Post on 04-Jul-2015
STRATEGI SAMUDERA
BIRU:
PARADIGMA BARU STRATEGI BISNIS
Cara pandang kita selama ini tentang strategi memenangkan persaingan banyak
dipengaruhi oleh pandangan berbasis kompetisi (competition-based view) yang
berakar dari pemikiran structure-conduct-performance, dimana sepanjang pebisnis
bisa memilih industri yang masih atraktif, maka pebisnis tinggal memilih strategi
berbiaya rendah (low cost producer), diferensiasi (differentiation), atau fokus
(focus).
Untuk menganalisis industri apakah masih menarik atau tidak, alat analisis yang
banyak digunakan umumnya metode five-forces yang terdiri atas analisis posisi
tawar pembeli, posisi tawar pemasok, ancaman pendatang baru, ancaman produk
pengganti, dan situasi persaingan antar pemain, atau metode competitive profile
matrix (CPM) yang memetakan situasi kompetisi pada sebuah industri yang dihuni
para pesaing yang teridentifiaksi oleh pebisnis, selain banyak metode lainnya
seperti 7S McKinsey, Matriks BCG dan lain-lain.
Dalam catatan peresensi, teknik penentuan strategi bisnis five-forces sampai akhir
tahun 90an paling banyak dipelajari di sekolah-sekolah bisnis yang mengadopsi
pemikiran Profesor dari Harvard Business School, Profesor Michael E. Porter,
yang mempublikasikan bukunya yang fenomenal, Competitive Strategy (1980).
Sebelum pemikiran Porter tersebut, para pebisnis gandrung melakukan analisis
SWOT yang diperkenalkan oleh Kenneth Andrew pada awal tahun 70an. Dalam
pemikiran competition-based view ini, amatlah tidak mungkin menciptakan
pertumbuhan laba dari industri yang tidak menarik (attractive).
Para konsultan manajemen yang menggunakan tools matriks Boston Consulting
Group (BCG), biasanya merekomendasikan strategi divestasi terhadap strategic
business unit (SBU) yang berada pada industri yang sedang mengalami
perlambatan atau melakukan inovasi produk bila posisi arus kas masih
memungkinkan untuk melakukan rebounding.
Namun pemikiran berbasis competition-based view diatas memperoleh kritik tajam
dan konstruktif dari dua orang pakar manajemen dari INSEAD, sekolah bisnis
yang berbasis di Fontaineblue, Perancis, W. Chan Kim dan Renee Mauborgne
yang baru-baru ini meluncurkan karyanya Blue Ocean Strategy: How to Create
Uncontested Market Space and Make the Competition Irrelevent. Setelah melalui
riset 15 tahun terhadap 30 industri yang melakukan perpindahan strategi (strategic
moves) selama kurun waktu tahun 1880-2000, kedua pakar tersebut mengajukan
argumentasi bahwa berkompetisi dalam sebuah pasar pada suatu industri bukanlah
satu-satunya cara perusahaan untuk membangun keunggulan daya saing
perusahaan, namun keunggulan tersebut dapat terbangun melalui kemampuan
perusahaan merekonstruksi pasar dan industri yang ada menjadi pasar dan industri
baru yang memiliki rule of game baru. Berkompetisi pada sebuah industri dengan
cara memperebutkan pasar yang sudah ada dengan cara saling “membunuh” antar
pemain (zero-sum- game) adalah paradigma bisnis lama yang tidak menjamin
keberlanjutan bisnis. Keduanya menunjukkan fakta bahwa perusahaan-perusahaan
yang diakui unggul dalam In Search Excellence karya Thomas J. Peters dan Robert
Waterman (1980) banyak yang berguguran, demikian halnya perusahaan-
perusahaan yang dikategorikan visionary companies dalam Built to Last, hasil
penelitian Jim Collins dan Jerry Porras (1993) banyak yang berhenti tumbuh pada
industri yang masih atraktif.
Prof. Kim dan Prof. Mauborgne yang 20 tahun lalu berstatus murid dan guru
tersebut, kini keduanya kolega di INSEAD, membuat analogi menarik -- strategi
yang mengandalkan persaingan pada industri yang sama dengan logika bisnis lama
-- disebut dengan strategi samudera merah (red-ocean strategy). Pada paradigma
persaingan ini, pasar diperebutkan dengan ketat, dimana arena persaingan dibatasi
oleh industri, baik industri yang sedang tumbuh, stabil atau menurun. Perang
inovasi dan diferensiasi produk, merek, harga, promosi, efisiensi, downsizing,
restrukturisasi dan perang bisnis lainnya dalam lapangan pembantaian (killing
field) berlangsung terus-menerus untuk menghasilkan pemenang diatas kekalahan
para pesaingya. Mereka yang kalah, lantas melakukan sejumlah langkah-langkah
strategis yang dibutuhkan untuk berupaya mengambil alih pasar yang sama,
demikian seterusnya.
Setelah mempelajari perpindahan strategi (strategic moves) terhadap 30 industri,
termasuk pada industri otomotif, komputer dan bioskop, Prof. Kim dan Prof.
Mauborge menyimpulkan bahwa perusahan-perusahaan yang berdaya saing adalah
mereka yang mampu menciptakan (creating) lingkungan pasar dan industri baru.
Keduanya membuktikan bahwa membuat rule of game baru dalam sebuah industri
yang sudah mapan, baik bagi industri yang masih menarik atau tidak (berbeda
dengan red-ocean strategy), diantaranya dengan cara menciptakan pasar yang
terdiri atas kelompok pelanggan baru, menciptakan produk-produk yang diminati
pelanggan-pelanggan baru tersebut, menciptakan struktur biaya industri yang baru,
dan rekonstruksi industri diluar dari kebiasaan- kebiasaan lama pada sebuah
industri, yang selanjutnya akan menciptakan daya saing baru yang meninggalkan
para inkumben, yakni para pesaing lama yang boleh jadi amat berkuasa pada
paradigma pasar lama. Dalam bahasa lain, langkah-langkah para pelaku strategic
moves ini telah membuat persaingan menjadi tidak relevan!. Inilah yang disebut
kedua pakar tersebut sebagai strategi samudera biru (blue ocean strategy).
Sepanjang catatan peresensi, analisis pada strategic moves sebagai unit analysis
merupakan analisis baru, umumnya periset menggunakan perusahaan (firms)
sebagai unit analysis.
Kemampuan menciptakan ruang pasar yang tidak diperebutkan dan membuat
kompetisi yang diperebutkan para inkumben menjadi tidak relevan adalah kunci
daya saing perusahan-perusahaan yang menggunakan paradigma blue ocean
strategy. Strategi ini akan ‘”menggeser” dan “memperluas” pasar bagi pelanggan
potensial, sehingga nilai (value) tercipta berbeda pada pasar yang telah bergeser
dari pasar sebelumnya yang diperebutkan para inkumben. Contoh perusahaan
yang sering disebut dalam buku yang telah menjadi international best seller ini,
perusahaan penyedia hiburan -- Cirque du Soleil -- adalah contoh sempurna dari
penerapan paradigma blue ocean strategy. Perusahaan yang berdiri pada tahun
1984 ini telah menampilkan produk pertunjukan yang ditonton oleh lebih 40 juta di
lebih dari 90 kota di seluruh dunia. Selama kurang dari dua puluh tahun Cirque du
Soleil telah mencapai pendapatan setara dengan para inkumben yang sudah eksis
lebih lama, Ringling Bros dan Barnum & Baily. Kedua nama terakhir adalah
pemimpin pasar (market leader) dalam industri sirkus dunia. Cirque du Soleil
justru tumbuh pada sebuah industri yang sedang menurun, yang menurut Porter
(1980) tidak menarik (unattractive) lagi. Saat para penyedia sirkus terjebak pada
kompetisi yang ketat, dimana sirkus hanya dinikmati oleh para penonton anak-
anak, dengan atribut-atribut pertunjukan yang konvensional seperti badut, binatang
dan akrobat pemain, Cirque du Soleil membawa terobosan baru dalam industri
pertunjukan tersebut. Mereka menampilkan pertunjukan yang berbeda dengan
berbagai modifikasi tempat yang lebih artistik, disain acara yang kreatif dengan
lelucon badut yang lebih cerdas (bukan slapstick), memasukan unsur yang selama
ini tidak dianggap bukan unsur sirkus, seperti cerita, musik berkelas, tarian tarian
modern dan berbagai kegiatan yang bersifat live, sehingga menarik minat
pelanggan-pelanggan baru yang sudah jenuh dengan pertunjukkan sirkus yang
konvensional. Terhadap penawaran yang kreatif dan cerdas ini, pelanggan di
berbagai belahan dunia berduyun-duyun menantikan setiap pertunjukan yang bisa
berbeda-beda pada setiap event mereka.
Paradigma blue ocean strategy telah mengantarkan berbagai perubahan yang
radikal pada berbagai industri. Kedua pengarang mereview perjalanan rekonstruksi
industri pada industri otomotif (kasus model T Ford, variasi warna mobil dari
General Motor, revolusi kendaraan kecil dan irit Jepang, Minivan dari Crysler),
industri komputer (mesin penghitung, komputer elektronik main frame, personal
computer, PC server, penjualan langsung Dell), industri layar lebar (multiplex,
megaplex) dan lain-lain. Peresensi menyarankan agar para pembaca tidak
melewatkan bagian Appendix B pada buku ini, dimana kedua penulis menyajikan
pembahasan khusus tentang aliran pemikiran (school of thought) utama pada
disiplin ilmu manajemen strategis, yakni pemikiran industrial organization (IO)
yang berbasis pada pemikiran a structure-conduct- performance yang menjadi
rujukan para structuralist seperti Bain, Porter, Pierce & Robinson, Robert Grant,
dan lain-lain. Sedangkan perspektif lain adalah pemikiran rekonstruktif yang
berbasis pada reconstructionist seperti Schumpeter, Edith Penrose, Jay Barney,
Wernerfelt, Nonaka & Takeuchi dan lain-lain, dimana pengetahuan, inovasi dan
faktor endogenous lainnya menjadi pengendali utama daya saing perusahaan.
Catatan peresensi, isu-isu kontemporer knowledge management, dynamic
capabilities, core competence, strategic intent, learning organization dan sejenisnya
muncul dari para penganut paradigma rekonstruksi ini, seperti Crys Argyris
(Learning Orientation), Gary Hamel, C.K. Prahalad (Core Competence), Peter
Senge (Learning Organization), Nonaka dan Takeuchi (Knowledge Management),
James Moore (The Death of Competition), Dan Tapscott (the Blue Print of Digital
Economy), Ari De Geus (the Living Company) dan lain-lain.
Selain kasus-kasus pada industri yang telah berdiri lama, kedua penulis juga
menampilkan studi terhadap 108 perusahaan yang melakukan business launch
dengan paradigma blue ocean dan red ocean strategy. Sebanyak 86% dari jumlah
perusahaan diatas melakukan business launch dengan menggunaan paradigma red
ocean strategy menghasilkan 62% pendapatan dengan dampak keuntungan sebesar
39%, sebaliknya dari 14% dari jumlah perusahaan diatas melakukan business
launch menggunakan paradigma blue ocean strategy menghasilkan 38%
pendapatan dengan laba bersih sebesar 61%. Dengan katalain, paradigma blue
ocean strategy sebenarnya lebih menjamin efektifitas bisnis dari sisi bottom line
bisnis, laba bersih.
Menurut kedua penulis, kunci dari strategi ini adalah value innovation yang
merupakan logika stratejik yang berbeda dengan logika para inkumben. Konsepsi
ini memberikan peluang lompatan nilai yang dinikmati pelanggan dan selanjutnya
menghasilkan nilai yang lebih tinggi bagi perusahaan, karena mengkombinasikan
proses yang yang berbiaya lebih rendah dengan nilai (value) yang lebih tinggi. Hal
itu dimungkinkan dengan cara mengawinkan inovasi dengan kegunaan (utility),
harga dan posisi biaya pada industri dan batas-batas pasar yang tidak given.
Dengan kata lain, lintas pasar dan lintas industri dapat terjadi karena strategic
moves yang dilakukan perusahaan membuat batas- batas tersebut menjadi tidak
relevan lagi. Pada kasus Cirque du Soleil misalnya, para peminat opera, musik dan
tarian berkelas, live show entertainment antri panjang untuk menyaksikan
pertunjukan Cirque du Soleil di seluruh dunia. Dengan prinsip ini, maka pemikiran
dikotomi (trade-off) antara value vs cost tidak akan terjadi, tidak seperti halnya
yang dinyatakan pada paradigma samudera merah yang berbasis pemikiran
Porterian.
Pada buku ini, ada enam prinsip strategi lautan biru yang terbagi dalam dua tahap
proses yang berkelanjutan dan selayaknya dilakukan secara konsisten, yakni proses
formulasi dan pelaksanaan strategi. Proses formulasi terdiri atas empat tahap yakni:
(i) lakukan rekonstruksi batas pasar, upaya ini akan mendorong perusahaan untuk
keluar dari batas-batas industri dimana perusahaan berada selama ini, karena
kondisi pasar bukanlah bersifat given, (ii) fokuskan pada konsep besar bisnis,
kaitkan keberadaan perusahaan dengan bottom line bisnis dan tidak terjebak pada
angka-angka teknis dan kegiatan operasional selama ini. Dengan pemikiran ini,
cara pandang bisnis akan berkembang tanpa terhambat oleh teknis operasional
yang selama ini dikuasai dan dijalankan bertahun-tahun oleh perusahaan, (iii)
jangkau permintaan pelanggan potensial, diluar para pelanggan saat ini. Lakukan
kajian dan kembangkan peluang permintaan dari bukan para pelanggan tradisional
selama ini, dan (iv) Dapatkan tahapan strategis yang harus di-deliver perusahaan,
dengan upaya memadukan penawaran manfaat (benefits) yang dapat diberikan
kepada para pelanggan potensial tersebut, dengan cara melakukan inovasi nilai
(value inovation) dengan fokus pada manfaat bagi pelanggan potensial, harga yang
pantas, biaya yang masuk akal, dan adopsi inovasi yang berkelanjutan. Dengan
cara ini, perusahaan telah menetapkan ruang putih (white space) yang tidak terisi
oleh para pesaingnya. Mengapa? Karena para pesaing sedang memperebutkan
ruang lain yang sudah berisi para pemain lain pada pasar yang sudah ada.
Selanjunya, tahapan eksekusi strategi samudera biru ini terdiri atas: (i) atasi
hambatan organisational yang sering terjadi pada organisasi, terutama adanya
ketakutan terhadap perubahan (resistence of change) karena kesadaran (kognisi)
dan motivasi yang belum timbuh dan sumberdaya yang terbatas. Lakukan
transformasi sikap mental baru didalam perusahaan dengan cara meyakinkan
perubahan akan menghasilkan manfaat bernilai bagi perusahaan dalam jangka
waktu tertentu, namun memerlukan pengorbanan dan kerja keras manajemen dan
karyawan dalam jangka pendek. Lakukan aliansi-aliansi bisnis, bila diperlukan,
pada bidang-bidang yang bukan kompetensi inti perusahaan dengan prinsip
efektifitas dan efisiensi, dan (ii) lakukan eksekusi
strategi dengan sukacita, dengan cara melibatkan semua sumberdaya yang dimiliki
perusahaan dengan komitmen penuh. Proses eksekusi ini membutuhkan komitmen
dan kerja keras semua pihak. Kedua pakar ini menyebut model kepemimpinan
tipping-point leadership (Bab 7) dibutuhkan untuk memandu dan mempimpin
perubahan kognisi, menggerakan sumberdaya, menumbuhkan motivasi, mengatasi
hambatan politik, ditengah keterbatasan waktu dan sumberdaya lainnya. Terhadap
tahapan strategi ini, lakukan pengukuran kinerja yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk menjadi testimoni bahwa perubahan berbuah bagi
masa depan perusahaan yang lebih baik.
MENCIPTAKAN STRATEGI SAMUDERA BIRU
I.Pengertian Strategi Samudera Biru
Pengertian Strategi Samudera Biru menurut W. Chan Kim dan Renee
Mauborgne adalah bagaimana membuat ruang pasar yang belum terjelajah, yang
bisa menciptakan permintaan dan memberikan peluang pertumbuhan yang sangat
menguntungkan. Intinya bagaimana bersaing dengan tangkas dalam kompetisi,
bagaimana secara cerdik membaca persaingan, menyusun strategi dan kerangka
kerja yang sistematis guna menciptakan samudera biru.
Dari difinisi tersebut diatas, strategi samudera biru lebih menfokuskan
pada langkah-langkah strategis yang menjadi unit analisa untuk :
1.Bagaimana menciptakan ruang pasar tanpa pesaing/belum ada
pesaing
2.Menjadikan kompetisi menjadi tidak relevan karena permainan-
permainan baru akan dibentuk
3.Menciptakan dan menangkap peluang baru
4.Mendobrak pertukaran nilai –biaya
5.Memadukan keseluruhan system kegiatan perusahaan dalam
mengejar diferensiasi dengan biaya rendah
Prinsip strategi samudera biru yaitu :
1.Prinsip merumuskan samudera biro
a.Merekontruksi batas-batas pasar akan menurunkan resiko pencarian
b.Focus pada gambaran besar, bukan pada angka akan mengurangi
resiko perencanaan
c.Menjangkau melampaui permintaan yang ada akan mengurangi
resiko skala
d.Melakukan rangkaian strategis dengan tepat akan mengurangi
rtesiko model bisnis
1.Prinsip melaksanakan samudera biru
a.Mengatasi hambatan utama dalam organisasi akan mengurangi
resiko organisasi
b.Mengintegrasikan eksekusi kedalam strategi akan mengurangi resiko
manajemen
I.Implementasi Samudera Biro
Strategy samudera biru bukanlah sekadar wacana teoretis, melainkan sesuatu yang
sudah banyak dipraktikkan, sadar tidak sadar, oleh berbagai pelaku bisnis. Sekadar
contoh kasus dapat disimak sebagai berikut:
1.Cirque du Soleil yang dibentuk oleh seorang seniman bohemian.
Organisasi ini melihat dunia sirkus adalah red ocean yang keras dan penuh darah
karena setiap sirkus berlomba mencari pemain atraksi yang lebih hebat, binatang
yang lebih bagus, dan sebagainya. Perlombaan ini menciptakan cost yang tinggi
dalam dunia sirkus, padahal market share masing-masing malah mengecil. Lantas,
apa solusi blue ocean dari Cirque du Soleil? Jawabannya adalah memadukan sirkus
dengan teater, yaitu sirkus yang diberikan struktur cerita dimana pemain sirkus
juga berperan sebagai aktor. Akibatnya, orang yang tidak menyukai sirkus tapi
menyukai teater bisa terangkul, atau orang yang tidak menyukai teater tapi
menyukai sirkus, bisa terangkul oleh Cirque du Soleil. Walhasil, Cirque melaju
sukses sendirian di sini. Salah satu resep ampuh dari blue ocean strategy juga
jadinya adalah menggeser perhatian dari sekadar customer ke non- customer ,
sebagaimana juga akan tampak dari kasus berikut. Dalam bahasa postmodern, kita
mungkin bisa mengatakan blue ocean strategy semacam maklumat bagi ” the death
of customer .”
2.Produsen anggur Australia Casella Wines. Casella Wines melihat bahwa
persaingan di industri anggur mengandalkan kualitas dan usia anggur, kemasan
mewah, pemasaran above-the-line , tradisi dan sejarah anggur, ragam rasa anggur,
dan kerumitan rasa anggur. Padahal, Casella Wines mengamati, faktor-faktor itu
hanya berpengaruh pada penikmat anggur, itu pun terbatas pada penikmat sejati,
yang jumlahnya segelintir, sedangkan mayoritas massa di AS tidak menyukai
anggur karena faktor-faktor yang rumit itu tadi. Makanya, Casella Wines
memutuskan untuk membuat anggur dengan citra koktil atau softdrink yang tidak
mementingkan usia, kemasan mewah, kerumitan rasa anggur, dan lain-lain. Casella
Wines membuat anggur jadi minuman massal yang menarik bagi orang-orang
(yang jumlahnya sangat besar) yang tadinya tidak menyukai anggur. Casella Wines
menciptakan blue ocean dengan merangkul non-customer anggur dan melakukan
inovasi nilai. Keampuhan pergeseran perhatian kepada non-customer ini juga
sekaligus mengamini pendapat Drucker (1989:
5) bahwa “hasil dicapai dengan memanfaatkan peluang, bukan dengan
memecahkan masalah,” dan salah satu peluang yang potensial digarap adalah
mengubah non-customer menjadi customer .
3.Netjets. Memadukan antara penerbangan komersial kelas bisnis dan
kepemilikan pesawat pribadi. Perusahaan ini melihat bahwa perusahaan memilih
membeli jet pribadi karena ingin para eksekutifnya terbebas dari keriuhan khas
penerbangan (antri tiket, terlalu banyak penumpang, dan sebagainya).
Kekurangannya adalah, biaya perawatan pesawat terlalu tinggi dan juga belum
tentu jam terbang dari para eksekutif perusahaan sepadan dengan biaya yang
dikeluarkan.
sisi lain, perusahaan lebih memilih membelikan tiket pesawat komersial kelas
bisnis karena bisa mengeluarkan biaya lebih murah tanpa mengorbankan
kenyamanan bagi eksekutif mereka).
Netjets kemudian mengajukan solusi blue ocean cerdas dengan memecah
kepemilikan satu pesawat dalam sejumlah saham. Setiap pemilik saham dari
pesawat itu jadinya bisa menggunakan pesawat Netjets bak pesawat jet pribadi
tanpa harus pusing memikirkan biaya perawatan. Biayanya pun sangat kompetitif
karena hanya sedikit lebih tinggi dari tiket kelas bisnis dan jauh lebih rendah
daripada membeli pesawat sendiri. Inilah juga salah satu contoh dari value
innovation sebagaimana disebutkan sebelumnya.
4.Blue ocean strategy juga memberikan kita wawasan untuk
meneropong situasi bisnis di Indonesia, seperti Bakmi Japos berhasil menggeser
bakmi GM dengan franchise -nya, Mizan dan LKIS boom dengan membuat blue
ocean berupa wacana filsafat, toko buku QB sukses dengan melakukan inovasi-
nilai ala blue ocean dengan menggabungkan toko buku dan leisure place , dan lain-
lain.[]
I.Kesimpulan.
Menciptakan samudera biru bukanlah pencapaian yang statis, melainkan sebuah
proses dinamis. Ketika perusahaan sudah menciptakan samudera biru dan akibat-
akibatnya yang kuat terhadap kinerja sudah diketahui, cepat atau lambat akan
muncul mengekor yang akan meniru strategi samudera biru yang telah
dilaksanakan.
Ketika pengekor berusaha merebut pangsa pasar dari samudera biru perusahaan
tersebut, maka biasanya perusahaan akan melancarkan serangan untuk
mempertahankan basis konsumen yang sudah didapatkan oleh perusahaan tersebut
dengan susah payah, tapi para pengekor sering melawan. Untuk menghindari
jebakan tersebut, perusahaan perlu memonitor kurva nilai dalam kanvas strategi,
yang akan memberikan sinyal kapan harus melakukan inovasi nilai dan kapan tidak
dilakukan. Kegiatan memonitor ini memberikan peringatan kepada perusahaan
untuk menciptakan samudera biru lainnya ketika kurva nilai perusahaan mulai
menyatu dengan kurva nilai para pesaing.