Post on 18-Jan-2016
Lupus Eritematosus Sistemik
Prima Magdalena Desiyanthi*
10-2011-393 / F2
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA
*Alamat Korespendensi:
Prima Magdalena Desiyanthi
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510
No. Telp (021) 5694-2061, e-mail: prima.magdalena@yahoo.com
Pendahuluan
Reumatologi merupakan ilmu yang relatif muda di Indonesia dibandingkan dengan sejawatnya
Ilmu Bedah Ortopedi. Reumatologi adalah ilmu yang mempelajari penyakit sendi, termasuk
penyakit artitis, fibrositis, bursitis, neuralgia dan kondisi lainya yang menimbulkan nyeri somatik
dan kekakuan. Reumatologi mencakup penyakit autoimun, artritis dan kelainan muskuloskeletal.
Jenis, berat dan penyebaran penyakit reumatik dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko seperti
faktor umur, jenis kelamin, genetik dan faktor lingkungan. Saat ini telah dikenal lebih dari 110
jenis penyakit reumatik yang sering menunjukkan gambaran klinik yang hampir sama. 1,2
Dari sekian banyak penyakit reumatik tersebut salah satu penyakin yang cukup banyak dijumpai
adalah lupus eritematosus sistemik. Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit
autoimun yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Penyakit ini ditandai dengan
adanya inflamasi tersebar luas yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh.
Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan. 3-5
Anamnesis
Penyakit sistem muskuloskeletal bisa bermanifestasi sebagai nyeri (khususnya pada sendi),
deformitas, pembengkakan, berkurangnya mobilitas, penurunan fungsi, dan gambaran sistemik
seperti ruam atau demam. 6
1. Riwayat penyakit terdahulu
Adakah riwayat kelainan sendi atau tulang sebelumnya?
Pernahkah pasien menjalani operasi seperti penggantian sendi?
2. Obat-obatan
Tanyakan juga pada pasien mengenai obat-obat yang pernah dikonsumsi sebelum datang
ke dokter, seperti analgesic, AINS, kortikosteroid, imunosupresan lain, penisilamin,
garam emas, dan klorokuin.
3. Penyelidikan fungsional
Tanyakan secara khusus mengenai gambaran sistemik penyakit, seperti demam,
penurunan berat badan, dan ruam. Tanyakan pula adakah penyakit genitourinarius atau
saluran cerna.
4. Riwayat sosial
Temukan akibat fungsional seperti pasein tidak dapat berjalan, makan, dan sebagainya,
dan alat bantu apa yang dipakai pasien, seperti kursi roda, tongkat, dan lainnya.
SLE merupakan gangguan autoimun sistemik. Penyakit ini ditandai oleh adanya antibodi
antinuklear. Manifestasinya bisa ditemukan pada berbagai organ sehingga gejala dan tandanya
sangat banyak. Presentasi klinisnya termasuk ruam malar, artralgia, alopesia, perikarditis, gagal
ginjal, defisit neurologis, atau bahkan gangguan psikiatrik. Prevalensinya 100/100.000. 3,6
1. Gejala apa yang pernah dialami pasien? Misalnya ruam malar yaitu ruam kemerahan
pada pipi, fotosensitivitas yang mengakibatkan ruam kulit yang timbul akibat terkena
sinar matahari, ruam diskoid yaitu bintik-bintik eritematosa menimbul, artralgia, artritis
tidak erosif pada dua atau lebih sendi-sendi perifer, demam, kelelahan, nyeri dada
pleuritik, perikarditis, bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus di mulut.
2. Organ apa lagi yang terkena?
3. Pernahkan ada peristiwa tromboembolik atau aborsi spontan (Pertimbangkan sindrom
anti-fosfolipid yang terkait)?
4. Tanyakan penyakit ginjal dan neurologis karena memiliki kepentingan khusus.
Riwayat penyakit dahulu.
Adakah riwayat penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius? Pertimbangkan riwayat
kejadian tromboembolik. Adakah riwayat kondisi autoimun lain? Misalnya hipotiroidisme. 6
Obat-obatan
Apakah pasien mendapat terapi dengan imunosupreasan? Misalnya kortikosteroid, azatioprin.
Apakah pasien mengkonsumsi antikoagulan? Misalnya warfarin, aspirin? Hati-hati terhadap
lupus akibat obat. 6
Riwayat keluarga.
Adakah riwayat lupus atau penyakit autoimun lain dalam keluarga? 6
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik secara umum dokter dapat melihat dan mencari adanya deformitas yang
terlihat jelas, postur tubuh abnormal, pengecilan otot yang terlihat jelas dan apakah masa otot
tampak normal pada bagian bahu, pantat, tangan, dan otot kuadriseps, kelainan terkait, misalnya
nodul rheumatoid, tofi gout, psoriasis, atau tanda-tanda penyakit reumatologis sistemik.
Pemeriksa sendi juga perlu dilakukan untuk mencari adanya pembengkakan, deformitas, efusi,
eritema, dan nilai kisaran gerak aktif dan pasif pasien. 1,2,6
Secara khusus perlu diperhatikan apakah muncul gejala-gejala seperti berikut. 6
Ruam.
Demam.
Anemia.
Alopesia.
Limfadenopati.
Ulkus mulut.
Bengkak sendi: efusi dan nyeri tekan.
Takipnea: pertimbangkan hipertensi pulmonal, emboli paru, gagal ginjal disertai
kelebihan cairan, efusi pleura, dan fibrosis paru.
TD: periksa adanya hipertensi.
Gesekan perikard/pleural.
Edema pergelangan kaki.
Neuropati.
Defisit neurologis, termasuk defisit fokal dan gangguan kognitif.
Gangguan psikiatrik, khususnya psikosis.
Urin: proteinuria dipstik, hematuria, dan silinder.
Gambar 1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik SLE 6
Pemeriksaan Penunjang
ANA positif pada lebih dari 95% pasien SLE. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui
adanya antibodi yang mampu menghancurkan inti dari sel-sel tubuh sendiri. Selain mendeteksi
adanya ANA, juga berguna untuk mengevaluasi pola dari ANA dan antibodi spesifik. Pola ANA
dapat diketahui dari pemeriksaan preparat yang diperiksa dibawah lampu ultraviolet. Suatu
pemeriksaan banding untuk mengetahui tipe ANA spesifik saat ini sudah dapat dilakukan, dan
pemeriksaan ini berguna untuk membedakan SLE dari tipe-tipe gangguan lain. Dengan
pemeriksaan yang baik, 99% pasien SLE menunjukkan pemeriksaan yang positif. 1-3
Antibodi terhadap DNA dapat digolongkan dalam antibodi yang reaktif terhadap DNA natif
(double stranded DNA). Antibodi terhadap dsDNA merupakan uji spesifik untuk SLE. Anti
dsDNA positif dengan kadar yang tinggi dijumpai pada73% SLE dan mepunyai arti diagnostik
dan prognostik. Peingkatan kadar anti dsDNA menunjukkan peningkatan aktivitas penyakit.
Pada SLE, anti dsDNA mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan aktivitas
penyakit SLE. Gangguan reumatologik lain dapat juga menyebabkan ANA positif, tertapi
antibody anti-DNA jarang ditemukan kecuali pada SLE. 1-3
Anti snRNP adalah suatu auto antibodi terhadap partikel small nuclear ribocleoprotein dari
RNA. Anti-Sm dan anti u1 snRNP termasuk golongan anti snRNP. Anti U1 snRNP dijumpai 30-
40% pasien SLE. Anti SM mempunyai spesifisitas yang tinggi terhadap SLE (spesifisitas 99%)
walaupun hanya ditemukan pada 20-30% pasien SLE. 1
Laju endap darah pada pasien SLE biasanya meningkat. Ini adalah uji nonspesifik untuk
mengukur peradangan dan tidak berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit. 3
Uji laboratorium yang sudah dipakai sebelumnya dan yang terkadang masih dipakai sampai
sekarang adalah uji faktor LE. Sel LE dibentuk dengan merusak beberapa leukosit pasien,
sehingga sel-sel tersebut mengeluarkan nukleoproteinnya. Protein ini bereaksi dengan IgG, dan
kompleks ini difagositosis oleh leukosit normal yang masih ada. Sel LE dapat juga ditemukan
pada gangguan sistemik lain dari penyakit golongan reumatik yang juga diperantari oleh
imunitas. 3
Urin diperiksa untuk mengetahui adanya protein, leukosit, eritrosit, dan silinder. Uji ini
dilakukan untuk menentukan adanya komplikasi ginjal dan untuk memantau perkembangan
penyakit ini. 3
Diagnosis Kerja
Diagnosis SLE dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. American
College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982 mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi SLE,
dimana bila didapatkan empat kriteria, maka diagnosis SLE dapat ditegakkan. Kriteria tersebut
adalah sebagai berikut. 1
1. Ruam malar.
2. Ruam diskoid.
3. Fotosensitifitas.
4. Ulserasi di mulut atau nasofaring.
5. Artritis.
6. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis.
7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuriapersisten > 0,5 gr/ hari atau ada silinder sel.
8. Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang atau psikosis.
9. Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik atau lekopenia atau limfopenia atau
trombositopenia.
10. Kelainan imunologik, yaitu sel LE positif atau anti DNA positif, taua anti Sm positif atau
tes serologik untuk sifilis yang positif palsu
11. Antobodi antnuklear ( Antinuclear antibody, ANA) positif.
Keterlibatan akan penyakit SLE bila dijumpai dua atau lebih keterlibatan organ sebagaimana
tercantum dibawah ini. 1
1. Gender wanita pada rentang usia reproduksi
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi), dan penurunan berat badan
3. Muskuloskeletal: artritis, arthralgia, myositis
4. Kulit: ruam kupu-kupu (Butterfly Rash), fotosensitifitas, SLEi membrane mukosa,
alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, cetakan, sindroma nefrotik
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleuritis, hipertensi pulmonal, SLEi parenkim paru
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, myelitis, transversa, neuropati
kranial dan perifer
Diagnosis Banding
1. Arthritis Rheumatoid
Artritis rheumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik
kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi klinik klasik AR adalah
poliartritis simetrik yang terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain
lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai organ-organ diluar persendian seperti kulit,
jantung, paru-paru, dan mata. Menegakkan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin dapat
menurunkan progresifitas AR. Metode terapi yang dianut saat ini adalah pendekatan piramida
terbalik (reverse pyramid), yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat
perburukan penyakit. Bila tidak mendapat terapi yang adekuat, akan terjadi destruksi sendi,
deformitas, dan diabilitas. 1,2
Prevalensi AR lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan
rasio 3:1 dan dapat terjadi pada semua kelompok umur, shingga diduga hormon sex berperan
dalam perkembangan penyakit ini. Beberapa virus dan bakteri juga diduga sebagai agen
penyebab penyakit ini, walaupun belum ditemukan agen infeksi yang secara nyata terbukti
sebagai penyebab AR. Etiologi dari AR tidak diketahui secara pasti. Terdapat faktor yang
kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik berperan penting terhadap
kejadian AR, dengan angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%. Hubungan gen HLA-
DRB1 dengan kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA
juga berhubungan dengan AR. Gen ini berperan penting dalam resorpsi tulang pada AR. Faktor
genetik juga berperan penting dalam terapi AR karena aktivitas enzim seperti
methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine methyltrasferase untuk metabolisme
methotrexate dan azathioprine ditentukan oleh faktor genetik. 1,2
Kerusakan sedi pada AR dimulai dari proliferasi makrofag dan fibroblast synovial setelah adanya
factor pencetus berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan
terjadi proliferasi sel-sel endotel, yang selanjutnya terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada
sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terjadi
pertumbuhan yang ireguler pada jaringan synovial yang mengalami inflmasi, sehingga
membentuk jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak tulang dan tulang rawan sendi.
Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase, dan faktor pertumbuhan dilepaskan, sehingga
mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik. 1,2
Artritis pada penderita AR seringkali diikuti oleh kekakuan sendi pada pagi hari yang
berlangsung selama satu jam atau lebih. Beberapa penderita juga mempunyai gejala
konstitusional berupa kelemahan, kelelahan, anoreksia, dan demam. Penderita AR pada
umumnya datang dengan keluhan nyeri dan kaku pada banyak sendi. Walaupun tanda kardinal
inflamasi mungkin ditemukan pada awal penyakit atau selama kekambuhan, namun kemerahan
dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada AR kronik. 1,2
Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu adanya inflamasi pada membran synovial yang
membungkus sendi. Pada umumnya sendi yang terkena adalah persendian tangan, kaki, dan
vertebra servikal, tetapi persendian besar seperti bahu dan lutut juga dapat terkena. Sendi yang
terlibat pada umumnya simetris, meskipun pada presentasi awal tidak simetris. Sinovitis akan
menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi. 1,2
Tabel 1. Bentuk-Bentuk Deformitas pada Artritis Reumatoid 1
Bentuk Deformitas Keterangan
Deformitas leher angsa
(swan neck)
Hiperekstensi PIP dan flesi DIP
Deformitas boutonniere Fleksi PIP dan hiperekstensi DIP
Deviasi ulnar Deviasi MCP dan jari-jari ke arah ulnar
Deformitas kunci piano
(piano key)
Dengan penekanan manual akan terjadi pergerakan
naik turun dari ulnar styloid yang disebabkan
rusaknya sendi radioulnar
Deformitas Z-thumb Fleksi dan subluksasi sendi MCP I dan hiperekstensi
sendi IP
Arthritis mutilans Sendi MCP, PIP, tulang carpal, dan kapsul sendi
mengalami kerusakan, sehingga terjadi instabilitas
sendi dan tangan tampak mengecil (operetta glass
hand)
Hallux valgus MTP I terdesak ke arah medial dan jempol kaki
mengalami deviasi ke arah luar yang terjadi secara
bilateral
Walaupun artritis merupakan manifestasi utama, tetapi AR merupakan penyakit sistemik
sehingga banyak penderita juga mempunyai manifestasi ekstra articular. Manifestasi ekstra
articular pada umumnya didapat pada pasien yang mempunyai titer RF serum tinggi. Nodul
rheumatoid merupakan manifestasi kulit yang paling sering dijumpai. 1
Tabel 2. Manifestasi Ekstraartikular Artritis Reumatoid 1
Sistem Organ Manifestasi
Konstitusional Demam, anoreksia, fatigue, kelemahan, limfadenopati
Kulit Nodul reumatoid, accelerated rheumatoid nodulosis,
rheumatoid vasculitis, pyoderma gangernosum, intersitial
granulomatosus dermatitis with arthritis, palisaded
neutrophillic dan granulomatosis dermatitits, dan adul-
onset still disease
Mata Sjogren syndrome (keratoconjunctivitis sicca), skleritis,
episkleritis, skleromalacia
Kardiovaskular Perikarditis, efusi perikardial, endokarditis, valvulitis
Paru-paru Pleuritis, efusi pleura, intesitial fibrosis, nodul reumatoid
paru, Caplain's syndrome (infiltrat nodular pada paru
dengan pneumoconiosis)
Hematologi Anemia penyakit kronik, trombositosis, eosinofilia, Felty
syndrome (AR dengan neutropenia dan splenomegali)
Gastrointestinal Sjogren syndrome (xerostomia), amyloidosis, vaskulitis
Neurologi Entrapment neuropathy, myelopathy/ myositis
Ginjal Amyloidosis, renal tubular acidosis, intersitial nephritis
Metabolik Osteoporosis
2. Anemia defisiensi besi (Fe)
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari
normal. Faktor-faktor penyebab anemia gizi besi adalah status gizi yang dipengaruhi oleh pola
makanan, social ekonomi keluarga, lingkungan dan status kesehatan. Selain itu penyebab anemia
gizi besi dipengaruhi oleh kebutuhan tubuh yang meningkat, akibat mengidap penyakit kronis
dan kehilangan darah karena menstruasi dan infeksi parasit (cacing). Kekurangan zat besi dapat
menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel otak.
Kekurangan kadar Hb dalam darah dapat menimbulkan gejala lesu, lemah, letih, lelah dan cepat
lupa. Akibatnya dapat menurunkan prestasi belajar, olah raga dan produktifitas kerja. Selain itu
anemia gizi besi akan menurunkan daya tahan tubuh dan mengakibatkan mudah terkena infeksi.
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah,
artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan sel-
sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah. Diagnosis anemia defisiensi besi
ditegakkan berdasarkan adanya anemia dan penurunan kadar besi di dalam serum.7
Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, SLE menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi
SLE di berbagai negara bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda, bervariasi
antara 2,9/100.000 – 400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa
negro, Cina, dan mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi dan
geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia,
tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita
dibandingkan pada pria berkisar antara 5,5-9 : 1. 1
Etiologi dan Patogenesis.
Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti, tetapi adanya antibodi (terhadap antigen-
antigen diri) yang jumlahnya seperti tidak terbatas pada para pasien ini menunjukkan bahwa
kelainan mendasar pada SLE adalah kegagalan mekanisme yang mempertahankan toleransi diri.
Terdapat antibodi terhadap beragam komponen nukleus dan sitoplasma sel yang tidak spesifik
terhadap organ atau spesies. Selain itu, terdapat kelompok ketiga dari antibodi yang ditujukan
pada antigen permukaan sel darah. 1,3,7
Etiopatologi SLE diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktoral antara variasi
genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik diduga berperan penting dalam predisposisi
penyakit ini. Pada kasus SLE yang terjadi secara sporadik tanpa identifikasi faktor genetik,
berbagai faktor lingkungan diduga terlibat atau belum diketahui faktor yang bertanggung jawab. 1,3,7
Interaksi antara sex, status hormonal, dan aksis hypothalamus-hipofise-adrenal (HPA)
mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Adanya gangguan dalam mekanisme
pengaturan imun merupakan kontributor yang penting dalam perkembangan penyakit ini.
Hilangnya toleransi imun, meningkatnya beban antigenik (antigenic load), bantuan sel T yang
berlebihan, gangguan supresi sel B, dan peralihan respon imun dari Th1 ke Th2 menyebabkan
hiperaktivitas sel B dan memproduksi antibody patogenik. Respon imun yang terpapar faktor
eksternal atau lingkungan seperti radiasi ultraviolet atau infeksi virus dalam periode yang cukup
lama bisa juga menyebabkan disregulasi sistem imun. 1,3,7
1. Faktor Genetik
SLE adalah suatu sifat genetik yang kompleks dengan kontribusi paling banyak pada gen
dari Kompleks Histokompatibilitas Mayor (MHC). Penelitian populasi menunjukkan
bahwa kepekaan terhadap SLE melibatkan polimorfisme dari gen HLA (Human
Leucocyte Antigen) kelas II. Gen HLA kelas III, khususnya yang mengkode komponen
komplemen C2 dan C4, memberikan risiko SLE pada kelompok etnik tertentu. Sebagian
pasien lupus mewarisi defisiensi komponen-komponen awal komplemen. Ketiadaan
komplemen dapat mengganggu pembersihan kompleks imun dalam darah oleh sistem
fagosit mononukleus sehingga kemungkinan pengendapan kompleks imun di jaringan
lebih besar. Penurunan aktivitas komplemen meningkatkan kepekaan terhadap penyakit
oleh karena berkurangnya kemampuan netralisasi dan pembersihan, baik terhadap antigen
diri sendiri maupun antigen asing. Jika beban antigen melebihi kapasitas pembersihan
dari sistem imun, maka autoimunitas mungkin terjadi. 1,3,7
2. Faktor Hormonal
SLE adalah penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan. Serangan pertama kali
SLE jarang terjadi pada usia prepubertas dan setelah menopause. Metabolisme estrogen
yang abnormal telah ditunjukkan pada kedua jenis kelamin. Perempuan dengan SLE juga
mempunyai konsentrasi androgen plasma yang rendah. Konsentrasi androgen berkorelasi
negatif dengan aktivitas penyakit. Konsentrasi testosteron plasma yang rendahdan
meningkatnya konsentrasi luteinizing hormon ditemukan pada beberapa penderita SLE
laki-laki. Jadi estrogen yang berlebihan dengan aktivitas hormon androgen yang tdak
adekuat baik pada laki-laki maupun perempuan, mungkin bertanggungjawab terhadap
perubahan respon imun. 1,3,7
3. Faktor Lingkungan
Meskipun faktor genetik dan hormonal mungkin merupakan predisposisi untuk SLE,
tetapi inisiasi penyakit ini diduga merupakan hasil dari beberapa faktor eksogen dan
lingkungan. Agen infeksi seperti virus Epsteinn-Barr (EBV) mungkin menginduksi
respon spesifik melalui kemiripan molekular dan gangguan terhadap regulasi imun. Diet
mempengaruhi mediator inflamasi. Toksin atau obat-obatan memodifikasi respon selular
dan imunogenisitas dari self antigen. Agen fisik atau kimia seperti sinar ultraviolet dapat
menyebabkan inflamasi, memicu apoptosis sel dan menyebabkan kerusakan jaringan.
Radiasi ultraviolet bisa mencetuskan dan mengeksaserbasi ruam fotosensitivitas pada
SLE, juga ditemukan bukti bahwa sinar UV dapat merubah struktur DNA yang
menyebabkan terbentuknya autoantibodi. Pengaruh faktor lingkungan terhadap faktor
predisposisi individual sangat bervariasi. Hal ini mungkin bisa menjelaskan heterogenitas
dan adanya periode bergantian antara remisi dan kekambuhan dari penyakit ini. 1,3,7
4. Faktor Imunologi
Gangguan imunologis utama pada penderita SLE adalah produksi autoantibodi. Antibodi
ini ditujukan kepada self molecules yang terdapat pada nukleus, sitoplasma, permukaan
sel, dan juga terhadap molekul terlarut seperti IgG dan faktor koagulasi. Antibodi
antinuklear (ANA) adalah antibodi yang paling banyak banyak ditemukan pada penderita
SLE (lebih dari 95%). Anti ds-DNA dan anti-Sm antibodi merupakan antibodi yang
spesifik untuk SLE sehingga dimasukkan dalam kriteria klasifikasi dari SLE. Titer
antibodi anti-DNA sering kali berubah sesuai dengan waktu dan aktivitas penyakit,
sedangkan titer antibodi anti-Sm biasanya konstan. Meskipun telah ditemukan hubungan
yang jelas antara gambaran klinis tertentu dari SLE dengan autoantibodi, patogenisitas
dari antibodi ini belum diteliti secara adekuat. Sehingga mekanisme imunologis yang
pasti dari kelainan ini masih belum jelas. 1,3,7
Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik penyakit ini sangat beragam dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali
sebagai SLE. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinik SLE seringkali tidak terjadi secara
bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa lama mengeluhkan nyeri sendi yang
berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya
seperti fotosensitifitas dan manifestasi lainnya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria SLE.
Gambaran klinis keterlibatan sendi atau muskuloskeletal dijumpai pada 90% kasus SLE,
walaupun artritis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada 55% kasus. 1,2
Gejala Konstitusional.
1. Kelelahan
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita SLE, biasanya
mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena
banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan, seperti anemia, meningkatnya
beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison. Apabila kelelahan
disebabkan oleh SLE, maka perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lain, yaitu kadar C3
serum yang rendah. Kelelahan akibat SLE ini memberikan respon terhadap pemberian
steroid atau latihan. 1,2
2. Penurunan Berat Badan
Keluhan ini dijumpai pada sebagian penderita SLE dan terjadi dalam beberapa bulan
sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh
menurunnya nafsu makan atau akibat gejala gastrointestinal. 1,2
3. Demam
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab lain seperti
infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40o C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti
leukositosis. Demam akibat SLE biasanya tidak disertai menggigil. 1,2
4. Gejala-gejala lain yang sering dijumpai pada penderita SLE dapat terjadi sebelum
ataupun seiring aktifitas penyakitnya seperti rambut rontok, hilangnya nafsu makan,
pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah. 1,2
Manifestasi Muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling sering dijumpai pada
penderita SLE. Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia), atau
merupakan suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini seringkali
dianggap sebagai manifestasi RA (Rheumatoid Arthritis) karena keterlibatan sendi yang banyak
dan simetris. Untuk itu, perlu dibedakan dengan RA dimana pada umumnya SLE tidak
menyebabkan kelainan deformitas, kaku sendi yang berlangsung beberapa menit. 1
Manifestasi Kulit
Ruam kulit merupakan manifestasi SLE pada kulit yang telah lama dikenal oleh para ahli. Lesi
mukokutaneus yang tampak sebagai bagian SLE dapat berupa reaksi fotosensitifitas, diskoid LE
(DLE), subacute cutaneous lupus erythematous (SCLE), lupus profundus/ paniculitis, alopecia,
lesi vaskuler berupa eritema periungual, livedo retricularis, teleangiectasia, fenomena raynaud’s
atau vaskulitis atau bercak yang menonjol berwarna putih perak dan dapat pula berupa bercak
eritema pada palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau depigmentasi pada bibir. 1
Manifestasi Paru
Berbagai manifestasi klinik pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang interstitial parenkim
paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, atau shrinking lung
syndrome. Penumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau berlanjut hingga kronik. Pada keaaan
akut perlu dibedakan dengan pneumonia bakterial. Apabila terjadi keraguan, dapat dilakukan
tindakan invasive seperti bilas bronkoalveolar. Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk
kering, dan dijumpai ronkhi di basal. Hemoptisis merupakan keadaan serius yang merupakan
bagian dari perdarahan paru akibat SLE, dan memerlukan penanganan yang tepat. 1
Manifestasi Kardiologis
Baik perikardium, endokardium, miokardium, ataupun pembuluh darah koroner dapat terlibat
pada penderita SLE, walaupun yang paling banyak terkena adalah perikardium. Perikarditis
harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal, friction rub, gambaran
silhouette sign pada foto dada, maupun melalui gambaran EKG. Apabila dijumpai adanya
aritmia atau gangguan konduksi, kardiomegali, bahkan takikardia yang tidak jelas penyebabnya,
maka kecurigaan adanya miokarditis perlu dibuktikan. Penyakit jantung koroner dapat pula
dijumpai pada penderita SLE dan bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard, atau
gagal jantung kongestif, terutama pada penderita SLE usia muda dengan jangka penyakit yang
panjang serta penggunaan steroid jangka panjang. Valvulitis, gangguan konduksi, dan hipertensi
merupakan komplikasi lain yang juga sering dijumpai pada penderita SLE. 1
Manifestasi Renal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar terjadi setelah lima
tahun menderita SLE. Rasio wanita dibandingkan dengan pria adalah 10 : 1 dengan puncak
insidensi pada usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya tidak
tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk mendapatkan suatu
diagnosis pasti, mungkin perlu dilakukan biopsi ginjal. 1
Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita SLE, karena dapat merupakan
cerminan keterlibatan berbagai organ atau sebagai akibat pengobatan. Secara klinis tampak
adanya keluhan penyakit pada esophagus (disfagia dan dispesia), mesenteric vasculitis,
inflammatory bowel disesase (IBS), pankreatitis, dan penyakit hati (hepatomegaly). Nyeri
abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum yang dibuktikan dengan
pemeriksaan autopsi. 1
Manifestasi Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat SLE sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang begitu
luas. Kelainan ini dikelompokan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Keterlibatan
susunan saraf pusat dapat bermanifestasi sebagai epilepsi, hemiparesis, lesi saraf kranial, lesi
batang otak, meningitis aseptik, atau myelitis transversal. Sedangkan pada susunan saraf tepi
akan bermaifestasi sebagai neuropati perifer, myasthenia gravis, atau mononeuritis multiplex.
Dari segi psikiatrik, gangguan fungsi mental dapat bersifat organik maupun non-organik. 1
Manifestasi Hemik-Limfatik
Limfadenopati baik menyeluruh ataupun terlokalisir sering dijumpai pada penderita SLE.
Kelenjar getah bening yang paling sering terkena adalah aksila dan servikal, dengan karakteristik
tidak nyeri tekan, lunak, dan ukuran bervariasi sampai 3-4 cm. Organ limfoid lain yang sering
dijumpai pada penderita SLE adalah splenomegali yang biasanya disertai dengan pembesaran
hati (hepatomegali). Anemia dapat dijumpai pada suatu periode perkembangan penyakit SLE.
Diklasifikasikan sebagai anemia yang diperantarai proses imun dan non-imun. Pada anemia yang
bukan diperantarai proses imun diantaranya berupa anemia karena penyakit kronik, defisiensi
besi, sickle cell anemia, dan anemia sideroblastik. Untuk anemia yang diperantarai proses imun
dapat bermanifestasi sebagai pure red cell aplasia, anemia aplastik, anemia hemolitik autoimun,
dan beberapa kelainan lain yang dikaitkan dengan proses autoimun seperti anemia pernisiosa dan
acute hemophagocytic syndrome. 1
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien SLE bersifat banyak segi dan meliputi penyuluhan, terapi obat yang
kompleks, dan tindakan-tindakan pencegahan. Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat
penting diperhatikan dalam penatalaksanaan penderita SLE. 1,2,4,5
Butir-butir edukasi terhadap pasien SLE:
1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.
2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut.
3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait dengan
pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun diet,
megatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.
4. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE, mengatasi
rasa lelah, stress emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan keluarga atau tempat
kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.
5. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian, dan sebagainya. Perlukah
suplementasi mineral dan vitamin? Obat-obatan yang dipakai jangka panjang.
6. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE ini, adakah kelompok
pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE.
Sebelum penderita SLE diberi pengobatan, harus ditentukan terlebih dahulu apakah penderita
tergolong yang memerlukan terapi konservatif atau imunosupresif yang agresif. Pada umumnya,
penderita SLE yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ
dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-ogan
mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi
dan imunosupresan lainnya. 1,2,4,5
Terapi Konservatif
1. Artritis, arthralgia, dan myalgia merupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita
SLE. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau obat
antiinflamasi nonsteroid. Yang harus diperhatikan pada peggunaan obat-obat ini adalah
efek sampingnya, agar tidak memperberat keadaan umum penderita. Bila obat analgetik
dan antiiflmasi non steroid tidak memberikan respon yang baik, dapat dipertimbangkan
pemberian obat antimalaria misalnya hidroksiklorokuin 400mg/hari. Bila dalam waktu 6
bulan obat ini tidak memberikan efek yang baik, harus segera di stop. Pemberian
klorokuin lebih dari 3 bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan
evaluasi oftalmologik, karena obat ini mempunyai efek toksik terhadap retina. 1,4,5
Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons adekuat terhadap obat
analgetik atau obat antiinflamasi nonsteroid atau obat antimalria, dapat dipertimbangkan
pemberian kortikosteroid dosis rendah, dengan dosis tidak lebih dari 15mg setiap pagi.
Metotreksat dosis rendah (7,5-15mg/ minggu) juga dapat dipertimbangkan untuk
mengatasi artritis pada penderita SLE. 1,4,5
2. Sekitar 70% penderita SLE akan mengalami fotosensitifitas. Eksaserbasi akut SLE dapat
timbul bila penderita terpapar oleh sinar UV, sinar inframerah, panas, dan kadang-kadang
juga sinar fluoresensi. Penderita fotosensitifitas harus berlindung terhadap paparan sinar-
sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung, kaca jendela digelapkan,
menghindari paparan langsung, dan menggunakan sunscreen. Sunscreen ini harus selalu
dipakai ulang setelah mandi atau bila berkeringat. Glukokortikoid lokal seperti krem,
salep, atau injeksi dapat dipertimbangkan pada dermatitis lupus. 1,4,5
Pemilihan preparat topikal harus hati-hati karena glukokortikoid topikal, terutama yang
bersifat diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis, dan
fragilitas. Penggunaan krem glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi harus dibatasi
selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan yang lebih rendah. Untuk kulit muka
dianjurkan penggunaan preparat steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi,
misalnya hidrokortison, sedangkan untuk kulit badan dan lengan dapat digunakan steroid
topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan triamsinolon asetonid. 1,4,5
Obat-obat antimalaria sangat baik digunakan untuk lupus kutaneus karena antimalaria
mempunyai efek sunblocking, antiinflamasi, dan imunosupresan. Antimalaria juga
mengikat melanin dan berperan sebagai sunscreen. Pada penderita yang resisten terhadap
antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberian glukokortikoid sistemik dan obat
eksperimental lainnya. 1,4,5
3. Fatigue merupakan keluhan utama yang sering didapatkan pada penderita SLE, demikian
juga penurunan berat badan dan demam. Fatigue juga dapat timbul akibat terapi
glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan fever dapat juga diakibatkan oleh
pemberian quinakrin. Pada keadaan yang berat menunjukkan peningkatan aktifitas SLE
dan pemberian glukokotikoid sistemik dapat dipertimbangkan. 1,4,5
Terapi Agresif
Terapi agresif dapat dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi harus segera dimulai
bila timbul manifestasi serius SLE yang mengancam nyawa, misalnya vaskulitis, lupus kutaneus
yang berat, poliartritis, poliserosits, miokardistis pneumonitis lupus, glomerulonefritis, anemia
hemolitik, trombositopneia, isndrom otak organik, defek kognitif yang berat, mielopati,
neuropati perifer dan krisis lupus. Dosis glukokortikoid sangat penting diperhatikan
dibandingkan jenis yang akan diberikan. Walaupun demikian, pemberian glukokortikoid berefek
panjang seperti deksametason sebaiknya dihindari. Pemberian prednison lebih banyak disukai
karena lebih mudah mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral sebaiknya diberikan
dalam dosis tunggal pada pagi hari. Bila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian
glukokortikoid dosis tinggi tidak menunjukkan perbaikan yang nyata, maka dipertimbangkan
untuk memberikan imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya. 1,4,5
Bolus sikofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 250 ml NaCl 0,9% selama 60 menit diikuti
dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah pemberian obat, banyak digunakan secara luas
pada terapi SLE. Siklofosfamid diindikasikan pada:
1. Penderita SLE yang membutuhkan steroid dosis tinggi.
2. Penderita SLE yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi
3. Penderita SLE kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama atau berulang.
4. Glomerulonefritis difus awal.
5. SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.
6. Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin serum tanpa adanya faktor-
faktor ekstrarenal lainnya.
7. SLE dengan manifestasi susunan saraf pusat.
Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2
tahun. Selama pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan
memperhatikan aktifitas lupusnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi nausea dan vomitus,
alopesia, sistitis hemoragika, keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium dan azoospermia. 1,4,5
Obat sitotoksik lain yang toksisitas dan efektifitasnya lebih rendah dari sikolofosfamid adalah
azatioprin. Diberikan dengan dosis 1-3 mg/ kgBB/ hari secara peroral. Obat ini dapat diberikan
selama 6-12 bulan pada penderita SLE. Setelah penyakitnya dapat dikontrol dan dosis steroid
sudah seminimal mungkin, maka dosis azatioprin juga dapat diturunkan perlahan dan dihentikan
setelah penyakitnya betul-betul terkontrol dengan baik. 1,4,5
Komplikasi
Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada pengidap LES. Dapat terjadi perikarditis.
Peradangan membran pleura yang mengelilingi paru dapat membatasi pernapasan. sering terjadi
bronkitis. Dapat terjadi vaskulitis di semua pembuluh otak dan perifer. Komplikasi susunan saraf
pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahan kepribadian, termasuk psikosis dan depresi dapat
terjadi. Perubahan kepribadian mungkin berkaitan dengan terapi obat atau penyakitnya. 5
Prognosis
Prognosis SLE bervariasi tergantung pada keparahan gejala, organ-organ yang terlibat, dan lama
waktu remisi dapat dipertahankan. SLE tidak dapat disembuhkan. Penatalaksanaan ditujukan
untuk mengatasi gejala. Prognosis berkaitan dengan sejauh mana gejala-gejala ini dapat diatasi. 3
Kesimpulan
Kelemahan, nyeri pada jari-jari kedua tangan serta kaku pada pagi hari, banyak rambut yang
rontok, dan wajah yang seringkali memerah bila sebentar saja terpapar sinar matahari merupakan
manifestasi klinis dari penyakit lupus eritematosus sistemik. Etiologi dan patogenesis dari
penyakit ini belum jelas. Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik yang paring
sering dijumpai pada penderita SLE. Keluhan yang muncul dapat berupa mialgia, artralgia, atau
artritis sehingga harus dapat dibedakan dengan manifestasi dari penyakit arthritis rheumatoid.
Pada umumnya SLE tidak menyebabkan kelainan deformitas dan kaku sendi hanya berlangsung
beberapa menit. Untuk memastikan diagnosis, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk
memeriksa antinuklear antibodi atau anti dsDNA. Penyakit ini tidak dapat disembuhkan namun
dapat diberikan terapi untuk menekan penyakit ini sehingga SLE dalam keadaan remisi. Terapi
yang diberikan dapat berupa terapi konservatif untuk menekan gejala-gejala yang ada dan terapi
imunosupresif yang agresif apabila penderita SLE telah mengalami kerusakan organ-organ
mayor yang mengancam nyawa.
Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-5, Jilid 3. Jakarta: Internal Publishing; 2010.h.2353-2579.
2. Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, FAuci AS, Kasper DL. Harrison
prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi ke-13, Volume 4. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2000 bab 285.
3. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6,
Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.h.1392-5.
4. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins & Cotran dasar patologis penyakit. Edisi ke-7.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010.h.235-43.
5. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2001.h.75-8.
6. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga;
2005.h.40-197.
7. Daniel A. Diagnosis, pengobatan, dan pencegahan anemia defisiensi besi. Sari Pediatri.
Vol. 4, No. 2, September 2002: 74 – 77.
8. Pringgoutomo S, Himawan S, Tjarta A. Buku ajar patologi I. Jakarta: Sagung Seto;
2006.h.267-70.