Post on 29-Dec-2014
description
zPREEKLAMSIA BERAT DENGAN SINDROMA HELLP
DEFINISI 2,3
Preeklamsia adalah peningkatan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg panda
kehamilan > 20 minggu disertai proteinuria dan atau tanpa oedem.
Preeklampsia merupakan suatu sindroma yang berhubungan dengan
vasospasme, peningkatan resistensi pembuluh darah perifer, dan penurunan
perfusi organ. Umumnya terjadi pada triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat pula
terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa. Komplikasi yang tejadi
termasuk: eklampsia, HELLP Syndrome, edema paru, gagal ginjal, DIC, krisis
hipertensi, encephalopathy hypertension, dan buta kortikal.
Preeklamsia berat adalah preeklamsia dengan salah satu atau lebih gejala &
tanda berikut:
1. Tekanan darah dalam keadaan istirahat desakan sistolik ≥ 160 mmHg
dan desakan diastolik ≥ 110 mmHg
2. Proteinuria ≥ 5 gr / jumlah urin 24 jam, atau dipstick : +4
3. Oligouria: produksi urin < 400-500 cc/ 24 jam
4. Kenaikan kreatinin serum
5. Edema paru dan cyanosis
6. Nyeri epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan abdomen : disebabkan
teregangnya kapsula glisone, nyeri dapat sebagai gejala ruptur hepar
7. Gangguan otak dan visus : perubahan kesadarn, nyeri kepala, scotoma,
dan pandangan kabur
8. Gangguan fungsi hepar : peningkatan alanin atau aspartat amino
transferase
9. Hemolisis mikroangiopati
10. Trombositopenia : < 100.000 sel/mm3
11. Sindroma HELLP
1
Hipertensi biasanya muncul terlebih dulu dari tanda-tanda yang
lainnya. (1,4) Hipertensi merupakan timbulnya desakan darah sistolik ≥ 140
mmHg dan diastolik ≥ 90 mmHg, diukur dua kali selang 4 jam setelah
penderita istirahat. (5)
Edema adalah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan
dalam jaringan tubuh, diketahuinya dari kenaikan berat badan serta
pembengkakan kaki, jari tangan, dan wajah. Kenaikan berat badan ½
kg/minggu dalam kehamilan masih dianggap normal, tetapi bila kenaikan 1
kg/minggu beberapa kali, hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan terhadap
timbulnya preeklampsia. (1,4) Edema tungkai tidak dipakai lagi sebagai kriteria
hipertensi dalam kehamilan, kecuali edema anasarka. (2,3,5)
Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam urin yang melebihi 0,3
g/liter dalam air kencing 24 jam, atau pemeriksaan kualitatif menunjukan +1
atau +2 atau 1 g liter atau lebih dalam urin yang dikeluarkan kateter atau
midstream yang diambil minimal dua kali dengan jarak waktu 6 jam. (1,4,5)
Biasanya proteinuria timbul lebih lambat daripada hipertensi dan kenaikan
berat badan, karena itu harus dianggap sebagai tanda yang serius.
Terminologi HELLP diperkenalkan pertama sekali oleh Weinstein (1982)
yang merupakan singkatan dari hemolisis, elevated liver enzim dan low platelets
counts. Sindrome ini merupakan kumpulan dari gejala multisistem pada PE
berat dan eklamsi dengan karakteristik trombositopenia, hemolisis
(anemia hemolisis mikro angiopatik) dan sistem hepar abnormal
Sibai (1986), melaporkan 4-14 % penderita PE berat
mengalami Sindroma HELLP. Sindroma ini juga dapat muncul pads PE
ringan. Sindroma HELLP selalu dianggap sebagai varian dari PE tetapi
sindroma ini juga dapat berdiri sendiri.
Definisi dari sindroma HELLP masih kontroversi. Menurut
Godlin (1982) Sindroma HELLP merupakan bentuk awal dari PE berat.
Weinstein (1982) melaporkan Sindroma HELLP merupakan varian yang
unik dari PE, tetapi Mackenna dkk (1983) melaporkan bahwa sindroma
ini tidak berhubungan dengan PE. Di lain pihak banyak penulis melaporkan
bahwa sindroma HELLP merupakan bentuk lain dari Disseminated
Intravascular Coagulat ion (DIC) yang ter lewatkan karena proses
pemeriksaan laboratorium yang tidak adekuat.
2
INSIDENSI
Insidensi preeklamsia dan eklamsia berkisar 4-9 %,dimana 3-7 % terjadi
panda nullipara dan 0,8–5 % panda multipara.angka kiejadian preklamsia di
indonesia berkisar 3-10%. Di Medan penelitian terakhir oleh Girsang ES (2004)
melaporkan angka kejadian preeklamsia berat periode 2000-2003 adalah 5,94%.
Sampai saat ini insidens Sindroma HELLP belum diketahui dengan pasti.
Hal ini disebabkan sindroma ini sulit diduga serta gambaran klinisnya mirip
dengan penyakit non obstetri.
Menurut Sibai (1964) angka kejadian Sindroma HELLP berkisar
antara 4 s/d 14% dari seluruh penderita PE berat, sedangkan angka
kejadian Sindroma HELLP pads seluruh kehamilan adalah 0,2 – 0,6%.
Dalam laporan Sibai dkk (1986), pasien sindrom HELLP secara
bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan pasien
preeklampsi-eklampsi tanpa sindrom HELLP (rata-rata umur 19 tahun).
Insiden sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi kulit putih dan multipara.
Penulis lain juga mempunyai observasi serupa (Mc Kenna, Dover clan Brame
1983, Thiagarajah dkk 1984, Weinstein 1985). Sindrom ini biasanya muncul pada
trimester ke tiga, walaupun pada 11% pasien muncul pada umur kehamilan <27
minggu; di mass antepartum pada sekitar 69% pasien dan di masa postpartum
pada sekitar 31 %. Pada masa post partum, saat terjadinya khas, dalam waktu
48 jam pertama post partum.
Faktor risiko
Sindroma HELLP Preeklampsi
Multipara Nullipara
Usia ibu > 25 tahun Usia ibu < 20 tahun atau > 40
Tahun
Ras kulit putih Riwayat keluarga preeklampsi
Riwayat keluaran Asuhan mental (ANC) yang
kehamilan yang jelek Minimal
Diabetes Melitus
Hipertensi Kronik
Kehamilan multiple
3
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI1,7,11
Preklamsia adalah disease of theory. Hingga kini tidak satupun teori
yang dapat menerangkan secara sempurna patofisiologi preklamsia, namun
diantaranya adalah : iskemia plasenta, faktor imunologi, genetik, perbandingan
(ratio) VLDL dan TXPA yang toxis, kegagalan invasi trofoblast terhadap arteri
spiralis hingga menyebabkan arteri spiralis tidak dapat berdilatasi sempurna
sehingga menurunkan aliran darah ke plasenta. Hal ini kemudian menyebabkan
stress oksidasi, peningkatan radikal bebas, disfungsi endothel, agregasi, dan
penumpukan trombosit panda berbagai organ.
B a n y a k t e o r i y a n g d i k e m b a n g k a n d a r i d u l u h i n g g a
s e k a r a n g u n t u k mengungkapkan patogenesis dari PE, namun
dalam dekade terakhir ini perhatian terfokus pads aktivasi atau
disfungsi dari sel endotel. Tetapi spa penyebab perubahan sel endotel
ini belum diketahui dengan pasti. Saat ini ads 4 hipotesis yang
sedang diteliti untuk mengungkapkan etiologi dari PE, yaitu: iskemia placenta,
Very Low Density Lipoprotein versus aktivitas pertahanan toksisitas,
maladaptasi imun dan penyakit genetik.
Teori yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal-hal tersebut:
1. Sebab bertambahnya frekuensi pada primigravida, kehamilan ganda,
hidramnion, dan mola hidatidosa.
2. Sebab bertambahnya frekuensi pada bertambahnya usia kehamilan.
3. Sebab dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian
janin dalam uterus.
4. Sebab jarangnya kejadian-kejadian preeklampsia pada kehamilan-
kehamilan berikutnya.
5. Sebab timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma.
Yang ditemukan pada penyakit multisistem ini adalah kelainan tonus
vaskuler, vasospasme, dan kelainan koagulasi. Sampai sekarang tidak
ditemukan faktor pencetusnya. Sindroma HELLP ini merupakan manifestasi
akhir dari hasil kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi dari trombosit
intravaskuler akibatnya terjadi vasospasme, aglutinasi dan agregasi trombosit
dan selanjutnya terjadi kerusakan endotel
4
Adanya kegagalan invasi dari trofoblas dari trimester kedua dalam
menginvasi tunika muskularis arteri spiralis, menyebabkan vasokonstriksi arterial
pada bagian uteroplasenta. Kegagalan ini disebabkan oleh gagalnya sel-sel
trofoblas dalam mengekspresikan integrin yang merupakan "molekul perekat"
(adhesion molecules) atau kegagalan Vasculare Endothelial Growth Factor
(VEGF) dalam mengekspresikan integrin,
Keadaan ini menyebabkan penurunan aliran darah intervilus, hipoksia
dan akhirnya terjadi kerusakan sel endotel ibu dan janin. Selanjutnya
mengakibatkan efek terhambatnya pertumbuhan janin intrauterin (PJT). Akibat
kerusakan dari endotel ini terjadi pelepasan zat-zat vasoaktif dimana tromboksan
(TXA2) meningkat dibandingkan dengan prostasiklin (Pgl2)-
Adanya perubahan respon imun ibu terhadap trofoblas akibat dari
perubahan "polymorphism" HLA-G (human leucocyte antigens-G) terhadap
trofoblas, menyebabkan terjadinya proses imunologis. Hal ini mengakibatkan
terjadinya gangguan pertumbuhan dan invasi dari trofoblas. Proses imunologis
akibat perubahan respon imun ibu juga mempengaruhi terjadinya kerusakan sel
endotel.
Pada akhirnya terjadilah gangguan sirkulasi sistemik dan gangguan
organ-organ tubuh. Pada Sindroma HELLP, hepar mengalami perubahan berupa
nekrosis parenkhim periportal yang disertai dengan deposit hialin yang besar dari
bahan seperti fibrin yang terdapat pada sinusoid. Pada penelitian dengan
imunofluorescen dijumpai mikrotrombi fibrin dan deposit fibrinogen pada sinusoid
dan daerah hepatoselluler yang nekrosis. Adanya mikrotrombi dan deposit fibrin
pads sinusoid tersebut menyebabkan obstruksi aliran darah di hepar yang
merupakan dasar terjadinya peningkatan enzim hepar dan nyeri perut kanan
atas. Obstruksi ini menyebabkan nekrosis periportal dan pads kasus yang berat
dapat terjadi perdarahan intrahepatik, hematom subkapsular atau ruptur hati.
Nekrosis periportal dan perdarahan merupakan gambaran histopatologik yang
paling sering ditemukan.
Pada Sindroma HELLP sel darah merah mengalami perubahan komposisi
pada membran sel sehingga lebih fragil. Passase sel darah merah ini pada
pembuluh darah yang spasme dan mengalami kerusakan endotel serta agregasi
trombosit menyebabkan sel darah merah berubah bentuk dan mudah menjadi
lisis. Pada sediaan apes darah tepi ditemukan spherocytes, schistocytes,
5
triangular cells dan burr cells Jadi hemolisis pads Sindroma HELLP terjadi karena
proses mikroangiopati yang merupakan tanda khas sindroma ini.
Trombositopeni ditandai dengan peningkatan pemakaian dan/atau
destruksi trombosit. Banyak penulis tidak menganggap sindrom HELLP sebagai
suatu variasi dari disseminated intravascular coagulopathy (DIC), karena nilai
parameter koagulasi seperti waktu prothrombin (PT), waktu parsial
thromboplastin (PTT), dan serum fibrinogen normal. Secara klinis sulit
mendiagnosis DIC kecuali menggunakan tes antitrombin III, fibrinopeptide-A,
fibrin monomer, D-Dimer, α2 antiplasmin, plasminogen, prekallikrein, dan
fibronectin. Namun tes ini memerlukan waktu dan tidak digunakan secara rutin.
Sibai dkk, mendefinisikan DIC dengan adanya trombositopeni, kadar fibrinogen
rendah (fibrinogen plasma < 300 mg/dl) dan fibrin split product > 40 g/m 1 2 .
Semua pasien sindrom HELLP mungkin mempunyai kelainan dasar koagulopati
yang biasanya tidak terdeteksi.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Gejala yang paling sering dijumpai adalah nyeri pada daerah epigastrium
atau kuadran kanan atas (90%), nyeri kepala, malaise sampai beberapa hari
sebelum dibawa ke rumah sakit (90%), serta mual dan muntah (45 – 86%).1,4
Penambahan berat badan dan edema (60%), hipertensi tidak dijumpai
sekitar 20% kasus, hipertensi ringan (30%) dan hipertensi berat (50%).
Pada beberapa kasus dijumpai hepatomegali, kejang-kejang, jaundice,
perdarahan gastrointestinal dan perdarahan gusi. Sangat jarang dijumpai
hipoglikemi, koma, hiponatremia, gangguan mental, buta kortikal, dan diabetes
insipidus yang nefrogenik. Edema pulmonum dan gaga) ginjal akut biasa
dijumpai pads kasus Sindroma HELLP yang onsetnya postpartum atau
antepartum yang ditangani secara konservatif. 1,4
Dalam laporan Weinstein, mual atau muntah dan nyeri epigastrium
diperkirakan akibat obstruksi aliran darah di sinusoid hati, yang dihambat oleh
deposit fibrin intravaskuler. Pasien sindrom HELLP biasanya menunjukkan
peningkatan berat badan yang bermakna dengan edema menyeluruh. Hal yang
penting adalah bahwa hipertensi berat (sistolik z 160 mmHg, diastolik > 110
mmHg) tidak selalu ditemukan. Walaupun 66% dari 112 pasien pads penelitian
Sibai dkk (1986) mempunyai tekanan darah diastolik > 110 mmHg, 14,5%
6
bertekanan darah diastolik < 90 mmHg.
Dalam laporan awal Weinstein (1952) atas 29 pasien, kurang dari
setengah (13 pasien) mempunyai tekanan darah saat masuk rumah sakit a
160/110 mmHg. Jadi sindrom HELLP dapat timbul dengan tanda dan gejala yang
sangat bervariasi, yang tidak bernilai diagnosis, dan dapat diikuti dengan
kesalahan pemberian obat dan pembedahan seperti apendisitis, gastroenteritis,
glomerulonefritis, pielonefritis dan hepatitis virus.
Pemeriksaan laboratorium pada Sindroma HELLP sangat diperlukan,
karena diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium. Walaupun saat ini
belum ada batasan yang tegas mengenai nilai batas untuk masing-masing
parameter. Hal ini terlihat dari banyaknya penelitian terhadap Sindroma HELLP
yang bertujuan untuk membuat suatu keputusan nilai batas dari masing-masing
parameter.
KLASIFIKASI: 1,2,7
1. Klasifikasi Missisippi
Klas I : Thrombosit ≤ 50.000 / ml
Serum LDH ≥ 600.000 IU / l
AST dan / atau ALT ≥ 40 IU / l
Klas II : Thrombosit > 50.000 / ml sampai ≤ 100.000 / ml
Serum LDH ≥ 600.000 IU / l
AST dan / atau ALT ≥ 40 IU / l
Klas III : Thrombosit > 100.000 / ml sampai ≤ 150.000 / ml
Serum LDH ≥ 600.000 IU / l
AST dan / atau ALT ≥ 40 IU / l
2. Klasifikasi Tennesse
Klas Lengkap : Thrombosit < 100.000 / ml
LDH ≥ 600.000 IU / l
AST ≥ 70 IU / l
Klas tidak lengkap :
Bila ditemukan hanya satu atau dua tanda – tanda diatas.
7
DIAGNOSIS
Tiga kelainan utama pada sindrom HELLP berupa hemolisis, peningkatan
kadar enzim hati dan jumlah trombosit yang rendah. Banyak penulis mendukung
nilai laktat dehidrogenase (LDH) dan bilirubin agar diperhitungkan dalam
mendiagnosis hemolisis. Derajat kelainan enzim hati harus didefinisikan dalam
nilai standar deviasi tertentu dan nilai normal di masing-masing rumah sakit. Di
University of Tennessee, Memphis, digunakan nilai potong > 3 SD.(1)
DIAGNOSIS BANDING
Pasien sindrom HELLP dapat menunjukkan tanda dan gejala yang sangat
bervariasi, yang tidak bernilai diagnostik pads preeklampsi berat. Akibatnya
terjadi salah diagnosis, diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan
pembedahan. Diagnosis banding pasien sindrom HELLP meliputi:
- Perlemakan hati akut dalam kehamilan
- Apendistis
- Gastroenteritis
- Kolesistitis - Batu ginjal - Pielonefritis
- Ulkus peptikum
- Glomerulonefritis trombositopeni idiopatik
- Trombositipeni purpura trombotik
- Sindrom hemolitik uremia
- Ensefalopati dengan berbagai etiologi
- Sistemik lupus eritematosus (SLE)
PENATALAKSANAAN 1,2,8.9
Tata laksana PEB yang disertai sindroma HELLP sampai saat ini masih
kontroversi. Satu-satunya pengobatan definitif masih dengan melahirkan bayi.
Durig menyebutkan management konservatif panda Sindroma HELLP tidak
dianjurkan karena belum tervalidasi oleh penelitian prospektif. Curtin Dkk,
melaporkan mortalitas perinatal terndah ditemukan panda pasien yang diterapi
agresif yang dilahirkan segera. Gardeil dkk, menyebutkan tatalaksana
konservatif bukan pilihan yang baik bila Sindroma HELLP terjadi jauh dari umur
kehamilan yang viable untuk janin.
8
Prinsip penatalaksanaan
1. Penanganan dimulai sebagaimana penanganan pada PE berat.
2. Adanya Sindroma HELLP bukan merupakan indikasi untuk segera
melakukan seksio sesaria. Stabilisasi ibu adalah prioritas utama
Pengobatan Medisinal
1. Tirah baring
2. Oksigen
3. Kateter menetap
4. IVFD : Ringer Asetat Ringer laktat , Koloid
Jumlah input cairan 2000ml/24 jam , berpedoman pads diuresis,
insensible waterlus clan CVP
5. Sulfas Magnesikus
· Initial dose:
- Loading dose : 4 gr SM 20% iv (4-5 menit)
- 8 gr SM 40% im, 4 gr bokong kanan, 4 gr bokong kiri
· Maintenance dose : 4 gr SM 40% im setiap 4 jam
6. Anti hipertensi diberikan jika tekanan darah diastol > 110 mmHg. Dapat
diberikan nifedipine sublingual 10 mg. Setelah 1 jam, jika TD masih tinggi
dapat diberikan nifedifine ulangan 5 - 10 mg sublingual atau oral dengan
interval 1 jam, 2 jam atau 3 jam sesuai kebutuhan. Penurunan TD tidak
boleh terlalu agresif. TD diastol jangan kurang dari 90 mmHg, penurunan
TD maksimal 30%.
6. Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada:
Edema paru, gagal jantung kongestif, edema anasarka.
7. Deksametason 10 mg iv dengan interval 12 jam 2 kali pemberian saja.
8. N-Acetyl Cystein 3 x 600 mg.
6. Jika terjadi penurunan trombosit < 50.000 /mm3 beri trombosit 10 unit.
7. Atasi anemia dengan Fresh Whole Blood
12. Antibiotik
13. Jika pasien koma, diberikan perawatan koma di ICU
14. Konsul ke bagian interns, hematologi, mata, neurologi
15. Jajaki kemungkinan terjadinya DIC. Jika trombosit < 50.000 periksa kadar
fibrinogen, protombine time, partial tromboplastin time, D dimer
9
Penanganan Obstetrik
1. Pada keadaan ibu sudah stabil, tetapkan suatu keputusan apakah
dilakukan terminasi kehamilan atau tindakan konservatif.
Penanganan konservatif dilakukan pada keadaan :
· TD terkontrol < 160/110 mmHg
· Oliguria respon dengan cairan
· Tidak dijumpai nyeri epigastrik
· Usia kehamilan < 34 minggu
2. Jika diputuskan untuk terminasi kehamilan, persalinan diharapkan
selesai dalam 48 jam penanganan.
3. Jika serviks sudah matang dan tidak ada kontra indikasi obstetri,
dilakukan induksi persalinan dengan oksitosin drips dan amniotomi. Kala
II dipercepat dengan EV/EF.
Seksio sesarea dilakukan pada:
1. Skor pelvic < 5
2. Dengan drips oksitosin, setelah 12 jam belum ada tanda-tanda
anak akan lahir pervaginam.
3. Indikasi obstetric.
4.Manajemen SC:
· Insisi midline
· Plika vesika uterine dibiarkan terbuka
· Sebaiknya pasang drain abdominal
· Pasien pasca SC dirawat di ICU
5.Analgesia dan anastesia
Baik anastesia epidural maupun general dapat diberikan pada pasien
sindroma HELLP, tergantung kondisi ibu. Dengan anetesia epidural fungsi
hemodinamik ibu lebih stabil, namun pada jumlah trombosit < 50.000
/mm3 dikhawatirkan terjadi komplikasi epidural hematom sehingga dapat
dipertimbangkan untuk melakukan anestesi general. Pada pasien yang
mengalami edema laring, gemuk dan leher pendek, meskipun jumlah
trombosit < 50.000/ mm3 dilakukan anestesi epidural.
6. Bayi ditangani oleh bagian pediatri dan dirawat di Neonatal Intensive Care
Unit.
10
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan
tersier dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien
preeklampsi. Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu,
khususnya kelainan pembekuan darah.
Penatalaksanaan sindrom HELLP pada umur kehamilan < 35 minggu
(stabilisasi kondisi ibu. Akhiri persalinan pada pasien sindroma HELLP
dengan umur kehamilan > 35 minggu).
Pasien sindrom HELLP harus diterapi profilaksis MgSO4 untuk mencegah
kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 g MgSO4 20% sebagai
dosis awal, diikuti dengan infus 2 g/jam. Pemberian infus ini harus dititrasi sesuai
produksi urin dan diobservasi terhadap tanda clan gejala keracunan MgSO4. Jika
terjadi keracunan, berikan 10-20 ml kalsium glukonat 10% iv.
Terapi anti hipertensi harus dimulai jika tekanan darah menetap >
160/110 mmHg di samping penggunaan MgSO4. Hal ini berguna
menurunkan risiko perdarahan otak, solusio plasenta dan kejang pada ibu.
Tujuannya mempertahankan tekanan darah diastolik 90 - 100 mmHg. Anti
hipertensi yang sering digunakan adalah hydralazine (Apresoline®) iv dalam dosis
kecil 2,5-5 mg (dosis awal 5 mg) tiap 15-20 menit sampai tekanan darah yang
11
1. Menilai dan menstabilkan kondisi ibu
a. Jika ada DIC, atasi koagulopati
b. Profilaksis anti kejang dengan MgSO4
c. Terapi hipertensi berat
d. Rujuk ke pusat kesehatan tersier e.Computerised tomography (CT
scan) atau Ultrasonografi (USG) abdomen bila diduga hematoma
subkapsular hati
2. Evaluasi kesejahteraan janin
a. Non stress test/tes tanpa kontraksi (NST)
b. Profit biofisik
c. USG
3. Evaluasi kematangan paru janin jika umur kehamilan
< 35 minggu
a. Jika matur, segera akhiri kehamilan
diinginkan tercapai. Labetalol (Normodyne®) dan nifedipin juga digunakan
dan memberikan hasil baik. Karena efek potensiasi, harus hati-hati bila nifedipin
dan MgSO4 diberikan bersamaan. Diuretik dapat mengganggu perfusi plasenta
sehingga tidak dapat digunakan.
Langkah selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan
menggunakan tes tanpa tekanan, atau profit biofisik, biometri USG untuk menilai
pertumbuhan janin terhambat. Terakhir, harus diputuskan apakah perlu segera
mengakhiri kehamilan. Amniosentesis dapat dilakukan pada pasien tanpa risiko
perdarahan. Beberapa penulis menganggap sindrom ini merupakan indikasi
untuk segera mengakhiri kehamilan dengan seksio sesarea, namun yang lain
merekomendasikan pendekatan lebih konservatif untuk memperpanjang
kehamilan pada kasus janin masih immatur. Perpanjangan kehamilan akan
memperpendek masa perawatan bayi di NICU (Neonatal Intensive Care Unit),
menurunkan insiden nekrosis enterokolitis, sindrom gangguan pernafasan.
Beberapa bentuk terapi sindrom HELLP yang diuraikan dalam literatur sebagian
besar mirip dengan penanganan preeklampsi berat.
Jika sindrom ini timbul pada saat atau lebih dari umur kehamilan 35
minggu, atau jika ada bukti bahwa paru janin sudah matur, atau janin dan ibu
dalam kondisi berbahaya, maka terapi definitif ialah mengakhiri kehamilan. Jika
tanpa bukti laboratorium adanya DIC clan paru janin belum matur, dapat
diberikan 2 dosis steroid untuk akselerasi pematangan paru janin, dan kehamilan
diakhiri 48 jam kemudian. Namun kondisi ibu dan janin harus dipantau secara
kontinu selama periode ini. Goodlin meneliti bahwa terapi konservatif dengan
istirahat dapat meningkatkan volume plasma.
Pasien tersebut juga menerima infus albumin 5 atau 25%; usaha
ekspansi volume plasma ini akan menguntungkan karena meningkatkan jumlah
trombosit. Thiagarajah meneliti bahwa peningkatan jumlah trombosit dan enzim
hati juga bisa dicapai dengan pemberian prednison atau betametason.
Clark dkk. melaporkan tiga kasus sindrom HELLP yang dapat dipulihkan
dengan istirahat mutlak clan penggunaan kortikosteroid. Kehamilan pun dapat
diperpanjang sampai 10 hari, dan semua persalinan melahirkan anak hidup;
pasien-pasien ini mempunyai jumlah trombosit lebih dari 100.000/mm3 atau
mempunyai enzim hati yang normal. Dua laporan terbaru melaporkan bahwa
penggunaan kortikosteroid saat antepartum dan postpartum menyebabkan
perbaikan hasil laboratorium dan produksi urin pada pasien sindrom HELLP.
12
Dexametason 10 mg/12 jam iv lebih balk dibandingkan dengan
betametason 12 mg/24 jam im, karena dexametason tidak hanya mempercepat
pematangan paru janin tapi juga menstabilkan sindrom HELLP. Pasien yang
diterapi dengan deksametason mengalami penurunan aktifitas AST yang lebih
cepat, penurunan tekanan arteri rata-rata (MAP) dan peningkatan produksi urin
yang cepat, sehingga pengobatan anti hipertensi dan terapi cairan dapat
dikurangi. Tanda vital dan produksi urine harus dipantau tiap 6-8 jam. Terapi
kortikosteroid dihentikan jika gejala nyeri kepala, mual, muntah, dan nyeri
epigastrium hilang dengan tekanan darah stabil <160/110 mmHg tanpa terapi
anti hipertensi akut serta produksi urine sudah stabil yaitu >50 ml/jam.
Pemberian dexametason
1. Antepartum deiberikan duble strength dexametason (double dose) jika
didapati: trombosit < 100.000/cc atau trombosit 100.000 – 150.000/cc dan
dengan eklamsia, nyeri epigastrium, hipertensi berat, maka diberikan
dexametason 10 mg iv tiap 12 jam.
2. Post partum, dexametason diberikan 10 mg iv tiap 12 jam 2 kali,
kemudian diikuti 5 mg iv tiap 12 jam 2 kali.
Sindrom ini bukan indikasi seksio sesarea, kecuali jika ada hal-hal yang
mengganggu kesehatan ibu dan janin. Pasien tanpa kontraindikasi obstetri harus
diizinkan partus pervaginam. Sebaliknya, pada semua pasien dengan umur
kehamilan > 32 minggu persalinan dapat dimulai dengan infus oksitosin seperti
induksi, sedangkan untuk pasien < 32 minggu serviks harus memenuhi syarat
untuk induksi. Pada pasien dengan serviks belum matang dan umur kehamilan <
32 minggu, seksio sesarea elektif merupakan cara terbaik.
Analgesia ibu selama persalinan dapat menggunakan dosis kecil
meperidin iv (25-50 mg) intermiten. Anestesi lokal infiltrasi dapat digunakan untuk
semua persalinan pervaginam. Anestesi blok pudendal atau epidural merupakan
kontraindikasi karena risiko perdarahan di area ini. Anestesi umum merupakan
metode terpilih pads seksio sesarea. Pasien dengan nyeri bahu, syok, asites
masif atau efusi pleura harus di USG atau CT scan hepar untuk evaluasi adanya
hematom subkapsular hate.
13
PROGNOSA 1,11,12
Angka kematian dan kesakitan ibu dan anak meningkat pada Sindroma
HELLP. Dilaporkan angka kematian ibu pada Sindroma HELLP adalah 1-24%,
sedangkan angka kematian perinatal lebih tinggi lagi yaitu 7,7-60%.3
Perubahan nilai laboratorium menunjukkan apakah penyakit ini
bertambah parah atau membaik.Puncak kemunduran parameter HELLP terjadi
dalam 24 s/d 48 jam setelah melahirkan. Berapa lama terjadi pemulihan
Sindroma HELLP tergantung pada beberapa faktor antara lain waktu terminasi
kehamilan, beratnya gangguan multi sistemik, pengobatan yang adekuat dan
lain-lain. Umumnya nilai laboratorium parameter Sindroma HELLP kembaii
normal dalam 3 –5 hari setelah melahirkan.5
Sibai dkk (1995) melaporkan penderita dengan normotensif sebelum
menderita Sindroma HELLP mempunyai kemungkinan 19% untuk terjadinya PE,
27% terjadi kelainan hipertensi lainnya dan 3% terjadi Sindroma HELLP pads
kehamilan berikutnya. Tetapi bila penderita Sindroma HELLP dengan riwayat
hipertensi kronik sebelumnya, maka 75% akan terjadi PE dan 5% kemungkinan
terjadi Sindroma HELLP pada kehamilan berikutnya.3
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham F. Bart'; Williams Obstetrics ; 21st edition; McGraw Hill, USA,
2001 in Hypertensive Disorders in Pregnancy ; 567 - 609.
2. Himpunan Kedokteran Feto Maternal POGI; Pedoman Pengelolaan
Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia; edisi kedua; 2005.
3. Winknjosastro H; Ilmu Kebidanan, Edisi Ketiga; Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo Jakarta, 1994 dalam Preeklampsia dan Eklampsia;
hal 281 – 301
4. Mochtar Rustam; Sinopsis Obstetri; Obstetri Fisiologi Obstetri Patologi;
Edisi 5; 1995; Penerbit Buku Kedokteran EGC; halaman 218-230.
5. Foley R Michael; Strong Thomas; Obstetric Intensive Care; A Practical
Manual; W13 Saunders Company; 1997; page 63 - 75.
6. Miller Alistrair WF; Callander Robin; Obstetrics Illustrated; Fourth edition;
Churchill Livingstone; Hypertension in Pregnancy ; 169 - 175.
7. Cohen Wayne R; Complications of Pregnancy ; Fifth Edition; Lippincott
Williams & Wilkins 2000; Preeklampsia and Hypertensive Disorders ; 207 -
233.
8. Alarm International; a Program to Reduce Maternal Mortality and
Morbidity; Second edition; Pregnancy Induced Hypertension; 85 - 91.
9. Ratnam SS; Arulkumaran S; Problem Oriented Approach to Obstetrics and
Gynaecology ; Oxford University Press; 1997; Hypertension in Pregnancy ;
75 - 79.
10. Saifuddin AB; Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; Jakarta 2002.
11. De Cherney AH, Phernol ML. Current Obstetric and
Gynecologyic.Diagnosis and Treatment, 8th ed, Appleton ang Lange,
Norwalk 1994: 380-8
12. Arias Fernando. Preeklampsia and Eklampsia: Practical Guide To High
Pregnancy and Delivery, 2nd ed, Mosby Year Book, 1993: 183-210
15
STATUS ORANG SAKIT
ANAMNESA PRIBADINama : Ny. JUmur : 36 tahunStatus : G3P2A0
Suku : JawaAgama : IslamPendidikan : SDPekerjaan : IRTAlamat : Dusun III Desa Koto Tangah Kec Masihul, SerdangTanggal Masuk : 15-02-2012Pukul : 22.11 wib
Anamnesa PenyakitKeluhan Utama : Badan terasa lemasTelaah : Hal ini dialami OS sejak 2 minggu ini, OS merasa semakin
lemah dan hanya berbaring di tempat tidur. Riw mual dan muntah (-), Riw penurunan nafsu makan (+) sejak 1 bulan ini, riwayat keluar darah dari kemaluan (-), Riw keluar jaringan dari kemaluan (-), Riw trauma ditusuk pada perut (-). Os merupakan pasien rujukan dari RS luar dengan Dx/ KAL
RPT : HT (-), DM (-), Asma (-)RPO : -HPHT : ? - 12 - 2011TTP : ? - 09 - 2012 ANC : Bidan 1x (12 minggu yang lalu)
Riwayat Persalinan1. ♀, aterm, PSP, Klinik Bersalin, Bidan, 4000 gr, 10 thn, sehat2. ♂, aterm, PSP, Klinik bersalin, Bidan, 3500 gr, 4 thn, sehat3. Hamil ini
Status PresentSens : CM Anemis : (+)TD : 110 / 60 mmHg Icterus : (-)HR : 124 x/i Dispnoe : (-)RR : 20 x/i Sianonis : (-)T : 37,90C Oedem : (-)
Status ObstetrikusAbdomen : Soepel, membesar simetrisTFU : 2 jari diatas simfisisP/V : (-)
Status GinekologiInspekulo : Portio licin, lividae (+), F/A (-), darah (-)VT : Uterus > BB
A/P ka-ki lemas CD tidak menonjol
16
USG : TASJanin tunggal, IntrauterineFHR (+). FM (+)BPD: 27 mm
Kes: IUP (14 mgg) + AH
Hasil Laboratorium (15 -02-2012) Pukul 16.58 wib– Hb : 6,9 gr/dl– Ht : 20,4 %– Leukosit : 11850/mm3
– Platelet : 307.000/mm3
KGD adrandom : 92.20 mg/dl
Na : 134 meq/l PT : 10,9’’ INR : 0,86K : 3,0 meq/L aPTT : 27,4’’Cl : 103 meq/L TT : 10,1’’
Ureum : 127.50 mg/flCreatinin : 1,84 mg/dl
SGOT : 47 u/LSGPT : 22 u/L
Dx : MG + KDR (14 Minggu / USG) +AH
Terapi :
– Tirah baring
– IVFD RL 20 gtt/i
– SF 1 x 320 mg
Rencana :
– Perbaikan KU– Feses rutin– Morfologi darah tepi
17
Tanggal 16-02-2012, Pukul 07.30 Wib
KU : lemas
Status PresentSens : CM Anemis : ( + )TD : 110/70 mmHg Ikterik : ( - )HR : 88 x/i Sianosis : ( - )RR : 18 x/i Dispnoe : ( - )T : 36,70C Oedem : ( - )
Status ObstetrikusAbdomen : membesar simetrisTFU : 2 jari di atas simfisisP/V : (-)
Dx : MG + KDR (14 minggu) + AH + Anemia
Terapi : - IVFD RL-D5-NaCl 20 gtt/i- SF 1 x 320 mg
Rencana: - Cek serum Feritin, Si/ TiBC, morfologi darah tepi, feses rutin, urinalisa- Cek malaria
Follow up tanggal 17-02-2012, Pukul 07.30 Wib
KU : -
Status Present
Sens : CM Anemis : ( + )TD : 110/60 mmHg Ikterik : ( - )HR : 96x/i Sianosis : ( - )RR : 28x/i Dispnoe : ( - )T : 36,7 0C Oedem : ( - )
Status ObstetrikusAbdomen : membesar simetrisTFU : 2 jari di atas simfisisP/V : (-)
Dx : MG + KDR (14 minggu) + AH + Anemia
Terapi : - IVFD RL-D5%-NaCl 0.9% 20 gtt/i- SF 1 x 1
Rencana: USGHasil Laboratorium (17-02-2012) Pukul 16.58 wib
18
– Hb : 7.1 gr%– Ht : 20,80 %– Leukosit : 8380/mm3
– Platelet : 318.000/mm3
Malaria : NegatifFerritin : 628.60 ng/mLBesi (Fe/Iron) : 63 mg/dLTIBC : 209 ug/dLUIBC : 146 ug/dL
Follow up tanggal 18-02-2012, Pukul 08.00 Wib
KU : -
Status PresentSens : CM Anemis : ( + )TD : 90/60 mmHg Ikterik : ( - )HR : 76 x/i Sianosis : ( - )RR : 20 x/i Dispnoe : ( - )T : 36,5 0C Oedem : ( - )
Status ObstetrikusAbdomen : membesar simetrisTFU : 3 jari di bawah pusatP/V : (-)
Dx : MG + KDR (14 minggu) + AH + Anemia
Terapi : - IVFD RL-D5%-NaC 0.9%l 20 gtt/i- SF 1 x 1
Rencana: - Konsul Interna - Konsul Psikiatri
Follow up tanggal 19-02-2012, Pukul 08.00 Wib
KU : -
Status PresentSens : CM Anemis : ( + )TD : 110/70 mmHg Ikterik : ( - )HR : 88 x/i Sianosis : ( - )RR : 22 x/i Dispnoe : ( - )T : 36,8 0 C Oedem : ( - )
Status ObstetrikusAbdomen : membesar simetrisTFU : 3 jari di bawah pusatP/V : (-)
19
Dx : MG + KDR (14 minggu) + AH + Anemia
Terapi : - IVFD RL-D5%-NaCl 0.9% 20 gtt/i- SF 1 x 1
Rencana: - konsul HOM (senin Tanggal 20/02/2012 - Cek darah rutin ulang
Hasil Laboratorium (19-02-2012) Pukul 16.58 wib– Hb : 7,8 gr%– Ht : 22.90 %– Leukosit : 16610/mm3
– Platelet : 398.000/mm3
Follow up tanggal 20-02-2012, Pukul 08.00 Wib
KU : ( - )
Status PresentSens : CM Anemis : ( + )TD : 100/50 mmHg Ikterik : ( - )HR : 80 x/i Sianosis : ( - )RR : 20x/i Dispnoe : ( - ) T : 36,70C Oedem : ( - )
Status ObstetrikusAbdomen : membesar simetrisTFU : 3 jari di bawah pusatP/V : (-)
Dx : MG + KDR (14 minggu) + AH + Anemia
Terapi : - IVFD RL-D5%-NaCl 0.9% 20 gtt/i- SF 1 x 1- Asam Folat + Multivitamin
Rencana: - Konsul Nefrologi untuk toleransi transfusi - Tanyakan kepada psikiatri tentang progresifitas penyakit - Cek darah lengkap dan elektrolit
Hasil Laboratorium (20-02-2012) Pukul 16.58 wib– Hb : 7,3 gr/dl– Ht : 21,4 %– Leukosit : 12240/mm3
– Platelet : 393.000/mm3
Na : 135 meq/l
20
K : 3,1 meq/LCl : 107 meq/L
Follow up tanggal 21-02-2012, Pukul 08.00 Wib
KU : ( - )
Status PresentSens : CM Anemis : ( - )TD : 110/60 mmHg Ikterik : ( - )HR : 72 x/i Sianosis : ( - )RR : 22x/i Dispnoe : ( - )T : 36,80C Oedem : ( - )
Status ObstetrikusAbdomen : membesar simetrisTFU : 3 jari di bawah pusatP/V : (-)
Dx : MG + KDR (14 minggu) + AH + Anemia
Terapi : - IVFD RL-D5%-NaCl 0.9% 20 gtt/i- Transfusi PRC 1 bag- SF 1 x 1- Asam Folat 1 x 1
Follow up tanggal 22-02-2012, Pukul 08.00 Wib
KU : ( - )
Status PresentSens : CM Anemis : ( + )TD : 110/50 mmHg Ikterik : ( - )HR : 94 x/i Sianosis : ( - )RR : 24x/i Dispnoe : ( - )T : 36,80C Oedem : ( - )
Status ObstetrikusAbdomen : membesar simetrisTFU : 3 jari di bawah pusatP/V : (-)
Dx : MG + KDR (14 minggu) + AH + Anemia
Terapi : - IVFD RL-D5%-NaCl 0.9% 20 gtt/i- SF 1 x 1- Asam Folat 1 x 1
21
Rencana : Cek darah rutin
Hasil Laboratorium (22-02-2012) Pukul 16.58 wib– Hb : 8,1 gr/dl– Ht : 23,8 %– Leukosit : 12250/mm3
– Platelet : 404.000/mm3
Follow up tanggal 23-02-2012, Pukul 08.00 Wib
KU : ( - )
Status PresentSens : CM Anemis : ( + )TD : 100/50 mmHg Ikterik : ( - )HR : 90 x/i Sianosis : ( - )RR : 24x/i Dispnoe : ( - )T : 36,50C Oedem : ( - )
Status ObstetrikusAbdomen : membesar simetrisTFU : 3 jari di bawah pusatP/V : (-)
Dx : MG + KDR (14 minggu) + AH + Anemia
Terapi : - IVFD RL-D5%-NaCl 0.9% 20 gtt/i- SF 1 x 1- Asam Folat 1 x 1
Rencana : - PBJ - Kontrol Poli
ANALISA KASUS
Ny R, 42 tahun, G3P2A0, Karo, Kristen, SMP, IRT, datang ke IGD RSHAM pada tanggal 13-01-2012 pukul 01.15 wib dengan keluhan tekanan darah tinggi. Os merupakan pasien kiriman dari RS luar dengan PEB + MG + KDR (26-28 mgg)+ AH. Riwayat pandangan kabur (+), mual-muntah (+), nyeri epigastrium (+), sakit kepala (+), Mules – mules (+), keluar lendir darah (-) dan keluar air – air (-).
22
Pada status present ketika masuk dijumpai TD 170/100 mmHg, dengan HR 92 x/i, RR 22x/i. Oedem pretibial dijumpai, refleks patella (+) Dari status lokalisata suara pernapasan masih vesiculer. Suara tambahan pada seluruh lapangan paru kanan dan kiri tidak di jumpai.
Pada status obstetrikus dijumpai TFU 2 jari di atas pusat. HIS (-), DJJ (+) 162x/i, dengan taksiran berat badan janin dari USG 1000 gr. Pada pemeriksaan dalam setelah dilakukan loading dose MgSO4 cervix tertutup. Dari hasil laboratorium dijumpai penurunan jumlah trombosit ( 34.000 ), peningkatan LFT, LDH dengan proteinuri +++.
Pasien kami diagnosa dengan Hellp Syndrome + PEB + MG + KDR (26-28 mgg)+ AH. Pasien kami rawat untuk stabilisasi, pemberian regimen MgSo4 loading dose dan maintenance dose.
Pasien kami rencanakan sc cito setelah dilakukan stabilisasi. Lapor dengan supervisor jaga Dr. MPL, SpOG anjurannya : stabilisasi perbaikan ku dan SC cito.
Pada follow up pukul 07.30 wib tanggal 14-01-2012, dijumpai tekanan darah 150/90 mmhg, dengan HR 90 x/i, RR 24 x/i.
Sebelum dilakukan tindakan SC dilakukan konsul kebagian anak, unit perinatologi
Pukul 08.00 wib tanggal 14-01-2012 lahir bayi perempuan , BB 1000 gr, PB 32cm, AS 5/10, anus (+).Bayi di diagnosa dari bagian anak dengan BBLASR + NKB-SMK.
Pada follow up post op tanggal 14-01-2012. TD dijumpai 170/90 mmHg. Pada status obstetrikus dijumpai TFU 2 jari bawah pusat, kontraksi (+), peristaltik (+), BAK (+) 350 cc/3 jam. Pada hasil laboratorium post SC Hb : 13,3 gr %, Ht : 36,2 %, Leukosit : 180990 / mm3, Trombosit : 58.000 / mm3.
Pada follow up hari ke 1 tanggal 15-01-2012, TD dijumpai 150/80 mmHg. Pada status obstetrikus dijumpai TFU 2 jari bawah pusat, kontraksi (+), peristaltik (+), BAK(+) 100 cc/2 jam, proteinuria ( + ).
Pada follow up hari ke 2 tanggal 16-01-2012. TD dijumpai 150/80 mmHg. Pada status obstetrikus dijumpai TFU 3 jari bwh pst, kontraksi (+), peristaltik(+), BAK(+) 50 cc / jam . Di karenakan tekanan darah tinggi pasien di konsul ke interna divisi hipertensi dan nefrologi dengan DD : hipertensi stage II + post sc a/i Hellp syndrome + PEB + sterilisasi Pomeroy. Dengan pemberian terapi tirah baring, diet MB rendah garam, nifedipine 3 x 10 mg
Pada follow up hari ke 3 tanggal 17-01-2012, TD dijumpai 140/80 mmHg. Pada status obstetrikus dijumpai TFU 3 jari bawah pusat, kontraksi (+), peristaltik (+), BAK(+) N.
23
Pada follow up hari ke 4 tanggal 18-01-2012, TD dijumpai 140/80 mmHg. Pada status obstetrikus dijumpai TFU 3 jari bawah pusat, kontraksi (+). dan dilakukan GV pada luka operasi dan dijumpai luka operasi kering.
Pada tanggal 18-01-2012 pasien kami PBJ dan dianjurkan untuk kontrol ke PIH.
PERMASALAHAN
1. Apakah penanganan pada pasien ini sudah tepat dengan protap yang ada ?
24