Post on 24-Mar-2019
1
Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K)
30 November 2017
Reviews of Implementation of Pharmaceutical Policy at
Healthcare Facilities under Jaminan Kesehatan Nasional
Temuan Tingkat Nasional
2
Menteri Kesehatan untuk:
5. Mengkaji ketersediaan obat dan alat kesehatan bagi Peserta Jaminan Kesehatan Nasional
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan untuk:
….......................................................
6. Meningkatkan jumlah kerjasama dengan apotek yang memenuhi syarat untuk menjamin ketersediaan obat Program Rujuk Balik
dengan penunjukan kerja sama yang transparan sesuai kebutuhan dan kondisi geografis
Instruksi Presiden Republik IndonesiaNomor 8 tahun 2017
TentangOPTIMALISASI PELAKSANAAN PROGRAM
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
4
Sampel Survei: 10 Kabupaten/Kota di 5 Provinsi
Lembaga Pemerintah Pusat:
• Kementerian Kesehatan [Ditjen Falmakes]
• LKPP
Lembaga Pemerintah Daerah:
• Dinas Kesehatan di 10 Kabupaten/Kota, di lima provinsi [Jawa Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua Barat]
Fasilitas Pelayanan Kesehatan:
• Rumah sakit [17 RSUD, 11 RS Swasta]
• FKTP [20 Puskesmas, 9 Klinik]
• Distributor Farmasi [3 di Kantor Pusat, 10 di Kantor Cabang Tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota]
• Apotek [24 di lima provinsi]
Industri Farmasi:
• Perusahaan Farmasi [2 Perusahaan Publik, 1 Perusahaan Swasta]
6
Proporsi Obat Fornasyang belum masuk
dalam e-Catalogadalah 7,6%, di 2016,menunjukkan masih ada sejumlah obat dengan HPS yang kurang menarik
Proporsi obat dalam e-catalogue tanpa e-
purchasing adalah31,9%, di 2016, menunjukkan
ketidaksesuaian RKO.
E-purchasing meningkatmenjadi IDR 6,05 trillliun di tahun 2016, menunjukkan
industri farmasi dan provider beradoptasi dengan sistem
pengadaan ini
7
RKO
• RKO RS >> Dinkes Kab/Kota >> Pemda Kab/Kota
• Dikompilasi oleh Pemda Provinsi >> RKO Nasional [dikompilasi oleh Kementerian Kesehatan]
HPS
• HPS disusun berdasarkan RKO [oleh Kemenkes]
• RKO + HPS >>> Lelang harga >>>>> e-Catalog [oleh LKPP]
e-Purchasing
• RS [Publik] melakukan e-Purchasing ke perusahaan farmasi pemenang lelang dengan harga e-Catalog
• Distributor memenuhi pesanan
Sistem e-Purchasing melalui e-Catalog, 2016
9
2016
• Proporsi e-Purchasing terhadap RKO lebih tinggi dibanding pada 2015, banyak yang >100%
• >>> Sulit bagi industri farmasi untuk memenuhi permintaan.
2016
• Masih ada item obat dengan e-Purchasing sangat rendah, bahkan TANPA e-Purchasing
• >>> Beberapa industri farmasi mengalami kesulitan karena inventory yang menumpuk.
2016
• Ketidaksesuaian antara RKO dan e-Purchasingmengindikasikan bahwa proses penetapan RKO masih perlu ditingkatkan.
e-Purchasing lebih baik, namun belum cukup baik…
11
Sistem dan kelengkapan teknologi informasi [TI], baik di tingkat faskes maupun Dinkes, kurang memadai dan terfragmentasi.
Perlu pengembangan sistem TI yang terintegrasi [baik di tingkat faskes maupun Dinkes] dan peningkatan SDM yang menanganinya.
Data setempat terkait epidemiologi tidak tersedia, sehingga RKO tidak benar-benar didasarkan pada kebutuhan obat sesuai kelas terapinya.
Perlu dilakukan telaah epidemiologis, sehingga RKO memiliki kesesuaian yang baik dengan kebutuhan terapi penyakit yang tinggi prevalensinya.
Fasilitas pelayanan kesehatan, terutama rumah sakit, tidak terbiasa menyusun RKO. Sumberdaya manusia penyusun RKO langka, dan pemahamannya kurang.
Diupayakan peningkatan jumlah maupun kapasitas SDM. Untuk itu perlu dilakukan rekrutmen dan pelatihan bagi tenaga kefarmasian [Apoteker, TTK] yang direkrut.
Mengapa Penetapan RKO Kurang Sesuai?
12
FaskesUntuk RKO tahun mendatang, pada April Faskes wajib memasukkan data RPOB tahun sebelumnya ke Dinkes.
DinkesMengkompilasi RKO dan mengirimkan ke Dinkes di atasnya sampai ke Kemenkes.
KemenkesMengkompilasi RKO dari Dinkes dan RSUP menjadi RKO Nasional [dengan adjustmentterbatas, karena e-Monev belum berjalan optimal].
RKO Faskes = [RPOB x 18] – Inventori
RPOB = rerata pemakaian obat bulanan
Agustus–Oktober, Anggaran untuk Pengadaan Obat
diumumkan.
Mengantisipasi pemangkasan oleh
DPR[D], Faskes mengusulkan RKO lebih
besar dari kebutuhan riil.
Formula Penetapan RKO yang Terlalu Umum
13
Tingginya e-Purchasing sejumlah item obat mengindikasikan diskrepansi yang lebar antara harga obat JKN dan harga obat regular [dan, di sisi lain, harga obat tertentu sangat tinggi].
Karena harga obat JKN sangat ditentukan oleh HPS [yang jadi harga dasar dalam lelang harga e-Catalog], transparansi dan akuntabilitas dalam penetapan HPS perlu ditingkatkan.
7.6% item obat Fornas tidak masuk e-Catalog di tahun 2016 mengindikasikan
masih banyak item obat dengan HPS yang kurang menarik bagi industri farmasi.
HPS bukan hanya ditetapkan berdasarkan volume RKO—tetapi juga mempertimbangkan harga referensi internasional, selain margin yang wajar, inflasi, dan HPS tahun sebelumnya.
Penetapan HPS memang bukan hanya dipengarhi oleh akurasi RKO, tetapi RKO yang terlalu tinggi membuat HPS lebih rendah dari yang seharusnya―dan sebaliknya.
Guna meningkatkan akurasi—dan agar tidak terjadi pemborosan akibat HPS terlalu tinggi—mekanisme dan formula penetapan RKO harus disempurnakan, e-Monev ditingkatkan.
Apakah penetapan HPS Bermasalah ?… Solusinya?
15
• Banyak faskes publik [puskesmas, RSUD] memiliki sumber dana yang beragam [DAK, APBD, kapitasi], dan hanya sedikit yang sudah BLUD (sekitar 300 an)
• >>> Fleksibilitas penggunaan dana pembelian obat kurang.
• Penyediaan obat oleh Dinkes sering tidak sesuai dengan permintaan puskesmas
• >>> Untuk menjamin ketersediaan obat JKN perlu pemanfaatan dana kapitasi secara optimal.
• Aturan tentang pembelian obat menggunakan dana kapitasi kurang jelas di sejumlah daerah, sehingga faskes ragu
• >>> Ketersediaan obat JKN kurang memadai, walau dana untuk pembelian untuk itu tersedia.
Sumber dana beragam, fleksibilitas kurang…
16
Keraguan penggunaan dana kapitasi untuk penyediaan obat JKN di faskes publik di beberapa daerah mengindikasikan belum meratanya dukungan peraturan yang kondusif.
Pemerintah perlu menyediakan peraturan perundang-undangan yang memungkinkan faskes publik memanfaatkan dana kapitasi untuk penyediaan obat JKN secara optimal.
Ketidaktersediaan obat JKN di tengah ketersediaan dana yang memadai mengindikasikan akar permasalahan yang kompleks, terkait peraturan-perundangan yang mendasar.
Pengadaan obat berbasis e-Catalog [secara online maupun manual] seyogyanya diatur sama dengan pembelian biasa, bukan procurement—tak perlu oleh pejabat bersertifikat.
Di kawasan dengan infrastruktur memadai, sumber dana yang didominasi DAK dan APBD memperlebar gap antara kebutuhan dan pemasokan obat JKN di faskes publik.
Agar pembelian obat tepat sasaran, berikan status BLUD ke puskesmas di kawasan dengan infrastruktur memadai; lengkapi dengan peraturan-perundangan yang mendukung.
Dana Cukup, Ketersediaan Obat Kurang… Solusinya? [1]
17
Ketidaktersediaan beberapa item obat yang dipesan oleh faskes mengindikasikan adanya ketidakdisiplinan, baik di tingkat faskes maupun pemasok.
Diberlakukan sistem reward and punishment yang jelas, baik bagi faskes [yang melakukan pemesanan obat berlebihan atau tidak kirim RKO] maupun pemasok [yang cedera janji].
e-Catalog usage ratio yang bervariasi [10% sampai 90%] di faskes publik dan e-Order yang harus dilakukan malam hari mengindikasikan infrastruktur TI yang kurang memadai.
Perlu dikembangkan infrastruktur teknologi informasi [TI], terutama koneksi Internet, yang lebih baik—lebih cepat dan lebih robust, tidak mudah down—terutama di kawasan Timur.
Proses e-Purchasing yang makan waktu—jika untuk isi formulir pemesanan perlu 3 menit per item obat, 100 item saja perlu 5 jam—mengindikasikan adanya kendala administratif.
Agar tidak terlalu makan waktu, proses pemesanan diupayakan sesederhana mungkin, tidak mengharuskan pengisian banyak formulir atau pengisian berulang-ulang.
Dana Cukup, Ketersediaan Obat Kurang… Solusinya? [2]
18
Faskes swasta umumnya masih harus melakukan pemesanan obat JKN secara manual—tidak dapat melakukan e-Purchasing—dan dengan harga lebih tinggi.
Faskes swasta yang berkontrak dengan BPJS Kesehatan harus diperlakukan sama dengan faskes publik, termasuk dalam hal akses pada e-Catalog.
Prinsipal tidak dapat memenuhi pesanan obat dari faskes dengan segera—dan baru sampai tiga bulan setelah e-Catalog tayang.
Pemenang lelang ditetapkan tiga bulan sebelum e-Catalog tayang agar industri farmasi dapat mempersiapkan produksi obat yang 90% lebih bahan bakunya masih harus diimpor.
Ketidaktersediaan obat yang dipesan yang kadang terjadi pada tingkat industri farmasi mengindikasikan adanya kelemahan dalam penetapan pemenang e-Catalog.
Penetapan pemenang lelang e-Catalog didasarkan pada multikriteria termasuk kapasitas pabrikan. Jika LKPP tidak memiliki kompetensi untuk itu, sertakan BPOM yang merupakan otoritas pengawas obat.
Dana Cukup, Ketersediaan Obat Kurang… Solusinya? [3]
20
• Lead time panjang, bahkan pesanan kadang tidak dipenuhi, terutama di kawasan Indonesia Timur
• >>> Adanya kendala infrastruktur transportasi dan skala ekonomi, atau kendala peraturan perundang-undangan.
• Produk obat diterima dalam keadaan cacat, mulai dari blister atau strip yang tidak berisi tablet sampai obat yang telah mengalami perubahan fisik
• >>> Adanya kendala teknis produksi dan/atau distribusi.
• Pembayaran atas klaim obat, oleh rumah sakit maupun apotek PRB, sangat lama
• >>> Adanya kendala administratif, teknis, dan/atau sumberdaya [manusia dan lainnya].
Lead time panjang, pembayaran tersendat…
21
Pesanan berkala dari faskes, terutama di kawasan Indonesia Timur, sering sangat terlambatpengirimannya, bahkan tidak dipenuhi, oleh distributor dengan berbagai alasan.
Persentase fee seyogyanya tidak seragam untuk semua item obat—yang murah dan/atau bulky ditetapkan lebih tinggi. Di sisi lain, faskes belajar melakukan pooling pemesanan.
Lonjakan permintaan beberapa jenis obat tertentu, seperti fenobarbital dan psikitropika lainnya, sulit dipenuhi sehingga rawan terjadi kekosongan.
Peraturan yang membatasi peningkatan impor bahan baku >30% dari jumlah impor pada tahun sebelumnya perlu dipertimbangkan-ulang.
Lead time panjang, 2 sampai 5 bulan, sehingga ketersediaan obat di tingkat faskes terganggu, padahal kebutuhan pasien tidak mungkin ditunda.
Faskes harus melakukan perencanaan pembelian yang baik atau, kalau tidak, harus dapat mencari sumber obat alternatif sehingga pasien tetap memperoleh obat sesuai indikasinya.
Lead time dan Pembayaran Klaim Lama… Solusinya?
22
Secara administratif, proses klaim panjang dan rumit—banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh faskes—dan, di sisi lain, proses verifikasi terkendala SDM dan peralatan.
Proses administratif seyogyanya disederhanakan, tanpa mengurangi asas kehati-hatian sehingga tidak terjadi moral hazard; SDM BPJS-K dan peralatannya dilengkapi.
Pembayaran klaim yang terlambat akan menyebabkan keterlambatan pembayaran oleh faskes ke distributor dan prinsipal, sehingga pemesanan obat selanjutnya tidak dipenuhi.
Guna menghindari ketidaktersediaan obat karena hal ini, pembayaran klaim harus dijamin kelancarannya dan faskes yang tidak memiliki hubungan khusus tidak didiskiriminasi.
Walau tidak ada keluhan terkait efficacy, produk obat yang diterima faskes kadang cacat [blister kosong sebagian] atau telah berubah secara fisik [vitamin C berubah warna].
Dilakukan asesmen pada prinsipal [dalam hal produk obat cacat] dan/atau distributor [dalam hal perubahan fisik], terutama agar hal serupa tidak terulang.
Lead time dan Pembayaran Klaim Lama… Solusinya? [2]
24
Pasar Obat JKN
76 juta penduduk[30% populasi]
122 juta[Tumbuh 60,5%]
256 juta
2013
2014
2019
Sumber: IMS Health; Mandiri Securities
Roadmap to National Health Insurance 2012–2020
2015
142 juta[Tumbuh 16,4%]
2016
172 juta[Tumbuh 21,1%]
25
…..Obat Murah Cenderung Semakin Murah…
1908 3180 6580
167%
207%
0%
50%
100%
150%
200%
250%
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
2014 2015 2016
Da
lam
juta
un
it
Volume PMDN dan Proporsi KenaikanTahun 2014 - 2016
Volume % Kenaikan
Rp1022 Rp2515 Rp4747
246%
189%
0%
50%
100%
150%
200%
250%
300%
Rp0
Rp1000
Rp2000
Rp3000
Rp4000
Rp5000
2014 2015 2016
Da
lam
Mili
yar
Ru
pia
h
Value PMDN dan Proporsi KenaikanTahun 2014 - 2016
Value % Kenaikan
26
…..Obat Mahal Cenderung Bertahan Tinggi…
Rp177Rp793
Rp1312
447%
165%
0%
100%
200%
300%
400%
500%
Rp0
Rp200
Rp400
Rp600
Rp800
Rp1000
Rp1200
Rp1400
2014 2015 2016
Da
lam
Mili
yar
Ru
pia
h
Value PMA dan Proporsi KenaikanTahun 2014 - 2016
Value % Kenaikan
20 54 88
270%162%
0%
50%
100%
150%
200%
250%
300%
0
20
40
60
80
100
2014 2015 2016
Da
lam
juta
un
it
Volume PMA dan Proporsi KenaikanTahun 2014 - 2016
Volume % Kenaikan
27
Harga Rata-rata Satuan Obat
Rp535 Rp791 Rp721
Rp8,808
Rp14,564 Rp14,872
Rp0
Rp4,000
Rp8,000
Rp12,000
Rp16,000
2014 2015 2016
Obat PMDN vs PMA(Nilai Total Pembelian/Volume)
Obat Generik Obat Non-generik
• Harga rata-rata satuan pada obat generik sedikit mengalami penurunan di tahun 2016• Untuk Obat-obatan non-generik harga rata-rata satuan obat stabil tinggi dan mengalami
kenaikan di tahun 2016
28
0.0%
5.0%
10.0%
15.0%
20.0%
25.0%
2014 2015 2016
1.0%1.7% 1.3%
15%
24%22%
Perbandingan Value dan Volume PMA dibandingValue dan Volume TOTAL
Volume Value
• Untuk obat-obatan PMA hanya memiliki volume sekitar 1% dibandingkan dengan total volume obat yang di pesan secara nasional;
• Namun secara harga, obat-obatan PMA berkontribusi sekitar 22% dari total pembelian
29
• Harga cenderung menurun, lebih rendah dibanding di negara ASEAN lain
Produk obat PMDN, umumnya OGB yang “high
volume, low value”
• Harga cenderung stabil tinggi, lebih mahal dibanding di negara ASEAN lain
Produk obat PMA, umumnya obat paten yang
“low volume, high value”
Mengancam Industri dan Sistem JKN…
►
Mengancam keberlangsungan industri farmasi
►
Mengancam langsung keberlanjutan sistem JKN
30DELIVERYPEMBELIAN
Obat [murah]
tertentu hanya
diminati oleh
perusahaan
farmasi tak
bereputasi.
PENDANAANPERENCANAAN
KETERSEDIAAN OBAT
YANG KURANG
MENCUKUPI MELALUI
e-PURCHASING
Faskes, terutama RS, tidak
terbiasa menyusun RKO.
SDM penyusun RKO langka dan
pemahamannya kurang.
Perlu transparansi
dan akuntabilitas
dalam penetapan
HPS.
e-Purchasing harus dilakukan
oleh pejabat bersertifikat
Item obat yang dipesan
kadang tidak tersedia
sehingga harus dilakukan
order secara manual
Faskes swasta
umumnya harus
melakukan order
secara manual
Obat yang
diterima kadang
dalam keadaan
cacat
Proses klaim secara
administratif panjang
dan rumit.
Sistem dan kelengkapan TI kurang
memadai dan terfragmentasi; sistem e-
Monev belum berjalan baik.
PROCUREMENT
Banyak puskesmas
dan RS Publik belum
BLUD, sumber dana
beragam [DUK,
APBD, kapitasi].
Dana kapitasi
sering sulit
dimanfaatkan
untuk pembelian
obat karena tidak
ditunjang aturan
yang jelas.
Proses verifikasi
lambat, makan
waktu
Koneksi Internet
lambat, kadang
“down”
Proses data entry untuk
e-Purchasing makan waktu;
input data obat yang dipesan
harus item demi item dan
e-Order harus dilakukan
berulang-ulang
Lead time panjang,
delivery sering tidak
tepat waktu bahkan
kadang pesanan tidak
terpenuhi.
Sumber: TNP2K Study, 2017
Data setempat terkait
epidemiologi tidak tersedia.
Sistem penetapan RKO tiak akurat
menyebabkan penetapan HPS yang
tidak sesuai
Penetapan harga dan
Pemenang
PEMBAYARAN
Temuan Umum Perencanaan & Pengadaan Obat