Post on 02-Mar-2016
description
pertarungan
Ritel
mugi bentang faatihah
faldi adisajana
Ritel Tradisional vs Modern
Sebuah Jurnal Hasil Studi Pengamatan
Ekstensif Deskriptif di Seputaran Wilayah Jatinangor
BAGIAN I Ver. Juni 2013Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
TTradisonalvs
Modern
Apa yangTerjadi?
Persaingan ritel tradisional, terutama berupa warung, dewasa ini menemui kendalanya akibat goncangan keberadaan ritel mod-ern. Hal tersebut dialami setidaknya oleh banyak warung klon-tong dan kebutuhan tradisional yang berada di Jatinangor. Ter-jadi penurunan keuntungan yang berujung kerugian atas apa
yang mereka dapatkan; dituturkan mereka telah menurun akibat keberadaan ritel modern sejak akhir 2007, kala menjamurnya ritel modern. Melalui jurnal ini, penulis mencoba mengulik dan memberikan solusi yang tepat bagi ritel-ritel tradisional yang berada di sekitaran wilayah Jatinangor dalam peningka-tan daya saing di tengah goncangan menjamurnya ritel-ritel modern.
Jurnal melakukan pengamatan terhadap usaha ritel tradisional
berupa warung klontong
Jurnal ini merupakan hasil pengamtan
ekstensif
Ketidakjelasan regulasi mengenai industri ritel, terutama menyangkut jarak lokasiritel, atau pelanggaran aparat pemer-intah yang memberikan ijin usaha ritel walau melanggaraturan, menambah berat upaya melindungi ritel tradisional.
Foppi mencatat, di seluruh Indone-sia terjadi penyusutan jumlah pasar tradisional sebesar 8% per tahun. Pertumbuhan pasar modern justru sangat tinggi.Pertumbuhan hypermarket bahkan mencapai 70%. (SWA06/XXV/2009).
Tak hanya itu beberapa kalangan pun melihat, keberadaan ritel modern telah menggeser keberadaan ritel tradisional. Ritel tradisional merupakan ritel sederhana dengan tempat yang tidak terlalu luas, barang yang dijual terbatas jenisnya. Sistem manajemen yang sederhana memungkinkan adanya proses tawar menawar harga. Berbeda dengan ritel modern
Persaingan Kedua Ritel Secara Makro
Persaingan dalam industri ri-tel dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu persaingan antara ritel modern dan tradisional, persaingan antar sesama ritel modern, persaingan an-tar sesamaritel tradisional, dan persaingan antar supplier. Diantara keempat jenis per-saingan tersebut, persaingan antara ritel tradisional dan ritel modern paling banyak mengundang perhatian, karena menempat-kan satu pihak(ritel tradisional) dalam po-sisi yang lemah. Sehingga hal ini memaksa semua pihak yang terkait (pelaku ritel, aso-siasi, pemerintah, pakar bisnis ritel) ber-peran aktif bersama-sama menyelesaikan ekses persaingan tersebut. s a l a h satu indikator ketimpangan kekuatan an-tara ritel tradisional dan ritel
modern dapatdilihat dari segi pertumbuhan kedua jenis ritel tersebut.
Foppi mencatat, di selu-ruh Indonesia terjadi penyusutan jumlah pasar tradisional sebesar 8% per tahun. Pertumbuhan pasar modern jus-tru sangat tinggi. Pertumbuhan hypermarket bahkan menca-pai 70%. (SWA06/XXV/2009). Strategi persaingan ritel tradisional den-gan ritel modern dapat dilakukan melaluipenerapan model strategi pengem-bangan menang-menang, yaitu saling menguntungkan atau saling bersinergi.
Apa yang Akan Dibahas?
Bentuk Pasar Apa dalam Ruang Lingkup Ritel TradisionalBagaimana Performa Pasar Ritel Tradisional
Faktor non harga yang Turut Berkecimpung?Pasar input dalam Ritel Tradisional
Kegagalan pasar pada Ritel TradisionalPemerintah dalam Kesejahteraan Ritel Tradisional
Perlindungan Konsumen
Solusi untuk Ritel Tradisional
Jatinangor-
adalah sebuah kawasan di sebelah timur Kota Band-ung, merupakan satu dari 26 Kecamatan yang ada di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat, Indo-nesia. Sebelumnya bernama Kecamatan Cikeruh namun sejak tahun 2000 berganti nama menjadi Kecamatan Jatinangor dengan alasan nama tersebut terasa lebih familiar dan lebih popular dikenal khalayak ramai.
Wilayah Jatinangor memi-liki luas + 26,20 Km2 den-gan karakteristik wilayah perkotaan hampir 80% dari keseluruhan 12 Desa, meli-puti 4 Desa kawasan agraris (Cileles, Cilayung, Jatiroke, Jatimukti), 4 Desa kawasan pendidikan (Hegarmanah, Cikeruh, Sayang, Cibeusi) dan 4 Desa kawasan indus-tri (Cisempur, Cintamulya, Cipacing, Mekargalih).
1Jatinangor merupakan suatu wilayah tempat bermukimnya banyak mahasiswa yang sedang mengenyam pendidikan tinggi di universitas seperti Universitas Padjadjaran dan Insitut Teknologi Bandung. Keberadaan mahasiswa tersebut membuat ritel tradisional, pada awalnya, menjamur dalam mencari ladang penghasilan.
2Ladang penghasilan me-lalui ritel tradisional tersebut merupakan cetusan warga sekitar, pada umumnya, demi menangkap peluang banyaknya mahasiswa. Hingga akhir tahun 2007, ter-dapat lebih 120 ritel tradisional yang hidup bermukim di wilayah Jatinangor.
3Namun kesejahteraan ritel-ritel tradisional tersebut akhir-akhir ini mulai redup akibat kemunculan ritel-ritel modern yang dinilai lebih nyaman dan inovatif dalam menarik para kon-sumen. Selain itu, ritel modern juga menawarkan servis yang cender-ung lebih memuaskan ketimbang ritel tradisional.
Regulasi pemerintah mengenai bisnis ritel berada dalam arus pemikiran sep-erti pada umumnya karena cenderung menggunakan pendekatan yang mem-batasi bisnis ritel hanya pada in-store retailing. Termasuk dalam memberikan batasan mengenai ritel tradisional dan ritel modern. Menandaskan dari Perpres No 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pem-binaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, memberikan batasan pasar tradisionaldan toko modern dalam pasal 1 sebagai berikut:
Pasar Tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemer-intah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan rakyat kecil (swasta) dengan tem-pat usaha berupa warung, toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli ba-rang dagangan melalui tawar menawar.
Toko Modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang se-cara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Department Store, Hyper-market ataupun grosir yang berbentuk Perkulakan. Persaingan antara ritel tradisional dan ritel modern terjadi antara je-nis ritel dalam ukuran yang kurang lebih sama: minimar-ket dengan toko dan kios di sekitarnya; pasartradisional dengan super-market atau hypermarket. Ketiga jenis ritel mod-ern: minimarket, supermar-ket, dan hypermarket, mem-punyai karakteristik yang sama dalam model penjua-lan yaitu dilakukan secara eceran langsung pada kon-sumen akhir dengan cara swalayan, artinya pembeli mengambil sendiri barang dari rak-rak dagangan dan membayar di kasir. Kesamaan lain, ba-rang yang diperdagangkanadalah berbagai macam kebutuhan rumah tangga termasuk kebutuhan sehari-hari.
Persaingan antara ritel
tradisional dan ritel modern
paling banyak mengundang
perhatian, karena selalu
menempatkan pihak ritel
tradisional dalam posisi
yang lemah.
Perbedaan karakteristik
yang berbanding terbalik
semakin memperlemah
posisi ritel
tradisional. Belum lagi, ter-
dapat beberapa kelemahan
ritel tradisional yang tidak
dimiliki oleh ritel modern de-
wasa ini. Jurnal ini mencoba
untuk memberikan bebera-
pa solusi efisien dan efektif demi meningkatkan daya
saing ritel tradisional yang
berada di wilayah seputaran
Jatinangor, terutama pada
warung kebutuhan sehari-
hari, secara Pengamatan
Ekstensif Deskriptif.
Ritel
Abstrak
Mengetahui kelemahan distribusi ritel
modern yang menyebabkan harga
jual lebih mahal, ritel modern
melakukan jalur distribusi me-
lalui dealing dengan peru-
sahaan penghasil produk.
Dealing tersebut bahwa
distributo perusahaan ha-
rus melakukan drop off barangnya melalui ritel
pengumpul milik perusa-
haan ritel modern tersebut.
Dari ritel pengumpul besar ke-
mudian disalurkan ke minimarket
Sistem pengambilan produk seperti
ini dikenal dengan sistem pembelian-putus, di-
mana perusahaan prosen memasok langsung ke-
pada ritel modern melalui distributornya.
Distribusi yang berbelit dan panjang
dalam rantai pasokan produk pada
ritel tradisional menyebabkan
harga barang yang dijajakan ter-
paksa lebih mahal ketimbang
ritel modern. Hal tersebut ter-
jadi karena masing-masing
bagan membutuhkan keun-
tungan ekonomis yang dis-
alurkan melalui harga.
Seorang pelaku usaha warung
harus membeli barang yang su-
dah melalui beberapa tingkatan,
berbeda halnya dengan ritel modern.
Sistem tersebut dikenal dengan sistem
jemput ambil, pelaku usaha mengambil dari
tempat drop off.
Rp
Bentuk Pasar dari alur pasok ritel tradisional berupa: monopsoni pada bagan 1 sampai bagan 3; Oligopoli pada bagan 3 sampai bagai 4 (Refrensi Tersedia)
Bentuk pasar dari alur pasok ritel modern berupa: monopsoni pada semua bagan; atau oligopoli pada bagan 2 ke 3. (Refrensi tersedia)
Alur PasokRitel Tradisional
Alur PasokRitel Modern
DISTRIBUSI MEMAINKAN HARGA
Persaingan ritel tradisional dan ritel modern meliputi baik faktor internal
maupun faktor eksternal. Dalam kajiannya mengenai dampak keberadaan hyper-
market terhadap ritel tradisional, Indef (2007) menggunakan aspek kinerja (faktor
internal) dan aspek preferensi konsumen dan regulasi (faktor eksternal).
Hasil kajiannya menyatakan, kondisi usaha dan kinerja pedagang pasar
tradisional menunjukkan penurunan setelah beroperasinya hypermarket. Ini dian-
taranya menyangkut kinerja: aset, omset, perputaran barang dagangan, dan marjin
harga. Kemudian, analisis preferensi konsumen diterapkan untuk melihat bagaimana
perilaku konsumen dalam menentukan pilihan berbelanja di hypermarket dan pasar
tradisional.
Sedangkan pada aspek regulasi, ditelaah juga peraturan perundang-undan-
gan sektor ritel untuk melengkapi bahan pertimbangan dalam menyusun rekomen-
dasi kebijakan. Aspek preferensi konsumen, biasanya mencakup: 1) human resource,
terkait dengan pelayanan yang diberikan; 2) merchandise, mencakup jumlah produk
yang tersedia,
keanekaragaman jenis produk, dan keanekaragaman merek yang dijual; dan 3)
harga, terutama dalam kaitannya dengan harga yang murah. Pelayanan yang diberi-
kan oleh retailer biasanya merupakan hal utama yang dicermati konsumen, karena
menyangkut hubungan sesama manusia.
Dalam perjalanannya, performa pasar ritel tra-
disional dalam gonjang-ganjing deraan kehadiran ritel
modern rupanya menemui Barrier Point.
Barrier Point tercipta akibat adanya hambatan
internal maupun eksternal. Hambatan eksternal dikait-
kan dengan keberadaan ritel modern yang cenderung
lebih memikat konsumen, sementara barrier point in-
ternal timbul dari ruang lingkup para pelaku ritel tradis-
ional.
Barrier point internal meru-pakan poin pengham-bat yang berasal dari faktor
internal ritel tradisional dalam
geliatnya menghadapi ritel
modern. Menandaskan dari
Tri Joko Utomo, barrier points
internal utama dari ritel tradis-
ional umumnya terdapat pada
kekurangan kualitas Aspek
yang tangibles, pemahaman
terhadap pelanggan, keamana,
kredibilitas, kepercayaan kon-
sumen terhadap para pelaku
ritel tradisional, kompetensi
pelaku usaha ritel tradisional,
responsif para pelaku usaha
ritel tradisional, dan akses
berupa kemudahan bertrans-
aksi dan keberadaan manajer
untuk menyelesaikan masalah.
Ritel tradisional, termasuk di
wilayah Jatinangor, berdasar-
kan pengamatan masih sangat
lemah dalam menanggulangi
barrier points internal tersebut.
Hal tersebut menjadi kendala
utama yang menyebabkan ritel
tradisional kurang bisa bergeli-
at berkembang dalam persain-
gan versus ritel modern.
Tip!
Performa Pasar Ritel Tradisional di Seputaran Jatinangor
Barrier Points Internalturut ambil andil dalam performa pasar ritel tradisional
Dari haril pengamatan,
didapat 2 faktor non
harga yang turut ber-
pengaruh secara nyata bagi ritel
tradisional dalam memasarkan
produknya, faktor tersebut
merupakan faktor branding dan
hospitality dari sisi konsumen.
Dalam perjalanan penjualannya,
ritel modern mengandalkan
kekuatan Faktor Non Harga.
Menandaskan dari jurnal milik
Tri Joko Utomo(2011) yang ber-
judul Persaingan Bisnis Ritel:
Tradisional vs Modern; branding
product merupakan salah satu
senjata utama dari Faktor Non
Harga yang dimanfaatkan oleh
ritel modern dalam pemenuhan
target pasar konsumen.
Branding Product terse-
but adalah satu upaya ritel-ritel
modern, selain dari sisi harga,
dalam memasarkan produknya
di kalangan konsumen. Brand-
ing product, sebagai Faktor
Non-Harga, dapat menarik
para konsumen agar lebih
memilih produk yang dijajakan
pada ritel modern ketimbang
pada ritel tradisional.
Strategi ritel-ritel mod-
ern dalam branding produk-
produk yang dijajakan misalnya,
berupa menghadirkan tagline
unik dengan menggunakan
slogan seperti fresh products
everyday yang menjadi inovasi
baru bagi industri ritel modern.
Kualitas Terjamin, Harga
Murah, menjadi tagline unik
dengan tidak meninggalkan
simbol produk segar setiap
hari yang menjadi brand icon
dalam setiap beriklan dan war-
na kemasan yang merupakan
ciri khasnya ritel-ritel modern.
Dari kajian Indef (2007), dalam hal atribut layanan, yang termasuk prioritas
kedua salah satunya adalah peningkatan pelayanan kepada konsumen
(keramahan). Atribut ini memilikitingkatan prioritas yang sama baik untuk
pasar tradisional maupun hypermarket.
Konsumen menilai bahwa keakraban berbelanja di pasar tradisional yang
sering disuarakan sebagai kelebihan karakteristiknya dibanding
hypermarket tidak menjamin kepuasan konsumen akan segi-segi pelay-
anan berbelanja.
Konsumen semakin mementingkan keramahan-formalistik
dibanding keakraban-normatif sebagai bagian dari ciri-ciri gaya hidup
modern.
Keramahan
Pelayanan
Faktor Non Harga?
1Alur Pasok pada Ritel
Tradisional Berbelit
3Faktor Non-Harga
juga sangat berperan dalam penjualan
2Barrier Points Turut Ambil dalam Ritel
Tradisional
pasar input, kegagalan pasar, peranan pemerintah, danperlindungan konsumen.
Ritel tradisional memainkan
peran sebagai ajang produk-produk ce-
takan produsen menembus konsumen
langsung pakai.
Di kasus ritel tradisional di Jati-
nangor, yaitu warung; para pelaku usaha
warung memasok barang dagangannya
dari grosir-grosir yang berada di wilayah
Tanjungsari. Hal tersebut dinilai karena
wilayah Tanjungsari, yang berada di
barat Sumedang, merupakan wilayah
terdekat bagi para pelaku usaha terse-
but untuk memasok barangnya, se-
hingga biaya transportasi lebih murah
ketimbang memasok dari wilayah Ran-
caekek maupun Ujungberung.
Untuk produk-produk tertentu,
seperti rokok, pemasok dari perusa-
haan memasok produknya kepada wa-
rung dengan mengirimkan kurir motor
sehingga para pelaku usaha warung ti-
dak perlu mengambilnya di toko grosir.
Hal tersebut yang menyebabkan harga
rokok di ritel tradisional relatif sama
dengan di ritel modern
Pasar Input Tradisional vs Modern
KEGAGALAN PASARRitel Tradisional Fenomena Empiris dengan Ritel Modern
Ritel tradisional kerap kali menemu-kan beberapa kega-galan pasar yang tu-rut berujung kepada
kerugian.
Omset, PerPutaran barang dagangan, dan marjin harga, harga; Tambunan dkk (2004) menyatakan, dik-
etahui bahwa beberapa pedagang mempunyai
pendapat yang sama tentang pengaruh ritel mod-
ern terhadap penjualan mereka.
Penurunan pendapatan ini dikarenakan
banyaknya pelanggan mereka yang lebih memilih
berbelanja di ritel modern tersebut daripada belanja
di pasar tradisional.
S t u d i kami di Jatinangor, teridentifikasikan bahwa om-set penjualan pasar tradisional
menurun setelah beroperasinya
hypermarket terutama sejak
periode 2010 awal.
Terdukung Kajian In-
def (2007) yang sama juga
menjelaskan, bahwa dari segi
tingkat keuntungan, terjadi
penurunan marjin harga yang
cukup besar dialami terutama
pedagang tradisional.
Permasalahan utaman-
ya adalah bahwa ritel modern
terutama skala besar sering
menjual produknya dengan
harga jauh lebih rendah daripa-
da harga jual dari produk yang
sama di pasar tradisional.
Tambunan dkk (2004) men-
gungkapkan, dari hasil wawan-
cara tim peneliti dengan Public
Relation Manager Carrefour,
harga yang lebih murah di Car-
refour disebabkan oleh dua hal,
yaitu:
a) Economic of Scale Semakin besar jumlah
yang dibeli dari supplier, sema-
kin besar potongan harga yang
diberikan oleh supplier
tersebut kepada Carrefour.
b) Sistem pembe-lian putus dari produsen Carrefour menetapkan
sistem pembelian putus dari
produsennya. Akibatnya, produ-
sen dapat menekan harga men-
jadi lebih rendah, karena tidak
ada faktor risiko yang harus
mereka tanggung.
Konsumen menduduk-
kan harga yang murah pada
peringkat pertama kepentingan
(paling penting) di antara
sepuluh atribut layanan untuk
semua komoditas di pasar tra-
disional maupun hypermarket.
Sementara pasar tradisional
memiliki keunggulan kompara-
tif dalam atribut-atribut: harga
murah dan harga dapat ditawar.
perpresnomor 112 tahun 2007
perdatentang UKM
permendagnomor 53 tahun 2008
Dalam melaksanakan perlindungan hukum terhadap pedagang pasar tradisional, pemerintah telah
mengeluarkan Peraturan Presiden no-
mor 112 tahun 2007 tentang Penataan
dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pu-
sat Pembelanjaan dan Toko Modern
yang diikuti dengan Peraturan Menteri
Perdagangan RI Nomor 53 Tahun 2008
Tentang Pedoman Penataan dan Pembi-
naan Pasar Tradisional, Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern.
Kedua peraturan tersebut mengatur di-
antaranya adalah tentang zonasi, kemi-
traan dan perizinan serta pembinaan.
Namun, disayangkan bahwa peraturan
tersebut masih bias
sehingga diperlukan instrumen daerah
untuk mengatur lebih detail terutama
terkait dengan zonasi, perizinan dan
pembinaan pasar tradisional.
Dalam rangka Perlindungan hu-
kum pedagang pada pasar tradisional
pemerintah perlu melakukan 2 (dua)
hal yakni Pengendalian dan Pemberday-
aan. Pengendalian dilakukan terhadap
Pasar Modern melalui
kewajiban memilki izin gangguan yang
mensyaratkan zonasi sebagai pertim-
bangan pemberian izin,
sedangkan Pemberdayaan dilakukan
terhadap Pedagang Pasar Tradisional,
melalui program kemitraan,
pendanaan dan peningkatan profesion-
alitas pengelola pasar.
Peranan Pemerintah Dalam UpayaKesejahteraan Ekonomi
Bagi Elemen-Elemen dalam Ritel-ritel Tradisional
iklim persaingan usahaPada Ritel Tradisional
Persaingan ritel tradisional dan ritel mod-ern meliputi baik faktor internal maupun faktor eksternal. Dalam kajiannya mengenai dampak keberadaan hypermarket terha-dap ritel tradisional, Indef (2007) menggunakan aspek kinerja (faktor internal) dan, aspek pref-erensi konsumen dan regulasi (faktor eksternal).
Hasil kajiannya me-nyatakan, kondisi usaha dan kinerja pedagang pasar tradis-ional menunjukkan penurunan setelah beroperasinya hypermar-ket. Ini diantaranya menyangkut kinerja: aset, omset, perputaran barang dagangan, dan marjin harga. Kemudian, analisis pref-erensi konsumen diterapkan un-tuk melihat bagaimana perilaku
konsumen dalam menentukan pilihan berbelanja di hypermar-ket dan pasar tradisional. Sedangkan pada aspek regulasi, ditelaah juga peraturan perundang-undangan sektor ritel untuk melengkapi bahan pertimbangan dalam menyusun rekomendasi kebijakan.
Pelayanan yang diberikan oleh
retailer biasanya merupakan
hal utama yang dicermati konsumen, karena menyangkut hubungan sesama
manusia. Terdapat be-
berapa aspekpelayanan yang dieval-
uasi konsumen, seb-agaimana kesimpulan riset yang dilakukan
Levy dan Barton (1995) di samping ini.
CESS (1998) dalam sebuah penelitian, un-tuk mengungkapkan alasan utama konsumen belanja di pasar modern, menggunakan atribut: 1) Tempat lebih nyaman; 2) Adanya kepastian harga; 3) Merasa bebas untuk memilih dan melihat-lihat; 4) Kualitas
barang lebih terjamin; 5) Kuali-tas barang lebih baik; 6) Jenis barang lebih lengkap; dan 7) Model barang sangat beragam. Dan kenyataannya saat ini, ritel-ritel tradisional di Jati-nangor kalah akan ritel modern dalam hal tersebut. Ritel tradis-ional kurang memiliki tempat yang nyaman ketimbang ritel modern, kurangnya kepastian harga karena tidak adanya patokan harga, pembeli me-nilai cenderung terkekang
saat berbelanja di ritel tradis-ional karena keberadaan pen-jual yang terkesan memelo-toti, kualitas barang yang kurang terjamin, jenis barang yang kurang lengkap, serta model yang tidak beragam. (hasil studi independen pada Juni 2013 pada pen-gamatan atas 10 warung ritel tradisional di seputaran Ja-tinangor; magis minusque)
adakahperlindungan konsumen
pada ritel tradisional?
Perlindungan Konsumen menurut UU No 8 Ta-hun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepas-
tian hukum untukmemberi perlindungan kepada
konsumen. Konsumen sendiri adalah setiap orang
pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, ke-
luarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan
tidakuntukdiperdagangkan. .
Tidak ada satupun regulasi ataupun kode etik tentang perlindungan konsumen yang diisukan oleh para pelaku ritel tradisional berupa warung yang
berada di seputaran wilayah Jatinangor.
Hal tersebut lumrah, karena umumnya para
pelaku usaha tersebut tidak melihat dan tidak men-
ganggap regulasi ataupun kode etik tentang per-
lindungan konsumen tersebut sebagai sesuatu yang
penting bagi kelangsungan usaha mereka. Mereka
juga umumnya menganggap bahwa usaha mereka
hanya ditujukan kepada pangsa pasar konsumen
tingkat mikro seperti mahasiswa, ibu-ibu rumah
tangga, sampai para pejalan kaki; sehingga mereka
tidak melihat regulasi ataupun kode etik tersebut
sebagai suatu keharusan untuk diisukan.
Berbeda halnya dengan ritel-ritel modern yang
sudah memiliki regulasi maupun kode etik tentang
perlindungan konsumen melalui ISO 22000 yang
umumnya sudah dimiliki semua ritel modern yang
berada di seputaran wilayah Jatinangor. Kode etik
tersebut mengharuskan semua elemen yang ada di
dalam sistem ritel modern memprioritaskan perlind-
ungan konsumen dalam pemasaran produknya.
Hal tersebut juga mengindikasikan konsumen
untuk berbelanja di ritel modern dengan rasa yang
lebih nyaman ketimbang di ritel tradisional.
apayang harus dilakukan ritel tradisional dalam meningkatkan daya
saingnya?
Tip! Tip! Tip! Tip!
Nam inum alia adicia Am ipsapid mi, eici Tem
faccum vendaeped.
Nam inum alia adicia Am ipsapid mi, eici Tem
faccum vendaeped.
Nam inum alia adicia Am ipsapid mi, eici Tem
faccum vendaeped.
Nam inum alia adicia Am ipsapid mi, eici Tem
faccum vendaeped.
a). adanya kolaborasi an-tar peritel khusus dalam akses pasar dan serta kolaborasi pemasok dalam mensuplai, produk yang bermutu; b). Peningkatan pelay-anan; c). Mempermudah ak-ses pemberian bantuan pinjaman modal bagi ritel tradisional agar dapat melakukan perluasan bisnis; d) Pemerintah sebaiknya lebih memperhatikan Ritel Tradisional, yaitu dalam hal tempat ber-jualan Ritel Tradisional dan dalam hal perizinan masuknya Ritel Modern; e) Perbaikan infrastruktur yang mencakup kes-ehatan yang layak, ke-bersihan yang memadai, cahaya yang cukup, dan keseluruhan kenyaman-an lingkungan pasar; f) Usaha bersama (dalam bentuk perjanjian kerja) antara pemda dan sektor swasta juga dapat men-jadi solusi terbaik untuk meningkatkan daya sa-ing ritel tradisional;
g) Pemerintah harus menertibkan preman dan pungli atau penarikaniuran gelap yang ada pada ritel tradisional; h) Pemerintah harus menerapkan jarak antara ritel tradisional dan ritel modern yang berjauhan, serta luas usaha Ritel Modern; i) Zonasi, yaitu pem-bagian zona/kawasan untuk jenis ritel tertentu sehingga dapat mence-gah persaingan yang tidak berimbang; j) Perlunya sebuah UU Ritel sebagai kerangka dan landasan bagipemerintah dalam men-gelola sektor ritel mod-ern agar tidak memati-kan ritel tradisional dan memaksimalkan kontri-busi ritel modern pada ekonomi lokal sangat dibutuhkan.
Banyaknya atribut persaingan ritel
tradisional dan ritel modern dengan masing-masing perma-
salahan yang ditimbulkannya,
membutuhkan energi yang besar untuk men-
gurai dan mencarikan solusi pemecahan
Dengan harapan dapat mewakili konklusi seluruh penelitian yang ada, dapat mengacu Syatibi (2008) yang dalam penelitiannya memberikan solusi bagi ritel tradisional dalam meng-hadapi tekanan persaingan ritel modern. Ritel tradisional dapat melakukan strategi bersaing dengan ritel mo-deren melalui penerapan model strategi pengemban-gan menangmenang, sal-ing menguntungkan (saling bersinergi), seperti dalam bentuk:
*all referencesIswandari, Wiwit Purwani. 2012. Perlindungan Hukum bagi Pedagang Pasar Tradisional. Universitas Airlangga: Fakultas Hukum.Utomo, Tri Joko. 2012. Persaingan Bisnis Ritel: Tradisional vs Modern (The Competition of Retail Business: Traditional vs Modern). Pena Fokus Vol 6.
bagian IJuni 2013
Ritel Tradisional vs Modern: Sebuah Jurnal Hasil Studi Pengamatan
Ekstensif Deskriptif di Seputaran Wilayah Jatinangor
Apa Isi Jurnal Ini?Jurnal ini membahas tentang persaingan antara ritel tradisional vs ritel modern yang berada di seputaran wilayah Jatinangor dengan pengamatan ekstensif deskriptif. Jurnal ini merupakan bagian pertama dari beberapa bagian. Solusi untuk me-nambah daya saing ritel tradisional pula disajikan dalam jurnal ini.