Post on 27-Dec-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tidak hanya dokter dan perawat yang bertanggung jawab untuk
mencapai luaran klinik yang positif. Farmasis juga bertanggung jawab untuk
mencapai kesembuhan bagi pasien, mengurangi gejala sakit, memperlambat
dan mencegah perkembangan penyakit, mencegah terjadinya sakit atau
timbulnya gejala suatu penyakit (Cipolle, 1998).
Melalui konsep profesi kefarmasian terkini, yakni asuhan kefarmasian,
farmasis dituntut tanggung jawab yang besar dalam peningkatan kualitas
hidup pasien dan untuk mencapai luaran klinik yang positif. Asuhan
kefarmasian adalah suatu tanggung jawab dari profesi farmasi dalam hal
farmakoterapi, penggunaan obat aman, rasional efektif, dan efisien dengan
tujuan meningkatkan atau menjaga kualitas hidup pasien. Asuhan
kefarmasian merupakan proses kolaboratif bersama dengan profesi kesehatan
lainnya dalam merancang, mengimplementasikan serta memantau terapi obat
pasien agar tercapai luaran terapi obat yang optimal. Dengan demikian
terwujudlah fungsi utama dari profesi farmasi, yakni mengidentifikasi
permasalahan yang timbul, kemudian menanganinya secara tepat dan cepat
serta mengupayakan pencegahan timbulnya permasalahan yang terkait
dengan terapi obat. Farmasis memiliki peran yang sangat penting sebagai
penyedia informasi tentang pengobatan anak dan permasalahan yang timbul
terkaa dengan terapi.
Hipertensi merupakan salah satu penyakit kronis, sehingga pasien
hipertensi selama hidupnya selalu membutuhkan obat untuk mengendalikan
tekanan darahnya. Apabila tekanan darah tidak terkendali maka akan
berakibat pada komplikasi pembuluh darah, penyakit jantung koroner, infark
jantung, stroke, dan gagal ginjal. Menurut hasil penelitian yang dilakukan di
Rumah Sakit Umum Daerah Saras Husada Purworejo terhadap pasien
hipertensi diketahui bahwa konseling farmasis berpengaruh secara bermakna
pada pencapaian target tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg pada pasien
hipertensi non diabetes melitus (p = 0,000) dan kurang dari 130/80 mmHg
pada pasien hipertensi dengan diabetes mellitus (p = 0,001).
Peranan famasis sebagai penyedia jasa penyuluhan dan pendidikan
diperlukan untuk memotivasi pasien dan keluarga pasien agar tercapai luaran
klinis yang positif dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
Untuk mengatasi permasalahan dosis untuk pasien hipertensi, farmasis
berperan dalam hal menentukan kerasionalan obar yang diberikan dalam
resep terkait obat, dosis, indikasi, penggunaan dan lain sebaganya. Farmasis
juga dapat berkomunikasi dengan dokter penulis resep mengenai bentuk
sediaan yang tepat, regimen terapi yang tepat, penyesuaian dosis sesuai
indikasi pasien, serta penjelasan mengenai aturan minum obat yang tepat.
Untuk mengatasi permasalahan interaksi obat, farmasis berperan untuk
menyampaikan adanya interaksi obat kepada dokter penulis resep sehingga
dapat dilakukan penyesuaian aturan minum obat bagi pasien. Kemudian
memberikan penyuluhan kepada keluarga pasien mengenai waktu minum
obat yang tepat serta menghindari konsumsi makanan yang berinteraksi
dengan obat atau yang berindikasi dengan obat.
Kerja sama dan komunikasi yang baik antara farmasis dengan
dokter dan profesi kesehatan lainnya,serta dengan memberikan penyuluhan
dan pendidikan kepada keluarga pasien dapat meminimalkan risiko bahkan
mencegah terjadinya permasalahan yang timbul yang terkait dengan terapi
obat, tingginya biaya resep untuk pasien hipertensi, bahkan terjadi resistensi
obat pada pasien. Untuk mengatasinya, farmasis hendaknya berkerja sama
dengan profesi kesehatan lainnya dalam merancang, mengimplementasikan
serta memantau terapi obat pasien agar tercapai luaran terapi obat yang
optimal. Farmasis berperan penting dalam mengidentifikasi masalah yang
timbul, kemudian menyelesaikannya secara tepat dan cepat, serta
mengupayakan pencegahan; sebagai penyedia informasi yang berkaitan
dengan terapi obat dan permasalahan yang terkait dengan terapi.
1.2 TUJUAN PRAKTIKUM
Setelah mengikuti praktikum farmasi praktis tentang obat-obatan
antihipertensi ini, mahasiswa diharapkan mampu :
1. Mampu mengerjakan resep obat antihipertensi sesuai dengan alur
pelayanan resep
2. Menganalisa keabsahan dan kerasionalan resep
3. Memberikan konseling kepada pasien dengan baik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hipertensi adalah penyakit umum yang didefinisikan secara sederhana
sebagai tekanan darah arteri tinggi secara persisten atau terus-menerus. Secara
konvensional, disepakati bahwa hipertensi adalah tekanan darah > 140/90 mmHg.
(DiPiro, 2005; Goodman & Gilman, 2012). Klasifikasi tekanan darah pada orang
dewasa (usia > 18 tahun), sebagai berikut :
Klasifikasi Tekanan darah
sistolik (mmHg)
Tekanan darah
diastolik (mmHg)
Normal
Prehipertensi
Hipertensi tingkat 1
Hipertensi tingkat 2
< 120
120-139
140-159
> 160
dan
atau
atau
atau
< 80
80-89
90-99
> 100
(DiPiro, 2005)
Berdasarkan etiologinya hipertensi dibagi menjadi hipertensi esensial dan
hipertensi sekunder :
a. Hipertensi Esensial
Hipertensi esensial atau hipertensi primer atau idiopatik adalah
hipertensi tanpa kelainan dasar patologi yang jelas. Lebih dari 90% kasus
merupakan hipertensi esensial. Penyebabnya multifaktorial meliputi faktor
genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap
natrium, kepekaan terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah terhadap
vasokonstriktor, resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk
faktor lingkungan antara lain kebiasaan merokok, stress emosi, obesitas dan
lain-lain.
b. Hipertensi Sekunder
Meliputi 5-10% kasus hipertensi. Termasuk dalam kelompok ini antara
lain hipertensi. Termasuk dalam kelompok ini antara lain hipertensi akibat
penyakit ginjal (hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat,
obat-obatan dan lain-lain (Anonim, 2011). Penggolongan obat antihipertensi
berdasarkan tempat atau mekanisme kerja utama :
Diuretik
1. Tiazid dan turunannya (hidroklorotiazid, klortalidon, dll)
2. Diuretik loop (furosemid, bumetanid, torsemid, asam etakrinat)
3. Diuretik hemat-K+ (amilorid, triamteren, spironolakton)
Obat simpatolitik
1. Senyawa kerja pusat (metildopa, klonidin, guanabenz, guanfasin)
2. Senyawa pemblok saraf adrenergic (guanadrel, reserpin)
3. Antagonis β-adrenergik (propanolol, metoprolol, dll.)
4. Antagonis α-adrenergik (prazosin, terazosin, doksazosin,
fenosibenzamin, fentolamin)
5. Antagonis adrenergik campuran (labetalol, karvedilol)
Vasodilator
1. Bekerja di arteri (hidralazin, minoksidil, diazoksid, fenoldopam)
2. Bekerja di arteri dan vena (nitroprusid)
Blocker saluran Ca2+
Verapamil, diltiazem, nifedipin, nimodipin, felodipin, nikardipin, isradipin,
amlodipin
Inhibitor Enzim Pengonversi Angiotensin
Kaptopril, enalapril, lisinopril, kuinapril, ramipril, benazepril, fosinopril,
moeksipril, perindopril, trandolapril)
Antagonis Reseptor-Angiotensin II
Losartan, kandesartan, irbesartan, valsartan, telmisartan, eprosartan)
(Goodman & Gilman, 2011)
Dikenal 5 kelompok obat lini pertama (first line drug) yang lazim digunakan
untuk pengobatan awal hipertensi, yaitu :
1. Diuretik
2. β-blocker
3. Angiotensin-converting enzyme-inhibitor (ACE-inhibitor)
4. Inhibitor reseptor angiotensin (Angiotensin-receptor blocker, ARB)
5. Antagonis kalsium
Selain itu, dikenal juga 3 kelompok obat yang dianggap lini kedua, yaitu:
1. Inhibitor saraf adrenergik
2. Agonis α-2 sentral
3. Vasodilator (Anonim, 2011).
Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air, dan klorida sehingga
menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya, terjadi penurunan
curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik
juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Efek
ini diduga akibat penurunan natrium di ruang interstitial dan di dalam sel otot
polos pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks kalsium. Hal ini
terlihat jelas pada diuretik tertentu seperti golongan tiazid yang mulai
menunjukkan efek hipotensif pada dosis kecil sebelum timbulnya diuresis yang
nyata. Pada pemberian kronik curah jantung akan kembali normal, namun efek
hipotensif masih tetap ada. Efek ini diduga akibat penurunan resistensi perifer
(Anonim, 2011).
a. Golongan Tiazid
Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara lain
hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid, dan diuretik lain yang
memiliki gugus aryl-sulfonamida (indapamid dan klortalidon). Obat golongan
ini bekerja dengan menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di
tubulus ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat (Anonim, 2011).
b. Diuretik Kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretics)
Bekerja di ansa Henle asenden bagian epitel tebal dengan cara
menghambat kotransport Na+, K+, Cl-, dan menghambat resorpsi air dan
elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat daripada
golongan tiazid. Oeh karena itu, diuretik kuat jarang digunakan sebagai
antihipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin
serum > 2,5 mg/dL) atau gagal jantung (Anonim, 2011).
Termasuk dalam golongan ini antara lain furosemid, torasemid,
bumetanid, dan asam etakrinat. Waktu paruh diuretik kuat umumnya pendek
sehingga diperlukan pemberian 2 atau 3 kali sehari. Efek samping diuretik
kuat hampir sama dengan tiazid, kecuali bahwa diuretik kuat menimbulkan
hiperkalsiuria dan menurunkan kalsium darah, sedangkan tiazid menimbulkan
hipokalsiuria dan meningkatkan kadar kalsium darah (Anonim, 2011).
c. Diuretik Hemat Kalium
Amilorid, triamteren, dan spironolakton merupakan diuretik lemah.
Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk
mencegah hipokalemia. Diuretik hemat kalium dapat menimbulkan
hiperkalemia bila diberikan pada pasien dengan gagal ginjal, atau bila
dikombinasi dengan penghambat ACE, ARB, β-blocker, AINS atau dengan
suplemen kalium. Penggunaan harus dihindarkan bila kreatinin serum > 2,5
mg/dL (Anonim, 2011).
Spironolakton merupakan antagonis aldosteron sehingga merupakan
obat yang terpilih pada hiperaldosteronisme primer (sindrom Conn). Obat ini
sangat berguna pada pasien dengan hiperurisemia, hipokalemia, dan dengan
intoleransi glukosa. Berbeda dengan golongan tiazid, spironolakton tidak
mempengaruhi kadar Ca2+ dan gula darah. Efek samping spironolakton antara
lain ginekomastia, mastodinia, gangguan menstruasi dan penurunan libido
pada pria (Anonim, 2011).
β-blocker
Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian β-blocker
dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1 antara lain : (1) penurunan frekuensi
denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung;
(2) hambatan sekresi rennin di sel-sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat
penurunan angiotensin II; (3) efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf
simpatis, perubahan aktivitas neuron adrenergik perifer dan peningkatan
biosintesis prostasiklin (Anonim, 2011).
Angiotensin-converting enzyme-inhibitor (ACE-inhibitor)
ACE-Inhibitor menghambat perubahan AI menjadi AII sehingga terjadi
vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Selain itu, degradasi bradikinin
juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan
dalam efek vasodilatasi ACE-inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan
menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan
menyebabkan ekskresi air dan natrium dan retensi kalium (Anonim, 2011).
Inhibitor reseptor angiotensin (Angiotensin-receptor blocker, ARB)
ARB menimbulkan efek yang mirip dengan pemberian ACE-inhibitor. Tapi
karena tidak mempengaruhi metabolisme bradikinin, maka obat ini dilaporkan
tidak memiliki efek samping batuk kering dan angioedema seperti yang sering
terjadi dengan ACE-inhibitor. ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah
pada pasien hipertensi dengan kadar rennin yang tinggi seperti hipertensi
renovaskular dan hipertensi genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan
aktivitas rennin yang rendah (Anonim, 2011).
Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel otot polos
pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium terutama
menimbulkan relaksasi arteriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi. Penurunan
resistensi perifer ini sering diikuti oleh reflek takikardia dan vasokonstriksi,
terutama bila menggunakan golongan dihidropiridin kerja pendek (nifedipin).
Sedangkan diltiazem dan verapamil tidak menimbulkan takikardia karena efek
kronotropik negatif langsung pada jantung. Bila refleks takikardia kurang baik,
seperti pada orang tua, maka pemberian antagonis kalsium dapat menimbulkan
hipotensi yang berlebihan (Anonim, 2011).
Vasodilator
a. Hidralazin
Hidralazin bekerja langsung merelaksasi otot polos arterior dengan
mekanisme yang belum dapat dipastikan. Sedangkan otot polos vena hampir
tidak dipengaruhi. Hidralazin menurunkan tekanan darah berbaring dan
berdiri. Karena lebih selektif bekerja pada arteriol, maka hidralazin jarang
menimbulkan hipotensi ortostatik (Anonim, 2011).
b. Minoksidil
Obat ini bekerja dengan membuka kanal kalium sensitif ATP (ATP-
dependent potassium channel) dengan akibat terjadinya efluks kalium dan
hiperpolarisasi membran yang diikuti oleh relaksasi otot polos pembuluh
darah dan vasodilatasi. Efeknya lebih kuat pada arteriol daripada vena
(Anonim, 2011).
c. Diazoksid
Mekanisme kerja, farmakodinamik dan efek sampingnya mirip dengan
minoksidil (Anonim, 2011).
d. Natrium nitroprusid
Merupakan donor NO yang bekerja dengan mengaktifkan guanilat
siklase dan meningkatkan konversi GTP menjadi GMP-siklik pada otot polos
pembuluh darah. Selanjutnya terjadi penurunan kalsium intrasel dengan efek
akhir vasodilatasi arteriol dan venula (Anonim, 2011).
Peran Dan Tanggung Jawab Apoteker dalam Pharmaceutical Care
(Asuhan Kefarmasian) (Anonim, 2006):
4.1 Assesmen
Penyusunan Data Base
Informasi dikumpulkan dan digunakan sebagai database yang spesifik
untuk pasien tertentu untuk mencegah, mendeteksi, memecahkan masalah
yang berkaitan dengan obat dan untuk membuat rekomendasi terapi obat.
Database yang dikumpulkan :
Demografi : nama, alamat, kelamin, tanggal lahir, pekerjaan, agama
Riwayat medis :
- Berat dan tinggi badan
- Masalah medis akut dan kronis
- Simtom
- Vital signs
- Alergi
- Sejarah medis terdahulu
- Hasil lab
Terapi obat :
- Obat-obat yang di resepkan
- Obat-obat bebas
- Obat-obat yang digunakan sebelum di rawat
- Kepatuhan dengan terapi obat
- Alergi
- Asessmen pengertian tentang terapi obat
Sosial : diet, olahraga, merokok/tidak, minum alkohol, atau pencandu obat.
Menentukan adanya masalah yang berkaitan dengan obat (DRP)
Database pasien harus dinilai untuk melihat adanya masalah yang
berkaitan dengan obat seperti
Adanya obat-obat tanpa indikasi
Adanya kondisi medis tetapi tidak ada obat yang diresepkan
Pilihan obat tidak cocok untuk kondisi medis tertentu. Pilihan obat
antihipertensi harus disesuaikan apakah hipertensi tanpa
komplikasi atau ada indikasi khusus
Dosis, bentuk sediaan, jadwal minum obat, rute pemberian, atau
metoda pemberian kurang cocok. Diuretik 1x/hari harus diminum
pagi hari. Obat antihipertensi dan jadwal minum obat harus
mempertimbangkan sirkadian ritme. Obat yang dipilih haruslah
mempunyai efikasi disaat tekanan darah tinggi di pagi hari untuk
mencegah kejadian kardiovaskular.
Duplikasi terapeutik dan polifarmasi. Pasien dengan hipertensi
sering berobat ke beberapa poli seperti poli ginjal dan poli kardio.
Kedua poli sering meresepkan obat yang sama dengan dosis yang
sama atau berbeda atau dengan nama paten yang berbeda, atau satu
golongan, atau obat antihipertensi dari golongan yang berbeda.
Intervensi perlu dilakukan untuk mencegah reaksi hipotensi.
Pasien alergi dengan obat yang diresepkan. Harus dilihat apakah
pasien dapat metoleransi reaksi efek samping atau obat harus
diganti. Misalnya batuk yang disebabkan oleh pemberian ACEI
atau edema perifer dengan antagonis kalsium golongan
dihidropiridin
Adanya interaksi : obat-obat, obat-penyakit, obat-nutrien, obat-tes
laboratorium yang potensial dan aktual dan bermakna secara klinis.
Pasien kurang mengerti terapi obat
Pasien gagal mematuhi regimen obat
4.2 Penyusunan Rencana Pelayanan Kefarmasian
Penyusunan rencana pelayanan kefarmasian melibatkan identifikasi
kebutuhan pasien yang berhubungan dengan obat, dan memecahkan
masalah terapi obat melalui proses yang terorganisir dan diproritaskan
berdasarkan kondisi medis pasien dari segi resiko dan keparahan. Rencana
kefarmasian dapat berupa :
1. Menentukan tujuan dari terapi
Untuk penyakit hipertensi, tujuan dari terapi adalah :
a. Mencegah atau memperlambat komplikasi dari hipertensi
dengan membantu pasien mematuhi regimen obatnya untuk
memelihara tekanan darah < 140/90 mmHg atau < 130/80
mmHg untuk pasien hipertensi dengan diabetes dan gangguan
ginjal.
b. Pasien mengerti pentingnya adherence dengan terapi obatnya
2. Mengidentifikasi kondisi medis yang memerlukan terapi obat
3. Memecahkan masalah terapi obat : tujuan, alternatif, dan
intervensi
4. Mencegah masalah terapi obat.
Dalam rencana pelayanan kefarmasian, apoteker memberikan saran
tentang pemilihan obat, penggantian atau obat alternatif, perubahan dosis,
regimen obat (jadwal, rute, dan lama pemberian).
Rekomendasi apoteker dalam pemilihan obat untuk pasien dengan
hipertensi :
1. Sarankan terapi antihipertensi untuk pasien-pasien pada klasifikasi
tahap 1 hipertensi (TDS 140-159 mmHg) dan tahap 2 hipertensi
(TDS ≥ 160 mmHg)
2. Sangat disarankan terapi antihipertensi pada pasien-pasien dengan
kerusakan target organ atau dengan faktor resiko kardiovaskular
lainnya bila TDS > 140 mmHg atau TDD ≥ 90 mmHg.
3. Bila appropriate, sarankan pilihan awal untuk terapi antihipertensi.
Pilihan awal untuk dewasa tanpa indikasi khusus:
a. Diuretik golongan tiazid (untuk kebanyakan pasien)
b. Penghambat beta
c. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI),
d. Antagonis kalsium (long-acting)
e. Penyekat reseptor angiotensin
f. Rekomendasikan terapi kombinasi apabila cuma ada respon
parsial dengan standar dosis monoterapi. Kombinasi yang
efektif melibatkan diuretik tiazid atau antagonis kalsium
dengan ACEI, ARB atau penyekat beta.
g. Untuk isolated systolic hypertension pada pasien-pasien
dengan TDS>160 mmHg terapi awal dengan diuretik tiazid.
4. Sarankan terapi dislipidemia dengan statin untuk semua pasien
dengan hipertensi dan 3 atau lebih faktor resiko kardiovaskular,
atau pada pasien dengan penyakit aterosklerosis atau penyakit
arteri perifer.
5. Skrining semua pasien hipertensi untuk interaksi obat yang
bermakna (dengan obat, nutrien, dll).
4.3 Implementasi
Kegiatan ini merupakan upaya melaksanakan rencana pelayanan
kefarmasian yang sudah disusun. Kegiatan ini berupa menghubungi dokter
untuk meklarifikasi atau memodifikasi resep, memulai terapi obat,
memberi edukasi kepada pasien atau keluarganya, dan lain-lain. Apoteker
bekerja sama dengan pasien untuk memaksimalkan pengertian dan
keterlibatan pasien dalam rencana kefarmasian, yakinkan monitoring terapi
obat (misalnya tekanan darah, evaluasi hasil laboratorium dan lain-lain)
dimengerti oleh pasien, dan pasien mengerti menggunakan semua obat dan
peralatan. Apoteker mencatat tahap-tahap yang diambil untuk
mengimplementasikan rencana kefarmasian termasuk parameter baseline
monitoring, dan hambatan-hambatan apa yang perlu diperbaiki.
4.4 Monitoring
a. Monitoring tekanan darah
Memonitor tekanan darah di klinik tetap merupakan standar untuk
pengobatan hipertensi. Respon terhadap tekanan darah harus di
evaluasi 2 sampai 4 minggu setelah terapi dimulai atau setelah adanya
perubahan terapi Pada kebanyakan pasien target tekanan darah <
140/90 mmHg, dan pada pasien diabetes dan pasien dengan gagal
ginjal kronik < 130/80 mmHg.
b. Monitoring kerusakan target organ: jantung, ginjal, mata, otak
Pasien hipertensi harus di monitor secara berkala untuk melihat
tanda-tanda dan gejala adanya penyakit target organ yang berlanjut.
Sejarah sakit dada (atau tightness), palpitasi, pusing, dyspnea,
orthopnea, sakit kepala, penglihatan tiba-tiba berubah, lemah sebelah,
bicara terbata-bata, dan hilang keseimbangan harus diamati dengan
seksama untuk menilai kemungkinan komplikasi kardiovaskular dan
serebrovaskular. Parameter klinis lainnya yang harus di monitor untuk
menilai penyakit target organ termasuk perubahan funduskopik,
regresi LVH pada elektrokardiogram atau ekokardiogram, proteinuria,
dan perubahan fungsi ginjal.Tes laboratorium harus diulangi setiap 6
sampai 12 bulan pada pasien yang stabil.
c. Monitoring interaksi obat dan efek samping obat
Untuk melihat toksisitas dari terapi, efek samping dan interaksi
obat harus di nilai secara teratur. Efek samping bisanya muncul 2
sampai 4 minggu setelah memulai obat baru atau setelah menaikkan
dosis. Kejadian efek samping mungkin memerlukan penurunan dosis
atau substitusi dengan obat antihipertensi yang lain. Monitoring yang
intensif diperlukan bila terlihat ada interaksi obat; misalnya apabila
pasien mendapat diuretik tiazid atau loop dan pasien juga mendapat
digoksin; yakinkan pasien juga dapat supplemen kalium atau ada obat-
obat lain menahan kalium dan yakinkan kadar kalium diperiksa secara
berkala. Monitoring tambahan mungkin diperlukan untuk penyakit
lain yang menyertai bila ada (misalnya diabetes, dislipidemia, dan
gout).
d. Monitoring kepatuhan/Medication Adherence dan konseling ke
pasien
Diperlukan usaha yang cukup besar untuk meningkatkan
kepatuhan pasien terhadap terapi obat demi mencapai target tekanan
darah yang dinginkan. Paling sedikit 50% pasien yang diresepkan obat
antihipertensi tidak meminumnya sesuai dengan yang di
rekomendasikan. Satu studi menyatakan kalau pasien yang
menghentikan terapi antihipertensinya lima kali lebih besar
kemungkinan terkena stroke. Kurangnya adherence mungkin
disengaja atau tidak disengaja.
Strategi yang paling efektif adalah dengan kombinasi beberapa
strategi seperti edukasi, modifikasi sikap, dan sistem yang
mendukung. Strategi konseling untuk meningkatkan adherence terapi
obat antihipertensi adalah sebagai berikut :
Nilai adherence pada setiap kunjungan
Diskusikan dengan pasien motivasi dan pendapatnya
Libatkan pasien dalam penanganan masalah kesehatannya
Gunakan keahlian mendengarkan secara aktif sewaktu pasien
menjelaskan masalahnya.
Bicarakan keluhan pasien tentang terapi
Bantu pasien dengan cara tertentu untuk tidak lupa meminum
obatnya
Sederhanakan regimen obat (seperti mengurangi frekuensi
minum, produk kombinasi)
Minum obat disesuaikan dengan kebiasaan pasien sehari-hari
Berikan informasi tentang keuntungan pengontrolan tekanan
darah
Beritahukan perkiraan efek samping obat yang mungkin terjadi
Beritahukan informasi tertulis mengenai hipertensi dan
obatnya bila memungkinkan
Petimbangkan penggunaan alat pengukur tekanan darah di
rumah supaya pasien dapat terlibat dalam penanganan
hipertensinya
Berikan pendidikan kepada keluarga pasien tentang penyakit
dan regimen obatnya
Libatkan keluarga dan kerabatnya tentang adherence minum
obat dan terhadap gaya hidup sehat
Yakinkan regimen obat dapat dijangkau biayanya oleh pasien
Bila memungkinkan telepon pasien untuk meyakinkan pasien
mengikuti rencana pengobatannya
Edukasi ke Pasien
Beberapa topik penting untuk edukasi ke pasien tentang penanganan
hipertensi:
Pasien mengetahui target nilai tekanan darah yang dinginkan
Pasien mengetahui nilai tekanan darahnya sendiri
Sadar kalau tekanan darah tinggi sering tanpa gejala (asimptomatik)
Konsekuensi yang serius dari tekanan darah yang tidak terkontrol
Pentingnya kontrol teratur
Peranan obat dalam mengontrol tekanan darah, bukan
menyembuhkannya
Pentingnya obat untuk mencegah outcome klinis yang tidak
diinginkan
Efek samping obat dan penanganannya
Kombinasi terapi obat dan non-obat dalam mencapai pengontrolan
tekanan darah
Pentingnya peran terapi nonfarmakologi
Obat-obat bebas yang harus dihindari (seperti obat-obat yang
mengandung ginseng, nasal decongestan, dll).
Tehnik mengukur tekanan darah
Sewaktu mengukur tekanan darah yang benar pasien harus:
Duduk tenang selama paling sedikit 5 menit sebelum tekanan darah
diukur. Bagian punggung/belakang bersandar dan lengan sejajar
dengan jantung. Telapak kaki menyentuh lantai dan kaki tidak boleh
disilangkan.
Gunakan pakaian yang nyaman, tanpa ada hambatan pada lengan
Bebas dari anxietas, stress, atau kesakitan
Berada di ruangan dengan temperatur nyaman
Pasien tidak boleh :
Meminum kopi selama sekitar 1 jam sebelum pengukuran
Merokok selama 15 - 30 menit sebelum pengukuran
Menggunakan obat atau zat yang mengandung stimulan adrenergik
seperti fenilefrin atau pseudoefedrin
Metode palpatory harus digunakan dalam mengukur tekanan darah.
4.5 Peran dan Peluang buat Apoteker
Selain melakukan asuhan kefarmasian seperti yang diuraikan diatas,
dalam membantu penatalaksanaan hipertensi selain berinteraksi dengan
pasien, apoteker berinteraksi dengan profesi kesehatan lainnya terutama
dokter. Apoteker dapat menjadi perantara antara pasien dan dokter.
Kebanyakan pasien terutama kalau sudah kenal baik dengan apotekernya
selalu membeli obat di apotik yang sama.
Selain dokter, apoteker adalah anggota tim kesehatan yang
mempunyai akses kepada informasi tentang semua obat yang di konsumsi
pasien. Seringnya dokter tidak menyadari terapi atau obat-obat lain yang
diresepkan oleh dokter lain kepada pasien. Dokter dan Apoteker dapat
bekerja sama sehingga target yang diinginkan dokter tercapai. Apoteker
dapat membantu dokter dalam :
Memberi edukasi ke pasien mengenai hipertensi
Memonitor respon pasien di farmasi komunitas
Menyokong adherence terhadap terapi obat dan non-obat
Mendeteksi dan mengurangi reaksi efek samping, dan
Merujuk pasien ke dokter bila diperlukan.
Mendiskusikan dengan pasien keuntungan terapi hipertensi sama
pentingnya dengan mendiskusikan mengenai efek sampingnya. Apabila
pasien mengerti keuntungan yang potensial dari penggunaan obat untuk
hipertensi, pasien akan lebih cendrung untuk mematuhi terapinya. Sewaktu
diskusi untuk efek samping obat, Apoteker harus membicarakan
bagaimana mencegah atau menangani efek-efek samping bila muncul agar
pasien tetap meneruskan terapi obatnya.
Beberapa studi di Amerika telah menunjukkan kalau Apoteker yang
bekerja di klinik hipertensi atau dengan kolaborasi dengan dokter sanggup
memperbaiki penanganan pasien dengan hipertensi.
Terapi nonfarmakologi memerlukan perhatian yang cukup besar oleh
profesi kesehatan agar berhasil. Terapi nonfarmakologi memerlukan
perubahan sikap, dorongan dan nasihat yang terus menerus. Dengan
membantu pasien bagaimana melibatkan perubahan/modifikasi kedalam
gaya hidupnya dapat membantu pasien mencapai tujuan ini. Misalnya
Apoteker dapat mendiskusikan mengenai olahraga, menurunkan berat
badan, dan berhenti merokok.
BAB III
PROSEDUR PRAKTIKUM
3.1 Langkah Pelayanan Resep
- Penerimaan resep
o Cek kelengkapan resep
o Catat riwayat pengobatan
- Analisis rasionalitas obat (tepat indikasi, pasien, dosis, cara pemakaian)
o Penjelasan mengapa ada obat yang dihilangkan dan sebagainya
- Penyiapan obat
o Penyiapan etiket
o Penyiapan obat masuk ke wadah dan beri etiket
- Pemeriksaan akhir
o Kesesuaian obat dengan resep
o Penyiapan materi informasi
- Penyerahan obat dan pemberian konseling
o Penyerahan obat
- Pemberian konseling
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Resep
Resep yang didapat Merupakan Copy Resep
Resep yang seharusnya (kelengkapan yang harus ada pada resep) :
KLINIK PRODI FARMASI FKIK UINSIA : 12/X/AP/2009
APA: Hardi Mozer, AptJl. Kertamukti No. 100, Ciputat
Telp. 02179432222dr. Saleh
SIP : 12345678919Nama Dokter : dr. Muslim, SpDNama Pasien : Tn. TanuAlamat : Jalan Buntu No 17Tanggal :13 April 2014 No. 8
R/ Exfroge tab no xvS 2 dd I tab
R/ Tenormin 50 mg no LXS 1 dd I tab
R/ Hapsen 5 mg no LXS 1 dd I tab
R/ Phar flox no XS 1 dd I tab
p.c.c
Riwayat pengobatan
Nama pasien : Tn. Tanu
Umur : 65 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Ciputat Raya No. 4
Riwayat pengobatan :
- Obat lain yang sedang digunakan : Ttidak ada
- Penggunaan obat herbal/ tradisional : Tidak ada
- Riwayat alergi obat : Tidak ada
- Gejala yang dialami pasien : Hipertensi, mual, dan
kembung, disertai sesak
nafas
Informasi Obat
No
.
Nama Obat
(Kandungan)Indikasi
Aturan
pakaiEfek samping Interaksi obat Informasi lain
1 Exforge
(Amlodipine
besylate 5
mg, valsartan
80 mg)
Hipertensi
esensial pada
pasien dengan
tekanan darah
yang tidak
cukup
dikendalikan
hanya dengan
monoterapi.
1 tab/hari Nasofaringitis,
influenza, sakit
kepala, edema,
pitting oedema,
edema pada
wajah, edema
perifer, rasa
lemas yang
menyeluruh,
sensasi panas,
dan kemerahan
pada wajah.
Teofilin,
ergotamin,
suplemen K,
diuretik, hemat
Kalium,
pengganti
garam yang
mengandung
Kalium, dan
obat lain yang
dapat
meningkatkan
kadar K
Kontraindikasi :
Gangguan ginjal
berat (bersihan
kreatinin <10
mL/menit.
Angioedema yang
timbul selama
terapi awal degan
ACE inhibitor atau
ARB. Hamil dan
laktasi.
Tablet salut selaput
(misalnya
heparin).
5 mg/80 mg (2 x
14) Rp 300.980)
2 Tenormin
(Atenolol)
Hipertensi,
angina
pektoris, late
intervention
sesudah
infark
miokard.
Hipertensi
50-100
mg/hari dosis
tunggal
Angina
pektoris
100 mg/hari
atau 50 mg
2x/hari
late
intervention
sesudah
infark
miokard
100 mg/hari
Bradikardia,
deteriorisasi
gagal jantung,
hipotensi
postrural yang
berhubungan
dengan sinkop,
ekstermitas
dingin, bingung,
pusing, sakit
kepala,
perubahan
suasana hati,
mimpi buruk,
psikosis,
halusinasi,
gangguan tidur,
mulut kering,
gangguan GI,
purpura,
trombositopenia
, alopesia, mata
kering,
eksaserbasi
psosiaris, reaksi
kulit
psoriasiform,
kemerahan,
parastesia,
impotensi,
bronkospasme,
ganguan
penglihatan,
Penghambat
saluran Ca
seperti
verapamil atau
diltiazem.
Penggunaan
bersamaan
dengan
dihidropiridin
meningkatkan
risiko
hipontensi.
Digitalis
glikosida,
klonidin,
disopiramid,
kuinidin, obat
simpatomimeti
k (misalnya
adrenalin).
Insulin, obat
antidiabetik
oral.
Penghambat
sintesa
prostaglandin
(misalnya
ibuprofen,
indometasin).
Obat anestesi
Kontraindikasi:
Blok jantung
derajat 2 atau 3,
syok kardiogeni.
Bradikardi,
hipotensi, asidosis
metabolik,
gangguan sirkulasi
perifer berat,
sindroma sick
sinus,
feokromositoma
yang tidak teratasi,
gagal jantung tidak
terkontrol.
50 mg x 2 x 14 Rp
167.513
reaksi
hipersensitivitas
seperti
angioedema,
urtikaria,
kelelahan.
3 Hapsen
(bisoprolol
fumarate)
hipertensi,
angina dan
gagal jantung
kronik stabil.
1 tab 1x / hr
dpat
ditingkatkan
sampa 4
tablet (20 mg
/hr). Gagal
jantung
kronik stabil
awal 1,25
mg/hr pada
minggu
pertama,
dosis dititrasi
sebesar 2,5
mg – 3,75mg
– 5 mg/hr
tiap minggu,
titrasi dosis
dilanjutkan
sebesar 7,5 –
10 mg/hr tiap
bln. Besarnya
dosis
pemeliharaan
didasarkan
paada
toleransi
pasien.
Bronkospame
pada pasien
dengan asma
bronkial atau
riwayat penyakit
obstruksi
saluran nafa,.
Rasa lelah,
gangguan tidur,
rasa dingin,
mual-mintah,
diare,
konstipasi.
verapramil,
diltiazem HCL,
klonidin,
MAOI.
Kontra indikasi :
asma bronkial
berat, PPOK, gagal
jantung akut berat,
hipotensi.
Penggunaan :
bronskospame,
pemberian terapi
bersamaan dengan
anestesi inhalasi,
DM dengan
fluktasi tinggi pada
kadar glukosa
rendah.
5 mg x 30 (Rp
160.050)
4 Phar flox Infeksi Infeksi Mual, muntah, Kontraindikasi
(ofloksasin
200 mg)
saluran nafas
bawah,
infeksi kulit
dan jaringan
lunak,
prostatitis,GO
tidak
terkomplikasi
, GO
terkomplikasi
, penyakit
pelvis
inflamatori,
ISK.
saluran nafas
bawah
200-400 mg
setiap 12 jam
selama 7-14
hari
infeksi kulit
dan jaringan
lunak
200-300 mg
setiap 12 jam
selama 7 hari
ISK
200-400 mg
setiap 12 jam
selama 3-7
hari
prostatitis
300 mg
setiap 12 jam
selama 6
minggu,
GO tidak
terkomplikas
i
400 mg dosis
tunggal
GO
terkomplikas
i
nyeri
epigastrum,
diare, dan tidak
nafsu makan.
Hipersensitif
terhadap ofloksasin
dan derivat
kuinolon, wanita
hamil dan
menyusui, anak-
anak sebelum masa
pubertas.
3 x 10 tab 200 mg
Rp 170.000
3 x 10 tab 400 mg
Rp 345.000
400 mg
selama 7-9
hari penyakit
pelvis
inflamatori
2 x 400 mg
selama 14
hari
5 Propepsa
(sukralfat)
Tukak
lambung &
duodenum
Dewasa 10
mL 4x/hari
Berikan pada
saat perut
kosong 1 jam
sebelum atau
2 jam
sesudah
makan, dan
menjelang
tidur.
Konstipasi,
mulut kering,
diare, mual,
muntah, rasa
tidak nyaman
pada abdomen,
kembung,
pruritus, ruam
kulit,
mengantuk,
pusing, nyeri
punggung, sakit
kepala.
Simetidin,
siprofloksasin,
digoksin,
ketokonazol,
norfloksasin,
fenitoin,
ranitidine,
tetrasiklin,
teofilin.
Perhatikan :
Gagal ginjal
kronik, pasien
dialysis. Hamil,
laktasi. Anak-anak.
Suspensi 500
mg/5mL x 100 mL
x 1 (Rp 42,500),
200 mL x 1 (Rp
67,500).
Etiket Obat Yang Diserahkan
Exforge Pharflox (Golongan antibiotik tidak dapat
ditebus karena pasien menyerahkan kopi
resep)
KLINIK PRODI FARMASI FKIK UINJl. Kertamukti No. 100, Ciputat
Telp. 021-7943222
SIP : 1111102000049APA : Laila Novilia, M.Sc, Apt
No. Resep : 88 tanggal resep : 14/04/14Nama pasien : Tn Tanu
Sehari 1 x 1 tab Sesudah makan
KLINIK PRODI FARMASI FKIK UINJl. Kertamukti No. 100, Ciputat
Telp. 021-7943222
SIP : 1111102000049APA : Laila Novilia, M.Sc, Apt
No. Resep : 88 tanggal resep : 14/04/14Nama pasien : Tn Tanu
Sehari 2 x 1 tab (habiskan)Sesudah makan
\
Tenormin Propepsa
Hapsen
KLINIK PRODI FARMASI FKIK UINJl. Kertamukti No. 100, Ciputat
Telp. 021-7943222
SIP : 1111102000049APA : Laila Novilia, M.Sc, Apt
No. Resep : 88 tanggal resep : 14/04/14Nama pasien : Tn Tanu
Sehari 1 x 1 tab Sesudah makan
KLINIK PRODI FARMASI FKIK UINJl. Kertamukti No. 100, Ciputat
Telp. 021-7943222
SIP : 1111102000049APA : Laila Novilia, M.Sc, Apt
No. Resep : 88 tanggal resep : 14/04/14Nama pasien : Tn Tanu
Sehari 4 x 2 sdtk Sebelum makan
KLINIK PRODI FARMASI FKIK UINJl. Kertamukti No. 100, Ciputat
Telp. 021-7943222
SIP : 1111102000049APA : Laila Novilia, M.Sc, Apt
No. Resep : 88 tanggal resep : 14/04/14Nama pasien : Tn Tanu
Sehari 1 x 1 tab Sesudah makan
KLINIK PRODI FARMASI FKIK UINJl. Kertamukti No. 100, Ciputat
Telp. 02179432222
Tanggal : 24 Maret 2014
Kepada : Tn/Ny Andi
No.Nama BarangUnitSatuanJumla
h1Exforge60Rp 10.000,00Rp
600.000,002Hapsen60Rp 3.000,00Rp
180.000,003Tenormin60Rp 7.350,00 Rp
441.000,004Propepsa1Rp. 42.500Rp
42.500,00Total + PPN 10% + biaya resep
Rp2000,00Rp 1.392.000,00Ttd,
(Paraf)
SEMOGA LEKAS SEMBUH
Harga Obat
Catatan :
Harga obat mengacu pada yang tertera dalam buku ISO Indonesia volume 46
tahun 2011 dan MIMS volume 12 tahun 2011
Percakapan Konseling
Percakapan antara apoteker dengan dokter penulis resep :
Apoteker : Assalamu’alaikum dok.
Dokter : Wa’alaikumussalam.
Apoteker : Maaf dok sebelumnya, saya Laila Novlia, apoteker dari klinik Prodi
Farmasi. Ada beberapa hal terkait obat-obatan yang dokter resepkan
terhadap pasien yang bernama Tn. Tanu. Apakah sebelumnya Tn. Tanu
berusia 65 tahun pernah berobat ke dokter? Karena yang saya dapatkan
ini adalah kopi resep dok.
Dokter : Ya bu, benar. Ada apa bu?
Apoteker : Begini dok. Menurut keluhan dari istri pasien, Tn. Tanu ini mempunyai
hipertensi, mual, kembung disertai dengan sesak nafas. Akan tetapi, bila
dilihat dari resep yang diberikan ada beberapa yang kurang sesuai dok
menurut saya.
Dokter : Oh begitu bu, apa saja itu bu?
Apoteker : Dalam resep ini ada tiga obat antihipertensi, yaitu exforge, tenormin,
dan hapsen dok. Exforge merupakan obat antihipertensi yang
kandungannya berupa kombinasi dari amlodipin dan valsartan yang
merupakan golongan CCB dan ARB, menurut literatur yang saya baca.
Pasien hipertensi yang mendapat obat kombinasi ini, dosis yang
diberikan cukup 1 tablet per hari, sedangkan dalam resep tertulis 2 kali
sehari, ini bagaimana dok?
Dokter : Kalau begitu diubah saja bu.
Apoteker : Baiklah dok. Akan tetapi disini juga tertulis tenormin dan hapsen di
mana keduanya merupakan obat antihipertensi golongan β-blocker.
Sedangkan pasien mempunyai sesak nafas, apakah tetap diberikan?
Dokter : Ya, tetap diberikan.
Apoteker : Tapi dok, apa pasien memiliki riwayat angina pektoris?
Dokter : Tidak bu.
Apokter : Dalam resep ini tenormin dan hapsen diberikan dua kali sehari. Namun
aturan pakai tersebut diberikan bila pasien memiliki angina pektoris,
bila pasien hanya mempunyai hipertensi dan untuk pencegahan angina
pektoris cukup diberikan satu kali sehari.
Dokter : Baiklah bu, diubah saja aturan pakainya.
Apoteker : Dalam resep juga tertulis antibiotik phar flox yang berisi ofloksasin
digunakan satu kali sehari. Menurut literatur, dalam penggunaannya
antibiotik ini memiliki waktu paruh 1 jam, seharusnya diberikan dua
kali sehari. Bagaimana dok?
Dokter : Baiklah bu, diubah saja.
Apoteker : Maaf dok, satu lagi untuk propepsa, di apotek kami tidak ada dalam
bentuk tablet melainkan suspensi. Jadi apa boleh diganti dok bentuk
sediannya?
Dokter : Ya diganti saja tidak apa-apa.
Apoteker : Terimakasih banyak dok. Wassalamu’alaikum.
Dokter : Sama-sama bu. Wa’alaikumussalam.
Percakapan antara Apoteker dengan istri Pasien saat melakukan konseling :
Apoteker : Assalamu’alaikum ibu.
Istri Pasien : Wa’alaikumsalam ibu.
Apoteker : Saya adalah Silvia, apoteker di klinik ini ibu. Apakah ibu
adalah istri dari pasien bernama Tn. Tanu yang berumur 65
tahun?
Istri Pasien : Ya benar sekali. Saya istri dari Tn. Tanu.
Apoteker : Baiklah ibu. Disini saya akan menjelaskan terapi obat yang
akan digunakan oleh suami ibu Tn. Tanu. Jika tidak keberatan
saya minta sewaktu ibu 5 menit untuk menjelaskan ke ibu
secara langsung hal-hal yang berkaitan dengan semua terapi
obat yang akan digunakan bapak? Apakah ibu bisa?
Istri Pasien : Oh bisa ibu. Silahkan.
Apoteker : Terima kasih ibu. Saya ingin bertanya kepada ibu. Sebelumnya
informasi apa saja yang diberikan dari dokter yang menangani
suami ibu mengenai pengobatan yang akan diberikan ?
Istri Pasien : Saya belum dapat informasi yang jelas ibu.
Apoteker : Baik ibu. Saya jelaskan kepada ibu terapi obat yang akan
digunakan oleh Tn. Tanu. Obat yang pertama, yaitu Exforge,
yang digunakan untuk mengobati hipertensi bapak. Obat ini
dikonsumsi 1 kali sehari 1 tablet ya bu sesudah makan. Obat
yang kedua, yaitu Hiblok juga untuk mengobati hipertensi,
dikonsumsi 1 kali sehari sesudah makan juga. Obat yang ketiga,
yaitu Hapsen yang juga untuk mengobati hipertensi, dikonsumsi
1 kali sehari. Jadi bu, untuk terapi pengobatan Hipertensi Tn.
Tanu, terdapat 3 jenis obat yang dikombinasi bersama untuk
menurunkan tekanan darah bapak. Ketiga obat tersebut adalah
Exforge, Hiblok, dan Hapsen. Penggunaan obat ini sama
dimana dikonsumsi 1 kali sehari 1 tablet setelah makan. Obat
yang keempat adalah Pharflox. Obat ini adalah obat antibiotik
untuk infeksi saluran napas yang dialami bapak dan obat ini
dikonsumsi 2 kali sehari 1 tablet ya bu. Dan jangan lupa ibu,
untuk obat antibiotik harus segera dihabiskan. Dan obat yang
terakhir adalah Neciblok. Obat ini digunakan untuk mengobati
kembung yang dialami bapak. Obat ini dikonsumsi 4 kali sehari
1 tablet ya bu. Sebelum saya akhiri konseling ini, saya ingin
bertanya pada ibu. Apakah masih ada yang kurang jelas atau
ada yang ingin ditanyakan lagi kepada saya bu?
Istri Pasien : Sudah ibu
Apoteker : Baiklah ibu. Terima kasih atas waktu dan perhatian ibu untuk
dapat melakukan konseling dengan saya. Saya sangat berharap
kepada ibu dapat memantau perkembangan bapak selama terapi
menggunakan obat ini dan tentunya dibutuhkan kepatuhan dari
bapak untuk selalu mengkonsumsi obat-obat ini demi
kesembuhan bapak dengan segera. Semoga bapak cepat sembuh
ya ibu.
Istri Pasien : Iya ibu. Terima kasih atas informasi yang telah anda berikan.
Apoteker : Sama-sama ibu. Saya permisi dulu ibu. Assalamu’alaikum.
Istri Pasien : Oh iya ibu, silahkan. Wa’alaikumsalam.
4.2 Pembahasan
Pada praktikum farmasi praktis kali ini, kami membahas mengenai
peran farmasis dalam penanganan resep obat hipertensi. Dimana obat yang
diresepkan oleh dokter adalah sebagai berikut :
Resep yang di tebus pasien ini merupakan salinan resep atau copy resep.
Copy Resep adalah salinan tertulis dari suatu resep. Istilah lain dari copy resep
adalah ”apograph” atau ”Exemplum”. Salinan resep adalah salinan yang dibuat
oleh apotek, selain memuat semua keterangan yang terdapat dalam resep aslinya
juga harus memuat :
1. Nama dan alamat apotek
2. Nama dan nomor Izin Apoteker Pengelola Apotek (APA)
3. Tanda tangan atau paraf Apoteker Pengelola Apotek (APA)
4. Tanda det (detur) untuk obat yang sudah diserahkan, tanda nedet (nedetur)
untuk obat yang belum diserahkan.
5. Nomor resep dan tanggal pembuatan
Salinan resep dapat digunakan sebagai ganti resep, misalnya bila
sebagian obat diambil atau untuk mengulang, maka resep asli diganti dengan
copy resep untuk mengambil yang sebagian tersebut. Orang yang berhak
meminta salinan resep adalah dokter penulis resep, penderita, petugas
kesehatan, atau petugas lain berwenang menurut peraturan perundang-
undangan.
Pada resep yang diberikan pasien ini terdapat beberapa kekurangan
yaitu, tidak adanya nama Apoteker Pengelola Apotek (APA), tidak
terdapatnya tanda tangan APA, dan tidak adanya nomor surat izin APA.
Tindakan yang dilakukan apoteker seharusnya, yaitu menghubungi dokter
yang bersangkutan yang menuliskan resep tersebut, agar didapat kejelasan
tentang keabsahan resep tersebut.
Resep yang ditebus pasien merupakan obat-obatan untuk mengatasi
hipertensi. Untuk penyakit hipertensi obat yang digunakan pada dasarnya
merupakan obat-obatan kombinasi, maka sebagai apoteker atau farmasis
harus tau tentang interaksi obat-obatan, farmakoknetika obat, serta
biofarmasinya sehingga bisa menganalisa obat-obatan yang akan digunakan
pasien. Jika ditemukan ada penggunaan obat yang tidak rasional, sebagai
apoteker yang benar seharusnya menghubungi dokter yang menulis resep
tersebut begitu juga jika tulisan dokter tidak jelas.
Pada resep, obat yang digunakan, yaitu :
Exfroge (Amlodipine besylate 5 mg, valsartan 80 digunakan untuk obat
hipertensi esensial pada pasien dengan tekanan darah yang tidak cukup
dikendalikan hanya dengan monoterapi bagi pasien 2 kali sehari sebelum
makan. Dosis sehari 2x1 tablet seharusnya diturunkan karena pasien
hanya mengalami hipertensi dan belum mengalami komplikasi lainnya.
Tenormin (Atenolol) digunakan untuk obat hipertensi dan angina
pektoris pasien. 50 mg digunakan 1 kali sehari sebelum makan. Hapsen
(bisoprolol fumarate) digunakan untuk obat hipertensi pasien merupakan
kombinasi Tenormin 5 mg 1 kali sehari sebelum makan. Untuk kedua
obat ini, dikarenakan dari golongan yang sama sebaiknya dosisnya
diturunkan menjadi sehari 1 x 1 tablet.
Phar flox (ofloksasin 200 mg) digunakan untuk obat sesak nafas pasien
(infeksi saluran napas) 1 kali sehari sebelum makan. Untuk golongan
antibiotik perlu aturan khusus yaitu : jika melayani obat keras dalam
resep salinan, resep tersebut merupakan resep dari apotik kita sendiri dan
tidak melayani dari apotik lain.
Propepsa merupakan obat dari golongan sukralfat untuk penanganan
tukak peptik pasien. Untuk propepsa, ada sedian yang lebih efektif untuk
pasien, yaitu sediaan suspensi. Karena sediaan dengan bentuk suspensi
memiliki mekanisme kerja lebih cepat dari pada sediaan tablet yang
tercantum pada resep. Jika apoteker ingin mengganti sediaan tersebut
harus menghubungi dokter terlebih dahulu.
Dalam praktikum kali ini, pemberian konseling hanya dilakukan oleh
perwakilan dari salah satu anggota kelompok yang mewakili seluruh
kelompok praktikum agar tidak membuang-buang waktu.
Konseling dilakukan dengan tujuan agar pasien atau wali pasien dapat
benar-benar memahami cara penggunaan obat yang benar dan mengetahui
khasiat dari obat yang akan pasien konsumsi sehingga tidak terjadi kesalahan
dalam penggunaan obat dan tidak menimbulkan efek samping yang tidak
diinginkan.
Dalam pemberian konseling hal pertama yang harus dilakukan adalah
memperkenalkan diri dan memastikan bahwa pasien tersebut memanglah
pasien atau wali dari pasien yang akan diberi obat yang telah disiapkan.
Kemudian, apoteker akan menanyakan apakah pasien/wali pasien bersedia
untuk melakukan konseling. Jika ia bersedia, hal berikutnya yang harus
dilakukan adalah apoteker menanyakan apakah pasien/wali pasien telah
mendapatkan informasi mengenai obat yang diberikan oleh dokter, pada
praktikum kali ini pasien belum mendapatkan informasi dari dokter mengenai
obat yang diberikan. Oleh karena itu, apoteker kemudian menjelaskan
informasi apa saja yang perlu pasien/wali pasien ketahui mengenai obat
tersebut satu persatu beserta cara penggunaannya.
Setelah selesai memberikan informasi, berikutnya apoteker meminta
pasien untuk mengulang informasi yang diberikan tadi untuk mengkonfirmasi
apakah pasien tersebut benar-benar telah mengerti. Namun, pada praktikum
kali ini hal ini tidak dilakukan, melainkan apoteker hanya bertanya kepada
pasien apakah ada yang kurang dimengerti mengenai informasi yang
diberikan tersebut. Jika pasien sudah merasa cukup jelas dengan informasi
yang telah diberikan hal terakhir yang harus dilakukan adalah menutup
konseling dengan harapan dan salam.
Dalam pemberian konseling tidak ada masalah dengan informasi obat
maupun obat-obat yang diberikan karena sebelumnya telah dilakukan
konsultasi dengan dokter yang terkait mengenai obat yang diberikan. obat
yang diresepkan sudah benar tetapi dalam pemberian dosis terdapat
perubahan sesuai dengan kondisi pasien.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dalam praktikum farmasi praktis kali ini, ada beberapa kesimpulan
yang dapat praktikan ambil diantaranya :
Nama pasien : Tn. Tanu
Umur pasien : 65 tahun
Penyakit dan keluhan pasien : Hipertensi
Obat yang diberikan : Exfroge (Amlodipine besylate 5 mg)
sebanyak 60 tablet, Tenormin (Atenolol 50
mg) sebanyak 60 tablet, Hapsen
(bisoprolol fumarate) sebanyak 60 tablet,
Propepsa
Harga obat total : Rp 1.392.000,00
5.2 Saran
Sebaiknya, praktikan yang akan berperan sebagai apoteker membuat
catatan tentang apa saja yang akan diinformasikan kepada pasien terkait obat-
obatan yang akan dikonsumsi, dan telah berlatih sebelumnya. Sehingga, pada
praktiknya, praktikan tidak terbata-bata atau bingung akan hal apa saja yang
akan diinformasikan kepada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI
Anonim. 2006. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta:
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan
DiPiro, Joseph T., et. Al. 2005. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach,
6th edition. New York: McGraw-Hill Medical Publishing Division
Goodman & Gilman. 2012. Dasar Farmakologi Terapi Edisi 10, Vol. 2. Jakarta:
EGC