Post on 19-Jan-2016
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Produksi dunia akan minyak dan lemak nabati pada tahun 2006 sampai
2007 sudah mencapai 123 juta ton dan diprediksi akan mencapai 142 juta ton pada
tahun 2010. Dari produksi sebesar ini 45.5 juta ton berasal dari minyak kelapa
sawit, dimana sebesar 23.3. juta ton atau sekitar 46% berasal dari indonesia.
Kelapa sawit dikenal dengan produk utama berupa minyak sawit mentah (CPO)
yang kini menjadi komoditas primadona sektor perkebunan (Maulida).
Salah satu produk yang dapat diturunkan dari minyak sawit adalah
emulsifier yang dapat digunakan sebagai bahan penstabil pada berbagai produk
makanan. pengemulsi adalah suatu bahan dengan karakteristik khusus yang dapat
menyatukan air dengan minyak. Hampir semua produk yang menggunakan
campuran air dan minyak menggunakan bahan ini, seperti margarine, mayonnise,
obat-obatan dan kosmetik.
Monoasilgliserol (monogliserida) dikenal luas sebagai emulsifier pada
industri pangan, farmasi, dan kosmetik. Monogliserida dapat diproduksi dari
minyak salah satunya minyak sawit. Emulsifier hampir seluruhnya merupakan
bahan impor , hal ini membuat pasar komoditi emulsifier maupun teknologinya
mempunyai prospek ekonomi dalam jangka dekat.
Produksi monoasilgliserol (monogliserida) dapat dilakukan dengan
hidrolisis, esterifikasi gliserol dengan asam lemak, dan gliserolisis. Proses
produksi monogliserida biasanya menggunakan suhu dan tekanan tinggi dengan
penambahan katalis kimia atau menggunakan katalis enzim. Pada skala industry
metode yang banyak digunakan untuk produksi monogliserida adalah gliserolisis.
Produksi monogliserida dengan konsentrasi tinggi dapat dilakukan dengan
menggunakan distilasi molekular. Proses ini akan memisahkan monogliserida dari
trigliserida yang tidak bereaksi, digliserida, dan gliserol yang terbentuk.
1.2. Rumusan Masalah
Monoasilgliserol (monogliserida) dikenal luas sebagai emulsifier yang
banyak digunakan pada industri pangan, farmasi, dan kosmetik. Namun
sayangnya emulsifier dari monoasilgliserol (monogliserida) ini hampir seluruhnya
merupakan bahan impor yang belum diproduksi di Indonesia. Monogliserida
dapat diproduksi dari minyak salah satunya minyak sawit sehingga hal ini
membuat pasar komoditi emulsifier maupun teknologinya mempunyai prospek
ekonomi dalam jangka dekat.
BAB 2.TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit (Elaeis quineensis Jacq)merupakan tanaman
berkeping satu dari famili palmae. Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman
penghasil minyak nabati yang sangat penting, yang dewasa ini terdapat
disepanjang daerah tropis, terutama kawasan antara 100 lintang utara dan 100
lintang selatan, yang mempunyai suhu rata-rata 24 - 260C dengan fluktuasi suhu
kurang dari 100C dan curah hujan optimal pada 2000 – 3000 mm. (Setyamidjaya,
1991).
Buah kelapa sawit terdiri dari dua bagian besar yaitu bagian sabut atau
mesocarp dan bagian tempurung atau kernel.Jenis asam lemak yang terkendung
dalam minyak pada kedua bagian tersebut cenderung berbeda. Minyak bagian
mesocarp lebih dominan asam lemak palmitat dan oleat sedangkan bagian kernel
lebih dominan asam lemak laurat. Buah kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar
1. Pengolahan bagian sabut dari buah kelapa sawit akan menghasilkan Crude
Palm Oil(CPO) yang jika diolah lebih lanjut akan menghasilkan minyak Refined
Bleached Deodorized Palm Oil(RBDPO). Sedangkan pengolahan bagian kernel
akan menghasilkan Palm Kernel Oil(PKO).
Perkebunanan kelapa sawit selain menghasilkan minyak kelapa sawit
mentah (CPO; Crude Palm Oil) dan minyak inti sawit (PKO; Palm Kernel Oil)
juga menghasilkan berbagai produk turunan yang dapat dikembangkan sebagai
produk pangan (minyak goreng, margarin, dan shortening) dan oleokimia(fatty
acid, fatty alcohol,dan glycerine). Sedangkan untuk produk nonpangan yang
dikembangkan antara lain sabun dan kosmetika.
Minyak sawit kasar merupakan hasil ekstraksi dari buah (mesokarp)
tanaman kelapa sawit ( Elaeis guanensis JACQ). Saat ini produk utama dari
kelapa sawit yang banyak dimanfaatkan adalah minyaknya. Berdasarkan asalnya,
minyak kelapa sawit ini dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu Crude Palm Oil (CPO)
dan Palm Kernel Oil (PKO). CPO merupakan minyak yang didapatkan dari hasil
ekstraksi bagian sabut buah kelapa sawit. Hal ini berbeda dengan PKO dimana
PKO didapatkan dari hasil ekstraksi inti buah kelapa sawit. Oleh karena berasal
dari sumber yang berbeda maka komposisi asam lemak penyusunnya pun
berbeda. CPO umumnya banyak mengandung asam palmitat dan asam oleat
sedangkan PKO ban yak sekali mengandung asam laurat, asam miristat, dan asam
oelat. Secara detail data mengenai komposisi asam lemak penyusun CPO dan
PKO dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi asam lemak penyusun CPO dan PKO
NO Asam lemak Minyak Kelapa Sawit(CPO), % mol
Minyak Inti Sawit(PKO), % mol
1 Kaprilat (8) - 3 – 42 Kaproat (6) - 3 – 73 Laurat (12) - 46 – 524 Miristat (14) 1.1 – 2.5 14-175 Palmitat (16) 40 – 46 65-96 Stearat (18) 3.6 – 4.7 1-2.57 Oleat (18:1) 39 – 45 13 – 198 Linoleat (18:2) 7 – 11 0.5 - 2
Asam lemak utama yang terdapat dalam minyak sawit adalah asam
palmitat dan asam oleat, sedangkan asam lemak yang jumlahnya paling sedikit
adalah asam palmitoleat dan asam linoleat. Komponen minor yang terdapat dalam
minyak sawit terdiri dari karotenoid (pigmen yang membentuk warna oranye),
tokoferol dan tokotrienol (sebagai antioksidan), sterol, triterpenicdan alifatik
alkohol (Chin, 1979). Adanya karotenoid, tokoferol, dan tokoterienol
menyebabkan tingginya stabilitas oksidasi dan nilai gizi minyak sawit
dibandingkan minyak nabati lainnya (Hui, 1996).
Minyak dan lemak dari sumber tertentu mempunyai ciri khas yang berbeda
dari sumber lainnya yang tergantung pada komposisi dan distribusi asam lemak
pada molekul trigliseridanya. Titik leleh suatu lemak atau minyak dipengaruhi
oleh sifat asam lemaknya, yaitu daya tarik antar asam lemak yang berdekatan
dalam kristal. Gaya ini ditentukan oleh panjang rantai C, jumlah ikatan rangkap,
dan bentuk cis atau transpada asam lemak tidak jenuh. Semakin panjang rantai C,
titik lelehnya akan semakin tinggi, misalnya asam butirat (C14) memiliki titik
leleh -7.90C sedangkan asam stearat (C18) memiliki titik leleh 64.6 0C. Titik leleh
menurun dengan bertambahnya jumlah ikatan rangkap dikarenakan ikatan antar
molekul asam lemak tidak jenuh kurang kuat. Bentuk transpada asam lemak
mempunyai titik leleh yang lebih tinggi dibandingkan bentuk cis(Winarno, 2002).
Teknologi pengolahan minyak sawit kasar (CPO) terdiri dari berbagai
tahap yaitu tahap ekstraksi, pemurnian, dan pengolahan lanjut menjadi bahan
pangan ataupun non pangan. Tahapan ekstraksi meliputi proses pengepresan
terhadap sabut kelapa sawit sehingga didapatkan minyak yang disebut crude palm
oil (CPO). CPO akan mengalami tahap pemurnian sebelum dapat dikonsumsi
sebagai minyak goreng atau produk turunan lainnya. Tahapan pemurnian terdiri
dari 4 tahapan proses yaitu pemisahan gum, netralisasi, pemucatan, dan
deodorisasi menghasilkan RBDPO (Refined Bleached and Deodorized Palm Oil).
. Adapun hasil fraksinasi minyak RBDPO terdiri dari fraksi olein dan stearin.
Fraksi olein akan diolah lebih lanjut menjadi minyak goreng dan fraksi stearin
akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan margarine.
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1. Proses Produksi Monoasilgliserol
Proses produksi monoasilgliserol dapat dilakukan dengan hidrolisis parsial
minyak dan esterifikasi gliserol dengan asam lemak. Selain itu, juga akan dibahas
mengenai proses produksi monogliserida dengan gliserolisis.
3.1.1. Hidrolisis Parsial Minyak
Salah satu reaksi yang terjadi pada produk atau bahan pangan berlemak
adalah hidrolisis, yaitu proses pembentukan gliserol dan asam lemak bebas
melalui pemecahan molekul lemak dan penambahan elemen air (Hartley, 1977).
Proses hidrolisis pada umumnya disebabkan oleh aktifitas enzim dan mikroba.
Proses hidrolisis dapat berlangsung bila tersedia sumber nitrogen, garam mineral,
dan sejumlah air. Hidrolisis yang terjadi pada minyak atau lemak yang
mempunyai asam - asam lemak dengan rantai karbon panjang mengalami proses
yang lebih lambat (Djatmiko and Wijaya, 1984).
Proses hidrolisis dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu proses splitting
menggunakan uap dengan suhu tinggi 250°C dan tekanan 50 atm, hidrolisis
menggunakan alkali dan hidrolisis secara enzimatis. Kedua proses yang pertama
memerlukan energi yang cukup besar, sedangkan proses yang terakhir
membutuhkan energi yang cukup rendah karena bekerja pada suhu 25 – 60°C dan
tekanan 1 atm (Herawan, 1993).
Biokatalis yang lazim digunakan dalam proses hidrolisis secara enzimatis
adalah lipase yang berasal dari mikroorganisme (Herawan, 1993). Selama
penyimpanan dan pengolahan, asam lemak bebas bertambah dan dapat
dihilangkan dengan proses pemurnian dan deodorisasi (Winarno, 1997).
Proses hidrolisis terjadi secara bertahap dan merupakan reaksi yang
bersifat reversible (bolakbalik). Kesetimbangan dari reaksi hidrolisis dapat
tercapai, dan kondisi tersebut didasarkan pada konsentrasi senyawa yang terlibat.
Ada satu asumsi yang menyatakan bahwa minyak atau lemak yang mengalami
kerusakan, baik pada saat penanganan di kebun maupun pada saat penyimpanan,
akan memiliki kandungan asam lemak bebas tinggi dan memiliki kandungan
mono dan digliserida (M-DG) yang tinggi juga (Swern, 1979). Tahapan hidrolisis
trigliserida oleh lipase dapat dilihat pada Gambar 2.
Trigliserida + air lipase Digliserida + Asam lemak bebas
Digliserida + air lipase Monogliserida + Asam lemak bebas
Monogliserida + air lipase Gliserin + Asam lemak bebas
Trigliserida + 3 air lipase Gliserin + Asam lemak bebas
Lipase memiliki banyak keistimewaan diantaranya mampu
mentransformasikan air ke dalam substrat yang tidak larut dalam air. Produk
antara hasil hidrolisis mempunyai sifat sebagi zat aktif permukaan atau penurun
tegangan permukaan yang lebih baik bila dibandingkan dengan trigliserida
(Brockman, 1984).
3.1.2. Esterifikasi Gliserol dengan Asam Lemak
Esterifikasi langsung antara gliserol dengan asam lemak akan
menghasilkan monogliserida, digliserida, dan trigliserida dengan komposisi yang
berbeda. Komposisi produk yang dihasilkan tergantung dari perbandingan gliserol
dan asam lemak yang digunakan, jenis asam lemak, kondisi reaksi yang
digunakan dalam proses. Pada proses ini digliserida dan trigliserida merupakan
produk antara dalam pembuatan monogliserida. Formasi monogliserida hasil
reaksi gliserol dengan asam lemak dapat dilihat pada Gambar 3.
Esterifikasi yang merupakan reaksi antara asam karboksilat dan alkohol
untuk membentuk ester adalah reaksi ionik yang merupakan kombinasi dari adisi
dan penyusunan kembali. Esterifikasi asam - asam lemak dengan gliserol telah
dikenal sejak 1844 dimana Pelouze dan Getis menggunakan asam butirat. Reaksi
esterifikasi kimia sederhana dapat dilakukan pada suhu tinggi tanpa menggunakan
katalis dan pada suhu yang lebih rendah dilakukan dengan katalis. Katalis asam
seperti benzene dan asam toluenasulfonat (toluenesulfonic acid) dianggap akan
memberi hasil paling cepat dengan mengeluarkan air yang terbentuk secara
azeotrop. Kecepatan reaksi tergantung pada jenis asam dan alkohol yang
digunakan (Willis et al., 2002).
Produk ester yang dihasilkan selama esterifikasi tergantung pada
perbandingan asam dan alkohol. Produk kasar yang diperoleh merupakan
campuran dari asam-asam lemak dan gliserol yang tidak bereaksi, monogliserida,
digliserida (1,2 - dan 1,3-) dan trigliserida. Asam-asam lemak dapat dikeluarkan
dari campuran dengan penyabunan (saponification) dan gliserol dihilangkan
dengan pencucian dengan larutan garam atau air sehingga akan diperoleh
campuran monoasilgliserol, diasilgliserol dan trasilgliserol. Gros dan Feuge
melakukan esterifikasi asam laurat dengan gliserol. Katalis asam p-TSA pada
suhu 100°C dengan asetonitril sebagai zat azeotrop dan lama reaksi 6 jam
menghasilkan 70.8 %, monoasilgliserol. 29.0% diasilgliserol dan 0,2 %
triasilgliserol diperoleh dengan pemisahan kromatografi kolom (Sonntag, 1982).
Esterifikasi secara enzimatis juga dilakukan untuk menghasilkan 1,3
digliserida, Esterifikasi asam lemak stearat atau palmitat dengan gliserol
menggunakan katalis p-TSA dapat menghasilkan 1,3 - digliserida sebanyak 12 %
yang diperoleh dengan pemurnian secara kristalisasi. Digliserida akan mengalami
isomerisasi dalam pelarut inert atau dalam keadaan kering walaupun pada suhu
rendah, sehingga bila akan digunakan dalam suatu sintesa atau untuk penggunaan
biosintesa harus secepat mungkin setelah pembuatann ya.
Esterifikasi secara kimia antara asam dan gliserol, alkohol lainnya atau
gliserida parsial merupakan metode untuk memasukkan (Inkorporasi) asam-asam
lemak untuk membentuk trigliserida baru (Willis et al., 1998). Secara industry
esterifikasi kimia telah dilakukan untuk pembuatan trigliserida dan turunannya,
pewangi makanan (flavorings) dalam parfum (fragrances), plastisizerm dan
emulsifier.
3.1.3. Gliserolisis
Gliserolisis adalah transesterifikasi minyak (trigliserida) dengan gliserol
untuk menghasilkan monogliserida. Cheirshilp et al. (2007) menggambarkan
reaksi gliserolisis trigliserida dengan gliserol seperti pada Gambar 4. Salah satu
faktor penting pada proses gliseroli sis adalah kelarutan atau kontak antara
trigliserida dan gliserol. Penambahan katalis berguna untuk mempercepat reaksi.
Katalis yang banyak digunakan adalah sodium hidroksida (NaOH).
3.2. Produksi Monogliserida Skala Industri
Pada skala industri, teknik yang banyak diterapkan adalah pembuatan
monogliserida dengan reaksi gliserolisis dengan bantuan katalis kimia. Proses
biasanya berlangsung secara batch. Produk akhir yang dihasilkan mengandung 30
– 50% monogliserida. Produk samping yang dihasilkan antara lain digliserida
yang dapat dimanfaatkan sebagai emulsifier juga, trigliserida yang tidak bereaksi
sebesar 10 persen, gliserol sisa 3 – 4 persen, dan asam lemak bebas 1 – 3 persen.
Sontagg (1982) menyebutkan bahwa monoasilgliserol skala industri di
proses melalui proses gliserolisis lemak dan minyak pada temperature tinggi (220
- 250 C) dengan menggunakan katalis alkali pada kondisi atmosfer nitrogen, dan⁰
kelebihan gliserol juga diperlukan.
Konsentrasi monogliserida yang lebih tinggi bias diperoleh dengan
peningkatan gliserol dan katalis yang digunakan. Proses ini akan meningkatkan
produksi monogliserida per batch karena minyak yang digunakan lebih sedikit
sehingga lebih ekonomis. Peningkatan konsentrasi monogliserida dilakukan
melalui proses pemurnian menggunakan kristalisasi dan distilasi molekular.
Produk yang dihasilkan akan memiliki kandungan monogliserida sebesar 70 – 90
persen.
3.3. Gliserolisis Dengan Proses Batch
Proses diawali dengan mencampur antara minyak dan gliserol dan
dilakukan pengadukan pada suhu 50°C dan tekanan 1 atmosfer. Campuran
minyak dan gliserol dialirkan ke reaktor melalui pompa. Selanjutnya dilakukan
penambahan katalis ke dalam reaktor sebesar 1,5% (b/b). Katalis yang bisa
digunakan adalah katalis basa seperti NaOH, dapat juga menggunakan katalis
enzim. Reaksi berlangsung selama 2 jam dengan suhu dalam reaktor 60°C. Proses
selanjutnya adalah kristalisasi secara bertahap untuk memisahkan trigliserida sisa
Pembuatan monoasilgliserol juga dapat dilakukan dengan proses
transesterifikasi gliserol dan minyak pada reakor berpengaduk dengan katalis basa
KOH atau Ca(OH) 2. Temperatur yang digunakan sekitar 250 C untuk⁰
memperoleh kelarutan gliserol pada fase lemak dan reaksi cepa t. Nitrogen
digunakan sebagai gas inert untuk mencegah oksidasi dan jika menggunakan
katalis asam membentuk akrolein. Setelah mencapai kesetimbangan, katalis
dinetralkan dengan asam phosphate dan didinginkan dengan cepat untuk
mencegah reaksi balik (Noureddini et al., 1997).
Produk netralisasi diadsorbsi dengan clay. Produk dimurnikan melalui
pemisahan kelebihan gliserol dan dilakukan pencucian dengan air. Reaksi pilot
plant dapat dilakukan pada kondisi 240 C selama 25 menit dengan rasio molar⁰
gliserol /minyak 5:2. Komposisi produk 56% adalah monoasilgliserol, 36%
diasilgliserol dan 8% trigliserida (Noureddini et al., 1997). Monoasilgliserol
(MAG) sekarang ini diproduksi dalam skala indusri melalui proses gliserolisis
kontinyu pada lemak dan minyak pada temperature tinggi (220-250 C)⁰
menggunakan katalis basa pada kondisi atmosfer nitrogen (Sontagg, 1982),
Kelebihan gliserol diperlukan dan temperature reaksi lebih besar dari 220 C,⁰
produk dengan warna gelap dengan flavor yang kurang diinginkan. Demikian pula
yield MAG agak rendah yakni 30 -40% (McNeill et al. 1991). Chetpattananondh
et al. (2005) melakukan penelitian gliserolsisi pada stearin sawit menggunakan
gliserol kasar pada kondisi temperature reaksi 200 C molar rasio gliserol⁰
terhadap stearin 2.5 : 1 dan waktu rekasi 20 menit dengan yield MG 65.4%.
Cheirsilp et al. (2007) melakukan penelitian efek sinergisme konsentrasi
gliserol dan olein sawit. Dari hasil simulasi menunjukkan konsentrasi substrat
menghasilkan laju produk awal tinggi namun yield monoasilgliserol rendah. Yield
monoasilgliserol paling tinggi (100%) diperoleh pada konsentrasi olein sawit 2.39
mM dan konsentrasi gliserol lebih besar yaitu 19.14 mM.
Ternelli et al. (1996) melakukan penelitian gliserolisis minyak kedelai
dengan teknolo gi superkritikal CO2 untuk memperoleh MAG. Teknologi ini
dilakuakn pada autoclave berpengaduk pada 250 C, tekanan 20.7 MPa, rasio⁰
gliserol/minyak 25 dan air 4% setelah 4 jam menghasilkan MAG maksimum
49.2%.
Sekarang ini sintesis MAG dengan proses enzimatis sedang dikembangkan
melalui proses hidrolisis selektif lipase spesifik 1,3 (Holmberg and Osterberg,
1988). Gliserolisis atau hidrolisis selektif pada lemak dan minyak menjadi MAG
sangat efektif (Bornscheuer and Yamane, 1994), hasil proses ini merupakan
campuran MAG dengan asam lemak yang berbeda dan 2 MAG yang rendah (Hess
et al. 1995). Yang menjadi permasalahan untuk aplikasi secara industrial adalah
harga enzim yang mahal, dan lipase digunakan dalam bentuk diimobilisasi agar
dapat digunakan kembali. Melalui imobilisasi enzim, hal ini tidak memungkinkan
untuk mengoperasikan proses enzimatis secara kontinyu. Imobilisasi enzim
dilakukan dengan pengikatan secara fisik ataupun kimiawi pada permukaan
seperti kalsium karbonat (CaCO3) (Rosu et al. 1997), celite (Bornacheuer and
Yamane, 1994), ion exchange resin (Stevenson et al. 1993) dan Accure (Brady et
al. 1988).
Sintesis MAG melalui esterifikasi gliserol terhadap asam lemak diperlukan
untuk menghindari pembentukan diasilgliserol (DAG) dan triasilglisero l (TAG).
McNeill and Yamane (1991) menyebutkan bahwa hasil MAG dalam sintesis
secara enzimatis meningkat dengan menurunnya temperature reaksi. Penelitian
Hee-Guk Byun et al. (2007) menunjukkan untuk memproduksi MAG mlaluii
esterifikasi gliserol pada asam lemak dari minyak sardine dengan katalis lipase
dipengaruhi oleh rasio mol gliserol dan asam lemak, jumlah enzim, pelarut
organic, dan tipe lipase yang digunakan. Hee-Guk Byun et al. (2007)
menyebutkan bahwa kondisi optimum untuk sintesis MAG menggunakan rasio
mol gliserol terhadap asam lemak 1:6, 100 mg/ml lipase dari pancreas porcine,
dan suhu 30 C dalam dioksan, dengan kandungan MAG yang diperoleh 68%⁰
(w/w) setelah 72 jam.
3.4. Pemurnian Monogliserida
Pemurnian suatu bahan dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu
kristalisasi, destilasi, dan berdasarkan polaritas suatu bahan. Pada dasarnya
kristalisasi merupakan suatu teknik pemisahan bahan berdasarkan titik leleh
dimana tiap jenis bahan memiliki karakteristik titik leleh yang berbeda - beda
tergantung dari kedua faktor di atas. Proses kristalisasi dilakukan untuk beberapa
alasan seperti penghilangan komponen minor yang dapat merusak produk, dan
pemisahan menjadi beberapa komponen yang memiliki nilai lebih pada suatu
komponen tertentu. Kristalisasi yang dilakukan secara berulang akan
menghasilkan komponen atau fraksi yang lebih beragam untuk diaplikasikan ke
dalam berbagai produk. Pemisahan monoolein dari olein, triolein, dan gliserol
dapat dilakukan dengan kristalisasi bertahap. Adapun titik leleh olein 21.6 C⁰
(PORIM, 1989) monoolein 35 C dan gliserol 17.9 C (Kirk and Othmer, 1951)⁰ ⁰
Pemurnian monogliserida juga dapat dilakukan dengan pencampuran
bahan yang memiliki kepolaran yang sama. Menurut Winarno (1997), bila suatu
lemak didinginkan hilangnya panas akan memperlambat gerakan-gerakan molekul
dalam molekul sehingga jarak antara molekul -molekul lebih kecil. Kelarutan
minyak atau lemak dalam suatu pelarut ditentukan oleh sifat polaritas asam
lemaknya. Asam lemak yang bersifat polar cenderung larut dalam pelarut polar,
sedangkan asam lemak non polar larut dalam pelarut non polar. Daya kelarutan
dari asam lemak biasanya lebih tingi dari komponen gliseridanya, dan dapat larut
dalam pelarut organik yang bersifat polar dan non polar. Semakin panjang rantai
karbon, maka minyak dan lemak tersebut semakin sukar larut. Minyak dan lemak
yang tidak jenuh lebih mudah larut dalam pelarut organik daripada asam lemak
jenuh dengan panjang karbon yang sama. Asam lemak dengan derajat
kejenuhannya lebih tinggi akan lebih mudah larut daripada asam lemak dengan
derajat ketidakjenuhan rendah.
Pelarut heksan merupakan pelarut non polar sehingga dapat melarutkan
TAG dan ALB dengan sangat baik. Selain itu heksan memiliki bau yang tidak
tajam sehingga tidak mengganggu nilai organoleptik produk akhir yang
dihasilkan. Penambahan pelarut heksan diharapkan kandungan ALB dan TAG
pada emulsifier akan semakin berkurang. Hal ini dikarenakan heksan merupakan
pelarut non polar dan TAG lebih bersifat non polar daripada MAG dan DAG,
sehingga TAG lebih larut dalam heksan dan terpisah dari MAG dan DAG.
Menurut Farmo et al. (1994), kelarutan suatu komponen di dalam sistem non-
aquoeus tergantung dari titik leleh dan karakteristik pel arutnya. Suatu zat dapat
larut dalam pelarut jika memepunyai nilai polaritas yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Brockman, H. L. 1984. General Features of Lypolisis Reaction Schemes
Interfacial Structure and Experimental Aproachs. In B. Borgastrom and H. L.
Brockman (ed.) Lipase : 443-469. Ersevier, Amsterdam.
Bornscheuer UT, and Yamane T. (1994) Activity and stability of lipase in the
solid-phase glycerolysis of triolein. Enzyme Microb Technol 16:864–9.
Cheirsilp B. Kaewthong, W. and Kittikun, AH. 2007. Kinetic Study of
Glycerolysis of Palm Olein for Monoacylglycerol Production by Immobilize d
Lipase. Biochl Engineering Journal 35:71-80
Djatmiko, B. dan P. Wijaya. 1984. Teknologi Minyak dan Lemak, I. Agroindustri
Press, Fateta, IPB Bogor.
Farmo, M.W., Erick J., Frank A.N. dan Norman O.V.S 1994. 1994. Bailey
Industrial Oil and Fat Products, John Willey and Sons, NY.
Hartley, C.W.S. 1977. The Oil Plam. London: Longmann.
Herawan, T. 1993. Pembuatan Produk –Produk Oleokimia dari Minyak Sawit
Menggunakan Proses Enzimatis. Berita PPKS. 1(2), 85 -91.
Hess, R., Bornscheuer, U., Ca pewell, U. and Scheper, T. 1995. Lipase-catalyzed
Synthesis of Monostearylglycerol in Organic Solvents Microb Technol.
17:725-728
Holmberg K, and Osterberg E. (1988) Enzymatic preparation of monoglycerides
in microemulsion. JAOCS 65(9):1544–8.
Hui, Y.H. (ed.). 1996. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. John Wiley &
Sons, Inc., New York.
Kirk, R.E. dan D.F. Othmer, 1964. Encyclopedia of Chemical Technology Vol. 3.
The Interscience Encyclopedia Inc., NY.
McNeill GP and Yamane T. (1991) F urther improvements in the yield of
monoglycerides during enzymatic glycerolysis of fats and oils. JAOCS
68(1):6–10.
Noureddini, H., Medikonduru, V., Glycerolysis of Fats and Methyl Esters, J. Am.
Oil
PORIM. 1989. Basic background Information on Palm Oil Malaysian palm Oil
Promotion Council. Kualalumpur.
Setyamidjaja, 1991. Budidaya Kelapa Sawit. Kanisius. Jakarta.
Sonntag NOV. (1982) Glycerolysis of fats and methyl esters-status. JAOCS
59(10):795A– 802A
Ternelli F., King, JW and Listb, GR. 1996. Conversion of Ois to Monoglycerides
by Glycerolysis in Supercritical Carbon Dioxide Media. JAOCS, Vol 73:6.
Willis, W.M dan Marangoni, A.G. 2002. Enzymatic Interesterification. Dalam
Akoh, C C dan Min, D. B. Food Lipid. Chemistry, Nutrition and
Biotechnology. Marcell Dekker. NY.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta.
Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
MAKALAH TEKNOLOGI PENGOLAHAN LEMAK DAN MINYAK
“POTENSI PEMANFAATAN MINYAK SAWIT SEBAGAI EMULSIFIER MONOASILGLISEROL”
Oleh:
Sayi Hatiningsih (101710101010)
Siti Ftriyah (101710101028)
Adi Purwanto (101710101029)
Fani Firdausi (101710101051)
Hamidatun Wafiroh (101710101109)
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2013