal yang menarik perhatian wisatawan, facilities
atau fasilitas-fasilitas yang diperlukan, infrastruktur dari suatu daya tarik wisata,
transportation atau jasa-jasa pengangkutan dan hospitality atau keramahtamahan,
kesediaan untuk menerima tamu. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan mencantumkan bahwa daya tarik
wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang
berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang
menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.
Suatu destinasi pariwisata menurut Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor
2 Tahun 2012 terdiri atas sejumlah kawasan pariwisata yang merupakan kawasan
strategis pariwisata yang berada dalam geografis satu atau lebih wilayah
administrasi desa/kelurahan yang didalamnya terdapat potensi daya tarik wisata,
aksesibilitas yang tinggi, ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas pariwisata serta
aktivitas sosial budaya masyarakat yang saling mendukung dalam perwujudan
kepariwisataan. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 tahun
2009 tentang Rencana Tata Ruang Provinsi Bali, khusus untuk Kabupaten Badung
21
meliputi tiga kawasan yaitu Nusa Dua, Kuta dan Tuban. Desa Pecatu merupakan
salah satu desa yang termasuk kawasan pariwisata Nusa Dua.
Menurut Karyono (1997) suatu daerah tujuan wisata mempunyai daya
tarik di samping harus ada objek dan atraksi wisata, juga harus memiliki tiga
syarat daya tarik, yaitu ada sesuatu yang yang bisa dilihat (something to see), ada
sesuatu yang dapat dikerjakan (something to do), dan ada sesuatu yang bisa dibeli
(something to buy). Tujuan utama dari wisatawan untuk mengunjungi suatu
daerah tujuan wisata adalah mendapatkan kepuasan dan manfaat dari daya tarik
wisata tersebut. Dalam kaitan dengan sumber daya yang merupakan potensi dari
suatu daerah yang dapat dikembangkan dan dikelola sebagai sebuah daya tarik
wisata menurut Dwyer dan Forsyth (1996) dalam Mudana (2002) terdapat tiga
jenis sumber daya yaitu natural resources (sumber daya alamiah seperti gunung,
pantai, wilayah liar, gurun, lautan, danau, flora dan fauna, iklim, sinar matahari,
iklim), man made resources (sumber daya buatan manusia seperti kota historis
dan modern, desa, hiburan, campuran antara rekreasi dan olah raga, monumen,
situs, bangunan dan relief, museum) dan human resources (sumber daya manusia
seperti populasi penduduk suatu destinasi, hubungan-hubungan penduduk,
nilai/budaya, identitas, aktivitas seni dan budaya). Sumber daya yang ada di Desa
Pakraman Pecatu yang dijadikan sebagai daya tarik wisata seperti beberapa pantai
yang merupakan natural resources yaitu Pantai Padang Padang, Pantai Labuhan
Sait, Pantai Suluban, Pantai Bingin, Pantai Nyang Nyang dan Pantai Dream
Land. Sumber daya arkeologi yang merupakan man made resources seperti
22
Kawasan Luar Pura Uluwatu, serta aktivitas budaya seperti ritual Agama Hindu
dan pementasan tari kecak di sisi luar dari Pura Uluwatu.
Pada penelitian ini yang dimaksudkan dengan daya tarik wisata adalah
sumber daya alam berupa pantai dan budaya yang memiliki keunikan, keindahan
dan nilai yang menjadi tujuan kunjungan wisatawan. Sumber daya tersebut
merupakan aset Desa Pakraman Pecatu terletak di wilayah administrasi Desa
Pecatu yang merupakan salah satu desa di kawasan pariwisata Nusa Dua,
Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung.
2.2.3 Desa Pakraman Pecatu
Di Bali sebelum penjajahan Belanda dikenal beberapa istilah yang
mempunyai hubungan dengan penyebutan desa yaitu sima, drsta, lekita, paswara,
awig-awig dan krama. Sima pada mulanya berarti patok atau batas wilayah,
kemudian berubah menjadi ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis yang berlaku
dalam suatu masyarakat. Drsta berarti pandangan masyarakat terhadap suatu tata
krama pergaulan hidup. Lekita berarti catatan-catatan atau peringatan mengenai
suatu kejadian di masyarakat. Paswara berarti suatu keputusan raja mengenai
suatu masalah di masyarakat. Awig-awig berarti suatu ketentuan yang mengatur
tata krama pergaulan hidup dalam masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan
yang ajeg. Krama berarti kumpulan orang-orang tua yaitu orang yang sudah
berumah tangga kemudian berubah menjadi masyarakat. Namun sekarang lebih
populer istilah desa adat yang merupakan sebuah istilah yang diberikan oleh
pemerintah kolonial Belanda untuk membedakannya dengan desa dinas yang
23
dipahami sebagai persekutuan hukum yang keberadaannya disebabkan oleh
kehendak bersama dari orang-orang yang karena tuntutan kodratnya harus hidup
bersama-sama dalam satu wadah yang dapat mempermudah dalam mewujudkan
kepentingannya (Surpha, 2002).
Desa adat yang ada di Bali menurut Dherana (1975) sudah ada dan
berkembang sepanjang sejarah serta peranannya dalam memberikan sumbangan
yang sangat berharga terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat di Bali.
Secara sosiologis, desa adat dengan seluruh unsur-unsurnya pada kenyataan yang
ada di masyarakat sampai saat ini benar-benar dihargai, ditaati bahkan diyakini
karena didalamnya bisa diabstraksikan suatu kehidupan dengan nilai luhur yang
bersifat religius.
Dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, di Bali dikenal adanya dua pengertian desa, yaitu desa Desa
Dinas atau Desa Administratif dan Desa Adat. Desa Dinas melaksanakan berbagai
kegiatan administrasi pemerintahan atau kedinasan. Desa Adat atau Desa
Pakraman yang mengacu kepada kelompok tradisional dengan dasar ikatan adat
istiadat dan terikat oleh adanya Pura Kahyangan Tiga. Dasar pembentukan desa
adat dan desa dinas memiliki persyaratan persyaratan yang berbeda, sehingga
wilayah dan jumlah penduduk pendukung sebuah desa dinas tidak selalu kongruen
dengan desa adat (Sudantra, 2007). Mengingat bahwa istilah Desa Pakraman telah
digunakan lebih dahulu dari pada istilah desa adat, maka Pemerintah Provinsi Bali
perlu mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa
Pakraman untuk menguatkan perubahan pengistilahan lembaga adat di tingkat
24
desa dari istilah Desa Adat menjadi Desa Pakraman. Peraturan Daerah Nomor 3
Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, sebagai mana telah diubah dengan Peraturan
Daerah Nomor 3 Tahun 2003 dengan jelas menegaskan hal itu dalam Pasal 1
angka (4) yang menyatakan sebagai berikut: ”Desa Pakraman adalah kesatuan
masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai suatu kesatuan tradisi
dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun
dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah
tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya
sendiri”.
Keberadaan Desa Pakraman sebagai masyarakat hukum adat di Bali sesuai
dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 1986 tentang kedudukan,
fungsi dan peranan desa adat ditegaskan bahwa hubungan antara Desa Pakraman
dengan pemerintah adalah koordinatif dan konsultatif. Desa Pakraman sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai fungsi membantu pemerintah dalam
kelancaran dan pelaksanaan pembangunan di segala bidang, terutama di bidang
keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan, melaksanakan hukum adat istiadat
dalam desa adat, memberikan kedudukan hukum menurut struktur adat terhadap
hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan sosial keperdataan dan
keagamaan, membina dan mengembangkan nilai-nilai adat di Bali dalam rangka
memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada
umumnya dan kebudayaan Bali pada khususnya berdasarkan paras-paros
salulung sabayantaka, menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa
adat untuk kesejahteraan masyarakat adat. Dalam melaksanakan peran atau
25
fungsinya tersebut terdapat perbedaan antara desa adat dengan aparat pemerintah
di daerah perlu diselesaikan secara musyawarah/mufakat. Apabila tidak berhasil
diselesaikan, upaya penyelesaian dilakukan oleh kepala wilayah (Camat, Wali
Kota/Bupati, Gubernur) dan lembaga adat yang lebih tinggi tingkatannya dengan
memperhatikan kepentingan masyarakat adat setempat (Dharmayuda, 2001).
Desa Pakraman yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah menurut
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 yaitu “Desa Pakraman
sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai suatu
kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara
turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang
mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus
rumah tangganya sendiri”. Desa Pakraman yang di wilayahnya sendiri terdapat
harta kekayaan sendiri berupa sumber daya pariwisata seperti sumber daya alam,
arkeologi dan budaya yang dijadikan sebagai daya tarik wisata perlu dilibatkan
dalam pengelolaan daya tarik wisata tersebut. Masyarakat Desa Pakraman adalah
pemilik dari sumber daya pariwisata tersebut yang ada di wilayahnya (palemahan)
dan berhak untuk ikut menikmati hasil dari pengelolaannya.
Meskipun Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang
Desa Pakraman telah disahkan dan diberlakukan di Bali di mana istilah “desa
adat” telah berubah menjadi “Desa Pakraman”, namun masyarakat Desa Pecatu
masih menyebut wilayahnya dengan sebutan “Desa Adat Pecatu”. Menurut
Kelihan Desa Adat Pecatu Bapak I Ketut Murdana hal ini dilakukan sesuai
26
kesepakatan semua desa adat yang ada di Kabupaten Badung untuk menggunakan
istilah “desa adat”.
2.3 Landasan Teori
Beberapa pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
fungsionalisme struktural, teori strukturasi dan teori hegemoni. Berikut akan
diuraikan masing-masing teori tersebut.
2.3.1 Teori Fungsionalisme Struktural
Teori fungsionalisme struktural adalah satu bangunan teori yang paling
besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang ini (Ritzer dan Goodman,
2003). Pendekatan fungsionalisme struktural bertujuan untuk mencapai
keteraturan sosial. Pemikiran fungsionalisme struktural sangat dipengaruhi oleh
pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis
yang terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan dan ketergantungan
tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat
bertahan hidup. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional adalah
August Comte, Emile Durkeim dan Herbert Spencer. Teori fungsional menjadi
karya Talcott Parsons dan Robert King Merton di bawah pengaruh tokoh-tokoh
tersebut.
Talcott Parsons seorang sosiolog yang lahir tahun 1902 di Colorado
Spring, Colorado, Amerika melalui bukunya yang berjudul The Social System
yang terbit pada tahun 1951 memperkenalkan sebuah teori yang disebut teori
27
fungsionalisme struktural. Parsons melihat aktor sebagai orientasi pada situasi
dalam istilah motivasi dan nilai-nilai. Teori ini mengasumsikan bahwa masyarakat
merupakan sebuah sistem yang terdiri dari sub sistem yang saling berhubungan.
Menurut Rex (1985) mengatakan bahwa teori Parsons ini merupakan salah satu
dari tiga sistem interaksi yang saling ketergantungan satu sama lainnya. Titik
berat sistem sosial dari Parsons masih diletakkan pada struktur interaksi sosial dan
pola-pola orientasi tindakan dan hubungan-hubungan sosialnya di dalam sebuah
sistem sosial yang stabil. Konsep teori Parsons adalah sistem terbuka demi
kepentingan sistem sosial secara keseluruhan dengan lingkungan luar, dengan
maksud untuk mencapai tujuan-tujuan yang juga berada di luar sistem yang
terintegrasi dengan kultural dan sistem kepribadian.
Robert King Merton salah seorang mahasiswanya ketika Parsons baru saja
mulai mengajar di Harvard, mengkritik teori fungsionalisme struktural dari
Parsons. Merton kemudian memperkenalkan teori fungsionalisme struktural
secara lebih terbatas. Merton adalah salah seorang figur kunci dalam
pengembangan ilmu sosiologi di Columbia. Menurut Merton teori fungsionalisme
struktural dari Parsons cenderung mengaburkan motif subyektif individual dengan
fungsi struktur atau institusi. Fungsionalisme struktural mungkin tidak akan
mampu mengatasi seluruh masalah sosial. Hal ini diakui sendiri oleh Merton
(Poloma, 2003).
Sasaran studi fungsionalisme struktural dari Merton ini antara lain adalah
peran sosial, pola institusional, proses sosial, pola kultur, emosi yang terpola
secara kultural, norma sosial, organisasi kelompok, struktur sosial, perlengkapan
28
untuk pengendalian sosial dan sebagainya (Ritzer dan Goodman, 2003). Menurut
Merton fungsi didefinasikan sebagai konsekuensi-konsekuensi yang dapat diamati
yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu. Penganut teori
fungsionalisme memandang segala pranata sosial yang ada dalam suatu
masyarakat tertentu serba fungsional baik positif maupun negatif. Masyarakat
senantiasa berada dalam keadaan berubah secara pelan dan tetap memelihara
keseimbangan.
Merton juga menjelaskan bahwa analisis struktural fungsional
memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat dan kultur (Ritzer
dan Goodman, 2003). Ia menyatakan bahwa setiap objek yang dapat dijadikan
sasaran analisis struktural fungsional tentu mencerminkan hal yang standar yaitu
terpola dan berulang. Dalam bagian lainnya Merton juga mengemukakan konsep
fungsi nyata (manifest) dan fungsi tersembunyi (latent). Fungsi nyata adalah
fungsi yang diharapkan, sedangkan fungsi yang tersembunyi adalah fungsi yang
tidak diharapkan (Ritzer dan Goodman, 2003), maka dalam struktur yang ada, hal-
hal yang tidak relevan dipengaruhi secara fungsional dan disfungsional.
Teori fungsionalisme struktural dari Merton digunakan untuk menjelaskan
permasalahan pertama dan permasalahan ketiga yaitu bentuk pengelolaan daya
tarik wisata dan upaya-upaya yang dilakukan oleh Desa Pakraman Pecatu .
Bentuk pengelolaan daya tarik wisata nantinya diwujudkan sebagai fungsi nyata
dari Desa Pakraman Pecatu. Program-program dari Desa Pakraman terutama
upaya-upaya yang dilakukan dalam pengelolaan daya tarik wisata sehingga
tujuan meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan
29
masyarakat dan tetap terjaganya kelestarian adat, budaya dan agama.Tercapainya
tujuan tersebut merupakan wujud fungsi yang diharapkan. Teori fungsionalisme
structural dari Merton juga digunakan sebagai pedoman dalam
mengidentifikasikan permasalahan yang kedua yaitu kendala yang dihadapi oleh
Desa Pakraman dalam pengelolaan daya tarik wisata di Desa Pecatu. Kendala-
kendala yang ditemui nantinya diwujudkan sebagai fungsi yang tidak diharapkan.
2.3.2 Teori Strukturasi
Teori struturasi diperkenalkan oleh Anthony Giddens seorang teoritis asal
Inggris yang lahir pada tanggal 18 Januari 1938. Giddens menerbitkan buku
pertamanya dengan judul “The Class Stucture of Advance Societes” tahun 1975.
Giddens menyatakan bahwa setiap riset pada ilmu sosial atau sejarah selalu
menyangkut hubungan tindakan yang sering kali disinonimkan dengan agen dan
struktur. Namun dalam hal ini tidak berarti bahwa struktur menentukan tindakan
atau sebaliknya (Ritzer dan Goodman, 2003).
Bidang mendasar studi ilmu sosial menurut teori strukturasi dari Giddens
bukanlah pengalaman aktor individual atau bentuk-bentuk kesatuan sosial
tertentu, melainkan praktik sosial yang diatur melintasi ruang dan waktu.Teori ini
memusatkan perhatian pada praktek sosial yang berulang itu pada dasarnya adalah
sebuah teori yang menghubungkan antara agen dan struktur. Tindakan yang
berulang-ulang dari agen-agenlah yang mereproduksi struktur tersebut. Seluruh
tindakan sosial memerlukan struktur dan seluruh struktur memerlukan tindakan
sosial (Ritzer dan Goodman, 2003). Keagenan menyangkut kejadian yang
30
dilakukan oleh individu, keagenan berarti peran individu. Apapun yang telah
terjadi tidak akan menjadi struktur seandainya individu tidak mencampurinya.
Giddens berusaha keras untuk memisahkan keagenan dari tujuan karena ia ingin
menyatakan bahwa tindakan sering berakhir dengan hasil yang berbeda dari apa
yang dimaksudkan semula (Ritzer dan Goodman, 2003).
Konsep dari strukturasi Giddens adalah berdasarkan pemikiran bahwa
konstitusi agen dan struktur bukan merupakan kumpulan dua fenomena biasa
yang berdiri sendiri (dualisme), tetapi mencerminkan dualitas (Ritzer dan
Goodman, 2003). Strukturasi menurut Giddens meliputi hubungan dialektika
antara agen dan struktur. Struktur dan keagenan adalah dualitas, struktur tidak
akan ada tanpa keagenan demikian pula sebaliknya.
Teori strukturasi dari Giddens ini dianggap relevan untuk digunakan
sebagai pedoman dalam menjelaskan permasalahan yang pertama dalam
penelitian ini yaitu bentuk pengelolaan daya tarik wisata oleh Desa Pakraman
Pecatu. Pelaksanaan peran dari Desa Pakraman Pecatu yang dilakukan secara
berulang-ulang adalah sebuah praktek sosial yang menghubungkan antara agen
dan struktur. Sebagai agen dalam penelitian ini adalah prajuru Desa Pakraman
dan strukturnya adalah warga masyarakat Desa Pakraman, yang mana keduanya
saling mempengaruhi. Prajuru Desa Pakraman melaksanakan bentuk peran dalam
pengelolaan daya tarik wisata yang ada secara berulang-ulang melalui program-
program kerjanya dalam upaya untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh
warga masyarakat Desa Pakraman Pecatu.
31
2.3.3 Teori Hegemoni
Teori hegemoni diperkenalkan oleh Antonio Gramsci. Ia adalah seorang
filusuf, penulis dan teoritikus politik kelahiran Ales di Pulau Sardinia, Italia pada
tanggal 22 januari 1891. Hegemoni menurut Gramsci adalah situasi dimana suatu
blok historis faksi kelas berkuasa menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan
atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi antara kekuatan dan terlebih lagi
dengan konsensus (Barker, 2004). Gramsci juga mengatakan bahwa di atas semua
ideologi tidak dapat dipisahkan dari aktivitas praktis kehidupan, namun ia adalah
fenomena material yang berakar pada kondisi sehari-hari (Barker, 2004).
Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses
penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif
mendukung ide-ide kelas dominan. Penguasaan tersebut dilakukan melalui
persetujuan masyarakat. Dalam upaya memenangkan hegemoni dilakukan dengan
melibatkan pendidikan dan pemenangan konsensus (Barker, 2004). Ideologi
adalah alat yang digunakan oleh kelas dominan terhadap kelas bawah. Menurut
Gramsci ideologi menyuguhi orang dengan aturan bagi tindakan praktis dan
perilaku moral. Ideologi adalah pengalaman yang hidup sekaligus sebagai
perangkat ide sistematis yang peranannya adalah mengorganisasi dan mengikat
secara bersama-sama dalam satu blok berbagai elemen sosial dalam pembentukan
blok hegemoni dan kontra hegemoni (Barker, 2004). Masyarakat kelas dominan
menciptakan kesadaran dari masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari
mereka rela dan mendukung kelas dominan tersebut.
32
Dalam hubungan antar kelompok dalam suatu perjuangan sosial, menurut
Gramsci terdapat dua peran yang membedakan yaitu peran intelektual tradional
yaitu kelompok yang mengisi posisi ilmiah, sastra, filosofis dan keagamaan, dan
peran kelompok intelektual organik yaitu kalangan kelas pekerja (Barker, 2004).
Teori hegemoni dianggap relevan pada penelitian ini sebagai pedoman
untuk membahas permasalahan pertama, kedua dan ketiga. Keberadaan Desa
Pakraman Pecatu melalui prajuru Desa Pakraman di tengah-tengah masyarakat
Desa Pakraman Pecatu merupakan kelompok hegemoni. Prajuru Desa Pakraman
Pecatu dalam menjalankan perannya menggunakan seperangkat ideologi ke dalam
program-program yang direncanakan untuk membangkitkan kesadaran
masyarakat Desa Pakraman Pecatu sehingga tanpa disadari, masyarakat Desa
Pakraman Pecatu rela mendukung program-program dan upaya-upaya yang
dilakukan oleh Desa Pakraman dalam pengelolaan daya tarik wisata di Desa
Pakraman Pecatu. Dalam melaksanakan peran Desa Pakraman, apabila terjadi
pemaksaan ideologi yang dilakukan oleh prajuru terhadap warga masyarakat Desa
Pakraman maka akan terjadi kendala peran yang berakibat pada gagalnya
penguasaan kelas dominan terhadap kelas bawah yaitu warga masyarakat Desa
Pakraman Pecatu.
2.4 Model Penelitian
Pariwisata di Kabupaten Badung merupakan sektor yang paling
diunggulkan karena memberikan kontribusi yang besar bagi pendapatan daerah
dan pendapatan masyarakatnya (Bappeda Litbang Kabupaten Badung, 2012).
33
Sebagai salah satu pemangku kepentingan yang memegang peran penting dalam
pengembangan dan perkembangan kepariwisataan di Kabupten Badung,
Pemerintah Daerah Kabupaten Badung berupaya untuk membuat beberapa
program antara lain memberdayakan potensi yang dimilikinya menjadi daya tarik
wisata, penyediaan sarana dan prasarana wisata termasuk melakukan pembinaan
dan pelatihan di bidang pariwista kepada masyarakat, sehingga kunjungan
wisatawan akan meningkat yang pada akhirnya memberikan dampak positif
terutama dari segi pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat. Pemerintah
Daerah Kabupaten Badung melalui Perda Nomor 20 tahun 1994 Tentang
Pengusahaan dan Retribusi Objek Wisata, memberikan kepercayaan kepada Desa
Pakraman untuk terlibat secara langsung dalam pengelolaan daya tarik wisata.
Kepercayaan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Badung tersebut
memberikan peluang dan tantangan bagi Desa Pakraman Pecatu untuk dapat
mengelola daya tarik wisata yang ada di wilayahnya.
Pada penelitian ini difokuskan pada beberapa daya tarik wisata yang
merupakan aset dari Desa Pakraman Pecatu baik berupa daya tarik wisata budaya
seperti Kawasan Luar Pura Uluwatu, dan beberapa daya tarik wisata alam berupa
pantai. Daya tarik wisata yang dimiliki oleh Desa Pakraman Pecatu tersebut
secara umum sangat menarik wisatawan untuk berkunjung, karena memiliki
keunikan-keunikan. Permasalahan yang muncul adalah pada aspek pengelolaan.
Walaupun daya tarik wisata tersebut merupakan aset dari Desa Pakraman Pecatu,
tetapi masih ada pemangku kepentingan lain yang juga terlibat dalam pengelolaan
daya tarik wisata yang ada di Desa Pakraman Pecatu dengan kepentingannya
34
masing-masing seperti Pemerintah Desa, Pemerintah Daerah dan beberapa
kelompok masyarakat. Mengakomodasikan berbagai kepentingan yang ada
merupakan permasalahan yang dihadapi oleh Desa Pakraman Pecatu dalam
pengelolaan daya tarik wisata diwilayahnya.
Dalam penelitian ini terdapat tiga pokok masalah yang akan dicari
jawabannya yaitu bagaimana bentuk pengelolaan daya tarik wisata oleh Desa
Pakraman Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, apa kendala-
kendala yang dihadapi oleh Desa Pakraman dalam pengelolaan daya tarik wisata
di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung dan bagaimana
upaya-upaya Desa Pakraman dalam pengelolaan daya tarik wisata di Desa Pecatu,
Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Untuk mengidentifikasikan antara
pengelolaan daya tarik wisata dengan sasaran yang ingin dicapai dari pengelolaan
tersebut maka dalam penelitian ini digunakan beberapa konsep dan teori. Konsep
yang relevan untuk mendukung penelitian ini adalah pengelolaan, daya tarik
wisata dan Desa Pakraman Pecatu. Teori yang relevan digunakan sebagai
pedoman dalam penelitian ini adalah teori fungsionalisme struktural, teori
strukturasi dan teori hegemoni.
Berdasarkan konsep dan teori tersebut kemudian dianalisis menggunakan
analisis deskriptif kualitatif sehingga dapat diidentifikasikan bagaimana
pengelolaan daya tarik wisata oleh Desa Pakraman Pecatu, Kecamatan Kuta
Selatan, Kabupaten Badung. Hasil penelitian kemudian direkomendasikan kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten Badung dan Desa Pakraman Pecatu. Secara lebih
jelas model penelitian ini disajikan seperti pada Gambar 2.1.
35
PEMERINTAH
KABUPATEN BADUNG
DESA PAKRAMAN
PECATU
Daya tarik wisata Pengelolaan
Pengelolaan daya tarik wisata oleh Desa
Pakraman Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan,
Kabupaten Badung
Konsep :
- Pengelolaan - Daya tarik
wisata - Desa
Pakraman Pecatu
Rumusan Masalah:
1.Bentuk pengelolaan daya
tarik wisata oleh Desa
Pakraman Pecatu.
2. Kendala yang dihadapi
Desa Pakraman Pecatu
dalam pengelolaan daya
tarik wisata.
3. Upaya yang dilakukan
Desa Pakraman Pecatu
dalam pengelolaan daya
tarik wisata.
Teori :
- Fungsionalisme
struktural
- Strukturasi
- Hegemoni
Hasil penelitian
Rekomendasi
Gambar 2.1 Model Penelitian