Email : rskelet jeparajawatengah.go.id LPD DESA PAKRAMAN ...
Analisis Perkembangan LPD Pecatu Berbasis Green Economy
Transcript of Analisis Perkembangan LPD Pecatu Berbasis Green Economy
Analisis Perkembangan LPD Pecatu Berbasis Green Economy
2017
Prof Dr I Made Mertha
Prof Dr I Wayan Suartana
Dr. Ni Putu Wiwin Setyari
Table of Contents
Contents
Pilar Keberadaan LPD ___________________________________________ 1
LPD dan Nilai Adat Bali __________________________________________ 4
Pengembangan Basis Green Economy di Desa Pecatu ________________ 13
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD _______________________ 201
Kesimpulan dan Rekomendasi____________________________________ 75
Dokumentasi Kegiatan___________ _______________________________ 80
Pg. 01
Tiga Pilar LPD
Tiga Pilar LPD
Lembaga Perkreditan Desa (LPD) menjadi pembicaraan hangat akhir-akhir ini.
Kinerjanya yang cukup baik yang salah satunya bisa dilihat dari rasio BOPO (Biaya
Operasional dibandingkan Pendapatan Operasional) menjadikan lembaga ini,
mermanfaat bagi masyarakat desa adat maupun dalam pembangunan
perekonomian pedesaan. Keberadaan LPD di Bali sebagai wujud nyata ekonomi
kelembagaan berbasis komunitas dan kearifan lokal. Belakangan ini ada polemik
yang berkembang mulai dari SKB (Surat Keputusan Bersama) 3 menteri dan BI
yang mengharuskan lembaga ini memilih badan hukum yang tersedia dan 5% dana
pembinaan (Bisnis Bali /19/1/ 2011). Respons berbagai pihak juga sampai menyentuh
pada apakah lembaga ini berganti nama atau paling tidak singkatannya sama tapi
namanya berbeda.
Pilar Ekonomi
Sebagai pilar ekonomi, kenyataannya bahwa LPD adalah sebuah entitas (lembaga)
usaha. Entitas usaha dicerminkan oleh pengakuan adanya laba dalam laporan
keuangan LPD. Pilar ekonomi bertumpu pada prinsip-prinsip ekonomi yang lugas.
LPD boleh saja berwajah lokal, tetapi visinya global seperti visi perusahaan-
perusahaan lain pada umumnya. Efisiensi menjadi sebuah bahasa, tolok ukur dan
keharusan. Pertumbuhan laba dan aset menjadi besaran dan turunan berikutnya.
Orang berusaha pasti ingin maju dan usahanya bisa bertahan selama-lamanya.
“Keberlanjutan
keberadaan LPD
didasarkan pada
tiga pilar utama,
yaitu ekonomi,
budaya, dan
sosial”.
Pg. 02
Tiga Pilar LPD
Secara ekonomik, perubahan nama kurang relevan kalau di dalamnya tidak ada
perubahan substansi. Nama LPD dengan kepanjangannya Lembaga Perkreditan
Desa sudah menjadi semacam branding dan bisa jadi itu yang membawa
keberuntungan. Saat ini LPD sudah terbiasa dengan terminologi pendapatan, biaya
operasional, kompensasi karyawan dan laba sehingga itu makin mengukuhkan
bahwa LPD sebagai pilar ekonomi di desa adat. Ukuran kinerja yang tercermin pada
rasio-rasio keuangan pun konvensional dan hanya perlu ditambah dalam kaitan
dengan penanggulangan kemiskinan yaitu laba LPD memiliki korelasi kuat dengan
penurunan angka kemiskinan. Ini dilakukan supaya tidak terjadi paradoks, LPD-nya
maju tapi masyarakat sekitarnya masih miskin.
Pilar Budaya
Dalam perspektif budaya kita dapat melihatnya dari sistem nilai dan pola
pengambilan keputusan. Sistem nilai yang menganggap bahwa wanprestasi dalam
simpan-pinjam merupakan suatu dosa dan efektivitas sanksi adat diakui dan
diyakini sebagai kekuatan pemoderasi yang mendongkrak kinerja LPD. Sistem nilai
tidak bisa diukur tetapi merupakan perangkat lunak yang mendukung capaian
organisasi. Proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara musyawarah
mufakat dengan media paruman menjadikan partisipasi dalam pengambilan
keputusan tidak hanya retorika belaka. Aspek budaya lainnya juga berwujud pada
budaya organisasi. Budaya organisasi LPD dikembangkan lewat prinsip-prinsip tata
kelola perusahaan, etos kerja, dan memampukan nilai ekonomi jangka panjang
yang berkesinambungan dan berkeseimbangan dalam bingkai Tri Hita Karana.
Pg. 03
Tiga Pilar LPD
Semangat dan spirit menyama braya menjadikan LPD lahir dan berkembang dari
sebuah kesadaran kolektif.
Pilar Sosial
Pembagian keuntungan yang berbasis komunitas merupakan ciri yang menjadi
kekhasan lembaga ini. Keuntungan sepenuhnya kembali ke desa adat dalam suatu
pola distribusi yang egaliter. Pembagian keuntungan tidak lari ke orang perorangan
tetapi ke komunitas adat. Kalau kita cermati lebih jauh, pilar sosial LPD dapat dilihat
secara langsung pada neraca LPD yaitu tidak adanya modal yang berasal dari
perorangan.
Semuanya milik komunitas. Pembagian keuntungan yang bagian terbesarnya
diporsikan untuk pembangunan di desa adat juga menjadi nilai tambah sosial yang
tak terbantahkan. Adanya aturan bahwa karyawan LPD harus berasal dari desa
adat yang bersangkutan juga makin memperkuat pilar sosial LPD. Secara rutin, LPD
diyakini juga memiliki komitmen penting dalam menanggulangi masalah-masalah
sosial yang diimplementasikan lewat bea siswa pendidikan dan skim kredit bagi
masyarakat miskin.
Pg. 04
LPD dan Nilai Adat Bali
LPD dan Nilai Adat Bali
Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali dan Lumbung Pitih Nagari (Sumatera
Barat) dikecualikan dalam undang-undang lembaga keuangan mikro (UU LKM).
LPD keberadaanya diakui oleh negara tetapi pengaturannya diserahkan pada
daerah sesuai dengan kearifan lokal yang dimilikinya. Pengucalian itu membawa
konsekuensi lembaga keuangan millik komunitas adat diatur secara mandiri oleh
perda beserta turunannya dalam bentuk Self Regulatory Organization (SRO) yang
artinya tidak diatur oleh pemerintah seperti otoritas jasa keuangan lainnya
(Sadguna, 2013). Kendati demikian, aturan pemerintah atau lembaga keuangan
memosisikan BI tetap sebagai otoritas untuk menjaga stabilitas keuangan. BI tetap
bertanggung jawab dan mengawasi lembaga keuangan tradisional. RSO LPD akan
memberikan keleluasaan pada daerah bersama Majelis Utama Desa Pakraman
(MUDP) untuk mengatur apa yang seharusnya diatur. Kecermatan dan keseriusan
dalam menyusun aturan, awig-awig, perarem akan mempengaruhi sensitivitas LPD
mengantisipasi perubahan di tengah lingkungan turbulensi geoekonomik dan
karakter ekonomi Bali yang begitu terbuka dan dinamis ini.
Kehadiran dan roh LPD di Bali pada dasarnya untuk pembangunan desa pakraman
sebagai benteng penjaga budaya Bali dan jurus baru dalam meningkatkan akses
pendanaan khususnya terhadap masyarakat miskin. Upaya ini dibalut dengan suatu
istilah yang disebut inklusi keuangan dengan tujuan utama tidak ada pihak
manapun yang tak tersentuh oleh sektor keuangan. Tidak ada orang yang ditolak
proposalnya manakala memerlukan layanan keuangan. Kredit tak ubahnya seperti
hak asasi yang menjadi kebutuhan dasar setiap manusia. Dengan berbagai kendala
dan kekurangan yang ada, inklusi keuangan adat ini sudah dan terus dilakoni
Pg. 05
LPD dan Nilai Adat Bali
karena cakupan luas yang meliputi hampir seluruh desa pakraman di perkotaan
maupun pedesaan. Model keuangan mikro berbasis adat ini telah cukup teruji
dalam menghadapi krisis ekonomi. Tak kurang, Presiden SBY pada pembukaan
Forum Kebijakan Global Alliance for Financial Inclusion di Bali beberapa tahun lalu
memuji keberadaan LPD. LPD tumbuh dalam masyarakat setempat, dikembangkan
oleh masyarakat dan didedikasikan untuk masyarakat. Inklusi keuangan LPD terkait
dengan budaya dan sosiologi masyarakat karena tidak semua orang merasa
nyaman menggunakan layanan produk perbankan modern dengan berbagai
derivasinya.
Secara rata-rata LPD di Bali memang cukup baik kinerjanya, tetapi beberapa LPD
mengalami masalah yang menggangu keberlanjutannya. Sumber masalah terutama
berasal dari salah urus dan pemahaman yang kurang pas para pengelolanya
tentang hakikat sebuah entitas usaha. Model penanggulangan kemiskinan LPD
bekerja di hulu, dalam artian kalau akses permodalan masyarakat terlayani maka
aktivitas usaha untuk menyambung hidupnya bisa terpenuhi – memilki leverage
dan kekuatan daya beli dan usaha kecil bisa berjalan. Inklusi keuangan LPD sedapat
mungkin dilakukan dengan cara dan bahasa yang sederhana. Misalnya, petugas
keliling LPD dengan dibantu oleh Kelian Banjar berkeliling merapat ke kantong-
kantong kemiskinan di desa pakraman yang bersangkutan. Mereka melakukan
komunikasi dengan berbagi pengalaman, pengetahuan dan cara terbaik untuk
menjadikan masyarakat cerdas dan melek secara finansial. Untuk krama yang
sudah jadi pengusaha, diperlukan kekuatan dan motivasi supaya mereka lebih
percaya diri, bisa berkembang dengan dinamis dan faham bahwa ada nilai waktu
dari uang. Mereka adalah sosok individu yang berani mengambil risiko sekaligus
memiliki mental akuntansi (mental berhitung).
Pg. 06
LPD dan Nilai Adat Bali
Entitas Usaha, Tata Kelola dan Kebijakan Akuntansi
Fungsi sosial dan budaya produktif LPD juga dapat dilihat melalui sisa hasil usaha
yang dikembalikan ke masyarakat desa pakraman dalam bentuk distribusi,
meskipun pola distribusi ini harus dimaknai secara hati-hati, karena sisa hasil usaha
yang besar belum tentu berasal dari kredit produktif tetapi bisa saja lebih banyak
proporsi kredit konsumtifnya. Kinerja keuangan LPD bukanlah segala-galanya, jauh
lebih penting adalah bagaimana kehadiran LPD bisa mempermudah sektor riil
bekerja menghasilkan kesempatan berusaha yang lebih baik sekaligus menciptakan
lapangan kerja di perkotaan maupun pedesaan. ROA LPD (perbandingan antara
sisa hasil usaha dengan aset yang dikelola) seharusnya berpengaruh terhadap
penurunan angka kemiskinan dengan asumsi kredit yang disalurkan porsinya lebih
banyak untuk sektor-sektor produktif, sehingga sektor keuangan yang lumayan
maju dibarengi dengan penguatan sektor riil.
Harus disadari LPD adalah kesatuan usaha yang seharusnya mengikuti kaidah
profesional dan memiliki mekanisme paruman untuk mempertanggungjawabkan
usahanya. Prinsip entitas usaha bila difahami secara utuh oleh pemangku
kepentingan, maka tidak akan ada intervensi berlebihan dan LPD adalah usaha
bersama yang kemajuannya sangat tergantung pada bagaimana pelaku-pelakunya
menerapkan prinsip-prinsip ekonomi secara lugas. LPD sebagai pilar ekonomi
adalah varibel aktifnya. LPD sebagai pilar budaya adalah variabel moderasinya dan
LPD sebagai pilar sosial adalah variabel proses dan hasilnya. Kombinasi ini menarik
karena lengkap dan mencerminkan keseimbangan sesuai dengan konsep dasar Tri
Hita Karana. Masalahnya hanya konsistensi saja.
Pg. 07
LPD dan Nilai Adat Bali
Sering kali LPD menghadapi kendala keagenan karena ada masalah pengelolaan di
dalamnya yaitu sisa hasil usaha akan menyebabkan pengelola atau pengurus
memacu dan menggenjot volume usahanya untuk memperoleh ganjaran keuangan
yang bisa berakibat serius bila tidak disertai kemampuan mendeteksi dan
mengelola risiko dengan baik. Ada sekuen penyebab goyahnya LPD sebagai
lembaga kepercayaan. Ada Informasi tidak simetris (karena pengurus mempunyai
banyak informasi) dan mengganngap orang lain tidak tahu dan tidak mengerti apa
yang dikerjakan (adverse selection) dan pada akhirnya akan muncul moral hazard
(perilaku mementingkan dirinya sendiri) yang bisa merugikan LPD. Monitoring dan
pengawasan ekstra keras perlu dilakukan untuk meredam perilaku oportunistik ini.
Disinilah mekanisme SRO itu bekerja. Keputusan pengelola LPD ibaratkan “gas
mobil” sedangkan pengelolaan risiko adalah “remnya”. Mobil yang dipacu secara
kencang dengan menginjak gas sekeras-kerasnya akan menimbulkan risiko yang
tinggi bila tidak dilengkapi dengan rem yang baik.
Tata kelola (governance) LPD adalah tata kelola yang cocok. Apa yang diterapkandi
satu tempat belum tentu cocok diterapkan di tempat yang berbeda karena adanya
fenomena desa mawacara. Maka itu, untuk hal-hal yang universal tata kelola harus
memiliki standar umum yang berlaku di seluruh provinsi Bali dan mengakomodasi
kebiasaan-kebiasaan setempat yang searah dan sebangun dengan kemajuan LPD.
Penerapan tata kelola LPD yang cocok perlu didukung oleh kebijakan akuntansi
yang sesuai dengan standar terkini dan praktik-praktik usaha yang sehat. Idealnya
LPD harus memiliki standar yang mencerminkan keunikannya. Kelihatannya sepele,
tetapi ini sangat menentukan penilaian orang. Contoh, dalam laporan keuangan
LPD saat ini masih ditemui istilah atau akun modal disetor yang merupakan
representasi bentuk hukum suatu badan usaha. Seharusnya akun modalnya adalah
Pg. 08
LPD dan Nilai Adat Bali
tunggal yaitu modal desa pakraman. Kalau ada hibah perlu diatur apakah hibah ini
bersifat terikat atau tidak terikat. Ada juga ABA yaitu antar bank aktiva seolah-olah
LPD adalah bank. Kebijakan akuntansi akan menentukan peradaban LPD. Akan
sangat ideal bila MUDP dapat merumuskan akun-akun khas Bali tanpa
menyebabkan LPD tidak bisa diaudit dan tidak bisa dibandingkan dengan lembaga-
lembaga sejenis. Ada wacana LPD mengikuti standar yang ada seperti SAK ETAP. Ini
terobosan bagus dan menarik karena LPD mempunyai standar tunggal, lebih
komprehensif dan merupakan alat deteksi untuk menelusuri ketidakteraturan dan
kesalahan.
Dalam konteks perkecualian UU LKM dan swa regulasi, LPD kiranya perlu
memantapkan tata kelolanya dengan beberapa cara diantaranya: (1)
menetapkanawig-awig, perarem, kebijakan, dan peraturanyang mengendalikan
perilaku organisasi LPD supaya berjalan sesuai visi dan tujuan yang ditetapkan.
Organisasi dengan elemen-elemen di dalamnya adalah sesuatu yang punya
perilaku. Perilaku ini perlu dikendalikan supaya tidak kontra produktif dengan
tujuan berdirinya LPD, (2) menciptakan sarana, mekanisme, dan struktur mitigasi
terhadap risiko usaha karena LPD berada pada wilayah risiko inheren, dan (3)
merumuskan masalah siapa yang mengendalikandan bagaimanacara
mengendalikan supaya tidak keluar dari jati diri dan taksu inklusi keuangan desa
pakraman.. Tata kelola ini penting, untuk menjawab apakah pantas LPD
dikecualikan.
Substansi Mengalahkan Bentuk
Pg. 09
LPD dan Nilai Adat Bali
LPD adalah sebuah lembaga usaha dengan keunikan ada pada aspek kepemilikan
dan proses pengambilan keputusan. Sepanjang kepemilikan tetap dimiliki oleh
Desa Pakraman, tidak perlu ada kekuatiran berlebihan bahwa LPD akan kehilangan
roh dan keunikan. Kepemilikan akan menjadikan hak kontrol ada pada masing-
masing adat, dengan hak suara diblok oleh komunitas adat dan laporan keuangan
yang mencerminkan kepemilikan tunggal (meskipun pihak-pihak yang
berkepentingan sepertinya “meremehkan” persoalan ini karena esensi kepemilikan
dalam neraca keuangan adalah esensi siapa pemodalnya) Seiring dengan
perubahan lingkungan, bisa saja strategi LPD berubah dan adaptif dengan
lingkungan yang sesungguhnya perubahan strategi ini bukan sesuatu yang tabu
tetapi merupakan bahasa yang universal. Persoalan-persoalan ekonomi
diselesaikan secara adat, suatu kata indah yang dikagumi oleh peneliti-peneliti
barat tetapi kita kurang percaya diri untuk melakukannya atau kita sudah
melakukan tetapi belum punya kemampuan untuk mendokumentasi yang bisa
menjadi bahan literasi lintas generasi.
Secara substantif LPD telah menjalankan usahanya dalam ranah perputaran
ekonomi sistem bebanjaran, sehingga tidaklah berlebihan patron efisiensi,
kelugasan dalam mengambil keputusan dan pengelolaan risiko usaha sangat
dibutuhkan. LPD identik dengan industri risiko, suatu area yang kita yakini sebagai
titik-titik yang menyebabkan LPD menjadi bermasalah. Perilaku orang yang
memegang akses uang akan berbeda dengan perilaku orang yang tidak punya
akses terhadap uang. Siapa yang bisa menjamin dana masyarakat aman tanpa
adanya ketersediaan suatu sistem dan prosedur yang mengendalikan dan
mengelola risiko.
Pg. 10
LPD dan Nilai Adat Bali
Bila LPD mengalami masalah dengan keberlanjutannya, maka pencapaian visi dan
tujuan beserta turunannya akan terganggu, sehingga cita-cita sebagai lembaga
inklusi keuangan yang ikut berkontribusi mengentaskan kemiskinan menghadapi
kendala. Setiap pertambahan nilai nominal uang sebesar sekian rupiahekuivalen
dengan penguatan sektor riil secara berkelanjutan dan juga berbuat nyata untuk Tri
Hita Karana. Revitalisasi cara berpikir yaitu LPD yang baik adalah LPD yang sehat
dan unggul dalam artian dia tidak hanya sehat secara keuangan tetapi memberikan
kontribusi yang signifikan pada produktivitas sektor riil yang selanjutnya bermuara
pada peningkatan kesejahteraan masyarakat serta berkelanjutan dalam ranah
budaya yang menjadi episentrum Bali.
Tata Kelola dan Tata Laksana
Ketidakoptimalan pembinaan yang selama ditenggarai oleh banyak pihak, bukan
menjadi alasan bagi LPD mengalami stagnasi dan terlalu banyak mengeluh. Justru
yang harus ditunjukkan adalah bagaimana LPD secara mandiri mengelola dirinya
dengan membuat rumusan tata kelola dan tata laksana yang baik. Kedengarannya
sangat normatif dan indah, tetapi itulah paling tidak standar minimal yang
dibutuhkan. Akan sangat ideal bila niatan ini difasilitasi oleh pemerintah daerah dan
pemangku kepentingan lainnya lewat kebijakan-kebijakan yang kondusif dan tidak
melakukan pembiaran. Tata laksana setidaknya menyangkut aturan tentang sistem
dan prosedur pembinaan, tanggung jawab pembina dan standar atau tindakan
mitigasi bila LPD menghadapi masalah. Kalau LPD bermasalah, siapa bertanggung
jawab? Dana masyarakat siapa yang menjamin, apa peranan dan fungsi pemerintah
Pg. 11
LPD dan Nilai Adat Bali
daerah dan atau Majelis Utama Desa Pakraman. Bentuk perlindungan seperti apa
dan dalam format atau skim yang bagaimana.
Kita berkeyakinan blue print atau apapun namanya pasti sudah ada, kajian-kajian
akademis pasti sudah menyentuh masalah ini, hasil-hasil tulisan ilmiah juga
mengkaji persoalan serupa. Cuma aksinya mungkin belum optimal atau hanya
macan kertas yang tidak menggaum atau barangkali terkendala oleh proses politik.
Kalau LPD kehilangan taksu maka kita tidak punya keunikan atau legacy yang bisa
dipertontonkan kepada dunia sekaligus patok duga tentang pengelolaan ekonomi
berbasis bebanjaran.
Beberapa LPD yang terindikasi bermasalah akhir-akhir ini, bisa jadi disebabkan oleh
informasi yang tidak simetris yaitu pengurus merasa punya kuasa dan lupa dana
yang ada di tangan adalah dana”panas” dan kewajiban yang harus diselesaikan. Di
lain pihak dia tidak bisa mengelola dana masyarakat dengan cara cerdas dan
memperhitungkan biaya yang timbul. Moral hazard juga muncul karena ada
kesempatan, wewenang, dan merasa tidak ada yang mengawasi. Meski sulit
terukur, nilai nilai keagaman yang luhur dalam mengelola usaha seharusnya
menjadi aset tak berwujud yang bisa dikapitalisasi
Sebaliknya, bila pengelolaan salah arahmaka cepat atau lambat bisa dipastikan
akan menurun kinerjanya. Tidak ada budaya atau nilai-nilai positif yang mendukung
pencapaian organisasi alias semuanya dilakukan sesuka hati. Diperparah lagi bila
usaha ini disusupi oleh kepentingan-kepentingan instan, partisan politik, polarisasi
kelompok dan infiltrasi menyesatkan berbagai pihak. Kepedulian terhadap LPD
akan hampa dan tanpa makna bila ada agenda tersembunyi di dalamnya. Akan
tetapi, kalau politik itu sifatnya adalah “politik ekonomi” dalam rangka
Pg. 12
LPD dan Nilai Adat Bali
demokratisasi ekonomi dan melindungi kearifan ekonomi lokal (yang sudah
terkonfirmasi keberhasilan dan kemanfaatannya) sebagai salah satu model
penyangga budaya Bali tentu kita harus dukung dan advokasi secara cerdas.
Pg. 13 Pengembangan Basis Green Economy di Desa
Pecatu
Pengembangan Basis Green Economy di Desa Pecatu
Gambaran Umum Kondisi Desa Pecatu
Pecatu sebagai salah satu desa di Peninsula Bali selatan memiliki potensi yang
dapat dikembangkan lebih jauh dalam basis ekonomi hijau sesuai dengan falsafah
Tri Hita Karana.Kawasan dengan unsur palemahan masih relatif luas memiliki
potensi yang cukup untuk pengembangan pertanian. Kepemilikan lahan pertanian
masih bisa mendukung kegiatan pertanian ke depan. Sekitar tahun 1980-an kita
masih mengenal buah2an dan tanaman hortikulture seperti silik,kacang
merah,kacang2an lainnya dan buah2an yang diproduksi di daerah ini. Saat ini
potensi itu tidak memperoleh cukup perhatian bahkan nyaris ditinggalkan karena
daya tarik industri pariwisata jauh lebih menggiurkan.
Sebagian masyarakat masih percaya bahwa potensi untuk mendorong
dikembalikannya ikon sosial Pecatu seperti silik merupakan kebanggan tersndiri
bagi sebagian orang-orang. Kehilangan ini sangat dirasakan oleh generasi yang lahir
sekitar tahun 1960-an di disini.Ada ungkapan masyarakat setempat yang
menyatakan bahwa tahun 1980-an mereka merasa jauh lebih “menikmati”
kehidupan dibandingkan saat ini. Artinya dengan dominasi kegiatan pertanian,
menanam silik sebagai tanaman khas daerah ini, menanam kacang2an dan umbi2an
disertai beternak sapi, merasa jauh lebih “berbahagia’ ketimbang saat ini.
Perbaikan ekonomi akibat perkembangan kegiatan pariwisata, belum dirasa
menjadi lebih berbahagia! Green Peace pernah membuat puisi :’ .....ketika
Pg. 14 Pengembangan Basis Green Economy di Desa
Pecatu
ikanterakhir sudah ditangkap, burung terakhir telah dibunuh, ema kredit kecil untuk
kelompok-kelompok petani yang masih aktif dalam kegiatan pertanian dibawah
koordinasi keramapohon terakhir telah ditebang,sungai terakhir telah tercemar ......
maka disana manusia baru sadar bahwa ia tak bisa hidup dengan makan uang “:
Kalau sajak diatas lebih ditafsirkan dengan nuansa lingkungan maka refleksi kita
sampai pada konsep Tri Hita Karana yang juga mengagungkan masalah lingkungan.
Hal ini juga menjadi inti konsep greeneconomy yang mengisyratkan adanya upaya
penyelamatan bumi dengan kehidupannya. Artinya kalau teritorial
,wilayah,telajakan diabaikan, bagaimana kita bisa memberi dan memenuhi
kebutuhan makan bagi manusia yang ada disini, tanpa harus menyentuh daya
dukung wilayah. Green economy memposisikan tiga konsep dasar yakni Planet,
People dan Profit. Jaga dan amankan planet bumi, penuh perhatian terhadap
keberadaan dan keselamatan manusia, baru terakhir pada pengejaram keuntungan
yang bermuara pada pemberian kesejahtetraan bagi kehidupan.
Disini terlihat peran LPD demikianm menonjol untuk dapat mengambil peranan
sesuai dengan tujuan pembantukannya. Schema bantuan pinjaman kecil dapat
dimulai dalam kelompok kecil tetapi fokus. Dibimbing secara teknis yang
terarah.Tahun tahun yang lalu Pecatu khususnya, daerah Bukit pada umumnya
merupakan pusat penggemukan sapi bali. Banyak pedagang ternak mengandalkan
produksi ternak daerah ini. Ini dapat dikembalikan.
Pg. 15 Pengembangan Basis Green Economy di Desa
Pecatu
Perspektif Pengembangan Budidaya Pendukung Green
Ekonomi.
Ikon Sosial Komoditi Unggulan
Desa Pecatu secara geografik berada pada kawasan suci Pura Uluwatu, memiliki
potensi yang cukup besar untuk pengembangan sektor pendukung ekonomi hijau.
Desa dengan lahan pertanian yang masih hijau, sebelum pariwisata berkembang
pesat seperti sekarang, , memiliki potensi pertanian lahan kering yang baik. Petani
yang masih ada sekarang, dapat berceritra bagaimana daerah ini punya nama,
berhasil mengembangkan komoditi pertanian yang tidak ada di daerah lain.
Kualitas dan rasa menjadi ciri dari beberapa komoditi unggulan yang dimiliki. Salah
satu adalah silik (annona squamosa) atau dikenal di masyarakat Pecatu dengan
sebutan sejaya. Buah ini pernah menjadi buah utama , yang mengisi berbagai pasar
di kabupaten lain. Sekarang silik tidak lebih dari tanaman semak yang kurang
diperhatikan. Sekarang di pasar sualayan dui Denpasar buah silik dijual Rp. 41.192,-
per kilogram mentah. Itupun dalam jumlah sangat terbatas.
Beberapa petani mengisyaratkan keinginannya untuk mengembalikan tanaman ini
menjadi salah satu tanaman yang diunggulkan lagi seperti sebelum pariwisata
berkembang. Mereka seolah-olah ingin mengembalikan kejayaan masa lalu dan
menjadikannya “ikon sosial” masyarakat Pecatu. Seperti buah-buahan atau
hortikulture lainnya yang mulai di lestarikan di daerah Bali, Masyarakat Pecatu
merasakan seolah-olah ada yang hilang, ada yang berkurang. Mereka
mengungkapkan bahwa dahulu “bahagia” dapat memetik buah silik dari kebun dan
menjualnya sebagai komoditi pasar. Sekarang walaupun Pariwisata menjadi
tumpuan ekonomi masyarakat ada perasaan yang “kurang” tidak seperti ketika
Pg. 16 Pengembangan Basis Green Economy di Desa
Pecatu
silik masih berjaya. Apakah artinya masyarakat belum sepenuhnya terlibat dalam
pariwisata, atau memang mereka merasa kehilangan sesuatu ?
Para herbalis menyatakan silik memiliki khasiat untuk beberapa jenis penyakit pada
manusia. Daging buah dapat menjaga kadar gula darah, bermanfaat bagi penderita
diabeteas melitus (DM). Ini disebabkan karena kandungan serat dalam buah silik.
Buah silik dapat menurunkan kolesterol darah, dan menjaga tekanan darah.
Beberapa referensi menyebutkan bahwa seluruh bagian tananaman pada dasarnya
bermanfaat untuk kesehatan. Ada yang menyebut 21 khasiat iswtimewa silik
bahkan ada yang menyebutnya lebih. Silik dikenal memiliki khasiat untuk
memperlancar pencernaan.Baik untukm penderita konstipasi gangguan
pencernaan. Silik berguna untuk menjaga kepadatan tulang. Ibu hamil disarankan
untuk tidak mengkonsumsi silik.
Disamping silik masyarakat Bali selatan mengenal daerah Pecatu sebagai penghasil
tanaman hortikultura ketela, dan beberapa jenis sayur dataran tinggi. Istilah “sela
bukit”,”kacang merahbukit” sekarang sudah hampir menghilang, karena
penanaman tanam-tanaman ini sudah tidak se-intensif dahulu.
Adanya upaya untuk mengusahakan kembali ikon tanaman silik khususnya, akan
memberikan kontribusi positif bagi ekonomi hijau. Dilahan yang terbatas masih
punya prospek untuk mengusahakan secara intensif tanaman ini. Walaupun “daya
ungkit “ ekonominya tidak terlalu tinggi paling tidak ini bisa mengembalikan
kerinduan petani terhadap ikon buah Desa Pecatu tersebut. Kelestarian lingkungan
tentu menerima kontribusi berarti/besar dari budidaya ini. Kalau saja setiap pemilik
lahan bisa menanam 10 batang silik yang menghasilkan masing-masing sekitar 5 kg
buah, maka sekali panen setiap batang dapat menghjasilkan Rp. 200.000,-. Hasil 10
Pg. 17 Pengembangan Basis Green Economy di Desa
Pecatu
batang tanaman bisa menghasilkan lebih dari dua juta rupiah, Belum tambahan
hasil tanaman tumpang sari yang bisa ditanam disela-sela silik. Keberhasilan
menyiapkan benih secara vegetatif akan mempercepat tercapainya pengembalian
ikon Pecatu, memberikan kontribusi bagi pengembangan green ekonomi dan
memelihara lingkungan sesuai konsep Tri Hita Karana. .Di tengah terjadinya
[penyusutan secara masiv lahan pertanian, peluang kembali mengembangkan
komoditi unggulsn adalah sebuah anugrah besar bagi banyak aspek.LPD dapat
mengembangkan sch subak abian. Kelompok petani yang dipasilitasi subak abian
merupakan potensi kuat untuk mewujudkan ekonomi hijau.
Perbaikan dan Penguatan Kelembagaan Petani
Saat ini kita hidup dalam sebuah komunitas yang memerlukan kerjasama.Tanpa
kerjasama kegiatan saling belajar, learning proces, lambat dan menjadi sulit untuk
dapat dilakukan. Proses pembelajaran dapat dilakukan melalui kegiatan kelompok
sehingga secara partisipatif banyak hal yang mungkin bisa dilakukan. Di Desa
Pecatu ada enam subak abian yang masih terdaftar. Diantaranya ada yang kurang
aktif sehingga perlu dilakukan pendampingan untuk penguatan dan
pengembangan kelembagaan.Walaupun tidak seluruh anggota bersifat aktif
namun dengan mengarahkan pada partisipasi kegiatan subak lambat laun pasti bisa
diikuti oleh anggota yang lain. Alasan anggota yang tidak aktif sibuk di kegiatan
lain, lembaga berkewajiban untuk dapat memberikan daya tarik, mengajak semua
anggota berkegiatan sebagai anggota subak. Dapat disaksikan bahwa
sebenarnya gairah untuk kembali giat dalam bertani sangat kelihatan.Tahun
2017 merupakan tahun basah dimana hujan turun sepanjang tahun.
Pg. 18 Pengembangan Basis Green Economy di Desa
Pecatu
Perhatian pemerintahpun tidak pernah berhenti dengan bantuan rutin setiap tahun
baik dari propinsi maupun kabupaten. Walau sebenarnya mereka tidak “mengerti”
bagaimana memanfaatkan bantuan tersebut. Bilamana LPD Pecatu dapat
membantu masyarakat yang sedang bergairah untuk kembali bertani dan
membantu pembiayaan berupa kredit ringan, maka kekuatan lembaga akan
tumbuh dan petani merasakan keberadaan LPD yang membantu mereka, sebagai
dimensi ekonomi dan sosial dalam memajukan masyarakat pedesaan seperti cita-
cita awal LPD dibangun di Bali.
Dalam mendorong pertumbuhan ekonomi hijau, penguatan kelembagaan sangat
diperlukan, sebagai wadah kegiatan dan pendampngan untuk belajar bersama.
Pola pengembangan kelembagaan dapat di lakukan melalui perbaikan organisasi
dan menggiatkan program yang mungkin bisa dibangkitkan. Melalui Subak
pengenalan teknologi baru,teknologi produksi dan peralatan serta teknik bercocok
tanam, pengenalan peternakan khususnya sapi (yang sudah biasa dilakukan) akan
sangat membantu masyarakat dalam menumbuhkan ekonomi. Skema pembiayaan
kepemilikan sapi dapat dirancang khususuntuk itu. Bila hal ini dapat dilakukan maka
lengkap sudah kegiatan prioritas oleh Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Dengan
demikian akan kelihatan bahwa satu-satunya LPD yang bergiat dalam basic
pertanian pedesaan adalah LPD Pecatu.
Walaupun trigernya ( daya ungkit) tidak terlalu besar, tetapi jangka panjang
dampaknya akan lain. Dalam lembaga yabng kuat pasti ada tingkat partisipasi yang
kuat juga. Untuk membangun green economi lembaga yang kuat, diperlukan
skema pembiayaan yang jelas, dan akhirnya partisipasi masyarakat sangat
menentukan. Oleh karena itu saat ini harus ada program penguatan kelembagaan,
ada pemberian bantuann finansial dengan skema yang menguntungkan semua
Pg. 19 Pengembangan Basis Green Economy di Desa
Pecatu
pihak, pemberi kredit maupun penerima, yang dapat memberikan prospek dimasa
yang akan datang. Lembaga yang kuat dapat memulai kegiatan berbantuan,
dengan pembentukan kelompok-kelompok. Ada kelompok peternak, ada
kelompok lain yang bisa dibentuk. Kelompok-kelompok seperti inilah yang
memerlukan bantuan finansial denga skema tertentu. Beberapa kegiatan yang
berbasis green economi sudah muncul di wilayah Pecatu. Bukan mustahil hal ini
akan bisa berkembang pesat sejalan dengan perkembangan pariwisata yang
memerlukan sinergi dengan potensi pertanian lahan kering di Pecatu. Misalnya
usaha kelompok Melani grup yang mengusahakan sayuran dataran tinggi memiliki
perspektif kuat kedepan. Peminatpun telah tumbuh dengan signifikan. Disini
dorongan lembaga keuangan desa seperti LPD sangat bisa berperanan. Sebagai
lembaga yang diharapkan dapat membantu tercapainya kesejahteraan masyarakat
desa, maka LPD seharusnya dapat memulai upaya penguatan diatas dengan skema
terbatas lebih dulu, kemudian dapat dikembangkan lebih meluas. Semua ini
memerlukan perrhatian. Diperhatikan sungguh-sungguh agar risiko yang mungkin
timbul dapat dihindari lebih awal. Subak dapat memulai dengan semacam
kelompok demonstrasi (demonstrasi plot). Inilah yang dapat dijadikan oleh
anggota Subak yang lain. Kelompok ternak dan kelompok perkebunan sama-sama
penting dan starategis. Sekarang tinggal keinginan mulya (niat) saja untuk
menggerakkannya. Sinergi memang perlu dibangun antara lembaga Subak dan
LPD. Skemanya bisa diformulasikan bersama-sama. Konsep green economy punya
basis ditingkat terbawah. Untuk membangunnya tentu peranan organisasi
terbawah sangat menentukan.
Pg. 20 Pengembangan Basis Green Economy di Desa
Pecatu
Kesiapan Lembaga Menerima dan Mengembangkan Kerjasama
Kemampuan lembaga untuk memulai dan mengembangkan kerjasama, LPD dan
Subak menjadi kunci kesuksesan. Program tidak perlu bersekala besar pada
awalnya, terbatas tetapi memberikan keyakinan akan keberhasilan, baru
berikutnya menuju perluasan. Dilandasi oleh pengalaman sebelumnya, sekala
pengembangan lebih besar dapat ditentukan.
Kelemahan teknologis dapat dicarikan jalan keluar dengan mengembangkan
kerjasama lebih luas dengan pihak Perguruan Tinggi terdekat. PT terdekat dapat
diundang untuk mendampingi kegiatan ini sebagai implemantasi dari Tri Darma
Perguruan Tinggi
Kalau ada pertanyaan apa yang akhirnya dapat dilakukan setelah berhasil? Memulai
saja belum bagaimana kita dapat memberikan jawabannya. Untuk peternakan tidak
ada maslah. Untuk hasil pertanian pasar akan terbentuk dengan sendirinya.
Kebutuhan konsumsi lokal di daerah Badung Selatan masih dipenuhi dari produksi
daerah lain bahkan dari Luar Bali.
Pada pertemuan awal di kantor LPD Pecatu harapan sempat dikemukakan oleh
tokoh-tokoh masyarakat. Untuk kebutuhan ternak LPD dapat memulainya dengan
segera sementara minat untuk itu cukup tinggi. Uintuk bidang tanaman masih
memerlukan edukasi dan motivasi,pelatihan dan demonstrasi plot. Team
menemukan beberapa generrasi muda yang antusias bahkan mereka berasal dari
kalangan berpendidikan (educated people). Mereka merasakan kebutuhan ini dan
kapan lagi memulainya ?
Pg. 21
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Perkembangan LPD
Pembentukan LPD didasari oleh adanya warisan budaya berupa desa pakraman yg
merupakan suatu bentuk/wadah sistem pemerintahan tingkat desa yang terdiri dari
ikatan kekeluargaan. Prof.Dr I B Mantra sebagai tokoh yang sangat memperhatikan
kelangsungan adat dan budaya serta perekonomian masyarakat Bali telah
menciptakan gagasan ide untuk mengembangkan pola sekaa simpan pinjam
menjadi sebuah lembaga yang dapat mendorong pembangunan perekonomian
masyarakat sekaligus dapat melestarikan adat dan budaya yaitu LPD (Lembaga
Perkreditan Desa). Pendirian LPD merupakan tindak lanjut dari hasil seminar kredit
pedesaan di semarang pada 20 – 21 Pebruari 1981 yang dilanjutkan dengan study
banding di Lumbung Pitik Negari Sumatra Barat lalu ditindaklanjuti dengan
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 2 tahun 1984 tgl. 1
Nopember tentang Pendirian LPD dan Tahun 1985 dibentuk 8 LPD ditiap Kabupaten
di Bali.
Dalam perkembangannya LPD telah cukup terbukti mampu memberikan kontribusi
bagi pembangunan dan kesejahteraan krama desa pakraman setempat. Dilain
pihak perkembangan LPD juga dipengaruhi oleh kondisi masyarakat setempat yang
berkaitan dengan kemampuan dan potensi ekonomi masyarakat, perhatian
masyarakat sebagai pemilik dan profesionalisme pengelolaan LPD oleh pengurus.
Perekembangan perekonomian pada tingkat regional maupun nasional bahkan
global menuntut kinerja LPD yang semakin kompetitif pada masa-masa mendatang,
hal ini hanya dapat terjawab dengan sinergis antar pengurus LPD dengan
Pg. 22
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
profesionalismenya, badan pengawas, masyarakat dan pemerintah untuk
berkomitmen menjadikan LPD sebagai pusat informasi usaha strategis dan
produktifitas masyarakat yang diarahkan untuk meningkatkan dan
memberdayakan potensi ekonomi lokal yang pada gilirannya mampu
meningkatkan daya saing dan kesejahteraan masyarakat desa pakraman LPD
mempunyai peran yang sangat strategis karena selama ini telah melayani usaha
mikro kecil (UMK) dan masyarakat pedesaan (krama desa) di Bali melalui pelayanan
jasa keuangan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan nasabah, yaitu prosedur
yang sederhana, proses yang singkat, pendekatan personal, serta kedekatan lokasi
dengan nasabah. Pertumbuhan LPD yang relatif tinggi dari waktu ke waktu
menunjukkan bahwa keberadaan LPD memang dibutuhkan oleh masyarakat
pedesaan termasuk UMK yang selama ini dilayani.
Spesifikasi LPD yang memiliki kedekatan budaya dan psikologi dengan
nasabahnya,factor lokasi yang memungkinkan lembaga ini menjangkau nasabah,
serta karakter bisnis yang luwes merupakan kekuatan lembaga ini untuk bertahan
dan memiliki daya saing terhadap lembaga sejenis terlebih dalam kondisi
perekonomian dewasa ini. Kemajuan LPD yang diharapkan dapat menjadi lembaga
pembiyaan yang efektif di masyarakat desa, akan berdampak positif terhadap
pengembangan kawasan pedesaan, sebaga masyarakat akan terbantu dalam
pendanaan untuk mengembangkan potensi usaha diwilayahnya yang akan
menjadikan pedesaan kompetitif dalam tatanan perekonomian global.
Sejak digagasnya pada bulan November 1984 oleh Gubernur Bali, yang pada waktu
itu dijabat oleh Ida Bagus Mantra (alm), LPD telah mengemban fungsi untuk
mendorong pembangunan ekonomi masyarakat melalui tabungan yang terarah,
Pg. 23
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
serta penyaluran modal yang efektif. Di samping itu, LPD juga diharapkan dapat
memberantas sistem ijon dan gadai gelap, yang saat itu kerap terjadi di
masyarakat. Fungsi lain yang juga diemban adalah menciptakan pemerataan dan
kesempatan kerja bagi warga pedesaan, baik yang bisa bekerja secara langsung di
LPD maupun yang bisa ditampung oleh usaha-usaha produktif masyarakat yang
dibiayai oleh LPD. Menciptakan daya beli, serta melancarkan lalu lintas pembayaran
dan pertukaran di desa, juga menjadi tugas pokok LPD.
Bila dikaitkan dengan indikator ekonomi makro yang terdiri atas peningkatan
pendapatan nasional, penyediaan kesempatan kerja, menjaga stabilitas harga
dengan menekan inflasi, serta memperkuat perdagangan internasional dan
menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Maka apa yang ingin dicapai oleh LPD,
sebetulnya sangat selaras dengan tujuan penguatan ekonomi makro. Penyaluran
dana kepada usaha-usaha produktif di daerah pedesaan, tentu akan berkontribusi
terhadap peningkatan pendapatan regional daerah Bali. Di samping itu, dengan
semakin berkembangnya usaha-usaha masyarakat yang dibiayai oleh LPD, maka
usaha tersebut akan menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Ini berarti,
pengangguran dapat diatasi dan inflasi dapat ditekan. Sebagaimana telah
diketahui, sebagaian besar masyarakat pedesaan di daerah Bali, berprofesi sebagai
perajin yang pasarnya berorientasi ekspor. Dengan peran aktifnya dalam
membiayai perajin, berarti LPD juga telah berkontribusi dalam memperkuat
perdagangan internasional.
Lembaga Perkeditan Desa (LPD) menempati posisi yang strategis dalam tataran
pembangunan desa untuk mempercepat pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi desa pakraman dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat desa.
Pg. 24
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Sebagai wadah kekayaan ekonomi desa LPD diharapkan dapat berprean dalam
meningkatkan efisiensi ekonomi desa, mendorong produktivitas masyarakat serta
memberikan kontribusi terhadap pembangunan Kabupaten Badung pada
umumnya. Dengan peran LPD yang sedemikian rupa maka sasaran umum LPD
diarahkan untuk: 1. Meningkatnya produktivitas LPD; 2. Meningkatnya
profesionalisme pengelolaan LPD; 3. Meningkatnya produktivitas masyarakat desa
pakraman; 4. Meningkatnya daya saing LPD; 5. Meningkatnya kualitas kelembagaan
LPD.
Dari sudut pandang masyarakat, keberadaan LPD yang sehat, akan sangat
membantu, baik secara ekonomi maupun sosial. Secara ekonomis, masyarakat
memiliki alternatif untuk menyimpan dananya secara produktif dengan
memperoleh pendapatan bunga yang bersaing dengan lembaga keuangan lainnya.
Sementara bagi masyarakat yang membutuhkan dana, LPD biasanya merupakan
pilihan utama, karena mereka dapat meminjam dana dengan prosedur yang tidak
berbelit-belit. Dampak sosial dari keberadaannya, tercermin dari taatnya setiap LPD
dalam memenuhi isi peraturan daerah dan surat keputusan gubernur, yang
mewajibkan LPD untuk menyumbangkan 20% keuntungannya untuk dana
pembangunan desa dan 5% untuk dana sosial. Fungsi sosial ini akan meringankan
beban masyarakat, karena mereka tidak perlu memikirkan iuran pembangunan
desa dan dana sosial, setidak-tidaknya, sebesar yang telah disumbang oleh LPD.
Dengan fungsi LPD yang sedemikian rupa, maka LPD yang terbangun dari sinergi
budaya lokal dengan perkembangan zaman yang terpola dan ditingkatkan
kapasitasnya berbasis pada konsep Agama Hindu kini dikuatkan dengan
menajamkan fungsi LPD kepada fungsi ekonomi (pembiayaan dan aktivitas
Pg. 25
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
ekonomi masyarakat desa), fungsi kultural (menguatkan nilai/norma sosial/yadnya),
fungsi spiritual (keseimbangan dalam mencapai tujuan agama).
Lembaga keuangan mikro (microfinance institution) telah berevolusi sejak tahun
1990an sebagai perangkat pembangunan ekonomi yang diperuntukkan kepada
masyarakat berpendapatan rendah namun potensial. Namun, bagaimanapun juga
dampak positif lembaga keuangan mikro terhadap kesejahteraan sosial ekonomi
masyarakat miskin hanya bisa dicapai dan dipertahankan jika institusi ini memiliki
kondisi keuangan dan kinerja jangkauan operasional yang bagus. Lembaga
keuangan mikro seringkali digunakan contoh terbaik tentang efektivitas mobilisasi
social capital untuk mengurangi kemiskinan, saat pasar dan pemerintah gagal.
Skema keuangan berbasis kelompok untuk golongan masyarakat miskin. Dengan
membuka pintu informasi selebar-lebarnya, anggota kelompok ini akan saling
mengenal satu sama lain. Karena itu, menurut Seralgeldin dan Grootaert ( dalam
Ito, 2003) skema ini bertumpu pada social capital yang mampu mengatasi adanya
kekurangan informasi dan kumpulan resiko yang dihadapi oleh pihak pemberi dana
(lenders). Pola ini dikenal luas sebagai kesuksesan dalam mengatasi permasalahan
informasi dan untuk menjangkau jumlah orang miskin yang lebih banyak lagi dalam
pasar keuangan pedesaan di negara-negara berkembang.
Seperti layaknya lembaga keuangan lainnya, LKM memiliki fungsi intermediasi di
bidang keuangan, yang ditujukan untuk memberikan akses yang lebih baik kepada
masyarakat yang masuk dalam kategori berpendapatan rendah. Lembaga ini
diharapkan mampu untuk mandiri secara finansial. Konsekuensinya, pengukuran
kinerja LKM tetap berbasis pada kinerja finansialnya, yang merujuk pada
kemampuan LKM menutupi biaya operasionalnya dengan pendapatan yang
Pg. 26
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
diperoleh (Arsyad, Sept. 2005). Kinerja LKM tidak hanya diukur dari kemandirian
finansialnya, tapi juga dari jangkauan operasionalnya (outreach). Kedua indikator
ini menjadi patokan dalam mengukur kinerja LKM. Kriteria pertama adalah self
sustainability, yang bisa dicapai saat return on equaity (ROE), atau nilai bersih
berbagai subsidi yang diterima, sebanding atau melebihi opportunity cost dari nilai
ekuitas. Kriteria kedua adalah jumlah nasabah yang bisa dilayani beserta variasi jasa
keuangan yang diberikan menjadi tujuan dari jangkauan operasional LKM yang
terdiri dari skala dan kedalaman jangkauan.Indikator kinerja LKM haruslah
diletakkan sesuai konteks dimana dan bagaimana mereka beroperasi. Menurut
Arsyad (Sept.,2005) pendekatan yang dikembangkan Ledgerwood tampaknya
paling sesuai untuk digunakan dalam studi mengenai LPD Bali ini menimbang pola
alami LPD Bali yang memang didesain menjadi lembaga intermediasi sejak awal
pendirian serta kemampuannya bertahan dengan memproduktifkan simpanan dan
deposito yang masuk sebagai sumber pembiayaan (bukan dari bantuan ataupun
kredit dari donor), ketersediaan data, kesesuaiannya dengan konteks geografi, dan
analisis kelayakan nasabah (end user) yang mereka gunakan.
Pg. 27
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Tabel 1. Indikator Alternatif Penilaian Kinerja LPD Pecatu
Indikator 2011 2012 2013 2014 2015
DPK
(milyar)
155,059 206,108 252,620 270,453 320,961
Pertumbuhan DPK
(%)
- 0,33 0,23 0,07 0,19
Kredit
(milyar)
148,633
184,012
233,234
266,674
329,602
Pertumbuhan kredit
(%)
- 0,24 0,27 0,14 0,24
LDR
(%)
95,86 89,28 92,33 98,60 102,69
Laba
(milyar)
8,031 10,176 12,101 12,990 13,822
Pertumbuhan laba
(%)
- 0,27 0,19 0,07 0,06
Jumlah nasabah (orang)
Tabungan 9.357 8.853 9.242 9.561 9.829
Sibermas 1.274 1.343 1.424 1.509 1.584
Deposito 1.337 1.457 1.539 1.614 1.721
DPK 11.968 11.653 12.205 12.684 13.134
Pertumbuhan akun
simpanan
(%)
- (0,03) 0,05 0,04 0,04
Jumlah nasabah
pinjaman (orang) 2.103 2.024 2.016 2.074 2.015
Pertumbuhan akun
pinjaman
- (0,04) (0,00) 0,03 (0,03)
Pg. 28
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Sumber: Neraca Tahunan LPD Pecatu, data diolah
Jika dilihat dari aspek dari kemandirian finansial (self sustainability), kinerja LPD
Pecatu sudah tidak perlu diragukan lagi. Hal ini dapat dilihat dari laporan kegiatan
dan perkembangan LPD Pecatu, yang mana tidak ada pendanaan subsidi yang
diterima oleh LPD dari pihak manapun, baik pemerintah maupun swasta dalam
upaya pengembangannya paling tidak pada masa lima tahun terakhir (2011 – 2015).
Laba yang diraih oleh LPD Pecatu selama ini, indikator data lima tahun terakhir,
menunjukkan jika LPD Pecatu merupakan lembaga keuangan yang sangat sehat,
dengan pertumbuhan laba selalu positif dengan rata-rata 0.15% per tahun. Laba LPD
terus meningkat setiap tahunnya hingga mencapai 13,8 milyar di tahun 2015. Nilai
ini memang relatif kecil jika dilihat secara angka. Namun melihat posisi awal LPD,
dengan nilai laba yang sudah besar 8 milyar untuk sebuah LKM, wajar kiranya
kenaikan laba menjadi sangat kecil per tahunnya. Hanya saja, penurunan
pertumbuhan nilai laba juga bisa mengindikasikan adanya kejenuhan operasional
LPD sepanjang lima tahun ini. Kemandirian LPD Pecatu dalam kegiatan
operasionalnya juga ditunjukkan dengan kemampuan LPD menutupi berbagai
kegiatan operasional dengan pendapatan yang diperolehnya.
Alternatif indikator kinerja kedua adalah kemampuan LPD meningkatkan jangkauan
operasionalnya (outreach) atau target nasabahnya yang dilihat tidak hanya dari nilai
simpan pinjam yang ada, tapi juga jumlah nasabah yang terlayani. Jika dilihat dari
nilainya, simpanan dana pihak ketiga (DPK) terus meningkat dari tahun ke tahun
walaupun nilainya juga relatif kecil dengan rata-rata pertumbuhan 0,20% per
tahunnya. Demikian juga nilai pinjaman yang disalurkan yang selalu bertumbuh
positif dengan rata-rata 0,22% per tahun. Nilai simpanan masyarakat di LPD Pecatu
tahun 2015 mencapai 320,9 milyar sedangkan pinjaman bernilai 329,6 milyar. Dilihat
Pg. 29
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
dari nilai loan to deposit ratio (LDR) yang bernilai di atas 100%, LPD kurang
menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran dananya. Secara aturan
kesehatan seperti yang diberlakukan di sektor perbankan, nilai LDR berkisar 75% –
92% yang berarti 75% - 92% simpanan masyarakat di lembaga keuangan tersebut
yang dapat disalurkan kembali dalam bentuk kredit. Aturan mengenai LDR tahun
2015 memasukkan surat berharga yang diterbitkan bank sebagai bentuk simpanan
dan merubah istilah LDR menjadi loan to funding ratio (LFR). Nilai LDR 102%
menunjukkan seluruh simpanan masyarakat di LPD sudah diputar kembali dalam
bentuk pinjaman sehingga meningkatkan resiko yang harus ditanggung LPD jika
terjadi penarikan simpanan dalam jumlah besar sewaktu-waktu. Hal ini bisa
diimbangi dengan melakukan penilaian kelayakan pinjaman secara baik dan
mendalam. Karakteristik nasabah LPD yang memang terbatas pada satu desa adat
akan mengurangi resiko permasalahan tersebut.
Indikator kedalaman jangkauan (outreach) lainnya bisa ditunjukkan dengan jumlah
akun dan pertumbuhannya, baik akun simpanan maupun pinjaman, yang tercatat di
LPD. Nasabah simpanan LPD meningkat dari tahun ke tahun, kecuali di tahun 2017
yang menunjukkan pertumbuhan negatif. Rata-rata pertumbuhan jumlah akun
simpanan di LPD Pecatu berkisar 0,02%. Pertumbuhan jumlah akun simpanan dapat
dikatakan relative kecil namun besarnya jumlah akun yang tercatat di LPD, jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk Desa Adat Pecatu, sudah relatif lebih besar
yang berarti dalam satu keluarga mereka bisa memiliki lebih dari satu akun
simpanan di LPD. Hal ini mencerminkan tingginya tingkat kepercayaan masyarakat
lokal terhadap LPD Pecatu. Mereka mempercayakan LPD Pecatu sebagai tempat
menyimpan dananya sekaligus pengelolaannya.
Pg. 30
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Rata-rata negatif justru ditunjukkan oleh pertumbuhan kepemilikan akun pinjaman
sebesar -0,01% per tahun walaupun sempat mencatat positif 0,03% di tahun 2014.
Jika nilai pinjaman mencatatkan pertumbuhan positif, tidak demikian halnya
dengan pertumbuhan jumlah akunnya. Hal ini bisa jadi mengindikasikan jika
pinjaman di LPD seringkali merupakan perpanjangan dari pinjaman-pinjaman
sebelumnya. Pertumbuhan jumlah akun yang negatif bisa dipandang dari dua
aspek. Pertama, hal ini mengindikasikan jika wilayah jangkauan LPD Pecatu sudah
mencapai titik jenuh. Tidak ada lagi masyarakat yang tidak terlayani oleh LPD
Pecatu sehingga tidak ada akun baru yang bisa dicatat. Kedua, jumlah akun yang
negatif menunjukkan kemampuan LPD mempertahankan nasabah pinjamannya
sehingga mereka selalu memilih LPD sebagai sumber pembiayaannya dengan
melakukan perpanjangan dan restrukturisasi kredit.
Karakteristik Kredit LPD Pecatu
Kredit merupakan salah satu sumber pendapatan yang bisa diperoleh oleh sebuah
lembaga keuangan. Tujuan utama pemberian kredit oleh sebuah lembaga
keuangan, tidak terkecuali LPD diantaranya adalah: 1) Mencari keuntungan dalam
bentuk bunga yang diterima oleh pihak bank sebagai balas jasa dan biaya
administrasi kredit yang dibebankan kepada nasabah; 2) Membantu usaha nasabah
yang memerlukan dana, baik berupa dana investasi maupun dana untuk modal
kerja. Dengan dana yang diberikan tersebut maka pihak yang diberikan kredit akan
dapat mengembangkan dan memperluas usahanya; 3) Membantu pemerintah.
Semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan, maka semakin baik.
Keuntungan bagi pemerintah dengan pemberian krdit adalah penerimaan pajak,
membuka kesempatan kerja, meningkatkan jumlah barang dan jasa; 4)
Pg. 31
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Meningkatkan daya guna uang. Jika uang disimpan saja tidak akan menghasilkan
sesuatu yang berguna. Dengan diberikan kredit uang tersebut menjadi berguna
untuk menghasilkan barang atau jasa oleh penerima kredit; 5) Meningkatkan
peredaran uang; 6) Meningkatkan pemerataan pendapatan. Semakin banyak kredit
yang disalurkan, semakin baik. Jika sebuah kredit di berikan untuk membangun
sebuah usaha, maka usaha tersebut membutuhkan tenaga kerja sehingga dapat
mengurangi tingkat pengangguran.
Fungsi lembaga keuangan sebagai intermediary dalam artian sebagai lembaga
penghimpun dana kemudian menyalurkannya dalam bentuk kredit atau bentuk
lainnya, membuat semua lembaga keuangan, tidak terkecuali LPD Pecatu bank
mengembangkan produk-produknya, baik itu produk dana, jasa, maupun kredit.
Tabungan Plus (Taplus) merupakan produk utama sekaligus andalan LPD Desa Adat
Pecatu. Seperti namanya, produk ini merupakan simpanan sukarela krama desa.
Namun, produk ini memberikan sejumlah fasilitas tambahan sebagai manfaat bagi
nasabah sehingga diberi nama Tabungan Plus. Taplus bisa diikuti krama Desa Adat
Pecatu dengan saldo mengendap minimal Rp 200.000. Manfaat tambahan yang
didapat peserta Taplus LPD Desa Adat Pecatu, yakni apabila meninggal dunia,
nasabah Taplus akan mendapatkan dana santunan kematian Rp 2.500.000. Taplus
juga mendapatkan kesempatan untuk mengikuti undian berhadiah yang
dilaksanakan setahun sekali bertepatan dengan perayaan hari ulang tahun (HUT)
LPD Desa Adat Pecatu. Taplus LPD Desa Adat Pecatu juga dirancang sebagai
produk yang mengimplementasikan konsep pasidhikaran panyamabrayan antar
krama desa adat. Setiap rekening Taplus akan dikenakan beban punia sebesar Rp
1.000 per bulan yang akan dimanfaatkan untuk mendukung pelaksanaan ngaben
Pg. 32
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
dan nyekah masa yang dilaksanakan setiap tiga tahun oleh Desa Adat Pecatu
dengan sumber pendanaan dari LPD Desa Adat Pecatu.
Selain program tabungan dan deposito, LPD Desa Adat Pecatu masih memiliki
sebuah program penyimpanan dana masyarakat yakni Simpanan Berencana
Masyarakat (Sibermas). Sibermas merupakan simpanan khusus bagi masyarakat
Desa Adat Pecatu yang disiapkan untuk keperluan pembiayaan pendidikan
(beasiswa), simpanan hari tua atau upacara adat dan agama. Masyarakat bisa
memilih salah satu peruntukan Sibermas dan boleh memiliki lebih dari satu
rekening Sibermas dengan peruntukan yang berbeda. Umumnya, masyarakat
memilih Sibermas untuk peruntukan pembiayaan pendidikan dan simpanan hari
tua. Sibermas berbentuk setoran tetap secara rutin setiap bulan dengan masa
kontrak minimal 5 tahun. Setoran minimal untuk program Sibermas sebesar Rp
25.000. Bunga yang diberikan untuk nasabah Sibermas terbilang lebih tinggi
dibandingkan bunga tabungan. Program Sibermas mulai diluncurkan pada tahun
2000. Respons krama desa terhadap produk ini terbilang sangat bagus. Ini terbukti
dari terus bertumbuhnya jumlah peserta dan nilai total dana yang berhasil
dihimpun melalui Sibermas. Deposito merupakan simpanan yang disetor sekali
dalam jangka waktu tertentu sesuai ketentuan yang berlaku di LPD Desa Adat
Pecatu dan dapat digunakan sebagai jaminan pinjaman bunga ringan.
Selain menghimpun dana masyarakat, tugas pokok berikutnya dari LPD Desa Adat
Pecatu yakni memberikan dana pinjaman kepada masyarakat. Pinjaman yang
diberikan itu merupakan salah satu bentuk penggunaan dana LPD yang paling
besar dalam usaha untuk mendapatkan penghasilan. Karena itu, pemberian
pinjaman kepada masyarakat merupakan kegiatan utama dari LPD.
Pg. 33
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Produk kredit yang yang disalurkan LPD Desa Adat Pecatu kepada krama bervariasi.
Sektor yang dibiayai pun hampir mencakup semua bidang kegiatan krama, seperti
pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, industri, pariwisata, dan sektor
lainnya. Jangka waktu pembayaran kredit pun bisa dipilih sesuai kemampuan
krama, seperti kredit jangka pendek (1-12 bulan), kredit jangka menengah (di atas 12
bulan-60 bulan), dan kredit jangka panjang (di atas 60 bulan-120 bulan). Kredit LPD
Desa Adat Pecatu dapat diklasikan menjadi empat, yakni kredit modal kerja, kredit
investasi, kredit konsumtif, dan kredit krama sejahtera.
Kredit Modal Kerja. Kredit modal kerja diberikan kepada krama Desa Adat
Pecatu yang ingin mendirikan suatu usaha produktif atau menambah modal
kerja pada usaha yang telah atau akan dikelolanya. Ini merupakan program
nyata LPD Desa Adat Pecatu untuk mendorong iklim usaha di kalangan
masyarakat Desa Adat Pecatu, khususnya usaha kecil dan menengah (UKM).
Kredit Investasi. Kredit ini diberikan kepada masyarakat khusus untuk
kegiatan investasi dalam jangka waktu yang panjang. Realisasi kredit
investasi ini umumnya diwujudkan dalam bentuk membeli rumah, tanah
atau hal lainnya yang menyangkut kegiatan investasi.
Kredit Konsumtif. Kredit ini dibuka untuk melayani kebutuhan konsumsi
masyarakat Desa Adat Pecatu, seperti kebutuhan untuk kredit sepeda
motor, mobil atau alat-alat rumah tangga. Sepintas kredit ini memang terasa
mengajari masyarakat konsumtif. Akan tetapi, jika ditelusuri lebih
mendalam, sebetulnya masyarakat sudah memiliki anggaran untuk
kebutuhan konsumtif. Kredit konsumtif ini hanya memfasilitasi kebutuhan
itu.
Pg. 34
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Kredit Krama Sejahtera. Selain produk-produk kredit di atas, LPD Desa Adat
Pecatu juga memberikan kredit khusus yakni kredit tanpa agunan (KTA)
atau dikenal dengan istilah Kredit Krama Sejahtera. Kredit ini hanya
diberikan kepada krama Desa Adat Pecatu untuk pengembangan aktivitas
perekonomian mereka. Keunggulan produk ini yakni tidak adanya syarat
jaminan atau agunan.
Lembaga keuangan kini tidak lagi membuka layanan keuangan semata-mata, tetapi
juga membuka layanan nonkredit yang bertujuan untuk memperkokoh layanan
pokok di bidang keuangan. LPD Desa Adat Pecatu juga melakukan langkah
ekstensifikasi layanan dengan membuka layanan nonkredit. Berikut ini layanan
nonkredit LPD Desa Adat Pecatu: 1) Pembayaran rekening listrik online; 2)
Pembayaran rekening telepon online; 3) Pembayaran pajak (khususnya PBB); 4)
Pembayaran rekening PDAM; 5) Pembelian voucher pulsa telepon; 6) Pembelian
voucher listrik; 7) Pengiriman uang. Pembukaan layanan nonkredit ini dimaksudkan
untuk menjadikan LPD Desa Adat Pecatu sebagai lembaga keuangan milik Desa
Adat Pecatu dengan konsep pelayanan on stop service (pelayanan satu tempat).
Artinya, LPD Desa Adat Pecatu berupaya memenuhi segala kebutuhan krama Desa
Adat Pecatu, khususnya yang berhubungan dengan aktivitas pembayaran tunai
maupun transfer (cash and transfer).
Jika dilihat dari variasi produk yang ditawarkan oleh LPD Pecatu, maka dapat
dikatakan jika LPD Pecatu adalah salah satu lembaga keuangan mikro tradisional
yang bersifat sangat dinamis mengikuti perkembangan kebutuhan jasa keuangan
terkini dengan menyediakan hampir seluruh jasa keuangan dalam satu tempat.
Sekalipun wilayah operasionalnya terbatas, tapi dengan inovasi produk yang
Pg. 35
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
sangat variatif dan beragam menjadikan LPD Pecatu pilihan terdepan
masyarakatnya dalam melakukan transaksi keuangan. Hal ini pula yang menjadikan
LPD Pecatu menjadi lembaga keuangan tradisional terbesar di Badung dan di Bali.
Khusus untuk kredit, LPD Pecatu telah memberikan berbagai jenis tawaran kredit
sesuai kebutuhan. Tabel 2 menunjukkan nilai kredit LPD Pecatu dilihat dari sektor
yang dibiayai.
Tabel 2. Pinjaman LPD Pecatu Berdasarkan Sektor
Kredit Per Sektor
(jutaan rupiah) 2011 2012 2013 2014 2015
Pertanian 139,92 210,68 336,64 62,15 68,21
Perumbuhan (%) - 0.51 0.60 (0.82) 0.10
Share kredit sector/total (%) 0.09 0.11 0.14 0.02 0.02
Perikanan 232,09 164,24 42,00 27,33 12,63
Pertumbuhan (%) - (0.29) (0.74) (0.35) (0.54)
Share kredit sector/total (%) 0.16 0.09 0.02 0.01 0.00
Peternakan 127,42 89,06 57,35 28,87 244,90
Pertumbuhan (%) - (0.30) (0.36) (0.50) 7.48
Share kredit sector/total (%) 0.09 0.05 0.02 0.01 0.07
Perdagangan 25.216,05 36.720,6 82.064,21 109.142 168.400
Pertumbuhan (%) - 0.46 1.23 0.33 0.54
Share kredit sector/total (%) 16.97 19.96 35.19 40.93 51.09
Industri 59.475,19 45.549,24 51.990,17 53.578,7 16.401,78
Pertumbuhan (%) - (0.23) 0.14 0.03 (0.69)
Share kredit sector/total (%) 40.01 24.75 22.29 20.09 4.98
Pariwisata 36.190,09 49.473,5 63.697,42 49.249,9 57.099,3
Pertumbuhan (%) - 0.37 0.29 (0.23) 0.16
Share kredit sector/total (%) 24.35 26.89 27.31 18.47 17.32
Lainnya 27.252,34 51.805,62 35.046,26 54.584,8 87.375,7
Pertumbuhan (%) - 0.90 (0.32) 0.56 0.60
Pg. 36
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Share kredit sector/total (%) 18.34 28.15 15.03 20.47 26.51
Jumlah 148.633,12 184.012,9 233.234,1 266.674 329.602,7
Sumber: Neraca Tahunan LPD Pecatu, data diolah
Berdasarkan dari sektor yang dibiayai, sektor-sektor primer semacam pertanian,
perikanan, dan peternakan mendapatkan porsi kredit yang sangat kecil. Nilai kredit
sector pertanian rata-rata hanya 0,08% dari total kredit yang disalurkan. Sektor
perikanan dan peternakan bahkan lebih kecil lagi, sekitar 0,03% dan 0,04% dari total
kredit. Jumlah nasabah peminjam di sektor perikanan dan pertanian juga sangat
sedikit, tidak lebih dari 2 – 5 orang. Nasabah sektor perikanan bahkan tercatat
hanya satu orang. Nasabah sektor peternakan tercatat masih relatif lebih banyak
dibandingkan dua sektor sebelumnya, sebanyak 7 – 12 orang tiap tahunnya.
Porsi kredit terbesar diberikan kepada sektor perdagangan yang hampir mencapai
36,79% dari total kredit. Sektor pariwisata dan sektor yang masuk kategori lainnya
mendapatkan porsi masing-masing 22,5% dari nilai total kredit. Pertumbuhan porsi
kredit di sektor perdagangan dapat dianggap paling tinggi, karena sekalipun sector
peternakan mencatatkan rata-rata pertumbuhan porsi kredit tertinggi namun itu
hanya disumbangkan oleh satu tahun saja. Rata-rata pertumbuhan porsi kredit
untuk sektor industri dan perikanan tercatat negatif. Penurunan porsi kredit sektor
industri terlihat signifikan setiap tahunnya. Berbeda halnya dengan porsi kredit di
sektor perdagangan yang mecatatkan peningkatan porsi kredit yang cukup besar
setiap tahun. Hal ini bisa jadi mengindikasikan jika kredit LPD Pecatu memang
diarahkan untuk modal usaha dan berdagang merupakan mata pencaharian utama
masyarakat di Desa Adat Pecatu. Mereka mempercayakan sumber dananya dari
Pg. 37
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
LPD Pecatu, yang bisa jadi disebabkan oleh tingkat bunga kompetitif dan
mudahnya akses kredit yang diberikan. Fungsi LPD Pecatu sebagai lembaga
intermediari mampu berjalan dengan sangat baik.
Jika dilihat lebih dekat setiap sektor usaha yang tercatat dalam neraca tahunan LPD
Pecatu, maka jenis kredit dapat dipilah lebih detail sesuai peruntukannya. Data
kredit tahun 2016 menunjukkan karakteristik kredit LPD Pecatu secara lebih
terperinci. Kredit sektor dibagi lagi menjadi beberapa sub berdasarkan tujuan
penggunaan.
Secara garis besar, kredit disalurkan untuk membiayai tujuh (7) sektor, yaitu
pertanian, perikanan, peternakan, perdagangan, industri, pariwisata, dan sektor
lainnya yang termasuk dalam enam sektor sebelumnya. Namun jika diperinci lagi,
setiap kredit yang masuk dalam tujuh sektor besar dapat dikelompokkan menjadi
sebelas tujuan penggunaan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3. Pemilahan ini
berdasarkan tujuan penggunaan yang tertulis di pengajuan kredit. Kredit untuk
tujuan properti antara lain digunakan untuk pembelian tanah dan pembangunan
rumah dalam skala besar. Sedangkan perbaikan atau renovasi rumah skala kecil
masuk dalam kelompok renovasi. Tujuan penggunaan untuk properti bisa berasal
dari sektor perdagangan, industri ataupun sektor lainnya. Sehinggi, dapat
dikatakan jika masuknya kredit dalam satu kelompok sektor belum tentu digunakan
sesuai peruntukannya. Dilihat dari porsi kredit, properti merupakan tujuan
penggunaan kredit terbesar yaitu 40,33% dari total kredit.
Pg. 38
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Tabel 3. Kredit Berdasarkan Tujuan Penggunaan per Desember 2016
Sumber: LPD Pecatu, 2016 (data diolah)
Porsi kredit yang cukup besar ditunjukkan untuk penggunaan penjadwalan dan
restrukturisasi kredit dengan nilai masing-masing 16,43% dan 13,30% dari total kredit.
Restrukturisasi kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan sebuah lembaga
keuangan dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan
No. Tujuan
Penggunaan
Nilai
Nominal
(jutaan
Rupiah)
Porsi
Kredit
(%)
Nilai Nominal Per Kategori Kredit
(Jutaan Rupiah)
Lancar Diragukan Kurang
Lancar Macet
1 Adat 6.935,88 1,91% 5.042,52 709,73 743,70 439,91
2 Pendidikan 4.222,12 1,16% 3.530,76 156,71 463,24 71,38
3 Kesehatan 6.898,83 1,90% 6.038,48 125,42 36,43 698,49
4 Konsumtif 15.682,02 4,32% 9.129,42 1.679,82 1.550,69 3.322,08
5 Kompensasi 4.037,15 1,11% 1.627,20 1.846,72 285,90 277,31
6 Penjadwalan 59.619,23 16,43% 32.885,95 8.983,23 13.071,57 4.678,46
7 Perpanjangan 5.835,25 1,61% 679,22 4.133,98 61,05 960,99
8 Restrukturisasi 48.285,94 13,30% 37.331,84 30,22 5,608,04 5.315,82
9 Modal Usaha 48.751,23 13,43% 18.304,34 21.961,60 2.841,42 5.643,85
10 Properti 146.365,17 40,33% 48.386,61 43.472,04 41.894,86 12.611,63
11 Renovasi 16.327,37 4,50% 10.517,74 2.272,36 1.426,89 2.110,35
Total 362.960,18 100.00% 173.474,13 85.371,88 67.983,85 36.130,31
Pg. 39
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
untuk memenuhi kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui: Penurunan suku
bunga kredit, Perpanjangan jangka waktu, Pengurangan tunggakan bunga kredit,
Pengurangan tunggakan pokok kredit, Penambahan fasilitas kredit, dan atau
Konversi kredit menjadi penyertaan Modal Sementara. Restrukturisasi dapat juga
dilakukan pada debitur yang memiliki potensi bermasalah, seperti adanya
penurunan laba atau potensi penurunan laba sehingga diperkirakan akan
mengalami kesulitan di masa yang akan datang untuk memenuhi pembayaran
pokok dan/atau bunga sesuai Perjanjian Kredit.Penjadwalan kredit lebih
menunjukkan pada perpanjangan waktu pembayaran melebihi batas waktu yang
telah diperjanjikan sebelumnya yang diakibatkan oleh ketidakmampuan
pembayaran oleh debitur tepat waktu. Pada dasarnya hal ini mengindikasikan
adanya masalah dalam kredit tersebut karena harus dilakukan penjadwalan ulang
terhadap kredit yang harusnya sudah selesai masanya atau harus diambilkan
kebijakan guna menyelamatkan posisi keuangan debitur dan penurunan kualitas
aktiva LPD.
Modal usaha yang dimaksud disini dapat dikategorikan modal untuk berbagai jenis
usaha yang tidak teridentifikasi dengan jelas, karena sekalipun ada yang
mencantumkan jenis usahanya, namun sebagian besar hanya mencantumkan
modal usaha saja sebagai tujuan penggunaan. Hal ini sedikit menyulitkan untuk
merinci lebih detail usaha potensial yang bisa didanai dan dikembangkan oleh LPD
Pecatu. Porsi kredit ini cukup besar, yaitu sebesar 13,43% dari total kredit yang
disalurkan.
Pg. 40
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Tabel 4. Kategori Kredit Per Penggunaan Berdasarkan Jumlah Kreditur
No. Tujuan
Penggunaan
Kategori Kredit dilihat dari Jumlah Kreditur
(orang)
Lancar Diragukan Kurang Lancar
Macet Total
1 Adat 248 28 33 26 335
(11.84%) (1.34%) (1.58%) (1.24%) (15.99%)
2 Pendidikan 71 11 9 6 97
(3.39%) (0.53%) (0.43%) (0.29%) (4.63%)
3 Kesehatan 55 6 5 13 79
(2.63%) (0.29%) (0.24%) (0.62%) (3.77%)
4 Konsumtif 350 42 44 45 481
(16.71%) (2.00%) (2.10%) (2.15%) (22.96%)
5 Kompensasi 13 6 4 4 27
(0.62%) (0.29%) (0.19%) (0.19%) (1.29%)
6 Penjadwalan 71 20 22 12 125
(3.39%) (0.95%) (1.05%) (0.57%) (5.97%)
7 Perpanjangan 18 5 5 7 35
(0.86%) (0.24%) (0.24%) (0.33%) (1.67%)
8 Restrukturisasi 12 3 3 5 23
(0.57%) (0.14%) (0.14%) (0.24%) (1.10%)
9 Modal Usaha 227 41 40 44 352
(10.84%) (1.96%) (1.91%) (2.10%) (16.80%)
10 Properti 105 19 18 25 167
(5.01%) (0.91%) (0.86%) (1.19%) (7.97%)
11 Renovasi 253 50 31 40 374
(12.08%) (2.39%) (1.48%) (1.91%) (17.85%)
Total 1423 231 214 227 2095
(67.92%) (11.03%) (10.21%) (10.84%) (100.00%)
Sumber: LPD Pecatu, 2016 (data diolah)
Pg. 41
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Jika dilihat dari jumlah debitur, kredit konsumtif adalah kredit yang paling banyak
diajukan sedangkan kredit untuk restrukturisasi yang paling sedikit. Debitur untuk
tujuan modal usaha, renovasi rumah, maupun adat juga menjadi tujuan
penggunaan kredit yang banyak diajukan. Kolektibilitas kredit konsumtif dapat
dikatakan paling lancar, tapi tingkat kemacetannya juga paling tinggi. Hal ini
disebabkan karena jumlah pengajuan kredit konsumtif adalah yang terbesar. Dari
sini dapat dilihat jika performa kredit di LPD Pecatu kurang baik, karena hanya
67,9% debitur yang bisa dikategorikan membayar dengan lancar.
Tabel 5.Kategori Kredit Per Penggunaan Berdasarkan Nilai Kredit
No. Tujuan
Penggunaan
Kategori Kredit dilihat dari Nilai Kredit
(jutaan rupiah)
Lancar Diragukan Kurang Lancar
Macet Total
1 Adat 5,042.52 709.73 743.71 439.92 6,935.88
(1.39%) (0.20%) (0.20%) (0.12%) (1.91%)
2 Pendidikan 3,530.77 156.72 463.25 71.38 4,222.12
(0.97%) (0.04%) (0.13%) (0.02%) (1.16%)
3 Kesehatan 6,038.48 125.42 36.43 698.49 6,898.83
(1.66%) (0.03%) (0.01%) (0.19%) (1.90%)
4 Konsumtif 9,129.42 1,679.82 1,550.70 3,322.09 15,682.02
(2.52%) (0.46%) (0.43%) (0.92%) (4.32%)
5 Kompensasi 1,627.20 1,846.73 285.91 277.31 4,037.15
(0.45%) (0.51%) (0.08%) (0.08%) (1.11%)
6 Penjadwalan 32,885.96 8,983.23 13,071.58 4,678.47 59,619.23
(9.06%) (2.47%) (3.60%) (1.29%) (16.43%)
7 Perpanjangan 679.22 4,133.98 61.06 960.99 5,835.25
Pg. 42
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
(0.19%) (1.14%) (0.02%) (0.26%) (1.61%)
8 Restrukturisasi 37,331.85 30.23 5,608.04 5,315.82 48,285.94
(10.29%) (0.01%) (1.55%) (1.46%) (13.30%)
9 Modal Usaha 18,304.35 21,961.61 2,841.42 5,643.85 48,751.23
(5.04%) (6.05%) (0.78%) (1.55%) (13.43%)
10 Properti 48,386.62 43,472.05 41,894.87 12,611.64 146,365.17
(13.33%) (11.98%) (11.54%) (3.47%) (40.33%)
11 Renovasi 10,517.74 2,272.37 1,426.90 2,110.36 16,327.37
(2.90%) (0.63%) (0.39%) (0.58%) (4.50%)
Total 173,474.13 85,371.88 67,983.86 36,130.32 362,960.19
(47.79%) (23.52%) (18.73%) (9.95%) (100.00%)
Sumber: LPD Pecatu, 2016 (data diolah)
Bandingkan dengan kolektibilitas kredit dilihat dari nilai nominal kreditnya. Jika
berdasarkan jumlah debitur kredit konsumtif adalah yang terbesar, maka untuk
nilai nominal kredit properti menduduki peringkat pertama padahal secara jumlah
debitur angkanya tidak lebih dari 10% total debitur. Hal ini mengindikasikan jika
sejumlah kecil debitur kredit properti diberikan nilai kredit yang relatif sangat besar
per orangnya. Resiko kredit di sektor ini terlihat sangat tinggi jika dibandingkan
dengan resiko yang harus ditanggung oleh LPD dari kredit lainnya. Kredit properti
yang tergolong lancar hanya 13% dari total kredit, sedangkan niilainya jauh lebih
rendah dibandingkan dengan kredit properti yang tergolong tidak berperforma
baik. Kredit dengan nilai nominal terbesar kedua diperuntukkan untuk penjadwalan
kembali, yang termasuk dalam restrukturisasi, dan modal usaha.
Sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 11/POJK.03/3015 tentang
Ketentuan Kehati-hatian dalam Rangka Stimulus Perekonomian Nasional Bagi Bank
Umum, yang dimaksud dengan restrukturisasi kredit adalah upaya perbaikan yang
dilakukan dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan
Pg. 43
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
untuk memenuhi kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui: a. penurunan
suku bunga Kredit; b. perpanjangan jangka waktu Kredit; c. pengurangan
tunggakan bunga Kredit; d. pengurangan tunggakan pokok Kredit; e. penambahan
fasilitas Kredit; dan/atau f. konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.
Berbeda halnya dengan penjadwalan kembali adalah rescheduling yaitu perubahan
syarat kredit yang hanya menyangkut jadwal pembayaran atau jangka waktu yang
hampir serupa dengan perpanjangan yang berarti memperpanjang jatuh tempo
atau memperbaharui suatu pinjaman atau kewajiban. Nilai kredit yang diajukan
pada ketiganya cukup besar. Seperti yang diketahui jika restrukturisasi dan
penjadwalan kembali adalah strategi yang biasa digunakan oleh lembaga keuangan
untuk mengatasi kredit bermasalah. Jika ini ditarik ke belakang, dengan nilai yang
relatif besar, maka bisa jadi kredit bermasalah di LPD Pecatu sudah terindikasi lama.
Sekalipun jumlah debitur yang bermasalah tidak terlalu banyak, namun nilai
kreditnya cukup besar. Hal ini memberikan rambu bagi LPD untuk lebih berhati-hati
dalam menyalurkan kredit yang bernilai besar serta memberikan solusi
penyelesaian kredit bermasalah tidak hanya melalui restrukturisasi kredit.
Kredit untuk modal usaha menunjukkan performa yang juga tidak terlalu baik.
Kredit macet terbesar kedua disumbangkan dari jenis penggunaan kredit ini.
Namun demikan, jumlah debitur sub penggunaan ini cukup besar, berkisar 18% dari
total debitur. Kolektibilitas total kredit yang tergolong lancar hanya 47.79%, yang ini
berarti non performing loan (NPL) atau nilai kredit bermasalah di LPD Pecatu
sebesar 52.21%. Angka ini jauh berada di atas ketentuan yang diberlakukan oleh
Bank Indonesia untuk sektor perbankan, maksimum 5% untuk dapat dikategorikan
sehat. Jika dua indicator keuangan yang ada diperbandingkan, yaitu LDR yang
berkisar pada 102% dan NPL yang berkisar 52,21% maka bisa dikatakan resiko yang
Pg. 44
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
harus ditanggung oleh LPD dalam operasionalnya sebagai lembaga intermediari
sangat tinggi.
LDR merupakan rasio yang mengukur kemampuan lembaga keuangan
untukmemenuhi kewajiban keuangan yang harus segera dipenuhi. Rasiolikuiditas
yang lazim digunakan dalam dunia perbankan terutama diukurdari Loan to Deposit
Ratio (LDR). Besarnya LDR mengikuti perkembangankondisi ekonomi Indonesia.
LDR merupakan ukuran likuiditas yang mengukur besarnya danayang ditempatkan
dalam bentuk kredit yang berasal dari dana yangdikumpulkan oleh bank (terutama
dana masyarakat). Semakin tinggi LDRmenunjukkan semakin riskan kondisi
likuiditas bank, sebaliknya semakinrendah LDR menunjukkan kurangnya efektifitas
bank dalam menyalurkankredit. Non performing loan (NPL) merupakan rasio yang
dipergunakan untuk mengukurkemampuan bank dalam mengukur risiko kegagalan
pengembalian kreditoleh debitur. NPL mencerminkan risiko kredit, semakinkecil
NPL semakin kecil pula risiko kredit yang ditanggung pihak bank.Non Performing
Loan (NPL) merupakan salah satu pengukurandari rasio risiko usaha bank yang
menunjukkan besarnya risiko kreditbermasalah yang ada pada suatu bank.
NPL dan LDR memiliki pengaruh yang berbeda terhadap profitabilitas sebuah
lembaga keuangan, seperti halnya LPD Pecatu. Jika LDR tinggi, maka kemampuan
LDR untuk mendapatkan profit akan semakin tinggi karena besarnya dana yang
beredar di masyarakat dan penerimaan dalam bentuk bunga. Namun, resiko
likuiditas juga akan semakin tinggi. Berbeda halnya dengan NPL yang berpengaruh
negatif terhadap profitabilitas. Karena kredit-kredit yang tidak berperforma baik,
maka profit LPD juga akan turun karena ketidakmampuan debitur membayar
beban bunga yang tidak lain merupakan pendapatan utama sebuah lembaga
Pg. 45
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
keuangan. NPL yang tinggi juga berarti tingginya resiko likuiditas. Satu hal yang
mungkin harus digaris bawahi di sini, resiko pengelolaan kredit LPD Pecatu sangat
besar. Satu hal utama yang harus dijaga adalah kepercayaan masyarakat adat akan
keamanan uang yang mereka tempatkan di LPD dan dapat ditarik sewaktu-waktu
saat dibutuhkan.Resiko likuiditas yang tercermin dari dua rasio di atas
menunjukkan jika LPD Pecatu harus lebih hati-hati dalam penyaluran kredit dengan
memilih sektor-sektor potensial namun tetap lancar.
Merujuk kembali pada definisi awal LPD yang termasuk pada lembaga keuangan
mikro tradisional, maka tujuan utama pendiriannya juga dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan kredit yang berskala mikro atau kecil. Berdasarkan definisi
dan kriteria usaha berdasarkan UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM, kredit
UMKM didasarkan pada definisi plafon, yaitu: (1) kredit mikro dengan plafon s.d
Rp50juta, (2) kredit kecil dengan plafon lebih dari Rp50juta s.d Rp500 juta, dan (3)
kredit menengah dengan plafon lebih dari Rp500juta s.d Rp5miliar. Dalam definisi
tersebut, seluruh jenis penggunaan kredit termasuk kredit konsumtif masuk di
dalamnya.
Tabel 6. Kolektibilitas Kredit Berdasarkan Skala dan Jumlah Debitur
No Skala Kredit Total Pinjaman
(rupiah)
Kategori
L D KL M Total
1 < 10 JT 1,543,972,274.50 209 23 26 13 271
10.00% 1.10% 1.24% 0.62% 12.96%
2 10 JT SD 50 JT 11,432,602,655.00 376 108 89 86 659
Pg. 46
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
17.98% 5.16% 4.26% 4.11% 31.52%
3 50 JT SD 100 JT 11,992,239,926.00 158 36 30 35 259
7.56% 1.72% 1.43% 1.67% 12.39%
4 100 JT SD 250 JT 33,203,737,396.05 300 41 33 52 426
14.35% 1.96% 1.58% 2.49% 20.37%
5 250 JT SD 500 JT 22,525,855,531.33 161 8 16 25 210
7.70% 0.38% 0.77% 1.20% 10.04%
6 500 JT SD 1 M 35,068,110,325.00 164 5 10 8 187
7.84% 0.24% 0.48% 0.38% 8.94%
7 1 M – 5 M 97,507,980,201.00 40 4 4 8 56
1.91% 0.19% 0.19% 0.38% 2.68%
8 > 5 M 149,685,689,285.00 12 6 5 - 23
0.57% 0.29% 0.24% 0.00% 1.10%
Total 362,960,187,593.88 1,420 231 213 227 2,091
67.91% 11.05% 10.19% 10.86% 100.00%
Sumber: LPD Pecatu, 2016
Jumlah debitur yang mengajukan kredit mikro jumlahnya dapat dikatakan relative
kecil jika dibandingkan dengan debitur pada plafon kredit yang lebih tinggi (di atas
50 juta). Jumlah debitur terbanyak berada pada skala kredit kecil sekitar 42% dari
total debitur. LPD Pecatu juga menyalurkan kredit yang bernilai besar, plafon diatas
5 milyar, dengan nilai yang sangat besar walaupun jumlah debiturnya relative kecil.
Jika dilihat prosentase nilai kredit besar dengan plafon di atas 5 milyar memang
hanya 1,10% dari total debitur sedangkan debitur terbanyak mengajukan plafon
mikro (sampai dengan 50 juta). Secara fungsi, LPD memang telah menyalurkan
kredit berskala mikro dan menengah untuk masyarakat sesuai peruntukannya.
Tabel 7. Persentase Kolektibilitas Kredit Berdasarkan Skala dan Nilai Kredit
Pg. 47
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
No Skala Kredit
Kategori
(jutaan rupiah)
L D KL M Total
1 < 10 JT 1,111.91 171.40 161.09 99.58 1,543.97
0.31% 0.05% 0.04% 0.03% 0.43%
2 10 JT SD 50 JT 6,439.70 1,967.62 1,475.69 1,549.60 11,432.60
1.77% 0.54% 0.41% 0.43% 3.15%
3 50 JT SD 100 JT 6,392.32 1,584.65 1,654.12 2,361.14 11,992.24
1.76% 0.44% 0.46% 0.65% 3.30%
4 100 JT SD 250 JT 18,375.87 4,907.20 3,166.18 6,754.49 33,20374
5.06% 1.35% 0.87% 1.86% 9.15%
5 250 JT SD 500 JT 11,060.74 3,091.15 3,392.73 4,981.24 22,525.86
3.05% 0.85% 0.93% 1.37% 6.21%
6 500 JT SD 1 M 21,225.87 3,517.05 5,682.05 4,643.14 35,068.11
5.85% 0.97% 1.57% 1.28% 9.66%
7 1 M – 5 M 61,519.33 8,215.51 12,032.00 15,741.14 97,507.98
16.95% 2.26% 3.31% 4.34% 26.86%
8 >5 M 47,348.39 61,917.30 40,420.00 - 149,685.69
13.05% 17.06% 11.14% 0.00% 41.24%
Total 173,474.13 85,371.88 67,983.86 36,130.32 362,960.19
47.79% 23.52% 18.73% 9.95% 100.00%
Sumber: LPD Pecatu, 2016
Dilihat secara nilai, kredit skala besar di atas 5 milyar menjadi porsi kredit terbesar
atau sekitar 41,24% dari total nilai kredit yang disalurkan. Jika ditambahkan dengan
kredit di atas 1 milyar – 5 milyar, maka nilanya sudah melebihi angka 50%, tepatnya
di 68%. Penyumbang kredit macet terbesar adalah kredit dengan kisaran 1 milyar
sampai dengan 5 milyar. Nilainya bahkan mencapai 68% dari total kredit. Kredit
yang berpotensi besar untuk tidak berperforma bagus mulai terlihat pada kredit-
kredit berskala di atas 100 juta. Kredit-kredit berskala mikro terlihat memiliki
Pg. 48
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
performa baik. Kredit berskala besar, diatas 5 milyar memang tidak terindikasi
macet, namun performanya juga tidak dapat dikatakan baik. Fokus penyaluran
kredit LPD Pecatu terlihat merujuk pada debitur-debitur besar dengan plafon kredit
yang sangat tinggi. Jika ini tidak dikelola dengan baik, maka resiko kredit pasti juga
tinggi. Hal ini bisa jadi cerminan mengapa NPL di LPD Pecatu bisa mencapai 52,2% di
tahun 2016.
Melihat kembali pertumbuhan laba yang semakin menurun, dapat mengindikasikan
adanya trend diminishing return dalam penyaluran kredit LPD Pecatu. Secara
absolut laba bisa jadi meningkat, tapi pertumbuhannya terus menerus turun. Laba
LPD Pecatu terindikasi berada pada titik jenuh yang jika dibiarkan akan berakibat
tidak baik bagi keberlanjutan LPD. Strategi yang bisa dilakukan sementara oleh LPD
adalah menahan ekspansi kredit terutama pada sektor-sektor dengan rambu
kuning dan nilai kredit berskala besar. LPD sementara waktu bisa mengambil
kebijakan untuk fokus pada penyelesaian kredit-kredit bermasalah terutama yang
berskala besar, sehingga sekalipun tidak berekspansi, laba bisa terus dipertahankan
dari penarikan bunga kredit bermasalah tersebut.
Analisis Kredit per Tujuan Penggunaan
1. Adat
Termasuk dalam kategori adat adalah kredit untuk tujuan upacara yadnya baik itu
manusa, dewa, dan pitra yadnya serta perbaikan pelinggih yang masuk dalam
kategori sektor lain-lain. Jenis-jenis tujuan penggunaan kredit yang masuk di sektor
Pg. 49
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
lain-lain dapat dikatakan tidak terkelompokkan dengan jelas. Misalnya Tabel 8
menunjukkan koletibilitas kredit di tujuan ini, misalnya tertulis untuk tujuan upacara
yadnya, pendidikan, kesehatan, konsumsi, dan modal dagang. Karena itu, beberapa
item kredit tersebut dipisahkan kembali per sub tujuan yang dianggap serupa.
Tabel 8 menunjukkan nilai dan kolektibilitas kredit untuk tujuan adat.
Tabel 8. Kolektibilitas Kredit Tujuan Penggunaan Adat Berdasarkan Jumlah
Debitur
No Skala Kredit Nilai Kredit
(jutaan rupiah)
Kategori
(orang)
L D KL M Total
1 < 10 JT 196.05 25 1 2 4 32
7.46% 0.30% 0.60% 1.19% 9.55%
2 10 JT SD 50 JT 1,903.15 72 15 22 10 119
21.49% 4.48% 6.57% 2.99% 35.52%
3 50 JT SD 100 JT 624.19 14 5 6 4 29
4.18% 1.49% 1.79% 1.19% 8.66%
4 100 JT SD 250 JT 1,778.63 49 7 3 8 67
14.63% 2.09% 0.90% 2.39% 20.00%
5 250 JT SD 500 JT 1,854.39 64 - - - 64
19.10% 0.00% 0.00% 0.00% 19.10%
6 500 JT SD 1 M 579.46 24 - - - 24
7.16% 0.00% 0.00% 0.00% 7.16%
Total 6,935.88 248 28 33 26 335
74.03% 8.36% 9.85% 7.76% 100.00%
Sumber: LPD Pecatu, 2016
Pg. 50
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Kredit untuk kepentingan upacara adat relative kecil, hanya 1,91% dari total kredit
yang disalurkan oleh LPD Pecatu. Jumlah debitur yang mengajukan juga tidak
banyak, hanya 335 orang. Dilihat dari skala kreditnya, maka kredit untuk tujuan adat
tidaklah besar. Yang terbesar berada pada interval 500 juta – 1 milyar, tapi
kolektibilitasnya lancar. Secara keseluruhan, kolektibilias kredit untuk adat
dikatakan sangat lancar, macet hanya berkisar 7.76% debitur.
DIlihat dari nilai kredit, penyaluran kredit adat terbanyak berada pada interval 10
juta – 50 juta. Kredit diatas 250 juta juga relatif banyak diajukan, namun seluruhnya
termasuk dalam kategori lancar. Kredit yang berperforma kurang baik pada tujuan
penggunaan ini relative rendah dibandingkan dengan kredit secara keseluruhan.
Kredit yang masuk kategori lancar sebesar 72,7% sehingga kredit jenis ini dapat
dikatakan tidak bermasalah. Ada beberapa kelebihan utama dari kredit jenis ini,
yaitu: 1) nilainya tidak besar, sehingga sesuai dengan kategori kredit mikro dan kecil
yang menjadi fokus LPD; 2) tujuan adat, yang berarti membantu masyarakat dalam
menjalankan kewajiban sekala niskala mereka sehingga terjalin keharmonisan yang
utama antar masyarakat, LPD dan Tuhan Ida Sanghyang Widhi Wasa. Hal itu
mencerminkan terjaganya Tri Hita Karana sebagai konsep berkehidupan dan
bermasyarakat Hindu Bali yang telah menjadi cerminan dan tauladan umum tidak
hanya di Bali. Fungsi LPD Pecatu sebagai pilihan keuangan masyarakat tradisional
jadi semakin terlihat jelas; 3). Tingkat kolektibilitasnya sangat baik.
Tabel 9.Kolektibilitas Kredit Tujuan Penggunaan Adat Berdasarkan Nilai Kredit
No Skala Kredit
Kategori
(jutaan rupiah)
L D KL M Total
Pg. 51
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
1 < 10 JT 145.53 7.79 5.85 36.88 196.05
2.10% 0.11% 0.08% 0.53% 2.83%
2 10 JT SD 50 JT 1,064.00 262.39 349.41 227.35 1,903.15
15.34% 3.78% 5.04% 3.28% 27.44%
3 50 JT SD 100 JT 448.50 64.34 53.98 57.37 624.19
6.47% 0.93% 0.78% 0.83% 9.00%
4 100 JT SD 250 JT 950.64 375.22 334.46 118.31 1,778.63
13.71% 5.41% 4.82% 1.71% 25.64%
5 250 JT SD 500 JT 1,854.39 - - - 1,854.39
26.74% 0.00% 0.00% 0.00% 26.74%
6 500 JT SD 1 M 579.46 - - - 579.46
8.35% 0.00% 0.00% 0.00% 8.35%
Total 5,042.52 709.73 743.71 439.92 6,935.88
72.70% 10.23% 10.72% 6.34% 100.00%
Sumber: LPD Pecatu, 2016
2. Pendidikan
Kredit pendidikan memang mencantumkan tujuan untuk pengeluaran sekolah atau
kuliah bagi anggota keluarga (anak, adik, dan cucu). Karena cukup spesifik dan
banyak debitur terlihat di sektor lain-lain, maka sub sektor ini bisa dikelompokkan
tersendiri. Tabel di bawah menunjukkan nilai dan kolektibilitas kredit pendidikan.
Tabel 10.Kolektibilitas Kredit Tujuan Pendidikan Berdasarkan Jumlah Debitur
Pg. 52
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
No Skala Kredit Nilai Kredit
(jutaan rupiah)
Kategori
(orang)
L D KL M Total
1 < 10 JT 94.65 10 3 1 1 15
10.31% 3.09% 1.03% 1.03% 15.46%
2 10 SD 50 JT 562.09 19 5 5 5 34
19.59% 5.15% 5.15% 5.15% 35.05%
3 50 SD 100 JT 325.12 7 3 - - 10
7.22% 3.09% 0.00% 0.00% 10.31%
4 100 SD 250 JT 105.05 - - 2 - 2
0.00% 0.00% 2.06% 0.00% 2.06%
5 250 SD 500 JT 861.45 27 - 1 - 28
27.84% 0.00% 1.03% 0.00% 28.87%
6 500 JT SD 1 M - - - - - -
0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
7 > 1 M 2,273.76
8 - - - 8
8.25% 0.00% 0.00% 0.00% 8.25%
Total 4,222.12
3 11 9 6 97
73.20% 11.34% 9.28% 6.19% 100.00%
Sumber: LPD Pecatu, 2016
Kredit yang diperuntukkan untuk tujuan pendidikan relatif besar, bahkan ada
delapan (8) debitur yang mengajukan kredit dengan total 2,2 milyar untuk
pendidikan anak. Namun, rata-rata terbanyak pengajuan kredit pendidikan ada di
rentang 10 – 50 juta. Kredit untuk tujuan pendidikan dapat dikatakan berperforma
baik, karena 73,2% lancar, dan sisanya dapat dikatakan berperforma cukup baik,
karena tingkat kredit macetnya hanya 6 debitur yang tergolong macet dari 97
debitur pendidikan.
Pg. 53
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Kolektibilitas kredit pendidikan sangat baik, karena 83,6% dari total kredit yang
disalurkan berkategori lancar. Walaupun nilai kreditnya cukup besar, namun tetap
dapat dikatakan lancar. Karena itu, tidak masalah jika LPD Pecatu juga tetap fokus
pada penyaluran kredit-kredit untuk tujuan pendidikan. Selain itu, kredit ini bersifat
musiman (seasonal) sesuai tahun ajaran sekolah/kuliah, sehingga dapat diprediksi
trennya.
Tabel 11.Kolektibilitas Kredit Tujuan Pendidikan Berdasarkan Nilai Kredit
No Skala Kredit
Kategori
(jutaan rupiah)
L D KL M Total
1 < 10 JT 62.56 23.72 3.50 4.86 94.65
1.48% 0.56% 0.08% 0.12% 2.24%
2 10 SD 50 JT 349.20 81.82 64.56 66.52 562.09
8.27% 1.94% 1.53% 1.58% 13.31%
3 50 SD 100 JT 273.95 51.18 - - 325.12
6.49% 1.21% 0.00% 0.00% 7.70%
4 100 SD 250 JT - - 105.05 - 105.05
0.00% 0.00% 2.49% 0.00% 2.49%
5 250 SD 500 JT 571.30 - 290.14 - 861.45
13.53% 0.00% 6.87% 0.00% 20.40%
6 500 JT SD 1 M - - - - -
0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
7 >1 M 2,273.76 - - - 2,273.76
53.85% 0.00% 0.00% 0.00% 53.85%
Total 3,530.77 156.72 463.25 71.38 4,222.12
83.63% 3.71% 10.97% 1.69% 100.00%
Sumber: LPD Pecatu, 2016
Pg. 54
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
3. Kesehatan
Kredit kesehatannya pada umumnya dimaksudkan untuk berobat, operasi, dan
melahirkan. Kebanyakan debitur mengajukan kredit pada rentang 100 – 250 juta
dan antara 20 – 50 juta. Kolektibilitas debitur pada sub sektor ini cukup baik dengan
presentase debitur yang termasuk lancar sekitar 69,6%. Namun jumlah debiturnya
tidak terlalu banyak, hanya 79 orang.
Tabel 12.Kolektibilitas Kredit Tujuan Kesehatan Berdasarkan Jumlah Debitur
No Skala Kredit Nilai Kredit
(jutaan rupiah)
Kategori
(orang)
L D KL M Total
1 < 10 JT 34.56 3 1 2 0 6
3.80% 1.27% 2.53% 0.00% 7.59%
2 10 SD 50 JT 262.02 5 3 3 7 18
6.33% 3.80% 3.80% 8.86% 22.78%
3 50 SD 100 JT 407.23 10 2 0 2 14
12.66% 2.53% 0.00% 2.53% 17.72%
4 100 SD 250 JT 968.30 20 0 0 1 21
25.32% 0.00% 0.00% 1.27% 26.58%
5 250 SD 500 JT 561.00 1 0 0 3 4
1.27% 0.00% 0.00% 3.80% 5.06%
6 500 JT SD 1 M 665.72 15 0 0 0 15
18.99% 0.00% 0.00% 0.00% 18.99%
7 > 1 M 4,000.00 1 0 0 0 1
1.27% 0.00% 0.00% 0.00% 1.27%
Total 6,898.83 55 6 5 13 79
69.62% 7.59% 6.33% 16.46% 100.00%
Sumber: LPD Pecatu, 2016
Pg. 55
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Tabel 13.Kolektibilitas Kredit Tujuan Kesehatan Berdasarkan Nilai Kredit
No Skala Kredit
Kategori
(jutaan rupiah)
L D KL M Total
1 < 10 JT 22.23 3.37 8.96 - 34.56
0.32% 0.05% 0.13% 0.00% 0.50%
2 10 JT SD 50 JT 88.50 46.75 27.48 99.29 262.02
1.28% 0.68% 0.40% 1.44% 3.80%
3 50 JT SD 100 JT 206.40 75.30 - 125.53 407.23
2.99% 1.09% 0.00% 1.82% 5.90%
4 100 JT SD 250 JT 805.64 - - 162.67 968.30
11.68% 0.00% 0.00% 2.36% 14.04%
5 250 JT SD 500 JT 250.0 - - 311.00 561.00
3.62% 0.00% 0.00% 4.51% 8.13%
6 500 JT SD 1 M 665.72 - - - 665.72
9.65% 0.00% 0.00% 0.00% 9.65%
7 >1 M 4,000.00 - - - 4,000.00
57.98% 0.00% 0.00% 0.00% 57.98%
Total 6,038.48 125.42 36.43 698.49 6,898.83
87.53% 1.82% 0.53% 10.12% 100.00%
Sumber: LPD Pecatu, 2016
Kolektibilitas kredit untuk pendidikan dapat dikatakan sangat lancar dan paling baik
dibandingkan jenis penggunaan kredit lainnya dilihat dari nilai kredit. Hal ini
didukung baiknya performa debitur yang memiliki kredit besar (> 250 juta). Macet
cenderung terjadi pada kredit pendidikan skala mikro.
4. Konsumtif
Pg. 56
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Termasuk dalam kategori kredit adalah berbagai pembelian jenis barang kebutuhan
rumah tangga, mulai dari sepeda motor, mobil, elektronik, dan lainnya yang terkait.
Dilihat dari jumlah debitur secara total lebih banyak dibandingkan dengan kredit
sebelumnya, namun skala kredit yang diambil relatif kecil. Kolektibilitasnya juga
sangat tinggi, karena 72,77% debitur membayar dengan lancar.
Tabel 14.Kolektibilitas Kredit Tujuan Konsumsi Berdasarkan Jumlah Debitur
Sumber: LPD Pecatu, 2016
Tabel 15.Kolektibilitas Kredit Tujuan Konsumsi Berdasarkan Nilai Kredit
No Skala Kredit Nilai Kredit
(jutaan rupiah)
Kategori
(orang)
L D KL M Total
1 < 10 JT 512.86 78 7 10 4 99
16.22% 1.46% 2.08% 0.83% 20.58%
2 10 JT SD 50 JT 2,713.43 110 22 22 18 172
22.87% 4.57% 4.57% 3.74% 35.76%
3 50 JT SD 100 JT 3,503.59 49 8 4 10 71
10.19% 1.66% 0.83% 2.08% 14.76%
4 100 JT SD 250 JT 7,847.73 85 5 8 13 111
17.67% 1.04% 1.66% 2.70% 23.08%
5 250 JT SD 500 JT 1,104.42 28 - - - 28
5.82% 0.00% 0.00% 0.00% 5.82%
6 500 JT SD 1 M - - - - - -
0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
7 > 1 M - - - - - -
0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
Total 15,682.02 350 42 44 45 481
72.77% 8.73% 9.15% 9.36% 100.00%
Pg. 57
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
No Skala Kredit
Kategori
(jutaan rupiah)
L D KL M Total
1 < 10 JT 378.82 50.15 56.47 27.41 512.86
2.42% 0.32% 0.36% 0.17% 3.27%
2 10 JT SD 50 JT 1,706.71 394.52 324.31 287.88 2,713.43
10.88% 2.52% 2.07% 1.84% 17.30%
3 50 JT SD 100 JT 2,101.54 375.30 267.18 759.57 3,503.59
13.40% 2.39% 1.70% 4.84% 22.34%
4 100 JT SD 250 JT 3,837.92 859.86 902.73 2,247.22 7,847.73
24.47% 5.48% 5.76% 14.33% 50.04%
5 250 JT SD 500 JT 1,104.42 - - - 1,104.42
7.04% 0.00% 0.00% 0.00% 7.04%
6 500 JT SD 1 M - - - - -
0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
7 >1 M - - - - -
0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
Total 9,129.42 1,679.82 1,550.70 3,322.09 15,682.02
58.22% 10.71% 9.89% 21.18% 100.00%
Sumber: LPD Pecatu, 2016
Kolektibilitas kredit konsumtif dari sisi nilai tidak sebaik jika dilihat dari jumlah
debiturnya. Hal ini karena debitur yang berkategori lancar lebih banyak pada skala
kecil, sedangkan kredit konsumtif yang macet banyak terjadi di rentang 100 – 250
juta. Jenis kredit dapat dikatakan aman, namun harus tetap berhati-hati terutama
pada skala yang cukup besar.
5. Kompensasi
Pg. 58
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Tabel 16 dan 17 menunjukkan kolektibilitas kredit untuk kompensasi. Hasilnya
mengindikasikan jika kolektibilitas kredit yang diperuntukkan untuk kompensasi
tidak terlalu baik. Kredit yang dibayarkan lancar berada di bawah rata-rata untuk
seluruh kredit.
Tabel 16.Kolektibilitas Kredit Tujuan Kompensasi Berdasarkan Jumlah Debitur
Sumber: LPD Pecatu, 2016
Tabel 17.Kolektibilitas Kredit Tujuan Kompensasi Berdasarkan Nilai Kredit
No Skala Kredit Nilai Kredit
(jutaan rupiah)
Kategori
(orang)
L D KL M Total
1 < 10 JT 14.49 1 - - 1 2
3.70% 0.00% 0.00% 3.70% 7.41%
2 10 JT SD 50 JT 209.58 5 2 2 1 10
18.52% 7.41% 7.41% 3.70% 37.04%
3 50 SD 100 JT 269.26 3 1 1 1 6
11.11% 3.70% 3.70% 3.70% 22.22%
4 100 SD 250 JT 825.73 3 2 1 1 7
11.11% 7.41% 3.70% 3.70% 25.93%
5 250 SD 500 JT - - - - - -
0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
6 500 JT SD 1 M - - - - - -
0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
7 > 1 M 2,718.09 1 1 - - 2
3.70% 3.70% 0.00% 0.00% 7.41%
Total 4,037.15 13 6 4 4 27
48.15% 22.22% 14.81% 14.81% 100.00%
Pg. 59
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
No Skala Kredit
Kategori
(jutaan rupiah)
L D KL M Total
1 < 10 JT 8.53 - - 5.97 14.49
0.21% 0.00% 0.00% 0.15% 0.36%
2 10 JT SD 50 JT 112.26 55.80 28.46 13.05 209.58
2.78% 1.38% 0.71% 0.32% 5.19%
3 50 JT SD 100 JT 64.78 52.19 74.00 78.30 269.26
1.60% 1.29% 1.83% 1.94% 6.67%
4 100 JT SD 250 JT 191.63 270.65 183.45 180.00 825.73
4.75% 6.70% 4.54% 4.46% 20.45%
5 250 JT SD 500 JT - - - - -
0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
6 500 JT SD 1 M - - - - -
0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
7 >1 M 1,250.00 1,468.09 - - 2,718.09
30.96% 36.36% 0.00% 0.00% 67.33%
Total 1,627.20 1,846.73 285.91 277.31 4,037.15
40.31% 45.74% 7.08% 6.87% 100.00%
Sumber: LPD Pecatu, 2016
6. Penjadwalan Kembali, Perpanjangan, dan Restukturisasi
Berikut adalah tabel yang menunjukkan kolektibilitas kredit yang dijadwalkan ulang
dan direstrukturisasi.
Tabel 18.Kolektibilitas Kredit dengan Penjadwalan Ulang Berdasarkan Jumlah
Debitur
Pg. 60
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Sumber: LPD Pecatu, 2016
Tabel 19.Kolektibilitas Kredit dengan Penjadwalan Ulang Berdasarkan Nilai Kredit
No Skala Kredit
Kategori
(jutaan rupiah)
L D KL M Total
1 < 10 JT 106.01 25.30 17.32 - 148.64
0.18% 0.04% 0.03% 0.00% 0.25%
2 10 JT SD 50 JT 214.49 121.31 13.13 43.18 392.11
0.36% 0.20% 0.02% 0.07% 0.66%
3 50 JT SD 100 JT 437.24 - 394.66 163.90 995.80
No Skala Kredit Nilai Kredit
(jutaan rupiah)
Kategori
(orang)
L D KL M Total
1 < 10 JT 148.64 22 3 3 - 28
17.60% 2.40% 2.40% 0.00% 22.40%
2 10 JT SD 50 JT 392.11 12 9 1 2 24
9.60% 7.20% 0.80% 1.60% 19.20%
3 50 SD 100 JT 995.80 7 - 8 2 17
5.60% 0.00% 6.40% 1.60% 13.60%
4 100 SD 250 JT 2,303.78 11 2 4 1 18
8.80% 1.60% 3.20% 0.80% 14.40%
5 250 SD 500 JT 2,852.92 4 2 1 4 11
3.20% 1.60% 0.80% 3.20% 8.80%
6 500 JT SD 1 M 6,987.60 4 2 3 1 10
3.20% 1.60% 2.40% 0.80% 8.00%
7 > 1 M 45,938.39 11 2 2 2 17
8.80% 1.60% 1.60% 1.60% 13.60%
Total 59,619.23 71 0 22 12 125
56.80% 16.00% 17.60% 9.60% 100.00%
Pg. 61
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
0.73% 0.00% 0.66% 0.27% 1.67%
4 100 JT SD 250 JT 1,111.03 276.45 710.85 205.44 2,303.78
1.86% 0.46% 1.19% 0.34% 3.86%
5 250 JT SD 500 JT 1,497.81 738.85 252.41 363.85 2,852.92
2.51% 1.24% 0.42% 0.61% 4.79%
6 500 JT SD 1 M 3,133.06 1,429.00 1,683.20 742.34 6,987.60
5.26% 2.40% 2.82% 1.25% 11.72%
7 >1 M 26,386.32 6,392.33 10,000.00 3,159.75 45,938.39
44.26% 10.72% 16.77% 5.30% 77.05%
Total 32,885.96 8,983.23 13,071.58 4,678.47 59,619.23
55.16% 15.07% 21.93% 7.85% 100.00%
Sumber: LPD Pecatu, 2016
Jika dilihat dari sisi debitur, penjadwalan kembali lebih banyak dilakukan untuk
debitur yang memiliki kredit di bawah 10 juta, namun karena nilainya kecil setelah
penjadwalan kolektibilitasnya lebih lancar. Sedangkan dari nilainya, penjadwalan
terbesar dilakukan untuk kredit-kredit di atas 1 milyar, namun performa kreditnya
kemudian masih tidak begitu baik.
Tabel 20.Kolektibilitas Kredit dengan Restrukturisasi Berdasarkan Jumlah Debitur
No Skala Kredit Nilai Kredit
(jutaan rupiah)
Kategori
(orang)
L D KL M Total
1 < 10 JT 9.99 1 - - - 1
4.35% 0.00% 0.00% 0.00% 4.35%
2 10 JT SD 50 JT 67.14 1 3 - 1 5
4.35% 13.04% 0.00% 4.35% 21.74%
3 50 SD 100 JT 146.54 - - 1 1 2
Pg. 62
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Sumber: LPD Pecatu, 2016
Keputusan untuk melakukan restrukturisasi kredit biasanya lebih kompleks karena
harus mempertimbangkan beberapa aspek. Dalam perbankan, Restrukturisasi
kredit hanya dapat dilakukan terhadap debitur yang memenuhi kriteria sebagai
berikut: 1) mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga kredit; 2)
memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah kredit
direstrukturisasi: 3) bank dilarang melakukan restrukturisasi kredit dengan tujuan
hanya untuk menghindaripenurunan penggolongan kualitas kredit, peningkatan
pembentukan penyisihan penghapusan aktiva (PPA), dan penghentian pengakuan
pendapatan bunga secara akrual. DIlihat dari data, restrukturisasi lebih banyak
dilakukan pada kredit yang bernilai tinggi, di atas 1 milyar, namun hanya 39% debitur
pada kelompok ini yang dapat digolongkan lancar. Walaupun demikian, angka
kredit lancarnya cukup tinggi di 76, 2%. Kelancaran kolektibilitas kredit yang
direstrukturisasi sangat bergantung pada kolektibilitas kredit-kredit di kelompok
ini. Karenanya, LPD harus lebih selektif dalam menentukan debitur dengan
kelompok kredit yang akan direstrukturisasi.
0.00% 0.00% 4.35% 4.35% 8.70%
4 100 SD 250 JT 224.00 - - - 1 1
0.00% 0.00% 0.00% 4.35% 4.35%
5 250 SD 500 JT 747.31 1 - - 1 2
4.35% 0.00% 0.00% 4.35% 8.70%
6 500 JT SD 1 M - - - - - -
0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
7 > 1 M 47,090.96 9 - 2 1 12
39.13% 0.00% 8.70% 4.35% 52.17%
Total 48,285.94 12 3 3 5 23
52.17% 13.04% 13.04% 21.74% 100.00%
Pg. 63
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Tabel 21.Kolektibilitas Kredit dengan Restrukturisasi Berdasarkan Nilai Kredit
No Skala Kredit
Kategori
(jutaan rupiah)
L D KL M Total
1 < 10 JT 9.99 - - - 9.99
0.02% 0.00% 0.00% 0.00% 0.02%
2 10 JT SD 50 JT 12.89 30.23 - 24.02 67.14
0.03% 0.06% 0.00% 0.05% 0.14%
3 50 JT SD 100 JT - - 76.04 70.49 146.54
0.00% 0.00% 0.16% 0.15% 0.30%
4 100 JT SD 250 JT - - - 224.00 224.00
0.00% 0.00% 0.00% 0.46% 0.46%
5 250 JT SD 500 JT 470.00 - - 277.31 747.31
0.97% 0.00% 0.00% 0.57% 1.55%
6 500 JT SD 1 M - - - - -
0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%
7 >1 M 36,838.96 - 5,532.00 4,720.00 47,090.96
76.29% 0.00% 11.46% 9.78% 97.53%
Total 37,331.85 30.23 5,608.04 5,315.82 48,285.94
77.31% 0.06% 11.61% 11.01% 100.00%
Sumber: LPD Pecatu, 2016
7. Modal Usaha
Masuk dalam jenis kredit ini adalah pengajuan kredit yang secara eksplisit
menunjukkan modal usaha di dalam aplikasinya. Kolektibilitasnya dapat dilihat pada
Tabel di bawah.
Tabel 22.Kolektibilitas Kredit untuk Modal Usaha Berdasarkan Jumlah Debitur
Pg. 64
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Sumber: LPD Pecatu, 2016
Tabel 23.Kolektibilitas Kredit untuk Modal Usaha Berdasarkan Nilai Kredit
No Skala Kredit
Kategori
(jutaan rupiah)
L D KL M Total
1 < 10 JT 163.41 8.63 18.77 5.69 196.50
0.34% 0.02% 0.04% 0.01% 0.40%
2 10 JT SD 50 JT 1,268.73 347.27 314.39 421.87 2,352.27
No Skala Kredit Nilai Kredit
(jutaan rupiah)
Kategori
(orang)
L D KL M Total
1 < 10 JT 196.50 31 1 2 1 35
8.81% 0.28% 0.57% 0.28% 9.94%
2 10 JT SD 50 JT 2,352.27 68 22 16 20 126
19.32% 6.25% 4.55% 5.68% 35.80%
3 50 SD 100 JT 2,352.27 68 22 16 20 126
7.95% 1.42% 1.70% 1.99% 13.07%
4 100 SD 250 JT 5,610.20 16 7 13 8 44
4.55% 1.99% 3.69% 2.27% 12.50%
5 250 SD 500 JT 5,732.44 16 3 2 6 27
4.55% 0.85% 0.57% 1.70% 7.67%
6 500 JT SD 1 M 7,834.09 65 - 1 2 68
18.47% 0.00% 0.28% 0.57% 19.32%
7 > 1 M 24,425.04 3 3 - - 6
0.85% 0.85% 0.00% 0.00% 1.70%
Total 48,751.23 227 41 40 44 352
64.49% 11.65% 11.36% 12.50% 100.00%
Pg. 65
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
2.60% 0.71% 0.64% 0.87% 4.83%
3 50 JT SD 100 JT 1,242.26 318.17 437.23 603.05 2,600.71
2.55% 0.65% 0.90% 1.24% 5.33%
4 100 JT SD 250 JT 2,374.82 1,122.98 764.82 1,347.58 5,610.20
4.87% 2.30% 1.57% 2.76% 11.51%
5 250 JT SD 500 JT 2,267.07 1,147.26 596.21 1,721.89 5,732.44
4.65% 2.35% 1.22% 3.53% 11.76%
6 500 JT SD 1 M 5,580.32 - 710.00 1,543.76 7,834.09
11.45% 0.00% 1.46% 3.17% 16.07%
7 >1 M 5,407.73 19,017.30 - - 24,425.04
11.09% 39.01% 0.00% 0.00% 50.10%
Total 18,304.35 21,961.61 2,841.42 5,643.85 48,751.23
37.55% 45.05% 5.83% 11.58% 100.00%
Sumber: LPD Pecatu, 2016
Kolektibiltas kredit untuk modal usaha dapat dianggap memiliki performa yang
paling tidak baik, Kolektibilitas yang lancar hanya 37%, sisanya kurang baik.
Kelemahan data adalah modal usaha dijadikan satu sehingga tidak dapat dijelaskan
kemudian modal usaha apa yang memiliki kolektibilitas lancara dan kurang lancar.
Karena itu kedepannya, mungkin dapat dijadikan masukan untuk LPD memilah
usaha sesuai kategorinya untuk dijadikan basis data.
8. Properti
Masuk dalam kategori kredit properti adalah kredit yang ditujukan untuk
pembelian tanah kavling, pembangunan pondokan wisata, dan lainnya yang
dianggap bernilai tinggi tidak untuk ditinggali secara pribadi.
Pg. 66
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Tabel 24.Kolektibilitas Kredit Properti Berdasarkan Jumlah Debitur
Sumber: LPD Pecatu, 2016
Tabel 25.Kolektibilitas Kredit Properti Berdasarkan Nilai Kredit
No Skala Kredit
Kategori
(jutaan rupiah)
L D KL M Total
1 < 10 JT 20.95 4.38 - - 25.33
0.01% 0.00% 0.00% 0.00% 0.02%
No Skala Kredit Nilai Kredit
(jutaan rupiah)
Kategori
(orang)
L D KL M Total
1 < 10 JT 25.33 5 1 - - 6
2.99% 0.60% 0.00% 0.00% 3.59%
2 10 JT SD 50 JT 480.16 11 2 2 2 17
6.59% 1.20% 1.20% 1.20% 10.18%
3 50 SD 100 JT 1,173.87 7 3 2 5 17
4.19% 1.80% 1.20% 2.99% 10.18%
4 100 SD 250 JT 4,731.55 20 4 - 5 29
11.98% 2.40% 0.00% 2.99% 17.37%
5 250 SD 500 JT 7,068.98 16 3 2 5 26
9.58% 1.80% 1.20% 2.99% 15.57%
6 500 JT SD 1 M 15,137.84 27 2 7 3 39
16.17% 1.20% 4.19% 1.80% 23.35%
7 > 1 M 117,747.42 19 4 5 5 33
11.38% 2.40% 2.99% 2.99% 19.76%
Total 146,365.17 105 19 18 25 167
62.87% 11.38% 10.78% 14.97% 100.00%
Pg. 67
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
2 10 JT SD 50 JT 266.35 90.69 74.50 48.63 480.16
0.18% 0.06% 0.05% 0.03% 0.33%
3 50 JT SD 100 JT 476.42 224.74 170.13 302.58 1,173.87
0.33% 0.15% 0.12% 0.21% 0.80%
4 100 JT SD 250 JT 3,212.66 604.05 - 914.84 4,731.55
2.19% 0.41% 0.00% 0.63% 3.23%
5 250 JT SD 500 JT 2,925.39 1,205.04 941.38 1,997.16 7,068.98
2.00% 0.82% 0.64% 1.36% 4.83%
6 500 JT SD 1 M 8,773.90 1,088.05 3,788.85 1,487.03 15,137.84
5.99% 0.74% 2.59% 1.02% 10.34%
7 >1 M 32,710.94 40,255.09 36,920.00 7,861.39 17,747.42
22.35% 27.50% 25.22% 5.37% 80.45%
Total 48,386.62 43,472.05 41,894.87 12,611.64 146,365.17
33.06% 29.70% 28.62% 8.62% 100.00%
Sumber: LPD Pecatu, 2016
Kredit untuk properti masuk kategori sangat tidak baik, dari sisi jumlah debitur
maupun nilai kredit. Kolektibilitas kredit ini adalah yang terendah, lancar hanya 33%
dari total kredit. Debitur yang mampu menbayar lancar juga hanya 62% dari total
debitur. Karena itu kredit yang ditujukan untuk properti mungkin dapat
dipertimbangkan untuk di tahan sementara atau pilihan bagi LPD untuk tidak
berekspansi pada jenis kredit ini. Jika dilihat dari nilai, kredit ini bermain di skala
besar, di atas 500 juta. Kemacetan tertinggi ada di kredit 500 juta dan di atas 1
milyar. Dilihat dari total kredit yang dikucurkan LPD, sebagian besar adalah kredit
properti.
Sektor ini merupakan sektor yang beresiko tinggi sekalipun return yang dihasilkan
tinggi. Namun, mengingat LPD merupakan lembaga keuangan mikro yang
bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, khususnya krama
Pg. 68
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
desa adat, maka akan sangat bijak bagi LPD jika dapat mendiversifikasikan
kreditnya pada sektor-sektor yang lebih aman dari sisi resiko usaha dan berskala
kecil mikro sesuai dengan tujuan pendirian LPD itu sendiri. Dengan demikian, LPD
dapat berjalan dengan baik, sehat, dan sesuai dengan hakekat LPD tersebut.
Persepsi Masyarakat Tentang LPD
Keberhasilan LPD berperan sebagai lembaga keuangan desa tidak terlepas dari
kepercayaan dan peran masyarakat adat di dalamnya. Kekuatan LPD tidak hanya
terlihat dari analisis kesehatan dan perkembangan laba/asset yang bisa
dikumpulkan, tetapi juga kemampuan mereka membentuk persepsi dan opini
positif masyarakat akan peran mereka terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat, khususnya krama adat. Persepsi ini yang coba ditangkap melalui hasil
survey dan wawancara dengan nasabah LPD Pecatu.
Hasil wawancara dengan panduan kuisioner menunjukkan jika masyarakat Pecatu
sudah puas dengan pelayanan yang diberikan oleh LPD (50% dari responden),
bahkan 29% menyatakan sangat puas dan tidak ada responden yang menyatakan
tidak puas akan pelayanan yang diberikan oleh LPD. Hal ini disebabkan karena LPD,
dalam hal ini pengelola dan pegawai, telah memberikan pelayanan yang baik dan
lancar tidak bertele-tele. Hal yang menjadi poin tambahan adalah Program IDA
Ngaben yang digagas oleh LPD dan dirasa sangat besar manfaatnya oleh krama
adat.
Pg. 69
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Sumber: Kuisioner, 2016
Transaksi yang dilakukan oleh masyarakat di LPD Pecatu dapat dikatakan cukup
lengkap. Mereka dapat menabung, deposito, ataupun meminjam kredit dari LPD.
Selain itu, LPD Pecatu juga telah mengembangkan jasa keuangannya dengan
memfasilitasi pembayaran on line untuk listrik dan PDAM. Hal ini menunjukkan juga
upaya LPD Pecatu untuk member kemudahan bagi krama adatnya untuk
melakukan transaksi “hanya di LPD” dan tidak perlu lagi mencari lembaga
keuangan lain untuk setiap transaksi yang berbeda. Karena itu, 46% nasabah
melakukan transaksi paling tidak satu kali dalam sebulan, bahkan ada yang lebih
dari satu kali, dimana 33% nasabah menyatakan bertransaksi di LPD 2 – 4 kali dalam
sebulan dengan nilai transaksi rata-rata 500 ribu – 1 juta rupiah per transaksi.
Pg. 70
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Sumber: Kuisioner, 2016
Jika merinci ke transaksi tabungan, dapat dikatakan jika nasabah LPD juga memiliki
tabungan di tempat lain. 67% nasabah tabungan LPD juga memiliki tabungan di
tempat lain, koperasi atau bank, dan hanya 33% nasabah tabungan yang tidak
memiliki tabungan di tempat lain. Nilai nominal tabungan yang dimiliki sebagian
besar berkisar di antara 1 juta – 5 juta. Bahkan 33% penabung memiliki simpanan di
atas 5 juta rupiah. Hal ini bisa jadi karena persepsi mereka tentang bunga
tabungan/deposito yang diberikan oleh LPD masuk dalam kategori “sedang” jika
dibandingkan dengan tempat lain, bahkan dapat dikatakan relative lebih tinggi
daripada lembaga keuangan yang lain.
Pg. 71
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Sumber: Kuisioner, 2016
Ada alasan jelas yang mereka kemukakan mengapa mereka memilih menabung di
LPD. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, ikatan adat adalah alasan
terbesar mereka memilih LPD. Selain itu, kedekatan jarak dan waktu tempuh yang
lebih pendek untuk mencapai LPD menjadi alasan lainnya. Kedekatan personal
ternyata bukan merupakan alasan kuat bagi masyarakat untuk menabung di LPD,
sekalipun antara pengelola, pegawai, dan nasabah LPD merupakan anggota krama
di adat yang sama dan saling mengenal secara pribadi.
Pg. 72
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Sumber: Kuisioner, 2016
LPD Pecatu melakukan terobosan dengan mengijinkan simpanan masyarat adat
sebagai jaminan kredit dengan bunga yang juga relative lebih murah. Hal ini sangat
menguntungkan masyarakat adat sehingga menjadikan LPD sebagai lembaga
keuangan utama mereka.
Pg. 73
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Sumber: Kuisioner, 2016
Berbeda halnya dengan tabungan, dimana masih banyak nasabah penabung di LPD
yang juga memiliki tabungan di tempat lain dengan berbagai macam motif (adanya
ATM, mobile banking, kartu kredit, dll), sebagian besar nasabah, 64% responden
menyatakan tidak membutuhkan lembaga keuangan lain untuk meminjam kredit
karena semua kebutuhan kreditnya telah terpenuhi.
Pg. 74
Analisis Kesehatan dan Perkembangan LPD
Sumber: Kuisioner, 2016
Sebagian besar responden menyatakan memiliki kredit berkisar antara sampai
dengan 50 juta yang berkategori kredit mikro, sehingga tujuan pendirian LPD
sebagai sumber pembiayaan mikro sudah terpenuhi dari sisi persepsi nasabah.
Seperti halnya kesadaran menabung, ikatan adat juga menjadi alasan terkuat
masyarakat untuk meminjam di LPD. Kesadaran mereka bahwa perkembangan LPD
berarti membangunan desa dan diri mereka juga. Selain itu, syarat yang lebih
mudah dan fleksibel serta jarak tempuh yang dekat menjadi alasan lain untuk
meminjam di LPD. Secara keseluruhan dapat dikatakan jika LPD Pecatu telah
melakoni perannya dengan sangat baik sebagai lembaga keuangan mikro milik adat
dan dapat memberikan sumbangsih yang besar bagi desa dan masyarakat
sekitarnya.
Pg. 75
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan dan Rekomendasi
Hasil kajian yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal:
1. Jika dilihat dari aspek dari kemandirian finansial (self sustainability), kinerja
LPD Pecatu sudah tidak perlu diragukan lagi. Hal ini dapat dilihat dari
laporan kegiatan dan perkembangan LPD Pecatu, yang mana tidak ada
pendanaan subsidi yang diterima oleh LPD dari pihak manapun, baik
pemerintah maupun swasta dalam upaya pengembangannya paling tidak
pada masa lima tahun terakhir (2011 – 2015). Kemandirian LPD Pecatu dalam
kegiatan operasionalnya juga ditunjukkan dengan kemampuan LPD
menutupi berbagai kegiatan operasional dengan pendapatan yang
diperolehnya.
2. Laba yang diraih oleh LPD Pecatu selama ini, indikator data lima tahun
terakhir, menunjukkan jika LPD Pecatu merupakan lembaga keuangan yang
sangat sehat, dengan pertumbuhan laba selalu positif. Hanya saja,
penurunan pertumbuhan nilai laba juga bisa mengindikasikan adanya
kejenuhan operasional LPD sepanjang lima tahun ini.
3. Alternatif indikator kinerja kedua adalah kemampuan LPD meningkatkan
jangkauan operasionalnya (outreach) atau target nasabahnya yang dilihat
tidak hanya dari nilai simpan pinjam yang ada, tapi juga jumlah nasabah yang
terlayani. Jika dilihat dari nilainya, simpanan dana pihak ketiga (DPK) terus
meningkat dari tahun ke tahun walaupun nilainya juga relatif kecil
4. Indikator kedalaman jangkauan (outreach) lainnya bisa ditunjukkan dengan
jumlah akun dan pertumbuhannya, baik akun simpanan maupun pinjaman,
yang tercatat di LPD. Nasabah simpanan LPD meningkat dari tahun ke
Pg. 76
Kesimpulan dan Rekomendasi
tahun namun menunjukkan pertumbuhan negatif. Pertumbuhan jumlah
akun simpanan dapat dikatakan relative kecil namun besarnya jumlah akun
yang tercatat di LPD, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Desa Adat
Pecatu, sudah relatif lebih besar yang berarti dalam satu keluarga mereka
bisa memiliki lebih dari satu akun simpanan di LPD. Hal ini mencerminkan
tingginya tingkat kepercayaan masyarakat lokal terhadap LPD Pecatu
5. Rata-rata negatif justru ditunjukkan oleh pertumbuhan kepemilikan akun
pinjaman sebesar -0,01% per tahun walaupun sempat mencatat positif 0,03%
di tahun 2014. Jika nilai pinjaman mencatatkan pertumbuhan positif, tidak
demikian halnya dengan pertumbuhan jumlah akunnya. Hal ini bisa jadi
mengindikasikan jika pinjaman di LPD seringkali merupakan perpanjangan
dari pinjaman-pinjaman sebelumnya
6. Berdasarkan dari sektor yang dibiayai, sektor-sektor primer semacam
pertanian, perikanan, dan peternakan mendapatkan porsi kredit yang
sangat kecil. Nilai kredit sector pertanian rata-rata hanya 0,08% dari total
kredit yang disalurkan. Sektor perikanan dan peternakan bahkan lebih kecil
lagi, sekitar 0,03% dan 0,04% dari total kredit. Porsi kredit terbesar diberikan
kepada sektor perdagangan yang hampir mencapai 36,79% dari total kredit.
Pertumbuhan porsi kredit di sektor perdagangan dapat dianggap paling
tinggi. Hal ini bisa jadi mengindikasikan jika kredit LPD Pecatu memang
diarahkan untuk modal usaha dan berdagang merupakan mata pencaharian
utama masyarakat di Desa Adat Pecatu
7. Dilihat dari porsi kredit, properti merupakan tujuan penggunaan kredit
terbesar yaitu 40,33% dari total kredit. Porsi kredit yang cukup besar
ditunjukkan untuk penggunaan penjadwalan dan restrukturisasi kredit
dengan nilai masing-masing 16,43% dan 13,30% dari total kredit.Pada
Pg. 77
Kesimpulan dan Rekomendasi
dasarnya hal ini mengindikasikan adanya masalah dalam kredit tersebut
karena harus dilakukan penjadwalan ulang terhadap kredit yang harusnya
sudah selesai masanya atau harus diambilkan kebijakan guna
menyelamatkan posisi keuangan debitur dan penurunan kualitas aktiva LPD.
8. Resiko kredit di properti terlihat sangat tinggi jika dibandingkan dengan
resiko yang harus ditanggung oleh LPD dari kredit lainnya. Kredit properti
yang tergolong lancar hanya 13% dari total kredit, sedangkan niilainya jauh
lebih rendah dibandingkan dengan kredit properti yang tergolong tidak
berperforma baik. Kredit dengan nilai nominal terbesar kedua
diperuntukkan untuk penjadwalan kembali, yang termasuk dalam
restrukturisasi, dan modal usaha. restrukturisasi dan penjadwalan kembali
adalah strategi yang biasa digunakan oleh lembaga keuangan untuk
mengatasi kredit bermasalah. Jika ini ditarik ke belakang, dengan nilai yang
relatif besar, maka bisa jadi kredit bermasalah di LPD Pecatu sudah
terindikasi lama. Hal ini memberikan rambu bagi LPD untuk lebih berhati-
hati dalam menyalurkan kredit yang bernilai besar serta memberikan solusi
penyelesaian kredit bermasalah tidak hanya melalui restrukturisasi kredit.
9. Kolektibilitas total kredit yang tergolong lancar hanya 47.79%, yang ini
berarti non performing loan (NPL) atau nilai kredit bermasalah di LPD Pecatu
sebesar 52.21%. Angka ini jauh berada di atas ketentuan yang diberlakukan
oleh Bank Indonesia untuk sektor perbankan, maksimum 5% untuk dapat
dikategorikan sehat. Jika dua indicator keuangan yang ada
diperbandingkan, yaitu LDR yang berkisar pada 102% dan NPL yang berkisar
52,21% maka bisa dikatakan resiko yang harus ditanggung oleh LPD dalam
operasionalnya sebagai lembaga intermediari sangat tinggi.
Pg. 78
Kesimpulan dan Rekomendasi
10. Penyumbang kredit macet terbesar adalah kredit dengan kisaran 1 milyar
sampai dengan 5 milyar. Nilainya bahkan mencapai 68% dari total kredit.
Kredit yang berpotensi besar untuk tidak berperforma bagus mulai terlihat
pada kredit-kredit berskala di atas 100 juta. Kredit-kredit berskala mikro
terlihat memiliki performa baik. Kredit berskala besar, diatas 5 milyar
memang tidak terindikasi macet, namun performanya juga tidak dapat
dikatakan baik. Fokus penyaluran kredit LPD Pecatu terlihat merujuk pada
debitur-debitur besar dengan plafon kredit yang sangat tinggi. Jika ini tidak
dikelola dengan baik, maka resiko kredit pasti juga tinggi. Hal ini bisa jadi
cerminan mengapa NPL di LPD Pecatu bisa mencapai 52,2% di tahun 2016.
Melihat kembali pertumbuhan laba yang semakin menurun, dapat mengindikasikan
adanya trend diminishing return dalam penyaluran kredit LPD Pecatu. Secara
absolut laba bisa jadi meningkat, tapi pertumbuhannya terus menerus turun. Laba
LPD Pecatu terindikasi berada pada titik jenuh yang jika dibiarkan akan berakibat
tidak baik bagi keberlanjutan LPD. Strategi yang bisa dilakukan sementara oleh LPD
adalah menahan ekspansi kredit terutama pada sektor-sektor dengan rambu
kuning dan nilai kredit berskala besar. LPD sementara waktu bisa mengambil
kebijakan untuk fokus pada penyelesaian kredit-kredit bermasalah terutama yang
berskala besar, sehingga sekalipun tidak berekspansi, laba bisa terus dipertahankan
dari penarikan bunga kredit bermasalah tersebut.
Melihat hasil survey persepsi masyarakat adat terhadap LPD, dapat dikatakan jika
kepercayaan mereka terhadap keberadaan LPD sangat besar. Ikatan adat
merupakan alasan terkuat mereka untuk mendukung setiap kebijakan untuk
mengembangkan LPD. Karena ini pula, LPD Pecatu masih bisa berjalan baik sampai
Pg. 79
Kesimpulan dan Rekomendasi
sekarang, walaupun secara beberapa indicator resiko menunjukkan kategori yang
relative tinggi, namun kondisi perekonomian dan lingkungan yang stabil
menjadikan LPD tidak sampai terguncang. Aset yang dimiliki LPD juga terlihat
cukup besar, termasuk tanah-tanah yang dapat digunakan sebagai jaminan. Namun
hal yang terpenting kemudian adalah LPD merupakan lembaga keuangan mikro
yang bersifat tradisional dan ditujukan untuk pengembangan ekonomi masyarakat
adat dan desa. Karenanya, pengelola hendaknya lebih berhati-hati dan bijaksana
dalam upaya melakukan ekspansi usaha sehingga dalam upaya tersebut tidak
membawa kerugian bagi LPD dan desa adat.