Post on 06-Dec-2015
description
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Hakikat Matematika
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan
teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan
memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi
informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di
bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit.
Karena itu, untuk menguasai dan memanfaatkan teknologi di masa depan
diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini.
Menyadari pentingnya penguasaan matematika, maka dalam Undang-
Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 37 (Depdiknas, 2009:20) ditegaskan bahwa mata pelajaran
matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib bagi siswa di jenjang
pendidikan dasar dan menengah. Wujud dari mata pelajaran matematika adalah
matematika sekolah yang dipilih berdasarkan pada kepentingan pendidikan dan
kepentingan untuk menguasai dan memanfaatkan teknologi di masa depan. Selain
itu mata pelajaran matematika juga dimaksudkan untuk membekali siswa dengan
kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta
kemampuan bekerjasama. Kemampuan tersebut, merupakan kompetensi yang
diperlukan oleh siswa agar dapat memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan
informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan
kompetitif.
Untuk dapat memberikan jawaban yang pasti tentang arti dari matematika
sangatlah sulit. Defenisi dari matematika makin lama makin sukar untuk dibuat
secara tepat dan singkat. Cabang-cabang matematika makin lama makin
bertambah dan makin bercampur satu sama lain. Sampai sekarang ini diantara
para ahli matematika belum ada kesepakatan yang bulat untuk memberikan
jawaban dari defenisi tentang matematika.
Namun ada beberapa ahli yang dapat mendefinisakan matematika dan
sekaligus tentang telaahan dari matematika itu sendiri. Hal ini akan memberikan
9
gambaran tentang hakekat matematika termasuk cara pencarian yang benar dan
cara berpikir matematik.
James dan James (Karso, 1993:2) dalam kamus matematikanya mengatakan
bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran,
dan konsep-konsep yang berhubungan lainnya dengan jumlah yang banyak.
Matematika timbul karena pikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses
dan penalaran, matematika terdiri dari empat wawasan yang luas yaitu aritmatika,
aljabar, geometri dan analisis. Di dalam aritmatika tercakup antara lain teori
bilangan dan statistika. Namun ada pula kelompok matematikawan yang
berpendapat bahwa statistika bukan bagian dari matematika. Malahan kelompok
ini berpendirian pula, selain statistika juga ilmu computer bukan bagian dari
matematika.
Kelompok matematikawan yang berpendirian bahwa statistika dan ilmu
computer bukan bagian dari matematika. Mereka berpendapat bahwa matematika
adalah ilmu yang dikembangkan untuk matematika itu sendiri terstruktur yang
bersifat deduktif atau aksiomatik, akurat, abstrak, ketat, dan semacamnya.
Walaupun matematika menjadi sukar, abstrak dan terasa kurang kaitannya
dengan kehidupan tetapi pada akhirnya ilmu-ilmu lain menggunakan konsep-
konsep matematika tersebut. Matematika telah banyak memberikan
sumbangannya dalam mengembangkan Ilmu Pengetahuan Alam dan teknologi.
Hal ini membuktikan bahwa matematika memang berkaitan erat dengan
kehidupan.
Kline (Karso, 1993:2) mengatakan bahwa matematika bukan pengetahuan
yang menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri tetapi keberadaanya
untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan social,
ekonomi dan alam.
Kemudian Johnson dan Rising (Karso, 1993:2) mengemukakan beberapa
definisi tentang matematika sebagai berikut :
1. Matematika adalah pola pikir (cara bernalar). Matematika memuat cara
pembuktian yang logis, rumus-rumus atau aturan umum, atau sifat penalaran
matematika yang sistematis.
10
2. Matematika adalah bahasa, bahasa yang menggunakan istilah yang
didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat, representasinya dengan symbol
dan padat, lebih berupa bahasa simbul mengenai ide.
3. Matematika adalah pengetahuan struktur yang terorganisir.Sebagai suatu
struktur, terdiri dari beberapa komponen yang antara lain sifat-sifat atau teori-
teori dianut secara deduktif berdasarkan unsur-unsur yang
didefinisikan,dalil/teorem, aksioma-aksioma/postulat, sifat-sifat yang terbukti
kebenarannya.
4. Matematika adalah ilmu tentang pola pikir deduktif. Matematika merupakan
pengetahuan berpola pikir deduktif, artinya suatu teori atau pernyataan dalam
matematika diterima kebenarannya bila telah dibuktikan secara deduktif
(umum).
5. Matematika adalah suatu seni kreatif. Penalaran yang logis dan efisien serta
perbendaharaan ide-ide dan pola-pola yang kreatif dan menakjubkan, maka
matematika sering pula disebut sebagai seni, khususnya merupakan seni
berpikir yang kreatif.
Secara singkat, Tiro (2010:18) mengemukakan bahwa matematika adalah
suatu system aksioma yang memiliki ciri sebagai berikut:
1. Ada unsur primitif (undefined terms) sebagai komponen utama.
2. Seperangkat aksioma (unproven statements) juga sebagai suatu komponen.
3. Semua defenisi atau teorema dibuat dengan menggunakan unsur primitive,
aksioma, definisi atau teorema yang sudah ada sebelumnya.
4. Nilai benar dan salah ditentukan atau diukur oleh hukum-hukum yang sudah
ada.
Menurut Tiro (2010:20) mengemukakan beberapa sifat yang memungkinkan
matematika memegang peranan penting dalam proses kegiatan keilmuan sebagai
berikut:
1. Matematika adalah metode dalam penalaran (reasoning) yang merupakan
pemikiran logis dalam menarik kesimpulan secara deduktif yang mengubah
pengalaman indera menjadi bentuk yang berbeda-beda kemudian diubah
menjadi bentuk yang lebih umum melalui suatu perampatan (generalization).
11
2. Matematika berhubungan dengan pernyataan yang berupa teorema dan
konsekuensinya dimana pengujian kebenarannya secara matematis dapat
diterima oleh setiap orang yang berpikir rasional.
3. Matematika adalah bahasa yang sangat simbolis, yang melambangkan
serangkaian makna yang ingin disampaikan. Simbol (lambang atau notasi)
matematika bersifat “artifisial” yang akan mempunyai arti setelah sebuah
makna diberikan padanya. Matematika adalah bahasa yang berupaya untuk
menghilangkan sifat kabur, majemuk, dan emosional dari bahasa verbal.
4. Matematika tidak bergantung pada perubahan ruang dan waktu. Artinya,
matematika dapat berkembang sendiri atas pengaruh dari dalam diri
matematika itu sendiri, tanpa memperhatikan lingkungannnya.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa defenisi
matematika yaitu cabang ilmu pengetahuan yang bersifat abstrak, pembuktiannya
dan penalaran logis yang bersifat deduktif, fakta-fakta kuantitatif, masalah ruang
dan bentuk, aturan-aturan yang ketat dan pola keteraturan serta struktur yang
terorganisir secara sistematis.
2.1.2 Keefektifan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Poerwadinata, 2011:311) “efektif
berarti: (1) ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya), (2) dapat membawa
hasil, berhasil guna, sedangkan Keefektifan berarti: (1) keadaan berpengaruh; hal
berkesan, (2) keberhasilan usaha atau tindakan. Efektivitas diartikan adanya
kesesuaian antara yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang akan dicapai.
Efektivitas pembelajaran tidak lepas dari hasil atau prestasi belajar yang telah
dicapai oleh siswa. Efektivitas proses pembelajaran, dapat dilihat dari sejauh
mana proses belajar mengajar itu berlangsung yang didalammya terdapat interaksi
antara guru dan siswa untuk mecapai tujuan dalam pembelajaran.
Keefektifan pembelajaran adalah hasil guna yang diperoleh setelah
pelaksanaan proses belajar mengajar.Menurut Tim Pembina Mata Kuliah Didaktik
Metodik Kurikulum IKIP Surabaya (Trianto, 2009:20) bahwa efisiensi dan
keefektifan mengajar dalam proses interaksi belajar yang baik adalah segala daya
upaya guru untuk membantu para siswa agar bisa belajar dengan baik. Untuk
12
mengetahui keefektifan mengajar, dengan memberikan tes, sebab hasil tes dapat
dipakai untuk mengevaluasi berbagai aspek proses pengajaran.
Keefektifan pembelajaran biasanya diukur dengan tingkat pencapaian si
belajar. Ada 4 aspek penting yang dapat dipakai untuk memprediksikan
keefektifan pembelajaran (Uno, 2010:21) yaitu (1) kecermatan penguasaan
perilaku yang dipelajari atau sering disebut dengan “tingkat kesalahan”, (2)
kecepatan unjuk kerja, (3) tingkat alih belajar, dan (4) tingkat retensi dari apa
yang dipelajari.
Efisiensi pembelajaran biasanya diukur dengan rasio antara keefektifan dan
jumlah waktu yang dipakai si belajar dan jumlah biaya pembelajaran yang
digunakan.
Suatu pembelajaran dikatakan efektif apabila memenuhi persyaratan utama
keefektifan pengajaran (Trianto, 2009: 20) yaitu:
1. Presentasi waktu belajar siswa yang tinggi dicurahkan terhadap KBM;
2. Rata-rata perilaku melaksanakan tugas yang tinggi di antara siswa;
3. Ketetapan antara kandungan materi ajaran dengan kemampuan siswa(orientasi
keberhasilan belajar) diutamakan; dan
4. Mengembangkan suasana belajar yang akrab dan positif.
Dari penjelasan diatas peneliti dapat menyimpulkan bahwa keefektifan
pembelajaran yaitu ukuran yang menyatakan sejauh mana tingkat ketercapaian
tujuan dalam pembelajaran. Keefektifan pembelajaran didasarkan pada hasil
belajar siswa, aktivitas siswa dan respons siswa terhadap pembelajaran.
2.1.3 Hasil Belajar
Pada proses belajar mengajar ada suatu penilaian akhir setelah proses
pembelajaran yaitu penilaian hasil belajar. Penilaian adalah unsur lain yang sangat
penting dari keseluruhan proses administrasi. Penilaian pada umumnya ditujukan
untuk meningkatkan efektivitas dan efesiensi organisasi dalam mencapai
tujuannya, Sehingga untuk efektif tidaknya dengan pendekatan kontekstual perlu
dilakukan penilaian hasil belajar siswa.
Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui
kegiatan belajar. Menurut Benjamin S. Bloom (Abdurrahman, 2003:38) ada tiga
ranah (domain) hasil belajar, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Menurut A.
13
J. Romiszowki (Abdurrahman, 2003:38) hasil belajar merupakan keluaran
(outputs) dari suatu sistem pemprosesan masukan (inputs). Masukan dari sistem
tersebut berupa bermacam-macam informasi sedangkan keluarannya adalah
perbuatan atau kinerja (performance). Menurut A. J. Romiszowki (Abdurrahman,
2003:38) perbuatan merupakan petunjuk bahwa proses belajar telah terjadi dan
hasil belajar dapat dikelompokkan ke dalam dua macam saja, yaitu pengetahuan
dan keterampilan. Pengetahuan terdiri dari empat kategori yaitu (1) pengetahuan
tentang fakta, (2) pengetahuan tentang prosedur, (3) pengetahuan tentang konsep,
dan (4) pengetahuan tentang prinsip.
Tujuan belajar adalah mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan
penanaman sikap mental atau nilai-nilai. Pencapaian tujuan belajar berarti akan
menghasilkan hasil belajar (Abdurrahman, 2003:39). Relevan dengan uraian
mengenai tujuan belajar tersebut, hasil belajar meliputi:
1. Hal ihwal keilmuan dan pengetahuan, konsep atau fakta (kognitif).
2. Hal ihwal personal, kepribadian atau sikap (afektif).
3. Hal ihwal kelakuan, ketempilan atau penampilans (psikomotorik).
Berdasarkan pendapat di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa hasil
belajar adalah kemampuan yang diperoleh siswa setelah melalui kegiatan belajar.
Hasil belajar dipengaruhi oleh besarnya usaha yang dilakukan anak dan aspek
yang diinginkan sebagai hasil belajar berupa pengetahuan, sikap dan
keterampilan.
2.1.4 Respons
Respons menurut bahasa diartikan sebagai reaksi jawaban, reaksi balik.
Sedangkan respons menurut istilah merupakan suatu tanggapan dari sebuah topik
bahasan yang dilakukan oleh seorang siswa atau lebih. Respons adalah reaksi
objektif daripada individu terhadap situasi sebagai perangsang yang wujudnya
juga dapat bermacam-macam sekali seperti misalnya menutup pintu, memukul
bola, mengambil makanan, dan sebagainya. Titik berat perhatian Watson
sebenarnya tidak terletak pada analisis tingkah laku menjadi respons-respons
muscular dan glandular yang sederhana, melainkan pada apa yang dikerjakan oleh
individu pada situasi tertentu (Suryabrata, 2008:268). Respons siswa yaitu
pendapat siswa terhadap model pembelajaran kooperatif dengan melibatkan
14
scaffolding setelah mengikuti pembelajaran.Untuk mengetahui respon siswa
tersebut maka siswa diberi angket.
2.1.5 Aktivitas Belajar
Mengapa di dalam belajar diperlukan aktivitas? Sebab pada prinsipnya
belajar adalah berbuat. Berbuat untuk mengubah tingkah laku, jadi melakukan
kegiatan. Tidak ada belajar jika tidak ada aktivitas. Itulah sebabnya aktifitas
merupakan prinsip atau asa yang sangat penting di dalam interaksi belajar
mengajar. Sebagai rasionalitasnya hal ini juga mendapatkan pengakuan dari
berbagai ahli pendidikan.
Frobel (Sardiman, 2008:96) mengatakan bahwa “manusia sebagai
pencipta”. Dalam ajaran agama pun diakui bahwa manusia adalah sebagai
pencipta yang kedua (setelah Tuhan). Secara alami anak didik memang ada
dorongan untuk mencipta. Anak adalah suatu organisme yang berkembang dari
dalam. Prinsip utama yang dikemukakan Frobel (Sardiman, 2008:96) bahwa anak
itu harus bekerja sendiri. Untuk memberikan motivasi, maka dipopulerkan suatu
semboyan “berpikir dan berbuat”. Dalam dinamika kehidupan manusia, berpikir
dan berbuat sebagai suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan . Begitu juga
dalam belajar sudah barang tentu tidak mungkin meninggalkan kedua kegiatan itu,
berpikir dan berbuat.
Dalam hal kegiatan belajar Rousseau memberikan penjelasan bahwa
segala pengetahuan itu harus diperoleh dengan pengamatan sendiri, pengalaman
sendiri, penyelidikan sendiri, dengan bekerja sendiri, dengan fasilitas yang
diciptakan sendiri, baik secara rohani maupun teknis. Ilustrasi ini diambil dalam
kasus dalam lingkup pelajaran Ilmu Bumi. Ini menunjukkan setiap orang yang
belajar harus aktif sendiri. Tanpa ada aktivitas, proses belajar tidak mungkin
terjadi (Sardiman, 2008:96).
Dengan mengemukakan beberapa pandangan dari berbagai ahli tersebut
diatas, jelas bahwa dalam kegiatan belajar, subjek didik atau siswa harus aktif
berbuat. Dengan kata lain, bahwa dalam belajar sangat diperlukan adanya
aktivitas. Tanpa aktivitas, proses belajar tidak mungkin berlangsung dengan baik.
Aktivitas belajar adalah aktivitas yang bersifat fisik maupun mental.
Dalam kegiatan belajar kedua aktivitas harus selalu berkait. Sehubungan dengan
15
hal ini, Piaget menerangkan bahwa seseorang anak itu berpikir sepanjang ia
berbuat. Tanpa perbuatan berarti anak itu tidak berpikir. Oleh karena itu, agar
anak berpikir sendiri maka harus diberi kesempatan untuk berbuat sendiri.
Berpikir pada taraf verbal baru akan timbul setelah anak itu berpikir pada taraf
perbuatan.
Dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar merupakan segala proses
interaksi (guru dan siswa) dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang
diinginkan.
2.1.6 Model Pembelajaran
Joyce dan Weil mempelajari model-model pembelajaran berdasarkan teori
belajar yang dikelompokkan menjadi empat model pembelajaran. Model tersebut
merupakan pola umum perilaku pembelajaran untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang diharapkan. Joyce dan Weil (Rusman, 2010:133) berpendapat
bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan
untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang
bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang
lain. Model pembelajaran dapat dijadikan sebagai pola pilihan, artinya para guru
boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan
pendidikannya.
Model pembelajaran memiliki ciri (Rusman, 2010:136) sebagai berikut:
1. Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu. Sebagai
contoh model penelitian kelompok disusun oleh Herbert Thelen dan
berdasarkan teori John Dewey. Model ini dirancang untuk melatih partisipasi
dalam kelompok secara demokratis.
2. Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu misalnya model berpikir
induktif dirancang untuk mengembangkan proses berpikir induktif.
3. Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas,
misalnya model synectic dirancang untuk memperbaiki kreatifitas dalam
pelajaran mengarang.
4. Memiliki bagian-bagian model yang dinamakan: (1) urutan langkah-langkah
pembelajaran(syntac); (2) adanya prinsip-prinsip reaksi; (3) system social; (4)
16
system pendukung. Keempat bagian tersebut merupakan pedoman praktis bila
guru akan melaksanakan suatu model pembelajaran.
5. Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran. Dampak
tersebut meliputi: (1) Dampak pembelajaran yaitu hasil belajar yang dapat
diukur; (2) Dampak pengiring yaitu hasil belajar jangka panjang.
6. Membuat persiapan mengajar (desain intruksional) dengan pedoman model
pembelajaran yang dipilihnya.
Dari penjelasan diatas maka peneliti menyimpulkan bahwa model
pembelajaran yaitu suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk
membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang
bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang
lain.
2.1.7 Model Pembelajaraan Kooperatif
Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan bentuk
pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok kelompok
kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang
dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen.
Pada hakikatnya cooperative learningsama dengan kerja kelompok. Oleh
karena itu, banyak guru yang mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang aneh
dalam pembelajaran cooperative learning karena mereka beranggapan telah biasa
melakukan pembelajaran cooperative learning dalam bentuk belajar kelompok.
Menurut Abdulhak (Rusman, 2010:203) bahwa pembelajaran cooperative
dilaksanakan melalui sharing proses antara peserta belajar sehingga dapat
mewujudkan pemahaman bersama di antara peserta belajar itu sendiri
Menurut Nurulhayati (Rusman, 2010:203) pembelajaran kooperatif adalah
strategi pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa dalam satu kelompok
kecil untuk saling berinteraksi. Dalam sitem belajar yang kooperatif siswa belajar
bekerja sama dengan anggota lainnya. Dalam model ini siswa memiliki dua
tanggung jawab yaitu mereka belajar untuk dirinya sendiri dan membantu sesama
anggota kelompok untuk belajar. Siswa belajar bersama dalam sebuah kelompok
kecil dan mereka dapat melakukannya seorang diri.
17
Menurut Slavin (Trianto, 2009:57) ide utama dari belajar kooperatif adalah
siswa bekerja sama untuk belajar dan bertanggung jawab pada kemajuan belajar
temannya. Sebagai tambahan, belajar kooperatif menekankan pada tujuan dan
kesuksesan kelompok yang hanya dapat dicapai jika semua anggota kelompok
mencapai tujuan atau penguasaan materi.
Pembelajaran kooperatif memberikan peluang kepada siswa yang berbeda
latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas
tugas-tugas bersama dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif,
belajar untuk menghargai satu sama lain.
Menurut Sanjaya (Rusman, 2010:206) pembelajaran kooperatif akan efektif
digunakan apabila: (1) guru menekankan pentingnya usaha bersama di samping
usaha secara individual, (2) guru menghendaki pemerataan perolehan hasil dalam
belajar, (3) guru ingin menanamkan tutor sebaya atau belajar melalui teman
sendiri, (4) guru menghendaki adanya pemerataan partisipasi aktif siswa, (5) guru
menghendaki kemampuan siswa dalam memecahkan berbagai masalah.
Pembelajaran kooperatif mempunyai dua komponen utama (Djamarah,
2010:358) yaitu komponen tugas kooperatif (cooperative task) dan komponen
struktur insentif kooperatif (cooperative incentive structure). Tugas kooperatif
berkaitan dengan hal yang menyebabkan anggota kelompok bekerja sama dalam
menyelesaikan tugas kelompok sedangkan struktur insentif kooperatif merupakan
sesuatu yang membangkitkan motivasi individu untuk bekerja sama mencapai
tujuan kelompok. Struktur insentif dianggap sebagai keunikan dari pembelajaran
kooperatif karena melalui struktur insentif setiap anggota kelompok bekerja keras
untuk belajar, mendorong dan memotivasi anggota lain menguasai materi
pelajaran sehingga mencapai tujuan kelompok.
Terdapat beberapa karakteristik model pembelajaran kooperatif (Sanjaya,
2007:244) sebagai berikut:
1. Pembelajaran Secara Tim
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran secara tim. Tim harus mampu
membuat setiap siswa belajar. Semua anggota tim (anggota kelompok) harus
saling membantu untuk mencapai tujuan pembelajaran. Untuk itulah, kriteria
keberhasilan pembelajaran ditentukan oleh keberhasilan tim. Setiap kelompok
18
bersifat heterogen. Artinya kelompok terdiri atas anggota yang memiliki
kemampuan akademik, jenis kelamin, dan latar belakan social yang berbeda.
2. Didasarkan Pada Manajemen Kooperatif.
Sebagaimana pada umumnya, manajemen mempunyai empat fungsi pokok,
yaitu fungsi perencanaan, fungsi organisasi, fungsi pelaksanaan, dan fungsi
kontrol demikian juga pada pembelajaran kooperatif.
3. Kemajuan untuk Bekerja Sama
Keberhasilan pembelajaran kooperatif ditentukan oleh keberhasilan secara
kelompok. Oleh sebab itu, prinsip bekerja sama perlu ditekankan dalam proses
pembelajaran kooperatif.
Selain memiliki karakter model pembelajaran kooperatif juga mempunyai
prinsip-prinsip yang membedakan dengan pembelajaran lainnya (Riyanto,
2010:266) sebagai berikut:
1. Prinsip Ketergantungan Positif (Positive interdependence)
Hakikat dari ketergantungan positif pada pembelajaran kooperatif yaitu
tugas kelompok tidak mungkin bias diselesaikan manakala ada anggota yang tidak
bias menyelesaikan tugasnya, dan semua ini memerlukan kerja sama yang baik
dari masing-masing anggota kelompok. Anggota kelompok yang mempunyai
kemampuan lebih diharapkan mau dan mampu membantu temannya untuk
menyelesaikan tugasnya.
2. Tanggung Jawab Individual (Individual Accountability)
Tanggung jawab individual dalam belajar kelompok dapat berupa tanggung
jawab siswa dalam hal : (a) Membantu siswa yang membutuhkan bantuan dan (b)
siswa tidak dapat hanya sekedar”membonceng” pada hasil kerja teman dan teman
kelompoknya.
3. Interaksi Tatap Muka (Face to face Promotion Interaction)
Belajar kooperatif akan meningkatkan interaksi antar siswa. Siswa yang
membutuhkan bantuan akan mendapatkan dari teman sekelompoknya
4. Partisipasi dan Komunikasi (Participation Communication)
Dalam pembelajaran kooperatif selain dituntut untuk mempelajari materi
yang diberikan seorang siswa juga dituntut untuk belajar bagaimana berinteraksi
19
dengan siswa lain dalam kelompoknya. Bagaimana siswa bersikap sebagai
anggota kelompok dan menyampaikan ide dalam kelompok akan menuntut
keterampilan khusus.
5. Proses kelompok
Pembelajaran kooperatif tidak akan berlangsung tanpa proses kelompok.
Proses kelompok terjadi jika anggota kelompok mendiskusikan bagaimana
mereka akan mencapai tujuan dengan baik dan membuat hubungan kerja yang
baik.
Pada pembelajaran kooperatif terdapat enam langkah utama atau tahapan di
dalam pelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif (Trianto, 2009:66).
Tabel 1 Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif
Fase Tingkah Laku guru1. Menyampaikan tujuan dan
memotivasi siswaGuru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin di capai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
2. Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada
siswa dengan pendekatan dan metode
pembelajaran yang di pilih
3. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok kooperatif
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien
4. Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Guru membimbing kelompok –kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka
5. Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
6. Memberikan penghargaan Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.
Sumber: Ibrahim, dkk. (2000:10).
Berdasarkan pendapat diatas peneliti menyimpulkan bahwa model
pembelajaran kooperatif yaitu suatu model pembelajaran yang memberikan
kesempatan kepada untuk bekerjasama dan berinteraksi di dalam kelompok kecil
20
dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuannya sendiri (individual) dan
mencapai tujuan bersama (kelompok).
2.1.8 Scaffolding
Menurut Vygotsky (Cahyo, 2013:126) perkembangan kognitif terjadi
melalui interaksi dan percakapan seorang anak dengan lingkungan di sekitarnya.
Orang lain disebut sebagai pembimbing atau guru. Pada umumnya, bimbingan ini
dikomunikasikan melalui bahasa. Jerome Bruner (Cahyo, 2013:127) menyebut
bantuan orang dewasa dalam proses belajar anak dengan istilah scaffolding, yaitu
sebuah dukungan untuk belajar dan memecahkan problem. Dukungan dapat
berupa isyarat-isyarat, peringatan-peringatan, dorongan, memecahkan
problemdalam beberapa tahap, memberikan contoh atau segala sesuatu yang
mendorong seorang siswa untuk tumbuh dan menjadi pelajar yang mandiri dalam
memecahkan problem yang dihadapinya.
Secara teknis, scaffolding dalam belajar adalah membantu siswa pada awal
belajar untuk mencapai pemahaman dan keterampilan dan secara perlahan-lahan
bantuan tersebut dikurangisampai akhirnya siswa dapat belajar mandiri dan
menemukan pemecahan bagi tugas-tugasnya.
Pengertian istilah scaffolding berasal dari istilah ilmu teknik sipil yaitu
berupa bangunan kerangka sementara atau penyangga yang memudahkan pekerja
membangun gedung. Sebagian pakar pendidikan mendefiniskan scaffolding
berupa bimbingan yang diberikan oleh seorang pembelajar kepada peserta didik
dalam proses pembelajaran dengan persoalan-persoalan terfokus dan interaksi
yang bersifat positif.
Teori scaffolding pertama kali diperkenalkan di akhir 1950 oleh Jerome
Bruner (Cahyo, 2013:128) scaffolding merupakan interaksi antara orang-orang
dewasa dan anak-anak yang memungkinkan anak-anak untuk melaksanakan
sesuatu di luar usaha siswanya.
Menurut Vygotsky (Cahyo, 2013:129) peserta didik mengembangkan
keterampilan berpikir tingkat yang lebih tinggi ketika mendapat bimbingan
(scaffolding) dari seorang yang lebih ahli melalui teman sejawat yang memilki
kemampuan lebih tinggi. Demikian juga, Piaget berpendapat bahwa peserta didik
21
akan mendapat pencerahan ide-ide baru dari seseorang yang memiliki
pengetahuan atau memiliki keahlian.
Menurut Lange (Cahyo, 2013: 129) ada dua langkah utama yang terlibat
dalam scaffolding pembelajaran yaitu pengembangan rencana pembelajaran untuk
membimbing peserta didik dalam memahami materi baru, dan pelaksanaan
rencana, pembelajar memberikan bantuan kepada peserta didik di setiap langkah
pada proses pembelajaran. Scaffolding terdiri dari beberapa aspek khusus yang
dapat membantu peserta didik dalam internalisasi penguasaan pengetahuan.
Berikut aspek-aspek scaffolding (Cahyo, 2013:129):
1. Intensionalitas yaitu kegiatan yang mempunyai tujuan yang jelas terhadap
aktivitas pembelajaran berupa bantuan yang selalu diberikan kepada setiap
peserta didik yang membutuhkan.
2. Kesesuaian yaitu peserta didik yang tidak bias menyelesaikan sendiri
permasalahan yang dihadapinya maka pembelajaran memberikan bantuan
penyelesaiannya.
3. Struktur yaitu modelingdan mempertanyakan kegiatan terstruktur di sekitar
sebuah model pendekatan yang sesuai dengan tugas dan mengarah pada urutan
alam pemikiran dan bahasa.
4. Kolaborasi yaitu pembelajar menciptakan kerja sama dengan peserta didik dan
menghargai karya yang telah di capai oleh peserta didik. Peran pembelajar
adalah kolaborator bukan sebagai evaluator.
5. Internalisasi yaitu eksternal scaffolding untuk kegiatan ini secara bertahap
ditarik sebagai pola yang diinternalisasi oleh peserta didik.
Adapun keuntungan mempelajari scaffolding(Cahyo, 2013133)adalah
1. Memotivasi dan mengaitkan minat siswa dengan tugas belajar.
2. Menyederhanakan tugas belajar sehingga bias lebih terkelola dan bias dicapai
oleh anak
3. Memberi petunjuk untuk membantu anak berfokus pada pencapaian tujuan
4. Secara jelas menunjukkan perbedaan antara pekerjaan anak dan solusi standar
atau yang diharapkan.
5. Mengurangi frustasi atau risiko.
22
6. Memberi model dan mendefinisikan dengan jelas harapan mengenai aktivitas
yang akan dilakukan.
Prinsip-prinsip belajar konstruktivisme dengan scaffolding yang diterapkan
dalam pembelajaran (Cahyo, 2013:134) adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri.
2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pembelajar ke peserta didik, kecuali
hanya
3. Dengan keaktifan peserta didik sendiri untuk menalar.
4. Peserta didik aktif mengonstruksi secara terus menerus sehingga selalu terjadi
perubahan konsep ilmiah.
5. Pembelajar sekadar memberi bantuan dan menyediakan saran serta situasi agar
proses konstruksi belajar lancer.
6. Menghadapi masalah yang relevan dengan peserta didik.
7. Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.
8. Mencari dan menilai pendapat peserta didik
9. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan peserta didik.
Secara umum, langkah-langkah pembelajaran scaffolding dapat dilihat
(Nurlia, 2014:24) sebagai berikut :
1. Menjelaskan materi pembelajaran.
2. Menentukan zone of proximal development (ZPD) atau level perkembangan
siswa berdasarkan tingkat kognitifnya dengan melihat nilai hasil belajar
sebelumnya.
3. Mengelompokkan siswa menurut ZPD
4. Memberikan tugas belajar berupa soal-soal berjenjang yang berkaitan dengan
materi pembelajaran.
5. Mendorong siswa untuk belajar menyelesaikan soal-soal secara mandiri
dengan berkelompok.
6. Memberikan bantuan berupa bimbingan, motivasi, pemberian contoh, kata
kunci atau hal lain yang dapat memancing siswa kea rah kemandirian belajar.
7. Mengarahkan siswa yang memiliki ZPD yang tinggi untuk membantu siswa
yang memiliki ZPD yang rendah.
8. Menyimpulkan pelajaran dan memberikan tugas-tugas.
23
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa scaffolding adalah pemberian
bantuan yang diberikan kepada siswa secara ketat pada awal kemudian berangsur-
angsur dikurangi dan tanggung jawab diserahkan kepada siswa yang belajar
sehingga siswa dapat menyelesaikan sendiri tugasnya dengan bantuan atau
petunjuk yang sudah diberikan.
2.1.9 Model Pembelajaran Kooperatif dengan melibatkan Scaffolding
Pembelajaran Kooperatif yaitu pembelajaran yang dilakukan secara
kelompok, siswa di dalam kelas di bagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang
terdiri dari beberapa siswa tiap kelompok dengan memperhatikan keberagaman
anggota kelompok sebagai wadah siswa bekerjasama memecahkan suatu masalah
melalui interaksi dengan teman kelompok.
Scaffolding merupakan pemberian bantuan, bimbingan, dukungan,
maupun motivasi kepada siswa dalam proses belajar. Siswa dituntut untuk
menyelesaikan sendiri tugasnya dengan bantuan yang diberikan oleh seorang guru
maupun teman sebayanya. Scaffolding perlu diberikan agar siswa atau kelompok
siswa yang lambat dalam memahami suatu materi bisa mengikuti pembelajaran
secara lancar dan tidak terlalu tertinggal dengan kelompok yang lain. Scaffolding
juga bermanfaat untuk meluruskan pemahaman jika ada kelompok yang masih
ragu maupun salah dalam memahami konsep. Dengan adanya scaffolding,
kemampuan aktual siswa yaitu kemampuan yang mampu dicapai oleh siswa
dengan belajar sendiri dapat berkembang lebih tinggi dan lebih baik sehingga
dicapai kemampuan potensialnya. Dengan demikian scaffolding mampu
membantu siswa mengembangkan kemampuan aktualnya menjadi kemampuan
potensialnya. Ketika siswa menunjukkan peningkatan dalam menyelesaikan suatu
masalah maka guru secara perlahan-lahan mengurangi pemberian bantuan dan
memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar setelah anak dapat melakukannya (Nurlia, 2014:25). Jadi siswa
dibagi menjadi kelompok kecil dan diharapkan untuk dapat bekerjasama
menyelesaikan tugas atau permasalahan yang dihadapi dengan diberikan bantuan,
motivasi, petunjuk dari guru setelahnya ketika guru sudah yakin siswa dapat
menyelesaikannya sendiri maka pemberian bantuan berangsur-angsur dikurangi
dan tanggung jawab diserahkan kepada siswa yang belajar (Muijs, 2008:100).
24
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan model pembelajaran
kooperatif dengan melibatkan scaffolding diharapkan hasil belajar siswa dalam
kelompok dan individu akan meningkat secara bertahap sesuai dengan tujuan
yang diharapkan karena selain mendapatkan bimbingan dari teman sebaya, siswa
juga dapat berinteraksi bersama teman kelompok untuk saling bertukar pikiran
dalam menyelesaikan masalah.
2.2 Hasil Penelitian Yang Relevan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Syafruddin Side (2008)
diperoleh bahwa: (1) Hasil belajar matematika siswa sebelum diadakan tindakan
berada pada kategori tinggi dengan skor rata-rata 78,40, (2) Hasil belajar
matematika siswa setelah diadakan tindakan berupa pembelajaran dengan
penerapan scaffolding dengan setting kooperatif pada Siklus I berada dalam
kategori tinggi dengan skor rata-rata 81,30, (3) Hasil belajar matematika setelah
diadakan tindakan berupa pembelajaran dengan penerapan scaffolding dengan
setting kooperatif pada Siklus II berada dalam kategori tinggi dengan skor rata-
rata 88,37, (4) Terjadi peningkatan kemampuan siswa bekerjasama dalam
kelompoknya sekaligus peningkatan keaktifan siswa dalam kelompok, (5)
Kehadiran, minat, perhatian dan motivasi siswa dalam mengikuti proses
pembelajaran matematika juga mengalami peningkatan.
Demikian halnya penelitian yang dilakukan Septriani Nicke (2014)
diperoleh bahwa kemampuan pemahaman konsep matematika siswa yang belajar
dengan pendekatan scaffolding lebih baik daripada kemampuan pemahaman
konsep matematika siswa yang belajar dengan menggunakan pembelajaran
konvensional pada kelas VIII SMP Pertiwi 2 Padang.
Penelitian yang dilakukan Norma Rahayu Pujiningtyas (2014) diperoleh
bahwa aktivitas guru dalam mengelola pembelajaran dikatakan baik, aktivitas
siswa dikatakan baik, hasil belajar siswa tercapai, dan respon siswa terhadap
pembelajaran matematika menggunakan metode scaffolding dikatakan baik.
Penelitian yang dilakukan Nicke dan Irwan (2014) diperoleh bahwa
kemampuan pemahaman konsep matematika siswa yang belajar dengan
pendekatan scaffolding lebih baik daripada kemampuan pemahaman konsep
25
matematika siswa yang belajar dengan menggunakan pembelajaran konvensional
pada kelas VIII SMP Pertiwi 2 Padang.
2.3 Kerangka Pikir
Berdasarkan kajian teori yang telah disampaikan di atas, maka kerangka
pikir penelitiannya adalah dengan melihat hasil nilai, keefektifan dan prestasi
oleh siswa dalam pembelajaran matematika kurang memuaskan dan kuarang baik,
maka dengan demikian, guru perlu mencari cara pembelajaran, yang diharapkan
dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika.
Dalam pembelajaran matematika, guru lebih cenderung menggunakan
model pembelajaran langsung dengan metode ceramah, dimana pembelajaran
hanya terfokus kepada guru yang melakukan transfer ilmu kepada siswa tanpa
melibatkan siswa untuk berperan aktif dalam proses belajar mengajar.
Pembelajaran langsung identik dengan pembelajaran individual dimana siswa
menyelesaikan masalah yang diberikan dengan bekerja sendiri, interaksi diantara
siswa kurang, dan siswa yang berkemampuan rendah sulit dan semakin tertinggal
dalam proses belajar. Hal ini menyebabkan aktivitas siswa cenderung tidak
memperhatikan pelajaran, hasil belajar siswa menjadi tidak maksimal dan respons
siswa terhadap pembelajaran rendah.
Sejalan dengan hal tersebut banyak diperkenalkan berbagai model
pembelajaran yang sesuai diterapkan dalam pembelajaran di sekolah. Salah satu
model pembelajaran yang memposisikan peran aktif siswa dalam pembelajaran
dan guru tidak lagi menjadi sumber utama pembelajaran yaitu model
pembelajaran kooperatif dengan scaffolding.
2.4 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini terdiri atas hipotesis mayor dan hipotesis
minor sebagai berikut:
1. Hipotesis Mayor
Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif dengan
melibatkan scaffolding efektif diterapkan pada siswa kelas X SMA Negeri 3
Palopo.
26
2. Hipotesis Minor
a. Hipotesis Minor 1
Rata-rata hasil belajar siswa kelas X SMA Negeri 3 Palopo setelah
diterapkan model pembelajaran kooperatif dengan melibatkan scaffolding
lebih besar dari 77,99 atau sama dengan KKM (78).
b. Hipotesis Minor 2
Rata-rata gain ternormalisasisiswa kelas X SMA Negeri 3 Palopo setelah
diterapkan model pembelajaran kooperatif dengan melibatkan scaffolding
lebih besar dari 0,29 (kategori sedang).
c. Hipotesis Minor 3
Ketuntasan belajar siswa dengan diterapkan model pembelajaran
kooperatif dengan melibatkan scaffolding secara klasikal lebih besar dari
0,849.
d. Hipotesis Minor 4
Rata-rata nilai aktivitas belajar siswa minimal berada pada kategori aktif.
e. Hipotesis Minor 5
Rata-rata nilai respons siswa minimal berada pada kategori cenderung
positif.