Post on 28-Nov-2015
description
1
Perubahan Pola Pada Penyakit Paru
Yang Diinduksi Oleh Asbestos*
Jill Ohar, MD, FCCP; David A. Sterling, PhD; Eugene Bleecker, MD, FCCP; and
James Donohue, MD, FCCP
* From the Departments of Internal Medicine (Dr. Ohar) and Pediatrics (Dr.
Bleecker), Wake Forest University School of Medicine, Winston-Salem, NC; School of
Public Health, and Division of Pulmonary (Dr. Sterling), Critical Care and
Occupational Medicine, Saint Louis University, St. Louis, MO; and Department of
Internal Medicine (Dr. Donohue), University of North Carolina School of Medicine,
Chapel Hill, NC. Dr. Ohar has served as an expert witness for both the defense and
plaintiffs in judicial pleadings for compensation for asbestosinduced diseases.
Financial support was provided by the Selikoff Fund, Saint Louis University.
Manuscript received March 24, 2003; revision accepted July 16, 2003. Reproduction of
this article is prohibited without written permission from the American College of Chest
Physicians (e-mail: permissions@chestnet.org). Correspondence to: Jill Ohar, MD,
FCCP, Wake Forrest School of Medicine, Section of Pulmonary and Critical Care
Medicine, Medical Center Boulevard, Winston-Salem, NC 27157-1054; e-mail:
johar@wfubmc.edu
2
Abstrak
Tujuan Penelitian : Untuk menentukan pola penyakit paru yang diinduksi oleh asbestos
pada orang tua, pekerja yang kurang terpajan.
Disain : Tinjauan dari basis data yang mengevaluasi fungsi paru, status merokok, bentuk
penyakit paru yang diinduksi oleh asbestos dan kelainan radiografi
setting : Klinik rawat jalan
Peserta : Sebanyak 3383 pekerja yang terpapar oleh asbestos dirujuk untuk melakukan
evaluasi medis independen , termasuk subjek kontrol yang tidak memiliki kelainan
radiografi spesifik terhadap asbestos (n = 243), subjek dengan skor menurut persatuan
buruh internasional (International Labour Organization/ILO) yang rendah (n = 2,685),
skor ILO yang tinggi (n = 312), kanker bronkogenik (n = 63) dan mesothelioma
(n = 80). Dari jumlah tersebut, 3,327 pekerja memiliki informasi status merokok yang
spesifik dan 3,312 pekerja memiliki ukuran volume paru.
Intervensi : Radiologi dada diinterpretasikan oleh B-Reader yang bersertifikat dan
kelainanya diukur berdasarkan sistem skoring ILO. Spirometri dan pengukuran volume
paru telah dilakukan. Subjek menyelesaikan self - adminestered kuesioner yang terakhir
pada waktu pemeriksaan. Subjek kontrol disaring pada dua kesempatan terpisah
setidaknya 10 tahun berjauhan untuk meniadakan subklinikal atau progresif lambat pada
penyakit paru yang diinduksi oleh asbestos.
Pengukuran dan hasil : usia rata – rata populasi adalah 65.1 ± 9.9 tahun dan usia
latency adalah 41.4 ± 10,1 tahun (± SD). Sebagian besar subjek (41,8%) memiliki
fungsi paru normal. Obstruksi merupakan kelainan fungsi paru yang paling umum
(25,4%), diikuti dengan restriksi (19,3%) dan pola campuran (6.0%). Sebagian besar
subjek (79,4%) memiliki skor ILO yang rendah. Kelainan jinak pada pleura adalah
temuan satu – satunya terhadap 54% subjek dengan skor ILO yang rendah. Subjek
dengan skor ILO yang tinggi berusia lebih tua, merokok lebih, dan memiliki latency
lebih lama dibandingkan dengan subjek yang memiliki skor ILO rendah dan subjek
kontrol. Perokok muda, memiliki latency lebih pendek dan secara paradoks memiliki
skor ILO lebih besar dibandingkan dengan bukan perokok. Subjek dengan kanker
bronkogenik dan mesothelioma memiliki latency lebih lama. Subjek dengan kanker
bronkogenik dan mesothelioma mempunyai latency yang lebih lama dibandingkan
3
dengan subjek kontrol dan subjek dengan penyakit paru jinak yang diinduksi oleh
asbestos
Kesimpulan : Penyakit paru yang diinduksi oleh asbestos saat ini ditandai oleh nilai ILO
yang rendah, panjangnya latency , penyakit yang lebih besar tingkatanya terdapat pada
perokok , dan pola normal atau obstruktif pada kelainan fungsi paru. evaluasi spirometri
tanpa pengukuran volume paru menyebabkan kesalahan klasifikasi yang mengakibatkan
terlalu tingginya kehadiran pada pola restriksi pada fungsi paru.
(CHEST 2004; 125:744–753)
Kata Kunci : Asbestosis ; penyakit paru obstruktif ; penyakit akibat kerja ; uji fungsi
paru
Singkatan : ILO = International Labor Organization ; ±pp = with or without pleural
plaque; RV = residual volume; TLC = total lung capacity
4
Antara 1940 dan 1979, telah diperkirakan bahwa 40% dari tenaga kerja atau
hampir 27 juta individu telah terpapar asbestos.1, 2 Setelah tahun 1980, keperluan
industri asbestos dibatasi di Amerika oleh peraturan pemerintah. Perkembangan pada
kelainan paru yang diinduksi oleh asbestos berhubungan dengan periode latency antara
waktu pertama kali terpapar dan pada saat penyakit menimbulkan keadaan klinis yang
jelas. Biasanya, efusi pleura bersifat jinak adalah manifestasi pertama yang muncul pada
paparan asbestos, diikuti oleh pleural plaques¸ fibrosis interstisial, kanker bronkogenik
dan mesothelioma. Salah satu dari penyakit paru tersebut yang berhubungan dengan
asbestos dapat menjadi yang pertama dan satu – satunya gejala sisa dari paparan
asbestos yang dapat diperoleh pada pekerja. Oleh karena itu , masa latency yang cukup
lama , seorang pekerja dapat menderita mesothelioma sebagai gejala awal dan satu –
satunya hasil akibat paparan asbestos.
Tingkat perkembangan dan keparahan terhadap penyakit paru yang diinduksi
oleh asbestos berhubungan dengan intensitas paparan (dosis) dan latency. Paparan
asbestos terhadap pekerja saat ini lebih sedikit waktunya dan lebih terbatas
dibandingkan dengan apa yang digambarkan oleh penelitian sebelumnya. Kami
berhipotesis bahwa pola dari penyakit paru yang diinduksi oleh asbestos yang
ditemukan saat ini dapat berbeda dibandingkan dari apa yang diketemukan dalam 2
dekade terakhir. Perubahan pada karakteristik penyakit paru yang diinduksi oleh
asbestos mungkin terjadi karena perbaikan terhadap angka harapan hidup yang
mengarah ke peningkatan periode waktu untuk pengembangan penyakit paru yang
berhubungan dengan asbestos. Pekerja memiliki harapan hidup 16 tahun saat pensiun di
usia 65 tahun dibandingkan 2 dekade lalu yang hanya 17 bulan. Selanjutnya, karena
harapan hidup yang lebih lama, individu yang sudah terdiagnosa memiliki kelainan paru
yang diinduksi oleh asbestos dapat berkembang ke tingkat yang lebih parah atau ke
bentuk penyakit paru yang diinduksi asbestos yang lain seperti asbestosis, kanker
bronkogenik, atau mesothelioma. Bertambahnya jumlah kasus baru untuk penyakit paru
yang diinduksi oleh asbestos harus dapat diantisipasi dalam 2 dekade mendatang
dikarenakan semakin lama semakin besar latency dan umur panjang yang dimiliki oleh
pensiunan.
5
Bahan dan Metode
Untuk menguji hipotesis ini, kami menilai pola penyakit paru yang diinduksi
asbestos dari registri pada pekerja yang terpapar asbestos (n = 3,383) yang dikenal
sebagai registry Sellikoff. Semua pasien dirujuk untuk evaluasi medis independen.
Kriteria yang termasuk dalam evaluasi medis independen yakni dokumentasi tempat
kerja yang terpapar asbestos, waktu yang dilalui dari tanggal paparan pertama kali
(latency) > 10 tahun, dan pola gambaran radiografi dada yang abnormal sesuai dengan
riwayat pemaparan terhadap asbestos. Arahan diambil dari serikat pekerja, iklan di
televisi dan surat kabar. Lebih dari 99% arahan setuju untuk berpartisipasi dalam
registry Selikoff. Subjek diberikan informed consent untuk partisipasi mereka, dan
protokol telah disetujui oleh Badan Review Kelembagaan (Institutional Review Boards)
di Universitas Saint Louis dan Universitas Wake Forest. Sebagai bagian dari proses
rujukan, rontgen dada, test fungsi paru, dan daftar pertanyaan telah dijalankan. Subjek
dikirimi kuesiner rinci untuk penyempurnaan diri sebelum evaluasi mereka demi
mendapatkan informasi tentang riwayat kesehatan, riwayat kesehatan keluarga dan
paparan kerja.
B – Reading dan skor International Labour Organization
Radiografi dada didapatkan dan diinterpretasikan oleh B-reader yang
bersertifikat dan ditinjau oleh penyidik kesehatan (physician investigator) (J.O.) selama
evaluasi subjek. Kelainan pada rontgen dada diukur berdasarkan sistem perhitungan
International Labor Organization (ILO).12 Skor ILO dinyatakan dengan satu digit untuk
memfasilitasi evaluasi statistik (0/0 = 1, 0/1 = 2, 1/0 = 3, 1/1 = 4, etc). Pasien
dikelompokkan dalam tiga kategori radiografi : orang – orang dengan paparan asbestos
dan tidak tampak kelainan radiografi (subjek kontrol) , subjek dengan skor ILO ≥ 0/0
dan < 1/1 dengan atau tanpa plaq pleura (± pp) [low ILO], dan subjek dengan skor ILO
≥ 1/1 ± pp (high ILO). Kelainan pleura hanya dikodekan sebagai ada atau tidak ada.
Subjek yang diklasifikasikan sebagai subjek kontrol karena kurangnya temuan
radiografi direkrut melalui mekanisme yang sama, bekerja pada perusahaan yang sama,
dan bekerja untuk durasi yang sama seperti subjek lainya. Subjek kontrol disaring pada
dua kesempatan terpisah setidaknya dengan jarak 10 tahun untuk menyingkirkan
6
keadaan subklinik atau keadaan progresif lambat pada penyakit paru yang diinduksi
oleh asbestos. Untuk memenuhi syarat sebagai subjek kontrol, pemeriksaan radiografi
dada harus benar – benar terbebas dari kelainan yang diinduksi asbestos pada kedua
kesempatan.
Tes Fungsi Paru
Semua tes fungsi paru dilakukan berdasarkan standar yang diterbitkan oleh
American Thoracic Society.13 sebuah persentase yang kecil pada subjek, terutama pada
mereka yang terdiagnosis kanker paru stadium lanjut atau mesothelioma , tidak dapat
menjalani tes fungsi paru. Pengukuran volume paru diperoleh kecuali jika nilai
spirometri didapatkan normal atau konsisten dengan obstruksi dengan FVC normal
(FVC >80% dan FEV1/FVC < 70%). Subjek dikelompokkan menjadi empat
berdasarkan pola fungsi paru : normal, FVC > 80% nilai prediksi dan FEV1/FVC ≥
70% ; obstruksi , FVC > 80% dan FEV1/FVC < 70%; restriksi FVC ≤ 80% dan
FEV1/FVC ≥ 70%; dan campuran (obstruksi dengan udara yang terperangkap (air
trapping) atau bersamaan dengan restriksi), FVC ≤ 80% nilai prediksi dan FEV1/FVC
< 70%. Kapasitas Total Paru (Total Lung capacity/TLC) digunakan untuk memisahkan
subjek dengan pola campuran terhadap mereka dengan obstruksi disertai peningkatan
volum residual (Residual Volume /RV) yang didefinisikan adanya perangkapan udara,
dari subjek dengan obstruksi dan restriksi bersamaan.
Paparan Terhadap Asbestos dan Kuesioner Riwayat Kesehatan
Kuesioner berisi informasi rinci tentang pekerjaan sebelumnya, riwayat
merokok, dan riwayat kesehatan pribadi dan keluarga. Kuesioner diisi sendiri (self-
adminestered) sebelum dilakukan evaluasi nantinya, dan dokter pemeriksa meninjau
kembali jawaban pada saat pemeriksaan. Subjek diminta untuk mengukur perilaku
penggunaan tembakau mereka sesuai dengan metode merokok (rokok, cerutu, atau
pipa), berapa kemasan perhari, dan usia inisiasi dan penghentian penggunaan tembakau.
Subjek dikelompokkan berdasarkan status merokok yakni tidak pernah merokok, saat
ini merokok dan mantan perokok. Status merokok juga dinyatakan dalam berapa
kemasan pertahun. Subjek diminta untuk membuat daftar pekerjaan semenjak lulus dari
sekolah (nama perusahaan, jabatan dan tugas yang dilakukan). Pertanyaan lain meliputi
7
tahun pertama terpapar asbestos dan apakah mereka pernah bekerja dalam perdagangan
atau di lokasi yang diketahui berhubungan dengan paparan asbestos. Pertanyaan tentang
riwayat kesehatan pribadi meliputi daftar dari semua pengobatan dan rawat inap
termasuk tanggal dirawat/ lama perawatan dan diagnosa. Adanya dyspnea, nyeri dada
dan batuk juga dicatat. Didaptkan juga adakah riwayat penyakit saluran napas lainya
dan adakah kejadian kanker. Subjek dikelompokkan berdasarkan status penyakitnya
pada salah satu kategori berikut : kanker bronkogenik, mesothelioma, skor ILO tinggi,
skor ILO rendah, dan subjek kontrol, masing – masing dari lima kelompok status
penyakit ini terpisahh satu sama lain. Subjek dengan pleural plak yang terisolasi
termasuk dalam kelompik skor ILO rendah.
Subjek ditanyakan tentang umur dan penyebab kematian orang tua dan saudara –
saudara mereka. Diperoleh juga riwayat penyakit kanker dan pernapasan dan pembuluh
darah dan jantung pada keluarga. Pada saat evaluasi, semua jawaban kuesioner dibahas
dan diverifikasi dengan pasien oleh physican investigator (J.O.)
Analisis Statistik
Populasi dibagi menjadi dua cara yang berbeda untuk sebagian besar analisis
yang dilakukan. Untuk menilai efek dari merokok terhadap fungsi paru dan terhadap
perkembangan pada kelainan paru yang diinduksi oleh asbestos, populasi dibagi
berdasarkan status merokok menjadi saat ini, mantan dan tidak pernah merokok. Untuk
menilai faktor lain yang dapat jadi mempengaruhi perkembangan gangguan paru yang
diinduksi asbestos, populasi dibagi berdasarkan status penyakit menjadi lima
kelompok : subjek kontrol, subjek dengan mesothelioma, subjek dengan kanker
bronkogenik, dan subjek dengan skor ILO yang tinggi dan rendah. Variabel kontinu
dievaluasi dengan analisis varians. Uji Fisher-Exact digunakan untuk kategori dengan
dua-dua perbandigan dan Uji Pearson digunakan untuk membandingkan lebih dari
empat sel. Sebuah model regressi digunakan untuk mengidentifikasi efek kombinasi
pada multiple variable seperti latency, variabel fungsi paru, usia dan kemasan per tahun
pada skor ILO. Varians analisis Post hoc menggunakan koreksi Bonferroni : P < 0.05
dianggap signifikan
8
Hasil
Demografi
Usia rata – rata (± SD) dari populasi penelitian adalah 65.1 ± 9.9 tahun (rentang
usia 28 sampai 93 tahun) [ras kulit putih 93% ; jenis kelamin pria 96%]. Enam persen
dari individu – individu adalah ras Africa – America, dan 1% dari mereka
dikateristikkan menjadi ras lain. Hampir dua per tiga dari pekerja dapat diklasifikasikan
menjadi enam gambaran pekerjaan.(gambar 1) Sejumlah kecil subjek memiliki
diagnosis kanker paru (1.9%) atau mesothelioma (2.4%). Orang – orang ini cenderung
lebih tua dibandingkan subjek kontrol dan subjek dengan kelainan radiografi jinak yang
berhubungan dengan asbestos. (tabel 1)
Gambar 1. Subjek dikelompokkan berdasarkan pekerjaan
Skor ILO
Diantara subjek dengan kelainan radiografi diinduksi oleh asbestos yang
teridentifikasi, 79.4% memiliki skor ILO <1/1 ± pp. kelainan pada pleura (plak atau
penebalan pleura difus) adalah satu –satunya kelainan yang ditemukan pada 54% subjek
dengan skor ILO yang rendah. Terdapat plaq pada 80.8% subjek dengan skor ILO yang
rendah dan 57 % pada subjek dengan skor ILO yang tinggi. Kelainan pleura didapatkan
pada 63.3% subjek dengan kanker bronkogenik. Tidak terdapat perbedaan yang
signifikan dalam distribusi skor ILO dalam kategori skor ILO yang tinggi dan skor ILO
9
yang rendah terhadap subjek dengan mesothelioma (masing masing 12 % dan 88%) atau
subjek dengan kanker bronkogenik (masing – masing 14 % dan 86%) dibandingkan
dengan jumlah populasi secara keseluruhan. Subjek dengan skor ILO yang tinggi secara
signifikan lebih tua, merokok lebih banyak, dan mempunyai latency yang lebih
lama(p<0.001) dibandingkan dengan skor ILO rendah dan subjek kontrol (Tabel.1)
FEV1, FVC, dan FEV1/FVC juga lebih rendah pada subjek dengan skor ILO tinggi
dibandingkan dengan subjek dengan skor ILO rendah dan pada subjek dengan skor ILO
rendah dibandingkan dengan subjek kontrol. Skor ILO tidak berhubungan degan TLC
(Tabel 1). Perempuan cenderung memiliki skor ILO tinggi dibandingkan dengan laki –
laki. Dalam model regresi, latency dikoreksi untuk usia, persentase untuk FEV1 nilai
prediksi, dan riwayat merokok dalam kemasan per tahun untuk memprediksi skor ILO.
FEV1/FVC dan persentase FVC nilai prediksi tidak signifikan dalam model regresi
ILO.
Latency
Usia rata – rata terhadap pemaparan pertama asbes (latency) untuk seluruh
populasi adalah 41.4 ± 10.1 tahun. Mereka dengan skor ILO yang tinggi memiliki masa
latency lebih lama dibandingkan mereka dengan skor ILO yang rendah atau subjek
kontrol (p<0.001). Namun, masa latency dari paparan pertama pada subjek dengan skor
ILO yang rendah tidak berbeda secara signifikan dari subjek kontrol. Subjek denggan
mesothelioma dan kanker bronkogenik memiliki periode masa latency lebih lama
dibandingkan dengan subjek kontrol dan subjek dengan skor ILO yang rendah (p <
0.001) tapi tidak terhadap subjek dengan skor ILO yang tinggi
Perilaku Merokok
Mayoritas populasi penelitian (78.2%) merokok pada beberapa waktu dalam
kehidupan mereka, namun , hanya 19 % dari populasi yang masih merokok saat ini pada
saat evaluasi. Sebagian besar subjek yang pernah merokok (73.9%) berhenti pada saat
tahun 1970an. Perokok saat ini secara signifikan lebih muda, dan mempunyai waktu
yang lebih pendek dari saat paparan pertama kali terhadap asbestos sampai munculnya
manifestai penyakit (latency) dibandingkan dengan pendahulunya dan bukan perokok
(Tabel 2). Meskipun memiliki latency yang lebih pendek, perokok saat ini secara
10
signifikan memiliki skor numerik ILO yang lebih besar dibandingkan yang bukan
perokok. Nilai TLC secara paradoks lebih tinggi pada perokok saat ini dibandingkan
dengan mantan perokok dan yang tidak pernah merokok meskipun skor ILO lebih besar
pada perokok saat ini. (p<0.001). Bukan perokok secara signifikan memiliki FEV1 dan
rasio FEV1/FVC lebih besar dibandingkan mantan perokok atau perokok saat ini, dan
FVC yang lebih besar dibandingkan mantan perokok, tapi tidak pada perokok saat ini
(p<0.001). Tidak terdapat perbedaan secara signifikan pada FEV1 dan rasio FEV/FVC
antara perokok saat ini dan mantan perokok. Subjek dengan kanker bronkogenik secara
signifikan merokok lebih banyak dibandingkan dengan subjek kontrol (p<0.001) ,
subjek dengan mesothelioma (p<0.001), subjek dengan skor ILO tinggi (p<0,05), dan
subjek dengan skor ILO rendah (p< 0.001) [Tabel 1]. Subjek dengan skor ILO tinggi
secara signifikan merokok lebih banyak dibandingkan mereka dengan skor ILO rendah.
(p<0.001) [tabel 1]. Subjek dengan mesothelioma merokok lebih sedikit dibandingkan
subjek dengan kanker bronkogenik. (p<0.001)
Fungsi Paru
Sebagian besar subjek mempunyai fungsi paru normal (gambar.2). pada saat
spirometri digunakan untuk menilai fungsi paru tanpa melakukan pengukuran volume
paru, tedapat pola restriktif murni (FVC ≤ 80% nilai prediksi dan FEV1/FVC ≥70%)
pada 23.8% dari seluruh populasi yang pernah terpapar asbestos. Obstruksi aliran udara
terdapat pada 16% dan pola campuran dari obstruksi dan restriksi terdapat pada 18.4%.
terdapat sebuah pemisahan yang jelas ketika subjek di klasifikasikan menjadi pola
kelainan fungsi paru menjadi restriktif dan tidak restriktif berdasarkan persentasi FVC
nilai prediksi (menggunakan > 80% nilai prediksi sebagai nilai normal). Nilai rata – rata
persentase FVC nilai prediksi pada kelompok restriktif adalah 66.2 ± 11.5 % dan 96.5 ±
11.4% untuk kelompok tidak restriksi (gambar 2.). pemisahan ini dipertahankan
bahakan ketika subjek diklasifikasikan berdasarkan status merokok. (gambar 3.)
Evaluasi spirometri tanpa pengukuran volume paru menyebabkan munculnya
jumlah yang berlebihan pada subjek dengan restriksi dan meremehkan mereka dengan
obstruksi. Ketika subjek di klasifikasikan berdasarkan status merokok, obstruksi jalan
napas merupakan pola kelainan paru yang paling sering pada penilaian spirometri
terhadap subjek yang saat ini perokok. Restriksi didominasi oleh mereka yang tidak
11
merokok atau mantan perokok (gambar.4). namun, ketika fungsi paru dinilai dengan
pengukuran volume paru dalam hubunganya dengan evaluasi spirometri , obstruksi
adalah pola kelainan yang paling sering terjadi pada perokok baik saat ini maupun
mantan perokok (Gambar.5). sebagai antisipasi , RV dan rasio RV/TLC meningkat pada
sebagian besar subjek yang memiliki pola campuran pada evaluasi spirometri. Hanya
27% dari perokok dengan obstruksi saluran napas dan FVC yang berkurang memiliki
keadaan restriksi secara bersamaan (TLC ≤ 80% nilai prediksi).
Saat subjek diklasifikasikan berdasarkan status penyakit dan dievaluasi dengan
spirometri dan pengukuran volume paru, obstruksi jalan napas merupakan pola paling
umum yang didapatkan pada kelainan fungsi paru pada seluruh kelompok (ILO rendah,
ILO tinggi, dan kanker bronkogenik). Satu – satunya pengecualian ditemukan pada
subjek dengan mesothelioma (gambar 6). Restriksi merupakan pola lebih umum
didapatkan pada subjek dengan skor ILO tinggi (25.0%) dibandingkan mereka dengan
skor ILO rendah (17.8%) ; namun, obstruksi merupakan kelainan paling umum yang
terdapat pada keduanya. Diantara perokok , tidak terdapat perbedaan yang signifikan
pada derajat obstruksi saluran napas, pengukuran dengan FEV1/FVC dan persentase dari
FEV1 nilai prediksi, saat subjek diklasifikasikan berdasarkan status penyakit (yaitu.
Mesothelioma, kanker paru, Skor ILO tinggi, skor ILO rendah atau subjek kontrol)
meskipun terdapat perbedaan signifikan diantara kelompok ini dalam paparan tembakau
yang diukur dalam kemasan per tahun. Diantara yang tidak merokok, satu – satunya
status penyakit dimana FEV1/FVC berbeda secara nyata (p = 0,025 dengan koreksi
Bonferroni), adalah subjek dengan skor ILO tinggi (72,8 ± 15,2%) dibandingkan dengan
mereka yang memiliki skor ILO rendah (76,2 ± 9,2%). Dalam model regresi, latency
adalah prediktor lemah FEV1/FVC setelah mengontrol usia dan riwayat merokok dalam
kemasan per tahun.
12
13
14
Diskusi
Pada penelitian ini, kami menemukan bahwa sebagian besar subjek memiliki
fungsi paru normal. Saat terdapat kelainan fungsi paru, maka temuan dominan adalah
obstruksi saluran napas. Evaluasi spirometri tanpa pengukuran volume paru
menyebabkan kesalahan dalam klasifikasi pada subjek yang memiliki obstruksi yang
disertai dengan air trapping menjadi bagian dari kelompok dengan pola campuran.
Kesalahan klasifikasi ini mengakibatkan hasil yang terlalu tinggi terhadap kehadiran
restriksi sebagai kelainan fungsi paru dengan menghubungkan sebagai akibat
berkurangnya FVC terhadap obstruksi yang bercampur dengan restriksi bukan karena
obstruksi dengan air trapping.
Karena itu , ketika nilai FVC berkurang, pada sebagian besar subjek, hal tersebut
disebabkan karena peningkatan RV (hiperinflasi) hal tersebut kemungkinan terjadi
karena collapse jalan napas. Hiperinflasi , diukur dengan peningkatan RV dan rasio
RV/TLC menyumbang untuk terjadinya pengurangan FVC pada 83% perokok dan 71%
bukan perokok dengan obstruksi dan pengurangan FVC. Penemuan ini mengkonfirmasi
laporan sebelumnya oleh Harber dan rekan. 14
Sebagian besar subjek yang dievaluasi untuk penyakit paru yang berhubungan
dengan asbestos memiliki skor ILO yang rendah ataupun plak pleura tanpa kelainan
parenkim. Para perokok yang lebih muda, memiliki latency yang lebih pendek dan
secara paradoks memliki skor ILO yang lebih besar dibanding bukan perokok. Hasil ini
mengkonfirmasi laporan sebelumnya bahwa merokok dikaitkan dengan prevalensi yang
lebih besar terhadap konsistensi kekeruhan parenkim (parenchymal opacities consistent)
dengan asbestos diantara pekerja dengan paparan asbes. 15 – 18 Subjek dengan kanker
bronkogenik dan mesothelioma memiliki latency lebih lama dibandingkan subjek
kontrol dan subjek dengan skor ILO tinggi dan rendah. Ketika pasien diklasifikasikan
berdasarkan status penyakitnya, pola kelainan fungsi paru berupa restriksi ditemukan
hanya pada subjek dengan mesothelioma. Pola obstruksi merupakan penemuan pada
sebagian besar subjek dengan kanker bronkogenik dan subjek baik dengan skor ILO
tinggi maupun rendah. Subjek kontrol menunjukkan frekuensi yang rendah baik
terhadap obstruksi (11.8%) dan restriksi (11.8)
15
Terdapatnya pola restriksi telah dilaporkan pada literatur sebelumnya mengenai
asbestosis5,7,8,17,19–24 sama halnya dengan terjadinya penebalan pleura difus tanpa disertai
kelainan parenkim yang diinduksi asbestos. Banyak laporan ini, bagaimanapun,
mengevaluasi sejumlah kecil subjek dan gagal untuk mengukur volume paru; satu
penelitian besar 5 gagal untuk melaporkan FEV1 pada hampir setengah pasien yang
dianalisis. Para pekerja yang dievaluasi pada penelitian tersebut memiliki intensitas dan
durasi terhadap paparan asbestos yang lebih besar, pendeknya latency , lebih muda dan
merokok lebih banyak dibandingkan subjek dalam penelitian ini. Latency, pada laporan
sebelumnya 4,6,7,10,14,16,20,21,26–34 berkisar antara 15 tahun dan 35 tahun. Usia rata – rata
subjek pada penelitian tersebut 6,16,20,21,29,30,35–39 adalah antara 34 tahun dan 62 tahun dan
frekuensi perokok saat ini adalah 21 sampai 73%. Berbeda dengan laporan tersebut,
nilai latency rata – rata pada penelitian ini adalah 41.4 ± 10.1 tahun , dan usia rata –
rata adalah 65.1 ± 9.9 tahun, dan frekuensi dari perokok saat ini adalah 19%.
Pada penelitian lain 4,6,10,14,18,31,40-43 juga dilaporkan bahwa obstruksi merupakan
kelainan pada fungsi paru yang paling dominan pada penyakit paru yang berhubungan
dengan asbestos. Hasil dari penelitian ini, bagaimananapun, telah diperdebatakan karena
jumalah subjek yang kecil.40 – 42 Selanjutnya, definisi standar untuk obstruksi belum
secara keseluruhan diterapakan untuk setiap penelitian ini. Beberapa peneliti 3,8,16,33,34,42,44
16
telah mendeskripsikan obstruksi jalan napas atas dasar FEV1 atau rasionya terhadap
FVC, yang lain berdasarkan laju aliran akhir ( terminal flow rates), laju aliran ekspirasi
pertengahan (mid – expiratory flow rates) atau konduktansi spesifik jalan napas.
Beberapa faktor telah memicu kontroversi mengenai apakah penyakit paru yang
berhubungan dengan asbestos menyebabkan restriksi atau obstruksi jalan napas. 43-45
Faktor – faktor ini termasuk penggunaan tes yang berbeda untuk menilai obstruksi
dengan berbagai tingkatan yang spesifik dan sensitif serta kebingungan dalam
terminologi, kegagalan untuk mengukur volume paru, perbedaan demografi pada subjek
dan pasien yang jumlahnya kecil saat dievaluasi pada penelitian sebelumnya.
Dalam analisis ini pada 3.383 subjek, kami telah menunjukkan bahwa obstruksi
saluran napas lebih umum terjadi daripada restriksi pada individu yang terpajan asbes
yang saat ini menjalani evaluasi. Hasil ini mengkonfirmasi temuan Kilburn dan
colleagues31, 39,40,43 dan mendukung hasil temuan yang berkorelasi terhadap patologis
klinis. Churg et al 46 telah menunjukkan bahwa paparan asbestos mengahasilkan
penyakit pada saluran napas kecil. Selanjutnya, Begin et al41,47 menunjukkan peradangan
peribronkiolar mononuklear dengan menggunakan hewan percobaan domba pada
asbestosis awal, sebagai prekursor terhadap fibrosis peribronkiolar pada saluran napas
bronkiolus dilihat oleh Churg et al 46 pada manusia; mereka mendukung hipotesis bahwa
serat asbestos berdampak pada karina kecil saluran pernapasan. Serat akan difagositosit
oleh makrofag yang akan memulai suatu respons inflamasi yang awalnya akan
menghasilkan bronkitis dan selanjutkan akan menjadi fibrosis peribronkial. Pada
beberapa kasus, respon inflamasi ini meluas ke parenkim paru yang menyebabkan
fibrosis interstisial (asbestosis). Merokok yang menginduksi bronkitis kronik dalam
banyak hal mirip dengan asbestos yang menginduksi bronkitis, dan pada penelitian ini
efek dari paparan kedua asap rokok dan asbes bertindak untuk menginduksi obstruksi
saluran napas. Pada model percobaan dengan hewan48 menunjukkan sinergi antara asap
rokok dan paparan asbestos sebagai penyebab penyakit saluran napas dan penyakit
parenkim paru, kemungkinan karena asap rokok menginduksi pengurangan
pembersihan oleh mukosiliar terhadap serat asbes. Efek sinergis dari paparan asap rokok
dan asbestos yang menginduksi kanker paru cukup dikenal. Mengingat tumpang
tindihnya mekanisme dan demografi dalam induksi kedua kanker paru dan bronkitis
kronik, sinergi yang diamati dalam penelitian ini dapat diantisipasi.
17
18
Fakta bahwa subjek direkrut dari kasus yang legal berdasarkan kelainan
radiografi dapat menimbulkan pertanyaan tentang kemungkinan bias seleksi. Namun,
penelitian ini secara ketat dikontrol dengan menggunakan rekan kerja pada usia yang
sama dengan paparan yang serupa. Mereka ditunjuk sebagai subjek kontrol hanya
setelah ≥ 10 tahun pengamatan yang mengungkapkan bahwa tidak terdapat
perkembangan radiografi yang mengarah ke penyakit paru yang diinduksi asbestos.
Sejak pembuktian bahwa kelainan radiografi yang diinduksi asbestos berhubungan
dengan pemaparan asbestos, 49, maka kelainan radiografi yang diinduksi asbestos
mempersempit populasi yang akan diteliti bagi mereka dengan kemungkinan lebih
tinggi untuk terpapar asbestos dan kemampuan untuk merespons paparan dengan
penyakit paru yang dapat diukur. Selain itu, fakta bahwa subjek memiliki litigasi yang
tertunda meningkatkan perekrutan terhadap penelitian ini terhadap ≥ 1% dari subjek
potensial yang menolak berpartisipasi, dengan demikian menghindari bias seleksi dari
yang bukan partisipan. Penelitian ini bersifat deskriptif, hal tersebut memberikan dasar
untuk gambaran karakterisitik klinis penyakit paru yang diinduksi asbestos di Amerika
Serikat saat ini. Hal ini juga memungkinkan kita untuk mengajukan mekanisme
pertanyaan yang penting tentang penyakit paru yang diinduksi asbestos dan tumpang
tindihnya dengan obstruksi saluran napas. Bukti demografi terhadap penyakit yang
tumpang tindih mendonrong pertanyaan tentang kerentanan genetik yang tumpang
tindih. Area yang belum di jelajahi meliputi potensi kerentanan genetik yang tumpang
tindih terhadap COPD dan penyakit paru yang berhubungan dengan asbestos.
19
REFERENSI
1. Consensus report. Finnish Institute. Asbestos, asbestosis, and cancer: the
Helsinki criteria for diagnosis and attribution. Scand J Work Environ Health
1977; 23:311–316
2. Kamp DW, Weitzman SA. Asbestosis: clinical spectrum and pathogenic
mechanisms. Proc Soc Exp Biol Med 1997; 214:12–26
3. Leathart GL. Pulmonary function tests in asbestos workers. Trans Soc Occup
Med 1968; 18:49–55
4. Pearle J. Exercise performance and functional impairment in asbestos-exposed
workers. Chest 1981; 80:701–705
5. Selikoff IJ, Churg J, Hammond EC. The occurrence of asbestosis among
workers in the United States. Ann N Y Acad Sci 1965; 132:139–155
6. Demers RY, Neale AV, Robins T, et al. Asbestos-related pulmonary disease in
boilermakers. Am J Ind Med 1990; 17:327–339
7. Pavlovic M, Butkovic M, Jezdimirovic D, et al. Pulmonary function in workers
with asbestosis [in Russian]. Arh Hig Rada Toksikol 1988; 19:441–445
8. Miller A, Lilis R, Godbold J, et al. Spirometric impairments in long-term
insulators. Chest 1994; 105:175–182
9. Hillerdale G, Malmberg P, Hemmingsson A. Asbestosrelated lesions of the
pleura: parietal plaques compared to diffuse thickening studied with chest
20
roentgenography, computed tomography, lung function, and gas exchange. Am J
Ind Med 1990; 18:627–639
10. Begin R, Filion R, Ostiguy G. Emphysema in silica- and asbestos-exposed
workers seeking compensation. Chest 1995; 108:647–655
11. Chen C, Chang H, Suo J, et al. Occupational exposure and respiratory morbidity
among asbestos workers in Taiwan. J Formos Med Assoc 1992; 91:1138–1142
12. ILO international classification of radiographs of pneumoconiosis: occupational
safety and health series, No. 22 revised. Geneva, Switzerland: International
Labour Office,1980
13. American Thoracic Society. Standardization of spirometry, 1987 update. Am
Rev Respir Dis 1987; 136:1285–1298
14. Harber P, Tashkin DP, Lew BS, et al. Physiologic categorization of asbestos-
exposed workers. Chest 1987; 92:494–499
15. Miller A. Pulmonary function in asbestosis and asbestos related pleural disease.
Environ Res 1993; 61:1–18
16. Rosenstock L, Barnhart S, Heyer NJ, et al. The relation among pulmonary
function, chest roentgenographic abnormalities, and smoking status in an
asbestos-exposed cohort. Am Rev Respir Dis 1988; 138:272–277
17. Blanc PD, Gamsu G. The effect of cigarette smoking on the detection of small
radiographic opacities in inorganic dust diseases. J Thorac Imaging 1988; 3:51–
56
18. Kilburn KH, Lilis R, Anderson HA, et al. Interaction of asbestos, age, and
cigarette smoking in producing radiographic evidence of diffuse pulmonary
fibrosis. Am J Med 1986; 80:377–381
19. Lerman Y, Seidman H, Gelb S, et al. Spirometric abnormalities among asbestos
insulation workers. J Occup Med 1988; 30:228–233
20. Brodkin CA, Barnhart S, Anderson G, et al. Correlation between respiratory
symptoms and pulmonary function in asbestos-exposed workers. Am Rev Respir
Dis 1993; 148: 32–37
21. Thomson ML, Pelzer AM, Smither WJ. The discriminant value of pulmonary
function test in asbestosis. Ann N Y Acad Sci 1965; 132:421–436
21
22. Bader ME, Bader RA, Selikoff IJ, et al. Pulmonary function in asbestosis of the
lung, an alveolar-capillary block syndrome. Am J Med 1961; 30:235–242
23. Williams R, Hugh-Jones P. The significance of lung function changes in
asbestosis. Thorax 1960; 15:109–119
24. Wright GW. Functional abnormalities of industrial pulmonary fibrosis. Arch
Ind Health 1955; 11:196–203
25. Schwartz DA. New developments in asbestos-induced pleural disease. Chest
1991; 99:191–197
26. Staples CA, Gamsu G, Ray CS, et al. High resolution computed tomography
and lung function in asbestos-exposed workers with normal chest radiographs.
Am Rev Respir Dis 1989; 139:1502–1508
27. Neri S, Boraschi P, Antonelli A, et al. Pulmonary function, smoking habits, and
high resolution computed tomography (HRCT) early abnormalities of lung and
pleural fibrosis in shipyard workers exposed to asbestos. Am J Ind Med 1996;
30:588–595
28. Miller A, Lilis R, Godbold J, et al. Relationship of pulmonary function to
radiographic interstitial fibrosis in 2,611 long-term asbestos insulators. Am Rev
Respir Dis 1992; 145:263–270
29. Kilburn KH, Warshaw RH. Difficulties of attribution of effect in workers
exposed to fiberglass and asbestos. Am J Ind Med 1991; 20:745–751
30. Samet JM, Epler GR, Gaensler EA, et al. Absence of synergism between
exposure to asbestos and cigarette smoking in asbestosis. Am Rev Respir Dis
1979; 120:75–82
31. Kilburn KH, Warshaw RH. Airway obstruction in asbestosexposed shipyard
workers: with and without irregular opacities. Respir Med 1990; 81:449–455
32. Rom WN. Accelerated loss of lung function and alveolitis in a longitudinal
study of non-smoking individuals with occupational exposure to asbestos. Am J
Ind Med 1992; 21:835–844
33. Cohen BM, Adasczik A, Cohen EM. Small airways changes in workers exposed
to asbestos. Respiration 1984; 45:296–302
22
34. Begin R, Boileau R, Peloquin S. Asbestos exposure, cigarette smoking, and
airflow limitation in long-term Canadian chrysotile miners and millers. Am J Ind
Med 1987; 11:55–66
35. Wang X, Yano E, Nonaka K, et al. Respiratory impairments due to dust
exposure: a comparative study among workers exposed to silica, asbestos, and
coal mine dust. Am J Ind Med 1997; 31:495–502
36. Glencross PM, Weinberg JM, Ibrahim JG, et al. Loss of lung function among
sheet metal workers: ten-year study. Am J Ind Med 1997; 32:460–466
37. Wang X, Christiani DC. Respiratory symptoms and functional status in workers
exposed to silica, asbestos, and coal mine dusts. J Occup Environ Med 2000;
42:1076–1084
38. Fournier-Massey G, Becklake MR. Pulmonary function profiles in Quebec
asbestos workers. Bull Physiopathol Respir (Nancy) 1975; 11:429–445
39. Kilburn KH, Warshaw RH. Abnormal pulmonary function associated with
diaphragmatic pleural plaques due to exposure to asbestos. Br J Ind Med 1990;
47:611–614
40. Kilburn KH, Warshaw RH, Einstein K, et al. Airway disease in non-smoking
asbestos workers. Arch Environ Health 1985; 40:293–295
41. Begin R, Cantin A, Berthiaume Y, et al. Airway function in lifetime-
nonsmoking older asbestos workers. Am J Med 1983; 75:631–638
42. Rodriguez-Roisin R, Merchant JEM, Cochrane GM, et al. Maximal expiratory
flow volume curves in workers exposed to asbestos. Respiration 1980;
39:158–165
43. Kilburn KH, Warshaw RH. Airways obstruction from asbestos exposure. Chest
1994; 106:1061–1070
44. Kilburn KH, Warshaw RH. Airways obstruction from asbestos exposure and
asbestosis revisited. Chest 1995; 107:1730– 1731
45. Jones RN, Glindmeyer HW III, Engr D, et al. Review of the Kilburn and
Warshaw Chest article: airways obstruction from asbestos exposure. Chest 1995;
107:1727–1729
46. Churg A, Wright JL, Wiggs B, et al. Small airways disease and mineral dust
exposure. Am Rev Respir Dis 1985; 131:139 – 143
23
47. Begin R, Masse S, Bureau MA. Morphologic features and function of the
airways in early asbestosis in the sheep model. Am Rev Respir Dis 1982;
126:870–876
48. Tron V, Wright JL, Harrison N, et al. Cigarette smoke makes airway and early
parenchymal asbestos-induced lung disease worse in the guinea pig. Am Rev
Respir Dis 1987; 136:271– 275
49. Rockoff SD, Schwartz A. Roentgenographic underestimation of early asbestosis
by international labor organization classification. Chest 1988; 93:1088–1091