Post on 30-Jan-2016
description
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk – Jakarta Barat
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF BEDAH
RUMAH SAKIT BAYUKARTA KARAWANG
Nama Mahasiswa : Eka Putri Maulani Tanda Tangan :
NIM : 11-2013-104
Dokter Pembimbing : dr. Rio Andreas, SpB
I. IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Sdr. FB Jenis kelamin : Laki-laki
Tempat / tanggal lahir : Karawang, 5 Mei 1994 Suku bangsa : Jawa
Status perkawinan : Belum menikah Pekerjaan : Karyawan Swasta
Umur : 20 tahun Agama : Islam
Alamat : Kp. Kebon I RT 1/1 Pendidikan : SMA
Tanggal masuk rumah sakit : 15-03-2015,
pukul : 11:37
II. ANAMNESIS
Diambil dari: Autoanamnesis, Tanggal : 15-03-2015 , Jam : 13:00 WIB
Keluhan Utama: Nyeri pada kaki kanan setelah kecelakaan motor 8 jam SMRS.
Anamnesis :
Os jatuh dari motor saat sedang melakukan perjalanan pulang ke rumah selepas kerja
malam kira-kira pukul 04.00 WIB. Karena rasa kantuk yang tak tertahankan saat mengemudi
motor, os merasa kehilangan keseimbangan, kemudian os menabrak tiang listrik. Os terpental
dan tidak sadarkan diri setelah kejadiaan kecelakaan tersebut. Os terjatuh dalam keadaan
Page | 1
menggunakan helm, namun kaki kanan diduga membentur tiang listrik lalu kemudian os
terbanting jatuh ke aspal. Os mengaku mengendarai motor dalam kecepatan tinggi, namun
tidak tahu persis berapa kecepatannya. Saat kejadian, os dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Os mulai sadar saat dibawa ke salah satu rumah sakit terdekat sebelum dirujuk ke UGD RS.
Bayukarta. Mual, pusing dan nyeri pada kaki kanan dikeluhkan oleh os. Muntah disangkal
oleh pasien.
Mechanism of Injury :
8 jam SMRS pasien jatuh dari motor dengan posisi kaki kanan membentur tiang listrik lalu
terbanting dan jatuh ke aspal. Pasien tidak sadarkan diri saat kejadian.
Primary Survey
Airway : Clear
Breathing : Adekuat/spontan.
Circulation : Nadi lemah 120 kali/menit, TD 80/40 mmHg, pasien terlihat pucat.
Disability : GCS 15 (E4 V5 M6), compos mentis/Alert.
Exposure : Patah tulang tertutup 1/3 distal femur dextra dengan tanda-tanda kompartmen
syndrome.
Secondary Survey
Keadaan umum : pasien tampak sakit berat
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-tanda vital : TD : 80/40 N : 120 x/menit RR : 28 x/menit S : 37,1 0C
Kepala : dalam keadaan normal
Mata : konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, kornea jernih, pupil bulat,
isokor.
Telinga : Bentuk normal, sekret -/-, serumen -/-
Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum nasi, sekret -/-, krepitasi(-)
Mulut : Simetris
Leher : Bentuk normal
Thorax :
Paru-paru :
Inspeksi : Bentuk normal, tampak simetris dalam statis dan dinamis, retraksi sela iga
(-)
Page | 2
Palpasi : tidak teraba adanya kelainan
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Bunyi nafas vesikuler (+/+), wheezing(-/-), Ronkhi (-/-)
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba i.c.s. V midclavicula line sinistra., kuat angkat
Perkusi : Redup pada ; batas atas : i.c.s. II parasternal line sin.
batas kanan : midsternal line
batas kiri : i.c.s. V midclavicula line sin.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler murni, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar, tidak terdapat luka post op, ataupun kelainan lainnya
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri tekan (-) di daerah perut
bawah, defense muskular(-)
Perkusi : Timpani, meteorismus (-), pekak (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Kanan Kiri
Tonus : normotonus normotonus
Massa : normotrofi normotrofi
Sendi : normal normal
Gerakan : tidak bisa bergerak normal
Kekuatan : 3 5
Edem : (-) (-)
Lain-lain :
III.STATUS LOKALIS
Fraktur tertutup 1/3 distal femur dextra dan fraktur terbuka 1/3 proximal tibia dextra.
Look : edema (+), terlihat deformitas berupa pemendekan.
Palpasi : teraba bengkak, nyeri tekan (+).
Move : ROM menurun, tidak bisa menggerakkan sendi panggul dan tungkai kanan.
Page | 3
IV. DIAGNOSIS
Fraktur tertutup 1/3 distal femur dextra dan fraktur terbuka 1/3 proximal tibia dextra.
Dasar diagnosis : terdapat nyeri pada daerah tungkai kanan bawah, edema (+), tampak
tulang patah dalam keadaan terbuka, perdarahan (+), tungkai tidak dapat digerakkan. Pada
hasil radiologi ditemukan fraktur os femur dan tibia dextra sepertiga distal, displaced.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan
Darah Rutin
Page | 4
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
LED/BSE
Trombosit
Eritrosit
7,1
23,7
20
3
181
2,43
11,5-18
4,6-10,2
37-54
0-20
150-400
3,8-6,5
g/dl
K/uL
%
mm/1jam
K/uL
M/uL
Hitung Jenis Leukosit
Basofil
Eosinofil
Batang/stat
Limfosit
Monosit
Segmen
0
0
0
9
7
84
0-1
0-3
0-5
25-50
2-10
50-80
%
%
%
%
%
%
Nilai eritrosit rata-rata
VER (MCV)
HER (MCH)
KHER (MCHC)
83,1
29,2
35,1
80-100
26-32
31-36
fL
pg
g/dl
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan
Golongan Darah +
Rhesus
Golongan darah ABO
Rhesus
A
Positif
Faktor Pembekuan
Masa Perdarahan
Masa Pembekuan
4
10
1-6
4-15
Menit
Menit
Fungsi Ginjal
Ureum
Creatinin
Uric acid
22
0,6
6,6
20-40
0,5-1,5
2,5-7
Mg/dl
Mg/dl
Mg/dl
Page | 5
Gula Darah Sewaktu
GDS 148 80-140 Mg/dl
VI. RINGKASAN
Laki-laki, 21 tahun, mengalami kecelakaan kerja saat pulang bekerja dengan membawa
motor. Kecelakaan akibat menabrak tiang listrik, mengakibatkan kaki kanan luka dan
patah secara terbuka. Luka cukup kotor dan mengeluarkan banyak darah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital : RR 28 x/menit , Nadi 120
kali/menit, TD 80/40 mmHg, suhu: 37,1°C terdapat luka patah terbuka di bagian
tungkai kanan bawah. Terdapat luka robek di sekitarnya dan mengeluarkan cukup
banyak darah, disertai dengan luka lecet ringan di beberapa tempat.
Inspeksi : pucat pada wajah, conjungtiva anemis, tampak fraktur terbuka di 1/3 distal
dextra disertai dengan vulnus laceratum dan ekskoriasi, edema (+)
Palpasi : tonus otot baik, nyeri di kaki kanan yang patah.
Auskultasi : BN vesikuler (+/+), wheezing(-/-), ronkhi(-/-)
VII. DIFFERRENTIAL DIAGNOSIS
-
VIII.PENATALAKSANAAN
- Infus RL 20 tpm
- ATS injeksi
- Ketorolac 1 ampul
- Reduksi tulang yang patah.
- Pemasangan spalex
- Observasi TTV setiap setengah jam.
- Edukasi
- Rencana Operasi
IX. RENCANA TATALAKSANA
Tindakan : Amputasi cruris 1/3 distal.
Post Operasi : infuse RL 30 tpm
X. RENCANA PEMERIKSAAN LANJUTAN
Page | 6
Foto rontgen femur dan cruris 1/3 distal dextra.
Observasi post operasi.
XI. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Tinjauan Pustaka
Page | 7
DEFINISI FRAKTUR
Fraktur terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang disebabkan
oleh rudapaksa.1
ANATOMI TUNGKAI
Fungsi utama tungkai adalah untuk menunjang tubuh dan menjadi tumpuan sewaktu
berdiri, berjalan dan berlari, mereka dikhususkan sebagai daya penggerak. Kedua tulang paha
di posterior bersendi melalui arteri sacroiliaca yang kuat dan di anterior bersendi melalui
symphysis pubis. Akibatnya tungkai lebih kokoh dan dapat menahan berat badan sewaktu
berdiri, berjalan dan berlari. Setiap tungkai dapat dibagi dalam regio glutealis, paha, lutut,
kaki, pergelangan kaki dan kaki.2
A. Otot-Otot Ekstremitas Bawah
1. Otot Paha :
M. Rectus femoris
M. vastus lateralis
M. vastus medialis
M. vastus intermedius
M. Sartorius
M. gracilis
M. biseps femoris
M. semitendinosus
M. semimembranosus
2. Otot yang menggerakkan lutut dan kaki
M. tibialis anterior
M. ekstensor digiti longus
M. ekstensor hallucis longus
M. peroneus tersier
M. peroneus longus
M. peroneus brevis
M. gastrocnemius
M. soleus
M. plantaris
Page | 8
M. popliteus
M. tibialis posterior
M. fleksor digitorum longus
M. fleksor hallucis longus
B. Tulang-Tulang Ekstremitas Bawah
1. Femur
2. Tulang tungkai :
Tibia
Fibula
3. Pergelangan kaki : tarsal
4. Kaki : metatarsal
5. Jari-jari kaki : phalanges
Mekanisme Trauma
Kebanyakan suatu fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan terutama tekanan
membengkok, memutar dan tarikan.
Trauma bisa bersifat :3
1. Trauma langsung, dimana menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi
fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat fraktur transversal dan
jaringan lunak ikut mengalami kerusakan. Benturan yang lebih kerasa disertai dengan
penghimpitan tulang akan mengakibatkan garis fraktur kominutif diikuti kerusakan
jaringan lunak yang lebih luas.
2. Trauma tidak langsung, apabila trauma dihantarkan ke daerah lebih jauh dari daerah
fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula.
Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.
Gejala Klasik Fraktur3
1. Adanya riwayat trauma.
2. Rasa nyeri dan bengkak di wilayah tulang yang patah.
3. Deformitas pada daerah yang patah.
4. Nyeri tekan.
5. Krepitasi.
6. Gangguan fungsi muskuloskeletal akibat nyeri.
7. Gangguan neurovascular.
Page | 9
Klasifikasi Fraktur
Berdasarkan hubungan dengan dunia luar terbagi atas :3
1. Tertutup : bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
2. Terbuka : bila terdapat hubungan antara fragmen dengan dunia luar karena adanya
perlukaan dikulit.
Patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat, yang ditentukan oleh berat ringannya luka
dan fraktur yang terjadi.
Tabel 1. Derajat Fraktur Terbuka
Derajat Luka Fraktur
I Laserasi < 1 cm kerusakan
jaringan tidak berarti, relatif
bersih.
Sederhana, transversal atau
oblik.
II Laserasi > 1 cm, tidak ada
kerusakan jaringan yang
hebat atau avulsi. Ada
kontaminasi.
Dislokasi fragmen jelas.
III Terjadi kerusakan jaringan
lunak luas, meliputi struktur
kulit, otot, dan
neurovascular. Kontaminasi
derajat tinggi.
Kominutif, segmentasi,
fragmen tulang ada yang
hilang.
IIIA Jaringan lunak yang
menutupi fraktur tulang
adekuat, meskipun terdapat
laserasi.
IIIB Kehilangan jaringan lunak
dengan fraktur tulang yang
terpapar, adanya kontaminasi
massif.
IIIC Luka pada pembuluh
arteri/syaraf perifer yang
harus diperbaiki tanpa
Page | 10
melihat kerusakan jaringan
lunak.
Berdasarkan garis patah :3
1. Komplit : bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks
tulang.
2. Inkomplit : bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang, seperti :
Hairline fracture (patah retak rambut)
Buckle fracture atau torus fracture, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya, biasanya pada radius distal anak-anak.
Greenstick fracture mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang
terjadi pada tulang panjang anak.
Berdasarkan jumlah garis patah :3
1. Simple : satu garis patah.
2. Segmental : garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan. Bila dua garis
patah disebut fraktur bifocal.
3. Multipel : garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan
tempatnya, misalnya fraktur femur, fraktur kruris, dan fraktur tulang belakang.
4. Kominutif : lebih dari satu garis fraktur dan saling berhubungan.
Berdasarkan arah garis patah :
1. Transversal : garis fraktur atau patahan tulang tegak lurus dengan sumbu tulang.
2. Oblik : garis fraktur membentuk garis diagonal terhadap sumbu tulang.
3. Spiral : garis patahan membentuk spiral.
4. Avulsi : bagian fragmen fraktur masuk (menusuk) ke dalam otot.
Berdasarkan dislokasi fragmen :3
Undisplaced (tidak bergeser), garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak
bergeser, periosteumnya masih utuh.
Displaced (bergeser), terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang terbagi
menjadi :
Page | 11
a. Bersampingan d. Distraksi
b. Angulasi e. Over-riding
c. Rotasi f. Impaksi
Etiologi fraktur
Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut
kekuatannya melebihi kekuatan tulang. Ada 2 faktor yang mempengaruhi tejadinya fraktur,
yaitu :1
Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah dan
kekuatan trauma.
Intrinsik meliputi kapasitas tulang mengabsorbsi energi trauma. Kelenturan, kekuatan,
dan densitas tulang.
Apabila kedua hal ini terjadi maka akan terjadi fraktur, dimana posisi dari fraktur
tersebut dapat mengalami perubahan dari posisi semulanya sehingga bisa menyebabkan
gangguan lebih berat ke struktur sekitarnya.
Patofisiologi
Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari
tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah
fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh
tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan
tulang.1,3
Fraktur terjadi apabila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma
tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang, ada 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya
fraktur itu ekstrinsik (meliputi kecepatan, sedangkan durasi trauma yang mengenai tulang,
arah, dan kekuatan), intrinsik meliputi kapasitas tulang mengabsorbsi energi trauma,
kelenturan, kekuatan adanya densitas tulang-tulang yang dapat menyebabkan terjadinya patah
pada tulang bermacam-macam, antara lain trauma langsung dan tidak langsung, akibat
keadaan patologi serta secara spontan.3
Diagnosis
1. Anamnesis2
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi
kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. Riwayat
cedera diikuti sampai dengan ketidakmampuan menggunakan tungkai yang
Page | 12
mengalami cedera. Perlu diperhatikan fraktur yang terjadi tidak selalu terjadi di
tempat cedera, suatu pukulan pada lutut dapat menyebabkan fraktur pada patella,
kondilus femur, batang femur atau bahkan asetabulum. Umur pasien dan mekanisme
cedera itu penting. Kalau fraktur terjadi akibat cedera ringan curigailah lesi patologik.
Nyeri, memar dan bengkak adalah gejala yang sering dijumpai, tetapi cedera ini tidak
membedakan fraktur dengan cedera jaringan lunak. Deformitas jauh lebih
mendukung.
Tanyakan mengenai gejala cedera yang berkaitan : baal atau hilangnya
gerakan, kulit yang pucat atau sianosis, darah dalam urine, nyeri perut, hilangnya
kesadaran untuk sementara. Tanyakan riwayat fraktur sebelumnya, riwayat sosial
ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan
riwayat osteoporosis serta penyakit lain.
2. Pemeriksaan Fisik2
a. Inspeksi
Pembengkakan, memar dan deformitas (penonjolan yang abnormal, angulasi,
rotasi, pemendekan) mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang penting apakah kulit
itu utuh, kalau kulit robek dan luka memiliki hubungan dengan fraktur maka
disebut cedera terbuka.
b. Palpasi (Feel)
Terdapat nyeri tekan setempat, tetapi perlu juga memeriksa bagian distal dari
fraktur untuk merasakan nadi dan untuk menguji sensasi. Cedera pembuluh darah
adalah keadaan darurat yang memerlukan pembedahan.
c. Pergerakan (Movement)
Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih penting untuk
menanyakan apakah pasien dapat menggerakkan sendi-sendi di bagian distal
cedera.
d. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan motoris
serta gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia, aksonotmesis atau
neurotmesis. Kelainan saraf yang didapatkan harus dicatat dengan baik karena
dapat menimbulkan masalah asuransi dan tuntutan (klaim) penderita serta
merupakan patokan untuk pengobatan selanjutnya.
Page | 13
3. Pemeriksaan Radiologis
Macam-macam pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan untuk menetapkan
kelainan tulang dan sendi :1,2
a. Foto Polos
Dengan pemeriksaan klinik, sudah dapat mencurigai adanya fraktur.
Walaupun demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan
keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan bidai yang bersifat
radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan
radiologis.
b. CT-Scan
Suatu jenis pemeriksaan untuk melihat lebih detail mengenai bagian tulang
atau sendi, dengan membuat foto irisan lapis demi lapis. Pemeriksaan ini
menggunakan pesawat khusus.
c. MRI
MRI dapat digunakan untuk memeriksa hampir semua tulang, sendi, dan
jaringan lunak. MRI dapat digunakan untuk mengidentifikasi cedera tendon,
ligament, otot, tulang rawan, dan tulang.
Penatalaksanaan
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan
pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing) dan sirkulasi
(circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi,
baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara terperinci. Lakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik secara cepat, singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis.
Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan
yang lebih berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto.1-3
Prinsip Penanganan Fraktur
Prinsip-prinsip tindakan/penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian
fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.3,4
a. Reduksi
Yaitu restorasi fragmen fraktur sehingga didapati posisi yang dapat diterima.
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajarannya dan posisi anatomis normal.
Page | 14
Sasarannya adalah untuk memperbaiki fragmen-fragmen fraktur pada posisi
anatomik normalnya.
Metode untuk reduksi adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi
terbuka. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip
yang mendasarinya tetap sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur
sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya
akibat infiltrasi karena edemadan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi
fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mengalami penyembuhan.
Metode Reduksi
1. Reduksi tertutup, pada kebanyakan kasus reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan “manipulasi dan traksi manual”. Sebelum reduksi dan
imobilisasi, pasien harus dimintakan persetujuan tindakan, analgetik sesuai
ketentuan dan bila diperlukan diberi anesthesia. Ekstremitas dipertahankan
dalam posisi yang diinginkan. Sementara gips, bidai atau alat lain dipasang
oleh dokter. Alat imobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan
ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-X harus dilakukan untuk
mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
2. Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
Macam-macam traksi :
Skin traction : tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur
sehingga fragmen akan kembali ke posisi semula. Beban maksimal 4-5
kg karena bila kelebihan kulit akan lepas.
Skeletal traction : K-wire, Steinmann pin atau Denham pin. Dipasang
pada distal tuberositas tibia (trauma sendi koksea, femur, lutut), pada
tibia atau kalkaneus (fraktur kruris).
3. Reduksis terbuka, pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan
pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk
pin, kawat, sekrup, plat, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan
tulang yang solid terjadi.
Page | 15
b. Imobilisasi
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan.
Sasarannya adalah mempertahankan reduksi di tempatnya sampai terjadi
penyembuhan.
Metode untuk mempertahankan imobilisasi adalah dengan alat-alat “eksternal”
(bebat, brace, case, pen dalam plester, fiksator eksterna, traksi, balutan) dan
alat-alat “internal” (nail, lempeng, sekrup, kawat, batang).
c. Rehabilitasi
- Sasarannya meningkatkan kembali fungsi dan kekuatan normal pada bagian
yang sakit.
- Untuk mempertahankan dan memperbaiki fungsi dengan mempertahankan
reeduksi dan imobilisasi adalah peninggian untuk meminimalkan bengkak,
memantau status neurovaskuler, mengontrol ansietas dan nyeri, latihan
isometric dan pengaturan otot, partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari,
dan melakukan aktivitas kembali secara bertahap dapat memperbaiki
kemandirian fungsi. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan
sesuai batasan terapeutik.
Penyembuhan dan Penyatuan Tulang
Berbeda dengan jaringan lain, tulang dapat sembuh secara sempurna tanpa disertai
pembentukan jaringan parut, disini berbagai faktor berpengaruh, seperti suplai darah dan
posisi dari tulang yang fraktur sendiri, itulah sebabnya memposisikan tulang sedemikian rupa
sangat diperlukan. Penyembuhan tulang terdiri dari beberapa fase, diantaranya :5
1. Fase Kerusakan Jaringan dan Hematoma
Fraktur menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah kecil di dalam
kanalikuli havers, akibatnya terbentuk hematoma yang mengelilingi kedua sisi
fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, kehilangan pasokan darah, mati kembali
untuk satu atau dua millimeter.
2. Fase Radang dan Proliferasi Selular
Dalam waktu 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai
proliferasi sel dibawah periosteum dan di dalam saluran medulla yang tertembus.
Page | 16
Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan sel, yang menghubungkan tempat fraktur.
Hematoma yang membeku perlahan-lahan di absorbsi dan kapiler baru yang halus
berkembang ke dalam daerah itu.
3. Fase Pembentukan Kalus
Sel yang berkembang biak memiliki potensi kondrogenik dan osteogenik, bila
diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan dalam
beberapa keadaan, juga kartilago. Populasi sekarang juga mencakup osteoklas
(mungkin dihasilkan dari pembuluh darah baru) yang mulai membersihkan tulang
yang mati. Massa sel yang tebal, dengan pulau-pulau tulang yang imatur dan
kartilago, membentuk kalus atau bebat pada permukaan periosteal dan endosteal.
Sementara tulang fibrosa yang immature menjadi lebih padat, gerakan pada tempat
fraktur semakin berkurang dan pada 4 minggu setelah cedera fraktur menyatu.
4. Fase Konsolidasi
Bila aktivitas osteoklasik berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi tulang
lamelar. Sistem itu sekarang cukup kaku untuk memungkinkan osteoklas menerobos
melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan dekat di belakangnya osteoblas mengisi
celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses
yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk
membawa beban yang normal. Woven bone akan berubah menjadi lamellar bone,
dimana proses ini berlangsung cukup lama, bisa beberapa bulan hingga terbentuk
kesatuan yang kuat. Kalus primer mulai berubah menjadi kalus intermediate.
5. Fase Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa
bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh resorpsi
dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamella yang lebih tebal diletakkan
pada tempat yang tekanannya tinggi, dinding-dinding yang tidak dibutuhkan dibuang,
rongga sumsum di bentuk. Akhirnya terbentuk proses remodeling untuk merapikan
penyatuan tulang. Bagian yang berlebihan akan diresorpsi oleh osteoclast, sementara
kalus intermediate akan berubah menjadi tulang kompak, lengkap dengan
pembentukan sistem havers dan pembentukan ruang sumsum.
Perbaikan fraktur adalah suatu proses yang terus-menerus. Proses yang terjadi diantaranya :5,6
Penyatuan (union)
Page | 17
Perbaikan yang tidak lengkap, kalus meliputinya akan mengalami kalsifikasi.
Secara klinik tempat fraktur masih sedikit nyeri dan meskipun tulang dapat bergerak
sebagai satu potong tulang (dan dalam arti ini sudah menyatu), usaha menekuknya
akan menimbulkan nyeri. Sinar-X memperlihatkan garis fraktur yang masih jelas
terlihat. Dengan kalus mirip bulu halus di sekitarnya. Perbaikan tidak lengkap dan
tidaklah aman untuk membiarkan tulang yang tidak terlindungi itu menghadapi
tekanan.
Konsolidasi
Perbaikan yang lengkap, kalus berkapur itu mengalami osifikasi. Secara klinik
tempat fraktur tidak nyeri. Fragmen-fragmen tidak dapat bergerak dalam percobaan
angulasi tidak terasa nyeri. Sinar-X memperlihatkan garis fraktur hampir terhapus dan
dijembatani oleh trabekula tulang, dengan kalus yang jelas di sekitarnya. Perbaikan
lengkap dan tidak perlu perlindungan lebih jauh.
Lama waktu pemulihan
Tidak ada jawaban yang tepat untuk mengetahui waktu pemulihan. Tetapi
dapat dilakukan perkiraan yang mendekati dan jadwal Perkins. Fraktur spiral pada
tungkai atas bersatu dalam 3 minggu, untuk konsolidasi kalikan dengan 2 lagi, jadi
untuk fraktur melintangn kalikan dengan 2. Rumus lainnya adalah sebagai berikut :
fraktur spiral pada tungkai atas memakan waktu 6-8 minggu untuk konsolidasi,
tungkai bwah perlu 2x lebih lama. Tambahkan 25% kalau fraktur tidak bersifat spiral
atau kalau fraktur melibatkan femur. Fraktur pada anak-anak, tentu saja akan
menyambung lebih cepat.
Non-union
Kadang-kadang proses normal dalam perbaikan fraktur terhalang dan tulang gagal
menyatu. Penyebab ketidakmampuan menyatu ini adalah : distraksi dan pemisahan
fragmen, interposisi jaringan lunak diantara fragmen-fragmen, terlalu banyak gerakan
pada garis fraktur dan persediaan darah lokal yang buruk.
Proliferasi sel terutama fibroblastic, celah fraktur diisi dengan jaringan fibrosa dan
fragmen tulang tetap dapat bergerak, menciptakan sendi palsu atau pseudoartosis.
Pada beberapa kasus, pembentukan tulang periosteum berlangsung aktif sehingga
tulang yang baru gagal menjembatani celah fraktur, ujung fragmen akan menebal atau
melebar, non-union hipertrofik ini pada akhirnya akan berlanjut ke penyatuan asalkan
Page | 18
fragmen-fragmen tulang dan dipertahankan kurang lebih tidak bergerak hingga terjadi
proses penciptaan jembatan. Pada kasus lain pembentukan tulang tampaknyaberhenti
sama sekali, mengakibatkan non-union atrofikyang tidak akan pernah sembuh kecuali
kalau fragmen-fragmen diimobilisasi dan dicangkok dengan tulang berspon.
Komplikasi fraktur :
komplikasi patah tulang dibagi menjadi komplikasi segera, komplikasi dini, dan komplikasi
lambat. Komplikasi segera terjadi pada saat terjadinya patah tulang atau segera setelahnya,
komplikasi dini terjadi dalam beberapa hari setelah kejadian, dan komlikasi lambat terjadi
lama setelah patah tulang. Ketiganya dibagi lagi masing-masing menjadi komplikasi lokal
dan umum.3,6
a. Komplikasi segera
Lokal
- Kulit dan otot : vulnus (abrasi, laserasi), kontusio, avulsi.
- Vaskular : terputus, kontusio, perdarahan.
- Organ dalam : jantung, paru-paru (pada fraktur costa), buli-buli
(fraktur pelvis).
Umum
- Trauma multipel, syok
b. Komplikasi dini
Lokal
Nekrosis kulit-otot, sindrom kompartemen, thrombosis, infeksi sendi,
osteomielitis.
Umum
ARDS, emboli paru, tetanus.
c. Komplikasi lambat
Lokal
- Tulang : malunion, nonunion, delayed union, osteomielitis, patah
tulang rekuren, gangguan pertumbuhan.
- Sendi : ankilosis, penyakit degeneratif sendi pasca trauma.
- Distrofi refleks
- Kerusakan saraf
Umum
Page | 19
- Batu ginjal (akibat imobilisasi lama di tempat tidur dan hiperkalsemia)
- Neurosis pasca trauma.
DEFINISI AMPUTASI
Trauma amputasi adalah hilangnya bagian tubuh biasanya jari, jari kaki, lengan,
atau kaki yang terjadi sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma. Sebuah amputasi traumatik
dapat melibatkan bagian tubuh, termasuk lengan, tangan, jari tangan, kaki, jari kaki, telinga,
hidung, kelopak mata dan alat kelamin. Anggota tubuh bagian atas termasuk jari-jari (falang),
tangan (metakarpal), pergelangan tangan (carpals), lengan (radius/ulna), lengan atas
(humerus), tulang belikat (tulang belikat) dan tulang kerah (klavikula). Amputasi ekstremitas
lebih dari 65% dari traumatik amputasi, sementara orang yang dapat terlibat dalam amputasi
korban kebanyakan antara usia 15 dan sebagian besar korban 80% adalah laki-laki.7
Etiologi
Trauma adalah penyebab paling sering dari suatu amputasi, cedera terkait pekerjaan,
aktivitas di alam bebas, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kendaraan bermotor dan cedera
terkait pekerjaan. Terdapat suatu insiden yang lebih besar dari hilangnya ekstermitas bawah,
meliputi hampir 10% tindakan amputasi, terutama pada kecelakaan kerja.
Amputasi ekstremitas bawah dapat dilakukan untuk alasan-alasan berikut :8
1. Penyakit vaskular perifer (PVD)
Kebanyakan amputasi dilakukan adalah untuk penyakit iskemik, terutama
pada orang tua dengan diabetes mellitus. Pasien-pasien ini sering mengalami
neuropati perifer yang berkembang menjadi ulkus dan selanjutnya gangren dan
osteomielitis.
2. Trauma
Patah tulang terbuka yang parah (IIIc) dengan cedera pada arteri poplitea dan
nervus tibialis posterior dapat diobati dengan teknik-teknik terkini, namun dengan
biaya yang tinggi, dan beberapa pembedahan diperlukan. Hasilnya sering merupakan
kaki yang terasa sakit, nonfungsional, dan kurang efisien daripada prosthesis.
3. Tumor
Amputasi jarang dilakukan dengan munculnya teknik-teknik penyelamatan
ekstremitas yang semakin maju.
4. Infeksi
Page | 20
Pengobatan sepsis dengan agen vasokonstriktor kadang-kadang dapat
menyebabkan sumbatan pembuluh darah dan selanjutnya dapat menjadi nekrosis,
sehingga perlu amputasi. Di lain waktu, eradikasi sumber infeksi yang sulit
menyebabkan dilakukannya amputasi untuk menghilangkan sumber infeksi tersebut.
5. Defisiensi ekstremitas kongenital (Congenital limb deficiency)
Amputasi karena defisiensi ekstremitas kongenital dilakukan terutama pada
populasi pediatrik karena kegagalan pembentukan tungkai sebagian atau komplit.
Defisiensi ekstremitas kongenital telah diklasifikasikan sebagai longitudinal,
transversal, atau intercalary. Defisiensi radialis atau tibialis disebut sebagai preaxial,
sedangkan defisiensi ulnaris dan fibula disebut sebagai postaxial.
Patofisiologi
Amputasi sendiri bisa diartikan sebagai diskontinuitas jaringan tulang dan otot yang
dapat mengakibatkan terputusnya pembuluh darah dan syaraf serta kehilangan bagian tubuh,
dimana pada terputusnya pembuluh darah dan syaraf ini akan menimbulkan rasa nyeri yang
sering kali berdampak pada resiko terjadinya infeksi pada luka yang ada dan gangguan
mobilitas fisik yang dapat menimbulkan resiko kontraktur fleksi pinggul. Selain disebabkan
oleh nyeri, gangguan mobilitas fisik juga bisa disebabkan oleh kehilangannya bagian tubuh
terutama pada ekstremitas bawah. Kehilangan bagian tubuh juga dapat menimbulkan stress
emosional dikarenakan gangguan psikologis yang disebabkan oleh adanya perubahan dari
struktur tubuh yang berdampak pada timbulnya gangguan citra diri dan penurunan intake
oral. Pada penurunan intaka oral ini biasanya akan menimbulkan resiko kurangnya
pemenuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh dan akan terjadi kelemahan fisik serta resiko
penyembuhan luka yang lambat.7
Jenis-Jenis Amputasi8,9
a. Amputasi selektif atau terencana, amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang
terdiagnosis dan mendapat penanganan yang baik serta terpantau secara terus-menerus.
Amputasi dilakukan sebagai salah satu tindakan alternatif terakhir.
b. Amputasi akibat trauma, ini merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan
tidak terencana. Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta
memperbaiki kondisi umum klien.
Page | 21
c. Amputasi darurat, kegiatan amputasi ini dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan.
Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti trauma dengan
patah tulang multiple dan kerusakan kulit yang luas.
Komplikasi
Komplikasi amputasi meliputi perdarahan, infeksi, dan kerusakan kulit. Karena ada
pembuluh darah besar yang dipotong, dapat terjadi perdarahan masif. Infeksi merupakan
infeksi pada semua pembedahan. Dengan peredaran darah yang buruk atau kontaminasi luka
setelah amputasi traumatika, risiko infeksi meningkat. Penyembuhan luka yang buruk dan
iritasi akibat prostesis dapat menyebabkan kerusakan kulit.7
INDIKASI
Amputasi adalah pengobatan pilihan untuk penyakit pada tungkai dan cedera
ekstremitas bawah yang mana upaya menyelamatkan dan merekonstruksi memerlukan waktu
yang panjang, emosi dan finansial mahal, dan memiliki hasil yang kurang memuaskan.
Indikasi untuk penghapusan ekstremitas mencakup PVD, trauma, tumor, infeksi, dan
anomaly kongenital.1
Meskipun ada peralatan yang lebih aman dan perbaikan dalam operasi
menyelamatkan anggota tubuh telah dilakukan, kehilangan anggota tubuh akibat trauma terus
terjadi karena kecelakaan industri dan kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan ini
melibatkan fraktur terbuka dengan derajat yang lebih tinggi dengan keterlibatan cedera saraf,
kehilangan jaringan lunak, iskemia dan cedera neurovaskular yang unreconstructable. Dalam
kasus ini, mungkin pada awalnya menyelamatkan ekstremitas dapat berhasil, tetapi hanya
akan berakhir pada ujung yang terinfeksi dan menyakitkan pasien yang mempengaruhi
aktivitas kehidupan sehari-hari dan pekerjaannya.
Page | 22
Gambar. MESS Score
KONTRAINDIKASI
Satu-satunya kontraindikasi untuk amputasi adalah kesehatan yang buruk yang
mengganggu kemampuan pasien untuk menerima obat-obat anestesi dan pembedahan.
PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Laboratorium9,10
C-reactive protein (CRP): marker inflamasi ini merupakan indikator terhadap adanya
infeksi. Kadar CRP kurang dari 1,0 mg / L menunjukkan bahwa tidak ada infeksi;
lebih besar dari 8 mg / L menunjukkan infeksi signifikan.
Hemoglobin: hasil pengukuran hemoglobin yang lebih besar dari 10 g / dL
diperlukan. Darah yang banyak mengandung oksigen diperlukan untuk penyembuhan
luka.
Hitung limfosit absolut: Kurang dari 1500/μ/L menunjukkan defisiensi imun dan
peningkatan limfosit kemungkinan infeksi.
Kadar Albumin Serum: kadar 3,5 g / dL atau kurang menunjukkan malnutrisi dan
hilangnya kemampuan untuk penyembuhan luka.
Page | 23
Penatalaksanaan
Penyembuhan dipercepat dengan penanganan lembut terhadap sisa amputasi, pengontrolan
edema, dengan balutan kompres lunak atau rigit dan menggunakan teknik aseptik dalam
perawatan luka untuk meghindari infeksi.11
a. Balutan rigit tertutup, ini sering digunakan untuk mendapat kompresi yang merata,
menyangga jaringan lunak dan mengontrol nyeri dan mencegah kontraktur.
b. Balutan lunak, dengan atau tanpa kompresi dapat digunakan bila diperlukan inspeksi
berkala sesuai kebutuhan. Bidai imobilisasi dapat dibalutkan dengan balutan. Hematoma
(luka) puntung dikontrol dengan alat drainase luka untuk meminimalkan infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
Page | 24
1. R. Sjamsuhidajat R, KarnadihardjaW, Prasetyono TOH, Rudiman R. Buku ajar ilmu
bedah Sjamsuhidajat-de-jong. Edisi ke-3. Jakarta : EGC; 2010. h. 1039-62.
2. Rasjad, Chairuddin. Pengantar ilmu bedah ortopedi. Jakarta : Penerbit PT. Yarsif
Watampone; 2009. h. 82-5, 92-4, 355-64.
3. Apley GA, Solomon L. Buku ajar ortopedi dan fraktur sistem Apley. Edisi ke-7.
Jakarta : Widya Medika ; 2007.
4. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit. Edisi ke-6. Volume ke-2. Jakarta : EGC; 2005. h. 1365.
5. Rasad, Sjahrar. Radiologi Diagnostik. Edisi ke-2. Jakarta : FKUI ; 2006. h. 31
6. James E Keany, MD. Femur fracture. [online]. 2009. [Cited August 10]. Available
from http://emedicine.medscape.com/article/824856-overview#showall
7. Taylor SM, Kalbaugh CA, Blackhurst DW et al. Preoperative clinical factors predict
postoperative functional outcomes after major lower limb amputation: an analysis of
553 consecutive patients. J Vasc Surg 2005; 42: 227-35.
8. Ertl W. Amputations of the Lower Extremity dalam www.emedicine.com. Updated
Maret 2008.
9. Jawaid M, Ali Irfan, Kaimkhani GM. Current indications for major lower limb
Amputations at civil hospital, Karachi. Pakistan Journal of Surgery. Vol 24, issued 4.
2008. p 228-231.
10. Edward A. Athanasian. chapter 121: amputations of the upper extremity. Chapman's
Orthopaedic Surgery, 3rd Edition. 2001 Lippincott Williams & Wilkins. New York.
11. Tooms RE. Amputations. In: Crenshaw AH, ed. Campbell's Operative
Orthopedics. Vol 1. 7th ed. St. Louis, Mo: Mosby-Year Book; 2007:597-637.
Page | 25